Pada banyak sekali pertemuan untuk membicarakan penanggulangan
atau pengentasan kemiskinan, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah
maupun organisasi/lembaga nonpemerintah dan swasta, perempuan hanya
menjadi pelengkap. Jika pertemuan tersebut dilaksanakan di desa ataudalam
skala kecil, maka wakil dari perempuan adalah perempuan yang merupakan
tokoh atau elit di dalam masyarakat, sedangkan perempuan yang lainnya
hanyalahmengurusikonsumsi untuk pe rtemuantersebut.
Itu hanyalah satu contoh mengenai pengabaian perempuan dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Betapapun pembicaraan mengenal
kemiskinan adalah pembicaraan mengenai perempuan, namun perempuan
diabaikan dalam pembicaraan tersebut. Masih banyak lagi pengabaian
terhadapkebutuhan dan kepentinganperempuan.
Pengabaian terhadap eksistens! perempuan dalam kehidupan sosialdan
bernegara, bukanlah sesuatu yang turun dari langit. Banyak faktor yang.
membentuk dan ikut memengaruhi terbentuknya sistem budaya, sosial,
hingga sistem bernegara yang mengabaikan perempuan atau menempatkan
perempuan sebagai manusia kelas dua.
Dalam sistem budaya dan sosial sebagian besar masyarakat Indonesia,
perempuan dipersepsikan dan ditempatkan semata-mata berfungsi
reproduktif. Karena berfungsi reproduktif, perempuan dianggap hanya bisa
berada di rumah untuk melanjutkan keturunan dengan melahirkan dan
mengasuh anak-anak yang dilahirkan. Celakanya, perempuan yang berada di
rumah juga harus mengerjakan semua pekerjaan rumah yang dianggap dan
dikategorikan sebagai pekerjaan domestik, dan hanya bisa dibebankan atau
dilakukan oleh perempuan.
Fungsi reproduksi pada perempuan dalam hal melahirkan dan menyusui
anak adalah sesuatu yang alamiah atau kodrati. Namun, fungsi reproduksi
yang alamiah tersebut dihubungkan dengan pekerjaan-pekerjaan di dalam
rumah yang dikategorikan sebagai pekerjaan domestik. Jadilah pekerjaan
domestik di dalam rumah dianggap sebagai pekerjaan perempuan yang sama
dengan fungsireproduksi dan dianggap sebagai kewajiban perempuan.
‘Sebagaipekerjaan domestik dan dianggap sebagai pekerjaanperempuan
yang melekat secara alamiah, maka ketika pekerjaan tersebut telah meningkat
menjadi pekerjaan yang bernilai ekonomi pun masih dianggap sebagai bukan
pekerjaan, dan mereka yang bekerja pun tidak disebut pekerja. Bahasa yang
digunakan untuk mereka yang bekerja di rumah tangga dan mengerjakan
pekerjaan rumah, pundisebut sebagai “pembantu” (pembantu rumah tangga,
PRT) bukan “pekerja” (pekerja rumah tangga). Padahal pekerja rumah tangga
Perempuan, Masyarakat Patriarki & Kesetaraan Gender | 3mengerjakan semua pekerjaan di rumah, yang tergolong pekerjaan berat,
bekerja dalam waktu yang panjang, bahkan tidak terbatas, dan bukan
membantu sebagaimana kata tersebut dipahami, PRT mengerjakan semua
pekerjaandidalam rumahmenggantikan Ibu rumah tangga atau perempuandi
dalamrumahtersebut.
Perempuan juga dipersepsikan sebagai manusia yang memiliki
kelemahan, keterbatasan, selalu menggunakan perasaan, dan tidak logis.
Karenanya perempuan dianggap tidak layak bekerja di sektor publik yang
“keras", kompetitif, dan rasional. Perempuan yang bekerja di publik,
membangun karir, dan berkompetis| dengan laki-laki dianggap menyalahi
kodrat.
Sementara itu, laki-laki dipersepsikan dan ditempatkan berfungsi
produktif, sebagai pencari nafkah di ruang publik. Sebagai pencari' nafkah, laki-
laki dianggap bertanggungjawab penuh terhadap keberlangsungan rumah
tangga. Karena itu, laki-laki juga bertanggung jawab sebagai kepala rumah
tangga.
Sebagai pencari nafkah dan kepala rumah tangga, laki-laki menya indang.
status sebagai bapak di dalam keluarga, yang juga ditempatkan sebagai
penguasa di dalam keluarga. Komunikasi dan hubungan: di dalam keluarga
adalah hubungan kekuasaan, di mana bapak menjadi penguasa, yang tidak
hanya menguasai keluarga, tetapi juga membentuk keluarga dalamkekuasaan
laki-taki dan menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua di dalam
keluarga.
Karena itu, sistem hidup dan budaya di dalam keluarga juga membentuk
pola kekuasaan di mana bapak adalah penguasanya. Budaya yang populer
sebagai budaya patriarki ini tidak hanya berhenti di dalam keluarga atau
rumah, tetapi juga menjadi budaya masyarakat dan budaya bernegara. Karena
itu, semua permasalahan yang dialami oleh perempuan dianggap telah selesai
diwakili oleh bapak, oleh suami, atauoleh laki-laki.
Budaya dan ideologi patriarki tersosialisasi di dalam masyarakat karena
mendapat legitimasi dari berbagai aspek kehidupan, baik agama dan
kepercayaan, maupun bernegara. Karena itu, sekalipun dalam sejarah, banyak
sekali perempuan yang mempunyai posisi penting di dalam masyarakat dan
negara, tidakselalu mendapat apresiasi mengenai perandan kemampuannya.
Kondisi tersebut tidak hanya menutup partisipasi perempuan di ruang
publik, tetapi juga menyebabkan diskriminasi terhadap perempuan.
Diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dan gender memunculkan sederet
& | Perempuan, Masyarakat Patriarkilt Kesetarasn Gender