Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

HUKUM WAD’I

Sebagai penyelesaian tugas mata kuliah Ushul Fiqh

Dosen Pengampu: Mastur, HMI

Disusun Oleh:

Roudatul Zannah (101230)

SEKOLAH TINGGI ILMU SHUFFAH AL-QUR’AN ABDULLAH BIN MAS’UD


ONLINE PROGAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

TAHUN AJARAN 2024

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya. Sehingga penyusun mampu
menyelesaikan makalah ini.
Shalawat serta salam kepada sang pendidik sejati Rasulullah SAW, serta para sahabat,
tabi’in dan para umat yang senantiasa berjalan dalam risalahnya. Dengan terselesainya
makalah ini, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua
pihak yang memberikan sumbangan baik moral maupun spiritual.
Selanjutnya penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini banyak
terdapat kekurangan, walaupun penyusun sudah berusaha semaksimal mungkin untuk
membuat yang terbaik. Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa di dunia ini tidak ada yang
sempurna. Begitu juga dalam penyusunan makalah ini, yang tidak luput dari kekurangan dan
kesalahan.
Oleh karena itu, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif demi penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat. Amiin.

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh

Muhajirun, 26 januari 2024

penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................2

DAFTAR ISI....................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................4

RUMUSAN MASALAH.................................................................................................4

TUJUAN...........................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................5

A. PENGERTIAN HUKUM WADH’I...................................................................5


B. PEMBAGIAN HUKUM WADH’I.....................................................................5

BAB III PENUTUP.......................................................................................................12

KESIMPULAN..............................................................................................................12

SARAN...........................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................13

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan dari hal kaidah-kaidah dan pembahasan-
pembahasan yang dapat membawa kepada pengambilan hukum- hukum tentang amal
perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terperinci.Pada dasarnya hukum syara’ ditetapkan
Allah adalah sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya. Rahmat Allah itu merata diberikan tanpa
terkecuali. Karena itu pada aslnya hukum itu ditujukan kepada semua manusia mukallaf
tanpa terkecuali. Disamping itu hukum Allah mengandung pembatasan-pembatasan, perintah-
perintah, dan larangan-larangan yang pada dasarnya masih dalam batas-batas kemampuan
mukallaf untuk melaksanakanya, kareana Allah tidak memberati seseorang kecuali dalam
batas kemampuanya.

Melihat semakin kompleksnya masalah-masalah yang dihadapi manusia pada era


perkembangan zaman, ushul fiqh muncul dengan beberapa hukum syara’ menjadi dua yaitu
hukum taklifi dan hukum wadh’i. Dalam makalah ini akan menjelaskan tentang hukum
wadh’I beserta macam-macamnya. Untuk memahami hal tersebut kami memiliki beberapa
penjelasan mengenai hukum wadh’i yang tersusun dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Hukum Wadh’i ?
2. Bagaimana Pembagian Hukum Wadh’i ?

C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengatahui apa yang dimakud dengan Hukum Wadh’’i ?
2. Untuk mengatahui Pembagian Hukum Wadh’i?

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HUKUM WADH’I

Yang dimaksud dengan hukumWadh’I adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu
sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain
atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang (man’) bagi
adanya sesuatu yang lain tersebut.

Hukum wadh’i adalah hukum yang berhubungan dengan dua hal, yakni antara dua
sebab (sabab) dan yang disebabi (musabbab), antara syarat dan disyarati (masyrut), antara
penghalang (mani’) dan yang menghalangi (mamnu), antara hukum yang sah dan hukum
yang tidak sah.

Hukum ini dinamakan hukum wadh’i karena dalam hukum tersebut terdapat dua hal
yang saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat, syarat, dan lain-
lain. Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi hukum wad’i adalah hukum yang
menghendaki dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu),
pencegah (al-mani’), atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah (shahîh), rusak atau
batal (fasid), ‘azimah atau rukhshah.

Jadi, Hukum wadh’i adalah Hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf
yang berkaitan dengan sebab akibat, syarat, mani’, shah dan batal, sekaligus azimah dan
rukhsah.

B. PEMBAGIAN HUKUM WADH’I

Hukum Wadh’i terbagi menjadi lima macam yaitusebab, syarat, mani,


rukhsahdanazimah, sahdanbataladapun penjelasannya sebagai berikut :

5
1. Sebab

a. Pengertian sebab

Sebab menurut bahasa berarti sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang


kepada sesuatu yang lain. Yang dimaksud dengan sebab disini adalah segala
sesuatu yang dijadikan oleh syar’I sebagai alasan bagi ada dan tidak adanya
hukum.[4] Misalnya, tindakan perzinaan menjadi sebab ( alasan) bagi wajib
dilaksanakan hukuman atas pelakunya, keadaan gila menjadi sebab (alasan)
bagi keharusan ada pembibingnya. Adanya sesuatu yang menyebabkan adanya
hukum dan tidak adanya hukum.

b. Pembagian sebab
Para jumhur ulama ushul fiqh membagi sebab kepada dua macam:

1) Sebab yang diluar kemampuan mukalaf, namun demikian,sebab itu


mempunyai hubungan dengan hukum taklifi, karena syariat telah
menjadikannya sebagai alasan bagi adanya suatu kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh seorang mukalaf. Misalnya, tergelincirnya matahari
menjadi sebab ( alasan) bagi datangnya waktu shalat zuhur, masuknya
bulan ramadhan menjadi sebab ( alasan ) bagi kewajiban melakukan
puasa ramadhan, dan keadaan terdesak menjadi sebab bagi bolehnya
sesorang memakan sesuatu yang diharamkan.

2) Sebab yang berada dalam batas kemampuannya mukalaf. Misalnya,


perjalanan menjadi sebab bagi bolehya berbuka puasa di siang hari
ramadhan, pembunuhan disengaja menjadi sebab bagi dikenakan
hukum qisas atas pelakunya, dan akad transaksi jual beli menjadi sebab
bagi perpindahan milik dari pihak penjual kepada pihak pembeli.

2. Syarat

a. pengertian syarat
menurut bahasa kata syarat berarti sesuatu yang menghendaki adanya
sesuatu yang lain atau sebagai tanda. Namun yang dimaksud
dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu
yang lain, dan berada diluar dari hakikat sesuatu itu.[6] Misalnya, wudhu
adalah sebagai syarat bagi sahnya shalat dalam arti adanya shalat tergantung

6
kepada adanya wudhu, namun pelaksanaan wudhu itu sendiri bukan
merupakan bagian sholat.

b. Pembagian syarat
Para ulama membagi syarat menjadi beberapa bagian:

1) Syarat hakiki ( syar’i) syarat yang datang langsung dari syariat sendiri.
Misalnya, keadaan rusyid ( kemampuan untuk mengatur pembelanjaan
sehingga tidak menjadi mubazir) bagi seorang anak yatim di jadikan
oleh syariat sebagai syarat bagi wajib menyerahkan harta miliknya
kepadanya sebagaimana firman allah:

‫َتْأُك ُلوَها ِإْس َر اًفا َو ِب َداًرا‬ ‫َو اْبَتُلوا اْلَيَتاَم ٰى َح َّتٰى ِإَذ ا َبَلُغ وا الِّنَك اَح َفِإْن آَنْس ُتْم ِم ْنُهْم ُر ْش ًدا َفاْدَفُعوا ِإَلْيِهْم َأْم َو اَلُهْم ۖ َو اَل‬
‫ِإَلْيِهْم َأْم َو اَلُهْم َفَأْش ِهُدوا‬ ‫َأْن َيْك َبُروا ۚ َو َم ْن َك اَن َغ ِنًّيا َفْلَيْسَتْع ِفْف ۖ َو َم ْن َك اَن َفِقيًرا َفْلَيْأُك ْل ِباْلَم ْعُروِف ۚ َف ِإَذ ا َد َفْع ُتْم‬
]٤:٦[ ‫َع َلْيِهْم ۚ َو َكَفٰى ِباِهَّلل َحِس يًبا‬

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian
jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta),
maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu
makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu)
tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di
antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari
memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah
ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan
harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang
penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas
persaksian itu). (QS.An-Nisa:6).

2) Syarat ja’ly, yaitu syarat yang datang dari kemampuan orang mukalaf
itu sendiri. Misalnya, seorang suami berkata kepada istrinya “ jika
engkau memasuki rumah si fulan, maka jatuhlah talakmu satu” dan
seperti pernyataan seseorang bahwa ia baru bersedia menjamin untuk
membayarkan utang si pulan dengan syarat si pulan itu tidak mampu
membayar utangnya itu.

7
3. Mani’

a. Pengertian Mani’
Kata mani’ secara etimologi berarti penghalang dari sesuatu. Namun
secara terminologi, seperti yang dikemukakan oleh abdul karim zaidan,

‫ما َر َّتَب الَّش اِر ُع َع َلى ُوُجْو ِدِه َعَد ُم ُوَج ْو ِد الُح ْك َم َأْو َعَد ُم الَّس َبَب َاْي ُبْط اَل ُنُه‬
mani’ yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum
atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.

Misalnya: hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan


menyebabkan timbulnya hubungan kewarisan (waris-mewarisi ). Apabila ayah
wafat, istri dan anak mendapatkan bagian warisan dari harta ayah atau suami
yang wafat sesuai dengan bagian masing-masing akan tetapi, hak mewarisi ini
bisa terhalang apabila anak atau istri yang membunuh suami atau ayah
tersebut. Jadi, yang menghalangi ahli waris untuk mendapatkan warisan itu
karena membunuh orang yang mewarisi.

b. Pembagian Mani’

Para ulama Ushul fiqh membagi mani’ menjadi dua macam:

1) mani’ al-Hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai


penghalang bagi adanya hokum. Misalnya, keadaan haid bagi wanita
ditetapkan Allah sebagai mani’ (penghalang) bagi kecakapan wanita
itu untuk melakukan sholat, dan oleh karena itu sholat tidak wajib
dilakukan saat haid.

2) mani’ al-Sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai


penghalang bagi berfungsinya suatu sebab sehingga dengan demikian
sebab itu tidak tidak lagi mempunyai akibat hokum. Contohnya, bahwa
sampainya harta minimal satu nisab, menjadi sebab bagi wajib
mengeluarkan zakat harta itu karena pemiliknya sudah tergolong orang
kaya. Namun, jika pemilik harta itu dalam keadaan berhutang dimana
hutang itu bila dibayar akan mengurangi hartanya dari
satu nisab, maka dalam kajian fiqih keadaan berhutang itu
menjadi mani’ (penghalang) bagi wajib zakat pada harta yang

8
dimilikinya itu, telah menghilangkan predikatnya sebagai orang kaya
sehingga tidak lagi dikenakan kewajiban zakat harta.

Keterkaitan antara sebab, syarat, dan mani’ sangat erat.


Penghalang itu ada bersamaan dengan sebab dan terpenuhinya syarat-
syarat. Syari’ menetapkan bahwa suatu hukum yang akan dikerjakan
adalah hukum yang ada sebabnya, memenuhi syarat-syaratnya dan
tidak ada penghalang (mani’) dalam melaksanakannya. Sebaliknya,
hukum tidak ada apabila sebab dan syarat-syaratnya tidak ada, atau
adanya halangan untuk mengerjakannya.

4. Rukhshah dan Azimah

Rukhshah merupakan hukum tambahan bukan hukum asli. Rukhshah adalah


keringanan hukum yang telah disyariatkan oleh Allah atas mukallaf dalam keadaan
tertentu yang sesuai dengan keringanan tersebut. Atau sesuatu yang disyariatkan
karena ada uzur yang memberatkan dalam keadaan tertentu. Atau diperbolehkannya
sesuatu yang dilarang dengan suatu alasan, meskipun larangan itu tetap berlaku.

Maka hendaknya setiap mukallaf memilih mana yang meringankannya yang


dapat melepaskannya dari kesukaran dan kesulitan. Sedang kesukaran itu sendiri dari
segi berat ringannya antara seorang dengan orang lain selalu berbeda sesuai dengan
perbedaan tekad dan cita-citanya, setiap manusia tidak sama menilai sesuatu
perbuatan apakah berat atau ringan, karena itu batasan yang lebih konkrit tentang
keringanan itu tidak ditemukan. Syara’ hanya meletakkan dasarnya dalam rangka
dugaan seperti dalam perjalanan dianggap syara’ sebagai kesukaran karena biasanya
memang terdapat kesukaran dan selain itu diserahkan kepada ijtihad para mukallaf.

Macam-macam rukhshah antara lain.

a. Diperbolehkannya suatu larangan ketika keadaan darurat atau menurut


kebutuhan. Jika ada seseorang yang dipaksa mengucapkan kata-kata kafir,
maka ia boleh mengucapkannya dengan tetap tidak senang
mengucapkannyadan hatinya tetap dalam keadaan iman.

b. Kebolehan seorang mukallaf meninggalkan kewajiban ketika terdapat uzur


kesulitan menunaikannya. Barang siapa yang sakit di siang hari
bulan Ramadhan atau sedang bepergian, maka ia boleh terbuka.

9
‫َش ْهُر َر َم َض اَن اَّلِذ ي ُأْنِز َل ِفيِه اْلُقْر آُن ُهًدى ِللَّناِس َو َبِّيَناٍت ِم َن اْلُهَد ٰى َو اْلُفْر َقاِن ۚ َفَم ْن َش ِهَد‬
‫ِم ْنُك ُم الَّش ْهَر َفْلَيُص ْم ُه ۖ َو َم ْن َك اَن َم ِر يًضا َأْو َع َلٰى َس َفٍر َفِع َّد ٌة ِم ْن َأَّياٍم ُأَخ َر ۗ ُيِر يُد ُهَّللا ِبُك ُم اْلُيْس َر‬
‫َو اَل ُيِر يُد ِبُك ُم اْلُعْس َر َو ِلُتْك ِم ُلوا اْلِع َّدَة َو ِلُتَك ِّبُروا َهَّللا َع َلٰى َم ا َهَداُك ْم َو َلَع َّلُك ْم َتْشُك ُرون‬
َ [٢:١٨٥]

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-
Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

c. Sahnya sebagian akad yang bersifat pengecualian yang tidak memenuhi syarat
umum sebagian sahnya akad tersebut, namun hal itu berlaku dala muamalah
umat manusia dan menjadi kebutuhan mereka.

d. Menghapus hukum-hukum yang oleh Allah SWT telah diangkat dari kita.
Sedangkan hukum itu adalah termasuk beban yang berat atas umat sebelum
kita.

Dari macam-macam Rukhshah ini, jelaslah bahwa keringanan yang


diberikan kepada mukallaf oleh syari’kadang-kadang berupa
diperbolehkannya sesuatu yang haram karena darurat, diperbolehkannya
kewajiban karena uzur, atau dikecualikannya akad diantara hukum global
karena adanya kebutuhan.
‘azimah merupakan hukum-hukum yang telah disyariatkan oleh Allah
secara umum sejak semula yang tidak terbatas pada keadaan tertentu dan pada
perorangan (mukallaf) tertentu. Umpamanya sholat lima waktu diwajibkan
kepada setiap orang, diwajibkan pada semua keadaan asal saja mukallaf
dipandang cakap melakukannya.

10
Yang dimaksud ‘azimah adalah peraturan-peraturan Allah yang asli
dan terdiri atas hukum-hukum yang berlaku umum. Artinya, hukum itu
berlaku bagi setiap mukallaf dalam semua keadaan dan waktu biasa (bukan
karena darurat atau pertimbangan lain) dan sebelum peraturan tersebut belum
ada peraturan lain yang medahuluinya. Misalnya, bangkai menurut hukum
asalnya adalah haramdimakan oleh semua orang. Ketentuan itu disebut juga
ketentuan pokok.

5. Sah dan batal

Sah secara harfiah berarti “lepas tanggung jawab” atau “gugur kewajiban dunia serta
memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat”. Umpamanya shalat yang dilaksanakan sesuai
dengan yang diperintahkan syara’, jadi sah juga berarti suatu perbuatan yang dibebankan
kepada mukallaf sudah ditetapkan rukun dan syaratnya dan perbuatan itu harus disesuaikan
dengan perintah Allah dan tidak dilanggar.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari beberapa pembahasan yang telah dijelaskan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa : Hukum wadh’i adalah hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah sebab untuk
sesuatu atau syarat baginya atau penghalang terhadap sesuatu. Adapun yang menjadi bagian
dari hukum wadh’i ada 5 yaitu, sebab, syarat, mani’, Ash-Shihah, Al-Buthlan dan Al-Fasad,
‘Azimah dan rukhsah.

a. Sebab adalah sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai tanda atas musababnya dan
mengkaitkan keberadaan musabab, dengan ketiadaannya.
Contoh: perbuatan zina menyebabkan seseorang dikenai hukuman dera 100 kali

b. Syarat ialah sesuatu yang berada di luar hukum syara’, tetapi keberadaannya hukum
syara’ bergantung kepadanya.

c. Mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan oleh syar’i keberadaannya menjadi ketiadaan
hukum atau ketiadaan sebab, maksudnya batalnya sebab itu.

d. As-shihah yaitu tercapainya sesuatu yang diharapkan secara syara’, apabila sebabnya
ada, syarat terpenuhi, halangan tidak ada, dan berhasil memenuhi kehendak syara’ pada
perbuatan itu, sedangkan bathl berarti rusak dan gugur hukumnya dan fasad yaitu perubahan
sesuatu dari keadaan yang semestinya (sehat).

e. ‘Azimah adalah hukum-hukum yang disyari’atkan oleh Allah kepada seluruh


hambanya sejak semula, sedagkan rukhsah yaitu keringanan melakukan sesuatu dlam
keadaan tertentu.
Jadi jelaslah bahwa kita harus mengetahui dalil hukum yang harus kita lakukan dan menjadi
pedoman dalam melakukan sesuatu agar tidak menyalhi aturan yang sudah ditetapkan oleh
syara’.

B. Saran
Dari makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita
semua umumnya kami pribadi. Yang baik datangnya dari Allah, dan yang buruk datangnya
dari kami. Dan kami sedar bahwa makalah kami ini jauh dari kata sempurna, masih banyak
kesalahan dari berbagai sisi, jadi kami harafkan saran dan kritik nya yang bersifat
membangun, untuk perbaikan makalah-makalah selanjutnya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka Amani, 2003.

Effendi, Satria, Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Group, 2005.

Karim, Syafe’i, Fiqih-Ushul fiqh, Bandung: CV Pustaka Setia, 1997.

Koto, Alaidin, Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Syafe’I, Rachmat, Ilmu USHUL FIQIH, Cet.IV, Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Syarifudin, Amir. Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta; Logos Wacana Ilmu

13
14

Anda mungkin juga menyukai