Anda di halaman 1dari 11

KASUS HAM ERA ORDE BARU

Kasus Marsinah
Marsinah (10 April 1969 – 8 Mei 1993) adalah seorang aktivis dan buruh pabrik pada
masa Orde Baru, bekerja pada PT Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa
Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993, setelah menghilang
selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan yang berada di Wilangan dengan tanda-tanda
bekas penyiksaan berat.
Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono
(pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian
Forensik RSUD dr. Soetomo), menyimpulkan Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.
Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama.
Kasus ini menjadi catatan Organisasi Buruh Internasional (ILO), dikenal sebagai kasus 1773.
[1]

Penyebab
Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur Soelarso mengeluarkan Surat Edaran No.
50/Th. 1992 yang berisi imbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan
karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Imbauan tersebut
tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, Namun di sisi pengusaha berarti
tambahnya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, PT Catur Putra
Surya (PT CPS) Porong membahas surat edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan
PT CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah
dari Rp1.700 menjadi Rp2.250.
yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah
lenyap.
Mulai tanggal 6 hingga 8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai
akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.

Proses penyelidikan
Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk
melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung
jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan
beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk
Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap,
mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian
diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah
membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi
Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim
dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D.
Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam
pembunuh Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS)
menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik,
lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita,
Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain
itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan
Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi,
Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan
(bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan
ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah
"direkayasa".

Komite solidaritas
Tahun 1993, dibentuk Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KSUM). KSUM adalah komite
yang didirikan oleh 10 LSM. KSUM merupakan lembaga yang ditujukan khusus untuk
mengadvokasi dan investigasi kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah oleh Aparat
Militer. KSUM melakukan berbagai aktivitas untuk mendorong perubahan dan menghentikan
intervensi militer dalam penyelesaian perselisihan perburuhan. Munir menjadi salah seorang
pengacara buruh PT CPS melawan Kodam V/Brawijaya, Depnaker Sidoarjo dan PT CPS
Porong atas pemutus hubungan kerja sepihak yang dilakukan oleh aparat kodim sidoarjo
terhadap 22 buruh PT. CPS Porong yang dianggap sebagai dalang unjuk rasa.

Bentuk Rasa Belasungkawa


 Setiap perayaan Hari Buruh Internasional yang diperingati tanggal 1 Mei, para buruh,
khususnya di Jawa Timur, selalu mengenang perjuangan Marsinah. Para buruh pun telah
mengusulkan kepada pemerintah agar Marsinah diberi gelar Pahlawan Nasional, namun
belum ada tindak lanjut hingga kini.
 Monumen perjuangan Marsinah sebagai pahlawan buruh nasional telah dibangun
di Nganjuk, Jawa Timur.
 Kisah Marsinah ini kemudian diangkat menjadi sebuah film oleh Slamet Rahardjo,
dengan judul "Marsinah (Cry Justice)" (imdb.com). Film berbiaya sekitar Rp 4 miliar itu
sempat menimbulkan kontroversi. Salah satu penyebabnya adalah munculnya permintaan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea yang meminta pemutaran film
itu ditunda.
 Seniman Surabaya dengan koordinasi penyanyi keroncong senior Mus
Mulyadi meluncurkan album musik dengan judul Marsinah. Lagu ini diciptakan oleh
komponis MasGat untuk mengenang jasa-jasa Marsinah.
 Sebuah band beraliran anarko-punk yang berasal dari Jakarta bernama Marjinal,
menciptakan sebuah lagu berjudul Marsinah, yang didedikasikan khusus untuk
perjuangan Marsinah. Lagu ini dibawakan sekaligus dalam 2 albumnya, yaitu
album termarjinalkan dan album terbaru mereka bertajuk predator, masing-masing dalam
versi yang berbeda.

Peristiwa Tanjung Priok


Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12
September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia yang mengakibatkan sejumlah korban
tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Sekelompok massa melakukan
defile sambil merusak sejumlah gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian
menembaki mereka.[1][2] Sedikitnya, 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24
orang tewas oleh tindakan aparat.[3]

Latar Belakang
Pada tanggal 19 September 1984, Sersan Hermanu, [4] seorang anggota Bintara Pembina Desa
tiba di Masjid As Saadah di Tanjung Priok, Jakarta Utara, dan mengatakan kepada
pengurusnya, Amir Biki, untuk menghapus brosur dan spanduk yang mengkritik pemerintah.
[5]
Biki menolak permintaan ini, lantas Hermanu memindahkannya sendiri; Saat
melakukannya, dia dilaporkan memasuki area sholat masjid tanpa melepas sepatunya (sebuah
pelanggaran serius terhadap etiket masjid).[5][6]
Sebagai tanggapan, warga setempat, yang dipimpin oleh pengurus masjid Syarifuddin Rambe
dan Sofwan Sulaeman, membakar sepeda motornya dan menyerang Hermanu saat dia sedang
berbicara dengan petugas lain.[5][6] Keduanya kemudian menangkap Rambe dan Sulaeman,
serta pengurus lain, Achmad Sahi, dan seorang pria pengangguran bernama Muhamad Noor. [5]
[6][7]

Insiden
Dua hari pasca penangkapan, ulama Islam Abdul Qodir Jaelani memberikan sebuah khotbah
menentang asas tunggal Pancasila di masjid As Saadah.[6] Setelah itu, Biki memimpin sebuah
demonstrasi ke kantor Kodim Jakarta Utara, di mana keempat tahanan tersebut ditahan. [8]
[6]
Seiring waktu, massa kelompok tersebut meningkat, dengan perkiraan berkisar antara 1.500
sampai beberapa ribu orang.[8][6]
Protes dan kerusuhan tidak berhasil menuntut pembebasan tahanan tersebut. [8] Sekitar pukul
11 malam waktu setempat, para pemrotes mengepung komando militer. [6] Personel militer dari
Batalyon Artileri Pertahanan Udara ke-6 menembaki para pemrotes. [8][9] Sekitar tengah malam,
saksi mata melihat komandan militer Jakarta Try Sutrisno dan Kepala Angkatan
Bersenjata L. B. Moerdani yang mengawasi pemindahan korban; mayat-mayat itu
dimasukkan ke dalam truk militer dan dikuburkan di kuburan yang tidak bertanda, sementara
yang terluka dikirim ke Rumah Sakit Militer Gatot Soebroto.[8]

Akibat
Setelah kerusuhan tersebut, militer melaporkan bahwa mereka dipicu oleh seorang pria
berpakaian militer palsu yang membagikan selebaran anti-pemerintah bersama dengan 12
komplotannya; dilaporkan dari orang yang ditahan.[10] Jenderal Hartono Rekso
Dharsono ditangkap karena diduga menghasut kerusuhan tersebut. [11] Setelah menjalani
persidangan empat bulan, dia divonis bersalah; dia akhirnya dibebaskan pada bulan
September 1990, setelah menjalani hukuman penjara lima tahun.[11]
Setelah kerusuhan tersebut, setidaknya 169 warga sipil ditahan tanpa surat perintah dan
beberapa dilaporkan disiksa.[12] Para pemimpin ditangkap dan diadili karena tuduhan
subversif, kemudian diberi hukuman panjang.[6] Yang lainnya, termasuk Amir Biki, termasuk
di antara mereka yang terbunuh.[8]
Laporan awal menyebutkan 20 orang tewas. [10] Catatan resmi saat ini memberikan total 24
korban tewas dan 54 terluka (termasuk militer), sementara korban selamat melaporkan lebih
dari seratus orang tewas.[13] Masyarakat Tanjung Priok memperkirakan total 400 orang
terbunuh atau hilang, sementara laporan lainnya menyarankan hingga 700 korban.[8][9]

Investigasi
Gencarnya gerakan hak asasi manusia pasca lengsernya Suharto pada tahun 1998, beberapa
kelompok dibentuk untuk mengadvokasi hak-hak korban, termasuk Yayasan 12 September
1984, Solidaritas Nasional untuk Peristiwa Tanjung Priok 1984, dan Keluarga Besar untuk
Korban Insiden Tanjung Priok (didirikan oleh janda Biki Dewi Wardah dan putra Beni).
[8]
Kelompok-kelompok ini mendorong Dewan Perwakilan Rakyat dan Komnas HAM untuk
menyelidiki lebih lanjut tragedi tersebut; di DPR, perwakilan A.M. Fatwa dan Abdul Qodir
Jaelani, yang pernah ditangkap setelah tragedi tersebut, mendesak penyelidikan lebih lanjut.
[8]
Pada tahun 1999, Komnas HAM sepakat untuk menyelidiki insiden tersebut, membentuk
Komisi Investigasi dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM di Tanjung Priok (KP3T).[8]
KP3T terutama terdiri dari tokoh politik dari rezim sebelumnya, termasuk mantan jaksa
agung Djoko Sugianto.[8] Laporan yang dihasilkan, yang dirilis pada awal Juni 2000,
menemukan bahwa tidak ada pembantaian sistematis dalam insiden tersebut. [8] Ini tidak
diterima dengan baik oleh masyarakat umum. Pada tanggal 23 Juni 2000, sekitar 300
anggota Front Pembela Islam (FPI) menyerang markas Komnas HAM saat mengenakan
pakaian Islami dan syal hijau.[14] Mereka memecahkan jendela dengan batu dan batang rotan,
melebihi jumlah dan banyak pasukan keamanan.[14] FPI marah atas laporan tersebut dan
beranggapan telah terjadi praktik kolusi dengan militer, dengan alasan bahwa tindakan
tersebut diabaikan oleh militer; dan bersikeras agar Komnas HAM dihapuskan. [14] Sementara
itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra menulis bahwa Komnas
HAM telah menerapkan standar ganda saat menyelidiki masalah tersebut; dia mengatakan
bahwa mereka tampak lebih enggan untuk menyelidiki insiden Tanjung Priok dan lebih
memilih menyelidiki krisis Timor Leste tahun 1999. [8] Pemimpin Partai Bulan Bintang Ahmad
Sumargono menyebut keputusan tersebut mengecewakan kaum Muslim di mana-mana. [8]
Pada bulan Oktober 2000, Komnas HAM mengeluarkan laporan lain yang menunjukkan
bahwa 23 orang, termasuk Sutrisno dan Moerdani, harus diselidiki atas keterlibatan mereka;
Ia meminta pengadilan ad hoc untuk menyelidiki masalah ini lebih lanjut.
[8]
Presiden Abdurrahman Wahid juga meminta penyelidikan lebih lanjut pada pengadilan
yang akan datang. Beberapa pejabat militer membuat surat pengampunan (islah) dengan
keluarga korban; meski islah tidak mengandung pengakuan bersalah, korban menerima
kompensasi sejumlah Rp. 1,5-2 juta.[8] Islah pertama meliputi 86 keluarga, seperti yang
diwakilkan oleh Rambe, sedangkan untuk keluarga Biki terjadi pada islah kedua. Pada
tanggal 1 Maret 2001 sejumlah islah telah dibuat.[8] Hasil islah tersebut, beberapa korban atau
keluarga mereka menyarankan kepada penyidik M.A. Rachman bahwa tuntutan harus
dijatuhkan.[8] Investigasi baru berlanjut pada bulan Juli 2003.[15]
Di bawah tekanan internasional, pada tahun 2003 DPR menyetujui penggunaan undang-
undang hak asasi manusia tahun 2000 untuk membawa pelaku pembantai ke pengadilan atas
kejahatan terhadap kemanusiaan;[13][16] persidangan dimulai pada bulan September tahun itu.
Mereka yang dibawa ke pengadilan termasuk Kolonel Sutrisno Mascung, pemimpin
[15]

Peleton II Batalyon Artileri Pertahanan Udara saat itu, dan 13 bawahannya. [16] Pejabat
berpangkat tinggi saat itu, termasuk komandan militer Jakarta Try Sutrisno dan Kepala
Angkatan Bersenjata L. B. Moerdani, dibebaskan dari tuntutan, seperti mantan
Presiden Soeharto dan mantan Menteri Kehakiman Ismail Saleh.[16][17] Penuntutan dipimpin
oleh Widodo Supriyadi, dan Wakil Ketua DPR A.M. Fatwa bertugas sebagai saksi
penuntutan.[12][18] Beberapa petugas yang diadili divonis bersalah, sementara Sriyanto dan
Pranowo dibebaskan.[6] Pada tahun 2004 kantor Kejaksaan mengajukan banding atas
pembebasan Sriyanto dan Pranowo, namun ditolak. [13] Keputusan tersebut kemudian
dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI.[6]

Udin, Wartawan yang Dibunuh karena Menulis


Fuad Muhammad Syafruddin yang akrab dipanggil Udin (18 Februari 1964 – 16 Agustus 1996)
adalah wartawan Bernas asal Yogyakarta, yang dianiaya oleh orang tidak dikenal, dan kemudian
meninggal dunia. Sebelum kejadian ini, Udin kerap menulis artikel kritis tentang kebijakan
pemerintah Orde Baru[butuh rujukan] dan militer[butuh rujukan]. Ia menjadi wartawan di Bernas sejak 1986.
Pada Selasa malam, pukul 23.30 WIB, 13 Agustus 1996, ia dianiaya pria tak dikenal di depan rumah
kontrakannya, di dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis Km 13 Yogyakarta. Udin, yang sejak
malam penganiayaan itu, terus berada dalam keadaannya koma dan dirawat di RS Bethesda,
Yogyakarta. Esok paginya, Udin menjalani operasi otak di rumah sakit tersebut. Namun, dikarenakan
parahnya sakit yang diderita akibat pukulan batang besi di bagian kepala itu, akhirnya Udin
meninggal dunia pada hari Jumat, 16 Agustus 1996, pukul 16.50 WIB.
Sejak Udin mengalami koma hingga rentang waktu yang cukup panjang, hampir seluruh media massa
meliput peristiwa yang menimpa Udin.

Penghilangan barang bukti


Kasus Udin menjadi ramai ketika Kanit Reserse Umum Polres Bantul Edy Wuryanto, saat itu
berpangkat Sersan Kepala (Serka), di Yogyakarta, dilaporkan telah 'membuang barang bukti', yakni
melarung sampel darah dan juga mengambil buku catatan Udin, dengan dalih melakukan penyelidikan
dan penyidikan.
Edy Wuryanto kemudian dimutasikan dari tempat dinasnya di Yogyakarta ke Mabes Polri di Jakarta.
Dalam sidang, ia dinyatakan bersalah[1] karena menghilangkan buku catatan Udin sebagai bukti yang
dapat membantu untuk mengungkap sebuah kasus kejahatan. Buku catatan tersebut diduga berisi data-
data sejumlah kasus penyimpangan yang akan ditulis korban. Edy Wuryanto akhirnya divonis
hukuman penjara satu tahun delapan bulan walau sebelumnya pengadilan ini sempat dihalang-halangi
oleh Mabes Polri karena dianggap bahwa sidang tersebut menyalahi asas nebis in idem sebab
terdakwa sudah pernah diadili dalam kasus yang sama sebelumnya.[2]

Kambing hitam
Tri Sumaryani
Ada pihak-pihak tertentu yang tampaknya mencoba mengalihkan kasus ini. Seorang perempuan, Tri
Sumaryani, mengaku akan diberi apapun yang dia minta oleh Kuncoro, kemenakan Bupati Bantul,
sebagai imbalan membuat pengakuan bahwa Udin melakukan hubungan gelap dengannya. Tri
Sumaryani menyangkal itu karena ia hanya pernah menjadi pacar Fauzan, adik Udin, tapi saat itu
sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Fauzan juga tidak pernah cekcok dengan Udin karena ia tahu
Udin tidak pernah berpacaran dengan Tri Sumaryani.[3]
Iwik
Dwi Sumaji alias Iwik, seorang sopir perusahaan iklan, juga mengaku dikorbankan oleh polisi untuk
membuat pengakuan bahwa ia telah membunuh Udin. Iwik dipaksa meminum bir berbotol-botol dan
kemudian ditawari uang, pekerjaan, dan seorang pelacur. [4] Namun di pengadilan, pada 5
Agustus 1997 Iwik mengatakan, "Saya telah dikorbankan untuk bisnis politik dan melindungi mafia
politik."[5] Iwik akhirnya divonis bebas berdasarkan keputusan hakim Pengadilan Negeri Bantul
Nomor 16/pid.B/1997/PN.Btl karena tidak ada dua alat bukti sah yang diperoleh penyidik. [6]
Namun dalam surat yang dikirim polisi ke Ombudsman RI bernomor B/208/II/2013/Ditreskrimum
tanggal 20 Februari 2013, pada poin 4 menyatakan Polda DIY hingga saat ini masih berkeyakinan
bahwa Dwi Sumaji alias Iwik adalah pelaku utama atas meninggalnya Fuad Muhammad Syafruddin.
[6]
Bahkan polisi tidak merehabilitasi nama baik Dwi Sumaji yang direkayasa sebagai pelaku utama
pembunuhan Udin. Untuk itu, Dwi Sumaji alias Iwik, menggugat Kepala Kepolisian Daerah Istimewa
Yogyakarta, Kamis, 27 Februari 2014. Gugatan itu disidangkan di Pengadilan Negeri Sleman. Pada
vonis gugatan Iwik, Rabu, 18 Juni 2014, hakim mengabulkan sebagian gugatannya. Kini Iwik tidak
lagi menyandang predikat tersangka. Polda juga dihukum oleh majelis hakim untuk membayar ganti
rugi sebesar Rp 16.281.000.[7]

Kronologi kejadian
Berikut ini kronologi perkembangan kasus Udin sejak rumahnya diamat-amati, penyiksaan,
meninggal dunia, hingga proses peradilan Iwik, seperti yang diungkapkan oleh Harian Bernas[8]

 12 Agustus 1996: Kediaman Udin sekitar pukul 22.00 WIB telah diawasi oleh dua orang tidak
dikenal dengan kendaraan sepeda motor. Satu di antaranya sempat mendekat ke rumah Udin dan
mengamati keadaan dalam rumah melalui lubang kunci pintu depan rumah. Salah satu tetangga
Udin yang berada di warung bakmi yakni Ny. Ponikem memperhatikan tingkah aneh lelaki
tersebut. Ia kemudian mencoba mendekat. Tetapi saat ditanya dan dibantu membangunkan
pemilik rumah, lelaki tersebut cepat-cepat pergi. Sehingga Udin yang telanjur keluar rumah tidak
berhasil menjumpai lelaki mencurigakan yang menurut penuturan saksi ini ingin menemuinya.
 13 Agustus: Selasa malam sekitar pukul 23.30 WIB, Udin dianiaya lelaki tak dikenal di rumahnya
yang beralamat di Jalan Parangtritis Km 13,5 Bantul hingga luka parah dan tak sadarkan diri. Ia
kemudian dibawa ke RSU Je-bugan Bantul, karena tak mampu, Udin terus dilarikan ke RS
Bethesda, Yogyakarta. Peristiwa itu didahului dengan beberapa kejadian tidak biasa. Sebelumnya,
sekitar pukul 21.00 WIB, di kantor harian Bernas, Udin menemui seorang tamu yang sebelumnya
ingin menemui Joko Mulyono (wartawan Bernas untuk liputan Bantul). Lelaki tersebut mengaku
sebagai Kaur Pemerintahan Desa Wirokerten Bantul dan kedatangannya untuk urusan tanah.
Tetapi setelah pertemuan singkat itu, Udin terlihat gelisah di kantor. Pukul 21.30 WIB, selesai
menulis berita, Udin bergegas pulang ke Bantul dengan Honda Tiger 2000 warna merah hati.
Belakangan orang yang ditemui Udin tersebut adalah Hatta Sunanto (anggota DPRD Bantul dan
adik Sukrisno, Kaur Pemerintahan Desa Wirokerten Bantul), serta ditemani seorang calo tanah
bernama Suwandi.
 14 Agustus: Rabu pukul 08.00 WIB di RS Bethesda Yogyakarta, Udin menjalani operasi karena
terjadi pendarahan hebat di kepalanya akibat penganiayaan hebat yang dialami Udin malam
sebelumnya.
 16 Agustus: Jumat pukul 16.58 WIB, tim medis RS Bethesda menyatakan Udin meninggal dunia
setelah tiga hari berjuang melawan maut tanpa pernah sadarkan diri. Malamnya, sekitar pukul
23.30 WIB, jenazah Udin disemayamkan sebentar di kantor Harian Bernas untuk mendapatkan
penghormatan terakhir dari rekan-rekannya.
 17 Agustus: Jenazah Udin dilepas dan dimakamkan di tempat pemakaman umum Trirenggo
Bantul, tepat pada saat bangsa Indonesia merayakan peringatan hari ulang tahun ke-
51 kemerdekaan Republik Indonesia.
 Berbagai pihak termasuk di antaranya Sri Sultan Hamengku Buwono X, Pangdam IV
Diponegoro, Kapolda Jateng-DIY dan sejumlah pejabat pemerintahan meminta agar kasus Udin
diusut tuntas. Dan siapapun yang terlibat dalam kasus ini harus diproses secara hukum.
 19 Agustus: Malam sekitar pukul 20.00 WIB, Serma Edy Wuryanto ditemani dua anggota Polres
Bantul berangkat dari Mapolres Bantul ke kediaman orangtua Udin di Gedongan, Trirenggo,
Bantul. Mereka bermaksud meminjam sisa darah operasi Udin yang tidak jadi ikut dikubur
bersama jenazah Udin. Serma Edy Wuryanto mengatakan darah itu akan dipakai untuk
kepentingan pengusutan dengan cara supranatural (akan dilarung ke laut selatan). Siang
sebelumnya, di tengah-tengah pawai pembangunan dalam rangka peringatan HUT ke-51 K
kemerdekaan RI di kabupaten Bantul, sejumlah warga Bantul turut menggelar pawai dukacita sambil
menggelar spanduk dan mengarak foto Udin.

 23 Agustus: Dalam sebuah konferensi pers akbar di kantor Pemda Bantul, Bupati Bantul Kolonel
Art Sri Roso Sudarmo menyatakan diri tidak terlibat dalam kasus ini. Sementara Kapolres Bantul
Letkol Pol Ade Subardan mengatakan tidak ada dalang dalam kasus Udin meski tersangka belum
tertangkap. Ia juga sesumbar akan menangkap pelaku pembunuh Udin dalam waktu tiga hari
setelah konferensi pers tersebut berlangung sambil mengatakan biar Bupati Bantul tidur nyenyak.
 26 Agustus: Sekitar pukul 09.00 WIB, Tempat Kejadian Perkara (TKP) di rumah Udin baru
diberi garis polisi setelah 13 hari kejadian pembunuhan Udin berlalu. Di Jakarta, Kepala Staf
Sosial Politik (Kassospol) ABRI Letjen TNI Syarwan Hamid menegaskan, oknum ABRI yang
terlibat dalam kasus Udin akan ditindak tegas.
 27 Agustus: Sekitar pukul 10.30 WIB, garis polisi di TKP rumah Udin dicopot kembali oleh
polisi. Dengan demikian, garis polisi ini berada di TKP kurang lebih 25 jam, setelah sebelumnya
dipasang untuk kepentingan penyidikan.
 2 September: Kapolda Jateng-DIY Mayjen Pol Harimas AS menyatakan pihak kepolisian sudah
memiliki identitas lengkap pelaku kasus pembunuhan Udin.
 3 September: Mantan Mendagri Jenderal TNI (purn) Rudini mengatakan, sebaiknya Gubernur
DIY Sri Paku Alam VIII memanggil dan meminta keterangan Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo.
 4 September: Marsiyem secara resmi menjadi klien Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Di
kantor LBH Yogyakarta, Marsiyem mengatakan selama ini dirinya dipojokkan polisi agar
mengakui adanya masalah perselingkuhan dalam keluarganya.
 5 September: Seorang seniman lukis berhasil membuat sketsa wajah pembunuh Udin dari
keterangan Marsiyem. Sketsa wajah itu menurut Marsiyem, 90 persen mendekati wajah asli sang
pembunuh.
 7 September: Menurut Sekwilda DIY Drs Suprastowo, Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo sudah
menghadap Gubernur DIY dan melaporkan kasus Udin. Tapi dalam laporannya tidak
menyinggung kematian Udin berkaitan dengan profesi atau tulisan-tulisannya.
 9 September: Keluarga Udin mengkhawatirkan latar belakang kasus pembunuhan Udin akan
dibelokkan ke masalah pribadi. Kapolwil DIY Kolonel Pol Darsono mengatakan polisi tetap lurus
dalam mengadakan penyelidikan.
 13 September: Ketua DPC PPP Bantul dipanggil Komandan Kodim Bantul dan dicecar dengan
pertanyaan seputar keterlibatan DPC PPP Bantul dalam upacara pemakaman Udin. Dandim
Bantul mengatakan acara pemakaman Udin sudah dipolitisasi.
 23 September: Gubernur DIY Sri Paku Alam VIII mengizinkan pemeriksaan terhadap Bupati
Bantul Sri Roso Sudarmo. Di Jakarta, anggota Komisi II DPR RI dari PPP Ali Hardi Kiai
Demak menanyakan penanganan kasus Udin kepada Mendagri Yogie Suardi Memet dalam rapat
kerja DPR RI di Komisi II.
 24 September: Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Yogyakarta mengirim surat ke PWI
Pusat disertai lampiran temuan Tim Pencari Fakta (TPF) PWI Yogyakarta soal kasus Udin.
Pengiriman berkas laporan TPF PWI Yogyakarta tersebut dimaksudkan agar ditindak-lanjuti
pengusutannya oleh Komnas HAM dan Mabes Polri.
 25 September: Kapolwil DIY Kolonel Pol Darsono menegaskan siapapun yang terlibat dalam
kasus pembunuhan Udin akan digebuk tanpa pandang bulu.
 27 September: Kapolri Letjen Pol Dibyo Widodo di Jakarta mengatakan kasus pembunuhan Udin
harus dibongkar. Dan ia menegaskan tidak akan ada pembelokan atas latar belakang terbunuhnya
Udin ke masalah keluarga atau perselingkuhan.
 21 Oktober: Dwi Sumaji alias Iwik, warga Kavling Panasan Triharjo Sleman dan sopir di CV
Dymas Advertizing Sleman, diculik di perempatan Beran Sleman, kemudian dibawa
ke Parangtritis. Di Hotel Queen of The South Parangtritis. Iwik disuruh mengaku sebagai
pembunuh Udin oleh Franki (Serma Pol Edy Wuryanto) setelah sebelumnya di losmen Agung
Parangtritis, Iwik dicekoki minuman keras hingga mabuk, disediakan perempuan, dan diberi
janji-janji muluk soal pekerjaan, uang, dan jaminan hidup keluarganya. Sebelumnya ia dijebak
oleh Franki dengan alasan diajak bisnis billboard.
 24 Oktober: Pada tanggal ini (ketika masuk ke pemeriksaan tahap ke lima), Dwi Sumaji alias
Iwik mencabut seluruh pengakuan dalam pemeriksaan tanggal 21, 22, 23, dan 24 Oktober 1996
(dalam 4 kali pemeriksaan sebelumnya). Pencabutan pengakuan sebagai pelaku pembunuh Udin
itu ia lakukan karena merasa dirinya hanya korban rekayasa. Dan pengakuan yang dulu itu karena
ia berada di bawah ancaman, tekanan dan paksaan Franki alias Serma Pol Edy Wuryanto. Pada 26
Oktober 1996, Ny Sunarti (istri Iwik) mengadu ke Komnas HAM dan Kapolri atas penangkapan
suaminya.
 5 November: Komnas HAM membuat kesimpulan penting—setelah mengadakan investigasi
lapangan—yang menyatakan bahwa dalam proses penangkapan Iwik telah terjadi
pelanggaran hak asasi manusia, sebab dilakukan dengan cara-cara yang sangat tidak etis.
Penyitaan barang bukti milik Iwik menurut Komnas HAM juga dilakukan secara spekulatif.
 6 November: Kapolda DIY Kolonel Pol Mulyono Sulaiman membenarkan masalah peminjaman
sisa darah Udin oleh Serma Pol Edy Wuryanto dan beberapa aparat Polres Bantul. Tetapi, setelah
sebagian dilarung di laut selatan, sisanya sudah dibuang di tempat sampah Mapolres Bantul, dan
keberadaannya tak diketahui lagi.
 20 November: Polda DIY menyerahkan berkas acara pemeriksaan (BAP) Iwik ke Kejaksaan
Tinggi Yogyakarta. Berbagai kalangan mengkritik penyidik terlalu memaksakan kehendaknya
untuk menyerahkan BAP Iwik yang tak sempurna ini.
 25 November: Kejati DIY menyatakan BAP Iwik yang diserahkan Polda DIY tidak lengkap, dan
meminta penyidik menyempurnakannya. (Selanjutnya BAP ini bolak-balik Polda DIY-Kejati
DIY sebanyak 5 kali).
 29 November: (Malam) - Rekonstruksi paksa yang menjadikan Iwik sebagai tersangka batal
dilaksanakan. Alasannya waktu itu penonton terlalu banyak.
 9 Desember: Polda DIY menggelar rekonstruksi kasus pembunuhan Udin di TKP dengan
menghadirkan paksa Iwik. Tetapi Iwik berontak dan histeris saat ia dipaksa penyidik Polda DIY
untuk memerankan diri sebagai pelaku pembunuhan Udin.
 18 Desember: Iwik dilepas dari tahanan Polda DIY dan penahanannya ditangguhkan, mengingat
masa penahannya telah habis dan pemeriksaan atas dirinya dianggap selesai. Status Iwik masih
tetap sebagai tersangka.
 31 Desember: Marsiyem secara resmi mendaftarkan gugatan kasus pelarungan darah Udin ke PN
Bantul. Gugatan ini diajukan Marsiyem mengingat terjadi kekisruhan atas nasib sisa darah Udin
yang pernah di pinjam oleh Serma Pol Edy Wuryanto. Dalam kasus ini, Marsiyem didampingi
kuasa hukum gabungan dari LBH Yogyakarta dan LPH Yogyakarta. Pihak yang digugat, tergugat
I adalah Kapolri cq Kapolda DIY cq Kapolres Bantul. Sedang tergugat II adalah Serma Pol Edy
Wuryanto.
 22 Januari 1997: Kasus gugatan kasus pelarungan darah Udin mulai disidangkan di Pengadilan
Negeri Bantul. Nilai gugatan seluruhnya adalah Rp 105.890.240. Dalam perkara ini, tergugat
diwakili kuasa hukumya dari Diskum Polda DIY menolak upaya perdamaian yang ditawarkan
Majelis Hakim. Sementara Hakim Sahlan Said SH yang semula diplot untuk memeriksa perkara
ini ternyata kemudian mengundurkan diri.
 10 Maret: Serma Pol Edy Wuryanto oleh Majelis Hakim ditolak sebagai saksi. Alasannya, Serma
Edy Wuryanto adalah tergugat II dan keterangannya hanya akan dijadikan pelengkap kalau
keterangan saksi lain dinilai kurang.
 26 Maret: Pakar pidana dari Universitas Airlangga Prof Dr JE Sahettapy SH menilai pengusutan
kasus Udin banyak direkayasa. Ia juga menilai motif yang selama ini diyakini polisi yaitu motif
perselingkuhan terlalu dicari-cari.
 15 April: BAP Iwik untuk yang terakhir kalinya diserahkan penyidik Polda DIY ke Kejati DIY.
Pihak Kejati DIY menyatakan menerima BAP Iwik. Iwik berstatus tahanan kejaksaan.
 21 April: Kepala Kejaksaan Tinggi DIY mengabulkan permohonan penangguhan status
penahanan Iwik. Iwik berstatus tahanan luar.
 24 April: Majelis Hakim dalam perkara gugatan darah Udin memutuskan mengabulkan sebagian
gugatan Marsiyem. Serma Pol Edy Wuryanto dinyatakan bersalah telah melakukan tindakan
melawan hukum. Sedangkan keterkaitan atasan Serma Edy Wuryanto dikesampingkan oleh
hakim, dengan alasan tindakan Serma Edy Wuryanto adalah tindakan yang bersifat pribadi dan
bukan atas perintah atasan yang bersangkutan.
 20 Mei: Kejati DIY menyerahkan BAP Iwik ke Kejaksaan Negeri Bantul. Iwik masih tetap
menikmati penangguhan penahanan. Nasib Iwik berada di tangan Kejaksaan Negeri Bantul yang
akan menyusun berkas perkara dan dakwaannya.
 15 Juli: Berkas perkara pemeriksaan (BAP) Iwik dilimpahkan ke PN Bantul. Tanggungjawab
proses hukum Iwik sepenuhnya berada di tangan Pengadilan Negeri Bantul.
 23 Juli: Jauh-jauh hari, Kajati DIY Asrief Adam SH menyatakan Iwik bisa dituntut bebas apabila
bukti yang terungkap di persidangan memberi kesimpulan Iwik tak bersalah.
 29 Juli: Iwik mulai disidangkan dengan acara pemeriksaan terdakwa dan pembacaan surat
dakwaan. Dakwaan primair, Iwik didakwa melakukan pembunuhan berencana terhadap Udin
dengan motif perselingkuhan. Iwik diancam dengan hukuman mati.
 5 Agustus: Iwik dan penasehat hukumnya membacakan eksepsi. Dalam eksepsinya, Iwik
mengungkapkan dirinya hanya korban rekayasa orang bernama Franki alias Serma Pol Edy
Wuryanto (Kanitserse Polres Bantul) untuk kepentingan bisnis politik dan melindungi Bupati
Bantul.[9]
 19 Agustus: Eksepsi terdakwa dan penasehat hukumnya ditolak Majelis Hakim. Sidang
dilanjutkan dengan pemeriksaan pokok perkara.
 2 September: Marsiyem, saksi kunci dalam kasus pembunuhan Udin ini, dengan histeris
menyatakan bahwa pelaku pembunuh Udin bukan Dwi Sumaji alias Iwik.
 22 September: Saksi Sunarti (istri Iwik) menerangkan bahwa Iwik pada malam kejadian
pembunuhan Udin tidur bersama dirinya di rumah. Sepulang kerja, Iwik tidak pernah pergi
kemana-mana. Alibi ini didukung tetangga Iwik (Heri Karyono dan Gunarso Wibowo) yang
mengatakan bertemu Iwik di teras rumah Iwik, tidak berselang lama dengan terjadinya
penganiayaan Udin di Bantul.
 2 Oktober: Sidang mulai diteror oleh pendukung saksi Diharjo Purboko. Saksi ini memberikan
pernyataan palsu di bawah sumpah sebagai sarjana hukum, padahal fakta menunjukkan ia adalah
jebolan sebuah perguruan tinggi. Ia juga mengaku sebagai bos yang menemui Iwik di Hotel
Queen of the South tanggal 21 Oktober 1996. Iwik menolak pengakuan Diharjo Purboko. Bos
yang ditemuinya bukan Diharjo Purboko tapi bernama Jendra alias Ahmad Nizar, pengusaha asal
Bogor dan kawan akrab Kapolda DIY Kolonel Pol Mulyono Sulaiman.
 6 Oktober: Sidang diteror secara brutal oleh pendukung saksi Serma Pol Edy Wuryanto. Hakim
memberikan peringatan dan mengusir keluar seorang pengunjung sidang pendukung saksi Edy
Wuryanto. Iwik menolak kesaksian Serma Edy Wuryanto, dan ia mengatakan saksi ini
berbohong.
 20 Oktober: Iwik membeberkan kesaksiannya. Selain menyatakan korban rekayasa dan bisnis
politik, ia hanya dipaksa menjalankan skenario rekayasa Franki alias Serma Pol Edy Wuryanto
dengan alasan untuk melindungi kepentingan Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo.
 30 Oktober: Wakil Jaksa Agung Soedjono C Atmonegoro SH menegaskan jaksa tidak akan ragu
menuntut bebas Iwik apabila tidak diperoleh bukti-bukti yang menguatkan dakwaan dalam
persidangan.
 3 November: Iwik dituntut bebas oleh Jaksa Penuntut Umum yang terdiri dari Amrin Naim SH,
Yusrin Nichoriawan SH, Ahmad Yuwono SH, dan Hartoko Subiantoro SH. Pertimbangannya,
dalam persidangan tidak diperoleh bukti dan keterangan yang menguatkan dakwaan jaksa bahwa
Iwik adalah pembunuh Udin.
 27 November: Iwik divonis bebas. Majelis Hakim pemeriksa perkara terdiri dari Ny Endang Sri
Murwati SH, Ny Mikaela Warsito SH, dan Soeparno SH. Pertimbangannya, tidak ada bukti yang
menguatkan Iwik adalah pembunuh Udin. Motif perselingkuhan yang dituduhkan selama ini
berarti gugur. Selain itu, keterangan memberatkan dari Serma Pol Edy Wuryanto dalam
persidangan dinyatakan tidak dapat dipakai sebagai alat bukti keterangan. Selanjutnya muncul
tuntutan agar polisi mencari, mengungkap motif, dan menangkap pelaku pembunuhan Udin yang
sebenarnya.

Artikel
Beberapa tulisan Udin sebelum dia dianiaya adalah:
 3 Kolonel Ikut Ramaikan Bursa Calon Bupati Bantul'
 Soal Pencalonan Bupati Bantul: banyak "Invisible Hand" pengaruhi Pencalonan
 Di Desa Karangtengah, Imogiri, Bantul, Dana IDT Hanya Diberikan Separo
 Isak Tangis Warnai Pengosongan Parangtritis

Penghargaan
 Udin dianugerahi penghargaan Suardi Tasrif Award oleh Aliansi Jurnalis
Independen untuk perjuangannya bagi kebebasan pers, pada 22 Juni 1997.[butuh rujukan]
 Semenjak itu setiap tahun AJI menganugerahkan Udin Award kepada jurnalis atau
sekelompok jurnalis yang menjadi korban kekerasan karena komitmen dan
konsistensinya dalam menegakkan pers, demi kebenaran dan keadilan.[10]

Anda mungkin juga menyukai