Anda di halaman 1dari 7

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG TERKAIT

DENGAN FASILITAS RUMAH SAKIT

1. Landasan Perundang-undangan Tentang Bahan Berbahaya dan Beracun.


a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
1) Pasal 22 ayat 1: Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan
hidup wajib memiliki amdal.
2) Pasal 34 ayat 1: Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib amdal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki UKLUPL.
3) Pasal 59 ayat 1: Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan
limbah B3 yang dihasilkannya.
4) Pasal 59 ayat 4: Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
5) Pasal 69 butir f: Setiap orang dilarang membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup.

b. PP No 18 1999 Tentang pengeloaan limbah B3


1) Pasal 9 sd 26:
Pelaku pengelolaan limbah B3 (Penghasil, Pengumpul, Pengangkut, pemanfaat, Pengolah dan
atau penimbun limbah B3) wajib melakukan pengelolaan limbah B3 sesuai ketentuan yang
berlaku.
2) Pasal 40 ayat 1 point a dan b: Setiap badan usaha yang melakukan kegiatan:
a) Penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3
wajib memiliki izin operasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab.
b) Pengangkut limbah B3 wajib memi1iki izin pengangkutan dari Menteri Perhubungan
setelah mendapat rekomendasi dari Kepa1a instansi yang bertanggung jawab.
c) Pemanfaatan limbah B3 sebagai kegiatan utama wajib memiliki izin pemanfaatan dari
instansi yang berwenang memberikan izin pemanfaatan setelah mendapat rekomendasi
dari Kepala instansi yang bertanggung jawab
3) Pasal 43 ayat 1: Untuk kegiatan pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan
limbah B3 sebagai kegiatan utama wajib dibuatkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup
sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
4) Pasal 43 ayat 2: Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup diajukan bersama
dengan permohonan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4) kepada
instansi yang bertanggung jawab.
5) Pasal 45 ayat 1: Kegiatan baru yang menghasilkan limbah B3 yang melakukan pengolahan dan
pemanfaatan limbah B3 yang lokasinya sama dengan kegiatan utamanya, maka analisis
mengenai dampak lingkungan hidup untuk kegiatan pengolahan limbah B3 dibuat secara
terintegrasi dengan analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk kegiatan utamanya.
6) Pasal 45 Ayat 2: Apabila pengolahan limbah B3 dilakukan oleh penghasil dan pemanfaat limbah
B3 di lokasi kegiatan utamanya, maka hanya rencana pengelolaan lingkungan hidup dan
rencana pemantauan lingkungan hidup yang telah disetujui yang diajukan kepada instansi yang
bertanggung jawab bersama dengan permohonan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasa 140.

c. Keputusan Kepala Bapedal No. 2 tahun 1995 tentang Dokumen limbah bahan berbahaya dan
beracun
Pasal 2
Dokumen Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
Dokumen limbah B3 merupakan dokumen yang senantiasa dibawa daritempat asal pengangkutan
limbah B3 ke tempat tujuan. Dokumen diberikan pada waktu penyerahan limbah B3. Dokumen limbah
B3 tersebut meliputi juga dokumen muatan.
Dokumen limbah B3 terdiri dari 7 (tujuh) rangkap apabila pengangkutan hanya satu kali dan apabila
pengangkutan lebih dari satu kali (antar muda), maka dokumen terdiri dari 11 (sebelas) rangkap
dengan perincian sebagai berikut:
a) Lembar asli (pertama) disimpan oleh pengangkut limbah B3 setelah ditandatangani oleh
penghasil, pengumpul, dan pengolah limbah B3 (warna putih);
b) Lembar kedua yang sudah ditandatangani pengangkut limbah B3, oleh penghasil limbah B3 atau
pengumpul dikirim kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (warna kuning);
c) Lembar ketiga yang sudah ditandatangani oleh pengangkut limbah B3 disimpan oleh penghasil
atau pengumpul limbah B3 yang menyerahkan limbah B3 untuk diangkut oleh pengangkut limbah
B3 (warna hijau);
d) Lembar keempat setelah ditandatangani oleh pengumpul atau pengolah limbah B3 oleh
pengangkut diserahkan kepada pengumpul limbah B3 atau pengolah limbah B3 yang menerima
limbah B3 dari pengangkut limbah B3 (warna merah muda);
e) Lembar kelima dikirim kepada Badan Penngendalian Dampak Lingkungan setelah ditandatangani
oleh pengumpul limbah B3 atau pengolah limbah B3 (warna biru);
f) Lembar keenam dikirim oleh pengangkut kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang
bersangkutan, setelah ditandatangani oleh pengumpul limbah B3 atau pengolah limbah B3 (warna
krem);
g) Lembar ketujuh dikirim oleh pengangkut kepada penghasil limbah B3 oleh pengumpul limbah B3
atau pengolah limbah B3, setelah ditandatangani oleh pengumpul limbah B3 atau pengolah
limbah B3 (warna ungu);
h) Lembar kedelapan s/d lembar kesebelas dikirim oleh pengangkut kepada penghasil atau
pengumpul setelah ditandatangani oleh pengangkut terdahulu dan diserahkan kepada
pengangkut berikutnya

d. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 18 tahun 2009 Tentang Cara perizinan pengelolaan Limbah
B3
1) Pasal 6 ayat 1: usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan produk dan/atau produk antara
yang dihasilkan dari suatu usaha dan/atau kegiatan pemanfaatan limbah B3 tidak di wajibkan
memiliki izin
2) Produk dan/atau produk antara sebagaimana dimaksud diatas harus telah memenhi standar
nasional atau standar lain yang telah di akui oleh nasiona maupun internasional.
Keterangan :
Usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan produk dan/atau produk antara yang dihasilkan dari
usaha dan/atau kegiatan pemanfaatan limbah B3 tetap diwajibkan memiliki izin apabila produk
antara tersebut belum atau tidak memenuhi standar Nasional Indonesia (SNI) atau standar lain
yang diakui oleh nasional maupun internasional.

e. Prosedur perizinan pengelolaan limbah B3


Persyaratan pengajuan izin pengelolaan limbah B3 adalah sebagai berikut :
1) Pemohon untuk mengajukan izin pengumpulan limbah B3 skala nasional pengangkutan,
pemanfaatan, pengolahan dan penimbunan limbah B3 mengajukan permohonan dengan mengisi
formulir sesuai dengan lampiran Peraturan Mentei Lingkungan Hidup Nomor 18 tahun 2009
tentang Tata cara perizinan pengelolaan limbah B3.
2) Pemohon untuk mengajukan izin penyimpanan sementara limbah B3, izin pengumpulan limbah
B3 skala provinsi dan kabupaten/kota, dan rekomendasi pengumpullan skala nasional mengisi
formulir sesuai dengan lampiran Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 30 Tahun
2009 tentang tata laksana perizinan dan pengawasan limbah B3 serta pengawasan pemulihan
akibat pencemaran limbah

2. Peraturan Perundang-Undangan tentang Kesiapan menghadapi Bencana.


a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
1) Pasal 1 Ayat 1: Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam
dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis
2) pasal 1 ayat 2: Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus,
banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
3) Pasal 1 ayat 3: Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan
wabah penyakit.
4) Pasal 1 ayat 4: Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antar
komunitas masyarakat, dan teror.
5) Pasal 1 Ayat 5: Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
6) Pasal 1 ayat 10: Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan
segera dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi
korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
7) Pasal 4
Penanggulangan bencana bertujuan untuk:
a) Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana;
b) Menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada;
c) Menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu,
terkoordinasi, dan menyeluruh;
d) Menghargai budaya lokal;
e) Membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta;
f) Mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan; dan
menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
8) Pasal 35
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 huruf a meliputi:
a) Perencanaan penanggulangan bencana;
b) Pengurangan risiko bencana;
c) Pencegahan;
d) Pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
e) Persyaratan analisis risiko bencana;
f) Penegakan rencana tata ruang;
g) Pendidikan dan pelatihan; dan
h) Persyaratan standar teknis penanggulangan bencana
9) Pasal 48 Pasal 48
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 huruf b meliputi:
a) Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya;
b) Penentuan status keadaan darurat bencana;
c) Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana
d) Pemenuhan kebutuhan dasar;
e) Perlindungan terhadap kelompok rentan; dan
f) Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital

b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan


Penanggulangan Bencana
1) Pasal 5 ayat 1: Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi:
a) Perencanaan penanggulangan bencana;
b) Pengurangan risiko bencana;
c) Pencegahan; pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
d) Persyaratan analisis risiko bencana;
e) Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;
f) Pendidikan dan pelatihan; dan
g) Persyaratan standar teknis penanggulangan bencana
2) Pasal 7 ayat 1: Pengurangan risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b
merupakan kegiatan untuk mengurangi ancaman dan kerentanan serta meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana.
3) Pasal 7 ayat 2: Pengurangan risiko bencana dilakukan melalui kegiatan:
a) Pengenalan dan pemantauan risiko bencana;
b) Perencanaan partisipatif penanggulangan bencana;
c) Pengembangan budaya sadar bencana;
d) Peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana; dan
e) Penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana
4) Pasal 14 ayat 1: Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf
g ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kepedulian, kemampuan, dan kesiapsiagaan
masyarakat dalam menghadapi bencana.
5) Pasal 14 Ayat 2 : Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dalam bentuk pendidikan formal,
nonformal, dan informal yang berupa pelatihan dasar, lanjutan, teknis, simulasi, dan gladi.
6) Pasal 21 ayat 1 : Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat
meliputi: pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian, dan sumber
daya;
a) Penentuan status keadaan darurat bencana;
b) Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
c) Pemenuhan kebutuhan dasar;
d) Perlindungan terhadap kelompok rentan; dan
e) Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital
c. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor per.05/men/1996 Tentang sistem manajemen keselamatan
dan kesehatan kerja
1) Pasal 1 ayat 1
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disebut Sistem
Manajemen K3 adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur
organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumberdaya
yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan
kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan
dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif;
2) Pasal 2
Tujuan dan sasaran Sistem Manajemen K3 adalah menciptakan suatu sistem keselamatan dan
kesehatan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, kondisi dan
lingkungan kerja yang terintegrasi dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan
penyakit akibat kerja serta terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.
3) Pasal 3
Setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak seratus orang atau lebih dan
atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan
produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran,
pencemaran dan penyakit akibat kerja wajib menerapkan Sistem Manajemen K3.
Sistem Manajemen K3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh
Pengurus, Pengusaha dan seluruh tenaga kerja sebagai satu kesatuan.

3. Peraturan Perundang-Undangan tentang Penanggulangan kebakaran


a. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan umum Nomor: 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan teknis
pengamanan terhadap bahaya kebakaran Pada bangunan gedung dan lingkungan
1) Pasal 1 ayat 1
Pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan adalah
segala upaya yang menyangkut ketentuan dan persyaratan teknis yang diperlukan dalam
mengatur dan mengendalikan penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung, termasuk
dalam rangka proses perizinan, pelaksanaan dan pemanfaatan/pemeliharaan bangunan
gedung, serta pemeriksaan kelaikan dan keandalan bangunan gedung terhadap bahaya
kebakaran.
2) Pasal 2 ayat 1
Pengaturan pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan
dimaksudkan untuk mewujudkan penyelenggaraan bangunan gedung yang aman terhadap
bahaya kebakaran, mulai dari perencanaan, pelaksanaan pembangunan sampai pada tahap
pemanfaatan sehingga bangunan gedung senantiasa andal dan berkualitas sesuai dengan
fungsinya
3) Pasal 3 ayat 1
Pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan meliputi:
Perencanaan tapak untuk proteksi kebakaran,
a) Sarana penyelamatan,
b) Sistem proteksi pasif,
c) Sistem proteksi aktif,
d) Pengawasan dan pengendalian
b. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor 11/Kpts/2000 Tentang Ketentuan Teknis
Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan
1) Pasal 1 Ayat 1: Manajemen penanggulangan kebakaran di perkotaan adalah segala upaya
yang menyangkut sistem organisasi, personel, sarana dan prasarana, serta tata laksana untuk
mencegah, mengeliminasi serta meminimasi dampak kebakaran di bangunan, lingkungan dan
kota.
2) Pasal 1 ayat 2: Bangunan gedung adalah bangunan yang didirikan dan atau diletakkan dalam
suatu lingkungan sebagian atau seluruhnya pada, di atas, atau di dalam tanah dan/atau
perairan secara tetap yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya.
3) Pasal 2 ayat 1: Pengaturan manajemen penanggulangan kebakaran di perkotaan dimaksudkan
untuk mewujudkan bangunan gedung, lingkungan, dan kota yang aman terhadap bahaya
kebakaran melalui penerapan manajemen penanggulangan bahaya kebakaran yang efektif dan
efisien.
4) Pasal 2 Ayat 2: Pengaturan manajemen penanggulangan kebakaran di perkotaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk terwujudnya kesiapan, kesigapan dan keberdayaan
masyarakat, pengelola bangunan, serta dinas terkait dalam mencegah dan menanggulangi
bahaya kebakaran
c. Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I No.kep.186/men/1999 tentang Unit penanggulangan kebakaran
Ditempat kerja
1) Pasal 1 ayat 3
Penanggulangan kebakaran ialah segala upaya untuk mencegah timbulnya kebakaran dengan
berbagai upaya pengendalian setiap perwujudan energi, pengadaan sarana proteksi kebakaran
dan sarana penyelamatan serta pembentukan organisasi tanggap darurat untuk memberantas
kebakaran
2) Pasal 2 ayat 2
Kewajiban mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran di tempat kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a) Pengendalian setiap bentuk energi;
b) Penyediaan sarana deteksi, alarm, memadamkan kebakaran dan sarana evakuasi;
c) Pengendalian penyebaran asap, panas dan gas;
d) Pembentukan unit penanggulanan kebakaran di tempat kerja
e) Penyelenggaraan latihan dan gladi penanggulangan kebakaran secara berkala;
f) memilki buku rencana penanggulangan keadaan darurat kebakaran, bagi tempat kerja yang
mempekerjakan lebih dari 50 (lima puluh) orang tenaga kerja dan atau tempat yang
berpotensi bahaya kebakaran sedang dan berat.
3) Pasal 4
a) Klasifikasi tingkat potensi bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 terdiri
(a) Klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran ringan;
(b) Klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sedang I
(c) Klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sedang II
(d) Klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sedang III dan;
(e) Klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran berat.
b) Jenis tempat kerja menurut klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sebagaimana
dimaksud ayat (1) seperti tercantum dalam Lampiran I Keputusan Menteri ini.
c) Jenis tempat kerja yang belum termasuk dalam klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan sendiri oleh Menteri atau pejabat yang di
tunjuk
4) Pasal 5
Unit penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 terdiri dari:
a) Petugas peran kebakaran.
b) Regu penanggulangan kebakaran.
c) Koordinator unit penanggulangan kebakaran.
d) Ahli K3 spesialis penanggulangan kebakaran sebagai penanggung jawab teknis.

Anda mungkin juga menyukai