Anda di halaman 1dari 24

KARYA TULIS ILMIAH

TARIAN VERA HAIMELO DI WILAYAH RONGGA KELURAHAN TANAH RATA


KECAMATAN KOTA KOMBA KABUPATEN MANGGARAI TIMUR

DISUSUN OLEH:
BONEFASIUS DELIMA
BARON P.D. BAJI
BENEDIKTUS A.U. PADANGA
EDUARDUS LEHOT
DESY D. GEA

SMAN 6 KOTA KOMBA


TAHUN AJARAN 2023/2024

i
LEMBAR PERSETUJUAN
JUDUL KARYA TULIS ILMIAH
TARIAN VERA HAIMELO DI WILAYAH RONGGA KELURAHAN TANAH RATA
KECAMATAN KOTA KOMBA KABUPATEN KOTA KOMBA

DISETUJUI OLEH:

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Belarminus Gisi S.Pd Dorotea Lelu S.Pd


NIP: 198407102019031003

Kepala Sekolah SMAN 6 Kota Komba

Frumensius Hemat, S. Fil


NIP: 198103282010011028

ii
LEMBAR PENGESAHAN
JUDUL KARYA TULIS ILMIAH
TARIAN VERA HAIMELO DI WILAYAH RONGGA KELURAHAN TANAH RATA
KECAMATAN KOTA KOMBA KABUPATEN MANGGARAI TIMUR

DISAHKAN OLEH:

Pembimbing 1 : Belarminus Gisi, S.


Pd ......................................

Pembimbing 2 : Dorotea Lelu, S.


Pd ......................................

Penguji : Maksimilianus A. Ndoi, S.


Pd ......................................

Kepala Sekolah SMAN 6 Kota Komba

Frumensius Hemat, S.Fil


NIP:198103282010011028

iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karna berkat limpah rahmat dan
karunianya, penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini yang berjudul “TARIAN
VERA HAIMELO DI WILAYAH RONGGA KELURAHAN TANA RATA
KECAMATAN KOTA KOMBA, KABUPATEN MANGGARAI TIMUR”. Dalam
penyusunan karya ilmiah ini penulis tak lepas dari pihak pihak pihak yang membantu
dari awal hingga karya ilmiah dapat terselesaikan dengan baik. Oleh sebab itu, penulis
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Frumensius Hemat, S.fil. selaku kepala sekolah SMA N 6 KOTA KOMBA
2. Belarminus Gisi, S.Pd selaku guru pembimbing 1yang telah memberikan
arahan Bagi penulis dalam merampungkan karya ilmiah ini.
3. Dorotea Lelu, S. Pd selaku guru pembimbing 2 yang telah memberikan arahan
bagi penulis dalam merampungkan karya ilmiah ini
4. Bpk, Thomas Ola, bpk. Anton Salo, dan bpk. Anton Lajo selaku narasumber.
Proses penyusunan karya ilmiah ini melibatkan tahap- tahap analisis mendalam,
evaluasi, serta sintesis berbagai literatur dan data yang relevan. Penulis menyadari
bahwa setiap langkah proses ini memerlukan kerja keras, ketekunan, dan semangat
untuk terus belajar. Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini jauh dari kata
sempurna dan masih terdapat beberapa kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun pembaca untuk menyempurnakan
karya tulis ilmiah ini.

iv
DAFTAR ISI
Halaman judul........................................................................................................................i
Lembar Persetujuan...............................................................................................................ii
Lembar Pengesahan...............................................................................................................iii
Kata Pengantar.......................................................................................................................iv
Daftar Isi................................................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................1
1.2 Identifikasi Masalah......................................................................................................2
1.3 Pembatasan Masalah......................................................................................................2
1.4 Rumusan Masalah.........................................................................................................2
1.5 Tempat Dan Waktu Penelitian.......................................................................................2
1.6 Metode Penelitian..........................................................................................................3
1.7 Teknik Pengumpulan Data............................................................................................3
1.8 Tujuan Penelitian..........................................................................................................3
1.9 Manfaat Penelitian.........................................................................................................3
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Tarian Vera..................................................................................................4
2.2 Tujuan Tarian Vera........................................................................................................5
2.3 Ciri- Ciri Tarian Vera....................................................................................................5
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Sejarah Tarian Vera.......................................................................................................6
3.2 Makna Dari Setiap Gerakan Tarian Vera......................................................................7
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan....................................................................................................................8
4.2 Saran..............................................................................................................................8
Daftar Lampiran
DaftarPustak

v
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Seni adalah keahlian membuat karya yang bermutu, seperti tari, lukisan dan ukiran. Seni
meliputi banyak kegiatan manusia dalam menciptakan karya visual, audio, atau pertunjukan
yang menggunakan imajinasi, gagasan, atau teknik pembuatannya, untuk dihargai
keindahannya atau kekuatan emosinya. Tari adalah ekspresi jiwa manusia yang dituangkan
melalui gerak yang ritmis dan indah. Tari adalah gerak-gerak yang dibentuk secara ekspresif
yang diciptakan oleh manusia untuk dapat dinikmati dan dirasakan (Sudarsono 1984: 3).
Seni tari yaitu gerak badan secara berirama yang dilakukan di tempat serta waktu tertentu
buat keperluan pergaulan, mengungkap perasaan, maksud, serta pikiran. Bunyi-bunyian yang
dimaksud musik pengiring tari mengatur gerakan penari serta menguatkan maksud yang mau
disampaikan.
Vera adalah tarian adat tradisional orang Rongga yang ada di Kabupaten Manggarai Timur
tepatnya di Kelurahan Tanah Rata. Vera merupakan tarian yang diiringi dengan lagu atau
pantun yang dilakukan oleh kelompok pria dan wanita, Vera biasanya dilaksanakan pada
malam hari. Vera ada dua jenis yaitu tarian Vera Haimelodan tarian Vera Sara Jawa. Vera
hamilo adalah Vera gembira yang dilaksanakan tujuan untuk menyampaikan ucapan syukur
kepada Tuhan dan roh leluhur atas semua penyelenggaraan dalam kehidupan mereka sebagai
manusia dan anggota masyarakat. Vera Sara Jawa disebut Vera sedih karena konteks yang
melatarinya adalah peristiwa sedih yaitu peristiwa kematian khusus misalnya kepala suku,
dan juga bagi orang yang meninggal dalam usia 100 tahun atau lebih.
Vera berfungsi untuk memperhatikan suku-suku Rongga dan penghormatan kepada leluhur.
Penari perempuan memakai dengan lipasongkesedangkan penari laki-laki menggunakan kain
songke,tengelibasongke, dan topi (nggobe) khas etnis Rongga. Penari perempuan disebut
daghe yang berdiri di barisan depan dan penari laki-laki disebut woghuyang berdiri di
belakang daghe. Pemimpin dengan memimpin dua kelompok penari. Lagu dimulai dengan
“noa lako” atau woghudan diikuti semua daghetidak semua lagu diiringi dengan musik
instrumen, sementara penari dengan penyanyi pria saling berpegangan tangan. Mereka
menari bergerak ke depan dan ke belakang sambil berjalan keliling. Semua gerakan itu tentu
disesuaikan dengan kaki dan badan sebuah pertunjukan Vera Haimelodimulai pada tengah
malam dan berakhir pada pagi hari menjelang matahari terbit pertunjukan Vera diakhiri.

1
Tarian Vera Haimelo memiliki beberapa variasi sesuai tema semua gerakan yang dipentaskan
memiliki makna dan membawa sebuah pesan persaudaraan dan kekeluargaan, persatuan
dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai masyarakat asli rongga kami memilih budaya rongga khususnya tarian Vera
Haimelo yang menjadi kekayaan budaya khas Rongga harus terus dilahirkan dalam darah
setiap generasi muda. Sebagai dalam konsep Stoaharmonisasi adalah tanda adanya
keselarasan ritme setiap makhluk sebagai kesatuan dengan cosmos. Vera Haimelo
memberikan gambaran keselarasan dan harmonisasi demikian ada kesatuan antara manusia
dengan leluhur (Embu Nusi) dengan seksama, dan juga dengan alam semesta lebih dalamnya
lagi keharmonisan dengan ilahi.
Keselarasan ini yang memberikan kekaguman dan kegentaran bagi orang Rongga juga
menjadi penuntun dalam kehidupan manusia. Sejak berkembangnya pengaruh teknologi,
memang Vera seperti di “Anak Tirikan” para penggiat kebudayaan sudah mulai sepi dan
generasi penerus khususnya generasi muda sedang asyik dengan pengaruh barat. Pengaruh
budaya barat menjadi kecanduan tersendiri bagi generasi muda untuk mempromosikan
budaya Rongga di mata Nasional dan Internasional. Kecemasan ini kiranya menjadi contoh
agar masyarakat Rongga lainnya lebih bisa mengedepankan tarian Vera ini, agar kekayaan
budaya Rongga ini tidak punah dan tidak tenggelam dalam pengaruh modern, maka peneliti
tertarik untuk meneliti tentang tarian Vera Haimelodi wilayah Rongga kecamatan Kota
komba Kabupaten Manggarai Timur.
1.2 IDENTIFIKASI MASALAH
Pengaruh budaya barat menjadi kecanduan tersendiri bagi masyarakat Rongga untuk
mempromosikan budaya Rongga di mata Nasional dan Internasional.
1.3 PEMBATASAN MASALAH
Adapun batasan masalah meliputi unsur visual yang akan dimasukkan pada kesenian tarian
Vera Haimeloyang melingkupi sejarah tarian Vera gerakan dan kostum yang digunakan.
Sedangkan unsur visual lainnya seperti tata rias, dekorasi, dan panggung yang diterapkan
dalam tarian Vera Haimelo.
1.4 PERUMUSAN MASALAH
•Sejarah tarian Vera?
•Apa makna dari setiap gerakan tarian Vera?
1.5 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
Kegiatan penelitian dalam membuktikan karya tulis ilmiah ini akan dilaksanakan selama
dua hari penelitian ini akan dilaksanakan di watugong.

2
1.6 METODE PENELITIAN
Dalam membuat karya tulis ilmiah ini, kami menggunakan metode penelitian kualitatif.
1.7 TEKNIK PENGUMPULAN DATA
a).Wawancara
Merupakan proses memperoleh data dengan cara tanya jawab secara langsung
pewawancara sudah membuat pedoman pernyataan secara tertulis dan ditanyakan secara lisan
kepada responden.
1.8 TUJUAN PENELITIAN
a).Untuk mengetahui sejarah tarian Vera Haimelo di Wilayah Rongga.
b).Untuk mengetahui manfaat dari Vera.
1.9 MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian kali ini adalah memberikan pengalaman menjadi rujukan informasi bagi
penelitian lain dan memberikan referensi tentang “Tarian Vera Haimelo”bagi para pembaca
dan masyarakat lainnya.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PENGERTIAN TARIAN VERA
Tarian adalah gerak tubuh yang ritmis sebagai ungkapan ekspresi jiwa pencipta gerak
sehingga menghasilkanunsur keindahan dan makna yang mendalam.
•Menurut Soedarsono (1948:3) mengatakan bahwa tarian adalah ekspresi jiwa manusia yang
dituangkan melalui gerak yang ritmis dan indah.
• Menurut S. Humardani adalah sebuah ungkapan bentuk-bentuk gerak ekspresi yang indah
dan ritmis.
• Menurut CurtSachs adalah ungkapan seorang melalui gerak berirama (ritmis) yang memiliki
nilai estetika atau keindahan.
• Menurut M. Jazuli (2008:7) adalah bentuk gerak yang indah lahir dari tubuh yang bergerak,
berirama dan berjiwa sesuai dengan maksud dan tujuan tari.
• Menurut Didik Nini Thowok adalah ketertarikannya pada semua gerak tarian terutama
gerak yang halus.
• Menurut CorrieHartong adalah sebuah perasaan mendesak yang ada di dalam diri manusia,
sehingga mendorong dirinya untuk menuangkan ungkapan yang berbentuk berupa gerakan
yang ritmis.
Tarian Vera merupakan tarian khas etnis Rongga. Tarian ini diiringi nyanyian dengan
karakteristik unik karena hanya menampilkan gerakan kaki sesuai dengan irama lagu.
Formasi tarian Vera adalah berbentuk dua barisan yang dibawakan oleh penari dewasa (laki-
laki dan perempuan). Penari laki-laki disebut woghu, penari perempuan disebut daghedengan
seorang pemimpin tarian disebut noa lako. Pertunjukan Vera dimulai pada tengah malam dan
berakhir pagi hari menjelang matahari terbit (Arka, 2010:93).
Secara etimologis (ilmu yang mempelajari tentang asal-usul kata), kata atau istilah Vera
berasal dari kata ( verba) pera yang berarti “mempertunjukkan, memperlihatkan, dan
memberitahukan”. Sesuai dengan makna leksikalnya, istilah Vera berarti mempertunjukkan
dengan cara menari sambil menyanyi dalam bahasa Rongga. Nyanyian itu berbentuk puisi
dengan nada dan irama khas sesuai dengan konteks situasi ritual dan konteks sosial budaya
etnik Rongga yang melatarinya.Makna Vera bertalian dengan pandangan etnik Rongga yang
menyebut bahwa kehidupan manusia bersifat dialektis ( komunikasi dua arah). Di dalamnya
terkandung makna kehidupan dan makna kematian. Kedua makna tersebut tampak dalam
berbagai situasi yang melatari kehidupan Vera.Situasi dengan konteksnya, ritual Vera dapat

4
diklasifikasikan dalam kelompok, yaitu Vera Sara Jawa ( Vera Sedih) dan Vera Haimelo (Vera
Gembira).
Vera Sara Jawa disebut Vera sedih karena situasi yang melatarinya adalah peristiwa sedih,
seperti kematian kepala suku. Pertunjukan Vera Sara Jawa untuk orang meninggal
berlangsung di halaman rumah adat selama 4 hari (Putu Lelu) dan di perkuburan yang dikenal
dengan sebutan Vera maki polo atau Veranggilirate. Selain itu Vera Sara Jawa dapat pula
dilaksanakan untuk orang biasa apabila bersangkutan meninggal dalam usia 100 tahun atau
lebih.
VeraHaimeloadalah Vera gembira yang dilaksanakan dengan tujuan untuk menyampaikan
ucapan syukur kepada Tuhan dan roh leluhur atas semua penyelenggaraan dalam kehidupan
mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat.
2.2TUJUAN TARIAN VERA
Sebagai manusia, etnik Rongga merasa perlu melakukan pengendalian diri secara sosial
dengan mengetahui norma-norma yang berlaku sesuai dengan yang digaris para leluhur.
Ritual Vera merupakan saran etnik Rongga untuk memenuhi kebutuhan adil kodrati yang
sangat menentukan keberadaan,kebertahanan, dan keberlangsungan hidup. Dalam perspektif
ini, ritual Vera berlangsung sebagai praktik peribadakan yang magis, sekaligus mengikuti
para pelakunya ke dalam ikatan komunitas.
Ritual Vera yang sudah terpola dalam tatanan hidup etnik Rongga memberikan identitas
keyakinan yang kemudian dicerap menjadi ciri-ciri individu. Keyakinan yang terpancar
melalui ritual hidup, baik dalam dunia faktual maupun dalam dunia simbolis. Ritual Vera
mbukusa’imbasawini, lebih khusus lagi, sebagai wahana penyembahan terhadap Tuhan dan
penghormatan kepada leluhur. Melalui Vera etnik Rongga berharap agar roh leluhur selalu
melindungi mereka dalam menghadapi tantangan hidup. Dengan Vera semua anggota suku
berharap terbebas dari berbagai malah petaka.
2.3 CIRI-CIRI TARIAN VERA
1. Menggunakan kostum pakaian tradisional khas daerah Rongga
2. Tidak menggunakan makeuptambahan
3. Bertema kehidupan rakyat
4. Ditarikan oleh dua kelompok pria dan wanita

5
BAB III
PEMBAHASAN
HASIL WAWANCARA
3.1.Sejarah tarian Vera?
Narasumber pertama ( Thomas Olla)
Alkisah di suatu kampung, hidup sepasang suami istri, Saru dan Wali, dengan kondisi
sangat miskin. Mereka hidup sangat bergantung kepada buah-buahan hutan serta umbi-
umbian yang mereka cari dan dapatkan setiap hari untuk dijadikan bahan makanan. Beras dan
jagung boleh dikatakan sangat langka bagi kedua orang ini. Demikian juga dengan pakaian
yang dimiliki seadanya saja namun, hidup mereka selalu rukun.
Karena ketergantungan hidup mereka terhadap hutan terlalu besar, mereka berniat
menyingkir dari kampung dan pindah ke hutan. Keduanya berunding dengan baik,
mempertimbangkan untung ruginya serta kenyamanan setelah pisah dari orang orang
dikampung karena kalah bersaing. Mereka ingin menyendiri di hutan agar kebutuhan
makanan terpenuhi dengan mudah, serta mengucilkan diri dari pergaulan dengan masyarakat
banyak karena ketiadaan pakaian yang layak.
Pada suatu hari, Seru sang suami pergi ke hutan untuk mencari tempat yang layak baik guna
mereka tempati. Setelah mendapatnya, kembalilah ia ke rumah menemui istri tercinta, Walu.
Saru menceritakan semua hal Ikhwal tempat yang akan mereka tempati dan disebut baik oleh
sang istri. Niat untuk berpindah ke hutan pun semakin membara di dalam dada kedua insan
papa ini. Keduanya menentukan waktu yang tepat untuk segera meninggalkan kampung
untuk pergi menuju ke tempat baru, tempat yang pasti memberikan harapan baru bagi
kehidupan selanjutnya. Disepakati bahwa mereka akan berangkat malam hari ketika seisi
kampung dalam keadaan tidur lelap.
Ketika malam yang telah ditentukan tiba, berangkatlah mereka dengan hati berbunga-bunga
sambil mengharapkan kehidupan yang lebih baik akan segera mereka dapatkan di sana, di
hutan yang menjanjikan itu. Tidak seorangpun yang tahu akan keberangkatan mereka.
Setibanya di hutan, sangat gembiralah hati sang istri karena keadaan tempat itu benar-benar
sesuai dengan cita-cita dan keinginannya. Selain letaknya jauh dari kampung, di tempat itu
mengalir pula sebuah sungai yang jernih dan terdapat banyak ikan, udang dan belut di
dalamnya. Hiduplah mereka di situ dalam sebuah gubuk yang sangat sederhana hasil buatan
bapak Saru. Mereka hidup dari buah-buahan dan ubi-ubian hutan. Mereka mendapatkan lauk
dari dari hasil tangkapan dari sungai, berupa ikan , udang dan belut yang sangat lezat.

6
Waktu bapak Saru ke kampung untuk menjual rotan kepada penduduk, dibelikan makanan
dan pakaian seadanya. Semua ini dilakukan bapak Saru dengan sangat rahasia agar tidak
diketahui orang banyak sehingga keduanya merasa aman dan nyaman.
Setelah beberapa lama hidup di hutan, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang
rupawan. Alangkah bahagia dan senangnya hati ayah dan ibu itu. Anak di asuh dan dipelihara
dengan penuh kasih sayang yang luar biasa. Tidaklah mengherankan kalau pertumbuhan anak
itu begitu cepat.
Pada masa itu, populasi manusia hutan yang oleh penduduk setempat dinamakan Embu
ngiu masih terlalu banyak. Diceritakan bahwa Embu ngiu memiliki tubuh pendek dan
susunya sangat panjang. Saking panjangnya, susu tersebut dapat membelit/melilit anak
manusia sehingga ditakuti oleh orang-orang pada masa itu. Untuk menghindari gangguan
Embu ngiu, biasanya orang karena makhluk tersebut takut akan anjing. Bapak Saru dan
mama Walu juga memelihara seekor anjing yang diberi nama nao talo. Anjing inilah yang
menghalau Embu ngiu dari gubuk mereka.
Nasib sial menimpa keluarga ini, ketika mereka mengejar seekor belut besar dikali yang
keracunan tuba buatan bapak Saru di sebuah kolam besar dan agak jauh dari gubuk mereka.
Anjing nao talo juga ikut mereka, sedangkan anak kesayangan mereka tertidur di gubuk
sendirian. Pada saat yang baik inilah embu ngiu datang ke gubuk tanpa ada hambatan dari
nao talo anjing piaraan yang berguna untuk menghalau Embu ngiu. Dengan senang hati,
Embu ngiu mengambil anak dari Saru dan Walu dan ditukar dengan anak Embu ngiu. Anak
Embu ngiu yang masih kecil itu mereka berikan di gubuk itu dalam keadaan tidur, diselimuti
dengan rapi oleh ibunya, sedangkan Jawu dibawa pergi. Begitu Saru dan Walu tiba di gubuk,
diperhatikan anak mereka yang masih tidur lalu dibangunkan. Alangkah terperanjatnya
mereka jika melihat anak yang sedang tidur itu ternyata bukan Jawu, melainkan anak Embu
ngiu. Hiruk-pikuk kebingungan mencari ke sana kemari sambil memanggil-manggil nama
anak kesayangan mereka. Sia-sialah usaha mereka karena Jawu jangan tak kunjung
ditemukan. Anjing nao talo juga ke sana kemari mencari sambil melolong dalam kesedihan.
Hilanglah segala harapan mereka dan hanya tangis pilu kedua orang tua itu serta golongan
nao talo gubuk yang reot itu. Ketika dipastikan si Jawu anak kesayangan itu tidak mungkin
ditemukan lagi, akhirnya mereka kembali ke gubuk dengan luka yang mendalam bersama
anjing nao talo.
Anak Embu ngiu akhirnya mereka pelihara sebagaimana memelihara anak kandung mereka.
Anak Embu ngiu pun bertumbuh dengan sehat, tetapi pasangan mereka tidak bisa melupakan

7
Jawu anak kandung mereka. Tidak lama kemudian anak Embu ngiu itu pun mati, lalu mereka
kubur sebagaimana mereka menguburkan manusia.
Sepeninggal Jawu dan anak embu ngiu, hidup mereka merana dalam kedukaan. Suatu
malam, Saru bermimpi yang aneh. Ia melihat sejumlah orang hutan (Embu ngiu) datang
membawa mayat Jawu anaknya ke gubuk mereka dalam keadaan menari sambil menyanyi.
Mimpi itu menjadi kenyataan ketika ia terjaga oleh golongan nao talo anjing kesayangan
karena melihat sesosok mayat di depan gubuk mereka. Begitu keduanya turun dari gubuk dan
melihat mayat itu, langsung mereka merangkulnya karena mayat itu ternyata Jawu anak
mereka yang hilang. Mereka baringkan mayat Jawu dalam gubuk selama 7 hari 7 malam.
Selama itu, mereka menangis dan meratap mengungkapkan kata-kata, syair-syair yang indah.
Yang dilantunkan Saru dan Walu menjadi lagu Vera sekarang ini. Mayat dari Jawu dibawa
oleh Embu ngiu ke gubuk dengan tujuan untuk menunjuk/memberitahuan kepada Saru dan
Walu bahwa inilah Jawu yang kamu cari selama ini. Tunjuk/beritahu yang artinya sama
dengan pera dalam bahasa Rongga.
Selama 7 malam, gubuk Saru dan Walu kedatangan orang-orang sekampungnya dulu untuk
turut mengambil bagian dalam kedukaan dengan ratap tangis yang memilukan. Melihat
kedatangan banyak orang, nao talo anjing kesayangan mereka melolong terus sepanjang
malam selama 7 malam. Ratapan Saru, Walu, lolongan anjing, dan ratapan parah sahabat
waktu itu, menjadi cikal bakal Vera yang ada sekarang ini.
2 Ada berapa jenis tarian Vera?
Ada dua jenis tarian Vera, yaitu:
1) Tarian Vera Sara Jawa
2) Tarian Haimelo
3.Manfaat tarian Vera bagi masyarakat?
Untuk mempererat ikatan suku-suku Rongga dan penghormatan kepada leluhur.
2. NarasumberDua (Anton Lajo)
1.Sejarah tarian Vera?
Alkisah di suatu kampung, hidup sepasang suami istri, Saru dan Wali, dengan kondisi
sangat miskin. Mereka hidup sangat bergantung kepada buah-buahan hutan serta umbi-
umbian yang mereka cari dan dapatkan setiap hari untuk dijadikan bahan makanan. Beras dan
jagung boleh dikatakan sangat langka bagi kedua orang ini. Demikian juga dengan pakaian
yang dimiliki seadanya saja namun, hidup mereka selalu rukun.
Karena ketergantungan hidup mereka terhadap hutan terlalu besar, mereka berniat
menyingkir dari kampung dan pindah ke hutan. Keduanya berunding dengan baik,

8
mempertimbangkan untung ruginya serta kenyamanan setelah pisah dari orang orang
dikampung karena kalah bersaing. Mereka ingin menyendiri di hutan agar kebutuhan
makanan terpenuhi dengan mudah, serta mengucilkan diri dari pergaulan dengan masyarakat
banyak karena ketiadaan pakaian yang layak.
Pada suatu hari, Seru sang suami pergi ke hutan untuk mencari tempat yang layak baik guna
mereka tempati. Setelah mendapatnya, kembalilah ia ke rumah menemui istri tercinta, Walu.
Saru menceritakan semua hal Ikhwal tempat yang akan mereka tempati dan disebut baik oleh
sang istri. Niat untuk berpindah ke hutan pun semakin membara di dalam dada kedua insan
papa ini. Keduanya menentukan waktu yang tepat untuk segera meninggalkan kampung
untuk pergi menuju ke tempat baru, tempat yang pasti memberikan harapan baru bagi
kehidupan selanjutnya. Disepakati bahwa mereka akan berangkat malam hari ketika seisi
kampung dalam keadaan tidur lelap.
Ketika malam yang telah ditentukan tiba, berangkatlah mereka dengan hati berbunga-bunga
sambil mengharapkan kehidupan yang lebih baik akan segera mereka dapatkan di sana, di
hutan yang menjanjikan itu. Tidak seorangpun yang tahu akan keberangkatan mereka.
Setibanya di hutan sangat gembiralah hati sang istri karena keadaan tempat itu benar-benar
sesuai dengan cita-cita dan keinginannya. Selain letaknya jauh dari kampung, di tempat itu
mengalir pula sebuah sungai yang jernih dan terdapat banyak ikan, udang dan belut di
dalamnya. Hiduplah mereka di situ dalam sebuah gubuk yang sangat sederhana hasil buatan
bapak Saru. Mereka hidup dari buah-buahan dan ubi-ubian hutan. Mereka mendapatkan lauk
dari dari hasil tangkapan dari sungai, berupa ikan , udang dan belut yang sangat lezat.
Waktu bapak Saru ke kampung untuk menjual rotan kepada penduduk, dibelikan makanan
dan pakaian seadanya. Semua ini dilakukan bapak Saru dengan sangat rahasia agar tidak
diketahui orang banyak sehingga keduanya merasa aman dan nyaman.
Setelah beberapa lama hidup di hutan, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang
rupawan. Alangkah bahagia dan senangnya hati ayah dan ibu itu. Anak di asuh dan dipelihara
dengan penuh kasih sayang yang luar biasa. Tidaklah mengherankan kalau pertumbuhan anak
itu begitu cepat.
Pada masa itu, populasi manusia hutan yang oleh penduduk setempat dinamakan Embu
ngiu masih terlalu banyak. Diceritakan bahwa Embu ngiu memiliki tubuh pendek dan
susunya sangat panjang. Saking panjangnya, susu tersebut dapat membelit/melilit anak
manusia sehingga ditakuti oleh orang-orang pada masa itu. Untuk menghindari gangguan
Embu ngiu, biasanya orang karena makhluk tersebut takut akan anjing. Bapak Saru dan

9
mama Walu juga memelihara seekor anjing yang diberi nama nao talo. Anjing inilah yang
menghalau Embu ngiu dari gubuk mereka.
Nasib sial menimpa keluarga ini, ketika mereka mengejar seekor belut besar dikali yang
keracunan tuba buatan bapak Saru di sebuah kolam besar dan agak jauh dari gubuk mereka.
Anjing nao talo juga ikut mereka, sedangkan anak kesayangan mereka tertidur di gubuk
sendirian. Pada saat yang baik inilah embu ngiu datang ke gubuk tanpa ada hambatan dari
nao talo anjing piaraan yang berguna untuk menghalau Embu ngiu. Dengan senang hati,
Embu ngiu mengambil anak dari Saru dan Walu dan ditukar dengan anak Embu ngiu. Anak
Embu ngiu yang masih kecil itu mereka berikan di gubuk itu dalam keadaan tidur, diselimuti
dengan rapi oleh ibunya, sedangkan Jawu dibawa pergi. Begitu Saru dan Walu tiba di gubuk,
diperhatikan anak mereka yang masih tidur lalu dibangunkan. Alangkah terperanjatnya
mereka jika melihat anak yang sedang tidur itu ternyata bukan Jawu, melainkan anak Embu
ngiu. Hiruk-pikuk kebingungan mencari ke sana kemari sambil memanggil-manggil nama
anak kesayangan mereka. Sia-sialah usaha mereka karena Jawu jangan tak kunjung
ditemukan. Anjing nao talo juga ke sana kemari mencari sambil melolong dalam kesedihan.
Hilanglah segala harapan mereka dan hanya tangis pilu kedua orang tua itu serta golongan
nao talo gubuk yang reot itu. Ketika dipastikan si Jawu anak kesayangan itu tidak mungkin
ditemukan lagi, akhirnya mereka kembali ke gubuk dengan luka yang mendalam bersama
anjing nao talo.
Anak Embu ngiu akhirnya mereka pelihara sebagaimana memelihara anak kandung mereka.
Anak Embu ngiu pun bertumbuh dengan sehat, tetapi pasangan mereka tidak bisa melupakan
Jawu anak kandung mereka. Tidak lama kemudian anak Embu ngiu itu pun mati, lalu mereka
kubur sebagaimana mereka menguburkan manusia.
Sepeninggal Jawu dan anak embu ngiu, hidup mereka merana dalam kedukaan. Suatu
malam, Saru bermimpi yang aneh. Ia melihat sejumlah orang hutan (Embu ngiu) datang
membawa mayat Jawu anaknya ke gubuk mereka dalam keadaan menari sambil menyanyi.
Mimpi itu menjadi kenyataan ketika ia terjaga oleh golongan nao talo anjing kesayangan
karena melihat sesosok mayat di depan gubuk mereka. Begitu keduanya turun dari gubuk dan
melihat mayat itu, langsung mereka merangkulnya karena mayat itu ternyata Jawu anak
mereka yang hilang. Mereka baringkan mayat Jawu dalam gubuk selama 7 hari 7 malam.
Selama itu, mereka menangis dan meratap mengungkapkan kata-kata, syair-syair yang indah.
Yang dilantunkan Saru dan Walu menjadi lagu Vera sekarang ini. Mayat dari Jawu dibawa
oleh Embu ngiu ke gubuk dengan tujuan untuk menunjuk/memberitahuan kepada Saru dan

10
Walu bahwa inilah Jawu yang kamu cari selama ini. Tunjuk/beritahu yang artinya sama
dengan pera dalam bahasa Rongga.
Selama 7 malam, gubuk Saru dan Walu kedatangan orang-orang sekampungnya dulu untuk
turut mengambil bagian dalam kedukaan dengan ratap tangis yang memilukan. Melihat
kedatangan banyak orang, nao talo anjing kesayangan mereka melolong terus sepanjang
malam selama 7 malam. Ratapan Saru, Walu, lolongan anjing, dan ratapan parah sahabat
waktu itu, menjadi cikal bakal Vera yang ada sekarang ini.
2.Ada perapa jenis tarian Vera?
Asa dua jenis, yaitu
1). Tarian Vera Sara Jawa
2). Tarian Vera Haimelo
3.Manfaat tarian Vera bagi masyarakat?
Sebagai sarana upacara adat dan wadah untuk belajar, bergaul, memupuk kebersamaan untuk
saling tolong menolong, membangun solidaritas.
3.Narasumber Tiga (Anton Salo)
1. Sejarah tarian Vera?
Alkisah di suatu kampung, hidup sepasang suami istri, Saru dan Wali, dengan kondisi
sangat miskin. Mereka hidup sangat bergantung kepada buah-buahan hutan serta umbi-
umbian yang mereka cari dan dapatkan setiap hari untuk dijadikan bahan makanan. Beras dan
jagung boleh dikatakan sangat langka bagi kedua orang ini. Demikian juga dengan pakaian
yang dimiliki seadanya saja namun, hidup mereka selalu rukun.
Karena ketergantungan hidup mereka terhadap hutan terlalu besar, mereka berniat
menyingkir dari kampung dan pindah ke hutan. Keduanya berunding dengan baik,
mempertimbangkan untung ruginya serta kenyamanan setelah pisah dari orang orang
dikampung karena kalah bersaing. Mereka ingin menyendiri di hutan agar kebutuhan
makanan terpenuhi dengan mudah, serta mengucilkan diri dari pergaulan dengan masyarakat
banyak karena ketiadaan pakaian yang layak.
Pada suatu hari, Seru sang suami pergi ke hutan untuk mencari tempat yang layak baik guna
mereka tempati. Setelah mendapatnya, kembalilah ia ke rumah menemui istri tercinta, Walu.
Saru menceritakan semua hal Ikhwal tempat yang akan mereka tempati dan disebut baik oleh
sang istri. Niat untuk berpindah ke hutan pun semakin membara di dalam dada kedua insan
papa ini. Keduanya menentukan waktu yang tepat untuk segera meninggalkan kampung
untuk pergi menuju ke tempat baru, tempat yang pasti memberikan harapan baru bagi

11
kehidupan selanjutnya. Disepakati bahwa mereka akan berangkat malam hari ketika seisi
kampung dalam keadaan tidur lelap.
Ketika malam yang telah ditentukan tiba, berangkatlah mereka dengan hati berbunga-bunga
sambil mengharapkan kehidupan yang lebih baik akan segera mereka dapatkan di sana, di
hutan yang menjanjikan itu. Tidak seorangpun yang tahu akan keberangkatan mereka.
Setibanya di hutan, sangat gembiralah hati sang istri karena keadaan tempat itu benar-benar
sesuai dengan cita-cita dan keinginannya. Selain letaknya jauh dari kampung, di tempat itu
mengalir pula sebuah sungai yang jernih dan terdapat banyak ikan, udang dan belut di
dalamnya. Hiduplah mereka di situ dalam sebuah gubuk yang sangat sederhana hasil buatan
bapak Saru. Mereka hidup dari buah-buahan dan ubi-ubian hutan. Mereka mendapatkan lauk
dari dari hasil tangkapan dari sungai, berupa ikan , udang dan belut yang sangat lezat.
Waktu bapak Saru ke kampung untuk menjual rotan kepada penduduk, dibelikan makanan
dan pakaian seadanya. Semua ini dilakukan bapak Saru dengan sangat rahasia agar tidak
diketahui orang banyak sehingga keduanya merasa aman dan nyaman.
Setelah beberapa lama hidup di hutan, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang
rupawan. Alangkah bahagia dan senangnya hati ayah dan ibu itu. Anak di asuh dan dipelihara
dengan penuh kasih sayang yang luar biasa. Tidaklah mengherankan kalau pertumbuhan anak
itu begitu cepat.
Pada masa itu, populasi manusia hutan yang oleh penduduk setempat dinamakan Embu
ngiu masih terlalu banyak. Diceritakan bahwa Embu ngiu memiliki tubuh pendek dan
susunya sangat panjang. Saking panjangnya, susu tersebut dapat membelit/melilit anak
manusia sehingga ditakuti oleh orang-orang pada masa itu. Untuk menghindari gangguan
Embu ngiu, biasanya orang karena makhluk tersebut takut akan anjing. Bapak Saru dan
mama Walu juga memelihara seekor anjing yang diberi nama nao talo. Anjing inilah yang
menghalau Embu ngiu dari gubuk mereka.
Nasib sial menimpa keluarga ini, ketika mereka mengejar seekor belut besar dikali yang
keracunan tuba buatan bapak Saru di sebuah kolam besar dan agak jauh dari gubuk mereka.
Anjing nao talo juga ikut mereka, sedangkan anak kesayangan mereka tertidur di gubuk
sendirian. Pada saat yang baik inilah embu ngiu datang ke gubuk tanpa ada hambatan dari
nao talo anjing piaraan yang berguna untuk menghalau Embu ngiu. Dengan senang hati,
Embu ngiu mengambil anak dari Saru dan Walu dan ditukar dengan anak Embu ngiu. Anak
Embu ngiu yang masih kecil itu mereka berikan di gubuk itu dalam keadaan tidur, diselimuti
dengan rapi oleh ibunya, sedangkan Jawu dibawa pergi. Begitu Saru dan Walu tiba di gubuk,
diperhatikan anak mereka yang masih tidur lalu dibangunkan. Alangkah terperanjatnya

12
mereka jika melihat anak yang sedang tidur itu ternyata bukan Jawu, melainkan anak Embu
ngiu. Hiruk-pikuk kebingungan mencari ke sana kemari sambil memanggil-manggil nama
anak kesayangan mereka. Sia-sialah usaha mereka karena Jawu jangan tak kunjung
ditemukan. Anjing nao talo juga ke sana kemari mencari sambil melolong dalam kesedihan.
Hilanglah segala harapan mereka dan hanya tangis pilu kedua orang tua itu serta golongan
nao talo gubuk yang reot itu. Ketika dipastikan si Jawu anak kesayangan itu tidak mungkin
ditemukan lagi, akhirnya mereka kembali ke gubuk dengan luka yang mendalam bersama
anjing nao talo.
Anak Embu ngiu akhirnya mereka pelihara sebagaimana memelihara anak kandung mereka.
Anak Embu ngiu pun bertumbuh dengan sehat, tetapi pasangan mereka tidak bisa melupakan
Jawu anak kandung mereka. Tidak lama kemudian anak Embu ngiu itu pun mati, lalu mereka
kubur sebagaimana mereka menguburkan manusia.
Sepeninggal Jawu dan anak embu ngiu, hidup mereka merana dalam kedukaan. Suatu
malam, Saru bermimpi yang aneh. Ia melihat sejumlah orang hutan (Embu ngiu) datang
membawa mayat Jawu anaknya ke gubuk mereka dalam keadaan menari sambil menyanyi.
Mimpi itu menjadi kenyataan ketika ia terjaga oleh golongan nao talo anjing kesayangan
karena melihat sesosok mayat di depan gubuk mereka. Begitu keduanya turun dari gubuk dan
melihat mayat itu, langsung mereka merangkulnya karena mayat itu ternyata Jawu anak
mereka yang hilang. Mereka baringkan mayat Jawu dalam gubuk selama 7 hari 7 malam.
Selama itu, mereka menangis dan meratap mengungkapkan kata-kata, syair-syair yang indah.
Yang dilantunkan Saru dan Walu menjadi lagu Vera sekarang ini. Mayat dari Jawu dibawa
oleh Embu ngiu ke gubuk dengan tujuan untuk menunjuk/memberitahuan kepada Saru dan
Walu bahwa inilah Jawu yang kamu cari selama ini. Tunjuk/beritahu yang artinya sama
dengan pera dalam bahasa Rongga.
Selama 7 malam, gubuk Saru dan Walu kedatangan orang-orang sekampungnya dulu untuk
turut mengambil bagian dalam kedukaan dengan ratap tangis yang memilukan. Melihat
kedatangan banyak orang, nao talo anjing kesayangan mereka melolong terus sepanjang
malam selama 7 malam. Ratapan Saru, Walu, lolongan anjing, dan ratapan parah sahabat
waktu itu, menjadi cikal bakal Vera yang ada sekarang ini.
2.Ada berapa jenis tarian Vera?
Ada dua jenis tarian Vera, yaitu
1) Tarian Vera Sara Jawa
2) Tarian Vera Haimelo
3. Manfaat tarian Vera bagi masyarakat Rongga?

13
Untuk mempererat ikatan suku-suku Rongga dan penghormatan kepada leluhur.

SYAIR TARIAN VERA


Ma’e welu ana ne me’a one tebha
Jangan lepas anak sendiri di gubuk
Sele Naka ne Embu ngiu
Awas culik oleh orang hutan
Lako nao talo ndi’ i nggili tebha
Anjing ( nao talo ) Jaga keliling gubuk
Ere Embu ngiu Mai ala ana ito
Tunggu orang hutan datang ambil anak kecil

Peko lako ona wa'e kita tau rame rame


Kejar anjing ana woe ( nama anjing), kita mau rame rame
Peko lako lesa, kita tau degha-degha
Kejar anjing lesa, kita tahu main main

3.2 Makna dari setiap gerakan tarian Vera?


Gerakan berpegangan tangan yang berarti persahabatan yang takkan terpisahkan dan
gerakan kaki yang ke depan dan ke belakang yang berarti kekompakan. Gerakan kaki yang
bergerak ke depan dan ke belakang tersebut dilakukan sebanyak tiga kali, pada saat gerakan
yang ketiga baru noa lako akan maju ke depan untuk memimpin tarian Vera.
Setelah penulis melakukan studi lapangan dan mengolah data yang diperoleh dari
responden, maka pada bab ini penulis akan menyajikan hasil dan pembahasannya.
Bab ini menyajikan hasil dan interpretasi ( proses pemberian atau pendapat) data yang
dikumpulkan melalui wawancara dan juga penelitian mempunyai tujuan untuk mengetahui
kajian dari tarian Vera. Narasumber yang kami wawancarai sebanyak 3 orang:

14
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 KESIMPULAN
Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan mengenai Tarian Vera HaimeloDi
Wilayah Rongga Kelurahan Tanah Rata Kecamatan Kota Komba Kabupaten Manggarai
Timur, maka peneliti dapat menarik beberapa kesimpulannya, yaitu:
Tarian Vera di Rongga masih dibutuhkan oleh generasi penerus dalam mengembangkan
karakter kebudayaannya. Perkembangan zaman yang menuju kepada modern memberikan
nuansa yang berbeda pada diri karakter anak. Pengaruh teknologi menjadi pengaruh yang
sangat kuat dalam diri seseorang. Melalui penciptaan tarian Vera anak dapat menumbuh
kembangkan pada diri anak Rongga untuk mencintai budaya asli Rongga.
Perkembangan dalam dunia cipta tarian Vera sudah semakin menyusut intensitasnya di
daerah Rongga pengaruh tarian-tarian dari dunia Barat dapat menyebabkan perubahan dalam
pola tingkah laku anak Indonesia terlebih khusus di daerah Rongga. Untuk itu perlu adanya
suatu alternatif jalan keluarnya agar anak dapat memahami dan mendalami budaya asli
daerahnya.
4.2 SARAN
Berdasarkan analisis pembahasan pada bab sebelumnya maka saran yang dapat
disampaikan adalah:
-Untuk meningkatkan Citra kebudayaan dalam diri seseorang untuk mengembangkan tarian
Vera perlu adanya dorongan dari orang tua untuk mengajari anaknya tentang kebudayaan asli
Rongga yaitu tarian Vera.
-Sebaiknya masyarakat Rongga terlebih khusus kalangan muda harus bisa menguasai dan
mengedepankan budaya Rongga.
- Membatasi pergaulan anak untuk mengikuti budaya Barat dan lebih mengedepankan budaya
lokal.

15
DAFTAR LAMPIRAN
 Thomas Ola

 Anton Salo

16
*Anton Lajo

*Tarian Vera Sara Jawa

17
*Tarian Vera Haimelo

18
DAFTAR PUSTAKA
Soedarsono(1984:3) Pengertian tarian.
S. HumardaniPengertian tarian, CurtSachs Pengertian tarian, M Jazuli(2008:7)Pengertian
tarian, Didik Mini Thowok Pengertian tarian, CorrieHartongPengertian tarian, Arka
(2010:93) Pengertian pertunjukan Vera, Wayan SumitripengertianVera.

19

Anda mungkin juga menyukai