Bab 1
Bab 1
PENDAHULUAN
Masa remaja adalah masa dimana seorang remaja mencari jati dirinya. Masa remaja juga
disebut masa emas (golden age). Namun, para remaja pada masa perkembangan dihadapkan
dengan berbagai masalah, baik eksternal maupun internal. Masalah-masalah yang timbul pada
masa remaja harus bisa di pahami oleh seorang pendidik, agar remaja tidak mengalami
kemunduran mental. Karena remaja yang tidak mendapatkan bimbingan pada masa remaja,
Mereka akan cenderung melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar norma-norma
kehidupan. Pemecahan masalah tersebut bisa di selesaikan dengan mengaitkan masalah-masalah
tersebut dengan pendidikan, baik pendidikan formal ataupun non-formal.
Perkembangan peserta didik merupakan sebuah perubahan secara bertahap dalam
kemampuan, emosi, dan keterampilan yang terus berlangsung hingga mencapai usia
tertentu.Perkembangan sosial dan kepribadian remaja akan berimplikasi pada cara ia merespon
pengetahuan atau pengalamannya. Dalam pendidikan, perkembangan sosial pada remaja akan
mendorong ia untuk senantiasa mentaati peraturan sekolah, menjalin interaksi yang baik dengan
teman sekolah, menghargai pendidik atau temannya yang sedang menjelaskan pelajaran, ikut
serta dalam menjaga ketentraman dilingkungan sekolah.
Sedangkan perkembangan kepribadian pada masa remaja akan menjadikan individu
berani menyampaikan idenya dalam proses pendidikan dan sebagainya, membuat individu
bersifat kritis terhadap apa yang disampaikan orang lain baik pendidik, teman sekolah atau
siapapun dan lain-lain.
Sejalan dengan perubahan-perubahan (perkembangan) yang terjadi dalam diri remaja,
mereka pun akan mengahadapi beberapa tugas dan tanggung jawab yang berbeda dari tugas
masa kanak-kanak. Sebagaimana diketahui, dalam setiap fase perkembangan, termasuk pada
masa remaja, individu memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi.
Apabila tugas-tugas tersebut berhasil diselesaikan dengan baik, maka akan tercapai
kepuasan, kebahagian dan penerimaan dari lingkungan. Keberhasilan individu memenuhi tugas-
tugas itu juga akan menentukan keberhasilan individu memenuhi tugas-tugas perkembangan
pada fase berikutnya.
1
Tugas-tugas perkembangan pada masa remaja disertai oleh berkembangnya kapasitas
intelektual. Maka dengan demikian pendidikan ikut serta membantu remaja untuk menyelesaikan
tugas-tugasnya dan mengembangkan potensi yang dimiliki. Hal ini dimaksudkan agar perjalanan
remaja mampu mencapai kedewasaan yang sempurna sesuai dengan tujuan hidup bermasyarakat.
2
BAB 2
PEMBAHASAN
Pada awal manusia dilahirkan belum bersifat sosial, dalam artian belum memiliki
kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan sosial anak diperoleh dari
berbagai kesempatan dan pengalaman bergaul dengan orang-orang dilingkungannya. Kebutuhan
berinteraksi dengan orang lain telah dirasakan sejak usia enam bulan, disaat itu mereka telah
mampu mengenal manusia lain, terutama ibu dan anggota keluarganya. Anak mulai mampu
membedakan arti senyum dan perilaku sosial lain, seperti marah (tidak senang mendengar suara
keras) dan kasih sayang. Sunarto dan Hartono (1999) menyatakan bahwa:
3
kebutuhan yang sederhana. Semakin dewasa dan bertambah umur, kebutuhan manusia menjadi
kompleks dan dengan demikian tingkat hubungan sosial juga berkembang amat kompleks.
Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa yang berjalan
antara umur 12 tahun sampai 22 tahun. Istilah remaja berasal dari kata latin adolescence (kata
bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau tumbuh menjadi
dewasa.Namun dewasa ini istilah adolescence mempunyai pengertian yang sangat luas,
mencakup kematangan perkembangan mental, emosional, sosial, dan fisik.
Masa remaja disebut juga masa untuk menemukan identitas diri (self identity). Usaha
pencarian identitas banyak dilakukan dengan menunjukkan perilaku coba-coba, perilaku imitasi
atau identifikasi. Ketika remaja gagal menemukan identitas dirinya, dia akan mengalami krisis
identitas atau identity confusion, sehingga mungkin saja akan terbentuk sistem kepribadian yang
bukan menggambarkan keadaan diri yang sebenarnya. Reaksi-reaksi dan ekspresi emosional
yang masih labil dan belum terkendali pada masa remaja dapat berdampak pada kehidupan
pribadi maupun sosialnya. Dia menjadi sering merasa tertekan dan bermuram durja atau justru
dia menjadi orang yang berprilaku agresif. Pertengkaran dan perkelahian seringkali terjadi akibat
dari ketidakstabilan emosinya. (Gunawan: 2000).
Hurlock (1973) memberi batasan masa remaja berdasarkan usia kronologis, yaitu antara
13 hingga 18 tahun. Menurut Thornburgh (1982), batasan usia tersebut adalah batasan
tradisional, sedangkan aliran kontemporer membatasi usia remaja antara 11 hingga 22 tahun.
Lefrancois (2002:130) menyatakan bahwa periode masa remaja itu kiranya dapat
didefinisikan secara umum sebagai suatu periode dalam perkembangan yang dijalani seseorang
yang terbentang sejak berakhirnya masa kanak-kanaknya sampai datang awal masa dewasanya.
Secara tentatif pula para ahli umumnya sependapat bahwa rentangan masa remaja itu
berlangsung dari sekitar 11-13 tahun sampai 18-20 tahun menurut umur kalender kelahiran
seseorang.
Dalam proses tumbuh menjadi dewasa ada beberapa masa yang dilalui oleh remaja.
Menurut Knopka (Pikunas, 1976) masa remaja ini meliputi tiga fase (a) remaja awal: 12-15
tahun, (b) remaja madya: 15-18 tahun, dan (c) remaja akhir: 19-22 tahun. Pada fase-fase tersebut
4
ada beberapa hal yang mulai dan berkembang pada diri remaja, diantaranya perkembangan fisik,
sosial, kepribadian dan lain-lain.
Remaja adalah tingkat perkembangan anak yang telah mencapai jenjang menjelang
dewasa. Pada jenjang ini, kebutuhan remaja telah cukup kompleks, cakrawala interaksi sosial
dan pergaulan remaja telah cukup luas. Dalam penyesuaian diri terhadap lingkungannya, remaja
telah mulai memperhatikan dan mengenal berbagai norma pergaulan yang berbeda dengan
norma yang berlaku sebelumnya di dalam keluarganya. Remaja menghadapi berbagai
lingkungan, bukan saja bergaul dengan berbagai kelompok umur. Dengan demikian, remaja
mulai memahami norma pergaulan dengan kelompok remaja, kelompok anak-anak, kelompok
dewasa, dan kelompok orang tua. Pergaulan dengan sesama remaja lawan jenis dirasakan yang
paling penting tetapi cukup sulit, karena di samping harus memperhatikan norma pergaulan
sesama remaja, juga terselip pemikiran adanya kebutuhan masa depan untuk memilih teman
hidup.
Kehidupan sosial pada jenjang remaja ditandai dengan menonjolnya fungsi intelektual
dan emosional. Seorang remaja dapat mengalami sikap hubungan sosial yang bersifat tertutup
sehubungan dengan masalah yang dialami remaja. Keadaan atau peristiwa ini oleh Erik Erickson
(Lefton, 1982: 281) dinyatakan bahwa anak telah dapat mengalami krisis identitas. Proses
pembentukan identitas diri dan konsep diri seseorang adalah sesuatu yang kompleks. Konsep diri
anak tidak hanya terbentuk dari bagaimana anak percaya tentang keberadaan dirinya sendiri,
tetapi juga terbentuk dari bagaimana orang lain percaya tentang keberadaan dirinya. Seringkali
anak menemukan jati dirinya sesuai dengan atau berdasarkan pada situasi kehidupan yang
mereka alami. Banyak remaja yang amat percaya pada kelompok mereka dalam menemukan jati
5
dirinya. Dalam hal ini, Erickson berpendapat bahwa penemuan jati diri seseorang didorong oleh
pengaruh sosiokultural. Tidak seperti halnya pandangan Freud, kehidupan sosial remaja
(pergaulan dengan sesama remaja terutama dengan lawan jenis) didorong oleh dan berorientasi
pada kepentingan seksual. Semua prilaku sosial didorong oleh kepentingan seksual.
Pergaulan remaja banyak diwujudkan dalam bentuk kelompok, baik kelompok kecil
maupun kelompok besar. Dalam menetapkan pilihan kelompok yang diikuti, didasari oleh
berbagai pertimbangan, seperti moral, sosial, ekonomi, minat, kesamaan bakat, dan kemampuan.
Baik di dalam kelompok kecil maupun kelompok besar, masalah yang umum dihadapi oleh
remaja dan paling rumit adalah faktor penyesuaian diri. Di dalam kelompok besar akan terjadi
persaingan yang berat, masing-masing individu bersaing untuk tampil menonjol, memperlihatkan
dirinya. Oleh karena itu, sering terjadi perpecahan dalam kelompok tersebut yang disebabkan
oleh menonjolnya kepentingan pribadi setiap orang. Tetapi sebaliknya, di dalam kelompok itu
terbentuk suatu persatuan yang kokoh yang diikat oleh norma kelompok yang telah disepakati.
Nilai positif dalam kehidupan kelompok adalah tiap anggota kelompok belajar
berorganisasi, memilih pemimpin, dan mematuhi aturan kelompok. Sekalipun dalam hal-hal
tertentu tindakan suatu kelompok kurang memperhatikan norma umum yang berlaku di
masyarakat, karena yang lebih diperhatikan adalah keutuhan kelompoknya. Di dalam
mempertahankan dan melawan “serangan” kelompok lain, lebih dijiwai keutuhan kelompoknya
tanpa memperdulikan objektivitas kebenaran.
Penyesuaian diri di dalam kelompok kecil, kelompok yang terdiri dari pasangan remaja
berbeda jenis sekalipun tetap menjadi permasalahan yang cukup berat. Di dalam proses
penyesuaian diri, kemampuan intelektual dan emosional mempunyai pengaruh yang kuat. Saling
pengertian akan kekurangan masing-masing dan upaya menahan sikap menonjolkan diri atau
tindakan dominasi terhadap pasangannya, diperlukan tindakan intelektual yang tepat dan
kemampuan menyeimbangkan pengendalian emosional. Dalam hal hubungan sosial yang lebih
khusus yang mengarah ke pemilihan pasangan hidup, pertimbangan faktor agama dan suku
sering menjadi masalah yang amat rumit. Pertimbangan masalah agama dan suku ini bukan saja
menjadi kepentingan masing-masing individu yang bersangkutan tetapi dapat menyangkut
kepentingan keluarga dan kelompok yang lebih besar (sesama agama atau sesama suku).
6
2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial
7
2. Pola Hubungan Keluarga
Peck (Loree, 1970: 144) telah meneliti hubungan antara karakteristik emosional dan
pola perlakuan keluarga dengan elemen – elemen struktur kepribadian remaja yaitu sebagai
berikut:
a. Remaja yang memiliki “ego strenght” secara konsisten berkaitan erat dengan
pengalamannya dilingkungan keluarga yang saling mempercayai dan menerima.
b. Remaja yang memiliki “super ego strenght”, sangat berkaitan erat dengan keteraturan
dan konsistensi kehidupan keluarganya.
c. Remaja yang “friendliness” dan “spontanetty”, berhubungan erat dengan iklim keluarga
yang demokratis.
d. Remaja yang bersikap bermusuhan dan memiliki perasaan gelisah atau cemas terhadap
dorongan – dorongan dari dalam, berkaitan dengan keluarga yang otoriter.
3. Kelas Sosial dan Status Ekonomi
Pikuna (1976 : 72) mengemukakan pendapat Becker, Deutsch, Kohn dan Sheldon,
tentang kaitan antar kelas sosial dengan cara atau teknik orangtua dalam mengatur
(mengelola/memperlakukan) anak, yaitu bahwa :
a. Kelas Bawah (Lower Class) cenderung lebih keras dalam “toilet training” dan lebih
sering meggunakan hukuman fisik, dibandingkan dengan kelas menengah.
b. Kelas Menengah (Middle Class) cenderung lebih memberikan pengawasan, dan
perhatiannya sebagai orangtua.
c. Kelas Atas (Upper Class) cenderung lebih memanfaatkan waktu luangnyadengan
kegiatan – kegiatan tertentu, lebih memiliki latar belakang Pendidikan yang reputesinya
tinggi, dan biasanya senang mengembangkan apresiasi estetikanya.
B. Kematangan Anak
Bersosialisasi memerlukan kematangan fisik dan psikis. Untuk mampu
mempertimbangan dalam proses sosial, memberi dan menerima pendapat orang lain,
memerlukan kematangan intelektual dan emosional. Di samping itu, kemampuan berbahasa ikut
pula menentukan. Dengan demikian, untuk mampu bersosialisasi dengan baik diperlukan
kematangan fisik sehingga setiap orang fisiknya telah mampu menjalankan fungsinya dengan
baik.
8
C. Status Sosial Ekonomi
Kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi atau status kehidupan sosial keluarga
dalam lingkungan masyarakat. Masyarakat akan memandang anak, bukan sebagai anak yang
independen, akan tetapi akan dipandang dalam konteksnya yang utuh dalam keluarga anak itu.
“ia anak siapa”. Secara tidak langsung dalam pergaulan sosial anak, masyarakat dan
kelompoknya dan memperhitungkan norma yang berlaku di dalam keluarganya.
Dari pihak anak itu sendiri, perilakunya akan banyak memperhatikan kondisi normatif
yang telah ditanamkan oleh keluarganya. Sehubungan dengan itu, dalam kehidupan sosial anak
akan senantiasa “menjaga” status sosial dan ekonomi keluarganya. Dalam hal tertentu, maksud
“menjaga status sosial keluarganya” itu mengakibatkan menempatkan dirinya dalam pergaulan
sosial yang tidak tepat. Hal ini dapat berakibat lebih jauh, yaitu anak menjadi “terisolasi” dari
kelompoknya. Akibat lain mereka akan membentuk kelompok elit dengan normanya sendiri.
D. Pendidikan
Pendidikan merupakan proses sosialisasi anak yang terarah. Hakikat pendidikan sebagai
proses pengoperasian ilmu yang normatif, akan memberikan warna kehidupan sosial anak di
dalam masyarakat dan kehidupan mereka di masa yang akan datang. Pendidikan dalam arti luas
harus diartikan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh kehidupan keluarga, masyarakat,
dan kelembagaan. Penanaman norma perilaku yang benar secara sengaja diberikan kepada
peserta didik yang belajar di kelembagaan pendidikan(sekolah).
Kepada peserta didik bukan saja dikenalkan kepada norma-norma lingkungan dekat,
tetapi dikenalkan kepada norma kehidupan bangsa(nasional) dan norma kehidupan antarbangsa.
Etik pergaulan membentuk perilaku kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
9
memahami orang lain merupakan modal utama dalam kehidupan sosial dan hal ini akan dengan
mudah dicapai oleh remaja yang berkemampuan intelektual tinggi.
Pada kasus tertentu, seorang jenius atau superior sukar untuk bergaul dengan kelompok
sebaya, karena pemahaman mereka telah setingkat dengan umur yang lebih tinggi. Sebaliknya
kelompok umur yang lebih tinggi (dewasa) tepat “menganggap” dan “memperlakukan” mereka
sebagai anak-anak.
10
perhatian diri sendiri. Pandangan dan penilaian diri sendiri dianggap sama dengan
pandangan orang lain mengenai dirinya.
Pencerminan sifat egois sering dapat menyebabkan “kekakuan” para remaja dalam cara
berpikir maupun bertingkah laku. Persoalan yang timbul pada masa remaja adalah banyak
berkaitan dengan perkembangan fisik yang dirasakan mengganggu dirinya dalam bergaul, karena
dianggapnya orang lain sepikiran dan ikut tidak puas mengenai penampilan dirinya. Hal ini
menimbulkan perasaan “seperti” selalu diamati orang lain, perasaan malu, dan membatasai
gerak-geriknya. Akibat dari hal ini akan terlihat pada tingkah laku yang canggung.
Proses penyesuaian diri yang dilandasi sifat egonya dapat menimbulkan reaksi lain
dimana remaja itu justru melebih-lebihkan diri dalam penilaian diri. Mereka merasa dirinya
hebat sehingga berani menantang malapetaka dan menceburkan diri dalam aktivitas yang
seringkali dipikirkan atau direncanakan. Aktivitas yang dilakukan pada umumnya tergolong
aktivitas yang membahayakan.
Melalui banyak pengalaman dan penghayatan kenyataan serta dalam menghadapi
pendapat orang lain, maka sifat ego semakin berkurang. Pada akhir masa remaja pengaruh
egosintrisitas sudah sedemikian kecilnya, sehingga remaja sudah dapat berhubungan dengan
orang lain tanpa meremehkan pendapat dan pendapat orang lain.
Bergaul dengan sesama manusia (sosialisasi) dilakukan oleh setiap orang, baik secara
individual maupun berkelompok. Dilihat dari berbagai aspek, terdapat perbedaan individual
manusia, yang hal itu tampak juga dalam perkembangan sosialnya.
Sesuai dengan Teori komprehensif yang dikemukakan oleh Erickson yang menyatakan
bahwa manusia hidup dalam kesatuan budaya yang utuh, alam dan kehidupan masyarakat
menyediakan segala hal yang dibutuhkan manusia. Namun sesuai dengan minat, kemampuan,
dan latar belakang kehidupan budayanya maka berkembang kelompok-kelompok sosial yang
beranekaragam.
Remaja yang telah mulai mengembangkan kehidupan bermasyarakat, maka telah
mempelajari pola-pola yang sesuai dengan kepribadiannya.
11
2.7 Implikasi Masalah yang Timbul pada Remaja dengan Pendidikan
Conger (dalam Abin, 1975: 11) menegaskan bahwa pemahaman dan pemecahan
masalah yang timbul pada masa remaja harus dilakukan secara interdisipliner dan antar lembaga.
Meskipun demikian, pendekatan dan pemecahannya dari pendidikan merupakan salah satu jalan
yang paling efektif dan strategis, karena bagi sebagian besar remaja bersekolah dengan para
pendidik, khususnya para guru, banyak mempunyai kesempatan berkomunikasi dan bergaul.
Remaja yang dalam masa mencari dan ingin menentukan jati dirinya memiliki sikap
yang terlalu tinggi menilai dirinya atau sebaliknya. Mereka belum memahami benar tentang
norma-norma sosial yang berlaku di dalam kehidupan bermasyarakat. Keduanya dapat
menimbulkan hubungan sosial yang kurang serasi, karena mereka sukar untuk menerima norma
sesuai dengan kondisi dalam kelompok atau masyarakat. Sikap menentang dan sikap canggung
dalam pergaulan akan merugikan kedua belah pihak. Oleh karena itu, diperlukan adanya upaya
pengembangan hubungan social remaja yang diawali dari lingkungan keluarga, sekolah serta
lingkungan masyarakat.
A. Lingkungan Keluarga
Orang tua hendaknya mengakui kedewasaan remaja dengan jalan memberikan
kebebasan terbimbing untuk mengambil keputusan dan tanggung jawab sendiri. Iklim kehidupan
keluarga yang memberikan kesempatan secara maksimal terhadp pertumbuhan dan
perkembangan anak akan dapat membantu anak memiliki kebebasan psikologis untuk
mengungkapkan perasaannya. Dengan cara demikian, remaja akan merasa bahwa dirinya
dihargai, diterima, dicintai, dan dihormati sebagai manusia oleh orang tua dan anggota keluarga
lainnya.
Dalam konteks bimbingan orang tua terhadap remaja, Hoffman (1989) mengemukakan
tiga jenis pola asuh orang tua yaitu :
1. Pola asuh bina kasih (induction)
Yaitu pola asuh yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya dengan senantiasa
memberikan penjelasan yang masuk akal terhadap setiap keputusan dan perlakuan yang
diambil oleh anaknya.
2. Pola asuh unjuk kuasa (power assertion)
12
Yaitu pola asuh yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya dengan senantiasa
memaksakan kehendaknya untuk dipatuhi oleh anak meskipun anak tidak dapat
menerimanya.
3. Pola asuh lepas kasih (love withdrawal)
Yaitu pola asuh yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya dengan cara menarik
sementara cinta kasihnya ketika anak tidak menjalankan apa yang dikehendaki orang
tuanya, tetapi jika anak sudah mau melaksanakan apa yang dihendaki orang tuanya maka
cinta kasihnya itu dikembalikan seperti sediakala. Dalam konteks pengembangan
kepribadian remaja, termasuk didalamnya pengembangan hubungan sosial, pola asuh
yang disarankan oleh Hoffman (1989) untuk diterpakan adalah pola asuh bina kasih
(induction). Artinya, setiap keputusan yang diambil oleh orang tua tentang anak
remajanya atau setiap perlakuan yang diberikan orang tua terhadap anak remajanya harus
senantiasa disertai dengan penjelasan atau alasan yang rasional. Dengan cara demikian,
remaja akan dapat mengembangkan pemikirannya untuk kemudian mengambil keputusan
mengikuti atau tidak terhadap keputusan atau perlakuan orang tuanya
B. Lingkungan Sekolah
Di dalam mengembankan hubungan social remaja, guru juga harus mampu
mengembangkan proses pendidikan yang bersifat demokratis, guru harus berupaya agar
pelajaran yang diberikan selalu cukup menarik minat anak, sebab tidak jarang anak
menganggap pelajaran yang diberikan oleh guru kepadanya tidak bermanfaat. Tugas guru
tidak hanya semata-mata mengajar tetapi juga mendidik. Artinya, selain menyampaikan
pelajaran sebagai upaya mentransfer pengetahuan kepada peserta didik, juga harus membina
para peserta didik menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab. Dengan demikian,
perkembangan hubungan sosial remaja akan dapat berkembang secara maksimal.
C. Lingkungan Masyarakat
1. Penciptaan kelompok sosial remaja perlu dikembangkan untuk memberikan
rangsangkepada mereka kearah perilaku yang bermanfaat.
2. Perlu sering diadakan kegiatan kerja bakti, bakti karya untuk dapat mempelajari remaja
bersosialisasi dengan sesamanya di masyarakat.
13
2.8 Upaya Pengembangan Hubungan Sosial Remaja dan Implikasinya dalam
Penyelenggaraan Pendidikan
Remaja dalam masa mencari dan ingin menentukan jati dirinya memiliki sikap yang
terlalu tinggi menilai dirinya atau sebaliknya. Mereka belum memahami benar tentang norma-
norma sosial yang berlaku di dalam kehidupan bermasyarakat. Keduanya dapat menimbulkan
hubungan sosial yang kurang serasi karena mereka sulit untuk menerima norma sesuai dengan
kondisi dalam kelompok atau masyarakat. Sikap menentang dan sikap canggung dalam
pergaulan akan merugikan kedua belah pihak. Kesepakatan norma kehidupan remaja yang
berbeda dengan kelompok lain, mungkin kelompok remaja lain, kelompok dewasa, dan
kelompok anak-anak akan dapat menimbulkan perilaku sosial yang kurang atau tidak dapat
diterima oleh umum. Tidak sedikit perilaku yang berlebihan (over acting) akan muncul.
Penciptaan kelompok sosial remaja perlu dikembangkan untuk memberikan rangsangan
kepada mereka ke arah perilaku yang bermanfaat dan dapat diterima oleh khalayak. Kelompok
olahraga, koperasi, kesenian, dan semacamnya di bawah asuhan para pendidik di sekolah atau
para tokoh masyarakat di dalam kehidupan masyarakat perlu banyak dibentuk. Khusus di dalam
sekolah perlu sering diadakan kegiatan bakti sosial, bakti karya, dan kelompok-kelompok belajar
di bawah asuhan para guru pembimbing kegiatan ini hendaknya dikembangkan.
14
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masa remaja disebut juga masa untuk menemukan identitas diri (self identity).
Bersosialisasi pada dasarnya merupakan proses penyesuaian diri terhadap lingkungan kehidupan
sosial. Pada masa remaja, anak mulai memperhatikan dan mengenal berbagai norma pergaulan.
Kehidupan sosial remaja ditandai dengan menonjolnya fungsi intelektual dan emosional.
Menurut Erick Erikson, penemuan jati diri seseorang didorong oleh sosiokultural. Sedangkan
menurut Freud, Kehidupan sosial remaja didorong oleh dan berorientasi pada kepentingan
seksual. Pergaulan remaja banyak diwujudkan dalam bentuk kelompok-kelompok, baik
kelompok besar maupun kelompok kecil. Perkembangan sosial manusia dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu: keluarga, kematangan anak, status ekonomi keluarga, tingkat pendidikan,
dan kemampuan mental terutama emosi dan inteligensi. Pikiran remaja sering dipengaruhi oleh
ide - ide dari teori – teori yang menyebabkan siakp kritis terhadap situasi dan orang lain.
Kehidupan sosial pada jenjang remaja ditandai dengan menonjolnya fungsi intelektual
dan emosional. Seorang remaja dapat mengalami sikap hubungan sosial yang bersifat tertutup
sehubungan dengan masalah yang dialami remaja. Dalam perkembangan sosial para remaja
dapat memikirkan perihal dirinya dan orang lain. Pemikiran itu terwujud dalam refleksi diri yang
sering mengarah ke penilaian diri dan kritik dari hasil pergaulannya dengan orang lain. Proses
penyesuaian diri yang dilandasi sifat egonya dapat menimbulkan reaksi lain dimana remaja itu
justru melebih-lebihkan diri dalam penilaian diri. Mereka merasa dirinya hebat sehingga berani
menantang malapetaka dan menceburkan diri dalam aktivitas yang seringkali dipikirkan atau
direncanakan. Aktivitas yang dilakukan pada umumnya tergolong aktivitas yang membahayakan.
Sesuai dengan Teori komprehensif yang dikemukakan oleh Erickson yang menyatakan
bahwa manusia hidup dalam kesatuan budaya yang utuh, alam dan kehidupan masyarakat
menyediakan segala hal yang dibutuhkan manusia. Namun sesuai dengan minat, kemampuan,
dan latar belakang kehidupan budayanya maka berkembang kelompok-kelompok sosial yang
beranekaragam.
15
3.2 Saran
Setelah tadi dipaparkan tentang karakteristik perkembangan sosial masa remaja, maka
remaja – remaja yang akan datang dengan pengetahuan yang luas dan dengan kedewasaan yang
benar-benar dewasa, adalah remaja yang siap untuk berkompetensi didalam segala bidang hal,
mulai dari hal keagamaan sampai kepada teknologi yang mutakhir atau canggih. Dan yang
terpenting adalah bagaimana kita bisa bersosialisasi dengan baik bersama masyarakat sekitar.
16
DAFTAR PUSTAKA
Sunarto dan Hartono, Agung. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Asdi Mahasatya
Yusuf, Syamsu. 2004. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.
17