Anda di halaman 1dari 20

BAB I

KONSEP PENYAKIT

1. Konsep Cedera Kepala

A. Definisi
Cedera kepala merupakan trauma yang terjadi hingga mengenai otak dan
disebabkan oleh adanya kekuatan eksternal yang kemudian bisa menimbulkan
perubahan tingkat kesadaran, kemampuan kognitif, fungsi fisik, tingkah laku dan juga
emosiaonal.
Menurut Brain Injury Association of America, cereda kepala merupakan
sebuah kejadian cedera yamg tidak diturunkan, tidak bersifat bawaan, degeneratif atau
terjadi trauma ketika lahir. Trauma kepala biasanya dapat terjadi akibat adanya
benturan, pukulan maupun sentakan yang terjadi dikepala sehingga sampai mengenai
otak dan terjadilah gangguan pada otak. (Zafira et al., 2022)
Menurut (Suwaryo et al., 2016), menjelaskan bahwa kasus cedera merupakan
salah satu kasus penyebab terjadinya kematian terbesar didunia, contohnya seperti
cedera kepala. Cedera kepala merupakan kejadian dapat yang menimbulkan gangguan
struktural maupun fungsional pada jaringan otak, bahkan dapat mengganggu kesadaran
serta dapat menimbulkan kerusakan kognitif dan fisik seseorang.
B. Anatomi Fisiologi Organ Kepala
1. Tengkorak
Tulang tengkorak merupakan struktur tulang yang menutupi dan melindungi
otak dari cedera. Terrdapat empat tuang yang berhubungan membentuk tulang
tengkorak yaitu tulang frontal, parietal, temporal dan oksipital.

Pada masing-masing tulang disatukan oleh sutura (kecuali pada mandibula)


atau jaringan fibrosa yang mengunci pinggiran tulang yang bergerigi. Pada
bagian dasar tengkorak terdiri atas tiga rongga (fossa) yaitu fossa anterior
(terdiri dari lobus frontral serebral bagian hemifer), fossa tengah atau media
(terdiri dari lobus parietal, temporal dan oksipital) dan pada fossa posterior
(terdiri dari batang otak dan medula). Tengkorak berfungsi untuk
melindungi otak, indra penglihatan dan indra pendengaran. Selain itu
tengorak juga berfungsi sebagai tempat melekatnya otot yang bekerja di
daerah kepala. (PGS, 2021)

Gambar Rangka Kepala


2. Meningen

Meningen atau selaput otak adalah selaput yang membungkus otak dan
sumsum tulang belakang serta melindungi struktur saraf yang halus. Selaput
meningen membawa pembuluh darah dan cairan sekrsesi atau biasa disebut
dengan cairan serebrospinal yang berfungsi untuk memperkecil benturan, getaran
atau goncangan pada otak. Meningen atau selaput otak terbagi menjadi 3 lapisan
yaitu:

Gambar 2.3 Lapisan Meningen

3. Otak
Otak dibagi menjadi tiga bagian besar yaitu:
a. Cerebrum (Otak Besar)
b. Cerebellum (Otak Kecil)
c. Brainstem (Batang Otak)

4. Sirkulasi Serebral
Sirkulasi serebral menerima kira-kira sekitar 20% (750ml) aliran darah dari
jantung karena hal ini sangat dibutuhkan oleh otak akibat otak tidak
mampu menyimpan makanan sementara kebutuhan metabolisme otak tinggi.
Aliran darah di otak sangat unik karena melawan gravitasi yaitu darah arteri
dari bawah dan darah vena mengalir dari atas. Apabila terjadi kekurangan
penambahan aliran darah menuju otak dapat menyebabkan jaringan di otak
rusak secara permanen, berbeda dengn organ tubuh lain yang cepat
menoleransi apabila aliran darah menurun.
5. Sistem Saraf Kranialis
Saraf kranialis merupakan sebuah struktur yang menjalar melewati foramina
pada tulang kranium serta berasal dari otak didalam rongga kranium dan
terdiri dari 12 nervus yang juga merupakan bagian dari sistem saraf perifer.
Tiga nervus kranialis (I, II dan VII) disebut juga nervus sensorik

C. Etiologi
Cedera kepala merupakan bentuk cedera otak yang disebabkan oleh
kerusakan mendadak pada otak. Penyebab cedera kepala dapat dibedakan menjadi
tiga yaitu:

a. Trauma Tumpul
Biasanya disebabkan karena benturan atau hantaman benda-benda tumpul
seperti pada saat terjatuh dari tempat kerja atau pada saat terjadi
kecelakaan. Kekuatan benturan yang terjadi dapat menyebabkan kerusakan
yang menyebar tergantung kekuatan benturan dan kekuatan rotasi internal.
Rotasi internal dapat mengakibatkan perpindahan cairan dan perdarahan
karena pada saat otak bergeser maka akan terjadi pergesekan antara
permukaan otak dengan tonjolan-tonjolan yang ada didalam tengkorak.
b. Trauma Tajam
Disebabkan karena pisau, peluru atau fragmen tulang pada fraktur tulang
tengkorak. Biasanya kerusakan tergantung pada kecepatan gerak pada
benda tajam yang menancapnke kepala atau otak. Kerusakan terjadi hanya
pada area dimana benda tersebut merobek otak, sedangkan pada obyek
dengan kecepatan gerak tinggi seperti peluru dapat menyebabkan
kerusakan struktur otak yang luas dan terdapat luka terbuka yang bisa
menyebabkan infeksi.
c. Coup dan Countercoup
pada cedera coup kerusakan dapat terjadi segera pada daerah yang
mengalami benturan, sedangkan pada cedera countercoup kerusakan dapat
terjadi pada sisi yang berlawanan dengan cedera coup. (Marbun et al.,
2020)
D. Klasifikasi

Klasifikasi cedera kepala terbagi berdasarkan hal-hal berikut ini seperti:


1. Berdasarkan Tingkat Keparahan Klinis

Penilaian beratnya cederra kepala bisa dilakukan dengan menggunakan


Glasgow Coma Scale (GCS) yang merupakan skala yang digunakan untuk
menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan gangguan
neurologis yang terjadi. Terdapat tiga askpek yang dinilai yaitu reaksi
membuka mata (Eye Opening), reaksi berbicara (Verbal Respons) dan
reaksi lengan dan tungkai (Motor Respons).
Menurut (Marbun et al., 2020) cedera kepala dikelompokkan menjadi 3
berdasarkan nilai GCS yaitu:
a. Cedera Kepala Ringan dengan nilai GCS >13, tidak terdapat kelainan
berdasarka hasil CT Scan otak, tidak membutuhkan tindakan operasi
dan lama dirawat di rumah sakit sekitar <48 jam.
b. Cedera Kepala Sedang dengan nilai GCS 9-13, ditemukan adanya
kelainan pada CT Scan otak, membutuhkan tindak operasi untuk lesi
intrakranial dan harus dirawat di rumah sakit setidaknya 48 jam.
c. Cedera Kepala Berat apabila dalam waktu >48 jam setelah trauma
nilai GCS <9.
Tabel 2.1 Penilaian GCS

Eye Opening Score


Mata terbuka spontan 4
Mata membuka dengan rangsang bicara 3
Mata membuka sedikit setelah dirangsang nyeri 2
Tidak membuka mata 1
Motor Response Score
Menurut perintah 6
Dapat melokalisir nyeri 5
Reaksi menghindari 4
Gerakan fleksi abnorma 3
Gerakan ekstensi abnormal 2
Tidak ada gerakan 1
Verbal Response Score
Berorientasi 5
Bicara kacau/disorientasi 4
Mengeluarkan kata-kata yang tidak tepat/tidak 3
membentuk kalimat
Mengeluarkan suara tidak ada artinya 2
Tidak ada jawaban 1

E. Tanda dan Gejala


Gejala yang timbul pada saat terjadi cedera kepala tergantung pada jumlah dan
distribusi cedera otak. adanya nyeri yang menetap biasanya menunjukkan terjadinya
fraktur yang menyebabkan bengkak disekitar fraktur. Selain itu perdarahan sering
terjadi dari hidung, faring, telinga dan biasanya darrah juga terlihat dibawah
konjungtiva. Keluarnya cairan serebrospinal (CSS) dari telinga juga menunjukkan
terjadinya cedera kepala dan hal tersebut merupakan masalah yang serius karena dapat
menyebabkan infeksi seperti meningitis. Tanda gejala lain yang dapat terjadi pada
cedera kepala yaitu:
a. Cedera kepala ringan – sedang: disorientasi ringan, amnesia post traumatik,
sakit kepala, mual, muntah, vertigo dalam perubahan posisi dan gangguan
pendengaran.
b. Cedera kepala sedang – berat: kejang, infeksi, tanda herniasi otak, gangguan
pada saraf kranial.(Batticaca, 2018)
F. Patofisiologi

Otak dilindungi oleh lapisan otak, meningen, tulang tengkorak, kulit kepala dan
rambut kepala sehingga secara fisiologis efektif terlindungi dari cedera. Cedera kepala
terjadi karena adanya benturan yang mengenai kepala secara tiba-tiba dan dapat terjadi
melalui beberapa mekanisme yaitu akselerasi, deselerasi dan askellerasi-deselerasi.
Akselerasi adalah mekanisme cedera kepala yang terjadi apabila benda yang bergerak
membentur kepala yang diam. Mekanisme tersebut dapat menimbulkan kompresi dan
regangan yang dapat menimbulkan robekan jaringan dan pergeseran jaringan otak
terhadap jaringan otak lainnya. Sedangkan deselerasi adalah mekanisme cedera kepala
yang terjadi ketika kepala bergerak membentur benda yang diam. Mekanisme tersebut
menyebabkan kerusakan jaringan di area benturan dan pada sisi yang berlawanan. Pada
area benturan terdapat tekanan tinggi sedangkan pada tempat yang berlawanan terdapat
tekanan rendah sehingga dapat menimbulkan ronggan yang akibatnya dapat terjadi
robekan.

Pada cedera kepala akibat trauma ekstrakranial maka dapat menyebabkan


adanya aserasi kulit kepala yang selanjutnya bisa terjadi perdarahan karena mengenai
pembuluh darah. Apabila terjadi perdarahan secara terus-menerus maka akan
menimbulkan hipoksia, hiperemia dan vasodilatasi artrial sehingga akan menyebabkan
peningkatan isi intrakranial yang akhirnya akan terjadi peningkatan TIK. Apabila
cedera kepala akibat trauma intrakranial mengenai tulang kepala maka akan
menyebabkan robekan dan perdarahan. Selain itu juga dapat menyebabkan aserasi dan
kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial yaitu saraf
sensorikd dan motorik yang menyebabkan gangguan pada fisik, kognitif maupun
psikososial (Marbun et al., 2020)

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dilakukan apabila terjadi cedera kepala menurut
(Firmansyah et al., 2021) yaitu:

Penilaian jalan napas: membersihkan jalan napas dari muntahan, melepas gigi
palsu, mempertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan cara
memasang kolar servikal. Jika cedera orovasial mengganggu jalan napas maka
harus dilakukan intubasi.
a. Penilaian pernafasan: menentukan apakah pasien bernafas spontan atau tidak.
Apabila tidak segera beri oksigen, apabila bernafas spontan selidiki dan atasi
cedera pada dada seperti pneumothorak, pneumothorak tensif dan
hemopneumothoraks. Kemudian pasang oksimetri nadi untuk mengetahui saturasi
oksigen minimum 95%. Apabila jalan napas terancam (PaO2 >95 mmHg, PaCO2
<40 mmHg dan sturasi O2 95%) dan terjadi muntah maka harus dilakukan
intubasi dan diventilasi oleh ahli anetesi.
b. Penilaian sirkulasi: otak yang mengalami kerusakan tidak mampu mentolerir
hipotensi sehingga perdarahan harus dilakukan dengan menekan arterinya. Selain
itu perhatikan adanya cedera intraabdomen atau dada. Lakukan pengukuran dan
pencatatan frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang EKG bila tersedia.
c. Atasi kejang: kejang konvulsi dapat terjadi setelah mengalami cedera kepala dan
harus segera diobati. Berikan diazepam 10mg per-IV secara perlahan dan ulangi
sebanyak 3 kali apabila masih terjadi kejang. Apabila tidak berhasil, berikan
fenitoin 15mg/kgBB per-IV secara perlahan dengan kecepatan tidak melebihi
50mg/menit.
d. Pada semua pasien dengan cedera kepala segera meakukan prosedur pemasangan
infus (NaCl 0.9% atau RL) yang berguna untuk mengganti volume intravaskuler
dan larutan ini tidak menambah edema serebri. Kemudian lakukan pemeriksaan
darah lengkap, masa protombin atau masa tromboplastin parsial serta skrining
toksikologi dan kadar akohol bila perlu.

Melakukan CT Scan: foto rontgen kepala tidak perlu dilakukan apabila sudah
dilakukan CT Scan karena CT Scan lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur. Pasien
dengan cedera kepala harus dievaluasi adanya hematoma epidural, adanya darah
dalam subarakhnoid dan intraventrikel, kontusio dan perdarahan jaringan orak,
edema serebri, obiterasi sistema perimesensefalik, pergesaran garis tengah, fraktur
kranium, adanya cairan dalam sinus dan penumosefalus.
e. Pada pasien yang mengalami koma (nilai GCS <8) atau pasien dengan tanda-tanda
herniasi setelah cedera kepala harus dilakukan tindakan elevasi kepala 30°,
menurunkan TIK, apabila terjadi hiperventilasi maka lakukan intubasi dan berikan
ventilasi mandatorik intermiten dengan kecepatan 16-20 kali/menit dengan
volume tidak 10-12 ml/kg. Atur CO2 hinggga 28-32 mmHg.

f. Hindari hipokapnia berat (PCO2 <25 mmHg) karena dapat menyebabkan


vasokontriksi dan iskemia serebri. Selain itu berikan manitol 20% 1g/kg per-IV
dalam waktu 20-30 menit dan dosis ulangan dapat diberikan maksimal 4-6 jam.
kemudian sebesar ¼ dosis awal sampai maksimal 48 jam pertama, pasang kateter
foley serta konsul bedah daraf apabila terdapat indikasi operasi (hematoma
epidural yang besar, hematoma subdural, cedera kepala terbuka.
BAB 2
KONSEP TEORI ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Komponen kunci dan pondasi dari proses keperawatan adalah pengkajian.
Pengkajian dilakukan untuk membuat data dasar yang mendalam sehingga nantinya
bisa melakukan intervensi yang tepat. Dalam pengkajian terdapat tiga fase dasar yaitu:

- Pengkajian awal merupakan pengkajian yang dilakukan dengan cepat


paada saat pertemuan pertama dengan pasien meliputi ABC (Airway,
Breathing dam Circulation).
- Pengkajian dasar merupakan pengkajian lengkap dimana semua sistem
dikaji.
- Pengkajian terus menerus merupakan pengkajian ulang yang dilakukan
secara terus menerus dan digunakan untuk melihat perubahan pada pasien
yang sakit kritis.

Pengkajian menghasilkan data-data dasar berupa identitas pasien,


keluhan utama, riwayat penyakit (bisa riwayat penyakit saat ini,
riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, pengobatan yang
lalu serta riwayat alergi).

a. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk memperoleh data obyektif melaui
inspeksi (meihat), palpasi (meraba), perkusi (mengetuk) dan
auskultasi (mendengarkan). Berikut pemeriksaan fisik yang dilakukan
pada pasien cedera kepala:
- B1 (Breathing)
Perubahan sistem pernapasan bergantung pada perubahan jaringam
serebral akibat trauma kepala. Hasil pemeriksaan fisik pada beberapa
keadaan didapatkan hasil yaitu pada pasien yang mengalami cedera
kepala biasanya didapatkan kien batuk, peningkatan sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas dang peningkatan frekuensi
pernapasan. Selain itu terdapat retraksi klavikula/dada, pengembangan
paru tidak simetris. Ketidaksimetrisan mungkin menunjukkan adanya
atelektasis, lesi di paru, obstruks bronkus, fraktur tulang iga,
pneumothoraks. Adanya suara redup pada keadaan trauma thoraks dan
hemathoraks. Slain itu juga ada bunyi suara napas tambahan seperti
ronkhi, stridor akibat peningkatan sekret dan kemampuan batuk
menurun dan biasa terjadi pada pasien yang mengalami penurunan
kesadaran.

- B2 (Blood)
Syok hipovolemik sering terjadi pada pasien yang mengalami cedera
kepala. Hasil pemeriksaan kardiovaskuler pasien cedera kepala
didapatkan tekanan darah normal/berubaha, nadi bradikardi, takikardi
dan aritmia dengan frekuensi nadi cepat dan lemah yang berhubungan
dengan homeostatis tubuh untuk menyeimbangkan kebutuhan O2
perifer. Bradikardi merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan
di otak. kulit kelihatan pucat menunjukkan adanya penurunan kadar
Hb dalam darah. Hipotensi menunjukkan perubahan perfusi jaringan
dan tanda awal syok. Pada kondisi lain akibat cedera kepala akan
merangsang pelepasan antidiuretik hormon (ADH) yang berdampak
pada kompensasi tubuh untuk mengeuarkan garam dan air oleh
tubulus. Mekanisme ini meningkatkan resiko terjadinya gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit pada sistem kardiovasakuler.
- B3 (Brain)
Pengkajian B3 merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pada sistem lainnya seperti tingkat kesadaran
(digunakan sebagai indikator paling sensitif untuk menilai disfungsi
sistem persarafan), pemeriksaan fungsi serebral terkait dengan status
mental yang berubah, fungsi intelektual berupa penurunan ingatan dan
memori jangka pendek atau panjang, kerusakan lobus frontal yang
menyebabkan gangguan kognitif dan psikologis serta kerusakan pada
hemisfer. Selain itu pada pengkajian B3 juga dilakukan pemeriksan
fungsi saraf kranial terkait nervus I-XII apakah mengalami kerusakan
karena nervus tersebut memiliki fungsi sendiri-sendiri. Pada pasien
cedera kepala sering didapatkan hemiplagia (paralisis pada salah satu
sisi) dan hemiparesis (kelemahan salah satu sisi tubuh). Pemeriksaan
reflek dan sensorik juga dilakukan pada pengkajian B3 karena
biasanya pada pasien cedera kepala bisa terjadi hemihipestasi persepsi
ayai ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi baik ringan
maupun berat.
- B4 (Bladder)
Pada B4 kaji keadaan urine karena penurunan jumlah urine dan
peningkatan retensi cairan menunjukkan adanya penurunan fungsi
ginjal. Setelah terjadi cedera kepala, kemungkinan akan mengalami
inkontinensia urine akibat konfusi, ketidakmampuan untuk
menggunakan urinal karena terjadi kerusakan kontrol motorik dan
postural. Apabila inkontinensia berlanjut maka akan menunjukkan
terjadi kerusakan neurologis yang laus.
- B5 (Bowel)
Keluhan yang sering muncul pada cedera kepala terkait B5 yaitu
kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mua muntah pada fase akut
(adanya peningkatan asam lambung), adanya lesi atau perubahan pada
idah yang menunjukkan adanya dehidrasi serta pemeriksaan abdomen
untuk menilai ada atau tidaknya bising usus.
- B6 (Bone)
Disfungsi motorik yang paling umum pada cedera kepala adalah
kelemahan di seluruh ekstremitas. Lakukan pengkajian terkait warna
kulit, suhu kelembapan dan turgor kulit. Adanya beberapa perubahan
seperti warna kulit menjadi kebiruan menunjukkan adanya sianosis,
pucat biasanya menunjukkan rendahnya kadar Hb dan syok serta
joundice atau warna kuning di tubuh pasien dapat terjadi akibat
penurunan aliran darah portal karena penggunaan pocked red cells
(PRC) dalam waktu lama. Selain itu warna kemerahan biasanya
menunjukkan adanya demam dan infeksi.
Beberapa masalah keperawatan yang sering muncul pada pasien dengan
cedera kepala yaitu gangguan pertukaran gas, pola napas tidak efektif,
bersihan jalan napas tidak efektif, gangguan ventilasi spontan, resiko
perfusi serebral tidak efektif, penurunan kapasitas adaptif intrakranial,
defisit nutrisi, gangguan eliminasi urine, resiko jatuh, gangguan
integritas kulit dan resiko jatuh. Terkait intervensi yang diberikan yaitu
pemberian oksigen, pencegahan penikatan TIK, pencegaha jatuh,
pecegahan infeksi dan masih banyak lagi intervensi lain atau intervensi
tambahan yang bisa diberikan kepada pasien
B. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan hasil pengkajiaan yang dilakukan terhadap Pasien Ny. T didapatkan
diagnose keperawatan sebagai berikut
1. perfusi jaringan serebral berhubungan dengan trauma kepala
2. Resiko infeksi berhubungan dengan hematoma serebral
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik

C. Intervensi Keperawatan
1. Rencana tindakan keperawatan untuk diagnosa ketidakefektifan pefusi jaringan
serebral berhubungan dengan trauma kepala NOC : Circulation status baik, Perfusi
jaringan serebral normal. Kriteria hasil : Tekanan darah dalam rentang normal, tidak
ada tanda-tanda peningkatan tekanan darah intrakranial, bekomunikasi dengan jelas
dan sesuai kemampuan, tingkat kesadaran membaik. Dengan NIC : Pertahankan jalan
napas yang paten, pertahankan posisi pasien, berikan O2 sesuai kebutuhan, berikan
obat manitol bila perlu, monitor tekanan perfusi serebral, catat respon pasien terhadap
stimulasi, monitor tekanan intrakranial pasien dan respon neurologi terhadap aktifitas,
monitor intake dan output cairan, posisikan pasien pada posisi semi fowler,
minimalkan stimulasi dari lingkungan, monitor TD, nadi, suhu, dan RR, monitor
sianosis perifer, monitor adanya cushling triad Rencana tindakan keperawatan untuk
diagnosa ketidakefektifan pefusi jaringan serebral berhubungan dengan trauma kepala
NOC : Circulation status baik, Perfusi jaringan serebral normal. Kriteria hasil :
Tekanan darah dalam rentang normal, tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan
darah intrakranial, bekomunikasi dengan jelas dan sesuai kemampuan, tingkat
kesadaran membaik. Dengan NIC : Pertahankan jalan napas yang paten, pertahankan
posisi pasien, berikan O2 sesuai kebutuhan, berikan obat manitol bila perlu, monitor
tekanan perfusi serebral, catat respon pasien terhadap stimulasi, monitor tekanan
intrakranial pasien dan respon neurologi terhadap aktifitas, monitor intake dan output
cairan, posisikan pasien pada posisi semi fowler, minimalkan stimulasi dari
lingkungan, monitor TD, nadi, suhu, dan RR, monitor sianosis perifer, monitor adanya
cushling triad G (tekanan nadi yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
2. Rencana tindakan keperawatan untuk diagnosa resiko infeksi berubungan dengan
hematom serebral. NOC : Immune status, knowledge infection control, risk control.
Kriteria hasil : Pasien bebas dari tanda dan gejala infeksi, mendeskripsikan proses
penularan penyakit, faktor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya
menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi, jumlah leukosit dalam
batas normal, menunjukkan perilaku hidup sehat. NIC : Bersihkan lingkungan setelah
dipakai pasien (tekanan nadi yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik) Rencana
tindakan keperawatan untuk diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
kerusakan neurologis. NOC : Respiratory Status (Ventilation), respiratory Status
(Airway Patency). Kriteria hasil : Frekuensi pernafasan dalam batas normal, irama
pernafasan normal, tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan, tidak ada retraksi
dinding dada, tidak ada suara nafas tambahan. NIC : Buka jalan nafas dengan teknik
chin lift atau jaw thrust, posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi, lakukan
fisioterapi dada jika perlu, buang sekret dengan cara batuk efektif atau suction,
instruksikan cara batuk efektif, auskultasi suara nafas, pertahankan kepatenan jalan
nafas, berikan oksigen tambahan sesuai kebutuhan, monitor respirasi dan status O2,
monitor aliran O2, monitor efektifitas terapi oksigen, amati tandatanda hipoventialsi
induksi oksigen, konsultasi dengan tenaga kesehatan lain mengenai penggunaan
oksigen tambahan selama kegiatan dan atau tidur. Rencana tindakan keperawatan
untuk diagnosa resiko infeksi berubungan dengan hematom serebral. NOC : Immune
status, knowledge infection control, risk control. Kriteria hasil : Pasien bebas dari
tanda dan gejala infeksi, mendeskripsikan proses penularan penyakit, faktor yang
mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya menunjukkan kemampuan untuk
mencegah timbulnya infeksi, jumlah leukosit dalam batas normal, menunjukkan
perilaku hidup sehat. NIC : Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain,
pertahankan teknik isolasi, POLTEKKES KEMENKES RI PADANG lain,
pertahankan teknik isolasi, lakukan perawatan luka pasien, pantau perkembangan
kesembuhan luka pasien, batasi pengunjung bila perlu, intruksikan pada pengunjung
untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung, gunakan sabun
antimikroba untuk cuci tangan, cuci tangan setiap sebelum dan sesudah melakkan
tindakan keperawatan, gunakan alat pelindung diri sebagai pelindung, pertahankan
lingkungan aseptik selama pemasangan alat, tingkatkan intake nutrisi, kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian antibiotik bila perlu, monitor tanda dan gejala infeksi
sistemik dan lokal.
3. Rencana tindakan keperawatan untuk diagnosa nyeri akut berhubungan
dengan agen cidera fisik. NOC : Pain level, pain control, comfort level. Kriteria
hasil : Mengenali kapan nyeri terjadi, menggambarkan faktor penyebab,
menggunakan tindakan pencegahan, menggunakan analgesik lakukan perawatan
luka pasien, pantau perkembangan kesembuhan luka pasien, batasi pengunjung bila
perlu, intruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan
setelah berkunjung, gunakan sabun antimikroba untuk cuci tangan, cuci tangan
setiap sebelum dan sesudah melakkan tindakan keperawatan, gunakan alat
pelindung diri sebagai pelindung, pertahankan lingkungan aseptik selama
pemasangan alat, tingkatkan intake nutrisi, kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian antibiotik bila perlu, monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal.
Rencana tindakan keperawatan untuk diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen
cidera fisik. NOC : Pain level, pain control, comfort level. Kriteria hasil : Mengenali
kapan nyeri terjadi, menggambarkan faktor penyebab, menggunakan tindakan
pencegahan, menggunakan analgesik yang digunakan, melaporkan gejala yang tidak
terkontrol pada profesional kesehatan, nyeri yang dilaporkan tidak ada, mengerang
dan menangis tidak ada, iritabilitas tidak ada, bisa beristirahat, tidak ada ketegangan
otot, tidak ada ekspresi nyeri pada wajah. NIC : Lakukan pengkajian nyeri secara
kompehensif (meliputi lokasi, karakteristik, frekuensi durasi, kualitas, intensitas
atau beratnya nyeri), observasi adanya petunjuk nonverbal mengenal
ketidaknyamanan terutama pada mereka yang tidak dapat berkomunikasi secara
efektif, gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri
dan sampaikan penerimaan pasien terhadap nyeri, gali bersama pasien faktor-faktor
yang bisa memperingan nyeri atau memperberat nyeri, ajarkan penggunaan teknik
non farmakologi (seperti, terapi musik,

D. Implementasi Keperawatan
1. Implementasi keperawatan pada diagnosa ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
berhubungan dengan trauma kepala yang dilakukan selama 5 hari yaitu :
Mempertahankan jalan napas yang paten, mempertahankan dan mengatur posisi
pasien, memberikan O2 4L/I, memberikan obat manitol, memonitor tekanan perfusi
serebral, memantau intake dan output cairan, memposisikan pasien pada posisi semi
fowler, meminimalkan stimulasi dari lingkungan, memonitor TD, nadi, suhu, dan RR,
memantau sianosis perifer, memonitor adanya cushling triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
2. Implementasi tindakan keperawatan untuk diagnosa resiko infeksi behubungan dengan
hematoma serebral yang dilakukan selama 5 hari yaitu : Membersihkan lingkungan
pasien lain, membatasi pengunjung bila perlu, melakukan perawatan luka pasien,
memantau perkembangan kesembuhan luka pasien, memberikan obat cefriaxon,
menginstruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah
berkunjung, mengunakan sabun antimikroba untuk cuci tangan, mencuci tangan setiap
sebelum dan sesudah melakkan tindakan keperawatan, menggunakan alat pelindung
diri sebagai pelindung, meningkatkan intake nutrisi, memonitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan lokal. Implementasi kepera
3. Implementasi keperawatan pada diagnosa nyeri akut behubungan dengan agen cidera
fisik yang dilakukan selama 3 hari yaitu : Melakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif, mengobservasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan, menggunakan
teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien,
mengajarkan tekhnik nafas dalam, membeikan obat ranitidin dan PCT infus, mengkaji
kultur yang mempengaruhi respon nyeri, mengontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri (seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan),
mengajarkan tentang teknik non farmakologi, meningkatkan istirahat, mencek riwayat
alergi, memonitor vital sign, mengevaluasi efektifitas analgesik, tanda dan gejala
E. Evaluasi keperawatan
1. Evaluasi keperawatan dengan diagnosa ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
berhubungan dengan trauma kepala, dengan metoda SOAP memperoleh hasil data
subjektif berbeda pada hari pertama sampai dengan hari kedua data subjektif tidak
dapat dikaji dikarenakan pasien masih mengalami penurunan kesadaran, sedangkan
pada hari ketiga sampai kelima data subjektif pasien didapatkan pasien mengatakan
badannya terasa lelah, kepala terasa pusing dan mata serasa mengantuk, pasien tidak
mengingat kejadian saat ia mengalami kecelakaan. Sedangkan untuk data objektif
pada hari pertama dan kedua didapatkan pasien mengalami penurunan kesadaran
dengan keadaan umum pasien lemah, kesadaran delirium, GCS 10 E2 V3 M5, pasien
terpasang kateter dan O2 6 L/i, IVFD NaCL 0,9% 28 tetes/i pada tangan kanan, pada
kepala pasien tampak ada bekas memar dan mata kanan pasien sembab, pada telinga
pasien ada bekas darah yang sudah mengeras, tanda-tanda vital pasien
2. Pada diagnosa keperawatan resiko infeksi berhubungan dengan hematoma serebral
teratasi sebagian pada hari ketiga dan keempat baru pada hari kelima masalah
keperawatan teratasi dengan kriteria hasil, tidak adanya tanda-tanda infeksi pada luka
pasien. Luka pada kepala pasien sudah dalam kaadaan kering dan besih, leukosit
dalam batas normal, untuk tindakan selanjutnya peneliti akan memantau
perkembangan luka pasien.
3. Pada diagnoasa keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cedera didapatkan
pada hari ketiga pada saat kesadaran pasien sudah membaik. Diagnosa ini didapatkan
dari data subjektif pasien yang mengatakan kepalanya terasa sakit seperti ditusuktusuk
dan rasa sakit tersebut kadang hilang timbul, sedangkan data objektifnya skala nyeri
yang dirasakan pasien berkisar antara 4 dari 1 sampai 10, dan pasien tampak kadang
Manahan rasa sakit dan memegang kepalanya. Pada masalah keperawatan ini peneliti
mengajarkan tekhnik nafas dalam dalam mengontrol nyeri yang dirasakan oleh pasien,
dan pada hari kelima masalah keperawatan ini teratasi dengan kriteria hasil pasien
tidak merasakan nyeri pada kepalanya lagi
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, Diane C. dan Joann C. Hackley. 2003. Keperawatan Medikal Bedah Buku
Saku Dari Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC

Baheram, L. 2007. Cedera Kepala Pada Pejalan Kaki Dalam Kecelakaan Lalu Lintas
Yang Fatal. Majalah Kedokteran Bandung. 26(2): 52-54.

Bulechek, Gloria M., dkk. 2016. Nursing Intervention Classification (NIC) Edisi Bahasa
Indonesia. Indonesia : Elsivier ____________.

Nursing Outcomes Classification (NOC) Edisi Bahasa Indonesia. Indonesia : Elsivier

Chesnut, R. M., dkk. 2000. The Role Of Secondary Brain Injury In Determining
Outcome From Severe Head Injury. Jakarta: EGC

Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., dan Geissler, A. C. 2002. Nursing Care Plane:
Guidelines For Planning And Documenting Patient Care, Edisi 3. Philadelphia: F. A.
Davis Company

Irwana, O. 2009. Cedera Kepala. Majalah Kedokteran Universitas Riau. Diakses pada
tanggal 21 Juli 2019 dari :
http://downloads.ziddu.com/downloadfile/9060174/Belibis_A17-
Cedera_Kepala2.pdf.html

Miller, L. 2004. Study Audits The Process Of The Management Of Patients With Head
Injury Presenting At Accident And Emergency (A&E) Departments And Examines The
Impact Upon Resources Of Introducing NICE Guidelines. Diakses pada tanggasl 21 Juli
2019 dari: http://www.biomedcentral.com/1472-6963/4/7

NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi Dan Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10.
Jakarta : EGC

Narayan, R. K., Wilberger, J. E., dan Povlishock, J. T. 2000. Neurotrauma, General


Principles Of Head Injury Management. New York: McDraw-Hill

Osborn, A. 2003. Head and Neck, Brain, Spine : Diagnostic and Surgical Imaging
Anatomy Series. Lippincott Williams & Wilkin

Pascual, J. L., LeRoux, P. D., dan Gracias, V. H. 2008. Injury To The Brain dalam
Trauma : Contemporary Principles and Therapy. Philadelphia: Lippincot

Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC

Retnaningsih. 2008. Cedera Kepala Traumatik. Diakses pada 21 Juli 2019 dari
http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20080427234109

Rosjidi, C. H. 2007. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Cedera Kepala. Yogyakarta :


Adana Media

Sastrodiningrat, A. G. 2006. Memahami Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prognosa


Cedera Kepala Berat. Majalah Kedokteran Nusantara. 39 (3)

Sibuea H. W., dkk. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Cetakan Ke 2. Jakarta : Rineka Cipta

Smeltzer, Sezanne C. & Brenda G. Bare. 2002. Keperawatan medical bedah (8thed).
Jakarta: EGC.

Soertidewi L., dkk. 2006. Konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma
spinal. Jakarta : Perdossi

Widiyanto, P. 2007. Penanganan penderita cedera pra rumah sakit oleh masyarakat
awam. Diakses pada tanggal 21 Juli 2019 dari: http://www.google.co.id/search?
hl=id&q=dinas+perhubungan%2BCE
DERA+KEPALA&btnG=Telusuri+dengan+Google&meta=
-

Anda mungkin juga menyukai