Anda di halaman 1dari 14

Makalah

ASBABUL NUZUL

DI
S
U
S
U
N

Oleh:

MELA PIPI YANTI ROSKA


NIRMALA HAYATEN

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI


STAIN TEUNGKU DIRUNDENG
MEULABOH

2023
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur selalu kami haturkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat
limpahan rahmat, taufik, hidayah serta inayah-Nya, kami bisa menyelesaikan tugas
penyusunan ASBABUL NUZUL

Kami selaku penyusun makalah mengucapkan terima kasih kepada Dosen


pengampu, yang telah memberikan kepercayaan untuk membuat makalah ini, orang tua
yang senantiasa berdoa untuk kelancaran tugas kami, serta pada teman-teman yang telah
memberikan motivasi dalam pembuatan makalah ini.

Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Dengan segala kerendahan hati, saran dan kritik yang membangun sangat kami
harapkan. Semoga makalah ini bisa memberikan suatu manfaat bagi kami dan para
pembaca serta dapat dijadikan referensi untuk penyusunan makalah di waktu yang akan
datang.

Meulaboh, 12 Desember 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................1

A. Latar Belakan......................................................................................................1

B. Tujuan.................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................3

A. Definisi Asbābul - Nuzūl....................................................................................3

B. Sumber dan Urgensi dalam Menafsirkan ayat Al-qur’an secara Konstekstual. .4

C. Landasan Teoritis Penafsiran Kontekstual..........................................................8

BAB III PENUTUP.............................................................................................................10

A.Kesimpulan........................................................................................................10

B. Saran..................................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakan
Alquran diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia kearah tujuan yang
terang dan jalan yang lurus dengan mengegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada
keimanan kepada Allah dan risalahNya. Juga memberitahukan hal yang telah lalu,
kejadian-kejadian yang sekarang serta berita- berita yang akan datang. Pembahasan
mengenai asbab al-nuzul ini sangat penting dalam pembahasan ulum al-Quran, karena
pembahasan ini merupakan kunci pokok dari landasan keimanan terhadap pembuktian
bahwa Alquran itu benar turunnya dari Allah swt . 1 Pembahasan ini juga merupakan
pembahasan awal dari Alquran guna melangkah kepada pembahasan-pembahasan
selanjutnya.

Banyak alat bantu untuk memahami ayat atau pun rangkaian ayat dalam Al-Qur’ān.
Semisal dengan menggunakan ‘Ilm I‘rāb AlQur’ān , ‘Ilm Gārib Al-Qur’ān , ‘Ilm Awqāt
an-Nuzūl , ‘Ilm Asbāb anNuzūl, dan sebagainya. ‘Ilm Asbāb an-Nuzūl adalah di antara
metode yang amat penting dalam memahami Al-Qur’ān dan menafsirinya. Seperti yang
sudah ditetapkan para ulama, bahwa Al-Qur’ān itu diturunkan dengan dua bagian. Satu
bagian diturunkan secara langsung, dan bagian ini merupakan mayoritas Al-Qur’ān.
Bagian kedua diturunkan setelah ada suatu kejadian atau permintaan, yang turun
mengiringi selama turunnya wahyu, yaitu selama tiga belas tahun. Bagian kedua inilah
yang akan di bahas berdasarkan sebab turunnya. Sebab, mengetahui sebab turunnya dan
seluk-beluk yang melingkupi nash, akan membantu pemahaman dan apa yang akan
dikehendaki dari nash itu.2

Namun demikian, perlu ditegaskan bahwa asbāb an-nuzūl tidak berhubungan secara
kausal dengan materi yang bersangkutan. Artinya, tidak di terima pernyataan bahwa jika
suatu sebab tidak ada, maka ayat itu tidak akan turun. Komarunddin Hidayat
memposisikan persoalan ini dengan menyatakan bahwa kitab suci Al-Qur’ān, memang
diyakini memiliki dua dimensi; historis dan transhistoris. Kitab suci menjembatani jarak

1
Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuti, Al-ltqon fi Ulumil Qur'an (Kairo : Musthafa al-Babi al- Halabi,
1951), hal. 40.
2
Yusuf al-Qardawi, Bagaimana Berinterakasi dengan Al-Qur`an, terj. Kathur Suhardi ( Jakarta:
Pustaka al-Kausar, 2000), hlm. 267

1
antara Tuhan dan manusia. Tuhan hadir menyapa manusia di balik hijab kalam-Nya yang
kemudian menyejarah

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian asbabul nuzul
2. Untuk mengetahui sumber dan urgensi dalam menafsirkan ayat al-qur’an secara
konstekstual

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Asbābul - Nuzūl

Asbāb an-Nuzūl secara etimologi terdiri dari kata asbāb dan an-nuzūl. Asbāb dapat
berarti ‫ )غيره الى يتوصل شيئ كل‬sesuatu yang menyampaikan kepada sesuatu yang lain), ‫)الحبل‬
tali, tambang), dan ‫ )فوق من حدرته حبل كل‬tiap tali yang kamu turunkan dari atas), sedang dan
menempati (‫ الحلول و قد نزلهم و نزل عليهم و نزل بهم‬artinya nuzūl-an menempati tempat mereka).

Sedang secara terminologi menurut Az-Zarqani dalam bukunya Manāhil al-‘Urfān fī


‘Ulūm Al-Qur’ān, pengertian asbāb annuzūl adalah sesuatu yang menyebabkan satu ayat
atau beberapa ayat diturunkan untuk membicarakan sebab atau menjelaskan hukum sebab
tersebut pada masa terjadinya sebab itu.3

Subhi As-Salih mengartikannya sebagai berikut, sesuatu yang menjadi sebab


turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab
turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang diturunkan pada waktu
terjadinya suatu peristiwa

Ungkapan asbab an-nuzul merupakan bentukidhafah dari kata“asbab” dan “nuzul”,


Secara etimologi, asbab an-nuzul adalahsebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya
sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatarbelakangi terjadinya sesuatudapat disebut
asbab an-nuzul, dalam pemakaiannya, ungkapan asbab an-nuzul khusus dipergunakan
untuk menyatakan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya Alquran, seperti halnya
asbab alwurud secara khusus digunakan bagi sebab terjadinya hadis

Banyak pengertiannya terminologi yang di rumuskan oleh para ulama, di antaranya:

1. Menurut Az-zarqoni: Asbab an-nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta
hubungan dengan turunnya ayat al-qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada
saat peristiwa itu terjadi”.
2. Ash-shabuni: asbab an-nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan
turunnya satu ayat atau beberapa ayat mulai yang berhubungan dengan peristiwa dan
kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada nabi atau kejadian yang
berkaitan dengan urusan agama”.
3
Az-Zarqani, Manāhil al-‘Urfān fī ‘Ulūm Al-Qur`ān (al-Qāhirah: Dār alHadīs\, 2001), hlm. 95.

3
3. Subhi shalih: asbab an-nuzul adalah suatu yang menjadi sebab turunnya satu atau
beberapa ayat al-qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa, sebagai respon
atasnya atau penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi”.
4. Mana’ Al-Qaththan: asbab an-nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan
turunnya al-qur’an, berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa
kejadian atau pertanyaan yang diajukan kepada nabi”.

Kendatipun redaksi pendifinisian di atas sedikit berbeda, semuanya menyimpulkan


bahwa asbab an-nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat
al-qur’an, dalam rangka menjawab, menjelaskan, dan menyelesaikan masalah-masalah
yang timbul dari kejadian tersebut. Asbab an-nuzul merupakan bahan sejarah yang dapat di
pakai untuk memberikan keterangan terhadap turunnya ayat Al-qur’an dan memberinya
konteks dalam memahami perintah-perintahnya. Sudah tentu bahan-bahan ini hanya
melingkupi peristiwa pada masa al-qur’an masih turun (ashr at-tanzil).4

B. Sumber dan Urgensi dalam Menafsirkan ayat Al-qur’an secara Konstekstual

Tradisi tafsir al-Qur'an telah ada sejak masa Nabi Muhammad (w.11 H/632 M).
Pemahaman atas al-Qur'an lebih mudah dilakukan pada masa Nabi karena beberapa alasan.
Al-Qur'an turun dalam bahasa Arab, sebuah bahasa yang digunakan oleh Sang Nabi dan
para sahabat. Lebih dari itu, para penerima al-Qur'an juga memiliki konteks personal dan
sosial secara langsung dengan sang Nabi. Lebih penting lagi, al-Qur'an hadir dalam
konteks asli sehingga al-Qur'an memiliki hubungan ideologis dengannya. Elemen-elemen
konteks ini, mencakup juga masa pewahyuan (610-632 M), tempat turunnya wahyu (Hijaz
di Jazirah Arab), dan kebiasaan serta masyarakat pada waktu wahyu diturunkan.5

Dalam catatan Abdullah Saeed, tafsir kontekstual Umar menjadi salah satu referensi
penting bagaimana al-Qur'an ditafsirkan pada masa awal. Umar bin Khattab menafsir
ulang aturan-aturan dan perintah dalam al-Qur'an dengan mempertimbangkan konteks.
Bagi Umar, al-Qur'an merupakan teks yang hidup, dan petunjuknya membutuhkan
penafsiran yang sesuai dengan spritinya sehingga tetap sesuai dengan lingkungan yang
berubah. Gagasan-gagasan dalam tafsir kontektual yang dilakukan Umar, semisal
kepentingan umum, properti publik, pemerataan dan keadilan, serta kesadaran akan
konteks yang berubah menjadi acuan tafsir kontekstual masa kini

4
Rosihon Anwar, Ulumul Quran (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 61
5
Abdullah Saeed. Al-Qur'an Abad 21: Tafsir Kontektual. Bandung. Mizan 2016. Hal 28

4
Meskipun demikian tidak semua latar historis dari turunnya ayat-ayat Quran dapat
diketahui melalui riwayat yang tertulis dalam sebuah hadis atau atsar. Dalam kaitan
tersebut, Fazlur Rahman menjelaskan bahwa secara garis besar latar sejarah turunnya ayat-
ayat al-Quran dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu: latar historis yang bersifat
makro; yaitu seluruh kondisi sosial dan budaya yang melingkupi historistas bangsa dan
Jazirah Arabiyah pada waktu itu adalah merupakan latar historis yang bersifat makro.
Sedangkan latar sejarah yang bersifat mikro; yaitu konsep lisan/dan tertulis yang diperoleh
oleh sahabat dari Nabi.

Dari beberapa deinisi dan pengertian asbāb an-nuzūl di atas dapat dipahami bahwa
latar belakang turunnya ayat atau pun beberapa ayat Al-Qur’ān dikarenakan adanya suatu
peristiwa tertentu dan pertanyaan yang diajukan kepada Nabi SAW.. Adapun ayat yang
diturunkan karena suatu peristiwa menurut Az-Zarqani ada tiga bentuk.

Pertama, peristiwa khushūmah (pertengkaran) yang sedang berlangsung, semisal


perselisihan antara kelompok Aus dan Khazraj yang disebabkan oleh rekayasa kaum
Yahudi sampai mereka berteriak: “as-silāh, as-silāh” (senjata, senjata). Dari kejadian ini
turunlah beberapa ayat dari surat Ali ‘Imrān yang di mulai dari ayat 100 hingga beberapa
ayat berikutnya.

‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا ِاْن ُتِط ْيُعْو ا َفِرْيًقا ِّم َن اَّلِذ ْيَن ُاْو ُتوا اْلِكٰت َب َيُر ُّد ْو ُك ْم َبْع َد ِاْيَم اِنُك ْم ٰك ِفِرْيَن‬

Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu mengikuti sebagian dari orang yang
diberi Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir setelah
beriman.

Kedua, peristiwa berupa kesalahan seseorang yang tidak dapat di terima akal sehat.
Seperti orang yang masih mabuk mengimani salat sehingga ia salah dalam membaca surat
al-Kāirūn. Kemudian turunlah ayat dari surat an-Nisā.

‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا اَل َتْقَر ُبوا الَّص ٰل وَة َو َاْنُتْم ُس َك اٰر ى َح ّٰت ى َتْع َلُم ْو ا َم ا َتُقْو ُلْو َن‬

Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat ketika kamu dalam
keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan

Ketiga, peristiwa mengenai cita-cita dan harapan, seperti muwāfaqāt (persesuaian,


kecocokan) Umar Aku ada persesuaian dengan Tuhanku dalam tiga perkara. Aku katakan

5
kepada Rasulullah bagaimana kalau Maqām Ibrahim kita jadikan tempat salat, maka
turunlah ayat

‫َو ٱَّتِخ ُذ و۟ا ِم ن َّم َقاِم ِإْبَٰر ِهۦَم ُمَص ًّلى‬

Dan jadikanlah sebahagian maqām Ibrahim tempat salat” (Al-Baqarah: 125).

Dan aku berkata wahai Rasulullah: “Sesungguhnya di antara orang-orang yang


menemui istri-istrimu ada yang baik (al-barru) dan ada yang jahat (al-fājir), bagaimana
kalau anda memerintahkan kepada mereka untuk membuat h}ijāb (tabir). Kemudian
turunlah ayat hijāb, yakni ayat dari surat al-Ahzāb ayat 53. Sedang ayat atau pun ayat-ayat
yang diturunkan karena ada pertanyaan yang ditujukan kepada Nabi SAW. juga ada tiga
bentuk

Menurut Az-Zarqani tidak semua ayat atau beberapa ayat mempunyai asbāb an-
nuzūl, diantaranya ayat yang berbicara mengenai kejadian atau keadaan yang telah lampau
dan akan datang, semisal kisah nabi-nabi dan umat terdahulu dan juga kejadian tentang
assā‘ah (kiamat) dan yang berhubungan dengannya. Ayat-ayat seperti ini banyak terdapat
dalam Al-Qur’an al- karim.6

Bentuk redaksi yang menerangkan asbb an-nuzl terkadang berupa pernyataan tegas
mengenai sebab dan terkadang pula berupa pernyataan yang hanya mengandung
kemungkinan mengenainya.

 Bentuk pertama, yaitu redaksi yang berupa pernyataan tegas mengenai sebab ialah
jika perawi mengatakan 'sebab turun ayat ini adalah begini' atau 'maka' yang
dirangkaikan dengan kata "turunlah ayat", sesudah ia menyebutkan peristiwa atau
pertanyaan.
 Bentuk kedua, yaitu redaksi yang kemungkinan menerangkan asbb an-nuzl atau
hanya sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat ialah bila perawi mengatakan
'ayat ini turun mengenai ini', 'aku mengira ayat ini turn mengenai soal begini', atau
'aku tidak mengira ayat ini turun kecuali mengenai hal yang begini.

Untuk mengetahui jalan asbab an nuzul, Jika sabab an-nuzl diriwayatkan dari
seorang sahabat maka dapat di terima (maqbl) sekalipun tidak dikuatkan dan di dukung
dengan riwayat yang lain. Karena, perkataan sahabat tidak ada celah untuk diijtihadkan

6
Az-Zarqani, Manāhil al-‘Urfān fī ‘Ulūm Al-Qur`ān (al-Qāhirah: Dār alHadīs\, 2001), hlm.96

6
dalam masalah ini dan sahabat adalah orang yang melihat serta bertemu langsung dengan
Rasulullah.jika sabab an-nuzl diriwayatkan dengan hadis mursal (hadis yang sanadnya
gugur dari seorang sahabat dan hanya sampai kepada seorang tabi'i) maka hukumnya tidak
dapat di terima kecuali sanadnya sahih dan dikuatkan oleh hadis mursal lainnya. Dan
perawinya harus dari imam-imam tafsir yang mengambil tafsirnya dari para sahabat,
seperti Mujahid, Ikrimah dan Sa'id bin Jubair.

Keumuman Lafal dan kekhususan sebab apabila ayat yang diturunkan sesuai dengan
sebab secara umum atau sesuai dengan sebab secara khusus, maka yang umum ('m)
diterapkan pada keumumannya dan khusus (khs) pada kekhususannya. Contohnya di surat
al-Lail ayat 17-21 Ayat-ayat tersebut diturunkan mengenai Abu Bakar, karena kata al-atq
(orang yang paling taqwa) menurut tasrif berbentuk af'ala untuk menunjukkan superlatif,
tafdl yang disertai al-'ahdiyah (kata sandang yang menunjukkan bahwa kata yang
dimasukinya itu telah diketahui maksudnya), sehingga ia dikhususkan bagi orang yang
karenanya ayat itu diturunkan. Oleh sebab itu, al-Wahidi berkata: al-atq adalah Abu Bakar
as-Siddiq menurut pandangan para ahli tafsir. Jika sebab itu khusus sedangkan ayat yang
turun berbentuk umum, ada beberapa pendapat mengenai hal ini.

 Jumhur ulama berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah 'ibrah bi 'umm
al-lafzhi (yang harus diperhatikan keumuman lafal). Seperti turunnya ayat zhihr
dalam kasus salamah bin sakhr, ayat li'n dalam masalah hilal bin umayah dan juga
ayat tentang seorang wanita yang mencuri pada zaman nabi.
 Sebagian ulama berpendapat bahwa al-'ibrah bi khushs as-sabab (yang harus
diperhatikan adalah kekhususan sebab). Mereka berkomentar bahwa kasus zhihr,
li'n, dan wanita yang mencuri pada zaman nabi itu hanya berlaku bagi mereka saja,
tidak berlaku bagi yang lain.

Banyaknya Asbb An-Nuzl dalam Satu Ayat:

yaitu salah satu riwayatnya saja yang sahih, ketentuannya adalah menggunakan yang
sahih itu untuk menjelaskan sebab turun dan menolak yang tidak sahih, jika kedua riwayat
sama-sama sahih dan salah satu dari keduanya mempunyai murajjih (penguat), maka yang
di ambil adalah yang lebih rajah. Dan murajjih (penguat) bisa di lihat dari segi lebih sahih
dari yang lain atau perawi salah satunya menyaksikan langsung kejadiannya.

7
Jika kedua riwayat sama-sama sahih dan salah satu dari keduanya mempunyai
murajjih (penguat), maka yang di ambil adalah yang lebih rajah. Dan murajjih (penguat)
bisa di lihat dari segi lebih sahih dari yang lain atau perawi salah satunya menyaksikan
langsung kejadiannya.

C. Landasan Teoritis Penafsiran Kontekstual

1. Konsep Wahyu
Bangunan argumentasi tentang wahyu Abdullah Saeed, didasarkan pada
penekanannya dalam aspek historis-psikologis pewahyuan. Yaitu mencoba melihat
keterkaitan antara wahyu, Nabi, dan misi dakwahnya dengan konteks sosio-historis di
mana al-Qur’an diwahyukan. Sebuah kenyataan bahwa alQur’an diturunkan bukan
dalam ruang hampa budaya. Memperlihatkan adanya peran aktif Nabi sebagai seorang
manusia dalam proses pewahyuan. Hal ini sekaligus menolak pandangan dominan
kaum Muslim bahwa Nabi adalah penerima pasif, dan bahwa pewahyuan berlangsung
pada level meta-historis yang tidak menerima pengaruh langsung dari konteks
aktualnya. Pemahaman ini menurut Saeed, justru akan menyempitkan dimensi wahyu
karena cenderung mengabaikan hubungan organik antara pewahyuan dan konteksnya.7
Menurut Saeed, secara global wahyu mengalami empat level proses, yakni: level
pertama, wahyu berada di alam ‘gaib’ (ghayb) dan dipastikan tidak dapat diketahui (di
luar domain pemahaman manusia). Proses ini dimulai ketika Tuhan pertama kali
mewahyukan al-Qur’an ke al-lauh al-mahfuzh, dan kemudian ke langit bumi dan
dihafal oleh Ruh (dipahami sebagai malaikat penyampai wahyu) yang akan membawa
pewahyuan kepada sang Nabi. (Allah– al-Lauh al-MahfuzhLangit Dunia–Ruh).
Sehingga dalam level ini apapun “kode” dan “bahasa” yang digunakan untuk proses
pewahyuan tidak bisa diakses oleh manusia atau hanya dengan memahami secara
spekulatif mengenai mode atau kodenya.
Level kedua, pewahyuan mencapai Nabi, dan ia diwahyukan ke dalam “hatinya”.
Masuknya wahyu ke dunia fisik berarti bahwa wahyu terjadi dalam bentuk yang bisa
dipahami oleh manusia. Oleh karena itu, kemudian Nabi mengucapkannya dalam
bentuk bahasa Arab (bahasa yang dipahami oleh Nabi dan masyarakat), dan untuk
pertama kalinya dalam konteks kemanusiaan. Begitu pewahyuan diekspresikan dalam
bahasa Arab, saat itulah wahyu mulai berperan dalam sejarah. Secara spesifik berkaitan

7
Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21; Tafsir Kontekstual, terj. Ervan Nurtawab (Bandung: Mizan,
2016), h. 97.

8
dengan keadaan-keadaan, kebutuhan-kebutuhan, dan persoalan-persoalan Nabi dan
masyarakatnya dengan berbagai bentuk norma-norma, adat-istiadat, sistem-sistem dan
institusiinstitusi masyarakat tersebut. (Ruh–Hati Nabi–Eksternalisasi–Konteks
SosioHistoris)
Level ketiga, pada level ini pewahyuan telah menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat umat Islam. Wahyu menjadi sebuah teks (oral atau tertulis), yang
dinarasikan, dikomunikasikan, diajarkan, dijelaskan, dan diaplikasikan.Melalui cara ini,
wahyu telah menjadi bagian vital yang hidup dalam sebuah komunitas membentuk
realitas akibat dari aktualisasi pewahyuan. (Teks–Konteks–Teks yang Meluas).
Level keempat, pada level ini melibatkan dua dimensi pewahyuan: (1) praktik
yang dipandu oleh wahyu yang berawal dari Nabi dan komunitasnya dan terus
ditransmisikan kepada generasi-generasi berikutnya; (2) petunjuk ilahiah dalam bentuk
ilham atau inspirasi untuk memberikan panduan kepada mereka yang sadar akan
kehadiran-Nya dan yang berusaha mempraktikkan firman-Nya di dalam kehidupan
mereka.
2. Perhatian terhadap Konteks Sosio-Historis
Menurut Saeed, banyak ayat al-Qur’an, khususnya ayat-ayat ethico-legal, sulit
dipahami secara baik, tanpa memperhatikan konteks sosio-historis masa pewahyuan.
Konteks sosio-historis bertujuan untuk menjadikan ayat-ayat ethicolegal bermakna dan
relevan untuk kehidupan Muslim kontemporer. Perlunya pemahaman konteks sosio-
historis adalah untuk bisa mengakrabi konteks, agar bisa menghasilkan pemahaman al-
Qur’an yang peka konteks pada tingkat yang lebih luas.
Untuk memahami konteks sosio-historis, mufasir membutuhkan pengetahuan
akan kehidupan Nabi secara mendetail baik di Makkah maupun di Madinah, seperti;
iklim sosial, ekonomi, politik, hukum, kultural dan intelektual; institusi dan nilai yang
berlaku di wilayah Hijaz dan sekitarnya. Termasuk tempat tinggal, pakaian dan
minuman; relasi sosial, termasuk di dalamnya struktur keluarga, hierarki sosial,
larangan (pantangan) dan ritus (upacara). Bahkan dalam konteks yang lebih luas;
konteks budaya yang membentang di wilayah Mediterania, mulai dari Yahudi, Kristen,
Arab Selatan, Ethiopia hingga Mesir. Perhatian ini akan membantu dalam mencari
relasi antara al-Qur’an dan lingkungan tempat pewahyuan.8

BAB III

PENUTUP

8
Lien Iffah Naf’atu Fina, “Interpretasi Kontekstual; Sebuah Penyempurnaan terhadap Gagasan Tafsir
Fazlur Rahman, Hermeneutik (Vol. 9, No. 1, Juni 2015), h. 75.

9
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas jelaslah bahwa al-Qur’ān adalah kalam (perkataan) Allah Swt.
yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. melalui Malaikat Jibril dengan lafal dan
maknanya. Al-Qur’ān sebagai kitab Allah menempati posisi sebagai sumber pertama dan
utama dari seluruh ajaran Islam serta berfungsi sebagai petunjuk atau pedoman bagi umat
manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Banyak alat bantu
untuk memahami ayat atau pun rangkaian ayat dalam Al-Qur’ān salah satunya adalah Ilm
Asbāb an-Nuzūl. ‘Ilm Asbāb an-Nuzūl adalah di antara metode yang amat penting dalam
memahami Al-Qur’ān dan menafsirinya. Seperti yang sudah ditetapkan para ulama, bahwa
Al-Qur’ān itu diturunkan dengan dua bagian. Satu bagian diturunkan secara langsung, dan
bagian ini merupakan mayoritas Al-Qur’ān. Bagian kedua diturunkan setelah ada suatu
kejadian atau permintaan, yang turun mengiringi selama turunnya wahyu, yaitu selama tiga
belas tahun. Bagian kedua inilah yang akan di bahas berdasarkan sebab turunnya. Sebab,
mengetahui sebab turunnya dan seluk-beluk yang melingkupi nash, akan membantu
pemahaman dan apa yang akan dikehendaki dari nash itu
Sebagian besar Alquran pada mulanya diturunkan untuk tujuan-tujuan yang bersifat
umum sebagai petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam menjalani kehidupan di dunia
ini. Namun, kehiupan para sahabat bersama Rasulullah SAW telah menyaksikan banyak
peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi di antara mereka peristiwa khususyang
memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka
bertanya kepada Rasulullah SAW untuk mengetahui hukum Islam mengenai hal itu. Maka
Alquran turun untuk peristiwa khusus tau atau untuk pertanyaan yang muncul itu. Hal
seperti inilah yang dinamakan dengan asbab al nuzul.

B. Saran
Maka dari itu terlepas dari sikap pro-kontra para pakar ulumul al-Qur’an akan
keberadaan ilmu asba>b an-nuzu>l berikut urgensifungsionalnya, yang pasti ilmu asbab
an-nuzul telah menjadi salah satu bagian tak terpisahkan dari ilmu-ilmu al-Qur’an secara
keseluruhan, dan keberadaannya sama sekali tidak merugikan penafsiran dan justru
semakin memperkaya dalam penafsiran.

DAFTAR PUSTAKA

10
Abdullah Saeed. Al-Qur'an Abad 21: Tafsir Kontektual. Bandung. Mizan 2016
Al-Qardawi, Yusuf, Bagaimana Berinterakasi Dengan Al-Qur’ān, Terj. Kathur Suhardi,
Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2000.
Anwar, Rosihon, Ulumul Quran. Cet, III. Bandung: Pustaka Setia, 2006
As-Suyuthi. Jalaluddin,Asbabun Nuzul. Alih Bahasa oleh Tim Abdul Hayyie, Sebab-sebab
Turunnya al-Qur’an. Cet.1, Jakarta: Gema insani, 2008
Az-Zarqāni, Manāhil al-‘Urfān fī ‘Ulūm Al-Qur’ān, al-Qāhirah: Dār alHadīs, 2001.
Fina, Lien Iffah Naf’atu, “Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed; Sebuah
Penyempurnaan Terhadap Gagasan Tafsir Fazlur Rahman”, Hermeneutik, Vol. 9,
No. 1, 2015.

11

Anda mungkin juga menyukai