Anda di halaman 1dari 47

1

Model Skoring Lama Rawat Berdasarkan Serum Biomarker pada Pasien


Pneumonia Komunitas Sedang Berat

Efata Polii1, Gurmeet Singh2, Yulia Rosa Saharman3, Jufferdy Kurniawan4


1
Departement of Internal Medicine, Faculty of Medicine Universitas Indonesia-Cipto Mangunkusumo Hospital,
Jakarta, Indonesia.
2
Division of Respirology and Critical Care, Departement of Internal Medicine, Faculty of Medicine Universitas
Indonesia-Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia
3
Departement of Clinic Microbiology, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia-Cipto Mangunkusumo
Hospital, Jakarta, Indonesia
4
Clinical Epidemiology Unit, Departement of Internal Medicine, Faculty of Medicine Universitas Indonesia-
Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia.

Email: efata.md@gmail.com

ABSTRAK

Pendahuluan: Pneumonia komunitas (PK) merupakan penyakit dengan angka kejadian morbiditas dan
mortalitas yang tinggi secara global. Sebagai penyakit infeksi maka respons inflamasi bisa diukur melalui
beberapa serum biomarker yang bisa digunakan sebagai prediktor untuk lama rawat. Identifikasi pasien risiko
tinggi lama rawat yang panjang dengan menggunakan kombinasi beberapa serum biomarker diharapkan bisa
menjadi acuan dalam intervensi yang cepat dan tepat termasuk didalamnya penggunaan antibiotik sehingga
berpengaruh pada luaran klinis pasien PK. Studi ini bertujuan untuk mendapat sistem skoring dengan
menggunakan beberapa serum biomarker seperti prokalsitonin, C-reactive protein (CRP), leukosit, asam laktat,
D-dimer dan albumin terhadap lama rawat pasien PK sedang berat. Metode: Studi ini menggunakan desain
kohort prospektif pasien PK sedang berat yang dirawat di IGD/ICU/HCU RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo
periode Mei 2022 s/d Juli 2023. Variabel-variabel prediktor lama rawat pasien PK sedang berat didapatkan dari
hasil analisis multivariat dengan regresi logistik. Hasil Dari total 360 subjek yang memiliki lama rawat > 14
hari sebanyak 204 subjek (56,67%) dan ≤ 14 hari sebanyak 156 subjek (44,44%). Variabel prediktor yang secara
konsisten mempengaruhi lama rawat adalah asam laktat dengan RR 1,305 (IK 95% 1,097 – 1,551, p=0,003) dan
albumin dengan RR 2,234 (IK 95% 1,164– 2,156, p=0,003). Performa determinan dengan analisis kurva ROC
menunjukkan kemampuan prediksi lemah (AUC=0,629). Performa kalibrasi dengan uji Hosmer-Lemeshow test
menunjukkan validasi baik (0,562). Biomarker lain yang dianggap signifikan dalam analisis bivariat yaitu
prokalsitonin dengan RR 1,481 (IK 95% 1,121-1,954, p=0,006) dan C-reactive protein RR 2,465 (IK 95%
1,141-5,326). Leukosit dan D-dimer tidak dinilai signifikan sebagai biomarker PK sedang berat (p = 0,947).
Simpulan: Terdapat hubungan antara prokalsitonin, CRP, asam laktat dan albumin dengan lama rawat pasien
PK sedang berat. Tidak terdapat model skoring lama rawat pasien PK sedang berat.

Kata Kunci: pneumonia, lama rawat, serum biomarker

Scoring Model for Length of Stay Based on Serum Biomarkers in


Moderate to Severe Community-Acquired Pneumonia Patients

ABSTRACT

Introduction: Community-acquired pneumonia (CAP) is a disease with a high global incidence of morbidity
and mortality. As an infectious disease, the inflammatory response can be measured through several serum
biomarkers that can be used as predictors for the length of hospital stay (LOS). The identification of patients at
high risk for prolonged hospitalization using a combination of several serum biomarkers is expected to serve as
a reference for prompt and accurate interventions, including the use of antibiotics, thereby influencing the
2

clinical outcomes of CAP patients. This study aims to establish a scoring system using several serum
biomarkers such as procalcitonin, C-reactive protein (CRP), leukocytes, lactic acid, D-dimer, and albumin for
the length of hospital stay in patients with moderate to severe CAP. Methods: This study employs a prospective
cohort design involving patients with moderate to severe CAP treated in the Emergency Department (ED),
Intensive Care Unit (ICU), and High-Care Unit (HCU) at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo from May 2022 to
July 2023. Variables to predict for the length of hospital stay in patients with moderate to severe CAP were
obtained from multivariate analysis using logistic regression. Results: A total of 360 subjects were included in
this study, including 204 subjects (56.67%) with LOS more than 14 days, while 156 subjects (44.44%) had LOS
of 14 days or less. The consistently influencing predictor variables for the length of hospital stay were lactate
with RR 1.305 (95% CI 1.097–1.551, p=0.003) and albumin with RR 2.234 (95% CI 1.164–2.156, p=0.003).
Determinant performance with ROC curve analysis showed weak predictive ability (AUC=0.629). Calibration
performance with the Hosmer-Lemeshow test indicated good validation (0.562). Other biomarkers considered
significant only in bivariate analysis were procalcitonin with RR 1.481 (95% CI 1.121–1.954, p=0.006) and C-
reactive protein with RR 2.465 (95% CI 1.141–5.326). Leukocytes an D-dimer were not considered significant
as a biomarker for moderate to severe CAP (p=0.947). Conclusion: There is a relationship between
procalcitonin, C-reactive protein, lactic acid, and albumin with the length of hospital stay in patients with
moderate to severe CAP. However, there is no scoring model for the length of hospital stay in these patients.

Keywords: pneumonia, length of stay, serum biomarkers

Pendahuluan

Pneumonia komunitas (PK) merupakan peradangan pada parenkim paru yang disebabkan
oleh berbagai agen infeksius seperti bakteri, jamur, virus serta zat kimia yang didapat di
masyarakat.1 Data epidemiologi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pneumonia menjadi
penyebab kematian utama diantara penyakit infeksi, tiap tahun terdapat 5-6 juta kasus PK
dengan 1,1 juta pasien yang dirawat dan 45 ribu pasien mengalami kematian. 2 Berdasarkan
data Kementerian Kesehatan tahun 2021, jumlah penderita pneumonia di Indonesia pada
tahun 2021 yaitu 31.4% dengan kematian akibat pneumonia sebesar 0.16%.3

Gambaran klinis PK bervariasi dari pneumonia ringan yang ditandai dengan demam dan
batuk produktif hingga pneumonia berat yang ditandai dengan sepsis dan syok. Diagnosis
pneumonia dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan imaging. Di Instalasi
Gawat Darurat (IGD), untuk menilai derajat keparahan PK dapat digunakan sistem skoring
yang sudah tervalidasi yaitu CURB-65 dan Pneumonia Severity Index (PSI). Penelitian dari
Pakpahan dkk menunjukkan bahwa akurasi PSI lebih tinggi dibandingkan CURB-65 dalam
menentukan prognosis PK tetapi karena kompleksitas variabel penilaiannya maka PSI kurang
praktis diterapkan di IGD.4 Di lain pihak, CURB-65 merupakan sistem skoring yang lebih
sederhana dan murah dalam penggunaan di IGD. Penelitian Banate dkk di Filipina
menunjukkan bahwa CURB-65 sedikit lebih baik dalam memprediksikan mortalitas dalam
30-hari pada pasien PK dibandingkan PSI.5
3

Pneumonia komunitas merupakan penyakit yang bisa merangsang respons inflamasi tubuh
sehingga dapat diidentifikasi pada beberapa parameter biomarker. 1,2 Prokalsitonin dan C-
reactive protein (CRP) merupakan biomarker serum yang digunakan untuk membantu
membedakan infeksi bakteri dengan penyebab lain dari pneumonia. Pada infeksi saluran
napas bawah, beberapa biomarker respons inflamasi seperti leukosit, asam laktat, D-dimer
dan albumin dapat membantu penilaian klinis dalam hal penggunaan antibiotika serta
evaluasinya. Pemberian antibiotika yang rasional merupakan prioritas perawatan kesehatan
secara global.6-8

Prokalsitonin dan CRP telah menjadi biomarker laboratorium yang realibel dan banyak
digunakan untuk evaluasi pasien PK. Biomarker ini harus bisa diinterpretasi dengan baik dan
dikorelasikan dengan temuan klinis karena banyak faktor perancu yang berpengaruh seperti
usia, pengobatan awal antibiotik, penggunaan kortikosteroid, gangguan hati dan ginjal. 8 Di
lain pihak, studi metaanalisis Kamat dkk mengenai peranan prokalsitonin untuk membedakan
pneumonia bakteri dan viral menunjukkan bahwa prokalsitonin memiliki sensitivitas sebesar
55% untuk membedakan kedua hal tersebut.9

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa CRP merupakan prediktor independen dari


komplikasi PK.8 Studi prospektif dengan jumlah sampel 570 di Skotlandia memaparkan data
bahwa CRP < 100 mg/L terkait dengan penurunan angka mortalitas dalam 30 hari, kebutuhan
ventilasi dan/atau dukungan inotropik serta komplikasi PK. 10 Huang dkk menunjukkan bahwa
CRP memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar 70.5% dan 56.1% pada infeksi bakteri. Hal
ini dikarenakan kadar CRP bisa meningkat pada infeksi non bakterial seperti malaria dan
secara keseluruhan cut-off point dari CRP sulit ditentukan.11

Leukosit merupakan marker respons sistemik inflamasi dan juga merupakan faktor risiko
pada PK. Banyak penelitian menunjukkan bahwa nilai leukosit yang tinggi dikaitkan dengan
mortalitas. Leukopenia terjadi pada 7% sampai 17% kasus PK, dan menunjukkan prognostik
yang buruk pada bakterial pneumonia.12-14

Asam laktat digunakan untuk mengukur status homeostasis asam basa tubuh. Biomarker ini
bisa digunakan untuk melihat prediktor luaran klinis seperti lama rawat dan mortalitas. Pada
syok sepsis, serial kadar asam laktat bisa memprediksikan mortalitas pasien di Intensive Care
4

Unit (ICU). Prediksi awal mortalitas penting untuk menentukan pasien yang berisiko tinggi
untuk dirawat di unit perawatan intensif dan tindak lanjutnya. Penelitian dari Jansen TC
dkk,15 menunjukkan bahwa kadar laktat bisa digunakan dalam stratifikasi risiko pada pasien
PK berat, tetapi belum diketahui penggunaan kadar laktat sebagai end point dari resusitasi
pada pasien kritis. Dalam interpretasinya, peningkatan asam laktat tidak semata-mata
dikarenakan oleh karena infeksi tetapi peningkatannya bisa disebabkan oleh kondisi tertentu
seperti syok kardiogenik, obstruktif maupun hemoragik, cardiac arrest, trauma, kejang,
penggunaan otot yang berlebihan, regional iskemia, ketoasidosis diabetikum serta
keganasan.16

D-dimer merupakan zat metabolisme yang dihasilkan dari katabolisme fibrin oleh plasmin.
Penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara PK dengan kadar D-dimer dimana
peningkatan D-dimer secara langsung berhubungan dengan koagulasi intra dan
ekstravaskular yang terjadi akibat kerusakan paru akut dan kronis pada PK. 17 Peningkatan
kadar D-dimer bisa juga disebabkan oleh penyebab lain seperti deep vein thrombosis, emboli
paru, disseminated intravascular coagulation (DIC), viral pneumonia seperti COVID-19,
trauma dan kehamilan.18

Serum albumin merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan pada pasien rawat inap dan
memiliki nilai prognostik pada pasien kritis dengan penyakit infeksi. Kadar serum albumin
yang rendah berhubungan dengan mortalitas pada berbagai penyakit. Hipoalbuminemia
berhubungan dengan luaran klinis yang buruk pada PK berat. 19 Lee dkk melaporkan bahwa
nilai serum albumin yang rendah sejak awal masuk rumah sakit berhubungan dengan
kematian 28 hari pada pasien PK.20 Penelitian Viosus D dkk melaporkan bahwa nilai serum
albumin yang rendah berhubungan dengan skor CURB-65 yang jelek dan merupakan faktor
independen dalam perkembangan komplikasi penyakit serta kebutuhan perawatan intensif.
Selain itu penambahan hipoalbuminemia ke dalam skor PSI dan CURB-65 secara signifikan
meningkatkan performa prognostik dari PK.21

Beberapa biomarker serum tersebut bisa digunakan untuk mengevaluasi luaran klinis
termasuk lama rawat pasien PK. Penelitian menunjukkan bahwa prokalsitonin dan D-dimer
berhubungan dengan keparahan PK, kebutuhan akan ICU, kebutuhan oksigen dan komplikasi
yang timbul.22 Data mengenai hubungan prokalsitonin dengan PK rawat jalan masih terbatas,
penelitian dari Lhopitallier L dkk dengan 150 pasien PK rawat jalan bahwa terdapat
5

penurunan penggunaan antibiotika jika menggunakan parameter prokalsitonin dalam


evaluasi.23 Penelitian dari Tralvos dkk menunjukkan bahwa penurunan kadar CRP pada hari
ke-4 dengan lama rawat pasien PK berkurang 4 hari. 22 Bruns dkk melaporkan bahwa
penurunan kadar CRP yang tidak signifikan pada hari ketiga (<60%) dan pada hari ketujuh
(<90%) berhubungan dengan ketidaksesuaikan dalam pemilihan antibiotik pada PK berat. 24
Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Chalmers dkk yang menunjukkan bahwa penurunan
CRP kurang dari 50% pada 4 hari pertama berhubungan dengan risiko peningkatan angka
mortalitas, kebutuhan ventilator mekanik dan bantuan inotropik. 25 Hal-hal ini akan
berimplikasi pada lama rawat pasien PK.

Penelitian dari Uematsu dkk menunjukkan bahwa lama rawat yang panjang berhubungan
dengan komplikasi, umur, gangguan kognitif, efusi pleura, atropi otot dan infeksi nosokomial
seperti Pseudomonas spp. dan Methicillin-resistant Staphylococcus aureus. Dari penelitian
ini juga menunjukkan bahwa strategi pengurangan lama rawat pasien PK perlu untuk
mengidentifikasi dan mengintervensi pasien dengan risiko tinggi lama rawat yang panjang. 26.
Garau dkk melaporkan bahwa lama rawat yang panjang akan berhubungan dengan angka
mortalitas yang tinggi dan hal ini berhubungan dengan tingkat keparahan PK, kultur darah
yang positif, kebutuhan ICU dan multi lobar pneumonia.27

Pada sudut pandang cost effective, maka perawatan PK termasuk penyakit dengan biaya yang
tinggi sehingga ada beberapa rekomendasi mengenai lama rawat menyesuaikan dengan
efektifitas rumah sakit berdasar pada penggunaan antibiotika yang tepat dan adekuat. 22
Penelitian menunjukkan lama rawat PK minimal 7.8 hari dan maksimal 17.3 hari. Data
epidemiologi di Swiss melaporkan bahwa lama rawat pasien PK selama 10 tahun terakhir
hanya menurun 1.2 hari dengan rata-rata lama rawat 9.8 hari. Data administratif di Malaysia,
Indonesia dan Filipina meunjukkan rata-rata lama rawat masing-masing yaitu 8.6, 6.1 dan 6.2
hari.28 Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 28 tahun 2021
tentang pedoman penggunaan antibiotika dijelaskan bahwa penggunaan antibiotik pada
pasien PK selama 10 sampai 14 hari.29

Studi ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh biomarker serum terhadap pada lama rawat
pasien PK sedang berat. Lebih lanjut diharapkan adanya suatu sistem skoring yang cepat,
akurat dan realibel terhadap lama rawat. Identifikasi pasien risiko tinggi lama rawat yang
panjang dengan menggunakan kombinasi beberapa biomarker serum diharapkan bisa menjadi
6

acuan dalam intervensi yang cepat dan tepat termasuk didalamnya penggunaan antibiotik
sehingga berpengaruh pada luaran klinis pasien PK.

Tinjauan Teoritis
Pneumonia komunitas merupakan penyakit dengan angka kejadian morbiditas dan
mortalitas yang tinggi secara global. Terdapat berbagai variasi gejala klinis dari PK mulai
dari gejala ringan yang dikarakteristik dengan panas dan batuk produktif sampai gejala berat
dengan gambaran klinisnya seperti gagal napas dan sepsis. 1,2

Pneumonia dibagi berdasarkan lokasi penularan yaitu pneumonia komunitas atau community
acquired pneumonia, hospital acquired pneumonia (HAP) dan ventilator-associated
pneumonia (VAP). Pneumonia komunitas adalah infeksi dari parenkim paru yang didapat di
luar perawatan rumah sakit atau didiagnosis dalam 48 jam setelah masuk rumah sakit atau
pada pasien yang tidak menempati fasilitas perawatan jangka panjang selama 90 hari dan
disertai adanya gambaran infiltrat pada pemeriksaan radiologi. HAP merupakan infeksi
parenkim paru yang didapat pada perawatan rumah sakit (>48 jam setelah rawat rumah
sakit) sedangkan VAP adalah infeksi parenkim paru setelah 48 jam dilakukan intubasi
endotrakeal. Pneumonia komunitas sering disebabkan oleh bakteri seperti Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenza dan Moxarella catarrhalis. Ketiga bakteri tersebut
dijumpai hampir di 85% kasus PK.4

Data di Amerika Serikat menunjukkan bahwa PK menyumbang lebih dari 4.5 juta kasus
rawat jalan dan kunjungan di IGD setiap tahunnya. Pneumonia komunitas merupakan
penyebab kedua paling umum untuk rawat inap dan penyebab utama kematian karena infeksi.
Sekitar 9% kasus rawat inap dengan PK akan mengalami perawatan kembali di rumah sakit
yang disebabkan oleh episode baru PK pada tahun yang sama.30 Data di Indonesia pada tahun
2021 diketahui bahwa pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi yang menjadi
ancaman kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Hal ini didukung oleh hasil riset yang
dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2013 melalui
Riskesdas yang mendapatkan bahwa peningkatan prevalensi pneumonia pada semua jenjang
usia dari 2.1% pada tahun 2007 menjadi 2.7% pada tahun 2013. Lima provinsi yang
mempunyai insiden dan prevalensi pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Nusa
Tenggara Timur, Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Period
7

prevalence pneumonia yang tinggi terjadi pada usia 1-4 tahun kemudian meningkat pada
kelompok usia 45-54 tahun dan semakin meningkat sesuai dengan bertambahnya usia.3

Mikroorganisme patogen yang dapat menyebabkan pneumonia bervariasi dari bakteri, virus
dan jamur. Bakteri tersering menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae,
Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Haemophilus influenza, Mycoplasma
pneumoniae, Legionella spp., Chlamydia pneumonia dan Moxarella catarrhalis. Sedangkan
untuk jenis virus bisa menyebabkan pneumonia yang menyebar melalui droplet adalah
cytomegalovirus, herpes simplex virus, varicella zoster dan SARS COV-2 virus. Infeksi
pneumonia yang diakibatkan oleh jamur biasanya disebabkan oleh jamur oportunistik seperti
Candida sp., Aspergillus spp. dan Cryptococcus neoformans.30,31

Pneumonia disebabkan oleh adanya proliferasi dari mikroorganisme patogen di dalam


alveolus dan respons tubuh terhadap patogen. Terdapat 3 faktor yang mempengaruhi yaitu
keadaan individu atau imunitas tubuh, jenis mikroorganisme patogen dan lingkungan sekitar.
Ketiga faktor tersebut dapat menentukan berat ringannya penyakit, diagnosis, rencana terapi
serta prognosis dari pasien.32

Proses infeksi terjadi dimulai pada saat patogen masuk ke saluran napas bagian bawah setelah
melewati mekanisme pertahanan tubuh berupa pertahanan mekanik (epitel, silia dan mukosa),
pertahanan humoral (antibodi dan komplemen) dan seluler (makrofag, limfosit dan sitokin).
Infeksi menyebabkan peradangan pada membran paru sehingga cairan plasma dan sel darah
merah dari kapiler masuk ke dalam alveoli. 32,33 Hal ini menyebabkan rasio ventilasi perfusi
menurun dan saturasi oksigen menurun. Pada pemeriksaan dapat diketahui bahwa paru-paru
akan dipenuhi oleh sel radang dan cairan yang merupakan mekanisme tubuh untuk melawan
patogen, tetapi dengan adanya dahak dan fungsi paru yang menurun akan mengakibatkan
kesulitan bernaas sehingga terjadi sianosis, asidosis respiratorik dan kematian .34

Penilaian derajat keparahan pneumonia merupakan komponen penting dalam tatalaksana PK.
Ada berbagai skor untuk menilai keparahan PK, diantaranya PSI, CURB-65, CRB-65,
modified ATS (m-ATS).35,36 Penelitian menunjukkan bahwa keterlambatan pengobatan atau
perawatan ICU akan menyebabkan peningkatan mortalitas.37
8

Skor PSI diperkenalkan pada tahun 1997 yang melibatkan 50.000 penderita pneumonia. Skor
ini terdiri atas beberapa variabel klinik yang membagi pasien menjadi 5 tingkatan
berdasarkan risiko kematian dalam 30 hari (klas I= 0,1 – 0,4%; klas II= 0,6 -0,7%; klas III=
0,9 – 2,8%; klas IV= 4 – 10%; klas V= 27%). Skor PSI menunjukkan kemampuan prediksi
yang baik dengan Area Under Curve (AUC): 0.74-0.83 dan direkomendasikan pemakaiannya
oleh American Thoracic Society/Infectious Diseases Society of America (ATS/IDSA). Akan
tetapi, dengan kompleksitas dan banyaknya variabel yang harus dinilai membuat sistem skor
ini tidak praktis dan digunakan dalam klinik sehari-hari.36,38

Skor CURB-65 diperkenalkan oleh British Thoracic Society pada tahun 2003 yang
melibatkan 12.000 penderita pneumonia, terdiri atas 5 kategori yang dihubungkan dengan
risiko kematian dalam 30 hari. Pasien dengan skor 0-1 memiliki risiko kematian rendah (skor
0 = 0,7% dan skor 1 = 3,2%) dan dapat dirawat dirumah, skor 2 risiko kematiannya
meningkat (Skor 2 = 13%) dapat dipertimbangkan dirawat di rumah sakit atau dirawat di
rumah dengan pemantauan khusus, skor > 3 memiliki risiko kematian tinggi (skor 3 = 17%,
4= 41,5% dan 5= 57%) dan diterapi sebagai pneumonia berat. Kemampuan prediksi dari skor
ini hampir sama denga PSI yaitu dengan AUC: 0,73 -0,83. Keunggulan CURB-65 terletak
pada variabel yang digunakan yaitu lebih praktis dan mudah diaplikasikan. ATS/IDSA dalam
panduan PK yang terbaru menyadari kompleksitas dari skor PSI dan akhirnya
merekomendasikan penggunaan CURB-65.36,37

Baik skor PSI maupun CURB-65 sama-sama memiliki kelemahan yang sama, yaitu masih
bergantung pada hasil pemeriksaan laboratorium. Keadaan ini melahirkan skor CRB-65 yang
menghilangkan unsur ureum. Manfaat dari skor CRB-65 ini adalah dapat digunakan oleh
dokter umum di tingkat layanan primer. Skor ini dikatakan memiliki peforma yang sama
dengan PSI dan CURB-65 dengan AUC: 0.69 – 0.78. Penggunaan skor ini belum teruji
dengan jumlah sampel yang besar seperti pendahulunya sehingga validasinya masih perlu
diuji.39 Selain skor PSI, CURB-65, CRB-65 ada beberapa biomarker yang digunakan untuk
menilai keparahan penyakit PK seperti prokalsitonin, CRP, proadrenomedullin. Peningkatan
level copeptin, natriuretic peptida, kortisol, proatrial natriuretic peptide, Tumor Necrosis
Factor alpha (TNF-α), dan penanda koagulasi juga berhubungan bermakna dengan kematian
pada PK. Namun biomarker ini mahal dan tidak selalu tersedia di pusat perawatan rumah
sakit. Banyak penelitian yang dilakukan untuk menentukan prognosis pada pasien PK yang
9

dirawat dirumah sakit dan albumin dapat menjadi prediktor yang kuat pada pasien
pneumonia.40

Pada pasien dengan diagnosis PK maka penanganan selanjutnya adalah menentukan tingkat
keparahan dan tempat perawatan yang tepat. Menentukan tingkat keparahan penyakit
didasarkan pada penilaian klinis dan dilengkapi dengan skor keparahan PK (Gambar 2.2).
Ada tiga tingkatan keparahan PK yaitu ringan, sedang dan berat yang berhubungan dengan
tiga tingkatan perawatan yaitu:41
 Rawat jalan: sebagian besar pasien stabil dengan tanda vital yang normal (kecuali
demam) dan tidak ada komplikasi dianggap sebagai pneumonia ringan dan dikelola
melalui rawat jalan. Pasien ini memiliki skor CURB-65 0-1 atau PSI I-II.
 Rawat inap: dengan tanda-tanda awal sepsis, progresif cepat atau dicurigai dengan
infeksi yang agresif sehingga memerlukan rawat inap untuk memantau respons
terhadap pengobatan. Perawatan di rumah sakit dengan indikasi ketidakmampuan
terapi oral, gangguan kognitif dan fungsional ataupun masalah kepatuhan pengobatan
(penyalahgunaan obat, tunawisma, tempat tinggal yang jauh). Pasien ini memiliki
skor CURB 1-2 atau PSI III.
 Perawatan ruang intensif: pasien PK yang memenuhi kriteria PK berat harus dirawat
di ICU, yaitu:
1. Gagal napas yang memerlukan ventilasi mekanik
2. Sespis yang memerlukan dukungan vasopressor.
Kedua kriteria ini secara klinis bisa dinilai dengan tepat dan cepat, namun tantangan
yang ada yaitu PK yang telah berkembang menjadi sepsis sebelum berkembang
menjadi gagal organ. Perawatan ICU yang dini dan pemberian antibiotik yang adekuat
berhubungan dengan keberhasilan penanganan PK berat. Dalam membantu
mengidentifikasi PK berat sebelum terjadi gagal organ ATS/IDSA menyarankan
adanya kriteria minor untuk pengananan ICU, yaitu: perubahan status
mental/kesadaran, hipotensi yang membutuhkan dukungan cairan, suhu < 36 oC
(96.8oC), PaO2/FiO2 ≤ 250, blood urea nitrogen ≥ 20 mg/dL (7 mmol/L), leukosit <
4000 sel/microL, trombosit < 100.000/mL, infiltrate multilobaris

Data di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sekitar 4 juta orang dewasa mengalami PK dan
merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak di Amerika Serikat. Pneumonia
10

komunitas berat merupakan penyebab angka perawatan rumah sakit di Amerika dan Eropa
yaitu sekitar 6.6% sampai 16.7%. Angka mortalitas PK berat berkisar 20% hingga 50% di
Spanyol dan Inggris pada perawatan ruang intensif.42,43

Pasien PK yang dirawat di rumah sakit akan menjalani tes klinis, radiologi dan laboratorium
untuk menentukan tingkat keparahan penyakit, kebutuhan perawatan ICU dan kemungkinan
komplikasi. Hematologi rutin, urea, kreatinin, glukosa, tes fungsi hati, pulse oksimetri,
analisis gas darah, kultur darah dan sputum merupakan beberapa pemeriksaan dasar yang
dilakukan. Identifikasi etiologi penyebab PK tidak memiliki efek pada lama rawat dan angka
mortalitas dalam 30 hari. Skor keparahan penyakit seperti PSI dan CURB-65 telah
dikembangkan dan divalidasi sehingga dapat membantu proses pengambilan keputusan
untuk rawat jalan, rawat inap dan perawatan ICU. Beberapa pemeriksaan lain seperti
prokalsitonin, CRP, asam laktat, D-dimer dan albumin bisa dievaluasi sebagai penanda
untuk keparahan dan penentuan pemberian antibiotik. Biomarker ini bisa sebagai modalitas
dalam diagnostik, prognostik dan pengobatan lanjutan untuk modifikasi regimen
antibiotik.44

Prokalsitonin merupakan biomarker serum yang digunakan untuk membedakan infeksi


bakterial dengan penyebab yang lain. Pada pasien PK, prokalsitonin dapat bermanfaat untuk
penilaian klinis dalam penentuan regimen antibiotik dan membantu dalam diagnostik
penyakit. Penggunaan antibiotik yang rasional dalam pengobatan PK merupakan prioritas
penanganan PK secara umum saat ini. Data menunjukkan bahwa adanya penggunaan yang
tidak tepat dari antibiotik dalam pengobatan PK (30%-85%), baik itu dalam hal target terapi
maupun durasi terapi. Penggunaan berlebihan dari antibiotik pada PK disebabkan klinisi
tidak bisa membedakan antara infeksi bakterial dengan virus karena gejala klinis PK untuk
kedua penyebab tersebut seringkali tidak bisa dibedakan. Tes mikrobiologi bisa berguna
untuk membedakan kedua penyebab ini tetapi hasil dari kultur dan pemeriksaan lain
memerlukan waktu yang lama sehingga pada kasus PK sedang dan berat tes mikrobiologi
tidak realibel dalam menentukan regimen terapi antibiotik terutama di IGD. 7,45

Prokalsitonin memiliki nilai diskriminatif untuk membedakan antara infeksi virus dan
bakteri dengan hasil yang dapat diperoleh dalam hitungan jam. Pada pasien PK,
prokalsitonin mempunyai tingkat keakuratan 65 sampai 70% dalam membedakan bakteri
dari patogen virus. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ketika prokalsitonin digunakan
11

sebagai modalitas yang bisa dikombinasikan dengan penilaian klinis PK, dimana terjadi
pengurangan penggunaan antibiotik yang tidak perlu sekitar 25 sampai 50% tanpa
meningkatkan angka morbilitas atau mortalitas.7,45,46

Prokalsitonin merupakan protein 116 asam amino dengan berat molekul 13 kDa yang
ditemukan sejak tahun 1981. Prokalsitonin merupakan protein penting untuk mendeteksi dan
deferensial diagnosis kondisi inflamasi. Pada kondisi tanpa inflamasi sistemik, prokalsitonin
diproduksi terbatas sel C-tiroid dan sel-sel neuroendokrin tiroid serta tidak dilepaskan ke
dalam sirkulasi darah sampai protein tersebut terpecah menjadi bentuk yang matang yaitu
kalsitonin. Serum prokalsitonin biasanya tidak terdeteksi pada orang sehat.47

Pada kondisi inflamasi sistemik yang disebabkan oleh infeksi bakterial, maka sintesis
prokalsitonin diinduksi pada hampir semua jaringan dan dilepaskan ke dalam sirkulasi
darah. Pemicu dari sintesis prokalsitonin adalah toksin bakteri seperti endotoksin, sitokin
inflamasi seperti TNF-α, Interleukin-1-beta (IL-1β), dan interleukin-6 (IL-6). Sebaliknya
sintesis prokalsitonin tidak diinduksi pada kebanyakan infeksi virus. Kurangnya induksi
sintesis disebabkan oleh sitokin yang dilepaskan oleh infeksi virus menginhibisi produksi
TNF-α, seperti Interferon-gamma (Gambar 2.3).48

Tidak semua infeksi bakteri menyebabkan peningkatan prokalsitonin. Bakteri tipikal seperti
Streptococcus pneumoniae atau Haemophilus influenza, cenderung menyebabkan
peningkatan prokalsitonin yang signifikan dibandingkan bakteri atipikal. 48 Pada infeksi
jamur tertentu seperti Pneumocystic jerovicii dan Candida spp serta parasit seperti malaria
telah dilaporkan menyebabkan peningkatan prokalsitonin. 49 Penyebab non infeksi yang
menyebabkan inflamasi sistemik seperti syok, trauma, pembedahan, luka bakar dan chronic
kidney disease (CKD) bisa menginduksi produksi prokalsitonin.50

Kadar prokalsitonin akan meningkat dalam dua hingga empat jam setelah stimulus
inflamasi, dan biasanya mencapai kadar puncak dalam 24 hingga 48 jam. Peak level dari
prokalsitonin berkorelasi dengan keparahan PK, kadarnya akan lebih tinggi pada kondisi PK
dengan syok sepsis dan sepsis dibandingkan tanpa komplikasi. 51 Dengan resolusi dari
inflamasi, maka kadar prokalsitonin secara cepat menurun. Setelah mencapai kadar
puncaknya, maka kadarnya akan menurun sekitar 50% setiap 1 sampai 1.5 hari. Ketika
12

stimulus inflamasi terus berlangsung, maka produksi prokalsitonin akan tetap berlanjut dan
berada dalam kondisi plateau level.52

Prokalsitonin digunakan sebagai modalitas tambahan dari penilaian klinis untuk menentukan
regimen antibiotik dan menjadi membantu klinisi dalam menghadapi keraguan dalam
diagnosis pasien PK. Beberapa studi tentang prokalsitonin bervariasi temuannya dan
modalitas ini tidak secara umum tersedia pada setiap institusi dan pusat kesehatan. Indikasi
klasik untuk pengukuran prokalsitonin adalah: (i) konfirmasi atau eksklusi diagnosis dari
sepsis, sepsis berat dan syok sepsis; (ii) penilaian keparahan dan tindak lanjut dari inflamasi
sistemik terutama yang disebabkan oleh infeksi bakteri; dan (iii) panduan antibiotik dan
fokus pengobatan. Penggunaan serial pemeriksaan prokalsitonin, durasi dan kebutuhan
terapi antibiotik dapat disesuaikan dengan kebutuhan tiap individu.51

Utilitas terbesar dari prokalsitonin adalah memandu penghentian dini dari antibiotik pada
pasien PK. Penghentian antibiotik berdasarkan nilai ambang prokalsitonin telah
dipublikasikan dalam beberapa penelitian untuk mengurangi penggunaan antibiotik.52

Dalam beberapa kondisi, kadar prokalsitonin bisa diinterpretasi secara kuantitatif. (table
2.1).52

Tabel 2.1. Interpretasi Level Prokalsitonin pada PK


Level (ng/mL) Kemungkinan infeksi bakteri
< 0,10 Sangat tidak mungkin
0.10 to 0.25 Tidak mungkin
0.25 to 0.50 Mungkin
>0.50 Sangat mungkin

Klinisi harus menyadari keterbatasan modalitas ini termasuk faktor noninfeksi yang
menyebabkan peningkatan atau penurunan kadar prokalsitonin. Penghentian pemberian
antibiotik haruslah dikombinasi dengan penilaian klinis sehingga pemberian antibiotik bisa
terus diberikan walaupun kadar prokalsitonin menurun.45

C-Reactive protein adalah suatu protein inflamasi fase akut homopentameric, ditemukan
pertama kalinya di laboratorium Oswald Avery yang meneliti pasien dengan infeksi
Streptococcus pneumoniae. Pada fase akut ini ditemukan kandungan protein yang dapat
mengendapkan polisakarida “C” yang berasal dari dinding sel peumococcal. Empat puluh
tahun kemudian, Volanakis dan Kaplan mengidentifikasi ligan spesifik untuk CRP pada
13

pneumococcal “C” polisakarida sebagai phosphocholine, bagian dari techoic acid dari
dinding sel pneumococcal. Selain berinteraksi dengan berbagai ligan, CRP dapat
mengaktifkan jalur komplemen klasik yang merangsang fagositosis dan berkaitan dengan
reseptor immunoglobulin (FcγR).53

Kadar CRP dapat meningkat secara cepat dan nyata sebanyak 1000 kali lipat ataupun lebih
setelah stimulus inflamasi akut yang sebagian besar mencerminkan peningkatan sintesis
hepatosit. Selama fase akut maka kadar protein plasma dipertahankan oleh mekanisme
homeostasis dan bisa berubah secara signifikan. Perubahan ini dipengaruhi oleh pertahanan
host dan kemampuan adaptatif lainnya.54

C-reactive protein dapat mempengaruhi inflamasi dalam berbagai tahapan dan mempunyai
efek antiinflamasi dan proinflamasi, meskipun efek utamanya adalah antiinflamasi. C-
reactive protein berfungsi dalam pengenalan dan eliminasi kuman patogen serta
meningkatkan pembersihan sel nekrotik dan apoptosis. Protein ini terdiri subunit terikat
non-kovalen, masing-masing dengan berat molekul sekitar 23 kD. C-reactive protein dan
protein terkait dengan struktur tersebut disebut pentraxins.54

Gen CRP, terletak pada lengan kromosom 1, yang berisi satu intron dan memisahkan regio
pengkode signal peptide dari protein matur. Induksi CRP dalam hepatosit pada prinsipnya
diatur pada tingkat transkripsi sitokin IL-6 dengan efek dapat ditingkatkan oleh IL-1β. Baik
IL-6 dan IL-1β mengontrol ekspresi dari berbagai gene acute phase protein melalui aktivasi
faktor transkripsi STAT3, C/EBP dan Rel protein (NF-κB). Terdapat regulasi yang unik dari
setiap gene AFR yang disebabkan oleh interaksi spesifik yang diinduksi sitokin. Sintesis
CRP ektrahepatik terjadi pada sistem persarafan, plak aterosklerosis, monosit dan limfosit
dengan mekanisme yang belum diketahui secara pasti.53

C-reactive protein diproduksi dalam bentuk homopentameric, dikenal dengan istilah CRP
(nCRP) yang dapat berdisosiasi secara ireversibel pada lokasi inflamasi dan infeksi menjadi
5 monomeric (mCRP). Disosiasi nCRP menjadi subunit bebasnya telah diamati pada kondisi
urea yang tinggi atau suhu tinggi tanpa adanya kalsium. Secara garis besar CRP dibagi
menjadi 2 bentuk yang berbeda secara strukturnya, yaitu native/pentameric CRP (pCRP)
dan modified/monomeric CRP (mCRP). Isoform-isoform tersebut berkaitan dengan reseptor
dan membran sel yang berbeda serta memiliki sifat dan menciptakan efek yang berbeda.
14

Disosiasi pCRP menjadi subunitnya terjadi pada kondisi inflamasi dan mCRP yang dibentuk
kemudian berpesan dalam melokalisasi responss inflamasi. 53

Molekul-molekul mCRP dibedakan dari nCRP dari sifat antigenic, biologis dan
elektroforesisnya dan terbukti bahwa molekul-molekul tersebut mengekspresikan
neoepitope yang berbeda. Kedua isoform CRP telah dibuktikan memiliki fungsi biologis
yang berbeda dalam proses inflamasi. Sebagai contoh, nCRP telah dibuktikan menghambat
adhesi platelet dengan neutrofil sedangkan mCRP meningkatkan interaksi tersebut.
Perbedaan dalam fungsi ini dapat dijelaskan dengan ikatan kedua isoform terhadap tipe
reseptor Fc gamma (Fcγ) yang berbeda. Isoform mCRP menggunakan ikatan kompleks
imun berafinitas rendah dengan reseptor IgG yang disebut dengan FcYRIIIb (CD16b) pada
neutrofil dan FcYRIIIa (CD16a) pada monosit, sementara nCRP berikatan reseptor IgG
berafinitas rendah FcYRIIa (CD32).55

Fungsi utama dari CRP adalah kemampuan untuk mengikat phosphocholine, sehingga
memungkinkan pengenalan patogen asing.55 C-reactive protein juga mengaktifkan sistem
komplemen dan mengikat sel fagosit via Fc receptors, menunjukkan CRP memulai
eliminasi dari patogen dan sel target melalui interaksi dengan sistem humoral dan seluler
dari inflamasi.56. Fungsi CRP ini mungkin memiliki efek negatif dalam beberapa kondisi
seperti peningkatan pada pasien Immune Thrombocytopenia Purpura, dimana CRP dapat
meningkatkan penghancuran trombosit saat berikatan dengan phosphocholine yang terpapar
setelah oksidasi yang dipicu oleh antibodi antiplatelet. Efek proinflamasi dari CRP termasuk
aktivasi komplemen dan induksi monosit dari sitokin inflamasi dan tissue factor dan
pelepasan reseptor IL-6 yang mengakibatkan perburukan cedera jaringan oleh respons
CRP.57

Peningkatan kadar CRP terjadi berhubungan dengan inflamasi akut dan kronik yang
disebabkan oleh berbagai penyebab termasuk infeksi dan noninfeksi. Peningkatan sedikit
dari kadar CRP, terdeteksi dengan test yang sensitif, terjadi pada stress metabolik tanpa
adanya keadaan inflamasi akut atau kronik.58

Kadar CRP yang normal atau dalam kadar yang tidak membahayakan belum diketahui
secara pasti. Data penelitian yang dilakukan oleh National Health and Nutrition Evaluation
Survey terhadap lebih dari 21.000 orang di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kadar CRP
15

bervariasi menurut usia, jenis kelamin dan ras dengan kadar yang sedikit lebih tinggi terlihat
pada usia yang lebih tua, perempuan dan ras Amerika-Afrika. Korelasi CRP untuk usia
dapat menggunakan rumus:59

Batas atas rentang normal ( mgdL )= (umur dalam


50
tahun)
(pria)
(umur dalamtahun )
50
+0.6
(wanita)

Penting untuk diketahui bahwa dalam pelaporan kadar CRP tidak sama untuk setiap
laboratorium, ada yang melaporkan kosentrasi CRP sebagai mg/dL, sementara yang lainnya
menggunakan mg/L. Penentuan standar CRP dapat dilaporkan dengan satuan mg/dL atau
mg/L. Untuk pengujian sangat sensitif, yang dikenal dengan “high-sensitivity CRP”(hs-
CRP) secara rutin dilaporkan dalam satuan mg/L. Pada studi populasi kadar CRP plasma
menunjukkan bahwa sekitar 70 sampai 90% sampel memiliki kosentrasi CRP di bawah 0.3
mg/dL (3 mg/L), tetapi beberapa individu memiliki peningkatan hingga 1 mg/dL (10 mg/L).
Rentang normal (lebih tepat disebut rentang referensi) CRP yang dilaporkan oleh satu
laboratorium ke laboratorium lainnya sangat bervariasi. Indikasi inflamasi yang signifikan
secara klinis jika kosentrasi CRP > 1 mg/dL, sedangkan kosentrasi antara 0.3 sampai 1
mg/dL adalah peningkatan CRP minor atau low grade inflammation.60 Inflamasi akut
umumnya menunjukkan respons CRP yang nyata sementara low grade inflammation terjadi
peningkatan yang sedikit dari CRP. Respons inflamasi terhadap infeksi dan cedera jaringan
bertujuan untuk pembersihan jaringan nekrotik, adaptasi dan perbaikan sedangkan low
grade inflammation bertujuan untuk pemulihan homeostasis metabolic.

Low grade inflammation tidak disertai oleh tanda-tanda klasik peradangan dan sering
berhubungan dengan stress metabolik. Beberapa stress metabolik ini bisa bermanifestasi
klinis seperti aterosklerosis, obesitas, obstructive sleep apnea, resistensi insulin, hipertensi
dan diabetes melitus tipe 2. Low grade inflammation berhubungan sebagian besar dengan
gaya hidup yang buruk, rendahnya aktivitas fisik, pre-hipertensi, diet yang tidak sehat dan
bahkan yang tidak menikah.61

Peningkatan kadar CRP berhubungan dengan infeksi bakteri yang ditemukan pada sekitar
80% kasus dengan nilai lebih dari 10 mg/dL, dan pada 88 sampai 94% kasus dengan nilai di
atas 50 mg/dL. Kadar CRP juga dapat meningkat pada pasien dengan infeksi virus,
walaupun kadarnya tidak setinggi pada infeksi bakteri.62
16

Kadar CRP akan berbeda dengan Laju Endap Darah (LED) sebagai bagian dari AFR. Hal ini
disebabkan karena perbedaan kinetika dimana kadar CRP akan naik dan turun lebih cepat
daripada LED. Hal ini juga dikaitkan dengan karakteristik dari respons inflamasi dan
mekanisme imunitas. “High sensitivity” pada pemeriksaan CRP digunakan untuk mengukur
dan membedakan kadar CRP dengan kosentrasi yang sangat rendah.62

Penelitian dari Chalmers dkk, menunjukkan bahwa CRP merupakan prediktor independen
dari keparahan PK. Kadar CRP yang rendah (<100 mg/L) memiliki nilai negatif prediksi
yang tinggi untuk mortalitas dalam 30 hari, kebutuhan penggunaan invasif ventilator
dan/atau topangan inotropik dan komplikasi dari pneumonia. Dari penelitian tersebut juga
menunjukkan pada pemeriksaan CRP hari keempat memberikan gambaran untuk respons
terapi dimana jika CRP turun lebih dari 50% pada hari keempat berhubungan dengan
rendahnya penggunaan ventilator dan inotropik, mortalitas dalam 30 hari serta komplikasi
dari pneumonia. Kadar CRP yang rendah juga bisa memprediksikan keamanan pasien untuk
bisa rawat jalan.25

Leukosit merupakan salah satu komponen darah yang mengandung inti serta mempunyai
peran penting dalam sistem pertahanan tubuh manusia. Berfungsi untuk melawan
mikroorganisme penyebab terjadinya infeksi, keganasan serta zat-zat patogen asing yang
berbahaya. Di dalam darah manusia normal terkandung leukosit rata-rata 4000-10000 setiap
mikroliter darah. Leukosit terbagi atas dua kelompok yaitu granulosit dan agranulosit.
Granulosit merupakan sel yang mempunyai lobus atau segmen pada inti dan granul pada
sitoplasma, yang terdiri atas neutrofil, eosinofil serta basofil. Sedangkan agranulosit
merupakan sel yang tidak memiliki segmen ataupun lobus pada inti serta tidak terdapat
granul pada sitoplasma, yang terdiri atas monosit dan limfosit.64,65

Leukosit mempunyai peranan dalam sistem pertahanan tubuh dalam melawan masuknya
benda asing atau bisa dikatakan sebagai sistem imun. Apabila terdapat suatu
mikroorganisme masuk ke dalam tubuh maka leukosit akan melawan mikroorganisme
tersebut. Hal ini menunjukkan jika leukosit mempunyai sifat fagositosis. Leukosit juga
mempunyai sifat amoboid yang dapat bergerak bebas di dalam dan di luar pembuluh darah
sehingga memudahkan dalam perlawanan terhadap mikroorganisme yang masuk di dalam
tubuh.66
17

Fungsi leukosit bisa sebagai sistem pertahanan tubuh terhadap bakteri maupun penyakit
yang difagositosis oleh leukosit dan sebagai pengangkut seperti mengangkut zat lemak yang
berasal dari dinding usus melalui limpa kemudian ke pembuluh darah.66

Leukosit merupakan parameter paling umum yang digunakan untuk menilai infeksi. Dalam
kondisi infeksi dapat menyebabkan leukositosis ataupun leukopenia. Perubahan nilai dari
leukosit merupakan respons inflamasi sistemik terhadap infeksi akibat rangsangan sitokin
proinflamasi serta adanya endotoksinemia. Neutrofil adalah salah satu jenis leukosit yang
jumlahnya peningkatan pada pneumonia. Netrofil dilepaskan terutama untuk melawan
patogen dengan cara fagositosis pada lokal peradangan yang mengakibatkan aktivasi
kaskade inflamasi berlebihan sehingga mengeluarkan sitokin proinflamasi serta kerusakan
jaringan paru. Hal ini memicu pelepasan Granulocyte colony stimulating factor dari
sumsum tulang, yang ditunjukkan dengan adanya sel matur pada sirkulasi perifer. Sel yang
paling sering ada di sirkulasi perifer adalah bentuk batang. Seiring meningkatnya produksi
sitokin, secara progresif jumlah sel immatur bisa dilepaskan seperti promielosit,
metamielosit dan mielosit.67

Leukosit adalah penanda yang digunakan sebagai respons inflamasi sistemik dan bisa
sebagai faktor risiko kematian dari PK, terutama yang disebabkan oleh Staphylococcus
aureus-necrotizing. Leukopenia, terjadi pada sekitar 7%-17% kasus digambarkan sebagai
faktor prognostik yang buruk pada pneumonia.68

Kadar asam laktat sering digunakan untuk menentukan status homeostasis asam basa tubuh.
Selain itu, di IGD kadar laktat bisa memberikan gambaran tentang prognosis infeksi seperti
tingkat mortalitas. Pada keadaan syok sepsis maka kadar laktat serial bisa memprediksikan
mortalitas pasien setelah dirawat di unit perawatan intensif. 69 Survival sepsis campaign
dalam revisi di tahun 2016 merekomendasikan pengukuran kadar laktat dalam waktu 3 jam,
laktat > 2 mmol/L merupakan bagian dari definisi baru syok sepsis.70

Laktat merupakan suatu asam hidroksikarboksilat yang terdiri dari dua stereoisomer, yaitu
bentuk L-laktat dan D-laktat dengan bentuk dominan yaitu L-laktat yang dibentuk selama
glikolisis anaerobik.71 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa aktivasi inflamasi
menginduksi pergeseran dari fosforilasi oksidatif ke arah aerobik glikolisis dengan
18

peningkatan kadar laktat. Peningkatan L-laktat adalah respons metabolik yang bisa dilihat
pada aktivasi neutrofil, makrofag dan sel dendritik dengan menggunakan ligan toll-like
receptors (TLR) atau sitokin inflamasi. Selain itu, kadar laktat telah menjadi biomarker
beberapa penyakit termasuk keganasan, sepsis dan penyakit autoimun.72

Saluran napas merupakan tempat yang sering terjadinya infeksi sehingga serum laktat bisa
digunakan untuk faktor prognostik dalam PK. Hiperlaktatemia (> 4.0 mmol/L) adalah
penanda sepsis berat yang berhubungan dengan peningkatan risiko kematian di IGD. Secara
klasik, hiperlaktatemia dalam kondisi inflamasi sistemik terbentuk akibat berkurangnya
perfusi pada organ target sehingga terjadi proses glikolisis anaerobik. Hiperlaktatemia
sebagai akibat dari inflamasi sistemik karena hipoperfusi organ target memberi bukti bahwa
keadaan ini meningkatkan angka mortalitas pasien PK. Penelitian juga membuktikan bahwa
jika hiperlaktatemia dikombinasi dengan kadar prokalsitonin meningkatkan prediksi
mortalitas pasien PK. Dalam satu studi oleh Phua dkk, pada pasien sepsis di ICU,
menunjukkan peningkatan kadar laktat memiliki risiko kematian yang lebih besar jika kadar
prokalsitonin meningkat.73

Bukti menunjukkan bahwa akumulasi laktat dalam darah selama infeksi sistemik tidak
sepenuhnya terkait dengan hipoksia jaringan. Respons inflamasi yang disebabkan karena
sepsis berat menyebabkan peningkatan kadar epinefrin dan katekolamin, yang selanjutnya
mengaktivasi pompa Na-K ATPase. Peningkatan kebutuhan energi yang melebihi
kemampuan metabolisme oksidatif dari mitokondria untuk menghasilkan ATP. Glikolisis
anaerobik di sitosol akan menghasilkan ATP yang dibutuhkan untuk pompa Na-K ATPase
dengan produk akhir adalah asam laktat. Akumulasi laktat ini merupakan akibat langsung
dari peningkatan kadar katekolamin selama kaskade inflamasi, dan bukan karena
hipoperfusi organ target. Jika hiperlaktatemia disebabkan oleh inflamasi sistemik yang
merupakan marker disfungsi organ target dan kolaps vaskular, kemudian kombinasi
peningkatan laktat dan bimarker inflamasi lain menjadi tanda prognostik yang jelek. Di lain
pihak, jika peningkatan laktat terjadi tanpa adanya peradangan yang merupakan hasil dari
penyebab fisiologis, prognosisnya mungkin akan lebih baik.15,68

Asam laktat merupakan produk metabolisme sel yang terakumulasi ketika sel mengalami
hipoksia. Asam laktat diproduksi oleh hampir semua jaringan di dalam tubuh, dengan kadar
tertinggi ditemukan di otot. Dalam kondisi normal, laktat diekskresi melalui hati dan ginjal.
19

Asam laktat adalah ciri biokimia yang penting pada infeksi, trauma dan sepsis. Kadar laktat
yang tinggi menunjukkan hipoksia jaringan yang luas, peningkatan glikolisis, efek
endotoksin dan tanda metabolisme anaerobik. Andersen dkk menyatakan bahwa dalam
keadaan hipoksia mensekresi TNF-α sebagai mediator proinflamasi. 16 Jansen dkk
menyatakan bahwa hipoksia jaringan bisa meningkatkan kosentrasi vascular endothelial
growth factor, dimana kedua hal ini mengarah ke arah prognosis yang lebih buruk.15

Dalam proses homeostasis, pembentukan bekuan darah adalah suatu proses kompleks yang
melibatkan beberapa molekul dengan berbagai jalur yang berbeda. Aktivasi trombin yang
mengubah fibrinogen menjadi fibrin melalui pembelahan fibrinopeptida dari domain N-
terminal.

Fibrin awalnya berpolimer melalui interaksi nonkovalen, sampai faktor XIII diaktifkan oleh
trombin, ikatan silang domain D dari fibrin menstabilisasi bekuan darah. Degradasi molekul
fibrin yang berikatan silang terjadi melalui aktivasi plasmin selama proses fibrinolisis
menghasilkan fibrinogen degradation products (FDP) dan D-dimer (Gambar 2.6).74

Pemeriksaan D-dimer digunakan sebagai penanda aktivasi dari sistem koagulasi dan
fibrinolitik serta berfungsi sebagai penanda tidak langsung dari trombotik dan aktivitas
trombolitik yang berpengaruhi pada diagnosis tromboemboli. Molekul D-dimer dihasilkan
melalui degradasi ikatan silang fbrin selama proses fibrinolisis yang memerlukan aktivitas
tiga enzim yaitu trombin, faktor XIII yang diaktifkan (XIIIa) dan plasmin. Prosesnya
dimulai ketika trombin yang dihasilkan oleh sistem koagulasi mengubah fibrinogen terlarut
menjadi monomer fibrin. Monomer ini kemudian membentuk polimer fibrin melalui
interaksi nonkovalen berdasarkan perubahan alosterik protein sebagai hasil pembelahan
trombin fibrinopeptida dari domain N-terminal. Fibrin diperkuat melalui interaksi dengan
faktor XIII. Plasmin berpengaruh pada pembentukan D dimer dari hasil pemecahan bekuan
darah.17,74

Menurut Surviving Sepsis Campaign, sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang
mengancam jiwa disebabkan oleh disregulasi respons tubuh terhadap infeksi. Data saat ini
menunjukkan bahwa angka mortalitas sepsis masih tinggi, antara 20% sampai 50% pada
pasien dengan syok sepsis. Faktor utama dari buruknya prognostik pasien sepsis adalah
respons tubuh terhadap infeksi bukan karena infeksi itu sendiri. Aktivasi beberapa jalur
20

abnormal yang terlibat dalam respons imun menyebabkan multi organ failure (MOF),
terkait dengan disfungsi seluler dan hipoperfusi jaringan. Adanya pengaruh aktivasi cell
death pathways dan adanya disfungsi tingkat mitokondria dalam proses sepsis. Di sisi lain,
adanya ketidakseimbangan fungsi sirkulasi, dengan adanya penurunan resistensi perifer dan
gangguan fungsi jantung, disamping adanya disfungsi endotel juga adanya abnormalitas
aktivasi sistem koagulasi.70,75

Gangguan sistem koagulasi sudah diidentifikasi pada pasien sepsis, baik itu aktivasi
koagulasi asimptomatik sampai sistemik yang melibatkan pembuluh darah kecil (50%-70%)
dan yang mengarah ke gambaran DIC (35%). Gambaran manifestasi klinis akibat gangguan
sistem koagulasi dan fibrinolisis dimediasi oleh beberapa sitokin proinflamasi seperti TNF-
α, IL-6 dan IL-1. Sitokin-sitokin ini bertanggungjawab untuk ekspresi dari tissue factor (TF)
pada monosit dan makrofag, serta kerusakan sel endotel sebagai awal proses koagulasi pada
sepsis bersama dengan faktor pembekuan lainnya seperti faktor VIIa, Xa, trombin dan
fibrin. Di sisi lain, kondisi DIC pada pasien sepsis memiliki efek protrombik yang terbukti
secara signifikan menekan proses fibrinolisis akibat produksi berlebih dari plasminogen
activator inhibitor-1 (PAI-1).76

Berdasarkan International Society of Thrombosis and Hemostasis (ISTH), evaluasi D-dimer


menunjukkan utilitas dalam stratifikasi pasien sepsis untuk melihat keparahan dari
koagulasi, sebagai bagian dari skor DIC, bersama-sama dengan kadar fibrinogen,
International Normalized ratio dan jumlah trombosit.77 Identifikasi awal dari pasien dengan
risiko tinggi dan prognostik yang buruk masih menjadi tantangan buat klinisi di IGD. Skor
Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) telah digunakan sebagai alat diagnostik
dalam skrining pasien yang curiga sepsis dan beberapa studi menunjukkan skor SOFA juga
memiliki abilitas untuk memprediksi akan mortalitas pasien yang dirawat di rumah sakit. 78.

Pada kenyataannya, tidak ada pemeriksaan biomarker yang spesifik dalam penilaian
diagnostik pasien dengan sepsis. Di sisi lain, konstalasi tes laboratorium termasuk D-dimer
biasanya digunakan untuk mengevaluasi keparahan dari proses sepsis, sehingga bisa
meningkatkan stratifikasi prognostik sepsis itu sendiri. D-dimer telah terbukti menambah
informasi prognostik jika ditambah pada penilaian skor SOFA. Pada penelitian yang
dilakukan menunjukkan parameter koagulasi yang biasa diukur secara klinis dalam
perhitungan skor SOFA [protrombin time (PT), activated partial thormboplastin time
21

(aPTT), fibrinogen dan trombosit] terbukti tidak memberikan informasi untuk prognosis
pasien sepsis. Sebaliknya, kadar D-dimer dan kompleks thrombinantithrombin complex,
yang diukur secara dalam 24 jam setelah masuk dari IGD, secara signifikan berhubungan
dengan peningkatan angka mortalitas jangka panjang dan pendek yang secara independen
terhadap skor SOFA dan asam laktat.79 Rodelo dkk yang melakukan studi tentang hubungan
antara mortalitas-28 hari dengan beberapa biomarker (D-dimer, CRP, prokalsitonin) dan
skor (Skor SOFA dan APACHE II) dan menunjukkan D-dimer menjadi satu-satunya
biomarker yang linear berhubungan kuat dengan mortalitas-28 hari.80

Kadar plasma D-dimer normal dengan pengujian ELISA adalah <500 ng/mL untuk fibrin
equivalent unit atau <250 ng/dL untuk D-dimer unit. Peningkatan kosentrasi dari D-dimer
menunjukkan adanya koagulasi intravaskular dan fibrinolisis. Plasmin memotong ikatan
silang fibrin di banyak tempat sehingga menghasilkan FDP.76

Kadar D-dimer meningkat pada aktivasi sistem koagulasi disebabkan oleh endotoksin
patogen gram negatif yang bisa dicetuskan oleh PK. Beberapa studi menunjukkan bahwa
kadar D-dimer pada pasien rawat jalan, rawat inap dan rawat intensif berkorelasi dengan
keparahan dari pneumonia. Kadar D-dimer di darah lebih tinggi pada pasien PK
dibandingkan subjek kontrol yang sehat. Patofisiologi dari peningkatan D-dimer belum
sepenuhnya diketahui. Peningkatan D-dimer berkorelasi dengan beberapa faktor inflamasi
dan koagulasi, termasuk CRP, prokalsitonin, IL-6, PT, aPTT, dan thrombin time. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan kadar D-dimer tinggi yang meninggal karena
PK berat tidak menunjukkan gambaran disfungsi koagulasi. 81 Guneysel dkk dan Ribelles
dkk, menunjukkan bahwa kadar D-dimer meningkat pada pasien yang dirawat di ruang
intensif.82,83 Sedangkan penelitian dari Shillon dkk menunjukkan adanya peningkatan kadar
D-dimer pasien yang dirawat di rumah sakit yang bukan ruang intensif. Penelitian juga
menunjukkan bahwa kadar D-dimer meningkat pada pada pasien dengan lobar ataupun
multilobar pneumonia dibandingkan segmental pneumonia.84

Albumin merupakan protein plasma terpenting secara kuantitatif di dalam tubuh. Sekitar
300 sampai 500 gram albumin didistribusikan dalam cairan tubuh dan rata-rata liver
mensintesis 15 gram per hari (200mg/kg per hari). Albumin didegradasi pada banyak organ
tubuh dan otot serta kulit sekitar 40-60% dari degradasi total tubuh. Proses sintesis akan
meningkat jika terjadi kehilangan albumin yang cepat atau terjadi penurunan kosentarasi
22

serum albumin. Albumin terdiri dari 585 asam amino rantai tunggal polipeptida dengan
berat molekul 66500Da yang diproduksi di hati dan kemudian disekresikan ke sirkulasi
portal. Albumin hanya akan disintesis pada lingkungan nutrisi yang cukup, lingkungan
hormonal dan osmotik yang sesuai. Tekanan onkotik cairan intersisial hepatosit adalah
penting dalam sintesis albumin.19

Nilai normal albumin serum adalah 3.5-5 gr/dL, dikatakan hipoalbumin jika kadar albumin
serum <3.5 gr/dL. Hipoalbuminemia terbagi menjadi tiga kelompok yaitu: a)
hipalbuminemia ringan: 3-3.5 g/dL, b) hipoalbuminemia sedang 2.5-2.9 gr/dL, c)
hipoalbuminemia berat <2.5 gr/dL. Kosentrasi albumin yang rendah disebabkan oleh
overdilusi, penurunan sintesis albumin, peningkatan kehilangan albumin atau redistribusi
pada tubuh. Penurunan produksi albumin bisa terjadi pada malnutrisi, malabsorbsi, penyakit
hati kronis, atau respons fase akut seperti kondisi inflamasi misalnya pada infeksi, trauma
atau keganasan. Sedangkan peningkatan kehilangan albumin bisa terjadi pada protein-losing
glomerulopathy, perdarahan berat, protein-losing entheropathy, luka bakar berat dan
prosedur operasi. Hipoalbumin karena redistribusi terjadi pada fase sepsis, dimana albumin
hilang ke ekstravaskular karena peningkatan permeabilitas kapiler, pada asites karena
albumin hilang ke cavum abdominal.19,20

Hiperalbuminemia dapat terjadi pada kondisi overproduksi. Pada kondisi dehidrasi kadar
albumin dapat meningkat. Selain itu obat-obatan juga dapat merangsang sintesis albumin,
seperti pada studi eksperimental dengan pemberian kortikosteroid atau dehidrasi sekunder
karena kehilangan air akibat polyuria induced corticosteroid.21

Konsentarasi albumin mencerminkan laju sintesis, degradasi dan volume distribusi. Sintesis
dan fungsi albumin diatur oleh berbagai faktor seperti status nutrisi, tekanan onkotik, sitokin
dan hormonal. Proses di tingkat sel belum diketahui secara pasti tetapi mungkin melibatkan
pembentukan polisom albumin massenger ribonucleic acid oleh liver yang merangsang
sintesis albumin. Sebaliknya, zat yang menghambat sintesis berhubungan dengan kondisi
inflamasi seperti TNF-α, IL-1 dan mungkin pengaruh non-onkotik (antioksidan, immune-
modulating, endothelial proteksi). Waktu paruh dari albumin sekitar 20 hari, 4% dari total
albumin akan didegradasi setiap harinya yang memiliki fungsi fisiologis untuk menjaga
tekanan osmotik. Albumin berperan dalam menjaga Colloid Osmotic Pressure (COP) yang
normal. Pada keadaan sehat, sekitar 80% peran albumin dalam menjaga COP normal pada
23

nilai 25 mmHg, ini karena berat molekul albumin dan konsentrasinya yang tinggi dalam
plasma.84

Fungsi albumin yang lain adalah sebagai antioksidan dan memiliki efek antikoagulan. Pada
kondisi fisiologis, albumin memiliki antioksidan potensial yang bermakna. Ini dalam
pembersihan oksigen radikal bebas yang berpengaruh dalam patogenesis penyakit inflamasi.
Serum albumin menghambat produksi oksidan radikal bebas oleh leukosit polimorfonuklear.
Ini berhubungan dengan golongan sulfhydryl (SH) pada molekul albumin. Ini penting dalam
pembersihan agen oxidizing seperti hypochlotour acid yang dibentuk oleh enzim
myeloperoxidase yang dilepaskan oleh neutropil yang teraktivsi. Pada pasien
hipoalbuminemia akan terjadi penurunan pembersihan radikal oksigen. Albumin memiliki
fungsi pada koagulasi, ini seperti aksi heparin kemungkinan karena persamaan struktur
antara albumin dan heparin. Albumin memiliki aktivitas seperti heparin yaitu peningkatan
netralisasi faktor Xa oleh antitrombin III. Pada sindroma nefrotik terjadi status
hiperkoagulasi, ini terjadi bersamaan dengan hipoalbuminemia, ini juga berhubungan
dengan kurangnya efek albumin pada degradasi trombosit.85

Albumin juga menghambat sekresi sitokin proinflamasi dan faktor-faktor komplemen


melalui modulasi sistem signaling antara sel-sel inflamasi, seperti neutrofil dan sel-sel
endotel. Pada PK, respons inflamasi yang ditimbulkan oleh mikroorganisme penyebab PK,
akan melepaskan sitokin-sitokin proinflamasi dan antiinflamasi, seperti IL-1, IL-2, IL-6, IL-
10, INF-γ, dan TNF-α. Beberapa tahun terakhir ini, disebutkan bahwa peningkatan respons
inflamasi ini akibat infeksi berhubungan dengan luaran klinis penyakit. Sitokin-sitokin ini
menyebabkan disfungsi barier endotel yang mengakibatkan kebocoran kapiler. Kebocoran
kapiler ini merupakan penyebab utama terjadinya hipoalbuminemia. Setelah sintesis
albumin di hati, molekul ini akan disekresikan ke intravaskuler dan selanjutnya
meninggalkan sirkulasi, proses ini disebut Transcapillary escape rate (TER) ini terjadi
sekitar 5% pada kondisi fisiologis (yaitu 5% albumin intravaskuler keluar). Pada keadaan
inflamasi, TER dapat meningkat beberapakali lipat. Sitokin inflamasi yang diduga menjadi
faktor patogen penting menyebabkan peningkatan kebocoran plasma adalah IL-2, IL-6 dan
IFN-γ. Selain karena kebocoran kapiler, sintesis albumin juga menurun pada fase akut
inflamasi. Berbagai sitokin seperti IL-1 dan IL-6 memiliki aksi menghambat sintesis
albumin, dapat meningkatkan penghancuran dan keluarnya albumin dari kapiler. Hormon
24

seperti hormon tiroid dan glukokortikoid memiliki efek merangsang sintesis albumin.
Asidosis menghambat sintesis albumin dan berperan dalam terjadinya hipoalbuminemia. 20

Serum albumin merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan pada pasien rawat inap dan
dipercaya dapat memprediksi prognosis pada pasien penyakit kritis dengan penyakit infeksi.
Kadar serum albumin yang rendah berhubungan dengan angka kesakitan dan kematian pada
berbagai penyakit. Mekanisme yang tepat, efek protektif albumin masih belum diketahui,
namun pada penelitian binatang, serum albumin manusia menunjukkan efek protektif seperti
memperbaiki hiporeaktivitas arteri pada endotoksemia sebagai antioksidan, menurunkan
ischemia-reperfussion injury dan efek antiinflamasi. Konsentrasi serum albumin telah
digunakan sebagai indikator status nutrisi pada beberapa tahun terakhir. Hipoalbuminemia
berhubungan dengan outcome yang jelek pada beberapa kondisi klinis yang berat termasuk
PK. Mekanisme yang mendasarinya adalah bahwa reaksi inflamasi merupakan penyebab
terjadinya hipoalbuminemia. Penurunan kadar albumin selama infeksi akut secara langsung
disebabkan oleh proses inflamasi, ini menggambarkan keparahan infeksi/inflamasi. Hedlund
dkk86 menemukan bahwa serum albumin menurun sampai hari keenam dan kemudian
meningkat kembali pada hari ke 9 pada pasien PK. Beberapa studi melaporkan hubungan
antara nilai serum albumin dengan keparahan penyakit pada PK. Lee dkk melaporkan bahwa
serum albumin dikombinasikan dengan PSI dan CURB-65 signifikan meningkatkan
prognosis PK serta berhubungan dengan kematian 28 hari pada pasien PK rawat inap. 20
Penelitian Viosus D dkk melaporkan bahwa kadar serum albumin dalam 24 jam saat masuk
rumah sakit merupakan penanda prognostik pada PK, selain itu juga penambahan kadar
albumin dalam menilai keparahan dan prognosis penyakit berdasarkan skor PSI dan CURB-
65 signifikan meningkatkan performa prognostik PK, sehingga klinis harus
mempertimbangkan nilai albumin ketika mengevaluasi keparahan penyakit pada pasien PK.
Serum albumin yang rendah saat awal masuk RS signifikan berhubungan dengan
peningkatan risiko komplikasi dan luaran penyakit dan peningkatan serum albumin pada
pasien PK pada skor PSI dan CURB-65 semakin memperbaiki prognosis penyakit.21

Pneumonia komunitas menjadi penyebab tersering angka rawat inap di rumah sakit dan
mortalitas. Angka mortalitas berkisar 12%, meskipun adanya kemajuan dalam penanganan
infeksi PK berat, ketersediaan perawatan ruang intensif, dan penggunaan antibiotik yang
poten serta vaksin yang efektif.87. Meskipun adanya pedoman untuk penanganan PK secara
global, tetapi masih ada pusat pelayanan dan klinisi yang tidak mengikuti pedoman ini. Hal
25

ini penting karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap pedoman
pengobatan PK dikaitkan dengan angka kematian yang lebih rendah. 88 Beberapa faktor
risiko yang ada, maka dikembangkan sistem skor untuk membantu klinisi untuk menilai
keparahan dari PK, yang dihubungan dengan penilaian klinis pasien dengan PK. Faktor-
faktor ini secara independen berhubungan dengan mortalitas seperti faktor demografi, inisial
pemeriksaan, laboratorium dan radiografi maka dikembangkan skor PSI. Selain itu CURB-
65 juga terbukti menjadi modalitas skor yang berguna dalam memprediksikan tingkat
keparahan dari PK.89 Kedua model skoring ini tidak menghitung hubungan dengan faktor
komorbid yang bisa memprediksi risiko mortalitas PK. Pada kondisi ini Charlson
Comorbidity Index (CCI) bisa digunakan untuk standarisasi penilaian kondisi komorbid
yang baik untuk pasien nonsurgikal dan penyakit spesifik (17 kategori). Skor nol berarti
tidak ada penyakit penyerta yang ditemukan; semakin tinggi skor maka semakin tinggi
mortalitas yang diprediksikan.97

Terdapat variabilitas lama rawat antar masing-masing rumah sakit. Penelitian menunjukkan
lama rawat PK minimal 7.8 hari dan maksimal 17.3 hari. Laporan epidemiologi di Swiss
melaporkan bahwa lama rawat pasien PK selama 10 tahun terakhir hanya menurun 1.2 hari
dengan rata-rata lama rawat 9.8 hari. Lama rawat akan meningkat pada PK berat, adanya
kultur positif bakteri, perawatan ICU, multi lobar pneumonia dan konsumsi alkohol yang
rutin.90 Penelitian yang dilakukan di Spanyol menunjukkan bahwa lama rawat secara
keseluruhan adalah 10±9.8 hari dengan angka semakin tinggi pada kondisi keparahan yang
lebih berat. Variabel yang berpengaruh pada lama rawat adalah derajat keparahan,
perawatan ICU dan kebutuhan akan oksigen, managemen rumah sakit, kompetensi dan
pengalaman dari klinisi serta penanganan dengan panduan PK. 91 Penelitian di Turki
menunjukkan bahwa lama rawat pasien PK adalah 10.8-16 hari, dan akan meningkat pada
outbreak kasus influenza.92 Pada laporan data administratif di Malaysia, Indonesia dan
Filipina yang tergolong di daerah Asia Pasifik, meunjukkan rata-rata lama rawat masing-
masing yaitu 8.6, 6.1 dan 6.2 dengan biaya rata-rata per perawatan (USD) adalah 927, 1178
dan 254.24 Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 28 tahun
2021 tentang pedoman penggunaan antibiotika dijelaskan bahwa penggunaan antibiotik
pada pasien PK selama 10 sampai 14 hari.25

Konsumsi alkohol akan meningkatkan insiden dan tingkat keparahan PK karena menekan
respons inflamasi terhadap infeksi, tetapi tidak berhubungan dengan mortalitas .93 Penelitian
26

lain juga menunjukkan variabel seperti hipoksemia, efusi pleura, kadar albumin, jumlah
lobus yang terkena pada radiologis awal dan tekanan diastolik merupakan variabel
independen terhadap lama rawat. Untuk risiko rendah PK hanya dua faktor yang
berpengaruh yaitu hipoksemia dan efusi pleura. Malnutrisi berhubungan dengan angka
kejadian PK dan memiliki nilai prognostik yang lebih buruk. Orang tua menunjukkan
respons klinis yang lebih lama terhadapa regimen pengobatan PK. Albumin merupakan
penanda status gizi dan terkait akan mortalitas dan waktu pemulihan. 93 McCormick dkk
melaporkan bahwa tipe rumah sakit pasien PK dirawat merupakan faktor prediktif lama
rawat. Untuk kelas risiko yang sama ada perbedaan dalam durasi tinggal tetapi tidak ada
perbedaan pada mortalitas dan re-admisi untuk tipe rumah sakit yang berbeda.92

Prediktor untuk lama rawat yang terkait infeksi akut adalah hasil laboratorium yang
abnormal (PaO2 rendah, hipoalbuminemia, dan ketidakseimbangan Natrium), tanda-tanda
klinis (tekanan diastolik yang rendah, asidosis respiratorik, hipertermia, dan confusion) atau
marker seperti efusi pleura, multilobar pneumonia, kultur darah yang positif, komplikasi
yang memerlukan perawatan ICU. Komorbid yang penting seperti konsumsi alkohol,
disfagia, chronic kidney disease (CKD), keganasan, infeksi saluran kemih. Faktor sosial
juga berperan dalam PK seperti caregiver, keaktifan dari keluarga dekat dalam penanganan
di rumah setelah perawatan rumah sakit dalam hal komunikasi, infomasi dan edukasi.94

Lama rawat yang panjang berhubungan dengan peningkatan biaya perawatan kesehatan
sehingga memberi beban pada sistem kesehatan. Biaya perawatan pasien yang dirawat di
rumah sakit 20 kali lebih mahal daripada pasien rawat jalan. Mengurangi lama rawat dari
rawat inap berdasar kualitas penanganan yang baik akan berdampak pada cost effective dan
untuk kepentingan perspektif di masyarakat. Lama rawat pada pasien PK dalam 20 tahun
terakhir terus menurun sementara kualitas penanganan ditingkatkan. Penelitian di Swiss
menunjukkan bahwa asuransi swasta tidak berhubungan dengan lama rawat, dikarenakan
tidak ada perbedaan peranganan dan regimen terapi pada pasien yang memiliki asuransi
swasta dan non-swasta.90

Pneumonia komunitas merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan angka mortalitas


yang tinggi sekitar 5-15% dan menjadi beban sosio-ekonomi yang besar di seluruh dunia. Ini
menjadi alasan utama untuk rawat inap, angka kematian dan biaya perawatan kesehatan yang
tinggi di negara berkembang terutama pada populasi orang tua. Penurunan lama rawat akan
27

berdampak secara substansi dengan penurunan pembiayaan di rumah sakit. Beberapa


biomarker serum seperti prokalsitonin, CRP, leukosit, asam laktat, D-dimer dan albumin
telah dievaluasi dalam menilai prognosis dari pasien PK. Pemeriksaan ini digunakan sebagai
modalitas tambahan untuk pengkajian awal yang biasa dilakukan di IGD.

Penelitian Nseir W dkk menunjukkan bahwa pada pasien PK berat, penurunan kadar CRP
lebih dari 25% pada hari kedua perawatan berhubungan secara signifikan dengan penurunan
angka mortalitas dalam 30 hari. Sebagai tambahan, kadar CRP yang tidak turun 50% pada
hari keempat perawatan akan meningkatkan angka mortalitas dan kebutuhan akan ventilator
mekanik.94

Penelitian dari Saldias F dkk95 menemukan pada populasi 823 pasien dewasa yang dirawat
dengan PK, penurunan kadar CRP yang tidak signifikan pada hari ketiga perawatan
berhubungan dengan risiko tinggi komplikasi dan pemanjangan lama rawat. Sama seperti
penelitian di Swedia, menunjukkan PK dengan kadar IL-6 dan CRP yang tinggi memiliki
lama rawat yang panjang. Penurunan kadar CRP bisa memprediksikan lama rawat yang
rendah juga dijelaskan oleh penelitian di Athena, Yunani yang menunjukkan bahwa
penurunan lebih dari 50% pada hari keempat akan menurunkan angka lama rawat.
Peningkatan angka mortalitas terjadi pada level CRP > 75 mg/L dan kegagalan penurunan
50% kadar CRP pada hari ketiga.22

Pada penelitian penggunaan antibiotik pra-perawatan menunjukkan kadar prokalsitonin, CRP


dan leukosit tidak berbeda secara signifikan pada grup survivor dan non-survivor, hal ini
menunjukkan bahwa ada pengaruh antibiotik pra-perawatan pada tingkat biomarker
inflamasi. Penelitian tentang D-dimer menunjukkan adanya hubungan antara D-dimer dengan
keparahan gejala klinis, kebutuhan yang lebih lama dalam pengobatan dan keparahan derajat
inflamasi. Penelitian dari Mikaelli dkk, menunjukkan bahwa kadar D-dimer secara signifikan
meningkat pada PK yang berat (p < 0.001), pasien dengan dengan lama rawat lebih dari 1
minggu (p = 0.003) dan kebutuhan akan ventilasi mekanik (p < 0.001). Penelitian mengenai
asam laktat diteliti oleh Seda, dkk yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kadar
laktat dengan lama rawat (p = 0.002).96

Metode Penelitian
28

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain kohort prospektif yang
digunakan untuk mengetahui hubungan antara biomarker serum dengan lama rawat pasien
PK sedang berat dan membuat model prediksi lama rawat pasien PK sedang berat
berdasarkan nilai biomarker serum yang memiliki performa diskriminasi dan kalibrasi yang
baik Penelitian ini dilakukan pada pasien pneumonia komunitas sedang berat di
IGD/ICU/HCU di RSCM, Jakarta. Pasien yang telah menggunakan antibiotik lebih dari 24
jam sebelum perawatan, terdiagnosa penyakit non-infeksi ARDS (seperti pneumonia aspirasi
dan edema paru kardiogenik), terdiagnosa penyakit tuberkulosis berdasarkan manifestasi
klinik dan radiologi atau yang minta pulang ≤ 14 hari dieksklusikan dari penelitian ini.
Penelitian dilaksanakan di Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM/FKUI dengan
pengambilan sampel di Instalasi Gawat Darurat/Intensive Care Unit/High Care Unit
(IGD/ICU/HCU) RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), dalam periode Mei 2022 – Juli
2023.Penelitian dilakukan setelah pasien menandatangani informed consent. Teknik
pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu menggunakan metode consecutive sampling.
Penelitian diawali dengan melakukan pengambilan sampel yang memenuhi kriteria inklusi
dan setuju mengikuti penelitian diambil datanya (sesuai form penelitian) di ruang IGD
RSCM. Subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi akan dimintakan informed consent,
dan bila setuju mengikuti penelitian maka akan dilakukan proses pengambilanspesimen darah
untuk dilanjutkan pemeriksaan prokalsitonin, C-reactive protein, leukosit, asam laktat, D-
dimer dan albumin. Kemudian dilihat lama rawat masing-masing subjek Penelitian. Variabel
dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel tergantung. Variabel bebas terdiri
dari Prokalsitonin, CRP, leukosit, Asam laktat, D-dimer, Albumin. Variabel tergantung yang
diteliti adalah lama rawat PK sedang berat. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak IBM Statistical Product and Service Solutions (SPSS) versi
23.0.

Hasil Penelitian

Terdapat total 396 pasien pneumonia komunitas sedang berat periode Mei 2022 sampai Juli
2023 yang memenuhi kriteria inklusi dan 36 pasien yang memenuhi kriteria eksklusi.
Gambaran karakteristik subyek penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 5.1. Karakteristik demografi subjek


29

Variabel N=360
Usia (tahun), median (RIK) 58 (48 – 67)
Usia, n (%)
≥ 65 tahun 111 (30,83)
< 65 tahun 249 (69,17)
Jenis kelamin, n (%)
Perempuan 160 (44,44)
Laki-laki 200 (55,56)
Prokalsitonin, Median (RIK) 1,755 (0,33 – 12,15)
Prokalsitonin, n (%)
≥ 0,25 280 (77,78)
< 0,25 80 (22,22)
CRP, Median (RIK) 104,5 (30,7 – 172,9)
CRP, n (%)
≥5 339 (94,17)
<5 21 (5,83)
Leukosit, Median (RIK) 14.030 (9.940 -20.835)
Leukosit, n (%)
< 4.000 atau >10.000 274 (76,11)
4.000 – 10.000 86 (23,89)
Asam Laktat, Median (RIK) 1,5 (1,1 – 2,4)
Asam Laktat, n (%)
≥ 2,5 84 (23,53)
< 2,5 273 (76,47)
D-dimer, Median (RIK) 3.105 (1.460 – 6.590)
D-dimer, n (%)
≥ 500 346 (96,65)
< 500 12 (3,35)
Albumin 2,8 (2,4 – 3,35)
Albumin, n (%)
≥ 3,5 67 (18,61)
< 3,5 293 (81,39)
Lama Rawat, Median (RIK) 9 (6 – 15)
Lama Rawat, n (%)
> 14 hari 204 (56,67)
≤ 14 hari 156 (43,33)
Mortalitas, n (%)
Ya 136 (37,78)
Tidak 224 (62,22)
Skor CCI, Median (RIK) 4 (2 – 6)
Komorbiditas (CCI 4), n (%)
Tinggi 189 ( 54,15)
Normal 160 (48,85)
Pneumonia Komunitas, n (%)
Sedang 287 (80,39)
Berat 70 (19,61)
RIK = Rentang Inter Kuartil
30

400

350 339 346

293
300 280 274 273
250

200

150

100 80 86 84
67
50
21 12
0
Prokalsi- CRP Leukosit D-dimer Asam laktat Albumin
tonin

Abnormal Normal

Gambar 5.2. Distribusi Sampel berdasarkan biomarker serum

Setiap variabel yang akan diteliti dilakukan analisis bivariat untuk mencari variabel yang
berhubungan dengan lama rawat pasien PK sedang berat. Variabel dengan kemaknaan
statistik p < 0,25 akan dilanjutkan ke tahap analisis multivariat. Pada penelitian ini, variabel
yang memiliki nilai p < 0,25 adalah prokalsitonin, CRP, asam laktat dan albumin.

Tabel 5.2. Analisis bivariat biomarker serum dengan lama rawat


Lama Rawat
Variabel > 14 hari ≤ 14 hari RR (IK 95%) P
(n=204) (n=156)
Prokalsitonin, n (%)
≥ 0,25 171 (61,07) 109 (38,93) 1,481 (1,121-1,954) 0,006
< 0,25 33 (41,25) 47 (58,75)
CRP, n (%)
≥5 199 (58,70) 140 (41,30) 2,465 (1,141-5,326) 0,022
<5 5 (23,81) 16 (76,19)
Leukosit, n (%)
< 4.000 atau >10.000 155 (56,57) 119 (43,43) 0,993 (0,804 – 1,226) 0,947
4.000 – 10.000 49 (56,98) 37 (43,02)
Asam Laktat, n (%)
≥ 2,5 61 (72,62) 23 (27,38) 1,406 (1,181 – 1,674) <0,0001
< 2,5 141 (51,65) 132 (48,35)
Ddimer, n (%)
≥ 500 197 (56,94) 149 (43,06) 1,139 (0,642 – 2,019) 0,657
31

< 500 6 (50,0) 6 (50,0)


Albumin, n (%)
< 3,5 176 (62,19) 107 (37,81) 1,710 (1,255 – 2,329) 0,001
≥ 3,5 28 (36,36) 49 (63,64)
Uji Chi Square

Analisis multivariat dilakukan terhadap variabel yang telah diseleksi menggunakan analisis
bivariat. Pada tahap analisis multivariat dilakukan metode backward, dimana semua variabel
yang terseleksi akan masuk ke dalam analisis multivariat secara otomatis dan bertahap.
Variabel yang tidak berpengaruh dikeluarkan dari analisis. Pada beberapa model yang
ditampilkan pada analisis, akan dipilih model yang paling lengkap dan sederhana sebagai
prediktor lama rawat.

Tabel 5.3. Analisis multivariat biomarker serum dengan lama rawat


Variabel P RR (IK 95%)
Model Awal
Prokalsitonin 0,185 1,207 (0,914 – 1,593)
C-reactive protein 0,122 1,823(0,851 – 3,904)
Asam laktat 0,021 1,229 (1,032 – 1,463)
Albumin 0,009 1,499 (1,104 – 2,037)
Model Akhir
Asam laktat 0,003 1,305 (1,097 – 1,551)
Albumin 0,003 2,234 (1,164– 2,156)

Berdasarkan hasil analisis multivariat dengan metode backward pada model analisis akhir
didapatkan variabel asam laktat dan albumin secara konsisten dan independen berhubungan
dengan prediksi lama rawat pasien PK sedang berat. Evaluasi performa diskriminasi
diperoleh melalui hasil analisis kurva ROC dimana menunjukkan bahwa model prediksi
memiliki nilai AUC 0,629 dengan p < 0,001 IK95% (0,579 – 0,679). Dengan demikian
kemampuan persamaan ini dalam memprediksi lama rawat pasien PK sedang berat dianggap
memiliki nilai akurasi yang lemah karena memiliki nilai AUC 0,629 (Gambar 5.2). Dari
evaluasi performa kalibrasi, persamaan yang diperoleh memiliki kualitas yang baik dimana
nilai p pada uji Hosmer-Lemeshow test 0,562 (p > 0,05).
32

1.00
0.75
Sensitivity
0.50
0.25
0.00

0.00 0.25 0.50 0.75 1.00


1 - Specificity
Area under ROC curve = 0.6294

Gambar 5.3. Kurva ROC

Pembahasan

Penelitian ini menganalisis 360 subjek dengan diagnosis PK sedang berat, memenuhi kriteria
inklusi dan tidak memiliki kriteria eksklusi yang berobat ke RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo sejak Mei 2022 sampai Juli 2023. Penegakkan diagnosis PK sedang berat
pada penelitian ini berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
berupa foto Rontgen toraks atau CT scan toraks yang menunjukkan gambaran pneumonia.
Skor CURB-65 digunakan untuk menentukan derajat keparahan PK. Pada penelitian ini
derajat keparahan PK secara statistik berhubungan bermakna dengan lama rawat (p < 0,001)
dan mortalitas (p < 0,001). Jumlah subjek yang mengalami mortalitas pada pasien > 14 hari
adalah sebanyak 136 subjek dan setelah dianalisis terdapat hubungan antara lama rawat
dengan mortalitas dengan p = 0,001. Pada PK berat memiliki risiko sebesar 3,65 kali lipat
untuk mortalitas dibandingkan PK sedang. Penelitian Shehata dkk, juga menemukan terdapat
hubungan antara keparahan PK dengan mortalitas (p = 0,002).97 Hal ini bisa disebabkan
karena tingkat keparahan PK berhubungan dengan kompleksitas reaksi inflamasi yang
menyebabkan perburukan kondisi klinis pada proses yang berbeda seperti gagal napas,
33

gangguan kardiovaskular, ketidaksesuaian antibiotika awal, kebutuhan ruang intensif dan


timbulnya komplikasi.

Kelompok usia dengan jumlah subjek terbanyak berada pada kelompok usia < 65 tahun
sebanyak 246 subjek (68,33%). Tingginya proporsi subjek <65 tahun dapat dijelaskan dengan
data demografis Jakarta yang didominasi usia produktif (18 – 59 tahun). 98 Pada penelitian ini,
proporsi kelompok usia ≥ 65 tahun ditemukan lebih sedikit tetapi memiliki risiko perburukan
dan angka mortalitas lebih tinggi serta lama rawat PK akan lebih panjang. Faktor risiko yang
memperberat luaran klinis kelompok usia ≥ 65 tahun adalah imunosenescence dan
multimorbiditas.99 Pada penelitian ini, terdapat hubungan bermakna antara faktor komorbid
dan usia. (p = 0,001)

Penderita PK sedang berat didominasi oleh laki – laki, yaitu sebanyak 210 subjek (58,33%).
Hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Berdasarkan data survei di Jepang,
Uematsu dkk melaporkan proporsi subjek laki-laki sebesar 57% untuk pneumonia
komunitas.26 Beberapa teori dapat menjelaskan mengapa laki – laki lebih rentan terhadap
pneumonia. Pertama adalah pada laki – laki hanya ditemukan satu kromosom X. Kromosom
X berkaitan dengan sistem imun bawaan, seperti TLR-7 yang kadarnya ditemukan dua kali
lipat pada perempuan. Teori kedua adalah berkaitan dengan kadar hormon androgen dan
estrogen. Hormon androgen menurunkan ekspresi TLR-4 pada makrofag, sebaliknya estrogen
meningkatkan ekspresinya. Estrogen juga penting dalam meningkatkan aktivitas nitrit oksida
sintetase (NOS-3) yang penting bagi makrofag dalam mengeliminasi patogen. Teori ketiga
adalah terkait gaya hidup yang meningkatkan risiko pneumonia seperti merokok yang sering
ditemukan pada laki – laki.100

Pada penelitian ini, prevalensi komorbiditas terkait dengan PK sedang-berat serupa dengan
penelitian observasional lainnya, yaitu hipertensi, diabetes, penyakit kardiovaskular, dan
penyakit ginjal kronik.101 Sebaliknya, tingginya angka keganasan pada penelitian ini dapat
disebabkan karena referral bias, yaitu bias yang disebabkan karena RSUPN dr. Cipto
Mangunkusumo merupakan rumah sakit rujukan tersier.

Beberapa komorbiditas ini dapat dijelaskan mengapa memiliki peningkatan kerentanan


terhadap pneumonia. Sebagai contoh, studi yang melibatkan lebih dari 370 ribu subjek UK
Biobank, menemukan 75 genetik varian terkait hipertensi berkaitan dengan insidensi
34

pneumonia. Studi yang sama juga menemukan, penggunaan obat hipertensi golongan
angiotensin converting enzyme inhibitor, angiotensin receptor blocker-II, penghambat kanal
kalsium dihidropiridin dan penyekat reseptor beta juga berkaitan peningkatan insidensi
pneumonia. Obat – obat tersebut umum digunakan pada penderita penyakit jantung kronik.
Pada pasien dengan diabetes melitus (DM), risiko luaran yang lebih buruk dapat dijelaskan
dengan gangguan sistem imun akibat hiperglikemia. Hiperglikemia dapat mengganggu
kemotaksis dan fagositosis neutrofil. Pasien dengan DM juga rentan terhadap bakteremia.
Penelitian oleh Thomsen dkk. menemukan risiko bakteremia pada pasien DM hampir
mencapai 3 kali lipat (adjusted odds ratio, 2.9; IK95%, 2,4 - 3,4) dibandingkan pasien tanpa
DM.102 Pada penelitian ini evaluasi komorbid dengan menggunakan skor CCI dengan nilai
cut off 4, dimana tidak terdapat hubungan antara variabel komorbid dengan lama rawat (p =
0,223).

Hasil analisis bivariat dari berbagai faktor yang diteliti, didapati variabel yang secara statistik
memiliki nilai p < 0,25 sebagai prediktor lama rawat pasien PK sedang berat. Variabel
tersebut adalah prokalsitonin, CRP, asam laktat dan albumin. Selanjutnya dilakukan analisis
multivariat untuk menentukan variabel yang dapat digunakan sebagai indikator prediktor
lama rawat PK sedang berat. Hasil analisis multivariat mendapatkan variabel asam laktat dan
albumin secara konsisten dan independen berhubungan dengan prediksi lama rawat pasien
PK sedang berat.

Pada penelitian ini, berdasarkan analisis bivariat didapatkan bahwa nilai p = 0,006. Artinya
variabel ini terbukti bermakna secara statistik. Namun, setelah dilanjutkan dengan analisis
multivariat, signifikansi variabel prokalsitonin hilang (p = 0,185). Temuan ini sesuai dengan
penelitian oleh Suter – Widmer dkk yang melibatkan 875 pasien pneumonia komunitas yang
dirawat pada enam rumah sakit di Swiss, dimana tidak ada hubungan antara prokalsitonin
dengan lama rawat (p = 0,217).90 Penelitian lain dari Covington EW dkk menunjukkan bahwa
kadar prokalsitonin tidak berhubungan dengan lama rawat pasien PK (p = 0,13) dan lama
rawat di ICU (p = 0,17).103 Sebaliknya, Schuetz dkk menemukan bahwa kemampuan prediktif
prokalsitonin terhadap luaran buruk termasuk kategori sedang, apabila dilakukan pengukuran
secara serial. Namun, prokalsitonin tidak bermanfaat untuk memprediksi mortalitas.
Penelitian dari Bloos F, dkk juga menunjukkan bahwa prokalsitonin berhubungan dengan
derajat keparahan PK, kebutuhan ventilator mekanik yang berhubungan dengan pemanjangan
lama rawat dan mortalitas.10
35

Oleh karena itu, temuan negatif penelitian ini mungkin dapat disebabkan karena hanya
menggunakan data laboratorium admisi untuk memprediksi lama rawat. Penjelasan lain
temuan negatif ini adalah kemampuan prokalsitonin yang buruk untuk mendeteksi infeksi
bakteri pada PK. Meta – analisis yang dilakukan oleh Kamat IS dkk menemukan sensitivitas
prokalsitonin hanya 55% untuk mendeteksi infeksi bakterial. Peningkatan proklasitonin juga
berbeda untuk jenis bakterinya. Bakteri tipikal seperti Streptococcus pneumoniae atau
Haemophilus influenza, cenderung menyebabkan peningkatan prokalsitonin yang signifikan
dibandingkan bakteri atipikal.9 Pada infeksi jamur tertentu seperti Pneumocystic jerovicii dan
Candida spp serta parasit seperti malaria telah dilaporkan menyebabkan peningkatan
prokalsitonin.49 Penyebab non infeksi yang menyebabkan inflamasi sistemik seperti syok,
trauma, pembedahan, luka bakar dan chronic kidney disease (CKD) bisa menginduksi
produksi prokalsitonin.50

C-reactive protein adalah protein fase akut yang dihasilkan oleh hepar sebagai respons
terhadap inflamasi yang diinduksi oleh IL-6.104 Pada penelitian ini didapatkan bahwa CRP
adalah variabel yang bermakna sebagai faktor yang berpengaruh pada lama rawat pasien PK
sedang berat. Berdasarkan analisis bivariat didapatkan bahwa nilai p = 0,022, artinya variabel
ini terbukti signifikan bermakna secara statistik. Setelah dilanjutkan pada analisis multivariat,
CRP tidak secara signifikan berpengaruh pada lama rawat dengan p = 0,073. Hasil yang sama
ditemukan oleh Farah, dkk yang menunjukkan kadar CRP pada saat admisi tidak
berhubungan dengan lama rawat tetapi menjadi berhubungan secara statistik ketika kadar
CRP diukur serial pada hari kedua dan kelima perawatan. 58 Penelitian lain yang melihat
hubungan CRP dengan derajat keparahan dan luaran klinis PK pada subjek meninggal dan
hidup pasien PK, ketika dilakukan analisis regresi menunjukkan tidak ada perbedaan
bermakna kadar CRP saat admisi (p = 0,068), tetapi setelah dilakukan serial pada hari ketiga
ditemukan perbedaan yang bermakna untuk kedua grup tersebut (p = 0,016).

Hal ini berbeda dengan temuan dari Travlos, dkk. menemukan bahwa CRP bermanfaat
sebagai prediktor lama rawat pneumonia komunitas. Pada penelitian mereka, kadar CRP hari
keempat dan hari ketujuh berhubungan dengan lama rawat. (p = 0,001 dan p = 0,002).
Temuan penting lainnya dari penelitian mereka adalah penurunan kadar CRP > 50% pada
hari keempat berhubungan dengan penurunan jumlah hari rawat dengan rata-rata penurunan
4,11 hari (p =0,03). Manfaat lain pengukuran CRP adalah untuk menentukan efektifitas
36

terapi antibiotik yang diberikan. Studi oleh Bruns, dkk menemukan manfaat pengukuran CRP
pada awal masuk (hari 0), hari ke-3 dan hari ke-7 perawatan. Apabila kadar CRP turun <60%
dari hari 0 – 3 terdapat risiko antibiotik tidak adekuat hampir 7 kali lipat (OR: 6.98; IK95%:
1,56–31,33) dan apabila kadar CRP turun < 90% dari hari 0 – 7, risiko antibiotik tidak
adekuat hampir mencapai 4 kali lipat (OR: 3,74; IK95%: 1.12–13.77).105

Kadar CRP yang meningkat bisa juga disebabkan oleh infeksi non bakterial seperti malaria.
Faktor multikomorbiditas seperti DM, hipertensi serta obesitas bisa berpengaruh pada kadar
CRP. Pada penelitian ini tidak melihat penyebab bakteri untuk pneumonia atipikal dimana
peningkatan laboratorium untuk biomarker inflamasi hanya sedikit meningkat dibandingkan
pneumonia tipikal. Data Ota dkk menunjukkan prevalensi penyebab pneumonia atipikal
sebesar 7%-20% yang tidak terdeteksi pada pewarnaan gram. 106 Lebih lanjut lagi respons
antibiotika empiris akan berbeda pada pneumonia tipikal dibandingkan atipikal karena
patogen pneumonia atipikal seperti Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae
lebih resisten terhadap antibiotik jenis beta-laktam, yang merupakan antibiotika panduan
yang sering digunakan di IGD. Cut-off point CRP untuk infeksi bakterial masih sulit
ditentukan dan bervariasi pada beberapa penelitian tentang CRP.

Pada penelitian ini didapatkan hasil uji bivariat dengan nilai p sebesar 0,947 sehingga tidak
dilanjutkan ke analisis multivariat. Hal yang serupa ditemukan pada penelitian Giorgia LC,
dkk yang melihat luaran klinis pasien PK di Swiss dengan jumlah subjek 299, menemukan
bahwa tidak ada ada hubungan yang bermakna antara kadar leukosit dengan lama rawat (p =
0,938).107 Walaupun jumlah leukosit merupakan salah satu kriteria minor dalam derajat
keparahan PK tetapi etiologi yang dapat menyebabkan peningkatan maupun penurunan
leukosit sangat luas. Sebagai contoh, leukositosis dapat disebabkan karena reaksi alergi,
perdarahan, iskemia jaringan, dan reaktif oleh karena keganasan.36

Pada penelitian ini didapatkan hasil uji bivariat dengan nilai p sebesar 0,657 sehingga
variabel ini tidak dilanjutkan ke analisis multivariat untuk digunakan sebagai indikator
prediktor lama rawat PK sedang berat. Temuan negatif dari penelitian ini sesuai dengan
penelitian oleh Snidjers dkk. Di penelitian mereka, D-dimer memiliki nilai AUC yang buruk
dalam memprediksi kematian (AUC 0,62, IK95%: 0,51–0,73) maupun luaran klinis pada 30
hari (AUC 0,71 (IK95%: 0,51–0,91)). Sebaliknya, pasien PK dengan kadar D-Dimer <500
μg/L memiliki risiko kematian yang rendah.108 Sebaliknya, penelitian oleh Agapakis dkk
37

menemukan manfaat D-dimer dalam memprediksi lama rawat pada pasien PK. Menggunakan
nilai potong 600 μg/L, dibandingkan dengan pasien dengan nilai <600 μg/L, pasien dengan
nilai ≥600 μg/L memiliki lama perawatan 3 hari lebih lama (9.57 + 6.14 vs. 6.89 + 2.51; P=
0,019). Namun, penelitian ini mengeksklusikan faktor perancu seperti keganasan di awal
studi. Dari data penelitian bahwa keganasan ditemukan sebanyak 94 subjek (26,7%), dimana
semua subjek memiliki kadar D-dimer > 500 ug/L. Oleh karena itu, temuan negatif di
penelitian ini dapat disebabkan karena proporsi penderita keganasan tinggi.109

Asam laktat merupakan produk metabolisme sel yang terakumulasi ketika sel mengalami
hipoksia. Peningkatan kadar asam laktat disebabkan oleh inflamasi yang mengaktivasi
pergeseran fosforilasi oksidatif ke arah glikolisis anaerobik. Infeksi berat juga menyebabkan
peningkatan kadar epinefrin dan katekolamin, yang selanjutnya mengaktivasi pompa Na-K
ATPase sehingga terjadi glycolytic flux sehingga piruvat yang terbentuk melebihi kapasitas
piruvat dehidrogenase untuk diubah ke Asetil-CoA. Akibatnya piruvat diubah menjadi asam
laktat. Oleh karena itu, produksi asam laktat meningkat bukan karena hipoperfusi organ target
saja, tetapi juga dapat disebabkan karena peningkatan kadar katekolamin dan epinefrin
selama kaskade inflamasi yang mengaktivasi pompa Na-K ATPase.110

Pada penelitian ini didapatkan bahwa asam laktat adalah variabel yang bermakna sebagai
faktor yang berpengaruh terhadap lama rawat pasien PK sedang berat. Berdasarkan analisis
bivariat didapatkan bahwa nilai p < 0,001. Hasil analisis multivariat secara konsiten
menunjukkan asam laktat adalah salah satu variabel yang bermakna secara statistik sebagai
faktor yang berpengaruh pada lama rawat PK sedang berat dengan dengan p = 0,003; relative
ratio sebesar 1,305 (CI95% 1,097-1,551).

Penelitian kohort oleh Chen YX, dkk yang melibatkan 1641 subjek dengan pneumonia yang
ada di IGD. Mereka menemukan bahwa kadar laktat dapat memprediksi mortalitas dan
tingkat perawatan. Peningkatan laktat berkaitan dengan peningkatan mortalitas 28- hari
sebesar 1,6 kali (RR: 1,58, IK95%: 1,50 – 1,67), hospitalisasi mencapai 1,7 kali (RR: 1,68,
IK95%: 1,59 – 1,79), dan perawatan ICU mencapai 2 kali lipat (OR: 2,19, IK95%: 1,98 –
2,42). Performa prediksi laktat lebih tinggi dibandingkan CURB-65 dan bila digabungkan,
skor laktat – CURB 65 memiliki nilai prediksi yang lebih baik (P<0.05).111
38

Frenzen dkk juga menemukan hal yang serupa. Penelitian mereka merupakan kohort
retrospektif yang melibatkan 303 pasien PK yang datang ke IGD maupun dirawat di bangsal.
Mereka menemukan bahwa laktat dan gabungan laktat-CURB65 memiliki kemampuan
prediksi lebih tinggi dibandingkan CURB-65 atau CRB-65 saja terhadap luaran gabungan
berupa mortalitas, ventilasi mekanik invasif atau penggunaan vasopresor, dan perawatan di
ICU. (AUC: 0,75, IK95%: 0,70 – 0,80, p= 0,008).112

Albumin adalah protein yang paling banyak bersirkulasi di plasma. Albumin disinteis oleh sel
hepatosit hati sebanyak 10 – 15 gram per hari dan segera diekskresikan ke aliran darah.
Albumin memiliki berbagai fungsi di dalam tubuh manusia, antara lain untuk menjaga
tekanan onkotik plasma dan pengangkut ligan eksogen dan endogen.113

Pada kasus infeksi seperti pneumonia, terjadi proses inflamasi yang dapat meningkatkan
permeabilitas pembuluh kapiler sehingga albumin keluar dari kapiler ke ruang interstitial.
Waktu paruh albumin juga memendek pada kasus inflamasi dan produksinya berkurang
digantikan dengan protein fase akut pada keadaan inflamasi. Oleh karena itu, infeksi dan
inflamasi dapat menyebabkan hipoalbuminemia. Sebaliknya, hipoalbuminemia berkaitan
dengan luaran yang buruk karena dapat mempengaruhi imunitas bawaan dan pertahanan
antimikroba.114

Pada penelitian ini didapatkan bahwa albumin adalah variabel yang bermakna sebagai faktor
yang berpengaruh terhadappada lama rawat pasien PK sedang berat. Berdasarkan hasil
analisis bivariat didapatkan bahwa nilai p = 0,001. Setelah dilanjutkan pada analisis bivariat
ditemukan bermakna secara statistik sebagai faktor yang berpengaruh lama rawat PK sedang
berat dengan nilai p sebesar 0,003; dengan relative ratio sebesar 1,584 (CI95% 1,164-2,156).
Oleh karena itu, albumin dapat dijadikan sebagai salah satu prediktor lama rawat PK sedang
berat.

Sejalan dengan temuan ini, penelitian oleh Akirov dkk menemukan bahwa terdapat
perbedaan lama rawat yang signifikan (P<0,001) antara pasien dengan hipoalbuminemia
ringan (7 + 8 hari) dan hipoalbuminemia sedang (9 + 11 hari) dengan kadar albumin normal
(5 + 7 hari).115 Penelitian oleh Suter – Widmer dkk juga menemukan bahwa kadar albumin
<3,0 gram/dL berkaitan dengan peningkatan lama perawatan pasien dengan PK.90
39

Pada analisis multivariat model akhir didapatkan dua variabel yang terbukti signifikan secara
statistik dan dapat dimasukkan sebagai indikator prediktor untuk lama rawat pasien PK
sedang berat. Variabel tersebut adalah asam laktat dan albumin. Pada kurva ROC, yang
bertujuan mengetahui kemampuan dalam mendiskriminasi prediksi lama rawat pasien PK
sedang berat ditinjau dari sensitivitas dan spesifisitas didapatkan area di bawah kurva AUC
sebesar 0,629 yang artinya memiliki kemampuan mendiskriminasi prediksi lama rawat pasien
PK sedang berat dengan kekuatan AUC yang lemah. Kalibrasi dilakukan dengan
menggunakan uji Hosmer and Lemeshow Test dan didapatkan nilai p sebesar 0,652 sehingga
memiliki validitas yang baik. Dengan hanya ada dua variabel yang bisa menjadi faktor
prediktor maka tidak dilanjutkan untuk model skoring karena dalam sudut pandang klinis
akan sulit dalam aplikasi dan interpretasinya. Hal ini diperkuat dengan performa diskriminasi
pada kedua variabel ini terhadap lama rawat memiliki performa yang lemah.

Kelebihan penelitian ini adalah melihat model beberapa variabel biomarker sebagai
determinan lama rawat pasien PK sedang berat yang bisa diaplikasikan dengan mudah, baik
di IGD maupun di ruang perawatan. Variabel yang diteliti menggunakan berbagai parameter
sederhana, tersedia luas di berbagai layanan kesehatan dengan biaya yang relatif terjangkau.
Identifikasi variabel asam laktat dan albumin pada saat admisi sebagai faktor prediktor lama
rawat bisa membantu klinisi untuk menstratifikasi pasien PK dengan faktor risiko tinggi
sehingga bisa memprioritaskan perawatan, mengalokasi sumber daya yang sesuai dan
mengembangkan managemen strategi pelayanan yang disesuaikan dengan spesifikasi
kebutuhan pasien. Lebih lanjut lagi, kedepannya data penelitian ini dapat digunakan untuk
meninvestigasi kemungkinan luaran klinis lain seperti mortalitas dan perawatan ulang di
rumah sakit pada pasien PK. Keterbatasan penelitian ini, setelah dilakukan analisis
multivariat hanya terdapat dua variabel yang menjadi prediktor untuk lama rawat yaitu asam
laktat dan albumin dengan performa determinan yang lemah sehingga tidak dilanjutkan pada
sistem skoring. Distribusi hasil dari variabel-variabel bebas cenderung pada angka abnormal
karena subjek yang diteliti adalah pasien PK sedang berat yaitu pada CURB-65 2 sampai 5,
sehingga perlu penelitian lanjutan untuk membandingkan dengan distribusi variabel pada
pasien PK ringan yaitu pada CURB 0 dan 1. Variabel-variabel yang diteliti juga hanya
terbatas pada pemeriksaan laboratorium berupa biomarker inflamasi dan belum dianalisis
bersama variabel demografi dan data klinis. Data yang diteliti juga terbatas pada data admisi,
sehingga tidak terlihat pengaruh tren perubahan nilai biomarker terhadap respons terapi.
Penelitian ini tidak melihat proses perjalanan penyakit selama 14 hari perawatan serta tidak
40

membedakan lama rawat pasien yang dirawat di ruang intensif dan ruangan perawatan biasa
sehingga tidak melihat pengaruh komorbid dan efektifitas dari pemberian antibiotik terhadap
perjalanan penyakit. Oleh karena itu, perlu divalidasi secara prospektif dalam bentuk
pemeriksaan serial dan komprehensif agar dapat mengetahui kemampuan prediksi
sesungguhnya.

Kesimpulan

Terdapat hubungan antara asam laktat dan albumin dengan lama rawat pasien PK sedang
berat. Tidak terdapat hubungan antara Prokalsitonin, CRP, leukosit dan D-dimer dengan lama
rawat pasien PK sedang berat. Terdapat model prediksi lama rawat pasien PK sedang berat
dengan menggunakan variabel asam laktat dan albumin yang memiliki performa diskriminasi
lemah dan performa kalibrasi yang baik. Dikarenakan hanya dua variabel yang secara
konsisten berhubungan secara signifikan maka tidak dilanjutkan pada sistem skoring karena
sulit untuk aplikasi dan interpretasi dari sudut pandang klinis.

Kepustakaan

1. Marrie TJ. Acute bronchitis and community-acquired pneumonia. In: Elias JK, Fishman
JA, Kotloff RM, Pack AL, Senior RM, editor. Fishman’s pulmonary diseases and
disorder. Toronto: McGraw Hill Education;2015.p.1966-79
2. Niar GB, Niederman MS. Pneumonia: considerations for the critically ill patients. In.
Parillo JE, Dellinger RP, editors. Critical care medicine. Principle of diagnosis and
management in adults. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2015.p.704-8
3. Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Riset kesahatan dasar (Riskesdas). Jakarta: Balitbang Kemenkes RI, 2021
4. Pakpahan FS, Bihar S, Syarani F, Eyanoer PC. Accuracy between CURB-65 and PSI in
determining the prognosis of Community Acquired Pneumonia patients at H. Adam
Malik General Hospital, Medan. Respiratory Science.2021;1(3).
5. Banate MY, Banzon AG, De Guia T, Ayuyao FG. Comparison of the two scoring
indices (CURB65 and PSI) and determination of their utility in predicting the severity
of community-acquired pneumonia among patients both admitted and treated
inpatients. Chest. 2009;136(4):52S
6. Harris AM, Hicks LA, Qaseem A. Appropriate antibiotic use for acute respiratory tract
infection in adult. Ann Intern Med. 2016;164(6):425
7. Self WH, Balk RA, Grijalva CG, Williams DJ, Zhu Y, Anderson EJ, et al.
Procalcitonin as a marker of etiology in adults hospitalized with community-acquired
pneumonia. Clin Infect Dis. 2017;65(2):183.
8. Garcia V, Martinex JA, Mensa J, Sanchez F, Marcos MA, Roux A, et al. C-reactive
protein levels in community acquired pneumonia. Eur Respir J. 2003;21:702-5
9. Kamat IS, Ramachandran V, Eswaran H, Guffey D, Musher DM. Procalcitonin to
distinguish viral from bacterial pneumonia: A systemic review and meta-analysis. Clin
Infect Dis.2020 (16);70(3):538-542
41

10. Christ-Crain M, Jaccard-Stolz D, Bingisser R, Gencay MM, Huber PR, Tamm M, et al.
Effect of procalcitonin-guided treatment on antibiotic use and outcome in lower
respiratory tract infections: cluster-randomised, single-blinded intervention trial.
Lancet. 2004;363(9409):600.
11. Huang I, Pranata R, Lim MA, Oehadian A, Alisjahbana B. C-reactive protein,
Procalcitonin, d-dimer and ferritin in severe coronavirus disease-2019: a meta-
analysis. Ther Adv Respir Dis. 2020;14.
12. Blot M, Croiser D, Pechinot A, Vagner A, Putot A, Filion A, et al. A leucocyte score to
improve clinical outcome predictions in bacterial pneumococcal pneumonia in adult.
Thorax 2013;68:1007-14
13. Kang CI, Song JH, Kim SH. Risk factors and pathogenic significance of bacteremic
pneumonia in adult patients with community-acquired pneumonia. J Infect 2013;66:34-
40
14. Berjohn CM, Fishman NO, Joffe MM. Treatment and outcomes for patients with
bacteremic pneumococcal pneumonia. Medicine (Baltimore) 2008; 87:160–6
15. Jansen TC, van Bommel J, Schoonderbeek FJ, Visser SJS, van der Klooster JM, Lima
AP. Early lactate-guided therapy in intensive care unit patients: a multicenter, open-
laberl, randomized controlled trial. Am J Respir Crit Care Med. 2010;182:752-61
16. Andersen LW, Mackenhauer J, Roberts JC, Berg KM, Cocchi MN, Donnino MW.
Etiology and therapeutic approach to elevated lactate. Mayo Clin Proc. 2013; 88(10):
1127–1140
17. Arslan S, Ugurlu S, Bulut G, Akkurt I. The association between plasma D-dimer levels
and community-acquired pneumonia. Clinics.2010;65(6):593-7
18. Günther A, Mosavi P, Heinemann S, Ruppert C, Muth H, Markart P. Alveolar fibrin
formation caused by enhanced procoagulant and depressed fibrinolytic PKacities in
severe pneumonia. Am J Respir Crit Care Med. 2000;161:454-62.
19. Akpinar EE, Hosgun D, Doganay B, Gulhan M. The role of albumin level and blood
urea nitrogen / albumin ratio in prediction of prognosis of community-acquired
pneumonia. Pulmonary and Respiratory Medicine. 2013; 3(5) :159
20. Lee JH, Kim J, Kim K, Jo YH, Rhee J, Kim TY et al. Albumin and C-Reactive Protein
have prognostic significance in patients with community-acquired pneumonia. Journal
of critical care. 2011; 26: 287-294
21. Viasus D, Vidal CG, Simonetti A, Manresa F, Dorca J, Gudiol F et al. Prognostic value
of serum albumin levels in hospitalized adults with community-acquired pneumonia.
Journal of infection. 2013; 66: 415-423.
22. Travlos A, Bakakos A, Vlachos KF, Rovina N, Koulouris N, Bakakos P. C-Reactive
protein as a predictor of survival and length of hospital stay in community-acquired
pneumonia. J Pers Med.2022;12:1-8
23. Lhopitallier L, Kronenberg A, Meuwly JY, Locatelli I, Mueller Y, Senn N, et al.
Procalcitonin and lung ultrasounography point-of-care testing to determine antibiotic
prescription in patients with lower respiratory tract infection in primary
care:pragmatic cluster randomised trail. BMJ.2021;374:1-9.
24. Bruns AHW, Oosterheert JJ, Hak E, Hoepelman AIM. Usefulness of consecutive C-
reactive protein measurements in follow-up of severe community acquired pneumonia.
Eur Respir. 2008;32:726-32
25. Chalmers JD, Singanayagam A, Hill AT. C-reactive protein is an independent
predictor of severity in community acquired pneumonia. The American Journal of
Medicine 2008;121(8).:119-225
42

26. Uematsu H, Yamashita K, Kunisawa S, Imanaka Y. Prediction model for prologed


length of stay in patients with community acquired pneumonia based on Japanese
administrative data. Respiratory investigation.2020
27. Garau J, Baquero F, Perez-Trallero E, Perez JL, Martin-Sanchez AM, Garcia-Rey C, et
al. Factor impacting on length of stay and mortality of community acquired
pneumonia. Clin Microbiol Infect.2008;14(4):322-9.
28. Azmi S, Aljunid SM, Maimaiti N, Ali AA, Nur AM, Rosas-Valera MD, et al. Assesing
the burden of pneumonia using administrative data from Malaysia, Indonesia and th
Philippines. Int Journal of Infection Diseases.2016:87-93
29. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2021. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia tentang Pedoman Penggunaan Antibiotik. Jakarta
30. Ramirez JA, Wiemken TL, Peyrani P, Arnold FW, Kelley R, Mattingly WA, et al.
Adults hospitalized with pneumonia in the United States: incidence, epidemiology, and
mortality. Clin Infect Dis. 2017;65(11):1806
31. Johansson N, Kalin M, Tiveljung-Lindell A, Giske CG, Hedlund J. Etiology of
community-acquired pneumonia: increased microbiological yield with new diagnostic
methods. Clin Infect Dis. 2010;50(2):202.
32. Dickson RP, Erb-Downward JR, Martinez FJ, Huffnagle GB . The microbiome and the
respiratory tract. Annu Rev Physiol. 2016;78:481
33. .Javier H. Ticona, Victoria M. Zaccone, Isabel M. McFarlane. Community-acquired
pneumonia: a focused review. Am J Med Case Rep. 2021 ; 9(1): 45–52
34. Moore M, Stuart B, Little P, Smith S, Thompson MJ, Knox K, et al. Predictors of
pneumonia in lower respiratory tract infections: 3C prospective cough complication
cohort study. Eur Respir J. 2017;50(5)
35. Armitage K, Woodhead M. New guidelines for the management of adult community-
acquired pneumonia. Current Opinion In Infection Diseases. 2007; 20: 170-170
36. Mandell LA, Wunderik RG, Arzueto A, Bartlett JG, Campbell GD, Dean NC, et.al.
Infectious Diseases Society of America/ American Thoracic Society Consensus
Guidelines on the management of community acquired pneumonia in adults. CID. 2007;
44: 27- 72
37. Singanayagam A, Chalmers JD, Hill AT. Severity assesment in community-acquired
pneumonia: a review. QJ med. 2009; 102: 379-88.
38. Shah BA, Ahmed W, Dhobi GN, Shah NN, Khursheed SQ. Validity of pneumonia
severity index and CURB-65 severity scoring systems in community-acquired
pneumonia in an Indian setting. The Indian Journal of Chest Diseases & Allied
Sciences 2010;52: 9-17
39. Bont J, Hak E, Hoes AW, Macfarlane JT, Varheiji TJM. Predicitng death in elderly
patients with community-acquired pneumonia: a prospective validation study re-
evaluating the CRB-65 severity assessment tool.Arch Intern Med 2008;168:1465-68
40. Ranzani OT, Zampieri FG, Forte DN, Azevado LCS, Park M. C-Reactive
protein/albumin ratio predict 90-day mortality of septic patients. Plos one .2013;8:3.
41. Liapikou A, Ferrer M, Polverino E, Balasso V, Esperatti M, Piñer R, et al. Severe
community-acquired pneumonia: validation of the Infectious Diseases Society of
America/American Thoracic Society guidelines to predict an intensive care unit
admission. Clin Infect Dis. 2009;48(4):377
42. Berim I, Sethi S. Community-acquired pneumonia. In: Spiro SG, Silvestri GA, Agusti
A, editors. Clinical respiratory medicine. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012.p.296-
308
43

43. Bauer TT, Welte T, Ernen C, Schlosser BM, Thate-Waschke I, de Zeeuw J, et al. Cost
analyses of community-acquired pneumonia from the hospital perspective. Chest.
2005;128(4):2238-46
44. van der Eerden MM, Vlaspolder F, de Graaff CS, Groot T, Bronsveld W, Jansen HM,
et al. Comparison between pathogen directed antibiotic treatment and empirical
broad spectrum antibiotic treatment in patients with community-acquired pneumonia:
a prospective randomised study. Thorax. 2005;60(8):672-8
45. Metlay JP, Waterer GW, Long AC, Anzueto A, Brozek J, Crothers K, et al. Diagnosis
and treatment of adults with community-acquired pneumonia: an official clinical
practice guideline of the American Thoracic Society and Infection Diseases Society of
America. American Journal of Resp and Critical Care Med.2019;200(7).
46. Tsao YT, Tsai YH, Liao WT, Shen CJ, Shen CF, Cheng CM. Diffreential markers of
bacterial and viral infection in children for point-of-care testing. Trend in molecular
medicine. 2020(12;26(12):1118-32
47. Christ-Crain M, Muller B. Procalcitonin in bacterial infections-hype,hope,more or less.
Swiss Med Wkly.2005;135(31-32):451-60
48. Gilbert DN. Procalcitonin as a biomarker in respiratory tract infection.
CID.2011;52(4).346-50
49. Schleicher GK, Herbert V, Brink A, Martin S, Maraj R, Galpin JS, et al. Procalcitonin
and C-reactive protein levels in HIV-positive subjects with tuberculosis and pneumonia.
Eur Respir J 2005.25:688-92.
50. Gibert DN. Role of procalcitonin in the management of infected patients in the
Intensive Care Unit. Infect Dis Clin N Am. 2017;31;435-53
51. Meisner M. Update on procalcitonin measurements. Ann lab med. 2014;24:263-73
52. Schuetz P, Christ-Crain M, Thomann R, Falconnier C, Wolbers M, Widmer I, et al.
Effect of procalcitonin-based guidelines vs standard guidelines on antibiotic use in
lower respiratory tract infections. JAMA. 2009;302(10):1059-66.
53. Wu Y, Potempa LA, Kebir DE, Filep JG. C-reactive protein and
inflammation:conformational changes affect function. Ciological Chemistry Journal.
2015;2.
54. Nemeth E, Valore EV, Territo M, Schiller G, Lichtenstein A, Ganz T. Hepcidin, a
putative mediator of anemia of inflammation, is a type II acute-phase protein. Blood.
2003;101:2461-3
55. Sproston NR, Ashworth JJ. Role of C-reactive protein at sites of inflammation and
infection. Front Immunol. 2018;9:754
56. Marnell L, Mold C, Du Closs TW. C-reactive protein: ligands, receptors and role in
inflammation. Clin Immunology.2005;117:104-11
57. Kapur R, Heitink-Polle KMJ, Porcelijn L, Bentlage AEH, Bruin MCA, Visser R, et al.
C-reactive protein enhances IgG-mediated phagocyte responses and thrombocytopenia.
Blood. 2005;125(11).
58. Farah R, Khamisy-Farah R, Makhoul N. Consecutive measures of CRP correlate with
length of hospital stay in patients with community acquired pneumonia.
IMAJ.2018(6):345-8
59. Ranganath VK, Elashoff DA, Khanna D, Park G, peter JB, Paulus HE. Age adjustment
corrects for apparent differences in erythrocyte sedimentation rate and C-reactive
protein values at the onset of seropositive rheumatoid arthritis in younger and older
patients. J Rheumatol.2005;32:1040-2
60. Kushner I, Antonelli MJ. What should we regard as an “elevated” C-Reactive protein
level?. Ann Intern Med. 2015;163(4):326
61. Antonelli M, Kushner I. It's time to redefine inflammation. FASEB J. 2017;31(5):1787
44

62. Krüger S, Ewig S, Papassotiriou J, Kunde J, Marre R, von Baum H, et al.


Inflammatory parameters predict etiologic patterns but do not allow for individual
prediction of etiology in patients with community-acquired pneumonia: results from
the German competence network PKNETZ. Respir Res. 2009;10:65.
63. Gaitonde S, Samols D, Kushner I . C-reactive protein and systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum. 2008;59(12):1814
64. Chovatiya R, Medzhitov R. Stress, inflammation, and defense of homeostasis. Mol
Cell. 2014;54(2):281.
65. Reinhart K, Bauer M, Riedemann NC, Hartog CS. New approaches to sepesis:
molecular diagnostics and biomarkers. Clin Microbiol Rev. 2012;25(4):609-34
66. Ploppa A, Schmidt V, Hientz A, Reutershan J, Haeberle HA, Nohe B. Mechanisms of
leucocyte distribution during sepsis: an experimental study on the interdependence of
cell activation, shear stress and endothelial injury. Critical Care. 2010;10.
67. Faix JD. Biomarker of sepsis. Crit Rev Clin Lab. 2013;50(1):23-36
68. Johansson N, Kalin M, Tiveljung-Lindell A. Etiology of community-acquired
pneumonia: increased microbiological yield with new diagnostic methods. Clin Infect
Dis 2010; 50:202–9
69. Green JP, Berger T, Garg N, Shapiro NI. Serum lactate is a better predictor of short-
term mortality when stratified by C-reactive protein in adult emergency department
patients hospitalized for a suspected infection. Annals of emergency medicine.
2011;57(3):291-
70. Evans L, Rhodes A, Alhazani W, Antonelli M, Coopersmith CM, French C, et al.
Surviving sepsis campaign: international guidelines for management of sepsis and
septic shock. 2021. Crit Care Med 2021; 11(49).
71. Talasniemi JP, Pennanen S, Savolainen H, Niskanen L, Liesivuori J. Analytical
investigation: assay of D-lactate in diabetic plasma and urine. Clin Biochem. 2008;
41:1099–103
72. Jansen TC, Van Bommel J, Bakker J. Blood lactate monitoring in critically ill patients:
a systematic health technology assessment. Crit Care Med.2009;37:2827–39
73. Martin GS. Sepsis, severe sepsis and septic shock: changes in incidence, pathogens and
outcomes. Expert Rev Anti Infect Ther 2012;10(6):701–6
74. Johnson ED, Schell JC, Rodgers GM. The D-dimer assay. Am J Hematol.
2019;94(7):833–839
75. Lelubre C, Vincent JL. Mechanisms and treatment of organ failure in sepsis. Nat Rev
Nephrol. 2018;14(7):417–427
76. Innocenti F, Lazzari C, Ricci F, Paolucci E, Agishev I, Pini R. D-dimer etst in the
emergency Department: current insights. Open Access Emergency Medicine.
2021;13:465-79.
77. Patel P, Walborn A, Rondina M, Fareed J, Hoppensteadt D. Markers of inflammation
and infection in sepsis and disseminated intravascular coagulation. Clin Appl Thromb
Hemost. 2019;25:1076
78. Seymour CW, Liu VX, Iwashyna TJ. Assessment of clinical criteria for sepsis: for the
third international consensus definitions for sepsis and septic shock (Sepsis-3). JAMA.
2016;315(8):762–774
79. Innocenti F, Gori AM, Giusti B. Prognostic value of sepsis-induced coagulation
abnormalities: an early assessment in the emergency department. Intern Emerg Med.
2019;14(3):459–466.
80. Rodelo JR, De la Rosa G, Valencia ML. D-dimer is a significant prognostic factor in
patients with suspected infection and sepsis. Am J Emerg Med. 2012;30(9):1991–1999
45

81. Agapakis DI, Tsantilas D, Psarris P, Massa EV, Kotsaftis P, Tziomalos K, et al.
Coagulation and inflammation biomarkers may help predict the severity of community-
acquired pneumonia. Respirology (Carlton, Vic). 2010; 15(5):796–803
82. Guneysel O, Pirmit S, Karakurt S. Plasma D-dimer levels increase with the severity of
community-acquired pneumonia. Tuberkuloz ve Toraks Dergisi. 2004;52:341-7
83. Ribelles JMQ, Tenias JM, Grau E, Borras JMQ, Climent JR, Gomez E, et al. Plasma D-
dimer levels correlate with outcomes in patients with community-acquired pneumonia.
Chest 2004;124:1087- 92
84. Levitt DG, Levitt MD. Human serum albumin homeostasis: a new look at the roles of
synthesis, catabolism, renal and gastrointestinal excretion, and the clinical value of
serum albumin measurements. Int J Gen Med. 2016;9:229
85. Ugajin M, Yamaki K, Iwamura N, Yagi T, Asano T. Blood urea nitrogen to serum
albumin ratio independently predicts mortality and severity of community acquired
pneumonia. International Journal of General Medicine. 2012;5:583-589.
86. Hedlund JU, Hansson LO, Ortqvist AB. Hypoalbuminaemia in hospitalized patients
with community-acquired pneumonia. Arch Intern Med 1995;155:1438-4
87. Gilbert K, Fine MJ. Assessing prognosis and predicting patient outcomes in
community-acquired pneumonia. Semin Respir Infect 2014; 9: 140–152
88. Mortensen EM, Restrepo M, Anzueto A, Pugh J. Effects of guideline-concordant
antimicrobial therapy on mortality among patients with community-acquired
pneumonia. Am J Med 2004; 117: 726–731
89. Feldman C. Prognostic scoring systems: which one is best?. Curr Opin Infect Dis
2007; 20: 165–169.
90. Widmer I, Christ-Crain M, Zimmerli W, Albrich W, Mueller B, Schueltz P.
Predictors for length of hospital stay in patients with community-acquired
Pneumonia: results from a Swiss multicenter study. BMC Pulmonology Med.
2012;12(12).
91. Menendez R. Duration of length of stay in pneumonia: influence of clinical factors and
hospital type. Eur Respi Journal.2003(11)
92. McCormick D, Fine MJ, Coley CM. Variation in length of hospital stay in patients
with community-acquired pneumonia: are shorter stays associated with worse
medical outcomes?. Am J Med 2009; 107: 5–12
93. de Roux A, Cavalcanti M, Angeles MM. Impact of alcohol abuse in the etiology and
severity of community-acquired pneumonia. Chest 2006; 129: 1219–1225
94. Nseir W, Farah R, Mograbi J, Makhoul. Impact of serum C-reactive protein
measurements in the first 2 days on the 30-day mortality in hospitalized patients with
severe community-acquired pneumonia: a cohort study. J Crit Care.2013;28(3):291-5
95. Saldias F, Salinas G, Farcas K, Reyes A, Diaz O. Immunocompetent adults
hospitalized for a community acquired pneumonia: Serum c-reactive protein as a
prognostic marker. Rev Med Chil.2019;147(8):983-92
96. Seda BS, Tugba N. Relationship between lactate level and length of hospital stay in
patients with a COPD exacerbation. J Cli Med Kaz.2020;3(57):19-23
97. Bahlis LF, Diogo LP, Fuchs SC. Charlson comorbidity index and other predictors of
in-hospital mortality among adults with community acquired pneumonia. J Bras
pneumol.2021;47(1).
98. Badan Pusat Statistik Jakarta Pusat , 2022. Statistik Indonesia Tahun 2022. Jakarta
Pusat : Badan Pusat Statistik
99. Cillóniz C, Rodríguez-Hurtado D, Torres A. Characteristics and Management of
Community-Acquired Pneumonia in the Era of Global Aging. Med Sci. 2018;6:35.
46

100. Corica B, Tartaglia F, D’Amico T, Romiti GF, Cangemi R. Sex and gender differences
in community-acquired pneumonia. Intern Emerg Med. 2022;17:1575–88.
101. Ramirez JA, Wiemken TL, Peyrani P, Arnold FW, Kelley R, Mattingly WA, et al.
Adults Hospitalized With Pneumonia in the United States: Incidence, Epidemiology,
and Mortality. Clin Infect Dis. 2017;65:1806–12.
102. Thomsen RW, Hundborg HH, Lervang HH, Johnsen SP, Schonheyder HC, Sorensen
HT. Diabetes mellitus as a risk and prognostic factor for community-acquired
bacteremia due to enterobacteria: a 10-Year, population-based study among adults.
Clin Infect Dis. 2005;40:628–31.
103. Covington EW, Roberts MZ, Dong J. Procalcitonin monitoring as a guide for
antimicrobial therapy: a review of current literature. Pharmacother J Hum Pharmacol
Drug Ther. 2018;38:569–81
104. Nehring SM, Goyal A, Patel BC. C Reactive protein. In: StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 [cited 2023 Oct 3]. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441843/
105. Bruns AHW, Oosterheert JJ, Hak E, Hoepelman AIM. Usefulness of consecutive C-
reactive protein measurements in follow-up of severe community-acquired pneumonia.
Eur Respir J. 2008;32:726–32.
106. Ota K, Ilda R, Sakaue M, Taniguchi K, Tomioka M, Nitta M, et al. An atypical case of
atypical pneumonia. J Gen Fam Med.2018;19:133-5.
107. Giorgia LC, Maria B, Andrea R, Stephanie G, Anne B, Philipp S, et al. Predictors of
length of stay, rehospitalization and mortality in Community-Acquired Pneumonia
patients: A retrospective cohort study. J Clin.Med.2023;12:1-15.
108. Snijders D, Schoorl M, Schoorl M, Bartels PC, Van Der Werf TS, Boersma WG. D-
dimer levels in assessing severity and clinical outcome in patients with community-
acquired pneumonia. A secondary analysis of a randomised clinical trial. European
Journal of Internal Medicine. 2012;23:436–41.
109. Agapakis DI, Tsantilas D, Psarris P, Massa EV, Kotsaftis P, Tziomalos K, et al.
Coagulation and inflammation biomarkers may help predict the severity of community-
acquired pneumonia: biomarkers in severe pneumonia. Respirology. 2010;15:796–803.
110. Suetrong B, Walley KR. Lactic acidosis in sepsis: it’s not all anaerobic. Chest.
2016;149:252–61.
111. Chen YX, Wang JY, Guo SB. Use of CRB-65 and quick sepsis-related organ failure
assessment to predict site of care and mortality in pneumonia patients in the emergency
department: a retrospective study. Crit Care. 2016;20:167.
112. Frenzen FS, Kutschan U, Meiswinkel N, Schulte-Hubbert B, Ewig S, Kolditz M.
Admission lactate predicts poor prognosis independently of the CRB/CURB-65 scores
in community-acquired pneumonia. Clin Microbiol Infect. 2018;24:306.e1-306.e6.
113. Moman RN, Gupta N, Varacallo M. Physiology, Albumin. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 [cited 2023 Oct 3]. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459198/
114. Soeters PB, Wolfe RR, Shenkin A. Hypoalbuminemia: pathogenesis and clinical
significance. JPEN J Parenter Enteral Nutr. 2019;43:181.
115. Akirov A, Masri-Iraqi H, Atamna A, Shimon I. Low albumin levels are associated with
mortality risk in hospitalized patients. Am J Med. 2017;130:1465.e11-1465.e19.
47

Anda mungkin juga menyukai