Anda di halaman 1dari 15

DISPARITAS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU USAHA

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999


TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Aryagaluh Prahara Wilwatikta
email: aryagaluh82@gmail.com

Abstrak

Mahkamah Agung Republik Indonesia terdapat Disparitas Pemidanaan Terhadap


Pelaku Usaha, terdapat tiga Putusan dengan pelanggaran yang sama namun
menjatuhkan putusan yang berbeda (disparitas). Pokok permasalahan yang diangkat
adalah Bagaimana kebijakan hukum perlindungan konsumen terhadap tindakan
pelaku usaha dan bagaimana disparitas putusan terhadap pelaku usaha berdasarkan
asas kemanfaatan dan kepastian hukum. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian
hukum normatif yang bersifat deskriptif analisis, menggunakan data yang diperoleh
dari studi kepustakaan dan data diolah secara kualitatif dengan penarikan kesimpulan
logika deduktif. Kesimpulan penelitian yaitu penerapan kebijakan hukum terhadap
pelaku usaha diatur pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, yang pada intinya sebagai upaya menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, dengan adanya hak dan
kewajiban, Perbuatan yang dilarang dan sanksi pidana. Penarapan Disparitas pada
Putusan No.1984K/Pid.Sus/2018 dan Putusan No.36K/Pid.Sus/2019 sudah sesuai
dengan asas kemanfaatan dan asas kepastian hukum, terdakwa dijatuhi hukuman
pidana penjara dan denda serta perampasan barang yang diatur pasal 62 ayat 1
Undang-Undang No. 8 tahun 1999. Pada Putusan No. 1834K/Pid.Sus/2020 terdakwa
dijatuhkan hukuman percobaan maka tidak sesuai dengan asas kemanfaatan dan asas
kepastian hukum.

Kata kunci: Disparitas Putusan ; Hukum ; Perlindungan Konsumen.


PENDAHULUAN
Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai lembaga tertinggi peradilan yang
memiliki kewenangan judex yuris yakni memeriksa apakah putusan pengadilan negeri
dan pengadilan tinggi dibawahnya telah sesuai atau tidak dengan interpretasi, kontruksi
dan penetapan hokum terhadap fakta yang sudah ditentukan. Maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian hukum pada putusan ditingkat kasasi dengan 3 putusan
yakni Putusan No.1984K/Pid.Sus/2018 dan Putusan No.36K/Pid.Sus/2019 Serta
Putusan No. 1834K/Pid.Sus/2020. Dengan Judul yaitu “Disparitas Pemidanaan
Terhadap Pelaku Usaha Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen”. Dengan judul bagaimana kebijaan hukum perlindungan
konsumen terhadap pelaku usaha dan bagaimana disparitas putusan terhadap pelaku
usaha berdasarkan asas kemanfaatan dan asas kepastian hokum Tujuan penelitian ini
yaitu untuk mengetahui kebijaan hukum perlindungan konsumen terhadap pelaku usaha
dan mengetahui disparitas putusan terhadap pelaku usaha berdasarkan asas kemanfaatan
dan asas kepastian hokum. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum normatif
yang bersifat deskriptif analisis, menggunakan data yang diperoleh dari studi
kepustakaan dan data diolah secara kualitatif dengan penarikan kesimpulan logika
deduktif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Bagaimana kebijakan hukum perlindungan konsumen terhadap tindakan pelaku


usaha

Kebijakan perlindungan konsumen merupakan kebijakan yang diambil


pemerintah dalam rangka upaya perlindungan kepada hakhak konsumen yang meliputi:
hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang barang
maupun jasa, hak untuk memilih dan mendapatkan jaminan atas barang dan jasa, hak
atas informasi yang jelas, benar dan jujur, hak untuk didengar pendapat dan keluhannya,
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa secara
patut, hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan, hak untuk dilayani secara benar,
jujur dan tidak diskriminatif, hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau
penggantian apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya (J. Widijantoro Y. Sari Murti Widiyastuti Th. Agung M.
Harsiwi, 2020). Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Perlindungan konsumen
bertujuan: a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri; b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya
sebagai konsumen; d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi; e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha; f.
meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
konsumen.

Hak konsumen adalah: a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan


dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa
serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi
serta jaminan yang dijanjikan; c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai konsidi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. hak untuk didengar pendapat
dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. hak untuk mendapatkan
advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen
secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak untuk
diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. hak untuk
mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa
yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. hak-
hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Kewajiban
konsumen adalah: a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b.
beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. mengikuti upaya penyelesaian hukum
sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Hak pelaku usaha adalah: a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai
dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan; b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik; c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila
terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya. Kewajiban pelaku usaha adalah: a. beritikad baik dalam
melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/atau jasa
yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku; e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji,
dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi
atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. memberi kompensasi, ganti
rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. memberi kompensasi, ganti
rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan
tidak sesuai dengan perjanjian.

Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang


dan/atau jasa yang: a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. tidak sesuai dengan
berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang
dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; c. tidak sesuai dengan ukuran,
takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; d.
tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; e. tidak
sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut; f. tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; g. tisak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang
paling baik atas barang tertentu; h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,
sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label; i. tidak memasang label
atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih
atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan
alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan
harus di pasang/dibuat; j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.

Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu


barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah: a. barang tersebut telah
memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya
atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu; b. barang tersebut
dalam keadaan baik dan/atau baru; c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan
dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu,
ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu; d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh
perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi; e. barang dan/atau jasa
tersebut tersedia; f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi; g. barang
tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu; h. barang tersebut berasal dari
daerah tertentu; i. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau
jasa lain; j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya,
tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

Sanksi Pidana Pasal 61 Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku


usaha dan/atau pengurusnya. Pasal 62 (1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15,
Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16
dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah). (3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat
tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
B. Bagaimana disparitas putusan terhadap pelaku usaha berdasarkan asas
kemanfaatan dan kepastian hukum

1. Secara umum disparitas putusan pidana dapat diartikan sebagai penjatuhan pidana
yang tidak sama kepada terpidana dalam kasus yang sama atau kasus yang hampir
sama tingkat kesalahan atau pelanggaran yang sama tanpa alasan yang jelas.
Relevansinya dengan hal tersebut, terdapat disparitas putusan terjadi di Mahkamah
Agung RI terkait dengan pemidanaan pelaku usaha yang diatur di Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Dari 3 (tiga) putusan yang dijadikan sampel penelitian,
terdapat putusan terhadap pelanggaran Pasal 62 ayat (1) Undang-undang
perlindungan konsumen tersebut terdiri dari, 3 (tiga) putusan pidana penjara, denda
dan perampasan barang dengan penjelasannya sebagai berikut:

Putusan Pelanggaran Pasal 62 ayat 1 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen dan Gambaran Disparitas Putusan Pemidanaan Pelaku

Usaha di Mahkamah Agung RI

No No Putusan Barang Bukti Dakwaan Putusan


1 1984K/Pid.Sus/2018 59 Taro Potato Pasal 62 ayat Pidana
BBQ (1) juncto Denda
MD.672910009068 Pasal 8 ayat sebesar
Produksi PT. Putra (3) UU Rp.5.000.000
Taro Paloma Bogor Perlindungan
Indonesia. dll Konsumen
2 36K/Pid.Sus/2019 2.259 ton Garam Pasal 62 Pidana
Bahan Baku Ayat (1) Penjara
Industri Import dari juncto Pasal selama 6
Dampier Australia; 9 ayat (1) bulan
16 ton Garam huruf h UU Dirampas
Konsumsi kemasan Perlindungan untuk Negara
kasar cap Segi Tiga Konsumen;
'G" @ 400 gram; dll 9 barang
bukti
3 1834K/Pid.Sus/2020 Green tea mix cha Pasal 62 Pidana
tra mue brand Ayat (1) Penjara
sebanyak 9 juncto Pasal selama 4
bungkus; - Susu 8 Ayat (1) bulan;
tepung skim Huruf J UU Menetapkan
sebanyak 3 Perlindungan Pidana
bungkus; - Bhong Konsumen Penjara
ning gou zi (goji tersebut tidak
beri) sebanyak 18
perlu dijalani
bungkus; dll oleh
terdakwa.
Sumber : Dari Masing-masing Putusan.

Dari contoh kasus putusan di atas, terdapat kasus pelanggaran perlindungan


konsumen pada putusan tingkat kasasi di Mahkamah Agung RI. Pada hakikatnya tugas
hakim untuk mengadili mengandung dua pengertian, yakni menegakkan keadilan
dan menegakkan hokum (Mertokusumo, 2007). Kekuasaan yang melekat pada hakim
dalam proses penyelenggaraan peradilan dan praktik penegakan hukum merupakan
kekuasaan yang bersifat merdeka. Oleh sebab itu, dalam penyelenggaraan dan
penegakan hukum tersebut, seorang hakim menjadi benteng terakhir bagi para pencari
keadilan yang memiliki kebebasan dalam memilih jenis pidana (strafsoort) yang
dikehendaki dalam penggunaan system alternatif pengancaman pidana yang tertera
dalam Undang-Undang. Namun, seorang hakim pun memiliki kebebasan untuk memilih
beratnya hukum pidana (strafmaat) yang dapat disanksikan kepada pelaku pidana sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur maksimum dan minimumnya
hukuman tersebut. Hakikat hukum adalah memenuhi kebutuhan akan keadilan,
tanpanya hukum hanyalah kelaliman yang diabsahkan (Adi Kusyandi, Saefullah Yamin,
2023).
Namun, sifat independensi yang melekat pada hakim dalam memberikan sanksi
pidana tidaklah tiada batas, terdapat asas nulla poena sine lege dalam prosesnya, oleh
sebab itu asas ini dapat memberikan Batasan kepada seorang hakim dalam memutuskan
suatu sanksi pidana yang didasarkan pada takaran yang telah ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan. Meski fenomena disparitas tetap akan terjadi mengingat
bahwa jarak antara sanksi pidana yang mengatur besaran maksimal dan minimal dalam
hukum pidana terlampau besar. Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum,
demikian ibarah masyhur dari sang benggawan hukum (Satjipto Raharjo, 2009).
Praktik dugaan terjadinya disparitas putusan-putusan sebagaimana disampaikan di atas,
dalam kasus dan dakwaan yang sama dengan putusan berbeda dapat menimbulkan
ketidakadilan bagi pelaku/terdakwa dan ketidakpastian hukum dalam penerapan
hukumnya dalam kasus tindak pidana. Fungsi menemukan hukum tersebut harus
diartikan mengisi kekosongan hukum (recht vacuum) dan mencegah tidak ditanganinya
suatu perkara dengan alasan hukumnya (tertulis) tidak jelas atau tidak ada.
(Mochtar Kusumaatmaa, 2002).
Sehubungan dengan uraian permasalahan yang disampaikan di atas, terdapat
penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini, antara lain:
Hanifah Nuraini, (2020), berjudul “Disparitas Putusan Pengadilan mengenai
klausula baku ang dilarang dalam Perjanjian Konsumen”. Perjanjian konsumen pada
dasarnya dibuat guna memenuhi kebutuhan konsumen dengan jumlah yang tinggi, maka
untuk mempermudah pelaku usaha perjanjian konsumen dicetak secara masal dengan
klausula baku yang ditetapkan sepihak. Namun kewenangan sepihak ini berpotens
disalahgunakan pelaku usaha dengan mencantumkan klausula baku yang dilarang.
Klausula baku yang dilarang menurut UUPK adalah klausula yang berisikan
pembebasan tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen. Indikasi kerugian yang
diderita konsumen atas pencantuman klausula baku yang dilarang terbukti dari beberapa
putusan yakni putusan nomor: 65/Pdt.G/2011/PN.SMG, putusan nomor:
08/Pdt/2011/PN.TGL dan putusan nomor: 2078 K/Pdt/2009. Rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah mengenai pengaturan klausula baku yang dilarang dalam
perjanjian, pertimbangan majelis hakim tentang perjanjian yang mencantumkan
klausula baku yang dilarang dan disparitas putusan pengadilan mengenai klausula baku
yang dilarang dalam perjanjian konsumen Jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian normatif dengan tipe penelitian deskriptif. Tipe
pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah tipe Case Approach. Data yang
digunakan sebagai bahan penelitian ini terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier, yang kemudian dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ketentuan pencantuman
klausula baku yang dilarang UUPK ternyata tidak dapat diterapkan secara keseluruhan.
Fakta dalam putusan majelis hakim membuktikan bahwa tidak semua dugaan atas
pencantuman klausula baku yang dilarang UUPK dapat dibatalkan, hal ini didasarkan
pada hal-hal tertentu yang membuktikan bahwa tidak adanya konsumen yang menderita
kerugian akibat pencantuman klausula baku yang dilarang. Disparitas pertimbangan
majelis hakim menunjukan bahwa terdapat berbagai hal yang menentukan kualifikasi
klausula baku dapat dikategorikan sebagai klausula baku yang melanggar, yakni harus
ditinjau dari ada atau tidaknya aspek kerugian yang diderita konsumen.
Disparitas adalah ketidaksetaraan hukuman antara kejahatan yang serupa (same
offence) dalam kondisi atau situasi serupa (comparable circumstances) (Mahkamah
Agung RI, 2010). Kemudian dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo menyatakan, bahwa disparitas
putusan berkenaan dengan perbedaan penjatuhan pidana untuk kasus yang serupa atau
setara keseriusannya, tanpa alasan atau pembenaran yang jelas dengan beberapa
kategori, diantaranya disparitas antara tindak pidana yang sama, disparitas antara tindak
pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama, disparitas pidana yang
dijatuhkan oleh suatu majelis hakim, dan disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh
majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama. Merujuk pendapat
Harkristuti Harkrisnowo menyebutkan, bahwa “dari kacamata hukum disparitas pidana
ini sebenarnya sah-sah saja karena hukum sendiri telah memberikan kewenangan
mengambil keputusan atau judicial discretionary power yang luar biasa pada hakim,
sesuai dengan prinsip kebebasan pengadilan (judicial Independence). (Harkristuti
Harkrisnowo, 2004).
Sebelum peneliti membahas ada atau tidaknya disparitas putusan yang terjadi pada
3 (tiga) kasus putusan Mahkamah Agung RI yang dijadikan sampel penelitian
dihubungkan dengan pendapat Harkristuti Harkrisnowo tersebut di atas, terlebih dahulu
disampaikan kondisi dari masing-masing kasus putusan yang dimaksud sebagai berikut:

1. Putusan Nomor 1984K/Pid.Sus/2018.


Bahwa putusan Pengadilan Negeri Jayapura Nomor 77/Pid.Sus/2017/PN
Jap yang menyatakan Terdakwa HJ. ASNI, S.Pi. tersebut di atas, tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana didakwakan dalam Dakwaan Alternatif Kesatu Pasal 62 ayat (1)
juncto Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dan oleh karena itu membebaskan Terdakwa dari
semua dakwaan Penuntut Umum, berdasarkan pertimbangan hukum yang
salah; - Bahwa Pengadilan Negeri Jayapura salah menerapkan hukum atau
menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya karena menyimpulkan
Dakwaan Kesatu Penuntut Umum tidak terbukti berdasarkan pertimbangan
unsur “dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak
cacat atau bekas dan tercemar” dari dakwaan Penuntut Umum tersebut tidak
terpenuhi atau terbukti dari perbuatan Terdakwa berdasarkan pertimbangan
bahwa menurut Majelis Hakim bahwa unsur Pasal tersebut di atas bukanlah
unsur Pasal yang bersifat alternatif tetapi bersifat kumulatif dalam artian
bahwa haruslah dibuktikan apakah perbuatan Terdakwa telah melakukan
perdagangan sediaan farmasi dan pangan dan tidak hanya membuktikan salah
satunya saja sebagaimana pembuktian unsur dalam pertimbangan Penuntut
Umum dalam surat tuntutannya yang hanya membuktikan unsur pangan tanpa
membuktikan unsur sediaan farmasi yang seharusnya haruslah dibuktikan
keduanya. Bahwa pertimbangan Pengadilan Negeri Jayapura tersebut jelas
keliru karena Pengadilan Negeri Jayapura salah memahami konsep hukum
yang terkandung dalam unsur “Dilarang memperdagangkan sediaan farmasi
dan pangan yang rusak cacat atau bekas dan tercemar”, yang menurut judex
facti ketentuan tersebut hanya dapat diterapkan terhadap subyek hukum yang
memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak cacat atau bekas
dan tercemar, tidak dapat diterapkan terhadap Terdakwa yang hanya menjual
pangan yang rusak cacat atau bekas dan tercemar.

Bahwa jika dipahami dengan logika judex facti maka perbuatan yang
dilarang dalam ketentuan tersebut adalah dilarang memperdagangkan sediaan
farmasi, dan dilarang memperdagangkan sediaan pangan yang rusak, cacat
atau bekas dan tercemar. Kata yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar
adalah milik kata pangan, bukan milik kata sediaan farmasi. Pemahaman
yang benar mengenai konsep hukum dalam unsur dilarang memperdagangkan
sediaan farmasi dan pangan yang rusak cacat atau bekas dan tercemar adalah
dilarang memperdagangkan sediaan farmasi yang rusak, cacat atau bekas dan
tercemar, dan dilarang memperdagangkan sediaan pangan yang rusak, cacat
atau bekas dan tercemar; Berdasarkan fakta persidangan, bahwa pada saat tim
dari Balai Besar POM Jayapura melakukan pemeriksaan di Toko Aneka
Rempah saat itu tim dari Balai Besar POM menemukan barang-barang yang
sudah expired (kadaluarsa) berupa taro potato BBQ tertanggal 10 September
2016 yang ditemukan di dalam dos yang diletakkan di atas rak, koepoe-
koepoe citroun zuur tertanggal 27 Agustus 2016 yang ditemukan di atas rak.
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, unsur memperdagangkan sediaan
pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar telah terpenuhi/terbukti
dari perbuatan Terdakwa sehingga Terdakwa dinyatakan terbukti melakukan
tindak pidana memperdagangkan, pangan yang rusak, cacat atau bekas
tercemar. Bahwa mengingat Terdakwa adalah subyek hukum yang mampu
bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya, tidak ada alasan
pembenar dan alasan pemaaf dalam diri dan perbuatan Terdakwa, maka
Terdakwa harus dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana memperdagangkan sediaan pangan yang rusak,
cacat atau bekas dan tercemar dan sebagai konsekuensinya Terdakwa harus
dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya. Bahwa berdasarkan
pertimbangan tersebut, permohonan kasasi Penuntut Umum kepada Majelis
Hakim Kasasi dinyatakan dapat dikabulkan, Menimbang bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, perbuatan Terdakwa telah memenuhi unsur-unsur
pidana dalam Pasal 62 ayat (1) juncto Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang RI
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sebagaimana
didakwakan dalam Dakwaan Kesatu Penuntut Umum, oleh karena itu
Terdakwa tersebut telah terbukti bersalah dan dijatuhi pidana; Menimbang
bahwa dengan demikian terdapat cukup alasan untuk mengabulkan
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penuntut Umum tersebut dan
membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jayapura Nomor
77/Pid.Sus/2017/PN Jap, tanggal 19 Juni 2017 untuk kemudian Mahkamah
Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang
akan disebutkan di bawah ini.

Mahkamah Agung RI memutus untuk mengabulkan permohonan


kasasi. Membatalkan putusan Pengadilan Pengadilan Negeri Jayapura Nomor
77/Pid.Sus/2017/PN Jap, tanggal 19 Juni 2017; Menyatakan Terdakwa HJ.
ASNI, S.Pi., terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “Memperdagangkan pangan yang rusak, cacat atau bekas tercemar”.
Menjatuhkan pidana denda terhadap Terdakwa HJ. ASNI, S.Pi., sebesar
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut
tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.
Menetapkan barang bukti berupa: 5 (lima) Item barang bukti agar dirampas
untuk dimusnahkan.

2. Putusan 36K/Pid.Sus/2019
Terdakwa diajukan di depan persidangan Pengadilan Negeri Gresik
karena didakwa dengan dakwaan sebagai berikut: Dakwaan Pertama :
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 8
Ayat (1) huruf e juncto Pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; atau
perbuatan Terdakwa telah memenuhi unsur-unsur pidana dalam Pasal 9 Ayat
(1) huruf h juncto Pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, sebagaimana didakwakan dalam Dakwaan
Kedua, oleh karena itu Terdakwa tersebut telah terbukti bersalah dan dijatuhi
pidana; Menimbang bahwa dengan demikian terdapat cukup alasan untuk
mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penuntut Umum
tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur Nomor
155/PID. SUS/2018/PT SBY tanggal 10 April 2018 yang membatalkan
Putusan Pengadilan Negeri Gresik Nomor 342/Pid.Sus/2017/PN Gsk tanggal
7 Desember 2017, untuk kemudian Mahkamah Agung mengadili sendiri
perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan di bawah
ini; Menimbang bahwa sebelum menjatuhkan pidana Mahkamah Agung akan
mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan meringankan bagi
Terdakwa; Hal-hal yang memberatkan. Bahwa perbuatan Terdakwa dapat
menghilangkan kepercayaan konsumen atau masyarakat terhadap produk
garam konsumsi PT. Garam (Persero); Mengingat Pasal 9 ayat (1) huruf h
juncto Pasal 62 ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.

Mahkamah Agung RI memutuskan mengabulkan permohonan kasasi


dari Pemohon Kasasi dengan Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Jawa
Timur Nomor 155/PID. SUS/2018/PT SBY tanggal 10 April 2018 yang
membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Gresik Nomor
342/Pid.Sus/2017/PN Gsk tanggal 7 Desember 2017, tersebut.
MENGADILI SENDIRI: Menyatakan Terdakwa Dr. Ir. R. ACHMAD
BUDIONO, M.M. telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana menawarkan suatu barang secara tidak benar dan
seolah-olah barang tersebut berasal dari daerah tertentu. Menjatuhkan pidana
kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 6 (enam)
bulan. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Menetapkan agar
barang bukti berupa. Kurang lebih 2.259 (dua ribu dua ratus lima puluh
sembilan) ton Garam Bahan Baku Industri Import dari Dampier Australia.
Kurang lebih 16 (enam belas) ton Garam Konsumsi kemasan kasar cap Segi
Tiga 'G" @ 400 gram. Dirampas untuk Negara.

3. Putusan 1834K/Pid.Sus/2020
Terdakwa diajukan di depan persidangan Pengadilan Negeri Padang
karena didakwa dengan dakwaan sebagai berikut: Kesatu : Perbuatan
Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 62
Ayat (1) juncto Pasal 8 Ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999; Membaca Tuntutan Pidana Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri
Padang tanggal 28 Oktober 2019 sebagai berikut: Menyatakan Terdakwa
HERWIN BUDIMANRUCI Pgl WIN, terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana ”Pangan dan perlindungan konsumen”
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam dakwaan kesatu Pasal 142
juncto Pasal 91 Ayat 9 (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang
Pangan Dan kedua Pasal 62 (1) juncto Pasal 8 Ayat (1) huruf j Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Menjatuhkan
pidana terhadap Terdakwa HERWIN BUDIMANRUCI Pgl WIN dengan
pidana penjara selama 1 (satu) tahun dikurangi selama Terdakwa berada
dalam tahanan; Membaca Putusan Pengadilan Tinggi Padang Nomor
213/PID.SUS/2019/PT PDG., tanggal 19 Desember 2019 yang amar
lengkapnya sebagai berikut. Menerima permohonan Banding dari Terdakwa
dan Penuntut Umum tersebut. Memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri
Padang Nomor 613/Pid.Sus/2019/ PN Pdg, tanggal 4 November 2019, yang
dimintakan banding tersebut, sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan
kepada Terdakwa sehingga amarnya berbunyi sebagai berikut: - Menghukum
Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan.
Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Padang Nomor 613/Pid.Sus/2019/
PN Pdg, tanggal 4 November 2019, tersebut untuk selebihnya.
Menimbang bahwa terhadap alasan kasasi yang diajukan Pemohon
Kasasi I/Penuntut Umum dan Pemohon Kasasi II/Terdakwa tersebut,
Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut: - Bahwa alasan kasasi
Penuntut Umum dan Terdakwa tidak dapat dibenarkan, karena Putusan judex
facti Pengadilan Tinggi yang memperbaiki Putusan judex facti Pengadilan
Negeri yang menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana "pelaku usaha pangan yang dengan sengaja
tidak memiliki izin edar terhadap pangan olahan yang diimpor untuk
diperdagangkan dalam kemasan eceran dan memperdagangkan barang
makanan yang tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia", tidak salah dan telah menerapkan peraturan
hukum sebagaimana mestinya serta cara mengadili telah dilaksanakan
menurut ketentuan undang-undang; - Bahwa putusan judex facti juga telah
mempertimbangkan fakta hukum yang relevan secara yuridis dengan tepat
dan benar, serta tidak sesuai dengan fakta hukum yang terungkap dimuka
sidang, sehingga perbuatan materiil Terdakwa sedemikian rupa itu hanya
memenuhi unsur tindak pidana Pasal 142 juncto Pasal 91 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2012 dan Pasal 62 Ayat (1) juncto Pasal 8 Ayat (1)
huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999; - Bahwa namun demikian
pidana penjara yang dijatuhkan judex facti Pengadilan Tinggi kepada
Terdakwa selama 4 (empat) bulan perlu diperbaiki dengan pertimbangan
karena Terdakwa menjual produk pangan tanpa izin dan Terdakwa membeli
produk tersebut secara online melalui shoppee dan tokopedia dan seharusnya
juga bertanggungjawab terhadap izin edar terhadap makanan olahan yang
diimpor untuk diperdagangkan dan mencantumkan informasi dan/atau
petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia; Menimbang bahwa
berdasarkan pertimbangan tersebut, putusan judex facti dalam perkara ini
tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undangundang, maka permohonan
kasasi tersebut dinyatakan ditolak dengan perbaikan; Menimbang bahwa
dengan demikian Putusan Pengadilan Tinggi Padang Nomor
213/PID.SUS/2019/PT PDG., tanggal 19 Desember 2019 yang menguatkan
Putusan Pengadilan Negeri Padang Nomor 613/Pid.Sus/2019/ PN.Pdg.,
tanggal 4 November 2019 harus diperbaiki mengenai pidana yang dijatuhkan
kepada Terdakwa.

Mahkamah Agung RI memutus: Menolak permohonan kasasi dari


Pemohon Kasasi I/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Padang dan
Pemohon Kasasi II/Terdakwa HERWIN BUDI MANRUCI Panggilan WIN
tersebut; ─ Memperbaiki Putusan Pengadilan Tinggi Padang Nomor
213/PID.SUS/2019/PT PDG., tanggal 19 Desember 2019 yang memperbaiki
Putusan Pengadilan Negeri Padang Nomor 613/Pid.Sus/2019/ PN.Pdg.,
tanggal 4 November 2019 mengenai pidana yang dijatuhkan kepada
Terdakwa menjadi: 1. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa HERWIN
BUDI MANRUCI Panggilan WIN dengan pidana penjara selama 4 (empat)
bulan; 2. Menetapkan pidana penjara tersebut tidak perlu dijalani oleh
Terdakwa kecuali jika di kemudian hari ada perintah lain dalam putusan
Hakim oleh karena sebelum berakhir masa percobaan selama 8 (delapan)
bulan Terdakwa telah melakukan suatu tindak.

Analisa Disparitas Putusan Mahkamah Agung RI.


Analisa ketiga kasus terkait perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yang
diatur pada undang-undang perlindungan konsumen yaitu :
 Pasal 8 ayat (1) huruf J Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: tidak mencantumkan informasi
dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
 Pasal 8 ayat (3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan
pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar.
 Pasal 9 ayat (1) huruf H : Pelaku usaha dilarang menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar,
dan/atau seolah-olah: barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
Terkait perbuatan yang dilanggar pelaku usaha memiliki sanksi pidana yang
dijelaskan pada Pasal 62 ayat 1 dan Pasal 63 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999
tentang perlindungan konsumen.
 Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah).
Pasal 63 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dapat dijadikan
hukuman tambahan, berupa : perampasan barang tertentu, pengumuman keputusan
hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegiatan tertentu yang
menyebabkan, timbulnya kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang dari
peredaran; atau pencabutan izin usaha.

Disparitas Putusan Mahkamah Agung RI Berdasarkan Asas Kepastian Hukum


dan Asas Kemanfaatan
1) Asas Kepastian Hukum
Dari penjelasan Disparitas Putusan yang telah di uraikan di atas penulis
kaitkan dengan Kepastian Hukum bahwa berdasarkan Gustav Radbruch
menyatakan bahwa kepastian hukum adalah hukum positif yang mengatur
kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat harus selalu ditaati
meskipun hukum positif itu kurang adil (Jaka Mulyata, 2015). Terkait dengan
pasal 62 ayat 1 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen memiliki beberapa larangan yang diatur pada pasal 8, pasal 9, pasal
10, pasal 13 ayat (2), pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf
e, ayat (2), dan Pasal 18. Maka menimbulkan disparitas penjatuhan sanksi
pidana bagi pelaku usaha. Dengan begitu di sisi lain Majelis Hakim diberikan
kewenangan untuk menjatuhkan hukuman secara sistem pidana, dengan adanya
inkonsistensi di dalam undang-undang tersebut maka dapat dimungkinkan
adanya double standar, sehingga hakim bisa menerapkan hukuman baik dan
segala macam hal lainnya dalam praktek yang ada.

2) Asas Kemanfaatan
Menurut jeremy bentham bahwa berpegang pada prinsip pembentuk
Undang-undang hendaknya dapat melahirkan Undang-undang yang dapat
mencerminkan keadilan bagi semua individu, perundangan itu hendaknya dapat
memberikan kebahagiaan terbesar bagi Sebagian besar masyarakat Lebih lanjut
bentham menegaskan bahwa hukum adalah untuk menghasilkan kebahagiaan
bagi masyarakat. Untuk itu perundang-undangan harus berusaha untuk mencapai
empat tujuan yaitu memberi nafkah hidup, memberi makanan berlimpah,
perlindungan dan mencapai persamaan (Teguh Prasetyo, 2013). Maka menurut
penulis kemanfaatan hukum perlu diperhatikan karena semua orang
mengharapkan adanya manfaat dalam pelaksanaan penegakan hukum, jangan
sampai penegakan hukum justru menimbulkan keresahan masyarakat.

Berdasarkan Analisa diatas terkait Disparitas Putusan Hakim terhadap


tindak pidana pelaku usaha yang melanggar aturan perlindungan konsumen
dikaitkan dengan asas keadilan dan asas kemanfaatan. Disparitas pada Putusan
No.1984K/Pid.Sus/2018 dan Putusan No.36K/Pid.Sus/2019 sudah sesuai dengan
asas kemanfaatan dan asas kepastian hukum, terdakwa dijatuhi hukuman pidana
penjara dan denda serta perampasan barang yang diatur pasal 62 ayat 1 Undang-
Undang No. 8 tahun 1999. Pada Putusan No. 1834K/Pid.Sus/2020 terdakwa
dijatuhkan hukuman percobaan maka tidak sesuai dengan asas kemanfaatan dan
asas kepastian hukum.

PENUTUP
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan
dari permasalahan yang dibahas yaitu penerapan kebijakan hokum perlindungan
konsumen diatur pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 yang mengatur asas, tujuan,
hak dan kewajiban konsumen, hak dan kewajiban pelaku usaha, larangan-larangan
pelaku usaha dan sanksi berupa pidana penjara, denda dan perampasan barang.
Penerapan disparitas putusan hakim terhadap pelaku usaha yang melanggar hokum
perlindungan konsumen yang dikaitkan dengan asas keadilan dan asas kemanfaatan
yaitu Putusan No.1984K/Pid.Sus/2018 dan Putusan No.36K/Pid.Sus/2019 sudah sesuai
dengan asas kemanfaatan dan asas kepastian hukum, terdakwa dijatuhi hukuman pidana
penjara dan denda serta perampasan barang yang diatur pasal 62 ayat 1 Undang-Undang
No. 8 tahun 1999. Pada Putusan No. 1834K/Pid.Sus/2020 terdakwa dijatuhkan
hukuman percobaan maka tidak sesuai dengan asas kemanfaatan dan asas kepastian
hukum.
Dalam karya tulis ini, saran yang dapat penulis sampaikan yaitu, apabila ada
rancangan perundang-undangan baru dalam hal perlindungan konsumen diharapkan
agar lebih berkeadilan bagi pelaku usaha dan konsumen untuk ada kepastian hokum
yang seharusnya ada satu pemahaman dipenegak hokum.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Teguh Prasetyo. (2013). Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum, Pemikiran Menuju
Masyarakat Yang Berkeadilan dan Bermartabat, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Harkristut, Harkrisnowo (2003), “Rekontruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan
terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, Jakarta: Majalah
KHN Newsletter.
Mertokusumo (2007), S. Hati Nurani Hakim danPutusannya, dalam Antonius
Sudirman. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Mochtar Kusumaatmaja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni,
Bandung, 2002.
Satjipto Rahardjo, 2009, Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia, Genta
Publishing, Yogyakarta
JURNAL
Hanifah Nuraini. (2020) “Disparitas Putusan Pengadilan mengenai klausula baku ang
dilarang dalam Perjanjian Konsumen”.
Litbang Mahkamah Agung. (2010) “Kedudukan dan Relevansi Yurisprudensi untuk
Mengurangi Disparitas Putusan Pengadilan, Puslitbang Hukum dan
Peradilan Mahkamah Agung RI”.
J. Widijantoro Y. Sari Murti Widiyastuti Th. Agung M. Harsiwi. (2020). “Pemetaan
Masalah Perlindungan Konsumen dalam Perspektif Konsumen dan Pelaku
Usaha”.
Jaka Mulyata. (2015) Memahami Kepastian (Dalam) Hukum. https://ngobrolinhukum.
wordpress.com/2013/02/05/memahami kepastian-dalam-hukum/ dikutip
dalam tesis jaka mulyata, keadilan, kepastian, dan akibat hukum putusan
mahkamah konstitusi republik Indonesia nomor: 100/puu-x/2012 tentang
judicial review Pasal 96 undang-undang nomor: 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, Universitas Sebelas Maret.
Adi Kusyandi, Saefullah Yamin (2023) “Disparitas Putusan Hakim Pidana Berkualitas
yang Mencerminkan Rasa Keadilan Dalam Sistem Hukum Indonesia”.

UNDANG-UNDANG & PUTUSAN MA:


Indonesia, (1999) UU No. 8 tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen.
Putusan No.1984K/Pid.Sus/2018.
Putusan No.36K/Pid.Sus/2019.
Putusan No. 1834K/Pid.Sus/2020.

Anda mungkin juga menyukai