Anda di halaman 1dari 42

BAB II

KAJIAN TEORITIS MENGENAI APARATUR SIPIL NEGARA,


KEWENANGAN DAN WEWENANG, KOMISI APARTUR SIPIL
NEGARA, DAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK

(GOOD GOVERNANCE)

A. Tijauan Umum mengenai Aparatur Sipil Negara

1. Pengertian Aparatur Sipil Negara

Sebelum berlakunya UU ASN, peraturan perundang-undangan di

bidang kepegawaian yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang

Pokok-Pokok Kepegawaian, sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, tidak mengenal

dan menjelaskan istilah pengertian mengenai ASN. 52

Istilah dan pengertian mengenai ASN secara normatif baru dikenal

dan dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU ASN, yang

menyatakan sebagai berikut:

“Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi


bagi Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian
Kerja yang bekerja pada instansi pemerintah”.

52
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, hanya mengenal istilah
“Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang
ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri,
atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.

30
31

Berdasarkan pengertian sebagaimana yang telah dikemukakan tersebut

di atas, dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya ASN merupakan suatu

profesi bagi PNS dan PPPK sebagai Pegawai ASN yang bekerja pada

instansi pemerintah, dimana antara PNS dengan PPPK memiliki perbedaan

terkait dengan proses pengangkatan dan status kepegawaian.

2. Asas, Prinsip, Nilai Dasar, serta Kode Etik dan Kode Perilaku

Aparatur Sipil Negara

Dalam tataran normatif, menurut UU ASN, dikatakan bahwa

penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN berlandaskan pada asas-

asas sebagai berikut:53

a. Kepastian Hukum. Yang dimaksud dengan “asas kepastian


hukum” adalah dalam setiap penyelenggaraan kebijakan dan
Manajemen ASN, mengutamakan landasan peraturan
perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan.
b. Profesionalitas. Yang dimaksud dengan “asas profesionalitas”
adalah mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Proporsionalitas. Yang dimaksud dengan “asas proporsionalitas”
adalah mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban
Pegawai ASN.
d. Keterpaduan. Yang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah
pengelolaan Pegawai ASN didasarkan pada satu sistem
pengelolaan yang terpadu secara nasional.
e. Delegasi. Yang dimaksud dengan “asas delegasi” adalah bahwa
sebagian kewenangan pengelolaan Pegawai ASN dapat
didelegasikan pelaksanaannya kepada kementerian, lembaga
pemerintah nonkementerian, dan pemerintah daerah.
f. Netralitas. Yang dimaksud dengan “asas netralitas” adalah
bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk
pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan
siapapun.

53
Pasal 2 jo. Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara.
32

g. Akuntabilitas. Yang dimaksud dengan “asas akuntabilitas”


adalah bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan
Pegawai ASN harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
h. Efektif dan Efisien. Yang dimaksud dengan “asas efektif dan
efisien” adalah bahwa dalam menyelenggarakan Manajemen
ASN sesuai dengan target atau tujuan dengan tepat waktu sesuai
dengan perencanaan yang ditetapkan.
i. Keterbukaan. Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah
bahwa dalam penyelenggaraan Manajemen ASN bersifat
terbuka untuk publik.
j. Nondiskriminatif. Yang dimaksud dengan “asas
nondiskriminatif” adalah bahwa dalam penyelenggaraan
Manajemen ASN, KASN tidak membedakan perlakuan
berdasarkan jender, suku, agama, ras, dan golongan.
k. Persatuan dan Kesatuan. Yang dimaksud dengan “asas persatuan
dan kesatuan” adalah bahwa Pegawai ASN sebagai perekat
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
l. Keadilan dan Kesetaraan. Yang dimaksud dengan “asas keadilan
dan kesetaraan” adalah bahwa pengaturan penyelenggaraan
ASN harus mencerminkan rasa keadilan dan kesamaan untuk
memperoleh kesempatan akan fungsi dan peran sebagai Pegawai
ASN.
m. Kesejahteraan. Yang dimaksud dengan “asas kesejahteraan”
adalah bahwa penyelenggaraan ASN diarahkan untuk
mewujudkan peningkatan kualitas hidup Pegawai ASN.

Selanjutnya dalam UU ASN, mengatur pula bahwa ASN sebagai

profesi berlandaskan pada beberapa prinsip, yakni sebagai berikut:54

a. Nilai Dasar;
b. Kode Etik dan Kode Perilaku;
c. komitmen, integritas moral, dan tanggung jawab pada pelayanan
publik;
d. kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas;
e. kualifikasi akademik;
f. jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas; dan
g. profesionalitas jabatan.

54
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
33

Nilai dasar sebagai salah satu prinsip ASN sebagai profesi, menurut

UU ASN, meliputi:55

a. memegang teguh ideologi Pancasila;


b. setia dan mempertahankan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 serta pemerintahan yang sah;
c. mengabdi kepada negara dan rakyat Indonesia;
d. menjalankan tugas secara profesional dan tidak berpihak;
e. membuat keputusan berdasarkan prinsip keahlian;
f. menciptakan lingkungan kerja yang nondiskriminatif;
g. memelihara dan menjunjung tinggi standar etika yang luhur;
h. mempertanggungjawabkan tindakan dan kinerjanya kepada
publik;
i. memiliki kemampuan dalam melaksanakan kebijakan dan
program pemerintah;
j. memberikan layanan kepada publik secara jujur, tanggap, cepat,
tepat, akurat, berdaya guna, berhasil guna, dan santun;
k. mengutamakan kepemimpinan berkualitas tinggi;
l. menghargai komunikasi, konsultasi, dan kerja sama;
m. mengutamakan pencapaian hasil dan mendorong kinerja
pegawai;
n. mendorong kesetaraan dalam pekerjaan; dan
o. meningkatkan efektivitas sistem pemerintahan yang demokratis
sebagai perangkat sistem karier.

Selain prinsip nilai dasar yang menjadi landasan ASN sebagai profesi,

dalam tataran normatif, diatur pula mengenai kode etik dan kode perilaku

ASN sebagai bagian dari prinsip yang dijadikan landasan ASN sebagai

profesi, dimana kode etik dan kode perilaku bertujuan untuk menjaga

martabat dan kehormatan ASN.56 Adapun kode etik dan kode perilaku ASN

tersebut, berisi pengaturan mengenai perilaku agar Pegawai ASN: 57

a. melaksanakan tugasnya dengan jujur, bertanggung jawab, dan


berintegritas tinggi;

55
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
56
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Apratur Sipil Negara.
57
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
34

b. melaksanakan tugasnya dengan cermat dan disiplin;


c. melayani dengan sikap hormat, sopan, dan tanpa tekanan;
d. melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
e. melaksanakan tugasnya sesuai dengan perintah atasan atau
Pejabat yang Berwenang sejauh tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika
pemerintahan;
f. menjaga kerahasiaan yang menyangkut kebijakan negara;
g. menggunakan kekayaan dan barang milik negara secara
bertanggung jawab, efektif, dan efisien;
h. menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam
melaksanakan tugasnya;
i. memberikan informasi secara benar dan tidak menyesatkan
kepada pihak lain yang memerlukan informasi terkait
kepentingan kedinasan;
j. tidak menyalahgunakan informasi intern negara, tugas, status,
kekuasaan, dan jabatannya untuk mendapat atau mencari
keuntungan atau manfaat bagi diri sendiri atau untuk orang lain;
k. memegang teguh nilai dasar ASN dan selalu menjaga reputasi
dan integritas ASN; dan
l. melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai disiplin Pegawai ASN.

Kode etik dan kode perilaku yang diatur dalam UU ASN menjadi

acuan bagi para ASN dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintah. Fungsi

kode etik dan kode perilaku ini sangat penting dalam birokrasi dalam

menyelenggarakan pemerintahan. Fungsi tersebut, antara lain:58

(1) Sebagai pedoman, panduan birokrasi publik/aparatur sipil


negara dalam menjalankan tugas dan kewanangan agar
tindakannya dinilai baik.
(2) Sebagai standar penilaian sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi
publik/aparatur sipil negara dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya.

Etika birokrasi penting sebagai panduan norma bagi aparat birokrasi

dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat dan menempatkan

kepentingan publik di atas kepentingan priabdi, kelompok dan

58
Tim Penyusun, Manajemen Aparatur Sipil Negara, Op. Cit., tp hlm
35

organisasinya. Etika diarahkan pada kebijakan yang benar-benar

mengutamakan kepentingan masyarakat luas.59

3. Jenis, Status, dan Kedudukan Pegawai Aparatur Sipil Negara

Secara normatif, UU ASN, telah mengklasifikasikan Pegawai ASN ke

dalam 2 (dua) jenis, yakni terdiri atas:

a. Pegawai Negeri Sipil; dan

PNS merupakan Pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai

tetap oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan memiliki nomor induk

pegawai secara nasional.60 Dalam untuk menindaklanjuti

perintah/amanat ketentuan Pasal 17, Pasal 18 ayat (4), Pasal 19 ayat

(4), Pasal 20 ayat (4), Pasal 57, Pasal 67, Pasal 68 ayat (7), Pasal 74,

Pasal 78, Pasal 81, Pasal 85, Pasal 86 ayat (4), Pasal 89, Pasal 91 ayat

(6), Pasal 92 ayat (4), dan Pasal 125 UU ASN, Pemerintah

menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang

Manajemen Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya ditulis PP Manajemen

PNS). Hal ini mengandung arti bahwa PP Manajemen Pegawai Negeri

Sipil, merupakan landasan hukum dan pedoman dalam rangka

pengaturan Manajemen PNS di Indonesia.

b. Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja

Pengertian mengenai PPPK, secara normatif telah dirumuskan

dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 UU ASN, yakni sebagai berikut:

59
Ibid.
60
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
36

“Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang selanjutnya


disingkat PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi
syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk
jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas
pemerintahan”.

PPPK pada hakikatnya merupakan Pegawai ASN yang diangkat

sebagai pegawai dengan perjanjian kerja oleh Pejabat Pembina

Kepegawaian sesuai dengan kebutuhan Instansi Pemerintah dan

ketentuan UU ASN.61 Seiring dengan tuntutan dan kebutuhan

pengaturan mengenai PPPK, dan dalam rangka melaksanakan

ketentuan Pasal 107 UU ASN, pada tahun 2018 Pemerintah

menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang

Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (selanjutnya

ditulis PP Manajemen PPPK).

Apabila ditinjau dari aspek normatif, berdasarkan pengertian PNS dan

PPPK sebagaimana dikemukakan tersebut di atas, terdapat beberapa

perbedaan antara PNS dan PPPK, yakni sebagai berikut:62

a. PNS merupakan Pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai tetap

oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan memiliki Nomor Induk

Pegawai secara nasional untuk menduduki jabatan pemerintahan.

Sedangkan PPPK merupakan Pegawai ASN yang diangkat sebagai

pegawai dengan perjanjian kerja oleh Pejabat Pembina Kepegawaian

untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas

61
Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
62
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Peraturan
Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, dan Peraturan
Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian
Kerja.
37

pemerintahan sesuai dengan kebutuhan Instansi Pemerintah dan

ketentuan UU ASN;

b. Hak PNS adalah gaji, tunjangan, dan fasilitas, cuti, jaminan pensiun

dan jaminan hari tua, perlindungan, dan pengembangan kompetensi.

Sedangkan hak PPPK adalah gaji, tunjangan, cuti, perlindungan, dan

pengembangan kompetensi.

c. Dasar pemberhentian PNS yakni pemberhentian atas permintaan

sendiri, pemberhentian karena mencapai batas usia pensiun,

Pemberhentian karena Perampingan Organisasi atau Kebijakan

Pemerintah, Pemberhentian karena tidak cakap jasmani dan/atau

rohani, Pemberhentian karena Meninggal Dunia, Tewas, atau Hilang,

Pemberhentian karena Melakukan tindak pidana/penyelewengan,

pemberhentian karena pelangggaran disiplin, Pemberhentian karena

Mencalonkan Diri atau Dicalonkan Menjadi Presiden dan Wakil

Presiden, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah,

Gubernur dan Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota dan Wakil

Bupati/ Wakil Walikota, Pemberhentian karena Menjadi Anggota

dan/atau Pengurus Partai Politik, Pemberhentian karena tidak

Menjabat Lagi Sebagai Pejabat Negara, Pemberhentian karena Hal

Lain, seperti misalnya PNS yang telah selesai menjalankan cuti di luar

tanggungan negara tidak melaksanakan kewajibannya untuk

melaporkan diri secara tertulis kepada instansi induknya paling lama 1


38

(satu) bulan setelah selesai menjalankan cuti di luar tanggungan

negara. Sedangkan pemberhentian PPPK didasarkan pada Pemutusan

Hubungan Perjanjian Kerja, yakni Pemutusan Hubungan Perjanjian

Kerja Dengan Hormat, disebabkan karena Jangka Waktu Perjanjian

Kerja Berakhir, Meninggal Dunia, atas Permintaan Sendiri,

Perampingan organisasi atau Kebijakan pemerintah yang

Mengakibatkan Pengurangan PPPK, Tidak Cakap Jasmani dan/atau

Rohani; Pemutusan Hubungan Perjanjian Kerja Dengan Hormat Tidak

Atas Permintaan Sendiri, disebabkan karena dihukum penjara

berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara

paling singkat 2 (dua) tahun dan tindak pidana tersebut dilakukan

dengan tidak berencana, melakukan pelanggaran disiplin PPPK

tingkat berat, atau tidak memenuhi target kinerja yang telah disepakati

sesuai dengan perjanjian kerja; Pemutusan hubungan perjanjian kerja

PPPK tidak dengan hormat, disebabkan karena melakukan

penyelewengan terhadap pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, dihukum penjara atau kurungan

berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum

tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak

pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau

pidana umum, menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, atau

dihukum penjara berdasarkan puhrsan pengadilan yang telah memiliki


39

kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam

dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun atau lebih dan

tindak pidana tersebut dilakukan dengan berencana.

Sedangkan Pegawai ASN berkedudukan sebagai unsur aparatur

negara, dimana Pegawai ASN melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh

pimpinan Instansi Pemerintah, dan Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh

dan intervensi semua golongan dan partai politik.63

4. Fungsi, Tugas, dan Peran Pegawai Aparatur Sipil Negara

Sebagai abdi negara dan abdi masyarakat setiap Pegawai ASN harus

mampu melaksanakan fungsi, tugas, dan peran demi kepentingan negara dan

kepentingan masyarakat diatas kepentingan pribadi dan golongan, hal ini

menuntut setiap ASN untuk dapat memusatkan segala perhatian dan fikiran

serta menyerahkan daya dan tenaganya untuk menyelenggarakan tugas

pemerintahan dan pembangunan serta berdaya dan berhasil guna. Dengan

perkataan lain bahwa Pegawai ASN diserahi tugas untuk melaksanakan

tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan

tertentu. Adapun tugas pemerintahan dilaksanakan dalam rangka

penyelenggaraan fungsi umum pemerintahan yang meliputi pendayagunaan

kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan. Sedangkan dalam rangka

pelaksanaan tugas pembangunan tertentu dilakukan melalui pembangunan

bangsa (cultural and political development) serta melalui pembangunan

63
Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara.
40

ekonomi dan sosial (economic and social development) yang diarahkan

meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat.64

Dalam tataran normatif, dalam ketentuan Pasal 10 UU ASN, telah

mengatur secara mengenai fungsi Pegawai ASN, yakni sebagai berikut:

a. pelaksana kebijakan publik;

b. pelayan publik; dan

c. perekat dan pemersatu bangsa.

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 11 UU ASN, diatur pula mengenai

tugas yang diemban oleh Pegawai ASN, yakni sebagai berikut:

a. melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat


Pembina Kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas;
dan
c. mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Kemudian terkait dengan peran Pegawai ASN menurut ketentuan

Pasal 12 UU ASN, menyatakan bahwa:

“Pegawai ASN berperan sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas


penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan
nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang
profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme”.
Fungsi, tugas, dan peran Pegawai ASN tersebut di atas, merupakan

suatu koridor hukum yang harus dipedomani dan dilaksanakan oleh setiap

Pegawai ASN, dalam rangka mendukung reformasi birokrasi di Indonesia.

64
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
41

5. Jabatan Apratur Sipil Negara

UU ASN, pada hakikatnya telah membedakan Jabatan Aparatur Sipil

Negara menurut ke dalam 3 (tiga) jenis, yakni sebagai berikut:

a. Jabatan Administrasi

Jabatan Administrasi diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis

jabatan, yakni sebagai berikut:

1) Jabatan Administrator

Pejabat dalam jabatan administrator bertanggung jawab

memimpin pelaksanaan seluruh kegiatan pelayanan publik serta

administrasi pemerintahan dan pembangunan.

2) Jabatan Pengawas

Pejabat dalam jabatan pengawas bertanggung jawab

mengendalikan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh

pejabat pelaksana.

3) Jabatan Pelaksana

Pejabat dalam jabatan pelaksana bertanggung jawab

melaksanakan kegiatan pelayanan publik serta administrasi

pemerintahan dan pembangunan.

Setiap jabatan Administrator, Jabatan Pengawas, dan Jabatan

Pelaksana tersebut di atas, ditetapkan sesuai dengan kompetensi yang

dibutuhkan.
42

b. Jabatan Fungsional

Jabatan Fungsional adalah sekelompok jabatan yang berisi

fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan fungsional yang

berdasarkan pada keahlian dan keterampilan tertentu. Jabatan

Fungsional dalam ASN terdiri dari dua jabatan, yaitu jabatan

fungsional keahlian dan jabatan fungsional keterampilan. Dengan

rincian masing-masing jabatan sebagai berikut:

1) Jabatan fungsional keahlian :

a) ahli pertama;

b) ahli muda;

c) ahli madya, dan

d) ahli utama.

2) Jabatan fungsional keterampilan :

a) pemula;

b) terampil;

c) mahir; dan

d) penyelia.

c. Jabatan Pimpinan Tinggi

Jabatan Pimpinan Tinggi adalah sekelompok jabatan tertinggi

pada instansi dan perwakilan. Jabatan pimpinan tinggi terdiri dari

pejabat struktural tertinggi, staf ahli, analis kebijakan, dan pejabat

lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Jabatan


43

Eksekutif Senior berfungsi memimpin dan mendorong setiap Pegawai

ASN pada Instansi dan Perwakilan melalui:

a. kepeloporan dalam bidang:

1) keahlian profesional;

2) analisis dan rekomendasi kebijakan; dan

3) kepemimpinan manajemen.

b. mengembangkan kerjasama dengan Instansi lain; dan

c. keteladanan dalam mengamalkan nilai-nilai dasar ASN

dan melaksanakan kode etik ASN.

Untuk setiap Jabatan Pimpinan Tinggi ditetapkan syarat

kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan,

rekam jejak jabatan dan integritas, serta persyaratan lain yang

dibutuhkan.

Selanjutnya berpijak pada ketentuan Pasal 20 ayat (1), ayat (2), dan

ayat (3) UU ASN, ditegaskan kembali bahwa Jabatan ASN diisi dari

Pegawai ASN. Sedangkan Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit

Tentara Nasional Indonesia; dan anggota Kepolisian Negara Republik

Indonesia. Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit Tentara

Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia

dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ketentuan ini mengandung arti

bahwa pada hakikatnya Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN.


44

6. Hak dan Kewajiban Pegawai Apratur Sipil Negara

Hak adalah suatu kewenangan atau kekuasaan yang diberikan oleh

hukum, suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum, baik pribadi

maupun umum. Dapat diartikan bahwa hak adalah sesuatu yang patut atau

layak diterima. Agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya

dengan baik dapat meningkatkan produktivitas, menjamin kesejahteraan

ASN dan akuntabel, maka setiap ASN diberikan hak.65

UU ASN telah mengatur mengenai Hak PNS dan PPPK yakni sebagai

berikut

a. PNS berhak memperoleh:66

1) gaji, tunjangan, dan fasilitas;

2) cuti;

3) jaminan pensiun dan jaminan hari tua;

4) perlindungan; dan

5) pengembangan kompetensi

b. PPPK berhak memperoleh:67

1) gaji dan tunjangan;

2) cuti;

3) perlindungan; dan

4) pengembangan kompetensi.

65
Tim Penyusun, Manajemen Aparatur Sipil Negara, Op. Cit., tp hlm.
66
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
67
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
45

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 70 UU ASN diatur pula bahwa

Setiap Pegawai ASN memiliki hak dan kesempatan untuk mengembangkan

kompetensi.

Selain mengatur hak PNS dan PPPK, dalam UU ASN Pasal 23

mengatur pula mengenai kewajiban Pegawai ASN, yakni sebagai berikut:

b. setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan pemerintah yang sah;
c. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa;
d. melaksanakan kebijakan yang dirumuskan pejabat pemerintah
yang berwenang;
e. menaati ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian,
kejujuran, kesadaran, dan tanggung jawab;
g. menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku,
ucapan dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun
di luar kedinasan;
h. menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan
rahasia jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
i. bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

B. Tinjauan Umum Kewenangan dan Wewenang

1. Pengertian Kewenangan dan Wewenang

S. Prajudi Atmosudirdjo, berpendapat bahwa “Kita perlu membedakan

antara kewenangan (authority, gezag) dan wewenang (competence,

bevoegdheid), walaupun dalam praktik pembedaannya tidak selalu

dirasakan perlu. Kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”,

kekuasaan yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-

Undang), atau dari Kekuasaan Eksekutif Administratif. Kewenangan (yang

biasanya terdiri atas beberapa wewenang adalah kekuasaan terhadap


46

segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang

pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan

wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu”.68 Lebih lanjut S.

Prajudi Atmosudirjo, berpendapat bahwa “Di dalam kewenangan terdapat

wewenang-wewenang (rechtsbevoegdheden). Wewenang adalah kekuasan

untuk melakukan sesuatu tindakan hukum publik”.69

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kewenangan

mengandung arti: 1) hal berwenang, dan 2) hak dan kekuasaan yang

dipunyai untuk melakukan sesuatu,70. sedangkan wewenang diartikan hak

dan kekuasaan untuk bertindak; kewenangan, 2) kekuasaan membuat

keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang

lain, 3) fungsi yang boleh tidak dilaksanakan.71 Dengan kata lain bahwa

secara bahasa kewenangan yang berasal dari kata “wewenang” mengandung

arti hak dan kekuasaan unuk bertindak, kekuasaan membuat keputusan,

memerintah, dan melimpahkan tanggungjawab kepada orang lain.72

P. Nicolai sebagaimana dikutip oleh Ridwan HR., mengemukakan

pengertian kewenangan sebagai berikut:73

“Het vermogen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen


(handelingen die op rechtsgevolg gericht zijn en dus ertoe strekken
dat bepaalde rechtsgevolgen onstaan of teniet gaan). Een recht houdt
in de (rechtens gegeven) vrijheid om een bepaalde feitelijke handeling
te verrichten of na te laten, of de (rechtens gegeven) aanspraak op het

68
S. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Seri Pustaka Ilmu Administrasi
VII, Cetakan Ke-10, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 78.
69
Ibid.
70
Ibid.
71
Diakses pada situs: https://kbbi.web.id/wenang.
72
Ridwan, Op. Cit., hlm. 110.
73
Ridwan HR., Op. Cit, hlm. 99.
47

verrichten van een handeling door een ander. Een plicht impliceert
een verplichting om een bepaalde handeling te verrichten of na te
laten. (Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu {yaitu
tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat
hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat
hukum}. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan
tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan
tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan
atau tidak melakukan tindakan tertentu)”.

Pengertian kewenangan yang dikemukakan oleh P. Nicolai tersebut di

atas, menurut Ridwan HR., kewenangan (bevoegdheid, competence, legal

power) merupakan kekuasaan yang sah menurut hukum atau kekuasaan

suatu jabatan, dan mengandung arti kemampuan untuk melakukan tindakan-

tindakan hukum tertentu, serta bersumber pada undang-undang atau

peraturan perundang-undangan yang berlaku.74

Secara normatif, “Kewenangan Pemerintahan yang selanjutnya

disebut Kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam

ranah hukum publik”.75

Berdasarkan pengertian kewenangan yang dikemukakan tersebut di

atas, kewenangan diartikan sebagai bentuk kekuasaan yang berasal dari

legislatif maupun eksekutif, di sisi lain kewenangan merupakan hak untuk

menggunakan wewenang yang dimiliki badan dan/atau pejabat

pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan

tindakan-tindakan hukum tertentu.

74
Ibid., hlm. 42.
75
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan.
48

Wewenang menurut H.D. Stout sebagaimana dikutip oleh Ridwan

HR., mengemukakan sebagai berikut:76

“Bevoegdheid is een begrip uit het bestuurlijke organisatierecht, wat


kan worden omschreven als het geheel van regels dat betrekking heeft
op de verkrijging en uitoefning van bestuursrechtelijke bevoegdheden
door publiekrechtelijke rechtssubjection in het bestuursrechtelijke
rechtsverkeer. (Wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum
organisasi pemerintahan yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan
aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan
wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam
hubungan hukum publik)”.

Secara normatif, “Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan

dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk

mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan

pemerintahan”.77

Sehubungan dengan pengertian wewenang sebagaimana dikemukakan

tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa dalam konteks penyelenggaraan

pemerintahan, wewenang merupakan hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau

Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil

keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Perbedaan yang mendasar antara kewenangan dan wewenang yakni

bahwa kewenangan lebih ditujukan pada lembaga atau institusi, sedangkan

wewenang lebih ditujukan pada subjek hukum dari lembaga atau institusi.

76
Ridwan HR., Op. Cit, hlm. 98.
77
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan.
49

2. Sumber dan Cara Memperoleh Wewenang Pemerintahan

Pemerintahan (administrasi) menurut Sadjijono, baru dapat

menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya, artinya

keabsahan tindak pemerintahan atas dasar wewenang yang diatur dalam

peraturan perundang perundang-undangan (legalitiet beginselen),78 oleh

karena itu mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang organ

pemerintahan merupakan suatu hal yang sangat penting, mengingat

kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan penting dalam kajian

hukum tata negara dan hukum administrasi,79 hal ini berkaitan pula dengan

pertanggungjawaban hukum dalam penggunaan wewenang tersebut, seiring

dengan salah satu prinsip dalam negara hukum “geen bevoegheid zonder

verantwoordelijkheid atau there is no authority without responsibility”.

(tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban), 80 maka dari itu setiap

pemberian kewenangan kepada pejabat pemerintahan tertentu, tersirat di

dalamnya pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan. 81

Dalam pandangan Agussalim Andi Gadjong sebagaimana dikutip oleh

Hendra Karianga, berpendapat bahwa pendelegasian kewenangan

merupakan suatu sarana untuk menjaga kelangsungan pemerintahan

nasional yang memerlukan keseimbangan dan keterpaduan sebagai hasil

dari suatu proses interaksi antara kepentingan nasional dengan kepentingan

78
Sadjijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang,
Yogyakarta, 2008, hlm. 49.
79
Abdul Latif, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, Prenada Media
Group, Jakarta, 2014, hlm. 6.
80
Ridwan HR., Op. Cit., hlm. 104.
81
Ibid.
50

pembangunan daerah. Pendegelasian kewenangan bukan hanya sekedar

mengkompromikan berbagai kepentingan elit nasional atau kelangsungan

pembangunan yang cenderung mematikan kreasi tetapi efisiensi dan

efektivitas pembangunan nasional secara menyeluruh. Lebih lanjut

Agussalim Andi Gadjong sebagaimana dikutip oleh Hendra Karianga,

mengemukakan pendapatnya bahwa pendelegasian kewenangan

memerlukan proses mekanisme yang jelas dan terukur supaya tidak

menyampingkan kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kebijakan

pendelegasian kewenangan senantiasa bersendikan realisasi amanat

konstitusi dan cita-cita pendirian negara dalam perwujudan demokratisasi

pemerintahan sebagai penguatan kedaulatan rakyat yang dibingkai dalam

tatanan hukum yang berlaku positif.82

Dalam pandangan lain, Philipus M. Hadjon sebagaimana dikutip oleh

Abdul Latif, berpendapat bahwa wewenang sebagai konsep hukum publik

sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) komponen, yakni sebagai berikut: 83

1. Komponen Pengaruh, ialah bahwa penggunaan wewenang


dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum.
Komponen ini dimaksudkan agar pejabat negara tidak
menggunakan wewenangnya diluar tujuan yang ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan.
2. Komponen Dasar Hukum, bahwa wewenang itu selalu harus
dapat ditunjuk dasar hukumnya. Komponen ini bertujuan bahwa
setiap tindak pemerintahan atau pejabat negara harus selalu
mempunyai dasar hukum dalam bertindak.
3. Komponen Konformitas mengandung makna adanya standar
wewenang yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan
standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu). Komponen ini
menghendaki agar setiap tindak pemerintahan atau pejabat negara
82
Hendra Karianga, Politik Hukum Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Kencana,
Jakarta, 2013, hlm. 111.
83
Abdul Latif, Op. Cit., hlm. 7.
51

mempunyai tolok ukur atau standar yang bersifat umum untuk


semua jenis wewenang yang bertumpuk pada legalitas tindakan.

Secara normatif maupun teoritis, cara memperoleh kewenangan

dan/atau wewenang badan dan/atau pejabat pemerintahan, dilakukan dengan

cara sebagai berikut:

1. Atribusi

Atribusi menurut Supriatno sebagaimana dikutip oleh Hendra

Karianga, merupakan pemberian wewenang pemerintahan baru oleh

suatu ketentuan dalam konstitusi atau peraturan perundang-undangan.

Pemberian atribusi dilakukan oleh lembaga pembuat undang-undang

(legislator) sebagai wewenang orisinal.84 Wewenang Atribusi

(Atributie Bevoegdheid) adalah wewenang pemerintah yang diperoleh

dari peraturan perundang-undangan, artinya wewenang pemerintah

dimaksud telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang

berlaku, wewenang ini kemudian yang disebut sebagai asas legalitas

(legalititietbeginsel), wewenang ini dapat didelegasikan maupun

dimandatkan.85 Sedangkan secara normatif pengertian Atribusi adalah

pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan

oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

atau Undang-Undang.86

84
Hendra Karianga, Op. Cit., hlm. 109.
85
Sadjijono, Op. Cit., hlm. 59.
86
Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan.
52

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh wewenang

melalui Atribusi apabila:87

a. diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang;
b. merupakan Wewenang baru atau sebelumnya tidak ada;
dan
c. Atribusi diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan.

2. Delegasi

Delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau

Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau

Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan

tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi.88

Menurut Sadjijono, Wewenang Delegasi (Delegatie

Bevoegdheid) adalah wewenang yang diperoleh atas dasar pelimpahan

wewenang dari badan/organ pemerintahan yang lain. Sifat wewenang

delegasi adalah pelimpahan yang bersumber dari wewenang atribusi.

Akibat hukum ketika wewenang dijalankan menjadi tanggungjawab

penerima delegasi (delegataris), wewenang tersebut tidak dapat

digunakan lagi oleh pemberi wewenang, kecuali pemberi wewenang

(delegans) menilai terjadi penyimpangan atau pertentangan dalam

menjalankan wewenang tersebut, sehingga wewenang dicabut kembali

oleh pemberi delegasi (mandans). Kesimpulannya wewenang delegasi

dapat dicabut kembali oleh pemberi wewenang (delegans) apabila

87
Pasal 12 ayat (1)Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Adminstrasi
Pemerintahan.
88
Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan.
53

dinilai ada pertentangann dengan konsep dasar pelimpahan

wewenang.89

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan (selanjutnya ditulis UU Administrasi Pemerintahan),

telah mengatur mengenai delegasi, yakni sebagai berikut:90

a. Pendelegasian Kewenangan ditetapkan berdasarkan


ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh
Wewenang melalui Delegasi apabila:
1) diberikan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan kepada
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya;
2) ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, dan/atau Peraturan Daerah; dan
3) merupakan Wewenang pelimpahan atau sebelumnya
telah ada.
c. Kewenangan yang didelegasikan kepada Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan tidak dapat didelegasikan lebih
lanjut, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-
undangan.
d. Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan
menentukan lain, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang memperoleh Wewenang melalui Delegasi dapat
mensubdelegasikan Tindakan kepada Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan lain dengan ketentuan:

1) dituangkan dalam bentuk peraturan sebelum


Wewenang dilaksanakan;
2) dilakukan dalam lingkungan pemerintahan itu
sendiri; dan
3) paling banyak diberikan kepada Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan 1 (satu) tingkat di bawahnya.
e. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan
Delegasi dapat menggunakan sendiri Wewenang yang
telah diberikan melalui Delegasi, kecuali ditentukan lain
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
f. Dalam hal pelaksanaan Wewenang berdasarkan Delegasi
menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan
pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang

89
Sadjijono, Op. Cit., hlm. 59-60.
90
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
54

memberikan pendelegasian Kewenangan dapat menarik


kembali Wewenang yang telah didelegasikan.
g. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh
Wewenang melalui Delegasi, tanggung jawab
Kewenangan berada pada penerima Delegasi.

3. Mandat

Mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau

Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau

Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan

tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat.91 Wewenang

Mandat (Mandatat Bevoegdheid) menurut Sadjijono, adalah

pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin

antara bawahan dengan atasan, kecuali dilarang secara tegas oleh

peraturan perundang-undangan. Ditinjau dari segi tanggung jawab dan

tanggunggugatnya, maka wewenang mandat, tanggungjawab dan

tanggunggugat tetap berada pada pemberi mandat (mandans),

penerima mandat (mandataris), tidak dibebani tanggungjawab dan

tanggunggugat atas wewenang yang dijalankan. Setiap wewenang

tersebut dapat digunakan atau ditarik kembali oleh pemberi mandat

(mandans).92

Kemudian terkait dengan cara Badan dan/atau pejabat

pemerintahan memperoleh wewenang secara mandat, telah diatur

dalam ketentuan Pasal 14 UU Administrasi Pemerintahan, sebagai

berikut:
91
Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan.
92
Sadjijono, Op. Cit., hlm. 60.
55

(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh


Mandat apabila:
a. ditugaskan oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan di atasnya; dan
b. merupakan pelaksanaan tugas rutin.
(2) Pejabat yang melaksanakan tugas rutin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. pelaksana harian yang melaksanakan tugas rutin dari
pejabat definitif yang berhalangan sementara; dan
b. pelaksana tugas yang melaksanakan tugas rutin dari
pejabat definitif yang berhalangan tetap.
(3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat memberikan
Mandat kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain
yang menjadi bawahannya, kecuali ditentukan lain dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menerima
Mandat harus menyebutkan atas nama Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan yang memberikan Mandat.
(5) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan
Mandat dapat menggunakan sendiri Wewenang yang telah
diberikan melalui Mandat, kecuali ditentukan lain dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam hal pelaksanaan Wewenang berdasarkan Mandat
menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan
pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
memberikan Mandat dapat menarik kembali Wewenang
yang telah dimandatkan.
(7) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh
Wewenang melalui Mandat tidak berwenang mengambil
Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis yang
berdampak pada perubahan status hukum pada aspek
organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.
(8) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh
Wewenang melalui Mandat tanggung jawab Kewenangan
tetap pada pemberi Mandat.

Untuk memperjelas perbedaan yang mendasar antara wewenang

atribusi, delegasi, dan mandat sebagaimana dikemukakan tersebut di

atas, diuraikan dalam Tabel sebagai berikut:93

93
Ibid., hlm. 61.
56

Tabel 2.1.
Perbedaan Atribusi, Delegasi, dan Mandat
Atribusi Delegasi Mandat
Cara Perolehan Perundang- Pelimpahan Pelimpahan
Undangan
Kekuatan Tetap melekat Dapat dicabut atau Dapat ditarik
Mengikatnya sebelum ada ditarik kembali atau digunakan
perubahan apabila ada sewaktu-waktu
peraturan pertentangan atau oleh pemberi
perundang- penyimpangan wewenang
undangan. (contrarius actus) (mandans).
Tanggungjawab Penerima Pemberi wewenang Berada pada
dan wewenang (delegans) pemberi mandat
Tanggunggugat bertanggung melimpahkan (mandans).
jawab mutlak tanggungjawab dan
akibat yang tanggunggugat
timbul dari kepada penerima
wewenang. wewenang
(delegans).
Hubungan Hubungan hukum Berdasarkan atas Hubungan yang
Wewenang pembentuk wewenang atribusi bersifat internal
undang-undang yang dilimpahkan antara bawahan
dengan organ kepada delegataris. dan atasan.
pemerintahan.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan tersebut diatas,

dapat dikatakan bahwa secara teoritis maupun normatif wewenang

pemerintahan diperoleh melalui tiga cara yakni Atribusi, Delegasi, dan

Mandat. Ketiga cara tersebut memiliki perbedaan terkait dengan

prosedur dan cara memperoleh tersebut. Memahami sumber dan cara

memperoleh wewenang pemerintahan, yaitu terkait dengan

pertanggungjawaban hukum badan dan/atau pejabat pemerintahan

dalam menggunakan wewenangnya, sehingga jelas kepada siapa

masyarakat atau seseorang mengajukan tuntutan dan/atau gugatan

manakala terjadi suatu permasalahan hukum yang menyangkut dengan

kebijakan yang diterbitkan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.


57

C. Tinjauan Umum mengenai Pengawasan

1. Pengertian Pengawasan

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan istilah pengawasan

berasal dari kata “awas” yang artinya memperhatikan baik-baik, dalam arti

melihat sesuatu dengan cermat dan seksama, tidak ada lagi kegiatan kecuali

memberi laporan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya dari apa yang

diawasi. Pengertian pengawasan menurut pendapat beberapa ahli

sebagaimana dikutip oleh Hatta Ali, mengemukakan sebagai berikut:94

“Winardi, Pengawasan adalah semua aktivitas yang dilakukan oleh


pihak manajer dalam upaya memastikan bahwa hasil aktual sesuai
dengan hasil yang direncanakan.
Komaruddin, Pengawasan adalah berhubungan dengan perbandingan
antara pelaksana aktual rencana, dan awal untuk langkah perbaikan
terhadap penyimpangan dan rencana yang berarti.
Saiful Anwar, Pengawasan adalah kontrol terhadap tindakan aparatur
pemerintah diperlukan agar pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan
dapat mencapai tujuan dan terhindar dari penyimpangan-
penyimpangan”.

Berdasarkan pengertian pengawasan yang dikemukakan oleh para ahli

tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengawasan adalah suatu

kegiatan yang dilakukan untuk menilai dari pelaksanaan kegiatan apakah

sudah sesuai dengan yang direncanakan atau sesuai dengan yang seharusnya

(Das Sollen) dan bagaimana kenyataan pelaksanaannya (Das Sein).

2. Unsur dan Syarat Pengawasan

Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari

adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang

94
Hatta Ali. Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2014, hlm. 15.
58

akan dicapai. Melalui pengawasan diharapkan dapat membantu

melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang

telah direncanakan secara efektif dan efisien. Bahkan melalui pengawasan

tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penetuan atau evaluasi

mengenai sejauh mana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan

juga dapat mendeteksi sejauh mana kebijakan pimpinan dijalankan dan

sampai sejauh mana penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja

tersebut.95

Untuk adanya tindakan pengawasan, menurut Muchsan sebagaimana

dikutip Hatta Ali, harus memenuhi unsur sebagai berikut:96

a. Adanya kewenangan yang jelas yang dimiliki oleh aparat


pengawas.
b. Adanya suatu rencana yang mantap sebagai alat penguji terhadap
pelaksanaan suatu tugas yang akan diawasi.
c. Tindakan pengawasan bisa dilakukan terhadap suatu proses
kegiatan yang tengah berjalan maupun terhadap hasil yang
dicapai dari kegiatan tersebut.
d. Tindakan pengawasan berakhir dengan disusunnya evaluasi akhir
terhadap kegiatan yang dilaksanakan serta pencocokan hasil yang
dicapai dengan rencana sebagai tolak ukurnya.
e. Untuk selanjutnya tindakan pengawasan akan diteruskan dengan
tindak lanjut baik secara administratif maupun yuridis.

Agar pelaksanaan pengawasan dapat berjalan dengan efektif dan

mencapai tujuan yang diinginkan, pengawasan tidak boleh dilakukan diakhir

saja tetapi juga pada setiap tingkat proses manajemen. Dengan demikian

pengawasan akan memberikan nilai tambah bagi peningkatan kinerja

organisasi. Adapun syarat pengawasan, yakni sebagai berikut:97

95
Ibid., hlm. 16.
96
Ibid.
97
Ibid., hlm. 16.
59

- Pengawasan harus mencerminkan sifat kegiatan.


- Pengawasan harus melaporkan penyimpangan secara cepat.
- Pengawasan harus melihat jauh kedepan.
- Pengawasan harus mengecualikan hal-hal penting.
- Pengawasan harus subjektif.
- Pengawasan harus fleksibel.
- Pengawasan harus mencerminkan pola organisasi.
- Pengawasan harus ekonomis.
- Pengawasan harus dapat dipahami.
- Pengawasan harus menunjukkan tindakan koreksi

3. Tujuan dan Manfaat Pengawasan

Dalam rangka meningkatkan disiplin kerja pegawai dengan tujuan

untuk mencapai tujuan organisasi sangat perlu diadakan pengawasan, karena

pengawasan mempunyai beberapa tujuan sangat berguna bagi pihak-pihak

yang melaksanakan. Tujuan pengawasan menurut beberapa ahli sebagai

berikut:

Menurut Ranupandojo tujuan pengawasan yaitu mengusahakan agar

pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan

dan atau hasil yang dikehendaki. Kemudian menurut Leonard White tujuan

pengawasan yaitu pertama, untuk menjamin kekuasaan tersebut digunakan

untuk tujuan yang diperintah dan mendapat dukungan serta persetujuan

rakyat. Kedua, untuk melindungi hak asasi manusia yang telah dijamin oleh

Undang-Undang daripada tindakan penyalahgunaan.98

Sementara itu Arifin Abdul Rachman mengemukakan pula tujuan

pengawasan yaitu untuk mengetahui apakah segala sesuatu yang berjalan

sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, untuk untuk mengetahui

apakah segala sesuatu berjalan sesuai dengan instruksi serta prinsip-prinsip

98
Ibid., hlm. 17.
60

yang telah ditetapkan, untuk mengetahui apakah kelemahan-kelemahan

serta kesulitan-kesulitan dan kegagalan-kegagalan lainnya, sehingga bisa

dilakukan perbaikan untuk memperbaiki dan mencegah pengulangan

kegiatan-kegiatan yang salah, untuk mengetahui apakah segala sesuatu

berjalan efisien, dan apakah tidak dapat diadakan perbaikan-perbaikan lebih

lanjut, sehingga mendapat efisiensi yang lebih besar.99

Dalam pandangan lain Viktor M. Situmorang dan Jusuf Tahir,

megemukakan pula bahwa tujuan pengawasan antara lain sebagai

berikut:100

a) agar terciptanya aparatur pemerintah yang bersih dan


berwibawa yang didukung oleh suatu sistem manajemen
pemerintah yang berdaya guna dan berhasil guna serta ditunjang
oleh partisipasi masyarakat yang konstruksi dan terkendali
dalam wujud pengawasan masyarakat (kontrol sosial) yang
objektif, sehat dan bertanggung jawab,
b) agar terselenggaranya tertib administrasi dilingkungan aparatur
pemerintah, tumbuhnya disiplin kerja yang sehat. Agar adanya
keleluasaan dalam melaksanakan tugas, fungsi/kegiatan,
tumbuhnya budaya maka dalam diri masing-masing aparat, rasa
bersalah dan rasa berdosa yang lebih mendalam untuk berbuat
hal-hal yang tercela terhadap masyarakat dan ajaran agama.

Dari uraian pendapat para ahli tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa

pada hakikatnya tujuan pengawasan adalah untuk mengetahui dan

mengkoreksi apa yang dilakukan apakah sesuai dengan apa yang

direncanakan, dimana hasil koreksi tersebut dapat digunakan sebagai bahan

untuk melakukan perbaikan di waktu yang akan datang.

99
Ibid.
100
Ibid.
61

Hasil pengawasan harus bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan

dalam langkah-langkah yang dipandang perlu untuk penyempurnaan.

Penyempurnaan tersebut terdiri di bidang kelembagaan, kepegawaian dan

terlaksananya program dalam rangka menjamin kelancaran pelaksanaan

tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan dengan berpedoman

kepada asas daya guna dan hasil guna, melakukan tindakan penertiban dan

penindakan pada umumnya yang diperlukan terhadap perbuatan korupsi,

penyalahgunaan wewenang, kebocoran dan pemborosan kekayaan negara,

pungutan liar, dan tindakan penyelewengan lainnya baik yang melanggar

peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun yang bertentangan

dengan kebijaksanaan pemerintah serta menghambat pembangunan.101

4. Jenis Pengawasan

Jenis pengawasan dibagi dalam beberapa kategori yaitu sebagai

berikut: 102

a. Jenis Pengawasan dari Pola Pemeriksaan


Pemeriksaan operasional yaitu pemeriksaan terhadap cara
pengelolaan suatu organisasi untuk melaksanakan tugas dengan
lebih baik. Pemeriksaan menekankan pada penilaian dari sudut
efisiensi dan kehematan. Pemeriksaan finansial yaitu
pemeriksaan yang mengutamakan pada masalah keuangan
(transaksi, dokumen, buku daftar serta laporan keuangan) antara
lain untuk memperoleh kepastian bahwa berbagai transaksi
keuangan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang,
peraturan, instruksi yang bersangkutan dan seterusnya.
Pemeriksaan program yaitu untuk menilai program secara
keseluruhan, contohnya, suatu program pengendalian
pencemaran air. Pemeriksaan lengkap yaitu pemeriksaan yang
mencakup tiga pemeriksaan diatas.

101
Ibid., hlm. 25.
102
Ibid., hlm. 19.
62

b. Jenis pengawasan dari waktu pelaksanaan


Pengawasan preventif yaitu pengawasan yang melalui pre
audit sebelum pekerjaan dimulai, contohnya dengan
mengadakan pengawasan terhadap persiapan-persiapan, rencana
kerja, rencana anggaran, rencana perencanaan tenaga, dan
sumber lain. Pengawasan represif yaitu pengawasan yang
dilaksanakan lewat post audit, dengan pemeriksaan terhadap
pelaksanaan dan sebagainya.
c. Jenis pengawasan berdasarkan subjek yang melakukan
pengawasan
Pengawasan melekat yaitu pengawasan yang dilakukan
oleh setiap pimpinan terhadap bawahan dalam suatu kerja yang
dipimpinnya. Pengawasan fungsional yaitu pengawasan yang
dilakukan oleh aparat yang tugas pokoknya melakukan
pengawasan seperti Inspektorat Jenderal, Itwilprop, BPKP, dan
Bakpeda. Pengawasan legislatif yaitu pengawasan yang
dilakukan oleh perwakilan rakyat baik di pusat (DPR) maupun
di daerah (DPRD). Pengawasan masyarakat yaitu pengawasan
yang dilakukan oleh masyarakat, seperti yang termuat di dalam
media massa atau elektronik. Pengawasan politis yaitu
pengawasan yang dilakukan oleh lembaga politis.
d. Jenis pengawasan berdasarkan cara pelaksanaannya :
Pengawasan langsung yaitu pengawasan yang digelar
ditempat kegiatan berlangsung, yaitu dengan mengadakan
inspeksi dan pemeriksaan. Pengawasan tidak langsung yaitu
pengawasan yang dilakukan dengan mengadakan pemantauan
dan pengkajian laporan dari pejabat atau satuan kerja yang
bersangkutan, aparat pengawas fungsional, pengawas legislatif,
pengawas masyarakat.
e. Jenis pengawasan berdasarkan waktu pelaksanaannya
Sebelum kegiatan yaitu pengawasan yang dilakukan
sebelum kegiatan dimulai, antaralain dengan mengadakan
pemeriksaan dan persetujuan rencana kerja dan rencana
anggarannya, dan penetapan petunjuk operasional. Selama
kegiatan yaitu pengawasan yang dilakukan selama pekerjaan
masih berlangsung. Pengawasan ini bersifat represif terhadap
yang sudah terjadi dan sekaligus bersifat preventif untuk
mencegah berkembangnya atau berulang kesalahan pada tahap-
tahap selanjutnya. Sesudah kegiatan yaitu pengawasan yang
dilakukan setelah pekerjaan selesai dilaksanakan, dengan
membandingkan antara rencana dan hasil Pemeriksaan apakah
semuanya telah sesuai dengan kebijakan atau ketentuan yang
berlaku. Tujuan pengawasan ini untuk mengkoreksi atas
kesalahan-kesalahan yang telah terjadi sehingga bersifat
represif.
63

f. Jenis Pengawasan dari sisi objek yang diawasi


Pengawasan khusus yaitu pengawasan yang dilakukan
berkaitan dengan keuangan dan pembangunan negara. Contoh:
BPK hanya melakukan pengawasan terhadap penggunaan
anggaran negara. Pengawasan umum yaitu pengawasan yang
dilakukan secara keseluruhan. Contoh: Inspektur Jenderal
melakukan pengawasan terhadap semua bidang kegiatan
Menteri tersebut.

D. Tinjauan Umum mengenai Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Baik (Good

Governance)

1. Pengertian Pemerintah dan Pemerintahan

Menurut Inu Kencana Syafii, Pemerintahan berasal dari kata

Pemerintah yang paling sedikit memiliki kata perintah dengan empat unsur

yaitu ada dua pihak, keduanya saling berhubungan, pihak yang memerintah

memiliki kewenangan dan pihak yang diperintah memiliki ketaatan.103

Dalam hukum publik, dikenal istilah pemerintah dan pemerintahan.

Pemerintahan adalah bestuurvoering atau pelaksanaan tugas pemerintah,

sedangkan pemerintah ialah organ/alat atau aparat yang menjalankan

pemerintahan.104 Pengertian pemerintahan dalam rangka hukum

administrasi digunakan dalam arti “pemerintahan umum” atau

“pemerintahan negara”. Pemerintahan dapat difahami melalui dua

pengertian: di satu pihak dalam arti “fungsi pemerintahan” (kegiatan

memerintah), di lain pihak dalam arti organisasi pemerintahan (kumpulan

103
Inu Kencana Syafii, Pengantar Ilmu Pemerintahan, Refika Aditama, Jakarta, 2001, hlm.
20.
104
M. Nata Saputra, Hukum Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta, 1984, hlm. 4.
64

dari kesatuan-kesatuan pemerintahan).105 Pemerintahan memiliki dua arti,

yakni dalam arti luas, dan dalam arti sempit.106 Pemerintahan dalam arti luas

adalah segala bentuk kegiatan atau aktifitas penyelenggaraan negara yang

dilakukan oleh organ-organ atau alat-alat perlengkapan negara yang

memiliki tugas dan fungsi sebagaimana digariskan oleh konstitusi.

Pengertian seperti ini mencakup kegiatan atau aktifitas penyelenggaraan

negara yang dilakukan oleh eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam suatu

organisasi kekuasaan yang disebut dengan negara. 107 Sedangkan pengertian

pemerintahan dalam arti sempit tidak lain adalah aktifitas atau kegiatan

yang diselenggarakan oleh organ pemegang kekuasaan eksekutif sesuai

dengan tugas dan fungsinya dalam hal ini dilaksanakan oleh Presiden

ataupun Perdana Menteri sampai dengan level birokrasi yang paling rendah

tingkatannya. Dengan kata lain, penyelenggaraan tugas dan fungsi

administratuur atau bestuur inilah yang disebut sebagai pemerintahan

dalam arti sempit.108

2. Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Baik (Good Governance)

Paradigma penyelenggaraan pemerintahan telah terjadi pergeseran

dari paradigma rule government menjadi good governance.109 Pada akhir

abad ke-20 berkembang keyakinan bahwa tata pemerintahan yang baik atau

105
Philipus M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the
Indonesian Administrative Law), Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1993, hlm. 6.
106
Sadjijono, Op. Cit., hlm. 41.
107
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia, Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta, 2009, hlm. 119.
108
Ibid..
109
Joko Widodo, Good Governance, Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol
Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan Cendekia, Surabaya, 2001, hlm. 1.
65

good governance adalah kunci untuk menjamin berlanjutnya perkembangan

kehidupan.110 Konsep good governance (pemerintahan yang baik)

merupakan konsep yang baru dikenal di dalam khasanah teori maupun

praktek ketatanegaraan dan pemerintahan.111

Istilah good governance secara etimologi diterjemahkan menjadi

pengelolaan yang baik atau penyelenggaraan yang baik 112, tata

pemerintahan yang baik dan berwibawa.113 Di lain pihak, Bintan Saragih

mengartikan good governance sebagai pelayanan publik yang efisien, sistem

pengadilan yang dapat diandalkan, pemerintahan yang bertanggungjawab

(accountable) pada publiknya.114 Istilah good governance pada awalnya

mengadopsi dari istilah good corporate governance (pengelolaan korporasi

yang baik), yang dicetuskan pada tahun 1998 oleh OECD (Organization for

the Economic Cooperation and Development = Organisasi Kerjasama

Ekonomi dan Pembangunan), yaitu sebuah organisasi di bawah UNDP

(United Nation Development Program) yang berada di lingkungan

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).115

110
Sedarmayanti, Op. Cit., hlm. 10.
111
Priyatmanto, Revitalisasi Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara
(Revitalitation of Absolute Competency/Juridiction of The State Administrative Court), Disertasi,
Program Pascasarjana, Universitas Hasanudin, Makasar, 2014, hlm. 71., diakses pada situs:
http://repository.unhas.ac.id:4001/digilib/files/disk1/125/--priyatmant-6224-1-14-priya-h.pdf.
112
Moh. Mahfud MD., Ketika Gudang Kehabisan Teori Ekonomi dalam Pemerintahan
Yang Bersih, UII Press, Yogyakarta, 2000, hlm. vii.
113
Miftah Toha, Transparansi dan Pertanggungjawaban Publik Terhadap Tindakan
Pemerintah, Makalah Seminar Hukum Nasional ke-7, Jakarta, 1999, hlm. 2., dalam Sadjijono, Op.
Cit., hlm. 145.
114
Bintan Saragih, Kapabilitas DPR Dalam Pemantapan Good Governance, Badan
Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Jakarta, 12-15 Oktober 1999, hlm. 4.
115
Ibid.
66

United Nation Development Program (UNDP) menyebutkan ciri-ciri

dari good governance, yakni mengikutsertakan semua, transparan, dan

bertanggungjawab, efektif dan adil, menjamin adanya supremasi hukum,

menjamin bahwa prioritas-prioritas politik, sosial dan ekonomi didasarkan

pada konsensus masyarakat, serta memperhatikan kepentingan mereka yang

paling miskin dan lemah dalam proses pengambilan keputusan menyangkut

alokasi sumber daya pembangunan.116

Rumusan ciri-ciri good governance sebagaimana dikemukakan oleh

UNDP tersebut di atas, Sadu Wasistiono merumuskan ciri-ciri tata

pemerintahan yang baik, meliputi:117

1. Mengikutsertakan semua masyarakat;


2. Transparan dan bertanggungjawab;
3. Efektif dan adil;
4. Menjamin adanya supremasi hukum;
5. Menjamin bahwa prioritas-prioritas politik, sosial, dan
ekonomi didasarkan pada concesus masyarakat;
6. Memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan
lemah dalam proses pengambilan keputusan menyangkut
alokasi sumber daya pembangunan.

Konsep Good Corporate Governance (GCG) yang disusun oleh

OECD adalah konsep di bidang perekonomian, maka 72 prinsip-prinsip

“GCG” beranjak dari upaya perbaikan sistem perekonomian, pembangunan

dan pemerintahan, yaitu meliputi:118

1. Human Rights Observance and Democracy (Hak Asasi


Manusia dan Demokrasi);
2. Market Reforms (Reformasi Pasar);

116
Joko Widodo, Op. Cit., hlm. 3.
117
Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Managemen Pemerintahan Daerah, Fokusmedia,
Bandung, 2003, hlm. 32.
118
Ibid., hlm. 72.
67

3. Bureaucratic Reform (Corruption and Transparency)


(Reformasi Birokrasi);
4. Environmental Protection and Sustainable Development
(Perlindungan Lingkungan Hidup dan Pembangunan
Berkelanjutan);
5. Reduction in Military and Defence Expenditures and Non
Production of Weapon of Massdestruction (Pengurangan
militer dan anggaran pertahanan serta tidak memproduksi
senjata pemusnah massal).

Konsep GCG dari OECD tersebut kemudian dikembangkan oleh

UNDP pada tahun 2000 menjadi konsep good governance yang mencakup 9

(sembilan) unsur sebagai berikut:119

1) Participation (Partisipasi), yakni bahwa setiap warga negara


mempunyai suara (berpartisipasi) dalam pembuatan keputusan,
baik secara langsung maupun melalui perwakilan;
2) Rule of Law (berdasarkan aturan hukum), yakni bahwa setiap
tindakan atau keputusan pemerintah harus didasarkan atas
hukum dan dilaksanakan secara adil tanpa berpihak, khususnya
yang menyangkut hak asasi manusia;
3) Transparency (keterbukaan), yakni adanya keterbukaan infor-
masi dalam setiap keputusan/kebijakan pemerintah, terutama
menyangkut kepentingan publik, dengan menyediakan akses
informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat;
4) Responsiveness (respon atau kepedulian), yakni bahwa setiap
badan/pejabat publik harus bersikap responsif terhadap segala
aspirasi masyarakat, termasuk pengaduan dan tuntutan publik;
5) Concensus Orientation (musyawarah dan mufakat), yakni
bahwa dalam setiap pengambilan keputusan atau penyelesaian
suatu masalah yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat
harus berorientasi pada prinsip musyawarah dan mufakat;
6) Equity (persamaan), yakni bahwa semua warga negara
mempunyai hak, kedudukan, dan kesempatan yang sama
dalam segala bidang kehidupan;
7) Effectiveness and efficiency (berdayaguna dan berhasilguna),
yakni bahwa setiap program kebijakan publik harus sesuai
dengan yang digariskan, berdaya-guna dan berhasil guna;
8) Accountability (akuntabilitas), yakni bahwa setiap keputusan
atau kebijakan publik harus dapat dipertanggungjawabkan baik
secara yuridis, ekonomis, maupun politis;

119
Priyatmanto, Op. Cit., hlm. 72-73.
68

9) Strategic Vision (pandangan strategis), yakni bahwa para


pemimpin publik harus memiliki perspektif wawasan yang luas
dan jauh ke depan sejalan dengan perkembangan jaman serta
kebutuhan masyarakat, bangsa dan negara.

Konsep pemerintahan yang baik (good governance) tersebut terwujud,

jika pemerintahan diselenggarakan dengan transparan, responsif,

partisipatif, taat pada ketentuan hukum (rule of law), berorientasi pada

konsensus, adanya kebersamaan, akuntabilitas, dan memiliki visi yang

strategis.120 Pemerintahan yang baik mengandung arti kegiatan suatu

lembaga pemerintah yang dijalankan berdasarkan kepentingan rakyat dan

norma yang berlaku untuk mewujudkan cita-cita negara. Sehingga esensi

dari good governance menekankan pada kegiatan pemerintah yang

dijalankan oleh penyelenggara pemerintahan selalu berpegang pada etika

dan moral yang dirumuskan ke dalam asas-asas umum pemerintahan yang

baik.121 Konsep good governance tersebut pada prinsipnya sejalan

(meskipun tidak sama persis) dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang

Baik (AUPB) yang dikenal dalam hukum administrasi negara dan

digunakan oleh Pengadilan sebagai salah satu dasar pengujian

(toetsinggronden) terhadap keputusan badan/ pejabat administrasi.122

120
Sadjijono, Op. Cit., hlm. 149.
121
Ibid., hlm. 160.
122
Priyatmanto, Op. Cit., hlm. 73-74.
69

A.M. Donner dan Wiarda, sebagaimana dikutip oleh Jazim Hamidi,

merumuskan asas-asas umum pemerintahan yang baik (aaupb) sebagai

berikut:123

1. Asas Kejujuran (fair play);


2. Asas Kecermatan (zorgvuldigheid);
3. Asas Kemurnian dalam Tujuan (Zuiverheid van Oogmerk);
4. Asas Keseimbangan (evenwichtigheid);
5. Asas Kepastian Hukum (rechts zekerheid).

Crince Le Roy dalam kuliahnya pada Penataran Lanjutan Hukum Tata

Usaha Negara di Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya pada

tahun 1976, telah diketengahkan 13 asas, yakni sebagai berikut:124

1. Asas kepastian hukum (principle of legal certainty);


2. Asas keseimbangan (principle of proportionality);
3. Asas kesamaan dalam keputusan (principle of equality);
4. Asas bertindak cermat (principle of carefulness);
5. Asas motivasi dalam keputusan (principle of motivation);
6. Asas larangan mencampuradukkan kewenangan (principle of
non misuse of competence);
7. Asas permainan yang layak (principle of fair play);
8. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonable or
prohibition of arbitrariness);
9. Asas menanggapi penghargaan yang wajar (principle of
meeting raised expectation);
10. Asas meniadakan akibat keputusan yang batal (principle of
undoing the consequences of unnulled decision);
11. Asas perlindungan atas pandangan hidup pribadi (principles of
protecting the personal way of life).
12. Asas kebijaksanaan (sapientia);
13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public
service).

123
Jazim Hamidi, Penerapan Asas-asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang
Layak (AAUPPL) di Lingkungan Peradilan Administrasi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm.
31-32.
124
Paulus Effendi Lotulung, Hukum Tata Usaha Negara dan Kekuasaan, Salemba
Humanika, Jakarta, 2013, hlm. 145-146.
70

Dari tiga belas asas-asas umum pemerintahan yang baik tersebut,

sebagian telah dimasukkan di dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 9

Tahun 2004 Tentang Perubahan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986

Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dengan mengutip AUPB dari

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara

yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang terdiri

dari 6 (enam) asas, yaitu: (1) Asas kepastian hukum, (2) Asas tertib

penyelenggaraan negara, (3) Asas keterbukaan, (4) Asas proporsionalitas,

(5) Asas profesionalitas, dan (6) Asas akuntabilitas.125

Kemudian mengenai asas-asas umum pemerintahan yang baik diatur

pula dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014, yakni

sebagai berikut:

a. kepastian hukum;

b. kemanfaatan;

c. ketidakberpihakan;

d. kecermatan;

e. tidak menyalahgunakan kewenangan;

f. keterbukaan;

g. kepentingan umum; dan

h. pelayanan yang baik.

125
Priyatmanto, Op. Cit., hlm. 75.
71

Menurut G.H. Addink sebagaimana dikutip oleh Sadjijono, memaknai

asas good governance sama dengan asas good administration (principles of

Good Governance same as Principles og Good Administration) dan

merumuskan delapan asas yang mencakup karakter positif maupun

negatif.126 Di lain pihak, Paulus Effendi Lotulung mengemukakan

perbedaan antara asas-asas umum pemerintahan yang baik dengan good

governance, bahwa AAUPB berada dalam ranah hukum administrasi

(administrative law), sedangkan good governance berada dalam disiplin

ilmu administrasi negara (public administration), sehingga karakter good

governance lebih luas mencakup aspek ekonomi, politik, administrasi, dan

sebagainya. Dapat dikatakan bahwa good governance merupakan genus,

sedangkan AAUPB merupakan spesiesnya. Namun demikian, keduanya

mempunyai korelasi serta visi dan misi yang sama menuju pada

pemerintahan yang baik.127

126
Sadjijono, Op. Cit., hlm. 173.
127
Paulus Effendi Lotulung,Op. Cit., hlm. 148-149.

Anda mungkin juga menyukai