Makalah Hukum Wad'I: Sebagai Penyelesaian Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh Dosen Pengampu: Mastur, HMI
Makalah Hukum Wad'I: Sebagai Penyelesaian Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh Dosen Pengampu: Mastur, HMI
HUKUM WAD’I
Disusun Oleh:
1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya. Sehingga penyusun mampu
menyelesaikan makalah ini.
Shalawat serta salam kepada sang pendidik sejati Rasulullah SAW, serta para sahabat,
tabi’in dan para umat yang senantiasa berjalan dalam risalahnya. Dengan terselesainya
makalah ini, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua
pihak yang memberikan sumbangan baik moral maupun spiritual.
Selanjutnya penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini banyak
terdapat kekurangan, walaupun penyusun sudah berusaha semaksimal mungkin untuk
membuat yang terbaik. Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa di dunia ini tidak ada yang
sempurna. Begitu juga dalam penyusunan makalah ini, yang tidak luput dari kekurangan dan
kesalahan.
Oleh karena itu, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif demi penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat. Amiin.
penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................4
RUMUSAN MASALAH.................................................................................................4
TUJUAN...........................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................5
KESIMPULAN..............................................................................................................12
SARAN...........................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................13
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan dari hal kaidah-kaidah dan pembahasan-
pembahasan yang dapat membawa kepada pengambilan hukum- hukum tentang amal
perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terperinci.Pada dasarnya hukum syara’ ditetapkan
Allah adalah sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya. Rahmat Allah itu merata diberikan tanpa
terkecuali. Karena itu pada aslnya hukum itu ditujukan kepada semua manusia mukallaf
tanpa terkecuali. Disamping itu hukum Allah mengandung pembatasan-pembatasan, perintah-
perintah, dan larangan-larangan yang pada dasarnya masih dalam batas-batas kemampuan
mukallaf untuk melaksanakanya, kareana Allah tidak memberati seseorang kecuali dalam
batas kemampuanya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Hukum Wadh’i ?
2. Bagaimana Pembagian Hukum Wadh’i ?
C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengatahui apa yang dimakud dengan Hukum Wadh’’i ?
2. Untuk mengatahui Pembagian Hukum Wadh’i?
4
BAB II
PEMBAHASAN
Yang dimaksud dengan hukumWadh’I adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu
sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain
atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang (man’) bagi
adanya sesuatu yang lain tersebut.
Hukum wadh’i adalah hukum yang berhubungan dengan dua hal, yakni antara dua
sebab (sabab) dan yang disebabi (musabbab), antara syarat dan disyarati (masyrut), antara
penghalang (mani’) dan yang menghalangi (mamnu), antara hukum yang sah dan hukum
yang tidak sah.
Hukum ini dinamakan hukum wadh’i karena dalam hukum tersebut terdapat dua hal
yang saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat, syarat, dan lain-
lain. Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi hukum wad’i adalah hukum yang
menghendaki dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu),
pencegah (al-mani’), atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah (shahîh), rusak atau
batal (fasid), ‘azimah atau rukhshah.
Jadi, Hukum wadh’i adalah Hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf
yang berkaitan dengan sebab akibat, syarat, mani’, shah dan batal, sekaligus azimah dan
rukhsah.
5
1. Sebab
a. Pengertian sebab
b. Pembagian sebab
Para jumhur ulama ushul fiqh membagi sebab kepada dua macam:
2. Syarat
a. pengertian syarat
menurut bahasa kata syarat berarti sesuatu yang menghendaki adanya
sesuatu yang lain atau sebagai tanda. Namun yang dimaksud
dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu
yang lain, dan berada diluar dari hakikat sesuatu itu.[6] Misalnya, wudhu
adalah sebagai syarat bagi sahnya shalat dalam arti adanya shalat tergantung
6
kepada adanya wudhu, namun pelaksanaan wudhu itu sendiri bukan
merupakan bagian sholat.
b. Pembagian syarat
Para ulama membagi syarat menjadi beberapa bagian:
1) Syarat hakiki ( syar’i) syarat yang datang langsung dari syariat sendiri.
Misalnya, keadaan rusyid ( kemampuan untuk mengatur pembelanjaan
sehingga tidak menjadi mubazir) bagi seorang anak yatim di jadikan
oleh syariat sebagai syarat bagi wajib menyerahkan harta miliknya
kepadanya sebagaimana firman allah:
َتْأُك ُلوَها ِإْس َر اًفا َو ِب َداًرا َو اْبَتُلوا اْلَيَتاَم ٰى َح َّتٰى ِإَذ ا َبَلُغ وا الِّنَك اَح َفِإْن آَنْس ُتْم ِم ْنُهْم ُر ْش ًدا َفاْدَفُعوا ِإَلْيِهْم َأْم َو اَلُهْم ۖ َو اَل
ِإَلْيِهْم َأْم َو اَلُهْم َفَأْش ِهُدوا َأْن َيْك َبُروا ۚ َو َم ْن َك اَن َغ ِنًّيا َفْلَيْسَتْع ِفْف ۖ َو َم ْن َك اَن َفِقيًرا َفْلَيْأُك ْل ِباْلَم ْعُروِف ۚ َف ِإَذ ا َد َفْع ُتْم
]٤:٦[ َع َلْيِهْم ۚ َو َكَفٰى ِباِهَّلل َحِس يًبا
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian
jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta),
maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu
makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu)
tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di
antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari
memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah
ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan
harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang
penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas
persaksian itu). (QS.An-Nisa:6).
2) Syarat ja’ly, yaitu syarat yang datang dari kemampuan orang mukalaf
itu sendiri. Misalnya, seorang suami berkata kepada istrinya “ jika
engkau memasuki rumah si fulan, maka jatuhlah talakmu satu” dan
seperti pernyataan seseorang bahwa ia baru bersedia menjamin untuk
membayarkan utang si pulan dengan syarat si pulan itu tidak mampu
membayar utangnya itu.
7
3. Mani’
a. Pengertian Mani’
Kata mani’ secara etimologi berarti penghalang dari sesuatu. Namun
secara terminologi, seperti yang dikemukakan oleh abdul karim zaidan,
ما َر َّتَب الَّش اِر ُع َع َلى ُوُجْو ِدِه َعَد ُم ُوَج ْو ِد الُح ْك َم َأْو َعَد ُم الَّس َبَب َاْي ُبْط اَل ُنُه
mani’ yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum
atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
b. Pembagian Mani’
8
dimilikinya itu, telah menghilangkan predikatnya sebagai orang kaya
sehingga tidak lagi dikenakan kewajiban zakat harta.
9
َش ْهُر َر َم َض اَن اَّلِذ ي ُأْنِز َل ِفيِه اْلُقْر آُن ُهًدى ِللَّناِس َو َبِّيَناٍت ِم َن اْلُهَد ٰى َو اْلُفْر َقاِن ۚ َفَم ْن َش ِهَد
ِم ْنُك ُم الَّش ْهَر َفْلَيُص ْم ُه ۖ َو َم ْن َك اَن َم ِر يًضا َأْو َع َلٰى َس َفٍر َفِع َّد ٌة ِم ْن َأَّياٍم ُأَخ َر ۗ ُيِر يُد ُهَّللا ِبُك ُم اْلُيْس َر
َو اَل ُيِر يُد ِبُك ُم اْلُعْس َر َو ِلُتْك ِم ُلوا اْلِع َّدَة َو ِلُتَك ِّبُروا َهَّللا َع َلٰى َم ا َهَداُك ْم َو َلَع َّلُك ْم َتْشُك ُرون
َ [٢:١٨٥]
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-
Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
c. Sahnya sebagian akad yang bersifat pengecualian yang tidak memenuhi syarat
umum sebagian sahnya akad tersebut, namun hal itu berlaku dala muamalah
umat manusia dan menjadi kebutuhan mereka.
d. Menghapus hukum-hukum yang oleh Allah SWT telah diangkat dari kita.
Sedangkan hukum itu adalah termasuk beban yang berat atas umat sebelum
kita.
10
Yang dimaksud ‘azimah adalah peraturan-peraturan Allah yang asli
dan terdiri atas hukum-hukum yang berlaku umum. Artinya, hukum itu
berlaku bagi setiap mukallaf dalam semua keadaan dan waktu biasa (bukan
karena darurat atau pertimbangan lain) dan sebelum peraturan tersebut belum
ada peraturan lain yang medahuluinya. Misalnya, bangkai menurut hukum
asalnya adalah haramdimakan oleh semua orang. Ketentuan itu disebut juga
ketentuan pokok.
Sah secara harfiah berarti “lepas tanggung jawab” atau “gugur kewajiban dunia serta
memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat”. Umpamanya shalat yang dilaksanakan sesuai
dengan yang diperintahkan syara’, jadi sah juga berarti suatu perbuatan yang dibebankan
kepada mukallaf sudah ditetapkan rukun dan syaratnya dan perbuatan itu harus disesuaikan
dengan perintah Allah dan tidak dilanggar.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa pembahasan yang telah dijelaskan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa : Hukum wadh’i adalah hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah sebab untuk
sesuatu atau syarat baginya atau penghalang terhadap sesuatu. Adapun yang menjadi bagian
dari hukum wadh’i ada 5 yaitu, sebab, syarat, mani’, Ash-Shihah, Al-Buthlan dan Al-Fasad,
‘Azimah dan rukhsah.
a. Sebab adalah sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai tanda atas musababnya dan
mengkaitkan keberadaan musabab, dengan ketiadaannya.
Contoh: perbuatan zina menyebabkan seseorang dikenai hukuman dera 100 kali
b. Syarat ialah sesuatu yang berada di luar hukum syara’, tetapi keberadaannya hukum
syara’ bergantung kepadanya.
c. Mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan oleh syar’i keberadaannya menjadi ketiadaan
hukum atau ketiadaan sebab, maksudnya batalnya sebab itu.
d. As-shihah yaitu tercapainya sesuatu yang diharapkan secara syara’, apabila sebabnya
ada, syarat terpenuhi, halangan tidak ada, dan berhasil memenuhi kehendak syara’ pada
perbuatan itu, sedangkan bathl berarti rusak dan gugur hukumnya dan fasad yaitu perubahan
sesuatu dari keadaan yang semestinya (sehat).
B. Saran
Dari makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita
semua umumnya kami pribadi. Yang baik datangnya dari Allah, dan yang buruk datangnya
dari kami. Dan kami sedar bahwa makalah kami ini jauh dari kata sempurna, masih banyak
kesalahan dari berbagai sisi, jadi kami harafkan saran dan kritik nya yang bersifat
membangun, untuk perbaikan makalah-makalah selanjutnya.
12
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka Amani, 2003.
Koto, Alaidin, Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Syafe’I, Rachmat, Ilmu USHUL FIQIH, Cet.IV, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
13
14