Anda di halaman 1dari 15

Setan Murat

Cerpen Ayu Utami

T
AK lama setelah tiba di kota itu, ia mendengar tentang
Setan Murat. Ia baru tamat SMA, berniat cari kerja, dan
numpang di kota kerabatnya. Pada satu malam Jumat
para penghuni pondokan itu bercerita tentang Setan
Murat. Jika kau lapar di tengah malam, lalu kau mendengar di
ujung lapangan ada gaung kentongan tukang bakso, berhati-
hatilah. Jangan terkecoh nafsu makanmu.
Pernah terjadi pada seseorang di antara penghuni rumah kos
sebelum kita. Ia sedang mengerjakan tugas kuliah dan terjangkit
lapar selewat jam nol. Seolah menjawab jerit perutnya, terdengar
toktok di kejauhan, dari seberang lapangan, dan ia mencium kuah
bakso. Liurnya terbit, seolah lidahnya telah menjilat mangkok
kaldu panas lumeran gajih. Ia melongok dan melihat seorang
tukang bakso mangkal di kejauhan lahan terbuka. Tak mau
mengganggu orang-orang yang tidur, ia tidak berteriak
memanggil.
Ia mendatangi gerobak dan bertanya pada tukangnya yang
memakai topi jerami, bakso apa saja yang tersedia, sambil
membayangkan bola-bola daging berisi sumsum, urat, ataupun
telur. Lelaki itu tidak menjawab. Sambil tetap menunduk sehingga
wajahnya tertutup topi jerami, si tukang bakso membuka sungkup
kuali dan mengaduk. Samar-samar, di singkap kepulan uap seperti
kawah, ia merasa melihat mata, mulut, hidung, timbul-tenggelam
dalam kuah.
Ia menetap jeri pada si tukang bakso. Saat itulah orang itu
mengangkat wajahnya dan memperlihatkan mukanya yang rata.
Tanpa mata,
mulut, maupun
hidung....
“Setan Murat.
Itu adalah
singkatan dari
Muka Rata.”
“Itu bukan
setan, tetapi
hantu,” kata tokoh
kita menanggapi
cerita.
“Apa
bedanya!”
“Setan adalah yang menghuni neraka. Hantu itu ada di dunia,
menakut-nakuti kita. Setan tidak menakut-nakuti kita, tetapi
menggoda agar kelak kita masuk neraka. Apa yang terjadi dengan
anak yang melihat setan-hantu itu?”
“Ia pingsan. Ketika bangun ia jadi gila.”
“Bagaimana dia bisa cerita kalau dia gila?”
“Ya begitulah cerita yang kita dengar dari orang gila.”

T
AK berapa lama berselang, krisis ekonomi melanda negeri
itu. Semua penghuni koskosan kehilangan pekerjaan.
Induk semang terjerat utang. Rumah yang ternyata
digadaikan itu diambil alih bank dan semua pemondoknya diusir.
Termasuk tokoh kita. Sepupunya pindah ke ujung negeri, untuk
mata pencaharian baru. Tokoh kita bertahan di kota itu, menetap
di sudut kumuh yang tak jauh. Bersama Mat Bakso.
Ia telah menjadi akrab dengan si tukang bakso sejak ia
langganan jajan di gerobak yang mangkal di ujung jalan di
belakang tangsi militer, sebelum krisis terjadi.
Lelaki itu sebaya ayahnya dan belum lama kehilangan putra
tunggal oleh suatu sebab yang tak jelas. Anaknya hilang. Mungkin
pergi, mungkin bunuh diri, sebuah rahasia keluarga—di zaman ini
banyak anak muda bunuh diri karena tak bisa bayar uang sekolah
dan ditolak kekasih hati. Tukang bakso dan tokoh kita saling
menemukan pengganti ayah dan anak.
Ia ikut dengan Mat Bakso. Sebagai asisten. Tugasnya
mengambil bahan-bahan dari pemasok langganan dan
menggerusnya. Bawang putih, bawang bombay, lada, garam, telur,
dan yang terutama adalah daging.
“Tapi harga daging sapi asli sekarang mahal sekali, Nak,” kata
ayah angkatnya. “Kita terpaksa mencampur dengan daging KW.”
Barangkali perlu dijelaskan bagi pembaca yang naif: itu adalah
daging “kwalitas” rendah.
Pergilah ia ke jagal langganan, yang kini memberinya paket
murah. Sambil mengedipkan mata, orang itu mengeluarkan suara
grok dari dalam rongga hidungnya. Bunyi hewani itu membuat
tengkuknya meremang seperti kuduk celeng. Ada sedikit rasa najis
ketika ia menenteng buntalan itu pulang. Ia ingin bertanya, tapi
bukankah jawaban tak akan mengubah hidupnya? Ia cacah daging
paha merah itu seperti biasa. Tapi tak seperti biasa, setelah selesai
ia mencuci tangannya tujuh kali. Lalu ayah angkatnya mengadon
cincangan itu dengan bumbu-bumbu, mengaliskannya dengan
kanji, menjadikannya bola-bola besar dan kecil. Ada yang berisi
sumsum, ada yang telur. Di antara itu terdengar suara grok rongga
hidung.
Kali berikut mengambil daging, ia mendapat paket lembar-
lembar yang lebih tipis. Ketika hendak melirik curiga, ia seperti
mendengar suara menggeram dasar leher. Itu membuatnya
mundur selangkah. Ia ingin bertanya, tapi akankah jawaban
mengubah hidupnya? Sesekali ayah angkatnya terciprat kuah
panas saat memasak. Tapi, kali itu ia merasa mendengar suara
terkaing. Tengah malam itu ia mendengar lolong anjing di dalam
rumah.
Hari-hari berikutnya ia mendapat paket yang berbeda-beda.
Potongan-potongan yang kecil setipis ikan asin. Yang warnanya
kehitaman dan berbau busuk. Daging cincang seperti sisa
makanan. Ia dihantui suara tikus, kucing, kelelawar. Ia digerayangi
mulut ikan sapu-sapu dan bermimpi tentang bocah gendut yang
memuntahkan daging cincang saking kekenyangan. Ia ingin
bertanya tapi apakah jawaban mengubah nasib?
Gerobak ayah angkatnya yang mangkal di belakang tangsi tak
kehilangan pelanggan. Orang-orang percaya bahwa masakan Mat
Bakso tak turun mutu meski harga daging melonjak. Jaminannya,
Bapak Komandan dari kompleks militer serta keluarganya terus
menjadi pembeli tetap. Mana berani orang kecil menipu Pak
Komandan! Bisa-bisa pistol meledakkan kepalanya. Tapi,
sesungguhnya tukang bakso itu telah mengatur kualitas daging.
Untuk Pak Komandan dan relasinya diberinya KW super. Untuk
para perwira KW 1. Untuk para bintara KW 2. Para tamtama KW
3. Dan untuk pembeli umum, ah... sungguh tergantung pasokan
daging yang ada.
Pelanggan bertambah banyak. Keduanya kini mendirikan kios
semi permanen. Dengan tenda biru, meja-meja kayu bertaplak
plastik, dan televisi 12 inci untuk menonton bola. Jika tak ada
pertandingan, orang menonton sinetron dan berita. Suatu hari
tokoh kita melihat di televisi, Menteri Urusan Kedagingan
ditangkap karena korupsi daging sapi. Ia menggosok-gosok
matanya, sebab Pak Menteri itu sungguh mirip dengan pemasok
yang dari tenggorokannya terdengar suara geram dan grok. Sosok
tambun dengan rambut-rambut hitam di kepala, dagu, dan
barangkali di kuduknya. Lelaki itu menunjuk ke atas sambil
berkata demi Allah. Jari-jarinya begitu gemuk, tak seperti milik
manusia lagi: dua jari di depan, dua di telapak, mirip celeng....
T
ANGSI itu tampak seperti benteng. Warnanya hijau kelabu.
Gerbang-gerbangnya dijaga serdadu. Jika matahari
terbenam, warnanya jadi semu belerang. Menara-
menaranya seperti tanduk hitam. Tokoh kita dan ayah angkatnya
suka memandang ke sana sambil ngobrol manakala kios sepi.
Konon di dalam benteng itu ada “sekolah” rahasia. Di sana “anak-
anak nakal” dikursuskan. Yaitu anak-anak yang melawan
pemerintah. Yang lulus pendidikan akan dapat pekerjaan. Tokoh
kita membayangkan senangnya jadi pegawai: di badan intelijen, di
partai politik, di organisasi massa. Yang tidak lulus akan dikirim ke
Sukabumi. “Ada apa di Sukabumi?” ia bertanya sebab pertanyaan
itu begitu sepele. Ia sekarang hanya bisa menanyakan perkara
remeh.
Tapi... barangkali terpaksa dijelaskan bagi pembaca yang naif
seperti tokoh kita. Tukang daging menyebut daging celeng, anjing,
kucing, dan tikus sebagai “daging sapi KW”. Pun militer menyebut
“di-Sukabumi-kan” untuk dikebumikan. Ya, Tuhan! Masa kau
masih tak faham juga bahwa dikebumikan itu sama dengan
dimakamkan? Apa yang dimakamkan, masa harus kuterangkan?
Jadi, anak-anak yang lulus “sekolah” dalam benteng itu
dikembalikan ke dunia, dan yang tidak lulus dikembalikan ke
bumi!
Si ayah angkat termenung, teringat anak kandungnya yang
hilang.
Pada saat itulah datang dua orang serdadu. Dari tanda
pangkatnya kita tahu bahwa mereka adalah tamtama—artinya,
yang selama ini mendapat bakso KW 3. Entah kenapa, kali ini cara
mereka membusungkan dada dan mengembangkan lengan
membuat ayah dan anak angkat itu menahan kencing.
“Kami tahu bahwa selama ini kamu memberi kami makan
bakso sapi palsu. Apakah kau hendak mengikuti nasib anakmu,
dikirim ke Sukabumi?”
Tak perlu diceritakan lagi bagaimana orang-orang kecil yang
bersalah itu buang air seketika.
Mereka mencoba membela diri, mengatakan bahwa semua ini
hanya ujung dari korupsi Pak Menteri Urusan Kedagingan.
Lagipula daging itu bukan palsu, melainkan KW. Tapi sia-sia.
Yang terjadi kemudian terlalu mengerikan untuk dikisahkan
dengan rinci. Dua serdadu itu membawa si ayah angkat ke dalam
benteng. Tiga hari kemudian, mereka kembali kepada si anak
angkat dengan pilihan sandi baru: “dikecualikan” atau “di-KW-
kan”. Semuanya berhubungan dari bunyi “kuali” atau “kwali”.
Dikecualikan artinya dikekualikan atau dikualikan. Di-KW-kan
artinya di-“kwalitas”-kan atau dibuat sebagai KW. Mereka
menepuk bahu si anak angkat dan menganjurkan ia meneruskan
bisnis itu. Benteng akan menjual daging KW jika pasokan sedang
tersedia seperti hari ini.
Seluruh tubuh si anak angkat gemetar. Tapi ia lakukan juga
semua yang mereka biasa lakukan. Menggerusnya bersama
bawang putih, bawang bombay, garam, merica; mengaliskannya
dengan kanji dan telur, membuat kaldu. Rasa mual pertama
memuntahkan hatinya ke dalam kuali. Tapi, separuh gemetar itu
hilang ketika ia kehilangan hatinya. Ia mengaduk. Lalu satu per
satu mata, hidung, dan mulutnya berjatuhan ke dalam kuali....

P
ADA satu malam Jumat para penghuni sebuah pondok
bercerita tentang Setan Murat. Jika kau lapar di tengah
malam, lalu kau mendengar di ujung lapangan ada gaung
kentongan tukang bakso, berhati-hatilah. Kau memang
membayangkan bola-bola daging berisi sumsum, urat, ataupun
telur, dalam kuah gajih. Tapi jangan terkecoh oleh lelaki yang
wajahnya tertutup topi jerami. Ia akan membuka sungkup kuali
dan mengaduk: mata, mulut, hidung, dan hatinya sendiri. Ketika
orang itu mengangkat wajahnya kau akan melihat mukanya yang
rata.
Setan Murat. Itu adalah singkatan dari Setan Muka Rata.
Setan. Bukan hantu.(*)

Selasa Kliwon-Kamis Pahing, 15-17 Juli 2014


Ayu Utami tinggal di Jakarta. Novelnya yang mutakhir adalah
Maya (2013).

(Dimuat di Koran Tempo, 10 Agustus 2014.)


(Gambar oleh Munzir Fadly.)
Baluembidi
Cerpen Putra Hidayatullah

K
ETIKA bayangan meninggi di tanah, kami masih
berjalan sambil menendang-nendang kerikil. Dek Gam
merangkul sepotong bambu kering sebesar ibu jari.
Celana pendeknya melorot ke bawah, membuat belahan
pantatnya kelihatan. Matanya nyaris tak berkedip.
“Jangan tendang lagi, Banta. Kau membuat mereka ketakutan.
Mereka ada di sini.” Dek Gam berjongkok dan menggeser sebuah
batu sebesar kepala bayi. Seekor lipan hitam melarikan diri ke
sela-sela bebatuan.
Ada banyak potongan kayu kering berserakan di tepi sungai
ini. Dek Gam mengambil salah satunya dan mulai menggali. Setiap
ia menghantamkan kayu ke tanah, ingus kental mengalir dari
hidungnya yang pesek.
Sungai masih terlihat meluap. Batu besar tempat orang
biasanya duduk memancing sudah tidak kelihatan. Dua batang
pohon hanyut dan tersangkut pada bengkolan sungai. Aku melihat
seekor kerbau mencoba menyeberang ke tepi.
Aku ingin pulang memberi tahu Macut bahwa kerbaunya
hendak dibawa arus. Tapi kata Dek Gam kami sudah hampir dekat.
Dek Gam bilang ikan gabus di sana besar-besar. Kalau kami
pulang hanya untuk itu, nanti waktu kembali matahari sudah
terbenam dan kami tidak boleh keluar lagi. Kolonel telah
mengumumkan jam malam. Pun kata Dek Gam, walau terseret-
seret, kerbau tidak akan tenggelam. Kerbau bisa berenang.
Dulu aku dan teman-teman juga berenang. Aku belajar
berenang dari Dek Gam. Di kampungku, kalau kau tidak bisa
berenang, kau akan dikatai bencong. Dek Gam juga mengajariku
cara menyelam. Sesekali kami bertanding siapa yang paling lama
bisa menahan nafas dalam air. Tapi itu kami lakukan diam-diam.
Suatu hari ibuku tahu gara-gara ia melihat aku pulang dengan
mata memerah. Ibu lalu bercerita padaku, di sungai itu ada jin
jahat, Baluembidi namanya. Hampir tiap tahun jin itu mengisap
darah manusia. Sepuluh tahun yang lalu, ada anak laki-laki
tenggelam. Lima hari kemudian mayatnya yang pucat dan
kembung mengapung seperti batang pisang.
“Kau tahu Baluembidi, Dek Gam?”
Dek Gam menggeleng dan terus menggali. Kuku jemarinya
menghitam.
“Kata ibuku, di bawah jembatan sana banyak Baluembidi.”
Aku memicing mata dan
menunjuk sebuah jembatan
besi tua. “Kadang-kadang ia
menyerupai tikar. Ketika
manusia merabanya, ia akan
menggulung dan
membenamkan tubuh kita ke
dalam air. Waktu darah
sudah habis, baru tubuh kita
dilepas.”
Dek Gam memicing
mata, “Tapi aku sering ke
sana. Tidak ada Baluembidi.”
Ia mengelap ingusnya. Bulir-
bulir keringat keluar di
tengkuknya.
Dari kejauhan tampak Gunung Halimon menjulang seperti
buah dada perempuan. Ibu bilang, di gunung itu hantu-hantu
beranak-pinak. Mereka hinggap di pohon-pohon tua yang besar.
Hantu itu kemudian menguasai setiap jengkal sungai yang
mengalir. Ia bersembunyi di balik air yang tenang. Tangan-
tangannya menjulur panjang seperti selendang raksasa.

S
EMALAM hujan turun deras sekali. Berbantalkan lengan,
aku berbaring di kamar sambil memperhatikan tetes air
hujan jatuh melalui atap yang bocor. Aku telah menaruh
kaleng cat bekas dan mendengar bunyi air jatuh seperti suara
detak jarum jam.
Ketika dingin mulai mencucuk tulang, aku menarik selimut.
Dan aku mulai bermimpi lagi tentang Kolonel. Dalam mimpiku,
Konolel tidak memakai baju loreng. Rambutnya kelihatan putih. Ia
berdiri di pintu kamar ibuku. Kolonel merayu ibuku dan menarik
ibu ke dalam pelukannya. “Ayolah....” Tangannya yang berbulu
menjalar mencoba membuka kancing baju ibu. Aku berdiri dengan
kedua lutut bergetar. Aku menutup mata dengan kedua tangan.
Sambil terisak aku mendengar suara ibu menjerit.
Dan jeritan itu datang bersamaan dengan gelegar halilintar
yang membuatku terjaga. Aku tidak dapat melihat apa-apa.
Semuanya gelap seperti tinta. Aku masih mendengar suara hujan
yang mulai sedikit reda.
Lalu di sela-sela itu telingaku menangkap suara aneh lagi. Aku
mendengar suara orang-orang berteriak panjang. Lambat laun
teriakan itu halus dan memudar, menghilang, dan tiba-tiba
muncul lagi.
Beberapa malam sebelumnya aku juga mendengar itu. Aku
mendengar suara orang menangis, mirip suara perempuan. Di lain
waktu ia merintih seperti suara anak-anak yang sedang ditindih
batu.
Aku tak sanggup mendengar, aku menutup telinga rapat-rapat
dan meringkuk seperti angka lima. Dan ketika aku menutup
telinga, aku mendengar suara lain lagi. Ayah pernah bilang, kalau
kau tutup telinga rapat-rapat, kau akan mendengar suara bara api
neraka. Aku takut sekali pada neraka. Tapi aku menutup telinga.
Seekor tikus menyelinap masuk ke dalam selimutku dan
bersembunyi di sana.
Aku bergeming, tidak tahu apa yang terjadi dengan telingaku.
Suara-suara itu membuat dadaku sesak sekali. Dan di balik bantal
aku mulai sesenggukan.
“Tidak ada suara apa-apa, Banta. Ibu tidak mendengar suara
apa-apa. Kau diganggu Baluembidi itu. Baluembidi akan
menyelinap dan mengganggu anak-anak yang nakal.”
Ibu tak mendengar suara itu. Tak ada yang mendengar suara
itu kecuali aku sendiri. Lalu agar tidak teringat pada suara-suara
itu lagi, aku selalu meninggalkan ibu dan berlari keluar menuju
rumah Dek Gam.

“H
EI, lihat!” Dek Gam menaruh seekor cacing sebesar
kelingking di atas telapak tangannya. Cacing itu
menggeliat seperti ular. Dek Gam bangkit mengambil
sehelai daun keladi, menaruh segenggam tanah, dan meletakkan
cacing-cacing itu ke dalamnya.
“Pegang ini.” Dek Gam menyeka keringat dengan lengan
kirinya. Ia seperti tak mendengar apa yang kukatakan tentang
Baluembidi. Ia mengambil seekor cacing dan memotong tubuhnya
dengan kukunya yang hitam. Dek Gam meludah beberapa kali
pada mata kail. Tampak awan bergerak pelan seperti kapas. Seekor
elang berputar-putar dan sesekali melengking.
“Ikan di sana besar-besar. Kemarin aku dapat seekor ikan
sebesar paha ayahku.”
Aku mengikuti Dek Gam. Ia meninggalkan jejak kakinya yang
kurus di belakang. Dek Gam tidak pernah memakai sandal.
“Kalau Baluembidi ada, kenapa ia tak memakan ikan-ikan
itu?” Dek Gam menyergah ingusnya.
“Mungkin ikan itu ikan jelmaan, Dek Gam.”
“Tidak. Aku sudah memakannya. Tidak ada apa-apa. Ikan itu
besar-besar karena tak ada lagi orang yang pergi memancing,
Banta.”
Ketika hampir sampai dekat jembatan besi tua itu, kami
berhenti. Dekat sungai ada sebuah tembok bekas jembatan lama.
Dek Gam menyuruhku memegang kail. Ia memanjat beton itu.
Aku menyusul di belakangnya.
Kami duduk berdampingan. Angin berhembus menerpa
rambut dan wajah kami. Air di sini tampak tenang. Dek Gam
bersiul dan melempar kailnya. Jauh di seberang sungai tampak
beberapa ekor bangau sedang minum.
“Dekat batu itu Kolonel hampir mati.”
“Ditarik Baluembidi?”
“Bukan.”
“Laki-laki bodoh itu tak bisa berenang.” Dek Gam cekikikan.
“Oya?”
“Sayang sekali ia tak jadi mati.”
Sejak Kolonel datang, ayahku, ayah Dek Gam, dan hampir
semua laki-laki tidak lagi pergi mengurus sawah. Mereka lari dan
bersembunyi di gunung-gunung.
Aku tidak mengerti kenapa Kolonel harus memburu ayah
kami seperti ayah kami memburu tikus-tikus di sawah. Tapi ibu
bilang, anak buah Kolonel telah mencatat hampir semua nama
laki-laki di sini. Katanya laki-laki di kampung ini tidak patuh. Ibu
bilang, kalau aku tidak patuh, mereka juga akan mencatat namaku.
Ketika pertama mendarat di sini, Kolonel dan anak buahnya
berkeliling berjalan kaki. Kalau ada ayam jago atau burung beo di
rumah-rumah orang kampung, mereka mengambil dan
membawanya ke markas. Mereka lalu memberi nama baru untuk
burung-burung itu dengan nama-nama ayah kami.
Suatu sore waktu Dek Gam pergi ke sungai ia berpapasan
dengan Kolonel. Sambil berkelakar dengan anak buahnya, Kolonel
bertanya, “Kau punya kakak, tidak? Cantik, tidak?” Dek Gam lalu
bilang padaku, “Mereka tak cuma mencari burung. Tapi „burung-
burung‟ mereka juga mencari gadis-gadis kampung.” Ia tertawa.
Aku melihat mega merah di ufuk. Matahari mulai condong
dan hampir sejajar dengan gunung. Bayangan Baluembidi masih
belum pergi dari kepalaku. Aku memejamkan mata dan melihat
Baluembidi dalam benakku sendiri. Ia bertubuh besar, berekor
panjang, dan berwarna hijau. Gigi-giginya runcing seperti gigi ikan
hiu dan matanya yang merah dan besar menjorok keluar.
“Kalau ibarat ikan, Kolonel itu seperti ikan asin, tidak bisa
berenang.” Dek Gam terkikik. “Aku melihat dengan mata kepalaku
sendiri. Ketika hampir ke tengah sungai, ia berteriak, tolong...
tolong....” Dek Gam meniru logat Kolonel yang aneh.
“Ssst. Jangan besar-besar suara. Mereka ada di pucuk sana,”
kataku. Telinga mereka peka sekali dan membuat kami takut
bahkan pada dinding rumah sendiri. Di atas sana, tak jauh dari
jembatan, mereka membuat markas. Mereka menyuruh orang
kampung meyusun goni berisi pasir. Kata mereka, pasir kebal
serangan dan tidak tembus peluru. Dan di atasnya mereka
menaruh senjata laras panjang dengan penopang mirip huruf V
terbalik. Moncongnya mengarah ke jalan.
“Tak ada Baluembidi di sini, Banta. Kolonel yang tidak bisa
berenang saja tak diambil oleh Baluembidi. Apalagi kita. Kau tak
percaya?”
Belum sempat aku menjawab kail Dek Gam ditarik oleh
sesuatu. Benang kail semakin dekat. Aku merasa jantungku
berdegub lebih cepat. Dek Gam mencoba menariknya tetapi gagal.
Napasku tertahan di tenggorokan sampai kemudian seekor ikan
gabus sebesar betis orang dewasa menggantung di udara.
“Asyik!”
Aku melepasnya dari mata kail. Satu per satu ikan-ikan
terperangkap. Aku memasukkannya ke dalam keranjang rotan.
Sebelum matahari terbenam, ikan-ikan sudah memenuhi
keranjang. Mereka terkelepar-kelepar. Sudah lama aku tidak
melihat ikan-ikan sebesar ini. Ketika aku sedang menghitung, Dek
Gam turun perlahan dari atas beton dan menuju tepian sungai. Ia
membuka baju dan turun ke air.
“Banta, lihat!”
“Jangan....”
Dek Gam tertawa dan berlari menuruni bebatuan. Ia
membuka celana dan terjun ke sungai. Kemudian ia mengangkat
kepala dari dalam air dan berkata dengan terengah-engah.
“Tidak ada Baluembidi, Banta. Ayolah....”
Dek Gam menyelam dan berenang. Ia mengepak-ngepakkan
air dengan kedua kakinya. Sudah lama aku tidak mandi di sungai.
Hampir setengah jam Dek Gam berenang dan tidak terjadi apa-
apa. Aku tak kuasa menahan dorongan untuk mandi. Dingin
akhirnya merambat ke seluruh tubuhku. Dalam beberapa menit
aku mendapati diriku sudah ada dalam air.
Kami berenang berdua. Dek Gam memercikkan air ke
wajahku. Aku membalas memercik ke wajahnya. Kami tertawa
cekikikan.
“Di sini Kolonel hampir tenggelam.”
Sekilas dalam pikiranku berkelibat cerita ibu bahwa
Baluembidi menarik kaki terlebih dulu kemudian membenamkan
tubuh manusia dan baru melepasnya sampai dua atau tiga hari.
Tapi aku tidak merasakan apa-apa. Tidak ada yang menarik
kakiku. Tidak ada Baluembidi. Ibu sengaja menakuti agar aku
tidak main di sungai. Dek Gam mengajak melakukan hal yang
sudah lama tidak kami lakukan: siapa yang paling lama bisa
menahan nafas dalam air. Sementara aku menyelam, Dek Gam
memperhatikan sambil berhitung dalam hitungan detik. Dan
ketika aku mencoba menyelam, di bawah sana aku melihat sesuatu
terbungkus.
“Ada sesuatu di bawah sini!”
“Ada apa?”
Dek Gam berenang ke arahku dan mulai menyelam. Aku
melihat gelembung-gelembung udara bermunculan di atas
permukaan air. Sekuat tenaga Dek Gam menarik sesuatu yang
berat dan tergopoh-gopoh mendorongnya ke tepi.
Sebuah goni bertuliskan nama seseorang yang aku tidak tahu.
Ketika membukanya, lutut Dek Gam tergetar. Bibirnya pucat
seketika. Aku melihat sewujud manusia telanjang dengan tangan
dan kaki terikat. Aku melihat jasad itu sudah mengembung dengan
dahi berlubang.
“Ada banyak goni lain di bawah sana!” Suara Dek Gam
terdengar parau.
Dek Gam menengadah ke langit. Wajahnya memerah.
Suaranya tersedak. Ia berusaha menahan air mata. Tapi kemudian
ia tersedu-sedu sambil memukul-mukul pasir. Dan suara
tangisannya itu berubah menjadi seperti rintihan panjang yang
kerap kudengar tiap tengah malam itu.
Kerongkonganku seperti tercekik. Dadaku sesak sekali. Air
mata tak sanggup kutahan. Aku teringat ibu. Baluembidi ada
ternyata. Baluembidi punya senjata. Baluembidi yang telah
menembak ayah kami, memasukkan ayah kami ke dalam goni,
memberi ayah kami batu pemberat, dan menenggelamkan ayah
kami ke dasar sungai ini.(*)

Catatan
Dek Gam, panggilan untuk anak laki-laki di Aceh
Macut, bibi (adik ibu).

Putra Hidayatullah, lahir di Aceh, 11 April 1988. Berkumpul di


Komunitas Tikar Pandan, Banda Aceh.

(Dimuat di Koran Tempo, 3 Agustus 2014.)


(Gambar oleh Munzir Fadly.)

Anda mungkin juga menyukai