Anda di halaman 1dari 18

Ibuku memelukku dengan erat.

“Ikuti kata hatimu, sayang, dan tolong – cobalah untuk jangan berpikir terlalu berlebihan. Relaks dan
nikmati untuk dirimu sendiri. Kau masih begitu muda, sayang. Kau punya banyak waktu untuk mencari
pengalaman hidup, hanya biarkan saja itu mengalir. Kau layak mendapatkan yang terbaik.” Dia kata-
kata tulusnya sangat menghibur di telingaku. Dia mencium rambutku.

“Oh, Ma.” Air mata yang panas tak diinginkan menusuk mata saat aku memeluk erat padanya.

“Sayang, kau tahu apa yang mereka katakan. Kau harus banyak mencium kodok sebelum kau
menemukan pangeranmu.”

Aku memberi senyum pahit padanya.

“Kupikir aku sudah mencium seorang pangeran, Ma. Aku berharap dia tak berubah menjadi seekor
kodok.”

Dia memberikan padaku senyuman yang paling menawan, cinta seorang ibu yang absolut tanpa syarat,
dan aku mengagumi cinta yang kurasakan untuk wanita ini saat kami berpelukan lagi.

“Ana – mereka sudah memanggil penerbanganmu,” Suara Bob dengan cemas.

“Ma, maukah kamu mengunjungiku?”

“Tentu saja sayang – segera. Aku mencintaimu.”

“Aku juga.”

Matanya merah dengan air mata yang tertahan saat dia melepaskanku. Aku benci meninggalkannya.
Aku memeluk Bob, dan berbalik, menuju gerbang – Aku tak punya waktu untuk masuk ruang tunggu
kelas satu hari ini. Aku menahan diriku untuk tidak menengok kebelakang. Tapi aku tak bisa
menahannya… dan Bob sedang memeluk ibuku, dan air mata mengaliri wajahnya. Aku tak bisa
menahan air mataku lagi. Aku menunduk ke bawah dan berjalan menuju gerbang, menahan mataku
tetap pada lantai putih mengkilap, mataku jadi kabur tertutup air mata.

Setelah berada di dalam pesawat dengan kemewahan kelas satu, aku meringkuk di kursiku dan
mencoba untuk menenangkan diri. Hal ini selalu menyakitkan yang merenggut diriku saat berada jauh
dari Ibuku … dia seorang yang ceroboh, berantakan, tapi baru saja berwawasan, dan dia mencintaiku.
Cintanya tak bersyarat – apa yang setiap anak layak dapatkan dari orang tuanya. Aku mengerutkan
kening dengan pikiran bandelku, dan mengeluarkan BlackBerry-ku, memandangnya dengan sedih.

Apa Christian tahu tentang cinta? Sepertinya dia tak mendapatkan cinta tanpa syarat yang seharusnya
dia dapatkan saat awal kehidupannya. Hatiku berputar-putar, dan kata-kata ibuku berhembus seperti
angin sepoi-sepoi melalui pikiranku: Ya, Ana. Ya ampun – apa yang kau butuhkan? – Lampu neon yang
berkedip menempel di dahinya? Dia pikir Christian mencintaiku, karena dia ibuku, tentu saja dia akan
berpikir seperti itu. Dia pikir aku pantas mendapatkan yang terbaik dari segala-galanya. Aku
mengerutkan kening. Memang benar, dan mengejutkan saat semuanya menjadi jelas, aku melihatnya.
Ini sangat sederhana: Aku menginginkan cintanya. Aku ingin Christian Grey mencintaiku.

Hal inilah yang bisa menjawab mengapa aku begitu pemalu dengan hubungan kami – karena kami
sudah berada diatas fundamental suatu hubungan, aku mengakui didalam diriku ada sebuah dorongan
yang mendalam untuk dicintai dan disayangi.
Dan karena fifty shades-nya – aku harus menahan diriku sendiri. Gaya hidup BDSM-nya mengalihkan
perhatian dari masalah yang sebenarnya. Seks yang luar biasa, dia kaya, dia tampan, tapi semua ini
tak berarti tanpa cintanya, dan rasanya seperti putus asa aku tak tahu apakah dia mempunyai
kemampuan untuk mencintai. Dia bahkan tidak mencintai dirinya sendiri. Aku ingat dia membenci
dirinya sendiri, cinta dari Mrs. R menjadi satu-satunya perwujudan bahwa dia bisa diterima dan
menemukan dirinya lagi. Hukuman – dicambuk, dipukuli, apa pun yang diperlukan dalam hubungan
mereka – dia merasa tak layak mendapatkan cinta. Mengapa dia merasa seperti itu? Bagaimana dia
bisa merasa seperti itu? Kata-katanya menghantuiku: ‘Sangat sulit untuk tumbuh dalam keluarga yang
sempurna saat kamu tak sempurna.’

Aku memejamkan mata, membayangkan rasa sakitnya, dan aku tak bisa memahaminya. Aku bergidik
saat aku ingat bahwa aku mungkin telah membeberkan terlalu banyak. Apa aku sudah mengaku pada
Christian dalam tidurku? Rahasia apa yang sudah aku ungkapkan? Aku menatap BlackBerry setengah
berharap bahwa dia akan memberiku beberapa jawaban. Sebaliknya tak terlalu mengejutkan, tidak ada
email yang masuk. Tapi kita belum take off, aku memutuskan untuk mengirim email untuk Fifty Shades-
ku.

.
Dari: Anastasia Steele
Perihal: Dalam perjalanan pulang
Tanggal: 3 Juni 2011 12:53 EST
Untuk: Christian Grey
.
Dear Mr. Grey
Sekali lagi aku duduk nyaman di kelas satu, untuk ini aku ucapkan terima kasih. Aku mulai menghitung tiap
menit sampai kita bisa bertemu sore ini, dan mungkin akan menyiksamu sampai mendengar kebenaran
darimu tentang pengakuanku pada malam itu.
.
Ana-mu x
.
.
Dari: Christian Grey
Perihal: Dalam perjalanan pulang
Tanggal: 3 Juni 2011 09:58
Untuk: Anastasia Steele Anastasia,
.
Aku menunggu untuk bisa bertemu denganmu.
.
Christian Grey
CEO, Grey Enterprises Holdings Inc
.
Jawabannya membuat aku mengerutkan kening. Kedengarannya terpotong dan formal, tidak seperti
biasanya lucu, penuh arti.

.
Dari: Anastasia Steele
Perihal: Dalam perjalanan pulang
Tanggal: 3 Juni 2011 13:01 EST
Untuk: Christian Grey
.
Dearest Mr. Grey Aku harap semuanya baik-baik saja perihal ‘situasi.’ Nada dari emailmu sangat
mengkhawatirkan.
.
Ana x
.
.
Dari: Christian Grey
Perihal: Dalam perjalanan pulang
Tanggal: 3 Juni 2011 10:04
Untuk: Anastasia Steele
.
Anastasia
Situasinya mungkin bisa jadi lebih baik. Apa kau sudah take-off atau belum? Jika sudah kau tak boleh
mengirim email.
Kau menempatkan dirimu penuh dengan risiko, bertentangan langsung dengan aturan mengabakan
keselamatan pribadimu. Maksudku apa yang kukatakan mengenai hukuman.
Christian Grey
CEO, Grey Enterprises Holdings Inc
.
Sialan. Oke. Astaga. Apa yang sedang mengganggunya? Mungkin ‘situasi’? Mungkin Taylor pergi
tanpa alasan, mungkin dia jatuh beberapa juta di pasar saham – apapun alasannya.

.
Dari: Anastasia Steele
Perihal: Reaksi Yang Berlebihan
Tanggal: 3 Juni 2011 13:06 EST
Untuk: Christian Grey
.
Dear Mr. Pemarah
Pintu-pintu pesawat masih terbuka. Kami delay tapi hanya sepuluh menit. Keselamatanku dan penumpang di
sekitarku masih dijamin aman. Mungkin sekarang kau harus menghentikan telapak tanganmu yang berkedut.
.
Miss Steele
.
.
Dari: Christian Grey
Perihal: Permintaan maaf – Telapak Tangan Sudah Berhenti Berkedut
Tanggal: 3 Juni 2011 10:08
Untuk: Anastasia Steele
.
Aku merindukanmu dan mulut cerdasmu Miss Steele.
Aku ingin kau pulang dengan selamat.
.
Christian Grey
CEO, Grey Enterprises Holdings Inc
.
.
Dari: Anastasia Steele
Perihal: Permintaan Maaf Sudah Diterima
Tanggal: 3 Juni 2011 13:10 WIB
Untuk: Christian Grey
.
Mereka sudah menutup pintu. Kau tak akan mendengar lagi suaraku, terutama mengingat keadaanmu yang
tuli. Sampai ketemu nanti.
.
Ana x
.
Aku matikan BlackBerry, tak bisa membuang kegelisahaanku. Ada sesuatu dengan Christian. Mungkin
‘situasi’ diluar kendali. Aku duduk kembali, sambil menatap loker di mana tasku disimpan. Dengan
bantuan ibuku, pagi ini aku berhasil membelikan Christian hadiah kecil tanda ucapan terima kasih untuk
kelas satu dan untuk gliding. Aku tersenyum pada memori tentang membubung – bahwa itu adalah
sesuatu yang lain. Aku belum tahu apa aku akan memberikan hadiah konyolku padanya. Dia mungkin
berpikir itu kekanak-kanakan – dan jika dia dalam suasana hati yang aneh, mungkin tidak. Aku berada
di dua sisi, bersemangat untuk kembali dan gelisah mengenai apa yang menungguku di akhir
perjalananku. Secara mental aku membolak-balik semua skenario yang bisa menjadi ‘situasi’, aku
menjadi sadar bahwa sekali lagi, satu-satunya kursi kosong ada di sebelahku. Aku menggelengkan
kepala dengan pemikiran yang melintasi pikiranku bahwa Christian mungkin telah membeli dua kursi
yang bersebelahan sehingga aku tak bisa berbicara dengan siapa pun. Aku menolak pemikiran yang
konyol itu – Tak seorangpun bisa jadi terkontrol, itu pasti cemburu. Aku menutup mataku saat pesawat
berjalan pelan-pelan menuju runway.

*****

Aku keluar terminal kedatangan Sea-Tac delapan jam kemudian menemukan Taylor yang sudah
menunggu dan memegang sebuah papan yang bertuliskan Miss A Steele. Jujur! Tapi ada baiknya bisa
langsung melihatnya.

“Halo, Taylor.”

“Miss Steele,” dia menyapaku dengan formal, tapi aku melihat sedikit senyum di mata coklatnya yang
tajam.

Dia terlihat seperti biasa, dirinya tampak rapi – jas yang pas dibadannya berwarna arang, kemeja putih,
dan dasi warna arang.

“Aku sudah tahu kau seperti apa Taylor, Kamu tak perlu membawa papan, dan aku berharap kau
memanggilku, Ana.”

“Ana. Bisakah saya membawa tasmu, kumohon?”

“Tidak, aku bisa bisa membawa sendiri. Terima kasih.”

Bibirnya terlihat mengencang.

“Tapi, jika kamu merasa lebih nyaman, bawalah,” aku tergagap.

“Terima kasih.” Dia mengambil ranselku dan koper beroda baruku yang isinya pakaianku yang dibelikan
oleh ibuku. “Lewat sini, ma’am.”

Aku menghela napas. Dia begitu sopan. Aku ingat, meskipun aku ingin menghapusnya dari ingatanku,
bahwa orang ini telah membelikanku pakaian dalam. Kenyataannya – pikiran itu meresahkanku – dia
satu-satunya orang yang pernah membelikan aku pakaian dalam. Bahkan Ray tak pernah harus
menanggung penderitaan seperti itu.

Kami berjalan keluar dalam diam menuju Audi SUV hitam di tempat parkir bandara, dan dia menahan
pintu terbuka untukku. Aku merangkak naik kedalam, bertanya-tanya apakah memakai semacam rok
pendek untuk kembali ke Seattle adalah ide yang baik. Itu keren dan bisa diterima di Georgia. Disini
aku merasa terekspos. Setelah Taylor menyimpan tasku di bagasi, kami berangkat menuju Escala.

Perjalanan melambat, terjebak lalu lintas pada jam sibuk. Mata Taylor fokus ke jalan. Sifat pendiamnya
tidak bisa menggambarkan tentang dirinya.

Aku tidak bisa lama menahan keheningan ini.

“Bagaimana kabarnya Christian, Taylor?”

“Mr. Grey sangat sibuk, Miss Steele.”


Oh, ini pasti masalah ‘situasi’. Aku seperti menggali lapisan emas.

“Sibuk?”

“Ya, ma’am.”

Aku mengerutkan kening ke Taylor, dan dia melirikku melalui kaca spion, mata kami bertemu. Dia tak
banyak bicara. Astaga, dia menjadi bungkam sama halnya dengan si gila kontrol itu.

“Apakah dia baik-baik saja?”

“Aku yakin begitu, ma’am.”

“Apa kau lebih nyaman memanggilku Miss Steele?”

“Ya, ma’am.”

“Oh, oke.”

Yah, itu percakapan terbatas kami, dan kami terus di keheningan. Aku mulai berpikir bahwa waktu
kemarin Taylor tak sengaja membuka mulutnya, saat dia mengatakan bahwa Christian berada di
neraka, adalah diluar kebiasaannya. Mungkin dia malu tentang hal itu, khawatir bahwa dia sudah tak
setia. Keheningan yang menyesakkan.

“Aku minta tolong, bisakah kamu menyalakan musiknya?”

“Tentu saja, ma’am. Apa yang ingin anda dengar?”

“Sesuatu yang menyejukkan.”

Aku melihat senyuman di bibir Taylor saat mata kita kembali bertemu sekilas di cermin.

“Ya, ma’am.”

Dia menekan tombol pada roda kemudi, dan alunan lembut lagu Canon dari Pachelbel langsung
terdengar didalam mobil. Oh, … ya inilah apa yang aku butuhkan.

“Terima kasih.” Aku duduk kembali saat mobil kami meluncur perlahan sepanjang I-5 menuju Seattle.

Dua puluh lima menit kemudian dia menurunkan aku di depan fasad yang mengagumkan yang
merupakan pintu masuk ke Escala.

“Sudah sampai, ma’am,” katanya, menahan pintu terbuka untukku. “Aku akan membawa barang
bawaan Anda.” Ekspresinya sangat lembut, hangat, bahkan layaknya seorang paman.

Astaga… Paman Taylor, pikiran apa ini.

“Terima kasih sudah menjemputku.”


“Sangat menyenangkan untukku, Miss Steele.” Dia tersenyum, dan aku berjalan masuk ke dalam
gedung. Penjaga pintu itu mengangguk dan mempersilahkan aku.

Saat aku naik ke lantai tiga puluh, seribu kupu-kupu meregangkan sayap mereka dan berdebar tak
menentu di perutku. Mengapa aku begitu gugup? Dan aku tahu itu karena aku tak tahu suasana hati
Christian seperti apa saat aku tiba. Dewi batinku berharap untuk satu jenis suasana, pikiran bawah
sadarku, seperti juga aku penuh dengan rasa gelisah.

Pintu lift terbuka, dan aku berada di ruang depan. Sangat aneh karena tidak bertemu dengan Taylor.

Tentu saja, dia sedang parkir mobil. Di ruangan besar, Christian sedang berbicara pelan di BlackBerry-
nya sambil menatap keluar dari balik pintu kaca tampak kota Seattle di senja hari yang terlihat sangat
memukau. Dia mengenakan setelan abu-abu dengan jaket terbuka, dan dia menjalankan tangannya
ke rambutnya, dia sangat gelisah, bahkan tegang. Oh tidak – apa ada yang salah? Gelisah atau tidak,
dia masih terlihat luar biasa tampan. Bagaimana dia bisa terlihat begitu… menawan? Sangat
menyenangkan, sambil berdiri aku mengagumi dia.

“Tidak ada jejak… Oke… Ya.” Dia berbalik dan melihatku, dan seluruh sikapnya berubah. Dari tegang
menjadi rasa lega akan sesuatu: seperti panggilan langsung ke dewi batinku, tampak seperti suatu
ekspresi gairah yang sensual, mata abu-abunya menyala.

Mulut menjadi kering dan keinginanku jadi berkembang di dalam tubuhku… wow.

“Tetap informasikan padaku,” dia membentak dan menutup telepon, dengan sengaja dia melangkah
menuju ke arahku. Aku berdiri seperti lumpuh saat ia menutup jarak diantara kita, melahapku dengan
matanya. Sialan… ada sesuatu yang salah – ketegangan di rahangnya, kecemasan di sekitar matanya.

Dia mengangkat bahunya untuk melepas jaket, dan dasi gelapnya, kemudian melemparnya ke sofa
saat berjalan ke arahku. Kemudian tangannya memeluk di sekelilingku, dan dia menarikku supaya lebih
dekat padanya, keras, cepat, mencengkeram ekor kudaku untuk memiringkan kepalaku, menciumku
seperti hidupnya tergantung pada semua ini. Ada apa sih? Dia menarik pengikat rambut agak
menyakitkan dari rambutku, tapi aku tak peduli. Seperti ada rasa keputusasaan dari ciumannya. Dia
membutuhkan aku, apa pun alasannya, pada saat ini, dan aku tak pernah merasa begitu diinginkan
dan didambakan. Ini gelap dan sensual dan menggelisahkan semuanya pada waktu yang sama. Aku
membalas ciumannya dengan semangat yang sama, jari-jariku memutar dan menggenggam
rambutnya. Lidah kami melilit, gairah dan hasrat meledak diantara kami. Dia rasanya seperti surgawi,
panas, seksi, dan semua aroma dari sabun mandi Christian begitu menggairahkan. Dia melepas
mulutnya dariku, dan dia menatapku, mencengkeram emosi yang tidak bisa disebutkan namanya.

“Apa ada yang salah?” Aku menarik napas.

“Aku sangat senang kau sudah kembali. Ayo mandi bersamaku – sekarang.”

Aku tak bisa memutuskan apa itu sebuah permintaan atau perintah.

“Ya,” bisikku, dan dia menggenggam tanganku, membawaku keluar dari ruangan besar masuk kamar
menuju kamar mandinya.

Sesampai di sana, dia melepaskanku dan mengatur suhu air di kamar mandinya yang sangat mewah.
Memutar kran dengan perlahan, dia menatap ke arahku, matanya sedikit tertutup.

“Aku suka rokmu. Sangat pendek,” katanya dengan suaranya rendah. “Kau memiliki kaki yang sangat
indah.”
Dia melepas sepatu dan tangannya ke bawah untuk melepas setiap kaus kakinya, tidak pernah
mengalihkan pandangan dariku. Aku menjadi terdiam melihat matanya seperti kelaparan. Wow…
merasa diinginkan oleh dewa Yunani ini. Aku mengikuti tindakannya dan melangkah keluar dari sepatu
hitamku. Tiba-tiba, dia mendekatiku, mendorongku ke dinding. Menciumku, wajahku, leherku, bibirku…
menjalankan tangan ke rambutku. Aku merasakan dinding ubin halus yang dingin di punggungku saat
dia mendorong dirinya terhadapku agar aku menempel diantara panas dan dinginnya keramik. Aku
mencoba menempatkan tanganku pada lengan atasnya, dan dia mengerang saat aku meremas erat.

“Aku menginginkan kau sekarang. Disini… cepat, keras,” dia mengambil nafas, dan tangannya di
pahaku, mendorong keatas rokku. “Apa kau masih berdarah?”

“Tidak.” Mukaku memerah.

“Bagus.”

Saat ibu jarinya terkait di atas celana dalamku warna putih terbuat dari katun, tiba-tiba dia merosot
kebawah sambil berlutut menariknya. Rokku sekarang didorong keatas sedemikian rupa sehingga aku
telanjang dari pinggang ke bawah dan aku terengah-engah, menginginkannya. Dia meraih pinggulku,
mendorongku ke dinding lagi, dan mencium puncak pahaku. Meraih pangkal pahaku, dia memaksa
kakiku meregang. Aku merintih keras, merasa lidahnya mengitari bagian paling intimku. Oh. Tanpa
sadar kepalaku mendongak ke belakang, aku mengerang saat jari-jariku meremas rambutnya.

Lidahnya tanpa henti, kuat dan mendesak, membasahiku – berputar-putar, lagi dan lagi – tanpa henti.
Sangat indah, Rasanya bertambah kuat – seperti menyiksa. Tubuhku mulai hidup, dan dia
melepaskanku. Apa? Tidak! Napasku tak karuan saat aku terengah-engah, menatap dia menantikan
suatu kenikmatan. Dia meraih wajahku dengan kedua tangan, memelukku erat, dan dia menciumku
dengan keras, mendorong lidahnya ke mulutku jadi aku bisa merasakan gairahku.

Menurunkan retsletingnya, dia membebaskan dirinya sendiri, meraih bagian belakang pahaku, dan
mengangkatku.

“Lingkarkan kakimu di pinggangku, sayang,” perintah dia, suaranya mendesak, tegang.

Aku melakukan apa yang dia katakan dan melingkarkan lenganku di lehernya, dan dia bergerak dengan
cepat dan tajam, mengisiku. Ah! Dia terengah-engah, dan aku mengerang. Memegang pantatku, jari-
jarinya masuk ke dalam organ intimku, dia mulai bergerak, awalnya sangat perlahan – temponya
terjaga… tapi saat kontrolnya menjadi kacau, dia mempercepat… dan lebih cepat. Ahhh! Aku berusaha
kembali menuju keatas dan berkonsentrasi pada serangannya yang menyiksa, terasa seperti sensasi
surgawi… mendorongku, mendorongku… maju, lebih tinggi, naik… dan ketika aku tak bisa bertahan
lagi, aku meledak di sekitarnya, berputar-putar dengan kenikmatan yang intens, orgasme yang
sempurna. Dia melepaskan dirinya dengan menggeram dalam-dalam, dan membenamkan kepalanya
di leherku saat dia mengubur dirinya di dalam diriku, mengerang keras dan tak jelas saat dia
menemukan pembebasannya.

Napasnya tak menentu, tapi dia menciumku dengan lembut, tak bergerak, masih di dalam diriku dan
aku berkedip, pandangannya kosong. Saat ia mulai fokus, dengan lembut menarik keluar dariku,
memegangku kuat-kuat sementara aku menurunkan kakiku di lantai. Kamar mandi sekarang penuh
dengan uap… dan panas. Aku merasa memakai baju yang berlebihan.

“Sepertinya kau senang melihatku,” gumamku sambil tersenyum malu.

Bibirnya membentuk senyuman yang khas.


“Ya, Miss Steele, aku pikir kesenanganku cukup jelas. Ayo – biarkan aku membantumu mandi.”

Dia membuka tiga kancing lagi kemejanya, melepaskan manset, menarik ke atas kepalanya, dan
membuang ke lantai. Melepas setelan celana dan celana boxernya, dia menendangnya ke satu sisi.
Dia mulai membuka kancing blusku sementara aku menonton dia, merindukan untuk menjangkau dan
membelai dadanya, tapi aku menahan diriku.

“Bagaimana perjalananmu?” Tanya dia dengan lembut. Dia tampak jauh lebih tenang sekarang,
kekhawatirannya telah pergi, melebur karena kegiatan seksual tadi.

“Menyenangkan, terima kasih,” gumamku, masih terengah-engah. “Terima kasih sekali lagi untuk kelas
satu. Benar-benar merupakan perjalanan yang sangat menyenangkan.” Aku tersenyum malu-malu
padanya. “Aku punya kabar,” tambahku gugup.

“Oh?” dia melihat ke arahku sambil melepas kancing terakhir, melepas blusku keluar dari tanganku,
dan melemparkannya di atas tumpukan pakaiannya yang dibawah.

“Aku diterima kerja.”

Dia diam, kemudian tersenyum padaku, matanya hangat dan lembut.

“Selamat, Miss Steele. Sekarang kau akan mengatakan padaku di mana itu?” Dia menggoda.

“Kau tak tahu?”

Dia menggeleng, mengerutkan kening sedikit.

“Kenapa aku harus tahu?”

“Dengan kemampuanmu sebagai penguntit, kupikir kau mungkin sudah…” Aku terdiam karena
wajahnya tampak berubah. “Anastasia, aku tak pernah bermimpi untuk turut campur dalam karirmu,
kecuali kau memintaku, tentu saja.” Dia benar-benar terluka.

“Jadi kau tak tahu perusahaan mana?”

“Tidak, aku tahu ada empat perusahaan penerbitan di Seattle. Jadi aku asumsikan itu salah satu dari
mereka.”

“SIP”

“Oh, salah satu penerbit yang kecil itu, bagus. Bagus sekali.” Ia membungkuk ke depan dan mencium
keningku.

“Gadis pintar. Kapan kau mulai?”

“Senin.”

“Berarti itu artinya segera, eh? Lebih baik aku mengambil keuntungan darimu sementara aku masih
bisa. Berbaliklah.”
Aku senang melakukannya karena dia memintanya dengan santai, dan dia melepaskan bra-ku dan
menarik ritsleting rokku. Dia mendorong rokku, lalu menangkup bokongku, dan mencium bahuku. Dia
mencondongkan tubuhnya padaku dan hidungnya mengendus rambutku, menghirup dalam-dalam. Dia
meremas pantatku.

“Kau memabukkanku, Miss Steele, dan kau membuatku tenang. Benar-benar kombinasi yang
memabukkan.” Dia mencium rambutku. Meraih tanganku, dia menarikku masuk ke bak mandi.

“Ow,” aku menjerit. Airnya bisa dibilang masih mendidih. Christian menyeringai ke arahku saat airnya
mengalir di atasnya.

“Airnya hanya sedikit panas.”

Dan sebenarnya dia benar. Rasanya nyaman sekali, membasuh tubuhku yang lengket dari Georgia
tadi pagi dan dari percintaan kami juga.

“Berbaliklah,” dia memerintah, dan aku menuruti, berbalik menghadap dinding. “Aku ingin
membasuhmu,” bisiknya dan mengambil sabun mandi. Dia menyemprotkan sedikit ke tangannya.

“Aku punya sesuatu yang lain untuk memberitahumu,” bisikku saat tangannya mulai berada di
pundakku.

“Oh, ya?” Katanya pelan.

Aku menguatkan diri dengan mengambil napas panjang.

“Temanku fotografer José itu akan mengadakan pameran, dan dibuka pada hari Kamis di Portland.”

Dia diam, tangannya melayang di atas payudaraku. Aku menekankan kata ‘teman’.

“Ya, Ada apa dengan itu?” Tanya dia tegas.

“Aku bilang aku akan datang. Apa kau ingin datang denganku?”

Setelah beberapa saat, perlahan dia mulai menyabuniku lagi.

“Jam berapa?”

“Pembukaan pada jam 7:30”

Dia mencium telingaku.

“Oke.”

Alam bawah sadarku menjadi santai dan kemudian ambruk, merosot ke sebuah kursi butut tua. “Apa
kau merasa gugup bertanya padaku?”

“Ya. Bagaimana kau bisa tahu?”


“Anastasia, seluruh tubuhmu baru saja menjadi rileks,” katanya datar.

“Yah, kau hanya tampaknya um… sedikit cemburu.”

“Ya, benar,” katanya muram. “Dan kau melakukan dengan baik untuk mengingatkanku. Tapi terima
kasih untuk bertanya. Kita akan naik Charlie Tango.”

Oh, helikopter tentu saja, konyolnya aku. Terbang lagi… keren! Aku menyeringai.

“Bisakah aku menyabunimu?”

Aku bertanya. “Kupikir tidak,” bisiknya, dan dia menciumku dengan lembut di leherku untuk menghapus
penolakannya. Aku cemberut saat dia membelai punggungku dengan sabun.

“Kapan kau akan membiarkan aku menyentuhmu?” Aku bertanya dengan berani.

Dia diam lagi, tangannya di pantatku.

“Angkat tanganmu Anastasia pada dinding. Aku akan melakukannya lagi, bisiknya di telingaku saat dia
meraih pinggulku, dan aku tahu bahwa diskusinya telah berakhir.

Kemudian kami duduk di bar sarapan, mengenakan jubah mandi, setelah mengkonsumsi pasta alle
vongole yang lezat buatan Mrs. Jones.

“Anggur lagi?” Tanya Christian, mata abu-abu bercahaya.

“Segelas kecil, tolong.” Sancerre ini terasa segar dan nikmat. Christian menuangkan satu untukku dan
satu untuk dirinya sendiri.

“Bagaimana kabar um… situasi yang membawamu kembali ke Seattle?” Aku bertanya ragu-ragu.

Dia mengernyit.

“Diluar kendali,” bisiknya sedih. “Tapi kau tak usah khawatir, Anastasia. Aku memiliki rencana untukmu
sore ini.”

“Oh?”

“Ya. Aku ingin kau siap dan menunggu di ruang bermainku dalam lima belas menit.” Dia berdiri dan
menatap ke arahku.

“Kau bisa bersiap-siap di kamarmu. Kebetulan, lemari pakaian sekarang sudah penuh dengan
pakaianmu. Aku tak ingin ada argumen tentang itu.” Dia menyempit matanya, saat aku terdiam ingin
mengatakan sesuatu, dia masuk ke ruang kerjanya.

Aku! Berdebat? Denganmu, Fifty Shades? Pantatku lebih berharga dibanding ini. Aku duduk di kursi
bar, tertegun sejenak, mencoba menyerapi sepotong informasi ini. Dia membelikanku pakaian. Aku
memutar mata dengan cara yang berlebihan dan tahu benar dia tak bisa melihatku. Mobil, telepon,
komputer… pakaian, dan mungkin kondominium berikutnya, lalu aku benar-benar akan menjadi
simpanannya.
Pelacur! Bawah sadarku menjadi sinis. Aku mengabaikannya dan berjalan ke lantai atas menuju
kamarku, yang masih menjadi milikku… mengapa? Aku pikir dia setuju untuk membiarkanku tidur
dengannya. Aku merasa dia tak terbiasa berbagi ruang pribadinya, tapi juga tidak. Aku menghibur diri
berpikiran bahwa setidaknya aku punya tempat untuk melarikan diri dari dia.

Memeriksa pintunya, aku menemukan itu tak ada kuncinya. Aku berpikir jika Mrs. Jones mungkin
memiliki cadangan. Aku akan memintanya. Aku membuka pintu lemari dan menutupnya kembali
dengan cepat. Sialan – dia menghabiskan banyak uang. Ia sama persis dengan Kate – mempunyai
banyak pakaian yang tergantung rapi di gantungan baju. Jauh di lubuk hati, aku tahu bahwa semuanya
akan pas dengan ukuranku. Tapi aku tak punya waktu untuk berpikir tentang itu – aku harus berlutut di
Red Room of… Pain… atau Ruang Kenikmatan – mudah-mudahan sore ini.

Berlutut di dekat pintu, aku telanjang kecuali celana dalam yang masih kupakai. Hatiku berada di
mulutku. Astaga, aku pikir setelah d kamar mandi tadi dia sudah merasa cukup. Pria itu tak pernah
puas, atau mungkin semua pria seperti dia. Aku tak tahu, tak ada orang lain untuk membandingkannya.
Menutup mataku, aku mencoba untuk menenangkan diri, untuk menghubungkan dengan sub batinku,
yang ada di suatu tempat, bersembunyi di balik dewi batinku.

Gelembung harapan mengalir seperti soda melalui pembuluh darahku. Apa yang akan dia lakukan?
Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, tapi aku tidak bisa menyangkalnya, aku
senang, terangsang, basah. Ini begitu… aku ingin berpikir ini salah, tapi entah kenapa tidak. Ini tepat
untuk Christian. Apa yang dia inginkan – dan setelah beberapa hari terakhir… setelah semua yang dia
lakukan, Aku harus mengimbangi pria ini dan melakukan apa saja yang dia inginkan, apa pun
menurutnya yang dia butuhkan.

Kenangan tentang pandangannya saat aku datang tadi sore, kerinduan di wajahnya, melangkah pasti
ke arahku seperti aku adalah sebuah oasis di padang pasir. Aku akan melakukan apa saja untuk
melihat pandangannya seperti itu lagi. Aku menekan kedua pahaku bersama-sama saat mengenang
kenikmatan itu muncul, dan itu mengingatkan aku bahwa aku harus membentangkan kedua lututku.
Aku membuka kedua lututku terpisah. Berapa lama dia membuatku menunggu? Menunggu adalah
melumpuhkanku dengan sebuah keinginan gelap yang menggoda. Aku melirik cepat di sekeliling
ruangan dengan cahaya redup; Ada kayu salib, meja, sofa, bangku… tempat tidur. Yang terlihat jelas
begitu besar, dan ditutupi dengan seprei satin merah. Peralatan mana yang akan dia gunakan?

Pintu terbuka dan hembusan angin mengikuti Christian masuk, sepenuhnya mengabaikan diriku. Aku
melirik cepat, menatap tanganku, menempatkan dengan hati-hati di kedua pahaku yang terpisah.
Meletakkan sesuatu di atas lemari yang besar di samping pintu, dia berjalan dengan santai ke arah
tempat tidur. Aku memandang sekilas ke arahnya, dan jantungku hampir copot. Dia telanjang kecuali
memakai jins robek yang lembut, kancing paling atas sengaja dilepas. Astaga, dia tampak begitu panas.
Bawah sadarku panik mengipasi dirinya sendiri, dan dewi batinku begitu siap bergoyang dan
menggeliat dengan beberapa irama duniawi yang primitif. Secara naluri aku menjilat bibirku. Darahku
berpacu melalui tubuhku, serak dan kasar dengan kelaparan yang tidak senonoh. Apa yang akan dia
lakukan padaku?

Dia berbalik dengan santai berjalan kembali ke lemari laci. Membuka salah satu, ia mulai mengeluarkan
sesuatu dan meletakkan di atasnya. Rasa ingin tahuku semakin membara, bahkan semakin berkobar,
tapi aku menahan godaan yang luar biasa atas keinginanku untuk mengintip sikilas. Saat dia sudah
selesai dengan apa yang dia lakukan, dia datang dan berdiri di depanku. Aku bisa melihat kaki
telanjangnya , dan aku ingin mencium setiap inci dari mereka… menjalankan lidahku di kakinya,
menghisap setiap jari-jari kakinya. Sialan.

“Kau terlihat cantik,” dia mengambil nafas.

Aku terus menunduk, sadar bahwa dia menatapku sementara aku hampir telanjang. Mukaku
bertambah merah karena secara perlahan terasa menyebar di wajahku. Dia membungkuk dan
menangkup daguku, memaksa wajahku untuk membalas tatapannya.
“Kau adalah seorang wanita yang cantik, Anastasia. Dan kau milikku,” bisiknya. “Ayo berdiri.”
Perintahnya lembut penuh dengan janji yang sensual.

Dengan gemetar, aku berusaha berdiri.

“Lihat aku,” dia mengambil nafas, dan aku menatap ke dalam tatapan mata abu-abunya yang membara.
Ini adalah pandangan Dominan miliknya – dingin, keras, dan sangat seksi sekali, tujuh nuansa pendosa
dalam satu tampilan yang menarik. Mulutku jadi kering, dan aku tahu aku akan melakukan apa pun
yang dia katakan. Sebuah senyum hampir terlihat kejam dimainkan di bibirnya.

“Kita belum memiliki kontrak yang ditandatangani, Anastasia. Tapi kita harus mendiskusikan masalah
batasan. Dan aku ingin menegaskan kembali kembali, kita memiliki kata aman, oke?”

Sialan… apa yang dia rencanakan kalau aku membutuhkan kata aman? “Apa itu?” Tanya dia
berwibawa.

Aku mengerutkan kening sedikit pada pertanyaannya, dan wajahnya nampak mengeras.

“Apa kata amannya, Anastasia?” Dia berkata perlahan dengan sengaja.

“Kuning,” gumamku.

“Dan?” Dia menunggu, mulutnya dibuat dengan garis keras.

“Merah,” Aku mengambil napas.

“Ingat itu.”

Dan aku tak tahan lagi… Aku mengangkat alis padanya dan aku mengingatkan dia tentang nilai IP-ku,
tiba-tiba kilatan dingin mata abu-abunya berhenti di mataku.

“Jangan memulai dengan mulut cerdasmu di sini, Miss Steele. Atau aku akan menyetubuhimu saat kau
berutut. Apakah kamu mengerti?”

Aku menelan ludah secara naluri. Oke. Aku berkedip cepat, saat ditegur. Sebenarnya, nada suaranya,
bukan mengancam, itu mengintimidasiku.

“Bagaimana?”

“Ya, Sir,” gumamku buru-buru.

“Gadis pintar,” dia berhenti sejenak sambil menatapku. “Maksudku bukannya kau harus menggunakan
kata aman karena kau merasa kesakitan. Apa yang aku ingin lakukan untukmu akan menjadi intens.
Sangat intens, dan kau harus mengarahkan aku. Apakah kau mengerti?”

Tidak juga. Intens? Wow.

“Ini adalah tentang sentuhan, Anastasia. Kau tak akan bisa melihatku atau mendengarku. Tapi kau
akan bisa merasakanku.”
Aku mengerutkan kening – tak bisa mendengar dia? Bagaimana caranya itu? Dia berbalik, dan aku tak
menyadari bahwa di atas lemari ada sebuah kotak hitam ramping rata, kusam. Saat tangannya
menggeser bagian depannya, ternyata kotak terbagi menjadi dua: dua pintu gesernya terbuka
memperlihatkan CD player dan sejumlah tombol. Christian menekan beberapa tombol ini secara
berurutan. Tak ada yang terjadi, tapi tampaknya puas. Aku bingung. Saat dia kembali memandangku,
dia membawa kotak kecil, aku melihat senyum rahasianya.

“Aku akan mengikatmu ke tempat tidur, Anastasia. Tapi pertama-tama aku akan menutup matamu
dulu,” dia menunjukkan iPod di tangannya. “Kau tak akan bisa mendengarku. Yang kau dengar adalah
musik yang akan kumainkan untukmu.”

Oke. Sebuah selingan musik, bukan seperti yang kuharapkan. Apa dia pernah melakukan apa yang
aku harapkan? Astaga, aku berharap itu bukan musik rap. “Ayo.” Mengambil tanganku, dia membawaku
ke tempat tidur antik bertiang empat. Ada belenggu yang terpasang di setiap sudut, rantai logam halus
dengan manset terbuat dari kulit, tampak berkilauan diatas satin merah.

Oh boy, aku pikir jantungku akan melompat keluar dadaku, dan aku meleleh dari dalam ke luar, hasrat
mengalir melalui tubuhku. Mungkinkah aku bisa jadi lebih terangsang lagi?

“Berdiri di sini.”

Aku menghadap tempat tidur. Dia membungkuk dan berbisik di telingaku.

“Tunggu di sini, fokuskan matamu ke tempat tidur. Bayangkan dirimu berbaring di sini dan benar-benar
terikat dalam kekuasaanku.”

Oh.

Sesaat dia bergerak menjauh, dan aku bisa mendengar dia berada didekat pintu mengambil sesuatu.
Semua inderaku menjadi waspada, pendengaranku lebih tajam. Dia mengambil sesuatu dari rak tempat
menyimpan cambuk dan alat pemukul dekat pintu. Sialan. Apa yang akan dia lakukan?

Aku merasakan dia di belakangku. Dia memegang rambutku, menariknya menjadi ekor kuda di
belakangku, dan mulai mengepangnya.

“Aku suka menguncirmu, Anastasia, aku juga sudah tidak sabar untuk berada di dalam dirimu sekarang.
Jadi salah satu harus melakukan ini.” Suaranya pelan, Lembut.

Jarinya yang trampil terkadang menyentuh punggungku saat mengepang rambutku, dan setiap
sentuhannya seperti ada getaran listrik yang manis di kulitku. Akhirnya dia mengikatnya dengan ikat
rambut, kemudian dengan lembut menarik kepangku hingga aku terpaksa mundur menempel padanya.
Dia menarik kembali ke samping hingga aku memiringkan kepalaku, memberinya akses yang lebih
mudah ke leherku. Dia membungkuk lalu mencium leherku. Gigi dan lidahnya menelusuri dari pangkal
telinga ke bahuku.

Dia besenandung dengan lembut saat melakukannya, dan suaranya bergema benar-benar turun
kebawah… tepat di bawah sana, di dalam diriku. Tanpa diminta, aku merintih pelan.

“Hush,” dia mengambil napas di kulitku. Dia mengangkat tangannya di depanku, tangannya
menyentuhku. Di tangan kanannya ada sebuah flogger. Aku ingat namanya saat pengenalan
pertamaku di ruangan ini.
“Sentuh saja,” dia berbisik, dan Suaranya seperti menggoda. Tubuhku menjadi terbakar. Secara
tentatif, aku meraih dan mengelus setiap helainya. Bentuknya seperti daun yang panjang, semua
kulitnya lembut dengan manik-manik kecil di ujungnya.

“Aku akan menggunakan ini. Tak akan sakit, tapi akan membawa darahmu naik ke permukaan kulitmu
dan membuatmu merasa sangat sensitif.”

Oh, dia mengatakan tak akan terasa sakit.

“Apa kata amannya, Anastasia?”

“Um… kuning dan merah, Sir,” bisikku.

“Gadis pintar. Ingat, sebagian besar rasa takutmu hanya ada dalam pikiranmu sendiri.”

Dia menjatuhkan flogger di tempat tidur, dan tangannya bergerak ke pinggang.

“Kau tak akan membutuhkan ini,” bisiknya dan mengait jari-jarinya ke dalam celana dalamku dan
menurunkan ke kakiku. Aku melangkah gontai keluar dari celana dalamku, aku bertumpu pada tiang
ukir tempat tidur.

“Berdiri dan tetap diam,” perintahnya, dan dia mencium pantatku kemudian dengan lembut menggigitku
dua kali, membuatku meregang. “Sekarang berbaring. Menghadap keatas,” tambahnya saat ia
memukulku dengan keras di pantat, membuatku melompat.

Buru-buru, aku merangkak ke tempat tidur yang keras dan berbaring, menatap dia. Sprei satin di
bawahku terasa lembut dan dingin di kulitku. Tatapannya tanpa ekspresi, kecuali matanya yang
bersinar dengan kegembiraan yang berkobar.

“Letakkan tanganmu di atas kepala,” perintahnya, dan aku melakukannya seperti yang dia katakan.

Astaga, tubuhku lapar akan dirinya. Aku benar-benar menginginkannya.

Dia berbalik dan aku melihatnya berjalan ke arah lemari laci, mengambil lagi iPod dan seperti sebuah
penutup mata, mirip dengan yang kupakai pada penerbanganku ke Atlanta. Pikiran itu membuatku ingin
tersenyum, tapi aku tak bisa membuat bibirku untuk bekerja sama. Pikiranku juga terpecah dengan
antisipasi. Aku hanya tahu wajahku benar-benar tak bergerak, mataku membesar, saat aku menatap
dia.

Sambil duduk di tepi tempat tidur, dia menunjukkan iPod padaku. Sebuah perangkat antena aneh
diheadsetnya. Bagaimana anehnya. Aku mengernyit saat aku mencoba untuk memikirkan hal ini.

“Ini mentransmisikan apa yang dimainkan di iPod ke sistem di dalam ruangan.” Christian menjawab
pertanyaanku yang tak terucapkan saat ia menarik antena kecil. “Aku bisa mendengar apa yang kamu
dengar, dan aku punya remote control untuk itu.” Dia menyeringai dengan tersenyum dengan
leluconnya sendiri dan mengangkat sebuah alat kecil yang datar yang terlihat seperti kalkulator sangat
modern. Dia diatasku, memasukkan earphone yang lembut ke telingaku, dan menempatkan iPod di
tempat tidur di atas kepalaku.

“Angkat kepalamu,” dia memerintahkan, dan aku langsung melakukannya.


Perlahan, dia memasang penutup mata di mukaku, menarik karet di belakang kepalaku, dan aku tak
bisa melihat apa-apa. karet maskernya diantara daun telingaku. Aku masih bisa mendengarnya,
meskipun suara itu tertahan saat ia turun dari tempat tidur. Pendengaranku terganggu oleh
pernapasanku sendiri yang terengah-engah dan tak menentu, mencerminkan kegembiraanku.
Christian mengambil lengan kiriku, menarik dengan lembut ke sudut kiri, dan mengikat dengan kulit
manset di sekitar pergelangan tanganku. Jarinya membelai sepanjang tanganku begitu dia selesai. Oh!
Sentuhannya membuatku bergetar, menandakan kenikmatan. Aku mendengar dia berputar perlahan
ke sisi lain, mengambil tangan kananku dan manset itu. Sekali lagi, jari-jarinya berlama-lama membelai
sepanjang tanganku. Oh… aku siap meledak. Mengapa ini begitu erotis?

Dia bergerak ke bagian bawah tempat tidur dan meraih kedua pergelangan kakiku.

“Angkat kepalamu lagi,” perintahnya.

Aku menurut, dan dia menarikku di tempat tidur hingga tanganku terentang dengan tegang dan
borgolnya hampir tegang. Sialan, aku tak bisa menggerakkan tanganku. Sebuah getaran dari
kegelisaan dicampur dengan kegembiraan yang menggoda melanda seluruh tubuhku, membuatku
lebih basah. Aku mengerang. Kakiku dipisahkan, dia memasang manset pertama pergelangan kaki
kananku dan kemudian kiriku jadi aku menjadi telentang, dan benar-benar rentan terhadap dia. Sangat
mengerikan karena aku tidak bisa melihatnya. Aku sulit mendengar… apa yang dia lakukan? Dan aku
tak mendengar apapun, hanya suara nafas dan debar jantungku saat darah berdenyut penuh amarah
ke gendang telingaku.

Tiba-tiba, kesunyian berganti suara mendesis yang lembut dan muncul suara musik dari iPod. Dari
dalam kepalaku, suaranya panjang seperti malaikat bernyanyi sendirian tanpa ditemani, dan segera
bergabung dengan suara lain, dan kemudian lebih banyak suara – sialan paduan suara selestial –
dinyanyikan secara acapella di kepalaku, lagu kuno, himne kuno. Ya ampun lagu apa ini? Aku tak
pernah mendengar lagu seperti itu. Sesuatu yang lembut hampir tak tertahankan menyentuh leherku,
pelan-pelan menyusuri tenggorokanku, turun melintasi dadaku, di atas payudaraku, membelaiku…
menarik-narik putingku, begitu lembut, meluncur ke bawah. Sangat tak terduga. Ini bulu!

Sebuah sarung tangan bulu?

Perlahan dan tenang tangan Christian menyusuri sampai ke perutku, melingkari pusarku, lalu dengan
perlahan dari pinggul ke pinggul, dan aku mencoba untuk mengantisipasi ke mana dia pergi
berikutnya… tapi musiknya… di kepalaku… membawaku… ke pangkal pahaku… di antara kedua
kakiku, sepanjang pahaku, turun ke salah satu kaki… naik ke kaki yang lain… rasanya seperti digelitik…
tapi tidak sama… suara yang bergabung lebih banyak… paduan suara yang sangat indah, semua
menyanyikan bagian yang berbeda, suara mereka sangat indah menyatu penuh kebahagiaan
bersama-sama dalam harmoni yang merdu melebihi apapun yang pernah kudengar. Aku menangkap
satu kata – ‘deus’ – dan aku menyadari bahwa mereka bernyanyi dalam bahasa Latin. Dan tiba-tiba
diam, bulunya bergerak ke bawah tangan dan pinggangku… kembali melintasi payudaraku. Putingku
mengeras di bawah sentuhan yang lembut… dan aku terengah-engah… bertanya-tanya selanjutnya
ke mana arah tangannya. Tiba-tiba, bulunya menghilang, dan aku bisa merasakan kulit flogger
menyusuri di atas kulitku, mengikuti jalan yang sama seperti bulu tadi, dan begitu sulit untuk
berkonsentrasi dengan musik di kepalaku – kedengarannya seperti dinyanyikan dengan seratus suara,
layaknya menenun sebuah permadani halus yang sangat indah, terbuat dari sutra emas dan perak
melewati kepalaku, bercampur dengan nuansa kulit lembut dari flogger di kulitku… tertinggal di
atasku… oh… tiba-tiba, menghilang. Lalu tiba-tiba, terasa pedih, seperti menggigit di bawah perutku.

“Aagghh!” Aku berteriak. Hal ini membuatku terkejut, dan sebenarnya tak terasa sakit, tapi seperti
digelitik, dan dia memukulku lagi. Lebih keras.

“Aaah!”
Aku ingin bergerak, menggeliat… melarikan diri, atau menyambut, masing-masing pukulan… aku tak
tahu – begitu luar biasa… aku tak bisa menarik lenganku… kakiku terjebak… Posisiku benar-banar
terikat… dan ia memukul lagi payudaraku – aku berteriak. Dan itu adalah penderitaan yang terasa
nikmat – masih bisa ditahan, hanya… tidak secara langsung, rasanya tidak nyaman, tapi karena
tubuhku bernyanyi di setiap pukulan yang didiringi dengan musik yang sempurna di dalam kepalaku,
aku diseret ke bagian gelap gelap dari jiwaku dan menyerah pada sensasi yang paling erotis. Ya – aku
mendapatkan ini. Dia memukul menyilang pinggangku. Kemudian, pukulan berpindah cepat di atas
pangkal pahaku, di pahaku, dan turun ke bagian dalam pahaku… dan kembali tubuhku… melintasi di
pinggangku. Dia terus memukul sampai musik mencapai klimaks, kemudian tiba-tiba – musik berhenti.
Begitu juga dengannya. Kemudian musiknya mulai lagi… keras dan bertambah keras, dan ia mulai
menghujaniku pukulan lagi… dan aku merintih dan menggeliat. Sekali lagi, berhenti dan semua menjadi
tenang… kecuali pernapasanku menjadi liar… dan keinginan liar. Untuk… oh… apa yang terjadi? Apa
yang akan dia lakukan sekarang? Gairah ini hampir tak tertahankan. Aku sudah masuk ke dunia yang
sangat gelap.

Tempat tidur bergerak dan bergeser saat aku merasakan tubuhnya merangkak di atasku, dan musik
mulai lagi. Dia mengulangi lagi… kali ini hidung dan bibirnya yang menggantikan bulu… menyusuri
leher dan tenggorokan, mencium, mengisap… turun menuju payudaraku… Ah! Menggoda setiap
putingku menunggu gilirannya… lidahnya berputar-putar sekeliling salah satunya sementara jari-jarinya
tanpa henti menggoda yang lain… aku merintih, kupikir sangat keras, meskipun aku tidak bisa
mendengar. Aku tersesat. Tersesat dalam dirinya… tersesat dalam, suara astral seperti bidadari…
kalah pada semua sensasi ini. Aku tidak bisa lolos… Aku benar-benar dibawah kekuasaan
sentuhannya.

Dia bergerak turun ke perutku – lidahnya mengelilingi pusarku – mengikuti jalan flogger dan bulu tadi…
aku mengerang. Dia mencium dan mengisap dan menggigit… bergerak kebawah… dan kemudian
lidahnya ada di sana. Pada sebuah pangkal pahaku. Aku menjatuhkan kepalaku kembali dan berteriak
saat aku hampir meledak menuju orgasme… aku di tepi jurang, dan dia berhenti.

Tidak! Tempat tidur bergeser, dan dia berlutut di antara kedua kakiku. Dia membungkuk ke arah tiang
ranjang, dan manset pada pergelangan kakiku tiba-tiba hilang. Aku menarik kakiku ke tengah tempat
tidur… beristirahat terhadap dirinya. Dia membungkuk ke tiang satunya dan membebaskan kakiku yang
lain. Tangannya segera memegang kedua kakiku, meremas dan memijat, membawa kehidupan
kembali ke dalamnya. Kemudian, memegang pinggangku, dia mengangkatku agar punggungku tak lagi
di tempat tidur. Aku melengkung, bertumpu pada bahuku. Apa? Dia berlutut di antara kakiku… dan
dalam satu gerakan cepat, dia memasuki diriku… oh sial… dan aku berteriak lagi. Getaran orgasmeku
sebentar lagi akan datang, dan dia langsung diam. Getaran ikut berhenti… oh tidak… dia akan
menyiksaku lebih jauh.

“Aku mohon!” Aku meratap.

Dia mencengkeramku lebih keras… memperingatkan? Aku tak tahu, jari-jarinya mencengkeram
pantatku saat aku berbaring terengah-engah… jadi aku sengaja diam. Sangat perlahan, ia mulai
bergerak lagi… keluar lalu masuk… sangat menyiksa. Sial – Kumohon! Aku berteriak didalam hati…
Dan pada saat suara dari paduan suara semakin meningkat… demikian juga dengan kecepatannya
semakin bertambah, dia begitu terkontrol… jadi seirama dengan musiknya. Dan aku tak bisa lagi
menanggungnya.

“Kumohon.” Aku meratap, dengan satu gerakan cepat, dia menurunkanku kembali ke tempat tidur, dan
dia berbaring di atasku, tangannya di atas tempat tidur di samping dadaku untuk menumpu tubuhnya,
dan dia mendorongku, saat musiknya mencapai puncaknya, aku jatuh…. jatuh bebas… ke dalam
orgasme, paling intens yang pernah aku dapatkan, dan Christian mengikutiku… mendorongku lebih
keras, tiga kali lagi… akhirnya hilang, lalu ambruk di atasku.

Saat kesadaranku sudah kembali, Christian menarik keluar dariku. Musik telah berhenti, dan aku bisa
merasakan dia melintasi tubuhku saat ia melepaskan manset pada pergelangan tangan kananku. Aku
mengerang saat tanganku dibebaskan. Dia segera membebaskan tanganku yang satunya, dengan
lembut menarik penutup mataku, dan melepas earphone di telinga. Aku berkedip melihat cahaya redup
yang lembut dan menatap ke dalam tatapan intens mata abu-abunya.

“Hai,” bisiknya.

“Hai, juga,” aku mengambil napas dengan malu-malu padanya. Bibirnya dengan senyum khasnya, dan
ia membungkuk lalu menciumku dengan lembut.

“Kau melakukan dengan baik,” bisiknya. “Berbaliklah.”

Sialan – apa yang akan dia lakukan sekarang? Matanya melunak.

“Aku hanya akan mengusap bahumu.”

“Oh… oke.”

Aku berguling dengan kaku untuk telentang. Aku merasa sangat lelah. Christian duduk
mengangkangiku dan mulai memijat bahuku. Aku merintih keras – dia memiliki jari yang kuat. Miring ke
bawah, ia mencium kepalaku.

“Musik apa itu?” Gumamku hampir tidak jelas.

“Itu disebut Spem in Alium, atau the Forty Part Motet, oleh Thomas Tallis.”

“Sungguh… luar biasa.”

“Aku selalu ingin berhubungan seks dengan musik itu.”

“Bukan untuk pertama yang lainnya, Mr. Grey?”

“Memang, Miss Steele.” Aku mengerang lagi saat jari-jarinya yang terlatih memijat pundakku.

“Yah, ini pertama kalinya aku berhubungan seks dengan lagu itu juga,” bisikku mengantuk.

“Hmm… kau dan aku, kita saling memberi banyak pengalaman pertama lainnya.” Suaranya terdengar
biasa saja.

“Apa yang aku katakan dalam tidurku, Ch – err, Sir?”

Tangannya berhenti memijat sejenak.

“Kau bicara banyak hal, Anastasia. Kamu berbicara tentang sangkar dan stroberi… bahwa kau ingin
lebih… dan bahwa kau merindukanku.”

Oh, terima kasih Tuhan untuk itu.

“Apa cuma itu?” Kelegaan dalam suaraku tampak jelas.


Christian menghentikan pijatan yang menyenangkan itu dan bergeser hingga dia berbaring
disampingku. Kepalanya bersandar pada sikunya. Dia mengerutkan kening.

“Apa yang kau pikir sudah kau katakan?”

Oh sial.

“Bahwa aku pikir kamu jelek, sombong, dan kau adalah tak mampu di atas tempat tidur.”

Dia mengerutkan keningnya sampai dalam.

“Yah, tentu saja aku akui semua itu, dan sekarang kau telah membuat aku benar-benar tertarik. Apa
yang kau sembunyikan dariku, Miss Steele?”

Aku berkedip padanya dengan polos.

“Aku tidak menyembunyikan apapun.”

“Anastasia, kau bukan seorang pembohong yang pandai.”

“Aku pikir kau akan membuatku tertawa setelah berhubungan seks, dan kau tak bisa melakukannya
dengan cara itu.”

Bibirnya tersenyum dengan khas.

“Aku tak bisa melawak.”

“Mr. Grey! Sesuatu yang tak bisa kamu lakukan?” Aku menyeringai padanya, dan ia menyeringai
kembali.

“Tidak, tak ada harapan menjadi seorang pelawak.” Dia tampak begitu bangga dengan dirinya sendiri
bahwa aku mulai tertawa.

“Aku juga bukan seorang pelawak,”

“Suara ketawamu sangat menyenangkan,” bisiknya, dan ia membungkuk ke depan dan menciumku.

“Dan kau menyembunyikan sesuatu, Anastasia. Mungkin aku harus menyiksamu dulu supaya kau
mengatakannya.”

Anda mungkin juga menyukai