Anda di halaman 1dari 12

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DAN KETENTUAN TENTANG FASILITAS

PANITIA MANAJEMEN FASILITAS DAN KESELAMATAN


RUMAH SAKIT RAMA HADI
TAHUN 2017
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG TERKAIT
DENGAN FASILITAS RUMAH SAKIT

A. Landasan Perundang-undangan Tentang Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)


1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
a. Pasal 22 ayat 1 : Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap
lingkungan hidup wajib memiliki amdal.
b. Pasal 34 ayat 1 : Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria
wajib amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki UKLUPL.
c. Pasal 59 ayat 1 : Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan
pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya.
d. Pasal 59 ayat 4 : Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
e. Pasal 69 butir f : Setiap orang dilarang membuang B3 dan limbah B3 ke media
lingkungan hidup.

2. PP No 18 1999 Tentang pengeloaan limbah B3


a. Pasal 9 sd 26 :
Pelaku pengelolaan limbah B3 (Penghasil, Pengumpul, Pengangkut, pemanfaat,
Pengolah dan atau penimbun limbah B3) wajib melakukan pengelolaan limbah B3
sesuai ketentuan yang berlaku.
b. Pasal 40 ayat 1 point a dan b : Setiap badan usaha yang melakukan kegiatan :
1) penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan
limbah B3 wajib memiliki izin operasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab.
2) pengangkut limbah B3 wajib memi1iki izin pengangkutan dari Menteri
Perhubungan setelah mendapat rekomendasi dari Kepa1a instansi yang
bertanggung jawab.
3) pemanfaatan limbah B3 sebagai kegiatan utama wajib memiliki izin pemanfaatan
dari instansi yang berwenang memberikan izin pemanfaatan setelah mendapat
rekomendasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab
c. pasal 43 ayat 1 : Untuk kegiatan pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau
penimbunan limbah B3 sebagai kegiatan utama wajib dibuatkan analisis mengenai
dampak lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
d. Pasal 43 ayat 2 : Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup diajukan
bersama dengan permohonan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
(4) kepada instansi yang bertanggung jawab.
e. Pasal 45 ayat 1 : Kegiatan baru yang menghasilkan limbah B3 yang melakukan
pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 yang lokasinya sama dengan kegiatan
utamanya, maka analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk kegiatan
pengolahan limbah B3 dibuat secara terintegrasi dengan analisis mengenai dampak
lingkungan hidup untuk kegiatan utamanya
f. Pasal 45 Ayat 2 : Apabila pengolahan limbah B3 dilakukan oleh penghasil dan
pemanfaat limbah B3 di lokasi kegiatan utamanya, maka hanya rencana pengelolaan
lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang telah disetujui yang
diajukan kepada instansi yang bertanggung jawab bersama dengan permohonan izin
operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasa 140.

3. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 18 tahun 2009 Tentang Cara perizinan


pengelolaan Limbah B3
a. Pasal 6 ayat 1 : usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan produk dan/atau produk
antara yang dihasilkan dari suatu usaha dan/atau kegiatan pemanfaatan limbah B3
tidak di wajibkan memiliki izin
b. Produk dan/atau produk antara sebagaimana dimaksud diatas harus telah memenhi
standar nasional atau standar lain yang telah di akui oleh nasiona maupun
internasional.
Keterangan :
Usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan produk dan/atau produk antara yang
dihasilkan dari usaha dan/atau kegiatan pemanfaatan limbah B3 tetap diwajibkan
memiliki izin apabila produk antara tersebut belum atau tidak memenuhi standar
Nasional Indonesia (SNI) atau standar lain yang diakui oleh nasional maupun
internasional.
4. Keputusan Kepala Bapedal No. 2 tahun 1995 tentang Dokumen limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun (B3)
a. Pasal 2
Dokumen Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
Dokumen limbah B3 merupakan dokumen yang senantiasa dibawa daritempat asal
pengangkutan limbah B3 ke tempat tujuan. Dokumendiberikan pada waktu
penyerahan limbah B3. Dokumen limbah B3tersebut meliputi juga dokumen muatan.
Dokumen limbah B3 terdiri dari 7 (tujuh) rangkap apabila pengangkutanhanya satu kali
dan apabila pengangkutan lebih dari satu kali (antarmuda), maka dokumen terdiri dari
11 (sebelas) rangkap dengan perinciansebagai berikut:
1) lembar asli (pertama) disimpan oleh pengangkut limbah B3 setelah ditandatangani
oleh penghasil, pengumpul, dan pengolah limbah B3 (warna putih);
2) lembar kedua yang sudah ditandatangani pengangkut limbah B3, oleh penghasil
limbah B3 atau pengumpul dikirim kepada Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan (warna kuning);
3) lembar ketiga yang sudah ditandatangani oleh pengangkut limbah B3 disimpan
oleh penghasil atau pengumpul limbah B3 yang menyerahkan limbah B3 untuk
diangkut oleh pengangkut limbah B3 (warna hijau);
4) lembar keempat setelah ditandatangani oleh pengumpul atau pengolah limbah B3
oleh pengangkut diserahkan kepada pengumpul limbah B3 atau pengolah limbah
B3 yang menerima limbah B3 dari pengangkut limbah B3 (warna merah muda);
5) lembar kelima dikirim kepada Badan Penngendalian Dampak Lingkungan setelah
ditandatangani oleh pengumpul limbah B3 atau pengolah limbah B3 (warna biru);
6) lembar keenam dikirim oleh pengangkut kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
yang bersangkutan, setelah ditandatangani oleh pengumpul limbah B3 atau
pengolah limbah B3 (warna krem);
7) lembar ketujuh dikirim oleh pengangkut kepada penghasil limbah B3 oleh
pengumpul limbah B3 atau pengolah limbah B3, setelah ditandatangani oleh
pengumpul limbah B3 atau pengolah limbah B3 (warna ungu);
8) lembar kedelapan s/d lembar kesebelas dikirim oleh pengangkut kepada penghasil
atau pengumpul setelah ditandatangani oleh pengangkut terdahulu dan
diserahkan kepada pengangkut berikutnya
5. Prosedur perizinan pengelolaan limbah B3
Persyaratan pengajuan izin pengelolaan limbah B3 adalah sebagai berikut
a. Pemohon untuk mengajukan izin pengumpulan limbah B3 skala nasional
pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan dan penimbunan limbah B3 mengajukan
permohonan dengan mengisi formulir sesuai dengan lampiran Peraturan Mentei
Lingkungan Hidup Nomor 18 tahun 2009 tentang Tata cara perizinan pengelolaan
limbah B3.
b. Pemohon untuk mengajukan izin penyimpanan sementara limbah B3, izin
pengumpulan limbah B3 skala provinsi dan kabupaten/kota, dan rekomendasi
pengumpullan skala nasional mengisi formulir sesuai dengan lampiran Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 30 Tahun 2009 tentang tata laksana
perizinan dan pengawasan limbah B3 serta pengawasan pemulihan akibat pencemaran
limbah

B. Peraturan Perundang-Undangan tentang Kesiapan Menghadapi Bencana


1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana
a. Pasal 1 Ayat 1 : Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis
b. pasal 1 ayat 2 : Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
c. Pasal 1 ayat 3 : Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
d. Pasal 1 ayat 4: Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial
antarkelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
e. Pasal 1 Ayat 5: Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya
yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
f. Pasal 1 ayat 10 : Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan
penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar,
perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan
sarana.
g. Pasal 4
Penanggulangan bencana bertujuan untuk:
1) memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana;
2) menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada;
3) menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu,
terkoordinasi, dan menyeluruh;
4) menghargai budaya lokal;
5) membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta;
6) mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan; dan
menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.

h. Pasal 35
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a meliputi:
1) perencanaan penanggulangan bencana;
2) pengurangan risiko bencana;
3) pencegahan;
4) pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
5) persyaratan analisis risiko bencana;
6) penegakan rencana tata ruang;
7) pendidikan dan pelatihan; dan
8) persyaratan standar teknis penanggulangan bencana
i. pasal 48 Pasal 48
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 huruf b meliputi:
1) pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya;
2) penentuan status keadaan darurat bencana;
3) penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana
4) pemenuhan kebutuhan dasar;
5) perlindungan terhadap kelompok rentan; dan
6) pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang


Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
a. Pasal 5 ayat 1 : Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi
bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi:
1) perencanaan penanggulangan bencana;
2) pengurangan risiko bencana;
3) pencegahan; pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
4) persyaratan analisis risiko bencana;
5) pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;
6) pendidikan dan pelatihan; dan
7) persyaratan standar teknis penanggulangan bencana
b. Pasal 7 ayat 1 : Pengurangan risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b merupakan kegiatan untuk mengurangi ancaman dan kerentanan serta
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana.
c. Pasal 7 ayat 2 : Pengurangan risiko bencana dilakukan melalui kegiatan:
1) pengenalan dan pemantauan risiko bencana;
2) perencanaan partisipatif penanggulangan bencana;
3) pengembangan budaya sadar bencana;
4) peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana; dan
5) penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana
d. Pasal 14 ayat 1 : Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) huruf g ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kepedulian, kemampuan, dan
kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana.
e. Pasal 14 Ayat 2 : Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dalam bentuk pendidikan
formal, nonformal, dan informal yang berupa pelatihan dasar, lanjutan, teknis,
simulasi, dan gladi
f. pasal 21 ayat 1 : Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat
meliputi: pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian, dan
sumber daya;
1) penentuan status keadaan darurat bencana;
2) penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
3) pemenuhan kebutuhan dasar;
4) perlindungan terhadap kelompok rentan; dan
5) pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital

3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor per.05/men/1996 Tentang sistem manajemen


keselamatan dan kesehatan kerja
a. Pasal 1 ayat 1
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disebut
Sistem Manajemen K3 adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang
meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur,
proses dan sumberdaya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan,
pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan
kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna
terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif;
b. Pasal 2
Tujuan dan sasaran Sistem Manajemen K3 adalah menciptakan suatu sistem
keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur
manajemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam
rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta
terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.
c. Pasal 3
Setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak seratus orang atau
lebih dan atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik
proses atau bahan produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja seperti
peledakan, kebakaran, pencemaran dan penyakit akibat kerja wajib menerapkan
Sistem Manajemen K3.
Sistem Manajemen K3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh
Pengurus, Pengusaha dan seluruh tenaga kerja sebagai satu kesatuan

C. Peraturan Perundang-Undangan tentang Penanggulangan kebakaran


1. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan umum Nomor: 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan
teknis pengamanan terhadap bahaya kebakaran Pada bangunan gedung dan lingkungan
a. Pasal 1 ayat 1
Pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan
adalah segala upaya yang menyangkut ketentuan dan persyaratan teknis yang
diperlukan dalam mengatur dan mengendalikan penyelenggaraan pembangunan
bangunan gedung, termasuk dalam rangka proses perizinan, pelaksanaan dan
pemanfaatan/pemeliharaan bangunan gedung, serta pemeriksaan kelaikan dan
keandalan bangunan gedung terhadap bahaya kebakaran
b. Pasal 2 ayat 1
Pengaturan pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan
lingkungan dimaksudkan untuk mewujudkan penyelenggaraan bangunan gedung
yang aman terhadap bahaya kebakaran, mulai dari perencanaan, pelaksanaan
pembangunan sampai pada tahap pemanfaatan sehingga bangunan gedung
senantiasa andal dan berkualitas sesuai dengan fungsinya
c. Pasal 3 ayat 1
Pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan
meliputi: Perencanaan tapak untuk proteksi kebakaran,
1) Sarana penyelamatan,
2) Sistem proteksi pasif,
3) Sistem proteksi aktif,
4) Pengawasan dan pengendalian
2. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor 11/Kpts/2000 TentangKetentuan
Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran Di Perkotaan

a. Pasal 1 Ayat 1 : Manajemen penanggulangan kebakaran di perkotaan adalah segala


upaya yang menyangkut sistem organisasi, personel, sarana dan prasarana, serta tata
laksana untuk mencegah, mengeliminasi serta meminimasi dampak kebakaran di
bangunan, lingkungan dan kota.

b. Pasal 1 ayat 2 : Bangunan gedung adalah bangunan yang didirikan dan atau
diletakkan dalam suatu lingkungan sebagian atau seluruhnya pada, di atas, atau di
dalam tanah dan/atau perairan secara tetap yang berfungsi sebagai tempat manusia
melakukan kegiatannya.

c. Pasal 2 ayat 1 : Pengaturan manajemen penanggulangan kebakaran di perkotaan


dimaksudkan untuk mewujudkan bangunan gedung, lingkungan, dan kota yang aman
terhadap bahaya kebakaran melalui penerapan manajemen penanggulangan bahaya
kebakaran yang efektif dan efisien.

d. Pasal 2 Ayat 2 : Pengaturan manajemen penanggulangan kebakaran di perkotaan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk terwujudnya kesiapan,
kesigapan dan keberdayaan masyarakat, pengelola bangunan, serta dinas terkait
dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran

3. Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I No.kep.186/men/1999 tentang Unit


penanggulangan kebakaran Ditempat kerja
a. Pasal 1 ayat 3
Penanggulangan kebakaran ialah segala upaya untuk mencegah timbulnya kebakaran
dengan berbagai upaya pengendalian setiap perwujudan energi, pengadaan sarana
proteksi kebakaran dan sarana penyelamatan serta pembentukan organisasi tanggap
darurat untuk memberantas kebakaran
b. Pasal 2 ayat 2
Kewajiban mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran di tempat kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
1) Pengendalian setiap bentuk energi;
2) penyediaan sarana deteksi, alarm, memadamkan kebakaran dan sarana evakuasi;
3) pengendalian penyebaran asap, panas dan gas;
4) pembentukan unit penanggulanan kebakaran di tempat kerja
5) penyelenggaraan latihan dan gladi penanggulangan kebakaran secara berkala;
6) memilki buku rencana penanggulangan keadaan darurat kebakaran, bagi tempat
kerja yang mempekerjakan lebih dari 50 (lima puluh) orang tenaga kerja dan atau
tempat yang berpotensi bahaya kebakaran sedang dan berat.
c. Pasal 4
1) Klasifikasi tingkat potensi bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 3
terdiri
(a) klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran ringan;
(b) klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sedang I
(c) klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sedang II
(d) klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sedang III dan;
(e) klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran berat.
2) Jenis tempat kerja menurut klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran
sebagaimana dimaksud ayat (1) seperti tercantum dalam Lampiran I Keputusan
Menteri ini.
3) Jenis tempat kerja yang belum termasuk dalam klasifikasi tingkat resiko bahaya
kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan sendiri oleh Menteri
atau pejabat yang di tunjuk
d. Pasal 5
Unit penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 terdiri dari:
1) Petugas peran kebakaran;
2) Regu penanggulangan kebakaran;
3) Koordinator unit penanggulangan kebakaran;
4) Ahli K3 spesialis penanggulangan kebakaran sebagai penanggung jawab teknis.
D. Peraturan Perundang-Undangan tentang penggunaan APAR
1. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No : PER.04/MEN/1980 tentang
Syarat – syarat Pemeliharaan Alat Pemadam Api Ringan.
a. Pasal 4 Ayat 1 - 5
1) Setiap satu atau kelompok alat pemadam api ringan harus ditempatkan pada posisi
yang mudah dilihat dengan jelas, mudah dicapai dan diambil serta dilengkapi
dengan pemberian tanda pemasangan.
2) Pemberian tanda pemasangan tersebut ayat (1) harus sesuai dengan lampiran I.
3) Tinggi pemberian tanda pemasangan tersebut ayat (1) adalah 125 cm dari dasar
lantai tepat diatas satu atau kelompok alat pemadam api ringan bersangkutan.
4) Pemasangan dan penempatan alat pemadam api ringan harus sesuai dengan jenis
dan penggolongan kebakaran seperti tersebut dalam lampiran 2.
5) Penempatan tersebut ayat (1) antara alat pemadam api yang satu dengan lainnya
atau kelompok satu dengan lainnya tidak boleh melebihi 15 meter, kecuali
ditetapkan lain oleh pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.
6) Semua tabung alat pemdam api ringan sebaliknya berwarna merah.
b. Pasal 8
Pemasangan alat pemdam api ringan harus sedemikian rupa sehingga bagian paling
atas (puncaknya) berada pada ketinggian 1,2 m dari permukaan lantai kecuali jenis CO2
dan tepung kering (dry chemical) dapat ditempatkan lebih rendah dengan syarat, jarak
antara dasar alat pemadam api ringan tidak kurang 15 cm dan permukaan lantai.
c. Pasal 11 Ayat 1 – 5
1) Setiap alat pemadam api harus diperiksa 2 (dua) kali dalam setahun, yaitu:
a. Pemeriksaan dalam jangka 6 (enam) bulan;
b. Pemeriksaan dalam jangka 12 (dua belas) bulan;
2) Cacat pada alat pelengkap pemadam api ringan yang ditemui waktu pemeriksaan,
harus segera diperbaiki atau alat tersebut segera diganti dengan yang tidak cacat.

Purwakata, 02 September 2017


Mengetahui Menyutujui
Manajer Rumah Tangga Direktur

Andri Romdhoni dr. Novi Christina Indrajaya

Anda mungkin juga menyukai