Anda di halaman 1dari 6

Day-1

Sesi – 2
SETIAP ANAK BUTUH MENTOR

Kehidupan yang semakin sulit dan tantangan yang semakin berat saat ini menuntut anak mempunyai karakter dan
kepribadian yang kuat supaya bisa bertahan. Bagi anak-anak yang kita layani tentunya kita ingin mereka tidak
sekedar bisa bertahan, tetapi bisa keluar sebagai PEMENANG! (Roma 8: 37)

Setiap anak perlu kita tolong untuk mengenal Kristus, menerima-Nya dan hidup di dalam ketaatan kepada Kristus
karena ini adalah dasar hidup yang berkemenangan. Sering kali kita mungkin merasa heran, mengapa anak yang
sudah menerima Kristus masih memiliki mental yang lemah dan gampang “hancur” ketika kesulitan datang. Dalam
pengalaman kita melayani kita menemukan bahwa ternyata ketika seseorang menerima Kristus tidak otomatis karakter
dan kepribadiannya berubah menjadi positif dan dapat mengatasi setiap permasalahan yang dihadapi.

Pelayanan kita memiliki misi untuk membebaskan anak dari kemiskinan rohani, ekonomi, sosial dan
jasmani serta memampukan mereka menjadi orang Kristen dewasa yang mandiri dan
bertanggung jawab. Hasil akhir (outcome) pelayanan dalam keempat area disimpulkan dalam kalimat singkat:
Orang Kristen dewasa yang mandiri dan bertanggung jawab.

Ciri orang yang dewasa atau matang adalah mandiri dan bertanggung jawab. Untuk menjadi demikian di tengah
keadaan jaman yang sulit dibutuhkan satu sikap yang disebut: resiliens. Para ahli perilaku (behavioral) menggunakan
istilah resiliens untuk menggambarkan 3 jenis fenomena:
(1) hasil akhir perkembangan positif di antara anak-anak yang tinggal di lingkungan atau konteks yang “berisiko
tinggi”, misalnya kemiskinan atau orang tua yang melakukan kekerasan
(2) kemampuan bertahan di bawah stress atau tekanan yang berkepanjangan, misalnya mengalami orang tua
yang bercerai
(3) pemulihan dari trauma, misalnya mengalami ketakutan akibat perang atau tinggal dalam kamp konsentrasi.

Resiliens dapat didefinisikan sbb:

1
Kemampuan untuk berbalik kembali, dan beradaptasi dengan baik dalam keadaan sulit, dan mengembangkan
kemampuan sosial, akademik, dan keahlian walaupun diperhadapkan pada keadaan yang sangat berat dan menekan
atau keadaan stress yang biasa dalam hidup setiap hari.

Secara sederhana bisa dikatakan resiliens adalah “daya membal” atau “kelenturan” dimana ketika anak diperhadapkan
pada situasi sulit tidak akan hancur tapi bisa kembali pada keadaan semula bahkan bisa berkembang menjadi pribadi
yang lebih baik lagi.

Selain keadaan jaman yang semakin sulit, menurut teori perkembangan (Erikson) setiap anak akan melewati krisis
atau konflik dalam siklus hidupnya ketika berpindah dari satu tahap ke tahap perkembangan berikutnya. Ketika krisis
ini tidak bisa dihadapi dengan baik akan menghambat perkembangan anak di tahap berikutnya. Dengan kata lain
anak akan terhambat bertumbuh dalam kedewasaan atau kematangan bila tidak berhasil melewati krisis tersebut.

Tahap Perkembangan Menurut Erikson:

No Usia Tahap Krisis


1 Lahir – 1 tahun Bayi Kepercayaan vs Kecurigaan
2 1 – 3 tahun Kanak-kanak Awal Kemandirian vs Malu dan Ragu
3 3 – 6 tahun Usia Bermain Inisiatif vs Rasa Bersalah
4 6 – 12 tahun Usia Sekolah Kerajinan vs Rendah Diri
5 12 – 19 tahun Remaja Identitas vs Kebingungan
6 19 – 25 tahun Dewasa Muda Kedekatan vs Kesendirian
7 25 – 50 tahun Dewasa Regenerasi vs Stagnasi
8 50 tahun ke atas Usia Matang Integritas vs Keputusasaan

Karakteristik anak maupun orang dewasa yang resiliens tidak berbeda. Mereka memiliki ketrampilan atau keahlian
hidup seperti pemecahan masalah, berpikir kritis dan kemampuan mengambil inisiatif. Anak yang resiliens juga
memiliki tujuan dan visi masa depan yang positif. Mereka punya minat-minat yang khusus, terarah pada tujuan dan
motivasi untuk berhasil dalam hidup. Anak yang resiliens memiliki hubungan-hubungan yang positif dan motivasi
untuk memperbaiki diri.

2
Ada dua faktor yang mempengaruhi terbentuknya resiliensi dalam diri anak, yaitu faktor dalam diri (internal) dan faktor
lingkungan.

Faktor Internal
(Karakteristik pribadi yang memfasilitasi resiliensi):
1. Memberikan diri melayani orang lain
2. Menggunakan ketrampilan-ketrampilan hidup, termasuk pengambilan keputusan yang baik, yakin dan tegas,
pengendalian diri dan pemecahan masalah
3. Ketrampilan sosial, menjadi teman dan mampu membangun hubungan yang positif
4. Memiliki rasa humor
5. Internal locus of control  membuat keputusan atau pilihan berdasarkan pada evaluasi dalam diri
6. Mandiri
7. Pandangan yang positif akan masa depan
8. Luwes, fleksibel
9. Kemampuan untuk belajar
10. Motivasi diri
11. Punya keahlian khusus, “bagus” dalam satu bidang
12. Merasa diri berharga, percaya diri

Faktor Lingkungan
(Karakteristik keluarga, komunitas, sekolah, PPA, gereja, dan teman sebaya yang mengembangkan resiliensi)
1. Ada ikatan yang erat
2. Menghargai dan mendorong pendidikan
3. Hangat dalam berinteraksi dan kurang dalam mengkritik
4. Menetapkan batasan-batasan yang jelas (aturan, norma, hukum)
5. Mendorong hubungan yang saling mendukung dengan banyak orang yang memperhatikan
6. Mendorong adanya saling berbagi tanggung jawab, pelayanan kepada yang lain, dan hubungan saling
menolong
7. Menyediakan akses kepada sumber-sumber untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti rumah, pekerjaan,
kesehatan dan rekreasi
8. Menyatakan ekspektasi yang tinggi dan realistik tentang kesuksesan
9. Mendorong penetapan tujuan dan penguasaan keahlian

3
10. Mendorong perkembangan prososial nilai-nilai (misalnya pengorbanan diri) dan ketrampilan hidup (misalnya
kerja sama).
11. Menyediakan kesempatan memimpin, mengambil keputusan dan kesempatan-kesempatan lain untuk
partisipasi yang berarti
12. Menghargai keunikan bakat setiap pribadi

Membangun resiliensi adalah proses yang panjang. Banyak anak yang hidup dalam lingkungan yang berisiko tinggi
tidak mengembangkan resiliensi mereka secara penuh hingga mereka dewasa.

ENAM LANGKAH MENGEMBANGKAN RESILIENSI


Ada enam langkah dalam mengembangkan resiliensi yang digambarkan dalam roda ini.

Roda Resiliensi

Memberikan
kesempatan Meningkatkan
untuk ikatan
partisipasi prososial
yang berarti

Menetapkan dan Menetapkan


mengkomunikasikan batasan yang
Espektasi yang jelas dan
Tinggi konsisten

Menyediakan Mengajarkan
Perhatian dan Ketrampilan
Dukungan Hidup

4
Langkah 1 sampai 3: Mengurangi Risiko

1. Meningkatkan ikatan
Meningkatkan hubungan antara pribadi-pribadi. Anak yang punya ikatan atau hubungan positif yang kuat
jarang terlibat dalam perilaku yang berisiko.
2. Menetapkan batasan yang jelas dan konsisten
Kebijakan atau peraturan dikomunikasikan dengan jelas dan diterapkan dengan konsisten. Konsekuensi dari
pelanggaran aturan juga harus dikomunikasikan dengan jelas.
3. Mengajarkan ketrampilan-ketrampilan hidup
Ini mencakup kerja sama, penyelesaian konflik yang sehat, kemampuan bersikap tegas dan menolak hal-hal
negatif, ketrampilan berkomunikasi, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, dan mengatasi stress
dengan sehat.

Langkah 4 sampai 6: Membangun Resiliensi

4. Menyediakan perhatian dan dukungan


Ini meliputi pemberian perhatian dan kasih tanpa syarat, serta dorongan dan membesarkan hati. Bisa
dikatakan mustahil seseorang bisa mengatasi kesulitan atau penderitaan tanpa adanya perhatian. Perhatian
tidak harus datangnya dari keluarga inti, bisa juga dari mentor, guru, dan teman sebaya.
5. Menetapkan dan mengkomunikasikan ekspektasi yang tinggi
Sangat penting kalau ekspektasi yang ditetapkan itu tinggi dan juga realistik supaya menjadi motivator yang
efektif.
6. Menyediakan kesempatan untuk partisipasi yang berarti
Strategi ini maksudnya adalah memberikan anak sebanyak mungkin kesempatan untuk berpartisipasi di PPA,
memberikan kesempatan dalam pemecahan masalah, pengambilan keputusan, perencanaan, penetapan
tujuan, dan menolong orang lain.

Peran Mentor dalam Membangun Resiliensi dalam Diri Anak


Dari penelitian yang dilakukan Compassion Indonesia terhadap alumni PPA tahun 2006 lalu, diperoleh data bahwa
“role model” atau orang yang menjadi panutan berperan penting dalam terbentuknya resiliensi pada anak. Bagian
yang paling penting dalam membangun resiliensi adalah Menyediakan Perhatian dan Dukungan, karena itu diberi
huruf warna biru dalam Roda Resiliensi di atas. Selain dalam ke-5 langkah yang lain, di bagian inilah peran mentor
sangat dibutuhkan.

5
Anak-anak PPA yang kita layani hidup dalam keadaan yang berisiko tinggi yang membuat resiliensi sulit terbentuk
dalam diri anak. Mereka hidup dalam kemiskinan. Orang tua biasanya kurang memberikan perhatian karena sibuk
bekerja memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pendidikan orang tua yang rendah juga membuat mereka tidak paham
bagaimana mengajarkan ketrampilan-ketrampilan hidup. Masyarakat lingkungan juga mungkin kurang peduli karena
tidak memandang mereka yang hidup miskin. Di tengah situasi seperti ini anak harus berjuang sendiri untuk bertahan
dan mengatasi krisis-krisis yang mereka hadapi.

Menurut Erikson, ketika anak berpindah dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya, dia akan mengalami
krisis. Dan apabila anak terhambat dalam satu tahap, ini akan menghambat perkembangannya di tahap berikutnya.
Karena itulah kita sering menemukan orang yang sudah dewasa dari segi usia, tapi masih kekanak-kanakan dari
tingkah laku dan karakter. Kita mungkin juga sering heran mengapa ada orang yang berusia 40 tahun tetapi tidak
kuat mengalami tekanan dalam hidup dan akhirnya stress berkepanjangan. Selain faktor dalam diri hal itu juga
dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Apabila anak memiliki model panutan yang memberikan perhatian dan dukungan,
juga lingkungan (misalnya gereja dan PPA) yang menjadi keluarga kedua bagi anak dan menyediakan hal-hal yang
diperlukan untuk membangun resiliensi, maka anak akan bertumbuh menjadi orang Kristen dewasa yang mandiri
dan bertanggung jawab.

Anda mungkin juga menyukai