Anda di halaman 1dari 47

Bu Kek Sian Su - Episode 351

Jodoh Rajawali
Tiba-tiba di sebelah depan berkelebat bayangan orang dan dari balik pohon-pohon muncullah
seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap yang kepalanya memakai sorban dan di bagian depan
sorban itu terthias bulu burung yang amat indah. Segera Cui Yan mengenal orang itu. Pangeran
Bharuhendra atau Liong Bian Cu, pangeran dari Nepal itu! Melihat pangeran ini, hati Cui Yan
yang masih dipenuhi rasa iba dan duka karena adiknya, seketika menjadi panas karena dia
teringat bahwa pangeran inilah yang menjadi gara-gara sehingga adiknya itu kini mengalami hal-
hal yang menyengsarakan hati. Huh, laki-laki macam ini mau memaksa Hwee Li menjadi
isterinya! Liong Bian Cu juga segera mengenal Cui Yan, sumoi dan kekasih dari saudara
misannya itu, maka dengan tersenyum lebar dia cepat menghampiri dan begitu berhadapan dia
berkata, "Ah, kiranya Nona Kim berada di sini. Sungguh menggembirakan hati dapat bertemu
dengan calon iparku yang begini cantik manis! Eh, di mana adanya saudaraku Liong Tek Hwi?"
Sikap yang ceriwis itu makin memanaskan hati Cui Yan. Dia berdiri tegak memandang wajah
pangeran itu dengan sepasang mata terbelalak, mukanya merah dan mulutnya cemberut,
hidungnya yang mancung itu bergetar dan cuping hidungnya kembang-kempis karena ke-
marahan membuat napasnya agak memburu. Kemudian terdengar dia berkata, suaranya nyaring
dan kaku, "Pangeran, engkau adalah seorang laki-laki yang tidak tahu malu!"
Sepasang alis yang tebal hitam itu berkerut dan sepasang mata yang agak dalam dan
mempunyai pandangan tajam itu menatap wajah Cui Yan yang cantik. Memang cantik manis
sekali calon iparku ini, pikir sang pangeran. Terutama sekali hidungnya yang mancung itu, manis
sekali. Akan tetapi mengapa dia marah-marah dan berani memakinya? Hati pangeran ini
memang sedang tertekan oleh kekecewaan dan kedukaan. Gerakannya telah gagal total,
bentengnya telah hancur dan dia tentu akan mendapat kemarahan besar dari pamannya yang
kini menjadi raja di Nepal. Selain itu, juga baru saja dia kehilangan Hwee Li, gadis yang
dicintanya. Dalam keadaan murung seperti itu, kini bertemu dengan wanita ini yang datang-
datang memakinya sebagai laki-laki yang tidak tahu malu, tentu saja diam-diam dia merasa
penasaran dan marah sekali. Dia, Pangeran Nepal, yang biasanya disembah-sembah orang,
yang biasanya dihujani kerling dan senyum manis oleh setiap orang wanita, tua atau pun muda,
yang selama hidupnya belum pernah dihina wanita kecuali Hwee Li yang dicintanya, sekarang
merasa dihina oleh wanita ini! Namun, dia dapat menyembunyikan kemarahannya dan masih
tersenyum memandang wanita yang marah-marah sampai kedua pipinya kemerahan dan amat
menarik itu.
"Calon iparku yang manis, mengapa begitu bertemu engkau marah-marah dan memaki aku?
Biarpun kalau marah engkau kelihatan bertambah cantik, akan tetapi iparmu ini ingin mengetahui
mengapa engkau marah kepadaku."
Sikap dan kata-kata Liong Bian Cu merupakan minyak pembakar yang disiramkan pada api yang
menyala di dalam Cui Yan. Mukanya bertambah merah dan matanya mengeluarkan sinar ber-
kilat. "Cih, laki-laki tak sopan! Engkau tahu bahwa adikku Hwee Li tidak suka kepadamu, kenapa
engkau hendak memaksanya menjadi isterimu? Engkaulah yang membuat dia merana!"
Pangeran Nepal itu memandang dengan sepasang mata mulai berseri. Teringatlah kini dia
bahwa wanita yang berdiri di depannya dan sedang marah-marah ini adalah kakak tiri Hwee Li,
puteri dari mendiang Kim Bouw Sin, hanya berlainan ibu dengan Hwee Li. Memang ada
kemiripan antara keduanya, terutama sikap galaknya dan bibir yang membayangkan kelembutan
di balik kekerasan itu. Maka timbullah dua macam perasaan di dalam hatinya, perasaan yang
terdorong oleh kecewa dan penasaran karena kegagalannya. Perasaan itu adalah perasaan
marah karena dia dihina wanita, bercampur dengan perasaan kagum karena memang
keberanian wanita ini mengingatkan dia akan keberanian Hwee Li dan itulah yang
membangkitkan berahinya! Biar aku luput mendapatkan adiknya, biar kudapatkan kakaknya,
demikian bisikan hatinya yang mulai panas. Kalau aku bisa mendapatkannya dan membawanya
ke Nepal sebagai seorang di antara selir-selirku, sewaktu-waktu aku rindu kepada Hwee Li,
wanita ini bisa nnenjadi penggantinya dan kuanggap saja dia Hwee Li!
"Ah, Kim Cui Yan, nona yang cantik manis. Kalau kauanggap aku demikian, lalu bagaimana?
Engkau mau menghukumku? Nah, silakan, aku menyerah kepada seorang wanita denok manis
seperti engkau."
Sepasang nrata wanita itu berapi-api saking marahnya. "Pangeran ceriwis! Engkau harus
menyatakan bersalah, minta ampun di depanku dan berjanji bahwa selanjutnya engkau tidak
akan mengganggu adikku Hwee Li lagi!"
Tentu saja diam-diam Pangeran Bharuhendra menjadi marah sekali, akan tetapi dia masih
tersenyum sungguhpun pandang matanya mulai berapi. "Kalau aku tidak mau minta ampun
bagaimana?"
"Aku akan menghajarmu!" bentak Cui Yan sambil mengepalkan kedua tinjunya dan berdiri tegak.
"Ha-ha-ha, bagus sekali. Kiranya engkau mengajak aku untuk bertanding mengadu kepandaian?
Baik, akan tetapi pertandingan ini harus ada taruhannya. Kalau aku kalah, biarlah aku akan minta
ampun kepadamu seperti yang kauminta, akan tetapi sebaliknya, kalau engkau kalah...."
Pangeran itu mengelus dagunya yang dicukur licin, "Engkau cantik manis seperti adikmu, kalau
engkau kalah, engkau harus menemani aku sehari semalam, menghibur hatiku yang sedang
gundah-gulana...."
"Keparat!" Cui Yan membentak dan dara ini sudah menerjang dengan kemarahan meluap-luap.
Saking marahnya, begitu menyerang dia sudah mempergunakan ilmu pukulannya yang amat
diandalkan, yaitu Swat-lian Sin-ciang. Pukulan ini adalah pukulan yang mengandalkan tenaga
sinkang yang amat kuat dan berbahaya, tenaga Im-kang yang mengandung hawa dingin sekali.
Ketika merasa betapa ada hawa dingin menyambar ke arah dadanya, pangeran itu berseru,
"Bagus sekali!" dan cepat dia mengelak ke belakang, lalu siap menghadapi terjangan lawan. Cui
Yan yang sudah marah terus mendesak dengan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang, akan tetapi
kini pangeran itu pun mempergunakan ilmu pukulan sakti untuk menyambutnya, yaitu ilmu
pukulan Im-yang Sin-ciang yang juga sama kuatnya.
Ilmu pukulan Swat-lian Sin-ciang yang dimiliki Cui Yan bukanlah ilmu pukulan sembarangan. Ilmu
pukulan ini mengandung tenaga Im-kang tingkat tinggi yang diciptakan oleh gurunya, yaitu Kim-
mouw Nio-nio di daerah utara dekat kutub di mana setahun penuh segala sesuatu diselimuti es
dari salju, hawanya dingin bukan main. Biarpun tingkat Cui Yan belum sehebat gurunya, namun
pukulan-pukulannya sudah sedemikian kuatnya sehingga kalau lawannya kurang kuat, maka
darah dan segala cairan dalam tubuh lawan dapat membeku terlanda hawa pukulannya, atau
setidaknya, hawa dingin akan membuat lawan menggigil dan tidak mampu bertahan lagi.
Namun, Liong Bian Cu adalah murid tersayang dari Ban Hwa Sengjin atau pendeta dari Nepal
yang bernama Lakshapadma, yang selain menjadi seorang koksu dari Nepal juga merupakan
orang ke tiga dari Ngo-ok yang pada waktu itu termasuk datuk-datuk kaum sesat yang telah
memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali. Maka, dengan menggunakan I1mu Im-yang Sin-ciang,
pangeran itu dengan tepat sekali dapat menahan semua serangan Cui Yan biarpun setiap kali le-
ngan mereka bertemu, dia merasa betapa hawa dingin menyusup ke dalam tulang lengannya,
sebaliknya, karena memang kalah kuat, Cui Yan selalu terdorong dan terhuyung ke belakang.
Mulailah Cui Yan terdesak dan dara ini merasa menyesal mengapa pedangnya telah dipatahkan
oleh Ceng Ceng sehingga dalam pertempuran melawan Pangeran Nepal ini dia tidak dapat
mengandalkan permainan pedangnya. Setelah bertanding lima puluh jurus lebih, kini Liong Bian
Cu mulai melancarkan serangan-serangan hebat yang membuat dara itu menjadi kewalahan.
Memang, kalau dibandingkan, tingkat kepandaian Pangeran Nepal itu masih lebih tinggi, maka
begitu dia menekan, dara itu menjadi sibuk sekali dan pada saat kedua lengan mereka kembali
beradu, Liong Bian Cu mempergunakan kesempatan itu untuk mencengkeram pergelangan
tangan kanan dara itu. Dia tertawa bergelak dan sebelum Cui Yan mampu melepaskan le-
ngannya, dia sudah tertotok dan menjadi lemas!
Bu Kek Sian Su - Episode 352
Jodoh Rajawali
Kalau dia dihantam atau dibunuh, Cui Yan tentu akan menghadapinya dengan tabah. Akan tetapi
kini pangeran itu merangkul dan memeluknya dan dara itu terbelalak dan merasa ngeri setengah
mati ketika pangeran itu mendekatkan muka lalu menciumnya penuh nafsu! Cui Yan
memejamkan mata dan berusaha meronta, namun dia telah tertotok sehingga tenaganya habis.
Bahkan dia tidak mampu mengerahkan Swat-im Sin-kang untuk membuat tubuhnya dingin. Ter-
paksa dia menyerah saja diciumi dan dibelai oleh pangeran itu yang tertawa-tawa.
"Engkau cantik, manis, engkau seperti Hwee Li.... ha-ha-ha, Cui Yan yang cantik, engkau telah
kalah, engkau harus membayar taruhan." Lalu dipondongnya tubuh dara itu.
"Lepaskan aku ! Atau.... kaubunuh saja aku...." Cui Yan meratap, kini merasa takut bukan main.
Baru sekarang ini dia merasa amat ketakutan, amat ngeri menghadapi apa yang akan menimpa
dirinya.
"Lepaskan? Nanti dulu, Sayang, kau harus membayar taruhan dulu. Membunuhmu? Sayang
sekali, engkau terlalu cantik.... ha-ha-ha....!"
Cui Yan tak mampu berdaya apa-apa lagi dan dia dilarikan oleh pangeran itu ke sebuah dusun di
mana terdapat sebuah gedung yang dibangunnya semenjak dia bertualang di daerah ini. Ketika
dia memondong tubuh Cui Yan memasuki rumah itu, Cui Yan melihat Koksu Nepal berada di situ
pula! Melihat muridnya memondong gadis yang dikenalnya sebagai nona yang pernah datang ke
lembah atau ke dalam benteng, kakek botak itu hanya tersenyum saja, sama sekali tidak
bertanya apalagi menegur. Dia hanya memandang ketika muridnya itu membawa tubuh yang
dipondongnya memasuki kamarnya dan menutupkan kamar itu dengan kakinya.
Pada jaman itu, baik di Tiongkok maupun di bagian dunia lain di Asia, terutama di Nepal,
memang kaum wanita dipandang sebagai benda mainan atau sebagai sumber kesenangan bagi
pria belaka. Wanita dianggap tidak berhak untuk menentukan nasibnya, tergantung sepenuhnya
dari orang tua atau dari pria yang menguasainya, seperti benda-benda hiasan atau binatang-
binatang peliharaan, dijadikan alat pemuas nafsu, dijadikan milik kebanggaan. Maka, bukan hal
yang aneh melihat wanita dipaksa oleh pria yang memiliki kedudukan seperti Pangeran Nepal,
seolah-olah setiap orang wanita yang berada di dalam kekuasaannya harus tunduk kepadanya,
bahkan dipilih oleh seorang pangeran dianggap sebagai kehormatan besar bagi si wanita, tidak
peduli wanita itu dipilih dengan paksa atau dengan suka rela. Oleh karena itulah, Ban Hwa
Sengjin hanya tersenyum saja melihat muridnya memondong seorang wanita cantik, seolah-olah
melihat suatu hal yang lucu. Apalagi karena memang Ban Hwa Sengjin adalah seorang yang
amat keji hatinya. Sam-ok dari Ngo-ok yang terkenal sebagai Lima Datuk yang paling kejam di
seluruh dunia ini.
Kim Cui Yan hanya dapat merintih dan menangis dengan hati hancur lebur. Dia tidak mampu
menolak, tidak mampu meronta, tidak mampu mengelak ketika Liong Bian Cu memperkosanya
disertai bujuk rayu yang tentu akan ditolaknya dan ditentangnya dengan taruhan nyawa kalau
saja dia mampu bergerak. Akan tetapi, Pangeran Nepal itu cerdik, dia ditotok sehingga kaki
tangannya menjadi lemas tak berdaya, hanya mampu bergerak lemah tanpa mampu
mengerahkan tenaga sinkangnya. Dia hanya mampu membuang muka dan air matanya ber-
cucuran ketika dia dipermainkan oleh pangeran itu yang agaknya tidak ada puas-puasnya
menuruti nafsu kejinya.
Sudah bulat tekad di dalam hati Cui Yan untuk membunuh diri begitu dia memperoleh
kesempatan. Untuk melaksanakan kebenciannya dan membunuh pangeran itu, tentu saja dia
tidak mampu, apalagi mengingat bahwa di tempat itu terdapat koksu yang sakti pula. Maka, jalan
satu-satunya hanyalah membunuh diri untuk mencuci dirinya dari aib dan penghinaan. Akan
tetapi, kalau hanya membunuh diri begitu saja akan sia-sia.
Dia harus lebih dulu dapat bertemu dengan suhengnya, dengan kekasihnya, calon suaminya,
untuk menceritakan semua malapetaka yang menimpa dirinya ini.
Akan tetapi, Liong Bian Cu yang sudah berpengalaman dalam hal memperkosa wanita, dapat
melihat dan menduga bahwa Cui Yan tentu akan membunuh diri kalau diberi kesempatan, oleh
karena itu dia selalu menjaga dan menotok jalan darah wanita itu. Baru setelah ada tanda-tanda
bahwa Cui Yan membalas belaiannya dan seolah-olah menjawab pernyataan cintanya, dia mulai
memberi kelonggaran karena dia mengira bahwa dia telah berhasil "menundukkan" wanita ini,
seperti menundukkan seekor kuda betina liar yang mulai menjadi "jinak", seperti yang sudah
sering kali dia alami. Di antara para selirnya, banyak yang tadinya juga melawan dan tidak rela
menyerahkan diri, akan tetapi kemudian malah menjadi selir yang amat mendambakan cintanya,
bahkan saling berebutan untuk melayaninya! Dan dia mengira bahwa Cui Yan juga termasuk
wanita seperti itu. Kini Cui Yan mulai suka tersenyum kepadanya!
Karena merasa bahwa setelah sepekan lamanya dia memaksa Cui Yan melayaninya dan jarang
meninggalkan wanita ini, dia mulai memberi kelonggaran. Akan tetapi, pada malam ke lima itu,
malam pertama dia meninggalkan Cui Yan sebentar untuk berbincang-bincang dengan koksu,
ketika dia kembali ke kamarnya, burung itu telah terbang menghilang! Dia cepat mengejar dan
mencari, namun sia-sia belaka. Cui Yan telah lenyap!
Ke manakah perginya Cui Yan? Wanita, yang ditimpa malapetaka hebat ini. melarikan diri
dengan secepatnya meninggalkan dusun tempat tinggal Liong Bian Cu, sambil menangis dia
terus lari sekuatnya semalam suntuk itu, menuju ke dusun tempat tinggal suhengnya. Hampir
putus napasnya ketika pada keesokan harinya dia tiba di depan rumah suhengnya, karena
semalam suntuk dia terus berlari cepat, sedikit pun tidak pernah mengurangi kecepatannya dan
mengerahkan segenap tenaganya.
Bukan main kaget hati Liong Tek Hwi ketika dia melihat sumoinya datang berlari-lari, lalu
menubruk padanya, merangkul dan menangis tersedu-sedu.
"Sumoi, apa yang telah terjadi? Ke mana saja selama ini engkau pergi? Aku dan subo mencari-
carimu sampai ke mana-mana, hatiku risau dan bingung sekali...." Pemuda berkulit putih bermata
kebiruan itu merangkul dan mengelus rambut kekasihnya.
"Cui Yan, apa yang telah terjadi?" tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dan ketika
mendengar ini, Cui Yan kaget dan menengok, kemudian dia menjerit dan melepaskan rangkulan
leher suhengnya, menubruk kaki nenek itu sambil menangis sesenggukan. Nenek itu bukan lain
adalah gurunya, Kim-mouw Nio-nio. Nenek ini sudah tua sekali, sudah sembilan puluhan tahun
usianya, dan keadaannya amat mengerikan. Rambutnya pirang keemasan sudah penuh uban,
matanya agak kebiruan dan di kedua lengannya nampak dua buah gelang, yang kanan terbuat
dari emas dan yang kiri dari perak. Sepasang gelang emas dan perak itu selain menjadi
perhiasan, juga merupakan senjatanya yang ampuh sekali.
Melihat muridnya itu menangis tersedu-sedu sambil merangkul kakinya, nenek itu menyeringai
dan sekali menggerakkan kakinya, tubuh muridnya itu terjengkang. "Wuhhh, memalukan sekali!
Apakah selama ini aku mengajar engkau menjadi wanita lemah dan cengeng? Hayo katakan apa
yang telah terjadi!"
Dengan air mata bercucuran Cui Yan bangkit berdiri dan ketika dia bertemu pandang dengan
kekasihnya, kembali dia tersedu-sedu. Liong Tek Hwi melangkah maju dan memegang tangan
sumoinya, memandang dengan penuh kekhawatiran dan bertanya halus, "Sumoi, ada apakah?
Engkau benar-benar membuat aku gelisah sekali. Ceritakanlah."
"Suheng.... demi Thian.... engkau harus membunuh si jahanam Liong Bian Cu....!"
Tentu saja ucapan itu membuat Liong Tek Hwi terkejut bukan main. Liong Bian Cu adalah
saudara misannya dan sekarang sumoinya atau kekasihnya ini minta kepadanya untuk
membunuh saudara misannya itu! "Sumoi, apakah yang terjadi? Mengapa engkau mengajukan
permintaan yang luar biasa ini?"
"Sepekan yang lalu.... aku bertemu dengan dia, kami bertempur karena aku menyalahkan dia
yang ingin memaksa adikku Kim Hwee Li menjadi isterinya dan karena dia kurang ajar kepadaku,
aku kalah dan tertawan. Aku dibawa ke dusun sebelah barat hutan di mana jahanam itu tinggal
bersama gurunya, Koksu Nepal dan.... dan...." Cui Yan kembali menjerit dan menangis terisak-
isak.
Sepasang alis Tek Hwi berkerut dan pandang mata yang ditujukan kepada sumoinya itu penuh
kekhawatiran. "Lalu bagaimana, Sumoi?"
"Dia.... selama sepekan ini.... dia.... memaksaku, dia memperkosa aku.... dan aku tidak
berdaya.... ditotoknya dan.... diperkosanya.... hu-hu-huuu!"
"Ahhh....!" Liong Tek Hwi mengeluarkan suara bentakan nyaring dan wajahnya seketika menjadi
pucat sekali, matanya terbelalak dan tinjunya dikepal kuat-kuat.
"Suheng....!" Cui Yan menjerit dan menubruk suhengnya. Tek Hwi menerima dan merangkul
kekasihnya, dari kedua matanya juga keluar air mata saking marah dan menyesalnya. Dia ingin
menghibur kekasihnya, akan tetapi tidak tahu harus berkata apa.
Bu Kek Sian Su - Episode 353
Jodoh Rajawali
"Tek Hwi, awas....! Cegah dia....!"
Tiba-tiba Kim-mouw Nio-nio berseru dan sekali meloncat dia telah menerkam Cui Yan dan
menangkap kedua tangan dara itu, akan tetapi terlambat sudah. Liong Tek Hwi memandang
dengan mata terbelalak, melihat dada kekasihnya yang merah semua karena darahnya
mengucur keluar dari ulu hati yang tertusuk hiasan rambut atau tusuk konde yang terbuat dari
perak dan panjangnya lebih dari sejengkal. Tusuk konde itu terbenam di dada Cui Yan,
menembus jantungnya sehingga darah muncrat-muncrat dan tanpa banyak bergerak lagi dara itu
menjadi lemas dan lunglai.
"Sumoi....!" Tek Hwi, menjerit dan menubruk, merangkul kekasihnya.
Cui Yan membuka mata dan bibirnya bergerak lemah, "Balaskan Suheng...." Kemudian tubuhnya
lunglai dan matanya terpejam.
"Sumoi....! Cui Yan.... ah, Cui Yan kekasihku....!" Liong Tek Hwi menangis dan berteriak-teriak
seperti orang gila memanggil-manggil nama kekasihnya, namun nyawa Cui Yan telah melayang
pergi meninggalkan tubuhnya.
"Bian Cu, jahanam kau! Aku harus mengadu nyawa denganmu!" Liong Tek Hwi menurunkan
jenazah kekasihnya dan dia meloncat bangun, kemudian lari dari rumah itu, diikuti oleh subonya.
"Tek Hwi, nanti dulu....!" subonya berseru, akan tetapi Liong Tek Hwi yang sudah hampir gila
saking duka dan marahnya, tidak mempedulikan subonya sehingga terpaksa Kim-mouw Nio-nio
mengikutinya terus menuju ke barat dengan cepat sekali.
Ketika tiba di dusun itu, dengan mudah Liong Tek Hwi dapat mencari rumah saudara misannya
itu dan kebetulan sesekali pada waktu itu, Pangeran Liong Bian Cu dan Ban Hwa Sengjin sedang
berada di ruangan depan. Mereka sudah tahu bahwa Cui Yan semalam telah berhasil melarikan
diri, dan mereka pun menduga bahwa mungkin saja kekasih nona itu, yaitu Liong Tek Hwi atau
saudara misan sang pangeran, akan muncul. Akan tetapi mereka bersikap tenang-tenang saja
dan tidak takut, bahkan mereka lalu melupakan urusan nona itu dan bicara tentang kegagalan
gerakan mereka dan mengatur rencana selanjutnya. Perhatian mereka kini ditujukan kepada
pemberontakan di Bhutan yang dilakukan oleh Mohinta.
Ketika mereka sedang bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari depan, "Bian
Cu, jahanam hina-dina! Mari kita tentukan siapa di antara kita yang harus mampus untuk
menemani arwah sumoiku!"
Pangeran Liong Bian Cu bangkit berdiri, sedangkan Koksu Nepal hanya menoleh saja. Akan
tetapi terkejutlah guru dan murid ini ketika melihat bahwa di belakang Liong Tek Hwi terdapat se-
orang nenek berambut keemasan yang bukan lain adalah Kim-mouw Nio-nio, datuk luar tembok
besar dari utara itu!
Biarpun terkejut melihat kehadiran nenek itu yang sudah sering kali didengarnya dari suhunya,
akan tetapi karena di situ hadir pula gurunya, Pangeran Nepal tidak merasa gentar dan dengan
gagah dia menyambut kemarahan saudara misannya itu dengan tersenyum.
"Saudaraku Tek Hwi, mengapa engkau datang dengan kemarahan seperti itu?"
"Keparat, engkau manusia berhati binatang! Engkau menghina dan memperkosa calon isteriku
sampai dia membunuh diri.... ah, aku tidak ingin hidup bersamamu di dunia ini. Seorang di antara
kita harus mati!" bentak Liong Tek Hwi dan dengan kemarahan memuncak, pemuda peranakan
bule ini sudah menerjang dengan pukulan yang amat keras.
Liong Bian Cu cepat mengelak dengan loncatan ke belakang sambil berkata, "Sabar dulu,
saudaraku. Apakah kita antara saudara harus saling bunuh hanya karena urusan wanita? Aku
dapat mengganti seribu orang wanita yang lebih cantik daripada sumoimu itu!"
"Manusia iblis! Harus kauganti dengan nyawamu!" Tek Hwi, menerjang lagi, kini menggunakan
ilmu pukulan Swat-lian Sin-ciang setelah menggosok-gosok kedua tangannya lalu diputar-putar di
depan dada dan menyerang dengan gerakan mendorong lawan. Pangeran Nepal itu terkejut
bukan main. Hawa dingin yang menyerangnya amat hebat, lebih hebat daripada serangan Kim
Cui Yan, tanda bahwa tingkat kepandaian saudara misannya ini masih lebih tinggi daripada nona
yang pernah ditawannya itu. Maka dia tidak mau banyak bicara lagi karena kalau dia tidak
waspada, bisa-bisa dia celaka oleh lawan ini. Apalagi dia melihat betapa gurunya tidak turun
tangan membantu, melainkan berdiri bertolak pinggang dan tak jauh dari situ nampak si nenek
rambut kuning emas itu juga berdiri dengan sikap siap menghadapi Sam-ok atau Koksu Nepal!
Pangeran Liong Bian Cu mengelak dan balas menyerang, dan karena dia maklum akan kelihaian
lawan, dia pun kini mempergunakan ilmu pukulan Im-yang Sinciang, Dia tidak mau mengalah dan
biarpun merasa sayang bahwa dia harus bermusuhan dengan saudara misannya, namun
pangeran ini maklum bahwa dia tidak akan dapat membujuknya maka terpaksa harus
membunuhnya.
Terjadilah pertandingan yang amat seru dan mati-matian antara dua orang saudara misan ini.
Ternyata bahwa tingkat kepandaian mereka memang berimbang sehingga berbeda dengan
ketika melawan Cui Yan, sekali ini Pangeran Liong Bian Cu harus mempergunakan seluruh
kepandaiannya untuk menghadapi lawan ini. Sementara itu, Sam-ok dan Kim-mouw Nio-nio tetap
berdiri menonton sambil bersiap-siap turun tangan kalau fihak lawan dibantu oleh guru masing-
masing. Akan tetapi, kakek botak itu hanya tersenyum saja melihat betapa muridnya agak
kewalahan menghadapi lawannya, sedangkan Kim-mouw Nio-nio secara terang-terangan selalu
memandang kakek itu untuk mengamati gerak-geriknya!
Seratus jurus telah lewat dan kedua lengan mereka telah bengkak-bengkak, akan tetapi
pertandingan itu masih berlangsung terus dengan serunya. Pangeran Liong Bian Cu makin
terkejut dan mulai merasa khawatir. Tak disangkanya bahwa saudara misannya ini ternyata
tangguh sekali.
"Liong Tek Hwi, kita berdua dapat membangun kembali kejayaan ayah-ayah kita. Mengapa
engkau tidak menghabiskan saja urusan perempuan ini?" dia berseru sambil menangkis sebuah
pukulan keras yang membuat mereka berdua terpental ke belakang. Akan tetapi Liong Tek Hwi
menerjang lagi dengan nekat.
"Liong Bian Cu, aku baru menganggap habis urusan ini kalau kau sudah menggeletak tanpa
nyawa di depan kakiku!"
"Keparat!" Liong Bian Cu membentak marah dan perkelahian dilanjutkan makin nekat dan makin-
seru. Akan tetapi karena pada waktu itu hati Liong Tek Hwi diliputi penuh kedukaan dan
kemarahan, penuh dendam sakit hati yang meluap-luap, maka serangannya lebih bersemangat
dan nekat. Dia tidak takut mati dan tenaganya seperti bertambah hebat oleh semangat dan
kenekatan ini, berbeda dengan Liong Bian Cu yang masih bersikap hati-hati. Oleh karena inilah
maka kini pangeran itu kelihatan mulai terdesak! Serangan-serangan Liong Tek Hwi seperti
seekor singa terluka yang sudah nekat. Hanya ada dua pilihan bagi pemuda yang sakit hati ini,
yaitu membunuh atau terbunuh! Liong Bian Cu mulai khawatir dan tak terasa lagi dia
mengharapkan bantuan gurunya.
"Suhu, harap bantu....!"
Akan tetapi sungguh aneh. Kakek botak yang biasanya sebagai seorang koksu amat taat kepada
pangeran ini, sekarang hanya tersenyum dan sama sekali tidak bergerak membantu, juga tidak
berkata apa-apa! Memang, hati kakek ini luar biasa kejinya maka dia menjadi orang ke tiga dari
Sam-ok, Lima Jahat yang oleh dunia kang-ouw dianggap sebagai datuk-datuk kejahatan yang
paling hebat. Di dalam hati kakek botak ini, yang terpenting adalah keuntungan atau kesenangan
bagi dirinya sendiri. Memang benar bahwa Liong Bian Cu adalah muridnya, akan tetapi Ban Hwa
Sengjin ini mau mengambilnya sebagai murid hanya karena pemuda ini adalah Pangeran Nepal
sehingga melalui muridnya dia dapat memperoleh kedudukan sampai menjadi koksu! Tentu saja
tidak ada perasaan cinta sebagai guru terhadap pangeran ini. Apalagi sekarang dia melihat
bahwa yang terbaik bagi dirinya adalah matinya pangeran ini! Gerakan pangeran ini yang
ditunjangnya telah gagal, dan hal ini tentu akan mendatangkan kemarahan pada Raja Nepal, dan
kalau pangeran ini masih hidup dan mereka berdua bersama-sama kembali ke Nepal, tentu
dialah yang akan dipersalahkan oleh Raja Nepal karena kegagalan itu. Akan tetapi kalau
Pangeran Liong Bian Cu sudah tidak ada, tentu dia dapat menimpakan kesalahan kepada
pangeran ini. Dia sendiri masih akan dapat menghibur hati raja dengan membuat jasa baru, yaitu
menaklukkan Bhutan dengan bantuan Mohinta seperti yang telah di aturnya itu.
Bu Kek Sian Su - Episode 354
Jodoh Rajawali
Demikianlah, setiap perbuatan yang disebut jahat, kejam, keras dan licik selalu tentu terdorong
oleh keinginan untuk keuntungan atau kesenangan diri sendiri. Keinginan untuk senang, atau
pengejaran terhadap kesenangan inilah yang menyeret manusia untuk melakukan perbuatan-
perbuatan yang amat jahat. Bagi dia yang melakukannya, perbuatan itu tidak dianggap jahat
karena dianggap sebagai suatu kecerdikan atau langkahlangkah demi mencapai apa yang dicita-
citakan atau yang dikejar-kejar. Dapat kita saksikan sehari-hari dalam kehidupan kita betapa
pengejaran terhadap kedudukan menimbulkan jegal-jegalan, permusuhan dan bunuh-
membunuh, pengejaran terhadap harta menimbulkan sogokmenyogok, korupsi, penipuan,
pencurian dan sebagainya; pengejaran terhadap kehormatan, kebersihan nama dan apa yang
dinamakan kebaikan menimbulkan penjilatan dan kemunafikan. Perbuatan apa pun, betapa mulia
pun, akan kehilangan kemurniannya apabila didorong oleh suatu pamrih, karena perbuatan itu
menjadi tidak wajar, menjadi palsu, dan hanya merupakan alat untuk mencapai apa yang
dipamrihkan itu. Dan pamrih tetap pamrih, tetap memalsukan inti perbuatan, biar pamrih itu bisa
saja kita beri pakaian dan menyebutnya sebagai "pamrih baik", "pamrih mulia" dan sebagainya
lagi. Pada hakekatnya, betapapun baik dan mulianya kita namakan dia, pamrih itu bukan lain
adalah keinginan tercapainya sesuatu yang menguntungkan atau menyenangkan diri kita, lahir
maupun batin! Hanya tindakan yang seketika, tanpa pamrih, wajar dan tanpa kita sadari baik
buruknya, tanpa didasari kebencian, kemarahan, iri hati, rasa takut, maka tindakan seperti itu
barulah merupakan tindakan yang benar, karena tindakan tanpa pamrih dan tanpa dinodai oleh
segala macam nafsu pementingan diri pribadi itulah tindakan yang mengandung cinta kasih!
Ketika Pangeran Liong Bian Cu mendapat kenyataan betapa gurunya diam saja, jangankan
membantunya, bahkan menjawab permintaanya pun tidak, hatinya menjadi kecut sekali dan dia
menjadi makin panik. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liong Tek Hwi untuk menubruk ke
depan dan terdengarlah pekik menyayat hati ketika tangan kanan Tek Hwi yang ditusukkan itu
mengenai dada Pangeran Lion Bian Cu dan amblas memasuki dada seperti sebuah kapak.
"Crotttt....!" Tangan yang terbuka jari-jarinya dan mengandung tenga sinkang amat kuat itu
memasuki rongga dada sampai sepergelangan tangan dalamnya. Akan tetapi pada saat itu juga,
dengan mata melotot dan mulut masih mengeluarkan pekik Pangeran Liong Bian Cu
menghantamkan kepalan kanannya ke arah kepala yang amat dekat dengannya itu.
"Prakkk!" Pukulan itu keras bukan main karena dalam keadaan sekarat itu Liong Bian Cu masih
ingat untuk mengerahkan seluruh tenaga terakhir dalam pukulannya yang mengenai kepala
dengan tepat sehingga kepala Liong Tek Hwi pecah terkena hantaman itu!
Robohlah dua orang kakak beradik misan itu, tergelimpang dan tak bergerak lagi karena
keduanya telah tewas, mati sampyuh dalam perkelahian yang seru dan nekat itu. Berbeda
dengan Sam-ok Ban Hwa Sengjin yang tidak mencinta muridnya, Kim-mouw Nio-nio amat men-
cinta murid-muridnya, terutama sekali Liong Tek Hwi karena pemuda ini memiliki kulit, warna
mata dan rambut yang sama dengan dia. Tadi dia menjaga agar Sam-ok tidak membantu
pangeran itu, dan dia sudah girang melihat kemenangan muridnya, akan tetapi sungguh tidak
disangkanya bahwa dalam saat terakhir itu, Pangeran Nepal masih sanggup melakukan pukulan
maut terakhir yang menewaskan muridnya. Dia menjadi marah sekali. Dengan lengking
mengerikan nenek ini menangis dan langsung saja dia menyerang Sam-ok Ban Hwa Sengjin!
Ban Hwa Sengjin tertawa dan menggerakkan lengan bajunya menangkis. Hatinya girang bahwa
muridnya tewas bersama lawannya. Hal ini amat menguntungkan dia. Pertama, dalam
pertandingan tadi tak dapat dikatakan bahwa muridnya kalah karena lawannya juga tewas
sehingga namanya tidak akan ternoda oleh kekalahan muridnya, ke dua, pangeran itu tewas
sebagaimana yang diharapkannya. Maka kini menghadapi kemarahan Kim-mouw Nio-nio, dia
tertawa. Nenek tua ini pun sebaiknya dibungkam mulutnya untuk selamanya karena nenek ini
merupakan seorang saksi pula. Baiknya, tidak ada penduduk dusun yang berani datang
mendekat menyaksikan pertempuran itu sehingga yang menjadi saksi hanyalah nenek tua ini.
Dan untuk membungkam mulutnya, tentu saja nenek ini harus dibunuh.
Tangkisan Ban Hwa Sengjin membuat nenek itu terpelanting dan terhuyung, hampir saja roboh.
Kim-mouw Nio-nio terkejut bukan main. Lawannya memiliki sinkang yang luar biasa kuatnya, dan
juga dia sendiri sudah terlampau tua, usianya sudah kurang lebih seratus tahun. Maklumlah
nenek tua ini bahwa kalau mengandalkan tenaga sinkang dan ilmu pukulan, dia tidak akan
menang melawan Sam-ok ini. Maka dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja
nampak dua gulung sinar emas dan sinar perak melayang-layang dan menyerang ke arah Ban
Hwa Sengjin dari atas, menyambar turun di kedua tangan nenek itu yang sudah terlepas dari
tangannya dan seperti benda-benda hidup menyambar ke arah lawan sambil berputar cepat
sekali sehingga mengeluarkan suara mendesing.
Ban Hwa Sengjin terkejut melihat gulungan sinar yang menyambar dari kanan kiri ini. Akan tetapi
sebagai seorang berilmu tinggi, dia tidak menjadi gugup dan cepat dia mengulur kedua tangan
untuk menangkap dua buah gelang yang menyambar itu. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia
mencoba menangkap, tangannya terasa nyeri seperti akan terkupas kulitnya oleh benda yang
berpusing itu, maka cepat-cepat dia menarik kembali kedua tangannya dan dua benda itu seperti
hidup menyambar ke arah kepala dan dadanya! Namun, Sam-ok dapat meloncat ke samping dan
menghindarkan diri dari serangan maut itu dan ketika dia menghadapi lagi nenek itu, ternyata
gelang emas dan gelang perak itu telah dipegang oleh si nenek yang lihai.
"Hemmm, kiranya itukah senjatamu kim-lun dan gin-lun yang lihai? Bagus, aku ingin sekali
merasakan sampai di mana kelihaiannya!" kata Sam-ok sambil tertawa. Memang dia pernah
mendengar bahwa nenek ini lihai sekali memainkan kim-lun (roda emas) dan gin-lun (roda
perak). Nenek itu tidak menjawab, melainkan mendengus dan sudah menyerang lagi, kini bersilat
secara aneh dan kedua gelang itu berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata dan
mengeluarkan suara nyaring berdesing. Ban Hwa Sengjin yang maklum akan kelihaian lawan,
cepat memutar tubuhnya dan kini tubuhnya sudah berpusing, lenyap bentuknya merupakan
pusingan yang bergerak maju mundur, dari dalam pusingan itu terdengar suara ketawanya dan
kadang-kadang sebuah kaki bersepatu dengan lapis baja mencuat untuk menendang atau
sebuah dengan mencuat untuk menghantam atau menotok. Itulah ilmu silat yang amat
diandalkan oleh kakek ini, yaitu ilmu yang disebutnya Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi)
dan yang amat sukar dilawan.
Kini nenek Kim-mouw Nio-nio menjadi kaget dan bingung. Sepasang senjatanya kehilangan
keampuhannya karena tubuh lawan yang berpusing itu sukar sekali diikuti oleh pandang matanya
sehingga sukar pula di jadikan sasaran serangannya. Beberapa kali dia menyerang secara
ngawur saja dan begitu bertemu dengan bayangan tubuh berpusing itu, senjatanya membalik
diikuti oleh pukulan tangan atau tendangan kaki yang tiba-tiba mencuat dari pusingan itu,
membuat dia terkejut sekali dan beberapa kali nyaris dia menjadi korban tendangan.
Sambil berpusing dalam Ilmu Thian-te Hong-i, diam-diam Ban Hwa Sengjin yang lihai itu
memperhatikan gerakan kedua senjata lawan dan akhirnya dia mengenal sifat keras dari kedua
senjata itu. Maka pada saat yang telah diperhitungkannya masak-masak, ketika lawan
menggerakkan kedua gelang itu dari arah yang berlawanan yang memang menjadi sifat
permainan kedua gelang itu, tiba-tiba nenek Kim-mouw Nio-nio menjadi kabur pandangan
matanya karena dia melihat warna merah yang lebar sekali dan tahu-tahu kedua tangannya
berikut gelang emas dan perak yang dipegangnya itu telah tergulung dalam selimut mantel
merah! Dan sebelum dia mampu bergerak, kaki kanan Ban Hwa Sengjin menendang. Tendangan
itu sedemikian kuatnya dan tepat mengenai pusar Kim-mouw Nio-nio. Nenek tua itu menjerit dan
terlempar sampai beberapa meter jauhnya, terbanting jatuh dan dari mulut dan hidungnya
mengalir darah, tubuhnya lunglai dan dia sudah tewas karena isi perutnya hancur oleh tendangan
yang amat dahsyat tadi!
Ban Hwa Sengjin tertawa puas melihat ke arah tiga mayat itu. Kemudian, dengan kasar dia
menyeret mayat tiga orang itu dan melempar-lemparkannya ke dalam rumah, kemudian dia
menyiramkan minyak dan membakar rumah itu! Setelah rumah itu berkobar besar dan para pen-
duduk dusun mulai geger, diam-diam Ban Hwa Sengjin menyelinap pergi dari situ tanpa dilihat
seorang pun di antara penduduk dusun.Kini dengan hati lapang Sam-ok Ban Hwa Sengjin
melakukan perjalanan pulang ke Nepal. Dia telah menyusun laporan-laporan palsu kepada Raja
Nepal yang akan diajukannya nanti setibanya di Nepal, tentang kegagalan gerakan di Tiongkok
yang disebabkan oleh kesalahan-kesalahan Pangeran Bharuhendra yang telah tewas pula dalam
pertempuran. Andaikata kegagalan itu membuat dia tidak disukai lagi di Kerajaan Nepal, dia pun
masih dapat bergabung dengan keempat orang saudaranya dalam kedudukan mereka sebagai
Ngo-ok.
Bu Kek Sian Su - Episode 355
Jodoh Rajawali
"Cui Lan, pinni (aku) tahu bahwa engkau mencinta Siluman Kecil, bukan?"
Gadis cantik itu menundukkan mukanya dan biarpun dia berusaha untuk menahannya, namun
tetap saja dua titik air mata bergantung di pelupuk matanya.
Kim Sim Nikouw menarik napas panjang dan untuk sejenak lamanya dia termenung, teringat
akan pengalaman hidupnya sendiri ketika dia masih muda, ketika dia belum menjadi nikouw.
Puluhan tahun yang lalu, ketika dia masih merupakan seorang dara cantik dan muda seperti
Phang Cui Lan ini, ketika namanya masih Kim Cu dan dia merupakan seorang dara perkasa
murid dari Ma-bin Lo-mo, dia pernah juga jatuh cinta mati-matian kepada Suma Han atau Pen-
dekar Super Sakti. Akan tetapi cintanya adalah cinta sepihak dan betapa dia merana dan
mengalami penderitaan batin yang amat hebat. Dia tahu belaka betapa sengsaranya cinta yang
tidak terbalas, akan tetapi sekarang dia melihat betapa semua itu adalah kesalahannya sendiri, -
betapa cinta kasih yang mengharapkan balasan adalah cinta kasih yang berdasar ingin
menyenangkan diri sendiri dan karenanya tentu saja dapat berubah menjadi kesengsaraan
karena pada hakekatnya, kesenangan yang dikejar-kejar adalah muka ke dua dari kesusahan.
Dalam cerita Pendekar Super Sakti diceritakan dengan jelas semua pengalaman dan pen-
deritaan yang diderita oleh nikouw tua ini akibat cintanya yang tidak mendapatkan balasan dari
Suma Han yang dicintanya itu.
"Cui Lan hentikan tangismu dan dengarlah baik-baik segala ucapan pinni. Di waktu pinni masih
muda, pinni pernah mengalami kepahitan hidup akibat cinta seperti yang kaurasakan sekarang
ini, bahkan karena kegagalan cinta itulah yang mendorong pinni menjadi seorang nikouw.
Ketahuilah bahwa cinta pinni terhadap orang yang pinni cinta itu, seperti cintamu terhadap
Siluman Kecil ini, adalah cinta yang palsu, Cui Lan."
Dara itu mengangkat wajahnya yang cantik.
Sepasang matanya yang indah terbelalak karena penasaran dan dua titik air mata itu kini
meloncat turun ke atas kedua pipinya. "Subo.... bagaimana Subo dapat mengatakan demikian?
Teecu (murid).... mencintanya dengan sepenuh jiwa raga teecu...." dia berhenti sebentar,
menunduk lalu mengangkat lagi mukanya memandang wajah nikouw tua itu. "Subo,
bagaimanakah Subo dapat mengatakan bahwa cinta Subo dan cinta teecu itu adalah cinta
palsu?"
"Anak yang baik," kata pendeta wanita itu dengan sikap halus dan penuh iba hati, "Kalau kita
benar-benar mencinta seseorang, tentu kita mementingkan kebahagiaan orang itu, bukan? Kalau
benar kita mencinta seseorang, tentu kita akan ikut merasa bahagia melihat orang yang kita cinta
itu berbahagia hidupnya. Akan tetapi tidak demikian, kita tidak mementingkan keadaan orang itu,
melainkan mementingkan keadaan diri kita sendiri sehingga kalau tidak terpenuhi hasrat hati kita,
yaitu hidup bersama dengan orang yang kita cinta, kita merasa sengsara dan menderita! Apakah
ini disebut cinta, ataukah hanya keinginan kita untuk senang sendiri dengan berdekatan dengan
dia yang kita cinta, sehingga kita mempergunakan dia sebagai sarana untuk menyenangkan diri
belaka?"
"Subo....!" Dara itu terisak. "Teecu memujanya, menghormatnya, mengaguminya dan teecu
mencintanya. Teecu ingin melihat dia berbahagia, akan tetapi juga ingin berdekatan selama
hidup teecu di sampingnya...., salahkah ini?
Nikouw itu tersenyum haru. "Tidak ada yang menyalahkan atau membenarkan, Cui Lan. Pinni
hanya minta agar engkau suka membuka mata melihat kenyataan. Cinta yang mengharapkan
balasan pada hakekatnya adalah nafsu berahi. Tentu saja hal ini bukan berarti pinni
menyalahkan, karena hal itu sudah wajar, timbul dari daya tarik antara pria dan wanita. Akan
tetapi, cinta seperti itu sudah pasti menimbulkan duka pula di samping mendatangkan
kesenangan, anakku. Kalau kita mencinta seseorang dan orang itu tidak membalas cinta kita,
lalu bagaimana?"
"Teecu akan tetap mencintanya...."
"Dengan hati hancur dan menderita?"
Gadis itu mengangguk dan terisak. "Teecu mencintanya dan teecu tahu bahwa teecu tidak cukup
berharga untuk menjadi jodohnya, akan tetapi biarpun dia tidak membalas cinta teecu, teecu
tetap mencintanya sampai akhir hidup teecu...."
Kim Sim Nikouw merangkul dara itu dan mendekapkan kepala dara itu di dadanya. Betapa sama
penderitaan dara ini dengan apa yang dialaminya dahulu. Bahkan dia sendiri meragu apakah
sampai detik ini juga dia dapat melupakan perasaan hatinya terhadap Pendekar Super Sakti!
"Anakku yang baik, mengapa engkau tidak mau membuka mata melihat kenyataan dan
menyadari bahwa engkau menyiksa diri sendiri secara sia-sia? Apakah manfaatnya kedukaan
dan kepatahan hatimu itu untuk dirimu sendiri, apa gunanya pula untuk orang yang kau cinta?
Apa pula gunanya untuk orang lain?"
Mendengar ini, perih rasa hati Cui Lan, dia memejamkan mata dan menggigit bibir yang gemetar
menahan tangis. Air mata jatuh berderai dari kedua matanya. Setelah dapat menenangkan
hatinya, dia lalu berkata, "Subo, apakah yang harus teecu lakukan sekarang? Teecu mohon
petunjuk Subo...."
Kim Sim Nikouw mengelus rambut yang panjang halus itu, lalu mendorong tubuh muridnya
dengan lembut. "Duduklah yang baik, mari kita bicara." Setelah Phang Cui Lan duduk dan meng-
hapus air matanya, wajahnya agak pucat dengan rambut yang kusut namun tidak mengurangi
kecantikannya, nikouw tua itu lalu berkata.
"Cui Lan, engkau telah menceritakan semua riwayat dan pengalamanmu. Menurut pandangan
pinni, sebaiknya kalau engkau pergi menghadap ayah angkatmu, yaitu Gubernur Hok Thian Ki
yang bijaksana itu. Di sana engkau akan terhibur, berada dalam lingkungan keluarga baik-baik
dan terhormat, dan pinni yakin bahwa ayah angkatmu yang bijaksana itu akan dapat mengatur
hidupmu selanjutnya, mencarikan jodoh yang layak untukmu...."
"Akan tetapi, teecu merasa tenteram berada di dekat Subo. Biarlah teecu melayani Subo saja,
teecu tidak ingin menjadi seorang puteri bangsawan terhormat...."
Pendeta itu tersenyum memandang wajah dara yang jelita itu. "Alangkah baiknya watakmu, Cui
Lan. Pinni tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang rendah hati, akan tetapi setelah pinni
mengajarkan ginkang kepadamu, pinni yakin bahwa engkau tidak berbakat untuk menjadi
seorang wanita yang mengandalkan kekerasan, sungguhpun pinni melihat jiwa pendekar yang
gagah berani dalam dirimu. Dan pinni bukan menganjurkan engkau hidup kaya raya dan mulia di
rumah Gubernur Ho-pei, melainkan karena gubernur itu amat baik dan sudah mengangkatmu
sebagai puterinya, maka sudah sepatutnya kalau engkau ikut dengan beliau sebagai puterinya
yang berbakti. Pinni akan mengantarmu ke sana, Cui Lan."
Cui Lan teringat kepada orang tua yang gagah dan bijaksana itu, dan akhirnya dia menurut
karena memang dia sayang dan kagum kepada Gubernur Hok Thian Ki yang pernah mengalami
bahaya bersamanya dan yang telah mengangkatnya sebagai anak itu. Memang, dia sudah tidak
berayah ibu lagi, gubernur itu telah menjadi pengganti orang tuanya, sudah selayaknya kalau dia
pergi menghadap ayah angkat itu.
Demikianlah beberapa hari kemudian Cui Lan diantar oleh Kim Sim Nikouw meninggalkan Kuil
Kwan-im-bio di lereng Bukit Thai-hang-san itu, untuk pergi ke Ho-pei, di mana Hok Thian Ki
menjadi gubernurnya. Selama beberapa bulan ini Phang Cui Lan telah diajari dasar-dasar ilmu
silat tinggi dan terutama sekali dilatih ilmu ginkang sehingga gadis yang lemah lembut itu kini
dapat bergerak dengan cepat, bahkan dapat melakukan perjalanan dengan cepat dan tubuhnya
tidak mudah lelah seperti sebelum dia menjadi murid Kim Sim Nikouw. Biarpun kepandaiannya
belum boleh diandalkan untuk menyerang orang lain, akan tetapi kegesitannya sudah cukup
untuk menghindarkan diri dari serangan orang.
Pada suatu hari, nikouw tua dan dara cantik ini memasuki sebuah hutan di kaki Pegunungan
Thai-hang-san. Dari tempat tinggal nikouw itu, yaitu di Kuil Kwan-im-bio yang letaknya di lereng
Bukit Thai-hang-san, menuju ke daerah Ho-pei tidaklah begitu jauh, akan tetapi harus melalui
banyak hutan liar dan makan waktu perjalanan kurang lebih tiga empat hari.
Pada hari ke tiga itu, mereka memasuki hutan besar dan di dalam hatinya, Kim Sim Nikouw
sudah merasa khawatir sungguhpun dia tidak mengatakan sesuatu kepada Cui Lan. Sebagai
seorang kang-ouw yang berpengalaman, Kim Sim Nikouw dapat menduga bahwa sebuah hutan
besar dan liar seperti itu, biasanya disuka sekali oleh orang-orang jahat yang hendak
menyembunyikan diri dari pengejaran yang berwajib atau juga dari pengejaran para pendekar.
Bu Kek Sian Su - Episode 356
Jodoh Rajawali
Kekhawatiran Kim Sim Nikouw itu memang benar. Pada waktu itu, di dalam hutan ini memang
bersembunyi ketua Liong-sim-pang dan anak buahnya! Seperti kita ketahui, ketua Liong-sim-
pang, yaitu Hwa-i-kongcu Tang Hun telah terseret pula dalam petualangan Pangeran Nepal
sehingga dia bersama anak buah dan para pembantunya ikut pula bersekutu dengan
pemberontak itu. Setelah benteng pemberontak dapat dihancurkan dan Hwai-kongcu Tang Hun
bersama sisa anak buahnya berhasil melarikan diri, tentu saja dia tidak berani kembali ke
sarangnya semula, yaitu Puncak Naga Api yang terletak di Pegunungan Lu-liang-san, melainkan
bersembunyi di dalam hutan besar di kaki Pegunungan Thai-hang-san itu. Dia khawatir kalau-
kalau namanya dan perkumpulannya telah masuk cacatan pemerintah dan sarangnya itu akan
di serbu pasukan pemerintah. Apalagi karena dalam pertempuran di benteng itu, dia telah
ditinggalkan oleh tiga orang tangan kanannya yang dipercaya, yaitu tosu Hak Im Cu, Ban-kin-kwi
Kwan Ok, dan Hai-Liong-pang Ciok Gu To. Tiga orang pandai ini juga melarikan diri dari benteng
dalam keadaan terpencar dan melihat kegagalan Hwa-i-kongcu dalam persekutuan itu, mereka
bertiga lalu terus pergi tanpa pamit lagi. Hwa-i-kongcu hanya berhasil mengumpulkan dua puluh
orang lebih sisa anggauta Liong-sim-pang dan bersama mereka dia cepat kembali ke Puncak
Naga Api untuk mengambil semua hartanya yang ditinggalkan di situ, kemudian membawa
hartanya pergi dan bersembunyilah dia dan anak buahnya di dalam hutan ini, menanti saat baik
untuk membangun kembali perkumpulannya yang menjadi lemah dan rusak akibat gagalnya
persekutuan membantu Pangeran Nepal itu.
Ketika nikouw tua dan dara muda itu sedang berjalan di antara pohon-pohon raksasa dalam
hutan yang sunyi itu, tiba-tiba Kim Sim Nikouw memegang lengan muridnya dan berhenti
melangkah. Biarpun dia sudah tua sekali, namun berkat latihan ketat di waktu mudanya, maka
panca inderanya masih peka dan tajam, pendengarannya masih dapat menangkap suara yang
tidak sewajarnya.
"Ada apakah, Subo?" bisik Phang Cui Lan khawatir ketika melihat wajah subonya yang serius.
"Sssttt...." Kim Sim Nikouw berbisik pula.
Cui Lan makin khawatir, mengira bahwa tentu subonya melihat atau mendengar suara seekor
binatang buas, maka dara ini merasa ngeri juga. Tiba-tiba terdengar suara berisik dan dari balik
pohon-pohon besar itu muncullah seorang laki-laki bertubuh jangkung diikuti oleh lima orang lain.
Melihat munculnya enam orang laki-laki ini, Cui Lan menarik napas lega. Kiranya hanya manusia-
manusia saja dan dara ini menjadi tenang kembali.
"Ah, kalian enam orang gagah sungguh membuat kami berdua terkejut bukan main!" kata Cui
Lan dengan wajah berseri dan senyum ramah. "Kusangka kami akan bertemu dengan harimau
atau ular!" Laki-laki berusia hampir lima puluh tahun yang bertubuh jangkung dan bermuka keras
itu, tertawa mendengar ini dan lima orang temannya tertawa semua. "Ha-ha-ha, Nona Manis,
kalau dibandingkan dengan harimau, kami adalah singa-singa perkasa, dan kalau dibandingkan
dengan ular-ular sesungguhnya kami adalah naga-naga sakti! Setelah berjumpa dengan kami,
kalian berdua harus menyerah untuk menjadi tawanan kami."
"Menjadi tawanan?" Cui Lan bertanya dengan penasaran. Dara ini memang memiliki ketabahan
besar, maka kini dia pun tidak menyembunyikan kemarahannya dan sedikit pun tidak kelihatan
takut karena dia merasa berada di fihak yang benar. "Apakah kesalahan kami berdua. Dan untuk
apa kami hendak ditawan?"
Kembali enam orang itu tertawa dan si jangkung membusungkan dada. "Kalian telah memasuki
wilayah kami dan kalian harus kami tawan untuk kami hadapkan kepada pimpinan kami!"
Kim Sim Nikouw sudah maklum bahwa dia dan muridnya berhadapan dengan gerombolan
perampok atau orang-orang jahat, maka dia sudah mengerutkan alisnya dan kini dia segera
berkata halus, "Omitohud.... kami berdua hanyalah seorang nikouw tua dan seorang gadis muda
yang lemah dan miskin, tidak mempunyai apa-apa, maka, demi Dewi Kwan Im yang pengasih
dan penyayang, harap Cu-wi (Anda sekalian) yang gagah perkasa tidak mengganggu kami."
Si jangkung itu membelalakkan matanya. "Eh, nikouw tua, jangan ngoceh engkau! Kaukira kami
ini perampokperampok? Phuh! Kami adalah orang-orang gagah perkasa dari Liong-sim-pang,
tahu?"
Sudah puluhan tahun lamanya Kim Sim Nikouw tidak lagi berkecimpung di dalam dunia kang-
ouw, tentu saja dia belum pernah mendengar akan nama perkumpulan Liong-sim-pang itu. Akan
tetapi melihat sikap sombong dari si jangkung ini saja sudah dapat dinilai olehnya macam apa
adanya Perkumpulan Hati Naga itu. Dia cepat menjura dan berkata, "Ah, kiranya Cu-wi adalah
orang-orang gagah dari perkumpulan besar. Makin baik kalau begitu, karena pinni percaya
bahwa Cu-wi tidak akan mengganggu kami. Hendaknya Cu-wi ketahui bahwa pinni sedang
mengantarkan nona ini untuk menghadap Gubernur Ho-pei. Nona ini adalah puteri angkat beliau,
maka harap Cu-wi suka membiarkan kami melanjutkan perjalanan."
"Puteri angkat Gubernur Ho-pei? Ahhh....!" Enam orang itu terbelalak dan kelihatan terkejut dan
girang sekali. Kim Sim Nikouw sengaja menggunakan nama gubernur untuk mengusir mereka
karena biarpun dia tidak merasa takut, akan tetapi nenek ini sudah tidak mempunyai minat lagi
untuk mengunakan kekerasan bertempur melawan orang lain. Usianya sudah hampir enam puluh
tahun dan sudah puluhan tahun dia tidak pernah berkelahi, bahkan jarang sekali berlatih
sungguhpun selama puluhan tahun itu dia telah menemukan rahasia ilmu ginkang yang luar
biasa sekali.
Biarpun Cui Lan sendiri merasa tidak setuju mendengar gurunya membawa bawa nama ayah
angkatnya menghadapi orang-orang kasar ini karena dia sendiri sama sekali tidak merasa takut,
akan tetapi melihat wajah girang mereka, dara ini mengira bahwa mereka sudah mengenal ayah
angkatnya dan menghormatnya, maka dia pun tersenyum dan berkata, "Setelah Cu-wi mengenal
ayah angkatku, maka harap Cu-wi suka membiarkan kami melanjutkan perjalanan. Setelah
bertemu dengan beliau, tentu aku akan melaporkan tentang kebaikan kalian. Sekarang ini,
seperti dikatakan Subo, kami adalah orang-orang miskin dan aku tidak mempunyai apa-apa...."
Cui Lan menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba si jangkung itu tertawa bergelak diikuti oleh
teman-temannya. "Ha-ha-ha, engkau bilang tidak mempunyai apa-apa, Nona? Ha-ha-ha, engkau
memiliki sesuatu yang amat berharga sekali, yaitu kecantikan dan kemudaanmu. Kongcu tentu
akan tertarik sekali kepadamu, karena itu, marilah engkau ikut bersama kami menghadap kongcu
dan nenek tua ini tidak ada gunanya, biar dia melanjutkan perjalanannya seorang diri saja."
"Jiu-twako, mengapa tidak bunuh saja nenek ini biar menjadi makanan binatang hutan dan agar
dia tidak dapat banyak bicara tentang kita di sini?" berkata seorang di antara mereka yang
mukanya penuh brewok dan kata-katanya ini agaknya didukung oleh teman-temannya.
"Bunuh juga lebih baik!" kata si jangkung dan tentu saja Cui Lan menjadi terkejut bukan main dan
bangkitlah kemarahannya. Dengan mata terbuka lebar dan dada dibusungkan, dia menghadang
di depan subonya dan menentang enam orang laki-laki kasar itu.
"Hemmm, apa yang kalian hendak perbuat? Apakah seperti itu sikap orang-orang gagah yang
menamakan dirinya anggauta-anggauta perkumpulan Liong-sim-pang yang gagah perkasa?
Mundurlah, kalau tidak, tentu kejahatan kalian kelak akan menerima hukuman dari pemerintah
dan dari Tuhan!"
Enam orang itu tertawa terkekeh-kekeh mendengar ucapan ini. "Ha-ha-ha, kawan-kawan, lihat,
nona ini selain cantik jelita, juga memiliki keberanian! Kongcu tentu akan girang melihatnya.
Kurasa, dibandingkan dengan Puteri Bhutan itu, dia ini masih tidak kalah!"
Kim Sim Nikouw melihat gelagat tidak baik, maka dia menarik tangan muridnya dan berkata, "Cui
Lan, mundurlah." Kemudian dia menghadapi enam orang itu dan berkata lagi dengan halus,
"Harap Cu-wi suka mempertimbangkan lagi apa keuntungan Cu-wi mengganggu kami, seorang
wanita tua dan seorang gadis lemah. Apakah Cu-wi tidak khawatir nama baik Cu-wi akan
ternoda?"
Bu Kek Sian Su - Episode 357
Jodoh Rajawali
Si jangkung membentak, "Nikouw tua jangan cerewet! Dengar, aku adalah Jiu Koan, tokoh Liong-
sim-pang yang terkenal jagoan dan tentu saja aku tidak sudi mengganggu nenek-nenek tua dan
seorang dara yang lemah. Akan tetapi kami tidak ingin mengganggu kalian. Aku hanya ingin
mengajak nona ini menghadap kongcu yang sedang kesepian, sedangkan engkau, kalau engkau
menjadi bujang dan melayani kongcu akan kami ajak sekalian. Kalau tidak, nona ini akan kami
bawa dan engkau akan kami berikan kepada binatang-binatang buas di hutan ini untuk dimakan!"
Kim Sim Nikouw memejamkan mata sejenak untuk merasakan api kemarahan yang terasa di
dada dan kepalanya, kemudian dia membuka kembali matanya, memandang kepada Jiu Koan
jagoan Liong-sim-pang itu dengan sinar mata tetap lembut dan dia menarik napas panjang
berkali-kali sehingga api kemarahan itu padam kembali.
"Omitohud.... kalian menggunakan kekerasaan untuk melakukan perbuatan jahat, tidak tahukah
kalian bahwa hal itu akan menimpa kalian sendiri?"
"Jiu-twako, mengapa melayani nenek-nenek cerewet? Biar kusembelih saja dia!" bentak si
brewok sambil mencabut sebuah golok dari punggungnya, ditertawakan oleh teman-temannya.
Jiu Koan mengangguk, kemudian tiba-tiba dia sendiri bergerak menubruk ke arah Cui Lan untuk
menangkap dara itu, sementara itu, si brewok sudah memutar goloknya lalu dibabatkan golok itu
ke arah leher Kim Sim Nikouw!
"Ihhhhh....!" Cui Lan menjerit ngeri akan tetapi dengan ringan sekali tubuhnya sudah meloncat ke
samping sehingga Jiu Koan hanya menubruk tempat kosong belaka! Inilah hasil beberapa bulan
digembleng oleh Kim Sim Nikouw dalam hal ginkang! Melihat betapa mudahnya dia mengelak,
Cui Lan menjadi besar hati dan dia bersikap waspada memandang kepada si jangkung yang
kelihatan terheran itu. Akan tetapi si jangkung Jiu Koan tidak berusaha menubruknya kembali
karena tertarik untuk menonton si brewok yang sudah mulai menyerang nikouw tua itu.
Enam orang itu terkejut sekali seperti juga si brewok karena biarpun si brewok menyerang
sedemikian cepatnya, ketika golok itu menyambar, tubuh nenek itu tiba-tiba saja lenyap! Jiu Koan
sendiri melihat betapa cepatnya gerakan nenek itu, seperti kapas ringannya, melayang ke kanan
ketika golok menyambar. Dia menjadi penasaran dan mulai menduga bahwa nikouw itu tentu
memiliki kepandaian, maka dia mengambil kesimpulan bahwa kalau nikouw ini tidak dibunuh
lebih dulu, tentu akan sukar baginya untuk dapat menawan dara cantik jelita yang tentu akan
menyenangkan hati kongcunya itu. Maka setelah mencabut goloknya, golok yang amat
diandalkannya, dia lalu berseru nyaring kepada kawan-kawannya, "Hayo kalian bantu, bunuh
nikouw tua itu!"
Empat orang kawannya cepat mengeluarkan senjata masing-masing dan beramai-ramai mereka
berlima lalu mengeroyok Kim Sim Nikouw. Hujan senjata menyambar ke arah tubuh nikouw itu,
menyilaukan mata sinar golok dan pedang yang berkilat-kilat. Namun sungguh mengejutkan
mereka karena biarpun mereka kadang-kadang dapat melihat dengan jelas tubuh atau bayangan
nenek itu, tidak ada satu pun di antara serangan-serangan mereka mengenai sasaran! Nenek tua
itu seperti pandai menghilang saja dan tahu-tahu, begitu diserang, bayangan itu lenyap dan telah
berada di tempat lain, di belakang atau di kanan kiri mereka! Tentu saja hal ini memancing rasa
penasaran mereka dan lima orang itu menyerang lebih ganas lagi.
Penyerangan orang-orang kasar itu tentu saja sama sekali tidak ada artinya bagi Kim Sim
Nikouw, merupakan serangan sekumpulan anak-anak yang canggung dan kaku belaka dan
dengan ginkangnya yang sudah mencapai tingkat amat tinggi itu dengan mudah dia dapat
mengelak ke sana-sini. Jangankan baru lima orang kasar itu, biar ditambah lagi dengan lima
puluh orang macam mereka, kiranya belum tentu akan mampu melukai nenek ini dengan senjata
mereka! Kalau nikouw tua itu menghendaki, dengan sedikit gerakan berdasarkan ilmu ganas
Toat-beng Sin-ciang (Tangan Sakti Pencabut Nyawa), atau Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti
Salju), maka dengan mudah dia akan dapat merobohkan mereka. Hanya saja hati nikouw ini
merasa tidak tega. Setelah puluhan tahun lamanya menghayati ajaran-ajaran Dewi Kwan Im
yang penuh welas asih, ia merasa tidak tega untuk membalas kekerasan orang dengan
kekerasan pula. Dia melihat perbuatan keras dan kasar itu bukan sebagai suatu kejahatan,
melainkan sebagai suatu kebodohan dan orang-orang itu tidak menimbulkan kebencian di dalam
hatinya, malah baginya patut dikasihani! Inilah sebabnya mengapa sampai sekian lamanya Kim
Sim Nikouw hanya mengelak saja tanpa mau membalas.
Jiu Koan, tokoh Liong-sim-pang yang sombong itu, tentu saja terkejut bukan main melihat betapa
nenek itu dapat berkelebat seperti seekor burung di antara kilatan golok dan pedang anak buah-
nya, sedikit pun tidak pernah tersentuh. Dia menjadi penasaran sekali dan sambil berseru keras
dia pun menerjang ke depan, menusukkan goloknya ke arah punggung nenek itu. Kim Sim
Nikouw mengelak dengan tubuh dimiringkan, akan tetapi golok yang luput menusuk itu telah
membalik dan membabat ke arah lehernya! Tahulah Kim Sim Nikouw bahwa Jiu Koan ini
memiliki kepandaian yang tidak boleh disamakan dengan kekasaran lima orang anak buahnya,
maka dengan cepat nikouw tua ini mengenjot kakinya dan tubuhnya sudah mencelat ke
belakang, membuat babatan golok di tangan Jiu Koan itu mengenai angin kosong saja.
Bu Kek Sian Su - Episode 358
Jodoh Rajawali
Enam orang Liong-sim-pang itu makin penasaran dan kini mereka terus menyerang bertubi-tubi,
sama sekali tidak ingat akan kegagahan mereka yang sepatutnya tersinggung dan membuat
mereka malu karena mereka adalah enam orang laki-laki yang selalu menganggap diri sendiri
gagah perkasa, akan tetapi kini mengeroyok seorang nikouw tua yang sama sekali tidak pernah
mau balas menyerang!
Kim Sim Nikouw akhirnya maklum bahwa kalau dia tidak mengalahkan mereka, enam orang
yang tidak tahu diri ini tentu akan terus menyerang, dan dia pun mengkhawatirkan keselamatan
Cui Lan, maka tiba-tiba nenek tua itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan di lain saat,
terdengar pekik kaget berturut-turut golok dan pedang mereka terlepas dari tangan dan telah
dirampas semua oleh Kim Sim Nikouw.
"Omitohud, kalian terlalu mendesak....!" Kim Sim Nikouw berseru dan satu demi satu dia
mematahkan pedang dan golok itu dengan jari-jari tangannya yang kurus dan kecil. Mendengar
suara "pletak-pletak" dan melihat betapa golok dan pedang mereka itu dipatahkan seperti orang
mematahkan lidi saja, enam orang itu terbelalak dengan muka pucat! Tahulah mereka sekarang
bahwa nikouw tua itu ternyata adalah seorang yang sakti, memiliki kepandaian yang amat tinggi
dan luar biasa. Selagi mereka terbelalak dan tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar
suara orang di belakang mereka.
"Apakah yang sedang terjadi di sini?" Legalah hati Jiu Koan dan anak buahnya mendengar suara
ini. Jiu Koan cepat membalik dan menghadap seorang laki-laki muda yang usianya tiga puluh
tahun lebih akan tetapi masih nampak muda sekali, nampaknya baru berusia dua puluhan tahun
lebih, pakaiannya serba baru dengan baju berkembang-kembang, sepatunya mengkilap, seorang
yang tampan dan pesolek, yang kini berdiri dan biarpun dia bertanya kepada anak buahnya,
namun sepasang matanya dengan jalang melahap kecantikan Cui Lan yang berdiri tidak jauh dari
tempat itu. Dengan tangan kiri memegang kipas yang dikembangkan, maka Hwa-i-kongcu Tang
Hun, ketua Liong-sim-pang ini pantas menjadi seorang sastrawan yang sopan dan halus budi!
Mukanya putih seperti dibedaki, dan di punggungnya nampak gagang sebatang pedang yang
terukir indah dan dihias ronce merah!
"Kongcu, nenek ini lihai bukan main dan kami tak berdaya terhadapnya. Senjata kami
dirampasnya, harap Kongcu suka menghajarnya!"
Hwa-i-kongcu Tang Hun mengerutkan alisnya, akan tetapi mulutnya masih tersenyum dan
matanya mengerling tajam ke arah Cui Lan yang tentu saja merasa tidak enak dan juga agak tak
senang melihat kekurangajaran dalam mata pemuda asing itu.
"Jiu Koan, ceritakan yang jelas mengapa kalian ribut-ribut dengan Lo-suthai ini," kata Hwa-i-
kongcu, suaranya halus sikapnya menarik dan sopan.
"Kongcu, kami melihat nenek dan nona ini lewat di sini, melanggar wilayah kita, maka kami
bermaksud untuk menghadapkan nona itu kepada Kongcu. Akan tetapi nikouw tua ini melarang
dan kami lalu menyerangnya...."
"Seorang gagah perkasa harus malu untuk berbohong!" tiba-tiba Cui Lan berkata lantang.
"Hendaknya Kongcu tidak sembarangan percaya pelaporan orang-orang yang pengecut ini! Kami
guru dan murid lewat di sini dalam perjalanan kami ke daerah Ho-pei, mana kami tahu bahwa
hutan ini menjadi wilayah kekuasaan mereka? Si jangkung ini lalu hendak menangkap aku dan
hendak membunuh Subo, dan Subo hanya membela diri saja ketika hendak dibunuh. Harap
Kongcu membiarkan kami berdua guru dan murid melanjutkan perjalanan kami."
"Kongcu, nona itu adalah puteri angkat Gubernur Hok Thian Ki di Ho-pei!" tiba-tiba si jangkung
berkata dan berubahlah wajah Tang Hun. Dia tersenyum dan matanya menatap wajah cantik Cui
Lan.
"Ah, kiranya Siocia adalah puteri angkat Gubernur Ho-pei? Selamat datang di wilayah kami dan
kupersilakan Nona untuk sudi singgah di gubukku sebagai seorang tamu terhormat."
Cui Lan mengerutkan alisnya. Biarpun pemuda itu tampan dan lemah lembut, juga sopan santun,
namun dia melihat betapa di balik sinar mata dan senyum pemuda itu terdapat sesuatu yang me-
nyeramkan dan mengerikan hatinya. Dia tidak menjawab, akan tetapi Kim Sim Nikouw yang juga
segera mengenal orang, segera menjura.
"Ah, kiranya Kongcu adalah pimpinan Liong-sim-pang? Harap maafkan pinni dan murid pinni
yang tanpa disengaja melanggar wilayah Kongcu. Kami sedang tergesa-gesa, maka harap
maafkan bahwa pinni dan murid pinni tidak ada kesempatan untuk berkunjung."
"Siapakah Lo-suthai?" Tiba-tiba suara pemuda itu berubah, tidak semanis tadi, bahkan kelihatan
marah. Memang sesungguhnya hati Tang Hun sudah terasa panas melihat betapa enam orang
anak buahnya dibuat tidak berdaya oleh nenek tua ini.
"Pinni adalah Kim Sim Nikouw, ketua dari Kwan-im-bio yang berada di lereng Thai-hang-san,
Kongcu. Dan murid pinni ini adalah Phang Cui Lan, puteri angkat dari Gubernur Ho-pei. Kami
sedang menuju ke sana untuk menghadap gubernur." Nikouw itu menjelaskan sejujurnya.
"Hemmm, Suthai adalah seorang pemuja Dewi Welas Asih, akan tetapi Suthai sendiri tidak
memiliki welas asih dalam hati Suthai"
"Maksud Kongcu?" Kim Sim Nikouw bertanya heran.
"Kalau Suthai niemiliki hati penuh welas asih, tentu Suthai akan meninggalkan nona ini di sini dan
Suthai boleh pergi."
"Kongcu, apa maksudmu?"
"Suthai tentu maklum betapa tersiksanya seorang pria yang sedang kesepian seperti saya ini.
Dan melihat nona ini, anak buahku ingin menghibur hatiku dengan persembahan berupa nona ini.
Kalau Suthai kasihan kepada saya, tentu Suthai juga tidak berkeberatan untuk menyerahkan
nona ini kepadaku, untuk menghibur hatiku yang sedang kesepian...."
"Eh, Kongcu yang rendah budi!" Cui Lan berseru marah. "Aturan mana itu? Melihat gerak-gerik
dan pakaianmu, tentu engkau seorang yang tahu akan peraturan dan kebudayaan, mengapa
dapat mengeluarkan kata-kata yang rendah itu?"
Tang Hun tersenyum. "Nona Phang Cui Lan, begitu melihatmu aku sudah jatuh cinta kepadamu.
Engkau begini cantik jelita, halus budi dan penuh keberanian. Sungguh pantas kalau menjadi
teman hidupku! Jiu Koan, ajak teman-teman tangkap nona itu, akan tetapi jangan lukai dia dan
jangan bersikap kasar, dia adalah milikku yang harus kalian hormati."
"Tapi.... tapi dia...." Jiu Koan memandang ke arah Kim Sim Nikouw dengan sikap jerih.
"Serahkan nikouw tua ini kepadaku!"
Setelah berkata demikian, secara tiba-tiba sekali Hwa-i-kongcu Tang Hun sudah menerjang
maju, tangan kanannya menampar ke arah pelipis dan tangan kirinya menghadang lalu
mencengkeram lambung. Serangan ini ganas bukan main!
"Omitohud....!" Kim Sim Nikouw berseru kaget sekali, akan tetapi kegesitan gerakannya masih
mengatasi kecepatan serangan lawan dan sebelum kedua tangan lawan itu menyentuh ujung
baju, dia sudah mengelak sehingga serangan pertama itu luput!
Akan tetapi, Hwa-i-kongcu terus menyerangnya dengan bertubi-tubi. Sedemikian hebat serangan
pemuda pesolek itu sehingga biarpun Kim Sim Nikouw memiliki kecepatan gerakan yang luar
biasa dan semua serangan Hwa-i-kongcu dapat dielakkannya dengan mudah, namun nenek ini
maklum pula bahwa menghadapi seorang yang memiliki tingkat kepandaian seperti pemuda
pesolek ini, jelas bahwa dia tidak mungkin dapat mengandalkan kecepatan untuk terus-menerus
mengelak saja. Pukulan-pukulan yang dilakukan oleh lawannya itu bukanlah pukulan kasar yang
dapat dielakkannya dengan mudah, melainkan pukulan yang mengandung tenaga sinkang
sehingga amatlah berbahaya baginya kalau dia hanya mengelak terus-menerus. Oleh karena itu,
mulailah nikouw tua ini bersilat dan terpaksa dia lalu mengeluarkan ilmu pukulan yang selama ini
disimpannya sebagai rahasia dirinya, yaitu Toat-beng Sin-ciang dan kadang-kadang Swat-im Sin-
ciang. Penggabungan pukulan seperti yang dilatih oleh Siluman Kecil atas petunjuk dan
bantuannya, sama sekali tidak pernah dipelajarinya sendiri karena dianggap terlalu kejam,
bertentangan dengan hati dan sifatnya yang menentang kekerasan.
Melihat gerakan tangan nikouw itu, bukan main kagetnya Hwa-i-kongcu. Yang dihadapi adalah
seorang nikouw pemuja Kwan Im Pouwsat yang demikian lemah lembut dan suci, akan tetapi
mengapa gerakan tangannya demikian kejinya, membayangkan ilmu yang luar biasa ganasnya
dan ampuhnya? Dia tidak tahu bahwa Kim Sim Nikouw dahulunya di waktu muda adalah murid
datuk-datuk ilmu persilatan yang termasuk datuk kaum sesat!
Bu Kek Sian Su - Episode 359
Jodoh Rajawali
Akan tetapi, karena memang kurang latihan, akhirnya Kim Sim Nikouw harus mengakui
keunggulan murid dari nenek iblis Durganini itu. Apalagi ketika dalam penasaran dan marahnya
Hwa-i-kongcu Tang Hun mencabut pedangnya yang tipis, terpaksa Kim Sim Nikouw kembali
mengandalkan ginkangnya untuk mengelak ke sana-sini. Sebetulnya yang membuat dia terdesak
adalah karena nikouw tua ini sama sekali tidak ada maksud untuk membunuh lawan, berbeda
dengan lawannya yang bernafsu untuk membunuhnya. Hal ini tentu saja amat mempengaruhi
jalannya pertempuran. Kalau dia selalu berhati-hati dan hanya melakukan serangan balasan
yang sifatnya menjaga diri saja, sebaliknya lawan menghujankan serangan maut untuk
membunuh.
Sementara itu, biarpun dia telah mengerahkan ginkangnya untuk mengelak dan lari ke sana ke
mari, akhirnya Cui Lan tertangkap juga dan begitu lengannya kena ditangkap, dara itu tak
mampu lari lagi dan segera diringkus oleh Jiu Koan yang tertawa-tawa. Akan tetapi karena sudah
dipesan oleh Hwa-i-kongcu, maka dia dan kawan-kawannya tidak berani bersikap kasar atau
kurang ajar terhadap dara itu, hanya mengikat kedua tangan dara itu ke belakang tubuhnya
dengan saputangan. Tertawannya dara itu membuat Kim Sim Nikouw makin bingung dan nyaris
pundaknya dimakan pedang kalau saja dia tidak cepat melempar diri ke belakang dan terus
berjungkir-balik dan melarikan diri dari tempat itu!
"Subo....!" Phang Cui Lan berseru memanggil akan tetapi nikouw itu telah berkelebat lenyap dari
situ.
"Kejar dia! Nenek itu harus dibunuh karena dia sudah tahu tempat kita!" Hwa-i-kongcu berseru
kepada Jiu Koan dan teman-temannya yang segera lari mengejar ke arah berkelebatnya
bayangan nikouw itu, sedangkan Hwa-i-kongcu lalu memondong tubuh Phang Cui Lan, dibawa
lari memasuki hutan lebat. Dara itu meronta dan memaki, akan tetapi tentu saja tak mampu
berkutik dalam pondongan Hwa-i-kongcu yang hanya tertawa gembira.
Kenapa Kim Sim Nikouw melarikan diri dan meninggalkan Cui Lan begitu saja terancam bahaya
di tangan pemuda cabul itu? Apakah nikouw tua yang di waktu mudanya adalah seorang
pendekar wanita gagah perkasa itu kini menjadi penakut dan pengecut yang membiarkan
muridnya terancam bahaya? Tentu saja tidak demikian, Kim Sim Nikouw maklum bahwa kalau
dia mengandalkan kekuatannya sendiri saja dia tidak akan mampu menyelamatkan Cui Lan,
bahkan dia sendiri yang akan celaka karena Hwai-kongcu Tang Hun ternyata amat lihai dan
agaknya memiliki banyak anak buah. Oleh karena itulah maka dia sengaja melarikan diri untuk
mencari bantuan! Karena daerah itu sudah termasuk wilayah Propinsi Ho-pei, maka dia akan ce-
pat mencari pembesar setempat untuk minta bantuan pasukan keamanan untuk menolong puteri
angkat gubernur yang tertawan orang jahat. Kalau pembesar setempat mendengar bahwa yang
tertawan Hwa-i-kongcu adalah puteri angkat Gubernur Hok Thian Ki, sudah pasti pembesar itu
mau membantu.
Ketika nikouw tua itu sudah mulai berpeluh dan terengah-engah karena sejak tadi melakukan
perjalanan dengan berlari cepat, tiba-tiba dia mendengar seruan dari samping, "Ibu....! Mengapa
tergesa-gesa? Hendak pergi ke manakah?"
"Kian Bu....!" Kim Sim Nikouw girang bukan main ketika dia menahan kakinya dan menengok,
melihat bahwa yang menegurnya itu adalah seorang pemuda berambut putih yang bukan lain
adalah Suma Kian Bu, pemuda yang menjadi muridnya, juga menjadi anak angkatnya itu,
pemuda putera Suma Han atau Pendekar Super Sakti, satu-satunya pria yang pernah dan masih
dicintanya! Saking girangnya, Kim Sim Nikouw menubruk dan merangkul Kian Bu dengan air
mata berlinang.
"Eh, Ibu menangis?" Kian Bu terkejut bukan main. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini
mengejar dan mencari Kian Lee, kakaknya yang lari melakukan pengejaran terhadap Pangeran
Liong Bian Cu yang membawa pergi Hwee Li. Akan tetapi karena dia tidak tahu ke mana
kakaknya itu lari, dia salah jalan dan tidak berhasil menyusul Kian Lee. Ketika dia tiba di
perbatasan Propinsi Ho-nan dan Ho-pei, dia teringat kepada Kim Sim Nikouw, gurunya dan juga
ibu angkatnya itu, maka dia lalu membelok dan bermaksud mengunjungi Kwan-im-bio di lereng
Thai-hang-san dan tak disangkanya, dia melihat nikouw itu berkelebat cepat maka segera
dipanggilnya. Kini melihat nikouw tua itu berlinang air mata, dia terkejut sekali.
"Kian Bu, anakku, engkau harus cepat menolong dia! Hayo kau ikut denganku!" Setelah berkata
demikian, nikouw itu menarik tangan Kian Bu dan cepat berlari ke arah yang berlawanan dengan
tadi.
Terpaksa Kian Bu juga mempergunakan ilmunya berlari cepat sehingga nenek dan pemuda ini
berlari cepat sekali menuju ke sebuah hutan besar yang nampak dari situ.
"Dia siapakah, Ibu?" Kian Bu bertanya karena dia merasa heran dan ingin tahu sekali mengapa
ibu angkatnya kelihatan begitu gugup dan bingung, suatu sikap yang amat berlawanan dengan
sikap nikouw ini yang biasanya tenang dan lemah lembut.
"Dia.... Phang Cui Lan," jawab nikouw itu sambil terus berlari, bahkan mempercepat larinya,
padahal napasnya sudah terengah-engah.
"Phang Cui Lan....? Siapa dia....?" Kian Bu bertanya lagi. "Dan apa yang telah terjadi dengan
dia?"
Tiba-tiba Kim Sim Nikouw menghentikan langkahnya, terengah-engah dan menghapus keringat
dari muka dan lehernya, matanya memandang kepada Klan Bu dengan marah dan dia berkata
penuh teguran, "Kian Bu, engkau laki-laki tak berjantung!"
Kian Bu memandang kepada nikouw itu dengan mata terbelalak. "Apa.... apa maksud Ibu
berkata demikian?"
"Dara itu memujamu seperti dewa, mencintamu melebihi jiwa raganya sendiri, dan engkau....
namanya pun kau lupakan! Betapa kejam engkau....!"
"Ahhh....?" Kian Bu terkejut dan mengingat-ingat nama itu, namun tetap saja tak dapat diingat
dan dikenalnya.
"Lupakah kau kepada puteri mendiang lurah dusun Cian-Ii-cung di dekat Lokyang?"
"Ahhh....! Kiranya dia....!" Tentu saja kini teringat oleh Kian Bu dara cantik yang dia tahu tergila-
gila dan jatuh cinta kepadanya itu. Dara yang ditolongnya ketika dusunnya diserbu perampok, ke-
luarga ayahnya terbunuh semua, kemudian dia menitipkan dara itu sebagai dayang di gedung
Gubernur Ho-nan. Dan dara itu muncul kembali ketika dia bertanding melawan Sin-siauw Seng-
jin. Dalam pertemuan itu dia sengaja bersikap kasar kepada dara itu untuk meyakinkan hati dara
itu bahwa dia tidak mencintanya karena sikap ini dianggapnya sebagai satu-satunya obat untuk
menyembuhkan dara itu. Siapa kira, kini dara itu agaknya dikenal oleh Kim Sim Nikouw dan
terjadi sesuatu yang membuat nikouw itu demikian gelisah.
"Apa yang terjadi dengan dia, Ibu?"
"Dia ditawan oleh ketua Liong-simpang dan aku tidak berhasil menyelamatkannya, hayo kau
cepat tolong dia!" Nikouw itu sudah berlari-lari dan Kian Bu cepat menyusulnya.
"Mari kau kugendong saja agar cepat, Ibu, kau sudah lelah sekali!" kata pemuda itu dan tanpa
menanti jawaban, dia sudah menyambar dan memondong tubuh nikouw tua itu dan dibawanya
lari secepat angin. "Harap kautunjukkan jalannya."
Kim Sim Nikouw memandang pemuda itu dengan hati penuh kagum. Dia yang mengajarkan ilmu
ginkang kepada pemuda ini, akan tetapi dibandingkan dengan pemuda ini, dia sekarang kalah
jauh! Dan berada dalam pondongan pemuda ini, ada rasa keharuan menyengat hatinya karena
dia membayangkan bahwa yang memondongnya bukan Suma Kian Bu melainkan ayahnya,
Suma Han! Akan tetapi dengan muka berubah merah Kim Sim Nikouw cepat mengusir bayangan
itu dan mengalihkan perhatiannya untuk menunjukkan jalan kepada Kian Bu memasuki hutan di
mana tadi dia meninggalkan Cui Lan yang tertawan oleh Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari
Liong-sim-pang.
Sementara itu, dengan hati girang dan gembira sekali Tang Hun memondong tubuh Cui Lan dan
dibawa masuk ke dalam sebuah pondok kayu yang kokoh kuat, pondok yang dibuat oleh anak
buahnya di tengah hutan sebagai tempat tinggal dan tempat sembunyi sementara itu. Hatinya
gembira bukan main karena dara yang ditawannya ini benar-benar amat cantik jelita! Hatinya
sedang kesal dan berduka oleh semua kegagalannya, maka dara ini akan dapat menghiburnya di
tengah hutan itu dan karena dara ini amat cantik dan lemah lembut, apalagi dikabarkan sebagai
puteri angkat gubernur, maka dia tidak mau memperkosanya secara kasar. Tang Hun adalah
seorang laki-laki hidung belang dan cabul, akan tetapi dia pun amat cerdik dan memiliki ambisi
besar. Baru saja, dalam membantu Pangeran Nepal, dia mengalami kegagalan yang amat
merugikan sehingga terpaksa dia menyembunyikan diri ke dalam hutan karena takut kalau diburu
sebagai pemberontak, akan tetapi kini terbukalah kesempatan baginya untuk menebus ke-
gagalannya itu!
Dia mempunyai dua kesempatan yang amat baik dengan tertawannya puteri angkat Gubernur
Ho-pei itu. Kalau dia pandai membujuk rayu sampai dara cantik jelita itu menyerah dengan suka
rela, dan dia yakin akan berhasil dalam hal ini, maka selain dia akan memperisteri seorang
wanita yang amat jelita, juga dia akan menjadi mantu gubernur! Bukan main kenyataan ini,
karena seketika dia akan terangkat tinggi sekali dalam kedudukan yang amat terhormat dan tentu
gubernur itu akan melindungi mantunya! Andaikata keadaannya berbalik dan dara cantik manis
itu tidak mau menyerah dengan suka rela, dia masih dapat memanfaatkannya, yaitu
menjadikannya sandera untuk melindungi dirinya jika dia diserbu dan diburu oleh pasukan
pemerintah, dan tentu saja dia tetap akan dapat bersenang-senang dan menjadikan dara itu
kekasihnya, baik secara halus atau secara kasar!
Bu Kek Sian Su - Episode 360
Jodoh Rajawali
Berbareng dengan kata terakhir itu, secara tiba-tiba dan cepat sekali Tang Hun sudah menubruk
ke depan. Dia mengambil keputusan untuk secara paksa mencemarkan gadis ini dan
menundukkannya dengan kekerasan. Dia percaya bahwa gadis ini setelah ditundukkan dengan
paksaan, setelah diperkosanya akan kehilangan pula keangkuhannya dan akan patuh dan
menurut, seperti yang sudah banyak dia alami dengan gadis-gadis yang pernah diperolehnya
dengan cara apa pun juga. Biasanya, seorang dara yang angkuh seperti ini, sekali kehilangan
kehormatannya akan menjadi jinak dan patah semangat.
"Eh....?" Tang Hun terkejut bukan main ketika tubrukannya itu mengenai tempat kosong karena
dengan kecepatan luar biasa dara itu telah dapat mengelak dari tubrukan itu! Tak disangkanya
dara itu memiliki gerakan sedemikian cepatnya. Akan tetapi dianggapnya bahwa tentu gerakan
mengelak itu hanya kebetulan saja, maka kembali dia menubruk, sekali ini lebih cepat dan ganas,
kedua tangannya membentuk cakar karena dia ingin mencengkeram pakaian dara itu untuk
direnggut dan dicabik-cabiknya, kebiasaan yang amat disukainya kalau dia memperkosa wanita.
Akan tetapi, kembali tubrukannya luput! Dengan ringan Cui Lan yang melihat bahaya
mengancam itu sudah meloncat, mengerahkan seluruh ginkangnya yang telah dipelajari selama
ini dari Kim Sim Nikouw. Wajah dara ini menjadi pucat, dia merasa ngeri dan maklum bahwa dia
terancam bahaya yang lebih hebat daripada maut, akan tetapi sampai mati pun dia tidak akan
menyerah dan kalau dia sudah tidak melihat jalan lain, dia mengambil keputusan untuk mem-
bunuh dirinya sendiri dan pria ini hanya akan memperoleh mayatnya saja. Untuk itu dia telah
bersiap-siap, kalau sudah tidak ada jalan keluar, dia akan membenturkan kepalanya pada dinding
kamar itu!
"Hemmm.... kiranya engkau memiliki ginkang yang boleh juga....!" Tang Hun berkata memuji dan
pandang mata yang marah itu bercampur kagum dan timbullah rasa sayang di dalam hatinya.
"Nona, engkau adalah seoranvg dara yang cantik jelita, memiliki kepandaian lumayan dan
engkau puteri gubernur, mengapa engkau tidak mau mempergunakan pikiran sehat? Ketahuilah
bahwa aku adalah seorang pemuda yang belum beristeri dan aku jatuh cinta padamu. Kalau kita
menjadi suami isteri, bukankah sudah sepadan sekali dan engkau akan hidup serba kecukupan."
"Tidak sudi....! Tidak sudi....!" Cui Lan berseru dengan marah pula.
"Nona, pikirlah baik-baik. Kalau engkau menerima dengan suka rela, aku akan memperlakukan
engkau dengan hormat sebagai calon isteriku yang baik. Aku akan merasa menyesal kalau harus
memaksamu dengan perkosaan. Jangan kau mengira bahwa sedikit ilmu ginkang itu akan dapat
membuat engkau terbebas dariku, Sayang. Nikouw tua itu sendiri tidak mampu melawanku.
Marilah mendekat, dan katakan bahwa engkau menerima pinanganku, Nona...."
"Tidak sudi, keparat keji! Lebih baik seratus kali mati daripada tunduk kepada niat jahatmu!" Cui
Lan mernbentak dan pada saat itu Tang Hun sudah menerjang dengan kecepatan kilat. Cui Lan
berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja ujung lengan bajunya kena dicengkeram.
"Brettttt....!" Lengan baju itu robek sampai ke pundak sehingga nampak lengan dan pundak yang
berkulit putih mulus itu. Melihat ini, makin berkobar nafsu Tang Hun dan dia sudah menyeringai,
matanya jalang dan Cui Lan sudah mundur-mundur sampai membentur dinding. Maklumlah dara
itu bahwa dia tidak dapat meloloskan diri, maka dia sudah mengambil keputusan untuk
membenturkan kepalanya pada dinding itu kalau Tang Hun menubruknya lagi.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara dari luar jendela, "Hemmm, bajingan kecil seperti ini
berani kurang ajar terhadap Nona Phang Cui Lan?"
Mendengar suara ini, sepasang mata Cui Lan terbelalak lebar, wajahnya berseri penuh
kegembiraan dan dia segera mengenal suara itu, maka teriaknya, "Taihiap....!" Dia mengenal
suara itu, sampai di manapun, bercampur dengan suara apa pun, dia akan selalu mengenal
suara yang amat dirindukannya itu, suara dari Pendekar Siluman Kecil!
Hwa-i-kongcu Tang Hun terkejut mendengar suara itu. Anak buahnya banyak menjaga di luar,
akan tetapi bagaimana orang ini tahu-tahu sudah berada di luar jendela kamarnya? Hal ini saja
menunjukkan bahwa orang itu tentu lihai, sungguhpun dia tidak merasa jerih karena dia belum
melihat siapa orangnya dan di dunia ini tidak banyak orang yang akan mampu mengalahkannya.
Tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan sinar hitam menyambar ke arah jendela itu. Daun jen-
dela pecah tertembus oleh senjata rahasia berbentuk uang logam yang dilontarkan oleh Tang
Hun tadi. Kalau yang berada di luar jendela itu hanya orang yang memiliki kepandaian silat biasa
saja, tentu akan roboh oleh penyerangan uang logam yang ampuh ini, yang setelah menembus
daun jendela masih meluncur cepat dan tentu akan melukai orang yang berdiri di luar jendela.
Cui Lan memandang dengan mata terbelalak ke arah jendela. Biarpun ilmu silat yang
dipelajarinya dari Kim Sim Nikouw belum tinggi benar, namun dia sudah mengerti atau sedikitnya
sudah dapat menduga bahwa sinar hitam yang menyambar jendela dan memecahkan daun
jendela itu adalah senjata ampuh yang menyerang ke arah orang yang bicara di luar jendela tadi.
Dia sudah tahu akan kelihaian Pendekar Siluman Kecil akan tetapi melihat senjata rahasia itu
hatinya berdebar tegang dan penuh kekhawatiran pula, apalagi ketika tidak terdengar apa-apa
dari luar, seolah-olah senjata-senjata kecil yang beterbangan itu menembus daun jendela dan
mengenai sasaran!
Tang Hun sendiri memandang ke arah jendela dengan mata terbelalak. Dia merasa yakin benar
bahwa senjata-senjatanya itu menembus daun jendela dan meluncur ke arah siapa saja yang
berdiri di luar jendela, akan tetapi kalau mengenai sasaran, mengapa tidak terdengar teriakan
orang kesakitan? Dan andaikata tidak mengenai sasaran, tentu terdengar pula uang-uang logam
itu jatuh ke atas lantai atau mengenai dinding di luar jendela.
Akan tetapi, sunyi saja tidak terdengar apa-apa, seolah-olah senjata-senjata rahasianya itu
lenyap di luar jendela tanpa bekas dan tanpa suara. Mulailah dia merasa bergidik. Akan tetapi
tangannya sudah menggenggam beberapa buah mata uang lagi, siap untuk menyerang siapa
saja yang memasuki kamar.
Baik Cui Lan dan Tang Hun kini memandang ke arah daun jendela yang sudah penuh lubang
ditembusi senjatasenjata rahasia tadi dengan hati penuh ketegangan. Dan perlahan-lahan daun
jendela itu mengeluarkan bunyi dan bergerak, terbuka perlahan-lahan seperti hanya didorong
oleh hembusan angin lembut! Seluruh urat syaraf di tangan Tang Hun sudah menegang dan dia
sudah siap dengan senjata rahasia uang logamnya, dan sepasang mata Cui Lan kini terbelalak
menatap ke arah jendela yang terbuka perlahan-lahan itu. Kemudian nampaklah sebuah kepala
dan Cui Lan hampir saja menjerit kegirangan karena itulah kepala yang amat dicintanya, kepala
yang dihias rambut putih panjang, kepala Pendekar Siluman Kecil!
Memang orang yang muncul dari balik jendela itu adalah Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu!
Seperti kita ketahui, Kian Bu bertemu dengan Kim Sim Nikouw yang kemudian dipondongnya
untuk secepat mungkin mencari Cui Lan dan akhirnya mereka tiba di rumah besar dari kayu
dalam hutan itu. Kian Bu cepat mempergunakan kepandaiannya menyelinap dan tanpa diketahui
siapapun dia berhasil mengintai dari luar jendela kamar Tang Hun, diikuti oleh Kim Sim Nikouw
dan mereka berdua mendengar semua yang telah terjadi di dalam kamar itu, mendengar
penolakan yang gagah berani dari Cui Lan. Ketika Kian Bu mengeluarkan kata-kata tadi, dia
sudah siap, maka begitu ada senjata-senjata rahasia berhamburan keluar, dengan mudah saja
pendekar muda ini menangkapi semua uang logam dengan kedua tangannya sehingga tidak ada
sebuah pun yang jatuh menimbulkan suara berisik.
Kini pendekar itu meloncat dan memasuki kamar melalui jendela, tidak peduli akan sikap Tang
Hun yang kini memandang terbelalak dengan muka berubah pucat sekali. Tentu saja ketua
Liong-sim-pang ini mengenal Kian Bu karena pendekar ini pernah menggegerkan benteng ketika
Tang Hun masih berada di dalam benteng Pangeran Nepal. Tanpa disadarinya lagi, tangan yang
menggenggam uang-uang logam itu gemetar, akan tetapi dengan nekat dia menggerakkan
tangan melontarkan uang-uang logam itu ke arah tubuh Suma Kian Bu. Pendekar muda ini
secara tidak pedulian menggerakkan kedua tangannya dan sinar-sinar hitam menyambar dari
kedua tangan itu ketika uang-uang logam rampasan tadi menyambut datangnya uang-uang
logam yang dilontarkan Tang Hun. Terdengar suara nyaring dan semua uang logam runtuh dan
menggelinding ke arah kaki Tang Hun!
Bu Kek Sian Su - Episode 361
Jodoh Rajawali
Hwa-i-kongcu Tang Hun adalah seorang yang amat cerdik, maka dalam keadaan itu dia sudah
mempunyai akal yang cerdik. Secepat kilat dia melompat dan menerjang, bukan kepada Kian Bu
melainkan kepada Cui Lan yang hendak ditangkapnya dan dipergunakannya sebagai sandera
karena dia merasa jerih melawan Kian Bu atau Siluman Kecil itu.
"Pengecut hina yang curang!" Kian Bu berkata dan tahu-tahu tubuhnya sudah mendahului Tang
Hun, berkelebat dan menghadang di depan Cui Lan!
"Taihiap....!" Cui Lan berseru lirih akan tetapi suaranya mengandung getaran penuh keharuan,
penuh kebahagiaan, penuh cinta kasih. Diam-diam Kian Bu merasa terharu dan kasihan sekali
kepada gadis ini. Pantas saja ibu angkatnya memarahinya dan memakinya laki-laki kejam. Gadis
ini benar-benar amat mencintanya, akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat menyambut cinta
itu kalau dia sendiri tidak ada hasrat untuk berjodoh dengan Cui Lan, betapapun sukanya kepada
gadis ini?
Melihat betapa Siluman Kecil tahu-tahu sudah menghadang di depannya, Tang Hun berlaku
nekat. Dia berteriak memanggil anak buahnya, kemudian mencabut pedang tipisnya dan
menyerang Siluman Kecil dengan ganasnya, diikuti oleh tangan kirinya yang melakukan pukulan
dengan pengerahan tenaga sinkang. Namun, dengan tenang Siluman Kecil menyambut
serangannya itu dengan elakan-elakan cepat. Pada saat itu, Kim Sim Nikouw muncul dari
jendela, langsung meloncat ke dekat Cui Lan.
"Subo....!" Cui Lan menubruk gurunya.
"Mari kita keluar dulu!" Kim Sim Nikouw menyambar tubuh muridnya dan membawanya meloncat
keluar melalui jendela. Dua orang anak buah Tang Hun yang muncul dari jendela berusaha
menyerang nikouw ini, akan tetapi dua kali nikouw itu menggerakkan kakinya, dua orang itu
terjungkal dan Kim Sim Nikouw terus membawa Cui Lan menjauh dari situ, membiarkan Kian Bu
membuat perhitungan dengan gerombolan penjahat itu.
Kini belasan orang anak buah Tang Hun sudah memasuki kamar yang cukup luas itu, dan
mereka maju mengeroyok. Kian Bu bersikap tenang. Tidak banyak bergerak, hanya berdiri di
tengah-tengah, sikapnya biasa saja seperti bukan orang yang sedang menghadapi pertempuran.
Akan tetapi setiap serangan Tang Hun tadi dapat dihindarkannya dengan mudah.
Kini setelah belasan orang anak buah Tang Hun ikut maju, Kian Bu menjadi marah. Dia masih
berdiri diam di tengah-tengah, hanya biji matanya saja yang bergerak sedikit ke kanan kiri dan
dia seluruhnya mengandalkan perasaan dan pendengarannya untuk menghadapi serangan yang
tak dapat dilihat oleh matanya. Dan setiap kali ada anggauta Liong-simpang berani bergerak
menyerang tubuh, memutarnya dan menggerakkan tangannya, maka penyerang itu tentu akan
terpental dan roboh terbanting! Dalam waktu singkat saja, sudah ada enam orang penyerang
gelap yang roboh tak mampu bangkit kembali.
Melihat ini, Tang Hun menjadi makin marah. "Serbu! Keroyok bersama-sama dan secara
berbareng! Kurung!" teriaknya dan anak buahnya, walaupun kini merasa jerih sekali terhadap
Siluman Kecil, mulai mengurung dan atas bentakan majikan mereka yang merupakan perintah,
didahului oleh Tang Hun sendiri yang menubruk ke depan sambil menusukkan pedang tipisnya
ke arah dada Kian Bu, mereka itu pun menyerang dalam saat yang hampir berbareng. Tiba-tiba
nampak tubuh Kian Bu berkelebat lenyap. Tang Hun dan anak buahnya terheran-heran, akan
tetapi keheranan mereka itu hanya sebentar saja karena tiba-tiba seperti kilat menyambar-
nyambar, bayangan Kian Bu nampak lagi dan pertama-tama tamparan yang keras sekali
mengenai pelipis kiri Tang Hun. Hwa-i-kongcu mengeluarkan pekik mengerikan dan dia
terbanting roboh, tak bergerak lagi karena kepalanya retak oleh tamparan itu, kemudian secara
berturut-turut, terdengar teriakan-teriakan dan belasan orang itu pun roboh semua. Tidak semua
dari mereka tewas, akan tetapi sedikitnya tentu patah tulang lengan atau kaki, dan ketika mereka
mampu membuka mata memandang, Siluman Kecil telah tidak berada lagi di dalam ruangan itu!
Memang Siluman Kecil telah keluar dari dalam pondok itu dan di luar dia melihat Kim Sim Nikouw
dan Phang Cui Lan telah menantinya.
"Suma-taihiap....!" Cui Lan berseru lirih dan menahan kedua lengannya yang ingin diulurkan ke
arah pemuda itu.
Kian Bu menarik napas panjang, memandang kepada Cui Lan dan berkata dengan halus namun
agak dingin, "Nona, engkau baik-baik saja, bukan? Ibu, ke manakah Ibu hendak pergi bersama
Nona Phang...."
"Kian Bu, dia adalah muridku, oleh karena itu dia ini terhitung sumoimu sendiri! Cui Lan, engkau
harus menyebut suheng kepada Kian Bu," kata nikouw tua itu dan sekilas pandang saja
maklumlah dia bahwa telah terulang kembali riwayat lama antara dia dan Pendekar Super Sakti
yang kini diperankan oleh Phang Cui Lan dan Pendekar Siluman Kecil. Seperti juga dia, Cui Lan
jatuh cinta setengah mati kepada Kian Bu, akan tetapi seperti Pendekar Super Sakti pula, jelas
nampak olehnya bahwa pemuda ini tidak membalas cinta Cui Lan. Maka dia merasa kasihan
sekali kepada Cui Lan.
Mendengar ucapan nikouw itu, dengan senyum manis dan wajah berseri Cui Lan menjura
kepada Kian Bu sambil berkata, "Suma-suheng, maafkan aku...."
"Sumoi, aku girang sekali engkau menjadi murid Ibu.... eh, kalian berdua hendak ke manakah
dan bagaimana sampai terjatuh ke tangan Hwa-i-kongcu itu?"
Dengan tenang Kim Sim Nikouw lalu menceritakan bahwa Phang Cui Lan telah diangkat anak
oleh Gubernur Hok Thian Ki, dan dia sedang mengantar muridnya itu untuk pergi menghadap
Gubernur Hok Thian Ki, akan tetapi di tengah jalan mereka bertemu dengan anak buah Liong-
sim-pang sampai akhirnya Cui Lan tertawan.
"Karena pinni tidak dapat mengalahkan Hwa-i-kongcu, maka pinni tadinya hendak minta bantuan
petugas keamanan yang tentu mau menolong kalau menidengar bahwa puteri angkat gubernur
tertawan gerombolan penjahat, tak terduga bertemu denganmu, Kian Bu."
"Berkali-kali sudah saya berhutang budi dan nyawa kepada Taihiap eh, Suheng, entah
bagaimana saya akan dapat membalasnya," terdengar Cui Lan berkata dan suaranya terdengar
penuh keharuan. Ingin dia meneriakkan bahwa dia mencinta pemuda itu dan ingin meng-
hambakan diri, menjadi apa pun dia rela asalkan dia dapat mendampingi pemuda ini selama
hidupnya. Baik Kim Sim Nikouw maupun Kian Bu sendiri maklum akan isi hati dara ini, maka
nikouw itu hanya menundukkan muka, teringat akan pengalaman hidupnya sendiri. Akhirnya Kian
Bu berkata setelah dia berpikir masak-masak.
"Phang-sumoi, memang engkau sudah sepatutnya menjadi puteri gubernur, sudah selayaknya
menjadl seorang gadis bangsawan yang terhormat. Maka aku mengucapkan selamat dan
sebaiknya kalau Sumoi melanjutkan perjalanan bersama Ibu, dan aku akan mengawal sampai
engkau tiba di rumah kediaman Gubernur Hok Thian Ki yang saya tahu adalah seorang
pembesar budiman dan bijaksana."
"Akan tetapi aku.... aku tidak suka menjadi gadis bangsawan terhormat...."
"Kau akan tinggal di rumah seperti istana dan menjadi puteri...."
"Akan tetapi aku tidak suka tinggal di istana...., aku.... aku...." Gadis itu memejamkan mata dan
air matanya berlinang-linang.
Kembali Kian Bu menarik napas panjang. Menghadapi dara yang sudah demikian parah
tenggelam ke dalam jurang cinta, harus menggunakan tindakan yang berani dan terus terang.
"Phang-sumoi, memang dalam kehidupan banyak terjadi hal-hal yang jauh daripada yang kita
harapkan. Segala telah diatur oleh Thian dan kita tidak mungkin dapat memaksakan kehendak
kita, betapapun kita menjadi berduka dan menderita batin karenanya. Maafkan aku, Sumoi,
sungguh.... percayalah, bukan maksudku untuk menyakitkan hatimu, akan tetapi.... ah,
bagaimana aku dapat memaksa hati sendiri? Terimalah kenyataannya, Sumoi, dan sekali lagi,
kaumaafkanlah Suhengmu yang mengecewakan hatimu dan tidak memenui harapan hidupmu
ini. Ibu, maafkan, aku pergi dulu!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat pemuda itu lenyap
dari situ, meninggalkan Cui Lan yang menutupi muka dengan kedua tangan dan air matanya
bercucuran melalui celah-celah jari tangannya, sedangkan Kim Sim Nikouw hanya menggeleng
kepala berulang-ulang sambil menarik napas panjang.
Nikouw tua itu merangkulnya dan berkata lembut, "Cui Lan, apa yang dikatakan suhengmu itu
memang benar. Dia adalah seorang laki-laki yang jujur. Apakah engkau menghendaki dia itu ber-
pura-pura membalas cintamu padahal sebenarnya tidak ada rasa cinta di hatinya kepadamu?
Dan, lupakah engkau bahwa cinta kasih yang murni itu mendorong kita untuk melihat orang yang
kita cinta berbahagia? Apakah engkau tidak ingin melihat dia berbahagia, Cui Lan? Dan dia akan
berbahagia melihat engkau memenuhi permintaannya, yaitu agar engkau tinggal bersama ayah
angkatmu, Gubernur Hok Thian Ki. Mari kita lanjutkan perjalanan kita."
Dara itu hanya mengangguk, kemudian mengikuti gurunya melanjutkan perjalanan, menahan
tangisnya dan hanya kadang-kadang kedua pundaknya bergoyang, tanda bahwa dia masih
menahan isaknya
Bu Kek Sian Su - Episode 362
Jodoh Rajawali
Adakah yang lebih panas daripada melihat orang lain merebut kekasih? Adakah yang lebih perih
daripada melihat kekasihnya bermain cinta dengan orang lain? Panas dan perih terasa di dalam
hati Tek Hoat ketika dia melakukan perjalanan secepatnya menuju ke Bhutan. Batinnya tertekan
dan menderita hebat sejak dia menyaksikan betapa Syanti Dewi, puteri cantik jelita, Puteri
Bhutan yang pernah menjadi tunangannya itu, ternyata secara tak tahu malu telah bermain gila
dengan Mohinta! Kalau hanya melihat Syanti Dewi jatuh cinta kepada pria lain, apalagi kepada
Mohinta, pemuda tampan gagah dan sebangsa dengan puteri itu, agaknya Tek Hoat akan dapat
menerimanya, walaupun dengan hati sedih dan iba kepada diri sendiri. Akan tetapi, apa yang
disaksikannya adalah hal yang amat menjijikkan. Syanti Dewi agaknya telah menyerahkan diri
secara amat murah kepada Mohinta, bermain cinta dalam perjalanan secara tidak senonoh. Hal
ini, amat menjijikkan hatinya, apalagi ketika mendengar pembicaraan dua orang insan yang keji
itu, yang merencanakan pemberontakan dan penggulingan kekuasaan Raja Bhutan, ayah dari
Syanti Dewi sendiri! Sungguh menjijikkan! Tek Hoat hampir tidak percaya bahwa Syanti Dewi
telah tersesat sedemikian jauhnya. Di samping perasaan panas, perih dan juga jijik, ada pula
perasaan duka yang amat besar, yang membuat jantungnya seperti diremas-remas rasanya.
Dia mengambil keputusan untuk mencegah persekutuan busuk itu dan membela Bhutan,
kerajaan kecil yang pernah menganugerahkan dia kedudukan panglima muda itu. Akan tetapi,
tentu saja yang mendorongnya untuk bergegas pergi ke Bhutan bukan hanya rasa hutang budi
kepada Bhutan karena sesungguhnya ada dua hal yang membuat dia nekat kembali ke Bhutan.
Pertama adalah rasa cintanya kepada Syanti Dewi yang sedemikian besarnya sehingga dia tidak
ingin melihat puteri itu mengkhianati kerajaan ayahnya sendiri, dan ke dua adalah karena benci-
nya yang mendalam kepada Mohinta. Mahinta bukan hanya telah membawa Syanti Dewi ke jalan
sesat yang amat menjijikkan, akan tetapi lebih dari itu malah Mohinta telah membunuh ibu
kandungnya! Dia ingin memperlihatkan kepada Raja Bhutan bahwa dia, yang dianggap sebagai
seorang anak haram tanpa ayah, seorang hina dina, ternyata jauh lebih berharga daripada Sang
Puteri Bhutan sendiri, puteri dari raja itu sendiri yang mengkhianati ayah dan kerajaannya! Juga
lebih berharga dari Mohinta, putera panglima tua atau panglima pertama dari Bhutan!
Akan tetapi ketika dia tiba di Bhutan, timbul kesangsian dalam hati Tek Hoat. Dapatkah dia
meyakinkan hati raja akan kebenaran laporannya? Tentu laporan itu akan menimbulkan
kegegeran besar dan banyak kemungkinan tidak akan ada yang mau mempercayainya. Juga
Raja Bhutan tentu sukar untuk percaya ceritanya bahwa puterinya bersekutu dengan Mohinta
dan Kerajaan Nepal untuk menggulingkan kedudukannya! Tak masuk di akal! Dia sendiri,
andaikata tidak mendengarkan percakapan dalam suasana penuh kecabulan itu antara Mohinta
dan Syanti Dewi, kalau hanya mendengarkan kata-kata orang lain saja tentang pengkhianatan
Syanti Dewi, tentu tidak akan percaya, bahkan akan marah kepada orang yang menceritakan hal
itu!
Tek Hoat adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Biarpun dia sedang dimabuk kemarahan
dan dendam, namun dia tidak bertindak secara sembrono.
Setelah memutar otak mencari akal, akhirnya dia menyelinap memasuki Kerajaan Bhutan di
waktu malam dan berkat kepandaiannya yang tinggi, dia dapat mengandalkan ginkangnya untuk
berkelebat dan memasuki kerajaan tanpa diketahui seorang pun penjaga, tentu saja setelah dia
berhasil memperoleh pakaian orang Bhutan yang diambilnya dari sebuah rumah dan berganti
dengan pakaian itu. Dengan pakaian Bhutan ditambah sebuah sorban kuning, dia berubah men-
jadi seorang pemuda Bhutan biasa yang tidak akan menarik terlalu banyak perhatian.
Malam hari itu, Panglima Jayin sedang duduk termenung dalam kamar kerjanya. Panglima yang
usianya sudah hampir lima puluh tahun ini masih nampak gagah, akan tetapi semenjak beberapa
tahun akhir-akhir ini di dahinya banyak timbul guratan-guratan karena banyak terjadi hal di
Bhutan yang mendatangkan penyesalan besar di dalam hatinya, hati seorang panglima yang
amat setia kepada tanah air dan kerajaannya. Panglima Jayin merupakan panglima tua yang ke
dua di Bhutan, di bawah kedudukan panglima pertama, yaitu panglima tua Sangita yang usianya
sudah hampir enam puluh tahun itu. Panglima Jayin prihatin sekali semenjak Puteri Syanti Dewi
lenyap pada beberapa tahun yang lalu (baca Kisah Sepasang Rajawali). Kemudian dia sudah ikut
merasa berbahagia sekali ketika akhirnya, berkat bantuan para pendekar Han termasuk Ang Tek
Hoat, dia dapat menemukan sang puteri dan mengantarnya kembali ke Bhutan, bahkan dia ikut
bergembira ketika sang puteri ditunangkan dengan Tek Hoat yang dikenalnya sebagai seorang
pemuda yang berkepandaian tinggi, sungguhpun dia sendiri akan merasa lebih senang kalau
sang puteri itu berjodoh dengan bangsa sendiri atau setidaknya dengan seorang pendekar
seperti putera-putera Majikan Pulau Es yang gagah perkasa itu daripada Ang Tek Hoat yang
pernah ternoda namanya karena membantu pemberontak. Ketika hatinya sudah mulai tenteram,
timbul pula bencana ketika Tek Hoat pergi dari Bhutan disusul lenyapnya sang puteri lagi!
Mengenangkan keadaan rajanya, Panglima Jayin merasa prihatin sekali. Apalagi dia maklum
bahwa di dalam negeri Bhutan sendiri yang nampaknya tenteram itu terjadi pertentangan antara
fihak yang setia kepada raja dan agaknya, biarpun tidak kentara, terdapat pula fihak yang
menentang raja secara diam-diam. Dan yang amat menyedihkan hatinya adalah karena sikap
Sangita, panglima tua yang agaknya kini menampakkan sikap tidak puas terhadap raja. Apakah
hal itu disebabkan terutama sekali karena gagalnya putera panglima besar itu, yaitu Mohinta,
yang hendak memperisteri Puteri Syanti Dewi? Dia tidak yakin benar.
"Selamat malam, Panglima!"
Sebagai seorang yang sering kali menghadapi bahaya dalam perang dan pertempuran, secara
otomatis tubuh panglima itu meloncat dari atas kursinya, memutar tubuhnya dan siap
menghadapi segala kemungkinan, karena munculnya seorang asing begitu saja dalam ruangan
kerjanya di malam itu, tanpa melalui pelaporan penjaga, sungguh merupakan hal yang luar biasa.
Akan tetapi begitu dia melihat siapa adanya pemuda yang muncul di luar jendela ruangannya, dia
terkejut dan sejenak dia hanya terbelalak memandang penuh keheranan.
"Apakah engkau juga seperti semua orang di Bhutan, tidak lagi sudi mengenalku sebagai
seorang sahabat, Panglima?" tanya Tek Hoat, di dalam suaranya terkandung penyesalan dan
kepahitan.
"Eh.... ohhh.... tidak sama sekali, Ang-taihiap! Aku hanya.... hanya terkejut dan heran. Masuklah,
dari mana Taihiap datang....?" tanya panglima itu dengan gugup karena dia masih terheran-
heran.
Dengan ringan sekali tubuh pemuda itu meloncat memasuki ruangan melalui jendela kemudian
dia duduk di atas kursi, melepaskan sorbannya dan menarik napas panjang sambil menghapus
keringatnya. "Aihhh, betapa sukarnya tugasku ini," keluhnya.
Panglima Jayin cepat menutupkan daun jendela, lalu bergegas membuka pintu ruangan,
meyakinkan hatinya bahwa di luar kamar tidak ada siapa-siapa, kemudian dia menutupkan
kembali daun pintu ruangan itu dan menguncinya dari dalam. Kemudian dia menuangkan air teh
dalam cangkir.
"Minumlah, Taihiap, kemudian ceritakan cepat apa maksud Taihiap datang ke Bhutan dan
terutama datang ke tempatku di malam hari begini. Aku yakin bahwa ada urusan penting sekali
maka Taihiap teringat untuk mencari Jayin."
Tek Hoat minum air teh itu, kemudian dia memandang wajah panglima itu yang duduk
berhadapan dengannya dan yang sedang mengamati wajahnya penuh selidik. "Panglima, benar
wawasanmu. Kedatanganku membawa berita yang luar biasa pentingnya, yang menyangkut diri
Puteri Syanti Dewi, Raja Bhutan, dan keselamatan Kerajaan Bhutan sendiri.
"Ahhh....!" Wajah panglima itu menjadi pucat. "Mengapa Taihiap tidak langsung saja menghadap
sri baginda? Mari kuantarkan menghadap sekarang juga."
Bu Kek Sian Su - Episode 363
Jodoh Rajawali
"Nanti dulu, Panglima." Tek Hoat menggeleng kepala. "Di Bhutan ini, siapa lagi yang dapat
kupercaya selain engkau? Kalau aku menghadap sri baginda dan menyampaikan laporanku ini,
pasti beliau tidak akan percaya bahkan aku akan ditangkap. Maka lebih baik kuceritakan dulu
kepadamu, baru kaupertimbangkan apakah perlu aku pergi menghadapi sri baginda raja."
"Baik, baik, lekas kauceritakan, Taihiap!"
"Dengar, Panglima. Kerajaan Bhutan dalam bahaya, juga keselamatan raja terancam. Mohinta
sedang menuju pulang ke Bhutan dan membawa Puteri Syanti Dewi sebagai sandera. Dia
mengatur rencana, membawa sang puteri ke dalam istana dan memaksa raja turun tahta dengan
sang puteri di jadikan sandera untuk mengancam raja, dan selain itu, dia pun sudah siap dengan
bala tentara untuk memberontak, dibantu oleh pasukan Nepal yang akan datang dari
perbatasan." Tek Hoat sengaja tidak menceritakan ikutnya Syanti Dewi dalam persekutuan itu,
karena cintanya terhadap puteri itu melarang dia mengabarkan tentang pengkhianatan sang
puteri. Biarlah, hal itu akan kuhadapi sendiri dan akan kutanyakan sendiri kepadanya kalau aku
sempat bertemu lagi dengan dia, pikirnya.
Sepasang mata Panglima Jayin mengeluarkan sinar kilat yang menyoroti wajah Tek Hoat,
memandang penuh selidik dan wajah panglima itu jelas membayangkan ketidakpercayaan, akan
tetapi keheranan menguasai hatinya sehingga dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata!
"Hemmm, kulihat engkau pun agakrrya tidak percaya kepadaku, Panglima!" Tek Hoat berkata
dengan alis berkerut.
"Siapakah yang dapat mempercayai cerita segila itu? Ah, maafkan aku, Taihiap, akan tetapi
penuturanmu itu sungguh terlalu luar biasa. Mohinta adalah putera Panglima Sangita, hal ini
tentu engkau sudah tahu, dan dia malah direncanakan menjadi suami Puteri Syanti Dewi. Mana
mungkin dia akan mengadakan pemberontakan seperti itu? Akan tetapi nanti dulu.... jangan kau
putus asa, Taihiap karena agaknya, di negeri ini hanya ada satu orang saja yang percaya kepada
ceritamu, dan orang itu adalah aku."
"Ah, terima kasih, Panglima. Kalau begitu tidak sia-sia perjalananku sejauh ini!" seru Tek Hoat
dengan girang. "Harap Panglima suka mengatur bagaimana baiknya untuk menggagalkan
pengkhianatan ini, dan aku akan membantumu."
Wajah Panglima Jayin berseri. Biarpun dia bukan seorang pembesar ambisius yang
mendambakan kedudukan yang lebih tinggi, namun dalam peristiwa ini dia melihat kesempatan
besar terbuka baginya untuk membuat jasa besar sekali terhadap negara dan kerajaan, dan hal
ini mendatangkan rasa girang yang amat besar dalam hatinya. Apalagi di situ terdapat pemuda
perkasa, ini yang membantunya, maka dia merasa tenang dan sama sekali tidak khawatir.
"Pertama-tama, kita harus cepat memberi laporan kepada sri baginda, dan karena urusan ini
amat gawat, dan agar tidak menarik perhatian orang dan menimbulkan keributan sehingga hal ini
akan bocor dan diketahui fihak pemberontak, sebaiknya kita harus malam ini juga melapor
kepada sri baginda. Mari, Taihiap, mari ikut bersamaku ke istana, kita menghadap sri baginda
melalui jalan rahasia."
Pergilah kedua orang itu menuju ke istana melalui tempat-tempat gelap, dan dari luar taman
bunga istana, Panglima Jayin mengajak Tek Hoat memasuki taman melalui jalan rahasia yang
hanya diketahui oleh keluarga raja dan para pembesar terpercaya. Setelah melalui jalan berliku-
liku dan rumit, akhirnya mereka berdua memasuki terowongan bawah tanah dan ketika keluar
dari terowongan, mereka telah berada di dalam sebuah kamar yang letaknya di belakang dapur
istana yang pada saat itu sunyi. Jayin menggunakan sebuah kunci yang telah dibawanya dari
rumah untuk membuka pintu kamar itu dan tibalah mereka di lorong dalam istana.
Mereka bertemu dengan seorang pengawal istana untuk pertama kali. Akan tetapi ketika
pengawal itu datang berlari dan melihat bahwa dua orang itu yang seorang adalah Panglima
Jayin sedangkan yang ke dua adalah seorang muda yang tidak dikenalnya karena Tek Hoat me-
nyamar sebagai seorang Bhutan pula, dia tidak menaruh curiga dan cepat memberi hormat
kepada Panglima Jayin.
"Ada urusan mendesak yang memaksa kami harus cepat menghadap sri baginda," kata
panglima itu, "di mana beliau?"
"Beliau sudah memasuki kamar, baru saja."
"Laporkan kepada pengawal kamar, kami harus menghadap sekarang."
"Mari Panglima, keputusannya terserah kepada pengawal kamar." Mereka bertiga lalu berjalan
dan beberapa kali mereka bertemu dengan pengawal-pengawal istana yang memandang dengan
heran juga melihat betapa panglima itu malam-malam begini memasuki istana.
"Maaf, panglima. Kami tidak berani membiarkan Paduka memasuki kamar sebelum ada
perkenan dari sri baginda sendiri," kata seorang di antara para pengawal yang menjaga di depan
kamar dengan senjata di tangan.
"Kalau begitu sampaikan kepada sri baginda bahwa Panglima Jayin mohon menghadap
sekarang juga untuk menyampaikan berita amat penting tentang sang puteri."
"Sang Puteri Syanti Dewi....?" Hampir semua mulut pengawal berseru mengulang nama ini dan
tahulah mereka betapa pentingnya berita yang dibawa oleh panglima ini, maka seorang di antara
mereka yang bertugas sebagai komandan jaga malam itu, segera membuka daun pintu perlahan-
lahan dan melangkah masuk kamar dengan hati-hati setelah menutupkan kembali daun pintu.
Tak lama kemudian, daun pintu bergerak, terbuka dan pengawal itu muncul, mengangguk
kepada Panglima Jayin dan berkata, "Paduka diperkenankan masuk dan menghadap sri
baginda."
Panglima Jayin lalu memasuki kamar, diikuti oleh Tek Hoat yang berjalan sambil menundukkan
mukanya. Kamar itu besar dan ketika mereka masuk dan Tek Hoat melirik, dia melihat sri
baginda sudah duduk di atas pembaringan dan beberapa orang dayang cantik berlutut di sudut
kamar. Sri baginda tersenyum menerima kedatangan Jayin, akan tetapi alisnya berkerut heran
ketika dia melihat Tek Hoat yang belum dikenalnya.
Bu Kek Sian Su - Episode 364
Jodoh Rajawali
Panglima Jayin segera menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan, diikuti oleh Ang Tek
Hoat.
"Jayin, benarkah engkau datang membawa berita tentang puteriku? Bagaimana dia? Di mana dia
sekarang?" Karena tegang mendengar puterinya telah ada beritanya, raja ini tidak begitu mem-
perhatikan Tek Hoat.
Panglima Jayin melirik ke arah para dayang yang hadir di situ, kemudian berkata dengan penuh
hormat, "Harap Paduka sudi mengampuni hamba, akan tetapi hamba akan menghaturkan berita
yang hanya layak didengar oleh Paduka sendiri saja."
Sri baginda mengerti maksud Jayin, maka dengan gerakan tangannya dia segera mengusir para
dayang itu. Enam orang wanita muda yang cantik-cantik itu segera mengundurkan diri melalui
pintu belakang dan daun pintu itu segera ditutup kembali rapat-rapat.
"Nah, ceritakan, Jayin." Sri baginda cepat berkata.
"Maaf, hamba harus memeriksa pintu lebih dulu." Panglima Jayin memberi hormat, kemudian
bangkit berdiri dan memeriksa pintu belakang yang baru saja ditutup, menguncinya, juga
memeriksa jendela-jendela dan pintu depan yang besar. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada
orang lain yang mendengarkan, dia kembali berlutut di depan raja itu.
Perbuatannya ini membuat hati sang raja menjadi makin tegang dan khawatir, lalu bertanya,
"Jayin, mengapa engkau begitu curiga? Apakah yang sesungguhnya terjadi dengan Puteri
Syanti?"
"Bukan hanya keselamatan puteri Paduka terancam bahaya, Sri Baginda, bahkan juga Paduka
sendiri dan kerajaan terancam pengkhianat dan pemberontakan keji."
Raja tua itu terkejut bukan main, terbelalak dan mukanya berubah agak pucat, akan tetapi kini
dia memandang ke arah Tek Hoat dengan sinar mata penuh selidik, kemudian dia membentak
kepada Jayin, "Jayin, kalau engkau membawa berita yang begini hebat dan gawat, mengapa
engkau mengajak orang ini? Siapa dia dan apa hubungannya dengan berita ini?"
"Maafkan kelancangan hamba, agaknya Paduka lupa kepada hamba. Hamba adalah Ang Tek
Hoat dan hambalah yang datang membawa berita ini."
Kini sang raja benar-benar terkejut bukan main dan dia memandang kepada wajah Tek Hoat
penuh perhatian, kemudian memandang kepada Panglima Jayin dengan sinar mata terheran-
heran dan penuh pertanyaan.
"Hamba rnengerti bahwa Paduka tentu merasa heran sekali, akan tetapi oleh karena Ang-taihiap
membawa berita yang luar biasa penting dan gawatnya, maka hamba membawanya menghadap
Paduka agar Paduka dapat mendengar sendiri berita hebat ini."
Betapapun juga, sri baginda masih ingat benar akan jasa-jasa yang pernah dibuat oleh Tek Hoat,
bahkan pernah dia mengagumi pemuda ini dan merasa bangga mempunyai calon mantu seperti
dia. Hanya karena pengakuan ibu kandung pemuda ini saja yang membuat dia berubah
membencinya karena merasa malu kalau harus mempunyai mantu seorang anak haram tanpa
ayah! Akan tetapi, sekarang puterinya itu hilang, dan kini yang datang membawa berita tentang
puterinya adalah pemuda itu sendiri!
"Jayin, ceritakanlah apa yang terjadi!" katanya singkat.
Dengan jelas Panglima Jayin lalu mengulang cerita Tek Hoat tentang Syanti Dewi yang ditawan
oleh Mohinta dan tentang rencana Mohinta mempergunakan puteri itu sebagai sandera untuk
memaksa sang raja turun tahta, kemudian menggunakan pasukan yang dibantu oleh Kerajaan
Nepal untuk merampas kedudukan sri baginda dan mengangkat diri sendiri menjadi raja.
Makin lama Sang Raja Bhutan menjadi makin terheran-heran di samping terkejut dan tidak
percaya. Setelah Jayin selesai bercerita, dia berkata, "Ah, mana mungkin terjadi hal demikian?
Mohinta.... dia putera Sangita.... bagaimana aku dapat percaya akan berita ini?"
"Memang amat mengherankan dan sukar dipercaya, Sri baginda, akan tetapi hendaknya Paduka
memaklumi bahwa hamba sendiri percaya sepenuhnya akan berita yang dibawa oleh Ang-
taihiap."
"Hemmm, bagaimana kalau bohong?"
"Hamba mempertaruhkan nyawa hamba!" kata Tek Hoat cepat-cepat dengan hati penasaran
karena dia masih juga belum dipercaya.
"Dan hamba juga berani mempertaruhkan kepala hamba untuk kebenaran berita yang dibawa
oleh Ang-taihiap."
Sampai beberapa lamanya raja itu menatap kedua orang itu bergantian sehingga suasana di
kamar itu sunyi senyap. Akhirnya raja itu mengangguk-angguk dan berkata, "Sesungguhnya aku
pun tidak dapat menyangsikan omongan kalian berdua, hanya karena berita itu benar-benar
mengejutkan dan luar biasa, maka aku ingin meyakinkan hatiku. Kalau benar demikian, keparat
sungguh Mohinta itu! Jayin, engkau boleh memimpin pasukan menyambut Mohinta itu,
menangkapnya dan menyelamatkan puteriku!"
"Mohon diampunkan kelancangan hamba, Sri baginda. Akan tetapi kalau perintah Paduka itu
dilaksanakan, berarti kita belum dapat membasmi seluruh pemberontakan itu karena tidak ada
bukti. Bahkan mungkin sekali Mohinta akan menyangkal dan kita kehilangan bukti. Sebaiknya
dilakukan pembersihan lebih dulu sebelum Mohinta datang, dan di sini dilakukan penjagaan ketat
yang terpendam, dan dikirim pasukan untuk menghalau pasukan Nepal di perbatasan yang
hendak membantu gerakan Mohinta. Hamba sendiri yang akan melindungi sang puteri kalau
sudah dibawa oleh Mohinta ke istana."
"Usul Ang-taihiap itu tepat sekali, Sri Baginda. Lebih penting memadamkan sumber-sumber api
pemberontakan ini lebih dulu sambil menanti sampai Mohinta melakukan gerakannya dalam
istana yang diam-diam sudah terjaga ketat dan dilindungi oleh Ang-taihiap. Hamba akan
menangkapi kaki tangan Mohinta yang memang sudah hamba daftar, kemudian hamba akan
mencari akal untuk menaruh seorang perwira yang pura-pura akan bersekutu dengan dia agar
segala rencananya dapat kita ketahui."
Raja tua itu menghela napas panjang. "Baiklah.... baiklah, atur saja sebaiknya. Aku sudah malas
mengurus segala hal itu, akan tetapi aku menghendaki keselamatan puteriku!"
"Hamba menanggung keselamatan puteri Paduka dengan nyawa hamba!" kata Ang Tek Hoat.
"Baik, nah, kaubawa pedangku ini sebagai tanda kekuasaan tertinggi, Jayin, dan cincin ini akan
menyadarkan semua pembantuku bahwa engkau adalah seorang kepercayaanku, Ang Tek
Hoat." Dua orang itu dengan hormat menerima pedang dan cincin, kemudian diperkenankan
mundur untuk mengatur rencana penghancuran pemberontakan dan melaksanakannya tanpa
menanti perintah dari sri baginda lagi karena pedang di tangan Jayin itu telah merupakan
kekuasaan mutlak untuk bertindak atas nama raja!
Bu Kek Sian Su - Episode 365
Jodoh Rajawali
Dengan tenang namun cepat, tanpa menimbulkan kegelisahan dan keributan, Jayin menangkapi
banyak panglima dan perwira, dimulai dari panglima tua Sangita sendiri. Sebagai panglima
nomor dua di Bhutan, tentu saja Panglima Jayin sudah hafal siapa di antara para panglima dan
perwira yang condong kepada Panglima Sangita, maka dalam waktu sehari itu dia menangkapi
lebih lima puluh orang panglima dan perwira tinggi!
Kemudian dia membawa seorang panglima yang sejak muda sudah mengabdi kepada sri
baginda dan yang juga termasuk seorang di antara kaki tangan Sangita, membawanya ke dalam
kamar rumahnya sendiri dan di situ dia membebaskan belenggu yang tadinya mengikat kedua
tangan panglima tua ini. Di situ dibeberkan semua rahasia pemberontakan Mohinta dan mengapa
Sangita dan para pembantunya ditangkapi.
"Mohinta merencanakan pengkhianatan dan pemberontakan, dan mengingat bahwa Mohinta
adalah putera Sangita, maka Sangita dan mereka yang berfihak padanya ditangkap atas perintah
sri baginda."
"Akan tetapi.... saya tidak tahu menahu sama sekali tentang rencana pemberontakan, Panglima
Jayin, dan sepanjang pengetahuan saya, Panglima Sangita adalah seorang panglima tua yang
berbakti kepada negara. Tidak mungkin dia hendak melakukan pemberontakan, biarpun diatur
oleh puteranya sendiri!"
"Aku tahu, akan tetapi demi keamanan negara, lebih dulu Panglima Sangita dan teman-
temannya, termasuk engkau diamankan. Dan kalau memang benar engkau merupakan seorang
warga negara Bhutan yang setia, engkau harus dapat membantu untuk menghancurkan rencana
pemberontakan ini."
"Aku bersedia!" jawab panglima itu sambil berdiri sigap seperti seorang perajurit siap menerima
perintah.
Jayin lalu mengatur dan menyusun siasat untuk menjebak Mohinta. Panglima tua itu adalah
tangan kanan Sangita, merupakan wakilnya, maka setelah panglima ini jelas memperlihatkan
sigap setia kepada negara, Jayin lalu mempergunakannya untuk menjebak Mohinta. Panglima itu
dibebaskan kembali dan bahkan disuruh menghadapi dan menyelesaikan segala urusan yang
seharusnya ditangani oleh Sangita, sebagai wakil panglima pertama ini.
Panglima Jayin yang bijaksana dan pandai itu dapat mengatur sedemikian rupa sehingga
peristiwa penahanan para panglima itu tidak sampai menghebohkan masyarakat, dan keadaan
kota raja tetap tenang-tenang saja sehingga tidak akan mencurigakan fihak pemberontak,
sungguhpun. kini kekuatan utama telah diamankan sehingga andaikata ada pasukan-pasukan
yang condong untuk memberontak, mereka telah kehilangan kepala dan kehilangan pegangan.
Kini mereka tinggal menanti saja munculnya Mohinta. Tek Hoat sendiri sudah bersiap-siap,
menjaga dalam istana dan sepasukan pengawal diserahkan kepadanya untuk diatur menjaga
istana itu dengan ketat namun juga tidak kentara bahwa terjadi ketegangan-ketegangan.
Panglima Jayin sendiri mengerahkan pasukan terpendam untuk menghadapi gerakan pasukan
Nepal di perbatasan.
Akhirnya saat yang dinanti-nanti penuh ketegangan itu pun tiba! Pada suatu malam yang sunyi,
seorang perwira utusan Mohinta yang menjadi kurir menyelinap ke dalam gedung tempat tinggal
Panglima Sangita. Dia tidak tahu bahwa seluruh penjagaan di dalam gedung itu telah bertukar
orang, yaitu orang-orangnya Panglima Jayin. Kemudian oleh penjaga dia dihadapkan kepada
panglima tua yang mengaku sebagai wakil dari Panglima Sangita dan mengatakan bahwa
Panglima Sangita sedang menjalankan tugas ke luar Bhutan dan telah memberi kuasa
kepadanya untuk menerima hubungan dari putera panglima.
Utusan itu lalu menyampaikan pesan Mohinta agar Panglima Sangita atau wakilnya suka
menenuinya di luar Bhutan, dalam sebuah hutan tersembunyi untuk bicara. Panglima tua yang
kini menjadi pembantu Jayin itu cepat mengikuti utusan itu meninggalkan kota raja dan
menjelang pagi sampailah mereka di dalam hutan di mana telah menanti Mohinta dan kaki
tangannya.
Mohinta mengenal panglima tua ini sebagai pembantu ayahnya yang paling dipercaya maka dia
pun tidak ragu-ragu lagi dan cepat dia menceritakan segala rencananya untuk disampaikan
kepada ayahnya. Mohinta minta kepada panglima itu untuk mengirim pasukan pengawal untuk
mengawalnya masuk istana, pasukan yang boleh dipercaya dan kuat untuk menghadapi
pengawal-pengawal istana. Kemudian dia minta agar dikerahkan pasukan besar untuk bergerak
mengepung istana, dan mengirim pula pasukan untuk menyambut pasukan Nepal di perbatasan
dan mengajak pasukan Nepal memasuki wilayah Bhutan sehingga dengan bantuan pasukan
Nepal mereka akan dapat menguasai Bhutan seluruhnya.
Tentu saja diam-diam panglima yang tua itu terkejut sekali mendengar rencana ini dan baru dia
percaya bahwa putera panglima ini merencanakan pemberontakan hebat, bahkan pengkhianatan
dengan bersekutu bersama pasukan Nepal yang menjadi musuh Bhutan. Dia menyatakan
mengerti dan bergegas kembali ke kota raja untuk "melaksanakan" rencana yang diatur oleh
Mohinta itu. Tanpa mengenal lelah panglima tua ini lalu menemui Jayin yang memang sudah
menanti dan diceritakanlah semua pembicaraannya dengan Mohinta.
"Bagus! Permintaannya yang pertama harus dipenuhi, yaitu mengirim pasukan pengawal
pilihanku sendiri. Dan memang ada pasukan yang akan menyambut pasukan Nepal di
perbatasan, bukan untuk diajak bekerja sama, melainkan untuk dihancurkan!" kata Jayin
menahan kemarahannya.
Sesuai dengan permintaan Mohinta, seregu pasukan pengawal dikirim ke hutan itu, dan seorang
"utusan" panglima tua menyampaikan berita kepada Mohinta bahwa pasukan telah dipersiapkan
untuk "mengurung" istana, dan juga dikirim sebuah pasukan untuk menyambut bala tentara
Nepal di perbatasan. Tentu saja Mohinta menjadi girang bukan main. Biarpun hatinya juga diliputi
ketegangan hebat, namun dia sudah merasa yakin akan kemenangannya dan dia segera me-
ngawal sang puteri, berikut para pengawalnya sendiri dan pasukan pengawal yang baru saja
menyambutnya, memasuki kota raja dan karena rakyat sudah dikabari akan kembalinya sang
puteri, maka di sepanjang jalan rakyat menyambut dengan gembira. "Puteri" Syanti Dewi yang
duduk di dalam kereta itu melambaikan tangannya ke kanan kiri sambil tersenyum manis.
Mereka yang pernah mengenal sang puteri dari dekat, diam-diam merasa akan adanya
perubahan pada diri sang puteri itu. Memang sejak dahulu Puteri Syanti Dewi terkenal ramah
terhadap rakyat kecil, akan tetapi keramahannya itu bersifat halus, senyumnya agung dan
pandang matanya lembut. Akan tetapi ketika sang puteri melambaikan tangan dari dalam kereta
dan wajahnya nampak sepintas lalu, mereka ini melihat betapa senyum sang puteri itu, biarpun
masih tetap manis, mengandung kegenitan dan pandang matanya juga tidak selembut dahulu
lagi! Tentu saja perubahan yang sedikit ini tidak menimbulkan kecurigaan sesuatu.
Rakyat bersorak-sorak menyambut sang puteri yang memang dicinta oleh rakyat Bhutan yang
sudah lama ikut prihatin karena hilangnya sang puteri, sampai rombongan itu tiba di depan ista-
na, kemudian memasuki halaman istana yang lebar. Rakyat hanya bergerombol di luar halaman
yang terjaga. Para perajurit pengawal memberi hormat ketika Mohinta mengawal sang puteri
turun dari kereta dan berjalan dengan agungnya memasuki istana.
Sesuai dengan permintaan Ang Tek Hoat sri baginda menanti kedatangan puterinya itu di
ruangan yang luas di tengah istana, dan yang mendampingi raja itu hanya dua orang pengawal
pribadi yang memegang tombak. Ketika Mohinta tiba di luar pintu ruangan itu, para pengawal
istana melarang para pengawal ikut masuk bersama Mohinta memasuki ruangan itu dan hanya
membolehkan Mohinta dan sang puteri berjalan masuk. Karena Mohinta merasa yakin bahwa
para pengawal di istana ini pun tentu sudah "diberi" oleh ayahnya dan kaki tangannya, maka dia
dengan sikap tenang saja memasuki ruangan itu dengan sikap gagah.
Raja Bhutan duduk di atas kursinya dengan sikap tenang, sungguhpun jantungnya berdebar
penuh ketegangan. Hanya ada dua orang pengawal di belakangnya, sungguhpun dia maklum
bahwa Ang Tek Hoat berada di situ pula, entah bersembunyi di mana! Dan melihat betapa raja
hanya ditemani dua orang pengawal, diam-diam Mohinta menjadi girang bukan main. Inilah
saatnya bertindak, pikirnya dan begitu dia dan Syanti Dewi melangkah maju sampai cukup dekat,
tiba-tiba Mohinta mencabut pedangnya, menangkap pundak sang puteri dan menodongkan
pedangnya ke leher Syanti Dewi!
Bu Kek Sian Su - Episode 366
Jodoh Rajawali
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati sang raja melihat ini sungguhpun dia telah diberi tahu
akan rencana Mohinta yang membawa puterinya sebagai sandera. Kaget dan marah bukan main
hati raja itu melihat pengkhianatan ini. Dia turun dari kursinya, dengan muka merah dan mata
melotot, menudingkan telunjuk kirinya ke arah Mohinta dan membentak, suaranya penuh dengan
kemarahan.
"Mohinta, apa yang kaulakukan itu?" Suara sri baginda gemetar.
Dengan wajah beringas Mohinta berkata, "Sri baginda, dengarlah baik-baik! Pasukan
pengawalku sudah mengurung ruangan ini, juga istana telah dikurung oleh barisan ayahku, dan
di perbatasan telah menanti pasukan besar Nepal yang akan membantuku! Seluruh negeri
Bhutan telah berada dalam genggamanku, dan nyawa puterimu berada di teiapak tanganku pula!
Harap Paduka melihat kenyataan ini dan tidak melawan!"
Hampir raja itu tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking marahnya. "Pengkhianat busuk!
Semenjak beberapa keturunan, keluargamu telah menerima banyak anugerah dari kerajaan, juga
telah banyak membuat jasa yang mengharumkan nama keluargamu. Akan tetapi sehari ini
semua itu akan dihancurkan oleh kelakuan seorang keturunan macam kamu yang hina dan
rendah ini!"
"Sri baginda, tak perlu banyak cakap kalau Paduka menghendaki puterimu ini selamat!" bentak
Mohinta.
"Apa kehendakmu?" tanya raja, juga membentak.
"Buatkan pernyataan bahwa Paduka melepaskan kedudukan dan menyerahkan tahta kerajaan
kepadaku. Paduka telah terlalu tua dan aku sebagai mantu yang akan menggantikan kedudukan
di Bhutan!"
"Keparat! Jahanam! Tangkap pemberontak ini!" Raja itu berteriak-teriak dan dua orang
pengawalnya bergerak ke depan.
"Mundur kalian! Atau, kubunuh sang puteri, kemudian kubunuh pula Sri baginda!" bentak Mohinta
dan pedangnya makin dilekatkan ke leher sang puteri yang menjadi pucat dan gemetar
tubuhnya.
Dua orang pengawal itu menjadi ragu-ragu dan bingung. Akan tetapi pada saat itu nampak
bayangan berkelebat ke arah Mohinta. Panglima muda ini terkejut bukan main ketika bayangan
itu menyambar ke arahnya dan ada hawa pukulan dahsyat menyambar pula. Dia mengelebatkan
pedangnya, akan tetapi akibatnya, dia berteriak kesakitan dan terhuyung ke belakang karena
pedangnya itu membalik dan hampir mengenai mukanya sendiri, sedangkan pergelangan
tangannya yang kena pukulan hawa itu terasa nyeri. Ketika dia memandang, seorang pemuda
telah berdiri menghadang antara dia dan sang puteri dan semangatnya seperti terbang
meninggalkan tubuhnya ketika dia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Ang Tek Hoat!
Sementara itu, Sri baginda lari menghampiri sang puteri yang segera dipeluknya. "Syanti....
anakku.... ah, anakku....!"
Ang Tek Hoat memandang Mohinta dengan muka beringas dan menyeramkan sekali. Apalagi
ketika pemuda ini berkata lirih, namun cukup jelas terdengar oleh Mohinta, "Jahanam busuk
Mohinta, engkau telah membunuh ibuku dan untuk itu saja akan kuhancurkan kepalamu! Engkau
telah menyesatkan Syanti Dewi dan untuk itu akan kupatahkan batang lehermu! Dan engkau
merencanakan pengkhianatan dan pemberontakan, dan untuk itu engkau layak mampus sebagai
anjing pengkhianat!"
"Ahhh.... kau.... kau....!" Teriakan raja ini mengejutkan Tek Hoat yang cepat memutar tubuhnya.
Dia melihat Syanti Dewi dengan pisau di tangan menyerang raja! Raja Bhutan mengelak akan
tetapi lengannya masih tertusuk dan mengeluarkan darah.
"Syanti....! Kau gila....!" Tek Hoat berseru, akan tetapi Syanti Dewi mengeluarkan suara ketawa
aneh dan terus menyerang raja. Akan tetapi pada saat itu, dua orang pengawal raja sudah ber-
gerak, tombak mereka menghalang dan menyerang dan di lain saat, perut puteri itu sudah
ditembus tombak dan robohlah puteri itu dengan mata terbelalak dan ususnya keluar dari
lukanya, tubuhnya mandi darah.
"Dewi....!" Tek Hoat berseru lagi dan Raja Bhutan lalu diselamatkan oleh dua orang pengawal
melalui pintu rahasia.
Tek Hoat merasa kepalanya pening dan hampir dia roboh pingsan menyaksikan semua itu.
Syanti Dewi menyerang ayahnya sendiri dan puteri itu kemudian roboh tewas oleh pengawal.
Semua ini gara-gara Mohinta. Dia memutar tubuhnya, akan tetapi Mohinta telah lari keluar,
mempergunakan kesempatan selagi "puteri" itu menyerang raja dan Ang Tek Hoat tidak lagi
memperhatikan dirinya. Di luar terjadi keributan, terdengar suara hiruk-pikuk orang berkelahi.
Dengan hati hancur melihat tubuh kekasihnya menggeletak tak bernyawa dengan usus terurai
keluar, Tek Hoat mengerang dan berkelebat keluar dari dalam ruangan itu, mencabut pedang
Cui-beng-kiam dan sinar matanya mengandung hawa maut seperti seekor harimau yang haus
darah. Ternyata telah terjadi pertempuran di luar, di seluruh istana sampai keluar istana, yaitu
antara para pengikut Mohinta melawan para pengawal.
Mohinta terkejut setengah mati ketika tadi melihat munculnya Tek Hoat dan tahulah dia bahwa
rencananya gagal. Juga Syanti Dewi palsu tahu akan kegagalan itu maka dengan nekat dia me-
nyerang sang raja sehingga dia menemui ajalnya di ujung tombak dua orang pengawal. Ketika
tiba di luar dan melihat betapa pasukan pengawal yang menyambutnya tadi kini malah
bertanding melawan para pengikutnya, makin sadarlah Mohinta bahwa dia telah terjebak. Maka
dia pun lalu mengamuk dibantu oleh anak buahnya. Dan memang sebelumnya Mohinta telah
mempersiapkan diri maka para pengikutnya terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian
tinggi, bukan pengikut-pengikut biasa, bahkan di antara mereka terdapat orang-orang Nepal yang
menyamar, orang-orang yang kepandaiannya bahkan lebih tinggi daripada Mohinta sendiri!
Tek Hoat mengamuk dengan pedangnya. Begitu dia menerjang ke depan, kacaulah pertahanan
para pengikut Mohinta dan sebentar saja, Tek Hoat telah merobohkan banyak pengikut
pemberontak, akan tetapi dia terus berlari keluar mencari dan mengejar Mohinta. Ketika dia tiba
di ruangan depan, dia melihat Mohinta dibantu oleh beberapa orang anak buahnya, di antaranya
bahkan ada seorang berkepala gundul seperti hwesio yang amat lihai sedang mengamuk me-
robohkan para pengawal istana.
"Mohinta keparat, jangan lari!" Tek Hoat berseru nyaring dan menerjang ke depan, akan tetapi
dia disambut oleh banyak anak buah Mohinta yang cukup lihai sehingga Tek Hoat harus
menggerakkan pedangnya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya dari hujan senjata.
"Kepung! Bunuh!" Mohinta berseru memerintahkan anak buahnya karena dia maklum bahwa
selama pemuda ini belum roboh, maka dia sendiri terancam bahaya.
Anak buahnya berdatangan dan kiranya panglima muda ini memang telah menaruh banyak
mata-mata di situ, mata-mata yang berdatangan pada saat Mohinta memasuki istana dan para
anak buah itu kini dapat membantunya mengeroyok Tek Hoat. Ada dua puluh orang lebih kini
mengurung Tek Hoat yang mengamuk seorang diri saja karena para pengawal istana sudah
roboh oleh para pemberontak itu. Tek Hoat tidak menjadi gentar dan mengamuk terus sambil
berusaha mendekati Mohinta. Akan tetapi, para pengeroyoknya adalah orang-orang pilihan dari
Bhutan, sebagian dari Nepal dan bahkan ada beberapa orang Han yang telah menjadi kaki
tangan panglima muda itu.
Bagaikan seekor naga mengamuk, Tek Hoat menggerakkan pedangnya. Hatinya masih kalut,
kedukaan yang amat hebat menghimpit hatinya. Tubuh Syanti Dewi dengan usus keluar itu tak
pernah meninggalkan bayangan matanya dan dia mengamuk dengan gerakan nekat dan banyak
yang mengawur maka beberapa kali senjata lawan yang mengeroyoknya sempat mengenai
tubuhnya. Kedua pahanya luka-luka, celananya robek dan pakaiannya sudah ternoda darahnya
sendiri dan darah musuh. Namun, dia merobohkan mereka satu demi satu dan Cui-beng-kiam,
pedang pusaka yang mengerikan itu, kini boleh puas minum darah manusia. Berkali-kali pedang
ini memasuki tubuh seorang pengeroyok dan keluar lagi telah berwarna merah, dan darah-darah
itu seperti mencucinya, membuatnya mengkilap dan makin ampuh!
Bu Kek Sian Su - Episode 367
Jodoh Rajawali
Biarpun dia sendiri luka-luka dan banyak keluar darah dari lukanya, namun Tek Hoat tidak
merasakan semua itu. Satu-satunya hasrat dalam hatinya hanya membunuh Mohinta dan
biarpun dia sudah merobohkan belasan orang pengeroyok, dia masih belum dapat mendekati
Mohinta yang selalu menjauhkan diri itu. Kini hanya tinggal lima enam orang lagi saja yang masih
mengeroyoknya, di antaranya adalah orang berkepala gundul itu yang amat lihai mainkan tombak
bercabang tiga itu, bersama dengan beberapa orang pengawal dari Nepal yang pandai bermain
golok dan perisai. Mohinta sendiri hanya menyerang dari belakang setiap kali ada kesempatan,
kemudian meloncat mundur lagi kalau Tek Hoat membalikkan tubuhnya. Melihat kecurangan
orang yang amat dibencinya ini, Tek Hoat menjadi marah. Dia menanti kesempatan baik sambil
memutar Cui-beng-kiam menghalau semua serangan enam orang lihai yang membantu Mohinta
itu. Ketika pendengarannya dapat menangkap gerakan Mohinta yang menyerangnya lagi dari
belakang, Tek Hoat pura-pura tidak memperhatikannya, akan tetapi setelah serangan itu dekat
dengan tubuhnya, tiba-tiba dia melakukan gerakan meloncat dan membalik, kaki kirinya meng-
injak tangga lantai. Mohinta terkejut dan cepat meloncat hendak menjauhkan diri, akan tetapi Tek
Hoat yang berada di belakangnya itu, tanpa memutar tubuhnya telah menggerakkan Cui-beng-
kiam ke belakang, ke arah punggung Mohinta melalui bawah lengan kanannya.
"Blesssss....!" Mohinta menjerit ngeri ketika pedang Cui-beng-kiam itu memasuki punggung,
terus ke perut dan menembus ke depan. Darahnya muncrat-muncrat dan teriakannya seperti
babi disembelih.
"Itu untuk ibuku!" teriak Tek Hoat sambil mencabut pedangnya. Ketika tubuh lawan itu terhuyung-
huyung, kembali pedangnya membabat dua kali.
"Crakkk! Crakkk!" Kedua lengan Mohinta putus sebatas siku kena disambar Cui-beng-kiam.
"Itu untuk Kerajaan Bhutan!" kembali Tek Hoat berteriak.
Mohinta kembali menjerit dan matanya terbelalak memandang kedua lengannya yang buntung,
kini darah muncrat-muncrat dari perut, punggung, dan kedua lengan yang buntung. Akan tetapi
Tek Hoat masih belum berhenti menyerangnya. Pedangnya kembali berkelebat, menangkis
tombak laki-laki gundul sehingga ujung tombak bercabang tiga itu putus, kemudian pedang itu
masih terus membabat ke arah leher Mohinta yang sudah lemas dan kedua kakinya sudah
hampir tidak kuat berdiri lagi itu.
"Crakkk!" Leher Mohinta putus disambar Cui-beng-kiam dan lenyaplah jeritan-jeritan Mohinta
yang mengerikan tadi.
"Itu untuk Syanti Dewi!" kembali Tek Hoat berteriak dan kini pemuda ini mengamuk sampai enam
orang pengeroyoknya itu roboh semua, tewas di ujung Cui-beng-kiam. Akan tetapi karena dia
sendiri pun mengalami banyak luka, dan terutama sekali karena batinnya yang tertekan oleh
kematian Syanti Dewi, sambil mengeluh panjang setelah tidak melihat adanya seorang pun
lawan, Tek Hoat terkulai dan dengan Cui-beng-kiam masih di dalam genggamannya, dia roboh
pingsan!
Di luar istana juga terjadi pertempuran-pertempuran kecil dari pasukan-pasukan anak buah
Mohinta melawan pasukan-pasukan kerajaan yang dipimpin oleh para pembantu Panglima Jayin.
Akan tetapi karena pasukan-pasukan pemberontak itu telah kehilangan pimpinan mereka, yang
sudah ditawan terlebih dahulu oleh Jayin, maka perlawanan mereka pun setengah matang,
dilakukan setengah hati sehingga belum sampai setengah hari lamanya, mereka telah dapat
ditundukkan, dihancurkan dan ditawan. Sebagian besar di antara mereka menaluk. Demikian
pula, di perbatasan terjadi pertempuran antara pasukan Nepal yang sudah siap menyeberang
dengan pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Jayin sendiri. Pertama-tama Jayin mengirim utusan
yang menyamar sebagai utusan pemberontak, mempersilakan pasukan Nepal memasuki wilayah
Bhutan, setelah tiba di lorong sempit yang diapit dua buah bukit, pasukan Nepal itu diserbu dari
kanan kiri dan depan sehingga pasukan itu menjadi panik, akhirnya melarikan diri kembali ke
Nepal meninggalkan banyak korban.
Pemberontakan itu berhasil dihancurkan sebelum dimulai! Rakyat merasa gembira bukan main
karena mereka terhindar dari perang pemberontakan yang tentu akan merusak kesejahteraan
hidup. Apalagi ketika rakyat mengetahui bahwa yang tewas sebagai Puteri Syanti Dewi itu hanya
seorang wanita Nepal yang menyamar!
Akan tetapi, Ang Tek Hoat tidak tahu akan hal ini. Ketika dia ditolong dalam keadaan pingsan,
sampai beberapa hari dia tidak siuman, dan tubuhnya menderita demam panas. Dia jatuh sakit,
bukan hanya karena luka-lukanya melainkan terutama sekali karena kehancuran hatinya melihat
Syanti Dewi tewas. Untuk kedua kalinya, pemuda ini telah menyelamatkan dan membela Bhutan
dengan taruhan nyawa, bahkan telah mengorbankan dirinya sampai luka-luka. Karena sekali ini
benar-benar merasakan pembelaan pemuda ini, sri baginda merasa berterima kasih sekali dan
dia sendiri yang mengatur agar Tek Hoat memperoleh perawatan sebaiknya dari para ahli
pengobatan dalam istana.
Para ahli pengobatan yang pandai itu tahu bahwa pemuda ini jatuh sakit bukan hanya karena
luka-luka di tubuhnya. Untuk itu, tubuh pemuda ini sudah terlampau kebal dan terlatih sehingga
luka-luka itu tidak membahayakan keselamatannya. Akan tetapi yang mengkhawatirkan para ahli
pengobatan itu adalah guncangan batin yang membuat pemuda itu belum pulih benar
kesadarannya.
Memang Tek Hoat menjadi seperti seorang linglung. Dia hanya rebah dan kadang-kadang duduk,
diam saja tak pernah mau bicara. Kadang-kadang dia menangis tersedu-sedu menutupi
mukanya, memejamkan matanya hendak mengusir bayangan Syanti Dewi yang mati dalam
keadaan mengerikan itu. Kadang-kadang selagi tidur dia berteriak-teriak memanggil nama Syanti
Dewi dan memaki-maki Mohinta. Para ahli pengobatan merasa khawatir kalau-kalau tekanan
batin itu akan mempengaruhi jiwa pemuda itu dan membuatnya menjadi tidak waras. Oleh
karena itu, para ahli pengobatan itu menasihatkan kepada sri baginda agar kenyataan bahwa
yang tewas sebagai Puteri Syanti Dewi itu sesungguhnya bukan sang puteri, melainkan seorang
wanita Nepal yang menyamar. Para tabib ini khawatir kalau-kalau berita yang amat mengejutkan
akan mendatangkan guncangan yang terlalu hebat sehingga bahkan membuat penyakit Tek Hoat
menjadi makin parah. Sri baginda dapat menerima nasihat ini dan memerintahkan kepada semua
pelayan agar jangan menceritakan hal itu kepada Tek Hoat.
Sri baginda cukup bijaksana untuk mengampuni Panglima Sangita yang sudah tua, karena
memang sesungguhnya panglima tua ini hanya terpaksa dan terbujuk oleh puteranya saja.
Sedangkan para panglima dan perwira yang menjadi kaki tangan Mohinta, dijatuhi hukuman
cukup berat untuk membikin jerih mereka yang masih mempunyai niat untuk memberontak.
Pasukan-pasukan yang tadinya terpengaruh oleh Mohinta dan kawan-kawannya, dipecah-pecah
dan digabungkan dengan pasukan pemerintah yang setia untuk mencuci bersih batin mereka dari
sisa-sisa keinginan memberontak.
Setelah Panglima Sangita yang tua itu dipensiun dan dibebastugaskan, dengan sendirinya
Panglima Jayin rmenjadi panglima pertama, dan biarpun belum diadakan pengangkatan resmi,
namun Ang Tek Hoat diangkat lagi menjadi panglima muda oleh sri baginda di Bhutan.
Perang terjadi di seluruh dunia semenjak jaman dahulu sampai sekarang, tiada henti-hentinya.
Baik yang dinamakan perang dingin atau perang panas, perang politik, ekonomi, kebudayaan,
perang halus maupun kasar, tak pernah lenyap dan selalu ada di antara bangsa sebagai letusan-
letusan dari kemarahan, kebencian dan permusuhan. Perang yang terjadi antara bangsa, di
bagian manapun juga di dunia ini, tidak terlepas dari setiap orang dari kita, karena bangsa
merupakan kelompok manusia, oleh karena itu, perang adalah masalah setiap orang manusia di
dunia ini, tidak peduli di manapun dia tinggal dan hidup, tidak peduli negaranya berada dalam
perang atau tidak pada saat itu. Perang antara bangsa tidak terpisahkan dari keadaan diri setiap
orang manusia, karena perang pada hakekatnya adalah kekerasan yang timbul dari keadaan
batin yang penuh dengan kebencian, dengan perebutan kekuasaan, perebutan kebenaran, dan
pementingan diri sendiri. Perang antara bangsa hanya merupakan gambaran besar dari perang
yang setiap saat timbul di dalam hati kita sendiri masing-masing. Setiap saat, setiap hari juga
terjadi pertentangan-pertentangan, konflik-konflik yang menimbulkan kebencian, kemarahan,
dendam, iri hati, persaingan, perebutan yang kesemuanya itu didasari oleh keinginan untuk
mementingkan diri sendiri, untuk mencari kesenangan atau keenakan bagi diri sendiri sehingga
dalam pencarian atau pengejaran kesenangan ini kita tidak mempedulikan lagi keadaan orang
lain. Demi mencapai cita-cita, mencapai apa yang kita kejar, yang tentu saja kita anggap akan
mendatangkan kesenangan, maka kalau perlu kita membasmi siapa saja yang kita anggap
menjadi penghalang tercapainya cita-cita kita itu. Demikianlah keadaan perang di dalam batin
kita setiap saat sehingga batin kita penuh dengan kemarahan, kebencian, dan kekerasan dalam
permusuhan. Hal ini dapat kita lihat setiap saat di sekeliling diri kita, atau di dalam diri kita sendiri.
Dan selama kita masing-masing tidak berubah, maka perang akan selalu berkobar di dunia ini,
karena yang bertanggung jawab adalah kita masing-masing manusia di permukaan bumi ini.
Bu Kek Sian Su - Episode 368
Jodoh Rajawali
Dapatkah kita hidup tanpa perang? Perang dalam arti kata perang antara bangsa, antara suku,
antara kelompok, antara golongan, antara keluarga, antara tetangga, dan antara manusia
perorangan, bahkan perang dalam diri sendiri antara nafsu-nafsu keinginan kita? Berakhirnya
"perang" di dalam batin mengakhiri perang di luar diri, karena lahir dan batin tak terpisahkan, kait-
mengait dan pengaruh-mempengaruhi. Bagaimana mungkin kita hidup damai lahiriah dengan
orang lain kalau batin kita mengandung kebencian? Mengandung kemarahan, iri hati, rasa takut
dan keinginan untuk enak sendiri? Jelas tidak mungkin! Sebaliknya, kalau batin tidak lagi dihuni
oleh kemarahan, kebencian, iri hati, rasa takut, keinginan enak sendiri, batin seperti itu adalah
batin yang hening dan bersih, batin seperti itu penuh dengan cahaya cinta kasih, dan bagi batin
seperti itu tidak ada perang, tidak ada permusuhan, tidak ada kekerasan!
Raja Bhutan dan Panglima Jayin tentu saja merasa bahwa mereka telah berhasil membasmi
pemberontakan, akan tetapi mereka lupa bahwa pemberontakanpemberontakan tidak akan
pernah berhenti, baik pemberontakan halus maupun kasar, selama manusia mementingkan
kedudukan, harta benda, nama dan kehormatan, pendeknya selama manusia mengejar-ngejar
kesenangan dan mementingkan semua itu lebih tinggi daripada si manusia sendiri. Raja Bhutan
dan Jayin sama sekali bukan melenyapkan pemberontakan, melainkan hanya memperoleh
kemenangan sementara saja, kemenangan yang harus pula dijaganya dengan kekerasan,
karena kemenangan itu diperoleh dengan jalan kekerasan pula. Ketenangan dan kedamaian
yang diciptakan oleh penekanan dan kekerasan bukanlah kedamaian lagi namanya. Manusia
tidak lagi melakukan pemberontakan bukan karena dalam batinnya sudah penuh dengan cinta
kasih, melainkan karena mereka takut melakukan pemberontakan itu! Dan ketenteraman seperti
ini, yang diciptakan dengan menciptakan pula rasa takut, hanya akan bertahan untuk sementara
saja, karena sekali waktu, ketenteraman itu akan terganggu oleh pemberontakan yang lain
apabila yang takut sudah tidak takut lagi menurut keadaan pada saat itu!
Ketertiban yang sungguh-sungguh ketertiban adalah ketertiban yang timbul dari cinta kasih!
Ketertiban yang timbul oleh paksaan kekuasaan, bukanlah ketertiban lagi namanya, melainkan
ketidaktertiban yang dipulas. Dan ketertiban berdasarkan cinta kasih tidak mungkin dapat diatur,
melainkan datang dengan sewajarnya apabila kita masing-masing tidak lagi dicengkeram oleh
keinginan menyenangkan diri sendiri, apabila tidak ada lagi si aku, si kamu dan si dia. bukan
berarti bahwa kita lalu menjadi boneka-boneka hidup yang digerakkan oleh suatu kekuasaan
tertentu yang membuat kita mati daya cipta kita, membuat kita kehilangan kepribadian, membuat
kita memejamkan mata dan hanya bertindak menurut perintah atau menyesuaikan diri dengan
apa yang diajarkan oleh kekuasaan itu! Sama sekali tidak, karena kalau demikian, sama saja kita
hidup di bawah penekanan kekerasan dan terjadi konflik-konflik dalam batin yang akhirnya akan
tercetus keluar menjadi tindakan kekerasan yang menimbulkan permusuhan antara manusia.
Ketertiban, cinta kasih tidak bisa dipaksakan, tidak bisa disusun atau dibentuk, melainkan timbul
sewajarnya kalau segala bentuk kekerasan sudah lenyap sama sekali dari batin.
***
Seperti juga dengan para pendekar yang membantu pemerintah menentang pemberontakan
yang didalangi oleh Koksu Nepal, yang setelah benteng musuh itu dapat dihancurkan lalu pergi
cerai-berai, masing-masing mengambil jalan sendiri, demikian pula dengan para tokoh yang
tadinya membantu pemberontakan itu. Seperti kita ketahui, rombongan Bhutan yang dipimpin
oleh Mohinta telah lebih dulu meninggalkan benteng dan mengawal Puteri Syanti Dewi palsu
untuk melaksanakan rencana pemberontakan Mohinta di Bhutan. Juga rombongan Liong-sim-
pang yang dikepalai Hwa-i-kongcu Tang Hun telah lolos dari benteng, mengambil jalannya
sendiri. Hek-tiauw Lo-mo juga telah pergi, mencari puteri angkatnya, demikian pula Hek-hwa Lo-
kwi juga sudah pergi mencari keselamatannya sendiri. Bahkan tiga orang pandai yang tadinya
membantu Hwa-i-kongcu Tang Hun, yaitu Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-liong-ong
Ciok Gu To, setelah melihat kegagalan orang yang dibantunya, juga telah pergi memisahkan diri
meninggalkan benteng.
Demikian pula dengan halnya Ngo-ok, lima orang datuk kaum sesat yang berilmu tinggi itu.
Biarpun tadinya mereka memperoleh kesempatan untuk meninggalkan benteng bersama-sama,
namun setelah tiba di luar benteng, mereka berpencar. Empat orang di antara Ngo-ok tidak mau
mengikuti Sam-ok atau Koksu Nepal yang telah gagal itu. Mereka tidak mau ikut pergi ke negara
Nepal, maka mereka pergi sendiri memisahkan diri, meninggalkan Koksu Nepal yang seperti kita
ketahui pergi bersama muridnya, Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu. Kalau tadinya
keempat orang di antara Ngo-ok itu menyambut undangan Sam-ok untuk membantu adalah
karena Sam-ok atau Koksu Nepal itu mengadakan pergerakan di Tiongkok dkn mereka
mengharapkan kedudukan kalau gerakan itu berhasil. Akan tetapi gerakan pemberontakan itu
gagal dan mereka kini tidak bernafsu untuk mencari kemuliaan di negeri lain seperti Nepal, maka
mereka berempat meninggalkan Koksu Nepal dan mengambil jalan sendiri, sungguhpun mereka
berempat masih belum berpencar, masih melakukan perjalanan bersama menuju ke utara.
Pada saat benteng yang dibangun oleh mendiang Jenderal Kao Liang atas pemaksaan Koksu
Nepal itu runtuh dan terbakar di antara pertempuran ketika pasukan-pasukan pimpinan Puteri
Milana menyerbu benteng, jauh tinggi di angkasa nampak sebuah titik hitam bergerak-gerak,
melayang-layang berputaran di atas tempat itu. Orang-orang yang berada di bawah, di dalam
dan luar benteng yang terbakar itu, terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri, dengan perang
dan bunuh-membunuh sehingga tidak ada seorang pun yang sempat memandang ke atas dan
melihat titik hitam yang kini makin membesar sehingga akhirnya nampak bahwa titik hitam itu
adalah seekor burung rajawali yang melayang-layang di antara awan dan asap yang bergulung-
gulung naik dari benteng yang kebakaran itu. Andaikata ada yang melihatnya, tentu orang itu
akan merasa terkejut dan heran sekali melihat bahwa di atas punggung burung rajawali raksasa
itu duduk seorang manusia! Orang yang melihatnya tentu akan menyangka bahwa yang
menunggang rajawali itu seorang dewa!
Burung itu sendiri adalah seekor burung rajawali yang sudah jarang dapat ditemukan orang di
jaman itu, seekor burung rajawali besar yang hanya hidup di tempat asing, jauh di utara. Burung
itu telah tua sekali, namun masih kelihatan kuat ketika menggerakkan sayapnya yang lebar dan
nampaknya ringan saja dia membawa seorang manusia di punggungnya. Manusia itu pun aneh.
Kakinya buntung sebelah, tinggal kaki kanannya saja, pakaiannya sederhana sekali, rambutnya
panjang terurai dan berwarna putih perak, demikian pula jenggotnya yang agak panjang.
Wajahnya agak kurus, namun masih nampak bahwa dahulu orang berkaki buntung sebelah ini
tentu merupakan seorang pria yang tampan. Tubuhnya sedang, agak kekurus-kurusan dan dia
duduk di atas punggung rajawali yang terbang cepat di angkasa itu seperti orang menunggang
kuda saja, enak dan tenang. Tangan kirinya memegang sebatang tongkat butut yang
ditempelkannya ke leher burung, agaknya tongkat itulah yang menjadi pengganti kendali untuk
mengemudikan burung itu, atau setidaknya untuk memberi isyarat ke mana burung itu harus
terbang.
Kini burung rajawali itu menguik-nguik panik ketika dia terpaksa memasuki gumpalan asap
menghitam bercampur awan, asap yang membubung tinggi dari benteng yang terbakar itu.
Kakek berkaki buntung yang usianya tentu sudah lebih dari enam puluh tahun itu menggerakkan
tongkatnya dan burung itu menukik turun lalu membelok ke kiri menghindarkan diri dari asap,
keluar dari gumpalan menghitam yang baunya menyesakkan napas itu.
"Hemmm, perang...., lagi-lagi perang.... pertempuran, bunuh-membunuh di antara manusia....!"
Kakek itu menggumamkan sambil memandang ke bawah di mana pertempuran masih
berlangsung. Kakek ini bukan lain adalah Suma Han. Pendekar Super Sakti atau Pendekar
Siluman, Majikan Pulau Es.
Bu Kek Sian Su - Episode 369
Jodoh Rajawali
Seperti telah kita ketahui, Pendekar Super Sakti seolah-olah ditangisi oleh kedua orang isterinya
yang tercinta untuk pergi meninggalkan pulau dan mencari putera-putera mereka yang sudah
terlalu lama pergi merantau tanpa ada kabar ceritanya. Sebenarnya, pendekar sakti yang tua ini
enggan pergi meninggalkan pulaunya, akan tetapi akhirnya dia mengalah juga terhadap keluhan
dan bujukan isteri-isterinya dan pergilah dia bersama burung rajawali yang tua itu meninggalkan
pulau dan mulai dengan perantauannya mencari dua orang puteranya, yaitu Suma Kian Lee dan
Suma Kian Bu.
Ketika dia mendengar akan gerakan pasukan kerajaan yang kabarnya telah menindas
pemberontakan di Propinsi Ho-nan dan kini pasukan itu bergerak menuju ke sebuah benteng di
lembah, hatinya tertarik karena sangat boleh jadi kedua orang puteranya itu terlibat pula dalam
penindasan pemberontakan ini, seperti yang pernah mereka lakukan ketika terjadi
pemberontakan dari kedua orang Pangeran Liong. Maka dia pun lalu menyusul ke tempat itu,
menunggang burung rajawalinya yang tua.
Akan tetapi, ketika melihat pertempuran yang terjadi di bawah, melihat betapa benteng para
pemberontak itu dapat dibobolkan dan terbakar, pendekar sakti yang sudah sering menyaksikan
perang di antara manusia itu menjadi muak, dan tidak mau mendekati tempat ini, melainkan
menyuruh rajawalinya berputaran di atas dan memasang mata kalau-kalau dia akan melihat dua
orang puteranya. Dari tempat tinggi, di antara gumpalan asap, dia samar-samar dapat melihat
pemimpin pasukan pemerintah dan jantungnya berdebar karena dia mengenal puterinya, yaitu
Puteri Milana! Ah, kalau begitu tentu pemberontakan itu cukup penting dan berbahaya, pikirnya.
Kalau tidak demikian, kiranya kaisar tidak akan mengganggu Milana yang sudah hidup tenang
dan tenteram bersama pria yang dikasihinya, Gak Bun ESeng di puncak Telaga Warna di
Pegunungan Beng-san. Pula, kalau tidak penting dan berbahaya, tentu puterinya itu pun tidak
akan mau menceburkan diri dalam medan perang seperti itu.
Akan tetapi, melihat puterinya memimpin pasukan untuk membasmi pemberontak, yang berarti
adanya bunuhmembunuh yang mengerikan di antara manusia, Pendekar Super Sakti merasa
enggan untuk turun menemui puterinya. Dia tidak melihat adanya Kian Lee dan Kian Bu, maka
dia lalu menyuruh burungnya agak menjauhi benteng. Burung itu agaknya merasa girang karena
binatang ini pun menjadi panik melihat asap hitam bergumpal-gumpal itu maka dengan cepat lalu
meluncur ke arah timur.
Tiba-tiba Pendekar Super Sakti terkejut melihat bayangan empat orang yang bentuk tubuhnya
aneh-aneh, akan tetapi terutama sekali yang mengejutkan hati pendekar ini adalah cara empat
orang itu bergerak dan lari. Mereka itu bergerak cepat bukan main dan dari tempat tinggi itu
Suma Han dapat mengenal orang-orang pandai yang memiliki ilmu yang sudah sangat tinggi
tingkatnya. Maka dia lalu menyuruh burungnya menukik dan mendekati. Setelah agak dekat di
atas empat orang yang berlari cepat sekali itu, pendekar sakti yang tua ini makin kaget karena
dia mengenal dua orang di antara mereka, yaitu Twa-ok dan Ji-ok yang pernah bentrok dengan
dia belum lama ini. Kalau yang dua orang ini Twa-ok dan Ji-ok, maka melihat bentuk tubuh
mereka, yang dua orang lain lagi pastilah orang-orang di antara Ngo-ok yang terkenal itu. Dan
kalau Ngo-ok sudah bergerak di tempat ini, maka tentulah terjadi urusan besar dan bukan tidak
mungkin empat orang itu tahu di mana adanya Kian Lee dan Kian Bu. Bukankah Twa-ok sendiri
pernah bercerita kepadanya tentang Kian Bu yang katanya rambutnya putih semua, berjuluk
Siluman Kecil dan katanya bergulang-gulung dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo? Tentu mereka itu
tahu di mana adanya Kian Bu. Berpikir demikian, Suma Han lalu menyuruh rajawalinya terbang
turun dan setelah burung itu berada kurang lebih empat meter dari tanah, dia lalu meloncat turun
dan membiarkan burungnya terbang naik lagi.
Munculnya pendekar sakti ini sama sekali tidak menimbulkan suara sehingga ketika empat orang
itu tiba-tiba melihat si pendekar sakti berdiri tegak di depan mereka, tentu saja mereka terkejut
bukan main. Memang mereka itu adalah Twa-ok, Ji-ok, Su-ok dan Ngo-ok, empat di antara Ngo-
ok. Mereka sedang meninggalkan benteng yang terbakar itu dengan hati kecewa dan mengkal
karena gagalnya usaha mereka, yaitu Sam-ok atau Koksu Nepal. Kegagalan itu bukan hanya
merugikan mereka yang telah membuang waktu dan tenaga untuk membantu usaha Sam-ok,
akan tetapi terutama sekali karena kegagalan itu pun sekaligus menjatuhkan nama mereka
sebagai Ngo-ok! Pemberontakan yang dibantu oleh Ngo-ok gagal sedemikian rupa, tentu saja hal
ini menampar muka mereka. Kini, melihat betapa tiba-tiba Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau
Es itu menghadang di depan mereka, empat orang ini terkejut, agak gentar akan tetapi juga ma-
rah. Anak-anak dari pendekar inilah yang membantu pemerintah sehingga gerakan itu gagal dan
terutama sekali Twa-ok dan Ji-ok yang pernah bentrok dan terpukul mundur oleh Pendekar
Siluman ini, kini mendapatkan kesempatan untuk membalas kekalahan mereka karena kini ada
Su-ok dan Ngo-ok yang membantu mereka. Rasa penasaran karena pernah dikalahkan,
kemudian rasa kecewa karena kegagalan pemberontakan itu, kini hendak mereka tumpahkan
kepada Pendekar Super Sakti, maka Twa-ok sudah berkata dengan sikapnya yang biasa, yaitu
tenang dan gerak-geriknya yang halus lembut.
"Ah, kiranya yang terhormat Suma-taihiap alias Pendekar Super Sakti alias Pendekar Siluman,
Majikan Pulau Es yang datang menghadang kita! Saudara-saudaraku, tamu agung tiba, mari kita
sambut dengan penuh kehormatan!" Ucapan ini halus dan menghormat, akan tetapi merupakan
isyarat bagi teman-temannya untuk menyerang pendekar berkaki satu itu.
"Maafkan kalau aku mengganggu kalian berempat. Aku hanya ingin bertanya kalau-kalau Su-wi
(kalian berempat) melihat dua orang puteraku, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu." Dia ber-
henti sebentar, memandang kepada empat orang itu dengan sinar mata tajam penuh selidik.
"Apakah putera-puteraku itu terlibat dalam pertempuran di benteng yang terbakar itu dan
apakah...."
Baru sampai di sini pendekar itu bicara, Ngo-ok Toat-beng Sian-su, si tosu yang tingginya dua
setengah meter itu, dengan mukanya yang selalu sedih, telah mengeluarkan teriakan menyayat
hati dan dia sudah menerjang dengan kedua tangannya yang berlengan panjang. Serangan ini
hebat sekali, dan begitu Pendekar Super Sakti mengelak, dari samping sudah menerjang Su-ok
Siauw-siang-cu, hwesio gendut pendek katai itu yang menggelundung seperti trenggiling, me-
lakukan penyerangan secara diam-diam dan pengecut, menghantam dari bawah ke arah
belakang kaki Suma Han! Dan menyusul itu, hampir bersamaan waktunya, Ji-ok Kui-bin Nio-nio
dan Twa-ok Su Lo Ti juga sudah bergerak dan masingmasing sudah menerjang dengan ganas
dan dahsyat!
Mula-mula Suma Han hanya mengelak dari serangan-serangan itu satu demi satu, akan tetapi
ketika serangan-serangan itu dilanjutkan dengan desakan yang bertubi-tubi, dan setiap serangan
merupakan jangkauan tangan maut, pendekar ini terkejut juga dan tahulah dia bahwa yang
dihadapinya adalah orang-orang lihai dengan kepandaian silat tingkat tinggi yang berbahaya dan
sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Pendekar sakti ini lalu mengeluarkan suara
melengking nyaring dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap dari depan empat orang pengeroyoknya,
dan yang nampak hanya bayangannya saja berkelebatan dengan kecepatan seperti kilat
menyambar dan ke manapun empat orang lawan itu menubruk dan menyerang, selalu bayangan
itu melejit dan meluncur dengan cepat, membuat semua serangan itu mengenai tempat kosong
belaka. Empat orang datuk kaum sesat itu terheran-heran. Tahulah mereka bahwa lawan ini
menggumakan Ilmu Soan-hong-lui-kun, ilmu ajaib yang terkenal sekali dimiliki oleh Pendekar
Siluman ini.
Akan tetapi Suma Han tidak ingin mencari permusuhan, maka setelah berkelebatan mengelak ke
sana-sini mengandalkan Ilmu Soan-hong-lui-kun, tiba-tiba dia turun dan berdiri tegak sambil ber-
seru, "Tahan, harap kalian suka dengarkan bicaraku dulu!"
Pendekar Siluman itu berdiri tegak dengan satu kaki kanannya, tangan kiri memegangi tongkat
bututnya yang dipergunakan sebagai pengganti kaki kiri, sikapnya tenang sekali namun agung
dan berwibawa. Empat orang datuk kaum sesat itu penasaran dan masih belum hilang rasa
kaget dan heran menyaksikan gerakan lawan yang tidak lumrah manusia itu. Ji-ok Kui-bin Nio-
nio sudah memasang kuda-kuda yang amat aneh, yaitu kedua lengannya diangkat ke atas,
kedua lengan itu menggigil dan bergerak-gerak, dari situ memancar hawa dingin, dan dia seolah-
olah dengan susah payah menahan kedua tangannya berikut jari-jari tangan yang seperti "hidup"
dan hendak bergerak sendiri itu. Twa-ok Su Lo Ti juga memasang kuda-kuda yang aneh dan
lucu, agak membongkok, tangan kanannya membentuk cakar setan dan tangan kirinya membuka
jari telunjuk dan jari tengah, seperti siap untuk menotok atau mencapit! Su-ok Siauw-siang-cu si
gundul pendek kelihatan makin pendek karena dia memasang kuda-kuda berjongkok dan itulah
kuda-kuda untuk ilmunya yang hebat, yaitu pukulan sakti Katak Buduk! Yang paling aneh adalah
si jangkung Ngo-ok Toat-beng Sian-su yang memasang kuda-kuda dengan kedua tangan di
bawah dan kedua kaki di atas. Karena tubuhnya jangkung bukan main, dua setengah meter
panjangnya, maka ketika dia berdiri seperti itu, kedua kakinya menjadi seperti dua batang kayu
yang menjulang tinggi!
Melihat gaya aneh-aneh dari empat orang pengeroyoknya yang kini memasang kuda-kuda
mengepungnya dengan membentuk setengah lingkaran, Suma Han tetap tenang saja.
Bu Kek Sian Su - Episode 370
Jodoh Rajawali
"Aku tidak pernah dan tidak ingin bermusuhan dengan Su-wi, maka hendaknya Su-wi suka
bersabar. Aku hanya ingin bertanya tentang kedua orang puteraku itu. Kalau di antara Su-wi ada
yang tahu, harap memberi tahu, kalau tidak ada yang tahu, sudahlah, aku tidak akan
mengganggu lebih lama lagi. Kita bukan anak-anak kecil yang tanpa sebab dan tanpa alasan
berkelahi seperti gila. Nah, tahukah Su-wi tentang kedua orang puteraku itu ataukah tidak?"
Empat orang itu tidak menjawab, hanya memandang dengan sinar mata penuh kebencian.
Mereka itu tidak mempedulikan pertanyaan Suma Han, melainkan sedang memutar otak mencari
jalan bagaimana baiknya menyerang dan menjatuhkan Majikan Pulau Es yang amat sakti ini.
Selagi Pendekar Super Sakti hendak mengulang pertanyaannya, tiba-tiba terdengar pekik aneh
di angkasa dan ternyata burung rajawali itu diserang oleh seekor burung garuda! Semua orang
melirik ke atas, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan orang yang suaranya parau dan
kasar sekali.
"Huh, kalau bapaknya tak tahu malu, anaknya pun tidak tahu malu pula!" Semua orang
menengok, dan Suma Han segera mengenal kakek yang baru datang ini, kakek raksas yang
kelihatan menakutkan dan buas. Kakek ini bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, penghuni Pulau
Neraka!
"Suma Han, engkau tidak bisa mendidik anakmu! Anakmu yang bernama Suma Kian Lee itu
sungguh tidak tahu malu, dan kalau engkau tidak dapat menghajarnya, biar aku yang akan
menghajarnya sampai mampus!"
Tadinya Suma Han tidak mempedulikan munculnya Hek-tiauw Lo-mo ini, akan tetapi mendengar
ucapan itu yang menyangkut nama seorang di antara dua puteranya yang sedang dicarinya, dia
tertarik.
"Hek-tiauw Lo-mo, apakah maksudmu? Di mana adanya Kian Lee?"
"Kalau aku tahu di mana dia, sudah kudatangi dia dan kubunuh dia!" jawab ketua Pulau Neraka
ini dengan marah. Kakek raksasa ini sudah mendengar bahwa Hwee Li telah dirampas oleh Kian
Lee dari tangan Liong Bian Cu, maka dia marah dan memaki-maki begitu melihat Pendekar
Super Sakti.
Suma Han menarik napas panjang. Dia mengenal orang ini dan tahu akan wataknya yang liar,
kasar dan keras, maka maki-makian terhadap puteranya itu tidak dihiraukannya.
"Hek-tiauw Lo-mo, setidaknya engkau tentu dapat menceritakan apa yang telah diperbuat oleh
puteraku itu sehingga engkau marah-marah seperti ini."
"Apa yang diperbuatnya? Setan cilik itu telah merampas dan menculik puteriku! Hayo engkau
yang menjadi bapaknya harus bertanggung jawab! Kalau engkau tidak bisa memaksa puteramu
itu untuk mengembalikan puteriku, maka namamu akan cemar selama hidup, bahkan sampai ke
anak cucumu akan menanggung kecemaran namamu!"
Suma Han mengerutkan alisnya. Segala makian dan omongan keji yang keluar dari mulut kakek
raksasa itu tidak dia masukkan dalam hati karena memang dia sudah tahu orang macam apa
adanya ketua Pulau Neraka itu. Akan tetapi yang merisaukan hatinya adalah berita tentang Kian
Lee yang menculik seorang gadis itu! Dan dia merasa heran akan bersimpang-siurnya berita itu.
Twa-ok belum lama ini menceritakan kepadanya bahwa Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil
katanya gulang-gulung dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo, dan kini Hek-tiauw Lo-mo sendiri
menuduh Kian Lee menculik puterinya! Bagaimana ini? Dia menoleh kepada Twa-ok dan dengan
hati kesal pendekar itu berkata.
"Twa-ok mengatakan kepadaku bahwa Kian Bu bergaul erat dengan puterimu, Hek-tiauw Lo-mo,
dan sekarang engkau mengatakan bahwa Kian Lee menculik puterimu. Siapakah yang benar
dalam memberikan berita ini? Ataukah keduanya bohong?"
"Tidak ada yang bohong! Dua berita itu semua benar. Twa-ok juga menceritakan kenyataan
bahwa anakmu bernama Kian Bu itu mengejar-ngejar puteriku, juga anakmu yang bernama Kian
Lee kini menculik puteriku, Hwee Li yang manis. Memang dua anakmu itu mata keranjang, gila
perempuan!"
"Heh-heh-heh-ha-ha-ha! Kacang mana meninggalkan lanjaran? Buah apel tidak akan jatuh terlalu
jauh dari pohonnya. Anak tidak akan jauh berbeda dari ayahnya. Aku mendengar bahwa
Pendekar Siluman juga seorang laki-laki mata keranjang, bahkan isterinya dua disembunyikan di
pulau kosong. Mana anak-anaknya tidak mata keranjang pula? Ha-ha-ha!" kata Su-ok Siauw-
siang-cu yang memang pandai sekali bicara. Kakek berkepala gundul ini tertawa-tawa sambil
memegangi perutnya saking gelinya, bahkan dia lalu terguling dan tertawa-tawa sambil
bergulingan di atas tanah!
Bu Kek Sian Su - Episode 371
Jodoh Rajawali
Suma Han mengerutkan alisnya. Sinar matanya menjadi tajam sekali dan betapapun juga, dia
mulai marah. "Hemmm, kalian adalah manusia-manusia iblis, mana mungkin bisa dipercaya
omongannya?"
Pada saat itu, terdengar teriakan nyaring dan Suma Han terkejut bukan main karena teriakan itu
adalah teriakan kesakitan dari burung rajawalinya! Cepat dia memandang dan dia menahan
seruannya ketika melihat betapa burung rajawali dan burung garuda yang tadi bertarung di
angkasa itu keduanya kini roboh ke bawah, meluncur cepat sekali, kemudian terbaring berdebuk
di atas tanah dan keduanya sudah tidak bergerak lagi. Dengan sekali melompat Suma Han -
menghampiri dan memeriksa dua bangkai burung itu. Kiranya mereka itu luka-luka parah dan
agaknya saling bunuh dalam pertarungan tadi, mati sampyuh karena sama kuatnya dan sama
tuanya pula. Suma Han berduka sekali, berjongkok dan mengelus kepala bangkai rajawalinya.
Tiba-tiba ada angin dahsyat menyambar dan empat orang dari Ngo-ok itu bersama Hek-tiauw Lo-
mo sudah menyerangnya selagi dia berjongkok memeriksa bangkai burungnya.
Kini marahlah Suma Han. Dia melengking nyaring dan tubuhnya berkelebat cepat, tongkatnya
bergerak, bukan hanya untuk menangkis melainkan untuk balas menyerang pula. Hebat bukan
main gerakan pendekar ini dan begitu tongkatnya diputar, lima orang pengeroyoknya itu terpaksa
mundur untuk mengatur kedudukan lagi, kemudian mereka kembali menyerang dari pelbagai
jurusan. Suma Han kini tidak banyak mengalah, dia mengelak, menangkis dan balas menyerang.
Terjadilah perkelahian yang amat hebat di tempat sunyi itu. Biarpun mereka bertanding tanpa
suara, namun debu beterbangan dan pohon-pohon di sekitar tempat itu seperti dilanda angin
besar. Tubuh Suma Han sudah lenyap, yang nampak hanya bayangan tubuhnya berkelebatan
seperti kilat menyambar-nyambar, hebat sekali karena dari sambaran tubuhnya itu keluar hawa
yang kadang-kadang panas sekali dan kadang-kadang juga dingin bukan main. Terpaksa lima
orang lawannya itu harus mengerahkan sinkang sekuat tenaga mereka karena kalau tidak, tentu
tanpa terkena pukulan pun mereka itu akan tidak kuat menghadapi gelombang hawa yang
berubahubah itu.
Twa-ok yang memiliki tingkat kepandaian paling tinggi, merasa menyesal sekali bahwa dalam
kesempatan menghadapi seorang lawan seperti Pendekar Super Sakti ini, Sam-ok tidak berada
di situ bersama mereka. Biarpun dalam urutan tingkat, Koksu Nepal itu hanya tingkat tiga, namun
sesungguhnya Sam-ok memiliki keistimewaan sendiri dan tidak kalah oleh Ji-ok, dan mereka ber-
lima memang telah memiliki kerja sama yang amat baik maka mereka terkenal sebagai Ngo-ok.
Belasan tshun yang lalu, ketika di pantai selatan diadakan pertandingan antara datuk, hanya
karena mereka berlima dapat bekerja sama sajalah maka Ngo-ok dapat menjagoi dan tidak ada
lawan yang dapat mengalahkan lima orang datuk ini, biarpun lawan yang lebih banyak jumlahnya
sekalipun, seperti Cap-sha-tin (Barisan Tiga Belas), Pat-kwa-tin (Barisan Delapan) dan lain lagi.
Biarpun kini di sini terdapat Hek-tiauw Lo-mo yang membuat jumlah mereka tetap lima, namun
Hek-tiauw Lo-mo masih terlampau rendah tingkatnya, dan tidak bisa bekerja sama dengan
mereka sehingga bantuan kakek raksasa ini tidak terlalu banyak artinya. Kalau ada Sam-ok,
tentu kelima orang Ngo-ok itu dapat mainkan Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur) yang amat
dahsyat itu.
Kekhawatiran Twa-ok memang beralasan karena setelah lewat seratus jurus, mulailah lima orang
itu terdesak hebat oleh gerakan Pendekar Super Sakti, terutama sekali Hek-tiauw Lo-mo yang
sudah beberapa kali sampai terhuyung-huyung terdorong oleh hawa pukulan Majikan Pulau Es
itu. Kerja sama antara empat orang itu pun menjadi kacau-balau dan kalau tadinya mereka masih
mampu saling bantu membentuk pertahanan dan penyerangan bersama, kini rangkaian itu putus
dan mereka kini bergerak sendiri-sendiri. Tentu saja hal ini amat merugikan mereka karena
mereka itu masingmasing sama sekali tidak mampu menandingi kecepatan gerakan Pendekar
Super Sakti yang mempergunakan Ilmu Soan-hong-lui-kun.
Mcngerti bahwa kalau dilanjutkan tentu fihaknya akan roboh semua, Twa-ok yang cerdik segera
memberi isyarat kepada teman-temannya untuk mundur, dan dengan sikap halus dan ramah dia
menjura ke arah Suma Han yang masih berdiri tegak karena melihat para pengeroyoknya
mundur, dia pun menarik kembali gerakannya dan berdiri menanti dengan penuh kewaspadaan.
"Sungguh mengagumkan kepandaian Pendekar Super Sakti, Tocu (majikan pulau) Pulau Es!
Sekali ini kami mengaku kalah, akan tetapi kami belum merasa kalah sama sekali karena seperti
yang Tocu lihat, kami kurang satu orang sehingga kerja sama kami kacau. Kalau memang
Suma-taihiap seorang yang gagah perkasa, kami tantang engkau untuk mengadakan pertemuan
dan bertanding melawan kami di gurun pasir, di daratan Chang-pai-san. Kalau kelima Ngo-ok
sudah hadir, dan kami berlima sudah menggeletak di depan kakimu, barulah kami akan
mengakui keunggulan Pendekar Super Sakti dan kami tidak akan berani lagi memperlihatkan
muka di dunia kang-ouw!"
"Ha-ha-ha, Twa-ko, mana dia berani? Sekali ini kebetulan saja Sam-ko tidak ada dan dia lolos
dari lubang jarum, mana dia berani mengulang lagi kalau kita lengkap?" tiba-tiba Su-ok berkata
untuk memanaskan hati Suma Han.
Tanpa dibikin panas pun tak mungkin Pendekar Super Sakti dapat menolak tantangan seperti itu,
apalagi memang dia tahu bahwa kalau Ngo-ok lengkap lima orang, dia tidak akan dapat
mengambil kemenangan dengan mudah. Sebagai seorang ahli silat tinggi, tentu saja bertemu
dengan lawan tangguh merupakan hal yang selalu menarik hati.
"Baiklah, Ngo-ok! Aku menerima tantangan kalian. Akan tetapi karena aku hendak mencari dua
orang puteraku, tantangan itu baru akan dapat kulayani dalam waktu tiga bulan lagi. Tepat tiga
bulan sejak hari ini, aku akan berada di daratan Chang-pai-san, di gurun pasir, menanti
kedatangan kalian berlima!"
"Bagus! Janji seorang gagah lebih berharga daripada nyawa. Jangan khawatir, Suma-taihiap,
bukan engkau yang menanti, melainkan kami yang akan siap menantimu di sana!" Setelah
berkata demikian, Twa-ok lalu pergi bersama tiga orang saudaranya, dan Hek-tiauw Lo-mo juga
ikut pergi karena tentu saja dia merasa gentar sekali kalau ditinggal seorang diri saja berhadapan
dengan Majikan Pulau Es itu.
"Hek-tiauw Lo-mo! Katakan dulu padaku di mana adanya Suma Kian Lee!"
Tiba-tiba pendekar itu berseru ketika melihat kakek raksasa itu pun ikut pergi.
"Persetan!" bentak Hek-tiauw Lo-mo dan tanpa mempedulikan pendekar itu, dia melangkah terus
meninggalkan tempat itu. Akan tetapi tiba-tiba ada angin menyambar dan tahu-tahu pendekar
kaki buntung itu sudah berdiri di depannya!
"Tak boleh engkau pergi sebelum memberitahukan kepadaku!" bentak Suma Han.
"Keparat sombong!" Hek-tiauw Lo-mo tak dapat menahan kemarahannya sehingga dia lupa akan
takut, golok gergajinya yang menggiriskan hati itu sudah menyambar dan membacok ke arah
dada Pendekar Siluman dengan kecepatan kilat!
Suma Han tidak bergerak mengelak, hanya berkata, "Senjatamu tajam sekali, dapat membelah
tubuhku!"
"Crakkk!" Golok itu benar-benar mengenai tubuh Suma Han, dan membelah tubuh itu menjadi
dua, akan tetapi apa yang terjadi? Tidak ada darah muncrat, dan tubuh yang terbelah itu "pecah"
menjadi dua dan muncullah dua orang Pendekar Siluman yang berdiri berdampingan sambil
tersenyum kepada Hek-tiauw Lo-mo!
"Ehhh?" Sejenak Hek-tiauw Lo-mo tertegun, akan tetapi dia teringat bahwa lawannya adalah
seorang ahli sihir, maka dia kembali menggerakkan goloknya dengan dahsyat, membacok ke
arah dua orang Suma Han itu.
"Crakkk! Crakkk!" Kembali goloknya membacok dua orang lawan itu sampai terbelah dua dan....
dua kali dua sama sama dengan empat, kini empat orang Pendekar Siluman berdiri dengan
senyum-senyum di depannya! Dan sebelum dia mampu bergerak, empat orang Pendekar
Siluman imi sudah memeganginya dari kanan kiri dan dia tidak mampu bergerak lagi!
Bu Kek Sian Su - Episode 372
Jodoh Rajawali
"Hek-tiauw Lo-mo, katakan di mana adanya Suma Kian Lee!"
Biarpun dia seorang manusia iblis yang tidak pernah mengenal takut, sekali ini Hek-tiauw Lo-mo
merasa tak berdaya dan dia pun tahu bahwa dia tidak dapat menandingi Pendekar Super Sakti,
maka sambil bersungut-sungut dia berkata, suaranya masih kasar dan marah, "Anakmu yang
bermuka tebal itu telah menculik anakku dari tunangan anakku, yaitu Liong Bian Cu. Entah ke
mana dia pergi membawa anakku itu, aku sendiri ingin sekali mengetahuinya!"
Kini Suma Han percaya bahwa manusia iblis ini tidak membohong, akan tetapi dia pun merasa
yakin bahwa tentu ada suatu hal yang memaksa puteranya berbuat seperti itu, melarikan
seorang gadis dari tangan Pangeran Liong Bian Cu.
"Sudahlah," katanya dan dia mendorong tubuh Hek-tiauw Lo-mo. Kakek raksasa itu hampir
terguling, terhuyung lalu lari tanpa menoleh lagi.
Sejenak Suma Han memandang ke arah bangkai dua ekor burung raksasa yang mati sampyuh
itu, lalu menarik napas panjang dan berkata lirih, "Ahhh, kalau kalian tidak terjatuh dalam
kekuasaan manusia, tentu kalian masih menjadi burung-burung liar dan bebas hidup di dunia
kalian sendiri yang lebih murni. Cara kehidupan manusia hanya mendatangkan permusuhan."
Suma Han lalu menggali lubang dan mengubur bangkai dua ekor burung besar itu.
Apa yang diucapkan oleh Pendekar Super Sakti itu memang merupakan kenyataan yang sukar
dibantah. Bagi semua makhluk lainnya kecuali manusia, hidup dan mati merupakan dua hal yang
tidak terpisah dan kematian bukan apa-apa lagi. Anehnya, binatang-binatang yang masih belum
dijinakkan manusia, hidup bebas dan tidak terkurung, seolah-olah tidak lagi mengenal kematian
seperti yang kita mengenalnya dengan perasaan was-was. Demikian banyaknya burung terbang
di udara di sekeliling kita, namun amatlah sukar bagi kita untuk menemukan bangkai burung
menggeletak mati karena penyakit atau karena usia tua! Bahkan sukar kita melihat bangkai
semut, kecuali sering melihat binatang peliharaan mati karena sakit atau karena tua, akan tetapi
jarang melihat binatang yang bebas sakit atau mati tua. Semua mahluk tidak ada yang
mengkhawatirkan tentang kematian, kecuali manusia!
Mengapa kita takut mati? Mengapa manusia merasa ngeri kalau membayangkan kematian?
Kematian adalah hal yang belum pernah kita alami, belum kita ketahui, bagaimana mungkin
dapat takut terhadap kematian? Mungkin saja ada yang takut terhadap kematian karena selagi
hidup kita mendengar dongeng-dongeng tentang sesudah mati, tentang penderitaan sesudah
mati, tentang hukuman, dan sebagainya, namun rasa takut kita terhadap itu pun hanya tipis saja,
buktinya kalau benar-benar orang takut akan hukuman sesudah mati, tentu dia tidak akan berani
melakukan hal-hal yang akan menyebabkan hukuman itu! Kiranya bukan itu yang menyebabkan
manusia takut menghadapi kematian.
Bukankah rasa takut terhadap kematian itu timbul karena kita ngeri membayangkan bahwa kita
akan lenyap? Semua yang kita alami ini akan berhenti dan berakhir? Bukankah itu yang
menimbulkan rasa ngeri terhadap kematian? Kita sudah melekat kepada kesenangan-kesenang-
an, atau hal-hal, benda-benda yang kita anggap menjadi sumber kesenangan. Kita tidak rela
meninggalkan semua itu, kita ingin melanjutkan kesenangan-kesenangan itu sampai abadi. Dan
kita tahu bahwa kita tidak abadi, bahwa kita akan mati! Inilah yang menimbulkan rasa takut,
mengingat bahwa kita takkan bisa apa-apa lagi, tidak akan dapat mendekati benda-benda yang
kita suka atau orang-orang yang kita sayang. Maka timbullah harapan-harapan agar sesudah
mati kita masih terus melanjutkan suatu keadaan seperti ketika kita masih hidup ini, yaitu....
mengejar kesenangan lagi, sungguhpun kesenangan itu sudah berubah lagi bentuknya,
disesuaikan dengan keadaan baru dari badan kita! Lagi-lagi mengejar hal-hal yang
menyenangkan! Padahal, justeru pengejaran terhadap hal-hal yang menyenangkan inilah
SUMBER dari mana timbulnya rasa takut!
Setelah selesai menguburkan bangkai dua ekor burung besar itu, Suma Han lalu melanjutkan
perjalanannya, kini dengan jalan kaki, untuk mencari dua orang puteranya. Di dalam hatinya
terdapat suatu keputusan bulat, yaitu dia akan melarang kedua orang puteranya itu untuk bergaul
dengan seorang gadis seperti puteri Hek-tiauw Lo-mo! Dan biarpun dia kini berjalan kaki, namun
pendekar yang memiliki kesaktian luar biasa ini dapat melakukan perjalanan dengan amat cepat-
nya.
***
Siang In berlari secepatnya untuk dapat menyusul bayangan Kian Bu yang dia lihat melarikan diri
keluar dari dalam benteng. Akan tetapi, betapa cepat pun dia lari, betapa hebat dia mengerahkan
ginkangnya untuk dapat menyusul pemuda itu, namun usahanya sia-sia belaka karena Kian Bu
lari dengan menggunakan ilmunya yang istimewa, yaitu Jouw-sang-hui-teng, yang membuat dia
mampu lari secepat terbang! Maka sebentar saja dia sudah kehilangan bayangan pemuda itu
dan mau rasanya Siang In menangis ketika dia berhenti mengejar dengan napas terengah-engah
itu. Bertahun-tahun sudah dia melakukan perjalanan jauh sekali, menjelajahi semua tempat
sebelum dia sampai ke Bhutan dan bertemu dengan Syanti Dewi, dengan maksud mencari
pemuda ini! Dan sekarang, setelah belum lama ini dia baru tahu bahwa Siiuman Kecil adalah
pemuda yang dicari-carinya, yaitu Suma Kian Bu, setelah dia dapat bertemu muka dengan
pemuda itu, bahkan sama-sama berjuang menghadapi pemberontakan, kini pemuda itu sudah
pergi lagi sebelum dia sempat bicara! Apakah dia harus merantau lagi, mencari-cari seperti dulu,
mulai lagi dengan usahanya sampai bulanan, tahunan untuk dapat bicara dengan Kian Bu?
"Ah, Kian Bu.... begitu sukarkah untuk dapat bicara denganmu?" Dia termenung dan tenggelam
dalam lamunannya, membayangkan bagaimana dia harus bicara dengan pemuda itu kalau
sampai pada suatu waktu dia berkesempatan untuk bicara dengan pemuda itu.
Siang In menarik napas panjang dan melanjutkan perjalanannya, perlahan-lahan karena dia tidak
tahu ke mana harus mencari pemuda itu. Dara ini melalui jalan yang naik turun di pegunungan,
sampai akhirnya senja pun tibalah dan terpaksa dia menghentikan perjalanannya karena dia tiba
di sebuah hutan kecil yang sunyi. Hutan itu kecil, akan tetapi indah sekali karena pohon-pohon
yang hidup di situ adalah pohon-pohon yang mengeluarkan bunga, bahkan tanah di situ dipenuhi
rumput hijau yang merupakan permadani menutup seluruh permukaan, tanah di dalam hutan.
Hutan ini liar, akan tetapi seperti taman yang terpelihara baik saja dan Siang In mengambil
keputusan untuk melewatkan malam di tempat ini. Dia memilih tempat di bawah sebatang pohon
besar, membersihkan tempat itu dengan daun-daun, lalu dia duduk melepaskan lelah. Perutnya
terasa lapar, akan tetapi dia tidak peduli karena hatinya kesal memikirkan Kian Bu. Rasa lapar
dan lelah, ditambah hati kesal membuat dia lesu dan sebentar saja dia sudah tidur nyenyak. Dia
duduk di atas rumput tebal, punggungnya bersandar batang pohon, kepalanya miring ke kiri dan
napasnya halus tanda bahwa dia sudah pulas benar.
Akan tetapi pulasnya seorang pendekar silat yang telah memiliki ilmu kepandaian silat tinggi
berbeda dengan pulasnya orang biasa. Biarpun dalam keadaan tidur pulas, namun panca
inderanya yang sudah terlatih itu seolah-olah selalu berada dalam keadaan siap siaga sehingga
sedikit suara saja cukup untuk membangunkannya, yaitu suara yang tidak wajar dan yang
mencurigakan.
Demikian pula dengan Siang In. Menjelang tengah malam, dia sadar oleh suara kaki manusia
yang berjalan perlahan-lahan menginjak daun kering dan ranting dan begitu terbangun, dara ini
sudah meloncat berdiri, dan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap menghadapi segala bahaya apa
pun yang mengancamnya.
Langkah-langkah kaki itu kadang-kadang berhenti, kadang-kadang bergerak lagi dan dari suara
yang ringan itu Siang In dapat menduga bahwa yang berjalan itu tentu seorang pandai, atau
sedikitnya tentu orang yang telah memiliki ilmu ginkang sehingga dapat meringankan tubuhnya
ketika berjalan. Tiba-tiba timbul harapannya karena siapa tahu kalau-kalau orang itu adalah
pemuda yang dicari-carinya! Siapa lagi kalau bukan Kian Bu yang berkeliaran di dalam hutan
pada malam buta begini?
Kalau orang lain, apalagi seorang gadis muda, yang mendengar suara-suara ini di dalam hutan
yang demikian gelap, sunyi dan menyeramkan, tentu akan nerasa takut dan pertama-tama tentu
akan menyangka ada setan yang muncul untuk menggodanya. Namun Siang In adalah seorang
dara yang sejak kecil sudah hidup dalam keadaan penuh bahaya, menyendiri dan sudah banyak
merantau di dunia kang-ouw, seorang diri saja sehingga entah sudah berapa puluh atau ratus
kali dia tidur sendirian di dalam hutan, atau di kuil kosong, dalam gua, atau di mana saja! Maka,
mendengar suara ini, pertama-tama yang diduganya adalah seorang manusia lain, atau seorang
musuh. Belum pernah dia menyangka akan ada setan, karena dia yang sudah merantau
bertahun-tahun itu belum pernah bertemu dengan setan sehingga dia yakin benar bahwa setan-
setan yang menjadi buah bibir manusia itu hanya hidup dalam dunia khayal dan bayangan pikiran
manusia saja.
Bu Kek Sian Su - Episode 373
Jodoh Rajawali
Karena langkah-langkah kaki itu kini membelok, tidak menuju ke tempat itu, Siang In yang
mengharapkan akan bertemu dengan Kian Bu menjadi khawatir kehilangan orang itu, maka dia
pun menyelinap dengan hati-hati sekali, mengejar suara langkah kaki itu. Dan biarpun
ginkangnya sendiri juga sudah terlatih baik, namun dalam malam gelap itu tidak urung beberapa
kali dia menginjak ranting kering dan menimbulkan sedikit suara.
Ketika dia sudah tiba dekat dengan suara langkah kaki itu, mulai nampaklah bayangan orang
karena orang di depan itu sudah tiba di tempat terbuka, di mana cahaya bintang-bintang di langit
dapat menembus dan memberi sedikit cuaca yang remang-remang.
"Kresekkk....!" Kembali kaki Siang In menginjak ranting dan daun kering karena dia merasa
tegang dan gembira, mengira bahwa orang di depan itu tentulah Siluman Kecil atau Suma Kian
Bu, orang yang dicarinya. Bayangan itu menoleh cepat sekali dan agaknya juga melihat
bayangan Siang In, karena bayangan itu cepat membalikkan tubuhnya dan menghampiri sambil
berseru nyaring, suaranya penuh harapan dan kegembiraan, suara wanita!
"Suma-taihiap! Siluman Kecil.... engkaukah itu....?"
Mendengar suara wanita ini, seketika buyarlah harapan Siang In. Sialan, pikirnya, mengomel di
dalam hati, bayangan itu ternyata adalah wanita, dan wanita itu pun, seperti dia, mencari Siluman
Kecil! Akan tetapi dia seperti mengenal suara itu, maka dia pun melangkah maju, membiarkan
wajahnya tertimpa cahaya bintang yang redup.
"Siapa engkau?" bentaknya.
Bayangan itu pun tercengang. "Ahhh.... kiranya bukan....!"
Kini dua orang dara itu berdiri dekat saling berhadapan dan Siang In tentu saja mengenalnya.
Wanita itu bukan lain adalah Ang-siocia atau Kang Swi Hwa, murid dari Hek-sin Touw-ong yang
sudah berjasa besar dalam membantu Jenderal Kao Liang untuk melakukan gerakan di dalam
benteng.
"Enci Swi Hwa, kiranya engkau!" Siang In berseru, menyembunyikan kekecewaannya.
"Ah, Adik Siang In! Malam-malam begini engkau berada di dalam hutan, mau apakah? Dengan
siapa engkau di sini?"
"Dan engkau pun di sini seorang diri! Dan menyangka aku Siluman Kecil!" balas Siang In. "Mau
apakah engkau mencari Siluman Kecil, Enci Swi Hwa?"
Siang In tidak dapat melihat wajah dara itu di dalam kegelapan malam, akan tetapi dia
mendengar kegugupan gadis itu ketika menjawab, "Aku.... aku sudah kenal baik dengan Suma-
taihiap.... dan kusangka dia yang masuk ke sini...."
"Ada keperluan apakah engkau mencari Suma Kian Bu? Atau tidak bolehkah aku
mengetahuinya?"
"Ah, tidak.... tidak apa-apa, hanya ada sedikit pesan.... eh, dari suhu...., sudahlah, aku harus
cepat kembali kepada suhu, Adik Siang In. Selamat tinggal, aku mau pergi."
Siang In hanya mengangguk tanpa menjawab. Hatinya penuh tanda tanya. Apa pula urusan
Siluman Kecil dengan dara ini? Dara yang cantik manis, lihai dan terutama cerdik bukan main,
juga berjasa besar sekali. Suaranya ketika memanggil "Suma-taihiap" tadi, demikian penuh
perasaan, penuh harapan dan mesra! Hatinya menjadi panas. Begitu banyak dara yang agaknya
jatuh hati kepada Siluman Kecil! Apalagi Hwee Li itu, juga luar biasa cantik jelitanya dan lihai
pula. Aihhh, begitu banyakkah saingannya?
"Gila kau!" Dia mencela diri sendiri. Mengapa belum apa-apa dia sudah menganggap semua
wanita yang bersikap mesra kepada Siluman Kecil sebagai saingan? Padahal dia masih belum
tahu apa yang menyebabkan dia bertahun-tahun ini selalu terkenang kepada Kian Bu, yang
mendorongnya untuk mencari Kian Bu sampai jauh di Bhutan!
Setelah pertemuannya dengan Ang-siocia itu, yang mendatangkan rasa kecewa dan
kekhawatiran, Siang In tidak dapat tidur nyenyak lagi. Memang dia bisa pulas, akan tetapi
tidurnya penuh mimpi yang membuat dia kegelagapan karena dalam mimpi itu dia melihat Kian
Bu bermesraan dengan Ang-siocia yang membuatnya terbangun dengan napas sengal-sengal.
Kemudian tidur lagi dan mimpi lagi, sekali ini dia melihat Kian Bu bergandeng tangan dan
bersendaugurau dengan Hwee Li. Kembali dia terbangun dan memaki diri sendiri yang
dianggapnya tolol, memikirkan hal yang bukan-bukan.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Siang In telah meninggalkan hutan itu untuk
melanjutkan perjalanannya, sungguhpun dia sendiri tidak tahu ke mana arah perjalanannya itu.
Ada dua persoalan yang mendorongnya untuk melakukan perjalanan. Pertama tentu saja,
mencari Kian Bu untuk menyampaikan perasaan hatinya yang sudah dipendamnya bertahun-
tahun, untuk mencari keyakinan. Ke dua, mencari Syanti Dewi yang kabarnya dilarikan oleh
Mohinta, panglima dari Bhutan itu. Seharusnya dia mengejar ke barat karena sangat boleh jadi
Puteri Bhutan itu dilarikan ke barat oleh Mohinta, akan tetapi karena dia melihat Kian Bu berlari
ke utara, maka dia lebih dulu mengejar pemuda itu yang ternyata kemudian gagal dan sia-sia
belaka.
Matahari telah mulai naik meninggi ketika Siang In tiba di lereng bukit dan selagi dia berdiri di
atas bagian yang agak tinggi untuk memandang ke seluruh penjuru dengan sinar mata mencari-
cari, tiba-tiba muncul seorang kakek bersorban, begitu saja muncul di didepannya seperti iblis.
Memang kakek ini sejak tadi bersembunyi dan mengintai gerak-gerik Siang In.
Siang In cepat memandang dengan penuh perhatian dan dia pun segera mengenal kakek ini.
Pernah dia bertemu, bahkan mengadu ilmu sihir melawan kakek ini di tempat pesta pernikahan
Hwai-kongcu Tang Hun yang ketika itu merayakan pernikahannya dengan Puteri Syanti Dewi!
Kakek ini bersorban, kulitnya coklat kehitaman, jenggotnya panjang sampai ke perut dan
tangannya memegang sebatang tongkat kayu cendana. Inilah Gitananda, pendeta bangsa Nepal,
pembantu Koksu Nepal, seorang kakek yang memiliki kekuatan sihir yang hebat!
Setelah mengenal kakek itu, Siang In menjadi marah. Bukan saja kakek ini pernah
mengganggunya ketika dia berusaha menolong Syanti Dewi yang dulu hendak dipaksa menjadi
isteri Hwa-i-kongcu, akan tetapi juga melihat bahwa kakek ini adalah pembantu Koksu Nepal
yang mengadakan pemberontakan, dan terutama sekall karena dia sudah mendengar bahwa
yang menangkap Syanti Dewi dan membawanya ke dalam benteng sebagai tawanan adalah
kakek ini pula.
"Ah, kiranya kakek dukun lepus kaki tangan pemberontak!" Dia memaki.
Gitananda sendiri sejak tadi mengintai gerak-gerik Siang In. Dia sudah merasa heran dan curiga
mengapa ada seorang gadis muda cantik yang berjalan seorang diri di tempat itu, maka dia tadi
bersembunyi dan mengintai. Kini dia pun mengenal dara ini yang dia tahu mempunyai ilmu sihir
yang cukup kuat, maka tertawalah kakek pendeta Nepal itu. Inilah gadis yang menjadi seorang di
antara musuh-musuh majikannya, yang telah menggagalkan pemberontakan dan meng-
hancurkan benteng. Juga, dara ini amat cantik jelita, rasanya tidak kalah cantik oleh Puteri
Bhutan, maka kalau dia dapat menangkapnya dan menyerahkannya kepada pangeran
junjungannya, tentu Pangeran Nepal akan girang sekali. Sebagai seorang hamba yang amat
setia, tentu saja dia sudah tahu akan kesukaan Paageran Nepal terhadap kaum wanita.
Melihat pendeta itu tertawa dan matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan kurang ajar, Siang
In menjadi marah sekali dan segera dia sudah menubruk ke depan dan menggerakkan
senjatanya yang istimewa, yaitu pedang payungnya! Payung itu tertutup dan kini ujungnya yang
runcing dan mengkilap itu meluncur ke arah leher Gitananda, mengeluarkan suara mendesing
saking cepat gerakannya.
"Hemmm....!" Gitananda menggereng dengan kaget dan cepat menggerakkan tongkat kayu
cendana untuk menangkis, bukan menangkis payung, melainkan menghantam ke arah
pergelangan tangan yang memegang payung. Tangkisan yang sekaligus merupakan serangan
balasan!
Akan tetapi Siang In memiliki gerakan yang luar biasa cepatnya. Serangan balasan lawan ini
sama sekali tidak membuat dia menjadi gugup, sebaliknya malah dia sudah menarik kembali
pedang payungnya dan secepat kilat pedang payung itu telah membalik dan menusuk ke arah
lambung lawan!
"Uuuhhh....!" Kembali Gitananda berseru kaget dan cepat dia melempar tubuh ke belakang
karena untuk menangkis sudah tidak sempat lagi. Kakek ini terjengkang, bergulingan dan
meloncat bangun dengan muka berubah pucat, lalu merah, karena penasaran. Dalam dua ge-
brakan saja hampir dia termakan lawan!
Bu Kek Sian Su - Episode 374
Jodoh Rajawali
Marahlah Gitananda. Lawannya hanya seorang dara remaja yang masih amat muda, pantas
menjadi cucu muridnya, mustahil kalau dia sampai kalah oleh dara ini. Sambil mengeluarkan
teriakan nyaring dia lalu menyerang, menubruk ke depan dan memutar tongkatnya yang
mengeluarkan bau harum kayu cendana. Melihat ini, dara itu tersenyum. Bagus, pikirnya girang,
makin marah dan ganas gerakan lawan ini makin mudah baginya untuk mencapai kemenangan.
Ilmu silat kakek ini biarpun cukup ganas, namun dasarnya liar dan hanya mengandalkan tenaga
kasar, maka dia merasa sanggup untuk mengatasinya. Yang berbahaya adalah ilmu sihir kakek
ini. Maka melihat serangan yang ganas itu, Siang In bersikap tenang saja, memainkan pedang
payungnya, menangkis dan mengelak sambil kadang-kadang memutar payungnya sehingga
terbuka dan setelah menolak semua serangan tongkat, tiba-tiba dia mengirim balasan yang
mengejutkan sehingga beberapa kali kakek itu berseru kaget dan meloncat ke belakang, diterta-
wakan oleh Siang In.
"Hi-hik, kiranya sebegitu saja tongkatmu penggebuk anjing itu?" Dia mengejek dan pendeta itu
menjadi makin marah. Inilah yang dikehendaki oleh Siang In. Makin marah, makin kacaulah per-
mainan silat, hal ini sudah diketahui oleh semua ahli. Kemarahan membuat kewaspadaan banyak
berkurang dan gerakan silat tidak lagi mengandung kecerdikan, melainkan semata-mata
merupakan peluapan dari kemarahan dan kebencian dan karenanya menjadi lengah. Demikian
pula dengan Gitananda. Dia marah bukan hanya karena ejekan Siang In, melainkan terutama
sekali karena merasa penasaran bahwa dia, pembantu Koksu Nepal, bahkan orang kepercayaan
Pangeran Nepal, kini dipermainkan oleh seorang dara remaja!
Sesungguhnya, tingkat ilmu silat yang dikuasai oleh pendeta itu tidak kalah banyak dibandingkan
dengan ilmu silat Siang In. Memang dasar ilmu silat dara ini lebih murni dan kuat, akan tetapi
dalam hal pengalaman bertempur, kakek itu lebih menang, maka andaikata Gitananda tidak
marah-marah dan penasaran, dan mau bertanding dengan tenang, agaknya tidak mudah bagi
Siang In untuk mengalahkanya. Akan tetapi kini, dalam keadaan marah-marah dan kurang was-
pada, ketika dara itu menggunakan ilmu tendangnya Soan-hong-twi yang amat cepat, kedua kaki
kecil itu berputaran dan bertubi-tubi menendang diseling dengan tusukan-tusukan pedang
payungnya, Gitananda tidak mampu mempertahankan diri lagi dan kurang cepat sehingga ten-
dangan kaki kirinya yang meluncur dari samping sempat mencium lambungnya.
"Dukkk!" Gitananda mengeluh dan roboh terguling, terus bergulingan sambil meringis kesakitan
dan tongkatnya menyambar-nyambar melindungi tubuhnya yang sedang bergulingan itu.
Setelah dapat meloncat bangkit dan berdiri lagi, wajah kakek itu menjadi merah penuh
kemarahan. Dia mengacungkan tongkat kayu cendana itu ke atas dan dia mengeluarkan pekik
melengking dahsyat, seluruh tubuhnya menggigil dan tiba-tiba Siang In ikut pula menggigil! Maka
tahulah dara ini bahwa lawannya sudah mengeluarkan ilmu sihir, maka dia pun lalu mengerahkan
tenaganya, memusatkan perhatiannya dan mengerahkan kekuatan sihir yang selama bertahun-
tahun dipelajarinya dari gurunya. Terjadilah pertempuran yang tidak nampak oleh mata orang,
akan tetapi terasa sekali oleh kedua orang itu, getaran-getaran ajaib yang saling menyerang.
"Bocah sombong, lihatlah siapa aku! Aku adalah Gitananda, ahli sihir terkuat di Nepal! Engkau
harus tunduk kepadaku!" Kakek itu membentak, suaranya terdengar aneh dan lucu, seperti suara
dari jauh, seperti suara setan!
Namun dengan tenang dan berani. Siang In menentang pandang mata lawannya. Dia merasa
betapa sinar mata lawan itu seperti dua sinar tajam hendak menembus dan mencengkeram
kesadaranya, namun dia mengerahkan tenaga dan dia pun membentak, halus akan tetapi
nyaring, "Tua bangka, engkau tidak tahu siapa aku! Aku adalah murid See-thian Hoat-su, ahli
sihir kenamaan di seluruh dunia! Aku tidak akan tunduk kepadamu!" Akan tetapi Siang In
terpaksa menghentikan kata-katanya karena makin panjang kata-katanya, makin banyak dia
membagi tenaga dan perhatian sehingga dia terhuyung!
"Ha-ha-ha....!" Kakek itu tertawa bergelak dan menambah kekuatannya, namun Siang In sudah
cepat menguasai keadaannya dan kini dara itu memusatkan perhatiannya menolak pengaruh
ajaib yang keluar dari pandang mata lawan itu. Tiba-tiba Gitananda mengeluarkan suara
bentakan nyaring dan dia sudah melontarkan tongkatnya ke atas. Seketika tongkat itu
mengeluarkan suara auman seperti singa dan memang tongkat itu dalam pandang mata Siang In
berubah menjadi singa yang menubruknya dengan dahsyat!
"Dukun lepus, siapa takut permainanmu ini?" bentaknya dan dia memapaki "singa" itu dengan
bacokan pedang payungnya.
"Cusssss!" Bayangan singa yang terkena pedang payung itu seketika berubah, menjadi seekor
ular yang melibat payung dan membetot dengan kerasnya. Siang In terkejut, merasa tertipu dan
dia mempertahankan payungnya. Terdengar Gitananda tertawa dan menggerakkan kedua
tangannya ke arah tongkat yang menjadi "ular" dan melibat pedang payung itu.
Siang In tidak mau kalah, tidak mau menyerahkan pedang payungnya begitu saja untuk
dirampas lawan, maka sambil mengerahkan kekuatan sihirnya, dia pun menarik dengan
pengerahan tenaga Iweekang.
"Krakkk! Krekkk!"
Pedang payung dan "ular" itu patah-patah dan runtuh ke atas tanah, pedang payung rusak dan
patah, juga tongkat itu patah menjadi tiga potong! Dengan terkejut dan marah sekali Siang In
membuang gagang payungnya. Gitananda tertawa bergelak, karena biarpun dia sendiri
kehilangan tongkatnya, namun dia girang melihat senjata istimewa dari dara itu rusak, karena
senjata itulah yang membuat dia tadi repot menghadapi Siang In.
Suara ketawa ini dan hawa yang mengandung kekuatan sihir yang ajaib itulah yang terdengar
sampai jauh dan menarik perhatian seorang pemuda yang sedang berjalan di dalam hutan tak
jauh dari tempat itu. Siapakah pemuda ini? Dia bukan lain adalah Suma Kian Bu!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kian Bu lari meninggalkan Phang Cui Lan dan Kim Sim
Nikouw. Dia merasa amat kasihan kepada Cui Lan. Dia tahu betul sejak dia menolong dara itu
dari dalam dusunnya, ketika dusun Cian-li-cung dirampok oleh gerombolan yang mengakibatkan
musnahnya keluarga gadis itu, bahwa Cui Lan jatuh cinta kepadanya. Dia dapat mengetahui hal
ini dari pandang mata yang mesra dan lembut, dari suara dalam kata-katanya, dan dari
senyumnya. Dara itu bersedia menyerahkan jiwa raganya kepadanya. Dan dia juga tahu bahwa
dia tidak boleh merusak hati dara ini, dan bahwa dia tidak membalas cintanya maka dia bersikap
keras, sengaja untuk membuka mata Cui Lan bahwa dia tidak mungkin dapat membalas
cintanya. Kalau dia melayani Cui Lan, kalau dia memperlihatkan sikap manis, akan makin "parah"
penyakit dara itu. Memang dia pun tahu bahwa Cui Lan adalah seorang dara yang selain cantik
jelita dan lemah lembut, juga halus perasaannya dan memiliki jiwa yang gagah berani. Kalau dia
menyambut cinta kasih Cui Lan, itu berarti bahwa dia mendapatkan seorang gadis pilihan yang
sukar dicari keduanya. Akan tetapi, tentu dia juga akhirnya akan merana karena dia tidak tertarik
kepada Cui Lan, tidak mencintanya. Satu-satunya wanita yang pernah dicintanya adalah Puteri
Syanti Dewi, dan akhir-akhir ini dia tertarik kepada seorang dara yang cantik jelita dan galak,
seorang gadis yang lincah bukan main, yaitu Siang In! Akan tetapi, begitu dia teringat kepada
Siang In, hatinya berdebar bingung. Dara itu kelihatan bergaul dengan amat eratnya bersama
Kian Lee, bahkan agaknya saling mencinta!
Hal inilah yang membingungkan Kian Bu. Dia tahu betul bahwa Hwee Li mencinta Kian Lee, dara
yang amat jujur dan polos itu terang-terangan menyatakan cintanya kepada Kian Lee. Akan
tetapi sekarang kelihatannya Kian Lee saling jatuh hati dengan Siang In. Padahal dia sendiri
tertarik oleh Siang In. Bingunglah Kian Bu, akan tetapi bagaimanapun juga, dia tidak hendak
merintangi kebahagiaan kakaknya. Dia pun tahu bahwa kakaknya itu pernah patah hati, tidak
bahagia cintanya terhadap Ceng Ceng. Maka, kini dia tidak ingin melihat kakaknya gagal lagi
dalam bercinta, karena dia sendiri sudah mengalami betapa pahit dan sengsaranya mengandung
penderitaan rindu karena cinta gagal!
Selagi pemuda itu berjalan sambil melamun karena dia tidak dapat menemukan jejak kakaknya,
dia mendengar suara ketawa itu. Hatinya sedang risau karena ke manapun dia mencari, dia
kehilangan jejak Kian Lee yang sudah jauh lebih dulu pergi meninggalkan benteng. Maka ketika
mendengar suara ketawa aneh itu, dia tertarik dan mengharapkan kalau-kalau suara itu ada
hubungannya dengan kakaknya! Maka dia cepat menghampiri ke arah suara yang
kedengarannya dari luar hutan. Setelah dekat, dia terkejut bukan main karena suara ketawa itu
mengandung getaran aneh yang membuat jantungnya berdebar-debar, dan juga setelah berada
di luar hutan, dia merasakan adanya pengaruh mujijat, seolah-olah keadaan di sekeliling tempat
itu terdapat dua tenaga sakti yang saling bertentangan, tenaga sihir yang saling dorong! Cepat
dia menyelinap dan berindap-indap mendekati, dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya
ketika melihat seorang dara yang baru saja dibayang-bayangkan, yaitu Siang In, berdiri
berhadapan dengan seorang kakek bersorban, dan kedua orang ini agaknya sedang mengadu
ilmu sihir!
Bu Kek Sian Su - Episode 375
Jodoh Rajawali
Memang demikianlah keadaannya. Setelah melihat betapa senjata pedang payung dara itu yang
amat ditakutinya patah Gitananda lalu mengerahkan kekuatan sihirnya. Dia berteriak keras dan
kedua tangannya didorongkan ke depan, kedua lengannya yang panjang berbulu itu lurus ke
depan, ke arah Siang In, dan jari-jari tangannya bergerak-gerak seperti cakar-cakar setan
hendak mencengkeram. Dan biarpun jarak antara mereka cukup jauh, namun Siang In merasa
betapa kedua tangan itu seolah-olah berada di depan mukanya. Maka dia pun lalu melonjorkan
kedua lengannya untuk menolak. Kekuatan sihir sepenuhnya terpancar dari dua pasang mata
dan dua pasang tangan itu, membuat suasana di sekeliling itu tergetar hebat. Bahkan Kian Bu
sendiri, seorang pendekar sakti yang memiliki sinkang amat kuatnya, merasakan getaran ini
sehingga diam-diam dia pun mengerahkan sinkangnya untuk bertahan agar jangan sampai dia
"terseret" oleh gelombang getaran yang amat kuat itu. Diam-diam dia memandang kagum
kepada Siang In, kagum dan juga khawatir karena dia maklum betapa lihainya kakek Nepal itu.
Adu kekuatan sihir itu dilanjutkan dan makin lama Siang In merasa makin lemah. Kedua kakinya
sudah gemetar dan tahulah dia bahwa kakek itu lebih kuat dari padanya dan kalau dilanjutkan
tentu dia akan celaka. Maka, tiba-tiba saja dia merendahkan tubuhnya dan tangan kirinya
mencengkeram tanah lalu disambitkan ke depan. Sinar hitam dari pasir dan tanah menyambar ke
arah kakek itu.
"Ihhh!" Gitananda berteriak kaget. Biarpun yang menyambar itu hanya tanah dan pasir, akan
tetapi karena disambitkan dengan pengerahan tenaga sinkang, dapat menembus kulit daging!
Dia tidak menyangka bahwa lawannya dapat bergerak secepat itu dan karena dia tadi
mencurahkan seluruh tenaga dan kekuatan untuk merobohkan dara yang sudah mulai lemah itu,
maka kini dia gelagapan! Namun, kakek ini memang lihai sekali. Dia tidak mau menurunkan
kedua tangannya yang mendorong, karena dengan terus menekan dia mengharapkan
kemenangan. Kini dia menggerakkan pinggulnya sedemikian rupa sehingga ujung jubahnya yang
panjang berkibar ke depan tubuhnya, menyambut tanah dan pasir itu sehingga tidak mengenai
tubuhnya, melainkan runtuh oleh sambaran ujung jubahnya.
Akan tetapi Siang In juga bukan seorang dara yang bodoh. Dia maklum bahwa kalau hanya
mengadu kekuatan sihir, dia akan kalah, maka dia harus mendesak lawan dengan pertandingan
yang mengandalkan ilmu silat di mana dia merasa akan dapat mengatasi lawannya. Oleh karena
itu, dia hanya menggunakan setengah bagian tenaganya untuk bertahan dalam pertandingan
tenaga sihir, dan kini dia sudah menyambar potongan tongkat kayu cendana milik kakek itu dan
melontarkannya ke arah lawan.
"Haihllhhh!" Kakek itu membentak dan menuding ke arah tongkatnya dan tiba-tiba tongkat itu
berubah menjadi burung dan terbang ke atas lalu meluncur ke arah Siang In untuk menyerang
dara ini. Melihat betapa tongkat pendek itu berubah menjadi burung yang mematuk kearah
matanya, Siang In terkejut, menggerakkan tangan kiri dan menyampok sambil membentak,
"Kembali menjadi tongkat!" Dan burung itu tersampok jatuh, berubah menjadi tongkat lagi.
"Heh-heh-heh, engkau takkan dapat lari dariku, Nona. Engkau harus ikut bersamaku, menjadi
tawananku, kuhadapkan kepada pangeran....!" kata kakek itu sambil menyeringai. Tiba-tiba dia
memekik dahsyat dan terjadilah hal, yang amat aneh. Kian Bu yang tidak mampu pula mengelak
dari pengaruh sihir itu, terbelalak memandang betapa jenggot kakek itu yang panjangnya sampai
ke perut, kini jenggot itu bergerak dan tumbuh makin lama makin panjang, melingkar-lingkar dan
merayap seperti ular-ular yang memenuhi tempat itu! Kian Bu terbelalak dan menahan napas
memandang penglihatan yang luar biasa ini. Siang In juga kelihatan terkejut. Dia sudah mencoba
untuk mengerahkan tenaga sihirnya, untuk menghentikan penglihatan itu atau untuk
menyadarkan matanya bahwa yang dilihatnya itu hanyalah khayalannya sendiri. Akan tetapi
percuma saja, dia tetap melihat jenggot itu merayap-rayap dan tumbuh makin panjang.
Kemanapun dia melangkah, tentu dia disambut gumpalan-gumpalan jenggot yang melingkar-
lingkar seperti benang ruwet, rambut-rambut jenggot yang hidup dan menjijikkan, mengerikan.
Siang In berkemak-kemik, membentak ke arah gumpalan jenggot, akan tetapi sia-sia. Dia lalu
bertepuk tangan tiga kali, tepukan tangannya menimbulkan suara meledak dan nampak asap
mengepul, dia mengerahkan seluruh tenaga sakti dari ilmu sihirnya, namun kesemuanya itu tidak
dapat membuyarkan sihir Gitananda yang membuat jenggotnya makin panjang dan hidup
memenuhi seluruh tempat itu. Tempat seluas sepuluh meter persegi itu penuh oleh rambut-
rambut bergumpal-gumpal dan yang hidup itu, makin lama makin mulur dan ketat memenuhi
tempat itu seperti jaring yang siap menangkap mangsa.
"Hiaaaaakkk!" Gitananda berteriak mengejutkan.
"Syeeettttt.... Syeeeeettttt....!" Jenggot itu kini bersatu dan seperti seekor ular besar meluncur ke
arah Siang In! Dara ini terkejut sekali, berusaha mengelak akan tetapi ujung jenggot masih
menyapu kakinya dan dia terguling! Kini jenggot itu seperti seekor ular merayap hendak
menggulungnya dan Siang In sudah merasa ngeri bukan main. Akan tetapi tiba-tiba ada angin
keras dan kuat membawa dan menerbangkan tubuh Siang In yang melayang dan gulungan
jenggot itu tidak mengenai tubuh Siang In yang sudah turun agak jauh ke sebelah kanan.
Jenggot itu terus menyambar dan melibat sebatang pohon yang tumbuh di sebelah kiri Siang In.
"Brolll!!" Pohon itu terlibat dan tertarik jebol oleh jenggot panjang yang luar biasa kuatnya itu.
Siang In maklum bahwa dia telah dibantu orang pandai karena kalau tidak, mana mungkin dia
tadi dapat membebaskan diri dari jenggotnya itu? Kini, melihat Gitananda sibuk melepaskan
jenggotnya dari batang pohon yang tumbang, dia cepat meloncat ke depan dan menyerang
kakek itu dengan pukulan-pukulan kedua tangannya. Tentu saja Gitananda menjadi sibuk sekali,
cepat dia menarik jenggotnya menjadi pendek kembali dan dia melempar tubuh ke belakang,
bergulingan dan setelah dia terbebas dari desakan Siang In, tiba-tiba dia melompat dan kini
jenggotnya menyambar seperti tongkat!
"Ihhh!" Siang In terkejut dan cepat mengelak, merasa jijik karena ketika jenggot itu lewat di dekat
mukanya, dia mencium bau yang apek dan memuakkan. Akan tetapi jenggot itu sudah datang
lagi, maka terpaksa Siang In memperlihatkan kelincahannya dan balas menyerang dengan
pukulan dan tendangan. Kembali kedua orang ini bertanding dengan seru. Akan tetapi sekali ini,
Siang In tidak mampu mendesak seperti tadi ketika dia masih memegang pedang payungnya.
Kini dia bertangan kosong dan kakek itu dapat mempergunakan jenggotnya yang panjang
sebagai senjata! Dan hebatnya, jenggot itu dapat mulur mengkeret sehingga benar-benar
merupakan senjata yang amat berbahaya bagi Siang In.
Akan tetapi, beberapa kali ketika nyaris dara itu terkena totokan atau libatan jenggot ada saja
kekuatan tersembunyi yang memukul kembali ujung jenggot sehingga Siang In terlolos dari
bahaya. Siang In menjadi penasaran. Dia belum kalah dan dia belum membutuhkan bantuan
siapapun juga. Dia harus dapat mengalahkan, kakek Nepal ini, akan tetapi bagaimana akalnya?
Sukar menyerang kakek ini kalau jenggotnya masih merupakan senjata yang demikian ampuh-
nya.
Tiba-tiba Siang In mendapatkan akal yang amat berani. Dia mulai menjauhi kakek itu dan tiada
hentinya mengejek, "Jenggotmu seperti jenggot kambing!" Kakek itu menyerangnya dan kembali
Siang In meloncat ke belakang.
"Jangan lari kau, bocah setan!" Gitananda membentak setelah beberapa kali serangannya hanya
dielakkan sambil main mundur saja oleh dara itu.
"Jenggotmu bau apek, bau tahi kambing, aku tidak tahan!" Siang In kembali mengejek. Kembali
kakek itu mengejar dan menyerang dengan jenggotnya, akan tetapi karena memang gerakannya
kalah lincah dan kalah ringan oleh dara itu, semua serangannya itu gagal. Akhirnya dia
mengeluarkan seruan memekik nyaring seperti tadi dan jenggotnya sudah mulur lagi! Jenggot itu
mulur panjang dan dipergunakan untuk menyerang, dan karena jenggot itu panjang sekali, sukar
bagi Siang In untuk mengelak lagi. Akan tetapi memang ini yang dikehendaki oleh dara itu, yaitu
memancing agar kakek itu memanjangkan lagi jenggotnya. Ketika melihat jenggot itu menyambar
dari kiri ke kanan, Siang In sengaja bersikap lambat, akan tetapi ketika ujung jenggot hendak
melibat pinggangnya, dia meloncat ke atas dan ketika ujung jenggot lewat di bawah kakinya, dia
mencengkeram dan berhasil menjambak ujung jenggot panjang itu. Tanpa membuang waktu lagi,
dia mengerahkan ginkangnya dan berlari secepatnya membawa ujung jenggot itu, lari mengitari
kakek itu.

Anda mungkin juga menyukai