Kewajiban, Tanggung Jawab dan Sanksi dalam Pengelolaan Limbah B3, Pencemaran Lingkungan
Hidup, Kerusakan Lingkungan Hidup
I. LATAR BELAKANG
Bahwa, terhadap tanah sewa tanah terdapat penyewa tanah yang menggunakan tanah untuk
pembuangan Limbah B3 (Limbah IPAL) atau penyimpanan Limbah B3. Sehingga, Internal Memo
ini bertujuan untuk mendapatkan informasi untuk sebagai berikut:
3. Tanggung Jawab jika terjadi Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan akibat dari Pengelolaan
Limbah B3
4. Sanksi Pengelolaan Limbah B3 tanpa izin serta sanksi Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan
akibat dari Pengelolaan Limbah B3
Pada dasarnya, Setiap Orang yang menghasilkan Limbah wajib melakukan pengelolaan
Limbah yang dihasilkannya (Pasal 274 (1) PP 22/2021). Adapun berdasarkan Pasal 59
Page 1 of 19
INTERNAL MEMO
n. pembiayaan.
Berkaitan dengan latar belakang yang telah dijelaskan pada internal memo ini penggunaan
sewa tanah adalah untuk pembuangan Limbah B3 (Limbah IPAL) atau penyimpanan Limbah
B3 (Limbah IPAL). Merujuk pada Pasal 60 UUPLH, Setiap orang dilarang melakukan dumping
limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin. Selanjutnya, Pasal 61 Ayat (1)
UUPLH Jo. Pasal 391 PP 22/2021 mengatur bahwa setiap Orang untuk dapat melakukan
Dumping (Pembuangan) Limbah B3 ke media Lingkungan Hidup wajib memiliki Persetujuan
dari Pemerintah Pusat.
Page 2 of 19
INTERNAL MEMO
Sesuai dengan Pasal 391 Ayat (2) PP 22/2021, persetujuan Dumping berupa Persetujuan
Teknis untuk kegiatan Dumping (Pembuangan), dan menjadi dasar dalam penerbitan
Persetujuan Lingkungan. Persetujuan Teknis diberikan untuk kegiatan Dumping
(Pembuangan) Limbah B3 ke media Lingkungan Hidup berupa tanah dan laut. Perlu diketahui
bahwa Dumping/Pembuangan Limbah hanya dapat dilakukan di lokasi yang telah ditentukan
oleh Pemerintah. Adapun berdasarkan Pasal 214 PerMLHK 6/2021, Setiap Orang yang
melakukan Dumping (Pembuangan) Limbah, jika menghentikan Usaha dan/atau Kegiatan;
dan/atau mengubah penggunaan dan/atau memindahkan lokasi Dumping (Pembuangan)
Limbah maka wajib memiliki penetapan penghentian kegiatan oleh MLHK.
Selanjutnya terkait dengan Penyimpanan Limbah B3 merujuk pada 285 Ayat (3) PP 22/2021,
Untuk dapat melakukan Penyimpanan Limbah B3 wajib memenuhi:
Maka dari itu, penerima sewa dalam melakukan kegiatan pembuangan atau penyimpanan
Limbah B3 sebagai bentuk dari Pengelolaan Limbah B3 wajib memiliki izin atau persetujuan
dari Pemerintah Pusat.
a. Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki Perizinan
Berusaha atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk Pengelolaan
Limbah B3 dikenakan sanksi administratif (Pasal 82A UUPLH);
b. Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang tidak sesuai dengan
kewajiban dalam Perizinan Berusaha atau persetujuan Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah dan/atau melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dikenai sanksi administratif
(Pasal 82B UUPLH);
c. Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) (Pasal
103 UUPLH);
d. Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan
hidup tanpa izin, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) (Pasal 104 UUPLH);
Page 3 of 19
INTERNAL MEMO
e. Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki Perizinan
Berusaha atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk Pengelolaan
Limbah B3 yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan,
keselamatan, dan/atau Lingkungan Hidup, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah) (Pasal 109 UUPLH).
Sebagaimana dijelaskan di sub-bab sebelumnya Pengelolaan Limbah B3 tanpa izin yang dapat
dikenakan baik sanksi administratif ataupun sanksi pidana. Adapun dalam hal Pengelolaan
Limbah B3 tanpa izin mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan,
keselamatan, dan/atau Lingkungan Hidup dapat dikenakan sanksi pidana.
Sebelum pada tahap pemutusan sanksi, UUPLH mengatur mengenai penanggulangan dan
pemulihan sebagai bentuk tanggung jawab dalam hal pengelolaan Limbah B3 mengakibatkan
Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan . Adapun dalam PP 22/2021 mengatur tentang
penanggulangan dalam hal pengelolaan Limbah B3 mengakibatkan Pencemaran dan
Kerusakan Lingkungan secara khusus. Sebagaimana diatur dalam Pasal 410 PP 22/2021,
Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul Limbah B3, Pengangkut Limbah B3,
Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3 yang melakukan
Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup wajib
melaksanakan penanggulangan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan dan pemulihan
fungsi Lingkungan Hidup.
Penanggulangan
Berdasarkan Pasal 53 UUPLH jo. Pasal 412 Ayat (1) PP 22/2021, setiap orang yang melakukan
Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup (termasuk pencemaran atas pengelolaan
Limbah B3) wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup. Penanggulangan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan dilakukan dengan sebagai
berikut:
elektronik paling lama 24 (dua puluh empat) jam sejak Pencemaran dan Kerusakan
Lingkungan diketahui.
Selanjutnya, terkait dengan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan dilakukan dengan cara
paling sedikit meliputi:
a. evakuasi sumber daya untuk menjauhi sumber Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan
Hidup dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup;
b. penggunaan alat pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup dan/atau
Kerusakan Lingkungan Hidup;
c. identifikasi dan penetapan daerah berbahaya; dan
d. penyusunan dan penyampaian laporan terjadinya potensi Pencemaran dan Kerusakan
Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup kepada Menteri, gubernur,
atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
Selanjutnya dalam Pasal 90 UUPLH mengatur tentang hak gugat Pemerintah dalam hal
terjadinya Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, dimana Instansi pemerintah dan
pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang
mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang
menyebabkan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan yang mengakibatkan kerugian
lingkungan hidup.
Hal tersebut berkorelasi dengan Pasal 413 PP 22/2021, dimana Menteri, gubernur, atau
bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya menetapkan pihak ketiga untuk melakukan
penanggulangan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan atas beban biaya pada pelaku
usaha yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul Limbah 33, Pengangkut Limbah B3,
Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3 serta melakukan
Dumping (Pembuangan) Limbah B3 jika penanggulangan Pencemaran dan Kerusakan
Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 412 tidak mulai dilakukan dalam jangka
waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam sejak diketahuinya Pencemaran dan
Kerusakan Lingkungan .
Page 5 of 19
INTERNAL MEMO
Pemulihan
Sebagaimana dijelaskan pada sub-bab ini, bentuk tanggung jawab atas Pencemaran dan
Kerusakan Lingkungan dapat dilakukan dengan pemulihan. Berdasarkan Pasal 54 UUPLH jo.
Pasal 410 huruf b PP 22/2021 dan Pasal 411 huruf b PP 22/2021 , setiap Orang yang
menghasilkan Limbah B3, Pengumpul Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah
B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3 serta Dumping Limbah B3 yang
melakukan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan wajib melakukan pemulihan fungsi
lingkungan hidup.
Selanjutnya sebagaimana diatur dalam Pasal 415 PP 22/2021, pelaksanaan pemulihan fungsi
lingkungan hidup pelaksanaan pemulihan fungsi lingkungan hidup dilakukan dengan
tahapan:
a. penghentian sumber pencemaran dan pembersihan zat pencemar, dilakukan dengan cara
paling sedikit meliputi:
identifikasi lokasi, sumber, jenis, zat pencemar, serta besaran pencemaran;
penghentian proses produksi;
penghentian kegiatan pada fasilitas yang terkait dengan sumber Pencemaran
dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup;
tindakan ter tentu untuk meniadakan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan
Hidup dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup pada sumbernya; dan
penyusunan dan penyampaian laporan pelaksanaan penghentian Pencemaran dan
Kerusakan Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup kepada
Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
b. Remediasi, dilakukan dengan cara paling sedikit meliputi:
pemilihan teknologi remediasi;
penyusunan rencana dan pelaksanaan remediasi; dan
penyusunan dan penyampaian laporan pelaksanaan remediasi terhadap
Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
c. Rehabilitasi, dilakukan dengan cara paling sedikit meliputi:
identifikasi lokasi, penyebab, dan besaran kerusakan Lingkungan Hidup;
pemilihan metode rehabilitasi;
penyusunan rencana dan pelaksanaan rehabilitasi; dan
penyusunan dan penyampaian laporan pelaksanaan rehabilitasi terhadap Kerusakan
Lingkungan Hidup kepada Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya.
d. restorasi; dan/atau
identifikasi lokasi, penyebab, dan besaran Kerusakan Lingkungan Hidup;
pemilihan metode restorasi;
Page 6 of 19
INTERNAL MEMO
Selanjutnya dalam Pasal 420 PP 22/2021, Tahapan pemulihan fungsi Lingkungan Hidup
dituangkan dalam dokumen rencana pemulihan fungsi Lingkungan Hidup serta wajib
mendapatkan persetujuan dari MLHK sebelum pelaksanaan pemulihan fungsi Lingkungan
Hidup.
Sama dengan Penanggulanan dalam hal Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai
dengan kewenangannya menetapkan pihak ketiga untuk melakukan pemulihan fungsi
Lingkungan Hidup atas beban biaya etiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul
Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau
Penimbun Limbah B3 serta Dumping Limbah B3 jika pemulihan fungsi Lingkungan Hidup
tidak mulai dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
Penanggulangan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan
Lingkungan Hidup dilakukan.
Oleh karena itu, Baku Mutu Lingkungan Hidup menjadi tolak ukur atau penentuan terjadinya
Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan . Selanjutnya, Baku Mutu Lingkungan Hidup meliputi:
Pasal 20 Ayat (3) UUPLH juga mengatur mengenai kebolehan pelaku usaha untuk membuang
Limbah ke media Lingkungan Hidup selama memenuhi persyaratan yaitu memenuhi Baku
Page 7 of 19
INTERNAL MEMO
Mutu Lingkungan Hidup dan mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah. Adapun mengenai Baku Mutu Lingkungan Hidup diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah. Sebagai contoh untuk Baku Mutu Air Limbah diatur dalam Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Baku Mutu Air Limbah sebagaimana diubah
pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor
P.21/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018 Tahun 2018 serta diubah terakhir dalam Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019
Tahun 2019.
Mengenai Baku Kerusakan dalam UUPH didefinisikan dalam Pasal 1 angka 15 UUPLH yakni
kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia,
dan/atau hayati Lingkungan Hidup yang dapat ditenggang oleh Lingkungan Hidup untuk
dapat tetap melestarikan fungsinya. Sehingga, dapat dibedakan untuk Baku Mutu Lingkungan
Hidup tersebut digunakan sebagai parameter jika terjadi pencemaran lingkungan sedangkan
Baku Kerusakan Lingkungan Hidup digunakan sebagai parameter jika terjadi kerusakan
lingkungan.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 21 Ayat (1) UUPLH, dimana untuk menentukan terjadinya
kerusakan lingkungan hidup, ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria
baku kerusakan akibat perubahan iklim. Kriteria baku kerusakan ekosistem sendiri meliputi
yaitu:
Sama sepertinya dengan Baku Mutu Lingkungan Hidup, Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan
Hidup diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Contohnya kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 Tentang Pengendalian Kerusakan Dan Atau
Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan Atau Lahan.
Adapun terkait dengan kerugian lingkungan hidup berdasarkan Pasal 3 PP 7/2014, akibat
Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup, yang mengatur mengenai kerugian yang
Page 8 of 19
INTERNAL MEMO
timbul akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang bukan merupakan hak
milik privat meliputi:
a. kerugian karena dilampauinya Baku Mutu Lingkungan Hidup sebagai akibat tidak
dilaksanakannya seluruh atau sebagian kewajiban pengolahan air limbah, emisi, dan/atau
pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun;
b. kerugian untuk penggantian biaya pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Lingkungan
Hidup, meliputi biaya: verifikasi lapangan, analisa laboratorium, ahli dan pengawasan
pelaksanaan pembayaran kerugian lingkungan hidup;
c. kerugian untuk pengganti biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup serta pemulihan lingkungan hidup; dan/atau kerugian ekosistem.
Berdasarkan Pasal 76 UUPLH, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menerapkan sanksi
administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan
(berita acara pengawasan dan laporan pengawasan) ditemukan pelanggaran terhadap
Perizinan Berusaha atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
Selanjutnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 508 PP 22/2021, Sanksi Administratif (dalam
bentuk putusan) dapat berupa:
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah:
c. denda administratif;
d. pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau
e. pencabutan Perizinan Berusaha.
Paksaan Pemerintah
Dalam Pasal 511 Ayat (1) PP 22/2021, Sanksi Administratif berupa paksaan pemerintah
diterapkan terhadap penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan yang tidak melaksanakan
perintah dalam teguran tertulis dalam jangka waktu yang telah ditetapkan pada Putusan.
Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran tertulis dalam hal:
Sebagaimana diatur dalam Pasal 511 PP 22/2021, Paksaan pemerintah dapat dilakukan
dalam bentuk:
d. pembongkaran;
h. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan
fungsi Lingkungan Hidup.
Selain hal tersebut, berdasarkan Pasal 512 PP 22/2021, MLHK, gubernur, atau bupati/wali
kota sesuai dengan kewenangannya memaksa penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan
untuk melakukan pemulihan Lingkungan Hidup akibat Pencemaran Lingkungan Hidup
dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya pemulihan
Lingkungan Hidup dapat didelagasikan kepada pihak ketiga dengan catatan dilakukan atas
beban biaya penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan. Setiap penanggung jawab Usaha
dan/atau Kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dapat diterapkan denda
atas keterlambatan pelaksanaan paksaan pemerintah.
Denda Administratif
Sebagaimana diatur dalam Pasal 514 Ayat (1) PP 22/2021, Penanggung jawab Usaha
dan/atau Kegiatan dikenai denda administratif dengan kriteria:
dan tidak mengakibatkan bahaya kesehatan manusia dan/atau luka dan/atau luka berat,
dan/atau matinya orang.
Denda administratif tersebut diterapkan bersamaan dengan paksaan pemerintah (vide Pasal
514 Ayat (3) PP 22/2021). Besaran Denda administratif adalah dalam table sebagai berikut:
Tidak memiliki Persetujuan Pasal 515 PP 22/2021 Sebesar 2,5% dikali nilai
Lingkungan namun telah investasi Usaha dan/atau
memiliki Perizinan Kegiatan.
Berusaha diterapkan paling banyak
Rp3.000.000.000,00.
Tidak memiliki Persetujuan Pasal 516 PP 22/2021 Sebesar 2,5% dikali nilai
Lingkungan dan Perizinan investasi Usaha dan/atau
Berusaha Kegiatan.
diterapkan paling banyak
Rp3.000.000.000,00.
Melebihi Baku Mutu Air Pasal 517 PP 22/2021 Dihitung secara akumulasi
Limbah dan/atau Baku setiap parameter yang
Mutu Emisi dihitung dilampaui baku mutunya
berdasarkan unit beban diterapkan paling banyak
pencemar yang melebihi Rp3.000.000.000,00.
Baku Mutu Air Limbah
dan/atau Baku Mutu Emisi
sumber tidak bergerak.
Page 11 of 19
INTERNAL MEMO
Rp25.000.000,00
Menyusun Amdal tanpa Pasal 519 PP 22/2021 sebesar 10% (sepuluh persen)
sertifikat kompetensi dari biaya penyusunan Amdal.
penyusun Amdal
Page 12 of 19
INTERNAL MEMO
Sebagaimana diatur dalam Pasal 521 PP 22/2021, Pembekuan Perizinan Berusaha diterapkan
terhadap penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan yang:
E. Sanksi Pidana dalam Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup Akibat dari
Pengelolaan Limbah B3
Berdasarkan Pasal 500 PP 22/2021, Dalam hal kesimpulan laporan hasil pengawasan Pelaku
Usaha dinyatakan tidak taat dalam hal ini pengelolaan Limbah B3, Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup memberikan rekomendasi tindak lanjut penegakan hukum yang meliputi:
a. Administratif;
b. Perdata; dan/atau
c. Pidana
Page 13 of 19
INTERNAL MEMO
Berdasarkan Pasal 97 UUPLH, tindak pidana pada pelanggaran dalam UUPLH merupakan
kejahatan. Adapun berdasarkan Pasal 78 UUPLH Sanksi administratif yang diberikan
sebagaimana telah dijelaskan pada sub-bab diatas tidak membebaskan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.
Adapun tindak pidana terkati dengan pelanggaran pengelolaan Limbah B3 adalah sebagai
berikut:
Page 14 of 19
INTERNAL MEMO
h. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan
pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (Pasal 114 UUPLH)
Selain pidana dalam UUPLH terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau
tindakan tata tertib berupa:
F. Tanggung Jawab, Gugatan dan Tenggat Kedaluwarsa Gugatan atas Pencemaran dan
Kerusakan Lingkungan dalam Pengelolaan Limbah B3
UUPLH menganut yang dinamakan dengan Tanggung Jawab Mutlak atau Strict Liability. Hal
tersebut diatur dalam Pasal 88 UUPLH, dimana setiap Orang yang tindakannya, usahanya,
dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola Limbah B3,
dan/atau yang menimbulkan Ancaman Serius terhadap Lingkungan Hidup bertanggung jawab
mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.
Adapun berdasarkan penjelasan Pasal 88 UUPLH terkait dengan Tanggung Jawab Mutlak
adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar
pembayaran ganti rugi. Ketentuan Pasal ini merupakan ketentuan khusus (lex specialis)
dalam gugatan mengenai perbuatan melawan hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti
rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak Lingkungan Hidup menurut
Pasal ini dapat ditetapkan sampai “batas tertentu”. Yang dimaksud dengan “batas tertentu”
adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan
asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana
Lingkungan Hidup.
Adapun dalam KMA 36/2013 bahwa pembuktian sengketa lingkungan hidup dimungkinkan
secara strict liability dalam hal menyangkut limbah B3 yang menyebabkan ancaman serius.
Yang dimaksud ancaman serius adalah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang dampaknya berpotensi tidak dapat dipulihkan kembali dan/atau
komponen-komponen lingkungan hidup yang terkena dampak sangat luas, seperti kesehatan
manusia, air permukaan, air bawah tanah, tanah, udara, tumbuhan, dan hewan.
Sehingga, yang perlu dibuktikan adalah bahwa pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan tergugat yang menggunakan B3 atau
Page 15 of 19
INTERNAL MEMO
Selanjutnya KMA 36/2013 mengatur mengenai beban pembuktian dalam penerapan asas
strict liability yakni dalam sebagai berikut:
a. penggugat tidak perlu membuktikan adanya unsur kesalahan. Tergugat dapat lepas dari
tanggung jawab apabila kerugian atau kerusakan yang terjadi akibat perbuatan
pihak lain;
b. Pembuktian dengan prinsip strict liability harus dimintakan oleh penggugat dan termuat
dalam surat gugat penggugat;
c. Strict Liability bukan pembuktian terbalik. Pembuktian bukan untuk kesalahannya.
Walaupun sudah melakukan semua upaya sesuai peraturan perundang-undangan untuk
mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, tetap harus
bertanggung jawab.
d. Tergugat dapat mengajukan pembelaan dengan membuktikan bahwa:
Tidak menggunakan, menghasilkan B3 atau menimbulkan ancaman yang serius tidak
terbukti
Kerusakan atau pencemaran itu bukan disebabkan oleh aktifitas usaha atau
kegiatannya tetapi disebabkan oleh pihak ketiga atau force majeur (berdasarkan
literatur dan praktek peradilan di negara-negara Common Law).
Adapun pemberlakuan Tanggung Jawab Mutlak diatur juga dalam Pasal 501 PP 22/2021,
dimana Penegakan hukum perdata dalam sengketa lingkungan hidup dapat dilakukan dengan
pembuktian pertanggungjawaban mutlak. Pertanggungjawaban mutlak dapat diberlakukan
kepada penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan yang tindakannya, usahanya, dan/atau
kegiatannya:
a. menggunakan B3;
b. menghasilkan Limbah B3 dan/atau mengelola Limbah B3; dan/atau
c. menimbulkan ancaman serius terhadap Lingkungan Hidup.
Namun, berdasarkan Pasal 501 Ayat (4) PP 22/2021, Tergugat dapat mengajukan pembelaan
dengan pembuktian sama seperti yang sudah dijelaskan dalam KMA 36/2013. Namun, dalam
Pasal 501 Ayat (5) PP 22/2021, Tergugat dapat dibebaskan dari tanggung jawab mutlak, jika
dapat membuktikan bahwa Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan Lingkungan
Hidup disebabkan oleh salah satu alasan sebagai berikut:
Page 16 of 19
INTERNAL MEMO
Dalam hal Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup akibat
perbuatan pihak lain, pihak lain tersebut yang bertanggung jawab atas kerugian yang
ditimbulkan.
Tetapi, perlu diperhatikan bahwa KMA 36/2013 dan UUPLH menerapakan asas atau prinsip
kehati-hatian. Berdasarkan penjelasan Pasal 2 huruf f UUPLH, yang dimaksud dengan “asas
kehati-hatian” adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau
kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan
alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Adapun dalam KMA 36/2013, hakim dalam perkara lingkungan hidup harus menerapkan
menerapkan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup antara lain
prinsip kehati-hatian (precautionary principles) dan melakukan judicial activism. Prinsip
kehati-hatian bersumber dari prinsip 15 Deklarasi Rio yaitu:
”Untuk melindungi lingkungan, prinsip kehati-hatian harus diterapkan di setiap negara sesuai
dengan kemampuan negara yang bersangkutan. Apabila terdapat ancaman kerusakan yang
serius atau tidak dapat dipulihkan, ketiadaan bukti ilmiah tidak dapat dijadikan alasan untuk
menunda upaya-upaya pencegahan penurunan fungsi lingkungan.”
Dalam menerapkan prinsip kehati-hatian ini, maka hakim wajib mempertimbangkan situasi
dan kondisi yang terjadi dan memutuskan apakah pendapat ilmiah didasarkan pada bukti dan
metodologi yang dapat dipercaya dan telah teruji kebenarannya (sah dan valid). Mahkamah
Agung dalam Putusan No. 1479 K/Pid/1989 dalam perkara pencemaran Kali Surabaya,
mendefinisikan bahwa suatu alat bukti dianggap sah apabila proses pengambilannya
dilakukan dalam rangka pro yustisia dengan prosedur acara yang telah ditetapkan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sedangkan alat bukti dianggap valid
apabila proses pengambilan dan pemeriksaannya didasarkan pada metodologi ilmu
pengetahuan yang paling sahih, terbaru, dan diakui oleh para ahli dalam bidang ilmu yang
bersangkutan. Prinsip ini dikenal pula dengan istilah In Dubio Pro Natura, terutama dalam
penerapan untuk perkara perdata dan Tata Usaha Negara di bidang lingkungan hidup.
Bahwa dalam putusan Pengadilan Tinggi Jambi Nomor 64/PDT.G-LH/2020/PT JMB, terdapat
kasus bahwa terjadi kebakaran pada lokasi usaha Tergugat yang melakukan aktivitas usaha
kelapa wasit yang termasuk dan ruang lingkup pengelolaan Limbah B3. Namun, kebakaran
tersebut bukan disebabkan oleh pihak Tergugat melainkan oleh pihak ketiga. Bahwa,
Tergugat dituntut untuk melakukan ganti rugi atas pemulihan atas lokasi usaha yang terbakar
juga lingkungan hidup yang terbakar akibat dari kebakaran tersebut serta pencemaran udara
akibat dari asap dari kebakaran tersebut yang berdampak pada Masyarakat sekitar. Bahwa,
Penggugat menggunakan Pasal 88 UUPLH yang berisi tentang Tanggung Jawab Mutlak
sehingga beban pembuktian dalam penerapan asas strict liability yang tidak perlu
membuktikan adanya unsur kesalahan.
Tetapi, Tergugat melakukan pembelaan bahwa Tergugat dapat lepas dari tanggung jawab
apabila kerugian atau kerusakan yang terjadi akibat perbuatan pihak lain dikarenakan
kebakaran tersebut bukan dilakukan oleh pihak Tergugat melainkan oleh pihak lain. Namun,
Atas putusan Pengadilan Tinggi Jambi ini, Majelis Hakim menerapkan doktrin in dubio pro
natura (doktrin dimana hakim mengalami keragu-raguan mengenai bukti, maka hakim
mengedepankan perlindungan lingkungan dalam putusannya) dan prinsip kehati-hatian,
serta menggunakan beban pembuktian dengan pertanggung jawaban mutlak.
Bahwa, Hakim dalam sidang perkara tersebut memutuskan tetap untuk menghukum Tergugat
untuk mengganti rugi atas pemulihan kerusakan lingkungan akibat dari kebakaran tersebut
atas dasar ketentuan prinsip kehati-hatian pada KMA 36/2013 dan dihubungkan dengan
Pasal 88 UUPLH dan penjelasannya bahwa, jelas Tergugat harus bertanggung jawab secara
penuh walaupun bukan dari Pelaku sumber. Maka seharusnya Tergugat melakukan tindakan-
tindakan pencegahan. Dalam Strict Liability, Tergugat tetap harus bertanggung jawab
walaupun sudah secara optimal menerapkan.
Dalam pertimbangannya Majelis Hakim mendasarkan juga pada PasaI 12 PP 4/2001, yang
berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan, menyatakan bahwa setiap orang
berkewajiban mencegah terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. Selain itu, dalam ketentuan Pasal 13 PP
Page 18 of 19
INTERNAL MEMO
4/2001 menentukan bahwa Setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran
lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan wajib mencegah
terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya. Adapun dalam Pasal 15 PP
4/2001, bahwa Penanggung jawab usaha wajib melakukan pemantauan untuk mencegah
terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya dan melaporkan hasilnya
secara berkala sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali yang dilengkapi dengan data
penginderaan jauh dari satelit kepada Gubernur/ Bupati/Walikota dengan tembusan kepada
instansi teknis dan instansi yang bertanggung jawab.
Namun, hal tersebut berkaitan dengan kebakaran lahan atau hutan, namun bagaimana jika
terjadi pencemaran lingkungan hidup dan kerusahakan lingkungan hidup bukan karena
kebakaran namun bukan akibat dari yang melakukan usaha pengelolaan Limbah B3?. Bahwa
pada dasarnya Pihak yang tidak melakukan kerusakan atau pencemaran lingkungan hidup
dapat melakukan pembelaan bahwa tindakan kerusakan atau pencemaran lingkungan hidup
bukan akibat dari aktifivitas kegiatan usahanya.
Tetapi, tidak menutup kemungkinan jika lingkungan hidup tersebut memang terancam
sehingga pihak lain (walaupun tidak melakukan kerusakan atau pencemaran) dapat
dipertanggungjawabkan jika tidak melakukan langkah-langkah meminimalisasi atau
menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Adapun dalam PP 22/2021 mengatur tentang Sistem Tanggap Darurat dalam Pengelolaan
Limbah B3 terdiri atas:
Page 19 of 19