Anda di halaman 1dari 14

Makalah

SEJARAH BERDIRINYA BANI ABBASIYAH HINGGA


KERUNTUHANNYA

DI
S
U
S
U
N

Oleh:

DOSEN PENGAMPU :

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI


STAIN TEUNGKU DIRUNDENG
MEULABOH
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdirinya Dinasti Abbasiyah berawal sejak runtuhnya kekuasaan Bani Umayyah
di Damaskus. Banyaknya konflik yang ada pada Dinasti Umayyah, menjadikan Bani
Abbasiyah maju sebagai pengganti kepemimpinan umat islam. Revolusi
kepemimpinan Abbasiyah terhadap Umayyah banyak mendapatkan simpati dari
masyarakat, terutama dari kalangan Syi’ah. Dukungan itu hadir karena janji untuk
menegakkan kembali keadilan seperti yang dipraktikan oleh Khulafaurrasyidin. Nama
Dinasti Abbasiyah diambil dari nama salah aeorang paman Nabi Muhammad yang
Bernama al-Abbas ibn Abd al-Muthalib ibn Hisyam. Dinasti ini didirikan oleh
Abdullah al-Saffah ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al-Abbas.

Kekuasaan Dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang,


yaitu dari tahun 132 H (750 M) sampai 656 H (1250 M). Pola pemerintahan
Abbasiyah diterapkan sesuai dengan kultur yang terjadi pada masa itu. Zaman
pemerintahan dinasti Abbasiyah dikenal sebagai zaman keemasan dan kejayaan Islam,
secara politis para Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan cinta ilmu pengetahuan
sekaligus merupakan pusat kekuasaan politik dan agama.

Dalam catatan sejarah, ajaran Islam menghadapi pasang surutnya. Dari masa
Rasulullah saw hingga 3 pemerintahan setelahnya (kekhalifahan Khulafaur Rashidin,
tradisi Umayyah, dan Abbasiyah) yang masing-masing pemerintahannya memiliki ciri
khas atau perbaikan. Masa ajaran Islam terjadi di tengah masa Rasulullah SAW,
kemudian dilanjutkan dengan masa penyempurnaannya, tepatnya pada masa
Khulafaur Rasyidin. Puncaknya adalah pada masa Abbasiyah, pemerintahan yang
dianggap berasal dari keluarga Nabi Muhammad SAW yang pernah mengalami masa
kemenangan di segala bidang.1

A. Berdirinya Dinasti Abbasiyah


Berdirinya Dinasti Abbasiyah berawal sejak runtuhnya kekuasaan Bani
Umayyah di Damaskus. Banyaknya konflik yang ada pada Dinasti Umayyah,

1
Mahfud Ifendi, Dinasti Abbasiyah: Studi Analisis Lembaga Pendidikan Islam, Jurnal
Fenomena, STAI Sanggatta Kutai Timur, Volume 12 Nomor 2, Edisi 2020
menjadikan Bani Abbasiyah maju sebagai pengganti kepemimpinan umat islam. Salah
satu hal yang sangat berpengaruh dalam berdirinya Dinasti Abbasyiah adalah adanya
beberapa kelompok umat yang sudah tidak mendukung kekuasaan imperium Bani
Umayah yang notabenenya korupsi, sekuler dan memihak Sebagian kelompok
diantaranya adalah kelompok Syiah dan Khawarij, serta kaum Mawali yaitu orang-
orang yang baru masuk Islam yang mayoritas dari Persia. Mereka merasa di
perlakukan tidak setara dengan kelompok Arab karena pembebasan pajak yang terlalu
tinggi kelompok ini ialah yang mendukung revolusi Abbasyiah Revolusi
kepemimpinan Abbasiyah terhadap Umayyah banyak mendapatkan simpati dari
masyarakat, terutama dari kalangan Syi’ah. Dukungan itu hadir karena janji untuk
menegakkan kembali keadilan seperti yang dipraktikan oleh Khulafaurrasyidin. Nama
Dinasti Abbasiyah diambil dari nama salah aeorang paman Nabi Muhammad yang
Bernama alAbbas ibn Abd al-Muthalib ibn Hisyam. Dinasti ini didirikan oleh
Abdullah al-Saffah ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al-Abbas.
Dibawah pimpinan Muhammad bin Ali al-Abbasy, gerakan Bani Abbas
dilakukan dalam dua fase. Fase pertama adalah fase yang sangat rahasia, dan fase
yang kedua adalah fase terangterangan dan pertempuran. Selama Imam Muhammad
masih hidup gerakan dilakukan secara sangat rahasia. Propaganda dikirim keseluruh
plosok negara, dan Bani Abbas mendapat pengikut yang cukup banyak. Setelah Imam
Muhammad meninggal dan diganti oleh anaknya yang bernama Ibrahim, maka Abu
Muslim al-Khurasanyi bergabung dalam Gerakan rahasia ini. Sejak saat itu gerakan
terang-terangan dimulai, yang kemudian dilanjutkan dengan cara pertempuran.
Setelah terbunuhnya Marwan (Khalifah terakhir Umayyah) di Fusthath, Mesir pada
bulan Dzulhijjah 132 H, akhirnya Daulah Bani Abbasiyah resmi berdiri.

B. Faktor Berdirinya Daulah Abbasiyah


1. Persaingan Memperebutkan Kursi Kepemimpinan
Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah tradisi yang tidak
diajarkan dalam Islam dan lebih menekankan aspek senioritas dan memiliki
pengaturan yang tidak jelas.
Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya
persaingan yang tidak sehat untuk memperebutkan kursi kekhalifahan dan
perselisihan di kalangan anggota keluarga kekaisaran.
2. Konflik Politik di Masa Pemerintahan Sebelumnya
Terbentuknya Daulah Umayyah berasal dari konfil antara Ali bin Abi
Thalib dan terpilihnya Abu Sufyan. Sisa-sisa Syi’ah dan Khawarij menuedot
banyak perhatian pemerintah di masa Bani Umayyah.
3. Pendeknya Masa Jabatan Khalifah Bani Umayyah
Akibat permasalah di dalam pemerintah Bani Umayyah, membuat khalifah
terakhir, Yazid bin al-Walid kurang lebih memerintah selama 6 bulan.
4. Pertentangan Etnis
Pada masa kekuasaan Daulah Umayyah, pertentangan etnis antara suku
Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak
zaman sebelum Islam semakin meruncing.
Perselisihan tersebut mengakibatkan para penguasa Daulah Umayyah
mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan.
Di samping itu, sebagian besar golongan mawali (non-Arab), terutama di
Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali
menggambarkan suatu inferioritas.
5. Kehidupan Mewah dan Kurangnya Perhatian dalam Perkembangan Agama
Lemahnya pemerintahan Daulah Umayyah yang disebabkan oleh sikap
hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup
memikul beban berat kenegaraan saat mereka mewarisi kekuasaan.
Di samping itu, para ulama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa
di masa Bani Umayyah terhadap perkembangan agama Islam sangat kurang.
6. Hilangnya Kepercayaan Rakyat
Tergulingnya Daulah Umayyah memunculkan kekuatan baru yang
dipelopori oleh keturunan al-Abbas bin Abd al-Muthalib. Dampaknya adalah
rakyat kehilangan kepercayaan, terutama karena para pemimpinnya memiliki sifat
yang sombong.2

C. Penggulingan Dinasti Umayyah oleh Bani Abbasiyah


Pergantian dinasti di jaman klasik Islam dari Bani Umayah ke wangsa Abasiyah
ternyata mengandug arti lebih dari sekadar peralihan sebuah kekuasaan. Untuk yang
pertama kalinya dalam sejarah, sebuah kerajaan dibangun diatas kekuatan politik yang

2
https://kumparan.com/berita-terkini/beberapa-faktor-yang-mempengaruhi-berdirinya-daulah-
abbasiyah-20WQfhFyYDE/3
mengakumulasikan kegiatan-kegiatan propagandanya dalam masa yang cukup
panjang, melalui sistem pengorganisasian yang kompleks, cara-cara yang radikal, dan
dengan menyuarakan keresahan elemen-elemen penting masyarakat. Peristiwa itu
dalam prakteknya laksana suatu revolusi (al-tsaurah), dan berlangsung tidak semata-
mata berhubungan dengan persoalan politik seperti penggulingan atau kudeta terhadap
rezim (inqilâbah), melainkan berdampak luas meliputi bidang-bidang sosial,
kebudayaan, dan lain-lainnya.
Suksesi kepemimpinan yang disertai pula oleh proses-proses yang signifikan di
bidang kemasyarakatan, dan organisasi kenegaraan, sebagiannya sudah mulai
terbentuk semenjak masa orde lama, Bani Umayyah dan memungkinkan penguasa
baru, Bani Abbas, dapat mencapai kejayaan-kejayaan yang melampaui warisan
imperium besar pendahulunya.3
Untuk Menjelaskan bagaimana bisa terjadi Bani Abbasiyah berhasil menyatukan
pemikiran orang-orang Syiah sebenarnya peristiwan yang memungkinkan terjadi,
yaitu salah satunya karena, pemahaman orang-orang Syi’ah sendiri juga telah tidak
menyukai model pemerintahan Dinasti Umayyah sehingga Syi’ah mudah bergabung
dengan Orang-orang Bani Abbasiyah untuk melakukan propaganda terhadap Dinasti
Umayyah
Namun bagaimanakah langkah awalnya Bani Abbasiyah merangkul orang-orang
Syi’ah seperti apa yang di tulis oleh M. Atho Mudzhar, dalam bukunya yang berjudul
pendekatan studi Islam teori dan praktekanya, bahwa pada awalnya bani Abbas tidak
menujukkan Ambisi Politik.
Para sejarawan mencatat bahwa Al-Abbas bin Abdul Muthalib yang hidup pada
masa Rosulullah tidak pernah menunjukkan ambisi politiknya. Padahal jika kita
melihat dengan berdasar tahun, pada penaklukkan Mekkah maka Al-Abbas bin Abdul
Muthalib tidak termasuk kelompok As-sabiqun alAwwalun karena ia baru memeluk
agama Islam beberapa saat sebebelum penaklukkan Mekkah pada tahun 8 H/630M,
karena itu ia tidak memainkan peranan penting dalam sejarah Islam periode Mekkah.
Tetapi Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam memang memberikan hak
shiqaya hak untuk membagikan dan menyuplai air kepada para jemaah haji.
Sama halnnya juga dengan anaknya bernama Abdullah bin Abbas juga tidak
menunjukkan gejala-gejala mempunyai ambisi politik, melainkan menekunkan dirinya
untuk mempelajari hadis sehingga dikenal sebagai seorang ahli hadis terkemuka di
3
Philips K Hitti, History of the Arabs (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2013), 432
Hijaz pada abad pertama Hijriah. Ketika Ali bin Abi Thalib berjuang untuk
menduduki jabatan khalifah melawan Muawiyah, al-Abbas dan anaknya Abdullah,
mendukung Ali. Tetapi Ketika Muawiyah telah kokoh menjadi khalifah, Abdullah
sering berkunjung juga ke istananya di Damaskus, bahkan juga setelah Muawiyah
digantikan oleh anaknya bernama Yazid.
Kemudian, dengan berkunjungnya Abdullah bin Abbas kepada khalifah Bani
Umayyah ini ditafsirkan oleh anggota keluarga Bani Abbas yang datang kemudian
sebagai usaha untuk membela Ahlul Bait (keluarga Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi wa Sallam) di hadapan para khalifah Bani Umayyah. Ketika terjadi perang
saudara antara Ibnu Zubair melawan Yazid bin Muawiyyah, di mana untuk beberapa
saat Ibnu Zubair menguasai seluruh negeri Islam kecuali Damaskus, Abdullah bin
Abbas juga tetap tidak mau mengakui kekuasaan Ibnu Zubair karena bukan dari Ahlul
Bait, sehingga ia bersama Muhammad bin Hanafiyah terpaksa harus mengungsi atau
diusir ke Thaif. Ketika terjadi perang saudara tersebut keturunan Bani Abbas belum
ada yang terlihat bahwa ia menunjukkan Ambisi Politiknya.4
Keturunan Bani Abbas yang pertama kali menunjukkan ambisi politiknya adalah
Ali bin Abdullah bin Abbas (W. 118H/736M). Oleh orangorang Hijaz ia dijuluki
sebagai as-sajaad (tukang sujud) karena banyaknya bersembanhyang, juga sebagai
dzul nafathaat, artinya orang yang bertanda pada dahinya karena banyaknya
melakukan sujud. Ia juga sering berkunjung ke istana Bani Umayyah di Damaskus
terutama di masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan (memerintah tahun 685-705
M). Tetapi ketika masa pemerintahan Walid bin Abul Malik (705-715 M), ambisi
politik Ali bin Abdullah mulai tercium oleh kalangan Bani Umayyah sehingga Walid
mencari-cari alasan untuk menindak Ali bin Abdullah.
Tiga kali Ali bin Abdullah terkena hukum pukul. Pertama, karena ia mengawini
Lubaaba binti Abdullah bin Ja’far, seorang janda Abdul Malik, yang dianggap oleh
Walid sebagai penghinaan atas ayahnya, Abdul Malik. Kedua, karena dicurigai
melakukan kegiatan politik anti Bani Umayyah, ia dihukum pukul dan diarak di atas
unta dengan duduk menghadap ke belakang. Ketiga, karena dituduh membunuh
saudaranya bernama Salit bin Abdullah bin Abbas. Untuk yang ketiga ini, setelah
dipukul, ia dipenjarakan dan kemudian diusir dari Damaskus dan diperintahkan pergi
ke daerah Shurat. Di sini ia kemudian tinggal di suatu kota bernama Humaimah

4
Farouk Omar, The Abbasid Caliphate:132-170/750-786 (Baghdad: The National Printing and
Publishing Company Co, 1969), 60.
terletak pada rute perjalanan antara Damaskus dan Hijaz sampai akhirnya hayatnya.7
Poin penting disini adalah bahwa Ali bin Abdullah dicurigai oleh Bani Umayyah
sebagai figur politikus yang berbahaya.
Sampai dengan pemberontakan Al-Mukhtar pada tahun 685 M, konsep Ahlul
Bait masih menyempit kepada keturunan Nabi Muhammad yaitu melalui putri beliau
bernama Fatimah yang kawin dengan Ali bin Abi Thalib. Dengan kata lain,
pernyataan tentang hak Ahlul Bait atas jabatan khalifah praktis berarti hak keturunan
Ali bin Abi Thalib, ketika Ibnu Zubair memberontak dan memproklamirkan dirinya
sebagai khalifah segera setelah Muawiyah meninnggal dunia, Al-Mukhtar juga
memberontak atas nama Muhammad bin Hanifah, salah seorang anak Ali bin Abi
Thalib tetapi isteri selain Fatimah.5
Dengan kejadian itu menyadarkan Bani Abbasiyah bahwa Ahlul Bait yang
berhak atas jabatan khalifah itu tidak harus terbatas kepada keturunan Rasululah
Shallallahu Alaihi wa Sallam melalui Fatimah, tetapi bisa juga lebih luas dari itu yaitu
keturunan Abdul Muthalib secara keseluruhan.11 Dengan demikian, Bani Abbas,
keturunan dari paman Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, juga berhak
untuk mengklaim jabatan khalifah. Kiranya inilah yang telah memberikan inspirasi
dan legitimasi kepada Ali bin Abdullah bin Abbas untuk kegiatan-kegiatan politiknya
sebagaimana disebutkan diatas.
Berdasarkan apa yang dikisahkan oleh Tabari diatas mengenai gerakan Bani
Abbasiyah bahwa sampai tahap ini gerakan Bani Abbasiyah masih bersifat di bawah
tanah dan slogan yang dikemukakan pun belum lagi menggunakan bendera Bani
Abbasiyah tetapi bendera Ahlul Bait atau Al-Rida Muhammad. Susksesnya di Kufah
dalam merekrut pendukung adalah karena di sana banyak keturunan para pendukung
pemberontakan Al-Mukhtar yang membawa nama imam Muhammad bin Hanafiyah.
Namun meskipun gerakan Sabaiyah Al-Mukhtar itu dipermukaan telah tumpas, tetapi
di bawah permukaan, terutama di kalangan masyarakat bawah dan kaum Mawali Iran,
pengaruhnya masih besar dan mereka inilah yang kemudian mendukung gerakan Bani
Abbasiyah. Wellhausen mengatakan, karena itu tepat sekali ketika Bani Abbasiyah
menetapkan Kufah sebagai pusat kegiatannya setelah Humaima dan sebelum menjalar
ke Khurasan.6
D. Periodisasi Daulah Abbasiyah

5
Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, 91.
6
Julius Wellhausen, The Arab Kingdom and its Fall, (London: Curson Press London, 1973), 98
Kekuasaan dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang cukup
panjang, masa pemerintahannya mencakup lima abad, dari tahun 132 H (750 M)
sampai dengan 656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan
yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya.
Dalam perkembangannya dinasti Abbasiyah dibagi menjadi lima periode, yaitu : 7
1. Periode Pertama (750-847 M).
Diawali dengan Tangan Besi
Sebagaimana kita telah ketahui Daulah Abbasiah didirikan oleh Abu Abbas
yang sekaligus pendiri Dinasti Abbasiah. Dikatakan demikian, karena
dalam Daulah Abbasiah berkuasa dua dinasti lain di samping Dinasti
Abbasiah. Ternyata dia tidak lama berkuasa, hanya empat tahun.
Pengembangan dalam arti yang sesungguhnya dilakukan oleh penggantinya
yaitu Abu Ja’far al-Mansur (754-775 M.).
Dia memerintah dengan kejam, yang merupakan modal bagi tercapainya
masa kejayaan Daulah Abbasiah.Menunjang langkah menuju masa kejayaan
beberapa kebijakan diambil oleh khalifah baru itu, seperti memindahkan ibu kota
ke Bagdad. Kota baru yang indah yang sengaja dibangun di tepi aliran sungai
Tigris dan Eufrat untuk menjadi ibu kota Daulah Abbasiah. Sementara itu
perbaikan di bidang administrasi pemerintahan disusun dengan baik.
Pengawasan terhadap berbagai kegiatan pemerintahan diperketat. Petugas
pos-pos kemunikasi dan surat-menyurat ditingkatkan fungsinya menjadi lembaga
pengawas terhadap para gubernur. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya gerakan separatis dan pemberontakan. Tak urung gejala
pemberontakan itu memang muncul di mana-mana. Misalnya beberapa daerah
taklukan melepaskan diri.
Pada periode awal pemerintahan Dinasti Abbasiah masih menekankan
pada kebijakan perluasan wilayah. Dalam upaya melakukan perluasan daerah,
Bani Abbasiah bisa langsung ke bentengnya di Asia, seperti kota Malatia,
wilayah Coppadocia, dan Sicilia pada tahun 775-785. Ke utara bala
tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati Selat Bosporus, dan
berdamai dengan Kaisar Constantine V. Selama gencatan senjata (755-765).
Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan

7
Abu Su’ud, Islamologi(Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Umat Islam),
(Cet. I; PT. Rineka Cipta: Jakarta, 2003), h. 74.
bala tentara Turki Khazar di Kaukasus, Daylalmi dan Laut Kaspia, Turki di
bagian lain Oksus, serta India. Di samping itu, berbeda dengan Daulah
Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiah memakai gelar “takhta”. Al-Mansur
misalnya, gelarnya dengan takhta Abu Ja’far lebih dikenal daripada nama
sesungguhnya.
Pada masa ini disebut sebagai periode pengaruh Persia pertama dan juga
disebut sebagai zaman kebangkitan dan pencerahan. Pada masa ini, para Khalifah
adalah tokoh-tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama
sekaligus. Pada periode pertama kursi kekhalifahan dipegang oleh As-safah, Al-
Mansur, Al-Mahdy, Al- Hady, Ar-Rasyid, Al-Amin, AlMakmun, Al-Mu’tashim,
dan Al-Watsiq.8

2. Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M)


Pada masa ini disebut sebagai periode pengaruh Turki pertama. Perkembangan
peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai pada periode
pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah. Kehidupan mewah
tersebut menyebabkan sistem pemerintahan terganggu. Kondisi tersebut memberi
peluang kepada tentara profesional Turki yang awalnya diangkat oleh Khalifah Al-
Mu’tashim untuk mengambil alih kembali kekhalifahan. Usaha mereka berhasil
sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan tentara professional Turki.
Pada masa ini merupakan masa dimana Bani Abbasiyah mengalami kemunduran.
Pada masa ini Khalifah dipegang oleh Al-Mutawakkil, Al-Muntashir, Al-Musta’in,
Al-Mu’tas, Al-Muhtady, Al-Mu’tamid, Al-Mu’tadhid, Al-Muktafy, Al-Muqtadir,
Al-Qahir, ArRashy, dan Al-Muttaqy.
Kebijakan Khalifah al-Mu’tasim (833-842 M.)untuk memilih anasir Turki
dalam ketentaraan kekhalifahan Abbasiah terutama dilatarbelakangi oleh
adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa al-Ma’mun dan
sebelumnya. Di masa al-Mu’tasim dan sesudahnya yaitu al-Wasiq (842-847
M.), mereka mampu mengendalikan para anasir Turki ini. Akan tetapi,
Khalifah al-Mutawakkil (847-861 M.) yang merupakan awal dari periode ini
adalah seorang khalifah yang lemah. Pada masanya orang-orang Turki dapat

8
Ananda Yunia. Perkembangan Dan Keruntuhan Dinasti Abbasiyah. Jurnal Sejarah dan
Pengajarannya e-ISSN 2962-4207 Vol 1 No 2 Desember 2022. Hal. 4
merebut kekuasaan dengan cepat setelah al-Mutawakkil wafat. Mereka telah
memilih dan mengangkat khalifah sesuai dengan kehendak mereka.
Dengan demikian, Bani Abbasiah tidak lagi mempunyai kekuasaan,
meskipun resminya merekalah penguasa. Usaha untuk melepaskan dari
dominasi tentara Turki itu selalu gagal. Pada tahun 892 M., Bagdad kembali
menjadi ibu kota. Kehidupan intelektual terus berkembang.
Akibat adanya persaingan internal di kalangan tentara Turki, mereka
memang mulai melemah. Mulailah Khalifah al-Radi menyerahkan
kekuasaan kepada Muhammad bin Raiq, gubernur Wasit dari Basra. Di samping
itu, Kalalifali memberinya gelar amirul umara(panglima para panglima). Meski
demikian, keadaan Bani Abbas tidak menjadi lebih baik. Dari dua belas
khalifah pada periode ini, hanyaempat orang yang wafat dengan wajar,
sedangkan selebihnya, kalau tidak dibunuh, mereka digulingkan dengan paksa.

3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M)


Pada masa ini disebut sebagai periode pengaruh Persia kedua. Daulah
Abbasiyah saat itu berada dibawah kekuasaan Bani Buwaih. Pada periode ini
Baghdad tidak lagi menjadi pusat pemerintahan Islam karena Baghdad pindah ke
Syiraz. Dengan demikian, pada periode ini keadaan pemerintahan lebih buruk dari
sebelumnya. Pada masa ini pemerintahan dipegang oleh Al-Mustakfy, Al-Muthi’l,
Aththa’l, Al-Qadir, dan Al-Qaim.
Posisi Daulah Abbasiah yang berada di bawah kekuasaan Bani Buwaihi
merupakan ciri utama periode ketiga ini. Keadaan khalifah lebih buruk
ketimbang di masa sebelumnya, lebih-lebi karena Bani Buwaihi menganut
aliran Syiah. Akibatnya kedudukan khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang
diperintah dan diberi gaji. Sementara itu Bani Buwaihi telah membagi
kekuasaannya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian selatan
negeri Persia, Hasan menguasai wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai
wilayah al-Ahwaz, Wasit, dan Bagdad. Dengan demikian, Bagdad pada periode
ini tidak lagi merupakan pusat pemerintahan Islam, karena telah pindah ke Syiraz
di mana berkuasa Ali bin Buwaihi yang memiliki kekuasaan Bani
Buwaihi
Dalam bidang ilmu pengetahuan Daulah Abbasiah masih terus mengalami
kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar
seperti al-Farabi (870-950 M.), Ibnu Sina (980-1037 M.), al-Biruni (973-1048
M.), Ibnu Maskawaih (930-1030 M.), dankelompok studi Ikhwan al-Safa.
Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan.
Kemajuan ini juga diikuti dengan pembangunan kanal, masjid, dan rumah sakit.
Patut dicatat pula bahwa selama masa Bani Buwaihi berkuasa di Bagdad, telah
terjadi beberapa kali bentrokan sosial antara aliran Ahlu al-Sunnah dan Syiah, dan
pemberontakan tentara.

4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M)


Pada masa ini disebut sebagai periode pengaruh turki kedua dan masuknya
orang-orang Seljuk ke Baghdad. Bani Seljuk hadir karena Khalifah mengundang
mereka untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaih di Baghdad. Pada periode ini
kedaan pemerintahan mulai membaik, contohnya dalam bidang agama dan ilmu
pengetahuan. Pada periode ini Khalifah dijabat oleh Al-Muqtady, Al-Mustahzhar,
Al-Mustarsyd, Ar-Rasyid, Al-Muqtafi, Al-Mustanjid, dan Al-Mustadhy.
Periode keempat ini ditandai oleh kekuasaan Bani Saljuk dalam Daulah
Abbasiah. Kehadiran Bani Saljuk ini atas “undangan” khalifah untuk
melumpuhkan kekuatan Bani Buwaihi di Bagdad. Keadaan khalifah
memand sudah membaik, paling tidak karena kewibawaannya dalam bidang
agama sudah kembali setelah beberapa lama dikuasai orang-orang Syiah.
Seperti halnya pada periode sebelumnya, ilmlu pengetahuan juga berkembang
dalam periode ini. Nizham al-Mulk, perdana menteri pada masa Alp Arselan
dan Malik Syah, mendirikan Madrasah Nizhamiyah(1067 M.) dan didirikan
hamper di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini telahmelahirkan
banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Misalnya yang dilahirkan
dalam periode ini adalah al-Zamakhsyari, penulis dalam bidang tafsir dan
ushuluddin (teologi), al-Kusyairi dalam bidang tafsir, al-Ghazali dalam bidang
ilmu kalam dan tasawuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu
perbintangan. Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di
kota Bagdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa provinsi
dengan seorang gubernur untuk mengepalai masing-masing provinsi tersebut.
Pada masa pusat kekuasaan melemah, masing-masing provinsi
memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi di antara
mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuasaan politik
khalifah menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka
berakhir di Irak di tangan Khawarizmi Syah pada tahun 590 H./1199 M.9

5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M)


Pada masa ini disebut sebagai periode jatuhnya Baghdad ke tangan Bangsa
Mongol. Pada saat itu Khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain. Kekuasaan hanya
efektif disekitar Kota Baghdad. Pada masa ini Khalifah dijabat oleh An-Nashir,
Azh-Zhahir, Al-Mushtanshir, dan AlMusta’shim.
Terjadi Perubahan besar-besaran dalam kekhalifahan Abbasiah dalam
periode kelima ini. Pada periode ini, khalifah Abbasiah tidak lagi berada di bawah
kekuasaan sautu dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa, tetapi hanya di
Bagdad dan di sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan khalifah menunjukkan
kelemahan politiknya. Pada masa inilah datang tentara Mongol dan Tartar
menghancurkan Bagdad tanpa perlawanan pada tahun 656 H./1258 M.
Faktor-faktor yang membuat Daulah Abbasiah menjadi lemah dan kemudian
hancur, dapat dikelompokkan menjadi dua. Faktor Interen dan Eksteren. Diantara
factor Intern adalah (1) Adanya persaingan tidak sehat antara beberapa bangsa
yang terhimpun dalam Daulah Abbasiah, terutama Arab, Persia, dan Turki. (2)
Terjadinya perselisihan pendapat di antara kelompok pemikiran agama yang
ada, selanjutnya berkembang menjadi pertumpahan darah. (3) Munculnya dinasti-
dinasti kecil sebagai akibat perpecahan sosial yang berkepanjangan. Akhirnya (4)
Terjadinya kemerosotan tingkat perekonomian sebagai akibat dari bentrokan politik

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

9
Abu Su’ud, Islamologi(Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Umat Islam),
(Cet. I; PT. Rineka Cipta: Jakarta, 2003),h. 81
Proses terbentuknya dinasti Abbasiyah dilakukan melalui dua cara: Pertama
yaitu dengan menyebarkan misi propaganda melalui jaringan rahasia, dan yang kedua
yaitu dengan menghimpun kekuatan militer demi menghancurkan
kekuatan Bani Umayyah Untuk memperoleh hasil maksimal, bani Abbas
menyiapkan strategi yang cukup matang, mereka menebarkan propagandis untuk
mendukung khilafah dari kerabat Nabi. Revolusi ini juga membutuhkan
pengorganisasian yang baik, sehingga mereka mengaktifkan tiga tempat untuk
membantu pelaksanaan starategi tersebut, yaitu Humaimah, Kufah dan Khurasan.
Masing-masing tempat tersebut memiliki peran dan fungsi sesuai dengan letak
dan karakternya masing-masing. Humaimah digunakan untuk menyusun strategi,
Kufah sebagai tempat menyebarkan propaganda dan penghubung antara
Humaimah dan Khurasan, sedangkan Khurasan sebagai tempat pelaksanaan
pergolakan demi menjatuhkan kekuasaan Bani Umayyah.

DAFTAR PUSTAKA

Ananda Yunia. Perkembangan Dan Keruntuhan Dinasti Abbasiyah. Jurnal Sejarah dan
Pengajarannya e-ISSN 2962-4207 Vol 1 No 2 Desember 2022
Farouk Omar, 1969. The Abbasid Caliphate:132-170/750-786: The National Printing
and Publishing Company Co, Baghdad
https://kumparan.com/berita-terkini/beberapa-faktor-yang-mempengaruhi-
berdirinya-daulah-abbasiyah-20WQfhFyYDE/3
Julius Wellhausen, The Arab Kingdom and its Fall, (London: Curson Press London,
1973
Mahfud Ifendi, Dinasti Abbasiyah: Studi Analisis Lembaga Pendidikan Islam, Jurnal
Fenomena, STAI Sanggatta Kutai Timur, Volume 12 Nomor 2, Edisi 2020
Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek
Philips K Hitti, 2013. History of the Arabs. PT Serambi Ilmu Semesta . Jakarta
Su’ud, Abu, Islamologi(Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Umat
Islam), Cet. I; PT. Rineka Cipta: Jakarta, 2003.

Anda mungkin juga menyukai