Anda di halaman 1dari 9

TUGAS

PERILAKU ORGANISASI

OLEH :

1. BINTANG RIZKI SAKINAH (I2A022015)


2. FAHMI ARFAN (I2A022022)
3. MAHSAN LIKARDI (I2A022037)
4. RIZKY DANIA JULIANDANI (I2A022054)
5. TAKIA HIMAYATUN NAZILIN (I2A222001)

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MATARAM
TAHUN 2023
ANALISIS KASUS

PUSAT KEKUASAAN DI GEICO CORPORATION

John J.Byrne adalah Direktur Geico Corporation, sebuah perusahaan


asuransi kendaraan di Washington D.C. Ia mengambil alih perusahaan tersebut
pada tahun 1976,ketika perusahaan itu mengalami kebangkrutan. Dalam beberapa
tahun, ia berhasil membangun suatu budaya pada Geico yang didasarkan pada
manajemen konsensus dan aturan kendali yang kaku. Akan tetapi, ia menemukan
bahwa salah satu peraturannya yang kaku itu merintangi pertumbuhan tingkat
penjualan Geico. Sebagai kepala eksekutif Byrne sebenarnya dapat menggunakan
wewenangnya untuk mengubah peraturan tersebut, tetapi ia justru membiarkannya
seperti itu. Oleh karena itu, diperlukan waktu empat tahun untuk melakukan
perubahan yang sesungguhnya dapat ia perintahkan melalui selembar memo
sesuai dengan kekuasaan yang dimilikinya.
Karier Byrne dimulai pada Perusahaan Asuransi Jiwa Lincoln National
sebagai seorang penaksir (aktuaris) pengasuransian kembali. Pada tahun 1967, ia
pindah ke Asuransi Perjalanan. Dalam enam tahun ia dipromosikan menjadi wakil
direktur eksekutif. Ia menggambarkan dirnya sebagai seorang tukang dorong,
seorang sopir yang kadang-kadang mendorong idenya menjadi terlalu keras.
Selama beberapa bulan pertamanya di Geico, Byrne mengobarkan api dan
tidak begitu peduli tentang upaya pembinaan budaya kerja yang produktif. Ia
berpegang teguh pada peraturan dan mengandalkan kedudukan kekuasaannya
untuk melaksanakan pekerjaannya untuk melaksanakan pekerjaan. Dalam hal ini,
ia memengaruhi orang lain dengan menggunakan basis kekuasaan legitimasi,
imbalan, dan basis kekuasaan paksaan, yaitu semua basis kekuasaan yang
ditentukan oleh organisasi. Ia mempekerjakan, memecat, dan membentuk sendiri
tim manajemennya.
Byrne menjelaskan bahwa gaya seperti itu merupakan campuran dari
manajemen berdasarkan sasaran dan manajemen konsensus. Ia percaya bahwa
manajemen tingkat atas tidak perlu mengambil keputusan kebijaksanaan sendiri.
Melainkan, manajemen harus menciptakan suatu budaya dan gaya perusahaan
dimana kekuasaan dibagi-bagi dan bawahan diberi kepercayaan untuk berprestasi
dengan baik. Byrne dianggap seorang politikus oleh sebagian manajer. Ia telah
membentuk pola budaya Geico yang cocok dengan kepribadiannya. Ia akan patuh
dan tunduk pada keputusan kelompok, tetapi ia tetap mengendalikan proses
pengambilan keputusan. Jauh sebelum masalah utama dibebankan kepada
kelompok, Byrne beranjak dari satu kantor ke kantor lainnya, dengan ramah
mendorong anggota kelompok, mendengarkan mereka, dan berusaha mengetahui
hal-hal yang dipikirkan dan dirasakan anggota kelompok. Ia meminta nasihat,
membujuk, dan mengungkapkan pikirannya kepada orang lain.
Byrne menggunakan “sesi tantangan” sebagai sarana untuk merangsang dan
mendorong para manajer. Inilah cara mereka bekerja. Setiap manajer
menyebarkan salinan anggaran dan tujuan yang ia usulkan untuk tahun yang
bersangkutan kepada kelompok manajer lain. Setiap manajer harus menyajikan
usulan-usulannya di depan para manajer lainnya. Para manajer lain kemudian
mengkaji usulan tersebut dari berbagai aspek. Dalam sesi seperti itu tidak dapat
diterima telaahan yang sekedar “menyetempel” usulan manajer lain. Para manajer
diharapkan menjual atau menawarkan usulan mereka kepada manajer lain. Sesi
tantangan tersebut berlangsung selama 12 sampai 16 jam setiap harinya, lima hari
seminggu, selama tiga minggu.
Pada akhir sesi tantangan, setiap manajer telah menerima tanggung jawab
pelaksanaan rencana kerja perusahaan tersebut selama satu tahun. Byrne
bersikeras untuk tidak memberikan imbalan bonus bagi setiap manajer yang gagal
mencapai tujuannya. Jika ada manajer yang mundur dan mencoba menetapkan
tujuan yang rendah pada sesi tantangan tersebut, Byrne mempunyai kepandaian
khusus untuk mengetahui hal itu dan menyingkapkannya kepada manajer lain. Ia
ingin agar para manajernya berprestasi dan mendorong mereka untuk menentukan
sasaran yang realistis dan menantang. Filsafatnya ialah bahwa hasil adalah kunci
keberhasilan di Geico. Ia menyatakan bahwa selama karyawan mencapai hasil,
“Saya tidak peduli jika ia mengkilapkan sepatunya dengan batu bata”.
Dengan indoktrinasi gaya manajemen Byrne, para manajer Geico adalah
penghemat biaya dan perumus tujuan yang realistis, dan mereka melaksanakan
pekerjaan dengan bersemangat. Byrne telah mendorongnya, memimpin
memimpin mereka dengan contoh-contoh, memaksa tanpa kentara, dan
memotivasi tim manajemen Geico. Selain itu, ia suka mendengar dan berbagi
kekuasaan melalui proses campuran. Byrne penyabar, dan ia akan menunggu para
manajer sampai mereka melihat adanya kesempatan.
Byrne bangga dengan dirinya sendiri atas penciptaan budaya perusahaan
yang memungkinkan adanya pembagian kekuasaan. Pembagian tersebut telah
memungkinkan timbulnya kepercayaan, komunikasi internal, dan sasaran yang
realistis. Daripada mengandalkan kekuasaan ketakutan dan paksaan, Byrne telah
memilih jalur lain. Jika ia memandang perlunya suatu perubahan penting, ia
menunggu sampai para letnan melihat kebutuhan itu sebelum mengeluarkan
perintah.

PERTANYAAN:

1. Beberapa kritik gaya campuran Byrne menyatakan bahwa gaya tersebut


dapat berhasil di perusahaan asuransi, tetapi jika anda mencobanya dalam
industri yang lebih mudah berubah dan tak dapat diramalkan seperti
industri komputer, mobil, pakaian; maka anda akan tertinggal jauh dalam
persaingan. Bagaimana pendapat anda.
2. Jenis basis kekuasaan apa yang sebenarnya diandalkan Byrne untuk
melaksanakan sebagai direktur Geico?
3. Mengapa seorang manajer yang memberikan penyajian formal pada “sesi
tantangan” cenderung merasa tidak punya kekuasaan?
4. Bagaimana cara Byrne mengkombinasikan kekuasaan dan politik untuk
melaksanakan pekerjaannya?

JAWABAN:

1. Pendapat saya adalah bahwa gaya campuran Byrne dapat berhasil di berbagai
industri, termasuk industri yang lebih mudah berubah dan tak dapat
diramalkan seperti industri komputer, mobil, dan pakaian. Meskipun setiap
industri memiliki tantangan dan dinamika unik, prinsip-prinsip manajemen
yang melibatkan pembagian kekuasaan, partisipasi, komunikasi, dan
pembuatan keputusan berdasarkan konsensus dapat diterapkan secara efektif
di berbagai konteks.
Dalam industri yang cepat berubah dan tak dapat diramalkan, fleksibilitas dan
responsivitas menjadi sangat penting. Gaya kepemimpinan yang mendorong
partisipasi dan kolaborasi dapat memungkinkan tim manajemen untuk dengan
cepat beradaptasi dengan perubahan pasar dan mengambil keputusan yang
lebih tepat waktu. Selain itu, dengan melibatkan anggota tim manajemen
dalam proses pengambilan keputusan, mereka akan merasa memiliki
kepemilikan terhadap keputusan tersebut dan lebih termotivasi untuk
mencapai tujuan perusahaan.

2. Byrne mengandalkan beberapa jenis basis kekuasaan untuk melaksanakan


perannya sebagai direktur Geico. Beberapa basis kekuasaan yang digunakan
oleh Byrne adalah:
 Kekuasaan legitimasi: Sebagai kepala eksekutif, Byrne menggunakan
kekuasaan dan kedudukannya dalam organisasi untuk mengarahkan
keputusan dan pengambilan tindakan.
 Kekuasaan imbalan: Byrne menggunakan imbalan dalam bentuk
penghargaan dan pengakuan sebagai insentif bagi para manajer untuk
mencapai tujuan dan menjalankan tugas-tugas mereka.
 Kekuasaan paksaan: Meskipun jarang digunakan, Byrne dapat
menggunakan kekuasaan paksaan untuk memaksa pelaksanaan keputusan
atau tindakan tertentu jika dianggap diperlukan.

3. Seorang manajer yang memberikan penyajian formal pada "sesi tantangan"


mungkin merasa tidak memiliki kekuasaan karena dalam proses tersebut,
keputusan akhir tidak sepenuhnya ditentukan olehnya sendiri. Proses tersebut
mengharuskan para manajer berbagi usulan dan menerima tanggung jawab
atas pelaksanaan rencana kerja perusahaan. Dalam konteks ini, manajer harus
berinteraksi dengan para manajer lain, mempresentasikan dan mendiskusikan
usulannya, dan menerima masukan serta tantangan dari anggota tim lainnya.
Hal ini dapat menciptakan perasaan bahwa keputusan akhir lebih merupakan
hasil kolaborasi dan konsensus, daripada keputusan yang ditentukan secara
individu.

4. Byrne mengkombinasikan kekuasaan dan politik untuk melaksanakan


pekerjaannya dengan cara berikut:
a. Memengaruhi dengan menggunakan basis kekuasaan: Byrne
menggunakan kekuasaan legitimasi, imbalan, dan paksaan sebagai kepala
eksekutif untuk memengaruhi dan mengarahkan para manajer dalam
mencapai tujuan perusahaan.
b. Mendengarkan dan berbagi kekuasaan: Byrne mendengarkan dan
berkomunikasi dengan para manajer, menjalin hubungan yang baik dengan
mereka, dan memberikan mereka kesempatan untuk berkontribusi dalam
proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, ia berbagi kekuasaan
dengan para manajer dan memberikan mereka rasa kepemilikan terhadap
keputusan yang diambil.
c. Menggunakan politik organisasi: Byrne mengandalkan politik organisasi
dengan menjalin hubungan dan berinteraksi dengan anggota tim
manajemen. Ia memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan
pemahaman yang mendalam tentang pemikiran, perasaan, dan kebutuhan
anggota tim. Dengan menggunakan politik organisasi, ia membangun
dukungan dan kerjasama dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
d. Menggunakan "sesi tantangan" sebagai alat pengaruh: Dalam "sesi
tantangan", Byrne menciptakan suatu forum di mana para manajer dapat
saling mempertanyakan dan memperdebatkan usulan mereka. Dalam
proses ini, ia secara tidak langsung memengaruhi para manajer untuk
merumuskan tujuan yang realistis dan menantang serta merespons
tantangan dari rekan-rekan mereka. Dengan membangun suasana
kompetisi sehat dan merangsang diskusi yang produktif, Byrne
menggunakan politik dan pengaruhnya untuk mendorong para manajer
untuk memberikan yang terbaik.
Dalam keseluruhan, Byrne menggabungkan kekuasaan dan politik untuk
menciptakan budaya perusahaan yang kolaboratif, di mana keputusan
diambil melalui proses partisipatif dan kepercayaan dibangun di antara
anggota tim manajemen. Dengan pendekatan ini, ia mencapai
keseimbangan antara mengendalikan proses pengambilan keputusan dan
memberdayakan para manajer untuk berprestasi.

Teori

Teori kekuasaan dan politik merupakan bidang studi yang mempelajari bagaimana
kekuasaan dan politik mempengaruhi hubungan dan dinamika dalam organisasi.
Berikut ini adalah beberapa teori penting dalam bidang ini:
- Teori Kekuasaan Berbasis Sumber Daya (Resource-Based Power Theory):
Teori ini berfokus pada aspek kekuasaan yang berkaitan dengan kontrol dan
akses terhadap sumber daya yang berharga. Menurut teori ini, individu atau
kelompok yang memiliki kontrol terhadap sumber daya yang langka atau
penting memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam organisasi. Contohnya,
individu yang menguasai informasi yang kritis atau memiliki koneksi yang
kuat dalam jaringan organisasi memiliki kekuasaan yang signifikan.
- Teori Kekuasaan Berbasis Kewenangan (Legitimate Power Theory): Teori ini
mengacu pada kekuasaan yang muncul dari posisi atau jabatan formal dalam
struktur organisasi. Kewenangan formal memberikan individu otoritas dan hak
untuk mengarahkan dan mempengaruhi tindakan orang lain dalam organisasi.
Misalnya, seorang manajer memiliki kekuasaan yang berasal dari posisinya
sebagai atasan yang ditetapkan oleh struktur organisasi.
- Teori Kekuasaan Berbasis Hubungan (Relational Power Theory): Teori ini
menekankan pentingnya hubungan interpersonal dalam kekuasaan. Menurut
teori ini, kekuasaan tidak hanya tergantung pada sumber daya atau posisi,
tetapi juga bergantung pada kualitas hubungan antara individu-individu dalam
organisasi. Individu yang memiliki hubungan yang kuat, saling percaya, dan
dapat mempengaruhi orang lain secara pribadi memiliki kekuasaan yang lebih
besar.
- Teori Politik Organisasi (Organizational Politics Theory): Teori ini
mempelajari bagaimana politik beroperasi dalam konteks organisasi. Politik
organisasi mencakup upaya individu atau kelompok untuk mempengaruhi
pengambilan keputusan, mendapatkan sumber daya, dan mencapai tujuan
pribadi atau kelompok mereka. Teori ini menyoroti konflik, negosiasi, koalisi,
dan strategi yang digunakan individu dalam upaya mereka untuk memperoleh
kekuasaan dan mempengaruhi hasil dalam organisasi.

Teori-teori ini memberikan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana


kekuasaan dan politik beroperasi dalam organisasi, serta bagaimana kekuasaan
dan politik dapat mempengaruhi perilaku, pengambilan keputusan, dan dinamika
organisasi secara keseluruhan. Berikut adalah beberapa tokoh yang terkait dengan
teori-teori kekuasaan dan politik yang disebutkan sebelumnya:

- Teori Kekuasaan Berbasis Sumber Daya: Teori ini terkait dengan


kontribusi beberapa ahli, termasuk Jeffrey Pfeffer, yang merupakan salah
satu tokoh utama dalam mempelajari kekuasaan dan pengaruh dalam
konteks organisasi. Pfeffer adalah seorang profesor di Graduate School of
Business, Stanford University, dan telah menulis banyak buku dan artikel
tentang kekuasaan dalam organisasi.
- Teori Kekuasaan Berbasis Kewenangan: Konsep kekuasaan berbasis
kewenangan telah diperkenalkan oleh berbagai pemikir dalam bidang
manajemen dan sosiologi organisasi. Ahli teori organisasi seperti Max
Weber dan Michel Foucault, misalnya, telah menyumbangkan pemikiran
penting tentang kekuasaan berbasis kewenangan dan bagaimana
kewenangan formal mempengaruhi dinamika organisasi.
- Teori Kekuasaan Berbasis Hubungan: Teori kekuasaan berbasis hubungan
memiliki akar dari beberapa teori sosiologi, seperti teori pertukaran sosial
dan teori jaringan sosial. Ahli sosiologi seperti Peter Blau, James
Coleman, dan Ronald Burt telah memberikan kontribusi penting dalam
memahami kekuasaan yang timbul dari hubungan sosial dan jaringan
dalam organisasi.
- Teori Politik Organisasi: Teori politik organisasi telah dikembangkan oleh
banyak sarjana dalam berbagai bidang, termasuk manajemen, sosiologi,
dan ilmu politik. Ahli manajemen seperti David Buchanan dan Andrew
Pettigrew telah mempelajari politik organisasi dalam konteks pengambilan
keputusan dan dinamika kekuasaan di dalam organisasi.
- Penting untuk dicatat bahwa teori-teori ini merupakan hasil sumbangan
dan perkembangan ilmu pengetahuan yang melibatkan banyak pemikir dan
peneliti dari berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu, tidak mungkin untuk
menyebutkan satu tokoh tunggal yang mencetuskan teori-teori tersebut,
karena mereka merupakan kontribusi kolaboratif dari berbagai ahli dan
pemikir di bidang kekuasaan dan politik organisasi.

Anda mungkin juga menyukai