Anda di halaman 1dari 11

MINI REVIEW

HUBUNGAN KERJA OTOT DAN TEKANAN DARAH

A. Latar Belakang
Seorang yang melakukan aktivitas fisik sehari-hari tidak terlepas dari kerja yang
simultan antara sistem muskuloskeletal dan sistem kardiovaskular. Otot berdasarkan
struktur dan fungsinya terbagi atas otot rangka, otot polos dan otot jantung. Otot rangka
memiliki tingkat organisasi mulai dari otot secara penuh, serat otot, miofibril sampai
terbagi menjadi filamen tebal (myosin) dan filamen tipis (aktin, troponin dan
tropomiosin). Kerja otot dapat dijelaskan dalam mekanisme kontraksi otot, yang secara
garis besar dapat disebabkan karena adanya pergeseran filamen akibat interaksi jembatan
silang (cross bridge) antara aktin dan miosin. Kontraksi otot sendiri sangat membutuhkan
energi dalam bentuk ATP, yang dihasilkan dari metabolism aerobik dan anaerobik
(Joyner & Casey, 2015).
Tubuh membutuhkan sistem yang dapat menyokong kebutuhan energi besar pada
otot saat aktivitas fisik, yaitu sistem kardiovaskular. Selama seseorang beraktivitas fisik,
terdapat dua kebutuhan utama, yaitu kebutuhan otot rangka dalam menjalankan kontraksi,
dan kebutuhan organ lain untuk tetap mendapatkan perfusi secara adekuat. Melihat
keterkaitan dua sistem organ tersebut, mini review ini akan membahas mengenai kerja
otot dan hubungannya dengan fisiologi sistem kardiovaskular terutama tekanan darah.
B. Kontraksi otot dan metabolisme energi
Kontraksi otot merupakan fenomena yang melibatkan keterlibatan sistem saraf
dan metabolisme energi. Otot rangka dapat berkontraksi hanya jika mendapatan stimulasi
oleh unit motor somatik. Mekanisme ini disebut sebagai excitation-contraction coupling.
Potensial aksi yang melewati neuron motor somatic akan menghantarkan
neurotransmitter seperti asetikolin, yang dikemas dalam bentuk vesikel vesikel keluar
melalui taut neuromuscular. Asetilkolin yang dilepaskan akan ditangkap oleh reseptor
asetilkolin pada sarcolemma di otot dan memicu ion natrium masuk menuju sel otot
melalui kanal ion. Masuknya ion natrium akan mengubah muatan membrane di sel otot
dan memicu potensial aksi. (Hall & Hall, 2021; Sherwood & Ward, 2019).
Gambar 1. Excitation-contraction coupling pada kontraksi otot
(Sherwood & Ward, 2019)
Potensial aksi pada retikulum sarkoplasma akan memicu pelepasan ion kalsium
dari reticulum sarkoplasma melalui tubulus T menuju protein troponin. Troponin yang
berikatan dengan ion ca2+ akan mengubah kondisi tropomyosin yang awalnya menutupi
kepala myosin bagian binding site, menjadi menggeliat sehingga kepala myosin akan
berikatan dengan binding-site milik aktin. Myosin akan menarik aktin menuju garis M,
dan myosin bergerak menuju garis Z dan terjadilah kontraksi. ATP yang dihasilkan oleh
tubuh melalui berbagai jalur seperti fosforilasi oksidatif, glikolisis maupun ATP-PCr
akan membuat ion kalsium akan dikembalikan menuju retikulum sarkoplasma dan
terjadilah relaksasi otot (Hall & Hall, 2021; Sherwood & Ward, 2019).
Sumber energi yang digunakan pada saat seseorang melakukan aktivitas fisik
terutama aktivitas angkat beban sangat bergantung dengan berat beban, jumlah repetisi,
time under tension, dan berbagai faktor lain. Secara umum, jika dengan beban berat,
durasi singkat (dibawah 30 detik) dan repetisi rendah, sistem ATP-Pcr akan sangat aktif.
Contohnya adalah gerakan powerlifting yang menggunakan beban relatif berat dengan
jumlah repetisi 1-5. Sedangkan, jika latihan penguatan otot menggunakan beban sedang,
repetisi sedang (6-15 repetisi) dan durasi berkisar lebih dari 30 detik sampai sekitar 2-3
menit, tubuh akan banyak menggunakan sistem energi yang kedua yaitu glikolisis
anaerob (Kenney et al, 2015).
C. Respon akut tekanan darah saat latihan aerobik
Ketersediaan energi yang besar merupakan hal yang harus ada pada saat otot
berkontraksi, sehingga perlu penyesuaian sistem kardiovaskular sebagai pemasok energi
melalui sirkulasi. Tujuan utama penyesuaian ini adalah dalam rangka meningkatkan
aliran darah ke otot yang sedang bekerja, namun dengan tetap memperhatikan kontrol
kardiovaskular ke berbagai jaringan dan organ dalam tubuh. Perubahan tersebut
diantaranya melibatkan denyut jantung (HR), stroke volume, cardiac output, komponen
darah, aliran darah dan tentunya penyesuaian tekanan darah (Kenney et al, 2015).
Selama seseorang melakukan aktivitas fisik terutama endurance training, tekanan
darah sistolik meningkat sebanding dengan peningkatan intensitas latihan. Akibat
peningkatan tekanan sistolik, mean arterial pressure juga meningkat. Tekanan sistolik
yang dimulai pada 120 mmHg dalam keadaan normal dapat melebihi 200 mmHg pada
latihan maksimal. Tekanan sistolik dapat mencapai 240 sampai 250 mmHg pada atlet
yang normal, sehat, dan sangat terlatih. Peningkatan tekanan darah sistolik ini merupakan
hasil dari peningkatan curah jantung. Peningkatan tekanan ini akan membantu
memfasilitasi peningkatan aliran darah melalui pembuluh darah, dengan demikian
peningkatan tekanan sistolik membantu pengiriman substrat untuk otot yang sedang
bekerja (Kenney et al, 2015).
Gambar 2. Distribusi cardiac output saat istirahat dan aktivitas fisik
(Kenney et al, 2015).
Mean arterial pressure akan mencapai kondisi steady state selama latihan aerobik
submaksimal yang stabil. Jika intensitas latihan ditingkatkan, maka tekanan sistolik akan
meningkat lagi. Saat latihan diperpanjang, tekanan sistolik akan mulai turun perlahan,
namun tekanan diastolik cenderung konstan. Penurunan tekanan sistolik merupakan
respon normal dan mencerminkaan peningkatan vasodilatasi pada otot yang aktif bekerja,
dan akan menurunkan resistensi perifer total (TPR). Pada intensitas maksimal, tekanan
diastolik dapat sedikit meningkat, akibat peningkatan tonus saraf simpatis yang
menyebabkan efek vasokonstriksi. Kondisi vasokonstriksi ini diimbangi oleh otot yang
sedang bekerja dengan pengeluaran vasodilator lokal, yang disebut sebagai fenomena
simpatolisis. Terciptanya keseimbangan antara vasokonstriksi pada regio yang inaktif dan
vasodilatasi pada otot yang aktif, menyebabkan tekanan diastolik secara umum seringkali
tidak banyak berubah saat latihan fisik (Kenney et al, 2015).
D. Respon akut tekanan darah saat latihan beban
Beberapa kondisi latihan fisik dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah yang
jauh lebih besar, yaitu saat seseorang melakukan latihan beban dengan intensitas tinggi.
Latihan beban dengan intensitas tinggi dapat memicu peningkatan tekanan darah hingga
480/350 mmHg. Peningkatan tekanan yang sangat tinggi ini dapat dipicu saat seseorang
melakukan manuver valsava saat mengangkat beban yang sangat berat untuk
menstabilkan otot-otot besar yang terlibat. Manuver ini adalah saat seseorang mencoba
menghembuskan nafas dalam kondisi mulut, hidung dan glottis menutup. Aksi ini akan
menyebabkan seseorang mengejan dan terjadi peningkatan tekanan intratorakal dan
terjadi peningkatan tekanan darah yang cukup besar. Respon tekanan darah pada latihan
beban dapat dibagi menjadi dua, yaitu respon terhadap kontraksi statis dan dinamis,
berikut penjelasannya (Plowman & Smith, 2011)
1. Respon kardiovaskular terhadap kontraksi otot statis
Latihan beban dengan intensitas tinggi akan menyebabkan penurunan stroke
volume akibat terjadi penurunan preload dan peningkatan afterload. Preload
mengalami penurunan akibat peningkatan tekanan intratorakal, yang akan menekan
vena cava sehingga menurunkan volume darah vena yang kembali ke jantung.
Afterload yang meningkat menyebabkan darah yang diejeksikan keluar dari ventrikel
kiri berkurang. Latihan beban sangat melibatkan kontraksi otot statis. Kontraksi statis
pada otot memiliki karakteristik dapat meningkatkan tekanan sistolik dan diastolik,
disebut sebagai pressor response. Peningkatan tekanan sistolik dan diastolik akan
meningkatkan mean arterial pressure.
Kontraksi statis yang terjadi pada berbagai aktivitas seperti mengangkat atau
menahan beban berat, akan meningkatkan permintaan metabolik pada otot rangka
yang aktif. Tekanan intramuscular yang tinggi mengakibatkan konstriksi mekanik dan
akan menghambatb aliran darah menuju otot. Penurunan aliran darah ini akan
menyebabkan pembentukan hasil metabolit seperti ion H +dan adenosine diphosphate
yang akan menstimulasi sensory nerve ending dan memicu refleks pressor dan
menyebabkan respon pressor dalam bentuk peningtakan MAP. Peningkatan tekanan
arteri rata-rata ini lebih besar dibandingkan pada aktivitas aerobik dengan total
pengeluaran energi yang sebanding.
2. Respon kardiovaskular pada kontraksi otot dinamis
Aktivitas mengangkat beban terutama latihan beban sebagai olahraga akan
melibatkan tidak hanya kontraksi otot statis namun juga kontraksi otot dinamis. Saat
awal mengangkat benda seperti dumbbell, terjadi kontraksi statis dimana panjang otot
tidak berubah. Saat gaya yang dihasilkan otot melebihi beban benda, terjadi
perpindahan benda mengikuti pemendekan otot (kontraksi konsentrik) dan
pemanjangan otot (kontraksi eksentrik), inilah yang disebut sebagai latihan otot
dinamis. Perpaduan kontraksi konsentrik dan eksentrik yang terjadi secara konstan
disebut juga sebagai kontraksi isotonik.
Respon kardiovaskular pada saat latihan otot dinamis terpisah dan tidak
berhubungan dengan kebutuhan energi dan oksigen. Selama aktivitas aerobik, respon
sistem kardiovaskular secara langsung berhubungan dengan penggunaan oksigen dan
produksi energi. Perbedaan ini disebabkan karena sumber energi yang dibutuhkan
pada aktivitas mengangkat beban banyak dihasilkan oleh sumber anaerob, tanpa
adanya oksigen. Perbedaan lain antara latihan beban dibanding latihan aerobik adalah
adanya konstriksi mekanis pembuluh darah karena adanya kontraksi statis.
Besarnya respon kardiovaskular pada latihan beban bergantung pada intensitas
beban (banyakya beban yang diangkat) dan jumlah repetisi yang dilakukan. Respon
kardiovaskular juga bergantung pada kombinasi antar keduanya. Respon
kardiovaskular lebih besar pada beban yang lebih berat, dengan asumsi jumlah
repetisinya konstan. Saat seseorang melakukan latihan arm curling dengan tiga beban
berbeda (diidentifikasi sebagai ringan, sedang, berat), tekanan sistolik tertinggi ada
pada beban terberat (gambar 3).
Gambar 3. Respon tekanan sistolik pada latihan arm curling dengan beban yang
berbeda
Pola respon yang berbeda terlihat saat beban yang diberikan dilakukan sampai
terjadi kelelahan atau failure. Atlet yang diberikan latihan leg extension dengan 50%,
80% dan 100% dari beban maksimal mereka, melakukan repetisi sebanyak-banyaknya,
kemudian variabel kardiovaskular meliputi stroke volume, heart rate dan cardiac output
dinilai setelah akhir set. Hasil menunjukkan bahwa cardiac output terbesar ada pada
kelompok beban paling ringan dengan jumlah repetisi terbanyak. Stroke volume tidak
berbeda signifikan antar kelompok termasuk kondisi istirahat. Hasil ini berbeda jika
dibandingkan dengaan aktivitas aerobik, dimana stroke volume meningkat saat intensitas
aktivitas ditingkatkan. Hasil heart rate menunjukkan dengan beban teringan dengan
repetisi terbanyak menghasilkan heart rate terbesar.

Gambar 4. Kontrol kardiovaskular saat latihan fisik


(Kenney et al, 2015).
Seseorang yang telah selesai melakukan latihan fisik, maka akan mengalami
penyesuaian, dimana tekanan darah yang meningkat cukup besar saat latihan, akan
dideteksi oleh baroreseptor yang ada di sinus carotid dan arkus aorta sebagai tekanan
yang melebihi baseline. Sinyal berupa tekanan darah ini akan dikirimkan ke pusat kontrol
kardiovaskular di batang otak. Sinyal ini akan diintegrasikan kemudian sinyal dikirimkan
kembali melalui inhibisi saraf simpatis dan aktivasi saraf parasimpatis. Efek inhibisi saraf
simpatis dan aktivasi parasimpatis pada pembuluh darah akan memberikan efek
penurunan tekanan darah.

E. Adaptasi jangka panjang sistem kardiovaskular pada latihan beban


Respon terhadap aktivitas fisik adalah reaksi jangka pendek yang terjadi pada
seseorang yang melakukan aktivitas fisik, sedangkan adaptasi terhadap aktivitas fisik
merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh seseorang setelah melakukan
aktivitas fisik dalam jangka waktu panjang. Seseorang yang melakukan latihan beban
dalam jangka panjang dengan volume rendah (repetisi rendah dan beban ringan) tidak
memberikan perubahan pada sistem kardiovaskular, namun seseorang yang melakukan
latihan beban dengan volume atau total beban kerja tinggi, akan mengalami beberapa
adaptasi pada sistem kardiovaskular, diantaranya (Plowman & Smith, 2014) :
1. Dimensi jantung
Atlet yang terlatih melakukan latihan beban secara dinamis, dapat mengalami
peningkatan ketebalan dinding ventrikel kiri dan ketebalan septum. Peningkatan
ketebalan dinding jantung ini merupakan akibat jantung yang menerima tekanan
arteri yang tinggi (peningkatan afterload) saat melakukan latihan beban dalam
jangka waktu yang panjang. Peningkatan ketebalan dinding jantung ini bergantung
pada intensitas dan volume latihan.
2. Stroke volume dan heart rate
Stroke volume pada atlet yang terlatih melakukan latihan beban, akan
mengalami kenaikan yang signifikan. Resting heart rate pada atlet yang terlatih
angkat beban cenderung ada di kisaran rata-rata dan sedikit dibawah rata-rata.
Denyut jantung istirahat yang rendah ini juga berhubungan dengan aktivitas
parasimpatis yang meningkat dan kebugaran jantung paru yang meningkat.
3. Tekanan darah
Seorang atlet yang terlatih angkat beban, pada beberapa studi tidak akan
mengalami kenaikan tekanan darah istirahat selama tidak mengalami kondisi
overtrained dalam jangka panjang, tidak mengalami kenaikan massa otot yang
sangat cepat dan drastis, maupun menggunakan performance enhancing drugs
seperti anabolik steroid. Namun, disisi lain terdapat studi yang menunjukkan
latihan penguatan otot dapat mengurangi compliance pembuluh darah dan
memperburuk refleksi gelombang aorta, terutama pada subyek muda. (Miyachi et
al, 2004; Cortez et al, 2005). Dalam sebuah studi intervensi pada orang dewasa
muda menunjukkan penurunan 20% dalam compliance arteri sentral setelah 2
bulan latihan penguatan otot.
Terjadinya kekakuan arteri tentunya berperan dalam meningkatkan tekanan
darah. Kekakuan dapat terjadi karena peningkatan tekanan darah arteri secara
intermiten. Hal ini dapat mengubah struktur arteri, terutama komponen yang
berperan dalam kondisi menahan beban, seperti jaringan ikat kolagen dan elastin.
Meskipun latihan penguatan otot belum terbukti mengubah ketebalan lapisan
intima-media, namun memiliki potensi untuk mengubah kualitas dinding arteri
dengan menyebabkan fraktur lamela elastis. Selain itu, latihan penguatan otot
dengan intensitas tinggi merupakan stimulus yang kuat untuk sistem saraf simpatis.
Peningkatan kronis pada sistem saraf simpatis dapat menurunkan compliance arteri
melalui pengekangan kronis pada dinding arteri melalui tonus vasokonstriktor
adrenergik simpatik yang lebih besar (Miyachi et al, 2005).
4. Kebugaran jantung paru
Kebugaran jantung paru pada seseorang yang melakukan latihan beban dalam
jangka panjang dapat mengalami kenaikan sebesar 4-9%. Perubahan yang relatif
kecil ini karena hanya persentase kecil dari konsumsi oksigen maksimal yang
tercapai saat latihan beban. Latihan beban dapat mempengaruhi variabel
kardiovaskular sentral (misal resting heart rate ) tapi tidak meningkatkan adaptasi
kardiovaskular secara perifer (misal a-vO2diff). Peningkatan kebugaran jantung
paru secara optimal dapat dicapai dengan melakukan latihan aerobik diluar latihan
beban.
DAFTAR PUSTAKA

Cortez-Cooper, M.Y., DeVan, A.E., Anton, M.M., Farrar, R.P., Beckwith, K.A., Todd, J.S.,
Tanaka, H. 2005. Effects of high intensity resistance training on arterial stiffness and wave
reflection in women. Am J Hypertens. 18(7):930-4.

Hall, J.E., Hall, M.E. 2021. Guyton and hall textbook of medical physiology. 14th edition.
Elsevier, Philadelphia.

Joyner, M.J., Casey, D.P. 2015. Regulation of increased blood flow (hyperemia) to muscles
during
exercise: a hierarchy of competing physiological needs. Physiol Rev. 95(2):549-601.

Kenney, W.L., Wilmore, J.H., Costill, D.L. 2015. Physiology of Sport and Exercise. USA:
Human Kinetics

Miyachi, M., Kawano, H., Sugawara, J., Takahashi, K., Hayashi, K., Yamazaki, K., Tabata, I.,
Tanaka, H. 2004. Unfavorable effects of resistance training on central arterial
compliance: a randomized intervention study. Circulation. 2;110(18):2858-63.

Plowman, S.A., Smith, D.L. 2014. Exercise Physiology for Health and Performance 4th edition.
Wolters Kluwer : Philadephia.

Sherwood, L., Ward, C. 2019. Human Physiology : from Cells to Systems. Toronto : Cengage
Learning.

Anda mungkin juga menyukai