Oleh :
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2020
2
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan dunia teknologi yang demikian pesat tentu
akan membawa dampak pada perkembangan ilmu pengetahuan, salah
satunya dalam bidang kesehatan. Kesehatan merupakan salah satu aspek
yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintah sebagai
pemangku kepentingan dalam pelaksanaanya berusaha meningkatkan
kesehatan masyarakat karena pada faktanya setiap warga negara berhak
memperoleh kesehatan setinggi-tingginya.1 Pengaturan mengenai hak warga
negara untuk dapat hidup secara sehat serta mendapatkan pelayanan
kesehatan yang bermutu telah diatur dalam Pasal 28 H Ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut
UUD NRI Tahun 1945).
Dalam Pasal 5 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan (selanjutnya disebut Undang-Undang Kesehatan)
menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, terjangkau dan setiap orang juga
berhak secara mandiri dan bertanggungjawab menentukan sendiri pelayanan
kesehatan yang diperlukan oleh dirinya.2 Dalam Pasal 48 Undang-Undang
Kesehatan juga diuraikan bahwa salah satu dari tujuh belas upaya kesehatan
komprehensif diantaranya terdapat pelayanan kesehatan tradisional.
Pasal 1 Ayat (1) Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang
Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan pengobatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan
dengan cara, obat dan pengobatnya yang mengacu kepada pengalaman,
keterampilan turun temurun, dan/atau pendidikan/pelatihan, dan diterapkan
sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.3 Tukang gigi
merupakan salah satu pengobatan tradisional yang menjadi alternatif bagi
1 Aziz, Musfirah Abudl, 2010, Pemasangan behel Oleh Bukan Dokter Gigi Ancam
Tukang Gigi Intelek’ dan sepulang dari Amerika pada tahun 1958 ia
mendirikan ‘Dental College Dr. Moestopo’. Dental College yang didirikan
Dr. Moestopo akhirnya mendapat pengakuan resmi dari Departemen
Kesehatan dan mendapatkan pujian khusus dari Presiden Republik Indonesia
Ir. Soekarno.
Keberadaan tukang gigi mendapat pengakuan secara yuridis sejak
dikeluarkanya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52/DPK/I/K/1969 tentang
Pendaftaran dan Pemberian Izin Menjalankan Pekerjaan Tukang Gigi
(selanjutnya disebut Permenkes Nomor 53 Tahun 1969) dan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi
(selanjutnya disebut Permenkes Nomor 339 Tahun 1989). Berdasarkan
Permenkes Nomor 339 Tahun 1989 yang dapat dikategorikan sebagai tukang
gigi ialah mereka yang melakukan pekerjaan di bidang penyembuhan dan
pemulihan kesehatan gigi yang tidak mempunyai pendidikan berdasarkan ilmu
pengetahuan kedokteran gigi serta tidak memiliki izin Menteri Kesehatan
untuk melakukan pekerjaanya.
Kewenangan tukang gigi diatur dalam dalam Permenkes Nomor 339
Tahun 1989, meliputi pembuatan gigi tiruan lepasan dari akrilik sebagian atau
penuh serta pemasangan gigi tiruan lepasan. Selain itu, juga diatur mengenai
larangan tukang gigi diantaranya penambalan gigi dengan tambalan apapun,
pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat atau mahkota atau tumpatan
tuang dan sejenisnya, penggunaan obat-obatan pada gigi (sementara/tetap),
melakukan pencabutan gigi baik dengan suntikan maupun tanpa suntikan
serta melakukan tindakan-tindakan secara medis termasuk pemberian obat-
obatan.
Kemudian pada tahun 2004, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (selanjutnya disebut Undang-undang
Praktik Kedokteran) menyebabkan tukang gigi tidak bisa menjalankan
praktiknya dan apabila tukang gigi tersebut tetap bersikeras menjalankan
praktik maka terancam sanksi pidana karena hal tersebut bertentangan
dengan Pasal 73 Ayat (2) dan Pasal 78 Undang-Undang Praktik Kedokteran.
Pasal 73 Ayat (2) berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan
5
4
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
5 ibid
6
6
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan
Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi
7 Ibid
7
“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau bada usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.” 8
9 Ibid
8
13 Ibid.
illegal. Kerap ditemukan para Tukang Gigi di Kota Malang masih melakukan
praktik pemasangan kawat gigi dikarenakan tidak adanya keseimbangan
antara peraturan, penegak hukum, sarana atau fasilitas dengan kebutuhan
masyarakat akan kesehatan gigi dan mulut yang tinggi khususnya
pemasangan kawat gigi, yang mana tindakan tersebut dapat membahayakan
konsumen dengan timbulnya penyakit gigi dan mulut bagi mereka. Sehingga
apabila tindakan illegal tersebut dikaitkan dengan peraturan perundang-
undangan yang ada, dapat dikatakan melanggar ketentuan dalam Pasal 29
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen Terkait Praktik Tukang Gigi yang Melakukan Tindakan di Luar
Pekerjaannya
Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk
meneliti lebih dalam mengenai penerapan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Terkait Praktik Tukang
Gigi yang Melakukan Tindakan di Luar Pekerjaannya terhadap adanya praktik
pemasangan kawat gigi oleh tukang gigi serta hambatan apa saja yang timbul
dalam pelaksanaan pasal tersebut. Adapun judul penelitian ini ialah
“Implementasi Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen Terkait Praktik Tukang Gigi yang Melakukan
Tindakan di Luar Pekerjaannya”
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana implementasi Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen oleh Dinas Kesehatan Kota
Malang terkait praktik tukang gigi yang melakukan tindakan diluar
pekerjaannya?
2. Apa hambatan Dinas Kesehatan Kota Malang dalam implementasi Pasal 29
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen oleh Dinas Kesehatan Kota Malang terkait praktik tukang gigi
yang melakukan tindakan diluar pekerjaannya?
3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui, mengkaji, dan menganalisis implementasi Pasal 29
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
11
Konsumen oleh Dinas Kesehatan Kota Malang terkait praktik tukang gigi
yang melakukan tindakan diluar kewenangannya.
2. Untuk mengetahui, mengkaji, dan menganalisis ahambatan Dinas
Kesehatan Kota Malang dalam implementasi Pasal 29 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen oleh Dinas
Kesehatan Kota Malang terkait praktik tukang gigi yang melakukan
tindakan diluar kewenangannya.
4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian dan pembahasan pada penulisan ini diharapkan dapat
memiliki manfaat sebagai barikut:
1. Manfaat Teoritis:
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum kesehatan pada umumnya serta
mengenai perlindungan konsumen penerima jasa kesehatan pada
khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur
dalam dunia kepustakaan tentang pertanggungjawaban hukum di
bidang pelayanan kesehatan.
c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-
penilitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis:
a. Bagi aparat penegak hukum, hasil penelitian ini diharapkan dapat
digunakan sebagai bahan acuan atau informasi dalam penyelesaian
sengketa akibat profesi yang dikerjakan oleh tukang gigi.
b. Bagi pembuat kebijakan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
masukan dalam pembentukan perundang-undangan khususnya
mengenai perlindungan konsumen serta pertanggungjawab tukang gigi
baik dalam Peraturan Menteri Kesehatan maupun Undang-Undang
Kesehatan.
c. Bagi tukang gigi, hasil penelitian ini diharapkan dapat mengetahui dan
mematuhi kewenangan dan risiko pekerjaanya
s e r t a pertanggungjawaban atas jasa yang ia berikan kepada
konsumen.
12
5. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian dibutuhkan adanya suatu metode penelitian
untuk menawab permasalahan yang ada. Adapun metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi :
a. Jenis Penelitian
Menurut Morris L. Cohen, definisi penelitian hukum adalah:
15 Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenadamedia Group, Jakarta, 2001, hlm. 58 .
16 Waluyo, Bambang, Prosedur Hukum Dalam Praktik, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 126.
13
Identifikasi hukum tidak tertulis, dalam hal ini ruang lingkup penelitian ini
adalah norma hukum adat yang berlaku dalam masyarakat dan norma
hukum yang tidak tertulis lainnya;
Efektivitas hukum, merupakan kajian penelitian yang meliputi pengetahuan
masyarakat, kesadaran masyarakat dan penerapan hukum dalam
masyarakat.
Pada penelitian hukum yuridis empiris kajiannya dilakukan dengan
melihat hubungan antara peneliti dengan objek yang ditelii dengan
menggunakan relasi subjek-objek serta dilandasi perspektif eksternal,
sehingga peneliti bersikap sebagai observer/pengamat. Hal ini yang
membedakan dengan penelitian hukum yuridis normatif dimana
penelitiannya menggunakan relasi subjek-subjek serta dilandasi perspektif
internal yang hasilnya merupakan pengetahuan inter-subyektif.17
b. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian dengan pendekatan
yuridis-sosiologis (social legal approach). Dalam pendekatan yuridis-
sosiologis dilakukan pengidentifikasian dan pengonsepsian terhadap hukum
sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional dalam sistem kehidupan.
Pendekatan yuridis sosiologis ini dimaksudkan sebagai penerapan dan
pengkajian hubungan aspek hukum dengan aspek non hukum dalam
bekerjanya hukum di masyarakat.
Yang mana dalam penelitian ini dilakukan penerapan dan pengkajian
hubungan aspek hukum dengan aspek non-hukum dalam implementasi
bekerjanya Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen terkait praktik tukang gigi yang melakukan
tindakan di luar pekerjaannya dalam masyarakat, khususnya pelaku usaha
tukang gigi.
c. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung
17 Brotosusilo, Agus, Pergulatan Ideologis Dalam Metodologi Kajian Hukum, FH UI, Jakarta,
2005, hlm. 1.
14
18
Anshari, Tampil, Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, Pustaka Bangsa Press,
Medan, 2009, hlm. 30
15
19 Narbuko, Cholid, Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta, 2001, hlm. 81
16
20 Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Rineka Cipta, Jakarta,
2013, hlm. 51
21
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, PT Grafindo Persada, Jakarta, 2003,
hlm. 30
17
4. Sistematika Penulisan
Penulisan laporan penelitian ini terdiri dari 2 (dua) bab yang disusun
secara sistematis, yang mana antar bab demi bab saling terkait sehingga
merupakan suatu rangkaian yang berkesinambungan, yakni yang terdiri atas :
Bab I adalah Pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan
sistematika penulisan
Bab II adalah Tinjauan Pustaka yang menguraikan tentang tinjauan
umum tentang implementasi kebijakan, tinjauan umum tentang perlindungan
konsumen, serta tinjauan umum tentang tukang gigi. Yang mana kemudian
tinjauan pustaka tersebut akan dijadikan bahan acuan untuk menjawab
permasalahan yang telah diuraikan dalam Bab I
18