Anda di halaman 1dari 12

Pendidikan Nonformal dan Informal

1. Definisi
a) Pendidikan Nonformal
Definisi pendidikan nonformal menurut Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 pasal 1 adalah jalur pendidikan
di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan
berjenjang. Menurut Sudjana (dalam Bagja, 2021) Pendidikan non formal
merupakan salah satu dari sekian banyak istilah yang muncul dalam studi
kependidikan pada akhir tahun tujuh puluhan. Iatilah-istilah pendidikan
yang berkembang di tingkat internsional mula saat itu adalah: pendidikan
sepanjang hayat (life long education), pendidikan pembaharuan (recurrent
education), pendidikan abadi (permanent education), pendidikan informal
(informal education), pendidikan masyarakat (community education),
pendidikan perluasan (extention education), pendidikan massa (mass
education), pendidikan sosial (social education), pendidikan orang dewasa
(adult eduction), dan pendidikan berkelanjutan (continuing education).
Pendidikan nonformal merupakan konsep dalam studi kependidikan.
Kapal (dalam Bagja, 2021) mengemukakan bahwa “ A concept is a
construct (konsep adalah sebuah bentuk). Pengertian lebih luas ialah
“Concepts are mental images we use as summary devices for bringing
together observations and expriensces that seem to have something in
common” (konsep adalah citra mental yang digunakan sebagai alat untuk
memudahkan pengamatan dan pengalaman yang memiliki kesamaan).
Dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas
disebutkan bahwa lembaga pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan
di luar pendidikan formal yang dilaksanakan secara terstruktur dan
berjenjang. Lembaga pendidikan non formal adalah lembaga pendidikan
yang disediakan bagi warga negara yang tidak sempat mengikuti atau
menyelesaikan pendidikan pada jenjang tertentu dalam pendidikan formal.
Kini, pendidikan non formal semakin berkembang karena semakin
dibutuhkannya keterampilan pada setiap orang untuk mendapatkan
pekerjaan yang diinginkan.
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan diluar pendidikan
formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Abu
Ahmadi (Darlis, 2017) dijelaskan lembaga pendidikan nonformal adalah
semua bentuk pendidikan yang dilaksanakan dengan sengaja, tertib dan
terencana diluar kegiatan lembaga sekolah.
b) Pengertian Pendidikan Informal
Livingstone (Sudiapermana, 2009) mendefinisikan pendidikan
informal adalah setiap aktifitas yang melibatkan pursuit pemahaman,
pengetahuan, atau kecakapan yang terjadi diluar kurikulum lembaga yang
disediakan oleh program pendidikan, kursus atau lokakarya. Pembelajaran
informal bisa terjadi di setiap konteks diluar kurikulum lembaga. Hal ini
dibedakan dari persepsi harian dan sosialisasi umum dengan identifikasi
kesadaran diri individu tentang aktifitas sebagai pembelajaran bermakna.
Hal mendasar dari pendidikan informal (tujuan, isi, cara dan proses
pemerolehan, lamanya, evaluasi hasil dan aplikasi) ditentukan oleh
individu dan kelompok yang memilih terlibat didalamnya, tanpa kehadiran
seorang instruktur yang memiliki otoritas secara melembaga.
Kebijakan tentang pendidikan informal yang tertuang dalam
UUSPN No 20 tahun 2003 pasal 27 yaitu:
a. Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan
lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri
b. Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1) diakui sama
dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus
ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan 3) Ketentuan
mengenai pengakuan hasil pendidikan informal sebagaimana
dimaksud pada ayat 2) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Pendidikan informal merupakan sarana pengembangan karakter
yang dalam praktiknya harus melibatkan semua elemen, baik rumah
tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat luas. Rumah
tangga dan keluarga sebagai satuan pendidikan informal, sekaligus sebagai
satuan pembentukan karakter harus diberdayakan (Karo-Karo, 2014).
Pendidikan informal biasa juga disebut pendidikan keluarga, dimana
pendidikan dimulai dari keluarga.
Menurut Tarakiawan (Sudiapermana, 2009), pendidikan yang
mungkin terjadi dalam keluarga, yaitu:
1) pendidikan iman
2) pendidikan moral
3) pendidikan fisik
4) pendidikan intelektual
5) pendidikan psikis
6) pendidikan sosial
7) pendidikan seksual.
Sejalan dengan itu, Abdul Halim (Sudiapermana, 2009),
mengemukakan bahwa mendidik anak pada hakikatnya merupakan
serangkaian usaha nyata orang tua dalam rangka:
1) menyelamatkan fitrah Islamiah anak
2) mengembangkan potensi pikir anak
3) mengembangkan potensi rasa anak
4) mengembangkan potensi karsa anak
5) me-ngembangkan potensi kerja anak
6) mengembangkan potensi sehat anak.
2. Peran pendidikan nonformal dan informal
A) Peran Pendidikan Informal
Banyak sekali isu-isu yang berkembang pada pendidikan
informal, tegasnya pengakuan secara yuridis yang tidak serta merta
memberi dampak pada kepercayaan sosial-akademik terhadap proses dan
hasil pendidikan informal. Hal ini antara lain terkait dengan pertanyaan/
isu yang dilontarkan: “apakah mungkin yang informal itu sebagai sebuah
proses pendidikan, mengingat pendidikan itu merupakan suatu usaha
sengaja dan terencana?” Daniel Schugurensky (Sudiapermana, 2009)
menegaskan bahwa untuk informal lebih tepat belajar/pembelajaran
bukan pendidikan, karena dalam proses belajar informal tidak ada
lembaga pendidikan, tidak ada instruktur/guru yang memiliki otoritas
secara institusional, dan tidak ada kurikulum yang diresepkan.
Dalam banyak kajian akademik memang indikator pendidikan
informal selalu terkait dengan adanya kemandirian belajar dan tidak
adanya pihak tertentu yang secara „sengaja‟ membangun interkasi dan
melakukan intervensi. George Axinn (dalam Bagja, 2021) dengan
pendekatan kesadaran tujuan dari masing-masing pihak yang terlibat
dalam pendidikan (pendidik dan peserta dididk) mencoba menempatkan
pendidikan informal dalam suatu kwadran proses pendidikan dimana
salah satu pihak (pendidik atau peserta dididk) tidak menyadari akan
tujuan pendidikan yang dilakukannya. Artinya kesadaran melakukan
belajar hanya ada dari salah satu pihak, bisa hanya pihak pendidik.
Misalnya orangtua (sebagai pendidik) bermaksud memberi teladan
kepada anak-anaknya dalam kehidupan sehari-hari, tanpa mengajak
anak-anak secara khusus diminta mempelajarainya. Atau suatu media
dalam fungsinya memberi informasi adanya seorang tokoh yang berhasil
memelihara lingkungannya menjadi hijau kembali, ternyata ada
sekelompok pembaca (sebagai pihak peserta didik) yang secara sengaja
mempelajari bagaimana cara-cara penghijauan yang dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan mereka dalam melakukan penataan
lingkungan.
Selama ini, pendidikan informal ( pendidikan didalam keluarga )
belum memberikan kotribusi yang berarti dalam mendukung pencapaian
kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Hal ini dapat
disebabkan kesibukan orangtua, kurangnya pemahaman orangtua dalam
mendidik anaknya, pengaruh pergaulan dilingkungan sekitar, pengaruh
media cetak dan elektronik. Sebenarnya dapat disepakati bahwa keluarga
ialah sekolah pertama dan utama bagi peserta didik. Orangtua berperan
membentuk karakter dan sekaligus menanamkan nilai-nilai pendidikan.
Keberhasilan peserta didik berubah menjadi pribadi yang berpendidikan
dan berkarakter bukan semata-mata ditentukan oleh guru disekolah,
melainkan juga merupakan miniatur dari kehidupan anak. Anak akan
tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila ia hidup ditengah-
tengah keluarga yang baik. Keluarga harus menata kehidupan keluarga
yang kondusif agar tercipta iklim edukatif dan sekaligus terbentuknya
karakter yang positip pada anak. Keluarga harus dibentuk sedemikian
rupa agar dapat membantu setiap anak mendapatkan pendidikan dan
pengetahuan tambahan yang tidak didapatkan disekolah. Orangtua harus
dapat menerapkan kebiasan-kebiasaan yang baik seperti halnya : bersikap
santun terhadap orang lain, suka membantu, rela memafkan kesalahan
orang lain, berempati, berdisiplin, menjaga kerukunan, mendengarkan
dan menghargai pendapat orang lain, tidak sombong.
Disamping itu, menurut Karo-Karo (2014) orangtua perlu
menanamkan nilainilai pendidikan karakter seperti : mengubah cara
pandang mengenai lembaga pendidikan dan menjadikan rumahtangga
sebagai sekolah pertama. Banyak orangtua selama ini menyerahkan
sepenuhnya tentang pendidikan anaknya agar dapat menjadi pribadi yang
berkualitas tanpa disadari bahwa aktivitas dan kehidupan anak lebih lama
dilingkungan keluarga daripada dilingkungan sekolah. Orangtua kurang
mengontrol dan mendidik anaknya menjadi anak yang berkarakter baik.
Orangtua kurang berusaha menciptakan lingkungan keluarga dalam
suasana edukatif. Bahkan banyak orangtua membiarkan anaknya
melakukan sesuatu tanpa adanya kontrol atau aturan-atuaran yang
mengikat anak untuk berbuat baik sehingga anak terbiasa dan terdidik
sesuai dengan karakter yang diinginkan.
B) Pendidikan Nonformal
Fungsi lembaga pendidikan nonformal menurut UU Sisdiknas
Tahun 2003 pasal 26 adalah sebagai pengganti, penambah, dan/atau
pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan
sepanjang hayat. Pada ayat ke 5, kursus dan pelatihan diselenggarakan
bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan,
kecakapan hidup, sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan
profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi. Ada juga tujuan belajar di jalur pendidikan non
formal yang ditujukan untuk kepentingan pendidikan kelanjutan setelah
terpenuhinnya pendidikan tingkat dasar, serta pendidikan perluasan dan
pendidikan nilai-nilai hidup. Contoh program pendidikan non formal yang
ditujukan untuk mendapatkan dan memaknai nilai-nilai hidup misalnya
pengajian, sekolah minggu, berbagai latihan kejiwaan, meditasi,
“manajemen kolbu”, latihan pencarian makna hidup, kelompok hoby,
pendidikan kesenian, dan sebagainya. Dengan program pendidikan ini
hidup manusia berusaha diisi dengan nilai-nilai keagamaan, keindahan,
etika dan makna.
Masalah pendidikan dalam pendidikan sekolah, menyebabkan
pendidikan non formal mengambil peran untuk membantu sekolah dan
masyarakat dalam mengurangi masalah tersebut. Sudjana mengemukakan
peran pendidikan non formal adalah sebagai “pelengkap, penambah, dan
pengganti" dengan penjabaran sebagai berikut:
a) Sebagai pelengkap pendidikan sekolah Pendidikan non formal
berfungsi untuk melengkapi kemampuan peserta didik dengan
jalan memberikan pengalaman belajar yang tidak diperoleh dalam
pendidikan sekolah. Pendidikan non formal sebagai pelengkap ini
dirasakan perlu oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
belajar masyarakat dan mendekatkan fungsi pendidikan sekolah
dengan kenyataan yang ada di masyarakat. Oleh karena itu
program-program pendididkan non formal pada umumnya
dikaitkan dengan lapangan kerja dan dunia usaha seperti latihan
keterampilan kayu, tembok, las, pertanian, makanan, dan lain-lain.
b) Sebagai penambah pendidikan sekolah Pendidikan non formal
sebagai penambah pendidikan sekolah bertujuan untuk
menyediakan kesempatan belajar kepada:
1) Peserta didik yang ingin memperdalam materi pelajaran
tertentu yang diperoleh selama mengikuti program
pendidikan pada jenjang pendidikan sekolah.
2) Alumni suatu jenjang pendidikan sekolah dan masih
memerlukan layanan pendidikan untuk memperluas
materi pelajaran yang telah diperoleh.
3) Mereka yang putus sekolah dan memerlukan
pengetahuan serta keterampilan yang berkaitan dengan
lapangan pekerjaan atau penampilan diri dalam
masyarakat.
c) Sebagai pengganti pendidikan sekolah Pendidikan non formal
sebagai pengganti pendidikan sekolah meyediakan kesempatan
belajar bagi anak-anak atau orang dewasa yang karena berbagai
alasan tidak memperoleh kesempatan untuk memasuki satuan
pendidikan sekolah. Kegiatan belajar mengajar bertujuan untuk
memberikan kemampuan dasar membaca, menulis, berhitung dan
pengetahuan praktis dan sederhana yang berhubungan dengan
kehidupan sehari-hari seperti pemeliharaan kesehatan lingkungan
dan pemukiman, gizi keluarga, cara bercocok tanam, dan jenis-
jenis keterampilan lainnya. (dalam Bagja, 2021)
C. Pengembangan peserta didik dan anak
Perkembangan individu merupakan pola gerakan atau perubahan yang
secara dinamis dimulai dari pembuahan atau konsepsi dan terus berlanjut
sepanjang siklus kehidupan manusia yang terjadi akibat dari kematangan dan
pengalaman (Izzaty, 2021). Menurut Izzaty (2021) dalam perkembangan ada
dua proses yang bertentangan yang terjadi secara serempak selama
kehidupan, yaitu pertumbuhan yang disebut evolusi dan kemunduran yang
disebut dengan involusi. Pada awal kehidupan manusia yang berperan adalah
evolusi, sedangkan involusi lebih berperan pada akhir kehidupan, yaitu
perubahan-perubahan yang bersifat mundur. Sikap terhadap perubahan-
perubahan perkembangan ini dipengaruhi oleh penampilan dan perilaku
individu, stereotip budaya, nilai-nilai budaya, perubahan-perubahan peran dan
pengalaman pribadi. Salah satu tujuan dari perubahan ini adalah agar individu
mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sehingga baik secara fisik
maupun psikis sesuai dengan harapan-harapan sosial. Adapun perubahan-
perubahan dalam perkembangan individu merupakan hasil dari proses-proses
biologis, kognitif dan sosio-emosional yang saling berkaitan. Proses biologis
meliputi perubahan pada sifat fisik individu yang semakin bertambah usia
akan mengarah kepada kematangan. Untuk proses kognitif meliputi
perubahan pada pemikiran, intelegensi dan bahasa individu, sedangkan proses
sosio-emosional meliputi perubahan pada relasi individu dengan orang lain,
serta perubahan emosi dan kepribadian yang menyertainya.
Dalam pengkajian Perkembangan Individu ini ada dua istilah yang
sering muncul, pertama perkembangan (development) dan kedua adalah
pertumbuhan (growth). Istilah perkembangan dititikberatkan pada aspek-
aspek yang bersifat psikis (kualitatif), sedangkan pertumbuhan dipakai untuk
perubahan-perubahan yang bersifat fisik (kuantitatif). Antara fisik dan psikis
ini saling berkaitan dalam menelaah kehidupan manusia. Pertumbuhan dan
perkembangan kadang-kadang masih kabur pengertiannya dan sukar
dibedakan. Biasanya istilah-istilah itu digunakan untuk menjelaskan adanya
perubahan yang bersifat progresif namun sifatnya berbeda.
Secara lebih rinci, perbedaan antara pertumbuhan dan perkembangan
adalah:
1. Pertumbuhan (Growth) : cenderung lebih bersifat kuantitatif dan berkaitan
dengan aspek fisik. Contoh :
a) ukuran berat dan tinggi badan
b) ukuran dimensi sel tubuh, umur tulang yang bisa diukur
2. Perkembangan (Development): cenderung lebih bersifat kualitatif,
berkaitan dengan pematangan fungsi organ individu Contoh:
a) Bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang
lebih kompleks dalam pola yang teratur, misalnya dalam
perkembangan bahasa, emosi, intelektual, perilaku
b) Perkembangan periode bayi sampai anak. Kita melihat bahwa bayi
dan anak berbeda sebagai hasil dari pertumbuhan, tetapi disini juga
terdapat perubahan struktur dan bentuk. Jadi, bentuk bayi tidak sama
dengan bentuk anak (bentuknya bukan bentuk bayi dalam ukuran
besar). Untuk perubahan strukturnya yaitu secara berproses melalui
kematangan dan belajar, tangan anak sudah bisa digunakan untuk
makan sendiri.
Perkembangan Peserta Didik merupakan bagian dari pengkajian
dan penerapan Psikologi Perkembangan. Dalam pengkajian mata kuliah
Perkembangan Peserta Didik difokuskan pada perkembangan individu
sebagai peserta didik pada institusi pendidikan. Di dalam buku ini, para
penulis sebagai penyusun materi Perkembangan Peserta Didik mencoba
memahami perkembangan dari perspektif sepanjang rentang kehidupan
manusia (Life- Span Development) berdasarkan pada pendapat Paul Baltes
(dalam Bagja, 2021) Life-span human development berusaha
menggambarkan, menjelaskan, meramalkan, dan mempengaruhi
perubahan-perubahan yang terjadi dari pembuahan hingga masa dewasa.
Tujuan akhir dari perspektif ini adalah untuk membantu hidup individu
menjadi kehidupan yang berarti dan produktif.
Perspektif sepanjang rentang kehidupan manusia menjelaskan
adanya tujuh karakteristik dasar yang harus dipahami untuk melihat
perkembangan manusia, yaitu:
a) Perkembangan adalah seumur hidup. Perkembangan yang menyangkut
berbagai macam perubahan dari hasil interaksi faktor-faktor seperti
yang 6 telah disebutkan akan berlangsung secara berkesinambungan
sepanjang siklus kehidupan.
b) Perkembangan bersifat multidimensional. Perkembangan menyangkut
berbagai macam ranah perkembangan seperti faktor fisik, intelektual
yang menyangkut perkembangan kognitif dan bahasa, emosi, sosial
dan moral.
c) Perkembangan adalah multidireksional. Ranah-ranah perkembangan
mengalami perubahan dengan arah tertentu. Sebagai contoh, pada
masa bayi, perkembangan yang tumbuh pesat adalah ranah fisik, yang
kecepatan arah pertumbuhannya tidak sama dengan ranah yang lain.
Sementara pada masa kanak-kanak awal, perkembangan emosi dan
sosial berkembang lebih pesat dibandingkan dengan perkembangan
yang lain.
d) Perkembangan bersifat lentur (plastis). Hal ini berarti perkembangan
berbagai macam ranah dapat distimulasi untuk berkembang secara
maksimal. Sebagai contoh, kelenturan berpikir anak-anak dapat diasah
sejak dini dengan memberikan latihan-latihan pada anak untuk terbiasa
memecahkan masalah dengan baik dengan berbagai macam cara dari
hasil eksplorasinya.
e) Perkembangan selalu melekat dengan sejarah. Bagaimanapun
perkembangan individu tidak dapat lepas dengan keadaan di
sekitarnya. Sebagai contoh, perkembangan emosi pada era 66-an akan
menyebabkan individu yang hidup saat itu memiliki kekhasan sendiri
dalam merespon sesuatu. Hal ini dapat dilihat dari benang merah
perkembangan individu yang hidup pada era 1990-an.
f) Perkembangan bersifat multidisipliner. Berbagai macam ahli dan
peneliti dari disiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, antropologi,
neurosains, 7 kesehatan mental, kedokteran mempelajari
perkembangan manusia dengan berbagai macam persoalannya.
g) Perkembangan bersifat kontekstual. Hal ini berarti bahwa
perkembangan individu mengikuti kondisi saat itu.
Menurut Danim (Dalam) sebutan peserta didik dilegimitasi dalam
produk hukum kependidikan Indonesia, sebutan peserta didik itu
menggantikan sebutan siswa, murid atau pelajar. UU No 20 Tahun 2003
tantang sistem pendidikan nasional menjelaskan peserta didik
didefinisikan sebagai setiap manusia yang berusaha mengembangkan
potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik
pendidikan formal maupun pendidikan nonformal, pada jenjang
pendidikan dan jenis pendidikan tertentu, peserta didik juga dapat
didefinisikan sebagai orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah
potensi dasar yang masih perlu dikembangkan (Agustina, 2018).
Di tinjau dari segi pendidikan, potensi setiap peserta didik harus
dipupuk dan dikembangkan. Peserta didik akan merasa aman secara
psikologis apabila pendidik dapat menerima peserta didik dalam kondisi
apapun. Pendidik mengusahakan suasana dimana peserta didik tidak bisa
dinilai oleh orang lain, dan tugas pendidik ialah memberikan pengertian
kepada para peserta didik yang membutuhkannya. Dalam penyelenggaraan
pendidikan perlu diperhatikan sarana dan prasarana. Disamping itu
perkembangan emosi peserta didik sangat erat kaitannya dengan faktor-
faktor tertentu. Sekolah merupakan titik tolak dasar untuk pengembangan
hubungan sosial peserta didik, para peserta didik juga harus bisa saling
menghargai antara yang satu dengan lainnya dan sekolah sebaiknya
memberikan pola pengajaran yang demokratis kepada para peserta didik.
Kita sebagai individu yang sedang tumbuh dan berkembang, maka dari itu
proses pertumbuhan dan perkembangan peserta didik sangat di pengaruhi
oleh adanya interaksi antara dua faktor yang sama-sama berperan penting
(Samio, 2018).
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, N. (2018). Perkembangan peserta didik. Bandung: Deepublish.

Darlis, A. (2017). Hakikat Pendidikan Islam: Telaah Terhadap Hubungan


Pendidikan Informal, Non Formal dan Formal. Jurnal Tarbiyah, 24(1).

Bagja (2021). Pengertian Pendidikan Nonformal. MODUL, 20.

Izzaty, R. E., Suardiman, S. P., & Ayriza, Y. (n.d.). Purwandari, Hiryanto, &
Rosita E. Kusmaryani.(2008). Perkembangan Peserta Didik.

Karo-Karo, D. (2014). Membangun Karakter Anak dengan Mensinergikan


Pendidikan Informal dengan Pendidikan Formal. Elementary School Journal
Pgsd Fip Unimed, 1(2).

Samio, S. (2018). Aspek–Aspek Pertumbuhan Dan Perkembangan Peserta Didik.


Best Journal (Biology Education, Sains and Technology), 1(2), 36–43.

Sudiapermana, E. (2009). Pendidikan informal. Jurnal Pendidikan Luar Sekolah,


4(2).

Anda mungkin juga menyukai