Prolog | xi
Mengapa hanya tiga petugas yang berhasil selamat? Salah satu se-
babnya, bisa jadi, adalah kekuatan fisik. Dua orang yang selamat—se-
lain Dodge—berhasil mengalahkan api dan tiba di atas ngarai. Namun,
Dodge sendiri berhasil bertahan hidup karena kekuatan mentainya.
Setiap kali kita diminta menyebutkan faktor-faktor di balik kekuatan
mental, faktor pertama yang cenderung kita sebutkan adalah inteli-
gensi, Semakin cerdas seseorang, semakin rumit masalah yang mam-
pu dia pecahkan, semakin cepat pula dia memecahkannya. Secara
tradisional, inteligensi diartikan sebagai kemampuan berpikir dan bel-
ajar. Namun, di tengah dunia yang serba tidak pasti, terdapat satu pe-
rangkat kemampuan kognitif lain yang boleh jadi lebih penting lagi:
kemampuan untuk berpikir ulang dan melepaskan kebiasaan lama.
(Coba bayangkan, Anda baru saja selesai mengerjakan tes dengan
model soal pilihan ganda, dan Anda meragukan salah satu jawaban
yang sudah Anda pilin sebelumnya. Masih ada waktu—apakah Anda
seharusnya bertahan dengan jawaban pertama, atau mengubah ja-
waban itu?
Sekitar tiga perempat murid percaya bahwa mengoreksi jawaban
tes akan merugikan nilai mereka. Kaplan, perusahaan persiapan ujian
akademis terbesar, pernah memberikan peringatan yang berbunyi
“Jika Anda memutuskan mengubah jawaban, lakukanlah dengan
sangat berhati-hati, Pengalaman menunjukkan bahwa sebagian besar
murid yang mengoreksi jawaban tesnya justru beralih ke jawaban
yang keliru.””
Tanpa bermaksud mengecilkan nilai pengalaman yang berharga,
saya sendiri lebih memilih merujuk kepada data yang valid. Terdapat
tiga orang psikolog yang melakukan kajian komprehensif terhadap
tiga puluh tiga studi tentang jawaban tes. Kajian mereka menemukan
bahwa setiap studi menyatakan sebagian besar koreksi jawaban tesxii | THINK AGAIN
justru menghasilkan jawaban yang benar. Fenomena ini dikenal seba-
gai kesalahan naluri pertama (first-instinct fallacy).
Dalam suatu demonstrasi penelitian, tim psikolog menghitung be-
kas jawaban yang dihapus pada lembar ujian lebih dari 1.500 murid di
Illinois. Nyatanya, hanya seperempat dari koreks! itu yang beralih dari
jawaban benar ke jawaban salah. Separuhnya adalah jawaban salah
yang kemudian menjadi benar. Saya pun menyaksikan hal yang sama
di kelas yang saya ajar tahun demi tahun: kertas-kertas ujian akhir
para mahasiswa saya, secara mengejutkan, hanya memiliki sedikit
sekali bekas koreksi. Namun, mereka yang menimbang ulang jawaban
pertamanya dan menolak terikat pada jawaban itu berhasil meraih
nilai yang lebih baik.
Tentu saja, sangat mungkin bahwa jawaban yang kedua bukan ja-
waban yang serta-merta lebih baik. Jawaban itu menjadi lebih baik
karena para murid umumnya begitu enggan menganulir jawaban,
sehingga perubahan baru dilakukan hanya jika mereka cukup yakin.
Akan tetapi, beberapa penelitian baru menawarkan penjelasan ber-
beda: yang berpotensi membuat nilai murid lebih baik bukan tindakan
mengubah jawaban itu sendiri, melainkan kemauan mempertimbang-
kan bahwa jawaban kita mungkin perlu diubah.
Keengganan untuk berubah tidak terbatas pada perkara tes akade-
mis. Kita pada dasarnya enggan jika harus berpikir ulang. Mari tengok
suatu eksperimen yang melibatkan ratusan mahasiswa. Secara acak,
mereka diberi tugas untuk mempelajari konsep bernama “kesalahan
naluri pertama” (first instinct fallacy). Sebelum mendapat tugas,
para mahasiswa diajari oleh seorang pembicara tentang manfaat
mengubah pikiran. Pembicara itu juga memberikan saran mengenai
kapan mereka sebalknya mempertimbangkan untuk berpikir ulang.
Namun, dua ujian berikutnya menunjukkan tingkat kemungkinan para
mahasiswa mengoreksi jawaban tetap rendah.
Salah satu sebabnya adalah kemalasan kognitif. Beberapa psikolog
menyebutkan bahwa secara mental, manusia gemar “menimbun”: