Anda di halaman 1dari 264

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/369584833

Keselamatan Pasien dan Keselamatan Kesehatan Kerja

Book · June 2022

CITATIONS READS

0 1,915

1 author:

Novita Fajriyah
Airlangga University
10 PUBLICATIONS 23 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Novita Fajriyah on 28 March 2023.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


COVER
BOOK CHAPTER

KESELAMATAN PASIEN
DAN KESELAMATAN KESEHATAN KERJA
UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta
Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4
Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf
a merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral
dan hak ekonomi.
Pembatasan Pelindungan Pasal 26
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23,
Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku terhadap:
i Penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau
produk Hak Terkait untuk pelaporan peristiwa aktual
yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan
informasi aktual;
ii Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait
hanya untuk kepentingan penelitian ilmu
pengetahuan;
iii Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait
hanya untuk keperluan pengajaran, kecuali
pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan
Pengumuman sebagai bahan ajar; dan
iv Penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan
pengembangan ilmu pengetahuan yang
memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak
Terkait dapat digunakan tanpa izin Pelaku
Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga
Penyiaran.

Sanksi Pelanggaran Pasal 113


1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan
pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa
izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d,
huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
KESELAMATAN PASIEN
DAN KESELAMATAN KESEHATAN KERJA
Ns. Devanda Faiqh Albyn, S.Kep.
Maria Agustina Making, S.Kep., Ns., M.Kep.
Iswati, S.Kep., Ns., M.Kep.
Pius Selasa, S.Kep., Ns., M.Sc.
Harlina Putri Rusiana, S.Kep., Ners., M.Kep.
Ns. Muh. Jumaidi Sapwal, S.Kep., M.Kep.
Nessy Anggun Primasari, S.Kep., Ns., M.Kep.
Ns. Rizky Shodiqurrahman, S.Kep.
Dr. Atik Badi’ah, S.Pd., S.Kp., M.Kes.
Siti Hani Istiqomah, SKM., M.Kes.
Novita Fajriyah, S.Kep., Ns., M.Kep.
Dr. Anis Rifai, S.H., M.H.
Lira Mufti Azzahri Isnaeni, S.Kep., M.KKK.
Khairil Anwar, SKM., M.Kes.

Editor:
Ns. Arif Munandar, S.Kep., M.Kep

Penerbit

CV. MEDIA SAINS INDONESIA


Melong Asih Regency B40 - Cijerah
Kota Bandung - Jawa Barat
www.penerbit.medsan.co.id

Anggota IKAPI
No. 370/JBA/2020
KESELAMATAN PASIEN
DAN KESELAMATAN KESEHATAN KERJA

Ns. Devanda Faiqh Albyn, S.Kep.


Maria Agustina Making, S.Kep., Ns., M.Kep.
Iswati, S.Kep., Ns., M.Kep.
Pius Selasa, S.Kep., Ns., M.Sc.
Harlina Putri Rusiana, S.Kep., Ners., M.Kep.
Ns. Muh. Jumaidi Sapwal, S.Kep., M.Kep.
Nessy Anggun Primasari, S.Kep., Ns., M.Kep.
Ns. Rizky Shodiqurrahman, S.Kep.
Dr. Atik Badi’ah, S.Pd., S.Kp., M.Kes.
Siti Hani Istiqomah, SKM., M.Kes.
Novita Fajriyah, S.Kep., Ns., M.Kep.
Dr. Anis Rifai, S.H., M.H.
Lira Mufti Azzahri Isnaeni, S.Kep., M.KKK.
Khairil Anwar, SKM., M.Kes.
Editor :
Ns. Arif Munandar, S.Kep., M.Kep
Tata Letak :
Mega Restiana Zendrato
Desain Cover :
Syahrul Nugraha
Ukuran :
A5 Unesco: 15,5 x 23 cm
Halaman :
vi, 251
ISBN :
978-623-362-535-7
Terbit Pada :
Juni 2022

Hak Cipta 2022 @ Media Sains Indonesia dan Penulis


Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang keras menerjemahkan,
memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit atau Penulis.
PENERBIT MEDIA SAINS INDONESIA
(CV. MEDIA SAINS INDONESIA)
Melong Asih Regency B40 - Cijerah
Kota Bandung - Jawa Barat
www.penerbit.medsan.co.id
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena


atas berkat, rahmat dan karunia-Nya sehingga buku
kolaborasi dalam bentuk book chapter dapat
dipublikasikan dan dapat sampai dihadapan pembaca.
Book chapter ini disusun oleh sejumlah akademisi dan
praktisi sesuai kepakarannya masing-masing. Buku ini
diharapkan dapat hadir memberi kontribusi positif dalam
ilmu pengetahuan khususnya terkait Keselamatan Pasien
dan Keselamatan Kesehatan Kerja.

Sistematika buku Keselamatan Pasien dan Keselamatan


Kesehatan Kerja ini mengacu pada pendekatan konsep
teoritis dan contoh penerapan. Oleh karena itu
diharapkan book chapter ini dapat menjawab tantangan
dan persoalan dalam sistem pengajaran di perguruan
tinggi dan sejenis lainnya.

Kami menyadari bahwa tulisan ini jauh dari


kesempurnaan dan masih terdapat banyak kekurangan,
sejatinya kesempurnaan itu hanya milik Yang Kuasa. Oleh
sebab itu, kami tentu menerima masukan dan saran dari
pembaca demi penyempurnaan lebih lanjut.

Akhirnya kami mengucapkan terima kasih yang tak


terhingga kepada semua pihak yang telah mendukung
dalam proses penyusunan dan penerbitan buku ini,
secara khusus kepada Penerbit Media Sains Indonesia
sebagai inisiator book chapter ini. Semoga buku ini dapat
bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Bandung, 18 April 2022


Editor

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................i
DAFTAR ISI .....................................................................ii
1 KONSEP DASAR, RUANG LINGKUP,
DAN SEJARAH PERKEMBANGAN
KESELAMATAN PASIEN ..........................................1
Pendahuluan ..........................................................1
Evidance Base Practice ............................................5
Regulasi Terkait Pasien Safety ................................9
Konsep Model dan Perkembangan Pasien Safety ...13
Global Patient Safety Action Plan 2021–2030 .........19
2 KEBUTUHAN DASAR KESELAMATAN PASIEN ......33
3 SASARAN, STANDAR
DAN PRINSIP KESELAMATAN PASIEN ..................45
Sasaran Keselamatan Pasien ................................45
SKP 1 Mengidentifikasi Pasien dengan Benar ..........46
SKP 2 Peningkatan Komunikasi yang Efektif ........47
SKP 3 Peningkatan Keamanan Obat
yang Perlu diwaspadai ..........................................48
SKP 4 Kepastian Tepat Lokasi Prosedur
dan Tepat Pasien Operasi .....................................51
SKP 5 Pengurangan Risiko Infeksi
terkait Pelayanan Kesehatan.................................53
SKP 6 Pengurangan Risiko Pasien Jatuh ..............54
Standar Keselamatan Pasien.................................55
Prinsip Keselamatan Pasien ..................................62

ii
4 MANAJEMEN KESELAMATAN PASIEN
DAN KEBIJAKAN KESELAMATAN PASIEN
DALAM KEPERAWATAN .......................................67
Pendahuluan ........................................................67
Manajemen Keselamatan Pasien ...........................68
Kebijakan Keselamatan Pasien .............................69
Peran Perawat
dalam Manajemen Keselamatan Pasien ................72
5 KAJIAN PELAPORAN INSIDEN
KESELAMATAN PASIEN
DALAM PERSPEKTIF PATRICIA BANNER ..............79
Pendahuluan ........................................................79
Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien .................80
Hazard/Bahaya ....................................................82
Jenis Pelaporan ....................................................83
Metode Pelaporan .................................................84
Alur Pelaporan ......................................................84
Grading Risiko Insiden Keselamatan Pasien .........87
Formulir Laporan Kejadian
Keselamatan Pasien ..............................................89
Aplikasi Konsep Patricia Banner
dalam Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien ......90
6 SOLUSI KESELAMATAN PASIEN
DAN RESIKO PASIEN JATUH................................97
Solusi Keselamatan Pasien ...................................97
Pembahasan 9 Solusi Keselamatan Pasien ............99
Resiko Pasien Jatuh ...........................................104
Faktor Risiko Jatuh ............................................105

iii
Dampak dan Probabilitas
Risiko Pasien Jatuh ............................................106
Manajemen Risiko Pasien Jatuh ......................... 107
Pengkajian dan Intervensi Risiko Jatuh ..............107
Intervensi Pencegahan Pasien Jatuh ...................111
7 KONSEP DAN PENTINGNYA
KESELAMATAN KESEHATAN KERJA..................119
Sistem Manajemen K3 ........................................119
Sejarah K3 .......................................................... 121
Pengertian K3 .....................................................129
Tujuan K3........................................................... 131
Sebab – Sebab Terjadinya Kecelakaan
dalam Bekerja .....................................................132
8 KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA.........139
Dasar Keselamatan
dan Kesehatan Kerja Secara Umum ....................139
Kecelakaan Akibat Kerja (KAK)............................ 145
Penyakit Akibat Kerja (PAK) ................................ 147
9 PRINSIP-PRINSIP DAN PERLINDUNGAN
KESELAMATAN KESEHATAN KERJA..................153
Prinsip-Prinsip
Keselamatan Kesehatan Kerja (K3)......................153
Perlindungan Keselamatan
Kesehatan Kerja (K3)...........................................164
10 SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN
DAN KESEHATAN KERJA ...................................169
Pendahuluan ......................................................169
Tujuan Penerapan SMK3 ....................................170
Siapa yang Wajib Menerapkan SMK3? ................170

iv
Pentingnya Penerapan Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (K3) ....................................170
Sistem Manajemen K3 Rumah Sakit ...................171
Kebijakan K3 ......................................................172
Perencanaan K3 ..................................................173
Pelaksanaan Perencanaan K3 ............................. 175
Pemantauan dan Evaluasi Kinerja ......................180
Peninjauan dan Peningkatan Kinerja SMK3 ........181
11 HYGIENE SANITASI, HYGIENE PERUSAHAAN
& KESEHATAN KERJA (HIPERKES) ....................185
Pendahuluan ......................................................185
Hygiene Sanitasi .................................................186
Definisi Hygiene Sanitasi ....................................186
Manfaat Hygiene Sanitasi ...................................187
Ruang Lingkup Hygiene Sanitasi ........................187
Hygiene Perusahaan & Kesehatan Kerja
(HIPERKES) ........................................................192
Prinsip Dasar Hygiene Perusahaan
dan Kesehatan Kerja (HIPERKES) .......................192
Hakikat dan Tujuan Penerapan Hygiene
Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES) ....193
Ruang Lingkup Hygiene Perusahaan
dan Kesehatan Kerja (HIPERKES) .......................194
Faktor Pendukung Hygiene Perusahaan .............199
12 HUKUM KETENAGAKERJAAN, HUKUM KERJA
DAN PERATURAN PERUNDANGAN
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3) ..203
Pendahuluan ......................................................203
Pembahasan .......................................................205

v
13 BAHAYA KERJA
DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA ........217
Pengertian Bahaya ..............................................217
Bahaya Kerja ......................................................217
Jenis Bahaya ......................................................218
Jenis Bahaya di Fasyankes
Berdasarkan Ruangan ........................................225
Pengendalian Bahaya ..........................................230
14 SANITASI AIR DAN LIMBAH PENDUKUNG
KESELAMATAN PASIEN ......................................235
Pendahuluan ......................................................235
Penyakit yang ditularkan melalui Air ..................237
Persyaratan Kesehatan Air ..................................238
Pengelolaan Limbah Pelayanan Kesehatan ..........239
Proses Pengelolaan Limbah .................................241
Proses Pengolahan Limbah Padat
pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan ...................244
Pengelolaan Sampah ...........................................246

vi
1
KONSEP DASAR, RUANG
LINGKUP, DAN SEJARAH
PERKEMBANGAN
KESELAMATAN PASIEN

Ns. Devanda Faiqh Albyn, S.Kep.


Holding PT. Perkebunan Nusantara

Pendahuluan
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan suatu
sistem yang berhubungan dengan pencegahan cedera dan
penyakit Potensi dampak terhadap masyarakat sekitar
dan lingkungan. Untuk memastikan keberhasilan
penerapan strategi keselamatan pasien; kebijakan yang
jelas, kapasitas kepemimpinan, data untuk mendorong
peningkatan keselamatan, profesional perawatan
kesehatan yang terampil dan keterlibatan pasien yang
efektif dalam perawatan mereka, semuanya diperlukan.
Organizational health OH Dalam organisasi kesehatan
mana pun, karakteristik organisasi di lingkungan kerja
menghasilkan perilaku profesional kesehatan dan kinerja
organisasi, seperti kematian pasien, infeksi terkait
perawatan kesehatan, efek samping, kesalahan medis,
pasien keselamatan, budaya keselamatan pasien, dll.
Keselamatan dan kesehatan kerja, dipengaruhi oleh
banyak faktor seperti kecepatan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dunia pekerjaan yang
beragam dan terus berubah, dan ekonomi. Risiko
kesehatan dan keselamatan kerja merupakan risiko yang
mengancam keberlangsungan bisnis dan kemampuannya

1
untuk bertahan Memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap keterlibatan dalam patient safety management
activities PSMA karena itu, rumah sakit harus bertujuan
untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat untuk
mempromosikan keterlibatan dalam PSMA, pentingnya
strategi yang berfokus pada keselamatan budaya di
rumah sakit. Budaya keselamatan yang penting bagi
organisasi kesehatan untuk memahami persepsi
profesional kesehatan tentang keselamatan pasien dalam
lingkungan kerja (Huang,et.al., 2020).
Keselamatan pasien diukur dengan menggunakan
Hospital Survey on Patient Safety Culture (HSPSC) dan
The Safety Attitudes Questionnaire (SAQ). (AbuAlRub &
Abu Alhijaa, 2014)(Huang et al., 2020; Kwon & Soon,
2019; Mihdawi, Al-Amer, et.al., 2020; Sturm et al., 2019)
Menurut WHO Keselamatan Pasien adalah “Patient safety
is the absence of preventable harm to a patient during the
process of health care.” Keselamatan pasien sangat
penting untuk memberikan layanan kesehatan esensial
yang berkualitas. Memang, ada konsensus yang jelas
bahwa layanan kesehatan berkualitas di seluruh dunia
harus efektif, aman, dan berpusat pada masyarakat.
Selain itu, untuk mewujudkan manfaat pelayanan
kesehatan yang bermutu, pelayanan kesehatan harus
tepat waktu, merata, terpadu dan efisien (ILO, 2015, 2022;
Luis & Moncayo, 2008; Meliza, 2011).
Pandemi COVID-19 yang sedang berlangsung telah secara
signifikan memperburuk risiko kesalahan pengobatan
dan bahaya terkait pengobatan. 'Medication Safety' dipilih
sebagai tema Hari Keselamatan Pasien Sedunia 2022,
dengan slogan 'Medication Without Harm' pada 17
September 2022. Pada Mei 2019, World Health Assembly
ke-72 mengesahkan penetapan Hari Keselamatan Pasien
Sedunia, yang diperingati setiap tanggal 17 September.
Hari Keselamatan Pasien Sedunia bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran tentang pentingnya
keselamatan pasien, merangkul keterlibatan orang dan
masyarakat dalam memberikan perawatan kesehatan
berkualitas tinggi, mengurangi terjadinya dan biaya tinggi

2
kesalahan medis, dan menegaskan kembali prinsip dasar
medis “First, do no harm”.
Tujuan Hari Keselamatan Pasien Sedunia 2022:
Meningkatkan kesadaran ingginya beban kerugian terkait
pengobatan karena kesalahan pengobatan dan praktik
yang tidak aman, dan menawarkan tindakan segera untuk
meningkatkan keamanan pengobatan.
Libatkan pemangku kepentingan dan mitra utama dalam
upaya mencegah kesalahan pengobatan dan mengurangi
bahaya terkait pengobatan. pasien dan keluarga untuk
secara aktif terlibat dalam penggunaan obat yang aman.
Peningkatan implementasi Keselamatan Pasien sebagai
tantangan Global: 'Medication Without Harm (WHO, 2022;
World Health Assembly, 2019; World Health Organization,
2019, 2020)
Keamanan, keselamatan, dan kesehatan kerja merupakan
hal yang sangat penting untuk di ketahui dan di
laksanakan oleh rumah sakit di Indonesia (Sari, 2019).
Terjadinya efek samping akibat perawatan yang tidak
aman kemungkinan merupakan salah satu dari 10
penyebab utama kematian dan kecacatan di dunia.
Prosedur perawatan bedah yang tidak aman
menyebabkan komplikasi pada hingga 25% pasien.
kurangnya keselamatan pasien merupakan salah satu
dari sepuluh penyebab utama kematian dan kecacatan; di
negara-negara berpenghasilan tinggi, 50% dari peristiwa
ini dapat dicegah. Menurut Morris dan O'Riordan (2017),
di antara efek samping ini, jatuh rawat inap merupakan
insiden keselamatan yang paling sering dilaporkan di
rumah sakit National Health Service (NHS); Agency for
Healthcare Research and Quality (AHRQ) melaporkan
bahwa 700.000 hingga satu juta pasien rawat inap
mengalami jatuh setiap tahun. Laporan lain merinci
tingkat jatuh sebagai 3-5 per 1000 hari tidur; sekitar
sepertiga dari jatuh ini mengakibatkan cedera, seperti
trauma kepala dan patah tulang. Infeksi terkait perawatan
kesehatan (Healthcare-associated infection/HCAIs)
merupakan kejadian buruk utama lainnya yang berasal
dari perawatan yang tidak aman. Hampir 1,7 juta pasien

3
rawat inap memperoleh HCAI saat menerima perawatan],
dan beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
peningkatan kebersihan tangan dapat secara signifikan
mengurangi infeksi ini (sekitar 50%). Hampir 7 juta pasien
bedah menderita komplikasi yang signifikan setiap tahun,
1 juta di antaranya meninggal selama atau segera setelah
operasi. Praktik penyuntikan yang tidak aman di tempat
perawatan kesehatan dapat menularkan infeksi,
termasuk HIV dan hepatitis B dan C, dan menimbulkan
bahaya langsung bagi pasien dan petugas kesehatan;
mereka bertanggung jawab atas beban kerugian yang
diperkirakan mencapai 9,2 juta tahun kehidupan yang
hilang akibat kecacatan dan kematian di seluruh dunia
(dikenal sebagai Disability Adjusted Life Years (DALYs).
Pada tahun 1999, 8% - 12% pasien yang dirawat di rumah
sakit menderita efek samping saat menerima perawatan,
publikasi 'to err is human' menyarankan pendekatan yang
komprehensif pendekatan dalam meningkatkan
keselamatan pasien. WHO dan Komisi Eropa serta badan
resmi lainnya telah menyarankan penerapan strategi
nasional untuk mengatasi masalah utama yang berkaitan
dengan peningkatan keselamatan pasien. Ini termasuk
bidang intervensi seperti organisasi, kebijakan dan
personel perkembangan, langkah-langkah pemantauan
dan langkah-langkah untuk meningkatkan kesadaran
publik. Selain itu, dalam sistem perawatan kesehatan kita
harus mempertimbangkan perbedaan pembiayaan
lingkungan, budaya, profesional dan perawatan
kesehatan.

4
(Sendlhofer & Kamolz, 2015)
Evidance Base Practice
Kesalahan diagnostik terjadi pada sekitar 5% orang
dewasa dalam pengaturan perawatan rawat jalan, lebih
dari setengahnya berpotensi menyebabkan masalah
kesehatan. Praktik transfusi yang tidak aman pada pasien
akan berisiko mengalami reaksi transfusi yang merugikan
paien dan beresiko mengalami penularan infeksi. Data
tentang reaksi transfusi yang merugikan dari sekelompok
21 negara menunjukkan kejadian rata-rata 8,7 reaksi
serius per 100.000 komponen darah yang didistribusikan.
Sebuah tinjauan dari 30 tahun data yang diterbitkan
tentang keamanan dalam radioterapi memperkirakan
bahwa kejadian kesalahan secara keseluruhan adalah
sekitar 15 per 10.000 program pengobatan. Berdasarkan
data dari lebih dari 400.000 pasien dan survei dari 26.000
perawat di seluruh Eropa, Setelah disesuaikan untuk
pasien dan rumah sakit lainnya karakteristik, setiap
peningkatan 10% dalam perawatan yang terlewatkan
dikaitkan dengan 16% risiko kematian yang lebih besar
(Ball & Griffiths, 2018) Sepsis sering tidak didiagnosis
cukup dini untuk menyelamatkan hidup pasien. Karena
infeksi ini sering resisten terhadap antibiotik, mereka
dapat dengan cepat menyebabkan memburuknya kondisi
klinis, mempengaruhi sekitar 31 juta orang di seluruh

5
dunia dan menyebabkan lebih dari 5 juta kematian per
tahun. Tromboemboli vena (pembekuan darah) adalah
salah satu penyebab cedera pasien yang paling umum dan
dapat dicegah, berkontribusi pada sepertiga dari
komplikasi yang dikaitkan dengan rawat inap. Setiap
tahun, diperkirakan ada 3,9 juta kasus di negara-negara
berpenghasilan tinggi dan 6 juta kasus di negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah .Di negara-negara
berpenghasilan tinggi, diperkirakan satu dari setiap 10
pasien terluka saat menerima perawatan di rumah sakit.
Kerusakan dapat disebabkan oleh berbagai efek samping,
dengan hampir 50% dari mereka dapat dicegah. Setiap
tahun, 134 juta efek samping terjadi di hospitals in low-
and middle-income countries (LMICs), karena perawatan
yang tidak aman, yang mengakibatkan 2,6 juta kematian.
Secara global, sebanyak 4 dari 10 pasien dirugikan dalam
pelayanan kesehatan primer dan rawat jalan. Hingga 80%
dari bahaya dapat dicegah, Kesalahan yang paling
merugikan adalah terkait dengan diagnosis, peresepan
dan penggunaan obat. Satu dari sembilan kontrak orang
dewasa infeksi di rumah sakit. Satu dari sembilan pasien
menerima obat yang salah atau dosis yang salah. Lebih
banyak kematian setelah mengalami yang merugikan
kejadian di rumah sakit daripada kematian akibat Kanker
payudara, kendaraan bermotor dan HIV digabungkan.
Menurut laporan WHO, satu dari sepuluh pasien
dirugikan selama rawat inap, 14 dari setiap 100 pasien
yang terkena dampak Infeksi yang Didapat di Rumah
Sakit. 2% pasien harus menjalani pembedahan
komplikasi untuk 234 juta operasi operasi yang dilakukan
setiap tahun, 6,3 peristiwa per hari pasien di AS setiap
tahun karena alat kesehatan. 20-40% kesehatan
pengeluaran menjadi sia-sia karena kualitas yang buruk
kegagalan perawatan dan keselamatan. Infeksi
nosokomial menambah biaya perawatan pasien,
memperpanjang periode rawat inap dan secara signifikan
meningkatkan resiko kematian (Cecilia, Elizabeth, &
Rukweza, 2019; Kamil, 2009). Kesalahan medis adalah
penyebab utama kematian kedelapan di Amerika Menurut
statistik keselamatan pasien tahun 1999, yang
dikeluarkan oleh Institute for Health Care Improvement

6
(2013) jumlah orang Amerika meninggal setiap tahun
karena kesalahan medis dalam perawatan kesehatan
setinggi 98,000. Telah ditemukan bahwa sebagian besar
kasus insiden keselamatan pasien itu adalah sistem,
kondisi, prosedur, kendala, dan lingkungan yang sering
dihadapi pasien, yang mengarah pada masalah
keamanan. Kurangnya komitmen manajemen dan
organisasi personel juga akan menyebabkan peningkatan
tingkat insiden keselamatan pasien dalam health care
setting (Kadhim, 2017)

(Top & Tekingündüz, 2015)

7
Hubungan substansial antara kombinasi dua dari tiga
konsep kerja tim, kesejahteraan, dan keselamatan
pasien, yang menunjukkan bahwa ketiganya mungkin
mempengaruhi satu sama lain, mengidentifikasi tren
untuk mengatasi kesenjangan ini. Merujuk pada tiga
rekomendasi utama (yaitu, pendekatan komprehensif
untuk kerja tim, kesejahteraan klinisi, dan pasien)
keamanan; pertimbangan dari seluruh tim kesehatan dan
eksplorasi hubungan kausal) akan menghasilkan
penelitian yang secara substansial mengeksplorasi dan
mendukung hubungan hipotesis antara kerja tim,
kesehatan kerja dokter dan keselamatan pasien.
Perspektif integratif dari sinergi antara kerja tim,
kesejahteraan dan keselamatan pasien akan
menginformasikan penelitian masa depan, dan tujuan
untuk memberi manfaat bagi tenaga medis dan
pasien.(Welp & Manser, 2016). Memelihara budaya
keselamatan kerja mendorong sumber daya penting untuk
meningkatkan kesejahteraan staf, sehingga berkontribusi
untuk membangun dan mempertahankan lingkungan

8
yang sehat dan tenaga kerja yang tangguh. Sekarang
adalah waktu untuk mengubah krisis COVID-19 menjadi
peluang untuk membangun ketahanan rumah sakit dan
individu. Keselamatan Pasien dan Kesejahteraan Staf:
Budaya Organisasi sebagai sebuah Sumber Daya. Dalam
pascapandemi, institusi kesehatan harus menyusun
ulang strategi untuk menumbuhkan sikap suportif dan
lingkungan yang aman untuk kesejahteraan pasien dan
staf. Misalnya, manajer harus mengalihkan lebih banyak
sumber daya untuk membantu perawat dan orang-orang
dari etnis minoritas untuk mengatasinya stres dan
kelelahan yang disebabkan oleh pandemi (Lu et al., 2022)
Regulasi Terkait Pasien Safety

9
Standar keselamatan pasien rumah sakit yang disusun ini
mengacu pada “Hospital Patient Safety Standards” yang
dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation of
Health Organizations, Illinois, USA, tahun 2002, yang
disesuaikan dengan situasi dan kondisi perumahsakitan
di Indonesia. Standar Keselamatan Pasien wajib
diterapkan rumah sakit dan penilaiannya dilakukan
dengan menggunakan Instrumen Akreditasi Rumah Sakit.
Standar keselamatan pasien tersebut terdiri dari tujuh
standar yaitu:
1. Hak pasien
2. Mendidik pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja
untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan
keselamatan pasien
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan
keselamatan pasien
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk
mencapai keselamatan Pasien (Kemenkes RI, 2015)

10
(Adventus, Mahendra, & Martajaya, 2019)

11
(Isniati, 2017)
Adapun istilah insiden keselamatan pasien yang telah
dikenal secara luas berikut definisinya yaitu:
Insiden Keselamatan Pasien (IKP) / Patient Safety Incident
adalah setiap kejadian atau situasi yang dapat
mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan harm
(penyakit, cedera, cacat, kematian dan lain-lain) yang
tidak seharusnya terjadi.
Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) / Adverse Event adalah
suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak
diharapkan pada pasien karena suatu tindakan
(“commission”) atau karena tidak bertindak (“omission”),
bukan karena “underlying disease” atau kondisi pasien.
Kejadian Nyaris Cedera (KNC) / Near Miss adalah suatu
insiden yang belum sampai terpapar ke pasien sehingga
tidak menyebabkan cedera pada pasien.

12
Kejadian Tidak Cedera (KTC) adalah insiden yang sudah
terpapar ke pasien, tetapi tidak menimbulkan cedera,
dapat terjadi karena “keberuntungan” (misal: pasien
terima suatu obat kontra indikasi tetapi tidak timbul
reaksi obat), atau “peringanan” (suatu obat dengan reaksi
alergi diberikan, diketahui secara dini lalu diberikan
antidotumnya).
Kondisi Potensial Cedera (KPC) / “reportable
circumstance” adalah kondisi yang sangat berpotensi
untuk menimbukan cedera, tetapi belum terjadi insiden.
Kejadian Sentinel (Sentinel Event) yaitu suatu KTD yang
mengakibatkan kematian atau cedera yang diharapkan
atau tidak dapat diterima seperti: operasi pada bagian
tubuh yang salah. Pemilihan kata “sentinel” terkait
dengan keseriusan cedera yang terjadi (misalnya
Amputasi pada kaki yang salah, dan sebagainya) sehingga
pencarian fakta terhadap kejadian ini mengungkapkan
adanya masalah yang serius pada kebijakan dan prosedur
yang berlaku (Tutiany, Lindawati, & Krisanti, 2017).
Konsep Model dan Perkembangan Pasien Safety
Vincent (2010) menawarkan model sederhana berikut
untuk melihat keselamatan pasien. Ini membagi sistem
perawatan kesehatan menjadi empat domain:
1. Mereka yang bekerja di bidang kesehatan
2. Mereka yang mendapat perawatan kesehatan atau
memiliki saham dalam ketersediaannya
3. Infrastruktur sistem untuk intervensi terapeutik
(proses pemberian layanan kesehatan,
4. Metode umpan balik dan perbaikan terus menerus
Keempat domain ini diwakili secara grafis pada Gambar 1.
Setiap domain berinteraksi dengan domain lain dan
lingkungan, seperti yang digambarkan oleh divisi
semipermeable (garis putus-putus) di antara keduanya
dan di sisi luarnya. Hasilnya adalah inti, model
menyeluruh untuk keselamatan pasien.

13
Model ini konsisten dengan definisi keselamatan pasien
yang disebutkan di atas: Apa? dan dimana? Sesuai
dengan domain ketiga, yaitu "Sistem untuk tindakan
terapeutik:" Bagaimana? Sesuai dengan Keempat,
"Metode"; Siapa? Sesuai dengan yang pertama dan kedua,
yaitu "orang-orang yang bekerja dalam perawatan
kesehatan" dan "orang-orang yang menerimanya atau
memiliki saham dalam ketersediaannya". Model ini juga
konsisten dengan kerangka berfikir yang ada yang
mendukung pasien. Vincent (2010) mengidentifikasi tujuh
elemen yang mempengaruhi keselamatan:
1. Faktor organisasi dan manajemen.
2. Faktor lingkungan kerja.
3. Faktor tim.
4. Faktor individu
5. Karakteristik Pasien
6. Faktor lingkungan eksternal.

14
Faktor-faktor ini menyebar di antara tiga domain; Sistem
untuk tindakan terapeutik, orang-orang yang bekerja di
bidang perawatan kesehatan, dan orang-orang yang
menerimanya atau memiliki saham dalam
ketersediaannya. Model nasional untuk akreditasi dan
kualitas keselamatan pasien (Australian Commission on
Safety and Quality in Healthcare / ACSQH, 2010) Pada
bulan November 2006, ACSQH memulai tinjauan
terhadap sistem dan standar keselamatan dan kualitas
nasional, dan mengusulkan sebuah paket reformasi
termasuk seperangkat standar nasional dimana layanan
kesehatan dapat dinilai. Tahap pertama pelaksanaan
reformasi akreditasi telah difokuskan pada
pengembangan seperangkat Standar Pelayanan
Kesehatan Keselamatan dan Mutu Nasional. Standar
tersebut juga menyediakan sarana untuk menilai kinerja
organisasi. Draft Standar telah dikembangkan untuk:
1. Tata Kelola untuk Keselamatan dan Mutu dalam
Organisasi Pelayanan Kesehatan
2. Infeksi terkait kesehatan
3. Keamanan obat
4. Identifikasi Pasien dan Prosedur Pencocokan; dan
5. Timbang terima (Handover) Klinis
Lima topik tambahan saat ini dalam pengembangan,
mencakup:
1. Darah dan keamanan darah
2. Bermitra dengan Konsumen
3. Pencegahan dan Penatalaksanaan Ulkus Tekanan
4. Mengakui dan Menanggapi Kerusakan Klinis; dan
5. Keselamatan dari jatuh.
WHO telah berperan penting dalam pembuatan panduan
teknis dan sumber daya seperti Panduan Kurikulum
Keselamatan Pasien Multi-Profesional, Daftar Periksa
Persalinan Aman, Daftar Periksa Keselamatan Bedah,
solusi Keselamatan Pasien, dan 5 Momen untuk

15
Keamanan Obat (tersedia dalam bentuk cetak dan dalam
bentuk Aplikasi).
Untuk mempromosikan solidaritas global, WHO juga telah
mendorong penciptaan jaringan dan inisiatif kolaboratif
seperti Jaringan Keselamatan Pasien Global dan
Kolaborasi Keselamatan Pasien Global. Menyadari
pentingnya keterlibatan aktif pasien dalam tata kelola,
kebijakan, peningkatan sistem kesehatan, dan perawatan
mereka sendiri, WHO juga menetapkan program Pasien
untuk Keselamatan Pasien untuk mendorong keterlibatan
pasien dan keluarga (WHO, 2019).
Keselamatan dan kualitas harus menjadi pekerjaan setiap
orang yang bekerja di bidang kesehatan. Dengan tidak
adanya kepemimpinan yang efektif, individu yang
mungkin memiliki motivasi tinggi mungkin tidak memiliki
kekuatan pendorong yang diperlukan untuk menerapkan
motivasi mereka dalam latihan dan mungkin menjadi
tindakan yang sesuai. Ketidakpastian tidak kondusif bagi
perawatan pasien berkualitas tinggi yang aman Meskipun
banyak yang telah dikatakan dalam beberapa tahun
terakhir tentang perlunya menciptakan "budaya yang
adil" untuk mendorong keterbukaan dan kejujuran, ada
juga argumen yang mendukung penerapan terhadap
kompetensi dan kinerja tersebut telah jatuh di bawah apa
yang mungkin cukup diharapkan dari mereka.
Masalah budaya terkadang diidentifikasi sebagai
penghalang bagi perubahan sistem di seluruh dunia.
Dilihat secara negatif, isu-isu budaya ini mengacu pada
sikap dan perilaku profesional dan organisasi yang tahan
terhadap gangguan yang dirasakan dan mewujudkan
antipati terhadap perubahan. Sebaliknya, budaya
keselamatan positif ditandai oleh komunikasi terbuka,
saling percaya, persepsi bersama tentang pentingnya
keselamatan dan kepercayaan diri terhadap
kemanjuran tindakan pencegahan. Upaya yang
meningkat diperlukan di Irlandia untuk memperbaiki
budaya nasional, profesional dan organisasional sehingga
keselamatan pasien dipahami, dipromosikan dan
didukung di semua tingkat. Pengalaman dari sistem lain
menunjukkan bahwa kepemimpinan profesional yang

16
efektif sangat penting dalam mencapai perubahan budaya
yang diperlukan untuk menyediakan layanan berkualitas
tinggi yang aman.
Menurut Permenkes RI Nomor 11 Tahun 2017 Tentang
Keselamatan Pasien, standar keselamatan pasien tersebut
terdiri dari tujuh standar yaitu:
1. Hak pasien
2. Pendidikan bagi pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk
melakukan evaluasi dan peningkatan keselamatan
pasien
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan
keselamatan pasien
6. Pendidikan bagi staf tentang keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk
mencapai keselamatan pasien
(Poltekes Kemenkes Palangka Raya, 2019)

17
(Ball & Griffiths, 2018)
Peningkatan kualitas membutuhkan kolaborasi antara
profesional dan manajer dari disiplin ilmu yang
berbeda. Ini menantang karena mereka memiliki
perhatian dan tujuan yang berbeda dan menggunakan
kosakata profesional yang berbeda. Dalam studi kasus
rumah sakit, model bertindak sebagai objek, membantu
kolaborasi dengan menghadirkan strategi perubahan yang
koheren, dan mengarahkan perhatian ke arah pemikiran
organisasi-sistem, dan budaya. Hal ini sejalan dengan
penelitian terbaru yang menekankan pentingnya faktor-
faktor ini dalam meningkatkan kualitas dan keamanan di
kesehatan (Wiig et al., 2014).

18
Global Patient Safety Action Plan 2021–2030
Tujuh puluh empat Majelis Kesehatan Dunia juga
meminta Direktur Jenderal untuk melaporkan kembali
kemajuan dalam implementasi rencana aksi global ke
Majelis Kesehatan Dunia Ketujuh puluh enam pada tahun
2023 dan sesudahnya setiap dua tahun sampai tahun
2031 (World Health Organization, 2021)

19
(WHO, 2011)
Latar belakang keselamatan pasien Gerakan keselamatan
pasien modern dimulai dalam beberapa tahun terakhir
abad ke-20 dan telah mendapatkan momentum selama
dua dekade pertama abad baru. Laporan utama dari
Amerika Serikat, To err is human: membangun sistem
kesehatan yang lebih aman (1) dan Kerajaan Inggris Raya
dan Irlandia Utara, Sebuah organisasi dengan kenangan
(2) lingkup subjek, menarik perhatian pada skala
20
masalah, kesejajaran dengan yang lain industri berisiko
tinggi dan kelemahan sistem kesehatan dalam
memprovokasi kesalahan manusia. Sekitar pada saat
yang sama, serangkaian studi observasional di berbagai
negara (3–5) menilai tingkat apa yang disebut "kesalahan
medis" dalam perawatan rawat inap rumah sakit. Telah
dirangsang oleh keterlibatan yang lebih besar dari
akademisi dan praktisi dari lapangan keselamatan di luar
perawatan kesehatan, dan oleh kepedulian publik tentang
tingkat bahaya yang dapat dihindari selama perawatan
pasien, banyak sistem perawatan kesehatan di seluruh
dunia meluncurkan program yang ditujukan untuk:
meningkatkan keselamatan pasien. Selama periode
pengembangan keselamatan pasien ini, secara luas
dinyatakan – dan tidak kritis diterima – bahwa langkah
kunci dalam mengurangi risiko yang terkait dengan
perawatan kesehatan adalah belajar dari hal-hal yang
salah. Ini dengan cepat mengarah pada pembentukan
insiden keselamatan pasien sistem pelaporan di tingkat
fasilitas perawatan kesehatan dan, di beberapa negara, di
tingkat nasional.
Optimisme yang mendorong terburu-buru untuk
menempatkan sistem pelaporan di jantung keselamatan
pasien program di seluruh dunia telah digantikan oleh
skeptisisme (lahir lebih dari satu dekade pengalaman
sistem semacam itu) bahwa pelaporan bukanlah
mekanisme yang berdiri sendiri untuk mengurangi risiko
dan meningkatkan keselamatan. Itu perlu menjadi bagian
dari budaya keingintahuan dan pemahaman secara
keseluruhan tentang bagaimana bahaya terjadi, tekad
untuk mengekspos semua sumber risiko kepada pasien,
ditambah dengan aturan dan proses investigasi yang
dipahami dengan baik dan metode yang efektif untuk
diterapkan perubahan berdasarkan pembelajaran ini
(bagian yang paling sulit dari semuanya) untuk
meningkatkan keselamatan.
Selain itu, tujuan dari banyak sistem kesehatan adalah
untuk lebih memberdayakan pasien dan keluarga mereka
sehingga bahwa mereka memainkan peran penting dalam
mengidentifikasi sumber risiko dan potensi bahaya serta

21
membantu untuk merancang sistem yang lebih aman,
selain sepenuhnya terlibat dalam perawatan mereka
sendiri untuk mencegah bahaya dan mengurangi risiko
bahaya bagi mereka saat menerima perawatan kesehatan.
Sistem pelaporan dan pembelajaran: status terkini Ada
informasi sistemik terbatas yang tersedia tentang jenis
bahaya terkait perawatan kesehatan terjadi di negara-
negara berpenghasilan rendah dan menengah. Informasi
yang tersedia dari berpenghasilan tinggi negara
menunjukkan kesamaan dalam jenis kerusakan terkait
perawatan kesehatan yang terjadi. Di Amerika Utara,
Eropa, Australasia, dan banyak bagian Asia dan Timur
Tengah, analisis informasi dalam laporan insiden
keselamatan pasien dan temuan studi penelitian
menunjukkan pola yang sangat konsisten.
Di seluruh dunia, pasien menderita kerugian di fasilitas
perawatan kesehatan dan meninggal secara tidak wajar.
Mereka cedera atau cacat yang dapat dihindari karena
infeksi yang didapat, kesalahan dalam penggunaan obat
atau dalam pelaksanaan prosedur. Mereka dapat terluka
karena jatuh, menderita diagnosa yang tidak terjawab
atau mengalami hal yang buruk manajemen klinis
penyakit akut mereka. Mereka dapat dirugikan oleh borok
tekanan, rusak atau peralatan yang disalahgunakan, atau
staf yang tidak kompeten. Ini hanya beberapa sumber
yang dapat dihindari menyakiti. Skala setiap jenis
kerusakan bervariasi. Beban keseluruhan belum
berkurang secara dramatis selama dekade terakhir,
terlepas dari prioritas yang belum pernah terjadi
sebelumnya yang telah diberikan untuk keselamatan
pasien dalam sistem kesehatan ini. Banyak dari peristiwa
berbahaya ini berpotensi dapat dihindari. Itu biaya
manusia untuk pasien dan keluarga menjadi perhatian
serius. Sedikit yang diketahui tentang tingkat dan sifat
bahaya dalam perawatan primer, meskipun pekerjaan
penting adalah meningkatkan pemahaman itu. Secara
global, sebanyak empat dari 10 pasien terluka dalam
pengaturan perawatan primer dan rawat jalan saat
menerima perawatan kesehatan. Hingga 80% dari bahaya
adalah dapat dicegah. Beberapa kesalahan yang paling

22
merugikan terkait dengan diagnosis, resep, dan
penggunaan obat-obatan.

Pekerjaan WHO pada keselamatan pasien pelaporan


insiden dan pembelajaran Kerangka konseptual untuk
Internasional Klasifikasi Keselamatan Pasien adalah
“seperangkat konsep yang dihubungkan oleh hubungan
semantik. Ini menyediakan struktur untuk mengatur
informasi yang akan digunakan untuk berbagai tujuan
lain, termasuk nasional statistik, studi deskriptif, dan
penelitian evaluatif”.

23
10 high-level classes of patient safety adalah:
1. Jenis insiden
2. Hasil pasien
3. Karakteristik pasien
4. Karakteristik insiden
5. Faktor/bahaya yang berkontribusi
6. Hasil organisasi
7. Deteksi
8. Faktor-faktor yang meringankan
9. Tindakan perbaikan
10. Tindakan yang diambil untuk mengurangi risiko.

24
(World Health Organization, 2020)
Komitmen kepemimpinan terhadap keselamatan
diperlukan, dan ini dapat mencakup pengembangan
dokumen struktural untuk memandu secara teratur
pemantauan dan pemutakhiran (yaitu, kebijakan,
prosedur, rencana, dan pedoman); pelatihan dan
pendidikan staf yang komprehensif lalu Manajer dan staf
harus bekerja sama untuk mengembangkan dan rencana
pelatihan berkelanjutan yang akan memastikan
keterlibatan setiap orang dalam membangun budaya
keselamatan bersama. Di era teknologi ini, organisasi
perawatan kesehatan perlu memperluas layanan dan,
misalnya, meluncurkan platform virtual untuk
memfasilitasi kolaborasi antara para profesional di dalam
atau di seluruh fasilitas yang berbeda sebagai faktor
penting dalam mendukung keselamatan pasien. Banyak
penelitian telah menemukan bahwa peran yang muncul
dari rekayasa faktor manusia dalam pemberian layanan
kesehatan dapat memperbaiki kondisi kerja dan
meminimalkan kesalahan medis yang terkait dengan efek
samping (Aljaffary, Albaalharith, Alumran, Alrawiai, &
Hariri, 2022). Banyak intervensi telah diterapkan secara
luas di lingkungan rumah sakit untuk meningkatkan
keselamatan pasien. Salah satu metode tersebut
memerlukan promosi budaya keselamatan; lain
melibatkan perbaikan aspek tertentu dari pemberian
perawatan yang staf mengidentifikasi sebagai berbahaya
bagi pasien. Beberapa penelitian telah menilai tren
terbaru dari pemanfaatan IoT dalam perawatan kesehatan

25
untuk meningkatkan keselamatan pasien. Ahmadi dkk.
(2019) menegaskan bahwa Internet Of Think (IoT) dapat
digunakan untuk mencapai beberapa tujuan dalam
manajemen rumah sakit, termasuk mencegah infeksi
Internet hal-hal dalam perawatan kesehatan Penerapan
IoT di bidang medis terus berkembang. Pada tahun 2014,
Xu dkk. melakukan survei untuk memberikan tinjauan
rinci tentang arsitektur IoT (bersama dengan teknologi
utama lainnya) yang merevolusi layanan kesehatan. Pada
tahun 2015, Islam dkk. mensurvei metodologi kerja dan
penggunaan IoT dalam perawatan kesehatan, dengan
mempertimbangkan berbagai layanan dan aplikasi IoT
untuk kondisi medis tunggal dan berkelompok. Tinjauan
lain mencatat bahwa IoT dapat memberdayakan individu
dengan memberikan perawatan yang hemat biaya dan
personal baik dalam perawatan klinis (untuk pasien rawat
inap) dan pemantauan jarak jauh. Satu studi menilai
arsitektur yang mendasari aplikasi IoT baru-baru ini
dalam perawatan kesehatan, seperti pil pintar yang
mengukur kepatuhan medis, kehidupan berbantuan
ambient untuk pasien lanjut usia, dan m-health interaktif
untuk pasien diabetes. Dimitrov merinci bagaimana
industri farmasi bermitra dengan industri teknologi untuk
mengembangkan sistem perawatan kesehatan berbasis
IoT yang meningkatkan perawatan pasien.
Sementara banyak peneliti fokus pada arsitektur dan
pengembangan berbagai aplikasi perawatan kesehatan
berbasis IoT, beberapa penelitian berfokus pada
bagaimana IoT berdampak pada aspek-aspek tertentu dari
lingkungan rumah sakit, seperti keselamatan pasien dan
efisiensi kerja. Banyak penelitian menegaskan bahwa IoT
dapat secara signifikan meningkatkan keselamatan
pasien, karena berbagai sistem alarm dapat
memperingatkan penyedia layanan untuk
mengembangkan kondisi pasien, memungkinkan mereka
untuk bertindak sesuai. Dan Manfaat yang menjanjikan
dari IoT dalam keselamatan pasien, analisis lebih lanjut
yang mencakup data terbaru tentang Resiko pasien jatuh,
kepatuhan Smart Hand Hygiene (HH), dan tingkat infeksi
akan memberikan temuan lebih lanjut.(Yesmin, Carter, &
Gladman, 2022)

26
Daftar Pustaka
Adventus, Mahendra, D., & Martajaya, I. M. (2019). Modul
Manajemen Pasien Safety. Modul Manajemen Pasien
Safety, 22. Retrieved from
http://repository.uki.ac.id/2730/1/BUKUMODULMAN
AJEMENPASIENSAFETY.pdf
Aljaffary, A., Albaalharith, M. A., Alumran, A., Alrawiai, S., &
Hariri, B. (2022). Patient Safety Culture in Primary
Healthcare Centers in the Eastern Province of Saudi
Arabia. Risk Management and Healthcare Policy,
15(February), 229–241.
https://doi.org/10.2147/RMHP.S336117
Ball, J., & Griffiths, P. (2018). Missed Nursing Care: A Key
Measure for Patient Safety. Agency for Healthcare
Research and Quality, I(January 2005), 363.
Cecilia, M., Elizabeth, M., & Rukweza, J. (2019). Patient
Safety Concept. 2(1), 28–43.
https://doi.org/10.5281/zenodo.3595155
Huang, Chih-Hsuan Wu, Hsin-Hung, Yii-Ching Lee, Inneke
Van Nieuwenhuyse, M.-C. L., & Wu, C.-F. (2020). Patient
safety in Work Environments: Perceptions of Pediatric
Healthcare Providers in Taiwan. Journal of Pediatric
Nursing, 53(6), 13.
Huang, C. H., Wu, H. H., Lee, Y. C., Van Nieuwenhuyse, I.,
Lin, M. C., & Wu, C. F. (2020). Patient safety in work
environments: Perceptions of pediatric healthcare
providers in Taiwan. Journal of Pediatric Nursing, 53, 6–
13. https://doi.org/10.1016/j.pedn.2020.03.005
ILO. (2015). Occupational safety and health management
systems. In Safety and Health in Agriculture: A code of
practice. https://doi.org/10.5848/ilo.978-9-221249-71-
9_6
ILO. (2022). Enchancing social dialogie towards a culture of
safety and health, What have we learned from the
COVID-19 crisis? WORLD DAY FOR SAFETY AND
HEALTH AT WORK 2022 REPORT.
Kadhim, J. J. (2017). Patient Safety in Primary Care : A
Concept Analysis in Nursing. 7(1), 17–28.

27
Kamil, H. (2009). Patient Safety Hajjul Kamil. Idea Nursing
Journal, 1(1), 1–8.
Kemenkes RI. (2015). Pedoman nasional keselamatan pasien
rumah sakit Edisi III. Depkes RI. (2008). Panduan
Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient
Safety) Edisi 2. KKP-RS. Jakarta : Departemen Kesehatan
RI, 1–54. Retrieved from http://rsjiwajambi.com/wp-
content/uploads/2019/09/PEDOMAN-NASIONAL-
KESELAMATAN-PASIEN-RS-EDISI-III-2015-1.pdf
Kwon, M. R., & Soon, M. (2019). The Effects of Operating
Room Nurses’ Perceptions of Organizational Health,
Safety Climate, and the Nursing Working Environment
on Engagement in Patient Safety Management Activities.
Lu, L., Ko, Y. M., Chen, H. Y., Chueh, J. W., Chen, P. Y., &
Cooper, C. L. (2022). Patient Safety and Staff Well-Being:
Organizational Culture as a Resource. International
Journal of Environmental Research and Public Health,
19(6), 1–14. https://doi.org/10.3390/ijerph19063722
Luis, F., & Moncayo, G. (2008). FUNDAMENTAL PRINCILES
OF OCCUPATIONAL HEATH AND SAFETY SECOND
EDITION.
Meliza, S. (2011). Konsep Dasar Kesehatan dan Keselamatan
Kerja ( K3 ) dalam Asuhan Keperawatan. 1–11.
Mihdawi, M., Al-Amer, R., Darwish, R., Randall, S., & Afaneh,
T. (2020). The Influence of Nursing Work Environment on
Patient Safety. Workplace Health and Safety, 68(8), 384–
390.
https://doi.org/10.1177/2165079920901533Isniati.
(2017). MANAJEMEN RISIKO DAN PATIENT SAFETY
Sejarah dan Perkembangan Patient Safety di Dunia.
Universitas Andalas.
Poltekes Kemenkes Palangka Raya. (2019). MODUL TEORI 1
Manajemen pasien saftey 2019.
Sari, K. J. (2019). Peraturan Tentang Kebijakan Keselamatan
Kerja Di Rumah Sakit. Retrieved from
https://osf.io/preprints/gwtpy/
Sendlhofer, G., & Kamolz, L. P. (2015). Get in touch with
safety in health. Safety in Health, 1(1).
https://doi.org/10.1186/2056-5917-1-1

28
Sturm, H., Rieger, M. A., Martus, P., Ueding, E., Wagner, A.,
Holderried, M., & Maschmann, J. (2019). Do perceived
working conditions and patient safety culture correlate
with objective workload and patient outcomes: A cross-
sectional explorative study from a German university
hospital. PLoS ONE, 14(1), 1–19.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0209487
Top, M., & Tekingündüz, S. (2015). Patient Safety Culture in
a Turkish Public Hospital: A Study of Nurses’ Perceptions
About Patient Safety. Systemic Practice and Action
Research, 28(2), 87–110.
https://doi.org/10.1007/s11213-014-9320-5
Tutiany, Lindawati, & Krisanti, P. (2017). Bahan Ajar
Keperawatan: Manajemen Keselamatan Pasien. Pusat
Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI, 297. Retrieved from
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2017/11/MANAJEMEN-
KESELAMATAN-PASIEN-Final-DAFIS.pdf
Welp, A., & Manser, T. (2016). Integrating teamwork, clinician
occupational well-being and patient safety - Development
of a conceptual framework based on a systematic review.
In BMC Health Services Research (Vol. 16).
https://doi.org/10.1186/s12913-016-
1535-y
WHO. (2011). Patient Safety Curriculum Guide Multi-
professional Edition. Acoustics Australia, 32(3),
111–116.
WHO. (2019). Patient Safety. Retrieved from Patien Safety
website: https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/patient-safety
Wiig, S., Robert, G., Anderson, J. E., Pietikainen, E., Reiman,
T., Macchi, L., & Aase, K. (2014). Applying different
quality and safety models in healthcare improvement
work: Boundary objects and system thinking. Reliability
Engineering and System Safety, 125, 134–144.
https://doi.org/10.1016/j.ress. 2014.01.008
World Health Organization. (2020). Patient Safety Incident
Reporting and Learning Systems.

29
World Health Organization. (2021). Global patient safety
action plan 2021–2030:Towards eliminating avoidable
harm e health care. In World Health Organization.
Retrieved from https://www.who.int/teams/integrated-
health-services/patient-safety/policy/global-patient-
safety-action-plan
WHO. (2022). Hari Keselamatan Pasien Sedunia 2022.
World Health Assembly. (2019). Wha72.6. (May 2019), 1–5.
Retrieved from
https://apps.who.int/gb/ebwha/pdf_files/WHA72/A72
_R6-en.pdf
World Health Organization. (2019). WHO | Patient safety.
Retrieved from Who website:
https://www.who.int/patientsafety/en/
World Health Organization. (2020). World Patient Safety Day
2020.
Yesmin, T., Carter, M. W., & Gladman, A. S. (2022). Internet
of things in healthcare for patient safety: an empirical
study. BMC Health Services Research, 22(1), 1–14.
https://doi.org/10.1186/s12913-022-07620-3

30
Profil Penulis
Devanda Faiqh Albyn
Penulis lahir di Pemalang, 28 Maret 1994. Penulis
merupakan Karyawan BUMN di Holding PT.
Perkebunan Nusantara sebagai Occupational
Health Nurse (OHN) dan HSE Officer K3
Perkantoran di Divisi Human Capital,
ketertarikan penulis terhadap disiplin ilmu kesehatan dan
keselamatan kerja (K3) saat menempuh pendidikan S1
Keperawatan di STIKES Banyuwangi (2012-2016) karena ilmu
K3 sangat aplikatif dan bisa diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari tentunya beliau terapkan ilmu K3 ini di lapangan
ketika menjadi Pramedis disuatu Event Organizer milik Kalbe
Farma di Besuki Raya, selain itu penulis sempat menjadi tenaga
pendidik PMR Wira di Banyuwangi kedua pekerjaan tersebut
beliau jalankan saat duduk di bangku kuliah (2014-2017) selain
itu dalam Tugas akhir Skripsi penulis memilih Tema K3, lalu
penulis melanjutkan pendidikan Profesi/Ners (2017-2018)
dengan peminatan Gawat Darurat. Setelah
menempuhpendidikan S1 dan Profesi Keperwatan penulis
bekerja di Klinik dan Rumah Sakit, materi “Pasien Safety” tidak
lepas dari pengalaman kerja beliau dimana beliau memiliki
pengalaman sebagai praktisi di Fasilitas pelayanan Kesehatan
Primer. Penulis melanjutkan studi Magister Keperawatan di
Universitas Brawijaya (2019-sekarang).
Saat ini penulis aktif menulis Book Chapter dan Pengurus Pusat
serta Tim Formatur dalam Organisasi Himpunan Perawat
Kesehatan Kerja Indonesia (PERKESJA) dalam divisi
Kesejahteraan dan Ventura. Melalui tulisan ini penulis berharap
dapat memberikan manfaat dan berkontribusi untuk
menanamkan sikap “Safety Behavior” bagi masyarakat, tidak
lupa penulis juga meminta kritik atau saran dari para pembaca
agar menjadi bahan perbaikan untuk penulisan buku yang
berikutnya.
Email Penulis: dfaiqhalbyn@gmail.com

31
32
2
KEBUTUHAN DASAR
KESELAMATAN PASIEN

Maria Agustina Making, S.Kep., Ns., M.Kep.


Poltekkes Kemenkes Kupang

Sistem asuhan yang diperlukan oleh fasilitas kesehatan


dalam meningkatan mutu pelayanan kesehatan yang baik
yaitu perlu adanya pengetahuan yang mendasar tentang
kebutuhan dasar keselamatan pasien terutama
lingkungan rumah sakit karena lingkungan tersebut
rentan dengan penyebaran sumber infeksi yang dapat
mempengaruhi sistem kekebalan tubuh manusia
(Mulyatiningsih and Sasyari, 2021). Media komunikasi
sangat penting ketika seseorang berada di area rumah
sakit khususnya jika pasien atau keluarga membutuhkan
informasi tentang aturan dan mekanisme pelayanan
kesehatan. Maka itu segala prosedur yang telah
ditetapkan oleh fasilitas kesehatan perlu dijaga dengan
baik oleh semua petugas kesehatan atau keluarga pasien
maupun pasien yang dirawat di pelayanan kesehatan
(KEMENKES, 2016). Adapun langkah-langkah
Peningkatan keselamatan pasien, yaitu:
1. Membangkitkan kesadaran tentang Keselamatan
Pasien;
2. Membangun budaya pemimpin yang professional dan
mendukung staf dalam melaksanakan tugas
3. Memadukan kegiatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan segala resiko dalam pelayanan
kesehatan

33
4. Membangun segala sistem pelaporan yang sistematis
5. Menyertakan dan membangun komunikasi yang baik
dengan pasien
6. Menanamkan kepercayaan dengan pasien dengan
belajar serta berbagi pengalaman dengan pasien
7. Membangun budaya keselamatan pasien untuk
mencegah terjadinya kecelakaan kerja
Meninjau adanya peningkatan persoalan keselamatan
yang terjadi saat ini, maka perlu diatasi oleh semua
fasilitas kesehatan, dengan demikian setiap fasilitas
kesehatan harus mengikuti dan menerapkan standar
keselamatan sesuai dengan stndar yang berlaku, yaitu:
1. Hak dan Kewajiban
Perencanaan pelayanan terhadap pasien wajib
diketahui oleh keluarga pasien dan pasien, dengan
demikian segala informasi tentang bahaya resiko
kejadian yang tidak diinginkan dan efek pelayanan
serta kasus yang tidak diharapkan. Dengan demikian
bahwa tujuan utama adalah upaya preventif kuratif
dan promotif serta rehabilitatif. Relasi yang baik
antara petugas medis serta pasien pada dasarnya
bertumpu pada upaya untuk memperkirakan tentang
kondisi diri sendiri dan pasien wajib menerima
informasi yang lengkap (Permenkes, 2017).
Kriteria Hak Pasien yang wajib diterima:
a. Hak Pasien
1) Segala informasi tentang aturan dan prosedur
yang telah berlaku di fasilitas kesehatan;
2) Hak dan kewajiban harus diinformasikan
kepada pasien
3) Semua bentuk pelayanan yang diterima oleh
pasien sesuai dengan norma dan etik yang
berlaku dan yang diutamakan adalah
keadilan dan kejujuran tanpa membeda-
bedakan sesuai agama/ras, dll

34
4) Petugas memperhatikan Pelayanan yang
diberikan kepada pasien dengan
memperhatikan SOP (standar opersional
prosedur) profesi
5) Pelayanan yang didapatkan oleh asien harus
efisien sehingga tidak terjadi kerugian dalam
bentuk fisik maupun materi
6) Pengajuan kritikan terhadap segala pelayanan
yang diterima selama pengobatan atau
perawatan
7) Setiap pasien dapat memilih jenis perawatan
sesuai dengan kepentingan pasien, yang
dimulai dari pendaftaran, pengobatan serta
pengontrolan penyakit yang telah berlaku di
fasilitas kesehatan
8) Setiap petugas kesehatan yang memberikan
pelayanan harus menjaga rahasia informasi
tentang penyakit dan data-data tentang
penyakit
9) Pelayanan yang aman sehingga pasien merasa
dilindungi
10) memiliki hak untuk memberikan saran dan
kritikan terhadap pelayanan kesehatan
b. Kewajiban Pasien
1) Tata tertib yang berlaku di pelayanan
kesehatan wajib dipatuhi oleh semua elemen
di fasilitas kesehatan
2) Informasi yang diberikan oleh dokter dan
perawat wajib dilaksanakan selama proses
pengobatan
3) Pasien mengungkapkan informasi yang
lengkap pada dokter atau perawat tentang
penyakit sesuai dengan keadaan yang dialami
dengan jujur.
4) Memenuhi kewajiban untuk
membayar/membereskan jasa yang telah

35
diterima selama pengobatan di fasilitas
kesehatan.
5) Mengikuti amanah dan informasi yang
diberikan oleh petugas kesehatan
2. Pendidikan Pasien dan Keluarga
Menurut (Permenkes, 2017) pemberian pelayanan
yang optimal tentang keselamatan dapat ditingkat
dengan melibatkan semua elemen terkait proses
pelayanan demi mendukung sistem yang baik. Maka
itu setiap tempat pelayanan kesehatan wajib memiliki
system dan mekanisme pengajaran pada pasien serta
keluarga tentang informasi kewajiban dan jaminan
serta komitmen dalam asuhan yang diterima pasien.
Tempat pelayanan kesehatan wajib memberikan
pendidikan yang benar pada setiap pengunjung
pelayanan kesehatan baik itu pasien maupun
keluarga pasien tentang kewajiban & tanggung jawab
pasien dalam memberikan asuhan pasien dengan
memperhatikan kriteria keselamatan pasien, yaitu:
a. Petugas menyampaikan segala informasi sesuai
dengan prosedur yang berlaku dengan benar,
lengkap dan jelas serta jujur
b. Semua elemen di rumah sakit wajib memahami
keharusan serta tanggung jawab yang telah
ditetapkan oleh fasilitas kesehatan
c. Informasi yang tidak dipahami oleh pasien dapat
bertanya ke petugas kesehatan
d. Informasi tentang konsekuensi jasa kesehatan
yang diberikan oleh petugas harus dapat
dipahami oleh pasien
e. Peraturan yang berlaku di fasilitas kesehatan
harus diindahkan dan ditaati
f. setiap orang menunjukkan sikap sesuai norma
dan etika
g. Setiap pasien yang telah mendapatkan pelayanan
wajib melunasi finansial sesuai dengan aturan

36
3. Kesinambungan dalam Pelayanan
Menurut (Rocha et al., 2021) untuk meningkatkan
kedidiplinan tentang keselamatan pasien maka perlu
dilakukan komunikasi yang efektif. Pelaksanaan
evaluasi pelayanan wajib secara menyeluruh dapat
dievaluasi mulai ketika pertama pasien masuk
pelayanan kesehatan, saat pasien
melakukan pemeriksaan, pasien mendapatkan
diagnosis medis, perencanaan pelayanan kesehatan
serta tindakan pengobatan (Permenkes, 2017).
Instansi Pelayanan kesehatan boleh menjamin
kontinuitas bentuk pelayanan serta mendukung
koordinasi antar tenaga serta antar unit pelayanan
yang mendukung sistem keselamatan pasien, maka
kriteria yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Sistem bentuk pelayanan menyeluruh yang
disesuaikan dengan kepentingan pasien dan
ketersediaan sumber daya untuk memajukan
fasilitas pelayanan kesehatan
b. Sistem pelayanan dalam meningkatkan
komunikasi sesuai dengan kebutuhan dan
formalitas kemampuan bagi setiap elemen di
fasilitas pelaynan kesehatan untuk memfasilitasi
dukungan keluarga dan asuhan dalam pelayanan
social dan konsultasi maupun rujukan, serta
tindak lanjut lainnya
c. Cara mentransfer informasi diantara lintas
keilmuan berjalan dengan tertib sehingga
menciptakan suatu sistem yang efektif.
4. Peningkatan Layanan Kinerja
Pelayanan kinerja keselamatan pasien di fasilitas
kesehatan dapat dilihat berdasarkan kegiatan
evaluasi terhadap hasil pemantauan program yang
telah dijalankan pada fasilitas kesehatan. Dengan
demikian setiap pelayanan medis berdasarkan atas
program design terbaru atau memperbaiki rangkaian
kegiatan yang telah berjalan untuk mencapai metode
keselamatan pasien yang sesuai standar. Dengan

37
demikian kriteria peningkatan layanan kinerja
menurut (Permenkes, 2017), yaitu:
a. Semua proses perancangan (desain) fasilitas
pelayanan kesehatan wajib menunjukkan yang
baik;
b. Program pelayanan kesehatan yang telah berjalan
selalu diberikan evaluasi berupa pelaporan
tentang semua kejadian yang terjadi di fasilitas
kesehatan dan mampu menganilis factor-faktor
resiko yang data terjadi terkai dengan
keselamatan pasien untuk meningkatkan mutu
pelayanan
c. Kegiatan evaluasi kejadian dan analisis
manegemen resiko di fasilitas kesehatan perlu
diselenggarakan dengan rutin setiap tahun
d. Sarana pelayanan kesehatan wajib memberikan
perubahan sistem berdasarkan hasil analisis
resiko untuk mencapai suatu kinerja yang baik
tentang keselamatan pasien.
5. Peran Kepemimpinan dalam Keselamatan Pasien
Pemimpin di pelayanan kesehatan mempunyai peran
yang optimal dapat meningkatkan sistem
keselamatan pasien. Untuk itu standar mutu
keselamatan pasien dibuktikan dengan adanya peran
kepemimpinan dalam upaya meningkatkan
keselamatan pasien dapat dilakukan yaitu (Hadi.,
2016):
a. Pengendalian Keselamatan Pasien harus adanya
kerjasama dari semua profesi;
b. Pengelolaan introduksi yang proaktif dalam
bentuk aktivitasi program menjadi aktiv untuk
pengenalan resiko dan mengurangi kejadian yang
tidak diinginakan
c. Pengendalian mutu keselamatan pasien dengan
mendukung mekanis kerja dari semua komponen
fasilitas pelayanan kesehatan terpadu

38
d. Prosedur yang aktif untuk kejadian yang terjadi di
pelayanan kesehatan yang meliputi asuhan pada
pasien yang melakukan pengobatan dan informasi
tentang resiko yang benar terjadi selama pasien
menjalankan pengobatan (Al-Jabri et al., 2021).
e. mekanisme pelaporan internal dan eksternal
berkaitan dengan Insiden termasuk informasi
yang akurat dan terpercaya tentang analisis
penyebab terjadi Kejadian Nyaris Cedera (KNC),
KTD, dan kejadian sentinel ketika proses
pelaksanaan Keselamatan Pasien harus
dilaporkan secara benar kepada petugas
f. Terdapat metode untuk menangani berbagai jenis
kejadian, atau kegiatan yang aktiv untuk
mengurangi risiko untuk mendukung staf dalam
kaitan dengan kejadian sentinel
g. Kerjasama dan komunikasi terbuka diantara unit
serta diantara pengelola pelayanan di dalam
fasilitas pelayanan kesehatan dengan pendekatan
antar disiplin
h. Terdapat sumber daya dan sistem informasi yang
dibutuhkan dalam kegiatan perbaikan kinerja
fasilitas pelayanan kesehatan dan perbaikan
Keselamatan Pasien, termasuk evaluasi berkala
terhadap kecukupan sumber daya tersebut
i. Adanya sasaran harus terukur, serta
pengumpulan informasi menggunakan kriteria
objektif dengan tujuan mengevaluasi efektivitas
perbaikan kinerja fasilitas pelayanan kesehatan
serta Keselamatan Pasien. Dengan demikian
rencana tindak lanjut dan implementasinya juga
dapat diukur.
6. Pendidikan Terhadap Staf Dalam Keselamatan Pasien
Jasa kesehatan seperti rumah sakit maupun klinik
harus merencanakan dan menyelenggarakan program
penguatan pembinaan dan pendidikan yang
berorientasi pada staf baru tentang program
keselamatan pasien serta bentuk pelaporan yang

39
tepat sehingga setiap petugas terpapar informasi yang
sama untuk menciptakan mutu yang berkualitas.
Penyelenggaraan kerjasama tim (teamwork) dapat
memberikan dampak interdisiplin dalam menjalankan
tugas dan tanggungjawab. Oleh karena itu pendidikan
terhadap staf yang perlu diperhatikan yaitu:
a. Program pendidikan atau kegiatan pelatihan dan
orientasi tentang topic baru terkait keselamatan
pasien wajib diberikan oleh pihak fasilitas
pelayanan kesehatan
b. Pelayanan kesehatan yang diberikan fasilitas
kesehatan wajib memadukan topik keselamatan
untuk pelatihan/magang dan memberi pedoman
yang jelas tentang pelaporan setiap kejadian yang
terjadi di rumah sakit
c. Fasilitas pelayanan kesehatan wajib mengadakan
pelatihan tentang kerjasama tim (teamwork) demi
mendukung pendekatan interdisipliner dan
kolaboratif dalam rangka melayani pasien.
7. Komunikasi Kunci Keselamatan Bagi Staf
Penyerapan kesetiaan tinggi adalah berawal dari
prinsip komunikasi SBAR dan peningkatan dalam
kejelasan komunikasi terjadi terutama dalam studi
kelas (Lo, Rotteau and Shojania, 2021). Pendidikan
dalam pengaturan klinis yang mencapai dampak di
luar komunikasi biasanya melibatkan intervensi mul
yang lebih luas. Dengan demikian Upaya masa depan
untuk meningkatkan komunikasi menggunakan
SBAR pertama-tama harus mengkonfirmasi serapan
prinsip kesetiaan tinggi dalam pengaturan klinis
daripada mengasumsikan kejadian keselamatan
pasien.
Salah satu strategi untuk meningkatkan keselamatan
pasien adalah komunikasi yang baik antara petugas
kesehatan dengan pasien. Dengan demikian
komunikasi merupakan salah satu media untuk
mengurangi kecelakaan yang tidak diinginkan di
rumah sakit atau pelayanan kesehatan, komunikasi

40
yang efektif dapat mengurangi kesalahan pengobatan.
Menurut (KEMENKES, 2016) startegi komunikasi
yang efektif adalah:
a. Tersedianya anggaran untuk merencanakan dan
mendesain proses manajemen untuk memperoleh
data dan informasi tentang hal-hal terkait dengan
Keselamatan Pasien
b. Tersedianya mekanisme identifikasi masalah dan
kendala komunikasi untuk merevisi manajemen
informasi yang ada.
c. S: Situation; yaitu penjelasan tentang uraian
kejadian yang sasarannya pada pasien.
d. B: Background; yaitu segala laporan tentang
pasien yang mencakup tentang latar belakang dan
konsdisi pasien
e. A: Assessment; yaitu reaksi dari pasien tentang
kondisi hasil yang actual dan terbaru.
f. R: Recommendation; adalah hasi pertimbangan
berupa rekomendasi tentang solusi terhadap
masalah yang dialami oleh pasien.

41
Daftar Pustaka
Al-Jabri, F. et al. (2021) ‘Quality of care and patient safety
at healthcare institutions in Oman: quantitative study
of the perspectives of patients and healthcare
professionals.’, BMC health services research, 21(1), p.
1109. doi: 10.1186/s12913-021-07152-2.
Hadi., I. (2016) BUKU AJAR MANAJEMEN KESELAMATAN
PASIEN. Jawa tengah.
KEMENKES (2016) Tentang Keselamatan dan Kesehatan
Kerja Rumah Sakit. Available at:
http://www.bphn.go.id/data/documents/16pmkes0
06.pdf.
Lo, L., Rotteau, L. and Shojania, K. (2021) ‘Can SBAR be
implemented with high fidelity and does it improve
communication between healthcare workers? A
systematic review.’, BMJ open, 11(12), p. e055247. doi:
10.1136/bmjopen-2021-055247.
Mulyatiningsih, S. and Sasyari, U. (2021) ‘Gaya
Kepemimpinan yang Efektif dalam Meningkatkan
Keselamatan Pasien’, JURNAL ILMIAH KEPERAWATAN
ALTRUISTIK, 4(1), pp. 27–35.
Permenkes (2017) ‘PERATURAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK Indonesia 2017, NOMOR 11 TAHUN
TENTANG KESELAMATAN PASIEN’.
Rocha, R. C. et al. (2021) ‘Patient safety in nursing
technician training.’, Revista brasileira de
enfermagem. Brazil, 75(1), p. e20201364. doi:
10.1590/0034-7167-2020-1364.

42
Profil Penulis
Maria Agustina Making
Penulis adalah seorang anak perempuan dari
pasangan orang tua Bpk. Dr. Pius Weraman dan
Ibu Katarina sebagai anak pertama dari empat
bersaudara. Penulis lahir di Oe, Ekam, Soe-TTS
NTT, tanggal 14 Agustus 1988. Adapun riwayat
pendidikan yang telah ditempuh mulai SDK Andaluri Waingapu
(lulus tahun 2000), SMPK Sanctissima Trinitas-Hokeng (lulus
tahun 2003), SMAK Syuradikara Ende (lulus 2006), dilanjutkan
menempuh Pendidikan S1 Ilmu Keperawatan STIKES St.
Vincentius A Paulo Surabaya (lulus tahun 2011), kemudian
melanjutkan ke Pendidikan Magister Keperawatan di
Universitas Airlangga (lulus tahun 2015). Penulis saat ini aktif
sebagai Dosen tetap Non PNS di Poltekkes Kemenkes Kupang
pada keilmuan Keperawatan Medikal Bedah. Penulis juga
tergabung sebagai anggota dalam organisasi PPNI (Persatuan
Perawat Nasional Indonesia) Kota Kupang NTT. Adapun
pengalaman riset dimulai sejak tahun 2017 hingga saat ini
dengan fokus pada bidang penelitian keperawatan medikal
bedah khusus pada penyakit degenerative. Demikian juga Hasil
Karya penelitian dan pengabdian kepada masyarakat sudah
terpublikasi pada jurnal nasional yang terakreditasi.
Email Penulis: maria.agustinamaking795@gmail.com
Hp. 085230940884

43
44
3
SASARAN, STANDAR DAN PRINSIP
KESELAMATAN PASIEN

Iswati, S.Kep., Ns., M.Kep.


Stikes Adi Husada Surabaya

Sasaran, standar dan prinsip keselamatan pasien di


pelayanan kesehatan disusun untuk memperbaiki dan
meminimalkan terjadinya insiden keselamatan pasien.
Pelaksanaannya mengacu pada regulasi yang berlaku saat
ini, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 11
tahun 2017 tentang keselamatan pasien. Berdasarkan
peraturan tersebut dalam Bab III tentang
Penyelenggaraan Keselamatan Pasien pada Pasal 5 bahwa
keselamatan pasien harus diselenggarakan disetiap
fasilitas pelayanan kesehatan, dimana harus menerapkan
standar, sasaran dan tujuh langkah/prinsip agar dapat
mewujudkan keselamatan pasien.
Sasaran Keselamatan Pasien
Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) bertujuan untuk
melakukan perbaikan pelayanan Kesehatan dengan
berfokus pada solusi atas masalah keselamatan pasien di
pelayanan kesehatan. Berdasarkan (Kemenkes RI., 2017)
semua penyedia pelayanan kesehatan di Indonesia wajib
memberlakukan enam sasaran keselamatan pasien yang
terdiri dari:
1. SKP 1 Mengidentifikasi Pasien Dengan Benar
2. SKP 2 Meningkatkan Komunikasi Yang Efektif
3. SKP 3 Meningkatkan Keamanan Obat-Obat Yang
Harus Diwaspadai

45
4. SKP 4 Memastikan Lokasi Pembedahan Yang Benar,
Prosedur Yang Benar, Pembedahan Pada Pasien Yang
Benar
5. SKP 5 Mengurangi Risiko Infeksi Akibat Perawatan
Kesehatan
6. SKP 6 Mengurangi Risiko Cedera Pasien Akibat
Terjatuh
Menurut Larasati, A. & Dhamanti, I., (2021), Penerapan
sasaran keselamatan pasien di Rumah Sakit Indonesia
masih tergolong rendah, hal ini berhubungan dengan
factor kepatuhan petugas, komitmen manajemen serta
sarana prasarana yang masih kurang, sehingga
diperlukan pembinaan dan dukungan sarana prasarana.
SKP 1 Mengidentifikasi Pasien dengan Benar
Identifikasi pasien merupakan proses mencocokkan data
pasien secara tepat sebagai langkah awal sebelum pasien
mendapatkan intervensi diseluruh rangkaian perawatan.
Tujuan penerapan sasaran ini agar sebelum menjalani
pengobatan pasien dapat diidentifikasi serta memastikan
pasien menerima pengobatan semestinya. Hampir semua
rumah sakit sudah menerapkan sistem identifikasi pasien
namun menurut Pasaribu (2017) masih didapatkan
penerapan identifikasi yang belum optimal, ini terjadi
karena rendahnya pemahaman petugas tentang standar
operasional prosedur identifikasi pasien. Kegagalan atau
kesalahan dalam prosedur identifikasi menurut (Kemenkes
RI, 2017) dapat terjadi pada kondisi berikut:
1. Pasien mendapat pengobatan dan transfusi darah.
2. Pasien diambil darahnya/specimen lainnya untuk
diperiksakan.
3. Penyerahan bayi setelah dilahirkan kepada orang
yang bukan keluarganya.
4. Pasien yang sedang menjalani pembiusan.
5. Pasien mengalami penurunan kesadaran.
6. Pasien menukar tempat tidur/kamarnya tanpa
sepengetahuan petugas di rumah sakit.

46
7. Pasien mengalami gangguan sensori, atau masalah
lainnya.
Adapun tindakan yang dapat dilakukan supaya dapat
mengidentifikasi pasien dengan benar antara lain:
1. Pasien dilakukan identifikasi sedikitnya dengan dua
cara, misalnya dengan mengecek nama pasien dengan
nomor rekam medis, atau dengan tanggal lahirnya.
2. Identifikasi pasien tidak boleh dilakukan
menggunakan nomor kamar pasien,
3. Konfirmasi secara verbal pasien meskipun memakai
gelang tangan, lakukan identifikasi pasien dengan
bertanya misalnya, “siapa nama ibu?”.
4. Tanyakan kepada keluarga/penunggunya jika pasien
tidak dapat menyebutkan Namanya.
5. Pasien yang tidak ditunggui oleh keluarganya, tidak
memakai gelang identitas, tidak mampu menyebut
nama, tetap harus diidentifikasi dengan mengecek
rekam medik oleh dua orang petugas.
SKP 2 Peningkatan Komunikasi yang Efektif
Komunikasi yang sering dilakukan adalah komunikasi
lisan, tertulis dan elektronik. Kesalahan sering terjadi saat
komunikasi secara lisan atau via telepon, dan melaporkan
hasil pemeriksaan klinis yang bersifat cito via telepon ke
unit perawatan. Tujuan sasaran ini mengurangi
kesalahan saat berkomunikasi, sehingga meningkatkan
keselamatan pasien jika dilakukan secara efektif, akurat,
tepat waktu, jelas dan lengkap. Salah satu tindakan
untuk meningkatkan komunikasi yang efektif dengan cara
menulis perintah, membaca ulang, dan konfirmasi
kembali (write – read back – repeat back). Apabila situasi
gawat darurat misalnya di kamar operasi dan IGD atau
ICU diperbolehkan tidak melakukan pembacaan kembali
(read back) bila tidak memungkinkan (Kemenkes RI., 2017).
Metode lain yang dapat dipakai adalah SBAR, (Beckett, C.
D., & Kipnis, G., 2009) menyatakan bahwa alat
komunikasi yang direkomendasikan oleh World Health
Organization (WHO) yang dapat digunakan dalam serah

47
terima/handover adalah SBAR, pemakaian SBAR dapat
meningkatkan mutu pelayanan dan kualitas handover
sehingga dapat menekan medical error. (Sammer, Lykens,
Singh, Mains, & Lackan, 2010) menyatakan teknik
Situation-Background-Assessment-Recommendation
(SBAR) dilakukan sebelum handover/serah terima.
Persiapan yang harus dilakukan antara lain memeriksa
pasien terlebih dahulu, mengecek dokter
penanggungjawab yang akan dihubungi, periksa
diagnosis medik pasien, baca terlebih dahulu instruksi
dokter dan dokumentasi perawat sebelumnya, pastikan
rekam medik pasien tersedia baru melaporkan kondisi
pasien dengan teknik SBAR. Awali dari situation,
background/latar belakang, assessment/penilaian
terakhir recommendation.
SKP 3 Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu
diwaspadai
Perawat memiliki peran penting untuk menyiapkan dan
memberikan obat sehingga perlu waspada agar tidak
terjadi kesalahan dalam memberikan obat (Potter & Perry,
2010). Tujuan penerapan sasaran ini mencegah terjadinya
kesalahan pemberian obat kepada pasien sehingga
meningkatkan keselamatan pasien. Beberapa kesalahan
pemberian obat dapat terjadi pada kondisi sebagai
berikut:
1. Obat yang membingungkan (nama obat, rupa dan
ucapan mirip (NORUM) atau look alike sound alike
(LASA), misalnya xanax dan zantac merupakan
penyebab paling sering dalam kesalahan obat
(medication error).
2. Teridentifikasi enam obat yang berisiko menimbulkan
medication error, berdasarkan hasil survei analisis
obat Watchdog Institute for safe medication practices
(ISMP) antara lain: injeksi kalium klorida atau
konsentrat kalium fosfat, Insulin, heparin, opioid,
blocking agen neuromuskuler, obat kemoterapi
(Cohen, 2007).

48
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah
kesalahan pengobatan menurut (Cohen, 2007) antara
lain:
1. Batasi stock high-alert drugs dan rute administrasi.
Meniadakan atau membatasi jumlah, variasi, dan
konsentrasi pada unit perawatan pasien untuk
mengurangi terjadinya kesalahan obat (Insulin,
heparin, opioid, injeksi kalium klorida atau
konsentrat kalium fosfat, blocking agen
neuromuskuler, obat kemoterapi). Obat-obatan yang
memerlukan kewaspadaan tinggi menurut (UPJM,
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, 2011): Golongan
opioid (fentanil, kodein Hcl, morfin HCL, morfin sulfat,
petidin HCL, sufentanil); Elektrolit pekat (KCl 7,46%,
Meylon 8,4%, MgSo4 20%, NaCl 3%); Antiaritmia
(lidokain iv, amiodaron); Insulin/ obat hipoglikemia
oral; Antikoagulan (heparin natrium, enoksaparin
natrium); Trombolitik (streptokinase); Obat agonis
adrenergik (epinefrin, norepinefrin); Anestetik umum
(propofol, ketamin); Kemoterapi; Obat kontras; Pelemas
otot (suksinilkolin, rokuronium, vekuronium); Larutan
kardioplegia.
2. Praktik diferensiasi obat, obat yang namanya mirip
pisahkan/letakkan berjauhan misalnya heparin dan
hespan. Injeksi kalium klorida atau konsentrat
kalium fosfat jangan diletakkan berdekatan dengan
cairan pelarut/aqua bidest apalagi jika bentuk
kemasan sama.
3. Gunakan peralatan medis yang dirancang khusus
agar dapat memberikan obat/cairan dengan tepat
misalnya syringe pump/infus pump.
4. Libatkan pasien selama proses
perawatan/pengobatan. Beri informasi kepada pasien
tentang program pengobatan yang didapat untuk
mengurangi kesalahan dalam pengobatan.
Pendekatan lebih aman dengan menulis “alergi” pada
gelang pasien karena terkadang penggunaan gelang
warna kurang efektif.

49
5. Standarisasi prosedur akan sangat bermanfaat
terutama bagi perawat baru.
6. Tempelkan label di sekitar obat yang memiliki risiko
tinggi, “for oral use only”.
7. Resep yang saat dientry secara komputerisasi muncul
peringatan sebagai obat yang harus diwaspadai, atau
menggunakan bar coding.
Tindakan lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
keamanan obat dengan memperhatikan sepuluh benar
menurut (Kozier, Er’s, Berman, & Snyder, 2012) antara
lain:
1. Benar obat dilakukan dengan memeriksa instruksi
dokter, cek riwayat alergi obat, mengecek label obat,
dan hanya memberi obat yang disiapkan sendiri.
2. Benar dosis dilakukan dengan mengecek secara teliti
order dokter, pastikan dosis dihitung dengan benar
sebelum dicampur/diencerkan.
3. Benar waktu dengan memastikan obat diberikan tepat
waktu serta tidak kadaluarsa.
4. Benar pasien dengan mengecek program pengobatan
dari dokter, mengecek identitas pasien minimal
dengan dua cara.
5. Benar cara pemberian, pastikan obat diberikan sesuai
rute yang diinstruksikan misalnya iv, im, sc, atau
peroral, cek label/kemasan obat.
6. Benar dokumentasi, jangan lupa tulis tindakan
pengobatan yang telah diberikan dengan segera agar
tidak lupa.
7. Benar edukasi, pastikan pasien telah mendapatkan
penjelasan yang memadai sebelum terapi diberikan.
8. Benar alasan penolakan, jika pasien menolak
pengobatan tidak boleh dipaksakan namun harus
dipastikan telah mendapat penjelasan yang cukup
risiko penolakaan tersebut.

50
9. Benar pengkajian, sebelum memberikan obat lakukan
pengkajian yang dibutuhkan misalnya tekanan darah
sebelum memberikan obat hipertensi.
10. Benar evaluasi, setelah obat diberikan lakukan
evaluasi untuk menilai keefektifan pengobatan atau
respon pasien terhadap pengobatan.
SKP 4 Kepastian Tepat Lokasi Prosedur dan Tepat
Pasien Operasi
Tujuan penerapan sasaran ini yaitu:
1. Memeriksa ketepatan lokasi, prosedur, dan pasien.
2. Memastikan dokumen penunjang (foto/imaging, hasil
pemeriksaan darah dan lainnya) telah tersedia, dan
diberi label dengan baik.
3. Memastikan alat khusus atau implant yang
dibutuhkan dalam tindakan operasi telah tersedia.
Kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya kesalahan
dalam penentuan lokasi, prosedur pasien operasi
menurut (Kemenkes RI., 2017) sebagai berikut:
1. Miskomunikasi dan tidak adanya informasi.
2. Pasien kurang/tidak dilibatkan dalam penandaan
lokasi (site marking).
3. Tidak ada prosedur/kurang patuh dalam prosedur
verifikasi.
4. Pasien tidak dikaji secara adekuat.
5. Catatan medis kurang ditelaah secara adekuat.
6. Komunikasi terbuka belum menjadi budaya diantara
anggota tim bedah.
7. Tulisan tangan tidak jelas/kurang bisa dibaca
(illegible handwritting).
8. Menggunakan singkatan yang kurang lazim.
Kebijakan dan/atau prosedur yang dapat dilakukan
menurut (Kemenkes RI., 2017), anatara lain:

51
1. Operasi yang dilakukan pada organ tubuh yang
memiliki dua sisi (kiri atau kanan) harus ditandai
(marking), Multiple structures (jari tangan, jari kaki),
Multiple level (operasi tulang belakang: cervical,
thorakal, lumbal); Multiple lesi yang pengerjaannya
bertahap. Anjuran penandaan lokasi operasi
menggunakan tanda yang telah disepakati, dokter
yang akan melakukan operasi yang melakukan
pemberian tanda pada atau dekat daerah insisi.
2. Marking atau menandai lokasi operasi dengan tanda
yang tidak ambigu/membingungkan (contoh tanda
yang ambigu: “x”). Gunakanlah penanda yang tidak
mudah terhapus misalnya gentain violet, daerah yang
tidak dioperasi jika tidak dibutuhkan tidak perlu
ditandai.
3. (WHO, 2007) merekomendasikan tiga fase yang harus
dilalui selama prosedur operasi yaitu: sebelum
memberikan induksi anestesi ("sign in"), prosedur dan
kondisi pasien, sebelum sayatan kulit dilakukan
("time out"), serta sebelum pasien keluar kamar
operasi ("sign out”), Adapun contoh ceklist dapat
dikembangkan dari ceklist yang dikeluarkan oleh
WHO.

Sumber: (WHO, 2007)


Gambar 3.1: Prosedur sign in, time out, sign out

52
SKP 5 Pengurangan Risiko Infeksi terkait Pelayanan
Kesehatan
Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan atau Healthcare
Associated Infections (HAIs) dapat ditekan dengan
melakukan pencegahan dan pengendalian infeksi.
Beberapa jenis infeksi yang sering terjadi di rumah sakit
antara lain: Infeksi Daerah Operasi (IDO), Infeksi Aliran
Darah (IAD), Ventilator Associated Pneumonia (VAP),
Infeksi Saluran Kemih (ISK) (Sitorus, A. M. S., 2020).
Tujuan penerapan sasaran ini yaitu:
1. Mengurangi/menekan angka kejadian infeksi terkait
pelayanan kesehatan.
2. Mengurangi biaya yang dikeluarkan jika terjadi infeksi
berhubungan dengan pelayanan kesehatan.
Kebijakan dan/atau prosedur yang dilakukan menurut
(WHO, 2007), antara lain:
1. Pusat dari eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi
lain adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat,
Pedoman hand hygiene dilakukan dengan lima
langkah yang dijadikan standar oleh WHO yaitu: Pada
saat sebelum dan sesudah menyentuh pasien,
sebelum dan sesudah tindakan/ aseptik, setelah
terpapar cairan tubuh pasien, sebelum dan setelah
melakukan tindakan invasif, setelah menyentuh area
sekitar pasien/ lingkungan.
2. Petugas menggunakan alat pelindung diri (APD) agar
tidak terpajan langsung dengan darah, cairan tubuh
ekskreta, dan selaput lendir pasien, misalnya dengan
menggunakan sarung tangan, masker, tutup kepala,
kacamata pelindung, apron/jas dan sepatu
pelindung.
3. Menyediakan cairan alcohol-based hand-rubs pada
area pelayanan.
4. Menyediakan kran air untuk mencuci tangan pada
area yang dibutuhkan.

53
5. Membudayakan cara mencuci tangan yang benar
dengan terus menerus melakukan penyuluhan atau
pendidikan kepada petugas di pelayanan kesehatan.
6. Mengevaluasi secara berkala kepatuhan penerapan
kebersihan tangan.
SKP 6 Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
Jatuh yang mengakibatkan cidera merupakan masalah
keselamatan pasien yang lazim terjadi. Lansia dan pasien
yang mengalami kelemahan bukan satu-satunya yang
rentan mengalami risiko jatuh di fasilitas kesehatan.
Setiap pasien dari segala usia atau mengalami
ketidakmampuan fisik dapat berisiko untuk jatuh karena
perubahan fisiologis akibat tindakan medis, obat-obatan,
operasi, prosedur, atau pengujian diagnostik yang dapat
membuat pasien menjadi lemah dan bingung. Faktor yang
berkaitan dengan insiden jatuh antara lain: Pengkajian
yang tidak memadai, kegagalan komunikasi, kurangnya
kepatuhan terhadap prosedur keselamatan pasien,
tidakadekuatnya orientasi staf, kurangnya supervisi,
masalah lingkungan fisik, serta lemahnya kepemimpinan
(The Joint Commission, 2015).
Tujuan penerapan sasaran ini yaitu:
1. Mengkaji risiko pasien jatuh pada pasien.
2. Melakukan tindakan yang tepat untuk meminimalkan
cidera jika pasien jatuh
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan perawat untuk
mencegah terjadinya jatuh antara lain:
1. Melakukan pengkajian awal pada pasien dan jika
dibutuhkan pengkajian ulang bila ada perubahan
kondisi atau pengobatan.
2. Meletakkan stiker/simbol (green smiling-face sticker)
yang ditempelkan di pintu pasien sebagai isyarat
pasien berisiko jatuh.
3. Melakukan oientasikan saat pasien pertama kali MRS
dan menjelaskan semua prosedur komunikasi di
rungan yang ditempati pasien.

54
4. Perawat mensupervisi pasien terutama pada malam
hari pertama pasien dirawat.
5. Perawat melihat efek samping obat yang
memungkinkan terjadinya jatuh.
6. Jika dibutuhkan pasien dapat memakai kaca mata
sehingga dapat berjalan sendiri terutama pada malam
hari.
7. Mendesain ruangan agar tidak banyak perabot.
8. Perawat memastikan pasien mendapat asupan cairan
yang cukup.
9. Menyiapkan bel yang berfungsi baik di dekat pasien.
10. Menganjurkan pasien agar memakai alas kaki yang
tidak licin.
11. Ruang pasien memiliki pencahayaan yang cukup
terang.
12. Pasien yang mengalami penurunan kesadaran wajib
memakai pengaman/penghalang tempat tidur.
13. Menjaga lantai kamar mandi agar tidak licin.
14. Penggunaan restrains untuk immobilisasi pasien, baik
manual ataupun mekanik.
Standar Keselamatan Pasien
Standar adalah kriteria ideal yang diinginkan, disusun
oleh orang yang memiliki kewenangan serta
dikomunikasikan kepada orang yang dipengaruhi oleh
standar tersebut (Bustami, 2011; Marquis & Houston,
2012;). Standar keselamatan pasien harus mengacu
kepada Permenkes RI No. 11 Tahun 2017 tentang
keselamatan pasien. Standar keselamatan pasien tersebut
terdiri dari tujuh standar yaitu:

55
Tabel 3.1. Standar Keselamatan Pasien

No. Standar Pernyataan Kriteria


Standar

1.Hak Pasien Pasien dan Harus ada dokter


keluarganya penanggung jawab
mempunyai hak pelayanan.
untuk
Dokter penanggung
mendapatkan
jawab pelayanan wajib
informasi
membuat rencana
tentang
pelayanan.
rencana dan
hasil pelayanan Dokter penanggung
termasuk jawab pelayanan wajib
kemungkinan memberikan penjelasan
terjadinya yang jelas dan benar
insiden. kepada pasien dan
keluarga tentang
rencana dan hasil
pelayanan, pengobatan
atau prosedur untuk
pasien termasuk
kemungkinan terjadinya
insiden.

2. Mendidik Fasilitas Keselamatan dalam


Pasien Dan pelayanan pemberian pelayanan
Keluarga kesehatan dapat ditingkatkan
harus mendidik dengan keterlibatan
pasien dan pasien yang merupakan
keluarganya partner dalam proses
tentang pelayanan. Karena itu di
kewajiban dan Rumah Sakit harus ada
tanggung jawab sistem dan mekanisme
pasien dalam mendidik pasien dan
asuhan keluarganya tentang
keperawatan. kewajiban dan tanggung
jawab pasien dalam
asuhan keperawatan.
Dengan pendidikan
tersebut diharapkan
pasien dan keluarga
dapat:
Memberikan info yang
benar, jelas, lengkap dan
jujur.

56
Mengetahui kewajiban
dan tanggung jawab.
Mengajukan pertanyaan
untuk hal yang tidak
dimengerti.
Memahami dan
menerima konsekuensi
pelayanan.
Mematuhi instruksi dan
menghormati peraturan
RS.
Memperlihatkan sikap
menghormati dan
tenggang rasa.
Memenuhi kewajiban
finansial yang disepakati.

3. Keselamatan Fasilitas Terdapat koordinasi


pasien dan pelayanan pelayanan secara
kesinambungan kesehatan menyeluruh mulai dari
pelayanan menjamin saat pasien masuk,
kesinambungan pemeriksaan, diagnosis,
pelayanan dan perencanaan pelayanan,
menjamin tindakan pengobatan,
koordinasi rujukan dan saat pasien
antar tenaga keluar dari rumah sakit.
dan antar unit
Terdapat koordinasi
pelayanan
pelayanan yang
disesuaikan dengan
kebutuhan pasien dan
kelayakan sumber daya
secara
berkesinambungan
sehingga pada seluruh
tahap pelayanan transisi
antar unit pelayanan
dapat berjalan baik dan
lancar.
Terdapat koordinasi
pelayanan yang
mencakup peningkatan
komunikasi untuk
memfasilitasi dukungan
keluarga, pelayanan
keperawatan, pelayanan
sosial, konsultasi dan

57
rujukan, pelayanan
kesehatan primer dan
tindak lanjut lainnya.
Terdapat komunikasi
dan transfer informasi
antar profesi kesehatan
sehingga dapat
tercapainya proses
koordinasi tanpa
hambatan, aman dan
efektif.

4. Penggunaan Fasilitas Setiap fasilitas pelayanan


metode-metode pelayanan kesehatan harus
peningkatan kesehatan melakukan proses
kinerja untuk harus perancangan (desain)
melakukan mendisain yang baik, mengacu pada
evaluasi dan proses baru visi, misi dan tujuan
program atau pelayanan Kesehatan,
peningkatan memperbaiki kebutuhan pasien,
keselamatan proses yang petugas pelayanan
pasien. ada, memonitor kesehatan, kaidah klinis
dan terkini, praktik bisnis
mengevaluasi yang sehat, dan factor-
kinerja melalui faktor lain yang
pengumpulan berpotensi risiko, bagi
data, pasien sesuai dengan
menganalisis “Tujuh Langkah Menuju
secara intensif Keselamatan Pasien”.
insiden, dan
Setiap fasilitas pelayanan
melakukan
kesehatan harus
perubahan
melakukan
untuk
pengumpulan data
meningkatkan
kinerja yang antara lain
kinerja serta
terkait dengan:pelaporan
keselamatan
insiden, akreditasi,
pasien
manajemen risiko,
utilisasi, mutu
pelayanan, keuangan.
Setiap fasilitas pelayanan
kesehatan harus
melakukan evaluasi
intensif terkait dengan
semua insiden, dan
secara proaktif
melakukan evaluasi,
satu proses kasus risiko
tinggi.

58
Setiap fasilitas pelayanan
kesehatan harus
menggunakan semua
data dan informasi hasil
analisis untuk
menentukan perubahan
sistem yang diperlukan,
agar kinerja dan
keselamatan pasien
terjamin.

No. Standar Pernyataan Kriteria


Standar

5. Peran Pimpinan Terdapat tim antar


kepemimpinan mendorong dan disiplin untuk
dalam menjamin mengelola program
meningkatkan implementasi keselamatan pasien.
keselamatan program melalui
Tersedia program
pasien penerapan “7
proaktif untuk
Langkah Menuju
identifikasi risiko
Keselamatan
keselamatan dan
Pasien”.
program
Pimpinan meminimalkan insiden.
menjamin
Tersedia mekanisme
berlangsungnya
kerja untuk menjamin
program proaktif
bahwa semua
identifikasi risiko
komponen dari rumah
keselamatan
sakit terintegrasi dan
pasien dan
berpartisipasi dalam
program menekan
program keselamatan
atau mengurangi
pasien.
insiden.
Tersedia prosedur
Pimpinan
“cepat-tanggap”
mendorong dan
terhadap insiden,
menumbuhkan
termasuk asuhan
komunikasi dan
kepada pasien yang
koordinasi antar
terkena musibah,
unit dan individu
membatasi risiko pada
berkaitan dengan
orang lain dan
pengambilan
penyampaian informasi
keputusan
yang benar dan jelas
tentang
untuk keperluan
keselamatan
analisis.
pasien.

59
Pimpinan Tersedia mekanisme
mengalokasikan pelaporan internal dan
sumber daya yang eksternal berkaitan
adekuat untuk dengan insiden
mengukur, termasuk penyediaan
mengkaji, dan informasi yang benar
meningkatkan dan jelas tentang
kinerja rumah Analisis Akar Masalah
sakit serta (RCA) “Kejadian Nyaris
tingkatkan Cedera” (Near miss) dan
keselamatan “Kejadian Sentinel’
pasien. pada saat program
keselamatan pasien
Pimpinan
mulai dilaksanakan.
mengukur dan
mengkaji Tersedia mekanisme
efektifitas untuk menangani
kontribusinya berbagai jenis insiden.
dalam misalnya menangani
meningkatkan “Kejadian Sentinel”
kinerja rumah (Sentinel Event) atau
sakit dan kegiatan proaktif untuk
keselamatan memperkecil risiko,
pasien termasuk mekanisme
untuk mendukung staf
dalam kaitan dengan
“Kejadian Sentinel”.
Terdapat kolaborasi
dan komunikasi
terbuka secara
sukarela antar unit dan
antar pengelola
pelayanan di dalam
rumah sakit dengan
pendekatan antar
disiplin.
Tersedia sumber daya
dan sistem informasi
yang dibutuhkan
kegiatan perbaikan
kinerja rumah sakit
dan perbaikan
keselamatan pasien,
termasuk evaluasi
berkala terhadap
kecukupan sumber
daya tersebut.
Tersedia sasaran
terukur, dan

60
pengumpulan informasi
menggunakan kriteria
objektif untuk
mengevaluasi
efektivitas perbaikan
kinerja rumah sakit
dan keselamatan
pasien, termasuk
rencana tindak lanjut
dan implementasinya.

6. Mendidik staf Fasilitas Setiap fasilitas


tentang pelayanan pelayanan kesehatan
keselamatan kesehatan terutama rumah sakit
pasien memiliki proses memiliki program diklat
pendidikan, dan orientasi bagi staf
pelatihan dan baru yang memuat
orientasi untuk topik keselamatan
setiap jabatan pasien sesuai tugasnya
mencakup masing-masing.
keterkaitan
Setiap fasilitas
jabatan dengan
pelayanan kesehatan
keselamatan
terutama rumah sakit
pasien secara
mengintegrasikan topik
jelas.
keselamatan pasien
Fasilitas dalam setiap
pelayanan kegiatan inservice
kesehatan training dan memberi
menyelenggarakan pedoman yang jelas
pendidikan dan tentang pelaporan
pelatihan yang insiden.
berkelanjutan
Setiap fasilitas
untuk
pelayanan kesehatan
meningkatkan dan
menyelenggarakan
memelihara
pelatihan tentang
kompetensi staf
kerjasama kelompok
serta mendukung
(teamwork) guna
pendekatan
mendukung
interdisiplin dalam
pendekatan
pelayanan pasien
interdisiplin dan
kolaboratif dalam
rangka melayani pasien

61
No. Standar Pernyataan Kriteria
Standar

7. Komunikasi Fasilitas Perlu disediakan anggaran


merupakan pelayanan untuk merencanakan dan
kunci bagi kesehatan mendesain proses
staf untuk merencanakan manajemen untuk
mencapai dan mendesain memperoleh data dan
keselamatan proses informasi tentang hal-hal
pasien manajemen terkait dengan keselamatan
informasi pasien.
keselamatan
Perlu disersediakan
pasien untuk
mekanisme identifikasi
memenuhi
masalah dan kendala
kebutuhan
komunikasi untuk merevisi
informasi
manajemen informasi yang
internal dan
ada.
eksternal.
Transmisi data
dan informasi
harus tepat
waktu dan
akurat

Sumber: Permenkes RI No. 11 Tahun 2017 Tentang


Keselamatan Pasien
Prinsip Keselamatan Pasien
Prinsip keselamatan pasien mengacu pada Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11 tahun
2017 tentang keselamatan pasien. Berdasarkan peraturan
tersebut tercantum dalam Bab III tentang
Penyelenggaraan Keselamatan Pasien pada Pasal 5 ayat 6,
dimana terdapat 7 langkah yang harus ditempuh oleh
rumah sakit dalam menerapkan keselamatan pasien
antara lain:
1. Membangun Kesadaran Akan Nilai Keselamatan
Pasien
Upaya membangun kesadaran akan pentingnya
keselamatan pasien yang telah menjadi komitmen
bersama di pelayanan kesehatan harus dilakukan
terus menerus kepada semua karyawan dengan
mewujudkan lingkungan yang kondusif dan tidak

62
menyalahkan dan memiliki kebijakan yang harus
dilakukan jika terjadi insiden.
2. Memimpin dan Mendukung Staf
Pemimpin harus terlibat baik secara langsung atau
tidak langsung untuk mendukung dan memberi
perhatian kepada staf agar menerapkan keselamatan
pasien baik melalui penetapan kebijakan, menunjuk
champion/penggerak keselamatan pasien di tiap unit,
menyusun komite keselamatan pasien di pelayanan
kesehatan serta selalu menempatkan keselamatan
pasien dalam agenda pertemuan ataupun pelatihan di
pelayanan kesehatan.
3. Mengintegrasikan Aktivitas Pengelolaan Risiko
Fasilitas pelayanan kesehatan harus memperhatikan
manajemen risiko terkait keselamatan pasien, upaya
yang dapat dilakukan dengan mengembangkan
indicator kinerja manajemen risiko, serta
menggiatkan forum diskusi terkait isu manajemen
risiko keselamatan pasien.
4. Mengembangkan Sistem Pelaporan
Insiden keselamatan pasien yang terjadi dalam waktu
2x24 jam harus dilaporkan ke tim keselamatan
pasien. Tim keselamatan pasien melakukan verifikasi,
investigasi, grading/menentukan derajat insiden,
menentukan akar masalah/root cause analysis (RCA),
serta memberikan rekomendasi ke pimpinan
pelayanan kesehatan. Selanjutnya pelayanan
kesehatan harus memberikan laporan baik secara
tertulis/online kepada Komite Nasional Keselamatan
Pasien. Komite Nasional Keselamatan Pasien akan
memberikan feedback rekomendasi untuk mencegah
kejadian berulang.
5. Melibatkan Dan Berkomunikasi Dengan Pasien
Keselamatan pasien dapat ditingkatkan melalui
pemberdayaan pasien dan keterlibatannya dalam
proses pemberian perawatan dengan mendengarkan
pasien melalui pendekatan komunikasi terbuka.

63
6. Belajar Dan Berbagi Pengalaman Tentang
Keselamatan Pasien
Ketika suatu insiden keselamatan pasien terjadi maka
yang harus dipertanyakan adalah bagaimana dan
mengapa insiden itu terjadi, bukan siapa yang
melakukan. Sehingga berdasarkan informasi yang ada
dapat dikembangkan akar masalah/root cause
analysis (RCA) dan selalu belajar berdasarkan analisa
kejadian tersebut.
7. Mencegah Cidera Melalui Implementasi Sistem
Keselamatan Pasien
Implementasi sistem keselamatan pasien
dilaksanakan dengan melibatkan semua anggota tim
yang ada di tiap unit agar melakukan tindakan yang
dapat membuat asuhan kepada pasien menjadi lebih
aman.

64
Daftar Pustaka
Beckett, C. D., & Kipnis, G. (2009). Collaborative
communication: integrating SBAR to improve
quality/patient safety outcomes. Journal for
healthcare quality: official publication of the National
Association for Healthcare Quality, 31(5), 19–28.
https://doi.org/10.1111/j.1945-1474.2009.00043.x
Bustami. (2011). Penjaminan mutu pelayanan kesehatan
& akseptabilitasnya. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Cohen.2007. Protecting patients from harm: Reduce the
risks of high alert drugs.
http://www.nursing2007.com.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2017).
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2017
tentang Keselamatan Pasien. Jakarta.
Kozier, B.E.G & Erb’s.G., Berman, A. & Snyder, S. (2012).
Fundamentals nursing: Concepts, process & practice.
Ninth edition. New Jersey: Pearson Education Inc.
Larasati, A. & Dhamanti, I., (2021). Studi Literatur:
Implementasi Sasaran Keselamatan Pasien di Rumah
Sakit di Indonesia. Media Gizi Kesmas, Vol. 10. No. 1,
Juni 2021: Hal.: 138-148.
Pasaribu, A. T. (2017) Gambaran Pelaksanaan Ketepatan
Indentifikasi Pasien Oleh Perawat di Instalasi Rawat
Inap di Kelas III RSUD Pasar Minggu Tahun 2017.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Available
at:
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123
456789/37396/1/Ade Triani Utami Pasaribu
Fikik.pdf.
Potter, P.A. & Perry, A.G. (2010). Fundamental of nursing:
Concepts, process & practice. St. Louis: Mosby Year
Book. Inc.
Marquis, B.L. & Houston, C.J. (2012). Leadership roles &
management functions in nursing: Theory &
application Seven edition: Philadelpshia: Lippincott.

65
Sammer, C., Lykens, K., Singh, K., Mains, D., & Lackan,
N., (2010). What is Patient Safety Culture? A Review of
the Literature. Journal of Nursing Scholarship, 42:2,
156–165.
Sitorus, A. M. S. (2020, October 23). "Penerapan Tindakan
Precaution Oleh Tenaga Kesehatan Sebagai Upaya
Memutus Rantai Infeksi Di Rumah Sakit".
Https://Doi.Org/10.31219/Osf.Io/4mf6e.
The Joint Commission (2015). Sentinel Alert Event:
Preventing falls and fallrelated injuries in health care
facilities. Diunduh dari https://www.joint
commission.org/sea_issue_55/ pada 11 Oktober
2016.
Unit Pelayanan Jaminan Mutu. (2011). Buku saku quality
& safety. Jakarta: RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
WHO. (2007). WHO collaborating center for patient safety.
Joint commission & Joint commission international
solution. http://www.who.int.com

Profil Penulis
Iswati
Bidang ilmu yang ditekuni penulis adalah
Manajemen Keperawatan Dan Manajemen
Patient Safety. Penulis bekerja sebagai dosen di
program studi keperawatan, aktif melakukan
kegiatan tridharma perguruan tinggi baik itu
pendidikan, penelitian maupun kegiatan pengabdian kepada
masyarakat.
Background Pendidikan yang ditempuh S1 Keperawatan (S.
Kep. Ns.) Universitas Airlangga Surabaya lulus tahun 2004,
kemudian melanjutkan ke S2 Magister Keperawatan (M. Kep)
Universitas Indonesia Depok lulus Tahun 2012. Riwayat
pekerjaan aktif sebagai dosen di Stikes Adi Husada Surabaya
hingga sekarang. Riwayat jabatan sebagai kepala BAAK dan
Unit Penjaminan Mutu Stikes Adi Husada Surabaya.
Email: iswatisaja@gmail.com

66
4
MANAJEMEN KESELAMATAN
PASIEN DAN KEBIJAKAN
KESELAMATAN PASIEN
DALAM KEPERAWATAN

Pius Selasa, S.Kep., Ns., M.Sc.


Politeknik Kesehatan Kemenkes Kupang

Pendahuluan
Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan sebuah
Kebijakan berupa Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor
11 tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien. Di dalam
peratutaran tersebut dijelaskan bahwa bahwa yang
dimaksudkan dengan Keselamatan pasien merupakan
suatu sistem yang membuat asuhan pasien lebih aman,
meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan
risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan
belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya
risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan
oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau
tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
Sistem ini dibuat untuk meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan, sehingga dibutuhkan tindakan yang
komprehensif dan responsif terhadap kejadian tidak
diinginkan di fasilitas pelayanan kesehatan.
Setiap fasilitas pelayanan kesehatan harus melaksanakan
kebijakan yang telah ditetapkan dan menjamin layanan
yang diberikan adalah lebih aman. Penyelenggaraan

67
Keselamatan Pasien dilakukan melalui pembentukan
sistem pelayanan yang menerapkan standar Keselamatan
Pasien, sasaran Keselamatan Pasien, dan tujuh langkah
menuju Keselamatan Pasien. Penerapan tersebut
dilakukan oleh semua komponen yang bekerja di fasilitas
pelayanan kesehatan baik Pengelola maupun pelaksana,
antar profesi/disiplin maupun antar unit. Perawat
merupakan salah satu profesi yang memiliki peran dan
tanggung jawab yang sangat Penting untuk menjamin
keselamat pasien selama perawatan. Setiap asuhan
keperawatan mulai dari pengkajian, menegakkan
diagnose Keperawatan, perencanaan, implementasi dan
evaluas dirancang dan dilaksanakan secara professional
sehingga dipastikan aman dan terhindar dari insiden yang
tidak diharapkan. Asuhan Keperawatan yang diberikan
dilakukan secara mandiri dan kolaborasi antar profesi.
Manajemen Keselamatan Pasien
Manajemen secara etimologis berasal dari kata “to
manage” yang berarti mengatur. Tatapi secara umum,
manajemen merupakan ilmu dan seni didalam
pengelolaan sumberdaya untuk mencapai suatu tujuan
melalui kegiatan yang dilakukan oleh orang lain.
Manajemen adalah sebuah proses yang didalamnya
mengatur segala sesuatu yang dilakukan oleh perusahaan
atau organisasi untuk mencapai tujuan dari perusahaan
atau organisasi tersebut. Manajemen keperawatan yakni
suatu bentuk koordinasi dan integrasi sumber daya
keperawatan dengan menerapkan proses manajemen
untuk dapat mencapai tujuan asuhan keperawatan dan
pelayanan keperawatan. Manajemen Keperawatan adalah
salah satu tugas khusus yang harus dilaksanakan oleh
pengelola keperawatan untuk merencanakan,
mengorganisasikan, mengarahkan serta mengawasi
sumber daya yang ada sehingga dapat memberikan suatu
pelayanan keperawatan yang efektif kepada pasien,
keluarga dan masyarakat.
Manajemen Keselamatan pasien adalah adalah
pengelolaan sistem pelayanan yang diberikan oleh fasilitas
pelayanan kesehatan dengan tujuan membuat asuhan
pasien lebih aman, meliputi asesmen risiko, identifikasi

68
dan pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak
lanjutnya, serta implementasi solusi untuk
meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya
cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya diambil. Untuk mencapai
tujuan tersebut maka setiap pemberi pelayanan
bertanggung jawab untuk melaksanakan manajemen
Keselamatan pasien termasuk Perawat. Pelayanan
keperawatan merupakan pelayanan profesional sebagai
bagian integral dari pelayanan kesehatan. Kualitas
pelayanan mengacu pada sejauh mana layanan kesehatan
dapat meningkat dan konsisten sesuai perkembangan
pengetahuan profesional Sebagai pemberi asuhan
Keperawatan Profesional Perawat penting memperhatikan
manajemen Keselamatan pasien. Setiap perawat perlu
dibekali pengetahuan yang memadai baik pengetahuan
Keperawatan maupun pengetahuan yang berkaitan
dengan manajemen Keselamatan pasien.
Sistem pelayanan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan
kesehatan harus menjamin pelaksanaan:
1. Asuhan pasien lebih aman, melalui upaya yang
meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan
risiko pasien;
2. Pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar
dari insiden, dan tindak lanjutnya; dan
3. Implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya
risiko dan mencegah terjadinya cedera yang
disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan
suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil.
Kebijakan Keselamatan Pasien
Kebijakan Keselamatan pasien secara khusus ditepkan
melalui Menteri Kesehatan RI nomor 11 tahun 2017
tentang Keselamatan Pasien. Sedangkan Aspek hukum
terhadap “patient safety” atau keselamatan pasien adalah

69
Undang-Undang Tentang Kesehatan & Undang-Undang
Tentang Rumah Sakit.
1. Keselamatan Pasien sebagai Isu Hukum
a. Pasal 53 (3) UU No.36/2009
“Pelaksanaan Pelayanan kesehatan harus
mendahulukan keselamatan nyawa pasien.”
b. Pasal 32n UUNo.44/2009
“Pasien berhak memperoleh keamanan dan
keselamatan dirinya selama dalam perawatan di
Rumah Sakit.”
c. Pasal 58 UUNo.36/2009
1) “Setiap orang berhak menuntut ganti rugi
terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau
kelalaian dalam Pelayanan kesehatan yang
diterimanya.”
2) “…..tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang
melakukan tindakan penyelamatan nyawa
atau pencegahan kecacatan seseorang dalam
keadaan darurat.”
2. Tanggung jawab Hukum Rumah Sakit
a. Pasal 29b UUNo.44/2009
“Memberi pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan
mengutamakan kepentingan pasien sesuai
dengan standar pelayanan rumah Sakit.”
b. Pasal 46 UUNo.44/2009
“Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum
terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas
kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan di RS.”

70
c. Pasal 45 (2) UU No.44/2009
“Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam
melaksanakan tugas dalam rangka
menyelamatkan nyawa manusia.”
3. Bukan tanggung jawab Rumah Sakit
Pasal 45 (1) UU No.44/2009 Tentang Rumah sakit
“Rumah Sakit Tidak bertanggung jawab secara
hukum apabila pasien dan/atau keluarganya
menolak atau menghentikan pengobatan yang dapat
berakibat kematian pasien setelah adanya penjelasan
medis yang kompresehensif. “
4. Hak Pasien
a. Pasal 32d UUNo.44/2009
“Setiap pasien mempunyai hak memperoleh
layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional”
b. Pasal 32e UUNo.44/2009
“Setiap pasien mempunyai hak memperoleh
layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien
terhindar dari kerugian fisik dan materi”
c. Pasal 32j UUNo.44/2009
“Setiap pasien mempunyai hak tujuan tindakan
medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi
yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap
tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya
pengobatan”
d. Pasal 32q UUNo.44/2009
“Setiap pasien mempunyai hak menggugat
dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah
Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak
sesuai dengan standar baik secara perdata
ataupun pidana”

71
5. Kebijakan yang mendukung keselamatan pasien
Pasal 43 UU No.44/2009
a. RS wajib menerapkan standar keselamatan pasien
b. Standar keselamatan pasien dilaksanakan
melalui pelaporan insiden, menganalisa, dan
menetapkan pemecahan masalah dalam rangka
menurunkan angka kejadian yang tidak
diharapkan.
c. RS melaporkan kegiatan keselamatan pasien
kepada komite yang membidangi keselamatan
pasien yang ditetapkan olehmenteri
d. Pelaporan insiden keselamatan pasien dibuat
secara anonym dan ditujukan untuk mengoreksi
system dalam rangka meningkatkan
keselamatanpasien.
Peran Perawat dalam Manajemen Keselamatan Pasien
Undang-Undang no.38 tahun 2014 tentang keperawatan
menjelaskan Perawat adalah seseorang yang telah lulus
pendidikan tinggi keperwatan, baik di dalam maupun di
luar negeri yang diakui pemerintah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Peran dapat
diartikan sebagai perangkat perilaku yang diharapkan
oleh individu sesuai dengan status sosialnya. Jika ia
seoarang perawat, peran yang diharapkan adalah peran
sebagai perawat bukan sebagai dokter. Selain itu peran
yang dijalani seseorang juga bergatung pada status
kesehatannya. Peran yang dijalani sewaktu sehat tentu
berbeda dengan peran yang dijalani individu (Asmadi,
2008).Keperawatan adalah kegiatan pemberian asuhan
kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat,
baik dalam keadaan sakit maupun sehat (RI, 2014a).
Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan
tinggi keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri
yang diakui oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan
Perundang-undangan (RI, 2014a).

72
Jenis perawat menurut (RI, 2014a) terdiri atas:
1. Perawat vokasi, yaitu perawat dengan pendidikan
diploma tiga keperawatan.
2. Perawat profesi, terdiri atas ners dan ners spesialis.
Peran perawat:
1. Care provider (pemberi asuhan) yaitu dalam
memberikan asuhan keperawatan perawat dituntut
menerapkan keterampilan berpikir kritis dan
pendekatan sistem untuk penyelesaian masalah serta
pembuatan keputusan keperawatan dalam konteks
pemberian asuhan keperawatan komprehensif dan
logistik berdasarkan aspek etik dan legal (RI, 2017).
2. Manager dan Community leader (pemimpin
komunitas) yaitu dalam menjalankan peran sebagai
perawat dalam suatu komunitas/kelompok
masyarakat, perawat terkadang dapat menjalankan
peran kepemimpinan, baik komunitas profesi
maupun komunitas sosial dan juga dapat
menerapkan kepemimpinan dan manajemen
keperawatan dalam asuhan klien (RI, 2017).
3. Educator yaitu dalam menjalankan perannya sebagai
perawat klinis, perawat komunitas, maupun individu,
perawat harus mampu berperan sebagai pendidik
klien dan keluarga yang menjadi tanggung jawabnya
(RI, 2017).
4. Advocate (pembela) yaitu dalam menjalankan
perannya perawat diharapkan dapat mengadvokasi
atau memberikan pembelaan dan perlindungan
kepada pasien atau komunitas sesuai dengan
pengetahuan dan kewenangannya (RI, 2017).
5. Researcher yaitu dengan berbagai kompetensi dan
kemampuan intelektualnya perawat diharapkan juga
mampu melakukan penelitian sederhana di bidang
keperawatan dengan cara menumbuhkan ide dan rasa
ingin tahu serta mencari jawaban terhadap fenomena
yang terjadi pada klien di komunitas maupun klinis
(RI, 2017).

73
Penerapan patient safety di rumah sakit sangat
dipengaruhi oleh peran perawat. Hal ini karena perawat
merupakan komunitas terbesar di rumah sakit dan
perawat adalah orang yang paling dekat dengan pasien.
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
1. Sebagai pemberi pelayanan keperawatan, perawat
mematuhi standart pelayanan dan SOP yang
ditetapkan.
2. Menerapkanprinsip-prinsip etik dalam pemberian
pelayanankeperawatan.
3. Memberikan pendidikan kepada pasien dan keluarga
tentang asuhan yangdiberikan.
4. Menerapkan kerjasama tim kesehatan yang handal
dalam pemberianpelayanan kesehatan.
5. Menerapkan komunikasi yang baik terhadap pasien
dan keluarganya. peka, proaktif dan melakukan
penyelesaian masalah terhadap kejadian tidak
diharapkan.
6. Mendokumentasikan dengan benar semua asuhan
keperawatan yang diberikan kepada pasien
dankeluarga.
Manfaat penerapan sistim keselamatan pasien antara lain:
1. Budaya safety meningkat dan berkembang
2. Komunikasi dengan pasien berkembang
3. Kejadian tidak diharapkan menurun. Peta KTD selalu
ada dan terkini,
4. Risiko klinis menurun,
5. Keluhan dan litigasi berkurang,
6. Mutu pelayananmeningkat,
7. Citra rumah sakit dan kepercayaan masyarakat
meningkat.

Kewajiban perawat secara umum terhadap keselamatan


pasien adalah

74
1. Mencegah malpraktek dan kelalaian dengan
mematuhistandart.
2. Melakukan pelayanan keperawatan berdasarkan
kompetensi. Menjalin hubungan empati
denganpasien.
3. Mendokumentasikan secara lengkap asuhan. Teliti,
obyektif dalam kegiatan. Mengikuti peraturan dan
kebijakan institusi. Peka terhadap terjadinya cedera
a. Pelaporan dan analisisinsiden
b. Kemampuan belajar dari insiden
c. Tindak lanjut dan implementasi solusi
meminimalkan risiko

75
Daftar Pustaka
Asmadi. (2008), Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta:
EGC
Gina M., Kurniawan Y. (2019). Field Experience:
Manajemen Strategis pada Proses Manajemen
Keperawatan. Edia Karya Kesehatan, Volume 2,
Nomor 6, 204-217.
Hadi., I. (2016) BUKU AJAR MANAJEMEN KESELAMATAN
PASIEN. Jawa tengah)
Kemenkes RI (2016) Tentang Keselamatan dan Kesehatan
Kerja Rumah Sakit. Available at:
http://www.bphn.go.id/data/documents/16pmkes0
06.pdf.
Permenkes (2017) ‘Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia 2017, Nomor 11 Tahun Tentang
Keselamatan Pasien’.
Riama M. S., dkk. (2021). Manajemen Keperawatan.
Yayasan Kita Menulis.
Undang-undang (UU) No. 44 tentang Rumah Sakit Tahun
2009
Undang-Undang (UU) No 18 tentang Keperawatan tahun
2014
Undang-Undang (UU) No. 36 tentang Tenaga Kesehatan
Tahun 2014

76
Profil Penulis
Pius Selasa
Penulis mulai belajar ilmu Keperawatan di
Akademi Keperawatan Kupang tahun 1993-1996,
dan melanjutkan Pendidikan Sarjana dan Ners
pada tahun 2003 di Universitas Airlangga.
Pada tahun 2010 menyelesaikan Pendidikan
Magister Ilmu Kedokteran Tropis di Universitas Gadjah Mada.
Awal mula Bekerja sebagai Guru SPK tahun 1997-2000, lalu
Dosen Akper Ende tahun 1999-2002, sejak 2002 sampai
sekarang bekerja sebagai Dosen di Jurusan Keperawatan
Politeknik Kesehatan Kupang. Sebagai dosen aktif
melaksanakan Kegiatan Tri dharma. Mata kuliah yang
diajarkan adalah Keperawatan Medikal Bedah, Manajemen
Keselamatan Pasien, Manajemen Penyakit Tropis. Sedangkan
Kegiatan penelitian yang dilakukan lebih berfokus pada
penyakit Tropis dan manajemen kesehatan. Hasil Penelitian
telah di publish di Jurnal Nasional maupun Jurnal
Internasional.Rutin menulis Buku, mengikuti pelatihan, kursus
dan pertemuan ilmiah baik berskala regional, nasional dan
Internasional. Tahun 2018 mendapat Award dari Autralia Award
in Indonesia untuk mengikuti Short Course Malaria di
University of Melbourne Australia. Kegiatan lainnya untuk
mendukung profesionalisme sebagai dosen yaitu menjadi Tim
advokasi malaria, TBC, PTM dan PM di Dinas Kesehatan
Provinsi NTT.
Email Penulis: piusselasa@gmail.com

77
78
5
KAJIAN PELAPORAN INSIDEN
KESELAMATAN PASIEN DALAM
PERSPEKTIF PATRICIA BANNER

Harlina Putri Rusiana, S.Kep., Ners., M.Kep.


Stikes Yarsi Mataram

Pendahuluan
Keselamatan pasien saat ini telah menjadi standar mutlak
dalam penetapan kualitas suatu layanan kesehatan.
Tingginya tuntutan masyarakat terhadap mutu pelayanan
yang berkualitas menjadikan pihak penyedia layanan
harus memperhatikan kompetensi para petugasnya. Hal
ini dapat mencegah terjadinya adverse event (Isiden
Keselamatan Pasien). Data terjadinya adverse event
belumlah menggambarkan kondisi sebenarnya, hal ini
disebabkan karena selain sifatnya rahasia namun juga
disebabkan karena rendahnya kesadaran petugas dalam
melakukan pelaporan dan pencatatan insiden
keselamatan pasien. Konsep “No Blaming” dalam kondisi
kejadian adverse event banyak tidak dipahami baik dari
pihak organisasi struktural maupun oleh petugas
kesehatan sendiri. Pencatatan maupun pelaporan atas
kejadian Insiden Keselamatan pasien sangat bermanfaat
dalam pemetaan resiko sehingga menjadi langkah
antisipasi dalam mencegah terulangnya kembali kejadian
tersebut. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nur
Sa’dah dkk tahun 2021 didapatkan hasil analisis fishbone
diagnosisi permasalahan budaya pelaporan insiden
keselamatan pasien yaitu kurangnya pengetahuan,
persepsi takut disalahkan, kurang kesadaran untuk
79
melapor dam kurang mengerti alur pelaporan. Melalui
pemaparan ini akan diulas berbagai hal tentang pelaporan
insiden keselamatan pasien melalui kajian hasil-hasil
riset dan persfektif model konsep Patricia Banner.
Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien
Banyak sekali konsep teori yang menjelaskan tentang arti
dari Pelaporan insiden keselamatan pasien yang
selanjutnya disebut pelaporan insiden. Menurut
Kementerian Kesehatan, 2011 menjelaskan bahwa
pelaporan insiden keselamatan pasien merupakan
rangkaian sistem dalam pendokumentasian pelaporan
insiden keselamatan pasien, yang selanjutnya akan
dianalisis untuk mencari solusi dalam proses
pembelajaran. Selain itu ada banyak pengertian dari
pelaporan insiden keselamatan pasien yang terangkum
dalam panduan Departemen Kesehatan RI, 2008 antara
lain:
1. Keselamatan atau safety adalah bebas dari bahaya
(hazard) atau risiko.
2. Keselamatan pasien atau patient safety adalah pasien
bebas dari harm/ cedera yang tidak seharusnya
terjadi atau bebas dari harm yang potensial akan
terjadi (penyakit, cedera fisik/sosial/psikologis, cacat,
kematian dan lain-lain), terkait dengan pelayanan
kesehatan.
3. Cedera atau harm adalah dampak yang terjadi akibat
gangguan struktur atau penurunan fungsi tubuh
dapat berupa fisik, sosial dan psikologis. Cedera atau
harm terdiri dari: penyakit, trauma, penderitaan,
cacat, dan kematian. Adapun masing-masing
penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. Penyakit/ desease merupakan disfungsi fisik atau
psikis.
b. Trauma/ injury merupakan kerusakan jaringan
yang diakibatkan oleh agen atau keadaan.
c. Penderitaan/ suffering merupakan pengalaman
atau gejala yang tidak menyenangkan termasuk

80
nyeri, malaise, mual, muntah, depresi, agitasi dan
ketakutan.
d. Cacat/ disability merupakan segala bentuk
kerusakan struktur atau fungsi tubuh,
keterbatasan aktifitas dan atau restriksi dalam
pergaulan sosial berhubungan dengan cedera
yang terjadi sebelumnya atau saat ini.
Pelaporan insiden keselamatan pasien dapat ditarik
artinya adalah sebuah mekanisme pencatatan kejadian
yang tidak diharapkan yang terjadi di pusat pelayanan
yang kemudian akan dipelajari sumber penyebab kejadian
dan akan menjadi dasar dalam pembenahan kualitas
pelayanan sehingga kejadian serupa tidak terulang.Hasil
literature review oleh Aco Mursid dkk tahun 2021
menemukan daftar yang menghambat pelaporan insiden
yaitu impact negatif yang di dapatkan pelapor,
kekurangan waktu dalam membuat pelaporan insiden,
umpan balik yang kurang, ragam insiden yang terjadi,
kurang pengetahuan, melapor dianggap bukan kewajiban,
tidak memahami siapa yang harus melapor, kurang
pemahaman untuk kerahasiaan nama, dan sistem
pelaporan yang belum optimal. Adapun langkah untuk
mengatasi hambatan adalah melakukan pengembangan
dan peningkatkan mekanisme pelaporan, pemberian feed
back, menerapkan kerahasiaan nama, memerlakukan
reward, pendidikan dan pelatihan tentang sistem
pelaporan insiden dan penting adanya komitmen para
pembuat kebijakan memainkan peran penting dalam
meningkatkan sistem pelaporan insiden keselamatan
pasien. Sedangkan hasil riset yang dilakukan di 23 rumah
sakit dari Sembilan nagara yang dilakukan oleh
Tamaamah dkk tahun 2020 didapatkan hasil factor-faktor
yang menghambat pelaporan insiden keselamatan pasien
adalah ketakutan terhadap hukum dan intimidasi, tidak
memahami prosedur pelaporan, umpan balik positif yang
minim dari manajemen dan tidak adanya undang-undang
yang melindungi pelapor. Kesimpulan dari riset ini
menyebutkan adanya factor yang berasal dari individu,
organisasi dan pemerintah sehingga mengganggu budaya
pelaporan insiden keselamatan pasien. Adapun factor

81
individu yang terkaji sebagai penghambat dijelaskan oleh
Deskania dk tahun 2020. Didapatkan faktor yang
berhuungan dengan motivasi perawat dalam melakukan
pelaporan antara lain rasa tanggung jawab, pengakuan
oleh organisasi, kebijakan yang dikeluarkan dan kondisi
kerja yang mempengaruhi.
Hazard/Bahaya
Bahaya atau hazard sendiri merupakan sebuah kondisi
akibat perubahan tindakan yang menimbulkan risiko
yang mempengaruhi keselamatan pasien selama
perawatan. Kondisi yang dimaksud adalah setiap faktor
yang berhubungan atau mempengaruhi suatu peristiwa
keselamatan pasien/ patient safety event, agent atau
personal. Agen adalah substansi, obyek atau sistem yang
menyebabkan perubahan. Sedangkan Insiden
keselamatan pasien/ patient safety incident merupakan
kejadian atau situasi yang dapat mengakibatkan atau
berpotensi mengakibatkan cedera yang tidak seharusnya
terjadi (dapat dicegah). Adapun beberapa jenis insiden
adalah sebagai berikut:
1. Kejadian tidak diharapkan (KTD)/ adverse event yaitu
insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien
akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil, dan
bukan karena penyakit dasarnya atau kondisi pasien.
Cedera dapat diakibatkan oleh kesalahan medis atau
bukan kesalahan medis.
2. Kejadian nyaris cedera (KNC)/ near miss merupakan
suatu insiden yang tidak menyebabkan cedera pada
pasien akibat melaksanakan suatu tindakan
(commission) atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil (omission), dapat terjadi karena:
a. "Keberuntungan" (misalnya pasien yang
menerima suatu obat kontra indikasi tetapi tidak
timbul reaksi obat).
b. "Pencegahan" (misalnya secara tidak sengaja
pasien akan diberikan suatu obat dengan dosis

82
lethal, tetapi staf lain mengetahui dan
membatalkannya sebelum obat diberikan).
c. "Peringanan" (misalnya pasien secara tidak
sengaja telah diberikan suatu obat dengan dosis
lethal, segera diketahui secara dini lalu diberikan
antidotumnya, sehingga tidak menimbulkan
cidera yang berarti).
Hazard dapat terus terjadi jika tidak ada mekanisme
barrier yang diterapkan dalam memutuskan rantai
terjadinya insiden keselamatan pasien. Sehingga
mekanisme pelaporan ini menjadi relevan untuk
diterapkan sehingga mampu mencegah munculnya
kejadian hazard yang berulang. Penelitian yang dilakukan
oleh Rahma tahun 2022 menyimpulkan bahwa budaya
keselamatan pasien erat kaitannya dengan kejadian
insiden keselamatan pasien. Dengan meningkatnya
budaya keselamatan pasien insiden keselamatan pasien
dapat diminimalkan. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan penerapan budaya
keselamatan pasien untuk meminimalkan insiden
keselamatan pasien adalah dengan melaporkan
keselamatan insiden pasien, baik Kejadian Nyaris Cedera,
Kejadian Potensial Cedera, Kejadian Tidak Cedera apalagi
Kejadian Tidak Diharapkan.
Jenis Pelaporan
Dalam buku Panduan Nasional Keselamatan Pasien
Rumah Sakit (2008), dalam kegiatan pencatatan dan
pelaporan rumah sakit wajib untuk melakukan
pencatatan dan pelaporan insiden yang meliputi kejadian
tidak diharapkan (KTD), kejadian nyaris cedera (KNC) dan
kejadian sentinel. Pelaporan insiden dilakukan secara
internal dan eksternal. Pelaporan internal dilakukan
dengan mekanisme/ alur pelaporan keselamatan pasien
rumah sakit di lingkungan internal rumah sakit.
Pelaporan eksternal dilakukan dengan pelaporan dari
rumah sakit ke KKP-RS nasional. Dalam lingkup rumah
sakit, unit kerjakeselamatan pasien rumah sakit
melakukan pencatatan kegiatan yang telah dilakukan dan
membuat laporan kegiatan kepada Direktur rumah sakit.

83
Metode Pelaporan
Banyak metode yang digunakan mengidentifikasi resiko,
salah satu caranya adalah dengan mengembangkan
sistem pelaporan dan sistem analisis insiden keselamatan
pasien. Sehingga, dapat dipastikan bahwa sistem
pelaporan akan mengajak semua orang dalam organisasi
untuk peduli akan bahaya/potensi bahaya yang dapat
terjadi kepada pasien. Pelaporan juga penting digunakan
untuk memonitor upaya pencegahan terjadinya error
sehingga diharapkan dapat mendorong dilakukannya
investigasi selanjutnya. Beberapa ketentuan terkait
pelaporan insiden sesuai dengan Panduan Nasional
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (2008) akan dijabarkan
sebagai berikut:
1. Insiden sangat penting dilaporkan karena akan
menjadi awal proses pembelajaran untuk mencegah
kejadian yang sama terulang kembali.
2. Memulai pelaporan insiden dilakukan dengan
membuat suatu sistem pelaporan insiden di rumah
sakit meliputi kebijakan, alur pelaporan, formulir
pelaporan dan prosedur pelaporan yang harus
disosialisasikan pada seluruh karyawan.
3. Insiden yang dilaporkan adalah kejadian yang sudah
terjadi, potensial terjadi ataupun yang nyaris terjadi.
4. Pelapor adalah siapa saja atau semua staf rumah
sakit yang pertama menemukan kejadian atau yang
terlibat dalam kejadian.
5. Karyawan diberikan pelatihan mengenai sistem
pelaporan insiden mulai dari maksud, tujuan dan
manfaat laporan, alur pelaporan, bagaimana cara
mengisi formulir laporan insiden, kapan harus
melaporkan, pengertian-pengertian yang digunakan
dalam sistem pelaporan dan cara menganalisa
laporan.
Alur Pelaporan
Alur pelaoran yang ada saat ini dan masih dikembangkan
didasarkan pada buku Pedoman Pelaporan Insiden

84
Keselamatan Pasien RI Tahun 2015. Adapun alur
pelaporan secara Internal dan Eksternal adalah sebagai
berikut:
1. Pelaporan internal
a. Apabila terjadi suatu insiden
(KNC/KTD/KTC/KPC) di rumah sakit, wajib
segera ditindaklanjuti (dicegah/ ditangani) untuk
mengurangi dampak/ akibat yang tidak
diharapkan.
b. Setelah ditindaklanjuti, segera dibuat laporan
insiden dengan mengisi formulir laporan insiden
pada akhir jam kerja/ shift yang ditujukan kepada
atasan langsung (paling lambat 2 x 24 jam).
Diharapkan jangan menunda laporan.
c. Setelah selesai mengisi format laporan, segera
serahkan kepada atasan langsung pelapor. Atasan
langsung disepakati sesuai keputusan
manajemen, yaitu: supervisor/ kepala Bagian/
instalasi/ Departemen/unit.
d. Atasan langsung akan memeriksa laporan dan
melakukan grading resiko terhadap insiden yang
dilaporkan.
e. Hasil grading akan menentukan bentuk
investigasi dan analisa yang akan dilakukan
sebagai berikut:
1) Grade biru: Investigasi sederhana oleh atasan
langsung, waktu maksimal 1 minggu.
2) Grade hijau: Investigasi sederhana oleh
atasan langsung, waktu maksimal 2 minggu.
3) Grade kuning: Investigasi
komprehensif/analisis akar masalah/RCA
oleh Tim KP (Keselamatan Pasien) di RS,
waktu maksimal 45 hari.
4) Grade merah: Investigasi komprehensif/
analisis akar masalah/RCA (Root Cause
Analysis) oleh Tim KP di RS, waktu maksimal
45 hari.

85
f. Setelah selesai melakukan investigasi sederhana,
laporan hasil investigasi dan laporan insiden
dilaporkan ke Tim KP di RS.
g. Tim KP di RS akan menganalisa kembali hasil
Investigasi dan Laporan insiden untuk
menentukan apakah perlu dilakukan investigasi
lanjutan (RCA) dengan melakukan re-grading.
h. Untuk grade kuning/merah, Tim KP di RS akan
melakukan analisis akar masalah/ RCA.
i. Setelah melakukan RCA, Tim KP di RS akan
membuat laporan dan rekomendasi untuk
perbaikan serta “pembelajaran” berupa petunjuk
“safety alert” untuk mencegah kejadian yang sama
terulang kembali.
j. Hasil RCA, rekomendasi dan rencana kerja
dilaporkan kepada Direksi.
k. Rekomendasi untuk “perbaikan dan
pembelajaran” diberikan umpan balik kepada unit
kerja terkait serta sosialisasi kepada seluruh unit
di rumah sakit.
l. Unit Kerja membuat analisis dan trend kejadian di
satuan kerjanya masing - masing.
m. Monitoring dan evaluasi perbaikan oleh tim KP di
RS.
Selain dilakukannya pendokumentasian di tingkat
internal Rumah Sakit, tim yang dibentuk dalam
komite keselamatan pasien akan menindaklanjuti
pelaporan insiden keselamatan pasien ini sendiri ke
dalam sistem yang sudah terintegrasi dengan data
base pusat dalam departemen kesehatan.
2. Pelaporan eksternal
Adapun pelaporan eksternal yang dilaksanakan
setelah proses pelaporan internal adalah sebagai
berikut: Laporan hasil investigasi sederhana/analisis
akar masalah/RCA yang terjadi pada pasien
dilaporkan oleh Tim KP di RS (Internal)/Pimpinan RS
ke KKP-RS Nasional dengan mengisi formulir laporan

86
insiden keselamatan pasien dan melakukan entry
data (e-reporting) melalui website resmi KKPRS:
www.buk.depkes.go.id.
Sistem pelaporan insiden keselamatan pasien digital
di rumah sakit pernah diujicobakan oleh Dirwan, dkk
tahun 2021 dan didapatkan hasil implementasi dan
analaisis pada petugas kesehatan dengan hasil bahwa
para civitas hospitalia memperoleh kemudahan untuk
pelaporan IKP dan PPI, sedangkan pihak manajemen
RS yang memperoleh laporan tersesebut secara cepat
dan akurat serta dapat segera untuk ditindaklanjuti
guna mencegah kejadian serupa pada unit yang sama
atau berbeda. Catatan dalam hasil publikasi tersebut
disebutkan pentingnya dukungan para pimpinan dan
manajemen untuk mencapai perubahan yang baik.
Pelaporan melalui digital sistem ini mudah diterima
dan memiliki potensi untuk terus dimanfaatkan
sebagai proses pembelajaran organisasi RS.
Grading Risiko Insiden Keselamatan Pasien
Pada saat melaporkan sebuah kejadian keselamatan
pasien diperlukan prosedur analisis grading risiko
kejadian keselamatan pasien untuk menetukan tindak
lanjut dari sebuah insiden yang telah terjadi terkait
bentuk investigasi insiden. Penilaian matriks risiko adalah
suatu metode analisis kualitatif untuk menentukan
derajat risiko suatu insiden berdasarkan dampak dan
probabilitasnya. Penilaian dampak/akibat (concequences)
suatu insiden adalah seberapa berat akibat yang dialami
pasien mulai dan tidak ada cedera sampai meninggal
(table 5.1). Penilaian tingkat probabilitas/ frekuensi
(likelihood) risiko adalah seberapa seringnya insiden
tersebut terjadi (tabel 5.2).
Tabel 5.1
Penilaian Dampak/Akibat (Concequences) Suatu Insiden
Grade Deskripsi Keterangan Deskripsi
1 Insignificant Tidak ada cedera

2 Minor a. Cedera ringan mis. Luka lecet

b. Dapat diatasi dengan pertolongan pertama

87
3 Moderate a. Cedera sedang mis. Luka robek
Berkurangnya fungsi motorik / sensorik
b. / psikologis atau
intelektual secara reversibel dan tidak
berhubungan

dengan penyakit.
Setiap kasus yang memperpanjang
c. perawatan

4 Major a. Cedera luas/berat mis. Cacat, lumpuh


Kehilangan fungsi motorik, sensorik,
b. psikologis,
intelektual)/irreversibel, tidak
berhubungan

dengan penyakit.
Kematian yang tidak berhubungan dengan
5 Cathastropic perjalanan penyakit

yang mendasarinya

(Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien RI, 2015)


Adapun penilaian tingkat probabilitas terjadinya sebuah
insiden dapat digambarkan pada tabel 2.2 berikut ini.
Tabel 5.2 Penilaian Tingkat Probabilitas/
Frekuensi (Likelihood) Suatu Insiden
Grade Frekuensi Kejadian Aktual
1 Sangat Jarang Dapat terjadi dalam lebih dari 5 tahun

2 Jarang Dapat terjadi dalam 2 – 5 tahun

3 Mungkin Dapat terjadi tiap 1 – 2 tahun


Dapat terjadi beberapa kali dalam
4 Sering setahun

5 Sangat Sering Terjadi dalam minggu / bulan


(Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien RI, 2015)

Setelah nilai dampak dan probabilitas diketahui,


dimasukkan dalam tabel matriks grading risiko untuk
menghitung skor risiko dan mencari warna bands risiko.
Bands risiko adalah derajat risiko yang digambarkan

88
dalam empat warna yaitu: Biru, Hijau, Kuning dan Merah.
Warna Bands akan menentukan investigasi yang akan
dilakukan. Bands warna biru dan hijau akan
mengarahkan tindak lanjut insiden dengan investigasi
sederhana. Bands kuning dan merah suatu insiden harus
dilakukan investigasi komprehensif/ RCA (tabel 5.3).
Tabel 5.3 Matrik Grading Risiko (Bands Risiko)
Dampak/ Concequences
Frekuensi/ Insignificant Minor Moderate Major Catastropic
Likelihood 1 2 3 4 5
Sangat Sering Moderate Moderate High Extreme Extreme
(Tiap Minggu/
bulan)
5
Sering Moderate Moderate High Extreme Extreme
(Beberapa
kali/thn)
4
Mungkin Low Moderate High Extreme Extreme
(1-<2
thn/kali)
3
Jarang Low Low Moderate High Extreme
(>2-<5 thn)
2
Sangat jarang Low Low Moderate High Extreme
(>5 thn/kali)
1

(Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien RI, 2015)


Formulir Laporan Kejadian Keselamatan Pasien
Proses pelaporan insiden keselamatan pasien
menggunakan formulir khusus yang telah diterbitkan oleh
KKP-RS Nasional (Departemen Kesehatan RI, 2008b).
Formulir Laporan Insiden terdiri dan dua macam:
1. Formulir laporan insiden internal: adalah formulir
laporan yang dilaporkan ke Tim KP di RS dalam waktu
maksimal 2 x 24 jam/ akhir jam kerja/ shift. Laporan
berisi: data pasien, rincian kejadian, tindakan

89
yangakan dilakukan saat terjadi insiden, akibat
insiden, Pelapor dan penilaian grading.
2. Formulir laporan insiden eksternal: adalah formulir
laporan yang dilaporkan ke KKP-RS Nasional setelah
dilakukan analisis dan investigasi.
Aplikasi Konsep Patricia Banner dalam Pelaporan
Insiden Keselamatan Pasien
Sebelum kita membahas perspektif Patrician Banner
dalam keselamatan pasien, sebelumnya kita harus
memiliki perspektif yang sama mengenai konsep teori
yang dikemukakan Banner. Benner (1997) mengeluarkan
sebuah teori yang disebut Teori “From Novice To Expert”
yang artinya tahapan dalam profesi dari novice (pemula)
ke tahapan expert (berpengalaman). Konsep teori “From
Novice To Expert” yang dikembangkan oleh Patricia Benner
diambil dari “Model Dreyfus” yang dikemukakan oleh
Hubert Dreyfus dan Stuart Dreyfus (1986). Teori From
Novice to Expert menjelaskan 5 tingkat/tahap akuisisi
peran dan perkembangan profesi meliputi: (1) novice, (2)
advance beginner, (3) competent, (4) proficient, dan (5)
expert. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Novice
Tingkat Novice pada akuisisi peran pada Dreyfus
Model, adalah seseorang tanpa latar belakang
pengalaman pada situasinya. Dalam hal ini Benner
mengklasifikasikan perawat pada level novice jika
ditempatkan pada area atau situasi yang tidak
familiar dengannya. Perintah yang jelas dan atribut
yang obyektif harus diberikan untuk memandu
penampilannya. Pada penelitian ini, jenjang
keperawatan pada tingkatan novice tidak dilibatkan
karena metode yang akan diajarkan membutuhkan
perawat dengan pengetahuan dan keterampilan
mandiri selama memberikan pelayanan keperawatan
di rumah sakit.
2. Advanced beginner
Advance Beginner dalam Model Dreyfus (1986) adalah
ketika seseorang menunjukkan penampilan

90
mengatasi masalah yang dapat diterima pada situasi
nyata. Situasi klinis ditunjukkan oleh perawat pada
level advance beginner sebagai ujian terhadap
kemampuannya dan permintaan terhadap situasi
pada pasien yang membutuhkan dan responnya.
Advance beginner mempunyai responsibilitas yang
lebih besar untuk melakukan manajemen asuhan
pada pasien, sebelumnya mereka mempunyai lebih
banyak pengalaman. Benner menempatkan perawat
yang baru lulus pada tahap ini.
Dalam penelitian ini, tingkatan perawat Advance
beginner belum juga dilibatkan sama halnya dengan
Novice karena dalam penelitian mensyaratkan kriteria
inklusi dengan masa kerja minimal 1 tahun.
3. Competent
Tahap competent dari model Dreyfus (1986) ditandai
dengan kemampuan mempertimbangkan dan
membuat perencanaan yang diperlukan untuk suatu
situasi dan sudah dapat dilepaskan. Perawat
competent dapat menunjukkan reponsibilitas yang
lebih pada respon pasien, lebih realistik dan dapat
menampilkan kemampuan kritis pada dirinya.
Competent harus dapat mengetahui alasan dalam
pembuatan perencanaan dan prosedur pada situasi
klinis. Untuk dapat menjadi proficient, competent
harus diizinkan untuk memandu respon terhadap
situasi.
4. Proficient
Perawat pada tahap ini menunjukkan kemampuan
baru untuk melihat perubahan yang relevan pada
situasi, meliputi pengakuan dan
mengimplementasikan respon keterampilan dari
situasi yang dikembangkan. Mereka akan
mendemonstrasikan peningkatan percaya diri pada
pengetahuan dan keterampilannya. Pada tingkatan ini
mereka banyak terlibat dengan keluarga dan pasien.

91
5. Expert
Benner menjelaskan pada tingkatan ini perawat
expert mempunyai pegangan intuitif dari situasi yang
terjadi sehingga mampu mengidentifikasi area dari
masalah tanpa kehilangan pertimbangan waktu
untuk membuat diagnosa alternatif dan penyelesaian.
Perubahan kualitatif pada expert adalah “mengetahui
pasien” yang berarti mengetahui tipe pola respon dan
mengetahui pasien sebagai manusia. Aspek kunci
pada perawat expert adalah:
a. Menunjukkan pegangan klinis dan sumber
praktis
b. Mewujudkan proses know-how
c. Melihat gambaran yang luas
d. Melihat yang tidak diharapkan
Laporan Institute of Medicine (IoM) (Kohn, Corrigan &
Donaldson 1999) menyatakan, perawat menjadi ujung
tombak perawatan pasien, sering menjadi
kemungkinan baris terakhir pertahanan dalam
mencegah kesalahan perawatan pasien. Dalam studi
baru keselamatan pasien oleh Dewan Nasional Dewan
Negara Keperawatan (Malloch, Benner & Weeks)
mendefinisikan: turunan dari praktek keperawatan
dalam upaya menyelesaikan gangguan pada salah
satu aspek praktek yang terjadi yang melibatkan
individu, tim kesehatan atau sistem perawatan
kesehatan yang tidak hadir maka penting untuk
mempperhatikan unsur-unsur berikut:
a. Administrasi pengobatan yang aman.
Perawat mengelola dosis yang tepat dari obat yang
tepat melalui rute yang tepat kepada pasien yang
tepat pada waktu yang tepat untuk alasan yang
tepat.
b. Dokumentasi
Dokumentasi keperawatan memberikan informasi
yang relevan tentang pasien dan tindakan yang
dilakukan dalam memenuhi kebutuhan mereka.

92
c. Perhatian / Surveillance.
Perawat memantau apa yang terjadi dengan
pasien dan staf. Perawat mengamati kondisi klinis
pasien, jika perawat tidak mengamati pasien,
maka dia tidak bisa mengidentifikasi perubahan
yang dialami pasien dan perawat akan sulit
membuat keputusan keperawatan.
d. Penalaran klinis.
Perawat menafsirkan tanda-tanda, gejala, dan
respon pasien terhadap terapi. Perawat
mengevaluasi relevansi perubahan tanda dan
gejala pada pasien dan memastikan bahwa
perawatan pasien telah disesuaikan dengan tepat.
e. Pencegahan
Perawat memiliki langkah-langkah untuk
mencegah risiko, bahaya, atau komplikasi karena
sakit atau rawat inap. Ini termasuk tindakan
pencegahan pasien jatuh, mencegah bahaya
imobilitas dan kontraktur.
f. Intervensi.
Perawat melakukan tindakan keperawatan
dengan benar. Interpretasi dengan tepat. Perawat
menafsirkan perintah dengan tepat.
g. Tanggung jawab/advokasi Pasien.
Perawat menunjukkan tanggung jawab
profesional dan memahami sifat dari hubungan
perawat-pasien. Advokasi mengacu pada
ekspektasi bahwa perawat bertindak secara
bertanggung jawab dalam melindungi pasien dan
kerentanan keluarga pada kebutuhan pasien atau
masalah pasien dapat tertangani (Benner Sheets,
Uris, Malloch, Schwed & Jamison 2006).

93
Daftar Pustaka
Benner, P., Hughes, R. G., & Sutphen, M. (2008). Clinical
Reasoning, Decisionmaking, and Action: Thinking
Critically and Clinically. Patient Safety and Quality: An
Evidence-Based Handbook for Nurses., 6, 87–110.
https://doi.org/NBK2643 [bookaccession]
Benner, P., Kyriakidis, P. H., & Stannard, D. (2011).
Thinkin-in-Action and Reasoning-in-Transition: An
Overview. Clinical Wisdom and Intervention in Acute
and Critical Care.
Benner, P., Malloch, K., Sheets, V., & Bitz, K. (2006).
TERCAP: Creating a national database on nursing
errors. Harvard Health Policy Review, 7(1), 48–63.
Retrieved from
http://scholar.google.com/scholar?hl=en&btnG=Sear
ch&q=intitle:TERCAP:+Creating+a+national+database
+on+nursing+erros#0
Cousins, D. H., Gerrett, D., & Warner, B. (2012). A review
of medication incidents reported to the National
Reporting and Learning System in England and Wales
over 6 years (2005-2010). British Journal of Clinical
Pharmacology, 74(4), 597–604.
https://doi.org/10.1111/j.1365-2125.2011.04166.x
Departemen Kesehatan RI. (2008). Formulir Laporan
insiden keselamatan pasien ke KKP-RS. Jakarta.
Depkes. (2008). Pedoman Pelaporan Insiden keselamatan
Pasien (IKP) (Patient Safety Incident Report) (2nd ed.).
Jakarta.
Habibah, T., & Dhamanti, I. (2021). Faktor yang
Menghambat Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien
di Rumah Sakit: Literature Review. Jurnal Kesehatan
Andalas, 9(4), 449-460.
Jumila, R. (2021). SISTEM PELAPORAN INSIDEN
KESELAMATAN PASIEN SEBAGAI UPAYA BUDAYA
KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT. Jurnal
Cakrawala Ilmiah, 1(5), 931-938.

94
Kementerian Kesehatan RI. (2011). Pedoman
Penyelenggaraan Keselamatan Pasien di Rumah Sakit.
Jakarta.
Mursid, A., Sjattar, E. L., & Arafat, R. (2021). Hambatan
Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien: A Literature
Review. Jurnal Penelitian Kesehatan" SUARA
FORIKES"(Journal of Health Research" Forikes Voice"),
12(3), 231-235.
Nashifah, N. S. A., & Adriansyah, A. A. (2021). Analisis
Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien: Studi Kasus
Di Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya. MOTORIK
Jurnal Ilmu Kesehatan, 16(2), 50-55.
Paramita, D. A., Arso, S. P., & Kusumawati, A. (2020).
FAKTOR–FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
MOTIVASI PERAWAT DALAM PELAPORAN INSIDEN
KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT X KOTA
SEMARANG. Jurnal Kesehatan Masyarakat (Undip),
8(6), 724-730.
Soularto, D. S., Arini, M., & Listiowati, E. (2021). Digital
System Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien Di
Rumah Sakit. In Prosiding Seminar Nasional Program
Pengabdian Masyarakat.
Tristantia, A. D. (2018). Evaluasi Sistem Pelaporan Insiden
Keselamatan Pasien di Rumah Sakit. Jurnal
Administrasi Kesehatan Indonesia, 6(2), 83-94.

95
Profil Penulis
Harlina Putri Rusiana
Kelahiran 15 Maret 1988 di Kota Mataram, Nusa
Tenggara Barat. Berhasil menyelesaikan studi
Magister Keperawatan di Muhammadiyah Jakarta
pada Tahun 2017 dan saat ini aktif mengajar di
STIKes YARSI MATARAM pada peminatan
Manajemen Keperawatan. Selain sebagai dosen, beliau juga
aktif tergabung di organisasi profesi Himpunan Perawat Manajer
Indonesia (HPMI) Wilayah Nusa Tenggara Barat. Riset yang
dijadikan tesis berfokus pada kepatuhan perawat dalam
pelaporan insiden keselamatan pasien dengan melakukan
intervensi pembelajaran “peer”/sejawat dalam memahami
mekanisme pelaporan dan tindak lanjut berupa Root Couse
Analysis saat insiden keselamatan pasien terjadi. Penulis telah
2 kali mendapatkan Hibah Penelitian Dosen Pemula
RISTEK/BRIN secara berturut-turut.
Kontak Penulis dapat melalui Tlf/WA 081933132082
e-mail: harlinarusian@gmail.com

96
6
SOLUSI KESELAMATAN PASIEN
DAN RESIKO PASIEN JATUH

Ns. Muh. Jumaidi Sapwal, S.Kep., M.Kep.


Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Hamzar

Solusi Keselamatan Pasien


Konsep keselamatan pasien (patient safety) secara
mendasar diartikan sebagai “freedom from accidental
injury” oleh Institute Of Medicine (IOM). Sejalan dengan
batasan tersebut, Komite Keselamatan Pasien Rumah
Sakit (KKP-RS) mendefinisikan keselamatan pasien
sebagai bebas dari cedera (harm) yang seharusnya tidak
terjadi atau potensial cedera akibat dari pelayanan
kesehatan yang disebabkan error yang meliputi kegagalan
suatu perencanaan atau memakai rencana yang salah
dalam mencapai tujuan (Wardhani, 2017). Menurut
Peraturan Menteri Kesehatan No. 11 Tahun 2017 tentang
Keselamatan Pasien, keselamatan pasien adalah suatu
sistem yang membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem
tersebut meliputi asesmen risiko, identifikasi dan
pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,
kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya,
serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang
disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil.
WHO Collaborating Centre for Patient Safety pada tanggal
2 Mei 2007 resmi menerbitkan “Nine Life Saving Patient
Safety Solutions” (Sembilan Solusi Life-Saving

97
Keselamatan Pasien Rumah Sakit). Panduan ini mulai
disusun sejak tahun 2005 oleh pakar keselamatan pasien
dan lebih 100 negara, dengan mengidentifikasi dan
mempelajari berbagai masalah keselamatan pasien.
Sebenarnya petugas kesehatan tidak bermaksud
menyebabkan cedera pasien, tetapi fakta tampak bahwa
di bumi ini setiap hari ada pasien yang mengalami KTD
(Kejadian Tidak Diharapkan). KTD, baik yang tidak dapat
dicegah (non error) maupun yang dapat dicegah (error),
berasal dari berbagai proses asuhan pasien. Solusi
keselamatan pasien adalah sistem atau intervensi yang
dibuat, mampu mencegah atau mengurangi cedera pasien
yang berasal dari proses pelayanan kesehatan.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS)
mendorong RS-RS di Indonesia untuk menerapkan
Sembilan Solusi Life-Saving Keselamatan Pasien Rumah
Sakit, atau 9 Solusi, langsung atau bertahap, sesuai
dengan kemampuan dan kondisi RS masing-masing.
Kesembilan solusi tersebut adalah:
1. Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-
Alike, Sound-Alike Medication Names).
2. Pastikan Identifikasi Pasien.
3. Komunikasi Secara Benar saat Serah Terima /
Pengoperan Pasien.
4. Pastikan Tindakan yang benar pada Sisi Tubuh yang
benar.
5. Kendalikan Cairan Elektrolit Pekat (concentrated).
6. Pastikan Akurasi Pemberian Obat pada Pengalihan
Pelayanan.
7. Hindari Salah Kateter dan Salah Sambung Slang
(Tube).
8. Gunakan Alat Injeksi Sekali Pakai.
9. Tingkatkan Kebersihan Tangan (Hand hygiene) untuk
Pencegahan lnfeksi Nosokomial.

98
Pembahasan 9 Solusi Keselamatan Pasien
1. Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-
Alike, Sound-Alike Medication Names)
Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM), yang
membingungkan staf pelaksana adalah salah satu
penyebab yang paling sering dalam kesalahan obat
(medication error) dan ini merupakan suatu
keprihatinan di seluruh dunia. Dengan puluhan ribu
obat yang ada saat ini di pasar, maka sangat
signifikan potensi terjadinya kesalahan akibat
bingung terhadap nama merek atau generik serta
kemasan. Solusi NORUM ditekankan pada
penggunaan protokol untuk pengurangan risiko dan
memastikan terbacanya resep, label, atau
penggunaan perintah yang dicetak lebih dulu,
maupun pembuatan resep secara elektronik.
Contoh Nama Obat Mirip:
a. Stimuno Stamino
b. Reskuin Resochin
c. Piracetam Piroxicam
d. Metoclopramide Chlorpropamide
e. Proza Prozac
f. Farmabes Farmabex
g. Antipres Antiprestin
h. Leschol Leschicol
2. Pastikan Identifikasi Pasien
Kegagalan yang meluas dan terus menerus untuk
mengidentifikasi pasien secara benar sering mengarah
kepada kesalahan pengobatan, transfusi maupun
pemeriksaan, pelaksanaan prosedur yang keliru
orang, penyerahan bayi kepada bukan keluarganya,
dan sebagainya. Rekomendasi ditekankan pada
metode untuk verifikasi terhadap identitas pasien,
termasuk keterlibatan pasien dalam proses ini,
standarisasi dalam metode identifikasi di semua

99
rumah sakit dalam suatu sistem layanan kesehatan,
dan partisipasi pasien dalam konfirmasi ini, serta
penggunaan protokol untuk membedakan identifikasi
pasien dengan nama yang sama.
Contoh identifikas:
a. Pemakaian gelang identitas pasien dibedakan
berdasarkan warna
b. Pemasangan gelang identifikasi dan penanda pada
pasien, cara indetifikasi seblum:
1) Pemberian obat, darah atau produk darah
2) Pengambilan darah dan specimen lain untuk
pemeriksaan klinis
3) Pemberian pengobatan, dan
tindakan/prosedur
3. Komunikasi Secara Benar saat Serah Terima /
Pengoperan Pasien
Komunikasi adalah sebuah proses penyampaian
pikiran atau informasi dari seseorang kepada orang
lain melalui suatu cara sehingga orang lain tersebut
mengerti betul apa yang dimaksud oleh penyampai
pikiran-pikiran atau informasi. Komunikasi akan
efektif apabila pesan diterima dan dimengerti
sebagaimana dimaksud oleh pengirim pesan, pesan
ditindaklanjuti dengan sebuah perbuatan oleh
penerima pesan dan tidak ada hambatan untuk hal
itu (Hardjana, 2003). Kesenjangan dalam komunikasi
saat serah terima/ pengoperan pasien antara unit-
unit pelayanan, dan didalam serta antar tim
pelayanan, bisa mengakibatkan terputusnya
kesinambungan layanan, pengobatan yang tidak
tepat, dan potensial dapat mengakibatkan cedera
terhadap pasien. Rekomendasi ditujukan untuk
memperbaiki pola serah terima pasien termasuk
penggunaan protokol untuk mengkomunikasikan
informasi yang bersifat kritis; memberikan
kesempatan bagi para praktisi untuk bertanya dan
menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada saat

100
serah terima, dan melibatkan para pasien serta
keluarga dalam proses serah terima.
4. Pastikan Tindakan yang benar pada Sisi Tubuh yang
benar
Penyimpangan pada hal ini seharusnya sepenuhnya
dapat dicegah. Kasus-kasus dengan pelaksanaan
prosedur yang keliru atau pembedahan sisi tubuh
yang salah sebagian besar adalah akibat dan
miskomunikasi dan tidak adanya informasi atau
informasinya tidak benar. Faktor yang paling banyak
kontribusinya terhadap kesalahan-kesalahan macam
ini adalah tidak ada atau kurangnya proses pra-bedah
yang distandardisasi. Rekomendasinya adalah untuk
mencegah jenis-jenis kekeliruan yang tergantung
pada pelaksanaan proses verifikasi pra-pembedahan,
pemberian tanda pada sisi yang akan dibedah oleh
petugas yang akan melaksanakan prosedur, dan
adanya tim yang terlibat dalam prosedur “Time out”
sesaat sebelum memulai prosedur untuk
mengkonfirmasikan identitas pasien, prosedur dan
sisi yang akan dibedah.
Contoh: penandaan lokasi operasi pada lokasi tubuh
yang ada lateralisasi dan adanya sign in, time out, dan
sign out.
5. Kendalikan Cairan Elektrolit Pekat (Concentrated)
Sementara semua obat-obatan, biologics, vaksin dan
media kontras memiliki profil risiko, cairan elektrolit
pekat yang digunakan untuk injeksi khususnya
adalah berbahaya. Rekomendasinya adalah membuat
standardisasi dari dosis, unit ukuran dan istilah; dan
pencegahan atas campur aduk / bingung tentang
cairan elektrolit pekat yang spesifik.
Selain itu untuk obat-obatan sitostatika harus
ditangani dengan hati-hati oleh setiap petugas yang
menyimpan dan mendistribusikan.

101
Contoh daftar obat yang perlu diwaspadai

PHARMACOLOGY CATEGORY GENERIC NAME

Anticoagulants, IV, Low- Heparin, Enoxaparin


molecular-weight

Insulin, subcutaneous and IV Insulin

Narcotics/opiates, IV Morphin, Pethidine.


Fentanyl

Potassium chloride for injection Potassium chloride


concentrate

Sodium chloride for injection, Sodium chloride


hypertonic (greater than 0,9%
concentration)

6. Pastikan Akurasi Pemberian Obat pada Pengalihan


Pelayanan
Kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat
transisi / pengalihan. Rekonsiliasi (penuntasan
perbedaan) medikasi adalah suatu proses yang
didesain untuk mencegah salah obat (medication
errors) pada titik-titik transisi pasien.
Rekomendasinya adalah menciptakan suatu daftar
yang paling lengkap dan akurat dan seluruh medikasi
yang sedang diterima pasien juga disebut sebagai
“home medication list", sebagai perbandingan dengan
daftar saat admisi, penyerahan dan / atau perintah
pemulangan bilamana menuliskan perintah medikasi;
dan komunikasikan daftar tersebut kepada petugas
layanan yang berikut dimana pasien akan ditransfer
atau dilepaskan.
Contoh: Adanya formulir transfer pasien pada rekam
medis yang berisi catatan tentang obat yang diberikan
bila pasien dipindahkan keruangan rawat lain/
transfer.

102
7. Hindari Salah Kateter dan Salah Sambung Slang
(Tube)
Slang, kateter, dan spuit (syringe) yang digunakan
harus didesain sedemikian rupa agar mencegah
kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian Tidak
Diharapkan) yang bisa menyebabkan cedera atas
pasien melalui penyambungan spuit dan slang yang
salah, serta memberikan medikasi atau cairan melalui
jalur yang keliru. Rekomendasinya adalah
menganjurkan perlunya perhatian atas medikasi
secara detail / rinci bila sedang mengenjakan
pemberian medikasi serta pemberian makan
(misalnya slang yang benar), dan bilamana
menyambung alat-alat kepada pasien (misalnya
menggunakan sambungan & slang yang benar).
Contoh: SPO pemasangan NGT, SPO pemasangan
kateter urine
8. Gunakan Alat Injeksi Sekali Pakai
Salah satu keprihatinan global terbesar adalah
penyebaran dan HIV, HBV, dan HCV yang diakibatkan
oleh pakai ulang (reuse) dari jarum suntik.
Rekomendasinya adalah perlunya melarang pakai
ulang jarum di fasilitas layanan kesehatan; pelatihan
periodik para petugas di lembaga-lembaga layanan
kesehatan khususnya tentang prinsip-pninsip
pengendalian infeksi, edukasi terhadap pasien dan
keluarga mereka mengenai penularan infeksi melalui
darah; dan praktek jarum sekali pakai yang aman.
Contoh: Kebijakan single use untuk jarum suntik
9. Tingkatkan Kebersihan Tangan (Hand hygiene) untuk
Pencegahan lnfeksi Nosokomial
Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4
juta orang di seluruh dunia menderita infeksi yang
diperoleh di rumah-rumah sakit. Kebersihan Tangan
yang efektif adalah ukuran preventif yang pimer untuk
menghindarkan masalah ini. Rekomendasinya adalah
mendorong implementasi penggunaan cairan
“alcohol-based hand-rubs" tersedia pada titik-titik

103
pelayan tersedianya sumber air pada semua kran,
pendidikan staf mengenai teknik kebersihan tangan
yang benar mengingatkan penggunaan tangan bersih
ditempat kerja; dan pengukuran kepatuhan
penerapan kebersihan tangan melalui pemantauan /
observasi dan tehnik-tehnik yang lain.
Contoh: Kebijakan dan SPO tentang hand hygiene.
Resiko Pasien Jatuh
Berdasarkan National Database of Nursing Quality
Indicators (NDNQI) dalam penelitian Bouldin et al (2014),
kejadian pasien jatuh merupakan kejadian yang tidak
direncanakan dengan atau tanpa cedera di unit rawat
inap. Orang tua dan pasien yang lemah bukan satu-
satunya yang berisiko jatuh di rumah sakit. Setiap
kelompok umur memiliki risiko jatuh karena adanya
perubahan kondisi fisiologisnya. Di Amerika Serikat
insiden jatuh di rumah sakit dan pusat kesehatan
dilaporkan sebanyak 1.000 pasien per harinya. Dari
345.800 kejadian jatuh yang terjadi di ruang rawat inap
selama penelitian, 315.817 orang dilaporkan mengalami
cedera (Bouldinet al, 2014). Rata-rata kejadian jatuh
terjadi pada pasien di atas 56 tahun, dan sebanyak 32%
adalah wanita (Cuttler, 2017). Menurut Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KPPRS), di Indonesia
sendiri kejadian risiko jatuh terbanyak terjadi di Provinsi
DKI Jakarta dengan 37,9% diikuti Jawa Tengah 15,9%,
dan DI Yogyakarta 13,8%. Kejadian ini paling banyak
ditemukan di unit rawat inap penyakit dalam, bedah, dan
anak sebesar 56,7% (Ariastuti, 2013). Risiko jatuh juga
termasuk dalam sasaran keselamatan pasien, Sasaran
pasien merupakan syarat yang harus diterapkan di semua
rumah sakit yang telah terakreditasi oleh Komisi
Akreditasi Rumah Sakit (KARS). Penyusunan sasaran ini
mengacu pada Nine LifeSaving Patient safety Solution dari
WHO Patient Safety 2007, yang juga digunakan oleh
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKPRS
PERSI) dan dari Joint Comission International (JCI).
Maksud dari sasaran keselamatan pasien adalah untuk
mendorong perbaikan spesifik dalam keselamatan pasien.

104
Sasaran keselamatan pasien mencakup sasaran
keselamatan pasien (Kemenkes, 2017), yaitu:
1. Mengidentifikasi pasien dengan benar
2. Meningkatkan komunikasi efektif
3. Meningkatkan keamanan obat-obatan yang harus
diwaspadai
4. Memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur
yang benar, pembedahan pada pasien yang benar
5. Mengurangi risiko infeksi akibat akibat perawatan
kesehatan
6. Mengurangi risiko cedera pasien akibat terjatuh.
Faktor Risiko Jatuh
Jatuh merupakan suatu kejadian yang tidak disengaja.
Oleh karena itu banyak faktor yang mempengaruhi
sehingga terjadinya insiden pasien jatuh di rumah sakit.
Berdasarkan hasil penelitian Dewi dan Richa (2018),
faktor-faktor yang menyebabkan risiko pasien jatuh, yaitu
(1) pengetahuan dari tenaga kesehatan mengenai standar
operasional prosedur (SOP) pelaksanaan pencegahan
pasien jatuh; (2) rasio serta beban kerja perawat yang
tidak sesuai; (3) sarana dan prasarana yang mendukung
seperti bel dan bed side rel; (4) lingkungan. Berdasarkan
clinical guideline yang dikeluarkan oleh The Royal
Children’s Hospital Melbourne faktor-faktor yang
mempengaruhi pasien risiko jatuh meliputi: (1)
lingkungan seperti sisi pengaman ranjang yang tidak
terpasang, lantai yang basah, dll lokasi tombol bantuan
yang terlalu jauh dari pasien, letak peralatan yang tidak
rapi; (2) usia; (3) diagnosis klinis dimana kondisi klinis
pasien yang berbeda sesuai diagnosis masing-masing
pada pasien yang mana mempengaruhi meningkatnya
risiko jatuh; (4) status mental; (5) gangguan mobilitas; (6)
penggunaan medikasi yang mana pada beberapa jenis
obat mempengaruhi pasien sehingga berisiko untuk jatuh
seperti Barbiturat, phenothiazines, sedative, hipnotik,
antidepresan, dll.

105
Dampak dan Probabilitas Risiko Pasien Jatuh
Berdasarkan Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
(2015), dalam menilai suatu analisa kualitatif dalam
menentukan derajat risiko suatu insiden berdasarkan
dampak dan probabilitasnya. Penilaian dampak dari
suatu insiden dinilai dari seberapa berat akibat yang
dialami oleh pasien. sedangkan dalam penilaian
probabilitas dinilai seberapa sering insiden tersebut
terjadi. Berikut jenis-jenis dampak dan probabilitas risiko
berdasarkan tingkatannya:
Tabel 6.1 Tingkat Dampak Dan Probabilitas Risiko Pasien
Jatuh

Tingkat Dampak Probabilitas


Risiko (frekuensi)

Tidak Tidak terdapat luka Sangat jarang


Signifikan (>5tahun)

Minor Cedera ringan misal luka lecet Jarang/unlikely


(dapat diatasi dengan pertolongan (>2-5 tahun/kali
pertama)

Moderat Cedera sedang misal luka robek, Mungkin/possib


memperpanjang perawatan pasien, le (1-2
menyebabkan berkurangnya fungsi tahun/kali
motoric/sensorik/psikologi/intelek
tual

Mayor Cedera luas/berat missal cacat, Sering/likely


lumpuh, kehilangan fungsi (beberapa
motoric/sensorik/psikologi/intelek kali/tahun)
tual

Katas- Kematian tanpa berhubungan Sangat


tropik dengan perjalanan penyakit yang sering/almost
diderita pasien certain (tiap
minggu/bulan)

Sumber: KPPRS (2015)

106
Manajemen Risiko Pasien Jatuh
Manajemen risiko merupakan upaya dalam menganalisis
suatu sistem terhadap potensi terjadinya kesalahan
sehingga mencegah terjadinya insiden. Manajemen risiko
terdiri dari prosen identifikasi, penyusunan prioritas
risiko, analisis, serta pengurangan potensi risiko yang
mungkin terjadi baik pada pasien, pengunjung, staff,
maupun asset organisasi (Kavaler & Spiegel, 2003).
Melalui proses ini akan memfasilitasi proses pengambilan
keputusan. Keputusan ini dapat berupa kebijakan yang
dapat diterapkan oleh rumah sakit untuk mencegah
terjadinya KTD dalam pelayanan kesehatan
(Yulianingtyas, 2016). Mengintegrasikan kegiatan
manajemen risiko merupakan bagian dari tujuh langkah
keselamatan pasien. keselamatan pasien merupakan
komponen penting dari manajemen risiko serta harus
diintegrasikan dengan keselamatan staf, manajemen
complain, penganganan litigasi, dank lain. Program-
program asesmen risiko merupakan bagian dari strategi
manajemen risiko di fasilitas kesehatan. Kegiatan ini di
unit pelaksana dapat berupa melakukan asesmen risiko
pasien secara individual. Dalam kasus pasien jatuh,
terdapat berbagai macam asesmen pasien. risiko jatuh
yang dapat digunakan sesuai dengan masing-masing
rumah sakit. Kemudian dalam proses selanjutnya dapat
dilakukan tindakan sesuai dengan hasil pengkajian yang
didapatkan (PMK No 11 tahun 2017). Manajemen risiko
pasien jatuh ini dilaksanakan sejak pasien mendaftar
hingga pasien pulang. Pengkajian ini dilakukan untuk
mengidentifikasi akar masalah penyebab risiko pasien
jatuh, mengembangkan alternative solusi dan melakukan
uji dari alternative solusi tersebut (Budiono, 2014).
Pengkajian dan Intervensi Risiko Jatuh
Program pencegahan pasien risiko jatuh merupakan
suatu hal yang sangat kompleks. Berdasarkan Agency for
Healthcare Research and Quality (2013) pelaksanaan
program pencegahan pasien jatuh berupa tindakan
pencegahan yang dilakukan kepada seluruh pasien baik
dengan atau tanpa risiko jatuh. Hal ini menjadikan
lingkungan pasien menjadi aman dan nyaman. Beberapa

107
institusi telah menciptakan masing-masing pengkajian
yang dapat digunakan sebagai penilaian pada pasien
risiko jatuh. Morse Fall Scale merupakan pengkajian yang
paling banyak digunakan pada pasien dewasa dan
Humpty Dumpty Fall Scale merupakan pengkajian yang
sering digunakan pada pasien anak. Ketika dilakukan
penilaian dengan benar, pengkajian ini akan memberikan
data untuk perencanaan perawatan selanjutnya. Masing-
masing rumah sakit dapat memilih pengkajian yang
sesuai dengan kondisi rumah sakit.
1. Morse Fall Scale (MFS)
Morse Fall Scale digunakan untuk memprediksi risiko
jatuh yang dikembangkan sendiri oleh Morse di
Alberta, Kanada pada tahun 1985. Asesmen ini terdiri
dari 6 variabel, yaitu: riwayat jatuh, diagnosis
sekunder, penggunaan alat bantu, terpasang infus,
gaya berjalan, serta status mental. Penggunaan MFS
ini dapat membantu dalam pengambilan keputusan,
menyesuaikan intervensi yang akan dilakukan kepada
masing-masing pasien, memfasilitasi perencanaan
tindakan keperawatan, serta sebagai transmisi
informasi antara professional kesehatan (Cruz et al,
2015).
Tabel 6.2 Morse Fal Scale

No Faktor Risiko Skala Skor

1 Riwayat Jatuh; Tidak 0


maksimal 3 bulan
Ya 25
terakhir

2 Diagnosa Sekunder Tidak 0


Ya 15

3 Alat Bantu Bed rest/bantuan perawat 0


Tongkat/tripod
15
Kursi/perabot
30

4 IV line Tidak 0
Ya 20

108
5 Gaya Berjalan Normal/bedrest/kursi roda 0
Lemah 10
Terganggu 25

6 Status Mental Menyadari kemampuan 0


Tidak menyadari
15
keterbatasan

(Sumber: Agency for Healthcare Research and Quality, 2013).


Setiap interpretasi memiliki tindakan yang berbeda
kepada pasien. Pasien tanpa risiko jatuh cukup
dilakukan tindakan perawatan dasar. Pada pasien
dengan risiko rendah dilakukan tindakan standar
pencegahan pasien jatuh. Sedangkan pasien dengan
risiko tinggi dilakukan tindakan pencegahan yang
lebih intens pada pasien (Agency for Healthcare
Research and Quality, 2013). Setiap interpretasi
memiliki tindakan yang berbeda kepada pasien.
Pasien tanpa risiko jatuh cukup dilakukan tindakan
perawatan dasar. Pada pasien dengan risiko rendah
dilakukan tindakan standar pencegahan pasien jatuh.
Sedangkan pasien dengan risiko tinggi dilakukan
tindakan pencegahan yang lebih intens pada pasien
(Agency for Healthcare Research and Quality, 2013).
2. Humpty Dumpty Fall Scale (HDFS)
Humpty Dumpty Fall Scale dan Patient Falls Safety
Protocol merupakan salah satu asesmen yang banyak
digunakan di rumah sakit khusus anak-anak yang
mana merupakan pengembangan dari program
Humpty Dumpty Fall Prevention. Pengkajian ini
mengkategorikan pasien anak-anak dalam pasien
risiko rendah dan risiko tinggi. Dalam penilaiannya
Humpty Dumpty Fall Scale memiliki 7 variabel. Setelah
dilakukan pengkajian ini, maka tindakan pencegahan
yang dapat dilakukan sesuai Patient Falls Safety
Protocol seperti penggunaan alas kaki yang tidak licin,
orientasi ke ruangan, tempat tidur dalam posisi
rendah, terkunci, pinggiran tempat tidur 2-4x lebih
tinggi dll. (Rodriguez, 2009).

109
Tabel 6.3 Humpty Dumpty Fall Scale

No Parameter Kriteria Skor

1 Usia < 3 tahun 4


3-7 tahun 3
7-13 tahun 2
≥13 tahun
1

2 Jenis Kelamin Laki-laki 2


Perempuan 1

3 Diagnosisi Diagnosis Neurologi 4


Berhubungan dengan 3
oksigenasi (diagnosis
paru, dehirasi, anemia,
syncope dll) 2
Gangguan psikologi 1
Diagnosis lainnya

4 Gangguan Tidak menyadari 3


Kognitif keterbatasan
2
Lupa mengenai
1
keterbatasan
Mengetahui batas
kemampuan

5 Faktor Riwayat jatuh atau bayi 4


Lingkungan yang diletakkan di
tempat tidur
3
Pasien yang
menggunakan alat 2
bantuan
1
Pasien yang diletakkan
di tempat tidur
Pasien rawat jalan

6 Respon Dalam 24 jam 3


terhadap
Dalam 48 jam 2
tindakan
bedah/sedative/ Lebih dari 48 jam/tidak 1
anestesi sama sekali

110
Penggunaan Penggunaan lebih dari 1 3
obat obat-obatan berikut:
Sedatif, hipnotik,
barbiturate,
phenothiazines,
antidepresan, diuretic, 2
narkotik 1
Penggunaan salah satu
obat diatas
Penggunaan obat
lainnya atau tidak sama
sekali

(Sumber: Rodriguez, 2009)


Intervensi Pencegahan Pasien Jatuh
Tindakan intervensi pencegahan jatuh menurut Pearson
& Andrew (2011), melakukan perubahan fisiologis pasien
seperti perubahan aktivitas tolileting pada pasien dewasa
tua dengan gangguan kognitif atau inkontenesia urin;
perubahan lingkungan seperti menaikan batas tempat
tidur, menurunkan kasur, melapisi lantai dengan matras,
dan restrain pasien secara terbatas berdasarkan
keperluan; dilanjutkan pendidikan dan pelatihan staf
kesehatan dalam program pencegahan pasien jatuh.
Menurut Ziolkowski (2014), Intervensi pencegahan pasien
risiko jatuh dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Intervensi Risiko Rendah
a. Intervensi lanjutan akan dilakukan pada semua
pasien rawat inap.
b. Orientasi pasien/keluarga dengan lingkungan
dan kegiatan rutin.
c. Tempatkan lampu panggilan (alarm
pemberitahuan) dalam jangkauan dan
mengingatkan pasien untuk meminta bantuan.
d. Pastikan tempat tidur pasien dalam posisi rendah
dan terkunci.

111
e. Bed alarm diaktifkan pada semua pasien saat
pasien tidur (selain unit kelahiran anak) kecuali
pasien menolak.
f. Menyediakan alas kaki anti selip yang dibutuhkan
pasien untuk berjalan.
g. Minimalkan pasien berjalan atau bahaya
tergelincir.
h. Kunjungi pasien lebih sering (setiap jam) dan nilai
keamanan dan kenyamanan pasien.
i. Pertimbangkan pencahayaan tambahan.
2. Intervensi Risiko Tinggi atau Sedang.
a. Identifikasi secara visual pasien dengan
memasang gelang kuning pada pergelangan
tangan.
b. Pertimbangkan penempatan ruangan pasien pada
area dengan visibilitas tinggi atau dekat dengan
ruang jaga perawat.
c. Monitor pasien dan ruangan untuk keamanan
kira-kira setiap satu jam. Tempatkan lampu
panggilan dan secara terus-menerus menempatan
barang pribadi dalam jangkauan pasien.
d. Rintis Fall Risk Care Plan; Sebuah rencana
perawatan yang dikembangkan dengan intervensi
tepat sesuai kebutuhan pasien.
e. Aktifkan alarm bed sepanjang waktu saat pasien
di tempat tidur. Pastikan bed terhubung dengan
sistem lampu panggilan juga pasang alarm pada
kursi yang sesuai dengan kebutuhan pasien.
f. Awasi pasien secara langsung (dengan observasi
visual) saat menuju kamar mandi atau kamar
kecil.
g. Bantu pasien dengan atau pengawasan semua
transfer dan ambulatory mengunakan gait belt dan
alat bantu jalan lainya.

112
h. Jika pasien menunjukan sikap impulsif, memiliki
risiko jatuh sedang atau tinggi atau riwayat jatuh,
mungkin dibutuhkan tempat tidur khusus
dengan tambahan tikar atau matras pada sisi
tempat tidurnya untuk mencegah bahaya
sekunder dari jatuh.
i. Sediakan dan review (ulangi) edukasi pencegahan
jatuh kepada pasien dan keluarga.
Teori pencegahan jatuh pada anak menurut Setiawati
(2017) adalah:
1. Pengkajian
a. Kaji mobilitas anak.
b. Kaji usia, tingkat perkembangan, kemampuan
memahami prosedur dan kemampuan kooperatif.
2. Diagnosis keperawatan yang terkait dengan
pencegahan jatuh adalah Risiko Jatuh.
3. Faktor risiko:
a. Usia kurang dari 2 tahun.
b. Riwayat jatuh.
c. Penurunan tingkat kesadaran.
d. Lingkungan tidak aman.
4. Perencanaan
NOC: Ciptakan lingkungan yang aman bagi anak
a. Lantai tidak licin.
b. Hindari benda-benda yang membahayakan.
c. Pencahayaan cukup.
d. Adanya pengaman tempat tidur: side rail
e. Bel berfungsi dengan baik.
f. Kondisi diruangan tenang dan aman.
g. Kondisi di ruangan yang bersih.
h. Anak didampingi oleh orangtua/keluarga

113
5. Implementasi
a. Menjelaskan kepada orangtua tentang pentingnya
menciptakan lingkungan yang aman bagi anak.
b. Menganjurkan orang tua untuk selalu
mendampingi anak.
c. Memasang side rail tempat tidur sesuai
kebutuhan.
d. Berdiskusi pada orang tua terkait pencegahan
jatuh pada anak.
e. Memberikan reinforcement atas tindakan positif
yang sudah dilakukan orangtua.
6. Evaluasi
a. Mengevaluasi respons anak dan orang tua.
b. Mengevaluasi pencegahan jatuh yang sudah
dilakukan orang tua.
7. Dokumentasi: Melakukan pendokumentasian dengan
tepat.

114
Daftar Pustaka
Agency for Healthcare Research and Quality. (2013).
Preventing Falls in Hospitals: A Toolkit for Improving
Quality of Care. Boston University School of
Public Health.
Agus, M. Hardjana. (2003). Komunikasi Intrapersonal &
Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Kanisius.
Ariastuti, N. (2013). Analisis Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Perawat dalam Melaksanakan Patient
Safety di Kamar Bedah RS Tegalrejo Semarang.
Seminar Ilmiah Nasional Keperawatan.
Boulding ED, et al. (2013). Falls among Adult Patients
Hospitalized in the United States: Prevalence and
Trends. J Patient Saf. Vol. 9.
Budiono S, Arief A, Tri WS. (2014). Pelaksanaan Program
Manajemen pasien dengan Risiko Jatuh di Rumah
Sakit. Universitas Brawijaya Malang.
Jurnal Kedokteran Brawijaya. Vol 28.
Cuttler SJ, Jill Barr-Walker, Cuttler L. (2017). Reducing
Medical-Surgical Inpatient Falls and Injuries with
Videos, Icons, and Alarm. BMJ Open Quality. 6:1─9.
Cruz S, Carvalho AL, Barbosa P, Lamas B. (2015). Morse
Fall Scal User’s Manual: Quality in Supervion and in
Nursing Practice. Social and Behavioral Sciences.
Dewi T dan Richa N. 2018. Phenomenologi Study: Risk
Factors Related to Faal Incident in Hospitaliced
Pediatric Patient with Theory Faye G Abdellah.
NurseLine Journal. Vol 3 (2): 81─8.
Kavaler F dan Spiegel AD. (2003). Risk Management in
Health Care Institutions: A Strategic Approach 2nd
Ed. Jones and Bartlett Publisher.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2017 Tentang
Keselamatan Pasien. Jakarta: Kementerian Kesehatan
RI;2017

115
Kemenkes. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2017. Tentang
Keselamatan Pasien. Diakses dari
www.bprs.kemkes.go.id pada tanggal 10 April 2022.
[KKPRS] Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit. 2015.
Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien (IKP)
(Patient Safety Incident Report). Jakarta: KKPRS
Patien safety solution, (2007). WHO Collaborating Centre
For Patient Safety Solution, Volume I.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2017
tentang Keselamatan Pasien.
Person, K.B., Andrew, F.C. (2011). Evidence-based Falls
Prevention in Critical
Acces Hospitals. Felx menitoring team.
Rodriguez DH, Messmer PR, Williams PD, Zeller RA,
Williams AR, Wood M, et
al. (2009). The Humpty Dumpty Falls Scale: A Case-
Control Study. JSPN. Vol 14 (1):22─32.
Setiawati, Santun. (2017). Keterampilan Khusus Praktik
Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika.
Tutiany, dkk. (2017). Bahan Ajar Keperawatan-
Manajemen Keselamatan Pasien edisi pertama.
Jakarta. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;
2017.
Wardhani, Viera. (2017). Buku Ajar Manajemen
Keselamatan Pasien. Malang: UB Press.
Yulianingtyas R, Putri AW, Anneke S. (2016). Analisis
Pelaksanaan Manajemen Risiko di Rumah Sakit Islam
Sultan Agung Semarang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. Vol 4.
Ziolkowski, D. (2014). Fall Prevention and Indentification
of patients at Risk For
Falling. Diakses tanggal 04 mei 2019 dari
http://www.stjoesonoma.org/documens/Students
Intructors/PVHFallPreevention.pdf.

116
Profil Penulis
Muh. Jumaidi Sapwal
Ketertarikan penulis terhadap bidang kesehatan
dimulai pada tahun 2009. Hal tersebut membuat
penulis memilih untuk masuk ke salah satu
Perguruan Tinggi Ilmu Kesehatan di Universitas
Ngudi Waluyo Ungaran-Semarang dengan memilih Jurusan
Program Studi Ilmu Kesehatan dan menyelsaikan Pendidikan S-
1 dan Ners pada tahun 2015. Penulis kemudian melanjutkan
Pendidikan Pasca Sarjana S-2 Linier Magister Keperawatan di
Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) pada peminatan
Manajmen Keperawatan dan menyelesaikan studi pada tahun
2017. Saat ini penulis aktif sebagai dosen Pendidik di Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Hamzar Lombok Timur sejak
tahun 2018 sampai dengan sekarang dan saat ini menjabat
sebagi Kepala Biro umum dan Kepegawaian, penulis saat ini
aktif menjalankan Tridarma Perguruan Tinggi sebagai Dosen
Pendidik, Peneliti dan Pengabdian Terhadap Masyarakat.
Email Penulis: muhjumaidisapwal@gmail.com

117
118
7
KONSEP DAN PENTINGNYA
KESELAMATAN KESEHATAN
KERJA

Nessy Anggun Primasari, S.Kep, Ns., M.Kep.


STIKES Guna Bangsa Yogyakarta

Sistem Manajemen K3
Sistem manajemen K3 tertuang dalam Peraturan Menteri
Tenaga Kerja No. Per.05/MEN/1996 tentang Sitem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Sistem
Manajemen K3) hal ini merupakan bagian dari sistem
manajemen mencakup struktur organisasi, perencanaan
kegiatan, tanggung jawab, pelaksanaan prosedur proses
dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan,
penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan
kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka
pengendalian resiko yang nantinya akan berkaitan
dengan kegiatan guna terciptanya tempat kerja yang
kondusif, aman, efisien dan produktif (Susilo, 2021).
Penentuan awal dalam tujuan dan sasaran Sistem
Manajemen K3 untuk menciptakan suatu sistem
keselamatan dan kesehatan di tempat kerja dengan
melibatkan beberapa unsur diantaranya manajemen,
tenaga kerja, kondisi serta lingkungan kerja yang
nantinya akan terintegrasi untuk mencegah dan
mengurangi terjadinya kecelakaan kerja dan terjadinya
penyakit akibat kerja sert aterciptanya tempat kerja yang
aman, efisien serta produktif. Setiap perusahaan yang
memperkerjakan tenaga kerja sebanyak 100 orang atau
119
lebih diwajibkan untuk melakukan sistem manajemen K3.
Selain itu juga ditinjau dari perusahaan yang memunyai
potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik
proses maupun bahan dari perusahaan yang dapat
mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan,
kebakaran pencemaran dan penyakit akibat kerja.
Terdapat lima ketentuan yang harus dipenuhi oleh
perusahaan yang tertuang dalam Pasal 4 Permenaker
terkait tentang sistem manajemen yaitu:
1. Menetapkan kebijakan keselamatan dan kesehatan
kerja dan menjamin komitmen terhdapa penerapan
Sistem Manajemen K3.
2. Merencanakan pemenuhan kebijakan, tujuan dan
sasaran penerapan keselamatan dan kesehatan kerja.
3. Menerapkan kebijakan keselamatan dan kesehatan
kerja secara efektif dengan mengembangkan
kemampuan dan mekanisme pendukung yang
diperlukan untuk mencapai kebijakan, tujuan dan
sasaran keselamatan dan kesehatan kerja.
4. Mengukur, memantau dan mengevaluasi kinerja
keselamatan dan kesehatan kerja serta melakukan
tindakan perbaikan dan pencegahan.
5. Meninjau secara teratur dan meningkatkan
pelaksanaan Sistem Manajemen K3 secara
berkesinambungan dengan tujuan meningkatkan
kinerja keselamatan dan kesehatan kerja.
Penetapan Sistem Manajemen K3 dalam perusahaan
dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu dari aspek
manusia, ekonomi, Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintah yang dijabarkan dibawah ini:
1. Kemanusiaan, dengan membiarkan terjadinya
kecelakaan kerja, tanpa berusaha melakukan sesuatu
untuk memperbaiki keadaan, merupakan suatu
tindakan yang tidak manusiawi.
2. Ekonomi, Setiap kecelakaan kerja yang terjadi
berdampak terjadinya kerugian ekonomi seperti

120
kerusakan mesin, peralatan, bahan dan bangunan,
biaya pengobatan dan biaya santunan kecelakaan.
3. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah, yang
dikeluarkan oleh pemerintah ataupun suatu
organisasi bidang keselamatan kerja dengan
pertimbangan bahwa masih banyak kecelakaan kerja
yang terjadi.
4. Nama baik institusi maupun perusahaan dapat
mempengaruhi kemampuan dalam bersaing dengan
perusahaan lain.
Sejarah K3
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada
perkembangannya mengalami beberapa perubahan
konsep dimulai pada tahun 1911 di Amerika, yang sama
sekali tidak memperhatikan keselamatan dan kesehatan
para pekerjanya. Hal ini mengakibatkan banyak terjadi
kecelakaan kerja baik bagi pekerja dan perusahaan
tersebut. Kecelakaan kerja yang terjadi dianggap menjadi
hal yang lumrah dan harus diterima oleh perusahaan dan
tenaga kerja. Pekerja pun saat mendapatkan kecelakaan
kerja tidak jarang tidak mendapatkan perhatian baik
moril maupun materiil dari perusahaan. Tindakan ini
dilakukan oleh perusahan untuk menghindari kewajiban
membayar kompensasi kepada tenaga kerja perusahaan.
Sejarah perkembangan K3 di dunia dimulai dari jaman
pra-sejarah sampai dengan jaman modern. Menurut
Meliza (2011) pada masing-masing jaman berkembang
teknologi yang kelak menjadi ilmu-ilmu K3 dengan
penjabaran sejarah sebagai berikut:
1. Jaman Pra-Sejarah.
Pada jaman batu dan goa (Paleolithic dan Neolithic)
manusia yang hidup pada jaman ini telah mulai
membuat kapak dan tombak yang mudah untuk
digunakan serta tidak membahayakan bagi mereka
saat digunakan. Desain tombak dan kapak yang
mereka buat umumnya mempunyai bentuk yang lebih
besar proporsinya pada mata kapak atau ujung
tombak. Hal ini adalah untuk menggunakan kapak

121
atau tombak tersebut tidak memerlukan tenaga yang
besar karena dengan sedikit ayunan momentum yang
dihasilkan cukup besar. Desain yang mengecil pada
pegangan dimaksudkan untuk tidak membahayakan
bagi pemakai saat mengayunkan kapak tersebut
2. Jaman Bangsa Babylonia (Dinasti Summeria) di Irak.
Pada era ini masyarakat sudah mencoba membuat
sarung kapak agar aman dan tidak membahayakan
bagi orang yang membawanya. Pada masa ini
masyarakat sudah mengenal berbagai macam
peralatan yang digunakan untuk membantu
pekerjaan mereka. Semakin berkembang setelah
ditemukannya tembaga dan suasa sekitar 3000-2500
BC.
3. Jaman Mesir Kuno.
Pada masa initerutama pada masa berkuasanya
Fir’aun banyak sekali dilakukan pekerjaanpekerjaan
raksasa yang melibatkan banyak orang sebagai tenaga
kerja. Pada tahun 1500 BC khususnya pada masa
Raja Ramses II dilakukan pekerjaan pembangunan
terusan dari Mediterania ke Laut Merah. Disamping
itu Raja Ramses II juga meminta para pekerja untuk
membangun “temple” Rameuseum. Untuk menjaga
agar pekerjaannya lancer Raja Ramses II
menyediakan tabib serta pelayan untuk menjaga
kesehatan para pekerjanya.
4. Jaman Yunani Kuno.
Pada Jaman romawi kuno tokoh yang paling terkenal
adalah Hippocrates. Hippocrates berhasil menemukan
adanya penyakit tetanus pada awak kapal yang
ditumpanginya.
5. Jaman Romawi.
Para ahli seperti Lecretius, Martial, dan Vritivius
mulai memperkenalkan adanya gangguan kesehatan
yang diakibatkan karena adanya paparan bahan-
bahan toksik dari lingkungan kerja seperti timbal dan
sulfur. Pada masa pemerintahan Jendral Aleksander

122
Yang Agung sudah dilakukan pelayanan kesehatan
bagi angkatan perang.
6. Abad Pertengahan.
Pada abad pertengahan sudah diberlakukan
pembayaran terhadap pekerja yang mengalami
kecelakaan sehingga menyebabkan cacat atau
meninggal. Masyarakat pekerja sudah mengenal akan
bahaya vapour di lingkungan kerja sehingga
disyaratkan bagi pekerja yang bekerja pada
lingkungan yang mengandung vapour harus
menggunakan masker.
7. Abad ke-16.
Salah satu tokoh yang terkenal pada masa ini adalah
Phillipus Aureolus Theophrastus Bombastus von
Hoheinheim atau yang kemudian lebih dikenal dengan
sebutan Paracelsus mulai memperkenalkan penyakit-
penyakit akibat kerja terutama yang dialamai oleh
pekerja tambang. Pada era ini seorang ahli yang
bernama Agricola dalam bukunya De Re Metallica
bahkan sudah mulai melakukan upaya pengendalian
bahaya timbal di pertambangan dengan menerapkan
prinsip ventilasi.
8. Abad ke-18.
Pada masa ini ada seorang ahli bernama Bernardino
Ramazzini (1664 – 1714) dari Universitas Modena di
Italia, menulis dalam bukunya yang terkenal:
Discourse on the diseases of workers, (buku klasik ini
masih sering dijadikan referensi oleh para ahli K3
sampai sekarang). Pada jaman ini melihat bahwa
dokter-dokter pada masa itu jarang yang melihat
hubungan antara pekerjaan dan penyakit, sehingga
ada kalimat yang selalu diingat pada saat dia
mendiagnosa seseorang yaitu “What is Your
occupation?”. Ramazzini melihat bahwa ada dua faktor
besar yang menyebabkan penyakit akibat kerja, yaitu
bahaya yang ada dalam bahan-bahan yang digunakan
ketika bekerja dan adanya gerakan gerakan janggal

123
yang dilakukanoleh para pekerja ketika bekerja
(ergonomic factors).
9. Era Revolusi Industri (Traditional Industriali Jation).
Pada era ini hal-hal yang turut mempengaruhi
perkembangan K3 adalah: penggantian tenaga hewan
dengan mesin-mesin seperti mesin uap yang baru
ditemukan sebagai sumber energi, penggunaan
mesin-mesin yang menggantikan tenaga manusia,
pengenalan metode-metode baru dalam pengolahan
bahan baku (khususnya bidang industry kimia dan
logam). Pada masa ini berkembang pula
pengorganisasian kerja dalam cakupan yang lebih
besar. Perkembangan teknologi ini menyebabkan
mulai muncul penyakit-penyakit yang berhubungan
dengan pemajanan karbon dari bahan-bahan sisa
pembakaran.
10. Era Industrialisasi (Modern Idustriali Jation).
Sejak era revolusi industri di atau sampai dengan
pertengahan abad 20 maka penggunaan teknologi
semakin berkembang sehingga K3 juga mengikuti
perkembangan ini. Perkembangan pembuatan alat
pelindung diri, safety devices. dan interlock dan alat-
alat pengaman lainnya juga turut berkembang.
11. Era Manajemen dan Manajemen K3.
Perkembangan era manajemen modern dimulai sejak
tahun 1950-an hingga sekarang. Perkembangan ini
dimulai dengan teori Heinrich (1941) yang meneliti
penyebab-penyebab kecelakaan bahwa umumnya
(85%) terjadi karena factor manusia (substandar act)
dan faktor kondisi kerja yang tidak aman
(substandard condition). Pada era ini berkembang
system automasi pada pekerjaan untuk mengatasi
masalah sulitnya melakukan perbaikan terhadap
faktor manusia. Namun system otomasi menimbulkan
masalah-masalah manusiawi yang akhirnya
berdampak kepada kelancaran pekerjaan karena
adanya blok-blok pekerjaan dan tidak terintegrasinya
masing-masing unit pekerjaan.

124
12. Era Mendatang.
Perkembangan K3 pada masa yang akan datang tidak
hanya difokuskan pada permasalahan K3 yang ada
sebatas di lingkungan industri dan pekerja.
Perkembangan K3 mulai menyentuh aspekaspek yang
sifatnya publik atau untuk masyarakat luas.
Penerapan aspek-aspek K3 mulai menyentuh segala
sektor aktifitas kehidupan dan lebih bertujuan untuk
menjaga harkat dan martabat manusia serta
penerapan hak asasi manusia demi terwujudnya
kualitas hidup yang tinggi. Upaya ini tentu saja lebih
banyak berorientasi kepada aspek perilaku manusia
yang merupakan perwujudan aspek-aspek K3.
13. Masa sebelum abad 17 (kerajaan di Indonesia).
Pada masa ini tidak diketahui secara pasti. Namun
demikian penggunaan bahan alamiah yang digunakan
sebagai obat untuk prajurit yang terluka dan
pengenalan beberapa bahan toksikan alamiah untuk
senjata merupakan awal pengenalan K3
14. Masa penjajahan Belanda.
Perkembangan K3 pada masa Belanda berbeda
dengan makna K3 sesungguhnya. K3 pada masa
Belanda ditujukan untuk kesehatan dan keselamatan
militer Belanda, dan tidak ditujukan untuk Indonesia.
Termasuk juga beberapa produk peraturan tentang
K3 yang dikeluarkan pada masa itu bertujuan untuk
memelihara peralatan, mesin dan karyawan Belanda
supaya tetap sehat dan terpelihara keselamatannya.
15. Masa penjajahan Jepang.
Pada masa ini bisa dikatakan tidak ada
perkembangan K3.
16. Masa kemerdekaan.
Pada masa kemerdekaan ini ditandai dengan adanya
dasar hukum yang jelas berdirinya sebuah negara,
yaitu UUD 1945. Pada pasal 27 ayat 2 UU yang
menyebutkan bahwa “ Tiap-tiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

125
kemanusiaan”. Ini mengandung pengertian bahwa
pekerjaan yang dilakuan harus sesui dengan norma-
norma kemanusiaan, termasuk juga adanya jaminan
kesehatan dan keselamatan kerja
17. Masa Orde Lama – Orde Baru.
Pada masa ini pemerintah Indonesia mulai memberi
perhatian yang lebih besar terhadap ketenagakerjaan
terutama pentingnya upaya K3. Pada tahun 1957
Departemen Perburuhan dan Jawatan Keselamatan
Kerja yaitu dengan UU No 14 Tahun 1969 Tentang
Ketenagakerjaan. Kemudian pada tanggal 12 Januari
1970, lahirlah Undang-undang Keselamatan Kerja.
Pada masa ini juga berdiri beberapa lembaga yang
bergerak di bidang K3 yaitu Dinas Higiene Perusahaan
dan Sanitasi Umum, dan berbagai seminar tentang
Higiene perusahaan. Dilihat dari istilah higiene yang
dipakai, penekanannya lebih pada lingkungan kerja
dan kesehatan pekerja, unsur keselamatan kerja
belum menonjol. Tanggung jawab dalam pelaksanaan
K3 lebih besar pada Departemen Tenaga Kerja,
meskipun pada awal tahun 2000an yaitu 2003 K3
mulai mendapat perhatian dari Departemen
Kesehatan. Mulai berkembang K3 berbasis
manajemen dengan adanya Sistem Manajemen K3
18. Era Reformasi.
Pada masa ini seiring dengan semangat otonomi
daerah, maka perhatian terhadap K3 yang selama ini
menjadi tanggung jawab pemerintah pusat,
pemerintah daerah pun memiliki kewajiban untuk
memberikan jaminan K3. Semua tempat kerja wajib
menyelenggarakan upaya kesehatan dan keselamatan
kerja. K3 mulai berkembang tidak hanya di
perusahaan namun juga di tempat kerja lainnya,
misalnya rumah sakit. Perkembangan K3 di dunia
yang menekankan manajemen juga banyak
berkembang disini, mulai mengikuti standar
internasional.

126
19. Masa mendatang.
Perkembangan K3 di dunia pada masa mendatang
juga ikut mempengaruhi di Indonesia. Implementasi
K3 yang masih berorientasi pada kepatuhan terhadap
aturan, pada masa mendatang lebih menekankan
pada kesadaran berperilaku yang selamat dan sehat
Sedangkan menurut (Triyono, 2014) Sejarah keselamatan
dan kesehatan kerja maka akan dibagi menjadi 4 era
yaitu:
1. Era revolusi industri (abad XVIII)
Pada era ini hal-hal yang turut mempengaruhi
perkembangan K3 adalah penggantian tenaga hewan
dengan mesin-mesin seperti mesin uap yang baru
ditemukan sebagai sumber energi.
a. Penggunaan mesin-mesin yang menggantikan
tenaga manusia
b. Pengenalan metode-metode baru dalam
pengolahan bahan baku (khususnya bidang
industri kimia dan logam).
c. Pengorganisasian pekerjaan dalam cakupan yang
lebih besar berkembangnya industri yang
ditopang oleh penggunaan mesin-mesin baru.
d. Perkembangan teknologi ini menyebabkan mulai
munculpenyakit-penyakit yang berhubungan
dengan pemajanan karbon dari bahan-bahan sisa
pembakaran.
2. Era industrialisasi
Sejak era revolusi industri di atas sampai dengan
pertengahan abad 20, penggunaan teknologi semakin
berkembang sehingga K3 juga mengikuti
perkembangan ini. Perkembangan K3 mengikuti
penggunaan teknologi (APD, safety device, interlock,
dan alat-alat pengaman).
3. Era Manajemen
Perkembangan era manajemen modern dimulai sejak
tahun 1950-an hingga sekarang. Perkembangan ini

127
dimulai dengan teori Heinrich (1941) yang meneliti
penyebab-penyebab kecelakaan bahwa umumnya
(85%) terjadi karena faktor manusia (unsafe act) dan
faktor kondisi kerja yang tidak aman (unsafe
condition). Pada era ini berkembang sistem otomasi
pada pekerjaan untuk mengatasi masalah sulitnya
melakukan perbaikan terhadap faktor manusia.
Namun sistem otomasi menimbulkan masalah-
masalah manusiawi yang akhirnya berdampak pada
kelancaran pekerjaan karena adanya blok-blok
pekerjaan dan tidak terintegrasinya masing-masing
unit pekerjaan. Sejalan dengan itu Frank Bird dari
International Loss Control Institute (ILCI) pada tahun
1972 mengemukakan teori Loss Causation Model
yang menyatakan bahwa faktor manajemen
merupakan latar belakang penyebab terjadinya
kecelakaan.
Pada akhir abad 20 berkembanglah suatu konsep
keterpaduan sistem manajemen K3 yang berorientasi
pada koordinasi dan efisiensi penggunaan sumber
daya. Keterpaduan semua unit-unit kerja seperti
safety, health dan masalah lingkungan dalam suatu
sistem manajemen juga menuntut adanya kualitas
yang terjamin baik dari aspek input proses dan
output. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya
standar-standar internasional seperti ISO 9000, ISO
14000 dan ISO 18000.
Terbitnya buku Silent Spring oleh Rachel Carson
(1965), masyarakat global menuntut jaminan
keselamatan sebagai berikut:
a. Safe Air to Breath
b. Safe Water to Drink
c. Safe Food to Eat
d. Safe Place to Live
e. Safe Product to Use
f. Safe & Healthful Work Place

128
4. Era Mendatang
Perkembangan K3 pada masa yang akan datang tidak
hanya difokuskan pada permasalahan K3 yang ada
sebatas di lingkungan industri dan pekerja.
Perkembangan K3 mulai menyentuh aspekaspek yang
sifatnya publik atau untuk masyarakat luas.
Penerapan aspek-aspek K3 mulai menyentuh segala
sektor aktifitas kehidupan dan lebih bertujuan untuk
menjaga harkat dan martabat manusia serta
penerapan hak asasi manusia demi terwujudnya
kualitas hidup yang tinggi. Upaya ini tentu saja lebih
bayak berorientasi kepada aspek perilaku manusia
yang merupakan perwujudan aspek-aspek K3.
Pengertian K3
1. Keselamatan Kerja
Keselamatan kerja merupakan keadaan terhindar dari
bahaya saat melakukan kerja (Susilo, 2021).
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) merupakan
upaya untuk menciptakan suasana bekerja yang
aman, nyaman dan untuk mencapai tujuan yang
produktivitas setinggi-tingginya (Nasution, 2020).
Secara filosofi, keselamatan dan kesehatan kerja
diartikan sebagai sebuah pemikiran dan upaya untuk
menjamin keutuhan dan kesempurnaan: tenaga kerja
dan manusia pada umumnya (baik jasmani maupun
rohani), hasil karya dan budaya menuju masyarakat
adil, makmur dansejahtera. Sedangkan ditinjau dari
keilmuan, keselamatan dan kesehatan kerja diartikan
sebagai suatu ilmu pengetahuan dan penerapannya
dalam upaya mencegah kecelakaan, kebakaran,
peledakan, pencemaran, penyakit, dan sebagainya
(Triyono, 2014). Sehingga Kesehatan dan Keselamatan
Kerja sangat penting untuk dilaksanakan pada semua
bidang pekerjaan seperti proyek pembangunan
gedung seperti apartemen dan tanpa terkecuali di
bidang kesehatan yaitu di rumah sakit dan lain-lain,
karena penerapan K3 itu sendiri dapat mencegah dan
mengurangi resiko terjadinya kecelakaan maupun
penyakit akibat melakukan kerja (Sagala, 2020).

129
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) juga
merupakan salah satu isu penting di dunia kerja saat
ini termasuk di lingkungan rumah sakit dan
terkhusus dalam asuhan keperawatan yang perawat
berikan kepada pasien di rumah sakit. Angka
kecelakaan kerja di rumah sakit lebih tinggi
dibandingkan tempat kerja lainnya dan sebagian
besar diakibatkan oleh perilaku yang tidak aman
(Meliza, 2011). Keselamatan kerja (safety) diartikan
sebagai upaya-upaya yang ditujukan untuk
melindungi pekerja; menjaga keselamatan orang lain;
melindungi peralatan, tempat kerja dan bahan
produksi; menjaga kelestarian lingkungan hidup dan
melancarkan proses produksi. Beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam keselamatan (safety).
a. Mengendalikan kerugian dari kecelakaan (control
of accident loss)
b. Kemampuan untuk mengidentifikasikan dan
menghilangkan resiko yang tidak bisa diterima
(the ability to identify and eliminate unacceptable
risks)
2. Kesehatan Kerja
Kesehatan diartikan sebagai derajat/tingkat keadaan
fisik dan psikologi individu (the degree of physiological
and psychological well being of the
individual)(Hasibuan et al., 2020). Secara umum,
pengertian dari kesehatan adalah upaya-upaya yang
ditujukan untuk memperoleh kesehatan yang
setinggi-tingginya dengan cara mencegah dan
memberantas penyakit yang diidap oleh pekerja,
mencegah kelelahan kerja, dan menciptakan
lingkungan kerja yang sehat (Triyono, 2014). Menurut
International Labour Organization (ILO) kesehatan
keselamatan kerja atau Occupational Safety and
Health adalah meningkatan dan memelihara derajat
tertinggi semua pekerja baik secara fisik, mental, dan
kesejahteraan sosial di semua jenis pekerjaan,
mencegah terjadinya gangguan kesehatan yang
diakibatkan oleh pekerjaan, melindungi pekerja pada

130
setiap pekerjaan dari risiko yang timbul dari faktor-
faktor yang dapat mengganggu kesehatan,
menempatkan dan memelihara pekerja di lingkungan
kerja yang sesuai dengan kondisi fisologis dan
psikologis pekerja dan untuk menciptakan kesesuaian
antara pekerjaan dengan pekerja dan setiap orang
dengan tugasnya(Hughes & Haworth, 2013).
Terdapat empat pilar strategi yang telah ditetapkan
untuk mendukung visi Kementerian Kesehatan dalam
rangka mewujudkan “kesehatan kerja” berupa:
a. Strategi paradigma sehat yang harus
dilaksanakan secara serempak dan bertanggung
jawab dari semua lapisan, termasuk pastisipasi
aktif lintas sektor dan seluruh potensi di
masyarakat.
b. Strategi Profesionalisme, dnegan cara melakukan
pemeliharaan pelayanan kesehatan yang
bermutu, merata dan terjangkau.
c. Strategi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat (JPKM) berfungsi untuk
memantapkan kemandirian masyarakat hidup
sehat, diperlukannya peran aktif dan pembiayaan
untuk sektoral yang terlibat didalamnya.
d. Strategi desentralisasi dengan cara pendelegasian
wewenang yang lebih besar kepada pemerintah
daerah untuk mengatur sistem pemerintahan
kerumahtanggaannya sendiri (Indonesia, 2007).
Tujuan K3
Tujuan utama dalam Penerapan K3 berdasarkan
UndangUndang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan
Kerja antara lain:
1. Melindungi dan menjamin keselamatan setiap tenaga
kerja dan orang lain di tempat kerja.
2. Menjamin setiap sumber produksi dapat digunakan
secara aman dan efisien.
3. Meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas
nasional.
131
Sedangkan menurut Suma’mur (1995) tujuan utama
dalam keselamatan kerja tediri dari:
1. Melindungi tenaga kerja atas hak keselamatannya
dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan
hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas
masyarakat.
2. Menjamin keselamatan setiap orang lain yang berada
ditempat kerjanya.
3. Segala sumber yang terlibat dalam produksi
dipelihara dan dipergunakan secara aman dan efisien.
Sebab – Sebab Terjadinya Kecelakaan dalam Bekerja
Pelaksanaan K3 berupaya untuk menciptakan tempat
kerja yang aman, sehat dan bebas dari pencemaran
lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau
terbebas dari keselakaan yang pada akhirnya dapat
meningkatkan sistem dan priduktifitas kerja karyawan
(Susilo, 2021). Namun tidak menutup kemungkinan
terjadinya kecelakaan pada karyawan disuatu
perusahaan. Kecelakaan meruapakan kejadian yang tak
terduga dan tak diharapkan. Maksud dari tak terduga
karena di belakang peristiwa itu tidak terdapat unsur
kesengajaan, lebih-lebih dalam bentuk perencanaan
(Greacthin, 2019). Sedangkan bila sifatnta tidak
diharapkan oleh karena peristiwa kecelakaan disertai
dengan kerugian materiil berakibat korban mengalami
kecelakaan yang paling ringan sampai yang paling berat
dan tidak diinginkan (Sulhinayatillah, 2017). Menurut
Susilo (2021) dalam bukunya Keselamatan dan Kesehatan
Kerja Perawat & Patient Safety mengungkapkan bahwa
secara teoritis istilah-istilah bahaya yang sering ditemui
dalam lingkungan kerja meliputi beberapa hal sebagai
beikut:
1. Hazard (sumber bahaya).
Suatu keadaan yang memungkinkan/ dapat
menimbulkan kecelakaan, penyakit, kerusakan atau
menghambat kemampuan pekerjaan yang ada.

132
2. Danger (tingkat bahaya).
Peluang bahaya sudah nampak (kondisi bahaya
sudah ada tetapi dapat dicegah dengan berbagai
tindakan preventif)
3. Risk
Prediksi tingkat keparahan bila terjadi bahaya dalam
siklus tertentu.
4. Insident
Munculnya kejadian yang bahaya (kejadian yang tidak
diinginkan, yang dapat/ telah mengadakan kontak
dengan sumber energi yang melebihi ambang batas
badan/ struktur).
5. Accident
Kejadian bahaya yang disertai adanya korban dan
atau kerugian (manusia/ benda)
Secara umum terdapar dua pokok utama yang
menyebabkan kecelakaan kerja pada pekerja di
perusahaan, pabrik, bengkel maupun di tempat kerja
lainnya (Suma’mur, 1995) yaitu:
1. Tindak perbuatan manusia yang tidak memenuhi
keselamatan (unsafe human acts)
2. Keadaan-keadaan lingkungan yang tidak aman (usafe
conditions)
Sebab-sebab terjadinya kecelakaan kerja menurut
beberapa sumber, diantaranya:
1. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 03/Men/98
adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan
tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban
manusia dan atau harta benda (Nomor & 03/MEN/98,
1998).
2. OHSAS 18001:2007 menyatakan bahwa kecelakaan
kerja didefinisikan sebagai kejadian yang
berhubungan dengan pekerjaan yang dapat
menyebabkan cidera atau kesakitan (tergantung dari

133
keparahannya), kejadian kematian, atau kejadian
yang dapat menyebabkan kematian (Sabrina, 2018).
3. Kejadian yang dapat menyebabkan kerusakan
lingkungan atau yang berpontensi menyebabkan
merusak lingkungan.Selain itu, kecelakaan kerja atau
kecelakaan akibat kerja adalah suatu kejadian yang
tidak terencana dan tidak terkendali akibat dari suatu
tindakan atau reaksi suatu objek, bahan, orang, atau
radiasi yang mengakibatkan cidera atau
kemungkinan akibat lainnya (Heinrich, 1941).
4. Menurut AS/NZS 4801: 2001, kecelakaan adalah
semua kejadian yang tidak direncanakan yang
menyebabkan atau berpotensial menyebabkan cidera,
kesakitan, kerusakan atau kerugian lainnya (Gardner,
2001).
5. Kecelakaan yang terjadi ditempat kerja atau dikenal
dengan kecelakaan industri kerja. Kecelakaan
industri ini dapat diartikan suatu kejadian yang tidak
diduga semula dan tidak dikehendaki yang
mengacaukan proses yang diatur dari suatu aktifitas
(Husni, 2003).
6. Menurut Pemerintah terutama pada Departemen
Tenaga Kerja RI, arti kecelakaan kerja adalah suatu
kejadian yang tiba-tiba atau yang tidak disangka-
sangka dan tidak terjadi dengan sendirinya akan
tetapi ada penyebabnya (Mahawati et al., 2021).
7. Sesuatu yang tidak terencana, tidak terkendali, dan
tidak diinginkan yang mengacaukan fungsi fungsi
normal dari seseorang dan dapat mengakibatkan luka
pada pada seseorang (Hinze, 1997).
8. Kejadian yang tidak terencana, dan terkontrol yang
dapat menyebabkan atau mengakibatkan luka-luka
pekerja, kerusakan pada peralatan dan kerugian
lainya (Noor, Harianto, & Susanti, 2018).
Sehingga kecelakaan kerja adalah kejadian yang timbul
tiba-tiba, tidak diduga dan tidak diharapkan. Setiap
kecelakaan baik di industri, bengkel, ataupun tempat
kerja lainnya pasti ada penyebabnya.

134
Daftar Pustaka
Gardner, D. (2001). Occupational Health and Safety
Management Systems: Auditor Training. School of
Safety Science, University of New South Wales.
Greacthin, R. (2019). Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kelelahan Kerja dan Kejadian Kecelakaan Kerja Pada
Pekerja Tambang (Operator) di PT. Kaltim Diamond
Coal. Samarinda Kalimantan Timur: Universitas
Hasanuddin.
Hasibuan, A., Purba, B., Marzuki, I., Mahyuddin, M.,
Sianturi, E., Armus, R., … Khariri, K. (2020). Teknik
Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Yayasan Kita
Menulis.
Heinrich, H. W. (1941). Industrial Accident Prevention. A
Scientific Approach. Industrial Accident Prevention. A
Scientific Approach., (Second Edition).
Hinze, J. (1997). Construction safety. Prentice Hall.
Hughes, S., & Haworth, N. (2013). International Labour
Organization (ILO): Coming in from the Cold. Routledge.
Husni, L. (2003). Pengantar Hukum Ketenagakerjaan
Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Indonesia, K. M. K. R. N. 432/MENKES/SK/IV/200.
(2007). Pedoman Manajemen Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit. Menteri
Kesehatan republik Indonesia.
Mahawati, E., Fitriyatinur, Q., Yanti, C. A., Rahayu, P. P.,
Aprilliani, C., Chaerul, M., … Sitorus, E. (2021).
Keselamatan Kerja dan Kesehatan Lingkungan
Industri. Yayasan Kita Menulis.
Meliza, S. (2011). Konsep Dasar Kesehatan dan
Keselamatan Kerja ( K3 ) dalam Asuhan Keperawatan.
1–11.
Nasution, S. A. S. (2020). Risiko dan Hazard dalam
Implementasi Asuhan Keperawatan.

135
Nomor, P. M. T. K. R. I., & 03/MEN/98. (1998). Tata Cara
Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan. Menteri
Tenaga Kerja Republik Indonesia.
Noor, R., Harianto, F., & Susanti, E. (2018). Karakteristik
Kecelakaan Kerja Pada Pelaksanaan Proyek
Konstruksi Di Surabaya.
Pangabean, A. A. P., Helmanida, H., & Suci, F. (2021).
Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kesehatan (Nakes)
Pada Masa Pandemi Covid 19 Dalam Perspektif
Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Sriwijaya
University.
Sabrina, D. R. (2018). Analisis Implementasi Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Sebagai Penyiapan Sertifikasi OHSAS 18001 di PT.
Apac Inti Corpora Bawen. Industrial Engineering
Online Journal, 7(2).
Sagala, H. G. (2020). Pentingnya Penerapan K3 Dalam
Membrikan Asuhan Keperawatan di Layanan
Kesehatan.
Siregar, F. N. (2020). Pelaksanaan Konsep Dasar
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Rumah
Sakit.
Sulhinayatillah. (2017). Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Kejadian Kecelakaan Kerja pada Karyawan
Bagian Produksi di PT. PP London Sumatera Indonesia
Tbk. Palangisang Crumb Rubber Factory Bulukumba
Tahun 2017. Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar.
Suma’mur, P. K. (1995). Keselamatan Kerja dan
Pencegahan Kecelakaan Kerja. Jakarta: PT Toko
Gunung Agung.
Susilo, R. (2021). Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Perawat & Patient Savety. Subang: Amerta Media.
Triyono, B. (2014). Risiko Keselamatan Dan Kesehatan
Kerja ( K3 ) (Tim K3 FT UNY, Ed.). Yogyakarta: Tim K3
FT UNY.

136
Profil Penulis
Nessy Anggun Primasari
Ketertarikan penulis dengan bidang penelitian
sejak penulis menempuh pendidikan D-III
Akademi Keperawatan di Poltekkes Kemenkes
Surabaya lulus tahun 2011, kemudian penulis
menyelesaikan pendidikan Sarjana dan Profesi
Ners pada tahun 2014 di Universitas Airlangga Surabaya. Pada
tahun 2019 penulis menyelesaikan pendidikan Magister
peminatan Komunitas di Universitas Airlangga Surabaya. Saat
ini penulis merupakan dosen di Program Studi Keperawatan
STIKES Guna Bangsa Yogyakarta. Penulis dilahirkan di
Surabaya, 11 Desember 1989. Beberapa karya ilmiah penelitian
dan buku yang telah di publikasikan terkait tentang komunitas
dan penelitian seperti Buku Modul Pemberdayaan Keluarga
Berbasis Keyakinan Pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS (2019),
Buku Panduan Pembuatan Literature Review (2020), dan
menulis artikel di beberapa jurnal, baik jurnal nasional maupun
internasional. Beberapa karya ilmiah berupa riset keperawatan
keluarga dan komunitas yang telah dipublikasikan diantaranya
Determinants of Stigma Attitude Among People Living with HIV,
Juni 2019, Pemberdayaan Keluarga Berbasis Keyakinan
Terhadap Health Related Quality Of Life Pada Pasien Terinfeksi
HIV/AIDS, Desember 2019, Factors Associated with Knowledge,
Attitude and Behavior of Condom Use among Women Living with
HIV AIDS Oktober tahun 2019. Saat ini penulis aktif dibidang
penelitian, salah satunya dibuktikan sebagai pembimbing
Program Kreativitas Mahasiswa Karya Tulis dengan
medapatkan hibah pendanaan dari Direktorat Pembelajaran
dan Kemahasiswaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2021
Email Penulis: nessyanggunprimasari@gmail.com

137
138
8
KESELAMATAN DAN
KESEHATAN KERJA

Ns. Rizky Shodiqurrahman, S.Kep.


Public Safety Center (PSC) 119 Dinkes Kota Batu

Dasar Keselamatan dan Kesehatan Kerja Secara Umum


1. Definisi Keselamatan Kesehatan Kerja (K3)
Keselamatan kerja didefinisikan sebagai upaya untuk
melindungi pekerja, menjaga keselamatan orang lain,
melindungi peralatan, tempat kerja dan bahan
produksi, melindungi lingkungan dan memperlancar
proses produksi. Kesehatan sendiri didefinisikan
sebagai derajat kesejahteraan fisiologis dan psikologis
seseorang. Secara umum pengertian kesehatan
adalah upaya yang ditujukan untuk mencapai derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya dengan mencegah
dan memberantas penyakit yang diderita pekerja,
mencegah kelelahan kerja, dan menyediakan
lingkungan kerja yang sehat (Tim K3 FT UNY, 2014).
Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah terciptanya
suasana dan lingkungan kerja yang menjamin
kesehatan dan keselamatan pekerja agar tugas
pekerjaan di wilayah kerja perusahaan dapat berjalan
dengan lancar (Prawirosentono, 2005). Keselamatan
dan kesehatan kerja secara filosofis didefinisikan
sebagai gagasan dan upaya untuk memastikan
integritas dan kesempurnaan pada pekerjaan dan
masyarakat pada umumnya (baik jasmani maupun
rohani). Secara keseluruhan dapat disimpulkan
bahwa definisi keselamatan dan kesehatan kerja

139
adalah upaya dalam melaksanakan pekerjaan tanpa
suatu kecelakaan atau penyakit penyebab pekerjaan.
Setiap orang di lingkungan kerja harus dapat
menciptakan lingkungan kerja yang aman, tidak
berbahaya dan menjaga kesehatan diri maupun
lingkungan kerja untuk tercapainya keuntungan
dalam pekerjaan.
2. Dasar Hukum Penerapan Keselamatan Kesehatan
Kerja
a. UU No 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja
1) Tempat dimana dilakukan pekerjaan bagi
suatu usaha.
2) Adanya tenaga kerja yang bekerja di sana.
3) Adanya bahaya kerja di tempat itu
b. Permenaker No 4 Tahun 1987 Tentang Panitia
Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(P2K3):
1) Tempat kerja dimana pengusaha atau
pengurus memperkerjakan 100 (seratus)
orang atau lebih.
2) Tempat kerja dimana pengusaha
memperkerjakan kurang dari 100 (seratus)
orang tetapi menggunakan bahan, proses dan
instalasi yang memiliki resiko besar akan
terjadinya peledakan, kebakaran, keracunan
dan pencemaran radioaktif.
c. Permenaker No 5 Tahun 1996 Tentang Sistem
Manajemen K3
Setiap perusahaan yang memperkerjakan 100
tenaga kerja atau lebih dan atau yang
mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan
oleh karakteristik proses atau bahan produksi
yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja
seperti peledakan, kebakaran, pencemaran
lingkungan dan penyakit akibat kerja (PAK).

140
3. Lambang K3 dan Maknanya
Lambang (Logo/Simbol), K3 (Keselamatan dan
Kesehatan Kerja) beserta arti dan maknanya terdapat
dalam Kepmenaker RI 1135/MEN/1987 Tentang
Bendera Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Bentuk
lambang berupa palang berwarna hijau dengan roda
bergerigi sebelas dengan warna dasar putih.

Gambar. 8.1. Logo Lambang K3

Arti makna lambang:


a. Tanda Palang
Bebas dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja
(PAK).
b. Roda Gigi
Bekerja dengan kesegaran jasmani dan rohani.
c. Warna Putih
Bersih dan suci.
d. Warna Hijau
Selamat, sehat dan sejahtera.
e. 11 (sebelas) Gerigi Roda
Sebelas Bab Undang-Undang No 1 Tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja.

141
4. Tujuan Keselamatan Kesehatan Kerja
Tujuan utama penerapan K3 berdasarkan undang-
undang Keselamatan Kerja Tahun 1970 antara lain,
yaitu:
a. Melindungi dan menjamin keselamatan setiap
tenaga kerja dan orang lain di tempat kerja.
b. Menjamin setiap sumber produksi dapat
digunakan secara aman dan efisien.
c. Meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas
nasional.
Dalam hal terlaksananya keselamatan kesehatan
kerja memiliki tujuan yang nantinya harus terpenuhi.
Menurut Mangkunegara (2004), inilah tujuan
keselamatan dan kesehatan kerja yaitu:
a. Memastikan bahwa semua pekerja mendapat
jaminan kesehatan dan keselamatan kerja
secara fisik, sosial dan psikologis.
b. Untuk memastikan bahwa semua perangkat dan
peralatan kerja digunakan dengan cara yang
terbaik dan selektif mungkin.
c. Agar semua hasil produksi di pelihara
keamanannya.
d. Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan
peningkatan kesehatan gizi pekerja.
e. Agar meningkatnya kegairahan, keserasian kerja,
dan partisipasi kerja.
f. Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang
disebabkan oleh lingkungan atas kondisi kerja.
g. Agar setiap pekerja merasa aman dan terlindungi
dalam bekerja.
Dengan mempelajari dan memahami tujuan dari
terlaksananya dibutuhkan suatu pengembangan dari
kebijakan kesehatan keselamatan kerja, manajemen
hingga pengendalian resiko K3 yang tepat dan
menyeluruh.

142
5. Pengendalian Resiko K3
Dalam lingkup keselamatan dan kesehatan kerja
dibutuhkan manajemen dalam pengendalian resiko
terjadinya permasalahan dalam pekerjaan. Setiap
kegiatan industri selalu mengandung bahaya dan
resiko terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.
Bahaya dan resiko akan timbul apabila manajemen
K3 tidak dikelola dengan baik. Dapat juga
menimbulkan kerugian dalam bentuk asset
perusahaan dari hingga dengan terjadinya kerusakan.
Dalam pengendalian resiko K3 secara singkat dibagi
menjadi manajemen resiko dan penilaian /
identifikasi bahaya:
a. Manajemen Resiko
Setiap aktivitas yang kita lakukan tentu memiliki
potensi risiko. Manajemen risiko yang tepat dapat
membantu perusahaan sedapat mungkin
menghindari biaya yang dikeluarkan, selain itu
dapat menjaga ketenangan pekerja dalam
melakukan pekerjaan. Analisis risiko dapat
membantu manajemen untuk memutuskanrisiko
yang dihadapi perusahaan akan dihindari.
Seringkali hal ini dapat disebabkan karena sistem
informasi yang lemah sehingga perusahaan
mengalami kesulitan dalam mengetahui berapa
kerugian yang akan dialami. Di satu sisi
perencanaan atau pencegahan terhadap risiko
yang lemah dapat membawa permasalahan dan
kerugian.
b. Penilian / Identifikasi Bahaya
Dalam penilaian maupun identifikasi bahaya
dapat menggunakan metode HIRARC (Hazard
Identification Risk Assessment and Risk Control),
Metode ini yang merupakan kombinasi dari
identifikasi bahaya, penilaian risiko dan
pengendalian risiko, suatu metode untuk
mencegah atau meminimalkan kecelakaan kerja
(Nurmawanti et al, 2013). HIRARC adalah suatu
metode yang dimulai dari menentukan jenis

143
kegiatan kerja yang kemudian diidentifikasi
sumber bahayanya untuk mendapatkan
resikonya. Kemudian akan dilakukan penilaian
risiko dan manajemen risiko untuk mengurangi
paparan bahaya yang ada pada setiap jenis
pekerjaan.

Gambar. 8.2
Hirarki Pengendalian Resiko / Bahaya K3
Keterangan:
1) Eliminasi: Mengeliminasi sumber bahaya dan
dapat mengganti dengan yang baru
2) Substitusi: Mengganti alat, mesin dan bahan
dengan yang berbeda
3) Perancangan: Merancang atau memodifikasi
alat, mesin, hingga tempat kerja yang lebih
aman
4) Administrasi: Membuat prosedur
keselamatan, aturan, pelatihan, durasi kerja
yang aman, pemasangan tanda bahaya /
rambu-rambu, hingga inspeksi hingga kontrol
dan sistem yang aman.
5) APD: Menyediakan alat pelindung diri kepada
tenaga kerja (contoh: Masker, kacamata
safety, sarung tangan, pelindung
pendengaran, pelindung wajah, dll)

144
Kecelakaan Akibat Kerja (KAK)
1. Definisi Kecelakaan Akibat Kerja
Kecelakaan adalah kondisi atau kejadian yang tidak
direncanakan, tidak diinginkan, tidak terduga.
Kecelakaan dapat terjadi kapan saja, merugikan orang
(cedera) dan peralatan atau mesin (kerusakan),
merugikan orang, peralatan, dan produksi, dan dapat
menghentikan aktivitas kerja secara keseluruhan.
Kecelakaan kerja menurut OHSAS (Occupational
Health and Safety Assessement Series) adalah
kejadian yang berhubungan dengan pekerjaan dan
menyebabkan cidera atau kesakitan, dan dapat
menyebabkan kematian.
2. Dampak Kecelakaan Kerja
Menurut Anizar (2012) setiap kecelakaan kerja akan
menimbulkan kerugian yang besar, baik itu kerugian
material dan fisik. Kerugian yang disebabkan oleh
kecelakaan kerja antara lain adalah:

Gambar. 8.3 Ilustrasi Kecelakaan Kerja


Sumber: surabaya.proxsisgroup.com
a. Kerugian ekonomi yang meliputi:
1) Kerusakan alat, bahan dan bangunan
2) Biaya pengobatan dan perawatan
3) Tunjangan kecelakaan
4) Jumlah produksi dan mutu berkurang
5) Kompensasi kecelakaan

145
6) Penggantian tenaga kerja yang mengalami
kecelakaan.
b. Kerugian non ekonomi meliputi:
1) Penderitaan korban
2) Hilangnya waktu kerja
3. Penyebab Kecelakaan Kerja
Berikut akan diuraikan penyebab-penyebab
terjadinya kecelakaan akibat kerja menurut Pusdiklat
SDA dan Konstruksi tahun 2016. Tindakan karyawan
yang tidak aman dapat ditinjau dari pemberi
pekerjaan, yaitu bisa Pengawas, Foreman, Super-
intendent, atau Manager, dan dari karyawannya
sendiri.
a. Tanggung jawab pemberi pekerjaan
1) Instruksi tidak diberikan
2) Instruksi diberikan tidak lengkap
3) Alat proteksi diri tidak disediakan
4) Pengawas kerja yang bertentangan
5) Tidak dilakukan pemeriksaan yang teliti
terhadap mesin dan peralatan
b. Tindakan atau kelakukan karyawan
1) Tergesa-gesa atau ingin cepat selesai
2) Alat proteksi diri yang tersedia tidak dipakai
3) Tidak perhatian pada pekerjaan
4) Tidak mengindahkan peraturan dan instruksi
5) Tidak berpengalaman
6) Posisi badan yang salah
7) Cara kerja yang tidak benar
8) Memakai alat yang tidak tepat dan aman
9) Tindakan teman sekerja
10) Tidak mengerti instruksi disebabkan
kesukaran bahasa yang dipakai pemberi
pekerjaan.
4. Kondisi kerja yang tidak aman

146
Dapat ditinjau dari peralatan atau mesin yang bekerja
secara tidak aman dan keadaan atau situasi kerja
tidak nyaman dan aman.
a. Peralatan atau benda-benda yang tidak aman,
antara lain:
1) Mesin atau peralatan tidak dilindungi
2) Peralatan yang sudah rusak
3) Barang-barang yang rusak dan letaknya tidak
teratur
b. Keadaan tidak aman
1) Lampu penerangan tidak cukup
2) Ventilasi tidak cukup
3) Kebersihan tempat kerja
4) Lantai atau tempat kerja licin
5) Ruang tempat kerja terbatas
6) Bagian-bagian mesin berputar tidak dilindung
5. Pencegahan Kecelakaan Kerja
Tindakan pencegahan kecelakaan dalam keselamatan
dan kesehatan kerja menurut Christie Pricilia (2015)
dapat dilaksanakan sebagai berikut:
a. Meminimalkan terjadinya kejadian berbahaya dari
mesin, metode kerja, material, dan struktur yang
direncanakan
b. Menyediakan peralatan keselamatan agar tidak
membahayakan sumber daya internal
c. Memberikan pendidikan (pelatihan) pekerja atau
karyawan tentang kecelakaan dan keselamatan
kerja
d. Menyediakan alat pelindung diri khusus untuk
pekerja di area berbahaya.
Penyakit Akibat Kerja (PAK)
1. Definisi Penyakit Akibat Kerja
Penyakit akibat kerja (PAK) menurut Permenaker dan
Transmigrasi adalah setiap penyakit yang disebabkan
oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Dengan

147
demikian, PAK merupakan penyakit yang artifisial
atau man made disease. Penyakit akibat kerja dapat
dideteksi atau didiagnosis pada saat pemeriksaan
kesehatan tenaga kerja (Sri Redjeki, 2016). Penyakit
akibat kerja adalah masalah kesehatan fisik dan
mental yang disebabkan atau diperburuk oleh
aktivitas kerja atau kondisi yang berhubungan
dengan pekerjaan (Adzim, 2013). Secara singkat
definisi yang bisa kita pelajari yaitu suatu penyakit
yang diderita oleh pekerja yang diakibatkan oleh
pekerjaan yang dilakukan atau lingkungan
pekerjaannya.
2. Macam-Macam Penyakit Akibat Kerja
a. General disease (penyakit umum): penyakit yang
mengenai pada masyarakat umum. Contoh:
influenza, sakit kepala
b. Work related disease (penyakit terkait kerja):
penyakit yang berhubungan / terkait dengan
pekerjaan, namun bukan akibat karena
pekerjaan. Contoh: Asma, TBC, hipertensi
c. Occupational disease (penyakit akibat kerja):
penyakit yang disebabkan karena pekerjaannya /
lingkungan kerja. Contoh: keracunan bahan
kimia, asbestosis, silicosis, Low Back Pain, White
Finger Syndrom, dll.
3. Faktor Penyebab Penyakit Akibat Kerja
a. Faktor Psikologi
Permasalahan internal pekerja, Stressor, dsb
b. Faktor Fisik
Tekanan, Suhu, Kebisingan, Cahaya
c. Faktor Biomekanik
Postur, Gerakan Berulang, Pengangkutan Manual
d. Faktor Biologi
Bakteri, Virus Jamur, Binatang, Tanaman
e. Faktor Kimia
Bahan Beracun dan Berbahaya/Radioaktif

148
4. Pencegahan Penyakit Akibat Kerja
Penyakit akibat kerja (PAK) dapat dicegah dengan
beberapa cara menurut Sri Redjeki (2016), yaitu:
a. Mengenakan alat pelindung diri dengan benar dan
teratur,
b. Mengenali risiko kerja dan mencegah terulangnya
kembali,
c. Segera akses tempat kesehatan apabila terjadi
luka yang berkelanjutan.
Selain itu ada juga beberapa pencegahan yang dapat
dilakukan agar pekerjaan atau lingkungan pekerjaan
tidak terdapat penyakit, pencegahan yang dapat
dilakukan sebagai berikut:
a. Pencegahan primer - promosi kesehatan meliputi
perilaku kesehatan, faktor bahaya di tempat kerja,
kebiasaan kerja yang baik, olahraga dan nutrisi.
b. Pencegahan sekunder - perlindungan khusus
meliputi pengendalian aturan kerja, pengendalian
administrasi / organisasi, pengendalian teknis,
dan pengendalian secara vaksinasi / imunisasi.
c. Pencegahan tersier meliputi pemeriksaan
kesehatan sebelum bekerja, pemeriksaan
kesehatan secara berkala, pemeriksaan
lingkungan secara teratur, pemantauan,
pengobatan segera bila ditemukan kelainan di
tempat kerja, dan pemeriksaan segera di tempat
kerja.

149
Daftar Pustaka
A Anwar Prabu Mangkunegara. 2004. Manajemen Sumber
Daya Manusia. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Anizar. (2012). Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja di
Industri. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-04/MEN/87
tentang Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan
Kerja serta tata cara penunjukan ahli keselamatan kerja.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor
KEP.1135/MEN/1987 Tahun 1987 – Bendera
Keselamatan Dan Kesehatan Kerja.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Permenaker No.05 /
Men / 1996 Tentang Sistem Manajemen Keselamatan
dan Kesehatan Kerja.
Nurmawanti, I, Widaningrum, S, Iqbal, M. (2013). Identifikasi
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dengan
Menggunakan Metode Hirarc Untuk Memenuhi
Requirement Ohsas 18001: 2007 Terkait Klausul 4.4.6
Di PT Beton Elemenindo Perkasa. Jurusan Teknik
Elektro Universitas Telkom.
OHSAS 18001: 2007. Occupational Health and Safety
Management Systems – Requirements. UK: BSI.
Pelealu, Christie Pricilia, et al .(2015). Penerapan Aspek
Hukum Terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(Studi Kasus: Proyek The Lagoon Tamansari Bahu Mall).
Jurnal Sipil Statik Vol.3 No.5 Mei 2015 (331-340) ISSN:
2337-6732.
Prawirosentono, Suyadi. 2002. Manajemen Sumber Daya
Manusia: Kebijakan Kinerja Karyawan. Edisi 1. Cetakan
Kedelapan. Yogyakarta: BPFE.
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan
Konstruksi. (2016). Pengetahuan Dasar K3. Bandung:
Pusdiklat SDA dan Konstruksi.
Redjeki, Sri. (2016). Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan.
TIM K3 FT UNY. (2014). Buku Ajar Keselamatan Dan
Kesehatan Kerja (K3). Yogyakrata: Universitas Negeri
Yogyakarta.
Undang-Undang No 1 Tahun 1970: Tentang Keselamatan
Kerja

150
Profil Penulis

Rizky Shodiqurrahman
Penulis Lahir di Bandung, 17 Januari 1995.
Lulus S1 Keperawatan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2017, Profesi
Ners tahun 2018 dan sekarang sedang
melanjutkan studi Magister Keperawatan di
Universitas Brawijaya peminatan Gawat Darurat.
Bekerja sebagai tenaga perawat di Public Safety Center (PSC)
119 Dinas Kesehatan Kota Batu. Pengalaman kerja sebelumnya
tahun 2019 sebagai Enumerator RIFASKES Balitbangkes
Kemenkes RI dan staf Instruktur Tutor di Stikes Surya Global
Yogyakarta. Pada tahun 2020-2021 menjadi perawat di RSUD
Saiful Anwar Malang (penempatan HCU covid dan kamar
operasi).
Pelatihan yang pernah di ikuti oleh penulis dari BTCLS AGD 118
Yogyakarta, Hiperkes K3 Perusahaan Balai Hiperkes DIY, dan
PKKVTD (Pelatihan Keperawatan Kardiovaskular Tingkat Dasar)
di RSUD Saiful Anwar Malang. Prestasi menjadi Juara 1 Lomba
Video Edukasi Nursing Scientific Festival (NSF) Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya tahun 2016, Juara 1 Video
Edukasi "This Is Our Care" (TOC) Fakultas Keperawatan
Universitas Padjajaran tahun 2017, Finalis Lomba Poster
Edukasi Scripta Research Festival (SRF) di Universitas
Sumatera Utara dan Finalis Lomba Gagasan Teknologi dalam
Keperawatan event FORMATA di Universitas Brawijaya. Penulis
juga beberapa kali menjadi pembicara seminar
kegawatdaruratan dan aktif menjadi Emergency Medical Team
(EMT) di kebencanaan termasuk terakhir tahun 2021 turun
menjadi tim medis di bencana Erupsi Gunung Semeru.
Email Penulis: rshodiqurrahman@gmail.com

151
152
9
PRINSIP-PRINSIP DAN
PERLINDUNGAN KESELAMATAN
KESEHATAN KERJA

Dr. Atik Badi’ah, S.Pd., S.Kp., M.Kes.


Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta

Prinsip-Prinsip Keselamatan Kesehatan Kerja (K3)


Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah pendekatan
yang menentukan standar yang menyeluruh dan bersifat
(spesifik), penentuan kebijakan pemerintah atas praktik
perusahaan di tempat kerja dan pelaksanaan melalui
surat panggilan, denda dan hukuman-hukuman lain.
Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) adalah bidang yang
terkait dengan kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan
manusia yang bekerja di sebuah institusi maupun lokasi
proyek. Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah
kegiatan yang menjamin terciptanya kondisi kerja yang
aman, terhindar dari gangguan fisik dan mental melalui
pembinaan dan pelatihan, pengarahan dan kontrol
terhadap pelaksanaan tugas dari karyawan dan
pemberian bantuan sesuai dengan aturan yang berlaku,
baik dari lembaga pemerintah maupun perusahaan
dimana mereka bekerja. Keselamatan dan kesehatan
kerja (K3) adalah upaya perlindungan yang ditujukan agar
tenaga kerja dan orang lain di tempat kerja atau selalu
dalam keadaan selamat dan sehat sehingga setiap sumber
produksi dapat digunakan secara aman dan efisien.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah
keselamatan yang berkaitan dengan hubungan tenaga
kerja dengan peralatan kerja, bahan dan proses
153
pengolahannya, landasan tempat kerja dan cara-cara
melakukan pekerjaan tersebut. Keselamatan dan
kesehatan kerja (K3) adalah pengawasan terhadap orang,
mesin, material dan metode agar pekerja tidak mengalami
cidera.
Tujuan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah : (1)
Melindungi tenaga kerja atas hak dan keselamatannya
dalam melakukan pekerjaannya untuk kesejahteraan
hidup dan meningkatkan kinerja. (2) Menjamin
keselamatan orang lain yang berada di tempat kerja. (3)
Sumber produksi dipelihara dan dipergunakan secara
aman dan efisien. (4) Agar setiap pegawai mendapat
jaminan keselamatan dan kesehatan kerja baik secara
fisik, sosial, dan psikologis. (5) Agar setiap perlengkapan
dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya selektif
mungkin. (6) Agar semua hasil produksi di pelihara
keamanannya. (7) Agar adanya jaminan atas
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi pegawai. (8)
Agar meningkatnya kegairahan, keserasian kerja, dan
partisipasi kerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah : (1) Beban
kerja berupa beban fisik, mental dan sosial, sehingga
upaya penempatan pekerja yang sesuai dengan
kemampuannya perlu diperhatikan. (2) Kapasitas kerja
yang banyak tergantung pada pendidikan, keterampilan,
kesegaran jasmani, ukuran tubuh, keadaan gizi dan
sebagainya. (3) Lingkungan kerja yang berupa faktor fisik,
kimia, biologik, ergonomik, maupun psikososial. Prinsip
dalam pengaturan maupun pelaksanaan kesehatan dan
keselamatan kerja (K3). Prinsip K3 adalah perlindungan
terhadap pekerja hal ini sejalan dengan filosofi paling
mendasar dari Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
dalam menjamin keutuhan dan kesempurnaan melalui
perlindungan atas keselamatan dan kesehatan para
pekerja dalam menjalankan pekerjaannya.
Prinsip kesehatan dan keselamatan kerja (K3) adalah:
1. Prinsip Perlindungan ekonomis, sosial dan teknis.
Dimana K3 termasuk ke dalam kelompok
perlindungan teknis.

154
2. Prinsip Jaminan atas kesehatan dan keselamatan
kerja
Merupakan hak pekerja, ditetapkan juga bahwa
jaminan tersebut mencakup perlindungan atas moral
dan kesusilaan serta perlakuan yang sesuai dengan
harkat dan martabat manusia maupun nilai-nilai
agama sebagaimana disebutkan dalam ketentuan
Pasal 86 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Hak tersebut dijamin kesamaan
pelaksanaan dan kesempatan perolehannya, tanpa
diskriminasi atas dasar apapun baik kepada pekerja
yang memiliki status pekerja tetap, kontrak, harian,
kasual, pekerja dari perusahaan labor supply dan
pekerja lainnya.
3. Prinsip Tanggung jawab pengusaha.
Pimpinan diwajibkan untuk mengatur dan
memelihara ruangan-ruangan, piranti-piranti atau
perkakas-perkakas pada saat menyuruh melakukan
pekerjaan. Pengusaha selaku pemberi kerja,
bertanggungjawab dalam konteks profesionalismenya
sebagai pengusaha, atas kesehatan dan keselamatan
kerja pekerja yang dipekerjakannya. Pengusaha harus
melakukan upaya-upaya preventif untuk melindungi
pekerja dari kecelakaan kerja yang diperkirakan akan
berisiko mengalami cedera, penyakit, kecacatan,
sampai pada kematian. Apabila upaya-upaya yang
telah dilakukan tersebut gagal, pengusaha tetap
bertanggungjawab atas timbulnya risiko-risiko, dalam
bentuk kompensasi/ganti kerugian. Mencakup
tanggung jawab pengusaha untuk memastikan bahwa
pekerja memahami adanya risiko, memastikan bahwa
cara kerja yang akan dilakukan aman bagi pekerja
(alat kerja dan cara mengoperasionalkannya aman),
memastikan bahwa pekerja memahami langkah-
langkah pencegahan timbulnya risiko dan bahwa
sarana dan prasarana pencegahannya tersedia
dengan memadai dan dalam kondisi baik. Sub prinsip
berikutnya adalah bahwa tanggung jawab-tanggung
jawab tersebut di atas tidak terwakilkan/tidak dapat
dialihkan.

155
4. Prinsip campur tangan negara atau intervensi
pemerintah.
Perlindungan hukum dalam perburuhan, khususnya
bidang kesehatan, merupakan campur tangan negara
atas kemungkinan perlakuan eksploitasi pengusaha
sebagai pihak ekonomi kuat terhadap pekerja sebagai
pihak ekonomi lemah. Perlindungan oleh negara
tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang
bersifat publik, sebagai pembatasan yang bersifat
memaksa terhadap asas kebebasan berkontrak antara
pengusaha dan buruh.
Sebelas Prinsip K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja)
pada OHSAS 18001 adalah:
1. Semua pekerja memiliki hak.
Pekerja, serta pengusaha dan pemerintah, harus
memastikan bahwa hak-hak tersebut dilindungi dan
harus berusaha untuk membangun dan memelihara
kondisi kerja yang layak dan lingkungan kerja yang
layak.Lebih spesifik seperti berikut: pekerjaan harus
dilakukan dalam lingkungan kerja yang aman dan
sehat, kondisi kerja harus konsisten sesuai dengan
kesejahteraan pekerja dan martabat manusia dan
kerja harus menawarkan kemungkinan nyata untuk
prestasi pribadi, pemenuhan kebutuhan diri, dan
pelayanan kepada masyarakat.
2. Kebijakan K3 (keselamatan dan kesehatan kerja)
harus ditetapkan.
Kebijakan tersebut harus dilaksanakan baik di tingkat
lokal dan perusahaan nasional. Kebijakan harus
secara efektif dikomunikasikan kepada semua pihak
yang terkait.
3. Harus ada komunikasi yang baik antara mitra social.
Komunikasi antara pengusaha, pekerja dan
pemangku kepentingan lainnya. Hal ini harus
dilakukan selama formulasi, implementasi, dan
peninjauan semua kebijakan, sistem, dan program.

156
4. Program K3 (keselamatan dan kesehatan kerja) dan
kebijakan harus bertujuan baik dalam hal
pencegahan dan perlindungan.
Upaya harus difokuskan, terlebih pada pencegahan
primer di tingkat tempat kerja. Tempat kerja dan
lingkungan kerja harus direncanakan dan dirancang
untuk menjadi aman dan sehat.
5. Perbaikan terus-menerus K3 (keselamatan dan
kesehatan kerja) harus dipromosikan.
Hal ini diperlukan untuk memastikan bahwa hukum,
peraturan, dan standar teknis nasional untuk
mencegah kecelakaan kerja, penyakit, dan kematian
yang disesuaikan secara berkala untuk kemajuan
sosial, teknis, dan ilmiah dan perubahan lain dalam
dunia kerja. Hal ini akan optimal dilakukan dengan
cara pengembangan dan pelaksanaan kebijakan
nasional, sistem nasional, dan program nasional.
6. Informasi penting untuk pengembangan dan
pelaksanaan program dan kebijakan yang efektif.
Pengumpulan dan penyebaran informasi yang akurat
tentang bahaya dan bahan berbahaya, pengawasan
kerja, pemantauan kepatuhan terhadap kebijakan
dan praktek yang baik, dan kegiatan terkait lainnya
adalah pusat untuk pembentukan dan penegakan
kebijakan yang efektif.
7. Promosi Kesehatan.
Promosi kesehatan adalah unsur utama dari praktik
kesehatan kerja. Upaya yang harus dilakukan untuk
meningkatkan pekerja fisik, mental, dan
kesejahteraan sosial.
8. Pelayanan kesehatan kerja yang mencakup semua
pekerja harus dibentuk.
Idealnya, semua pekerja di semua kategori harus
memiliki akses ke layanan tersebut, yang bertujuan
untuk melindungi dan meningkatkan kesehatan
pekerja dan memperbaiki kondisi kerja.

157
9. Pendidikan dan pelatihan merupakan komponen
penting dari lingkungan kerja yang sehat dan aman.
Pekerja dan pengusaha harus dibuat sadar akan
pentingnya membangun prosedur kerja yang aman
dan bagaimana melakukannya. Pelatih/fasilitator
/trainer internal harus dilatih di bidang relevansi
khusus untuk industri tertentu, sehingga mereka
dapat mengatasi masalah K3 (keselamatan dan
kesehatan kerja) yang spesifik.
10. Pekerja, pengusaha dan pejabat yang berwenang
memiliki tanggung jawab, tugas, dan kewajiban
tertentu.
Pekerja harus mengikuti prosedur keselamatan yang
ditetapkan; pengusaha harus menyediakan tempat
kerja yang aman dan menjamin akses ke pertolongan
pertama; dan pihak yang berwenang harus
menyusun, berkomunikasi, dan meninjau secara
berkala dan memperbarui kebijakan K3 (keselamatan
dan kesehatan kerja).
11. Kebijakan harus ditegakkan.
Harus ada sistem pemeriksaan dan evaluasi di tempat
kerja untuk memastikan kesesuaian langkah-langkah
K3 (keselamatan dan kesehatan kerja) dan undang-
undang tenaga kerja lainnya dengan implementasi
sesungguhnya.
Prinsip-prinsip yang harus dijalankan dalam menerapkan
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah sebagai
berikut:
1. Adanya APD (Alat Pelindung Diri) di tempat kerja.
2. Adanya buku petunjuk penggunaan alat dan atau
isyarat bahaya.
3. Adanya peraturan pembagian tugas dan tanggung
jawab.
4. Adanya tempat kerja yang aman sesuai standar SSLK
(syarat-syarat lingkungan kerja) antara lain tempat
kerja steril dari debu,kotoran, asap rokok, uap gas,
radiasi, getaran mesin dan peralatan, kebisingan,

158
tempat kerja aman dari arus listrik, lampu
penerangan cukup memadai, ventilasi dan sirkulasi
udara seimbang, adanya aturan kerja atau aturan
keprilakuan.
5. Adanya penunjang kesehatan jasmani dan rohani
ditempat kerja.
6. Adanya sarana dan prasarana yang lengkap ditempat
kerja.
7. Adanya kesadaran dalam menjaga keselamatan dan
kesehatan kerja.
Teori Tiga Faktor Utama (Three Main Factor Theory)
penyebab kecelakaan kerja adalah:
1. Faktor Manusia
Faktor lingkungan merupakan faktor penyebab
kecelakaan kerja adalah faktor manusia (human
error).
2. Usia
Usia harus mendapat perhatian karena akan
mempengaruhi kondisi fisik, mental, kemampuan
kerja dan tanggung jawab seseorang. Umur pekerja
juga diatur oleh Undang-Undang Perburuhan.
Karyawan muda umumnya mempunyai fisik yang
lebih kuat, dinamis, dan kreatif, tetapi cepat bosan,
kurang bertanggung jawab, cenderung absensi dan
turn over nya rendah Beberapa kapasitas fisik, seperti
penglihatan, pendengaran dan kecepatan reaksi,
menurun sesudah usia 30 tahun atau lebih.
Sebaliknya mereka lebih berhati-hati, lebih dapat
dipercaya dan lebih menyadari akan bahaya dari pada
tenaga kerja usia muda. Namun begitu terdapat
kecenderungan bahwa beberapa jenis kecelakaan
kerja seperti terjatuh lebih sering terjadi pada tenaga
kerja usia 30 tahun atau lebih dari pada tenaga kerja
berusia sedang atau muda.

159
3. Jenis kelamin.
Jenis pekerjaan antara pria dan wanita sangatlah
berbeda. Pembagian kerja secara sosial antara pria
dan wanita menyebabkan perbedaan terjadinya
paparan yang diterima, sehingga penyakit yang
dialami berbeda pula. Secara anatomis, fisiologis dan
psikologis tubuh wanita dan pria memiliki perbedaan
sehingga dibutuhkan penyesuaian-penyesuaian
dalam beban dan kebijakan kerja, diantaranya yaitu
hamil dan menstruasi. Dua peristiwa alami wanita itu
memerlukan penyesuaian kebijakan yang khusus.
4. Masa kerja.
Masa kerja adalah sesuatu kurun waktu atau
lamanya tenaga kerja bekerja disuatu tempat. Masa
kerja dapat mempengaruhi kinerja baik positif
maupun negatif. Memberi pengaruh positif pada
kinerja bila dengan semakin lamanya masa kerja
personal semakin berpengalaman dalam
melaksanakan tugasnya. Sebaliknya akan memberi
pengaruh negatif apabila dengan semakin lamanya
masa kerja akan timbul kebiasaan pada tenaga kerja.
Hal ini biasanya terkait dengan pekerjaan yang
bersifat monoton atau berulang-ulang. Masa kerja
dikategorikan menjadi tiga yaitu : Masa Kerja baru : <
6 tahun, Masa Kerja sedang : 6 – 10 tahun dan Masa
Kerja lama : < 10 tahun.
5. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD).
Penggunaan alat pelindung diri (APD) yaitu
penggunaan seperangkat alat yang digunakan tenaga
kerja untuk melindungi sebagian atau seluruh
tubuhnya dari adanya potensi bahaya atau
kecelakaan kerja. APD tidak secara sempurna dapat
melindungi tubuhnya, tetapi akan dapat mengurangi
tingkat keparahan yang mungkin terjadi. Penggunaan
alat pelindung diri dapat mencegah kecelakaan kerja
sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap dan
praktek pekerja dalam penggunaan alat pelindung
diri.

160
6. Tingkat Pendidikan
Pendidikan adalah proses seseorang mengembangkan
kemampuan, sikap, dan bentuk-bentuk tingkah laku
lainnya di dalam masyarakat tempat ia hidup, proses
sosial yakni orang yang dihadapkan pada pengaruh
lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya
yang datang dari sekolah), sehingga seseorang dapat
memperoleh atau mengalami perkembangan
kemampuan sosial dan kemampuan individu yang
optimal. Pendidikan adalah segala upaya yang
direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik
individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka
melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku
pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang, maka mereka cenderung untuk
menghindari potensi bahaya yang dapat
menyebabkan terjadinya kecelakaan.
7. Perilaku
Perilaku adalah salah satu di antara faktor individual
yang mempengaruhi tingkat kecelakaan. Sikap
terhadap kondisi kerja, kecelakaan dan praktik kerja
yang aman bisa menjadi hal yang penting karena
ternyata lebih banyak persoalan yang disebabkan oleh
pekerja yang ceroboh dibandingkan dengan mesin-
mesin atau karena ketidakpedulian karyawan.
Kepribadian, sikap karyawan dan karakteristik
individual karyawan berpengaruh pada kecelakaan
kerja.
8. Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Pelatihan adalah bagian pendidikan yang menyangkut
proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan
keterampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku
dalam waktu yang relatif singkat, dan dengan metode
yang lebih mengutamakan praktek daripada teori,
dalam hal ini yang dimaksud adalah pelatihan
keselamatan dan kesehatan kerja. Timbulnya
kecelakaan bekerja biasanya sebagai akibat atas
kelalaian tenaga kerja atau perusahaan. Adapun
kerusakan-kerusakan yang timbul, misalnya

161
kerusakan mesin atau kerusakan produk, sering tidak
diharapkan perusahaan maupun tenaga kerja.
Namun tidak mudah menghindari kemungkinan
timbulnya risiko kecelakaan dan kerusakan. Apabila
sering timbul hal tersebut, tindakan yang paling tepat
dan harus dilakukakan manajemen tenaga kerja
adalah melakukan pelatihan. Penyelenggaraan
pelatihan dimaksudkan agar pemeliharaan terhadap
alat-alat kerja dapat ditingkatkan. Salah satu tujuan
yang ingin dicapai adalah mengurangi timbulnya
kecelakaan kerja, kerusakan dan peningkatan
pemeliharaan terhadap alat-alat kerja.
9. Peraturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Peraturan perundangan adalah ketentuan-ketentuan
yang mewajibkan mengenai kondisi kerja pada
umumnya, perencanaan, konstruksi, perawatan dan
pemeliharaan, pengawasan, pengujian dan cara kerja
peralatan industri, tugas-tugas pengusaha dan
buruh, latihan, supervisi medis, P3K dan perawatan
medis. Ada tidaknya peraturan K3 sangat
berpengaruh dengan kejadian kecelakaan kerja.
Untuk itu, sebaiknya peraturan dibuat dan
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya untuk
mencegah dan mengurangi terjadinya kecelakaan
10. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan merupakan faktor penyebab
kecelakaan kerja di tempat kerja.
11. Kebisingan
Kebisingan pada tenaga kerja dapat mengurangi
kenyamanan dalam bekerja, mengganggu
komunikasi/percakapan antar pekerja, mengurangi
konsentrasi, menurunkan daya dengar dan tuli akibat
kebisingan.
12. Suhu Udara
Produktivitas kerja manusia akan mencapai tingkat
yang paling tinggi pada temperatur sekitar 24°C-
27°C. Suhu dingin mengurangi efisiensi dengan

162
keluhan kaku dan kurangnya koordinasi otot. Suhu
panas terutama berakibat menurunkan prestasi kerja
pekerja, mengurangi kelincahan, memperpanjang
waktu reaksi dan waktu pengambilan keputusan,
mengganggu kecermatan kerja otak, mengganggu
koordinasi syaraf perasa dan motoris, serta
memudahkan untuk dirangsang. Kondisi panas
sekeliling yang berlebih akan mengakibatkan rasa
letih dan kantuk, mengurangi kestabilan dan
meningkatkan jumlah angka kesalahan kerja.
13. Penerangan
Penerangan ditempat kerja adalah salah satu sumber
cahaya yang menerangi benda-benda di tempat kerja.
Banyak obyek kerja beserta benda atau alat dan
kondisi di sekitar yang perlu dilihat oleh tenaga kerja.
Hal ini penting untuk menghindari kecelakaan yang
mungkin terjadi. Penerangan yang baik
memungkinkan tenaga kerja melihat obyek yang
dikerjakan secara jelas, cepat dan tanpa upaya-upaya
tidak perlu.
14. Lantai licin
Lantai dalam tempat kerja harus terbuat dari bahan
yang keras, tahan air dan bahan kimia yang merusak.
Karena lantai licin akibat tumpahan air, tahan minyak
atau oli berpotensi besar terhadap terjadinya
kecelakaan, seperti terpeleset.
15. Faktor Peralatan
Faktor lingkungan merupakan faktor penyebab
kecelakaan kerja adalah faktor peralatan. Dengan
mesin dan alat mekanik, produksi dan produktivitas
dapat ditingkatkan. Selain itu, beban kerja faktor
manusia dikurangi dan pekerjaan dapat lebih berarti.
Apabila keadaan mesin rusak dan tidak segera
diantisipasi dapat menyebabkan terjadinya
kecelakaan kerja.

163
Perlindungan Keselamatan Kesehatan Kerja (K3)
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah upaya
perlindungan yang ditujukan agar tenaga kerja dan orang
lainnya di tempat kerja/perusahaan selalu dalam
keadaan selamat dan sehat, serta agar setiap sumber
produksi dapat digunakan secara aman dan efisien.
Perlindungan tenaga kerja meliputi aspek-aspek yang
cukup luas, yaitu perlindungan keselamatan, kesehatan,
pemeliharaan moral kerja serta perlakuan yang sesuai
dengan martabat manusia dan moral agama.
Perlindungan tersebut bermaksud agar tenaga kerja
secara aman melakukan pekerjaannya sehari-hari untuk
meningkatkan produksi dan produktivitas nasional.
Tenaga kerja harus memperoleh perlindungan dari
berbagai soal disekitarnya dan pada dirinya yang dapat
menimpa dan mengganggu dirinya serta pelaksanaan
pekerjaannya. Keselamatan dan kesehatan kerja adalah
suatu segi penting dari perlindungan tenaga kerja. Tujuan
keselamatan kerja adalah : (1) Melindungi tenaga kerja
atas hak keselamatan ditempat kerja. (2) Melindungi
keselamatan tenaga kerja dalam melakukan pekerjaan
untuk kesejahteraannya. (3) Melindungi lingkungan dari
kerusakan akibat pencemaran. (4) Melindungi
keselamatan alat atau sumber produksi seperti
permesinan, bahan baku, dan lain-lain. (5) Kelancaran
produksi dan meningkatkan efisiensi kerja.Tujuan
kesehatan kerja adalah : (1) Meningkatkan dan
memelihara derajat kesehatan tenaga kerja yang setinggi-
tingginya baik fisik, mental maupun social. (2) Mencegah
dan melindungi tenaga kerja dari gangguan kesehatan
yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja. (3)
Menyesuaikan tenaga kerja dengan pekerjaan atau
pekerjaan dengan tenaga kerja dan (4) Meningkatkan
produktivitas kerja.
Sumber-sumber bahaya bagi kesehatan tenaga kerja
adalah : (1) Faktor Fisik, yang dapat berupa suara yang
terlalu bising, suhu yang terlalu tinggi, penerangan yang
kurang memadai, ventilasi yang kurang memadai, radiasi,
getaran mekanis, tekanan udara yang terlalu tinggi atau
terlalu rendah, bau-bauan di tempat kerja dan

164
kelembaban udara. (2) Faktor Kimia, yang dapat berupa
gas/uap, cairan, debu-debuan, butiran kristal dan
bentuk-bentuk lain, bahan-bahan kimia yang mempunyai
sifat racun. (3) Faktor Biologis, meliputi bakteri virus,
jamur, cacing, dan serangga, tumbuh-tumbuhan dan
lain-lain yang hidup/timbul dalam lingkungan tempat
kerja. (4) Faktor Faal, yang dapat berupa sikap badan
yang tidak baik pada waktu kerja, peralatan yang tidak
sesuai atau tidak cocok dengan tenaga kerja, gerak yang
senantiasa berdiri atau duduk, proses, sikap dan cara
kerja yang monoton, beban kerja yang melampaui batas
kemampuan. (5) Faktor Psikologis, yang dapat berupa
kerja yang terpaksa/dipaksakan yang tidak sesuai dengan
kemampuan, suasana kerja yang tidak menyenangkan,
pikiran yang senantiasa tertekan terutama karena sikap
atasan atau teman kerja yang tidak sesuai, pekerjaan
yang cenderung lebih mudah menimbulkan kecelakaan.

165
Daftar Pustaka
Anoraga, Pandji. 2005. Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka
Cipta.
Ardana, I Komang. 2012. Manajemen Sumber Daya
Manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Budiono, M. Sugeng. 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan
Kesehatan Kerja. Semarang: UNDIP.
Departemen Kesehatan RI Jakarta. 2009. Standar
Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit
(K3RS).
Hadiningrum, Kunlestiowati. 2003. Keselamatan dan
Kesehatan Kerja. Bandung: Politeknik Negeri
Bandung.
Moekijat. 2004. Manajemen Lingkungan Kerja. Bandung:
Mandar Maju.
Republik Indonesia. 2013. Peraturan Menteri Tenaga Kerja
No. 05/MEN/1996 Tentang Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta:
Kementrian Tenaga Kerja Republik Indonesia.
Ridley, John. 2008. Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Ikhtisar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Stranks, Jeremy. 2003. The Handbook of Health and
Safety Practice, 6th ed. Great Britain Pearson
Education Limited 2003: Prentice Hall.
Sucipto, Cecep Dani. 2014. Keselamatan dan Kesehatan
Kerja. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Suma’mur, P.K. 1992. Higine Perusahaan dan
Keselamatan Kerja. Jakarta: Haji Mas Agung.
Sutrisno dan Ruswandi. 2007. Prosedur Keamanan,
Keselamatan & Kesehatan Kerja. Sukabumi:
Yudhistira.
Widodo, Suparmo. 2015. Manajemen Pengembangan
Sumber Daya Manusia. Jakarta: Pustaka pelajar.

166
Profil Penulis
Atik Badi’ah
Lahir di Trenggalek, 30 Desember 1965. Bekerja
sebagai dosen/Lektor Kepala di Jurusan
Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes
Yogyakarta mulai 1988 s.d sekarang. Lulus
Akademi Perawat Dep Kes Yogyakarta 1987,
Lulus IKIP PGRI Wates Bimbingan Konseling tahun 1994, Lulus
S 1 Keperawatan PSIK FK UNPAD Bandung tahun 1997, Lulus
S2 Kesehatan Ibu Anak FK UGM tahun 2002 dan Lulus S3
Promosi Kesehatan Pasca Sarjana UNS Surakarta tahun 2018.
Pernah menjadi dosen berprestasi Poltekkes tingkat Nasional
tahun 2006. Mendapat penghargaan dari Presiden dan Menteri
Kesehatan. Menjadi penguji eksternal Disertasi S3 Promosi
Kesehatan UNS. Menjadi Asesor Beban Kinerja Dosen (BKD).
Menjadi Reviewer Internal Jurnal Caring Jurusan Keperawatan
Poltekkes Yogyakarta, menjadi Reviewer Eksternal Jurnal
Internasional Health Notion, Jurnal Nasional Forikes Poltekkes
Surabaya, Jurnal Nasional Surya Medika Stikes Surya Global
Yogyakarta, Jurnal Nasional Health Sciences and Pharmacy
Journal Stikes Surya Global Yogyakarta dan Jurnal Nasional
MIKKI Stikes Wira Husada Yogyakarta. Menjadi Reviewer
Penelitian Eksternal Nasional, Reviewer Pengabdian Masyarakat
Nasional, Reviewer internal Penelitian tingkat Poltekkes
Yogyakarta dan reviewer internal pengabdian masyarakat
tingkat Poltekkes Yogyakarta. Menjadi pembicara tingkat lokal
dan nasional. Menjadi Afiliasi Reasearch Seameo Recfon.
Melakukan berbagai penelitian tingkat Poltekkes, Nasional dan
Internasional (Seameo Recfon) dan telah dipublikasikan dalam
jurnal Internasional terindeks Scopus, jurnal nasional OJS dan
Terakreditasi. Sudah menerbitkan beberapa buku keperawatan
dan 14 book chapter keperawatan.
Email: atik.cahyo@yahoo.com

167
168
10
SISTEM MANAJEMEN
KESELAMATAN
DAN KESEHATAN KERJA

Siti Hani Istiqomah, SKM., M.Kes.


Poltekkes Kemenkes Yogyakarta

Pendahuluan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) masih belum
mendapatkan perhatian yang memadai dari semua pihak.
Kecelakaan kerja relative masih tinggi di tempat kerja.
Relatif rendahnya komitment pimpinan perusahaan
dalam hal Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Kualitas
tenaga kerja berkorelasi dengan kesadaran K3 oleh karena
itu perlu membangun kesadaran masyarakat industry
akan keselamatan dan kesehatan kerja. Tuntutan global
dalam perlindungan tenaga kerja yang diterapkan oleh
komunitas perlindungan hak buruh internasional,
disamping itu desakan LSM internasional dalam hal hak
tenaga kerja untuk mendapatkan perlindungan. Aspek K3
menjadi salah satu aspek pendukung yang harus
dijadikan prioritas dalam meningkatkan produktivitas
kerja. Aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam
meningkatkan produktivitas mempunyai peranan yang
sangat penting untuk mencegah kecelakaan kerja dan
mengurangi terjadinya penyakit akibat kerja.
Pelaksanaan pengawasan K3 masih bersifat parsial dan
belum menyentuh aspek manajemen oleh sebab itu
pentingnya manajemen. SMK3 dikeluarkan sejak 1996
melalui Permenaker No. 05/Men/1996, sedangkan secara
internasional perkembangan sistem manajemen K3 mulai
169
berkembang melalui ILO Guidline Tahun 2001. Ohsas
dikembangkan pada tahun 2001 dan ISO 45001. Sistem
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3)
merupakan bagian dari sistem manajemen secara
keseluruhan meliputi struktur organisasi, perencanaan,
tanggung jawab pelaksanaan prosedur, proses dan
sumberdaya yang dibutuhkan bagi pengembangan
penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan
kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka
pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja
guna terciptanya kerja yang aman, efisien dan produktif.
Tujuan Penerapan SMK3
1. Meningkatkan efektifitas perlindungan keselamatan
dan kesehatan kerja yang terencana, terukur dan
terintegrasi.
2. Mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja dengan melibatkan unsur
manajemen, pekerja atau serikat pekerja.
3. Menciptakan tempat kerja yang aman, nyaman dan
efisien untuk mendorong produktifitas.
Siapa yang Wajib Menerapkan SMK3?
1. Setiap perusahaan wajib menerapkan SMK3
diperusahaannya.
2. Kewajiban jika memperkerjakan pekerja paling sedikit
100 orang atau mempunyai tingkat potensi bahaya
tinggi.
3. Dalam menerapkan SMK3 wajib berpedoman pada
Peraturan Pemerintah dan ketentuan peraturan
perundangan serta dapat memperhatikan konvensi
atau standar internasional.
Pentingnya Penerapan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3)
Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan
tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran
lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas
dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.

170
Penerapan K3 di rumah sakit dapat meningkatkan
efisiensi dan produktivitas kerja. Dasar hukum
pengelolaan K3 mengacu pada UU No UU No.1 1970
tentang Keselamatan Kerja dan informasi mengenai
Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja yaitu Peraturan Pemerintah RI No 50
tahun 2012. UU No.1 Th. 1970 memberikan jaminan
tempat kerja yang aman dengan perubahan paradigma
pengawasan K3. Pertimbangan secara ekonomis untuk
meningkatkan profit dan perbaikan citra dari perusahaan.
Kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit (K3RS)
merupakan upaya untuk memberikan jaminan kesehatan
dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh
dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat
kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi
kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi. Manajemen K3 di
rumah sakit adalah suatu proses kegiatan yang dimulai
dengan tahap perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan dan pengendalian yang bertujuan untuk
memberdayakan K3 di rumah sakit.
Sistem Manajemen K3 Rumah Sakit
Manajemen merupakan suatu proses pencapaian tujuan
secara efisien dan efektif, melalui pengarahan,
penggerakan dan pengendalian kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh orang-orang yang tergabung dalam suatu
bentuk kerja. Sedangkan sistem manajemen merupakan
rangkaian proses kegiatan manajemen yang teratur dan
integrasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Masalah keselamatan dan kesehatan kerja akhir-akhir ini
terus berkembang seiring dengan kemajuan sains dan
teknologi dalam bidang industri. Keadaan ini merubah
pandangan masyarakat industri terhadap pentingnya
penerapan K3 secara sungguh-sungguh dalam
kegiatannya. Manajemen adalah pencapaian tujuan yang
sudah ditentukan sebelumnya, dengan mempergunakan
bantuan orang lain. Hal tersebut diharapkan dapat
mengurangi dampak kelalaian atau kesalahan serta
mengurangi penyebaran langsung dampak dari kesalahan
kerja. Menurut OHSAS 18001, sistem manajemen
merupakan suatu set elemen yang saling terkait untuk

171
menetapkan kebijakan dan sasaran. Elemen tersebut
adalah proses manajemen dan elemen elemen
implementasinya mencakup tanggung jawab, wewenang,
hubungan antar fungsi, aktifitas, proses, praktis, dan
sumber daya. Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (SMK3) di rumah sakit adalah suatu
proses kegiatan yang dimulai dengan tahap perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian yang
bertujuan untuk memberdayakan K3 di rumah sakit.
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(SMK3) tidak terlepas dari pembahasan manajemen
secara keseluruhan. Untuk mencapai tujuan tersebut,
system manajemen dibagi menjadi beberapa tahapan
kegiatan atau fungsi manajemen tersebut. Berdasarkan
PP No 50 tahun 2012 pasal 6 ayat 1, SMK3 meliputi: a.
Penetapan kebijakan K3; b. Perencanaan K3; c.
Pelaksanaan rencana K3; d. Pemantauan dan evaluasi
kinerja K3; dan e. Peninjauan dan peningkatan kinerja
SMK3.
Kebijakan K3
Dalam Penerapan SMK3 dilakukan berdasarkan
kebijakan nasional tentang SMK3. Kebijakan nasional
tentang SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 PP
no 50 tahun 2012 sebagai pedoman perusahaan dalam
menerapkan SMK3.
Sebuah perusahaan perlu mendefinisikan kebijakan K3
dan menjamin komitmennya terhadap SMK3. Pengusaha
dan atau pengurus menunjukkan komitmennya melalui:
1. Membentuk organisasi K3.
2. Menetapkan personil yang mempunyai tanggung
jawab dan wewenang yang jelas dalam penanganan
K3.
3. Menyediakan anggaran sarana dan tenaga kerja yang
diperlukan dalam bidang K3.
4. Perencanaan K3 yang terkoordinasi.
5. Melakukan penilaian kinerja dan tindak lanjut
pelaksanaan K3.

172
Dalam penetapan kebijakan pengusaha memperhatikan
peningkatan kinerja manajemen K3 secara terus-menerus
dan memperhatikan masukan dari pekerja/buruh
dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
1. Sebaiknya tertulis dan bertanggal.
2. Ditandatangani oleh pengusaha dan atau pengurus.
3. Memuat pernyataan komitmen dan tujuan K3
perusahaan.
4. Disosialisasikan atau disebarluaskan.
5. Bersifat dinamika dan ditinjau ulang.
Dalam menyusun kebijakan pengusaha paling sedikit
harus melakukan tinjauan awal kondisi K3 yang meliputi:
1. Identifikasi potensi bahaya, penilaian dan
pengendalian risiko;
2. Perbandingan penerapan K3 dengan perusahaan dan
sektor lain yang lebih baik;
3. Peninjauan sebab akibat kejadian yang
membahayakan;
4. Kompensasi dan gangguan serta hasil penilaian
sebelumnya yang berkaitan dengan keselamatan; dan
5. Penilaian efisiensi dan efektivitas sumber daya yang
disediakan.
Perencanaan K3
Fungsi perencanaan adalah suatu usaha menentukan
kegiatan yang akan dilakukan di masa mendatang guna
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini
adalah keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit
dan instansi kesehatan.perencanaan ini dilakukan untuk
memenuhi standarisasi kesehatan pacsa perawatan dan
merawat (hubungan timbal balik pasien – perawat /
dokter, serta masyarakat umum lainnya) Dalam
perencanaan tersebut, kegiatan yang ditentukan meliputi:
hal apa yang dikerjakan, bagaiman cara mengerjakannya,
mengapa mengerjakan, siapa yang mengerjakan, kapan

173
harus dikerjakan, dimana kegiatan itu harus dikerjakan
dan hubungan timbal balik. Kegiatan kesehatan di rumah
sakit sekarang tidak lagi hanya di bidang pelayanan,
tetapi sudah mencakup kegiatan-kegiatan di bidang
pendidikan dan penelitian, juga metode-metode yang
dipakai makin banyak ragamnya. Semuanya
menyebabkan risiko bahaya yang dapat terjadi dalam
rumah sakit makin besar, oleh karena itu usaha-usaha
pengamanan kerja di rumah sakit harus ditangani secara
serius oleh organisasi keselamatan kerja rumah sakit.
Perencanaan dalam SMK3 meliputi:
1. Identifikasi bahaya, penilaian & pengendalian risiko
dari kegiatan, produk.
a. Identifikasi sumber bahaya
b. Penilaian risiko
c. Tindakan pengendalian
d. Perancangan & rekayasa
e. Pengendalian administratif
f. Tinjauan Ulang kontrak
g. Pembelian
h. Prosedur keadaan darurat
i. Prosedur menghadapi insiden
j. Prosedur rencana pemulihan keadaan darurat
2. Pemenuhan peraturan perundangan.
3. Tujuan dan sasaran yg smart.
4. Menggunakan indikator kinerja untuk penilaian
kinerja K3 dan infromasi keberhasilan pencapaian
SMK3.
5. Menetapkan sistem pertanggungjawaban dan sarana
pencapaian kebijakan K3.
6. Perencanaan hasil yang terdefinisi dan terukur.

174
Pelaksanaan Perencanaan K3
1. Pelaksanaan kesehatan kerja bagi karyawan
(prakerja, berkala, khusus)
Pemeriksaan kesehatan dilaksanakan baik pada
prakerja, dan bekerja yang dilakukan secara berkala
yaitu setiap 6 bulan sekali. Pemeriksaan secara
khusus dilakukan jika pekerja ada indikasi sakit.
2. Upaya pengamanan pasien, pengunjung dan petugas
Salah satu potensi bahaya di rumah sakit adalah
faktor ergonomi. Ergonomi adalah studi ilmiah yang
mempelajari hubungan antara manusia dan tempat
kerja. Sebuah rumah sakit terdapat peralatan kerja
yang bersinggungan dengan manusia seperti tempat
tidur pasien, ruang operasi, peralatan untuk operasi,
ventilator dan sebagainya yang semuanya didesain
secara ergonomis supaya pasien nyaman dan enak
dalam menggunakan peralatan tersebut. Peralatan
operasi seperti gunting, pisau, jarum suntik, meja
operasi tempat tidur pasien, semuanya didesain
dengan ergonomis supaya nyaman digunakan oleh
pasien, perawat dan dokter. Dokter dan perawat bisa
bekerja dengan nyaman ketika peralatan yang
digunakan sesuai dengan kondisi fisik dokter dan
perawat. Penerapan ergonomis lainnya ialah dalam
mendesain dan membuat pintu kamar mandi, kloset
WC, cermin, wastafel untuk cuci tangan di buat dan
didesain sesuai dengan penerapan ilmu ergonomi
sehingga nyaman untuk digunakan pasien dan
pengunjung yang datang menjenguk pasien.
3. Sanitasi lingkungan RS
a. Housekeeping
Housekeeping adalah jasa yang menyediakan dan
menjalankan sistem kebersihan, meliputi: tenaga
kerja, metode kerja, penggunaan chemical dan
peralatan kerja dengan tujuan menjaga nilai dari
bangunan serta memperpanjang masa pakai
bangunan. Gedung rumah sakit yang terpelihara
kebersihan, keindahan, dan kerapihannya akan

175
memberikan kenyamanan baik pada pengunjung,
pasien, dokter, perawat, pegawai dan siapapun
yang berada di tempat tersebut. kebersihan
lingkungan, merupakan suatu kebutuhan yang
mendasar bagi semua manusia agar dalam
menajalankan tugasnya dapat berjalan dengan
baik. Terciptanya lingkungan kerja yang bersih,
sehat, nyaman dan aman dapat mempengaruhi
prestasi dan produktivitas kerja bahkan mampu
membentuk sebuah image dimata publik.
b. Pemantauan Baku Mutu lingkungan rumah sakit
secara berkala
Penyelenggaraan kesehatan lingkungan rumah
sakit dilakukan untuk mendukung
penyelenggaraan rumah sakit ramah lingkungan.
Sesuai PMK No 7 tahun 2019, meliputi:
1) Menyusun kebijakan tentang rumah sakit
ramah lingkungan;
2) Pembentukan tim rumah sakit ramah
lingkungan;
3) Pengembangan tapak atau lahan rumah sakit;
4) Penghematan energi listrik;
5) Penghematan dan konservasi air;
6) Penyehatan kualitas udara dalam ruang;
7) Manajemen lingkungan gedung;
8) Pengurangan limbah;
9) Pendidikan ramah lingkungan;
10) Penyelenggaraan kebersihan ramah
lingkungan;
11) Pengadaan material ramah lingkungan.
c. Inspeksi K3 di tempat kerja rumah sakit
Tujuan Inspeksi K3 adalah kegiatan melihat,
mengobservasi dan mengaudit kesesuaian antara
standar K3 dengan kenyataan implementasi yang

176
di lakukan di lingkungan kerja rumah sakit.
Inspeksi K3 ini bisa dilakukan per divisi/unit atau
bisa juga per all area yang ada. Inspeksi K3 di
rumah sakit wajib dilakukan secara berkala,
mingguan, bulanan atau tiga bulanan. Inspeksi
K3 merupakan kegiatan melihat, mengobservasi
dan mengaudit kesesuaian antara standar K3
dengan kenyataan implementasi yang di lakukan
di lingkungan kerja. Inspeksi K3 ini bisa
dilakukan per divisi/unit atau bisa juga per all
area yang ada. Dalam melaksanakan inspeksi K3
wajib dibuat dahulu SOP dan formulir
inspeksinya. SOP nya sendiri berisi aturan,
ketentuan dan cara melakukan inspeksi, baik dari
segi apa yang di inspeksi, siapa yang dinspeksi
dan penilaian hasil inspeksi. Untuk formulirnya
sendiri berisi hal-hal apa saja yang akan dinilai
dalam proses inspeksi K3.
Apa yang diaudit di inspeksi K3 yaitu segala hal
yang tertera di PMK Nomor 66 tahun 2016.
d. Higiene dan sanitasi rumah sakit
Rumah Sakit adalah suatu institusi pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,
dan gawat darurat. Rumah sakit dalam
pelayanannya memiliki risiko terjadinya
penularan penyakit, sedangkan menurut
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No. 07/Menkes/SK/III/2019 tentang Kesehatan
Lingkungan Rumah Sakit, dinyatakan bahwa:
“Untuk mencapai pemenuhan standar baku mutu
kesehatan lingkungan dan persyaratan kesehatan
serta melindungi petugas kesehatan, pasien,
pengunjung termasuk masyarakat di sekitar
rumah sakit dari berbagai macam penyakit
dan/atau gangguan kesehatan yang timbul akibat
faktor resiko lingkungan perlu diselenggarakan
kesehatan lingkungan rumah sakit”. Rumah sakit

177
merupakan sarana pelayanan kesehatan, tempat
berkumpulnya orang sakit maupun orang sehat,
atau dapat menjadi tempat penularan penyakit
serta memungkinkan terjadinya pencemaran
lingkungan dan gangguan kesehatan. Untuk
menghindari hal yang tidak menguntungkan
tersebut, maka lingkungan maupun prasarana
rumah sakit perlu dipelihara dengan baik
termasuk juga kebersihan personal seluruh
sumber daya manusia rumah sakit sesuai dengan
persyaratan kesehatan lingkungan.
e. Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, dan Rajin (5 R) di
tempat kerja
Definisi 5R adalah suatu cara atau metode
penataan dan pemeliharaan wilayah kerja secara
intensif. Konsep 5R yang berasal dari Jepang yang
digunakan oleh manajemen dalam usaha
memelihara ketertiban, efisiensi, dan disiplin di
lokasi kerja sekaligus meningkatan kinerja
perusahaan secara menyeluruh.
Penerapkan 5R di tempat kerja bertujuan untuk
meningkatkan budaya disiplin dalam diri pekerja
dan memberikan kemudahan bekerja. Penerapan
5R harus dilakukan secara sistematis dan melalui
pendekatan persuasi karena pada intinya 5R
adalah suatu pembentukan budaya dan moral
seluruh karyawan di dalam organisasi
perusahaan. Penjelasan dan pendekatan kepada
karyawan harus dilakukan secara periodic,
sehingga akan tertanam budaya 5R secara
berkelanjutan. Dengan diterapkannya budaya 5
R, rumah sakit mendapatkan manfaat antara lain:
1) Meningkatkan kepuasan pelanggan; karena
tempat dan lingkungan yang nyaman.
2) Meningkatkan produktivitas karena
pengaturan tempat kerja yang lebih efisien.
3) Meningkatkan kenyamanan karena tempat
kerja selalu bersih dan menjadi lapang.

178
4) Mengurangi bahaya di tempat kerja karena
tempat kerja yang baik.
5) Menambah penghematan karena
menghilangkan berbagai pemborosan di
tempat kerja.
4. Peningkatan kesehatan lingkungan
Untuk mewujudkan kualitas kesehatan lingkungan di
rumah sakit yang menjamin kesehatan baik dari
aspek fisik, kimia, biologi, radioaktivitas maupun
sosial bagi sumber daya manusia rumah sakit,
pasien, pengunjung dan masyarakat di sekitar rumah
sakit. Mewujudkan rumah sakit ramah lingkungan,
sesuai dengan PerMenKes RI nomor 7 Tahun 2019
tentang Kesehatan Lingkungan Rumah sakit.
5. Pengelolaan dan pengolahan limbah padat, cair, gas
Rumah sakit merupakan penghasil limbah klinis
terbesar. Berbagai jenis limbah yang dihasilkan di
rumah sakit dan unit-unit pelayanan medis
membahayakan dan menimbulkan gangguan
kesehatan bagi penunggu dan terutama petugas yang
menangani limbah tersebut.
6. Pencegahan dan penanggulangan bencana (Disaster
program)
Rumah sakit memegang peranan utama dalam
kesiapan penanggulangan bencana dan dalam
menangani korban bencana. Rumah sakit sebagai
rujukan harus siap menangani peristiwa korban
massal. Amanat menyusun rencana penanganan
bencana di rumah sakit tercantum dalam UU Nomor
44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Pasal 29 yang
salah satu poinnya berbunyi bahwa “Rumah sakit
mempunyai kewajiban memiliki sistem pencegahan
kecelakaan dan penanggulangan bencana”.
7. Pengelolaan jasa, bahan dan barang berbahaya
8. Pendidikan dan pelatihan K3
a. Pelatihan & awareness K3

179
b. Prosedur kerja yang aman
c. Tanggung jawab
d. Job Safety Analysis
e. On the job training
f. Rapat K3
g. Keadaan darurat & P3K
h. P2K3
9. Sertifikasi dan kalibrasi sarana, prasarana, dan
peralatan RS
10. Pengumpulan, pengolahan dan pelaporan K3
Pencatatan dan pelaporan merupakan suatu kegiatan
pendokumentasian kegiatan K3 secara tertulis dari
masing-masing unit kerja rumah sakit. Kegiatan
K3RS secara keseluruhan yang dilakukan oleh
organisasi K3RS, yang dikumpulkan dan dilaporkan
oleh organisasi K3RS, ke Direktur Rumah Sakit.
Pemantauan dan Evaluasi Kinerja
Pemantauan adalah salah satu cara pengawasan yang
dapat menggambarkan kondisi berjalannya suatu system
manajemen K3 pada waktu tertentu, sedangkan evaluasi
adalah melakukan pengukuran terhadap aktivitas yang
akan digunakan untuk tindak lanjut berikutnya.
Laporan pemantauan lingkungan kerja dilakukan dengan
cara:
1. Penyehatan lingkungan rumah sakit dilakukan setiap
triwulan secara berjenjang.
2. Pemantauan kualitas udara ruang minimal 2 kali
dalam setahun.
3. Pemantauan bahan makanan dilakukan minimal 1
kali setiap bulan diambil sampel untuk konfirmasi
laboraturium.
4. Tenaga kerja diperiksa kesehatannya 1 kali setahun.
5. Pemeriksaan air minum dan air bersih dilakukan 2
kali setahun.

180
6. Perbaikan tangga dilengkapi karet anti terpeleset,
pintu dan tangga darurat.
7. Penyempurnaan pengolahan limbah.
8. Pemasangan detektor asap.
9. Pemasangan alat komunikasi.
10. Perbaikan dan penyempurnaan ventilasi dan
pencahayaan.
Laporan karyawan meliputi:
1. Inventarisasi seluruh karyawan beserta tempat kerja.
2. Laporan karyawan yang sakit kronis.
3. Jumlah kunjungan karyawan yang berobat di Poli.
4. Usulan medikal check-up untuk karyawan yang
sering sakit (absensi).
5. Usulan skrining test untuk pegawai yang bekerja di
tempat risiko tinggi (Instalasi Gawat Darurat, dapur,
laundry dan laboratorium).
6. Usulan vaksinasi pegawai terutama yang bekerja di
tempat risiko tinggi.
7. Usulan pelatihan K3 diluar dan didalam Rumah Sakit.
8. Usulan pembelian Alat Pelindung Diri (topi, masker,
pakaian kerja, sepatu dan sarung tangan).
Evaluasi kinerja dapat dilakukan dengan:
1. Inspeksi dan audit program K3.
2. Perbaikan dan pengendalian K3 yang didasarkan atas
hasil temuan dari audit dan inspeksi.
3. Rekomendasi dan tindak lanjut hasil evaluasi program
K3.
Peninjauan dan Peningkatan Kinerja SMK3
Menjamin kesesuaian dan efektifitas penerapan SMK3,
rumah sakit melakukan peninjauan dan peningkatan
kinerja SMK3 melalui Rapat Tinjauan Manajemen (RTM)
secara berkala 1 tahun sekali di awal tahun, yang dihadiri
oleh seluruh manajer. Peninjauan dan peningkatan
kinerja K3 dilakukan dengan meninjau ulang dari evaluasi
penerapan SMK3, tujuan, sasaran dan kinerja K3, serta

181
hasil temuan audit interal SMK3 di RS untuk melakukan
tahap perbaikan dan peningkatan kinerja. Guna
pencapaian tujuan SMK3 pengusaha dan/atau pengurus
perusahaan atau tempat kerja harus:
1. Melakukan tinjauan ulang terhadap penerapan SMK3
secara berkala;
2. Tinjauan ulang SMK3 harus dapat mengatasi
implikasi K3 terhadap seluruh kegiatan, produk
barang dan jasa termasuk dampaknya terhadap
kinerja perusahaan.
Tinjauan ulang penerapan SMK3, paling sedikit
meliputi:
a. Evaluasi terhadap kebijakan K3.
b. Tujuan, sasaran dan kinerja K3.
c. Hasil temuan audit SMK3
d. Evalusi efektifitas penerapan SMK3 dan
kebutuhan pengembangan.
Perbaikan dan peningkatan kinerja dilakukan
berdasarkan pertimbangan, sebagai berikut:
1. Perubahan peraturan perundang-undangan.
2. Tuntutan dari pihak yang terkait dan pasar.
3. Perubahan produk dan kegiatan perusahaan.
4. Perubahan struktur organisasi perusahaan.
5. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
termasuk epidemiologi.
6. Hasil kajian kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
7. Adanya pelaporan.
8. Adanya saran dari pekerja atau buruh.
Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Rumah Sakit (SMK3RS) atau K3 Rumah Sakit dapat
berjalan dengan baik apabila seluruh komponen rumah
sakit yang mencakup pimpinan sampai dengan staf
pelaksana mempunyai komitmen, pemahaman, perhatian
dan kesadaran, yang menjadi budaya dalam
melaksanakan kesehatan dan keselamatan kerja di
rumah sakit.

182
Daftar Pustaka
Laraspati, Angga, (2021). "Kemnaker: Aspek K3 Harus
Jadi Prioritas Tingkatkan Produktivitas Kerja"
selengkapnya https://news.detik.com/berita/d-
5822839/kemnaker-aspek-k3-harus-jadi-prioritas-
tingkatkan-produktivitas-kerja.diunduh tanggal 4
April 2022.
Republik Indonesia. (1970). Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan
Kerja. Sekretariat Negara. Jakarta.
Ramli, S. (2009). Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja OHSAS 18001.Seri 1, Jakarta: Dian
Rakyat.
Republik Indonesia, (2010). Undang-undang Republik
Indonesia No 44 tahun 2010 tentang Rumah Sakit.
Sekretaiat Negara. Jakarta.
Republik Indonesia. (2012). Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2012 tentang
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. Jakarta.
Republik Indonesia. (2014). Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan Republik Indonesia No. 26 Tahun
2014 tentang penyelenggaraan penilaian penerapan
sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja.
Sekretariat Negara. Jakarta.
Republik Indonesia (2019). Peraturan Menteri Kesehatan
No 7 Tahun 2019 tentang Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit. Sekretariat Negara. Jakarta.
Soedirman, Suma’mur (2014). Kesehatan Kerja dalam
Prespektif Hiperkes dan Keselamatan Kerja. Jakarta:
Penerbit Erlangga.

183
Profil Penulis
Siti Hani Istiqomah
Penulis memperoleh pendidikan Diploma Tiga
dari Akademi Penilik Kesehatan Teknologi
Sanitasi (APK-TS) Yogyakarta lulus tahun 1988,
Sarjana Kesehatan Masyarakat Universitas
Diponegoro Lulus tahun 2000, pendidikan terakhir penulis
menyelesaikan studi S2 di sekolah pasca sarjana program studi
Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes) Universitas
Gajah Mada Yogyakarta. Memperoleh gelar magister tahun
2007. Saat ini dosen di Jurusan Kesehatan Lingkungan
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta. Aktif di organisasi profesi
Himpunan Ahli Madya Kesehatan Lingkungan Indonesia. Mata
Kuliah yang diampu Sanitasi Permukiman, Ergonomi, Sanitasi
dan K3 Industri, Potensi Bahaya dan Penyakit Akibat Kerja.
Aktif meneliti terkait bidang sanitasi dan bidang Keselamatan
Kesehatan Kerja (K3) Industri informal. Sejak tahun 2008
sampai saat ini sebagai pengelola Sanitasi jurnal Kesehatan
Lingkungan. Kontak penulis dapat melalui telpon/WA
081328028758.
email; sitihani.istiqomah@gmail.com

184
11
HYGIENE SANITASI, HYGIENE
PERUSAHAAN & KESEHATAN
KERJA (HIPERKES)

Novita Fajriyah, S.Kep., Ns., M.Kep.


STIKes Adi Husada Surabaya

Pendahuluan
Kesehatan pekerjaan adalah keadaan tanpa gangguan
fisik dan psikologis karena lingkungan kerja. Risiko
kesehatan dapat terjadi tergantung pada lingkungan yang
ditentukan dan faktor lingkungan kerja yang melebihi
lingkungan, yang menyebabkan stres atau cacat fisik.
Ruang lingkup kesehatan kerja meliputi tindakan
preventif yaitu mencegah dan mengantisipasi terjadinya
kesakitan dengan memelihara kesehatan, serta
pengobatan atau penyembuhan untuk meningkatkan
kesehatan. Lingkungan merupakan bagian dari
kehidupan manusia yang harus dilestarikan untuk
mendukung aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-
hari baik pada saat ini maupun dimasa mendatang.
Lingkungan yang tidak sehat dapat menghambat aktivitas
kehidupan di masyarakat (S Hakkim, 2019). Industri
merupakan salah satu tempat di mana banyak orang
terlibat dalam kegiatan professional untuk menghasilkan
berbagai produk dan jasa. Kebersihan dan kesehatan
lingkungan kerja menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi kesehatan pekerja yang merupakan
indikator kesehatan dan produktivitas kerja. Jaminan
keselamatan kerja dapat diwujudkan dengan mengurangi

185
risiko kecelakaan kerja, hal ini dapat dicapai dengan cara
menerapkan hygiene dan sanitasi, hygiene perusahaan &
kesehatan kerja.
Hygiene Sanitasi
Definisi Hygiene Sanitasi
Hygiene dan Sanitasi merupakan dua faktor utama yang
mempengaruhi kesehatan manusia. Hygiene adalah
seperangkat praktik yang dilakukan untuk menjaga
kesehatan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),
"Hyigiene mengacu pada kondisi dan praktik yang
membantu menjaga kesehatan dan mencegah penyebaran
penyakit. Hygiene bagian dari konsep yang berkaitan
dengan kebersihan, kesehatan dan obat-obatan, serta
praktik perawatan pribadi dan profesional. Hygiene
adalah adalah proses membersihkan suatu lingkungan
dari segala faktor penyakit yang dapat menyebabkan
gangguan kesehatan (S Hakkim, 2019). Sanitasi
merupakan suatu upaya pencegahan penyakit (preventif)
yang kegiatannya berfokus pada kepedulian terhadap
kesehatan lingkungan manusia. Sanitasi adalah
penciptaan lingkungan yang bersih dan higienis serta
berkelanjutan (Bain, Johnston, Mitis, Chatterley, &
Slaymaker, 2018). Undang-undang Kesehatan Nomor 23
Tahun 1992 pasal 22 disebutkan bahwa kesehatan
lingkungan diselenggarakan untuk mewujudkan kualitas
lingkungan yang sehat, yang dapat dilakukan melalui
peningkatan sanitasi lingkungan, baik yang menyangkut
tempat maupun terhadap bentuk atau wujud
substantifnya yang berupa fisik, kimia, atau biologis
termasuk perubahan perilaku (Simanjuntak, 2013).
Proses hygiene dan sanitasi tidak dapat dipisahkan satu
sama lain. Hygiene adalah pemurnian lingkungan dari
mikroorganisme penyebab penyakit, sedangkan sanitasi
adalah tindakan yang diambil untuk pembersihan dan
hygiene. Sebagai contoh yang diberikan oleh Departemen
Kesehatan Republik Indonesia pada Tahun 2004 yaitu
apabila hygiene sudah baik karena seseorang sudah rajin
mencuci tangan, namun sanitasinya tidak mendukung
karena sumber air bersih untuk mencuci tangan tidak

186
tersedia sehingga proses mencuci tangan tidak dapat
dilakukan dengan baik (Depkes RI, 2004).
Manfaat Hygiene Sanitasi
Manfaat jika masyarakat dapat menjaga sanitasi dengan
baik adalah tersedia air bersih dan air minum yang cukup
serta memenuhi syarat kesehatan, pembuangan limbah
dan kotoran yang sesuai dan memenuhi syarat kesehatan
dan pembuangan sampah pada tempat yang sesuai dan
telah memenuhi syarat kesehatan. Sanitasi yang aman
merupakan hak asasi manusia – penting untuk
pemenuhan hak anak dan pencapaian kesejahteraan fisik,
mental dan sosial yang baik – yang diakui sebagai hak
khusus oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
pada tahun 2015 (United Nations Children’s Fund (UNICEF)
and the World Health Organization (WHO), 2020).
Penerapan hygiene sanitasi bagi masyarakat pekerja tidak
hanya memberikan nuansa bersih dan sehat saja,
melainkan mencegah terjadinya kecelakaan kerja di
lingkungan pekerjaan, misalnya di area pengelolaan
bahan makanan atau dapur dimana lokasi tersebut
berpotensi terjadinya kecelakaan kerja seperti
terpeleset/terjatuh, terbakar, dan sebagainya. Penerapan
Hygiene dan Sanitasi di lingkungan akan memberikan
manfaat bagi masyarakat apabila dapat dilaksanakan
dengan baik, antara lain “mencegah terjadinya penyakit
menular, mencegah pencemaran lingkungan, lingkungan
menjadi bersih, sehat dan nyaman, mencegah terjadinya
kecelakaan kerja, menjamin area tempat kerja yang bersih
dan nyaman, dan mengurangi angka kesakitan”.
Ruang Lingkup Hygiene Sanitasi
1. Ruang Lingkup Hygiene
Higiene tidak dapat dipisahkan dari sanitasi, dan
dalam pengelolaan makanan, higiene dan sanitasi
ditangani secara bersama-sama. Kebiasaan gaya
hidup dan bekerja bersih juga banyak membantu
dalam mengelola makanan bersih. Berikut ini beberpa
jenis ruang lingkup hygiene, yaitu:

187
a. Hygiene Perorangan (Personal Hygiene)
Personal Hygiene dapat didefinisikan sebagai
praktik menjaga kebersihan dan meningkatkan
serta menjaga kesehatan tubuh (Al‑Rifaai,
Haddad, & Qasem, 2018). Personal Hygiene
adalah tindakan merawat diri sendiri, juga
mengacu pada tindakan menjaga kebersihan
tubuh dan pakaian seseorang untuk
meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan
secara keseluruhan. Merawat bagian tubuh
seperti rambut, mata, hidung, mulut, gigi, kulit,
ketiak antara lain disebut sebagai personal
hygiene (Nurudeen & Toyin, 2020). Kebersihan
pribadi dapat digambarkan sebagai prinsip
menjaga kebersihan dan perawatan tubuh bagian
luar. Ini melibatkan praktik-praktik yang
dilakukan oleh individu untuk merawat kesehatan
dan kesejahteraan tubuh seseorang, melalui
kebersihan. Kebersihan yang baik adalah
penghalang utama bagi banyak penyakit menular,
yang meliputi penyakit fekal-oral, dan yang
meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan (Tan,
Cheng, Soon, Ghazali, & Mahyudin, 2013).
Menjaga kebersihan tubuh dan tangan sangat
penting untuk mencegah penyebaran infeksi dan
penyakit. Kebiasaan sederhana ini tidak hanya
bermanfaat bagi kesehatan diri sendiri tetapi juga
dapat membantu melindungi orang-orang di
sekitar dalam kehidupan sosial.
b. Hygiene Makanan & Minuman
Makanan dan minuman merupakan kebutuhan
dasar manusia, selalu diperlukan dan harus
ditangani serta dikelola dengan baik dan benar
agar bermanfaat bagi tubuh. Pengelolaan yang
baik dan benar pada dasarnya adalah pengelolaan
makanan dan minuman berdasarkan prinsip
keamanan panganan. Menjaga personal hygiene
terhadap pengelolahan bahan makanan dan
minuman serta menjaga tempat penyimpanan
makanan dan minuman. Memiliki proses

188
penanganan makanan dan minuman yang bersih
dan higienis serta memelihara peralatan dan
perlengkapan yang digunakan untuk menangani
makanan dengan baik. Menjaga keamanan dan
kebersihan makanan dan minuman dalam
kehidupan sehari-hari merupakan salah satu
usaha dalam memelihara kesehatan agar
terhindar dari bahaya penyakit, sehingga perlu
pengelolaan yang baik dan benar berdasarkan
kaidah-kaidah dari prinsip hygiene sanitasi
makanan (Rahmadhani & Sumarmi, 2017).
2. Ruang Lingkup Sanitasi
Sanitasi dasar merupakan sanitasi minimum yang
diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang
sehat yang memenuhi persyaratan kesehatan, dan
berfokus pada pemantauan berbagai faktor
lingkungan yang mempengaruhi status kesehatan
manusia (Ramlan & Sumihardi, 2018). Sanitasi yang
baik merupakan hal mutlak yang harus dipenuhi
untuk memperoleh kehidupan masyarakat yang
sehat. Beberapa upaya sanitasi meliputi:
a. Penyediaan air bersih/air minum (water supply)
Air merupakan komponen vital bagi setiap
organisme hidup di dunia, terutama spesies
manusia. Air sangat erat kaitannya dengan
kesehatan manusia karena air dapat menjadi
mediator penularan penyakit. Untuk memperoleh
air bersih perlu dilakukan pemantauan sumber,
pendistribusian, penyimpanan dan
pemanfaatannya. Penyediaan sumber air bersih
harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat
karena ketersediaan air bersih yang terbatas
memudahkan timbulnya penyakit di masyarakat.
Kebutuhan setiap individu bervariasi dan
tergangung pada kondisi iklim dan kebutuhan
masyarakat. Sumber air bersih dan aman menjadi
sasaran tepat untuk memenuhi kebutuhan
manusia (Khalifa & Bidaisee, 2018).

189
b. Penampungan kotoran manusia (jamban)
Kotoran dan limbah cair merupakan bahan
buangan yang dihasilkan oleh kehidupan
manusia, bersama dengan air hujan sebagai
komponen limbah cair yang dihasilkan secara
alami dari aktivitas alam. Tinja (feces) merupakan
bahan buangan yang dikeluarkan dari tubuh
manusia melalui anus dan merupakan sisa dari
proses system saluran pencernaan makanan
(Palit, Lunniss, & Scott, 2012).Salah satu dari
fasilitas sanitasi yang harus dimiliki oleh sebuah
keluarga adalah fasilitas untuk melakukan
kegiatan buang air besar yang dilengkapi dengan
tangki septik dan tangki resapan. Pentingnya
fasilitas tersebut berhubungan dengan
pelaksanaan pengelolaan limbah tinja yang erat
kaitannya dengan masalah lingkungan dan
kesehatan masyarakat. Ditinjau dari ilmu
kesehatan, kotoran manusia merupakan masalah
yang sangat penting karena jika dibuang secara
tidak benar dapat mencemari lingkungan dan
membahayakan kesehatan manusia.
c. Pengelolaan sampah
Sampah merupakan suatu bahan sisa yang
berasal dari kegiatan sehari-hari manusia dan
atau proses alam yang berbentuk padat.
Pengelolaan sampah yang buruk menyebabkan
pencemaran air, tanah dan atmosfer dan
berdampak besar pada kesehatan masyarakat
(Singh, Saxena, Bharti, & Singh, 2018).
Pengelolaan sampah bukan hanya menyangkut
aspek teknis saja tetapi ada hal-hal penting yang
perlu diterapkan yaitu pengetahuan, kesadaran,
pola pikir dan sikap individu untuk mewujudkan
masyarakat yang ramah lingkungan. Pengelolaan
sampah harus dilakukan secara komprehensif
dan terpadu untuk mewujudkan kesehatan yang
optimal bagi masyarakat, lingkungan yang sehat
dan nyaman, serta merubah pola pikir
masyarakat menjadi lebih baik. Undang-Undang

190
(UU) Nomor 32 tahun 2009 pasal 1 ayat (2)
mendefinisikan Perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan
terpadu yang dilakukan untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan
penegakan hukum. Tujuan keseluruhan dari
lingkungan hidup adalah untuk mencapai
pembangunan yang berkelanjutan dan ramah
lingkungan.
d. Pembuangan air limbah
Air limbah atau air kotoran adalah air yang tidak
bersih dan mengandung berbagai zat yang bersifat
membahayakan kehidupan manusia atau hewan
dan lazimnya muncul karena hasil aktivitas
manusia di industri, rumah sakit dan tempat
kerja lainnya. Air limbah, limbah semi-cair yang
dibuang dari rumah tinggal, industri, pertanian
dan properti komersial berpotensi melepaskan
sejumlah besar kontaminan beracun dan patogen
ke pabrik pengolahan lokal untuk diproses (Singh
et al., 2018).Dalam Materi Bidang Air Limbah I
(Kementerian PU), Sistem pembuangan air limbah
domestik terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu
(Mende, Kumurur, & Moniaga, 2015):
1) Sistem pembuangan setempat (on site system)
adalah fasilitas pembuangan air limbah yang
berada di dalam daerah persil pelayananya
(batas tanah yang dimiliki) Contoh sistem
pembuangan air limbah domestik setempat
adalah sistem cubluk atau septic tank.
2) Sistem pembuangan terpusat (off site system)
adalah sistem pembuangan yang berada di
luar persil. Contoh sistem penyaluran air
limbah yang dibuanag ke suatu tempat
pembuangan (disposal site) yang aman dan

191
sehat dengan atau tanpa pengolahan sesuai
criteria baku mutu dan besarnya limpasan.
Hygiene Perusahaan & Kesehatan Kerja (HIPERKES)
Prinsip Dasar Hygiene Perusahaan dan Kesehatan
Kerja (HIPERKES)
Hygiene perusahaan merupakan suatu bentuk upaya
masyarakat dalam mencegah timbulnya gangguan
penyakit baik secara fisik maupun psikis akibat pengaruh
lingkungan pekerjaan yang ditujukan bagi para
masyarakat pekerja, Menurut Suma’mur (2013)
menyatakan higiene industri adalah spesialisasi dalam
ilmu higiene beserta prakteknya yang lingkup dedikasinya
adalah mengenali, mengukur dan melakukan penilaian
terhadap faktor penyebab gangguan kesehatan atau
penyakit dalam lingkungan kerja dan perusahaan
(Suma’mur, 2013).
Kesehatan kerja merupakan bagian dari ilmu dan praktik
kesehatan yang bertujuan menciptakan kesehatan fisik,
psikis, dan sosial bagi para pekerja/masyarakat dengan
berbagai upaya preventif dam kuratif, agar para
pekerja/masyarakat terhindar dari penyakit dan
gangguan kesehatan yang disebabkan oleh faktor-faktor
pekerjaan di lingkungan kerja maupun gangguan
penyakit lainnya. Kesehatan kerja mengarah pada kondisi
yang bebas dari gangguan fisik maupun psikis yang di
akibatkan oleh lingkungan kerja. Konsep kesehatan kerja
saat ini bukan hanya sebatas kesehatan pada sector
industri saja melainkan lebih kompleks yaitu upaya
kesehatan yang ditujukan bagi seluruh individu dalam
melaksanakan pekerjaannya. Kesehatan kerja terdiri dari
beberapa konteks dimana sasarannya adalah manusia
dan bersifat medis. Sasaran pokok kesehatan kerja ialah
meningkatkan produktivitas kerja serta mencegah
Penyakit Akibat Kerja (PAK) dimana penyakit tersebut
disebabkan oleh pekerjaan atau dilingkungan kerja.
Kesehatan Kerja telah diatur dalam Undang-Undang
Kesehatan No. 23 Tahun 1992 Bagian 6 tentang
Kesehatan Kerja, Pada pasal 23 yang berisi:

192
1. Kesehatan kerja diselenggarakan untuk mewujudkan
produktivitas kerja yang optimal.
2. Kesehatan kerja meliputi perlindungan kesehatan
kerja, pencegahan penyakit akibat kerja, dan syarat
kesehatan kerja.
3. Setiap tempat kerja wajib menyelenggarakan
kesehatan kerja
Hakikat dan Tujuan Penerapan Hygiene Perusahaan
dan Kesehatan Kerja (HIPERKES)
1. Hakikat Hiperkes
a. Sebagai sarana untuk mencapai derajat
kesehatan yang baik bagi para tenaga kerja, baik
buruh, petani, nelayan, pegawai negeri, maupun
pekerja biasa, maka dirancang untuk
kesejahteraan tenaga kerja.
b. Sebagai sarana untuk meningkatkan hasil
produksi yang didasarkan pada tingginya efisiensi
serta daya produktifitas manusia. Oleh sebab itu
hakikat tersebut sesuai dengan maksud dan
tujuan pembangunan di dalam suatu negara,
maka hygiene perusahaan dan kesehatan kerja
harus disertakan dalam kegiatan pembangunan
tersebut.
2. Tujuan Hiperkes
a. Untuk menentukan apakah lingkungan kerja dan
kondisi kerja pekerja berbahaya bagi kesehatan
dan kesejahteraan mereka dan mencegah
terjadinya kondisi tersebut.
b. Untuk mempromosikan kesehatan fisik, mental
dan sosial terbaik dari orang-orang di tempat
kerja.
c. Mencegah penyakit akibat kerja yang disebabkan
oleh agen fisik-kimiawi dan biologis.

193
d. Meningkatkan peeliharaan kesehatan dan gizi
masyarakat pekerja.
e. Meningkatkan motivasi dan kesejahteraan
masyarakat pekerja.
Ruang Lingkup Hygiene Perusahaan dan Kesehatan
Kerja (HIPERKES)
Ruang lingkup hygiene perusahaan dan kesehatan kerja
meliputi pencegahan dan pengendalian bahaya, program
kuratif, preventif dan rehabilitative, serta penyesuaian
alat dan tenaga kerja, yang meliputi:
1. Pembentukan kondisi sanitasi yang baik di tempat
kerja seperti pasokan air, pembuangan limbah,
kantin, ruang ganti, fasilitas mandi dan cuci tangan,
sanitasi dan penyimpanan bahan kimia yang aman.
2. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan termasuk
pertolongan pertama
3. Promosi kesehatan di lingkungan kerja
4. Rehabilitasi mereka yang terluka
5. Pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit dan
kecelakaan kerja
Yang dimaksud dengan ruang lingkup dalam hygiene
perusahaan/industry adalah scope atau area yang
menjadi perhatian atau dilakukan jika ingin
melaksanakan hygiene industry di tempat kerja.
1. Ruang lingkup kegiatan atau aktivitas hygiene
industry
Mencakup kegiatan mengantisipasi, mengenal,
mengevaluasi, dan mengendalikan.
a. Antisipasi (Anticipation)
Antisipasi merupakan kegiatan memprediksi
potensi bahaya dan risiko di tempat kerja yang
berasal dari semua faktor lingkungan dan
aktivitas kerja. Atau tahap awal saat melakukan
penerapan higiene industri/industri di tempat
kerja. Tujuan dari tahap antisipasi ialah:

194
1) Mengenali potensi dan risiko bahaya lebih
awal sebelum menjadi bahaya dan risiko
nyata.
2) Mempersiapkan keperluan yang dibutuhkan
untuk proses tindakan di suatu area yang
akan dikunjungi.
3) Meminimalisir kemungkinan terjadinya risiko
ketika menjalankan suatu tindakan atau
memasuki wilayah (area) tujuan.
b. Pengenalan (Recognition)
Deteksi/pengenalan/rekognisi merupakan
serangkaian kegiatan untuk mengidentifikasi
bahaya secara lebih rinci dan komprehensif,
dengan menggunakan metode yang sistematis
untuk memperoleh hasil yang objektif dan dapat
ditelusuri. Rekognisi ini melakukan pendeteksian
dan pengukuran untuk memperoleh informasi
tentang bahan-bahan baku, bahan pembantu,
produk antara, bahan buangan, hasil produksi,
hasil samping, sisa-sisa produksi, dan keadaan
produksi serta peralatan bantu. Pengenalan
potensi bahaya di tempat kerja dapat dilihat
dengan menggunakan flow cart diagram/diagram
alir proses produksi. Adapun tujuan dari tahap
pengenalan, yaitu:
1) Mengetahui karakteristik suatu risiko atau
bahaya secara komprehensif, yang meliputi
sifat, kandungan, severety, efek, besaran, dan
pola pajanan.
2) Mengetahui sumber penyebab bahaya dan
wilayah yang berisiko.
3) Mengetahui setiap individu atau pekerja yang
memiliki risiko.
c. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi merupakan suatu kegiatan sampling
serta mengobservasi bahaya dengan metode yang
spesifik. Selama tahap penilaian/evaluasi

195
lingkungan, pengukuran, pengambilan sampel
dan analisis dilakukan di laboratorium. Dengan
memahami kondisi lingkungan kerja secara
kuantitatif dan terperinci melalui penilaian
lingkungan dan membandingkan hasil
pengukuran dengan standar yang berlaku,
dimungkinkan untuk menentukan apakah
teknologi kontrol diperlukan dan apakah itu
terkait dengan kecelakaan atau tidak. Manfaat
dari pengukuran dalam evaluasi, yaitu:
1) Mengetahui tingkat keterpaparan dari tenaga
kerja dan adanya tenaga kerja yang terpapar
pada sesuatu faktor bahaya yang melampaui
nilai ambang batas (NAB).
2) Mengetahui adanya potensi bahaya
kecelakaan pada sesuatu alat produksi tanpa
pengaman.
3) Mengetahui efektifitas alat penanggulangan.
4) Membantu diagnosis penyakit akibat kerja.
d. Pengendalian (Control)
Pengendalian atau pengelolaan faktor lingkungan
kerja bertujuan untuk menjaga kesehatan dan
keselamatan kerja, sehingga pekerja bebas dari
ancaman. Masalah kesehatan dan keselamatan
atau pekerja tidak menderita penyakit terkait
tenaga kerja atau kecelakaan terkait tenaga kerja.
Ada beberapa bentuk pengendalian atau
pengontrolan di tempat kerja yang dapat
dilakukan, yaitu:
1) Eliminasi: merupakan upaya mengantisipasi
dan menghilangkan bahaya dari sumbernya
serta menghentikan semua kegiatan para
pekerja di suatu area yang berpotensi bahaya.
2) Subtitusi: Memodifikasi proses untuk
mengurangi emisi debu atau asap dan
mengurangi bahaya, Mengontrol risiko
kesehatan kerja dengan memodifikasi

196
peralatan proses tertentu untuk mengurangi
bahaya, dengan mengubah keadaan fisik
bahan mentah yang diterima untuk diproses
lebih lanjut untuk menghilangkan potensi
bahayanya.
3) Isolasi: Menghilangkan sumber paparan
bahaya dari lingkungan pekerja dengan
meletakkannya di area lain yang aman atau
menjauhkan lokasi kerja yang berpotensi
bahaya dari para pekerja, serta melakukan
sentralisasi kontrol kamar.
4) Engineering control: Mengendalikan bahaya
dengan melakukan modifikasi pada faktor
lingkungan kerja selain pekerja.
5) Administrasi control: Mengandalikan bahaya
dengan melakukan modifikasi pada interaksi
pekerja dengan lingkungan kerja.
6) APD (Alat Pelindung Diri): merupakan langkah
akhir dari hierarki pengendalian.
2. Ruang lingkup Kesehatan Kerja meliputi
a. Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja.
1) Sarana dan Prasarana.
2) Tenaga (dokter pemeriksa kesehatan tenaga
kerja, dokter Perusahaan dan paramedis
Perusahaan).
3) Organisasi (pimpinan Unit Pelayanan
Kesehatan Kerja, pengesahan
penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja).
b. Pelaksanaan Pemeriksaan Kesehatan Tenaga
Kerja.
1) Awal (Sebelum Tenaga Kerja diterima untuk
melakukan pekerjaan).
2) Berkala (sekali dalam setahun atau lebih).

197
3) Khusus (secara khusus terhadap tenaga kerja
tertentu berdasarkan tingkat risiko yang
diterima).
4) Purna Bakti (dilakukan tiga bulan sebelum
memasuki masa pensiun).
c. Pelaksanaan P3K (petugas, kotak P3K dan Isi
Kotak P3K).
d. Pelaksanaan Gizi Kerja.
1) Kantin (50-200 tenaga kerja wajib
menyediakan ruang makan, lebih dari 200
tenaga kerja wajib menyediakan kantin
Perusahaan).
2) Katering pengelola makanan bagi Tenaga
Kerja.
3) Pemeriksaan gizi dan makanan bagi Tenaga
Kerja.
4) Pengelola dan Petugas Katering.
e. Pelaksanaan Pemeriksaan Syarat- Syarat
Ergonomi.
1) Prinsip Ergonomi
a) Antropometrik dan sikap tubuh dalam
bekerja.
b) Efisiensi Kerja.
c) Organisasi Kerja dan Desain Tempat Kerja
d) Faktor Manusia dalam Ergonomi.
2) Beban Kerja
a) Mengangkat dan Mengangkut.
b) Kelelahan.
c) Pengendalian Lingkungan Kerja.
3) Pelaksanaan Pelaporan (Pelayanan Kesehatan
Kerja, Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja
dan Penyakit Akibat Kerja).

198
Faktor Pendukung Hygiene Perusahaan
Adanya faktor pendukung dari berbagai ahli dalam
pelaksanaan komponen yang mendukung penerapan
hygiene industri yang harus bekerja sama di tempat kerja.
Semua komponen perlu berkomunikasi dan saling
mendukung untuk membangun hubungan yang
harmonis. Komponen-komponen tersebut meliputi para
profesional yang bertanggung jawab dan bertanggung
jawab atas keselamatan dan kesehatan lingkungan kerja,
masing-masing dengan fungsi dan peran yang berbeda
yang terdiri dari (Setyaningsih, 2018):
1. Ahli Hygiene Industri (Industrial Higienists)
Ahli higiene industri menggunakan perlengkapan
khusus, yang bertugas untuk memastikan lingkungan
kerja menjadi sehat dan aman dari bahaya akibat
kerja yang dapat menyebabkan sakit dan cedera.
2. Ahli Keselamatan Kerja (Safety Engineer)
Ahli keselamatan kerja adalah orang yang
bertanggung jawab terhadap keselamatan tenaga
kerja dari bahaya yang ada di tempat kerja yang dapat
mengakibatkan terjadinya kecelakaan kerja.
Tujuannya adalah untuk mencegah kerusakan
peralatan atau bahan produksi.
3. Komponen lain
Ahli kedokteran yang kerja di perusahaan yang
merupakan tenaga ahli yang fokus pada kondisi
kesehatan pekerja melalui pendekatan medis, serta
para tenaga kerja sebagai pelaksana kegiatan proses
produksi.

199
Daftar Pustaka
Al‑Rifaai, J. M., Haddad, A. M. Al, & Qasem, J. A. (2018).
Personal hygiene among college students in Kuwait: A
Health promotion perspective. Journal of Education
and Health Promotion, 7(July), 1–9.
https://doi.org/10.4103/jehp.jehp_158_17
Bain, R., Johnston, R., Mitis, F., Chatterley, C., &
Slaymaker, T. (2018). Establishing sustainable
development goal baselines for household drinking
water, sanitation and hygiene services. Water
(Switzerland), 10(12).
https://doi.org/10.3390/w10121711
Depkes RI. (2004). Hygiene Sanitasi Makanan dan
Minuman. Jakarta.
Khalifa, M., & Bidaisee, S. (2018). The Importance of Clean
Water. Biomedical: Journal of Scientific & Technical
Research, 8(5), 1–4.
https://doi.org/10.26717/BJSTR.2018.08.001719
Mende, J. C. C., Kumurur, V. A., & Moniaga, I. L. (2015).
Kajian Sistem Pengelolaan Air Limbah Pada
Permukiman Di Kawasan Sekitar Danau Tondano
(Studi Kasus: Kecamatan Remboken Kabupaten
Minahasa). Sabua, 7(1), 395–406.
Nurudeen, A. S. N., & Toyin, A. (2020). Knowledge of
Personal Hygiene among Undergraduates. Journal of
Health Education, 5(2), 66–71.
https://doi.org/10.15294/jhe.v5i2.38383
Palit, S., Lunniss, P. J., & Scott, S. M. (2012). The
physiology of human defecation. Digestive Diseases
and Sciences, 57(6), 1445–1464.
https://doi.org/10.1007/s10620-012-2071-1
Rahmadhani, D., & Sumarmi, S. (2017). Gambaran
Penerapan Prinsip Higiene Sanitasi Makanan Di PT
Aerofood Indonesia, Tangerang, Banten. Amerta
Nutrition, 1(4), 291.
https://doi.org/10.20473/amnt.v1i4.7141

200
Ramlan, J., & Sumihardi. (2018). Buku Ajar Kesehatan
Lingkungan : Sanitasi Industri dan K3. In Pusat
Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan Badan
Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya
Manusia Kesehatan (pp. 43–95).
S Hakkim, L. (2019). Environmental Health and
Sanitation. International Journal of Trend in Scientific
Research and Development, Volume-3(Issue-3), 912–
915. https://doi.org/10.31142/ijtsrd23107
Setyaningsih, Y. (2018). Buku Ajar Higiene Lingkungan
Industri. Higiene Lingkungan Industri, 268.
Simanjuntak, L. (2013). Sanitasi, Hygiene, dan
Keselematan kerja. (S. Ajun, Ed.).
Singh, J., Saxena, R., Bharti, V., & Singh, A. (2018). The
Importance of Waste Management to Environmental
Sanitation: A Review. Adv. Biores, 9(2), 202–207.
https://doi.org/10.15515/abr.0976-
4585.9.2.202207
Suma’mur, P. (2013). Higiene Perusahaan dan Kesehatan
Kerja (HIPERKES). (Sagung Seto, Ed.). Jakarta.
Tan, S. L., Cheng, P. L., Soon, H. K., Ghazali, H., &
Mahyudin, N. A. (2013). A qualitative study on
personal hygiene knowledge and practices among food
handlers at selected primary schools in Klang valley
area, Selangor, Malaysia. International Food Research
Journal, 20(1), 71–76.
United Nations Children’s Fund (UNICEF) and the World
Health Organization (WHO). (2020). State of the
World’s Sanitation. New York, NY 10017 USA:
Published by UNICEF and WHO.

Profil Penulis

201
Novita Fajriyah
Penulis memulai belajar Ilmu Keperawatan sejak
penulis menempuh pendidikan di Program Studi
S1 Keperawatan-Ners (S.Kep.,Ns.) di STIKes Hang
Tuah Surabaya pada tahun 2017. Penulis
melanjutkan pendidikan S2 Keperawatan (M.Kep.) di
Universitas Airlangga dengan peminatan Keperawatan Medikal
Bedah, lulus tahun 2020. Penulis telah melakukan pelatihan
dalam bidang kesehatan, pada tahun 2018 penulis telah
mengikuti pelatihan HIPERKES dan Keselamatan Kerja Bagi
Paramedis di Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja serta lulus
dalam uji kompetensi di Yogyakarta, pelatihan Sunat Modern
Super Ring oleh Pusat Sunat Modern Super Ring Indonesia &
JR Management di Surabaya tahun 2019, dan pelatihan Basic
Trauma & Cardiac Life Support (BT&CLS) oleh Yayasan
Ambulans Gawat Darurat (YAGD) 118 di STIKes Hang Tuah
Surabaya tahun 2017. Karya tulis yang telah dipublikasikan
terkait tentang Medikal Bedah seperti Modul Intervensi Aerobic
Exercise dan kombinasi Aerobic-Resistance Exercise terhadap
Kebugaran Fisik dan Kualitas Hidup pada Diabetes Mellitus
Tipe 2, serta beberapa judul artikel yang telah dipublikasi di
jurnal Nasional. Saat ini penulis aktif sebagai dosen program
studi keperawatan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Adi
Husada Surabaya dan aktif melaksanakan Tri Dharma
Perguruan Tinggi.
Email Penulis: novitafajriyah22@gmail.com

202
12
HUKUM KETENAGAKERJAAN,
HUKUM KERJA DAN PERATURAN
PERUNDANGAN KESELAMATAN
DAN KESEHATAN KERJA (K3)

Dr. Anis Rifai, S.H., M.H.


Universitas Al Azhar Indonesia

Pendahuluan
Dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 ada peraturan
yang menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki
hak pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Pasal ini menyatakan bahwa negara
menjamin hak setiap orang atas perlindungan dan
kenyamanan dalam melaksanakan tugasnya.
Perlindungan yang dimaksud adalah jaminan perawatan
yang tepat tidak ada diskriminasi atas dasar apapun demi
tercapainya kesejahteraan pekerja dan rumah tangganya,
namun tetap memperhatikan perkembangan zaman dan
usaha serta kepentingan pengusaha. Dalam pelaksanaan
pembangunan nasional, pegawai memiliki peran dan
kedudukan penting sebagai aktor dalam mencapai tujuan
pembangunan. Pekerja adalah aset masyarakat yang
sangat penting dan perlu mendapatkan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) tercatat memiliki risiko tinggi
terhadap keselamatan dan kesehatan kerja. Pekerja
selama mereka bekerja di perusahaan tempat mereka
bekerja memiliki penyebab potensial pembagian kerja

203
antara karyawan dan perusahaan. (Gerry Silaban dan
Salomo Perangin-angin, 2008)
Pengaturan terkait dengan Ketenagakerjaan bertujuan
untuk memperkuat dan mendayagunakan tenaga kerja
dengan sebaik-baiknya dan secara manusiawi,
memberikan perlindungan kepada tenaga kerja sekaligus
mencapai kesejahteraan dan meningkatkan
kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. Hal ini tidak
selalu terjadi pada saat membuat perjanjian atau kontrak,
dan dalam beberapa kasus bentuk/perjanjian hukum
yang disepakati dapat mempersulit pemakainya. (I Made
Udiana, 2011) Intervensi dan campur tangan dari
pemerintah terkait ketenagakerjaan merupakan faktor
yang sangat penting. Dengan campur tangan pemerintah
ini, hukum ketenagakerjaan di bidang hubungan kerja
akan menciptakan situasi yang bisa berjalan efektif dan
kondusif. (I Made Udiana, 2015). Resiko tinggi yang dapat
terjadi adalah ancaman keselamatan kerja adalah alasan
mengapa sangat perlu untuk melindungi pekerja.
Jaminan hak dan kewajiban hukum perburuhan diatur
secara jelas dalam Pasal 86 Undang-Undang No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur bahwa
“Setiap pekerja mendapat perlindungan di bidang
keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan etika.
perlakuan sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta nilai nilai agama”. Ketika pekerjaan
dilakukan secara individu, tidak terlalu sulit untuk
mencegah terjadinya kecelakaan, tetapi berbeda jika
pekerjaan dilakukan secara berkelompok di satu tempat
pada suatu waktu. (Djumadi, 1992)
Secara khusus, di mana perlindungan ketenagakerjaan
difokuskan menjamin adanya sistem kondisi kerja yang
harmonis tanpa tekanan dari yang kuat kepada yang
lemah. (Abdul Khakim, 2007) Bentuk perlindungan
hukum yang diberikan oleh undang-undang
ketenagakerjaan tentunya adalah perlindungan hukum
terhadap pekerjanya, yang mengatur tentang jangka
waktu diberikannya perlindungan hukum tersebut.
Hubungan majikan-majikan adalah hubungan dari mana
hak-hak pribadi dan kewajiban sosial lahir. (I Made

204
Udiana, 2019) Untuk melindungi keselamatan pekerja
dalam melaksanakan pekerjaannya dan untuk mencapai
produktivitas kerja yang signifikan, perusahaan wajib
melaksanakan ketentuan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan melakukan upaya pencegahan
kecelakaan kerja.
Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja, terdapat 3 (tiga) tujuan utama dari
penerapan K3, yakni:
1. Melindungi dan menjamin keselamatan setiap tenaga
kerja dan orang lain di tempat kerja.
2. Menjamin setiap sumber produksi dapat digunakan
secara aman dan efisien.
3. Meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas
Nasional.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sudah menjadi
standar minimum yang wajib diterapkan pada setiap
perusahaan. Keselamatan dan kesehatan kerja
merupakan faktor utama suatu perusahaan dapat
berjalan dengan baik dan optimal, sehingga ketika
perusahaan gagal menerapkannya, maka perusahaan
tersebut akan dianggap tidak layak dan tidak peduli
terhadap keselamatan dan kesehatan pekerjanya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, artikel ini akan
membahas mengenai pengaturan Keselamatan Dan
Kesehatan Kerja (K3) Dalam Hukum Ketenagakerjaan,
Hukum Kerja Dan Peraturan Perundangan.
Pembahasan
Keselamatan kerja (Occupational Safety) secara filosofis
didefinisikan sebagai: pikiran dan usaha untuk menjamin
keutuhan dan integritas fisik dan mental pekerja khusus
dan untuk masyarakat pada umumnya. Keselamatan
kerja berkaitan erat dengan mesin, peralatan, bahan dan
proses pengolahan, dasar tempat kerja dan lingkungan,
serta cara melakukan pekerjaan di tempat kerja.
perusahaan yang berpotensi menimbulkan kecelakaan
kerja. Ini tentang kecelakaan di tempat kerja suatu
kejadian atau kejadian yang merugikan orang atau dalam

205
hal ini pekerja dan dapat merusak harta benda.
(Suma’mur, 1987). Keselamatan kerja adalah tanpa
kecelakaan (Accident) di tempat kerja (Occupational Safety
means free from accident at the place of work). Tujuan
keselamatan kerja adalah: (J.H. Ritonga, 1990)
1. Melindungi pekerja atas haknya atas keselamatan
kerja untuk kepentingan kehidupan dan
meningkatkan produksi dan produktivitas nasional.
2. Menjamin keselamatan semua orang di tempat kerja.
3. Alat-alat produksi disimpan dan digunakan secara
aman dan efisien.
Kesehatan adalah anugrah dan anugrah dari Tuhan Yang
Maha Esa. Oleh karena itu, setiap orang ingin sembuh
dan terbebas dari segala penyakit yang dapat
menyebabkannya. mengganggu segala aktivitas manusia.
Kesehatan adalah keadaan fisik, mental dan sosial
seseorang yang tidak sedang sakit atau bermasalah
dengan perlindungan lingkungan dan kesehatan di
tempat kerja. Kesehatan kerja merupakan bagian dari
perlindungan masyarakat karena berkaitan dengan sosial
kemasyarakatan. Pengusaha memperlakukan pekerjanya
sesuai dengan aturan yang relevan dan melihat pekerja
sebagai ciptaan Tuhan dengan hak asasi manusia. Pekerja
yang menderita masalah kesehatan atau penyakit akibat
kerja lebih mungkin berpotensi untuk terluka di tempat
kerja. Oleh karena itu, peraturan kesehatan kerja
berusaha untuk melindungi pekerja dari insiden atau
kondisi kerja yang membahayakan kesehatan dan moral
pekerja dalam melaksanakan tugasnya. Karyawan tidak
memiliki hubungan kerja Pengusaha tidak memperoleh
perlindungan sosial yang diberikan oleh Undang-Undang
No 13 Tahun 2003 oleh Ketenagakerjaan. Kesehatan di
lingkungan kerja merupakan faktor penting dan harus
diperhitungkan oleh setiap pengusaha. Kesehatan yang
baik dapat menguntungkan baik pekerja maupun
pengusaha karena pekerja cenderung tidak akan
kehilangan pekerjaan dan bekerja di lingkungan yang
nyaman sehingga pekerja tetap dapat bekerja lebih lama.
Kesehatan kerja pada prinsipnya merupakan alat untuk

206
mencapai derajat kesehatan yang lebih baik bagi pekerja
sehingga dapat melakukannya sendiri. Kesehatan kerja
adalah peminatan dalam ilmu kesehatan/kedokteran dan
praktiknya bertujuan untuk menjamin agar pekerja
mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, baik
fisik, mental maupun sosial.
Di tempat kerja, kesehatan pekerja sangat terpengaruh
oleh beberapa faktor diantaranya: (Erni Darmayanti,
2018)
1. Beban kerja berupa tekanan fisik, mental dan sosial
sehingga upaya penempatan tenaga kerja
proporsional dengan pilihannya sedang
dipertimbangkan.
2. Kapasitas kerja yang sangat bergantung pada
pendidikan, keterampilan, kesehatan jasmani,
ukuran tubuh, status gizi dan sebagainya.
3. Lingkungan kerja sebagai beban tambahan, baik
berupa faktor fisik, kimia, biologi, ergonomis dan
psikososial.
Perlindungan Keselamatan dan Kesehatan selama bekerja
adalah program perlindungan dibuat untuk pekerja dan
pengusaha sebagai tindakan pencegahan (Preventif)
untuk timbulnya kecelakaan dan penyakit akibat kerja di
lingkungan kerja. Tujuan utama keselamatan dan
kesehatan kerja adalah untuk menurunkan dan
menghilangkan risiko kecelakaan di tempat kerja (Zero
Accident). Keselamatan dan Kesehatan Pekerjaan (K3)
harus dilaksanakan dan dilakukan di masing-masing
perusahaan siapa yang bertanggung jawab untuk
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah seorang
pimpinan atau manajer atau kepala departemen di tempat
kerja. (Zaeni Asyhadie, 2008)
Di Indonesia sendiri, Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(K3) ini diatur dalam berbagai peraturan sebagai berikut:
1. Undang-Undang
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja.

207
Undang-Undang ini mengatur kewajiban
perusahaan dan pekerja dalam melaksanakan
keselamatan kerja. Dalam Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1970 Tentang
Keselamatan Kerja ada ditetapkan syarat-syarat
keselamatan kerja yaitu:
1) Mencegah, mengurangi dan memadamkan
kebakaran;
2) Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;
3) Memberi kesempatan atau jalan
menyelamatkan diri pada waktu kebakaran
atau kejadian lain yang berbahaya;
4) Memberi pertolongan pada kecelakaan;
5) Memberi alat perlindungan diri kepada para
pekerja;
6) Mencegah dan mengendalikan timbul atau
menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu,
kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin,
cuaca sinar atau radiasi, suara dan getaran;
7) Mencegah dan mengendalikan timbulnya
penyakit akibat kerja baik fisik maupun
phychis, infeksi dan penularan;
8) Memperoleh penerangan yang cukup dan
sesuai;
9) Menyelenggarakan suhu dan lembap udara
yang baik;
10) Menyelenggarakan penyegaran udara yang
cukup;
11) Memelihara kebersihan, kesehatan dan
ketertiban;
12) Memperoleh keserasian antara tenaga kerja,
alat kerja, lingkungan, cara dan proses
kerjanya;

208
13) Mengamankan dan memperlancar
pengangkutan orang, binatang, tanaman atau
barang;
14) Mengamankan dan memelihara segala jenis
bangunan;
15) Mengamankan dan memperlancar pekerjaan
bongkar muat, perlakuan dan penyimpanan
barang;
16) Mencegah terkena aliran listrik yang
berbahaya;
17) Menyesuaikan dan menyempurnakan
pengamanan pada pekerjaan yang bahaya
kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan.
Undang- Undang ini memberi kewajiban bagi
perusahaan untuk memeriksakan kesehatan
badan, kondisi mental, dan kemampuan fisik
pekerja yang baru maupun yang akan
dipindahkan ke tempat kerja baru, sesuai dengan
sifat-sifat pekerjaan yang diberikan kepada
pekerja, serta pemeriksaan kesehatan secara
berkala. Sebaliknya para pekerja juga
berkewajiban memakai alat pelindung diri (APD)
dengan tepat dan benar serta mematuhi semua
syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang
diwajibkan.
c. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Dalam undang-undang ini perlindungan hak
normatif bagi tenaga kerja yaitu diatur dalam Bab
X tentang:
1) Perlindungan
a) Perlindungan Pekerja
b) Perlindungan terhadap Penyandang
Cacat, Perlindungan terhadap Pekerja

209
Anak, dan Perlindungan terhadap Pekerja
Perempuan;
c) Perlindungan Jam Kerja dan Waktu
Istirahat;
d) Perlindungan Mengenai Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3).
2) Pengupahan.
3) Kesejahteraan.
2. Peraturan Pemerintah
a. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973 tentang
Pengawasan Atas Peredaran, Penyimpanan Dan
Penggunaan Pestisida.
b. Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1979 tentang
Keselamatan Kerja Pada Pemurnian Dan
Pengolahan Minyak Dan Gas Bumi.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012
tentang Penerapan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)
3. Peraturan Presiden
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2019 tentang
Penyakit Akibat Kerja
4. Keputusan Presiden
Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 mengenai
penyakit yang timbul akibat hubungan kerja.
5. Peraturan Menteri
a. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
R.I. No. Per.03/MEN/1978 tentang Penunjukan
dan Wewenang, Serta Kewajiban Pegawai
Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan
Ahli Keselamatan Kerja
b. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 4 Tahun
1987 tentang Panitia Pembina Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (P2K3).

210
Dalam Permenaker ini diatur mengenai tata cara
penunjukan Ahli K3 umum ini diatur melalui
Peraturan menteri tenaga kerja Republik
Indonesia No. 4 Tahun 1987, yang berisi tata cara
Penunjukan dan Kewajiban Wewenang Ahli K3.
Setiap tempat kerja dengan kriteria tertentu
pengusaha atau pengurus wajib membentuk
Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (P2K3).
c. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
R.I. No. Per.01/MEN/1980 tentang Keselamatan
dan Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan
d. Peraturan Menteri Tenaga Kerja R. I. No.
Per.02/MEN/1992 tentang Tata Cara
Penunjukan, Kewajiban dan Wewenang Ahli
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
e. Peraturan Menteri Tenaga Kerja R. I. No.
Per.05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).
Dalam Permenaker ini diatur bahwa setiap
perusahaan dengan 100 tenaga kerja atau lebih,
dan atau yang mengandung potensi bahaya
melalui karakteristik proses atau bahan produksi
yang dapat menimbulkan kecelakaan kerja seperti
peledakan, kebakaran, pencemaran lingkungan
dan penyakit akibat kerja.
f. Peraturan Menteri tenaga Kerja R.I. No.
Per.01/MEN/1998 tentang Penyelenggaraan
Pemeliharaan Kesehatan Bagi tenaga Kerja
Dengan Manfaat Lebih dari Paket Jaminan
Pemeliharaan Dasar Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
6. Keputusan Menteri Tentang K3
a. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep.
155/MEN/1984 Tentang Penyempurnaan
Keputusan Menteri Tenaga Dan Transmigrasi
Nomor Kep.125/MEN/82, Tentang Pembentukan,
Susunan Dan Tata Kerja Dewan Keselamatan Dan
Kesehatan Kerja Nasional, Dewan Keselamatan

211
Dan Kesehatan Kerja Wilayah Dan Panitia
Pembina Keselamatan Dan Kesehatan Kerja.
b. Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja Dan
Menteri Pekerjaan Umum No.:
Kep.174/MEN/1986. No.: 104/KPTS/1986
tentang Keselamatan Dan Kesehatan Kerja pada
Tempat Kegiatan Konstruksi.
c. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan
Transmigrasi Republik Indonesia No:
Kep.235/MEN/2003 Tentang Jenis-Jenis
Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan,
Keselamatan Atau Moral Anak.
7. Instruksi Menteri
Instruksi Menteri Tenaga Kerja No.
Ins.11/M/BW/1997 tentang Pengawasan Khusus K3
Penanggulangan Kebakaran
8. Surat Edaran dan Keputusan Dirjen Pembinaan
Hubungan Industrial Dan Pengawasan
Ketenagakerjaan
a. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial Dan Pengawasan
Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja R.I.
No: Kep. 84/BW/1998 Tentang Cara Pengisian
Formulir Laporan dan Analisis Statistik
Kecelakaan
b. Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial dan Pengawasan
Ketenagakerjaan No. Kep.311/BW/2002 tentang
Sertifikasi Kompetensi Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Teknisi Listrik.
Dengan adanya berbagai peraturan yang tersebar dalam
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan Menter,
Keputusan Menteri Tentang K3, Instruksi Menteri, Surat
Edaran dan Keputusan Dirjen Pembinaan Hubungan
Industrial Dan Pengawasan Ketenagakerjaan yang
mengatur mengenai Keselamatan dan Kesehatan Kerja

212
(K3) diharapkan semakin dapat memberikan jaminan bagi
pekerja terkait dengan keselamatan dan kesehatan dari
para pekerja tersebut di tempat kerja sehingga dengan
terjaminnya keselamatan dan kesehatan dari para pekerja
diharapkan dapat memaksimalkan proses produksi dan
memberikan keuntungan bagi perusahaan. Berdasarkan
penjabaran tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
Keselamatan kerja adalah bagian dari proteksi teknis,
yaitu proteksi terhadap pekerja/karyawan agar mereka
tetap aman dari berbagai bahaya yang mungkin
ditimbulkan oleh peralatan atau alat kerja pada tempat
kerja dan kesehatan kerja tugasnya adalah untuk
melindungi pekerja dari insiden atau kondisi kerja yang
berbahaya bagi kesehatan dan integritas pekerja pada
tempat bekerja. Dengan adanya berbagai peraturan yang
tersebar dalam Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan
Menter, Keputusan Menteri Tentang K3, Instruksi
Menteri, Surat Edaran dan Keputusan Dirjen Pembinaan
Hubungan Industrial Dan Pengawasan Ketenagakerjaan
yang mengatur mengenai Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3) diharapkan semakin dapat memberikan
jaminan bagi pekerja terkait dengan keselamatan dan
kesehatan dari para pekerja tersebut di tempat kerja
sehingga dengan terjaminnya keselamatan dan kesehatan
dari para pekerja diharapkan dapat memaksimalkan
proses produksi dan memberikan keuntungan bagi
perusahaan.

213
Daftar Pustaka
Abdul Khakim, 2007, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan
Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 103.
Djumadi, 1992, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Erni Darmayanti, Perlidungan Hukum Terhadap
Pelaksanaan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3)
Pada Perusahaan, Jurnal Cendikia Hukum: Vol. 3, No
2, Maret 2018, hlm. 283-296.
Gerry Silaban dan Salomo Perangin-angin, 2008, Hak Dan
Atau Kewajiban Tenaga Kerja Dan Pengusaha/
Pengurus yang Ditetapkan Dalam Peraturan
Perundangan Keselamatan Dan Kesahatan Kerja,
Medan: USU Press, hlm. 1.
I Made Udiana, 2011, Rekontruksi Pengaturan
Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Asing,
Denpasar: Udayana University Press, hlm.11.
_____________, 2015, Kedudukan dan Kewenangan
Pengadilan Hubungan Industrial, Denpasar: Udayana
University Press, hlm. 52.
_____________, 2019, Industrialisasi &Tanggung Jawab
Pengusaha Terhadap Tenaga Kerja Terlibat Hukum,
Denpasar: Udayana University Press, hlm. 27.
J.H. Ritonga, 1990, Pengetahuan Dasar Keselamatan
Kerja Dan Pencegahan Kecelakaan, Jakarta: CV.
Garut Narisi Corp, hlm. 5.
Suma’mur, 1987, Keselamatan Kerja dan Pencegahan
Kecelakaan, Jakarta: CV. Haji Masagung, hlm. 1.
Zaeni Asyhadie, 2008, Hukum Kerja (Hukum
Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja), Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 104.

214
Profil Penulis
Anis Rifai
Ketertarikan penulis terhadap dunia hukum
dimulai sejak kecil. Hal tersebut membuat Penulis
memilih untuk mengambil Sarjana Ilmu Hukum
(S1) di Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor
pada tahun 2007. Setelah lulus S1 kemudian mengambil
Pendidikan Profesi Advokat dan berkecimpung di dunia hukum
dengan menjadi Advokat sejak tahun 2011. Kemudian tahun
2012 mengambil Magister Hukum (S2) di Universitas Indonesia.
Tidak berhenti sampai disitu, pada tahun 2014 Penulis
melanjutkan pendidikan di jenjang Doktor Ilmu Hukum (S3) di
Universitas Sebelas Maret Surakarta dan lulus sebagai Doktor
Ilmu Hukum pada tahun 2019. Setelah mendapatkan gelar
Doktor, Penulis berkontribusi dalam Tri Dharma Perguruan
Tinggi dengan mengabdi sebagai Dosen Magister Hukum
Universitas Al Azhar Indonesia sejak tahun 2019 sampai dengan
sekarang. Saat ini, sehari-hari Penulis disibukkan
denganberbagi kegiatan sebagai praktisi, akademisi dan
menjadi Ahli Hukum Pidana, Ahli Hukum Perdata, Ahli Hukum
Perusahaan dan Ahli Hukum Kepailitan pada berbagai perkara.
Email Penulis: anizrifai@gmail.com

215
216
13
BAHAYA KERJA DAN FAKTOR
YANG MEMPENGARUHINYA

Lira Mufti Azzahri Isnaeni, S.Kep., M.KKK.


Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Pengertian Bahaya
Murut Ramli (2010) Hazard adalah segala sesuatu yang
termasuk situasi atau tindakan yang berpotensi
menimbulkan kecelakaan atau cedera pada manusia,
kerusakan atau gangguan pada lainnya. Menurut Okleqs
(2008), bahaya adalah sesuatu atau sumber yang
berpotensi menimbulkan cedera atau kerugian baik
manusia, proses, properti dan lingkungan. Bahaya adalah
suatu kondisi atau keadaan pada suatu proses, alat
mesin, bahan atau cara kerja yang secara intrisik atau
alamiah dapat mengakibatkan luka, cidera bahkan
kematian pada manusia serta menimbulkan kerusakan
pada alat dan lingkungan. Bahaya (danger) adalah suatu
kondisi hazard yang terekspos atau terpapar pada
lingkungan sekitar dan terdapat peluang besar terjadinya
kecelakaan atau insiden (Suma’mur, 2013)
Bahaya Kerja
Standar internasional OHS 18001: 2007 menyebutkan
bahwa “Bahaya adalah sumber, situasi atau tindakan
yang berpotensi menciderai manusia atau sakit penyakit
atau kombinasi dari semuanya”. “sakit penyakit sendiri
adalah kondisi kelainan fisik atau mental yang
teridentifikasi berasal dari dan atau bertambah buruk
karena kegiatan kerja” (Darmiatun dan Tasrial, 2015).

217
Jenis Bahaya
Berdasarkan Peraturan Mentri Kesehatan Republik
Indonesia (Permenkes) No. 52/2018 Tentang Keselamatan
dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
terdapat beberapa bahaya yakni:
1. Bahaya Fisika
Bahaya Fisika adalah faktor didalam tempat kerja
yang bersifat fisika antara lain suhu, penerangan,
kebisinggan, getaran, iklim kerja, gelombang
gelombang mikro dan sinar ultra ungu. Faktor-faktor
ini mungkin bagian tertentu yang dihasilkan dari
proses produksi atau produk samping yang tidak
diinginkan. Berikut contoh bahaya fisika dan
dampaknya pada pekerja/pasien.
a. Temperatur/ Suhu lebih dari 200C akan
mengakibatkan ketidaknyamanan pada pasien
dan akan mengakibatkan kedinginan dan flue
b. Pencahayaan lebih 300 lux / kurang akan
mengakibatkan keruusakan pada lensa mata
pekerja/pasien, pasientidak nyaman dan kepala
pusing.
c. Kebisingan >50 dBA akan mengakibatkan
gangguan kenyamanan pasien, petugas
kesehatan merusak pendengaran dan pusing.
d. Radiasi pengion >50 mSv (5000 mrem) /tahun,
non pengion akan mengakibatkan erithema, alergi
hingga mutasi genetic/ gangguan pada jaringan
organ dan mandul.
2. Bahaya Kimia
Risiko kesehatan timbul dari pajanan berbagai bahan
kimia. Banyak bahan kimia yang memiliki sifat
beracun dapat memasuki aliran darah dan
menyebabkan kerusakan pada sistem tubuh dan
organ lainnya. Bahan kimia berbahaya dapat
berbentuk padat, cairan, uap, gas, debu, asap atau
kabut dan dapat masuk ke dalam tubuh melalui tiga
cara utama antara lain:

218
a. Inhalasi (menghirup): Dengan bernapas melalui
mulut atau hidung, zat beracun dapat masuk ke
dalam paru-paru. Seorang dewasa saat istirahat
menghirup sekitar lima liter udara per menit yang
mengandung debu, asap, gas atau uap. Beberapa
zat, seperti fiber/serat, dapat langsung melukai
paru-paru. Lainnya diserap ke dalam aliran darah
dan mengalir ke bagian lain dari tubuh.
b. Mata: mata sangat sensitive terhadap pajanan
toksikan. Bahkan pajanan singkat toksikan dalam
memberi efek local serius pada mata. Selain itu,
toksikan dapat pula diserap oleh pembuluh darah
mata dan disebarkan ke seluruh tubuh.
c. Pencernaan (menelan): Bahan kimia dapat
memasuki tubuh jika makan makanan yang
terkontaminasi, makan dengan tangan yang
terkontaminasi atau makan di lingkungan yang
terkontaminasi. Zat di udara juga dapat tertelan
saat dihirup, karena bercampur dengan lendir
dari mulut, hidung atau tenggorokan. Zat beracun
mengikuti rute yang sama sebagai makanan
bergerak melalui usus menuju perut.
d. Penyerapan ke dalam kulit atau kontak invasif:
Beberapa di antaranya adalah zat melewati kulit
dan masuk ke pembuluh darah, biasanya melalui
tangan dan wajah. Kadang-kadang, zat-zat juga
masuk melalui luka dan lecet atau suntikan
(misalnya kecelakaan medis).
Guna mengantisipasi dampak negatif yang
mungkin terjadi di lingkungan kerja akibat
bahaya faktor kimia maka perlu dilakukan
pengendalian lingkungan kerja secara teknis
sehingga kadar bahan-bahan kimia di udara
lingkungan kerja tidak melampaui nilai ambang
batas (NAB).

219
3. Bahaya Biologi
Bahaya biologi dapat didefinisikan sebagai debu
organik yang berasal dari sumber biologi yang berbeda
seperti: virus, bakteri, dan jamur.

Jenis Bahaya Dampak

Virus krn berkontak Terinfeksi penyakit tersebut.


langsung dengan pasien
Gejala : sakit perut, diare,
yg terinfeksi (Hepatitis B,
mual muntah, dsb
Hepatitis C, Influenza,
HIV, SARS) Meninggal dunia
Bakteri (S.
Saphrophyticus, Bacillus
sp., Porionibacterium sp.,
H.Influenzae,
S.Pneumoniae,
N.Meningitidis,
B.Streptococcus,
Pseudomonas)
Jamur (misal : Candida)
dan Parasit(misal : S.
Scabiei)
Merawat luka
Memasang
infusMemasang chateter

4. Bahaya Ergonomi
Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari manusia
dalam hubungan dengan pekerjaan, dengan segala
aspek dan ruang lingkupnya Pengaturan cara kerja
dapat memiliki dampak besar pada seberapa baik
pekerjaan dilakukan dan kesehatan mereka yang
melakukannya. Semuanya dari posisi mesin
pengolahan sampai penyimpanan alat-alat dapat
menciptakan hambatan dan risiko. Penyusunan
tempat kerja dan tempat duduk yang sesuai harus
diatur sedemikian sehingga tidak ada pengaruh yang
berbahaya bagi kesehatan. Tempat – tempat duduk
yang cukup dan sesuai harus disediakan untuk
pekerja-pekerja dan pekerja-pekerja harus diberi

220
kesempatan yang cukup untuk menggunakannya. Hal
ini juga menciptakan lingkungan kerja yang sehat,
karena mengatur proses kerja untuk mengendalikan
atau menghilangkan potensi bahaya. Tenaga kerja
akan memperoleh keserasian antara tenaga kerja,
lingkungan, cara dan proses kerjanya. Cara bekerja
harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak
menimbulkan ketegangan otot, kelelahan yang
berlebihan atau gangguan kesehatan yang lain. Risiko
potensi bahaya ergonomi akan meningkat, jika:
a. Dengan tugas monoton, berulang atau kecepatan
tinggi;
b. Dengan postur tidak netral atau canggung;
c. Bila terdapat pendukung yang kurang sesuai;
d. Bila kurang istirahat yang cukup.
Penyakit akibat ergonomi:
a. Bursitis
b. Epicondilitis
c. Ganglion Kista
d. Tendinitis
e. Sprain & srain
f. Tennosynovitis
g. Tringger Finger
h. Low Back Pain (LBP) / Nyeri Punggung Belakang
(NPB)
5. Bahaya Psikososial
Bahaya psikososial kerja dapat didefinisikan sebagai
aspek dari desain kerja, organisasi kerja dan
manajemen kerja, serta segala aspek yang
behubungan dengan lingkungan sosial kerja yang
berpotensi dapat menyebabkan gangguan pada
psikologi dan fisik – fisiologi pekerja (Cox & Griffiths,
2002) dalam Research on Work – Related Stress 2002.
Bahaya psikososial (psychosocial hazard) menurut

221
definisi dari International Labour Organization (ILO,
1986) mempunyai pengertian interaksi antara job
content, organisasi kerja dan manajemen, dan
keadaan lingkungan serta organisasi dari satu pihak
dan kompetensi serta kebutuhan pekerja di pihak
lain. Interaksi itu terbukti mempunyai pengaruh yang
berbahaya terhadap kesehatan pekeja melaui persepsi
dan pengalaman pekerja. Potensi bahaya psikososial
di tempat kerja antara lain sebagai berikut:
a. Isi Pekerjaan (Job content) Ada beberapa aspek
yang berbeda dari isi pekerjaan yang berbahaya:
ini termasuk nilai kerja rendah, rendahnya
penggunaan keterampilan, kurangnya variasi
tugas dan pengulangan dalam pekerjaan,
ketidakpastian, kurangnya kesempatan untuk
belajar, tuntutan perhatian yang tinggi, tuntutan
yang saling bertentangan dan tidak mencukupi.
sumber daya (Cox, Griffiths & Rial-González,
2000).
b. Beban Kerja dan Kecepatan Kerja (Work load dan
work pace) Beban kerja didefenisikan sebagai
suatu perbedaan antara kapasistas atau
kemampuan pekerja dengan tuntutan pekerjaan
yang harus dihadapi. Pekerjaan manusia bersifat
mental dan fisik, oleh karena itu tingkat
pembebanan yang didapatkan berbeda-beda.
Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi
beban kerja antara lain faktor eksternal yaitu
tugas-tugas (tasks), organisasi kerja, lingkungan
kerja dan faktor internal seperti jenis kelamin,
umur, ukuran tubuh, persepsi dan sebagainya.
c. Work schedule Bekerja adalah hal yang harus
dilakukan setiap orang untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Banyak pekerjaan yang
dapat dilakukan dengan jam kerja yang berbeda-
beda. Jam kerja, waktu istirahat kerja dan waktu
lembur diatur dalam Undang-Undang tentang
Ketenagakerjaan.

222
d. Pengawasan (Control) Kebebasan mengambil
keputusan dan pengawasan merupakan hal
penting dalam desain pekerjaan dan organisasi
kerja. Pengawasan yang rendah di tempat kerja
atau tidak ada pengawasan – kebebasan
mengambil keputusan rendah – berhungan
dengan stres, kecemasan, depresi, cuek dan
kelelahan, kurang menghargai dan meingkatkan
angka kejadian gangguan sistem kardiovaskuler
(Ganster, 1989; Karasek & Theorell, 1990; Sauter
et al., 1989; Terry & Jimmieson, 1999).
e. Environment & equipment Menurut Ibid (2002)
mendefinisikan fasilitas kerja adalah ketersediaan
fasilitas-fasilitas yang menyenangkan bagi
pegawai misalnya fasilitas tempat ibadah, jaminan
pengobatan, jaminan hari tua dan lain
sebagainya.
f. Budaya organisasi (Organisational culture &
function) Sumber stres yang berkaitan dengan
struktur organisasi dan iklim dapat dihasilkan
dari budaya organisasi dan gaya manajemen
(Cooper & Cartwright, 1994). Kadang-kadang,
hanya bekerja dalam suatu organisasi dapat
dianggap sebagai ancaman terhadap kebebasan
individu, otonomi dan identitas (Hingley & Cooper,
1986).
g. Hubungan interpersonal di tempat kerja
(Interpersonal & relationships at work) Dukungan
sosial dari atasan akan menunjukkan seberapa
baik hubungan antara bawahan dan atasan.
Dukungan sosial dari rekan kerja dimaksudkan
untuk melihat seberapa baik hubungan antar
rekan kerja. Terdapat 4 komponen pada faktor
nilai-nilai di level tempat kerja, yaitu: kepercayaan
terhadap manajemen, saling percaya antar
karyawan, keadilan, dan inklusivitas sosial.
h. Faktor ini menggambarkan kepercayaan dan
keadilan di tempat kerja, seperti kepercayaan
antar karyawan, perilaku karyawan terhadap

223
manajemen, serta kepercayaan antara karyawan
dan manajemen. Kepercayaan terhadap
manajemen berkaitan dengan seberapa besar
kepercayaan pekerja terhadap pihak manajemen
perusahaannya. Saling percaya antar karyawan
menggambarkan kondisi saling percaya antar
para pekerja, seperti apakah mereka saling
membantu tatkala salah satu di antara mereka
membutuhkan bantuan.

224
Jenis Bahaya di Fasyankes Berdasarkan Ruangan

225
226
227
228
229
Pengendalian Bahaya

Gambar Hierarki Pengendalian Risiko K3 dari NIOSH (National


Institute For Occupational Safety and Health)
Berikut penjelasan dari hierarki pengendalian:
1. Eliminasi
Eliminasi merupakan langkah pengendalian yang
menjadi pilihan pertama untuk mengendalikan
pajanan karena menghilangkan bahaya dari tempat
kerja. Namun, beberapa bahaya sulit untuk benar-
benar dihilangkan dari tempat kerja.
2. Substitusi
Subtitusi merupakan upaya penggantian bahan, alat
atau cara kerja dengan alternatif lain dengan tingkat
bahaya yang lebih rendah sehingga dapat menekan
kemungkinan terjadinya dampak yang serius.
Contohnya:
a. Mengganti tensi air raksa dengan tensidigital
b. Mengganti kompresor tingkat kebisingan tinggi
dengan tipe yang kebisingan rendah (tipe
silentkompresor)
3. Pengendalian Teknik
Pengendalian teknik merupakan pengendalian
rekayasa desain alat dan/atau tempat kerja.

230
Pengendalian risiko ini memberikan perlindungan
terhadap pekerja termasuk tempat Kerjanya. Untuk
mengurangi risiko penularan penyakit infeksi harus
dilakukan penyekatan menggunakan kaca antara
petugas loket dengan pengunjung/pasien. Contoh
pengendalian teknik yaitu: untuk meredam suara
pada ruang dengan tingkat bising yang tinggi seperti:
a. Pada poli gigi khususnya menggunakan unit
dental dan kompresor
b. Pada ruang genset
4. PengendalianAdministrasi
Pengendalian administrasi berfungsi untuk
membatasi pajanan pada pekerja. Pengendalian
administrasi diimplementasikan bersamaan dengan
pengendalian yang lain sebagai pendukung. Contoh
pengendalian administrasi diantaranya:
a. Pelatihan/sosialisasi/penyuluhan pada SDM
Fasyankes
b. Penyusunan prosedur kerja bagi SDMF asyankes
c. Pengaturan terkait pemeliharaan alat
d. Pengaturan shift kerja
5. Alat Pelindung Diri
Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dalam
mengendalikan risiko keselamatan dan kesehatan
kerja merupakan hal yang sangat penting, khususnya
terkait bahaya biologi dengan risiko yang paling tinggi
terjadi, sehingga penggunaan APD menjadi satu
prosedur utama di dalam proses asuhan pelayanan
kesehatan.
APD adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan
untuk melindungi seseorang yang fungsinya
mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh sumber
daya manusia dari potensi bahaya di Fasyankes. Alat
pelindung diri tidak mengurangi pajanan dari
sumbernya, hanya saja mengurangi jumlah pajanan
yang masuk ke tubuh. APD bersifat eksklusif (hanya

231
melindungi individu) dan spesifik (setiap alat memiliki
spesifikasi bahaya yang dapat dikendalikan).
Implementasi APD seharusnya menjadi komplementer
dari upaya pengendalian di atasnya dan/atau apabila
pengendalian di atasnya belum cukup efektif.
Jenis-jenis APD yang dapat tersedia di Fasyankes
sesuai dengan kebutuhan sebagai berikut:
a. Penutup kepala (showercap)
b. Kacamata Khusus (safetygoggle)
c. Pelindung wajah (faceshield)
d. Masker
e. Sarung Tangan (hand schoon/sarung tangan
karet)
f. Jas Lab dan Apron (apron/jaslab)
g. Pelindung kaki (safety shoes dan sepatuboots)
h. Coverall

232
Daftar Pustaka
Cox, Griffiths, & Cox, (2002), Work-related stress in nursing:
Controlling the risk to health, working paper
International Labour Office GenevaDr. K. Mohammad
Akib, Sp.Rad, Mars,
Darmiatun, S., Tasrial. (2015). Prinsip-Prinsip K3LH.
Jakarta: Gunung Samudera.
Dkk. (2008). Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi
Di Rumah Sakit Dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Lainnya. Jakarta: Departemen Kesehatan Ri-Cetakan
Kedua.
Harrianto, R (2015), Buku Ajar Kesehatan Kerja, Cetakan 20,
Edited by E, A, Hardiyanti, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta
Ramli, Soehatman. (2010). Sistem manajemen keselamatan
dan kesehatan kerja. Jakarta: Dian Rakyat
Stewart, D. & Simmons, M. (2010). The Business Playground:
Where Creativity and Commerce Collide. Berkeley, AS:
New Riders Press.
Suma'mur. (2013). Higiene perusahaan dan kecelakaan
kerja. Jakarta: Sagung seto.
Rerung, R. R., Fauzan, M., & Hermawan, H. (2020). Website
Quality Measurement of Higher Education Services
Institution Region IV Using Webqual 4.0 Method.
International Journal of Advances in Data and
Information Systems, 1(2), 89-102.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik
Indonesianomor Per.13/Men/X/2011 Tentang Nilai
Ambang Batas Faktor Fisika Dan Faktor Kimia Di
Tempat Kerja.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesianomor 52
Tahun 2018 Tentang Keselamatan Dan Kesehatan Kerja
Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Score. (2013). Keselamatan dan Kesehatan di Tempat Kerja
Sarana Untuk Produktivitas. Jakarta: International
Labour Office.
Tim K3 Ft Uny. (2014). Buku Ajar Keselamatan Dan
Kesehatan Kerja (K3). Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta.

233
Profil Penulis
Lira Mufti Azzahri Isnaeni
Lahir di Bangkinang, 17 September 1990.
Merupakan anak Ke-2 dari Tiga bersaudar yang
lahir dari pasangan Drs. Jalinus Mohd., M.Ed dan
Ratinas. S.Pd. Menikah dengan Riska Rahmatul
Ulfa Amd. Keb. Dikarunai 2 orang anak, Alika
Azzahratu Jannah dan Zaika Qarira Rayna
Azzahra tempat tinggal di Kabupaten Kampar, Prov. Riau. Saat
ini menjadi Dosen tetap di Program Sudi S1 Kesehatan
Masyarakat, Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai.
Menyelesaikan S1 Keperawatan di STIKes Tuanku Tambusai, S2
di Magister Kesehatan dan Keselamatan Kerja Universitas
Airlangga Surabaya.
Penulis memiliki kepakaran dibidang Kesehatan dan
Keselamatan Kerja, penulis memiliki pengalaman kerja di dunia
industri, penulis juga mengikuti berbagai pelatihan untuk
meningkatkan ilmunya. Saat ini penulis selain aktif melakukan
Tridarma perguruan tinggi juga aktif sebagai editorial dan
reviewers dibeberapa jurnal di Indonesia.
Email Penulis: liramuftiazzahri.isnaeni@gmail.com

234
14
SANITASI AIR DAN LIMBAH
PENDUKUNG KESELAMATAN
PASIEN

Khairil Anwar, SKM., M.Kes.


Poltekkes Kemenkes Palembang

Pendahuluan
Air merupakan unsur yang sangat vital bagi kehidupan
makhluk di muka bumi ini. Tanpa makan orang dapat
bertahan hidup sampai 3-6 bulan, namun tanpa air orang
hanya bertahan hidup paling lama 3 hari. Dalam tubuh
manusia terdapat sekitar 50-80 % terdiri dari cairan. Air
digunakan untuk berbagai keperluan diantaranya
minum, mandi, mencuci peralatan rumah tangga,
mencuci pakaian, masak, yang keseluruhannya itu
merupakan kebutuhan pokok selain kebutuhan lainnya.
Keperluan manusia akan air bervariasi sesuai dengan
tempat orang tersebut tinggal. WHO memperhitungkan
bahwa kebutuhan air masyarakat di Negara berkembang
(pedesaan) termasuk di Indonesia di antara 30-60
liter/orang/hari, sedangkan dinegara-negara maju atau
perkotaan memerlukan 60-120 liter/orang/hari. Air yang
dikonsumsi manusia harus bersih yaitu harus bebas dari
bahan pencemaran kimiawi maupun
biologis/bakteriologis. Bersih tidak sama dengan steril,
steril adalah tidak mengandung bahan kimia maupun
biologis/bakteriologis. Air bersih masih mengandung
bahan kimia dan bakteri yang tidak berbahaya misalnya
mineral, beberapa bakteri apatogen/saprofit. Air bersih
merupakan kebutuhan pokok yang mendasar bagi
235
kegiatan di rumah sakit untuk mendukung keselamatan
pasien. Supaya air tidak menjadi masalah kesehatan dan
menjadi penular penyakit, maka air bersih harus
memenuhi persyaratan kualitas. Air yang digunakan
harus memenuhi persyaratan fisik, kimia, mikrobiologi
dan kandungan bahan radioaktivitas sebagaimana telah
ditetapkan dalam peraturan Menteri Kesehatan RI No. 32
tahun 2017 tentang standar baku mutu kesehatan
lingkungan dan persyaratan kesehatan air untuk
keperluan hygiene sanitasi, kolam renang, solus per aqua
dan pemandian umum dan Peraturan Menteri Kesehatan
No. 492 tahun 2010 tentang persyaratan kualitas air
minum. Dalam keputusan Menteri Kesehatan RI No. 07
tahun 2019 tentang Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit,
air minum adalah air yang melalui proses pengolahan
atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat
kesehatan dan dapat langsung diminum.
Sumber penyediaan air minum dan untuk keperluan
rumah sakit berasal dari perusahaan air minum, air yang
didistribusikan melalui tangki air, air kemasan dan harus
memenuhi syarat kualitas air minum. Kualitas air yang
digunakan di ruang khusus seperti, ruang operasi bagi
rumah sakit yang menggunakan air yang sudah diolah
seperti dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM),
sumur bor, dan sumber lain untuk keperluan operasi
dapat dilakukan pengolahan tambahan dengan cartridge
filter dan dilengkapi dengan disinfeksi menggunakan Ultra
Violet (UV). Ruang farmasi dan hemodialisis, air yang
digunakan di ruang farmasi terdiri atas air yang
dimurnikan untuk penyiapan obat penyiapan injeksi dan
pengenceran dalam hemodialisis. Kegiatan pengawasan
kualitas air dengan pendekatan survei yang meliputi:
inspeksi sanitasi terhadap sarana air minum dan air
bersih, pengambilan, pengiriman dan pemeriksaan
sampel air, melakukan analisa hasil inspeksi sanitasi
pemeriksaan laboratorium dan tindak lanjut berupa
perbaikan sarana dan kualitas air. Jumlah kebutuhan air
minum dan air bersih untuk rumah sakit masih belum
dapat ditetapkan secara pasti. Jumlah ini tergantung pada
kelas dan berbagai pelayanan yang ada di rumah sakit
yang bersangkutan. Makin banyak pelayanan yang ada di

236
rumah sakit tersebut, semakin besar jumlah kebutuhan
air. Di lain pihak, semakin besar jumlah tempat tidur,
semakin rendah proporsi kebutuhan air per tempat tidur.
Secara umum, perkiraan kebutuhan air bersih didasarkan
pada jumlah tempat tidur. Sebagai dasar perhitungan
kebutuhan air rumah sakit adalah Kebutuhan minimal air
bersih per-tempat tidur per-hari yaitu sebesar 500 liter.
Oleh karena itu diperlukan tempat-tempat penyimpanan
air bersih (reservoir) di rumah sakit sebagai persediaan
untuk memenuhi kebutuhan selama 24 jam.
Penyakit yang ditularkan melalui Air
Beberapa penyakit yang dapat ditularkan melalui air,
yaitu:
1. Melalui mulut, penularan terjadi karena minum air
yang tidak bersih antara lain:
a. Kolera disebabkan oleh Vibrio Cholera
b. Demam Tipoid oleh Salmonella typhi
c. Disentri basiler oleh Shygella dysentriae, Shygella
flexneri, Shygella boydi, Shygella sonnei
d. Disentri Amuba oleh protozoa Entamoeba
hystolitica
e. Demam paratifoid oleh Salmonella paratyphi,
Salmonella schottmulleri, Salmonella hirschfeldi
f. Tularemia oleh Pasteurella tularensis
g. Poliomielitis akuta oleh virus polio
h. Hepatitis infektiosa oleh virus hepatitis
i. Guenea warm disease (dracuntiasis) disebabkan
oleh cacing gelang dracunculus medimensi
j. Toksik sianobakteria, keracunan akibat toksin
yang dihasilkan oleh bakteri dalam air
2. Melalui Kulit. Penularan terjadi karena kontak
langsung air dengan kulit antara lain:
a. Scabies disebabkan oleh Sarcoptes scabiei
b. Penyakit mata oleh virus

237
Beberapa bahan anorganik/organik yang dapat
menimbulkan masalah kesehatan manusia:
1. Melalui mulut
a. Beberapa logan berat seperti mercury, Pb, As
menimbulkan keracunan
b. Beberapa mineral seperti besi, mangan, tembaga,
calcium dalam jumlah yang besar menimbulkan
gangguan pencernaan
c. Beberapa gas seperti Nitri (Blue baby disease, H2S,
amoniak
d. Bahan organic yang berasal dari dekomposisi
sampah atau sisa makanan
e. Bahan radiasi
2. Melalui kulit
a. Mineral tertentu dapat menimbulkan iritasi kulit
b. Bahan organic juga dapat menimbulkan iritasi
kulit
c. Bahan radiasi
Persyaratan Kesehatan Air
Persyaratan Kesehatan Air di Rumah Sakit untuk
mendukung Keselamatan Pasien mengacu kepada
keputusan Menteri Kesehatan RI No. 07 tahun 2019
tentang Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit antara lain:
1. Air untuk keperluan air minum, untuk higiene
sanitasi, dan untuk keperluan khusus harus
memberikan jaminan perlindungan kesehatan dan
keselamatan pemakainya. Air merupakan media
penularan penyakit yang baik untuk penyebaran
penyakit tular air (water related diseases). Untuk itu
penyehatan air perlu dilakukan dengan baik untuk
menjaga agar tidak terjadi kasus infeksi di rumah
sakit dengan menyediakan air yang cukup secara
kuantitas dan kualitas sesuai parameter yang
ditetapkan.

238
2. Secara kuantitas, rumah sakit harus menyediakan air
minum minimum 5 liter per tempat tidur per hari.
Dengan mempertimbangkan kebutuhan ibu yang
sedang menyusui, penyediaan volume air bisa sampai
dengan 7,5 liter per tempat tidur perhari.
3. Volume air untuk keperluan higiene dan sanitasi
Minimum volume air yang disediakan oleh rumah
sakit pertempat tidur perhari dibedakan antara
rumah sakit kelas A dan B dengan rumah sakit kelas
C dan D, karena perbedaan jenis layanan kesehatan
yang diberikan antar ke dua kelas rumah sakit
a. Rumah sakit harus mempunyai cadangan sumber
air untuk mengatasi kebutuhan air dalam
keadaan darurat.
b. Pemeriksaan air untuk keperluan higiene sanitasi
untuk parameter kimia dilaksanakan setiap 6
(enam) bulan sekali dan untuk parameter biologi
setiap 1 (satu) bulan sekali.
c. Air yang digunakan untuk menunjang operasional
kegiatan pelayanan rumah sakit harus memenuhi
standar baku mutu air yang telah ditentukan.
Pengelolaan Limbah Pelayanan Kesehatan
1. Pendahuluan
Fasilitas pelayanan kesehatan yang meliputi rumah
sakit, pusat kesehatan masyarakat atau puskesmas,
klinik kesehatan atau sejenisnya memiliki peranan
penting sebagai fasilitas publik yang memberikan
pelayanan preventif, kuratif dan atau rehabilitatif.
Limbah pelayanan kesehatan berbeda dengan limbah
dari perusahaan atau limbah rumah tangga pada
umumnya khususnya dari karakteristiknya sehingga
diperlukan upaya pengelolaan yang lebih spesifik.
Namun saat ini, masih buruknya pengelolaan limbah
dari fasilitas pelayanan kesehatan terlihat mulai dari
limbah itu dihasilkan, dikelola hingga pada saat
pembuangan. Permasalahan pengelolaan limbah
khususnya limbah medis menjadi masalah dan
tantangan bagi setiap fasilitas pelayanan kesehatan

239
yang ada. Pasalnya, pengelolaan limbah medis
membutuhkan biaya yang cukup besar dan aturan
yang wajib dipenuhi oleh penghasil limbah sebagai
syarat dari upaya pengelolaan yang ada. Kegiatan di
pelayanan kesehatan menghasilkan berbagai macam
limbah yang berupa benda cair, padat dan gas. Semua
limbah di pelayanan kesehatan adalah limbah yang
dihasilkan dari kegiatan pelayanan dalam bentuk
padat, cair, pasta (gel) maupun gas yang dapat
mengandung mikroorganisme pathogen bersifat
infeksius, alat infus, alat suntik, sarung tangan,
bahan kimia beracun, potongan tubuh dan bahan
yang bersifat radioaktif. Dengan melihat deskripsi
tersebut, limbah yang berasal dari rumah sakit ini
dapat dikategorikan sebagai limbah B3 (limbah bahan
berbahaya dan beracun).Limbah B3 adalah limbah
yang karena sifat dan konsentrasinya, baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat merusak dan
membahayakan kesehatan manusia serta mencemari
lingkungan karena dapat menjadi sangat toksik
melalui proses jenjang rantai makanan dan
magnifikasi biologi.Seperti diketahui bahwa
seharusnya sampah medis tersebut harus
dimusnahkan setelah digunakan, jangan sampai
jatuh ke tangan masyarakat.
2. Tujuan Pengelolaan Limbah pada Fasilitas Pelayanan
Kesehatan
Pengelolaan limbah adalah bagian dari kegiatan
penyehatan lingkungan, sedangkan tujuan
Pengelolaan Limbah pada Fasilitas Pelayanan
Kesehatan yaitu:
a. Melindungi pasien, petugas kesehatan,
pengunjung dan masyarakat sekitar fasilitas
pelayanan kesehatan dari penyebaran infeksi dan
cidera.
b. Membuang bahan-bahan berbahaya (sitotoksik,
radioaktif, gas, limbah infeksius, limbah kimiawi
dan farmasi) dengan aman.

240
Proses Pengelolaan Limbah
1. Pengolahan Limbah Cair
Adanya polutan pada air limbah perlu dihilangkan
untuk melindungi lingkungan dan melindungi
kesehatan masyarakat. Ketika air digunakan oleh
masyarakat, air menjadi terkontaminasi bahan
pencemar. Jika dibiarkan, polutan ini akan
berdampak negatif pada air dilingkungan kita.
Misalnya bahan organic dapat menyebabkan
penipisan oksigen di danau dan sungai. Terjadinya
dekomposisi biologis dari bahan organic dapat
mengakibatkan terbunuhnya akan dan/atau bau
busuk. Penyakit yang ditularkan melalui air dapat
dihilangkan melalui pengolahan air limbah yang tepat.
Selain itu, ada banyak polutan yang dapat
menunjukkan efek toksik pada kehidupan akuatik
dan masyarakat (EFC,2013).
Air limbah sebelum dilepas ke pembuangan akhir
harus menjalani pengolahan terlebih dahulu. Untuk
dapat melaksanakan pengolahan air limbah yang
efektif diperlukan rencna pengelolaan yang baik.
Sistem pengelolaan air limbah yang diterapkan harus
memenuhi persyaratan berikut:
a. Tidak mengakibatkan kontaminasi terhadap
sumber-sumber air minum
b. Tidak mengakibatkan pencemaran air permukaan
c. Tidak menimbulkan pencemaran pada flora dan
fauna yang hidup di air didalam penggunaannya
sehari-hari
d. Tidak dihinggapi oleh vector atau serangga yang
menyebabkan penyakit
e. Tidak terbuka dan harus tertutup
f. Tidak menimbulkan bau atau aroma tidak sedap
g. (Notoatmodjo, 2003)

241
2. Pengolahan limbah rumah sakit melalui tahapan
sebagai berikut:
a. Waste Stabilization Pond System (Kolam Stabilisasi
Air Limbah)
Sistem pengolahan air limbah “kolam stabilisasi”
adalah memenuhi semua kriteria tersebut diatas
kecuali masalah lahan yang diperlukan sebab
untuk kolam stabilisasi memerlukan lahan yang
cukup luas maka biasanya sistem ini dianjurkan
untuk rumah sakit di pedalaman (di luar kota)
yang biasanya masih tersedia lahan yang cukup.
Sistem ini hanya terdiri dari bagian-bagian yang
cukup sederhana, yakni:
1) Pump Sump (pompa air kotor).
2) Stabilization Pond (kolam stabilisasi) biasanya
2 buah.
3) Bak Chlorinasi.
4) Control Room (ruangan untuk kontrol).
5) Inlet.
6) Interconection antara 2 kolam stabilisasi.
7) Outlet dari kolam stabilisasi menuju ke sistem
chlorinasi (bak chlorinasi).
b. Waste Oxidation Ditch Treatment System (kolom
oxidasi air limbah)
Sistem kolam oxidasi ini telah dipilih untuk
pengolahan air limbah rumah sakit yang terletak
di tengah-tengah kota karena tidak memerlukan
lahan yang luas. Kolam oxidasi-nya sendiri dibuat
bulat atau elips dan air limbah dialirkan secara
berputar agar ada kesempatan lebih lama
berkontak dengan oksigen dari udara (aerasi).
Kemudian air limbah dialirkan ke dalam
sedimentation tank untuk mengendapkan benda-
benda pada dan lumpur lainnya. Selanjutnya air
yang sudah nampak jernih dialirkan ke bak
chlorinasi sebelum dibuang ke dalam sungai atau

242
badan air lainnya. Sedangkan lumpur yang
mengendap diambil dan dikeringkan pada Sludge
Drying Bed.
Sistem Oxidation Ditch ini terdiri dari komponen-
komponen sebagai berikut:
1) Pump Sump (pompa air kotor).
2) Sedimentation Tank (bak pengendapan).
3) Chlorination Tank (bak chlorinasi).
4) Sludge Drying Bed (tempat mengeringkan
lumpur biasanya 1 – 2 petak)
5) Control Room (ruang kontrol).
c. Anaerobic Filter Treatment System
Sistem pengolahan air limbah melalui proses
pembusukan anaerobik melalui suatu filter atau
saringan, dimana air limbah tersebut sebelumnya
telah mengalami pre-treatment dengan septic
tank (Inhoff Tank). Dari proses Anaerobic Filter
Treatment biasanya akan menghasilkan effluent
yang mengandung zat-zat asam organik dan
senyawa anorganik yang memerlukan chlor lebih
banyak untuk proses oxidasinya. Oleh sebab itu,
sebelum effluent dialirkan ke Bak Chlorinasi
ditampung dulu pada Bak atau Kolam Stabilisasi
untuk memberikan kesempatan oksidasi zat-zat
tersebut diatas sehingga akan menurunkan
jumlah chlorin yang dibutuhkan pada proses
chlorinasi nanti.
1) Pump Sump (Pompa Air Kotor).
2) Septic Tank (Inhoff Tank).
3) Anaerobic Filter.
4) Stabilization Tank (Bak Stabilisasi).
5) Chlorination Tank (Bak Chlorinasi).
6) Sludge Drying Bed (Tempat Pengeringan
Lumpur).

243
7) Control Room (Ruang Kontrol).
Sesuai dengan debit air buangan dari rumah sakit
yang juga tergantung dari besar kecilnya rumah
sakit atau jumlah tempat tidur maka konstruksi
Anaerobic Filter Treatment System dapat
disesuaikan dengan kebutuhan tersebut,
misalnya:
1) Volume Septic Tank
2) Volume Anaerobic Filter
3) Volume Stabilization Tank
4) Jumlah Chlorination Tank
Proses Pengolahan Limbah Padat pada Fasilitas
Pelayanan Kesehatan
Sampah Rumah Sakit atau pada fasyankes dapat
digolongkan antara lain menurut jenis unit penghasil dan
untuk kegunaan desain pembuangannya. Namun dalam
garis besarnya dibedakan menjadi sampah medis dan non
medis.
1. Sampah Medis
Sampah medis adalah limbah yang langsung
dihasilkan dari tindakan diagnosis dan tindakan
medis terhadap pasien. Termasuk dalam kegiatan
tersebut juga kegiatan medis di ruang polikllinik,
perawatan, bedah, kebidanan, otopsi, dan ruang
laboratorium. Limbah padat medis sering juga disebut
sampah biologis.
Sampah biologis terdiri dari:
a. Sampah medis yang dihasilkan dari ruang
poliklinik, ruang peralatan, ruang bedah, atau
botol bekas obat injeksi, kateter, plester, masker,
dan sebagainya.
b. Sampah patologis yang dihasilkan dari ruang
poliklinik, bedah, kebidanan, atau ruang otopsi,
misalnya, plasenta, jaringan organ, anggota
badan, dan sebagainya.

244
c. Sampah laboratorium yang dihasilkan dari
pemeriksaan laboratorium diagnostik atau
penelitian, misalnya, sediaan atau media sampel
dan bangkai binatang percobaan. Jenis sampah
infeksius ini dibuang ketempat sampah medis
dengan kantong warna kuning seperti di bawah
ini.
2. Sampah Non-medis
Sampah padat non medis adalah semua sampah padat
diluar sampah padat medis yang dihasilkan dari
berbagai kegiatan, seperti berikut:
a. Kantor atau administrasi
b. Unit perlengkapan
c. Ruang tunggu
d. Ruang inap
e. Unit gizi atau dapur
f. Halaman parkir dan taman
g. Unit pelayanan
Selain dibedakan menurut jenis unit penghasil,
sampah rumah sakit dapat dibedakan berdasarkan
karakteristik sampah yaitu:
a. Sampah infeksius: yang berhubungan atau
berkaitan dengan pasien yang diisolasi,
pemeriksaan mikrobiologi, poliklinik, perawatan,
penyakit menular dan lain – lain.
b. Sampah sitotoksik: bahan yang terkontaminasi
dengan radioisotope seperti penggunaan alat
medis, riset dan lain-lain.
c. Sampah domestik: buangan yang tidak
berhubungan dengan tindakan pelayanan
terhadap pasien.
d. Jenis sampah non-medis atau sampah domestik
dimasukkan kedalam tempat sampah khusus
yaitu kantong keresek warna hitam seperti di
bawah ini.

245
Limbah rumah sakit yang terdiri dari limbah cair dan
limbah padat memiliki potensi yang mengakibatkan
keterpajanan yang dapat mengakibatkan penyakit
atau cedera. Sifat bahaya dari limbah rumah sakit
tersebut mungkin muncul akibat satu atau beberapa
karakteristik berikut:
a. Limbah mengandung agent infeksius,
b. Limbah bersifat genoktosik,
c. Limbah mengandung zat kimia atau obat-obatan
berbahaya atau baracun,
d. Limbah bersifat radioaktif,
e. Limbah mengandung benda tajam.
Pengelolaan Sampah
Beberapa tahapan dalam pengelolaan sampah medis dan
B3 antara lain:
1. Minimalisasi Limbah
a. Setiap rumah sakit harus melakukan reduksi
limbah mulai dari sumber
b. Setiap rumah sakit harus mengelola dan
mengawasi penggunaan bahan kimia yang
berbahaya dan beracun;
c. Setiap rumah sakit harus melakukan pengelolaan
stok bahan kimia dan farmasi;
d. Setiap peralatan yang digunakan dalam
pengelolaan limbah medis mulai dari
pengumpulan, pengangkutan dan pemusnahan
harus melalui sertifikasi dari pihak yang
berwenang.
2. Pemilahan Pewadahan, Pemanfaatan Kembali, dan
Daur Ulang:
a. Pemilahan limbah harus dilakukan mulai dari
sumber yang menghasilkan limbah tidak
dimanfaatkan kembali;

246
b. Limbah yang akan dimanfaatkan kebali harus
dipisahkan dari limbah yang tidak dimanfaatkan
kebali;
c. Limbah benda tajam harus dikumpulkan dalam
satu wadah tanpa memperhatikan terkontaminasi
atau tidaknya. Wadah tersebut harus anti bocor,
anti tusuk dan tidak mudah untuk dibuka
sehingga orang yang tidak berkepentingan tidak
dapat membukanya.
3. Pengumpulan, Pengangkutan, dan Penyimpanan
Limbah Medis Padat di Lingkungan Rumah Sakit
a. Pengumpulan limbah medis padat dari setiap
ruangan penghasil limbah menggunakan troli
khusus yang tertutup.
b. Penyimpanan limbah medis padat harus sesuai
iklim tropis yaitu pada musim hujan paling lama
48 jam dan musim kemarau paling lama 24 jam.
4. Pengemasan dan Pengangkutan ke Luar Rumah Sakit
a. Pengelola harus mengumpulkan dan mengemas
pada tempat yang kuat
b. Pengangkutan limbah ke luar rumah sakit
menggunakan kendaraan khusus
5. Pengolahan dan Pemusnahan
a. Limbah medis padat tidak diperbolehkan
membuang langsung ke tempat pembuangan
akhir limbah domestic sebelum aman bagi
kesehatan.
b. Cara dan teknologi pengolahan atau pemusnahan
limbah medis padat disesuaikan dengan
kemanmpuan rumah sakit dan jenis limbah
medis padat yang ada, dengan pemanasan
menggunakan autoklap atau dengan
pembakaran menggunakan insinetaror.

247
Persyaratan Pengelolaan Sampah Non-Medis
1. Pemilahan dan Pewadahan
a. Pewadahan limbah padat non-medis harus
dipisahkan dari limbah medis padat dan
ditampung dalam kantong plastic warna hitam.
b. Tempat pewadahan
1) Setiap tempat pewadahan limbah padat harus
dilapisi kantong plastic warna hitam sebagai
pembungkus limbah padat dengan lambing
“domestic” warna putih
2) Bila kepadatan lalat disekitar tempat limbah
padat melebihi 2 (dua) ekor per-blok grill,
perlu dilakukan pengendalian lalat.
2. Pengumpulan, Penyimpanan, dan Pengangkutan
a. Bila tempat pengumpulan sementara tingkat
kepadatan lalat lebih dari 20 ekor per-blok grill
atau tikus terlihat pada siang hari, harus
dilakukan pengendalian.
b. Dalam keadaan normal harus dilakukan
pengendalian serangga dan binatang pengganggu
yang lain minimal satu bulan sekali.
c. Pengumpulan sampah secara rutin
d. Pengumpulan sampah dari bangsal dilakukan
setiap hari
e. Kantong sampah harus tertutup
f. Semua kontainer dan kantong harus diberi label
g. Kontainer yang penuh harus segera diganti dengan
kontainer atau kantong yang kosong
Sedangkan persyaratan tempat penyimpanan sampah
sementara antara lain:
a. Kedap air, kokoh
b. Drainase baik
c. Mudah dibersihkan

248
d. Jauh dari sumber air bersih
e. Mudah dijangkau petugas
f. Aman dan terkunci
g. Memiliki pencahayaan dan ventilasi yang baik
h. Kedap tikus, serangga dan burung
3. Pengolahan dan Pemusnahan
Pengolahan dan pemusnahan limbah padat non-
medis harus dilakukan sesuai persyaratan kesehatan.

249
Daftar Pustaka
Asosiasi Pendidikan Tinggi Sanitasi Indonesia, (2019).
Kesehatan Lingkungan: Teori dan Aplikasi.
EFC (2013). Waste Management Handbook for Local
Representatives. NYWEA. Syracuse University
Kemenkes RI (2017). Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
32 tahun 2017 tentang standar baku mutu kesehatan
lingkungan dan persyaratan kesehatan air untuk
keperluan hygiene sanitasi, kolam renang, solus per
aqua dan pemandian umum
Kepmenkes RI (2019). Keputusan Menteri Kesehatan RI
No. 07 tahun 2019 tentang Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit
Notoatmojo S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka
Cipta: Jakarta
Permenkes RI (2010). Peraturan Menteri Kesehatan No.
492 tahun 2010 tentang persyaratan kualitas air
minum
Permenkes RI (2010). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2017 Tentang
Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Roshan adhani. 2018. Pengelolaan Limbah Medis
Pelayanan Kesehatan. Lambung Mangkurat
University Press: Banjarmasin
Suyono, dkk. 2010. Ilmu Kesehatan Masyarakat Dalam
Konteks Kesehatan Lingkungan. Penerbit buku
kedokteran. EGC Jakarta
Wulandari, K., & Wahyudin, D., 2018. Buku Ajar
Kesehatan Lingkungan Sanitasi Rumah Sakit. PPSDM
Kemenkes: Jakarta.

250
Profil Penulis
Khairil Anwar
Ketertarikan penulis terhadap ilmu Kesehatan
Lingkungan dimulai pada tahun 2002 silam. Hal
tersebut membuat penulis memilih untuk masuk
ke Sekolah Pembantu Penilik Higiene Palembang
tahun 1993 dan melanjutkan Akademi Kesehatan
Lingkungan di Bandung tahun 2002, lalu melanjutkan S1 ilmu
kesehatan masyarakat di Palembang dan S2 ilmu biomedik BKU
Biologi Kedokteran di Universitas Sriwijaya
Penulis memiliki kepakaran dibidang Sanitasi ilmu kesehatan
lingkungan. Dan untuk mewujudkan karir sebagai dosen
profesional, penulis pun aktif sebagai peneliti dibidang
kepakarannya tersebut. Beberapa penelitian yang telah
dilakukan didanai oleh internal perguruan tinggi. Selain
peneliti, penulis juga mulai aktif menulis buku dengan harapan
dapat memberikan kontribusi positif bagi bangsa dan negara
yang sangat tercinta ini. Atas dedikasi dan kerja keras dalam
menulis buku, semoga dapat memberikan manfaat bagi kita
semua aamiin.
Email Penulis: khairilanwar46@ymail.com

251
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai