Anda di halaman 1dari 27
BABII LANDASAN TEORI 1, Maslahah Mursalah a. Pengertian Maslahah Kata al-maslahah semakna dan sewazan (setimbangan) dengan kata al- ‘manfaat, yaitu bentuk masdar yang berarti baik dan mengandung manfaat, yaitu bentuk masdar yang berarti baik dan mengandung manfaat. Al-maslahah merupakan bentuk mufrad (tunggal) yang jama'nya (plural) al-mashalih, Dari makna kebahasaan ini dipahami al-maslahah meliputi segala yang mendatangkan manfaat, baik melalui cara mengambil dan melakukan suatu tindakan maupun menolak dan menghindarkan segala yang menimbulkan kemudharatan dan kesulitan.’ Dalam pandangan al-Buthi, al-maslahah adalah manfaat yang ditetapkan Syari’ untuk para hambanya yang meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan dan harta mereka sesuai dengan urutan tertentu. Dari definisi ini, tampak yang menjadi tolak ukur maslahah adalah tujuan-tujuan syara’ atau berdasarkan ketetapan Syari’, meskipun kelihatan bertentangan dengan tujuan- tujuan manusia yang seringkali dilandaskan pada hawa nafsu semata, Inti kemaslahatan yang ditetapkan Syari’ adalah pemeliharaan lima hal pokok (al-Kulliyatal-Khams). Semua bentuk tindakan seseorang yang mendukung pemeliharaan Kelima aspek ini disebut maslahah. Begitu pula segala * Romli, Pengantar lmu Ushul Figh Metodologi Penetapan Hukum Islam, (Depok: Kencana, 2017), 188, 2 B upaya yang berbentuk tindakan menolak kemudharatan tethadap kelima hal ini juga disebut maslahah. Karena itu, al-Ghazali mendefinisikan maslahah sebagai ‘mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan syara’, Pemeliharaan tujuan syara’ yang dimaksud al-Ghazali adalah pemeliharaan al-Kulliyat al-Khams. Sejalan dengan prinsip maslahah sebelumnya, syatibi menjelaskan bahwa kemaslahatan tidak dibedakan antara kemaslahatan dunia maupun kemaslahatan akhirat, karena kedua bentuk kemaslahatan ini selama bertujuan memelihara al- kulliyat al-Khams, termasuk dalam ruang lingkup maslahah. Macam-Macam Maslahah Ditinjau dari segi kepentingan dan kualitas maslahah bagi kehidupan manusia, abli ushul figh membagi maslahah kepada tiga tingkatan, yaitu :* 1. Al-Maslahah al-dharuriyat Kemaslahatan al-dharuriyat adalah suatu kemaslahatan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia di dunia dan akhirat, Demikian penting kemaslahatan ini, apabila luput dalam kehidupan manusia akan terjadi kehancuran, bencana dan kerusakan terhadap tatanan kehidupan manusia. Kemaslahatan ini meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan dan harta, Pemeliharaan kelima kemaslahatan ini, menurut Syatibi, dilakukan melalui berbagai kegiatan kehidupan, Melalui ushu al-Ibadat, pemeliharannya dilakukan dengan menanamkan dan meningkatkan keimanan, mengucapkan dua ? Abd Rahman Dablan, Ushul Figh, (Jakarta: Amzah, 2016), 308, rT kalimah al-syahadat, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, puasa, haji, dan sebagainya. Semua bentuk amalan ini ditujukan untuk pemeliharaan agama, Pemeliharaan diri dan akal manusia dilakukan melalui berbagai kegiatan adat, seperti makan, minum, berpakaian, dan memiliki rumah sebagai tempat tinggal dan melindungi diri dari berbagai gangguan, Sedangkan pemeliharaan keturunan dan harta dilakukan melalui kegiatan muamalat, melakukan interaksi dengan sesama manusia, Pemeliharaan kelima bentuk kemaslahatan ini juga terwujud dengan adanya ketentuan hukum jinayat dan perintah menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. 2. Al-Maslahah al-hajiyat Kemaslahatan al-hajiyat adalah suatu kemaslahatan yang dibutuhkan manusia untuk menyempurnakan kemaslahatan pokok mereka dan menghilangkan kesulitan yang dihadapi.’ Termasuk kemaslahatan ini semua ketentuan hukum yang mendatangkan keringanan bagi manusia dalam kehidupannya, Bentuk keringanan dalam ibadah, tampak dari kebolehan meringkas (qashar) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang musafir, dalam muamalat, keringanan ini terwujud dengan dibolehkan berburu binatang halal, memakan makanan yang baik, dibolehkan melakukan jual beli salam, kerja sama pertanian (muzara’ah) dan perkebunan (musaqqah). Semua kegiatan ini disyariatkan Allah guna memudahkan kehidupan manusia dan_mendukung perwujudan kemastahatan pokok di atas. Abd Rahman Dahlan, Ushul Figh...310. 15 3. Al-Maslahah al-tahsiniyat Maslahat ini sering disebut dengan maslahat takmiliyat, yaitu suatu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap dan keluasan terhadap kemaslahatan dharuriyat_ dan hajiyat. Kemaslahatan ini dimaksutkan untuk kebaikan dan kebagusan budi pekerti. Sekiranya, kemaslahatan ini tidak dapat diwujudkan dalam Kehidupan, tidaklah sampai menimbulkan kegoncangan dan kerusakan terhadap tatanan kehidupan manusia. Meskipun demikian, kemaslahatan ini tetap penting dan dibutubkan manusia. Misalnya, dalam ibadah, keharusan bersuci, menutup aurat_ dan memakai pakaian yang indah dan bagus. Contoh kemaslahatan dalam adat, adanya adab dan tata cara makan dan kebia ‘aan, membersihkan di Ditinjau dari segi eksistensi maslahar dan ada tidaknya dalil yang angsung mengaturya terbagi menjadi tiga macam, yaitu: 1. Maslahah mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang terdaat di dalam nash dijelaskan dan diakui keberadaannya serta telah ditetapkan_ ketentuan- ketentuan hukum untuk merealisasikannya sehingga dapat melindungi agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan, 2. Maslahah mulghah, yaitu maslahah yang bertentangan dengan nash. Bahwa sesuatu. yang dianggap maslahah oleh akal pikiran kita, namun dalam Kenyataannya bertolak Karena adanya dalil yang menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan ketentuan dalil yang jelas. * Abd Rahman Dahlan, Ushul Figh...311 16 3. Maslahah mursalah, yaitu mastahah yang tidak secara jelas dan tegas dalilnya baik mengakui maupun menolaknya, namun keberadaannya sejalan dengan tujuan syariat Islam, Secara lebih jelasnya, bahwa mastahah ini termasuk maslahah yang didiamkan oleh nash. ¢. Pengertian Maslahah Mursalah Secara bahasa mursalah memiliki arti “terlepas”, atau berarti “bebas” Apabila dihubungkan dengan kata “terlepas” atau “bebas” dengan maslahahyang dimaksudkan yaitu “bebas atau terlepas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidaknya dilakukan”.’ Ada beberapa rumusan tentang definisi: maslahah mursalah, namun teta memiliki kesamaan dan kemiripan dalam pengertiannya diantaranya, maslahah mursalah menurut al-Ghazali yaitu apa-apa (maslahah yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya. Maslahah mursalah ‘menurut Ibnu Qudaima dari ulama Hambali yaitu maslahah yang tidak ada bukti petunjuk tertentu yang membatalkannya dan tidak pula memperhatikannya. Maslahah mursalah menurut Abdul Wahab al- Khallaf yaitu maslahah yang tidak ada dalil syara’ datang untuk mengakuinya atau menolaknya. Maslahah mursalah merupakan suatu kemaslahatan yang tidak ada dalil- dalil yang membicarakan maupun memerintahkannya untuk dikerjakan ataupun ditinggalkan, Apabila hal tersebut dikerjakan maka akan mendatangkan suatu kebaikan yang besar atau sebuah kemaslahatan. Maslahah mursalah juga disebut sebagai maslahat yang mutlak, hal ini karena tidak ada dalil yang mengakui * Firdaus, Ushul Figh Merode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, (Depok: Raja Grafindo Persada, 2017), 91 v7 kekeliruan dalam praktiknya. Pembentukan hukum dengan cara maslahah mursalah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dan mendatangkan manfaat dengan menolak kemudharatan. Dengan demikian maslahah mursalah merupakan maslahah yang searah dengan tujuan syariat sebagai dasar pijakan dalam mewujudkan kebaikan yang dibutuhkan oleh manusia serta terhindar dari kemudharatan, Dalam. kenyataannya, kemaslahatan menjadi sebuah tolak ukur untuk menetapkan hukum yang seiring bertumbuhnya dan perkembangan kehidupan masyarakat Islam yang dipengaruhi perbedaan kondisi dan tempat. 4. Dasar Hukum Maslahah Mursalah Maslahah mursalah merupakan sesuatu. yang dipandang memiliki manfaat bagi kehidupan manusia, serta menghindarkan dari sesuatu hal yang bersifat buruk dan menyebabkan kerusakan. Adapun pedoman dalam al-qur’an dalam menetapkan maslahah mursalah, antara lain 1, Surah al-Bagarah, ayat 222: ela 16) 5324 cil 5a “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjalankan diri dari wanita di waktu haidh”° Ayat tersebut menjelaskan dalil nash yang menunjukkan secara langsung, bahwa tidak baik mendekati wanita yang sedang haidh dengan alasan itu ‘merupakan sebuah penyakit. ‘AL-Qur'an (Q. $ Al-Bagaralt 2 : 222) 18, 2, Surah at-Taubah, ayat 41: “dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah, Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetauhi”.’ Ayat tersebut menunjukkan bahwasannya manusia memiliki keharusan dalam mendahulukan agama, atas harta dan jiwa, Begitu juga dengan syariat memperbolehkan meminum khamar bagi orang yang tercekik, untuk melepaskan keadaan daruratnya. Dalam hal ini menunjukkan bahwa memelihara harta jiwa itu harus dilakukan atas memelihara akal. 3. Surah az-Zumar, ayat 18: Va Gyall Aah | aiual G yayisd J yall G yaa Gyall tls yh aa asl len “yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya, Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunujuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”.” Maksud dari ayat tersebut adalah orang yang bersifat agung tersebut yaitu orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah kepada apa yang diridhai dan mereka merupakan pemilik akal yang bersih dan fitrah yang lurus. e. Persyaratan Maslahah Mursalah Abdul wahab khallaf menjelaskan beberapa _persyaratan dalam menjalankan maslahah mursalah, antara lain?” ZAl-Qur'an (Q. 5 AT-Taubah 9 : 41) Sal-Qur'an (Q. § AZ-Zumar 39 : 18) ° Effendi Satria, Ushul Figh, Jakarta: Prenada Media, 2003), 152. 19 1. Sesuatu yang dianggap maslahah harus berupa kemaslahatan yang hakiki yaitu. benar-benar dapat mendatangkan kemanfaatan atau menolak Kemudharatan, serta tidak berupa dugaanbelaka yang hanya mempertimbangkan kemanfaatanya saja tanpa melihat damak negatif yang ditimbulkan. Sesuatu yang dianggap maslahah hendaklah bersifat dan mengedepankan kepentingan umum, bukan kepentingan diri sendiri atau pribadi. Sehingga yang diutamakan dari kemaslahatan tersebut harus- mengedepankan kepentingan yang memiliki tujuan dan manfaat yang dapat dirasakan oleh semua manusia. 3. Kemaslahatan itu) memang tidak terdapat dalil maupun nash yang menolaknya, Namun sesuatu yang dianggap maslahat tersebut tidak boleh bertentangan dengan al-qur’an maupun sunnah, 2. Jual Beli Pesanan/Istishna’ a. Pengertian Jual Beli Istishna’ Bai’ al-istishna merupakan suatu perjanjian jual beli atau kontrak pesanan yang ditandatangani bersama antara pemesan dengan pengeluar, dengan tujuan untuk pembuatan suatu jenis barang tertentu, Bai’ al-istishna biasanya diaplikasikan pada perusahaan dengan memberikan spesifikasi barang yang akan ditempah atau dipesan. Kontrak pesanan ini ialah suatu kontrak jual beli dimana pembeli membuat pesanan kepada penjual agar membuat sesuatu barang yang diinginkan, dan dibuat pada waktu tertentu dengan harga dan cara bayaran yang 20 ditetapkan saat kontrak berlangsung. Kontrak jual beli seperti ini disamakan juga dengan kontrak upah, karena melibatkan kerja dan bahan mentah.'” Bi al-Istishna’ hampir sama dengan Bai’ as-salam, yaitu suatu kontrak jual beli dimana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tetapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan kemudian, Jual beli pesanan/al-Istishna’ merupakan akad jual beli dalam bentuk pesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’), Maka jual beli pesanan/al-Istishna’merupakan akad jual beli antara pemesan (Mustashni) dengan penerima pesanan (Shani) atas sebuah barang dengan spesifikasi tertentu, contohnya untuk barang-barang industri ataupun property. spesifikasi dan harga barang pemesanan haruslah sudah disepakati pada awal akad, sedangkan pembayaran dilakukan dimuka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.'' Bai’ al-Istishna’ adalah akad jual beli antara__pemesan/pembeli (mustashni’) dengan produsen/penjual (shani’) dimana barang yang akan diperjual belikan dibuat lebih dahulu dengan kriteria yang jelas. Istishna’ hampir sama dengan Bai’ as-salam. Bedanya, hanya terletak pada cara pembayarannya. Pada as-salam pembayarannya harus dimuka dan segera, sedangkan Istishna’ " Hulwati, Ekonomi Islam, Teori dan Praktiknya dalam Perdagangan Obligasi Syariah di Pasar ‘Modal Indonesia dan Malaysia, edisil, (Padang: Ciputat Press Group, 2006), 87 © Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukun Perbankan dan Ekonomi Syari‘ah, cedisi I, Gakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), 327, 2 pembayarannya boleh diawal, ditengah, atau diakhir, baik sekaligus ataupun dengan jalan bertahap, b. Dasar Hukum Jual Beli Pesanan/al-Istishna’ Mengingat jual beli pesanan/al-Istishna’ merupakan lanjutan dari jual beli as-salam maka secara umum dasar hukum yang berlaku pada jual beli as-salam juga berlaku pada jual beli pesanan/al-Istishna. Asal mula diperbolehkan akad pesanan ini adalah firman Allah swt: QS. Al-Bagarah ayat 282 yaitu: Th ae Sid toa aeabae artinya: Hai rang-orang yang beriman, apabila tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya, dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari pada hutangnya, jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu), jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang 2 perempuan dari saksisaksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi Keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecit maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu‘amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.' Ayat ini merupakan ayat yang paling panjang di dalam Al-Quran, ini merupakan nasehat dan bimbingan dari Allah swt bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, jika mereka melakukan muamalah tidak tunai, hendaknya menuliskannya supaya lebih dapat menjaga jumlah dan batas waktu muamalah tersebut, serta let menguatkan bagi saksi. Adapun Fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional No: 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli al chna, menurut mahzab Hanafi, Istishna hukumnya boleh (jawaz) karena hal itu telah dilakukan oleh masyarakat muslim sejak masa awal tanpa ada pihak (ulama) yang mengingkarinya,'* c. Rukun Dan Syarat Jual Beli Istishna’ 1. Rukun Jual Beli Istishna” ‘Transaksi jual beli al-Istishna’ merupakan suatu jenis Khusus dari akad jual belias-salam, Dengan demikian itu, ketentuan jual beli al-Istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan akad Bai” as-salam, Maka dari pada itu, "Al-Qur'an (Q. § Al-Bagarah2 : 282) "'Himpunan Undang-Undang dan Peraturan Pemeriniah tentang Ekonomi Syariah (Cet. VU; ‘Yogyakarta: Pustaka Zeedny, 2009), 146. 2B pelaksanaan jual beli al-Istishna’ harus memenuhi sejumlah rukun, yaitu sebagai berikut :'* a. Muslam atau Pembeli b. Muslam Alaih atau Penjual ¢. Modal atau Uang 4. Muslam Fihi atau Barang fe. Sighat atau Ucapan 2. Syarat Jual Beli Istishna’” Akad jual beli al-Istishna’ sah apabila telah memenuhi lima syarat sebagai berikut :'° a. Muslam atau Pembeli : orang yang berakad, baligh, berakal dan orang yang menerima barang. b. Muslam Alaih atau Penjual : orang yang berakad, baliqh, berakal dan orang yang menyerahkan barang. ¢. Modal atau Uang : harus jelas dan terukur, berapa harga barangnya, berapa uang mukanya dan berapa lama sampai pembayaran terakhirnya. 4, Muslam Fihi atau Barang : barang tersebut ada dalam tanggungan, harus jelas jenisnya, ciri-cirinya, kualitas dan kuantitasnya, e. Shigat atau Ucapan : harus jelas dan dilakukan oleh kedua belah pihak (Muslam dan Muslam Alaih). Termasuk dalam sifat yang jelas, seperti warna barang dan ukurannya. Dalam jenis nomor-nomor barang kalau yang dipesan lebih dari satu, harus jelas % Syamsul Anwar, Hukwn Perjanjian Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), 256, "Tid... 256. Pz perinciaannya, Bentuk akad harus jelas, artinya berupa wang pertama dan kapan akan memenuhinya atau menyerahkan ang sekaligus untuk barang yang ditentukan. Jelas waktunya, artinya waktu penyerahan harus pasti kapan pesanan itu jadi. Harga harus jelas tidak boleh ada kenaikan, tidak ada perbedaan, harus sudah pasti dan lebih baik ada catatan, Syarat jual beli al-Istishna’ sah apabila memenuhi delapan persyaratan berikut:!° a. Jelas sifat barang b. Jelas sifat waktunya ¢. Telah ada pada waktu yang ditentukan 4d. Jelas tempat penyerahannya e. Jelas harganya f, Penyerahan (uang) sebelum berpisah g. Jelasnya akadnya h. Tidak ada khiar syarat Pesanan yang bertenggang waktu harus jelas batas waktunya misalnya sampai tanggal 10 Muharram, Barang yang dipesan harus bisa diserahkan pada waktunya, Juga tempat penyerahan harus pasti (diantar kerumah, diserahkan di pasar, dan lain-lain), harga harus jelas tidak boleh samar-samar supaya tidak timbul perbedaan dan kericuhan, Waktu akad pesanan sudah selesai (cocok) harus disertai pembayaran uang muka walau tidak seluruhnya, sebab kalau tidak disertai penyerahan uang *syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah... 257-258. 25 muka akan disebut utang bukan pesanan. Bentuk akad pesanan harus jelas artinya semua ketentuan sudah jelas tidak ada perbedaan-perbedaan antara pemesan dengan orang yang menerima pesanan, Dalam pesanan tidak ada khiyar syarat yaitu khiyar (hak opsi) yang di syariatkan oleh salah satu atau kedua pihak dalam akad bahwa mereka mempunyai hak untuk membatalkan akad dalam waktu tertentu dan jika tidak dibatalkan selama waktu itu, maka akadnya berlangsung (tidak batal). Artinya kalau barangnya sudah ada dan sesuai dengan ketentuan- ketentuan lantas tidak cocok akan dikembalikan dan barang yang sudah seswai harus diterima. Karena akad jual beli al-Istishna’ tidak sesuai dengan kaidah umum jual beli, maka fuqaha menggantungkan kebolehan akad ini dengan sejumlah syarat sebagai berikut:'” a. Objek akad (atau produk yang dipesan) harus dinyatakan secara rinci; jenis ukuran dan sifatnya, Syarat ini sangat penting untuk menghilangkan unsur gharar. b. Produk yang dipesan berupa hasil atau kerajinan yang mana masyarakat Jazim memesannya seperti sepatu, perabotan rumah tangga dan lain lain. c. Waktu pengadaan produk tidak dibatasi jika dibatasi dengan waktu tenggang tertentu ia menjadi akad salam. Menurut Jumbur ulama, selain Hanafiyah adapun rukun dan syarat jual belia lam sama dengan al-Istishna, adapun rukunnya terdiri atas:'* a. Orang yang berakad, baligh dan berakal b. Barang yang dipesan harus jelas ciri-cirinya, waktunya, harganya, " Ghufion A. Masadi, Figh Muamalah Kontekstual (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 148-149, M.Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 145-146. 26 ¢. Tjab dan kabul Adapun syarat-syaratnya sebagai berikut : a. Syarat yang terkait dengan modal/harga, harus jelas dan terukur, berapa harga barangnya, berapa uang mukanya dan berapa lama, sampai pembayaran terakhirnya, b. Syarat yang berhubungan dengan barang (obyek) harus jelas jenis, ciri cirinya, kualitas dan kuantitasnya, Adapun syarat-syarat lain yang harus diikuti sehingga jual beli: menjadi sah. Diantaranya persyaratan untuk barang yang dijual."” Syarat pembayaran (modal): a. Diketahui jelas jenisnya b. Diketahui jelas kadarnya ¢. Diserahkan di majelis, Syarat barang: a. Bahwa barang tersebut ada dalam tanggungan. b. Barang tersebut berkriteria yang bisa memberikan kejelasan kadar dan sifat- sifatnya yang membedakannya dengan lainnya agar tidak mengandung gharar dan terhindar dari perselisihan c. Bahwa batas waktu diketahui jelas. 4. Tujuan Jual Beli Istishna’ Apabila kita perhatikan keidzinan syara’ dalam melakukan_ salam (indent, ini berarti suatu kelonggaran dalam bermuamalah seperti hanya jual beli ™ Sayyid Sabig, Fikih Sunnah, (Bandung: Al-Ma‘atifa 1996), 120, Pa] dengan hutang. Disana tercermin adanya saling membantu yang dapat ‘menguntungkan kedua belah pihak, Pihak indentor dapat membeli barang dengan harga investmen seperti ini mendatangkan keuntungan bagi indentor di kemudian hari, Begitupun pihak penjual memperoleh keuntungan dari penerimaan vang lebih cepat dari pada penyerahan barang. Dengan pembayaran itu, berarti ia mendapatkan tambahan Kapital yang berguna untuk mengelolah dan mengembangkan usahanya. Tanpa capital itu mungkin tidak memperlancar usahanya, bahkan mungkin tidak dapat berjalan sama sekali, pembayaran dari indentor dapat menghilangkan kesempitan dan kesusahan itu.? Dengan keidzinan syara’ dalam melakukan salam, maka tujuan jual beli al-Istishna’ juga sama yaitu adanya saling tolong menolong diantara kedua belah pihak yang menguntungkan, yakni pihak yang memesan barang (pelanggan) dapat membeli barang sesuai dengan kebutuhannya dengan bayaran yang dapat diangsur dan ses ai dengan kesepakatan kedua belah pihak selama tidak ada yang memberatkan atau terbebani salah satu pihak. Selain dari pada itu, pihak yang menawarkan barang untuk dipesan oleh pelanggan dapat mendatangkan keuntungan dikemudian hari, yang berarti dapat menambah kekayaan yang berguna untuk mengelola dan mengembangkan usahanya. Adapun tujuan hukum Islam yang diperoleh dari transaksi muamalah tersebut yakni, memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil ® Hamzah Ya’qub, Kode Erik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi), (Bandung: Diponegoro Bandung, 1999), 243-245, 28 (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan.”' 3. Berpakaian Dalam Islam a, Definisi Pakaian Pakaian berasal dari kata “pakai” yang ditambah dengan akhiran “an” dalam kamus bahsa Indonesia ada dua makna dalam kata pakai, yaitu (a), Mengenakan , seperti: “Anak SD pakai seragam merah putih” dalam hal ini pakai berarti mengenakan, (b). Dihubungi atau diberi, contoh: “Es teh paki gula” Dalam hal ini pakai berarti diberi. ” Pakaian dalam bahasa Arab albisah yang merupakan bentuk jamak dari kata libas. Yaitu sesuatu yang digunakan manusia untuk menutupi dan melindungi seluruh atau sebagian tubuhnya dari panas dan dingin. Seperti kemeja, T-Shirt, Baju, sarung, dan sorban. Pakaian juga didefinisikan sebagai setiap sesuatu yang menutupi tububh. Sedangkan makna dari pakaian adalah barang apa yang dipakai atau dikenakan seperti baju, celana, rok dan lain sebagainya. Seperti pakaian dinas berarti baju yang dikenakan untuk dinas, pakaian adat berarti pakaian khas resmi suatu daerah, Kata pakaian bersinonim dengan kata busana. Namun kata pakaian mempunyai konotasi yang lebih umum daripada busana, Busana seringkali dipakai untuk baju yang tampak dari luar s ja. * Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Hmu Hukum dan Tata Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), 61 ® Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (lakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 1000. 29 Pakaian mempunyai arti tertentu. Sebab itu pakaian harus berukuran sedemikian rupa, sehingga dalam sikap dan gerak gerik tidak menimbulkan godaan bagi orang lain, dengan pakaian yang sesuai norma susila, orang tidak hanya harus menjaga moral masyarakat (orang lain) melainkan juga untuk menjaga diri, Dengan pakaian begitu manusia meluhurkan sesama dan diti 2 sendiri, manusia menyempurnakan bangsa manusia b. Pakaian Dalam Al-Qur’an Allah SWT memberi pengertian tentang pakaian melalui ayat: ayatNya. Dan Allah ta’ala juga telah mendeklarasikan penurunan pakaian untuk manusia dengan berbagai istilah, Diantaranya adalah Libas, Tsiyab, Sarabil. Adapun pengertian masing-masing adalah sebagai berikut: * 1) Libas Kata Libas digunakan oleh al-Qur’an untuk pakaian lahir maupun batin, Libas merupakan kosa kata bahasa Arab yang bermakna leksikal pakaian, Dalam. Lisan al-Arab disebutkan beberapa macam makna untuk Libas yaitu, memakai (albasa, labisa), mencampur (Khalata, labasa), penutup (gisya’), menenangkan (al-sakan) dan lain sebagainya. Dari beberapa makna dasar ini bisa diketauhi bahwasannya Libas mempunyai makna yang beragam tergantung dimana kata itu diletakkan, Maka maknanya akan mengikuti konteksnya (siyag al-kalam). Secara leksikan, akar kata lam, ba’, sin mempunyai dua makna dasar yaitu, labasa labsan yang berarti mencampur, labisa tubsan yang. berarti ® Drijarkara, Filsafar Manusia, (Yogyakarta: Kanisius, 1969), 44, * Quraisy Shihab, Wawasan al-Qur“an, (Bandung: Mizan, 2001), 156. 30 memakai penutup dengan sesuatu. Untuk mengatakan pakaian orang Arab menggunakan kata Libas. 2) Tsivab Kata Tsiyab di dalam al-Qur'an digunakan untuk menunjukkan pakaian lahir. Tsiyab merupakan bentuk plular dari kata tsaub yang berarti sesuatu yang dipakai. Akar kata tsa-wawu-ba’. Tsaba yasubutsaub mempunyai makna dasar kembali, yakni kembalinya sesuatu pada keadaan semula atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide pertamanya.”* Seperti pakaian, menurut al-Ragib al-Isfahani yang dikutip Quraisy Shihab ide dasarnya adalah bahan-bahan pakaian untuk dipakai. Bahan-bahan pakaian yang terbuat dari benang dipintal menjadi kain yang dipakai untuk menutup tubuh, Karena kesesuaian dengan ide dasar inilah kemudian pakaian disebut tsaub. Ibn Manzur menyebutkan beberapa makna Tsaub diantaranya: kembali (Raja’a), datang dan berkumpul (ja'a wa ijfama'a), memberi hadiah/pahala (astaba), penuh (imtala’a), mengganti Cawwada), pakaian (Tsiyab, tsaub) danlain sebagainya.”* Perbedaan makna ini akan teridentifikasi sesuai kata yang mengiringinya. 3) Sarabit Sarabil merupakan bentuk plural dari kata sirbal yang berasal dari kata kerja sarbala, kata sirbal mempunyai arti gamis, baju besi, dan ada pula yang mengatakan segala sesuatu yang dipakai disebut sirbal. Hal ini menyebabkan ® Mujamma’ Lughah, af-Mlu jam al-Wasit, (Kaito: Dar al-Syurrug, 2004), 102, * Tosihiko Inutsu, Konsep-Konsep Etika Religius Dalam Al-Qur anYogyakarta: Tiara Wacana, 2003), 29, 31 kata sirbal juga dipakai sebagai kinayah dari kata khalifah. Dalam percakapan sehari-hari kata sirbal jarang digunakan oleh orang Arab. ¢. Fungsi Utama Pakaian Dalam Pandangan Islam 1) Pakaian untuk menutup aurat Tubuh yang dalam perkembangannya telah melahirkan kebudayaan bersah: Hal ini sebagai realisasi dari perintah Allah, aurat wanita seluruh tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangan, sedangkan aurat pria menutut aurat dibawah lutut dan di atas pusar. Batasan yang telah ditetapkan Allah ini melahirkan kebudayaan yang sopan dan enak dipandang serta menciptakan rasa aman dan tenang, sebab telah memenuhi kewajaran, Berpakaian menutup aurat juga menjadi bagian integral dalam menjalankan ibadah, terutama shalat, haji dan umrah, Oleh sebab itu setiap orang beriman berkewajiban untuk berpakaian yang ‘menutup aurat 2) Pakaian merupakan perhiasan Yang menunjukkan identitas diri, sebagai konsekuensi perkembangan peradaban manusia, *” Hal ini bertujuan untuk menjaga dan mengaktualisasikan dirisesuai dengan tuntutan perkembangan mode dan zaman, Dalam kaitan dengan pakaian sebagai perhiasan, maka setiap manusia memiliki kebebasan untuk mengekspresikan keinginan mengembangkan berbagai mode pakaian, sesuai dengan fungsi dan momentumnya. Walaupun demikian Allah memberikan batasan kebebasan itu dalam FirmanNya Syarifah Habibah, “Sopan Santun Berpakaian Dalam Islam”, Jurnal Pesona Dasar, 3 (2014), 65 32 “Hai anak Adam, sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan, Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat"?* 3) Sebagai pelindung tubuh Sebagai pelindung tubuh dari hal-hal yang merusak seperti panas, dingin, angin kencang, sengatan matahari dan lain sebagainya. d. Hukum-hukum Pakaian Sebenamya ada banyak jenis pakaian, demikian juga dengan cara memakainya serta niatnya, Dan kesemuanya akan berpengaruh pada hukumnya secara syar’i, Ada yang hukumnya wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram, 1) Wajib Pakaian yang hukumnya wajib adalah pakaian yang tujuannya untuk menutup aurat. Mengingat bahwa hukum menutup aurat itu sendiri pada dasarnya merupakan suatu kewajiban, Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda_ ding Ete La 3) ha 55 be Vy cig ye Bis, Dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kekaknya bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tutuplah auratmu kecuali kepada istrimu dan budakmu.” (HR, Tirmizi).” * QS. ALA’raf (7): 26. * Ahmad Sarwat, Seri Figih Kehidupan (9) : Pakaian & Rumah (Jakarta : DU Publishing, 2011), 32, 33 2) Sunnah Pakaian yang hukumnya sunnah adalah pakaian untuk mengungkapkan rasa syukur dengan melakukan at-tahaddutsbin-ni'mah, sebagaimana firman Allah SWT : as “Dan atas nikmat dari Tuhanmu, maka bicarakanlah.’"° (QS. Adh- Dhuha : 11) lal Bahkan disunnahkan untuk sebelumnya mandi dan memakai wewangian sebelum kita menghac shalat Jumat, atau shalat-shalat lain dimana saat itu berkumpul banyak manusia.*! 3) Makruh Di antara pakaian yang hukumnya makruh adalah pakaian yang berlebihan dan mendekati kesombongan. He V5 ape WE Fat ally Goth K “Makanlah, minumlah, berpakaialah, serta bersedekahlah, namun jangan israf (berlebihan) dan sombong (HR. Ahmad dan Al-Hakim)"* Pakaian yang harganya mahal tidak terbayangkan sampai ratusan juta bahkan miliaran, tentu merupakan hal yang dimakruhkan, karena merupakan salah satu bentuk israf (berlebihan).** 4) Haram Pakaian yang hukumnya haram adalah antara lain adalah pakaian yang secara syariat bertentangan atau berlawanan dengan prinsip syariat Islam, antara Jain 'Q8. Adh-Dhuha (93): 11 * Ahmad Sarwat, Seri Figit Kehidupan (9) : Pakaian & Rumah... 33, * HR. Ahmad dan Al-Hakim, Shahih, No. 2512. © mad Sarwat, Seri Figih Kehidupan (9) : Pakaian & Rumah. 3-34 34 a, Tidak Menutup Aurat Di antara pakaian yang haram adalah pakaian yang tidak menutup aurat bagi pemakainya, sehingga tujuan utama dari pakaian itu sendiri menjadi tidak tercapai. Dan menampakkan aurat dengan sengaja adalah perbuatan yang diharamkan dalam syariat Islam, Di antara bentuk kriteria pakaian yang tidak memenuhi tujuan menutup aurat adalah pakaian yang terbuka, terlalu tipis sehingga masih menampakkan aurat itu sendiri, atau pun terlalu ketat schingga menampakkan bagian-bagian tubuh yang seharusnya ditutup. Rasulullah SAW ‘melaknat para wanita yang berpakaian namun dianggap telanjang, Basal Gee 955 EdUle Eee Gi le Lguls slag eGullll Goo SS SEGAL Oly oleh Oho Yo Mls Gly Y eal od) VSG 5 SS 5 haat “Dua golongan termasuk ahli neraka, aku belum pernah melihat mereka; satu kaum (penguasa) yang membawa cambuk (besar) seperti ekor sapi, dengannya ‘mereka memukuli manusia; dan kaum wanita yang berpakaian tetapé telanjang, ‘menggoda dan menyimpang, kepala mereka seperti punuk unta yang miring, mereka tidak akan masuk syurga dan tidak akan mendapati aromanya, padahal aromanya bisa didapat dari jarak perjalanan sekian dan sekian”."* (HR. Muslim) b. Menyerupai Pakaian Non Muslim Bagi seorang muslim, pakaian bukan hanya berfungsi sebagai penutup aurat, tetapi juga sebagai lambang identitas keagamaan, Karena itu Rasulullah SAW melarang seorang muslim untuk mengenakan pakaian yang mengidentikkan seseorang dengan agama selain Islam ™ HR. Muslim, Shahib, No. 3971 35 Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW Hs 5H ejb ait bn Siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum itu®® (HR. Abu Daud ) cc, Menyerupai Pakaian Lawan Jenis Pakaian yang termasuk diharamkan adalah pakaian khas untuk jenis kelamin tertentu, namun dikenakan oleh lawan jenisnya. Laki-laki haram memakai pakaian khas wanita, sebaliknya wanita pun juga haram memakai pakaian khas laki-laki, Rasulullah SAW bukan hanya mengharamkan bahkan _ beliau menggunakan istilah laknat. eld JA Sl ye Sugita ing ale St he wil U gins Gal So sly clad de clgiiiall 5 “Rasulullah SAW melaknat para laki-laki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai laki-laki”.”° (HR, Bukhari). 4. Berbahan Najis Pakaian yang haram dikenakan adalah pakaian yang tidak suci dari najis, seperti kulit hewan yang asalnya najis, atau kulit bangkai yang belum disamak. Termasuk yang diharamkan adalah pakaian yang terkena najis, dan belum dibersihkan atau disucikan. Namun keharaman pakaian najis ini sebatas bila dikenakan ketika melakukan shalat saja. Sedangkan bila dikenakan di luar shalat dalam keadaan terpaksa, maka hukumnya dibolehkan. Sedangkan bila dalam SHR, Abu Daud, Shah, No. 3512. “HR. Bukhari, Shahi, No. 5885. 36 keadaan tidak terpaksa, maka para ulama membencinya, Para ulama berbeda pendapat tentang kasus dimana seseorang harus memilih, apakah shalat telanjang karena pakaiannya najis, ataukah tetap shalat dengan pakaian najis? Dalam pandangan mazhab Al-Hanabilah, dalam kasus seperti itu, pilihan yang benar adalah tetap mengenakan pakaian najis di dalam shalat, Hal itu Jantaran menutup aurat lebih utama dari pada berlepas diri dari najis. Sebaliknya, dalam pandangan mazhab Asy-Syafiiyah dan Al-Malikiyah, pilihannya adalah shalat dengan keadaan telanjang dan menghindarkan diri mengenakan pakaian yang najis. Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah memberi_ pilihan berdasarkan prosentase Iuas najisnya. Bila najisnya sekadar % lebar pakaian, pilihannya adalah pakaian itu tetap dikenakan dan tidak shalat dengan telanjang. Sedangkan bila kurang dari 4 lebar pakaian, boleh dipilih, apakah shalat dengan telanjang atau tetap memakai pakaian najis itu. e. Sutera dan Emas Pakaian yang haram lainnya adalah laki-laki muslim yang akil baligh bila pakaiannya berbahan sutera asli atau emas. Sedangkan bila dipakai oleh wanita, sutera dan emas tidak diharamkan. Dasarnya adalah larangan dari Rasulullah SAW sendiri, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut Ui s88 le 6585 al be SUY Je ll Ca Jal “Dikalalkan emas dan sutera buat wanita dan dikaramkan keduanya buat laki- Jaki dari umatku".*” (HR. An-Nasa'i) "HR. An-Nasa’i, Shahih, No. 5057 37 f, Pakaian yang bertujuan untuk menyombongkan diri ataupamer Pakaian yang haram Jainnya adalah pakaian yang ketika dipakai, orang yang mengenakannya punya motif-motif sombong, kibir, atau riya’. Sedangkan kesombongan, kibir dan riya’ adalah sifat-sifat yang tidak terpuji dan diharamkan. Dan ketiganya bisa muncul ketika berpakaian yang berlebihan.** €. Nilai positif akhlaq berpakaian Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar berpakaian yang baik dan bagus sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dalam pengertian bahwa pakaian tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan tujuan berpakaian, yaitu menutupi aurat melindungi tubuh dan keindahan, Terutama apabila kita akan melakukan ibadah shalat, maka seyogyanya pakaian yang kita pakai itu adalah pakaian yang baik dan bersih (bukan berarti mewah).” f. Membiasakan akhlag berpakaian yang baik Islam telah menggariskan aturan-aturan yang jelas dalam berpakaian yang harus ditaatiyakni dalam hal yang disebut etika berbusana. Seorang Muslim/Muslimah diwajibkan memakai busana sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam aturan syariah."® Tidak dibenarkan seorang Muslim/Muslimah ‘memakai busana hanya berdasarkan kesenangan, mode atau tradisi yang berlaku i suatu masyarakat, sementara batasan-batasan yang sudah ditentukan agama ditinggalkan, Karena sesungguhnya hanya orang munafik yang suka meninggalkan Ketentuan berpakaian yang sudah diatur agama yangdiyakini kebenarannya, akibatnya mereka yang meninggalkan ketentuan akan Ahmad Sarwat, Seri Figih Kehidupan (9) : Pakaian & Rumah, 35-39. » Usman dan Ida Inayahwati, Ayo Mengkaji Akidah Akhlak, (Jakarta: Erlangga, 2011), 46 “Usman dan Ida Inayahwati, Ayo Mengkaji Akidah Akhlak. 47 38, mendapatkan azab dihadapan Allah kelak di akhirat, Contoh salah satu akhlak dalam berpakaian yang tidak baik yakni memakai pakaian yang bertuliskan kata- kata kotor, yang dimaksud Pakaian yang mengandung kata-kata kotor ialah, pakian yang bertuliskan untuk mengajak kepada kemaksiatan seperti wik wik wik, what the fuck, ciumlah ditiku, dll. Kemudian pakaian yang bertuliskan untuk mengajak kejelekan dalam berkat kata seperti jancok, bangsat.dll

Anda mungkin juga menyukai