Anda di halaman 1dari 18

1

“IMPLEMENTASI PASAL 29 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 8


TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERKAIT
PRAKTIK TUKANG GIGI YANG MELAKUKAN TINDAKAN DI LUAR
PEKERJAANNYA”

Diajukan Untuk Memenuhi Mata Kuliah Metode Penulisan Hukum Kelas I

Oleh :

Ananta Rafi Maulana (185010100111117)

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS HUKUM

MALANG

2020
2

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan dunia teknologi yang demikian pesat tentu
akan membawa dampak pada perkembangan ilmu pengetahuan, salah
satunya dalam bidang kesehatan. Kesehatan merupakan salah satu aspek
yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintah sebagai
pemangku kepentingan dalam pelaksanaanya berusaha meningkatkan
kesehatan masyarakat karena pada faktanya setiap warga negara berhak
memperoleh kesehatan setinggi-tingginya.1 Pengaturan mengenai hak warga
negara untuk dapat hidup secara sehat serta mendapatkan pelayanan
kesehatan yang bermutu telah diatur dalam Pasal 28 H Ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut
UUD NRI Tahun 1945).
Dalam Pasal 5 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan (selanjutnya disebut Undang-Undang Kesehatan)
menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, terjangkau dan setiap orang juga
berhak secara mandiri dan bertanggungjawab menentukan sendiri pelayanan
kesehatan yang diperlukan oleh dirinya.2 Dalam Pasal 48 Undang-Undang
Kesehatan juga diuraikan bahwa salah satu dari tujuh belas upaya kesehatan
komprehensif diantaranya terdapat pelayanan kesehatan tradisional.
Pasal 1 Ayat (1) Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang
Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan pengobatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan
dengan cara, obat dan pengobatnya yang mengacu kepada pengalaman,
keterampilan turun temurun, dan/atau pendidikan/pelatihan, dan diterapkan
sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.3 Tukang gigi
merupakan salah satu pengobatan tradisional yang menjadi alternatif bagi

1 Aziz, Musfirah Abudl, 2010, Pemasangan behel Oleh Bukan Dokter Gigi Ancam

Keselamatan Masyarakat, http://www.dentalmedia.com, (15 September 2019)

2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

3 Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional


3

masyarakat guna mendapatkan pelayanan keseharan gigi yang lebih


terjangkau.
Pada hakikatnya profesi tukang gigi dan dokter gigi memiliki perbedaan
dimana tukang gigi hanya mempelajari mengenai pembuatan gigi tiruan tanpa
mempertimbangakan hal-hal lain, sedangkan dokter gigi mempelajari semua
bagian mengenai gigi dan ronggga mulut serta hubungannya dengan organ
diluar mulut termasuk jaringan-jaringan penyangga gigi. Kewenangan tukang
gigi sebagaimana diatur dalam perundang-undangan hanya meliputi
pembuatan gigi namun pada kenyataanya banyak tukang gigi yang melakukan
pekerjaan melebihi kewenangannya dan justru bertindak seperti dokter.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Malang pada tahun 2015 jumlah
dokter gigi di Kota Malang mencapai 100 orang. Jumlah penduduk Kota
Malang sebanyak 881.798 jiwa, maka rasio jumlah dokter gigi dibanding
jumlah penduduk adalah 1:8818 jiwa. Pada indikator Indonesia sehat 2010
dinyatakan bahwa setiap dokter gigi seharusnya dapat melayani sekitar
10.000 pasien. Dari jumlah rasio dokter gigi dibanding penduduk di atas dapat
disimpulkan bahwa masyarakat sudah cukup memiliki dokter gigi, sehingga
minat masyarakat terhadap tukang gigi juga ikut turun mengingat resikonya
yang cukup besar. Namun pada kenyataanya jumlah masyarakat yang
memanfaatkan pelayanan kesehatan tukang gigi terhitung masih tinggi.
Pada awalnya sebelum ada lembaga kedokteran gigi di Indonesia,
kebutuhan tenaga kesehatan gigi didatangkan langsung dari Belanda. Namun
pada kala itu, dokter gigi yang mau bekerja di Indonesia jumlahnya cukup
terbatas dan sebagian besar hanya melayani golongan belanda yang
bertempat tinggal di Indonesia. Karena keterbatasan yang ada, maka
golongan pribumi yang menderita penyakit gigi menggunakan jasa dukun,
tukang gigi, atau tabib dengan pengobatan tradisional dan sebagian golongan
pribumi lainnya membiarkan penyakit yang diderita sembuh dengan
sendirinya. Sehingga keberadaan dukun gigi cukup menguasai pasar pada
berbagai daerah di kala itu. Pada tahun 1952, Dr. Moestopo mengelola sebuah
kursus tukang gigi yang dinamakan Kursus Kesehatan Gigi Dr. Moestopo
dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan serta keterampilan tukang
gigi di seluruh Indonesia yang jumlahnya pada kala itu mecapai 2.000 orang.
Kemudian pada Tahun 1957, Dr. Moestopo mendirikan kursus bernama ‘Kursus
4

Tukang Gigi Intelek’ dan sepulang dari Amerika pada tahun 1958 ia
mendirikan ‘Dental College Dr. Moestopo’. Dental College yang didirikan
Dr. Moestopo akhirnya mendapat pengakuan resmi dari Departemen
Kesehatan dan mendapatkan pujian khusus dari Presiden Republik Indonesia
Ir. Soekarno.
Keberadaan tukang gigi mendapat pengakuan secara yuridis sejak
dikeluarkanya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52/DPK/I/K/1969 tentang
Pendaftaran dan Pemberian Izin Menjalankan Pekerjaan Tukang Gigi
(selanjutnya disebut Permenkes Nomor 53 Tahun 1969) dan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi
(selanjutnya disebut Permenkes Nomor 339 Tahun 1989). Berdasarkan
Permenkes Nomor 339 Tahun 1989 yang dapat dikategorikan sebagai tukang
gigi ialah mereka yang melakukan pekerjaan di bidang penyembuhan dan
pemulihan kesehatan gigi yang tidak mempunyai pendidikan berdasarkan ilmu
pengetahuan kedokteran gigi serta tidak memiliki izin Menteri Kesehatan
untuk melakukan pekerjaanya.
Kewenangan tukang gigi diatur dalam dalam Permenkes Nomor 339
Tahun 1989, meliputi pembuatan gigi tiruan lepasan dari akrilik sebagian atau
penuh serta pemasangan gigi tiruan lepasan. Selain itu, juga diatur mengenai
larangan tukang gigi diantaranya penambalan gigi dengan tambalan apapun,
pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat atau mahkota atau tumpatan
tuang dan sejenisnya, penggunaan obat-obatan pada gigi (sementara/tetap),
melakukan pencabutan gigi baik dengan suntikan maupun tanpa suntikan
serta melakukan tindakan-tindakan secara medis termasuk pemberian obat-
obatan.
Kemudian pada tahun 2004, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (selanjutnya disebut Undang-undang
Praktik Kedokteran) menyebabkan tukang gigi tidak bisa menjalankan
praktiknya dan apabila tukang gigi tersebut tetap bersikeras menjalankan
praktik maka terancam sanksi pidana karena hal tersebut bertentangan
dengan Pasal 73 Ayat (2) dan Pasal 78 Undang-Undang Praktik Kedokteran.
Pasal 73 Ayat (2) berbunyi sebagai berikut:

“Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan
5

seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang


telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.”4

Pasal tersebut kemudian dipertegas dengan pemberian sanksi pidana


pada Pasal 78 Undang-Undang Praktik Kedokteran yang berbunyi:

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau


cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang
menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau
dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat
tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah).”5

Pada tahun 2011, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Peraturan


Menteri Kesehatan Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011 Tentang Pencabutan
Permenkes Nomor 339 Tahun 1989 (selanjutnya disebut Permenkes Nomor
1871 Tahun 2011) yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kelalaian
tukang gigi. Dengan dikeluarkannya Permenkes Nomor 1871 Tahun 2011,
keberadaan profesi tukang gigi menjadi terancam karena di dalamnya tidak
mengatur mengenai pemberian izin baru bagi tukang gigi. Begitu pula dengan
tukang gigi yang sudah memiliki izin praktik sebelum dikeluarkannya
Permenkes Nomor 1871 Tahun 2011, mereka juga tidak dapat
memperpanjang izin praktiknya.
Sehingga dengan dicabutnya Permenkes Nomor 339 Tahun 1989
menjadikan profesi tukang gigi menjadi profesi yang tidak legal dan
menyebabkan masyarakat yang berprofesi sebagai tukang gigi kehilangan
mata pencahariannya. Akhirnya pada tahun 2012, H. Hamdani seorang tukang
gigi yang berdomisili di Jakarta Barat mengajukan permohonan uji materiil
Undang-Undang Praktik Kedokteran terhadap UUD NRI 1945 di Mahkamah
Konstitusi. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-X/2012,
tukang gigi dinyatakan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Kesehatan
apabila tukang gigi bekerja atas izin dari Pemerintah, sebagamaina praktik

4
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

5 ibid
6

tukang gigi termasuk dalam klasifikasi pengobatan tradisional. Maka tukang


gigi yang telah memiliki izin praktik diperbolehkan kembali menjalankan
profesinya sesuai aturan yang berlaku.
Kemudian pada tahun 2014, Menteri Kesehatan melakukan pencabutan
atas Permenkes Nomor 1871 Tahun 2011 dengan adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 40/PUU-X-2012 dan mengeluarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan
Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi (selanjutnya disebut Permenkes Nomor 39
Tahun 2014). Permenkes Nomor 39 Tahun 2014 dikeluarkan dengan
pertimbangan dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat
yang menggunakan jasa tukang gigi, maka dari itu tukang gigi perlu
mendapatkan pembinaan, pengawasan dan mempunyai izin pemerintah dalam
menjalankan pekerjaanya agar tidak membawa dampak buruk bagi kesehatan
masyarakat.
Pengaturan mengenai pekerjaan yang boleh dijalankan oleh tukang gigi
diatur dalam Pasal 6 Ayat (2) Permenkes Nomor 39 Tahun 2014, sebagai
berikut:

“Membuat gigi tiruan lepasan sebagian dan/atau penuh yang terbuat


dari bahan heat curing acrylic yang memenuhi ketentuan persyaratan
kesehatan; dan memasang gigi tiruan lepasan sebagian dan/atau penuh
yang terbuat dari bahan heat curing acrylic dengan tidak menutupi sisa
akar gigi.”6

Kemudian pada Pasal 9 Permenkes Nomor 39 Tahun 2014 diatur


mengenai hal-hal yang dilarang dilakukan oleh tukang gigi, meliputi:
1. melakukan pekerjaan selain kewenangan yang diatur dalam Pasal 6
ayat (2);
2. mewakilkan pekerjaannya kepada orang lain;
3. melakukan promosi yang mencantumkan pekerjaan selain yang
diatur dalam Pasal 6 ayat (2); dan
4. melakukan pekerjaan secara berpindah-pindah.7

6
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan
Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi

7 Ibid
7

Walaupun sudah diatur dengan sedemikian rupa dalam Permenkes Nomor


39 Tahun 2014 mengenai pekerjaan apa saja yang seharusnya boleh
dijalankan oleh tukang gigi, namun sebagian besar dari masyarakat kita masih
awam terhadap hal tersebut. Tidak jarang ditemukan masyarakat yang
menjadi korban tukang gigi mulai dari timbul infeksi berat, pembengkakan
wajah, gusi bengkak dan memerah, tidak bisa membuka mulut bahkan hingga
kanker mulut.
Dalam menjalankan pekerjannya dengan menyediakan jasa kepada
masyarakat sebagai konsumen, maka tukang gigi dapat dikategorikan ke
dalam pelaku usaha sebagai penyedia jasa (penyelenggara usaha). Dimana
pelaku usaha dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan
Konsumen) dapat diartikan sebagai berikut:

“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau bada usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.” 8

Terdapat hubungan timbal balik diantara tukang gigi dengan


konsumennya. Dimana tukang gigi sebagai pelaku usaha membutuhkan
konsumen untuk menggunakan jasa yang dapat dikerjakan olehnya untuk
memperoleh laba dan konsumen membutuhkan gigi untuk memenuhi
kebutuhannya. Pengertian konsumen yang diatur dalam Pasal 1 Ayat 2
Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut:

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang


tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk di
perdagangkan.”9

8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

9 Ibid
8

Pada saat konsumen melakukan persetujuan dengan tukang gigi untuk


menggunakan jasanya maka dibentuk sebuah kesepakatan. Sayangnya
seringkali terdapat ketidaksesuaian antara kesepakatan dengan realita,
dimana konsumen menjadi pihak yang dirugikan atas jasa yang diterima
olehnya. Posisi konsumen menjadi lemah dikarenakan konsumen hanya
menerima dan menikmati barang dan/jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha,
dimana pelaku usaha memiliki keleluasaan untuk menentukan segala macam
kepentingannya sedangkan konsumen terbatas jangkauan pengetahuannya
atas informasi tentang sifat dan mutu jasa yang diterimanya.10 Salah satu
contoh kesalahan yang dilakukan oleh tukang gigi yaitu dimana ia melakukan
pencabutan gigi pada konsumen. Konsumen mencabut giginya ditujukan
untuk selanjutnya dipasang gigi tiruan pada tukang gigi, namun setelah gigi
dicabut oleh tukang gigi dapat terjadi pendarahan yang tak berhenti pada
gusinya hingga akhirnya konsumen dilarikan ke Rumah Sakit untuk
mendapatkan pengobatan lebih lanjut. Kesalahan dalam pekerjaan tukang gigi
dapat menyebabkan kerusakan dalam gigi dan jaringan sekitar rongga mulut,
serta bisa menyebabkan penyebaran infeksi di sekitar gigi dan rongga mulut.11
Dari contoh kasus diatas jelas membuktikan bahwa hal yang dilakukan oleh
tukang gigi tersebut telah menyalahi hak konsumen untuk mendapatkan
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan sebagaimana yang diatur dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Dalam Pasal 29 Ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur
mengenai sikap pemerintah dimana ia bertanggung jawab atas pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak
konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan
pelaku usaha. Sanksi administratif dijatuhkan bagi pelaku usaha yang
menyalahi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 60 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) oleh Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK). Selain itu, praktik tukang gigi yang bertentangan dengan
10 Susanto, Happy, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan , Visimedia, Jakarta, 2008, hlm 30.

11 Sitohang,Santi Magdalena dkk, Tanggung Jawab Tukang Gigi Terhadap Konsumen


Penerima Layanan Pemasangan Kawat Gigi (Behel) Berdasarkan Undang- Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Di Kota Bengkulu, Bengkulu,
Universitas Bengkulu, 2014, hlm 45
9

Permenkes Nomor 39 Tahun 2014 juga dapat dikategorikan sebagai perbuatan


melanggar hukum secara normatif berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPer) yang menyatakan
bahwa “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
itu, mengganti kerugian tersebut”.12 Setiap warga negara yang mengetahui
atau mengalami sendiri kerugian tersebut maka dapat melapor kepada
penegak hukum untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Dimana hal tersebut berhubungan dengan ketentuan dalam Pasal 1366
KUHPer yang tertulis bahwa “tiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk
kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan kelalaian atau kurang hati-hati”.13
Praktik tukang gigi yang dilakukan diluar kewenangan yang seharusnya,
juga mendapat kontra oleh beberapa organisasi profesi diantaranya Persatuan
Dokter Gigi Indonesia (PDGI) dan Persatuan Perawat Gigi Indonesia (PPGI).
Menurut pendapat salah satu perwakilan PDGI, Zaura Rini Anggraeni, akan
banyak efek samping jika memaksakan diri berobat ke tukang gigi. Selain
keamanan di rongga mulut, keselamatan pasien juga terabaikan dengan tidak
adanya pengendalian infeksi atau penularan penyakit.14 Namun banyaknya
jumlah masyarakat yang masih memanfaatkan pelayanan kesehatan non
medis seperti tukang gigi tentu disebabkan oleh beberapa faktor. Misalnya
faktor ekonomi, dimana harga jual jasa tukang gigi yang harganya relatif
rendah dibanding dengan harga jasa tukang gigi. Selain itu, faktor lamanya
proses pengerjaan tukang gigi yang relatif lebih cepat atau dapat dibilang
instan dan juga faktor lain dimana masyarakat masih awam mengenai
kewenangan tukang gigi yang seharusnya berdasarkan Permenkes Nomor 39
Tahun 2014.
Dengan melakukan peninjauan lebih lanjut, dalam kenyataannya tidak
jarang ditemui warga Kota Malang yang masih mempercayakan pemasangan
kawat gigi pada tukang gigi yang tidak memiliki izin resmi atau dalam kata lain

12 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

13 Ibid.

14 IndahWulandari, 2012, https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/03/18/m12ye8-


pdgi-pergi-ke-tukang-gigi-bukan-alternatif-yang-baik, (15 September 2019)
10

illegal. Kerap ditemukan para Tukang Gigi di Kota Malang masih melakukan
praktik pemasangan kawat gigi dikarenakan tidak adanya keseimbangan
antara peraturan, penegak hukum, sarana atau fasilitas dengan kebutuhan
masyarakat akan kesehatan gigi dan mulut yang tinggi khususnya
pemasangan kawat gigi, yang mana tindakan tersebut dapat membahayakan
konsumen dengan timbulnya penyakit gigi dan mulut bagi mereka. Sehingga
apabila tindakan illegal tersebut dikaitkan dengan peraturan perundang-
undangan yang ada, dapat dikatakan melanggar ketentuan dalam Pasal 29
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen Terkait Praktik Tukang Gigi yang Melakukan Tindakan di Luar
Pekerjaannya
Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk
meneliti lebih dalam mengenai penerapan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Terkait Praktik Tukang
Gigi yang Melakukan Tindakan di Luar Pekerjaannya terhadap adanya praktik
pemasangan kawat gigi oleh tukang gigi serta hambatan apa saja yang timbul
dalam pelaksanaan pasal tersebut. Adapun judul penelitian ini ialah
“Implementasi Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen Terkait Praktik Tukang Gigi yang Melakukan
Tindakan di Luar Pekerjaannya”

2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana implementasi Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen oleh Dinas Kesehatan Kota
Malang terkait praktik tukang gigi yang melakukan tindakan diluar
pekerjaannya?
2. Apa hambatan Dinas Kesehatan Kota Malang dalam implementasi Pasal 29
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen oleh Dinas Kesehatan Kota Malang terkait praktik tukang gigi
yang melakukan tindakan diluar pekerjaannya?

3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui, mengkaji, dan menganalisis implementasi Pasal 29
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
11

Konsumen oleh Dinas Kesehatan Kota Malang terkait praktik tukang gigi
yang melakukan tindakan diluar kewenangannya.
2. Untuk mengetahui, mengkaji, dan menganalisis ahambatan Dinas
Kesehatan Kota Malang dalam implementasi Pasal 29 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen oleh Dinas
Kesehatan Kota Malang terkait praktik tukang gigi yang melakukan
tindakan diluar kewenangannya.

4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian dan pembahasan pada penulisan ini diharapkan dapat
memiliki manfaat sebagai barikut:
1. Manfaat Teoritis:
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum kesehatan pada umumnya serta
mengenai perlindungan konsumen penerima jasa kesehatan pada
khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur
dalam dunia kepustakaan tentang pertanggungjawaban hukum di
bidang pelayanan kesehatan.
c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-
penilitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis:
a. Bagi aparat penegak hukum, hasil penelitian ini diharapkan dapat
digunakan sebagai bahan acuan atau informasi dalam penyelesaian
sengketa akibat profesi yang dikerjakan oleh tukang gigi.
b. Bagi pembuat kebijakan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
masukan dalam pembentukan perundang-undangan khususnya
mengenai perlindungan konsumen serta pertanggungjawab tukang gigi
baik dalam Peraturan Menteri Kesehatan maupun Undang-Undang
Kesehatan.
c. Bagi tukang gigi, hasil penelitian ini diharapkan dapat mengetahui dan
mematuhi kewenangan dan risiko pekerjaanya
s e r t a pertanggungjawaban atas jasa yang ia berikan kepada
konsumen.
12

d. Bagi konsumen, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi


pertimbangan bagi konsumen dalam memilih pelayan kesehatan
khususnya di bidang kesehatan gigi dan mulut agar mendapatkan
pelayanan kesehatan yang baik, layak serta tidak membahayakan.

5. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian dibutuhkan adanya suatu metode penelitian
untuk menawab permasalahan yang ada. Adapun metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi :
a. Jenis Penelitian
Menurut Morris L. Cohen, definisi penelitian hukum adalah:

“…Legal research is the process of finding the law that governs


activities in human society, it involves locating both the rules
which are enforced by the states and commentaries which explain
or analyze these rule”15

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis


empiris. Penelitian hukum yuridis empiris adalah suatu metode penelitian
hukum yang melihat hukum dalam kenyataan serta meneliti bagaimana
bekerjanya hukum di suatu lingkungan masyarakat. Atau dengan kata lain
yaitu suatu penelitian yang dilakukan teradap keadaan sebenarnya atau
keadaan nyata yang terjadi di masyarakat dengan maksud untuk
mengetahui dan menemukan sejumlah fakta serta data yang dibutuhkan,
setelah data yang dibutuhkan terkumpul kemudian dilanjutkan dengan
identifikasi masalah yang pada akhirnya menuju pada penyelesaian
masalah.16 Sehingga dapat disimpulkan bahwa penelitian hukum yuridis
empiris dilakukan dengan melihat perilaku nyata (in acton) setiap warga
akibat keberlakuan hukum normatif dimana memfokuskan pada perilaku
yang dianut dan/atau berkembang dalam masyarakat.
Berdasarkan pendapat Soetandyo Wignyosoebroto penelitian hukum
yuridis empiris dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:

15 Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenadamedia Group, Jakarta, 2001, hlm. 58 .

16 Waluyo, Bambang, Prosedur Hukum Dalam Praktik, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 126.
13

Identifikasi hukum tidak tertulis, dalam hal ini ruang lingkup penelitian ini
adalah norma hukum adat yang berlaku dalam masyarakat dan norma
hukum yang tidak tertulis lainnya;
Efektivitas hukum, merupakan kajian penelitian yang meliputi pengetahuan
masyarakat, kesadaran masyarakat dan penerapan hukum dalam
masyarakat.
Pada penelitian hukum yuridis empiris kajiannya dilakukan dengan
melihat hubungan antara peneliti dengan objek yang ditelii dengan
menggunakan relasi subjek-objek serta dilandasi perspektif eksternal,
sehingga peneliti bersikap sebagai observer/pengamat. Hal ini yang
membedakan dengan penelitian hukum yuridis normatif dimana
penelitiannya menggunakan relasi subjek-subjek serta dilandasi perspektif
internal yang hasilnya merupakan pengetahuan inter-subyektif.17

b. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian dengan pendekatan
yuridis-sosiologis (social legal approach). Dalam pendekatan yuridis-
sosiologis dilakukan pengidentifikasian dan pengonsepsian terhadap hukum
sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional dalam sistem kehidupan.
Pendekatan yuridis sosiologis ini dimaksudkan sebagai penerapan dan
pengkajian hubungan aspek hukum dengan aspek non hukum dalam
bekerjanya hukum di masyarakat.
Yang mana dalam penelitian ini dilakukan penerapan dan pengkajian
hubungan aspek hukum dengan aspek non-hukum dalam implementasi
bekerjanya Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen terkait praktik tukang gigi yang melakukan
tindakan di luar pekerjaannya dalam masyarakat, khususnya pelaku usaha
tukang gigi.

c. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung

17 Brotosusilo, Agus, Pergulatan Ideologis Dalam Metodologi Kajian Hukum, FH UI, Jakarta,
2005, hlm. 1.
14

melalui wawancara dengan narasumber dan observasi yang terdiri dari


kegiatan melihat, mendengar, dan bertanya yang dilakukan secara sadar,
terarah yang bertujuan untuk memperoleh informasi yang diperlukan, yang
diperoleh secara langsung baik dari narasumber maupun responden.
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen
resmi, buku-buku dan hasil penelitian yang berfungsi sebagai data
pelengkap serta pendukung data primer.18 Data sekunder dalam penelitian
ini dapat dibedakan menjadi:
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat terhadap masyarakat yang terdiri dari perundang-undangan,
catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan
dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer yang digunakan dalam
penelitian ini berupa peraturan perundang-undangan diantaranya:
1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
4) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
5) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52/DPK/I/K/1969 tentang
Pendaftaran dan Pemberian Izin Menjalankan Pekerjaan Tukang Gigi
6) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989
tentang Pekerjaan Tukang Gigi
7) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014 tentang
Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi
8) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
9) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya
buku-buku hukum, skripsi, makalah, jurnal hukum serta data dari internet.
Adapun bahan hukum sekunder meliputi:
1) Literatur-literatur hukum, khususnya mengenai hukum perlindungan
konsumen.

18
Anshari, Tampil, Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, Pustaka Bangsa Press,
Medan, 2009, hlm. 30
15

2) Skripsi, yang membahas mengenai hukum perlindungan konsumen


terkait pertanggungjawaban pekerjaan tukang gigi diluar
kewenangannya.
3) Artikel internet, yang membahas mengenai hukum perlindungan
konsumen terkait pertanggungjawaban pekerjaan tukang gigi diluar
kewenangannya.

d. Teknik Pengumpulan Data


Teknik Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
Wawancara
Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang
berlangsung secara lisan dimana dua orang atau lebih bertatap muka
mendengarkan secara langsung sejumlah informasi serta keterangan-
keterangan yang diutarakan oleh informan.19 Wawancara yang dilakukan
dalam penelitian ini dilakukan secara bebas terbuka dengan menggunakan
daftar pertanyaan (questionair) yang telah disiapkan sebagai pedoman
wawancara (interview guide) sesuai dengan permasalahan yang akan
diteliti tanpa menutup kemungkinan untuk menambah pertanyaan lain
diluar daftar pertanyaan yang telah disiapkan sehubungan dengan jawaban
yang diberikan oleh narasumber.
Narasumber dalam penelitian ini adalah Kepala Dinas Kesehatan
Kota Malang, sedangkan yang menjadi responden dalam penelitian ini
meliputi:
Tukang gigi di Kota Malang yang terdiri dari tukang gigi yang memiliki izin
maupun yang tidak memiliki izin.
Konsumen tukang gigi di Kota Malang yang terdiri dari konsumen tukang
gigi yang memiliki izin serta konsumen tukang gigi yang tidak memiliki izin.

Studi Kepustakaan (Library Research)


Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dengan studi
dokumentasi yang dilakukan melalui proses pengumpulan data dengan
membaca, memahami, dan mengutip, merangkum, dan membuat catatan-

19 Narbuko, Cholid, Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta, 2001, hlm. 81
16

catatan serta menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan


dengan hukum perlindungan konsumen serta hukum kesehatan. Bahan
hukum didapatkan dari Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya serta Perpustakaan Pusat Brawijaya.

e. Populasi dan Sampling


Sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
Non Random Sampling yaitu teknik Purposive Sampling. Purposive
Sampling adalah teknik pengambilan sampel yang didasarkan pada tujuan
tertentu.20 Sampel yang ditentukan dalam penelitian ini meliputi tukang gigi
yang memiliki izin dan tukang gigi yang tidak memiliki izin dengan tujuan
untuk membadingkan perbedaan tanggung jawab dari keduanya. Selain
tukang gigi, konsimen tukang gigi yang memiliki izin serta yang tidak
memiliki izin juga menjadi sampel dalam penelitian ini.

f. Teknik Analisis Data


Setelah semua data yang diperlukan telah terkumpul melalui teknik
wawancara, kemudian data tersebut disusun secara sistematis dan
kemudian dilakukan analisis data. Analisis data dalam penelitian ini
dilakukan dengan cara kualiitatif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan
untuk menentukan isi atau makna suatu aturan hukum yang dijadikan
rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi obyek
kajian.21 Data primer dan data sekunder dianalisa sehingga mencapai
kejelasan interpretasi dari masalah yang dibahas secara logis dan sistematis
dari data hasil penelitian. Data dideskripsikan dengan menelaah,
menguraikan, menggambarkan kemudian menjelaskan sesuai
permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian.

20 Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Rineka Cipta, Jakarta,
2013, hlm. 51

21
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, PT Grafindo Persada, Jakarta, 2003,
hlm. 30
17

4. Sistematika Penulisan
Penulisan laporan penelitian ini terdiri dari 2 (dua) bab yang disusun
secara sistematis, yang mana antar bab demi bab saling terkait sehingga
merupakan suatu rangkaian yang berkesinambungan, yakni yang terdiri atas :
Bab I adalah Pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan
sistematika penulisan
Bab II adalah Tinjauan Pustaka yang menguraikan tentang tinjauan
umum tentang implementasi kebijakan, tinjauan umum tentang perlindungan
konsumen, serta tinjauan umum tentang tukang gigi. Yang mana kemudian
tinjauan pustaka tersebut akan dijadikan bahan acuan untuk menjawab
permasalahan yang telah diuraikan dalam Bab I
18

Anda mungkin juga menyukai