Anda di halaman 1dari 218

COVER

BUNGA RAMPAI

DASAR KESEHATAN REPRODUKSI DAN


KESEHATAN KELUARGA
UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta
Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4
Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf
a merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral
dan hak ekonomi.
Pembatasan Pelindungan Pasal 26
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23,
Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku terhadap:
i Penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau
produk Hak Terkait untuk pelaporan peristiwa aktual
yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan
informasi aktual;
ii Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait
hanya untuk kepentingan penelitian ilmu
pengetahuan;
iii Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait
hanya untuk keperluan pengajaran, kecuali
pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan
Pengumuman sebagai bahan ajar; dan
iv Penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan
pengembangan ilmu pengetahuan yang
memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak
Terkait dapat digunakan tanpa izin Pelaku
Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga
Penyiaran.

Sanksi Pelanggaran Pasal 113


1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan
pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa
izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d,
huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
DASAR KESEHATAN REPRODUKSI DAN
KESEHATAN KELUARGA
Yulianti Anwar
Beauty Octavia Mahardany
Ida Ayu Ningrat Pangruating Diyu
Ajeng Hayuning Tiyas
Ni Komang Tri Agustini
Lisa Trina Arlym
Putu Noviana Sagitarini
Rizki Dyah Haninggar
Nursyahraeni Madika Rahman
Natalia Debi Subani
Sherllia Sofyana
Cut Mutiya Bunsal

Penerbit

CV. MEDIA SAINS INDONESIA


Melong Asih Regency B40 - Cijerah
Kota Bandung - Jawa Barat
www.medsan.co.id

Anggota IKAPI
No. 370/JBA/2020
DASAR KESEHATAN REPRODUKSI DAN
KESEHATAN KELUARGA

Yulianti Anwar
Beauty Octavia Mahardany
Ida Ayu Ningrat Pangruating Diyu
Ajeng Hayuning Tiyas
Ni Komang Tri Agustini
Lisa Trina Arlym
Putu Noviana Sagitarini
Rizki Dyah Haninggar
Nursyahraeni Madika Rahman
Natalia Debi Subani
Sherllia Sofyana
Cut Mutiya Bunsal
Editor:
Hairil Akbar

Tata Letak:
Anjar Rahman
Desain Cover:
Manda Aprikasari
Ukuran:
A5 Unesco: 15,5 x 23 cm
Halaman:
vi, 206
ISBN:
978-623-195-221-9
Terbit Pada :
April 2023

Hak Cipta 2023 @ Media Sains Indonesia dan Penulis

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang keras menerjemahkan,


memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit atau Penulis.

PENERBIT MEDIA SAINS INDONESIA


(CV. MEDIA SAINS INDONESIA)
Melong Asih Regency B40 - Cijerah
Kota Bandung - Jawa Barat
www.medsan.co.id
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha


Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga
buku kolaborasi dalam bentuk buku dapat dipublikasikan
dan dapat sampai di hadapan pembaca. Buku ini disusun
oleh sejumlah dosen dan praktisi sesuai dengan
kepakarannya masing-masing. Buku ini diharapkan
dapat hadir dan memberi kontribusi positif dalam ilmu
pengetahuan khususnya terkait dengan “Dasar Kesehatan
Reproduksi dan Kesehatan Keluarga”, buku ini
memberikan nuansa berbeda yang saling
menyempurnakan dari setiap pembahasannya, bukan
hanya dari segi konsep yang tertuang dengan detail,
melainkan contoh yang sesuai dan mudah dipahami
terkait Dasar Kesehatan Reproduksi dan Kesehatan
Keluarga.
Sistematika buku ini dengan judul “Dasar Kesehatan
Reproduksi dan Kesehatan Keluarga”, mengacu pada
konsep dan pembahasan hal yang terkait. Buku ini terdiri
atas 12 bab yang dijelaskan secara rinci dalam
pembahasan antara lain mengenai Prinsip Dasar
Kesehatan Reproduksi; Kesehatan Reproduksi Remaja,
Kesehatan Reproduksi Terpadu; Keluarga Berencana;
Kesehatan Wanita Usia Subur; Kehamilan; Persalinan;
Postpartum; Kesehatan Neonatal, Bayi dan Anak Balita;
Tumbuh Kembang; Menyusui dan ASI Eksklusif; serta
Kesehatan Reproduksi Lansia.
Buku ini memberikan nuansa yang berbeda dengan buku
lainnya, karena membahas berbagai Dasar Kesehatan
Reproduksi dan Kesehatan Keluarga sesuai dengan
update keilmuan. Akhirnya kami mengucapkan terima
kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah
mendukung dalam proses penyusunan dan penerbitan
buku ini, secara khusus kepada Penerbit Media Sains
Indonesia sebagai inisiator buku ini. Semoga buku ini
dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................i
DAFTAR ISI .....................................................................ii
1 PRINSIP DASAR KESEHATAN REPRODUKSI .........1
Pendahuluan ..........................................................1
Konsep Dasar .........................................................2
Definisi Kesehatan Reproduksi ...............................3
Sejarah Perkembangan Kesehatan Reproduksi .......4
Tujuan Kesehatan Reproduksi ................................6
Sasaran Program Kesehatan Reproduksi ................6
Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi ...................7
Kesehatan Reproduksi dalam Siklus
Hidup Perempuan ...................................................8
Faktor–Faktor yang Mempengaruhi
Kesehatan Reproduksi ..........................................10
Masalah Kesehatan Reproduksi ............................11
Hak-Hak Reproduksi ............................................13
2 KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA....................17
Pendahuluan ........................................................17
Definisi Remaja .....................................................18
Tujuan Kesehatan Reproduksi Remaja .................19
Klasifikasi Remaja ................................................20
Masalah Reproduksi Remaja .................................23
Solusi Masalah Kesehatan Reproduksi Remaja .....29
Program Kesehatan pada Remaja..........................30
3 KESEHATAN REPRODUKSI TERPADU..................37
Pengantar Kesehatan Reproduksi Terpadu ...........37

ii
Program Pelayanan Kesehatan
Reproduksi Terpadu .............................................39
Ruang Lingkup Pelayanan Kesehatan
Reproduksi Terpadu .............................................42
Peran dalam Pelaksanaan Pelayanan
Kesehatan Reproduksi Terpadu ............................45
Monitoring dan Evaluasi dalam Pelaksanaan
Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu ...........48
4 KELUARGA BERENCANA .....................................53
Pengertian Keluarga Berencana ............................53
Tujuan Program Keluarga Berencana....................54
Isu Strategis Program Keluarga Berencana ...........55
Peran Tenaga Kesehatan dalam Pelayanan
Keluarga Berencana ..............................................57
Efektivitas Kontrasepsi .........................................60
Standarisasi Pelayanan Kontrasepsi .....................61
Penapisan Kriteria Kelayakan Medis
Menggunakan Kontrasepsi dengan
RODA KLOP ..........................................................64
5 KESEHATAN WANITA USIA SUBUR .....................71
Kesehatan Wanita Usia Subur ..............................71
6 KEHAMILAN .........................................................91
Kehamilan dan Perubahannya ..............................91
Pemeriksaan Kehamilan .....................................103
7 PERSALINAN ......................................................109
Pengertian Persalinan .........................................109
Teori Terjadinya Persalinan.................................109
Faktor yang Mempengaruhi Persalinan ...............111
Tanda yang Mengawali Persalinan ......................116

iii
Macam-Macam Persalinan ..................................117
Tahapan Persalinan Normal ................................ 118
8 POSTPARTUM .....................................................125
Pendahuluan ......................................................125
Tujuan Asuhan Kebidanan pada
Masa Postpartum ................................................126
Kebijakan Program Nasional Kunjungan
Masa Nifas (Postpartum) .....................................126
Perubahan Sistem Reproduksi pada
Masa Postpartum ................................................128
Perubahan Psikologi pada Masa Postpartum ......130
Cara Menyusui dan Perawatan Payudara............132
Perawatan pada Masa Postpartum ......................133
KB Paska Persalinan ...........................................136
9 KESEHATAN NEONATAL, BAYI DAN
ANAK BALITA......................................................141
Kesehatan Neonatal ............................................141
Kesehatan Bayi dan Anak Balita .........................146
10 TUMBUH KEMBANG...........................................157
Pertumbuhan dan Perkembangan.......................157
Pengertian Pertumbuhan ....................................157
Pengertian Perkembangan ..................................158
Perbandingan Antara Pertumbuhan dan
Perkembangan ....................................................158
Prinsip-Prinsip Perkembangan ............................ 159
Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Perkembangan............................ 163
Model Tahap Perkembangan Psikoseksual
Sigmund Freud ...................................................165

iv
Perkembangan Kesehatan Seksual Anak ............167
Memahami Perkembangan Seksual Anak ...........167
11 MENYUSUI DAN ASI EKSKLUSIF........................177
Menyusui ............................................................ 177
ASI Eksklusif ......................................................179
Manajemen Laktasi .............................................188
Manfaat Air Susu Ibu (ASI) .................................190
12 KESEHATAN REPRODUKSI LANSIA ..................193
Latar Belakang Kesehatan Reproduksi Lansia ....193
Perubahan Sistem Reproduksi Lansia.................195
Masalah Kesehatan Reproduksi Lansia ...............199
Penanganan Kesehatan Reproduksi Lansia .........201

v
vi
1
PRINSIP DASAR
KESEHATAN REPRODUKSI

Yulianti Anwar, S.ST., M.Keb.


Poltekkes Kemenkes Mamuju

Pendahuluan
Isu utama kesehatan reproduksi sampai saat ini masih
dalam lingkup kesehatan dan kesejahteraan perempuan.
Oleh karena banyaknya faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan wanita
seperti kemiskinan, pendidikan, penyedia layanan
kesehatan, kekerasan terhadap wanita, konflik
bersenjata, perekonomian, pengambilan keputusan,
mekanisme institusi, pemenuhan hak asasi manusia,
media, lingkungan dan diskriminasi (Ni Komang Yuni
Rahyani, 2012).
Derajat kesehatan reproduksi erat hubungannya dengan
kejadian Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian
Bayi (AKB). Saat ini Indonesia merupakan negara
berkembang dan anggota negara ASEAN yang mempunyai
AKI dan AKB relatif tinggi dibandingkan negara tetangga.
Juga memiliki peringkat AKI dan AKB yang lebih besar
dibandingkan dengan negara–negara berkembang yang
memiliki pendapatan per kapita yang hampir sama (Anita
Widiastuti dkk, 2021).

1
Masalah kesehatan reproduksi di Indonesia pada saat ini
digambarkan dengan angka kejadian anemia pada ibu
hamil yakni tahun 2018 sebesar 48,9% dan angka ini
mengalami kenaikan yang cukup tinggi dibandingkan
dengan hasil Riskesdas 2017 sebesar 41,8% (Rilyani,
2019). Anemia pada ibu hamil yang paling sering terjadi
di Indonesia disebabkan oleh kekurangan zat besi
sebanyak 62,3% sehingga menyebabkan abortus, partus
premature, inersia uteri, partus lama, atonia uteri dan
menyebabkan perdarahan serta syok (Kemenkes RI,
2019).
Konsep Dasar
Pada kesehatan reproduksi setiap orang berhak dalam
mengatur jumlah keluarganya, termasuk memperoleh
penjelasan yang lengkap tentang cara-cara kontrasepsi
sehingga dapat memilih cara yang tepat dan disukai.
Selain itu, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
reproduksi lainyya, seperti pelayanan antenatal,
persalinan, nifas dan pelayanan bagi anak dan kesehatan
remaja juga perlu dijamin (Pulungan et al, 2020).
Kebijakan Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia
menetapkan bahwa kesehatan reproduksi mencakup 5
(lima) komponen atau program terkait, yaitu program
Kesehatan Ibu dan Anak, Program Keluarga Berencana,
Program Kesehatan Reproduksi Remaja, Program
Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular
Seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS dan Program
Kesehatan Reproduksi pada Usia Lanjut. Pelaksanaan
Kesehatan Reproduksi dilaksanakan dengan
menggunakan pendekatan siklus hidup (life cycle
approach) agar diperoleh sasaran yang pasti dan
pelayanan yang jelas berdasarkan kepentingan sasaran
atau klien dengan memperhatikan hak reproduksi mereka
(Mukhoirotin et al., 2022).

2
Definisi Kesehatan Reproduksi
Pengertian kesehatan reproduksi mengalami
penyempurnaan pada konferensi ICPD di Kairo tahun
1994 dan pertemuan international wanita di Beijing 1995,
kedua pertemuan tersebut telah menetapkan definsi
kesehatan reproduksi yang komprehensif yaitu bahwa
kesehatan reproduksi, mencakup kesehatan reproduksi
seksual yang bertujuan untuk meningkatkan kehidupan
dan hubungan personal, bukan hanya konseling dan
perawatan yang berhubungan dengan reproduksi serta
PMS. Hubungan seksual tidak hanya dianggap sebagai
alat untuk bereproduksi, tetapi terdapat makna yang lebih
dalam. Hubungan seksual merupakan komponen penting
untuk meningkatkan kesejahteraan fisik, mental dan
sosial yang utuh dan tidak hanya terbebas dari penyakit
atau ketidakberdayaan (Rahyani Yuni Komang Ni, 2012).
Menurut Wirenviona, 2020 kata reproduksi terdiri atas:
“re” berarti kembali serta “produksi” berarti
menghasilkan. Jika digabungkan, kata reproduksi
merupakan proses dalam kehidupan individu untuk
menghasilkan keturunan demi kelestarian hidupnya.
Adapula pengertian kesehatan reproduksi menurut
Prijatni, 2016 yakni merupakan suatu kondisi sejahtera
secara menyeluruh, baik dari segi fisik dan psikologis
serta sosial dan juga terbebas dari penyakit atau kondisi
kecacatan dalam hal sistem dan fungsi serta proses
reproduksi. Dengan demikian kesehatan reproduksi
adalah bahwa setiap orang dapat menikmati kehidupan
seks yang aman dan menyenangkan dan mereka memiliki
kemampuan untuk bereproduksi serta memiiki
kebebasan untuk menetapkan kapan dan seberapa sering
mereka ingin bereproduksi. (Febriyeni dkk, 2020).

3
Sejarah Perkembangan Kesehatan Reproduksi
Di Indonesia, perkembangan kesehatan reproduksi telah
dimulai sejak terjadinya lonjakan penduduk. Tahun 1960,
organisasi Perkumpulan keluarga Berencana Indonesia
(PKBI) mempromosikan program Keluarga Berencana.
Ternyata program tersebut mendapat dukungan positif
dan dukungan dari berbagai negara, tapi pada tahun
1975–1985 timbul isu mengenai kependudukan karena
program KB tersebut memiliki efek negatif bagi kesehatan.
Oleh karena itu, tahun 1975 berlangsung Konferensi
Perempuan I. dalam konferensi tersebut, dibahas isu – isu
yang terjadi pada perempuan. Pada tahun 1980
dilangsungkan konferensi lanjutan yaitu Konferensi
Perempuan II yang pokok pembahasannya masih sama
dengan konferensi sebelumnya, yaitu tentang isu – isu
yang terjadi pada perempuan. Tahun 1985 berlangsung
Konferensi Perempuan III yang sudah mulai membahas
mengenai isi gender. Setelah itu pada tahun 1990 muncul
pembahasan baru mengenai seksualitas dalam konteks
kesehatan reproduksi perempuan dan Hak Asasi Manusia
(HAM) bagi perempuan.
Adanya kekhawatiran terhadap kesehatan reproduksi
bagi wanita di seluruh dunia, maka dibuatlah konferensi-
konferensi di dunia yang akan membicarakan mengenai
kesehatan perempuan, di antaranya adalah:
1. Konferensi WINA pada tahun 1993
Pertemuan ini membahas tentang perspektif gender
dalam Hak Asasi Manusia (HAM) dan isu-isu
kontroversi tentang hak–hak reproduksi dan seksual
bagi perempuan. Konferensi ini mendeklarasikan Hak
Asasi Manusia, anak dan perempuan yang bersifat
mutlak, terpadu dan merupakan bagian dan HAM.
2. International Conference on Population and
Development (ICPD) pada tahun 1994

4
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
menyelenggarakan International Conference on
Population and Development (ICPD) di Kairo, Mesir.
Konferensi ini membuat kebijakan baru dalam
pembangunan dan kependudukan di seluruh dunia.
Fokus kebijakannya pada upaya penstabilan laju
pertumbuhan penduduk di dunia. Program yang
tercantum dalam ICPD tersebut menyerukan bahwa
setiap negara melakukan upaya peningkatan status
kesehatan, pendidikan dan hak – hak bagi setiap
individu, terutama kaum perempuan dan anak-anak.
Selain itu juga mampu mewujudkan program KB
kedalam program peningkatan kesehatan bagi
perempuan. Dalam progam yang telah di tetapkan
tersebut, ditekankan bahwa layanan kesehatan
reproduksi dilaksanakan secara memadai dan
menyeluruh serta memadukannya dengan program
KB, pelayanan Antenatal Care, persalinan yang aman
serta pencegahan dan pengobatan penyakit Infeksi
Menular Seksual (IMS). Ketersediaan infromasi dan
pelayanan konseling tentang seksualitas serta
pelayanan kesehatan lainnya bagi perempuan. Tidak
hanya itu, daam konferensi tersebut juga disebutkan
bahwa segala bentuk kekerasan pada perempuan di
hapuskan, seperti praktik sunat pada perempuan dan
bentuk kekerasan lainnya.
3. Fourth Word Conference on Women (FWCW) pada
tahun 1995, 14–15 September 1995 di Beijing,
Cina.Konferensi ini menghasilkan 12 Critical Area of
Concern, yaitu: kemiskinan, penddikan dan
pelatihan, kesehatan, kekerasan, konflik bersenjata,
ekonomi, pengambil keputusan, mekanisme
institusional, Hak Asasi Manusia (HAM), media,
lingkungan dan diskriminasi (Ade Tyas Mayasari dkk,
2021).

5
Tujuan Kesehatan Reproduksi
Tujuan program kesehatan reproduksi terbagi menjadi
dua, yaitu:
Tujuan umum: meningkatkan kemandirian dalam
mengatur fungsi dan proses reproduksinya, termasuk
kehidupan seksualitasnya sehingga hak-hak reproduksi
dapat terpenuhi.
Tujuan khusus:
1. Meningkatkan kemandirian wanita dalam
memutuskan peran dan fungsi reproduksinya
2. Meningkatkan hak dan tanggung jawab sosial wanita
dalam menentukan kapan hamil, jumlah dan jarak
antara kelahiran
3. Meningkatkan peran dan tanggung jawab sosia laki –
laki terhadap akibat dan perilaku seksnya. Dukungan
yang menunjang wanita untuk membuat keputusan
yang berkaitan dengan proses reproduksinya (Prijatni,
2016).
Sasaran Program Kesehatan Reproduksi
Sasaran program kesehatan reproduksi, antara lain
adalah:
1. Penurunan angka prevelensi anemia pada wanita
(usia 15–49 tahun)
2. Penurunan Angka Kematian Ibu, semua wanita hamil
mendapatkan akses pelayanan prenatal, persalinan
oleh tenaga terlatih dan kasus kehamilan risiko tinggi
serta kegawatdaruratan kebidanan, dirujuk ke
fasilitas kesehatan.
3. Peningkatan jumlah wanita yang bebas dari
kecacatan/gangguan sepanjang hidupnya sebesar
15% di seluruh lapisan masyarakat

6
4. Penurunan proporsi Bayi Berat Lahir Rendah < 2,5 kg
5. Pemberantasan tetanus neonatorium (angka insiden
diharapkan kurang dari satu kasus per 1000
kelahiran hidup) di semua kabupaten.
6. Semua individu dan pasangan mendapatkan akses
informas dan pelayanan pencegahan kehamilan yang
terlalu dini, terlalu dekat jaraknya, terlalu tua dan
teralu banyak.
7. Proporsi yang memanfaatkan pelayanan kesehatan,
pemeriksaan dan pengobatan PMS minimal mencapai
70%. (Noviana Nana, Rachel Dwi Wilujeng. 2014)
Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi
Ruang lingkup kesehatan reproduksi menurut ICPD
(International Conference on Population and Development)
pada tahun 1994 meliputi 10 hal yakni:
1. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir,
2. Keluarga berencana,
3. Pencegahan dan penanganan infertilitas,
4. Pencegahan dan penanganan kompikasi keguguran,
5. Pencegahan dan penanganan Infeksi Saluran
Reproduksi (ISR), Infeksi Menular Seksual (IMS) dan
HIV AIDS,
6. Kesehatan seksual,
7. Kekerasan seksual,
8. Deteksi dini untuk kanker payudara dan kanker
serviks,
9. Kesehatan reproduksi remaja, serta
10. Kesehatan reproduksi lanjut usia dan pencegahan
praktik yang membahayakan seperti Female Genital
Mutilation (FGM).

7
Melihat luasnya cakupan kesehatan reproduksi,
pelayanan kesehatan reproduksi perlu dilaksanakan
secara terpadu. Hal ini bertujuan untuk dapat
menghilangkan hambatan dan missed opportunity klien
untuk dapat mengakses pelayanan kesehatan reproduksi
yang komprehensif.
Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu diatur melaui
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 97 tahun 2014 yang
dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan pada tiap
tahapan siklus kehidupan yang dimulai dari tahap
konsepsi, bayi dan anak, remaja, usia subur dan usia
lanjut. Pelayanan ini dilaksanakan pada fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama, yang ditujukan
untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan
kesehatan reproduksi melalui upaya promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif (Nurul Hidayatun, Ruly
Prapitasari, 2020).
Kesehatan Reproduksi dalam Siklus Hidup Perempuan
Konsep kesehatan reproduksi menggunakan pendekatan
siklus kehidupan perempuan (life cycle approach) atau
pelayanan kesehatan reproduksi dilakukan sejak dari
janin sampai liang kubur (from womb to tomb) atau biasa
juga disebut dengan “continum of care women cycle”.
Kesehatan reproduksi menggunakan pendekatan
sepanjang siklus kehidupan perempuan hal ini
disebabkan status kesehatan perempuan selama kanak –
kanak dan remaja mempengaruhi kondisi kesehatan saat
memasuki masa reproduksi yaitu saat hamil, bersalin dan
masa nifas.
Hambatan sosial, budaya dan ekonomi yang dialami
sepanjang hidup perempuan merupakan akar masalah
yang mendasar yang menyebabkan buruknya kesehatan
perempuan saat hamil, bersalin dan nifas. Tingkat
pendidikan, kualitas dan kuantitas makanan, nilai dan

8
sikap, sistem kesehatan yang tersedia dan bisa diakses,
situasi ekonomi serta kualitas hubungan seksual
mempengaruhi perempuan dalam menjalankan masa
reproduksinya (Rika Handayani dkk, 2022).
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan yaitu (Prijatni
dan Rahayu, 2016)
1. Masa konsepsi: proses pertemuan sel ovum dan
sperma kemudian menjadi janin akan tumbuh
menjadi morulla, blastula, gastrula, neurulla yang
akhirnya menjadi janin dan dengan terbentuknya
plasenta akan terjadi interaksi antara ibu dan janin.
2. Masa bayi dan anak: masa bayi dan anak adalah masa
pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat,
tumbuh kembang motorik kasar dan motorik halus
akan berjalan dengan baik bila kesehatan bayi dan
anak dalam keadaan prima.
3. Masa remaja: masa remaja pada masa ini terjadi
perubahan fisik dan psikologis. Perubahan fisik yang
terjadi di antaranya adalah tumbuhnya rambut
kemaluan (pubis), buah dada mulai tumbuh
(thelarche), pertumbuhan tinggi badan yang cepat
(maximal growth), mendapatkan haid yang pertama
kali (menarche).
4. Masa reproduksi: masa di mana perempuan
menjalankan tugas kehidupannya yaitu mulai hamil,
melahirkan, masa nifas dan menyusui dan masa
antara yaitu merencanakan jumlah atau jarak anak
dengan menggunakan alat kontrasepsi.
5. Masa Usia Lanjut: masa usia lanjut yaitu masa di
mana hormon estrogen sudah mulai menurun atau
habis. Dengan menurunnya hormon estrogen akan
terjadi perubahan fisik dan psikologis pada
perempuan di antaranya perubahan pada organ
reproduksi, perubahan pada metabolisme tubuh dan
turunnya massa tulang (osteoporosis).

9
Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan
Reproduksi
Menurut Prijatni dan Rahayu, 2016 banyak faktor-faktor
yang mempengaruhi kesehatan reproduksi. Faktor-faktor
tersebut secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi
empat golongan yang dapat berdampak buruk bagi
kesehatan reproduksi, yaitu:
1. Faktor Demografis–Ekonomi
Faktor ekonomi dapat mempengaruhi kesehatan
reproduksi yaitu kemiskinan, tingkat pendidikan yang
rendah dan ketidaktahuan tentang perkembangan
sesksual dan proses reproduksi, usia pertama
melakukan hubungan seksual, usia pertama
menikah, usia pertama hamil. Sedangkan faktor
demografi yang dapat mempengaruhi kesehatan
reproduksi adalah akses terhadap pelayanan
kesehatan, rasio remaja tidak sekolah, lokasi/tempat
tinggal yang terpencil.
2. Faktor Budaya dan Lingkungan
Faktor budaya dan lingkungan yang mempengaruhi
praktik tradisional yang berdampak buruk pada
kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak anak
banyak rezeki, informasi tentang fungsi reproduksi
yang membingungkan anak dan remaja karena saling
berlawanan satu dengan yang lain, padangan agama,
status perempuan, ketidaksetaraan gender,
lingkungan tempat tinggal dan cara bersosialisasi,
persepsi masyarakat tentang fungsi, hak dan
tanggung jawab reproduksi individu, serta dukungan
atau komitmen politik.
3. Faktor Psikologis
Sebagai contoh rasa rendah diri (low self esteem),
tekanan teman sebaya (peer pressure), tindak

10
kekerasan di rumah/lingkungan terdekat dan
dampak adanya keretakan orang tua dan remaja,
depresi karena ketidakseimbangan hormonal, rasa
tidak berharga wanita terhadap pria yang membeli
kebebasan secara materi.
4. Faktor Biologis
Faktor biologis mencakup ketidaksempurnaan organ
reproduksi atau cacat sejak lahir, cacat pada saluran
reproduksi pasca penyakit menular seksual, keadaan
gizi buruk kronis, anemia, radang panggul atau
adanya keganasan pada alat reproduksi.
Masalah Kesehatan Reproduksi
Beberapa masalah dapat terjadi pada setiap tahapan
siklus kehidupan perempuan, di bawah ini diuraikan
masalah yang mungkin terjadi pada setiap siklus
kehidupan (Mandang Jenny dkk, 2014).
1. Masalah Reproduksi
Kesehatan, morbiditas (gangguan kesehatan) dan
kematian perempuan yang berkaitan dengan
kehamilan. Termasuk di dalamnya juga masalah gizi
dan anemia di kalangan perempuan, penyebab serta
komplikasi dari kehamilan, masalah kemandulan dan
ketidaksuburan. Peranan atau kendali sosial budaya
terhadap masalah reproduksi. Maksudnya bagaimana
pandangan masyarakat terhadap kesuburan dan
kemandulan, nilai anak dan keluarga, sikap
masayrakat terhadap perempuan hamil. Intervensi
pemerintas dan negara terhadap masalah reproduksi.
2. Masalah Gender dan Seksualitas
Pengaturan negara terhadap masalah seksualitas.
Maksudnya adalah peraturan dan kebijakan negara
mengenai pornografi, pelacuran dan pendidikan
seksualitas. Pengendalian sosio budaya terhadap

11
masalah seksualitas, bagaimana norma–norma sosial
yang berlaku tentan perilaku seks, homoseks,
poligami dan perceraian. Seksualitas di kalangan
remaja, status dan peran perempuan dan
perlindungan terhadap perempuan pekerja.
3. Masalah Kekerasan dan Perkosaan Terhadap
Perempuan
Kecenderungan penggunaan kekerasan secara
sengaja kepada perempuan perkosaan serta
dampaknya terhadap korban norma sosial mengenai
kekerasan dalam rumah tangga, serta mengenai
berbagai tindak kekerasan terhadap perempuan.
Sikap masyarakat mengenai kekerasan perkosaan
terhadap pelacur. Berbagai langkah untuk mengatasi
masalah-masalah tersebut.
4. Masalah Penyakit yang Ditularkan Melalui Hubungan
Seksual
Masalah penyakit menular seksual yang lama, seperti
sifilis dan gonorhea. Masalah penyakit menular
seksual yang relatif baru seperti chlamydia dan
herpes. Masalah HIV/AIDS (Human
Immunodeficiency Virus/Acqured Immunodeficiency
Syndrome).
5. Masalah Pelacuran
Demografi pekerja seks komersial atau pelacuran.
Faktor– faktor mendorong pelacuran dan sikap
masyarakat terhadap pelacuran. Dampaknya
terhadap kesehatan reproduksi, baik bagi pelacur itu
sendiri maupun bagi konsumennya dan keluarga.
6. Masalah Sekitar Teknologi
Teknologi reproduksi dengan bantuan (inseminasi
buatan dan bayi tabung). Pemilihan bayi berdasarkan
jenis kelamin (gender fetal screening). Pemilihan

12
genetik (genetic screening). Keterjangkauan dan
kesamaan kesempatan. Etika dan hukum yang
berkaitan dengan masalah teknologi reproduksi ini.
Hak-Hak Reproduksi
Hak reproduksi merupakan bagian dari hak asasi
manusia yang melekat pada manusia sejak lahir dan
dilindungi keberadaannya. Sehngga pengekangan
terhadap hak reproduksi berarti pengekangan terhadap
hak asasi manusia.
1. Pengertian Hak Reproduksi
Hak reproduksi secara umum di artikan sebagai hak
yang dimiliki oeh setiap individu baik itu laki-laki
ataupun perempuan yang berkaitan dengan kondisi
reproduksinya.
2. Macam-Macam Hak Reproduksi
Berdasarkan konferensi international kependudukan
dan pembangunan di Kairo 1994, ditentukan ada 12
hak-hak reproduksi:
a. Hak mendapat informasi dan pendidikan
kesehatan reproduksi.
b. Hak mendapat pelayanan dan perlindungan
kesehatan reproduksinya.
c. Hak kebebasan berpikir tentang pelayanan
kesehatan reproduksi.
d. Hak untuk dilindungi dari kematian karena
kehamilan
e. Hak untuk menentukan jumlah anak dan jarak
kelahiran anak
f. Hak untuk kebebasan dan keamanan berkaitan
dengan kehidupan reproduksinya

13
g. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan
perlakuan buruk termasuk perlindungan dari
perkosaan, kekerasan, penyiksaan dan pelecehan
seksual. Remaja laki-laki maupun perempuan
berhak mendapatkan perlindungan dari
kemungkinan berbagai perlakukan buruk di atas
karena akan sangat berpengaruh terhadap
kehidupan reproduksinya.
h. Hak mendapatkan manfaat kemajuan ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan kesehatan
reproduksinya.
i. Hak atas kerahasiaan pribadi berkaiatan dengan
pilihan atas pelayanan dan kehidupan
reproduksinya.
j. Hak untuk membangun dan merencanakan
keluarga.
k. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi
dalam kehidupan berkeluarga dan kehidupan
reproduksi.
l. Hak atas kebebasan berkumpul dan
berpartisipasi dalam politik yang berkaitan
dengan kesehatan reproduksi.

14
Daftar Pustaka
Febriyeni dkk. (2020). Kesehatan Reproduksi Wanita.
Medan: Yayasan Kita Menulis.
Handayani Rika, dkk. (2022). Dasar Kesehatan
Reproduksi. Medan: Yayasan Kita Menulis.
Jaliah Hidayatun Nurul, Prapitasari Ruly. (2020). Buku
Ajar Kesehatan Reproduksi Dan Keluarga Berencana.
Indramayu: CV Adanu Abimata.
Mandang, Jenny, dkk. (2014). Kesehatan Reproduksi dan
Pelayanan Keluarga Berencana. Bogor: In media.
Milman N. (2012). Postpartum Anemia I: Definition,
Prevalence, Causes, And Consequences, Ann Hematol,
90:1247-1253.
Mukhoirotin et al. (2022). Genetika dan Biologi
Reproduksi. Medan: Yayasan Kita Menulis.
Nujulah Lailatul. (2022). Buku Ajar Kesehatan Reproduksi
dan Pelayanan Keluarga Berencana. Malang: Rena
Cipta Mandiri.
Prijatni Ida., Sri Rahayu. (2016). Kesehatan Reproduksi
dan Keluarga Berencana. Jakarta: PUSDIK SDM
Kesehatan Kemenkes.
Pulungan, Pebri Warita., et al. (2020). Teori Kesehatan
Reproduksi. Medan: Yayasan Kita Menulis.
Rahyani Yuni Komang Ni. (2012). Kesehatan Reproduksi
Buku Ajar Bidan. Jakarta: EGC.
Rilyani, D. (2019). Penyuluhan Penyakit Anemia Pada Ibu
Hamil Di Puskesmas” Jurnal Kreativitas Pengabdian
Kepada Masyarakat, 2(1), pp. 83-88.”.
Widiastuti Anita, dkk. (2021). Epidemiologi Kesehatan
Reproduksi. Medan: Yayasan Kita Menulis.
Wirenviona Rima. (2020). Edukasi Kesehatan Reproduksi
Remaja. Surabaya: Airlangga University Press.
Yuliatin. (2018). Kehamilan. Jilid I. Buku Kedokteran.
Jakarta: EGC.

15
Profil Penulis
Yulianti Anwar, S.ST., M.Keb
Lahir di Ujung Pandang pada tanggal 08 Juli 1987.
Penulis merupakan anak pertama dari dua
bersaudara pasangan H. Anwar, S. Pd (Ayah) dan
Dra. Hj. Norma Ali, M. Si (Ibu). Ketertarikan
penulis terhadap ilmu kebidanan dimulai pada
tahun 2004 silam. Hal tersebut membuat penulis
memilih untuk masuk ke kampus Kejuruan di
Akademi Kebidanan Muhammadiyah Makassar dengan memilih
Jurusan ilmu kebidanan dan berhasil lulus pada tahun 2008.
Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang
selanjutnya pada tahun yang sama yakni tahun 2008 dan
berhasil menyelesaikan studi selama 1 tahun di DIV Bidan
Pendidik Politeknik Kesehatan Kementerian kesehatan
Makassar tahun 2009. Kemudian pada tahun 2018 penulis
melanjutkan pendidikan tingkat magister dan menyelesaikan
studi S2 Ilmu Kebidanan di Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Hasanuddin Makassar pada tahun 2020. Setelah
menyelesaikan pendidikan DIV penulis bekerja di Akademi
Kebidanan Minasa Upa Makassar kurang lebih satu tahun
mulai tahun 2009 sampai 2010.Setelah itu terangkat jadi ASN
di Poltekkes Kemenkes Mamuju mulai tahun 2010 sampai
sekarang. Penulis memiliki kepakaran dibidang ilmu
kebidanan. Dan untuk mewujudkan karir sebagai dosen
profesional, penulis pun aktif sebagai peneliti di bidang
kepakarannya tersebut. Beberapa penelitian yang dilakukan
didanai oleh BPPSDM.
Email Penulis: fadiyah_fadillah@yahoo.co.id

16
2
KESEHATAN REPRODUKSI
REMAJA

Beauty Octavia Mahardany, S.Keb., M.P.H.


Poltekkes Kemenkes Mamuju

Pendahuluan
Menurut World Health Organization (WHO), Kesehatan
reproduksi adalah suatu keadaan dari segi fisik, mental
dan sosial yang sejahtera. Kesehatan reproduksi bersifat
utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau
kecacatan dalam suatu yang berkaitan dengan sistem
reproduksi, fungsi dan prosesnya (Meilan, Maryanah, &
Follona, 2018). Remaja adalah salah satu kelompok
masyarakat yang memerlukan perhatian khusus dalam
bidang kesehatan reproduksi. Hal ini dikarenakan remaja
adalah kelompok yang rentan terhadap penyalahgunaan
sikap dan perilaku menyimpang dari konsep-konsep
kesehatan reproduksi (Mayasari & Febriyanti, 2021).
Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak - anak
menjadi dewasa dan terjadi perubahan-perubahan bentuk
dan fungsi tubuh terjadi dalam waktu relatif cepat. Hal ini
ditandai dengan berkembangnya tanda seks sekunder dan
berkembangnya jasmani secara pesat, menyebabkan
remaja secara fisik mampu melakukan fungsi proses
reproduksi tetapi belum dapat mempertanggung
jawabkan akibat dari proses reproduksi tersebut (Prijatni
& Rahayu, 2016). Beberapa sifat remaja yang

17
menyebabkan tingginya risiko perilaku menyimpang
antara lain adanya rasa keingintahuan yang besar tetapi
kurang mempertimbangkan akibat dan suka mencoba
hal-hal baru untuk mencari jati diri (Meilan, Maryanah, &
Follona, 2018).
Remaja sebagai individu sedang dalam proses
berkembang kearah kematangan atau kemandirian.
Untuk mencapai kematangan tersebut, remaja
memerlukan bimbingan karena mereka kurang memiliki
pemahaman atau wawasan tentang diri dan
lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan
arah lingkungannya (Gainau, 2021). Pelayanan kesehatan
reproduksi pada remaja bertujuan untuk membantu
remaja agar memahami dan menyadari ilmu tersebut
sehingga memiliki sikap dan perilaku sehat serta
bertanggung jawab terkait dengan masalah kesehatan
reproduksi (Ahmad, 2020). Lingkungan keluarga dan
masyarakat harus peduli dengan kondisi remaja sehingga
dapat membantu memberikan jalan keluar bila remaja
mengalami masalah tidak malah di salahkan, tetapi perlu
diarahkan dan dicarikan jalan keluar yang baik dengan
mengenalkan tempat-tempat pelayanan kesehatan
reproduksi remaja untuk mendapatkan konseling
ataupun pelayanan klinis sehingga remaja masih dapat
melanjutkan kehidupanya (Prijatni & Rahayu, 2016).
Definisi Remaja
Masa remaja merupakan salah satu tahapan
perkembangan manusia (Febriyeni, et al., 2020). Remaja
adalah individu baik perempuan maupun laki-laki yang
berada pada usia antara 10 sampai 19 tahun (Widiastuti,
et al., 2021). Remaja atau adolenscence berasal dari
bahasa Latin yaitu adolencare yang artinya tumbuh
menuju kematangan. Kematangan yang dimaksud bukan
hanya kematangan fisik namun juga kematangan sosial

18
dan psikologi (Wirenviona & Riris, Edukasi Kesehatan
Reproduksi Remaja, 2020).
Masa remaja adalah masa peralihan atau transisi dari
masa anak menuju dewasa. Pengertian remaja menurut
World Health Organization (WHO) adalah penduduk yang
berusia 10-19 tahun. Sedangkan menurut Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 25 tahun
2014, remaja adalah penduduk berusia 10-18 tahun dan
menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
(BKKBN) yang berusia remaja adalah 10-24 tahun serta
belum menikah (Ningsih, Susila, & Safitri, 2021).
Sarwono (2011) menyatakan bahwa remaja adalah suatu
masa dimana individu berkembang dari saat pertama kali
ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya
sampai saat ia mencapai kematangan seksual. Individu
mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi
dari anak anak menjadi dewasa serta terjadi peralihan
dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada
keadaan yang relatif mandiri.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa remaja adalah
individu usia 10–19 tahun dan belum menikah, peralihan
dari anak anak ke masa dewasa yang meliputi perubahan
biologis, psikologis dan social (Ningsih, Susila, & Safitri,
2021).
Tujuan Kesehatan Reproduksi Remaja
Pelayanan kesehatan reproduksi pada remaja bertujuan
untuk membantu remaja agar memahami dan menyadari
ilmu kesehatan reproduksi sehingga memiliki sikap dan
perilaku sehat serta bertanggung jawab terkait dengan
masalah kesehatan reproduksinya (Ahmad, 2020). Tujuan
utama kesehatan reproduksi remaja adalah memberikan
pelayanan kesehatan reproduksi kepada remaja dan
pasangannya secara komprehensif agar setiap remaja
mampu menjalani reproduksinya secara sehat dan

19
bertanggungjawab serta terbebas dari perlakuan
diskriminasi dan kekerasan, termasuk di dalamnya
pengakuan dan penghormatan atas hak-hak kesehatan
reproduksi dan seksual sebagai bagian integral dari Hak
Azasi Manusia (Ningsih, Susila, & Safitri, 2021).
Sedangkan tujuan khusus dari pelayanan Kesehatan
Reproduksi remaja adalah untuk melindungi remaja dari
risiko pernikahan usia dini, kehamilan yang tidak
diinginkan (KTD), aborsi, Infeksi Menular Seksual (IMS),
HIV/AIDS dan kekerasan seksual, sehingga hak-hak
kesehatan reproduksinya dapat terpenuhi dalam
meningkatkan kualitas hidup serta kualitas
keturunannya baik fisik, mental dan sosial serta terbebas
dari rasa takut, tindakan kekerasan dan diskriminasi
(Ningsih, Susila, & Safitri, 2021).
Klasifikasi Remaja
Klasifikasi remaja pada umumnya didasarkan pada
perubahan psikososial pada remaja. Perubahan fisik yang
cepat dan terjadi berkelanjutan pada remaja
menyebabkan para remaja sadar dan lebih sensitif
terhadap bentuk tubuhnya dan mencoba
membandingkan dengan teman-teman sebaya. Jika
perubahan tidak berlangsung secara lancar, maka akan
mempengaruhi perkembangan psikis dan emosi anak
(Sulaeman & Purnamawati, 2022).
Perubahan psikososial pada remaja dibagi dalam tiga
tahap, yaitu:
1. Remaja awal/early adolescence (12-14 tahun)
Tahap remaja awal merupakan tahapan awal remaja
mulai mengalami perubahan fisik. Pada tahap ini,
seorang remaja mengalami perubahan jasmani dan
intelektual yang sangat cepat sehingga remaja
memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap dunia

20
luar (Nurmala, et al., 2020). Selain itu, remaja mulai
mengenal rasa malu dan mulai merasakan suka pada
lawan jenis. Teman sebaya sangat berpengaruh
karena pada usia ini remaja merasa lebih dekat
dengan teman sebaya dan bersifat egosentris
(mementingkan diri sendiri) (Wirenviona, et al., 2021).
Remaja egosentris akan lebih sulit untuk melihat
sesuatu hal dari perspektif atau sudut pandang orang
lain sehingga sering kali tidak menyadari apa yang
oranglain pikirkan, rasakan dan lihat. Remaja
egosentris lebih sulit menyesuaikan diri, bahkan
mengoreksi pandangannya jika dirasa pandangannya
tersebut tidak sesuai dengan kondisi sekitar. Oleh
karena itu, remaja mencari teman sebaya yang sejenis
untuk mengatasi ketidakstabilan pada dirinya
(Wirenviona & Riris, 2020).
Pada tahap awal ini, remaja lebih banyak
memperhatikan keadaan tubuhnya secara seksual
yang ditandai dengan terjadinya peningkatan
ketertarikan pada anatomi seksual. Selain itu, remaja
tersebut akan merasa cemas dan timbul banyak
pertanyaan mengenai perubahan alat kelamin dan
ukurannya (Wirenviona & Riris, 2020).
Sifat remaja pada usia ini, yaitu remaja akan mulai
mencoba hal-hal baru, masih bersikap kekanak-
kanakan, memiliki emosi yang cenderung labil, ingin
bebas melakukan banyak hal dan seringkali merasa
kecewa apabila sesuatu tidak berjalan sesuai dengan
harapannya (Nurmala, et al., 2020; Wirenviona &
Riris, 2020). Sedangkan karakteristik secara kognitif
yaitu cara berpikir konkret, belum mampu
memprediksi akibat jangka panjang dari keputusan
yang dibuat dan moralitas yang konvensional
(Wirenviona, et al., 2021).

21
2. Remaja pertengahan/middle adolescence (15-17
tahun)
Tahap remaja pertengahan, seorang remaja dinilai
masih kekanak-kanakan tetapi mulai menyadari
bahwa ia harus hidup mandiri. Remaja pada fase ini
sudah mulai memiliki cita-cita yang konsisten dan
sangat memperhatikan penampilan. Remaja mulai
mencari identitas diri dengan melakukan berbagai hal
baru dan mengeksplor kemampuan diri. Pada masa
ini, timbul keinginan untuk berkencan dengan lawan
jenis dan berkhayal tentang aktivitas seks.
Perkembangan intelektual dan sosial mulai tinggi,
seperti keinginan untuk menolong orang lain dan
belajar bertanggung jawab (Nurmala, et al., 2020;
Wirenviona & Riris, 2020).
3. Remaja akhir/late adolescence (18-21 tahun)
Remaja akhir disebut dewasa muda karena mulai
meninggalkan dunia kanak kanak. Pada tahap remaja
akhir, emosi remaja sudah mulai stabil dan mulai
dapat berhubungan secara serius dengan lawan jenis.
Remaja lebih selektif dalam mencari teman sebaya,
mempunyai citra tubuh (body image) sendiri dan
dapat mewujudkan rasa cinta. Selain itu, remaja juga
mulai bisa menerima tradisi adat dan kebiasaan
lingkungan serta belajar menyesuaikan diri dengan
norma-norma yang berlaku. Pada tahap ini, remaja
masih berlatih untuk mengambil keputusan dan
apabila keputusan yang diambil tidak tepat, maka
mereka akan terjebak dalam perilaku berisiko. Segala
dampak yang terjadi harus ditanggung, baik akibat
jangka pendek dan jangka panjang dalam berbagai
masalah kesehatan fisik dan psikososial (Wirenviona
& Riris, 2020); (Wirenviona, et al., 2021).

22
Masalah Reproduksi Remaja
Masalah-masalah Kesehatan reproduksi remaja yang
sering ditemukan meliputi perilaku seksual berisiko,
infeksi menular seksual (IMS) termasuk HIV, kehamilan
remaja dan aborsi yang tidak aman. Permasalahan utama
kesehatan reproduksi remaja (KRR) di Indonesia adalah
kurangnya informasi mengenai kesehatan reproduksi,
masalah pergeseran perilaku seksual remaja, pelayanan
kesehatan yang buruk, serta perundang-undangan yang
tidak mendukung ( (Ningsih, Susila, & Safitri, 2021). Isu-
isu kesehatan reproduksi remaja saat ini antara lain:
1. NAPZA
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Aditif lain)
adalah bahan/zat/obat yang bila masuk ke dalam
tubuh manusia akan memengaruhi tubuh terutama
otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan
gangguan kesehatan fisik, psikis dan fungsi sosial,
oleh karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta
ketergantungan (dependensi) terhadap Napza. Napza
juga sering disebut sebagai zat psikoaktif, yaitu zat
yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan
perubahan perilaku, perasaan dan pikiran (Alifia,
2019).
Penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang
di kalangan generasi muda dewasa ini kian
meningkat. Maraknya penyimpangan perilaku
generasi muda tersebut, dapat membahayakan
keberlangsungan hidup bangsa ini di kemudian hari,
sebab pemuda sebagai generasi yang diharapkan
menjadi penerus bangsa, semakin hari semakin rapuh
digerogoti zat-zat adiktif penghancur syaraf. Sehingga
pemuda tersebut tidak dapat berpikir jernih.
Akibatnya, generasi harapan bangsa yang tangguh
dan cerdas hanya akan tinggal kenangan. Sasaran

23
dari penyebaran narkoba ini adalah kaum muda atau
remaja. Penyalahgunaan narkoba termasuk ke dalam
salah satu bentuk kenakalan remaja khusus
(Amanda, Humaedi, & Santoso, 2017).
Harus disadari bahwa masalah penyalahgunaan
narkoba adalah suatu problema yang sangat
kompleks, oleh karena itu diperlukan upaya dan
dukungan dari semua pihak agar dapat mencapai
tujuan yang diharapkan. Pencegahan dan
penanggulangan narkoba banyak yang masih bisa
dilakukan untuk mencegah penggunaan dan
membantu remaja yang sudah terjerumus ke dalam
penyalahgunaan narkoba. Penanggulangan
penyalahgunaan narkoba bukan saja merupakan
tanggung jawab pemerintah semata, namun upaya
tersebut pun merupakan tanggung jawab masyarakat
umum yang diawali dari kelompok terkecil yaitu
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan
lingkungan masyarakat tempat para remaja
mengaktualisasikan dirinya (Amanda, Humaedi, &
Santoso, 2017).
2. Penyakit Menular Seksual (PMS)
Penyakit kelamin sudah lama dikenal dibeberapa
negara. Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan,
makin banyak ditemukan penyakit-penyakit baru
sehingga istilah Penyakit Kelamin yang dulu banyak
disebut sudah dianggap tidak sesuai lagi dan diubah
menjadi Seksual Transmited Desease (STD) atau
Penyakit Menular Seksual (PMS). Beberapa Penyakit
Menular Seksual yang sering ditemukan di Indonesia
antara lain:
a. PMS yang disebabkan oleh Bakteri: Gonorrhea,
Sifilis, Urethritis, Vaginosis Bakterial

24
b. PMS yang disebabkan oleh virus: AIDS, Herpes
Genitalis, Hepatitis B, Kondiloma Akuminata
c. PMS yang disebabkan oleh jamur: Candidiasis
Vaginosis
d. Disebabkan oleh parasit: scabies, pedikulosis
pubis (Pulungan et al., 2020).
Beberapa pencegahan yang bisa dilakukan untuk
menghindari terjadinya PMS antara lain:
1) Tidak berganti ganti pasangan saat
melakukan hubungan seks
2) Menggunakan kondom saat berhubungan
seks
3) Menghindari transfuse darah dengan
pendonor yang tidak jelas asal usulnya
4) Menggunakan alat kedokteran maupun non
medis yang steril (Pulungan, et al., 2020).
3. HIV AIDS
Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah
suatu infeksi virus yang secara progresif
menghancurkan sel-sel darah putih dan
menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency
Syndrome). Stadium akhir dari infeksi HIV adalah
AIDS. AIDS adalah suatu keadaan dimana penurunan
sistem kekebalan tubuh yang didapat menyebabkan
menurunnya kekebalan tubuh terhadap penyakit
sehingga terjadi infeksi, beberapa jenis kanker dan
kemunduran sistem saraf. Seseorang yang terinfeksi
oleh HIV mungkin tidak menderita AIDS, sedangka
yang lainnya baru menimbulkan gejala beberapa
tahun setelah terinfeksi (Pulungan, et al., 2020).

25
4. Kehamilan Tidak Diinginkan (Unwanted Pregnancy)
Pada dasarnya kehamilan merupakan suatu
kebahagiaan yang ditunggu-tunggu, namun menjadi
suatu masalah besar apabila hal ini terjadi pada
remaja yang belum menikah. Kehamilan pada remaja
tergolong dalam kehamilan yang tidak diinginkan
(unwanted pregnancy). Kehamilan tidak diingingkan
(unwanted pregnancy) merupakan suatu kondisi
dimana pasangan tidak menghendaki adanya proses
kelahiran dari suatu kehamilan. Kehamilan ini bisa
merupakan akibat dari suatu perilaku seksual/
hubungan seksual baik yang disengaja maupun tidak
disengaja (Pulungan, et al., 2020).
Kehamilan tidak diinginkan berhubungan dengan
meningkatnya risiko morbiditas dan mortalitas
Wanita (Widiyastuti, et al., 2022). Kehamilan pada
remaja berdampak negatif kepada kesehatan remaja
dan bayinya, juga berdampak kepada sosial dan
ekonomi. Kehamilan pada usia muda atau remaja
antara lain berisiko kelahiran premature, BBLR,
perdarahan persalinan yang dapat meingkatkan
kematian ibu dan bayi (Dartiwen & Aryanti, 2022).
Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
unwanted pregnancy antara lain:
a. Penundaan dan peningkatan usia perkawinan
b. Ketidaktahuan atau minimnya pengetahuan
tentang perilaku seksual yang dapat
menyebabkan kehamilan
c. Kehamilan yang diakibatkan oleh pemerkosaan
d. Persoalan ekonomi
e. Alasan karir atau masih sekolah
f. Kehamilan karena incest (Pulungan, et al., 2020).

26
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk
mencegah Kehamilan yang Tidak Diinginkan
antara lain:
1) Kampanye kondom
2) Pendidikan seks: peran orangtua dan sekolah
turut serta dalam member pendidikan seks
yang sesuai dengan jenjang usia anak. Orang
tua harus lebih terbuka pikirannya bahwa
pendidikan seks bukan suatu hal yang tabu,
namun penting. Pendidikan tentang seks ini
bertujuan untuk melindungi remaja agar
tidak menjadi korban perkosaan dan tidak
melakukan seks pranikah.
3) Bimbingan konseling perlu dilakukan bagi
mereka yang mengalami kehamilan tidak
diinginkan agar aborsi bukan dijadikan solusi
final (Widiyastuti, et al., 2022).
5. Aborsi
Pengertian aborsi secara medis adalah keluarnya hasil
konsepsi sebelum janin mampu hidup di luar rahim,
yaitu sebelum usia kehamilan mencapai 20 minggu.
Aborsi juga berarti penghentian kehamilan setelah
tertanamnya ovum yang telah dibuahi dalam rahim
sebelum usia janin mencapai 20 minggu. Aborsi
adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin
mencapai viabilitas dengan usia kehamilan kurang
dari 22 minggu dan berat janin kurang dari 500 gram.
Di dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi,
yaitu (Farelya & Nurrobikha, 2018):
1. Aborsi Spontan/Alamiah
Aborsi ini berlangsung tanpa tindakan.
Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya
kualitas sel telur dan sperma.

27
2. Aborsi Buatan/Sengaja
Pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan
28 minggu sebagai suatu akhibat tindakan yang
disengaja dan disadari oleh calon ibu dan
pelaksana aborsi.
3. Aborsi Terapeutik/Medis
Pengguguran kandungan buatan yang dilakukan
atas indikasi medis. Sebagai contoh jika calon ibu
yang sedang hamil memiliki penyakit darah tinggi
menahun dan penyakit jantung yang parah dan
dapat membahayakan baik calon ibu maupun
janin yang dikandungnya.
Secara kacamata hukum aborsi dengan alasan
non medis sangat dilarang keras. Tindakan ini
mendapat ancaman hukum pidana yang diatur
dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun
2009 pasal 75 dan 76 serta Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) pasal 299, 346, 348 dan
349 (Febriyeni, et al., 2020). Beberapa motif yang
menyebabkan seorang remaja melakukan aborsi
yaitu:
1) Reaksi spontan bahwa aborsi adalah jalan
terbaik karena tidak siap menghadapi apa
yang akan terjadi.
2) Melakukan spontanitas dari dorongan diri
mereka yang akan membentuk titik aman
pada diri
3) Adanya rasa takut, malu dengan orang orang
yang berada disekitarnya dan rasa belum siap
untuk memiliki anak (Febriyeni, et al., 2020).
Beberapa risiko yang dapat terjadi akibat
melakukan aborsi yaitu:

28
a. Kesehatan keselamatan fisik
Risiko yang dihadapi remaja seperti rahim
yang sobek, kanker payudara, kelainan pada
plasenta, infeksi rongga panggul bahkan
kematian.
b. Psikologis
Munculnya perasaan sedih, rasa bersalah,
depresi, kehilangan harga diri, trauma
berhubungan seksual dan hilangnya
kepercayaan diri.
c. Psikososial
Diasingkan oleh keluarga dan masyarakat,
mendapat celaan dan tekanan dari orang
orang sekitar.
d. Masa depan
Timbulnya gangguan kesuburan atau
infertilitas, hidup di penjara, masa depan
suram dan masa depan janin terhenti ketika
melakukan aborsi (Febriyeni, et al., 2020).
Solusi Masalah Kesehatan Reproduksi Remaja
Untuk mengatasi masalah kesehatan reproduksi remaja,
perlu adanya peran dari orangtua dan juga dari diri
sendiri. Setiap remaja diharapkan mampu bertanggung
jawab atas kesehatan reproduksinya sehingga mereka
mampu berfikir sebelum melakukan hal-hal yang bisa
merusak dan juga merugikan masa depannya (Andriyani,
Simbolon, & Riastuti, 2022).
Beberapa edukasi yang bisa diberikan kepada remaja
untuk menjaga kesehatan reproduksi remaja antara lain:

29
1. Menjelaskan sistem, proses dan fungsi reproduksi
Megenalkan sistem, proses dan fungsi organ
reproduksi, memberikan informasi yang sesuai
dengan kesiapan dan usia anak. Edukasi yang
diberikan sebaiknya menggunakan bahasa yang
mudah dipahami oleh remaja.
2. Mengenalkan risiko penyakit yang akan terjadi
Menjelaskan mengenai kekerasan seksual dan cara
menghindarinya (Ningsih, Susila, & Safitri, 2021).
Program Kesehatan pada Remaja
Pemerintah telah berupaya membuat berbagai program
untuk remaja agar para remaja menjadi lebih terarah dan
terlindungi kesehatan secara reproduksinya. Program
yang mendukung remaja terkait kesehatan reproduksinya
antara lain:
1. Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR).
Sejak tahun 2003, model pelayanan kesehatan yang
ditujukan dan dapat dijangkau remaja,
menyenangkan, menerima remaja dengan tantangan
terbuka, menghargai remaja, menjaga kerahasiaan,
peka akan kebutuhan terkait dengan kesehatannya,
serta efektif dan efisien dalam memenuhi kebutuhan
dan selera remaja diperkenalkan dengan sebutan
Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR).
Berdasarkan buku Pedoman Standar Nasional
Program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja yang
dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia tahun 2014, Pelayanan Kesehatan Peduli
Remaja (PKPR) dibentuk dengan dilatar belakangi oleh
besarnya populasi kelompok usia remaja yang
dimaknai negara sebagai aset dan potensi bangsa
dimasa depan (Meilan, Maryanah, & Follona, 2018).
Menurut Departemen Kesehatan (2008), PKPR adalah
suatu pelayanan kesehatan yang ditujukan dan dapat

30
dijangkau oleh remaja serta berkesan menyenangkan,
menerima remaja dengan tangan terbuka,
menghargai, menjaga rahasia, peka akan kebutuhan
terkait dengan kesehatan remaja, serta efektif, efisien
dan komprehensif dalam memenuhi kebutuhan
tersebut. Puskesmas yang memiliki program PKPR
memberikan pelayanan baik di dalam maupun di luar
gedung yang ditujukan bagi kelompok remaja berbasis
sekolah maupun masyarakat. Upaya ini dilakukan
agar layanan yang diberikan dapat menjangkau
semua kelompok remaja ( (Meilan, Maryanah, &
Follona, 2018).
Tujuan dari program PKPR adalah untuk melindungi
hak-hak kesehatan reproduksi pada remaja sehingga
remaja mampu tumbuh dan berkembang dengan
optimal. Sasaran dari program ini adalah seluruh
remaja, meliputi:
a. Remaja yang masih disekolah atau remaja yang
sedang mengenyam pendidikan.
b. Remaja yang ada diluar lingkungan sekolah
seperti kelompok remaja karang taruna, kelompok
belajar, remaja di panti asuhan, remaja di
kelompok-kelompok keagamaan.
c. Remaja putri yang akan hamil serta remaja putri
yang hamil dengan tanpa melihat status
pernikahannya.
d. Remaja yang sudah terinfeksi atau memiliki risiko
tertularnya HIV/ AIDS.
e. Remaja yang memiliki kebutuhan khusus seperti
remaja-remaja yang mengalami kecacatan, anak
jalanan, anak yang bekerja di bawah umur serta
remaja yang menjadi bahan eksploitasi baik
kekerasan fisik maupun seksual (Widiyastuti, et
al., 2022).

31
Pelayanan yang dilakukan oleh setiap puskesmas
akan bervariasi sesuai dengan kondisi wilayahnya
masing, tetapi setiap puskesmas harus tetap
mengikuti standar yang sudah ditetapkan dalam
memberikan pelayanan PKPR (Widiyastuti, et al.,
2022).
2. Posyandu Remaja
Remaja memiliki permasalahan yang cukup kompleks
sehingga menyebabkan masalah kesehatan berisiko.
Pelayanan kesehatan reproduksi remaja selama ini
dilakukan di dalam Gedung seperti halnya PKPR yang
ada di puskesmas. Melihat keberhasilan posyandu
yang sudah ada mampu meningkatkan Kesehatan
pada bayi dan balita, maka dibentuklah posyandu
yang sasarannya adalah remaja yaitu Posyandu
Remaja (Widiyastuti, et al., 2022).
Posyandu Remaja dibentuk oleh masyarakat
desa/kelurahan dengan tujuan untuk mendekatkan
Pelayanan Kesehatan untuk remaja, terutama
Pendidikan Keterampilan Hidup Sehat (PKHS),
pelayanan kesehatann reproduksi remaja, masalah
kesehatan jiwa dan pencegahan penyalahgunaan
NAPZA, gizi, aktifitas fisik, pencegahan penyakit tidak
menular (PTM) dan pencegahan kekerasan pada
remaja. Pendirian Posyandu Remaja ditetapkan
dengan keputusan Kepala Desa/Lurah (Sumastri,
Astuti, & Pastari, 2023).
Posyandu remaja adalah suatu bentuk kegiatan yang
ada di masyarakat yang melibatkan seluruh
masyarakat terutama remaja sehingga kegiatan ini
adalah kegiatan oleh dan untuk remaja. Kegiatan
posyandu remaja ini mengajak semua remaja
berperan secara aktif dengan menjadi kader
posyandu, sehingga permasalahan yang terjadi pada

32
remaja bisa terpantau oleh teman atau rekan
sebayanya yang menjadi kader (Anwar, et al., 2022).
Dalam pelaksanaan kegiatan posyandu remaja yang
menjadi sasaran utama adalah remaja dari berbagai
usia dengan tidak memandang pendidikan, status
pernikahan maupun kecacatan yang dimiliki oleh
remaja tersebut. Kegiatan posyandu remaja ini
terbukti mampu meningkatkan pengetahuan remaja
khususnya tentang kesehatan reproduksi (Anwar, et
al., 2022).

33
Daftar Pustaka
Ahmad, M. (2020). Buku Ajar Kesehatan Reproduksi.
Bandung: Media Sains Indonesia .
Alifia, U. (2019). Apa Itu Narkotika dan Napza? Semarang:
ALPRIN.
Amanda, M., Humaedi, S., & Santoso, M. (2017).
Penyalahgunaan Narkoba di Kalangan Remaja
(Adolescent Substance Abuse). Jurnal Penelitian &
PPM Vol. 4 No. 2.
Andriyani, L., Simbolon, D., & Riastuti, F. (2022).
Kesehatan Reproduksi Remaja dan Perencanaan Masa
Depan. Pekalongan: PT. Nasya Expanding
Management.
Anwar, Y., Purwaningsih, S., Anggreyni, M., Arni, F.,
Mahardany, B. O., Nasir, A., . . . Fitriyani, D. (2022).
Kesehatan Perempuan dan Perencanaan Keluarga.
Bandung: Media Sains Indonesia.
Dartiwen, & Aryanti, M. (2022). Buku Ajar Asuhan pada
Remaja dan Perimenopause. Yogyakarta: Deepublish .
Farelya, G., & Nurrobikha. (2018). Etikolegal dalam
Pelayanan Kebidanan. Yogyakarta: Deepublish .
Febriyeni, V. M., Sari, N. W., Sari, V. K., W. N., Delvina, V.,
. . . Mardiah, A. (2020). Kesehatan Reproduksi Wanita.
Medan: Yayasan Kita Menulis.
Gainau, M. B. (2021). Perkembangan Remaja dan
Problematikanya. Yogyakarta: PT. Kanisius.
Mayasari, A. T., & Febriyanti, H. (2021). Kesehatan
Reproduksi Wanita di Sepanjang Daur Kehidupan.
Aceh: Syiah Kuala University Press.
Meilan, N., Maryanah, & Follona, W. (2018). Kesehatan
Reproduksi Remaja: Implementasi PKPR dalam Teman
Sebaya. Malang: Wineka Media.
Ningsih, E. S., Susila, I., & Safitri, O. (2021). Kesehatan
Reproduksi Remaja. Bandung: Media Sains Indonesia.

34
Nurmala, I., Muthmainnah, Rachmayanti, R. D.,
Siswantara, P., Salim, L. A., Devi, Y. P., . . . Pratiwi, A.
N. (2020). Mewujudkan Remaja Sehat Fisik, Mental
dan Sosial (Model Intervensi Health Educator for Youth).
Surabaya: Airlangga University Press.
Prijatni, & Rahayu. (2016). Kesehatan Reproduksi dan
Keluarga Berencana. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia .
Pulungan, P. W., Rusmini, Zuheriyatun, F., Faizah, S. N.,
Kurniasih, H., Winarso, S. P., . . . Utami, V. N. (2020).
Teori Kesehatan Reproduksi. Medan: Yayasan Kita
Menulis.
Sulaeman, R., & Purnamawati, D. (2022). Remaja dan
Kesehatan Reproduksi . Yogyakarta: Bintang Semesta
Media Yogyakarta.
Sumastri, H., Astuti, R. D., & Pastari, M. (2023). Posyandu
Remaja. Kediri: Lembaga Chakra Brahmanda Lentera.
Widiastuti, A., Azizah, N., Indryani, Ismawati, Tahir, A.,
Haslan, H., . . . Bayu, N. (2021). Epidemiologi
Kesehatan Reproduksi . Medan: Yayasan Kita Menulis.
Widiyastuti, N. E., Pastuty, R., Banase, E. F., Mulyati, I.,
Demang, F. Y., Danti, R. R., & Pramestiyani, M. (2022).
Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana.
Bandung: Media Sains Indonesia.
Wirenviona, R., & Riris, I. D. (2020). Edukasi Kesehatan
Reproduksi Remaja. Surabaya: Airlangga University
Press.
Wirenviona, R., Cinthya, R., Susanti, N., Wahidah, N.,
Kustantia, A., & Joewono, H. (2021). Kesehatan
Reproduksi dan Tumbuh Kembang Janin sampai
Lansia pada Perempuan. Surabaya: Airlangga
University Press.

35
Profil Penulis
Beauty Octavia Mahardany, S.Keb., M.P.H.
Ketertarikan penulis terhadap dunia kesehatan
menuntun penulis untuk masuk ke Sekolah
Menengah Atas Negeri 1 (SMAN 1) Ponorogo
dengan memilih jurusan Ilmu Pengetahuan Alam
(IPA) dan berhasil lulus tahun 2013. Penulis
kemudian melanjutkan pendidikan ke Perguruan
Tinggi dan berhasil menyelesaikan studi S1 di
prodi S1 Kebidanan Universitas Brawijaya pada tahun 2017.
Dua tahun kemudian, penulis berhasil menyelesaikan studi S2
di prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada.
Setelah lulus, penulis mengabdikan diri menjadi seorang dosen
pada prodi kebidanan. Saat ini, penulis aktif melaksanakan
kegiatan tri dharma perguruan tinggi lain seperti melaksanakan
penelitian dan pengabdian masyarakat. Selain itu, penulis juga
mulai aktif menulis buku dengan harapan dapat berkontribusi
positif dalam mengembangkan dunia pendidikan di Indonesia.
Email Penulis: octavia.beauty21@gmail.com

36
3
KESEHATAN REPRODUKSI
TERPADU

Ns. Ida Ayu Ningrat Pangruating Diyu, S.Kep., M.S.


Institut Teknologi dan Kesehatan Bali

Pengantar Kesehatan Reproduksi Terpadu


Kesehatan reproduksi merupakan determinan penting
dalam pencapaian kesehatan di Indonesia. Menurut
undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, yaitu
pasal 71 yang menyebutkan bahwa kesehatan reproduksi
adalah keadaan sehat secara fisik, mental dan social
secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau
kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi dan
proses reproduksi pada perempuan dan laki-laki.
Cakupan kesehatan reproduksi melingkupi keseluruhan
siklus hidup manusia mulai dari lahir hingga usia lanjut.
Untuk menjamin penyelenggaraaan pelayanan yang
menyangkut kesehatan reproduksi yang terjangkau dan
berkualitas pemerintah menetapkan Peraturan
Pemerintah Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan
Reproduksi. Tujuan peraturan ini adalah menjamin
pemenuhan hak kesehatan yang bermutu, aman, dan
dapat dipertanggungjawabkan serta menjamin kesehatan
ibu dalam usia reproduksi agar mampu melahirkan
generasi yang sehat, berkualitas serta mengurangi angka
kematian ibu (AKI).

37
Kesehatan reproduksi mendapat perhatian khusus secara
global sejak dikemukakannya isu terkait reproduksi
dalam Konferensi Internasional tentang Kependudukan
dan Pembanguan International Conference on Population
and Development (ICPD) di Kairo, Mesir pada tahun 1994.
Dalam konferensi tersebut disepakati bahwa masalah
kaitan integral antara kependudukan dan pembangunan
adalah terpenuhinya kebutuhan dasar indivivu baik laki-
laki maupun perempuan tidak hanya sekedar target-
target demografis (United Nations,1995; Shavlev,1998).
Paradigma baru yang muncul setelah kesepakatan di
Kairo pada tahun 1994 yakni kesehatan reproduksi
sebagai hak asasi manusia (HAM). Ruang lingkup
kesehatan reproduksi menurut International Conference
Population and Development (ICPD) terdiri dari kesehatan
ibu dan anak, keluarga berencana, pencegahan dan
penanganan infeksi menular seksual termasuk Human
Immunideficiency Virus (HIV) dan Acquired Immuno
Deficiency Syndrome (AIDS), kesehatan reproduksi
remaja, pencegahan dan penanganan komplikasi aborsi,
pencegahan dan penanganan fertilitas, kesehatan
reproduksi lanjut usia, deteksi kanker saluran reproduksi
serta kesehatan reproduksi lainnya seperti kekerasan
seksual dan lainnya. Untuk menjamin hak-hak
reproduksi setiap individu dan sebagai upaya tindak
lanjut ICPD Kairo 1994, maka Indonesia membangun
sebuah komitmen melalui Lokakarya Nasional Kesehatan
Reproduksi tahun 1996 dengan melibatkan sector-sektor
terkait dan menyepakati pelayanan kesehatan terpadu
dan menyeluruh dengan mengintegrasikan komponen-
komponen program terkait dengan menekankan keadilan
dan kesetaraan gender dalam pemberian layanan
reproduksi (Zainal Fattoni, dkk 2015). Keterpaduan
layanan reproduksi ini diharapkan dapat meningkatkan
akses dan kualitas pelayanan kesehatan reproduksi
kepada setiap individu dan menjamin efektifitas dan

38
efisiensi dalam pemberian layanan serta memastikan
akses pelayanan reproduksi yang komperhensif.
Kesehatan reproduksi merupakan hal yang perlu selalu
berkembang dan mengikuti perubahan. Pelayanan
kesehatan reproduksi terpadu diatur dalam Permenkes 21
tahun 2021 tentang pelayanan kesehatan reproduksi yang
mencakup pelayanan kesehatan reproduksi dari sebelum
konsepsi hingga lanjut usia termasuk pelayanan
kesehatan seksual. Pelayanan kesehatan terpadu
merupakan pelayanan integratif dari program- program
layanan kesehatan reproduksi dengan mengutamakan
hak reproduksi klien, kesetaraan gender dan
menggunakan pendekatan siklus hidupnya. Pelayanan
kesehatan terpadu diharapkan dapat meningkatkan
kemandirian perempuan dalam mengatur fungsi dan
proses reproduksinya yang pada akhirnya dapat
meningkatkan kualitas hidupnya.
Program Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu
Pelayanan kesehatan reproduksi terpadu merupakan
kegiatan pelayanan kesehatan yang mengintegrasikan
seluruh layanan kesehatan reproduksi sehingga klien
mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan dalam lingkup
reproduksi sekaligus dalam satu kali kunjungan atau
pelayanan. Pelayanan kesehatan reproduksi terpadu
meliputi kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana,
kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan
penanggulangan infeksi menular seksual termasuk
penanggulangan HIV dan AIDS dan pelayanan kesehatan
reproduksi lainnya (Kemenkes, 2014).
Pelayanan kesehatan reproduksi terpadu menekankan
pada pelayanan kesehatan yang komprehensif, spesifik
dan sesuai kebutuhan klien. Pelayanan kesehatan
reproduksi terpadu bukan merupakan program baru yang
berdiri sendiri melainkan keterpaduan dari berbagai

39
komponen program kesehatan reproduksi. Dalam
pelayanan kesehatan reproduksi terpadu pelayanan dapat
diberikan oleh satu orang tetapi dapat juga diberikan oleh
beberapa orang namun harus dalam satu institusi. Dalam
pelayanan kesehatan reproduksi terpadu dikenal dengan
pelayanan “one stop service” yang artinya bahwa
pelayanan diberikan dalam satu tempat yang sama dan
selama satu hari dan sekali datang semua layanan
diperoleh.
Pelayanan kesehatan reproduksi terpadu (PKRT)
merupakan pengintegrasian program -program Pelayanan
Kesehatan Rerpoduksi Esensial (PKRE) dan Pelayanan
Kesehatan Reproduksi Komperhensif (PKRK). Pelayanan
kesehatan reproduksi terpadu mengintergrasikan
program-program yang mencakup empat komponen
program esensial yaitu Kesehatan Ibu dan Anak (KIA),
Keluarga Berencana (KB), Pencegahan dan Penanganan
Infeksi Menular Seksual/Infeksi Saluran Reproduksi dan
HIV-AIDS, Kesehatan Reproduksi Remaja ditambah
dengan komponen program kesehatan reproduksi lainnya
seperti menopause dan andrapause pada lanjut usia,
pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap
perempuan, pencegahan dan penanganan kanker servik
dan lainnya.
Pelaksanaan program pelayanan kesehatan reproduksi
terpadu berfokus pada kebutuhan pasien tanpa
meninggalkan hak reproduksi, keadilan dan kesetararaan
gender. Pelayanan yang diberikan mengacu pada
pendekatatan siklus hidup dalam penanganan
permasalahan pasiennya, secara aktif memperluas
jangkauan pelayanan kesehatan reproduksi dan
memberikan pelayanan yang berkualitas sehingga
kesehatan masyarakat optimal dapat terwujud. Selain itu
pelayanan kesehatan reproduksi terpadu memiliki
beberapa prinsip diantaranya pelayanan kesehatan yang

40
bersifat holistic dan menyeluruh, pelayanan kesehatan
yang diberikan sesuai kebutuhan reproduksi klien atau
pasien serta bersifat fleksibel sesuai kebutuhan klien.
Pelayanan kesehatan reproduksi terpadu dilaksanakan di
pelayanan kesehatan tingkat dasar atau pertama. Pada
tahun 2001, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian
Kesehatan mengembangkan program pelayanan
kesehatan dengan mengenalkan program kesehatan
esensial dengan memperkenalkan pelayanan kesehatan
reproduksi terpadu di tingkat pelayanan dasar
(Puskesmas) (Situmorang, 2016). Di dalam Strategi
Nasional pelayanan kesehatan reproduksi terpadu harus
dilaksanakan di semua puskesmas ((Zainal Fattoni, dkk
2015). Untuk memenuhi pelayanan yang diberikan dalam
pelayanan kesehatan rerpoduksi terpadu maka setiap
kabupaten diharapkan memililiki minimal 4 (empat)
Puskesmas (Prijatni, 2016). Adapun kriteria Puskesmas
yang dapat melaksanakan PKRT diantaranya:
1. Melaksanakan keterpaduan program KIA, KB, IMS-
HIV, kesehatan reproduksi remaja, kesehatan
reproduksi lanjut serta program reproduksi lainnya
2. Mendapatkan fasilitasi puskesmas PKRT berupa
advokasi dan sosialisasi program
3. Pelayanan pada setiap poli menerapkan pelayanan
yang mengintegrasikan komponen-komponen
kesehatan reproduksi melalui anamnesis, diagnose,
pengobatan termasuk komunikasi, informasi,
pendidikan dan konseling (KIP/K)
4. Pencatatan pelayanan berupa pelaporan pada rekam
medis oleh petugas
5. Pelaksanaan diutamakan dilaksanakan pada
puskesmas PONED dengan memperhatikan
ketersediaan sarana/alat dan tenaga yang dimiliki
(Kemenkes RI, 2015).

41
Ruang Lingkup Pelayanan Kesehatan
Reproduksi Terpadu
Ruang lingkup pelayanan kesehatan reproduksi terpadu
menitikberatkan pada pelayanan yang mengutamakan
kepentingan klien dengan memperhatikan hak reproduksi
dan kesetaraan gender dengan pendekatan penanganan
kesehatan reproduksi pada setiap siklus kehidupannya
(konsepsi, bayi dan anak, remaja, usia subur dan usia
lanjut). Pelayanan kesehatan reproduksi dengan
pelayanan kesehatan reproduksi terpadu dihararapkan
dapat meluaskan jangkauan pelayanan kesehatan
reproduksi yang pada akhirnya akan meningkatkan
kualitas hidup masyarakat dan masyararakat yang
optimal (Kemenkes RI, 2015).
Program pelayanan kesehatan reproduksi terpadu bukan
program yang baru melainkan keterpaduan dari berbagai
layanan kesehatan reproduksi yang pada dasarnya sudah
tersedia di tingkat pelayanan dasar. Pelayanan kesehatan
reproduksi terpadu melingkupi 2 (dua) program yakni
Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE) dan
Pelayanan Kesehatan Reproduksi Komperhensif (PKRK).
1. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial
Merupakan pelayanan yang mengintegrasikan empat
komponen program diantaranya:
a. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
Pelayanan kesehatan ibu dan anak meliputi
beberapa hal yaitu:
1) Pelayanan antenatal terpadu, persalinan dan
nifas dengan memasukan unsur pelayanan
IMS serta melakukan motivasi klien untuk
pelayanan KB serta memberikan pelayanan
KB pasca persalinan

42
2) Pelayanan persalinan dan penanganan bayi
baru lahir dengan memperhatikan standar
terhadap pencegahan infeksi
3) Asuhan pasca keguguran dengan
memasukkan unsur pencegahan dan
penanggulangan IMS serta konseling dan
pelayanan KB pasca persalinan.
b. Keluarga Berencana (KB)
1) Memasukkan unsur pelayanan penceganan
dan penanggulangan IMS, HIV dan AIDS
2) Pelayanan KB dengan memfokuskan pada
sasaran muda-usia-paritas-rendah (MUPAR)
serta diarahkan pada sasaran “4 terlalu”
(terlalu muda, terlalu banyak, terlalu sering
dan terlalu tua untuk hamil).
c. Pencegahan Dan Penanganan Infeksi Menular
Seksual (IMS) Dan HIV
Pelayanan pencegahan dan penanggulanan IMS
ini termasuk HIV dan AIDS yang dimasukan ke
dalam semua komponen pelayanan seperti pada
antenatal terpadu melalui program Pencegahan
Penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA), saat
pelayanan KB dan KIE perilaku beresiko remaja.
d. Kesehatan Reproduksi Remaja
1) Pelayanan pada reproduksi remaja bersifat
promotive dan preventif dengan fokus
pelayanan pada KIE/Konseling dengan
memasukan materi life education. Remaja
berhak memperoleh informasi, edukasi dan
konseling yang benar dan dapat
dipertanggungjawabkan.

43
2) Pelayanan memperhatikan fisik, kesehatan
dan gizi remaja seperti remaja putri disiapkan
menjadi calon ibu yang sehat.
3) Pelayanan difokuskan pula pada kebutuhan
remaja seperti kespro remaja, kehamilan
diluar nikah, ketergantungan obat-obatan
terlarang serta dan permasalahan lainnya
termasuk pencegahan dan penanganan IMS,
HIV dan AIDS
2. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif
Merupakan pelayanan yang mengintegrasikan empat
komponen program PKRE dengan komponen
ksehatan reproduksi lain seperti kesehatan
reproduksi pada usia lanjut dan kesehatan reproduksi
lainnya.
a. Pelayanan kesehatan reproduksi usia lanjut
Pelayanan kesehatan reproduksi usia lanjut
memiliki fokus dalam peningkatan kualitas hidup
usia lanjut. Upaya pelayanan kesehatan
reproduksi lanjut selain promotive dan preventif
juga memiliki tujuan untuk mengatasi masalah-
masalah yang sering dihadapi pada menopause
maupun andrapause. Contohnya wanita
menopause mengalami sindrom menopause serta
memiliki resiko mengalami osteoporosis serta
penyakit degenerative lainnya.
b. Pelayanan kesehatan reproduksi lainnya
Pelayanan kesehatan reproduksi lainnya berfokus
pada pencegahan dan penanganan kanker servik,
kanker payudara, pencegahan dan penanganan
infertilitas, pencegahan dan penanganan
kekerasan perempuan dan anak, pencegahan dan
penanganan aborsi atau keguguran.

44
Peran dalam Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan
Reproduksi Terpadu
1. Peran Kementerian Kesehatan
a. Menyusun pedoman umum dan petunjuk teknis
Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu
b. Melakukan advokasi, sosialisasi dan koordinasi
pelayanan terpadu kepada seluruh penanggung
jawab komponen kesehatan reproduksi terkait
c. Melakukan orientasi dan memberikan fasilitas
teknis bagi pengelola program di tingkat provinsi
d. Menyediakan buku-buku pedoman dan media KIE
terkait komponen kesehatan reproduksi
e. Memenuhi sarana dan prasarana terkait
pelayanan kesehatan reproduksi
f. Melakukan monitoring dan evaluasi secara
nasional terhadap pelaksanaan pelayanan
kesehatan terpadu
2. Peran Dinas Kesehatan Tingkat Provinsi
a. Melakukan advokasi, sosialisasi dan koordinasi
pelayanan terpadu kesehatan reproduksi di
tingkat provinsi
b. Memberikan pelatihan program-program yang
terkait dengan komponen pelayanan kesehatan
reproduksi terpadu
c. Memberikan orientasi dan fasilitas teknis bagi
pengelola program pelayanan kesehatan
reproduksi terpadu di tingkat kabupaten/kota
d. Menjalin kerjasama dengan LSM, sekolah, tokoh
agama, tokoh masyarakat dan kader untuk
mendukung pelaksanaan pelayanan kesehatan
reproduksi terpadu

45
e. Memberikan fasilitas dengan menyediakan buku-
buku pedoman dan media KIE terkait komponen
kesehatan reproduksi terpadu
f. Melakukan pencatatan dan pelaporan terkait
pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi
terpadu
g. Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap
program dan pelaksanan pelayanan kesehatan
reproduksi terpadu
3. Peran Dinas Kesehatan Tingkat Kabupaten/Kota
a. Melakukan advokasi, sosialisasi dan koordinasi
pelayanan kesehatan reproduksi terpadu di
tingkat kabupaten/kota
b. Melaksanakan pelatihan, orientasi dan
memberikan fasilitas teknis bagi pengelola dan
pelaksana program kesehatan reproduksi terpadu
di tingkat puskesmas
c. Melakukan orientasi dan memberikan fasilitas
teknis bagi pengelola dan pelaksana program
kesehatan reproduksi di tingkat puskesmas
d. Menentukan puskesmas yang akan memberikan
pelayanan kesehatan reproduksi terpadu
e. Menjalin kerjasama dengan LSM, sekolah, tokoh
agama, tokoh masyarakat dan kader untuk
mendukung pelaksanaan program pelayanan
kesehatan reproduksi terpadu
f. Memberikan fasilitas dengan menyediakan buku-
buku pedoman dan media KIE terkait komponen
kesehatan reproduksi terpadu
g. Melakukan pencatatan dan pelaporan terkait
pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi
terpadu

46
h. Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap
program dan pelaksanan pelayanan kesehatan
reproduksi terpadu
4. Peran Puskesmas
a. Menyelenggarakan program pelayanan kesehatan
reproduksi terpadu
b. Melakukan advokasi lintas program dan lintas
sector dengan strategi KIE
c. Menjalin kerjasama dengan LSM, sekolah, panti,
tokoh agama, tokoh masyarakat dan kader untuk
mendukung pelaksanaan PKRT di puskesmas
d. Memberikan sosialisasi dan KIE tentang
pelayanan kesehatan reproduksi terpadu kepada
masyarakat
e. Menyediakan media KIE terkait komponen
kesehatan reproduksi
f. Melakukan pencatatan dan pelaporan terkait
pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi
terpadu yang telah dilaksanakan
g. Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap
program dan pelaksanan pelayanan kesehatan
reproduksi terpadu di Puskesmas
5. Peran Puskesmas Pembantu, Poskesdes dan Polindes
a. Melakukan identifikasi terhadap kelompok
sasaran (ibu hamil, remaja dan kelompok
beresiko)
b. Memberikan pelayanan kesehatan reproduksi
pada kelompok sasaran termasuk rujukan dan
kunjungan rumah
c. Menjalin dan bekerjasama untuk mendukung
pelaksanaan kesehatan reproduksi terpadu

47
d. Menggerakkan dan melaksanakan program
posyandu, poslansia/posbindu, poskesdes dan
poskestren
e. Melakukan pencatatan dan pelaporan pelayanan
kesehatan reproduksi yang telah dilaksanakan.
Monitoring dan Evaluasi dalam Pelaksanaan Pelayanan
Kesehatan Reproduksi Terpadu
Pelaksanaan program pelayanan kesehatan reproduksi
terpadu dievaluasi secara berkala. Pemantauan dilakukan
dengan membandingkan pelaksanaan pelayanan yang
diberikan dengan standar pelayanan yang berlaku. Dalam
pemantauan kemajuan program pelayanan kesehatan
reproduksi terpadu diperlukan beberapa indikator.
Beberapa indikator yang dianggap mampu memantau
kemajuan program pelayanan kesehatan reproduksi
terpadu diantaranya:
1. Kesehatan Ibu dan Anak
Pemantauan pada pelaksanaan pelayanan kesehatan
reproduksi terpadu pada program kesehatan ibu dan
anak dapat dilihat dari indikator jumlah kematian ibu,
jumlah kematian bayi, cakupan pelayanan antenatal
(K1-K4), cakupan persalinan di fasilitas pelayanan
kesehatan, penanganan komplikasi (PK), cakupan
pelayanan nifas bagi ibu dan bayi baru lahir,
prevalensi anemia pada ibu hamil, prevalensi bayi
BBLR.
2. Keluarga Berencana
Pemantauan pada pelaksanaan pelayanan kesehatan
reproduksi pada program keluarga berencana dapat
dilihat dari indikator cakupan kepesertaan KB aktif
(CPR), cakupan pelayanan KB untuk laki-laki,
prevalensi kehamilan dengan “4 terlalu”, penurunan
kejadian komplikasi KB, penurunan angka drop out
KB

48
3. IMS termasuk HIV dan AIDS
Pamantauan pada pelaksanaan pelayanan kesehatan
reproduksi terpadu pada program IMS, HIV dan AIDS
dapat dilihat dari indikator prevalensi gonorrhea,
prevalensi angka HIV, prevalensi sifilis.
4. Kesehatan Reproduksi Remaja
Pemantauan pada pelayanan kesehatan reproduksi
terpadu pada kesehatan reproduksi remaja dapat
dilihat dari indikator prevalensi anemia pada remaja
dan cakupan pelayanan kesehatan reproduksi remaja.
5. Kesehatan Reproduksi Usia Lanjut
Pemantauan pada pelayanan kesehatan reproduksi
terpadu pada kesehatan reproduksi lanjut usia dapat
dilihat dari indikator jumlah usia lanjut yang
mendapat konseling masalah reproduksi, jumlah usia
lanjut yang mendapatkan skrining kanker payudara,
kanker servik, kanker prostat
6. Indikator Keterpaduan Layanan
Indikator keterpaduan antar layanan dapat dilihat
dari indikator
a. Jumlah ibu hamil yang mendpat layanan IMS, HIV
dan AIDS
b. Jumlah ibu hamil yang mendapat konseling KB
pasca persalinan
c. Jumlah ibu bersalin dan nifas yang mendapat
pelayanan IMS, HIV dan AIDS
d. Jumlah akseptor KB yang mendapat pelayanan
IMS, HIV dan AIDS
e. Jumlah remaja yang mendapat pelayanan IMS,
HIV dan AIDS

49
f. Jumlah remaja yang mendapatkan penyuluhan
dan konseling kespro
g. Jumlah penderita IMS, HIV dan AIDS yang
mendapat penyuluhan dan konseling KB dan KIA

50
Daftar Pustaka
Endah Mulyani, S. S. T., Diani Octaviyanti Handajani, S.
S. T., & Safriana, R. E. (2020). Buku Ajar Kesehatan
Reproduksi Wanita. Literasi Nusantara.
Fatoni, Z., Astuti, Y., Seftiani, S., Situmorang, A.,
Widayatun, N. F. N., & Purwaningsih, S. S. (2015).
Implementasi kebijakan kesehatan reproduksi di
Indonesia: sebelum dan sesudah reformasi. Jurnal
Kependudukan Indonesia, 10(1), 65-74.
Kemenkes, RI. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 97 Tahun 2014 Tentang
Pelayanan Ksehatan Masa Sebelum Hamil, Masa
Hamil, Persalinan dan Masa Sesudah Melahirkan,
Penyelenggagaarn Pelayanan Kontrasepsi serta
Pelayanan Kesehatan Seksual. Jakarta: Kemeterian
Kesehatn RI
Kementerian Kesehatan RI. (2015). Pedoman Pelayanan
Kesehatan Reproduksi Terpadu di Tingkat
Pelayananan Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
61 tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi. 12
Juli 2014. Berita negara Republik Indonesia tahun
2014 Nomor 169. Jakarta
Prijatni, I.& R.S. (2016). Kesehatan Reproduksi dan
Keluarga Berencana (edisi 1). Jakarta: PPSDMK
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Shavlev, C. (1998). Rights to Sexual and Reproductive
Health the ICPD and the Convention on the
Eliminations of all forms of discriminations against
women. Paper presented at the International
Conference on Reproductive Health.
Situmorang, A. (2016). Pelayanan kesehatan reproduksi
remaja di puskesmas: Isu dan tantangan. Jurnal
Kependudukan Indonesia, 6(2), 21-32.
United Nations (UN). 1995. Report of the International
Conference on Population and Development Cairo 5-
13 September 1994. New York, USA: United Nations.

51
Profil Penulis
Ns. Ida Ayu Ningrat Pangruating Diyu, S.Kep., M.S.
Penulis dilahirkan di Denpasar pada Tanggal 1 Juli
1990. Merupakan anak ke-empat dari pasangan
Ida Bagus Pidada Suryantha, SE (Alm) dan Ibu Ida
Ayu Astiti Suniasih S.Pd. Penulis menyelesaikan
program Sarjana Keperawatan dan Profesi Nesr di
Program Studi Sarjana Keperawatan dan Profesi
Ners Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bali lulus tahun 2013 dan
menyelesaikan program Master of Nursing di National Cheng
Kung University Taiwan lulus tahun 2018. Saat ini penulis
bekerja sebagai dosen di Program Studi S1 Keperawatan,
Fakultas Kesehatan, Institut Teknologi dan Kesehatan Bali.
Penulis aktif dalam kegiatan ilmiah dan organisasi keprofesian
yaitu Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) dan Ikatan
Perawat Maternitas Indoensia (IPEMI). Sehari-harinya penulis
bekerja sebagai dosen pengampu mata kuliah keperawatan
maternitas, metodologi penelitian kesehatan dan Evidence
Based Practice in nursing. Selain itu penulis juga aktif dalam
menulis publikasi ilmiah baik dalam jurnal nasional maupun
internasional.
Email Penulis: ningrat0107@gmail.com

52
4
KELUARGA BERENCANA

Ajeng Hayuning Tiyas, S.ST., M.Keb


Poltekkes Kemenkes Mamuju

Pengertian Keluarga Berencana


Program Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu
prioritas pembangunan kesehatan sebagai upaya
peningkatan kesehatan ibu dan anak, dimana pelayanan
kontrasepsi merupakan salah satu pilar dalam upaya
penurunan angka kematian ibu dan bayi. Penggunaan
kontrasepsi berkontribusi dalam mengatur jarak
kehamilan dan mencegah terjadinya kehamilan yang tidak
direncanakan, sehingga diharapkan setiap ibu dapat
merencanakan kehamilan dengan baik dan menjalani
kehamilan dalam kondisi yang sehat.
Keluarga Berencana (KB) adalah upaya mengatur
kelahiran anak, jarak, dan usia ideal melahirkan,
mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan
bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk
mewujudkan keluarga yang berkualitas (PP RI Nomor 87
Tahun 2014 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga, Keluarga Berencana, dan Sistem
Informasi Keluarga, 2014).
Akhir tahun 2019 BKKBN mengemas dan
memperkenalkan istilah Program KKBPK (Kependudukan,
Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga) menjadi
Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan dan

53
Keluarga Berencana atau yang disingkat menjadi Bangga
Kencana (BKKBN, 2020). Program Bangga
Kencana merupakan salah satu program dari BKKBN
yang berfokus untuk mewujudkan Keluarga Berkualitas,
yaitu tentram, mandiri dan bahagia melalui
Pembangunan Keluarga yang holistic integrative sesuai
siklus hidup manusia sebagai salah satu upaya
meningkatkan kualitas keluarga yang berketahanan dan
berkarakter.
Tujuan Program Keluarga Berencana
Tujuan Program Keluarga Berencana (KB) berdasarkan
Undang Undang Nomor 52 tahun 2009, meliputi:
1. Mengatur kehamilan yang diinginkan;
2. Menjaga kesehatan dan menurunkan angka kematian
ibu, bayi dan anak;
3. Meningkatkan akses dan kualitas informasi,
pendidikan, konseling, dan pelayanan keluarga
berencana dan kesehatan reproduksi;
4. Meningkatkan partisipasi dan kesertaan laki-laki
dalam praktek keluarga berencana;
5. Mempromosikan penyusuan bayi sebagai upaya
untuk menjarangkan jarak kehamilan
Sehubungan dengan hal tersebut, tujuan reproduksi
yang direkomendasikan antara lain:
a. Menunda kehamilan pada pasangan muda, ibu
yang belum berusia 20 (dua puluh) tahun, atau
klien yang memiliki masalah kesehatan;
b. Mengatur jarak kehamilan pada klien yang
berusia antara 20 (dua puluh) sampai 35 (tiga
puluh lima) tahun; atau

54
c. Pada klien yang berusia lebih dari 35 (tiga puluh
lima) tahun diharapkan tidak hamil lagi; dan
d. Mengatur jumlah anak yaitu klien yang telah
menikah anak > 2, diharapkan tidak hamil lagi
(UU RI Nomor 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga, 2009).
Isu Strategis Program Keluarga Berencana
Berbagai isu strategis yang berkembang di Indonesia saat
ini terkait program Keluarga Berencana antara lain:
1. Bonus Demografi
Struktur penduduk Indonesia saat ini ditandai
dengan meningkatnya proporsi penduduk usia
produktif. Kondisi ini membuka peluang
mendapatkan bonus demografi (demographic
dividend) dengan salah satu prasyarat, yaitu
tersedianya SDM yang berkualitas dan berdaya saing.
Struktur penduduk seperti ini harus dijaga dan
dimanfaatkan dengan baik dan bonus demografi juga
merupakan salah satu situasi yang harus
dimanfaatkan lintas sektor pembangunan (BKKBN,
2020).
2. Aging Population
Jumlah dan proporsi lansia di Indonesia akan
mengalami peningkatan yang lebih cepat. Saat ini
pengelolaan penduduk kelompok lansia masih sangat
mengandalkan pada keluarga dan komunitas.
Keterbatasan kemampuan keluarga dalam mengelola
kualitas hidup lansia akan menjadikan lansia
semakin rentan, dan potensi permasalahan yang akan
muncul akibat penduduk yang mulai menua (aging
population), ini akan berdampak pada berbagai sektor
55
pembangunan apabila kelompok usia lansia tidak
mendapatkan perhatian dan intervensi yang tepat
(BKKBN, 2020).
3. Pendekatan Siklus Hidup Berbasis Perencanaan
Hidup Berkeluarga
Perencanaan kehidupan berkeluarga dimulai dari
tahap pra keluarga, merencanakan keinginan untuk
memiliki anak termasuk jumlah anak yang
diinginkan, proses kehamilan yang merupakan fase
yang juga penting dalam proses tumbuh kembang
anak, 1.000 Hari Pertama Kehidupan (periode yang
dimulai sejak terbentuknya janin dalam kandungan
hingga anak berusia 2 tahun), pendidikan anak usia
dini (pra sekolah) sampai dengan usia sekolah, remaja
dengan berbagai pendekatannya dalam penyiapan
generasi bangsa yang berkualitas menuju usia
produktif/bekerja serta perhatian terhadap
kelanjutusiaan (seluruh tahapan kehidupan) (BKKBN,
2020).
4. Satu Data Kependudukan
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data
Indonesia. Kebijakan Satu Data Indonesia adalah
kebijakan tata kelola data pemerintah untuk
menghasilkan data yang akurat, mutakhir, terpadu
dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya,
guna mendukung perencanaan, pemantauan,
evaluasi dan pengendalian pembangunan nasional,
maupun untuk mendukung operasionalisasi
program/kegiatan Bangga Kencana di lini lapangan
(BKKBN, 2020).

56
Peran Tenaga Kesehatan dalam Pelayanan Keluarga
Berencana
Tenaga Kesehatan yang berperan dalam pemberian
pelayanan KB diantaranya adalah dokter spesialis
kebidanan dan kandungan, dokter spesialis urologi,
dokter spesialis bedah umum, dokter umum, bidan dan
perawat. Dalam praktiknya, kompetensi dan kewenangan
masing-masing tenaga kesehatan tersebut dalam
pelayanan Keluarga Berencana diatur oleh pemerintah
melalui beberapa peraturan. Tenaga kesehatan yang
diperlukan termasuk kewenangan dan kompetensi untuk
pelayanan kontrasepsi dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.1 Kewenangan dan Kompetensi Pelayanan Kontrasepsi


Tenaga Kesehatan (Kemenkes RI, BKKBN, 2021)
Kompetensi Kewenangan
Metode Dokt Dok
DS DS DS DS
Kontrasep er Bid Pera ter Bid Pera
Ob Uro Ogb Urol
si Umu an wat Um an wat
gin logi in ogi
m um
AKDR
Copper √ √ √* √ √ √**
(Cu)
AKDR
Levonogest √ √ √* √ √ √**
rel (LNG)
Implan √ √ √* √ √ √**
Suntik √ √ √ √ √ √ √ √ √ √**
Pil √ √ √ √ √ √ √ √ √ √**
Kondom √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Tubektomi
Minilaparo √ √*** √ √**
tomi
Tubektomi
Laparosko √ √
pi
Vasektomi - √ √*** - √ √***
Metode
Amenorea √ √ √ √ √ √ √ √
Laktasi
Metode
Sadar
Masa
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Subur
Senggama
Terputus
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Pemberian
Konseling
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √

57
Keterangan:
(*) Bagi Bidan yang lulusan profesi (S1) atau bidan vokasi (D3)
yang sudah mendapatkan pelatihan
(**) Kewenangan diberikan berdasarkan pendelegasian sesuai
dengan regulasi yang berlaku
(***) Bagi yang sudah mendapatkan pelatihan
Metode Kontrasepsi
Terdapat beberapa klasifikasi yang digunakan untuk
metode kontrasepsi seperti yang terlihat pada tabel
dibawah ini.
Tabel 4.2 Pengklasifikasian Metode Kontrasepsi

Masa
Kandungan Modern / Tradisional
Perlindungan
No Metode
Non Non
Hormonal MKJP Modern Tradisional
Hormonal MKJP
1 AKDR Cu   
2 AKDR
  
LNG
3 Implan   
4 Suntik   
5 Pil   
6 Kondom   
7 Tubektomi
  
/MOW
8 Vasektomi
  
/MOP
9 Metode
Amenorea
  
Laktasi/
MAL
10 Sadar
Masa   
Subur
11 Senggama
  
Terputus
(Kemenkes RI, BKKBN, 2021)

Pengklasifikasian metode kontrasepsi dibagi menjadi tiga


yaitu berdasarkan kandungan (hormonal atau non
hormonal), masa perlindungan (MKJP atau non MKJP),
dan cara modern atau tradisional sesuai dengan
penggolongan pada tabel di atas. Metode kontrasepsi yang

58
digunakan dalam program pemerintah adalah
berdasarkan masa perlindungan yaitu Metode
Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) dan non Metode
Kontrasepsi Jangka Panjang (non-MKJP) (Kemenkes RI,
BKKBN, 2021). Metode kontrasepsi jangka panjang
(MKJP) merupakan metode kontrasepsi dengan tingkat
keefektifan yang tinggi dengan tingkat kegagalan yang
rendah serta komplikasi dan efek samping yang lebih
sedikit dibandingkan metode kontrasepsi yang lain.
Pemakaian MKJP memiliki banyak keuntungan, baik
dilihat dari segi program, maupun dari segi klien
(pemakai). Disamping mempercepat penurunan TFR,
pengguna kontrasepsi MKJP juga lebih efisien karena
dapat dipakai dalam waktu yang lama serta lebih aman
dan efektif.

59
Efektivitas Kontrasepsi
Tabel 4.3 Efektivitas Kontrasepsi

Angka
Angka Kehamilan Tahun
Kehamilan
Pertama1 (Trussell &
Metode 12 Bulan3
Alken2)
Keluarga (Polis et al4)
Berencana Penggunaan
Penggunaan Penggunaan
Konsisten
Biasa Biasa
dan Benar
Implan 0,1 0,1 0,6
Vasektomi 0,1 0,15
Tubektomi 0,5 0,5
AKDR
0,5 0,7
Levonogestrel
AKDR Copper 0,6 0,8 1,4
MAL (6 bulan) 0,95 25
Kontrasepsi
Suntik 0,055 35
Kombinasi
Kontrasepsi
Suntik 0,2 4 1,7
Progestin
Kontrasepsi Pil
0,3 7 5,5
Kombinasi
Kontrasepsi Pil
0,3 7
Progestin
Kondom Pria 2 13 5,4
Sadar Masa
Subur
Metode Hari
2 12
Standar
Metode 2
4 14
Hari
Metode
3 23
Ovulasi
Senggama
4 20 13,4
Terputus
Kondom
5 21
Perempuan
Tanpa Metode 85 85

60
0 – 0,9 Sangat Efektif
1-9 Efektif
10 - 19 Efektif Sedang
20+ Kurang Efektif

1Angka sebagian besar dari Amerika Serikat. Data dari sumber


yang tersedia yang dirasa terbaik oleh penulis.
2Trussell J and Aiken ARA. Contraceptive Efficacy. In: Hatcher

RA et al. Contraceptive Technology, 21sd revised edition. New


York, Ardent Media, 2018.
3Angka dari negara-negara berkembang. Data dari self-report

survey berbasis populasi.


4Polis CB et al. Contraceptive failure rates in the developing

world: an analysis of Demographic and Health Survey data in 43


countries. New York: Guttmacher Institute, 2016.
5Hatcher R et al. Contraceptive technology, 20th ed, New York,

Ardent Media, 2011

Sumber: Keluarga Berencana Buku Pedoman Global Untuk


Penyedia Layanan Edisi 2018 (Wilopo, 2015)
Standarisasi Pelayanan Kontrasepsi
1. Pra Pelayanan:
a. Komunikasi, Informasi dan Edukasi
Pelayanan KIE dilakukan di lapangan oleh tenaga
penyuluh KB/PLKB dan kader serta tenaga
kesehatan. Pelayanan KIE dapat dilakukan secara
berkelompok ataupun perorangan. Tujuannya
untuk memberikan pengetahuan, mengubah
sikap dan perilaku terhadap perencanaan
keluarga baik untuk menunda,
menjarangkan/membatasi kelahiran melalui
penggunaan kontrasepsi.
b. Konseling
Konseling dilakukan untuk memberikan berbagai
masukan dalam metode kontrasepsi dan hal-hal
yang dianggap perlu untuk diperhatikan dalam

61
metode kontrasepsi yang menjadi pilihan klien
berdasarkan tujuan reproduksinya. Tindakan
konseling ini disebut sebagai informed choice.
Petugas kesehatan wajib menghormati keputusan
yang diambil oleh klien. Dalam memberikan
konseling, khususnya bagi klien yang baru,
hendaknya dapat diterapkan enam langkah yang
sudah dikenal dengan kata kunci SATU TUJU
(SAlam sapa, Tanyakan, Uraikan, banTU,
Jelaskan, kunjungan Ulang). Penerapan SATU
TUJU tersebut tidak perlu dilakukan secara
berturut-turut karena petugas harus
menyesuaikan diri dengan kebutuhan klien.
Beberapa klien membutuhkan lebih banyak
perhatian pada langkah yang satu dibanding
dengan langkah yang lainnya.
c. Penapisan
Penapisan klien merupakan upaya untuk
melakukan kajian tentang kondisi kesehatan klien
dengan menggunakan alat bantu berupa diagram
lingkaran Kriteria Kelayakan Medis Kontrasepsi
(Roda KLOP). Kondisi kesehatan dan karakteristik
individu akan menentukan pilihan metode
kontrasepsi yang diinginkan dan tepat untuk
klien.
d. Persetujuan Tindakan Tenaga Kesehatan
Persetujuan tindakan tenaga kesehatan
merupakan persetujuan tindakan yang
menyatakan kesediaan dan kesiapan klien untuk
ber-KB. Persetujuan tindakan medis secara
tertulis diberikan untuk pelayanan kontrasepsi
seperti suntik KB, AKDR, implan, tubektomi dan
vasektomi, sedangkan untuk metode kontrasepsi
62
pil dan kondom dapat diberikan persetujuan
tindakan medis secara lisan.
2. Pelayanan Kontrasepsi
Menurut waktu pelaksanaannya, pelayanan
kontrasepsi dilakukan pada:
a. Masa interval, yaitu pelayanan kontrasepsi yang
dilakukan selain pada masa pascapersalinan dan
pasca keguguran.
b. Pascapersalinan, yaitu pada 0-42 hari sesudah
melahirkan.
c. Pascakeguguran, yaitu pada 0-14 hari sesudah
keguguran.
d. Pelayanan kontrasepsi darurat, yaitu dalam 3 hari
sampai dengan 5 hari pasca senggama yang tidak
terlindung dengan kontrasepsi yang tepat dan
konsisten.
Tindakan pemberian pelayanan kontrasepsi meliputi
pemasangan atau pencabutan Alat Kontrasepsi Dalam
Rahim (AKDR), pemasangan atau pencabutan Implan,
pemberian Suntik, Pil, Kondom, pelayanan Tubektomi
dan Vasektomi serta pemberian konseling Metode
Amenore Laktasi (MAL).
3. Pasca Pelayanan
Konseling pasca pelayananan dari tiap metode
kontrasepsi sangat dibutuhkan. Konseling ini
bertujuan agar klien dapat mengetahui berbagai efek
samping dan komplikasi yang mungkin terjadi. Klien
diharapkan juga dapat membedakan masalah yang
dapat ditangani sendiri di rumah dan efek samping
atau komplikasi yang harus mendapat pelayanan
medis. Pemberian informasi yang baik akan membuat

63
klien lebih memahami tentang metode kontrasepsi
pilihannya dan konsisten dalam penggunaannya
(Permenkes RI Nomor 21 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum
Hamil, Masa Hamil, Persalinan dan Masa Sesudah
Melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi dan Pelayanan
Kesehatan Seksual, 2021).
Penapisan Kriteria Kelayakan Medis Menggunakan
Kontrasepsi dengan RODA KLOP
Kriteria Kelayakan Medis Penggunaan Kontrasepsi
(Medical Eligibility Criteria for
Contraceptive Use (MEC)) pertama kali diterbitkan oleh
WHO tahun 1996. Kriteria ini dibuat berdasarkan hasil
review WHO dan mitra terhadap kajian klinis dan
epidemiologis terkini pelayanan kontrasepsi. Selanjutnya,
hasil review tersebut dibuat sebagai panduan dan
rekomendasi terhadap tingkat keamanan suatu metode
kontrasepsi berdasarkan kondisi medis dan karakteristik
khusus. MEC Wheel milik WHO kemudian diadaptasi di
Indonesia ke dalam bentuk Diagram Lingkaran dan
Aplikasi Kriteria Kelayakan Medis Dalam Penggunaan
Kontrasepsi atau dikenal dengan Roda KLOP (Kemenkes,
2021). Untuk memudahkan pemakaian Roda KLOP,
sudah dibuat dalam bentuk cetakan dan aplikasi
elektronik (mobile application) untuk telepon genggam dan
tablet dengan sistem operasi Android dan iOS yang bisa
diunduh dengan gratis dengan nama KLOP KB.
Penapisan kriteria kelayakan medis dalam penggunaan
kontrasepsi dengan Roda KLOP memiliki fungsi antara
lain:
1. Membantu penyedia layanan dalam menentukan
metode KB terbaik bagi klien

64
2. Melakukan penapisan klien sesuai kriteria kelayakan
medis klien
3. Mendeteksi kehamilan sebelum penggunaan metode
KB
4. Menjelaskan berbagai jenis kontrasepsi berdasarkan
spesifikasi masing-masing
5. Memberikan gambaran terhadap prosedur medis yang
diperlukan
(Kemenkes, 2021)

Gambar 4.1 RODA KLOP Bagian Depan

Adapun langkah-langkah penapisan kelayakan medis


menggunakan Roda KLOP antara lain:
1. Tanyakan kondisi dan masalah kesehatan klien
dengan menggali riwayat penyakit sekarang dan
riwayat penyakit dahulu.
2. Cocokkanlah kondisi-kondisi medis atau karakteristik
khusus dengan menggunakan Roda KLOP, antara
yang dimiliki klien (ditunjukkan pada diagram
lingkaran sisi luar) dengan metode-metode
kontrasepsi (ditunjukkan pd diagram lingkaran sisi
dalam).
65
3. Lihatlah rekomendasi penggunaan metode-metode
kontrasepsi yang ditunjukkan dengan nomor atau
huruf. Nomor atau huruf ini merupakan kategori yang
menunjukkan apakah klien dapat mulai
menggunakan suatu metode kontrasepsi.
4. Selain terdapat pada diagram lingkaran sisi luar,
beberapa kondisi medis atau karakteristik khusus
tertentu juga dapat dilihat pada diagram lingkaran sisi
belakang. Seluruh kondisi medis atau karakteristik
khusus yang terdapat pada diagram lingkaran sisi
belakang memiliki kategori 1 dan 2, artinya setiap
metode kontrasepsi non-sterilisasi dapat digunakan

Gambar 4.2 RODA KLOP Bagian Belakang

5. Jika nomor atau huruf diikuti kode tertentu (misal 3A,


Cu), lihatlah keterangan kode tsb pada diagram
lingkaran sisi belakang.

66
Sebagai contoh:
Pada klien dengan HIV stadium 3 atau AKDR-Cu
memiliki kategori 3A. Pada diagram lingkaran sisi
belakang, keterangan kode “A” bermakna : Jika
kondisi timbul saat menggunakan metode kontrasepsi
ini, kontrasepsi tersebut dapat dilanjutkan selama
pengobatan.
Hal ini berarti: Klien dengan HIV stadium 3 atau 4
tidak direkomendasikan untuk memulai penggunaan
AKDR-Cu. Namun jika HIV stadium 3 atau 4 baru
timbul pada saat klien sedang menggunakan AKDR-
Cu, maka AKDR-Cu tetap dapat dilanjutkan sesuai
jangka waktu pemakaian, dengan syarat klien
mendapat pengobatan HIV sesuai standar.
6. Jika diperlukan, buatlah tabel bantu utk
mempermudah penapisan kelayakan medis.
Berikanlah informasi kepada klien tentang hasil
penapisan kelayakan medis sesuai kondisi medis dan
karakteristik khusus yang dimiliki klien.
7. Bila klien setuju dengan hasil penapisan,
lanjutkanlah dengan permintaan informed consent
dan pemberian pelayanan kontrasepsi sesuai standar.
8.
8. Bila klien tidak setuju dengan hasil penapisan,
lakukanlah konseling ulang apda kunjungan
berikutnya atau berikanlah kesempatan kepada klien
untuk berdiskusi bersama pasangan. Sementara itu,
anjurkan klien dan pasangan untuk menggunakan
kontrasepsi metode barrier/kondom.

67
Daftar Pustaka
BKKBN. (2020). Rencana Strategis Badan Kependudukan
dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 2020-
2024. Jakarta: BKKBN.
Kemenkes. (2021). Modul Pelatihan Pelayanan Kontrasepsi
bagi Dokter dan Bidan di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan. Jakarta: Kemenkes, BKKBN.
Kemenkes RI, BKKBN. (2021). Pedoman Pelayanan
Kontrasepsi dan Keluarga Berencana. Jakarta:
Kemenkes RI.
PP RI Nomor 87 Tahun 2014 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Keluarga
Berencana, dan Sistem Informasi Keluarga. (2014).
Jakarta: Kementerian Sekretariat Negara RI.
UU RI Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. (2009).
Jakarta: Kementerian Sekretariat Negara RI.
WHO, USAID, Johns Hopkins. (2018). Family Planning, A
Global Handbook for Providers. Geneva: WHO Press.
Wilopo, S. A. (2015). Keluarga Berencana Buku Pedoman
Global untuk Pemberi Layanan. Yogyakarta: FK UGM.

68
Profil Penulis
Ajeng Hayuning Tiyas, S.ST., M.Keb
Penulis lahir di Karawang, Jawa Barat, pada
tanggal 20 Agustus 1987. Merupakan anak
pertama dari pasangan Bapak Gatot Sunaryo dan
Ibu Marmanti. Penulis menyelesaikan program
DIV Bidan Pendidik di Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Indonesia Maju Jakarta lulus tahun 2012 dan
melanjutkan program S2 Kebidanan Universitas Aisyiyah
Yogyakarta lulus tahun 2018. Penulis pernah bekerja sebagai
bidan praktisi di RB, Klinik, Puskesmas dan Rumah Sakit di
wilayah Karawang, menjadi dosen di Program Studi D-III
Kebidanan dan Profesi Bidan Universitas Medika Suherman
Bekasi sejak tahun 2013 s.d 2020, dan saat ini menjadi dosen
di Program Studi D-III Kebidanan Poltekkes Kemenkes Mamuju.
Penulis pernah menjabat sebagai Sekretaris Jurusan Program
Sarjana Universitas Medika Suherman dan saat ini menjabat
sebagai Sekretaris Pusat Penjaminan Mutu dan Pengembangan
Pendidikan Poltekkes Kemenkes Mamuju. Sehari-harinya
penulis bekerja sebagai dosen pengampu mata kuliah
Keterampilan Dasar Praktik Kebidanan, Etika dan Hukum
Kesehatan, Asuhan Kebidanan Persalinan dan Bayi Baru Lahir,
dan Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi dan Balita. Penulis juga
aktif dalam kegiatan ilmiah, menulis jurnal nasional maupun
internasional serta aktif menulis buku ajar dan book chapter.
Email Penulis: ajeng.hayuningtiyas20@gmail.com

69
70
5
KESEHATAN WANITA
USIA SUBUR

Ns. Ni Komang Tri Agustini, S.Kep., M.Kep.


Institut Teknologi dan Kesehatan Bali

Kesehatan Wanita Usia Subur


Kesehatan Wanita Usia Subur merupakan hal yang sangat
penting baik bagi individu maupun masyarakat karena
berpengaruh pada siklus dan keberlangsungan
kehidupan manusia. Kesehatan WUS merupakan suatu
kondisi yang menyatakan keadaan sejahtera fisik, mental
dan social secara utuh, yang tidak semata-mata bebas
dari penyakit kecacatan, dalam semua hal yang berkaitan
dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya.
Kesehatan reproduksi pada WUS adalah kesehatan
reproduksi sepanjang siklus kehidupan manusia baik itu
pelayanan kesehatan reproduksi essensial dan pelayanan
kesehatan reproduksi usia lanjut. Pelayanan kesehatan
reproduksi WUS dilakukan dengan tujuan untuk
meningkatkan kesadaran, pemahaman, perlindungan
serta dukungan untuk pemenuhan hak-hak reproduksi
bagi semua individu dan keluarga, maka diharapkan
pelayanan reproduksi dapat dilaksanakan secara
komprehensif (WHO, 2018). Ruang lingkup pelayanan
kesehatan pada WUS antara lain adalah pelayanan
kesehatan reproduksi mencakup pelayanan kesehatan
ibu dan anak, Keluarga Berencana, Pencegahan dan

71
Penanggungan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan
HIV/AIDS, pencegahan dan penanggulangan komplikasi
aborsi, serta pencegahan dan penanganan infertilitas.
Adapun hak reproduksi menurut WHO adalah hak
mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan, hak mendapatkan informasi mengenai
kesehatan reproduksi secara lengkap, hak untuk
mendapatkan pelayanan KB sesuai pilihannya, hak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya,
hubungan suami istri dilandasi dengan sikap saling
menghargai, hak untuk mendapat informasi secara
mudah mengenai IMS (Infeksi Menular Seksual) termasuk
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome), hak untuk
bebas dari perlakuan buruk dalam kehidupan
reproduksinya.
1. Konsep Wanita Usia Subur
Menurut World Health Organization wanita usia
subur adalah wanita dengan umur 14-49 tahun.
Wanita Usia Subur adalah wanita usia reproduktif.
Kementrian Kesehatan Republik Indoneisa (2018)
menegaskan bahwa Wanita Usia Subur (WUS) adalah
wanita usia 15-49 tahun yang memiliki kondisi organ
reproduksi berkembang baik dengan status belum
kawin, kawin maupun janda. Tindakan yang
dilakukan untuk mengetahui tanda- tanda wanita
usia subur antara lain:
a. Siklus Haid
Wanita yang mempunyai siklus haid teratur setiap
bulan biasanya subur. Putaran haid dimulai dari
hari pertama keluar haid hingga sehari sebelum
haid datang kembali, yang biasanya berlangsung
28 sampai 30 hari. Siklus haid dapat dijadikan
indikasi pertama untuk menandai seorang wanita
subur atau tidak. Siklus menstruasi dipengaruhi

72
oleh hormon estrogen dan progesteron. Hormon
estrogen dan progesteron menyebabkan
perubahan fisiologis pada tubuh yang dapat
dilihat melalui beberapa indikator klinis seperti,
perubahan suhu basal tubuh, perubahan sekresi
lendir serviks, perubahan pada serviks,
panjangnya siklus menstruasi (metode kalender)
dan indikator minor kesuburan seperti nyeri perut
dan perubahan payudara
b. Alat Pencatat Kesuburan
Kemajuan teknologi seperti ovulation thermometer
juga dapat dijadikan sebagai alat untuk
mendeteksi kesuburan seorang wanita.
Thermometer ini akan mencatat perubahan suhu
badan saat wanita mengeluarkan benih atau sel
telur. Bila benih keluar, biasanya thermometer
akan mencatat kenaikan suhu sebanyak 0,2 ˚C
selama 10 hari.
c. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita
Wanita yang pernah mengalami keguguran, baik
disengaja ataupun tidak, peluang terjangkit
kuman pada saluran reproduksi akan tinggi.
Kuman ini akan menyebabkan kerusakan dan
penyumbatan saluran reproduksi sehingga
memicu terjadinya permasalahan dalam organ
reproduksi.
2. Permasalahan pada Wanita Usia Subur
Berbagai permasalahan kesehatan dapat timbul pada
WUS, diantaranya yang disebabkan oleh faktor
fisiologis maupun faktor psikologis, diantaranya:
a. Gangguan Menstruasi
Wanita yang telah memasuki usia pubertas akan
mengalami menstruasi. Kondisi ini merupakan

73
salah satu indicator kesehatan reproduksi wanita
usia subur. Gangguan menstruasi terjadi apabila
siklus menstruasi yang dialami WUS terus
berubah. Normalnya siklus menstruasi berkisar
antara 21 hari-35 hari, rata-ratanya 28 hari.
Siklus ini dapat berubah lebih pendek atau
Panjang namun masih dalam kategori siklus
normal. Apabila WUS memiliki siklus menstruasi
kurang dari 21 hari atau lebih dari 35 hari maka
kondisi ini disebut dengan gangguan menstruasi.
Selain siklus menstruasi, gangguan menstruasi
juga dapat dialami oleh wanita adalah jumlah
darah menstruasi yang berlebihan atau terlalu
sedikit, keluhan nyeri hebat saat menstruasi,
tidak teraturnya siklus menstruasi bahkan tidak
mengalami menstruasi sama sekali. Banyak
faktor yang dapat mempengaruhi ini diantaranta
adalah usia, berat badan, gangguan psikologis
seperti stress, gangguan hormonal, dan adanya
masalah kesehatan yang diderita WUS.
b. Keputihan dan Infeksi Organ reproduksi
Keputihan merupakan permasalahan yang
normal dialami WUS. Keputihan merupakan
pengeluaran cairan berwarna bening atau sedikit
putih yang keluar pada kondisi tertentu seperti
waktu mendekati siklus menstruasi dan setelah
siklus menstruasi berakhir. Namun, masalah
yang sering terjadi adalah pengeluaran cairan
keputihan yang berwarna kuning bahkan
kehijauan yang disertai dengan rasa gatal di
sekitar organ kewanitaan dan bau yang sangat
menyengat. Apabila hal ini yang dialami maka
dipastikan telah terjadi infeksi yang dapat
disebabkan oleh bakteri, jamur maupun parasite
pada organ kewanitaan.

74
c. Infertilitas atau Gangguan Kesuburan
Permasalahan yang dihadapi WUS salah satunya
adalah infertilitas. Infertilitas adalah suatu
kondisi yang menyebabkan seseorang kesulitan
untuk mendapat keturunan. Banyak faktor yang
dapat mempengaruhi terjadinya infertilitas, salah
satunya adalah sumbatan saluran telur yang
menghambat terjadinya kehamilan pada WUS.
Masalah ini biasanya disebabkan karena
pelengketan sekitar organ reproduksi seperti
saluran telur, adanya penyakit kista ovarium,
radang panggul yang pada akhirnya
mengakibatkan sel telur tidak mampu untuk
bertemu dengan sel sperma. Selain itu, gaya hidup
saat ini sangat rentan untuk memicu stress.
Faktor kesuburan sangat dipengaruhi oleh stress.
Hal ini dikarenakan stress secara tidak langsung
dapat mempengaruhi hormon yang berfungsi
untuk meningkatkan kesuburan. Akibat stress
yang dirasakan dapat menyebabkan gangguan
ovulasi (gangguan pembentukan dan pematangan
sel telur) dan gangguan spermatogenesis
(gangguan pembentukan sperma). Berat badan
tidak seimbang juga dapat menghalangi
kesuburan selama siklus menstruasi wanita,
karena kita membutuhkan 17% dari lemak dari
tubuh saat pertama menstruasi. Berat badan yang
berlebihan menyebabkan ketidaksuburan, namun
berat badan yang terlalu kurus juga dikaitkan
dengan kesulitan untuk memperoleh anak.
d. Endometriosis
Endometriosis dapat diartikan sebagai jaringan
endometrium (jaringan yang sama yang
menciptakan lapisan rahim). Jaringan yang
merespos siklus hormonal wanita yang berakibat

75
timbulnya rasa sakit yang menggangu. Hubungan
antara endometriosis dan ketidaksuburan sekitar
30-40%, wanita yang mengalami masalah
endometriosis akan sangat berpengatuh pada saat
kehamilan. Endometriosis menjadi salah satu
masalah yang dapat menyebabkan kerusakan
organ reproduksi sekitar.
e. Anemia
Anemia merupakan masalah kesehatan terutama
bagi kelompok wanita usia subur. Anemia pada
usia subur dapat meningkatkan prevalensi
kematian dan kesakitan ibu, bagi bayi dapat
meningkatkan resiko kesakitan dan kematian bayi
serta Berat Badan Lahir Rendar (BBLR). Anemia
merupakan kondisi dimana adanya penurunan
kadar Hemogloblin. Sebagian besar anemia
disebabkan oleh kekurangan zat besi yang berasal
dari makanan yang dimakan setiap hari, selain itu
anemia dapat disebabkan oleh kehilangan darah
secara kronis, asupan zat besi yang tidak cukup
dan peningkatan kebutuhan akan zat besi yang
digunakan untuk pembentukan sel darah merah
pada masa pertumbuhan bayi, masa pubertas,
dan masa kehamilan serta menyusui.
f. Kanker Serviks
Kanker serviks adalah penyakit timbulnya tumor
ganas yang menyerang leher rahim (serviks) yaitu
suatu daerah di organ reproduksi wanita yang
merupakan jalan masuk ke rahim dimana terletak
diantara rahim dan vagina. Kanker serviks
disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV).
Kanker serviks terjadi lebih tinggi pada wanita
usia 35-60 tahun. Pada usia ini sistem imun
sudah berangsur menurun dilengkapi dengan

76
kesibukan mengurus anak, paparan polusi, pasca
melahirkan hal inilah yang menyebabkan faktor di
umur 35-60 menjadi sangat rentan terserang
penyakit kanker serviks. Wanita usia <20 tahun
melakukan hubungan seksual menjadi faktor
risiko kanker servik. Usia <20 tahun sel
reproduksi wanita belum berkembang dengan
sempurna sehingga bila pada usia <20 tahun
melakukan hubungan seksual menyebabkan
belum siapnya organ reproduksi dan
menyebabkan luka. Luka inilah yang jalan masuk
dari virus. Wanita yang memiliki riwayat berganti
pasangan seksual memungkinkan tertularnya
penyakit kelamin salah satunya HPV (Kashyap et
al., 2019). Virus ini akan menginfeksi serviks dari
infeksi tersebut menyebabkan sel pada serviks
berkembang pesat hingga tak terkendali yang
disebut dengan kanker serviks. Riwayat keluarga
merupakan faktor penting penyebab kanker
serviks dipengaruhi oleh kanker serviks
disebabkan oleh genetika atau keturunan. Faktor
risiko yang paling dominan menyebakan kanker
serviks adalah melakukan hubungan seksual
pada umur <20 tahun.
g. Kanker Payudara
Kanker payudara merupakan penyakit tidak
menular salah satu penyebab kematian dari
semua kanker yang dialami oleh wanita di
Indonesia. Penyakit kanker merupakan salah satu
contoh masalah kesehatan seluruh dunia,
meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas
kanker payudara salah satunya karena terdeteksi
pada stadium lanjut. Secara umum penyebab dari
kanker payudara belum diketahui secara pasti,
diduga penyebab kanker payudara adalah factor

77
eksternal dan internal yang menunjukkan adanya
beberapa faktor yang berhubungan dengan
peningkatan risiko atau kemungkinan untuk
terjadinya seseorang terkena kanker payudara.
Wanita yang memiliki faktor risiko, belum tentu
wanita tersebut mengalami kanker payudara.
Tetapi, faktor tersebut dapat meningkatkan
kemungkinan wanita tersebut mengalami kanker
payudara (Nounou et al., 2015). Beberapa faktor
dari kanker payudara yang tidak dapat diubah,
antara lain jenis kelamin, usia, riwayat kanker
payudara dalam keluarga, gen- gen tertentu yang
diwariskan, rasa tau etnis, jaringan payudara
padat, usia menstruasi dini, dan usia
menoupouse terlambat (Smolarz et al., 2022).
Sedangkan faktor yang berhubungan dengan
peningkatan risiko dari aknker payudara itu
sendiri yang dapat dirubah, antara lain obesitas
pasca menopouse, penggunaan hormon estrogen
dan progestin di masa menopause, perilaku
seseorang terhadap merokok, dan konsumsi
alcohol (Ataollahi et al., 2015).
h. Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) dan Abortus
Kehamilan tidak diinginkan atau Unwanted
Pregnancy adalah istilah yang digunakan apabila
terdapat kehamilan yang tidak dikehendaki oleh
wanita yang bersangkutan maupun
lingkungannya (Deswinda et al., 2020). Kehamilan
yang tidak diinginkan (KTD) dapat disebabkan
oleh beberapa faktor, diantaranya adalah
ketidaktahuan atau minimnya pengetahuan
tentang perilaku seksual yang dapat
menyebabkan kehamilan (Panjaitan, 2019). Tidak
mengutamakan alat kontrasepsi terutama untuk
perempuan yang telah menikah, kegagalan alat

78
kontrasepsi, kehamilan yang terjadi akibat
pemerkosaan, kondisi janin yang dianggap cacat,
dan permasalahan ekonomi. Kondisi wanita yang
menolak janin atau kehamilannya akan
mendorong wanita tersebut untuk melakukan
tindakan menggugurkan kandungan. Hal ini akan
berdampak buruk baik bagi ibu itu sendiri
maupun janin yang dikandungnya. Aborsi atau
abortus adalah penghentian kehamilan sebelum
janin berusia 20 minggu karena secara medis
janin tidak bisa bertahan di luar kandungan.
Abortus juga dikatakan sebagai berakhirnya
suatu kehamilan sebelum janin mampu untuk
hidup di luar kandungan. Aborsi sering dilakukan
pada kejadian kehamilan yang tidak diinginkan.
i. Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS
Permasalahan selanjutnya yang dialami WUS
adalah Infeksi Menular Seksual. HIV (Human
Immunodeficiency Virus) adalah virus yang
menyebabkan penyakit AIDS (Acquired Immune
Deficiency Syndrome). HIV/AIDS merupakan
penyakit IMS yang paling berbahaya. Hal ini
dikarenakan penyakit ini menyerang kekebalan
tubuh manusia sehingga tubuh menjadi rentan
dan tidak mampu melawan penyakit
(Purnamawati et al., 2020). Permasalahan ini
masih sangat sulit ditangani, ini dikarenakan
masih minimnya WUS yang melakukan tes HIV
(Vieira et al., 2017). Selain itu, stigma negative
masyarakat tentang HIV/AIDS menjadi faktor
penghambat WUS melakukan deteksi maupun
pengobatan HIV/AIDS (Nurjanah & Wahyono,
2019).

79
j. Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP)
Masalah yang dianggap tabu adalah kekerasan
pada perempuan. Setiap perbuatan yang
dikenakan pada seseorang semata-mata karena
dia perempuan yang berakibat atau dapat
menyebabkan kesengsaraan/penderitaan secara
fisik, psikologis atau seksual. Termasuk juga
ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara sewenang-
wenang baik yang terjadi dimuka umum maupun
kehidupan pribadi. Masalah ini timbul
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya
aspek budaya yang memisahkan peran dan sifat
gender laki-laki dan perempuan secara tidak
setara, aspek ekomoni yang masih bergantung
pada laki-laki, aspek hukum yang belum jelas
tentang hukuman bagi korban perkosaan atau
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
3. Pencegahan dan Skrining Pemeriksaan Kesehatan
WUS
a. Test Darah
Wanita dengan siklus menstruasi tidak teratur
misalnya menstruasi hanya tiga bulan sekali atau
enam bulan sekali dikatakan tidak subur. Jika
dalam kondisi seperti ini, beberapa test darah
perlu dilakukan untuk mengetahui penyebab dari
tidak lancarnya siklus haid. Wanita dengan
keadaan seperti ini harus dilakukan tes darah
untuk mengetahui kadar hormon di dalam tubuh
apakah tinggi atau rendah.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dilakukan terutama pada bagian
leher yaitu kelenjar tiroid, payudara, dan organ

80
reproduksi. Pada leher terdapat kelenjar yang
dinamakan kelenjar tiroid yang mengeluarkan
hormon tiroksin. Jika kelenjar tiroid mengeluarkan
hormon tirosin secara berlebihan akan meberikan
efek wanita tidak akan melepaskan sel telur.
Pemeriksaan pada payudara bertujuan untuk
apakah ada tanda pengeluaran hormone prolaktin
dengan tanda adanya pengeluaran ASI tidak pada
masa kehamilan menandakan adanya kelebihan
hormone ini yang akan menganggu pelepasan sel
telur. Pemeriksaan paling penting adalah
pemeriksaan organ reproduksi untuk memeriksa
keadaan organ reproduksi, selain itu pemeriksaan
ini dilakukan untuk mengetahui lebih awal
sebelum adanya sesuatu yang tidak diinginkan
seperti kanker serviks.
c. Pap Smear dan Skrining IVA (Inspeksi Visual
dengan Asam Asetat)
Pemeriksaan Pap Smear merupakan salah satu
metode yang digunakan untuk melakukan deteksi
dini kanker serviks. Pap smear adalah prosedur
pengambilan sampel jaringan serviks atau leher
rahim yang bertujuan untuk memeriksa kondisi
sel-sel serviks. Tindakan ini dilakukan untuk
memastikan kondisi serviks, deteksi kelainan pada
sel atau jaringan serviks yang mengarah pada
keganasan (Petignat & Roy, 2007). Pap smear
sebaiknya dilakukan secara berkelanjutan yaitu
setiap 3-5 tahun. WUS yang berusia 21 tahun atau
yang sudah berhubungan seksual secara aktif
sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
pap smear. IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat)
adalah pemeriksaan alternatif setelah pap smear
karena pemeriksaan ini murah, praktis, sangat
mudah untuk dilakukan dengan peralatan

81
sederhana dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan
selain dokter. Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA)
adalah pemeriksaan sederhana untuk memeriksa
secara dini kanker serviks. laporan dari konsultan
WHO menyatakan IVA dapat memeriksa lebih awal
adanya lesi atau luka tingkat pra kanker atau
sebelum terjadinya kanker tingkat sensitifitas
sekitar 64-98%. Tujuan pemeriksaan IVA adalah
perkembangan penyakit kanker serviks dengan
pemeriksaan dini sehingga pengobatan awal bisa
dilakukan dan mengetahui kelainan pada serviks.
Menurut WHO pemeriksaan dini kanker serviks
dilakukan pada wanita usia 35-55 tahun maksimal
1 kali seumur hidup dan minimal dilakukan 5
tahun sekali di pelayanan kesehatan seperti
puskesmas, dokter kandungan, bidan.
Berdasarkan Dinas Kesehatan Provinsi Bali (2021)
menargetkan wanita Indonesia usia 30-50 tahun
untuk melakukan pemeriksaan IVA test 1 tahun
sekali bila hasil pemeriksaan positif dan 5 tahun
sekali jika hasil pemeriksaan negative.
Pemeriksaan dini kanker serviks terutama
pemeriksaan IVA test dengan target pemeriksaan
100%.
d. Vaksinasi HPV (Human Papiloma Virus)
Vaksin HPV adalah vaksin yang melindungi tubuh
manusia dari infeksi human papillomavirus (HPV).
HPV merupakan kelompok lebih dari 200 virus,
yang menyebar melalui kontak seksual langsung
(Kashyap et al., 2019). Vaksin ini sangat membantu
untuk mencegah dan menurunkan kejadian
kanker genital, khususnya kanker serviks, Dua
dosis vaksinasi HPV bisa diberikan mulai pada
anak perempuan sampai wanita berusia 10-45
tahun yang belum aktif berhubungan seksual.

82
Dosis pada mereka yang berusia 10-13 tahun yakni
dua kali yakni pada bulan 0 dan bulan ke-6.
Sementara untuk perempuan berusia 13 tahun
keatas, disarankan pemberiannya tiga dosis yakni
bulan ke-0, bulan 1 atau 2 dan bulan ke-6.
e. SADARI (Periksa Payudara Sendiri)
SADARI merupakan pemeriksaan payudara sendiri
salah satu cara untuk mengetahui ada tidaknya
kelainan pada payudara, yang bertujuan untuk
mendeteksi perubahan yang terjadi pada payudara.
Kanker payudara yang lebih efektif jika dilakukan
sedini mungkin ketika wanita sudah mencapai usia
reproduksi. SADARI perlu dilakukan pada
perempuan dengan usia 15-20 tahun. SADARI
akan menurunkan tingkat kematian akibat kanker
payudara sampai 20%, tetapi wanita yang rutin
melakukan SADARI masih rendah yaitu 25%-30%.
SADARI dapat dilakukan rutin setiap sebulan
sekali, yaitu 7-10 hari yang dihitung sejak hari
pertama setelah menstruasi, yang mana payudara
tidak dalam keadaan bengkak maupun nyeri.
SADARI harus dilakukan oleh setiap wanita usia
subur (WUS) agar terhindar dari dari penyakit
kanker payudara. Pemeriksaan payudara sendiri
(SADARI) bisa dilakukan setiap saat yang
terpenting adalah kesadaran untuk melakukan
pemeriksaan SADARI, yang mana dilakukan
pemeriksaan pada bagian -bagian payudara yang
mungkin dijumapi suatu benjolan, perubahan
warna pada area putting, dan perubahan bentuk
pada payudara. Pemeriksaan payudara sendiri
dilakukan tidak lebih dari 2-3 menit

83
f. Pencegahan Anemia
Anemia defisiensi besi dicegah dengan memelihara
keseimbangan antara asupan Fe dengan
kebutuhan dan kehilangan Fe. Jumlah Fe yang
dibutuhkan untuk memelihara keseimbangan ini
bervariasi antara satu dengan yang lain. Cara
mencegah terjadinya anemia dapat dilakukan
dengan cara meningkatkan konsumsi makanan
bergizi dan menambahkan TTD (Tablet Tambah
Darah). Makan makanan yang banyak
mengandung zat besi dari bahan makanan hewani
(daging, ikan, ayam, hati, telur) dan bahan
makanan nabati (sayuran berwarna hijau tua,
kacang-kacangan, tempe). Makan sayursayuran
dan buah-buahan yang banyak mengandung
vitamin C (daun katuk, daun singkong, bayam,
jambu, tomat, jeruk dan nanas) sangat bermanfaat
untuk meningkatkan penyerapan zat besi dalam
usus. Selain itu TTD dapat diberikan jika kadar
Hemoglobin WUS berada di bawah normal.
Tindakan ini dapat dilakukan mulai dari remaja
putri. Tablet tambah darah adalah tablet besi folat
yang setiap tablet mengandung 200 mgferro sulfat
dan 0,25 mg asam folat. Wanita yang sedang hamil
dan menyusui, kebutuhan zat besinya sangat tinggi
sehingga perlu dipersiapkan sedini mungkin
semenjak remaja. Anjuran penggunaan TTD adalah
1 (satu) tablet tambah darah paling sedikit selama
90 hari masa kehamilan dan 40 hari setelah
melahirkan.
g. Pencegahan HIV/AIDS dengan Skrining HIV
Infeksi HIV/AIDS cukup rentan terjadi, penularan
penyakit yang mudah dengan cara kontak langsung
cairan tubuh penderita menjadikan penyebaran
penyakit ini sangat cepat. Oleh karena itu

84
diperlukan tindakan pencegahan HIV/AIDS untuk
menghindari risiko terinfeksi penyakit ini.
Beberapa cara yang dilakukan untuk mencegah
HIV/AIDS diantaranya adalah dengan melakukan
hubungan seksual yang aman, menghindari
penggunaan alat mandi bersama, menghindari
penggunaan jarum suntuk bersama, dan rutin
melakukan Skrining HIV(Ngozi Iroezi, Deborah
Mindry, Paul Kawale, Grace Chikowi, Perry Jansen,
2015). Tindakan Skrining HIV perlu dilakukan
untuk mencegah HIV/AIDS. Seseorang yang telah
aktif berhubungan seksual sangat disarankan
untuk skrining HIV setidaknya 6 bulan sekali.
Skrining ini juga dapat memudahkan seseorang
mendeteksi infeksi penyakit sedini mungkin.
Infeksi HIV yang terdeteksi sedini mungkin dapat
mencegah terjadinya komplikasi penyakit yang
lebih serius (Ezeanolue et al., 2016).
h. Kontrasepsi dan Keluarga Berencana
Kontrasepsi didefinisikan sebagai pencegahan
kehamilan (konsepsi) yang disengaja melalui
penggunaan berbagai kegiatan seksual, obat-
obatan, atau prosedur lainnya (BKKBN, 2020).
Dengan meningkatnya jumlah wanita dan pria usia
subur maka secara tidak langsung akan
meningkatkan angka kehamilan, sehingga
kontrasepsi diperlukan untuk mengatur
kesuburan dan dapat merencanakan kehamilan.
Kontrasepsi ini juga bertujuan untuk menekan
angka kejadian kehamilan yang tidak diinginkan
yang berakhir dengan aborsi (Sharma et al., 2020).
Aborsi yang dilakukan secara tidak aman dapat
meningkatkan kematian ibu (Hassan et al., 2022).
Apabila kontrasepsi dapat digunakan secara
konsisten dan benar oleh wanita yang ingin

85
menghindari kehamilan maka kematian ibu akan
menurun (Mickler et al., 2021).
i. Pencegahan Perilaku Kekerasan pada Perempuan
Pencegahan tindakan kekerasan yang dialami
perempuan perlu lebih ditingkatkan. Upaya
pencegahan dan penanganan korban maupun
pelaku yang ada masih jauh dari memadai. Bagi
para perempuan penyandang cacat, kondisi ini
lebih berat dirasakan. Khusus tentang dukungan
bagi korban untuk dapat melanjutkan hidupnya
secara mandiri dibutuhkan beragam dukungan
yang fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan korban (NOVIANI P et al., 2018).
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan
berani menolak tindakan yang dianggap
melecehkan dan berani melaporkan tindak
kekerasan ke pihak yang berwajib.

86
Daftar Pustaka
Ataollahi, M. R., Sharifi, J., Paknahad, M. R., & Paknahad,
A. (2015). Breast cancer and associated factors: a
review. Journal of Medicine and Life, 8(Spec Iss 4), 6–
11.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28316699
%0Ahttp://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerende
r.fcgi?artid=PMC5319297
BKKBN. (2020). Rencana Strategis BKKBN 2020-2024.
Deswinda, D., Machmud, R., Yusrawati, Y., Indrapriyatna,
A. S., & Bayhakki, B. (2020). Adolescent pregnancy
prevention behavior in indonesia: Internal and
external factors influencing. Open Access Macedonian
Journal of Medical Sciences, 8(E), 516–520.
https://doi.org/10.3889/oamjms.2020.4946
Ezeanolue, E. E., Powell, B. J., Patel, D., Olutola, A.,
Obiefune, M., Dakum, P., Okonkwo, P., Gobir, B.,
Akinmurele, T., Nwandu, A., Torpey, K., Oyeledum, B.,
Aina, M., Eyo, A., Oleribe, O., Ibanga, I., Oko, J.,
Anyaike, C., Idoko, J., … Siberry, G. (2016). Identifying
and prioritizing implementation barriers, gaps, and
strategies through the Nigeria implementation science
alliance: Getting to zero in the prevention of mother-
to-child transmission of HIV. Journal of Acquired
Immune Deficiency Syndromes, 72, S161–S166.
https://doi.org/10.1097/QAI.0000000000001066
Hassan, R., Bhatia, A., Zinke-Allmang, A., Shipow, A.,
Ogolla, C., Gorur, K., & Cislaghi, B. (2022). Navigating
family planning access during Covid-19: A qualitative
study of young women’s access to information,
support and health services in peri-urban Nairobi.
SSM - Qualitative Research in Health, 2(December
2021), 100031.
https://doi.org/10.1016/j.ssmqr.2021.100031
Kashyap, N., Krishnan, N., Kaur, S., & Ghai, S. (2019).
Risk Factors of Cervical Cancer: A Case-Control Study.
Asia-Pacific Journal of Oncology Nursing, 6(3), 308–
314. https://doi.org/10.4103/apjon.apjon_73_18

87
Mickler, A. K., Carrasco, M. A., Raney, L., Sharma, V.,
May, A. V., & Greaney, J. (2021). Applications of the
High Impact Practices in Family Planning during
COVID-19. Sexual and Reproductive Health Matters,
29(1), 1–9.
https://doi.org/10.1080/26410397.2021.1881210
Ngozi Iroezi, Deborah Mindry, Paul Kawale, Grace
Chikowi, Perry Jansen, and R. H. (2015). A qualitative
analysis of the barriers and facilitators to receiving care
in a prevention of mother-to-child program in Nkhoma,
Malawi. 17, 118–129.
Nounou, M. I., Elamrawy, F., Ahmed, N., Abdelraouf, K.,
Goda, S., & Syed-Sha-Qhattal, H. (2015). Breast
cancer: Conventional diagnosis and treatment
modalities and recent patents and technologies
supplementary issue: Targeted therapies in breast
cancer treatment. Breast Cancer: Basic and Clinical
Research, 9, 17–34.
https://doi.org/10.4137/BCBCR.S29420
NOVIANI P, U. Z., Arifah, R., CECEP, C., & Humaedi, S.
(2018). Mengatasi Dan Mencegah Tindak Kekerasan
Seksual Pada Perempuan Dengan Pelatihan Asertif.
Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada
Masyarakat, 5(1), 48.
https://doi.org/10.24198/jppm.v5i1.16035
Nurjanah, N. A. L., & Wahyono, T. Y. M. (2019). Tantangan
Pelaksanaan Program Prevention Of Mother To Child
Transmission (PMTCT): Systematic Review. Jurnal
Kesehatan Vokasional, 4(1), 55.
https://doi.org/10.22146/jkesvo.41998
Panjaitan, A. A. (2019). Adolescent Behavior in Unwanted
Pregnancy Prevention. International Journal of
Research in Law, Economic and Social Sciences, 1(1),
41–46. https://doi.org/10.32501/injuriless.v1i1.59
Petignat, P., & Roy, M. (2007). Diagnosis and management
of cervical cancer. British Medical Journal, 335(7623),
765–768.
https://doi.org/10.1136/bmj.39337.615197.80

88
Purnamawati, D., Djuwita, R., Siregar, K., Kamso, S.,
Utomo, B., Pratomo, H., & Muhaimin, T. (2020).
Improving access to PMTCT services via a novel
implementation model: organizational support, health
education, and HIV testing at the community level of
West Java, Indonesia. International Journal of Health
Promotion and Education, 58(5), 282–292.
https://doi.org/10.1080/14635240.2019.1695525
Sharma, K. A., Zangmo, R., Kumari, A., Roy, K. K., &
Bharti, J. (2020). Family planning and abortion
services in COVID 19 pandemic. Taiwanese Journal of
Obstetrics & Gynecology, January.
Smolarz, B., Zadrożna Nowak, A., & Romanowicz, H.
(2022). Breast Cancer—Epidemiology, Classification,
Pathogenesis and Treatment (Review of Literature).
Cancers, 14(10), 1–27.
https://doi.org/10.3390/cancers14102569
Vieira, N., Rasmussen, D. N., Oliveira, I., Gomes, A., Aaby,
P., Wejse, C., Sodemann, M., Reynolds, L., & Unger, H.
W. (2017). Awareness, attitudes and perceptions
regarding HIV and PMTCT amongst pregnant women
in Guinea-Bissau- a qualitative study. BMC Women’s
Health, 17(1), 1–11. https://doi.org/10.1186/s12905-
017-0427-6
WHO. (2018). WHO Recommendations On Adolescent
Sexual and Reproductive Health and Rights.

89
Profil Penulis
Ns. Ni Komang Tri Agustini, S.Kep., M.Kep.
Ni Komang Tri Agustini lahir di Denpasar
bertepatan dengan hari Kemerdekaan Republik
Indonesia. Menamatkan pendidikan SDN, SLTP,
SLTA di Kota Denpasar. Selanjutnya meneruskan
kuliah Sarjana Keperawatan Ners di Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Bali yang saat ini telah berubah
nama menjadi ITEKES Bali, menempuh S2 Keperawatan pada
prodi Magister Keperawatan FKKMK Universitas Gadjah Mada
tahun 2016. Saat ini aktif bekerja menjadi Dosen Keperawatan
di Institut Teknologi dan Kesehatan (ITEKES) Bali. Pengalaman
bidang pendidikan, menjadi pembicara pada seminar Nasional
dan presenter pada International Conference. Saat ini tetap aktif
melakukan penelitian, publikasi jurnal, dan melakukan
pengabdian kepada masyarakat. Penulis juga aktif dalam
kegiatan ilmiah dan organisasi keprofesian yaitu PPNI
(Persatuan Perawat Nasional Indonesia) dan IPEMI (Ikatan
Perawat Maternitas Indonesia). Sehari-harinya bekerja sebagai
dosen pengampu mata kuliah dasar keperawatan, keperawatan
maternitas, pendidikan kesehatan reproduksi, metode
penelitian kesehatan dan keperawatan, Evidence based nursing.
Selain itu penulis juga aktif dalam menulis jurnal nasional
maupun internasional serta aktif menulis buku ajar dan book
chapter.
Email Penulis: agustini.komang90@gmail.com

90
6
KEHAMILAN

Dr. Lisa Trina Arlym, S.ST., M.Keb.


Universitas Nasional

Kehamilan dan Perubahannya


Kehamilan dimulai dengan proses fertilisasi. Fertilisasi
merupakan proses pertemuan sperma dengan sel telur.
Hasil fertilisasi ini kemudian berkembang dan
berimplantasi di dinding depan atau dinding belakang
fundus uteri. Kehamilan berlangsung selama 280 hari
atau 40 minggu atau sembilan bulan lebih tujuh hari yang
dihitung mulai dari hari pertama seorang wanita
mengalami haid pada terakhir haid.
Wanita hamil atau disebut juga dengan istilah “gravida”
mengalami perubahan secari fisik maupun psikologis
sebagai berikut:
1. Perubahan Fisiologi Kehamilan.
a. Uterus, Ovarium, Vagina dan Vulva
Uterus menjadi lebih besar karena pertumbuhan
hasil konsepsi. Hormon Estrogen menyebabkan
proliferasi jaringan, hormon progesteron
berpengaruh pada kekenyalan/kelenturan
uterus. Serviks uteri menjadi hipervaskularisasi
oleh stimulasi estrogen dan diperlunak oleh
progesteron (tanda Goodell). Sekresi lendir serviks
meningkat selama kehamilan menyebabkan

91
keputihan. Terdapat tanda Hegar yaitu terjadinya
hipertropi pada ismus uteri yang memanjang dan
melunak (Prawirohardjo, 2014). Berat uterus tidak
hamil adalah 30 gram, pada akhir kehamilan (40
minggu) mencapai 1000 gram (1 kg).
Vagina mengalami hipervaskularisasi yang
mengakibatkan warna merah ungu kebiruan yang
disebut tanda Chadwick. Vagina berubah menjadi
lebih asam, keasaman (pH) dari 4 menjadi 6,5
sehingga menyebabkan lebih rentan terhadap
infeksi vagina terutama infeksi jamur. Vagina
menjadi hypersensitif sehingga dapat
meningkatkan libido seksual terutama pada
kehamilan trimester dua. Sejak kehamilan 16
minggu, fungsi produksi progesteron dan estrogen
diambil alih oleh plasenta. Selama kehamilan
ovarium beristirahat (Prawirohardjo, 2014).
b. Payudara
Estrogen dapat memacu perkembangan duktus
(saluran) air susu pada payudara sedangkan
progesterone menambah sel-sel asinus pada
payudara. Meningkatnya produksi zat-zat kasein,
laktoalbumin, laktoglobulin, sel-sel lemak yang
berfungsi sebagai pelumas putting susu,
kolostrum diakibatkan oleh hormon laktogenik
plasenta diantaranya somatomammotropin.
Payudara membesar dan tegang, terjadi
hiperpigmentasi kulit serta hipertrofi kelenjar
Montgomery, terutama daerah areola dan papilla
akibat pengaruh melanofor, puting susu
membesar dan menonjol (Prawirohardjo, 2014).

92
c. Sistem Endokrin
Fluktuasi hormon terjadi selama kehamilan.
Hormon yang berperan adalah hormon
progesteron, estrogen, kortisol, Human Chorionic
Gonadotropin (HCG), dan Human Placental
Lactogen (HPL) (Prawirohardjo, 2014).
1) Progesteron, meningkat selama hamil dan
menurun menjelang persalinan. Produksi
maksimum diperkirakan 250 mg/hari.
Hormon ini berfungsi:
a) Menurunkan tonus otot polos sehingga
menyebabkan; motilitas lambung
terhambat sehingga terjadi mual, aktivitas
kolon menurun sehingga pengosongan
berjalan lambat, menyebabkan reabsorbsi
air meningkat, akibatnya ibu hamil
mengalami, konstipasi, tonus otot
menurun sehingga menyebabkan
aktivitas menurun, tonus vesica urinaria
dan ureter menurun menyebabkan terjadi
statis urine
b) Menurunkan tonus vaskuler:
menyebabkan penurunan tekanan
diastolic yang menyebabkan dilatasi vena
c) Meningkatkan suhu tubuh
d) Meningkatkan cadangan lemak
e) Memicu peningkatan pernafasan
f) Memicu perkembangan payudara
2) Estrogen, kadarnya meningkat beratus kali
lipat maksimum 30-40 mg/hari. Kadar terus
meningkat menjelang aterm. Hormon ini
berfungsi memicu pertumbuhan dan

93
pengendalian fungsi uterus, bersama dengan
progesterone memicu pertumbuhan
payudara, merubah konsitusi kimiawi
jaringan ikat sehingga lebih lentur dan
menyebabkan servik elastis, persendian
melunak dan mobilitas meningkat, retensi air
dan menurunkan sekresi natrium.
3) Human Chorionic Gonadotropin (HCG)
dihasilkan oleh trofoblas pada awal
kehamilan, selanjutnya dihasilkan oleh
plasenta. HCG mencapai puncaknya pada
minggu ke 8 hingga ke-11 kehamilan.
4) Human Placental Lactogen (HPL), terus
meningkat seiring dengan pertumbuhan
plasenta selama kehamilan. Mempunyai efek
laktogenik dan antagonis insulin. HPL juga
bersifat diabetogenik sehingga menyebabkan
kebutuhan insulin pada wanita hamil
meningkat.
d. Sistem Pernafasan
Ibu hamil sering mengeluhkan sesak napas yang
biasanya terjadi setelah minggu ke-32 kehamilan.
Ini karena rahim yang tumbuh yang menekan dan
mendorong usus, diafragma. Kebutuhan oksigen
wanita hamil meningkat sampai 20%, sehingga
untuk memenuhi kebutuhan oksigen wanita
hamil bernapas dalam. Peningkatan estrogen
selama kehamilan dapat menyebabkan
peningkatan vaskularisasi di saluran pernapasan
atas.
e. Sistem Perkemihan
Hormon estrogen dan progesteron dapat
menyebabkan ureter melebar dan melemahkan

94
tonus otot di saluran kemih. Lebih sering buang
air kecil (poliuria), laju filtrasi glumerulus
meningkat menjadi 69%. Selama trimester
pertama dan ketiga, pembesaran rahim dapat
menekan dinding saluran kemih, menyebabkan
hidroureter dan mungkin hidronefrosis sementara
sehingga ibu hamil sering buang air kecil sehingga
sangat dianjurkan untuk sering mengganti celana
dalam agar tetap kering.
f. Sistem Pencernaan
Terjadi mual dan muntah karena meningkatnya
hormon estrogen dan HCG. Jika mual muntah
terjadi pada pagi hari disebut Morning Sickness.
Terjadi perubahan peristaltic yang sering
dikaitkan dengan perut kembung dan sembelit.
Peningkatan aliran darah ke panggul dan tekanan
vena yang mengakibatkan hemoroid pada akhir
kehamilan. Terjadi hiperemia pada gusi dan
cenderung mudah berdarah. Air liur tidak
meningkat, meskipun banyak ibu hamil
mengeluhkan air liur yang berlebihan (ptialism),
perasaan ini mungkin karena ibu hamil jarang
menelan air liur secara tidak sadar. Selama
trimester pertama kehamilan, ibu hamil sering
mengalami penurunan nafsu makan, yang
mungkin disebabkan oleh rasa mual dan muntah
yang biasa terjadi pada kehamilan muda. Pada
trimester kedua, mual dan muntah berkurang dan
nafsu makan meningkat.
Timbulnya rasa tidak enak di ulu hati disebabkan
karena perubahan posisi lambung dan aliran
asam lambung ke arah bawah tenggorokan.
Produksi asam lambung menurun. Dibawah
pengaruh hormon HCG, mual dan muntah sering
terjadi dan tonus otot saluran cerna menurun.

95
Pengeluaran air liur berlebihan dari biasa.
Pembesaran uterus mengakibatkan lambung dan
usus akan tergeser, appendiks yang akan bergeser
ke arah atas dan lateral. Terjadi penurunan
motilitas otot polos pada organ digestif dan
penurunan sekresi asam lambung yang
memungkinkan penyerapan nutrisi lebih banyak,
tetapi dapat muncul juga keluhan seperti
konstipasi.
g. Sistem Kardiovaskuler
Perubahan kardiovaskuler meliputi:
1) Retensi cairan, peningkatan beban volume
dan curah jantung
2) Hemodilusi menyebabkan anemia,
hemoglobin turun sampai 10 %.
3) Resistensi pembuluh darah perifer menurun
4) Tekanan darah sistolik maupun diastolik
pada ibu hamil trimester pertama turun 5
sampai 10 mm Hg, hal ini kemungkinan
disebabkan karena terjadinya vasodilatasi
perifer akibat perubahan hormonal pada
kehamilan. Tekanan darah menjadi normal
pada trimester ketiga kehamilan.
5) Curah jantung meningkay 30-50%,
puncaknya pada akhir trimester pertama dan
berlanjut hingga akhir kehamilan
6) Total volume darah ibu meningkat menjadi
50%
7) Pada trimester kedua denyut jantung
meningkat 10-15 kali/menit, dapat terjadi
palpitasi.

96
8) Volume plasma meningkat dengan cepat pada
awal kehamilan dan kemudian meningkat
hingga akhir kehamilan (Prawirohardjo,
2014).
h. Sistem Integumen
Terjadi perubahan pada kulit yaitu terjadi
hiperpigmentasi atau warna kulit yang tampak
lebih gelap. Hal ini disebabkan oleh peningkatan
hormon Melanosit Stimulating Hormon (MSH).
Hiperpigmentsi dapat muncul di wajah, leher,
payudara, perut, lipat paha dan ketiak.
Hiperpigmentasi pada wajah disebut kloasma
gravidarum biasanya terjadi pada hidung, pipi dan
dahi. Hiperpigmentasi pada perut terjadi pada
garis tengah berwarna hitam kebiruan dari pusat
kebawah sampai sympisis yang disebut linea nigra
(Prawirohardjo, 2014).
i. Metabolisme
Basal Metabolic Rate (BMR) meningkat menjadi
15-20 % pada akhir kehamilan, terjadi juga
hipertrofi tiroid sehingga kelenjar tyroid terlihat
jelas pada ibu hamil. Peningkatan BMR
menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan
oksigen. Vasodilatasi perifer dan peningkatan
fungsi kelenjar keringat membantu pelepasan
panas akibat peningkatan metabolisme selama
kehamilan (Prawirohardjo, 2014).
j. Sistem Muskuloskeletal
Bentuk tubuh ibu hamil berangsur-angsur
berubah untuk mengakomodasi bertambahnya
berat badan ibu hamil dan bertambahnya ukuran
janin, sehingga mengubah postur dan cara
berjalan ibu hamil. Posisi ibu hamil adalah

97
hiperlordosis yang menyebabkan kelelahan dan
nyeri punggung. Posisi hiperlordosis dapat
disebabkan oleh sepatu hamil yang terlalu tinggi
sehingga memaksa tubuh untuk beradaptasi,
maka sebaiknya ibu hamil menggunakan sepatu
yang tipis dan tidak licin yang tidak hanya
nyaman, tetapi juga mencegah terjadinya
kecelakaan (Prawirohardjo, 2014).
k. Darah dan Pembekuan Darah
Peningkatan volume darah sekitar 1500 ml yang
terdiri dari 1000 ml plasma dan ± 450 ml sel darah
merah. Penambahan volume terjadi sekitar
minggu ke 10-12. Peningkatan volume darah ini
sangat penting bagi pertahanan tubuh untuk:
hipertrofi pembuluh darah akibat distensi uterus,
hidrasi jaringan janin dan ibu saat berdiri atau
berbaring dan cadangan cairan untuk
menggantikan darah yang hilang selama
persalinan dan melahirkan. Meskipun produksi
sel darah merah meningkat tetapi haemoglobin
dan haematokrit menurun, hal ini disebut anemia
fisiologis. Ibu hamil trimester II mengalami
penurunan haemoglobin dan haematokrit yang
cepat karena pada saat ini terjadi ekspansi volume
darah yang cepat. Penurunan Hb paling rendah
pada minggu ke-20 kehamilan dan kemudian
meningkat sedikit sampai hamil cukup bulan. Ibu
hamil dikatakan anemi apabila Hb < 11 gram %
pada trimester I dan III, Hb < 10,5 gram % pada
trimester II (Prawirohardjo, 2014).
l. Berat Badan dan IMT
Berat badan ibu harus bertambah selama
kehamilan, tetapi seringkali pada trimester
pertama berat badan tetap atau bahkan turun.

98
Hal ini dikarenakan mual, muntah dan
berkurangnya nafsu makan sehingga
berkurangnya asupan nutrisi. Pada kehamilan
trimester ke II ibu akan merasa lebih nyaman
umumnya mual muntah mulai berkurang dan
nafsu makan mulai bertambah sehingga berat
badan ibu mulai bertambah hingga akhir
kehamilan. Peningkatan berat badan selama
hamil mempunyai kontribusi penting dalam hasil
kehamilan oleh karena itu ibu hamil harus
menimbang berat badan setiap bulan pada saat
pemeriksaan kehamilan. Penambahan BB ibu
sebagian disimpan dalam bentuk lemak sebagai
cadangan makanan janin pada trimester terakhir
dan sumber energi pada awal masa menyusui.
Pada awal kehamilan atau pada saat pemeriksaan
kehamilan pertama harus dilakukan
penghitungan Indeks Masa Tubuh (IMT) untuk
menentukan kenaikan berat badan selama hamil
yang dianjurkan kepada ibu hamil. IMT dihitung
dengan membagi berat badan sebelum hamil
(dalam kg) dengan kuadrat tinggi badan (dalam
meter) (Arlym, 2022).
m. Sistem Persarafan
Perubahan persarafan pada ibu hamil belum
banyak diketahui. Gejala neurologis dan
neuromuskular adalah perubahan sensori
tungkai bawah dikarenakan kompresi saraf
panggul dan stasis vaskular, tarikan saraf atau
kompresi akar saraf dapat menyebabkan
perasaan nyeri akibat pembesaran uterus. Edema
pada ekstremitas melibatkan saraf perifer,
menekan saraf median di bawah karpalis
pergelangan tangan dan menimbulkan rasa
terbakar atau rasa gatal dan nyeri pada tangan

99
menjalar ke siku. Posisi yang membungkuk
menyebabkan tarikan pada segmen pleksus
brakhialis menimbulkan rasa baal atau gatal di
tangan. Keluhan kram otot disebabkan oleh
hipokalsemia dam nyeri kepala disebabkan oleh
vasomotor yang tidak stabil, hipotensi postural
atau hipoglikemia.
2. Perubahan Psikologis
Kehamilan sering menimbulkan banyak reaksi baik
fisik dan psikologis. Kita pernah menemukan seorang
ibu hamil yang mengeluh khawatir menghadapi
persalinan, khawatir kalau anaknya cacat, kadang
mudah menangis tanpa sebab. Keluhan tersebut
adalah perubahan psikologis yang terjadi pada ibu
hamil. Perubahan psikologis pada ibu hamil satu
dengan yang lain bisa saja berbeda-beda. Perubahan
psikologis yang dialami ibu hamil akan mengganggu
apabila ibu siap menerima kehamilannya, sebaliknya
jika ibu tidak siap maka akan mengganggu.
a. Trimester 1
Trimester pertama merupakan masa penentuan
untuk membuktikan bahwa wanita dalam
keadaan hamil, maka responnya berbeda-beda.
Berikut hal-hal yang mungkin terjadi:
1) Sikap ambivalen, kadang-kadang ibu merasa
senang dan bahagia karena akan menjadi ibu
dan orangtua, tetapi ada ibu hamil merasa
sedih dan bahkan kecewa setelah mengetahui
dirinya hamil. Hal ini disebabkan karena ibu
merasa tidak sehat karena mual dan muntah
di pagi hari, lelah, lemah dan payudara
membesar disebabkan peningkatan hormon
progesterone dan estrogen.

100
2) Untuk meyakinkan bahwa terjadi kehamilan
maka ibu akan selalu mencari tanda-tanda.
Setiap perubahan yang terjadi pada tubuhnya
akan selalu diperhatikan dengan seksama.
3) Sikap ibu terhadap suami atau terhadap
orang lain juga berbeda–beda, kadang ingin
merahasiakannya, hal ini bisa terjadi karena
memang perutnya masih kecil dan belum
kelihatan membesar, tapi ada ibu yang ingin
segera memberitahukan kepada suami atau
orang lain tentang kehamilannya.
4) Hasrat untuk melakukan hubungan sex, pada
wanita trimester pertama ini juga berbeda.
Beberapa ibu peningkatan libido dan ada juga
mengalami penurunan libido yang disebabkan
kual muntah dan merasa tidak sehat.
5) Reaksi pertama seorang pria ketika
mengetahui bahwa dirinya akan menjadi ayah
adalah timbulnya kebanggaan atas
kemampuannya mempunyai keturunan
bercampur dengan keprihatinan akan
kesiapan untuk menjadi seorang ayah dan
mencari nafkah untuk keluarganya. Calon
ayah akan sangat memperhatikan keadaan
ibu dan menghindari hubungan seks karena
takut akan mencederai bayinya walaupun ada
yang mempunyai hasrat seks yang relatif lebih
besar pada ibu hamil.
b. Trimester 2
Trimester kedua ibu merasa lebih sehat dan hal
ini sering disebut sebagai periode pancaran
kesehatan. Berikut hal-hal yang mungkin terjadi:

101
1) Ibu merasa lebih sehat. Rasa tidak nyaman
sudah berkurang dikarenakan tubuh sudah
terbiasa dengan kadar hormon yang lebih
tinggi. Ibu belum merasakan beban karena
perut belum terlalu besar. Ibu sudah dapat
menerima kehamilannya dan mulai
menggunakan energi dan pikirannya secara
lebih konstruktif.
2) Ibu dapat merasakan gerakan bayi dan mulai
merasakan kehadiran bayinya sebagai
seorang diluar dari dirinya sendiri.
3) Ibu merasa terlepas kecemasan, lebih stabil,
sanggup mengatur diri lebih baik, keadaan
lebih menyenangkan, libido meningkat, mulai
terbiasa dengan perubahan fisik dan mulai
menerima dan mengerti tentang
kehamilannya.
4) Beberapa ibu akan menjadi sedikit pelupa
selama kehamilannya, ada beberapa teori
tentang hal ini karena tubuh ibu terus bekerja
berlebihan untuk perkembangan bayinya
sehingga menimbulkan blok pikiran.
5) Suami lebih menyadari tanggung jawabnya
akan bertambah sehingga lebih giat mencari
uang. Suami semakin semangat
dimungkinkan karena suami merasakan
gerakan bayi saat meraba perut ibu.
c. Trimester 3
Trimester ketiga, ibu merasa tidak sabar
menunggu kelahiran, disebut juga sebagai periode
menunggu dan waspada. Berikut hal-hal yang
mungkin terjadi:

102
1) Kadang merasa khawatir akan lahirnya bayi
sewaktu-waktu, lahir dalam keadaan tidak
normal.
2) Meningkatnya kewaspadaan akan timbulnya
tanda dan gejala persalinan, takut dengan
rasa sakit yang timbul pada saat persalinan,
rasa tidak nyaman dengan semakin berat
beban kehamilan dan kehilangan perhatian
yang sehingga memerlukan dukungan baik
dari suami, keluarga maupun tenaga
kesehatan.
3) Aktif mempersiapkan peralatan untuk bayi
dan menjadi orang tua.
4) Keluarga mulai menduga-duga tentang jenis
kelamin bayinya (apakah laki-laki atau
perempuan) dan akan mirip siapa dan
memilih sebuah nama untuk bayinya.
Pemeriksaan Kehamilan
Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh tenaga kesehatan yang terampil kepada ibu
hamil untuk memastikan kondisi kesehatan ibu dan janin
baik. Komponen ANC menurut WHO (2016) meliputi
identifikasi risiko, pencegahan dan manajemen terkait
kehamilan dan penyakit penyerta, pendidikan kesehatan
dan promosi kesehatan (WHO, 2016).
1. Jumlah Pemeriksaan
Jumlah pemeriksaan adalah frekuensi pemeriksaan
antenatal yang dilakukan oleh ibu hamil selama
rentang usia kehamilan. Rekomendasi WHO (2016)
menyebutkan bahwa pemeriksaan kehamilan
dilakukan minimal delapan kali. Kontak pertama
dilakukan pada trimester pertama (hingga 12 minggu
kehamilan), kontak kedua dan ketiga pada trimester

103
kedua (pada usia kehamilan 20 dan 26 minggu) dan
lima kontak dijadwalkan pada trimester ketiga (pada
usia kehamilan 30, 34, 36, 38 dan 40 minggu). WHO
menyebutkan kata “kontak” daripada kunjungan
karena mensyaratkan hubungan aktif antara ibu
hamil dan tenaga kesehatan (WHO, 2016).
Saat ini pemeriksaan kehamilan dilakukan minimal
enam kali yaitu satu kali pada trimester pertama (0-
12 minggu), dua kali pada trimester kedua (12-14
minggu) dan tiga kali pada trimester ketiga (>24
minggu). Selama kehamilan paling sedikit dua kali
oleh dokter atau dokter spesialis kebidanan dan
kandungan pada trimester pertama untuk melakukan
skrinning kemungkinan faktor risiko kehamilan atau
penyakit penyerta termasuk USG dan trimester ketiga
untuk perencanaan persalinan termasuk USG dan
rujukan jika diperlukan (Kemenkes, 2021).
2. Standar Pemeriksaan Kehamilan
Dalam melakukan pemeriksaan antenatal, tenaga
kesehatan harus memberikan pelayanan yang
berkualitas sesuai standar 10 T terdiri dari
(Kemenkes, 2021):
a. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan
b. Ukur tekanan darah
c. Nilai status gizi (ukur lingkar lengan atas/LILA)
d. Ukur tinggi puncak rahim (fundus uteri)
e. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung
janin (DJJ)
f. Skrining status imunisasi tetanus dan berikan
imunisasi tetanus difteri (Td) bila diperlukan
g. Pemberian tablet tambah darah minimal 90 tablet
selama masa kehamilan

104
h. Tes laboratorium: tes kehamilan, kadar
hemoglobin darah, golongan darah, tes triple
eliminasi (HIV, Sifilis dan Hepatitis B,) malaria
pada daerah endemis. Tes lainnya dapat
dilakukan sesuai indikasi seperti gluko-protein
urin, gula darah sewaktu, sputum Basil Tahan
Asam (BTA), kusta, malaria daerah non endemis,
pemeriksaan feses untuk kecacingan,
pemeriksaan darah lengkap untuk deteksi dini
talasemia dan pemeriksaan lainnya.
i. Tata laksana/penanganan kasus sesuai
kewenangan.
j. Temu wicara (konseling) dan penilaian kesehatan
jiwa. Informasi yang disampaikan saat konseling
minimal meliputi hasil pemeriksaan, perawatan
sesuai usia kehamilan dan usia ibu, gizi ibu hamil,
kesiapan mental, mengenali tanda bahaya
kehamilan, persalinan, dan nifas, persiapan
persalinan, kontrasepsi pascapersalinan,
perawatan bayi baru lahir, inisiasi menyusu dini,
ASI eksklusif.
Kualitas pelayanan antenatal yang diberikan akan
mempengaruhi kesehatan ibu hamil dan janinnnya, ibu
bersalin dan bayi baru lahir serta ibu nifas. Dalam
pelayanan antenatal terpadu, tenaga kesehatan harus
mampu melakukan deteksi dini masalah gizi, faktor
risiko, komplikasi kebidanan, gangguan jiwa, penyakit
menular yang dialami ibu hamil serta melakukan tata
laksana secara adekuat (termasuk rujukan apabila
diperlukan) sehingga ibu hamil siap untuk mennjalani
persalinan bersih dan aman (Kemenkes, 2021).

105
Daftar Pustaka
Arlym, L. T. (2022). Cara Mengkaji dan Mengukur Status
Gizi dan Kebutuhan Nutrisi pada Ibu Hamil. In Gizi
pada Ibu Hamil (pp. 147–157). Media Sains Indonesia.
Fitriani I.S., (2020). Refocusing Problem Ibu Hamil. Unmuh
Ponorogo Press.
Irianti, B., Halida, E. M., Duhita, F., Prabandari, F., Yulita,
N., Hartiningtiyaswati, S., & Anggraini, Y. (2014).
Asuhan Kehamilan Berbasis Bukti (F. Husin (Ed.); 1st
ed.). CV Sagung Seto.
Kemenkes. (2021). PMK No. 21 tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum
Hamil, Masa Hamil, Persalinan dan Masa Sesudah
Melahirkan, Pelayanan Kontrasepso dan Pelayanan
Kesehatan Seksual.
Prawirohardjo, S. (2014). Ilmu Kebidanan edisi keempat.
PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
WHO. (2016). WHO Recommendations on Antenatal Care
for a Positive Pregnancy Experience. Word Health
Organization.

106
Profil Penulis
Dr. Lisa Trina Arlym, S.ST., M.Keb.
Penulis merupakan anak ke-3 dari 5 bersaudara,
memiliki orangtua yang berkecimpung di bidang
kesehatan. Penulis adalah dosen pada Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Nasional. Penulis
menyelesaikan pendidikan kebidanan program
diploma III pada tahun 2003 di Akademi Kebidanan Budi
Kemuliaan Jakarta, kemudian menyelesaikan program diploma
IV dan S2 Kebidanan di Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran Bandung pada tahun 2005 dan 2011. Penulis
kemudian melanjutkan pendidikan Doktoral di Fakultas
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia lulus pada tahun 2022.
Sebagai dosen, penulis aktif melaksanakan pendidikan,
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Penulis
memiliki kepakaran dalam bidang kehamilan dan gizi ibu hamil,
persalinan dan kebidanan komplementer. Penulis telah
menyelesaikan beberapa buku diantaranya; Buku Ajar Asuhan
Kehamilan untuk Program Sarjana Kebidanan, Gizi Ibu Hamil,
Kesehatan Reproduksi, Ibu dan Anak dan artikel-artikel
lainnya.
Penulis memiliki sertifikasi internasional Childbirth Educator
and Doula, Certified Instructor Infant Massage, konselor laktasi
dan fasilitator prenatal yoga. Mendidik dan mentransfer ilmu
dalam bentuk apapun merupakan hal yang paling disenangi
oleh penulis. Motto hidup penulis tebarkan ilmu yang
bermanfaat sebagai ladang amal kita di akhirat nanti.
Email Penulis: lisatrina@civitas.unas.ac.id

107
108
7
PERSALINAN

Ns. Putu Noviana Sagitarini, S.Kep., M.Kes.


Institut Teknologi dan Kesehatan Bali

Pengertian Persalinan
Persalinan adalah proses pengeluaran janin yang terjadi
pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), tanpa
komplikasi baik ibu maupun janin, yang didahului
dengan proses membuka dan menipisnya serviks
(Sukarni, I & Wahyu, 2013).
Persalinan merupakan proses memindahkan janin,
plasenta dan selaput ketuban dari uterus dan melalui
jalan lahir (Lowdermilk et al, 2013).
Persalinan adalah suatu proses fisiologis yang
memungkinkan serangkaian perubahan yang besar pada
ibu untuk dapat melahirkan janinnya melalui jalan lahir
(Moore, 2001)
Dari beberapa pengertian persalinan diatas, dapat
disimpulkan bahwa persalinan adalah proses pengeluaran
hasil konsepsi yang berupa janin dan plasenta dari uterus
ke dunia luar, yang cukup bulan tanpa komplikasi baik
pada ibu maupun janin.
Teori Terjadinya Persalinan
Sebab terjadinya persalinan sampai kini masih
merupakan teori-teori yang kompleks. Ada banyak faktor
yang memegang peranan dan bekerjasama sehingga

109
terjadi persalinan. Beberapa teori yang dikemukakan
adalah penurunan kadar progesterone, teori oksitosin,
keregangan otot-otot dan teori prostaglandin (Kurniarum,
2016)
1. Penurunan Kadar Progesterone
Seperti diketahui hormon progesterone menimbulkan
relaksasi pada otot rahim, sebaliknya hormone
estrogen meninggikan kerentanan otot rahim. Selama
kehamilan terjadi keseimbangan kadar kedua hormon
dalam darah, namun pada akhir kehamilan kadar
progesterone menurun sehingga menimbulkan his.
Produksi hormon progesterone mengalami penurunan
karena mulai umur kehamilan 28 minggu
berlangsung proses penuaan plasenta yang
mengakibatkan penimbunan jaringan ikat dan
pembuluh darah mengalami penyempitan dan buntu,
sehingga otot rahim lebih sensitive terhadap oksitosin.
Akibatnya otot rahim mulai berkontraksi setelah
tercapai tingkat penurunan progesterone.
2. Teori Oksitosin
Hormone oksitosin diproduksi oleh kelenjar hipofisis
parst posterior. Perubahan keseimbangan estrogen
dan progesterone dapat mengubah sensitivitas otot
rahim, sehingga sering terjadi kontraksi Braxton
Hicks. Pada akhir kehamilan, kadar progesterone
dalam darah mengalami penurunan sehingga kadar
oksitosin meningkat. Hal ini mengakibatkan
peningkatan aktivitas otot-otot rahim, yang
memunculkan tanda-tanda persalinan.
3. Keregangan Otot-Otot
Otot rahim mempunyai kemampuan meregang dalam
batas tertentu. Setelah melewati batas tertentu terjadi
kontraksi sehingga persalinan dapat dimulai. Seperti

110
halnya bladder, bila dindingnya teregang oleh isi yang
bertambah maka timbul kontraksi untuk
mengeluarkan isinya. Demikian pula dengan rahim,
maka dengan majunya kehamilan maka semakin
meningkatnya keregangan otot rahim. Jika sudah
mencapai batas tertentu, maka akan terjadi kontraksi
yang merupakan tanda awal persalinan.
4. Teori Prostaglandin
Konsentrasi prostaglandin meningkat sejak umur
kehamilan 15 minggu yang dikeluarkan oleh desidua.
Prostaglandin yang dihasilkan oleh desidua diduga
menjadi salah satu sebab permulaan persalinan. Hasil
dari percobaan menunjukkan bahwa prostaglandin F2
atau E2 yang diberikan secara intravena, intra dan
extra amnial menimbulkan kontraksi miometrium
pada setiap umur kehamilan. Pemberian
prostaglandin saat hamil dapat menimbulkan
kontraksi otot rahim sehingga hasil konsepsi dapat
keluar. Prostaglandin dapat dianggap sebagai pemicu
terjadinya persalinan. Hal ini juga didukung dengan
adanya kadar prostaglandin yang tinggi baik dalam air
ketuban maupun daerah perifer pada ibu
hamil, sebelum melahirkan atau selama persalinan.
Faktor yang Mempengaruhi Persalinan
Setidaknya ada lima faktor yang mempengaruhi proses
persalinan dan kelahiran. Faktor-faktor ini mudah diingat
sebagai lima P antara lain passenger (fetus dan plasenta),
passageway (jalan lahir), powers (kontraksi), position
(posisi ibu) dan psychology (Lowdermilk et al, 2013).
1. Passenger
Cara passanger melewati jalan lahir ditentukan oleh
berbagai faktor yang saling berinteraksi, ukuran
kepala janin, presentasi janin, posisi janin, letak janin

111
dan sikap janin. Oleh karena plasenta juga harus
melewati jalan lahir, plasenta ini dapat juga disebut
sebagai passanger bersama dengan janin. Namun
plasenta jarang menghalangi proses persalinan pada
kelahiran normal, kecuali pada kasus plasenta previa.
Karena ukuran dan rigiditas relatifnya, ukuran kepala
janin memiliki efek yang besar dalam proses
kelahiran. Tengkorak janin terdiri atas dua tulang
parietal, dua tulang temporal, tulang frontal dan
tulang oksipital. Tulang-tulang ini dihubungkan oleh
sutura membrane: sagittal, lambdoidal, koronal dan
frontal. Ruang berisi membrane disebut fontanel
(ubun-ubun) terletak pada tempat sutura bertemu.
Selama persalinan, setelah pecahnya membrane,
palpasi fontanel dan sutura selama pemeriksaan
vagina menunjukkan presentasi kepala, posisi dan
sikap janin.
Presentasi merujuk pada bagian janin yang
memasuki pintu atas panggul pertama kali dan
melalui kanal lahir selama persalinan aterm. Tiga
presentasi utama berupa presentasi sefalik (kepala
pertama) terjadi pada 96% kelahiran, presentasi
bokong (pantat atau kaki terlebih dahulu) terjadi pada
3% kelahiran, dan presentasi bahu ditemukan pada
1% kelahiran. Letak janin merupakan hubungan
sumbu panjang (tulang belakang) janin terhadap
sumbu panjang (tulang belakang) ibu. Dua letak janin
yang utama adalah longitudinal atau vertikal dimana
sumbu panjang janin paralel dengan sumbu panjang
ibu, dan transversal, horizontal atau oblik dimana
sumbu panjang janin terletak diagonal pada sudut
tertentu dari sumbu panjang ibu. Sikap adalah
hubungan antara bagian tubuh janin terhadap bagian
lainnya. Normalnya punggung janin berbentuk
melengkung sehingga dagu fleksi pada leher, paha
fleksi pada abdomen dan tungkai fleksi pada lutut.
112
Lengan dalam posisi menyilang di depan dada dan tali
pusat terletak diantara lengan dan tungkai. Sikap ini
disebut fleksi menyeluruh. Posisi adalah hubungan
dari bagian yang dipresentasikan (oksiput, sacrum,
mentum atau sinsiput) terhadap empat kuadran
panggul ibu. Posisi dituliskan dalam singkatan tiga
huruf. Huruf pertama dari singkatan menandakan
lokasi bagian yang dipresentasikan padda sisi kanan
(R) atau kiri (L) dari panggul ibu. Huruf tengah
menunjukkan bagian khusus yang dipresentasikan
janin (O untuk oksiput, S untuk sacrum, M untuk
mentum dan Sc untuk scapula). Huruf ketiga
menunjukkan lokasi dari bagian yang dipresentasikan
berhubungan dengan bagian anterior (A0, posterior (P)
atau transversal (T) dari panggul ibu.
Salah satu penelitian yang mendukung teori diatas
adalah penelitian yang dilakukan di Klinik Harapan
Bunda Kabupaten Padang Lawas Utara Tahun 2021
menyatakan terdapat hubungan yang signifikan
antara passenger (janin dan plasenta) dengan
persalinan, p=0,000 < 0,05. Dari 25 responden yang
mempunyai passenger baik mayoritas kontraksi
uterusnya kuat sebanyak 19 orang (63,3%). Dari 5
responden yang mempunyai passenger tidak baik
mayoritas kontraksi uterusnya lemah sebanyak 3
orang (10,0%) (Tanjung RDS & Jahriani N, 2022).
2. Passageway
Passageway atau jalan lahir tersusun dari tulang
panggul ibu yang keras dan jaringan lunak dari
serviks, dasar panggul, vagina dan introitus vagina.
Walaupun jaringan lunak terutama lapisan otot pada
dasar panggul berperan dalam kelahiran janin melalui
vagina, panggul ibu memainkan peranan yang sangat
penting pada proses persalinan karena janin harus
berhasil mengakomodasi dirinya melalui jalan lahir

113
yang relatif kaku ini. Oleh karena itu, ukuran dan
bentuk panggul harus ditentukan sebelum persalinan
dimulai.
Tulang panggul dibentuk melalui fusi dari tulang
ilium, ischium, pubis dan tulang skarum. Keempat
sendi panggul adalah simfisis pubis, sendi sakroiliaka
kanan dan kiri, serta sendi sakrokoksigeal. Tulang
panggul dipisahkan oleh pintu masuk panggul
menjadi dua bagian yaitu panggul palsu dan panggul
sejati. Panggul palsu merupakan bagian diatas pintu
masuk panggul dan tidak berperan dalam proses
persalinan. Panggul sejati adalah bagian yang terlibat
dalam proses persalinan, dibagi menjadi tiga bagian
yaitu pintu masuk panggul, tengah panggul atau
rongga dan pintu keluar panggul.
Pintu masuk panggul merupakan batas atas dari
panggul sejati, dibentuk oleh batas atas tulang pubis
di bagian anterior, garis iliopektinal di sepanjang
tulang inominata pada bagian lateral dan batas atas
anterior sacrum dan promontorium sacrum di bagian
posterior. Ruang panggul atau tengah panggul
merupakan jalur melengkung dengan dinding anterior
yang pendek dan dinding posterior cekung yang lebih
Panjang. Kedua dinding ini dihubungkan oleh bagian
posterior dari simfisis pubis, ischium, bagian dari
ilium, sacrum dan koksigeal. Pintu keluar panggul
merupakan batas bawah dari panggul sejati. Pintu ini
berbentuk oval, kadang berbentuk berlian
dihubungkan oleh arkus pubis pada bagian anterior,
tuberositas ischium pada bagian lateral dan ujung
tulang koksigeal di bagian posterior. Kanal panggul
bervariasi dalam ukuran dan bentuk dalam berbagai
derajat. Diameter dari pintu masuk panggul, tengah
panggul dan pintu keluar panggul, beserta sumbu
dari kanal lahir menentukan apakah kelahiran

114
melalui vagina mungkin dilakukan dan dalam posisi
bagaimana janin akan turun melalui kanal lahir.
3. Powers
Powers merupakan kekuatan untuk mendorong janin
keluar. Kekuatan ini ada dua yaitu kekuatan yang
tidak disadari dan disadari. Kekuatan yang tidak
disadari disebut juga dengan kekuatan primer adalah
kontraksi uterus, sedangkan kekuatan sekunder
adalah usaha mengejan ibu ketika serviks telah
berdilatasi. Istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kontraksi yang tidak disadari
meliputi frekuensi (waktu dari permulaan suatu
kontraksi hingga permulaan kontraksi berikutnya),
durasi (lama kontraksi dari awal hingga akhir) dan
intensitas (kekuatan kontraksi). Kekuatan primer
berperan dalam penipisan dan pembukaan serviks
serta penurunan janin. Segera setelah bagian yang
dipresentasikan mencapai dasar panggul, kontraksi
berubah karakternya menjadi dorongan. Ibu
menggunakan kekuatan sekunder (usaha mengejan)
untuk membantu mengeluarkan janin. Kekuatan
sekunder tidak memiliki efek terhadap pembukaan
serviks, namun penting dalam mengeluarkan bayi
dari uterus dan vagina setelah serviks mengalami
pembukaan lengkap. Power yang baik saat mengedan
akan meningkatkan kontraksi uterus dan dapat
mempercepat proses persalinan.
4. Position
Posisi ibu bersalin mempengaruhi adaptasi anatomi
dan fisiologi wanita terhadap persalinan. Perubahan
posisi yang sering mengurangi kelelahan,
meningkatkan kenyamanan dan meningkatkan
sirkulasi. Oleh karena itu, ibu bersalin harus
didukung untuk menemukan posisi yang paling
nyaman baginya.

115
5. Psychology
Faktor psikologis ibu memainkan peran penting
dalam proses persalinan. Ketakutan serta kecemasan
seringkali menjadi penghambat yang membuat proses
persalinan menjadi lama. Kecemasan yang dialami ibu
akan mengakibatkan spasme pada jaringan otot
sehingga jalan lahir menjadi kaku dan tidak bisa
mengembang, akibatnya proses persalinan menjadi
terhambat.
Tanda yang Mengawali Persalinan
Persalinan dimulai bila ibu sudah dalam inpartu (saat
uterus berkontraksi menyebabkan perubahan pada
serviks membuka dan menipis), berakhir dengan lahirnya
plasenta secara lengkap. Tanda dan gejala menjelang
persalinan antara lain: perasaan distensi berkurang
(lightening), perubahan serviks, persalinan palsu, bloody
show dan lonjakan energi (Sukarni, I & Wahyu, 2013).
Berikut penjelasan dari tanda dan gejala menjelang
persalinan:
1. Lightening
Lightening yang mulai dirasakan kira-kira 2 minggu
menjelang persalinan adalah perubahan bagian
presentasi kedalam pelvis minor. Lightening adalah
sebutan bahwa kepala janin sudah turun. Sesak nafas
yang dirasakan sebelumnya selama trimester III
kehamilan akan berkurang karena kondisi ini akan
menciptakan ruang yang lebih besar di dalam
abdomen atas untuk ekspansi paru. Namun rasa
tidak nyaman lain yang akan dirasakan ibu adalah ibu
jadi sering berkemih, karena kandung kemih ditekan
sehingga ruang yang tersisa untuk ekspansi
berkurang.

116
2. Perubahan Serviks
Perubahan serviks diduga terjadi akibat peningkatan
intensitas Braxton hicks. Servik menjadi matang
seperti lembek, mulai mendatar dan sekresinya
bertambah. Kematangan serviks mengindikasikan
kesiapan ibu untuk melakukan persalinan.
3. Persalinan Palsu
Persalinan palsu dapat terjadi selama berhari-hari
atau secara intermiten, bahkan tiga atau empat
minggu sebelum persalinan. Persalinan palsu sangat
nyeri dan ibu bisa mengalami kurang tidur dan
kurang energi untuk menghadapinya. Untuk itu,
pendamping ibu diharapkan memiliki pemahaman,
kesabaran dan bersedia memberi dukungan pada ibu.
4. Bloody Show
Bloody show adalah pengeluaran plak lender yang
disekresi serviks sebagai hasil proliferasi kelenjar
serviks pada awal kehamilan. Plak ini menjadi sawar
pelindung dan menutup jalan lahir selama kehamilan.
5. Lonjakan Energi
Terjadinya lonjakan energi belum dapat dijelaskan
selain bahwa hal tersebut terjadi alamiah, yang
memungkinkan ibu meperoleh energi yang diperlukan
untuk menjalani persalinan. Ibu harus diberi
informasi tentang kemungkinan lonjakan energi ini
dan diarahkan untuk menahan diri menggunakannya
dan menghematnya untuk persalinan.
Macam-Macam Persalinan
Menurut Kusumawardani, 2019 menyatakan bahwa ada
beberapa jenis persalinan diantaranya adalah:

117
1. Persalinan spontan atau normal
Persalinan spontan atau normal adalah persalinan
yang berlangsung dengan kekuatan ibu sendiri
melalui jalan lahir.
2. Persalinan buatan
Persalinan buatan adalah persalinan yang dilakukan
bila dibantu tenaga dari luar seperti ekstraksi forceps
atau dilakukan section caesarea
3. Persalinan anjuran
Persalinan anjuran adalah persalinan yang tidak
dimulai dengan sendirinya, tetapi baru berlangsung
setelah pemecahan ketuban, pemberian Pitocin atau
prostaglandin
Tahapan Persalinan Normal
Persalinan normal terdiri dari empat kala yaitu kala I (kala
pembukaan), kala II (kala pengeluaran janin), kala III (kala
pengeluaran plasenta) dan kala IV (observasi selama 2 jam
setelah melahirkan).
1. Kala I
Kala I persalinan dimulai sejak terjadinya kontraksi
uterus dan pembukaan serviks hingga mencapai
pembukaan lengkap (10 cm). Persalinan kala I dibagi
menjadi 2 fase yaitu fase laten dan fase aktif. Adapun
penjelasan dari masing-masing fase sebagai berikut:
a. Fase laten
Fase laten dimulai sejak awal kontraksi yang
menyebabkan penipisan dan pembukaan serviks
secara bertahap sampai dengan pembukaan
serviks 3 cm. Fase ini berlangsung hingga 8 jam.

118
b. Fase aktif
Pada fase aktif, frekuensi dan lama kontraksi
uterus umumnya meningkat (konraksi dianggap
adekuat bila terjadi tiga kali atau lebih dalam
waktu 10 menit dan berlangsung selama 40 detik
atau lebih), serviks membuka dari 4-10 cm,
biasanya dengan kecepatan 1 cm atau lebih per
jam hingga pembukaan lengkap. Fase aktif dibagi
menjadi 3 subfase yaitu:
1) Fase akselerasi, dalam waktu 2 jam
pembukaan 3 cm menjadi 4 cm,
2) Fase dilatasi maksimal, dalam waktu 2 jam
pembukaan berlangsung sangat cepat dari 4
cm menjadi 9 cm,
3) Fase deselerasi, pembukaan menjadi lambat
kembali, dalam waktu 2 jam pembukaan dari
9 cm menjadi lengkap.
Proses ini terjadi pada primigravida maupun
multigravida, namun pada multigravida
memerlukan waktu yang relatif lebih singkat
dibandingkan primigravida. Waktu yang
diperlukan primigravida untuk melewati kala I
sekitar 12 jam, sedangkan pada multigravida
sekitar 8 jam (Sondakh, 2013). Adapun
perubahan fisiologi yang dirasakan oleh ibu pada
kala I adalah perubahan hormone, perubahan
pada vagina dan dasar panggul, perubahan
serviks, perubahan uterus dan penurunan janin.
Perubahan psikologis yang mungkin dirasakan
oleh ibu selama kala I adalah rasa takut terhadap
persalinan, stress, ketidaknyamanan, cemas dan
sebagainya. Yang perlu diperhatikan oleh petugas
kesehatan maupun pendamping ibu di kala I
adalah menjaga kebutuhan rasa aman dan

119
nyaman, memenuhi kebutuhan nutrisi ibu,
menjaga privasi ibu dan memberikan dukungan
emosional, social dan spiritual.
2. Kala II
Persalinan kala II dimulai dari pembukaan lengkap
(10 cm) sampai bayi lahir. Adapun tanda dan gejala
persalinan kala II antara lain:
a. Ibu merasakan ingin meneran bersamaan dengan
terjadinya kontraksi
b. Ibu merasakan ada peningkatan tekanan pada
rectum/vagina
c. Perineum menonjol
d. Vulva vagina, spunter ani membuka
e. Meningkatnya pengeluaran lender darah
Kala II persalinan merupakan pekerjaan yang sangat
sulit bagi ibu. Suhu tubuh ibu akan meningikat, ibu
akan mengedan selama kontraksi dan merasa
kelelahan. Petugas kesehatan harus mendukung ibu
atas usahanya untuk melahirkan bayinya. Tata
laksana yang harus diperhatikan pada kala II adalah
persiapan persalinan (ruangan, penolong,
perlengkapan persalinan, dan tempat untuk bayi),
mendiagnosa persalinan kala II dan membimbing
meneran, pemantauan selama penatalaksanaan kala
II (periksa dan catat nadi ibu, frekuensi dan lama
kontraksi, denyut jantung janin, dan sebagainya),
mencegah laserasi, melahirkan kepala, melahirkan
bahu, melahirkan tubuh bayidan memotong tali
pusat.
3. Kala III
Persalinan kala III dimulai setelah bayi lahir dan
berakhir dengan lahirnya plasenta. Pada umunya

120
plasenta berbentuk bulat atau oval yang memiliki
diameter 15-20 cm, tebal 2-3 cm, berat 500-600 gram,
semnetara tali pusat yang menghubungkan plasenta
dengan bayi memiliki Panjang sekitar 25-60 cm
(Sondakh, 2013).
Tanda pelepasan plasenta antara lain:
a. Uterus menjadi bundar
b. Perdarahan
c. Tali pusat yang lahir memanjang
d. Funtus uteri naik
Manajemen aktif kala III yaitu:
1) Jepit dan gunting tali pusat sedini mungkin
2) Memberikan oksitosin
3) Lakukan PTT (peregangan tali pusat
terkendali)
4) Masase fundus
4. Kala IV
Persalinan kala IV adalah dua jam pertama setelah
melahirkan. Ini adalah waktu yang krusial untuk ibu
dan bayi. Keduanya tidak hanya memulihkan diri
secara fisik karena proses melahirkan, tetapi juga
untuk mengenali satu sama lain dengan anggota
keluarga lainnya. Saat ini organ tubuh ibu mengalami
penyesuaian awal terhadap keadaan tidak hamil dan
sistem tubuh mulai stabil. Adapun pemeriksaan yang
dilakukan pada kala IV adalahpemeriksaan tekanan
darah, nadi, suhu, fundus, kandung kemih, lochea
dan perineum. Hal tersebut harus rutin diperiksa
untuk memastikan bahwa ibu pulih dengan baik dari
proses melahirkan.

121
Daftar Pustaka
Kurniarum, A. (2016) Asuhan Kebidanan Persalinan dan
Bayi Baru Lahir. Jakarta Selatan: Kemenkes RI.
Kusumawardani, Y. M. (2019) Klasifikasi Persalinan
Normal Atau Caesar Menggunakan Algoritma C4.5.
Universitas Sunan Ampel Surabaya.
Lowdermilk, P. & C. (2013) Keperawatan Maternitas.
Singapore: Elsevier Ltd.
Moore (2001) Essensial Obstetri dan Ginekologi Edisi 2.
Jakarta: Hipokrates.
Sondakh (2013) Asuhan Kebidanan Persalinan & Bayi
Baru Lahir. Jakarta: Erlangga.
Sukarni, I & Wahyu, P. (2013) Buku Ajar Keperawatan
Maternitas. Yogyakarta: Nuha Medika.
Tanjung RDS & Jahriani N (2022) ‘Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Persalinan Normal Di Klinik Harapan
Bunda Kabupaten Padang Lawas Utara Tahun 2021’,
Jurnal GENTLE BIRTH, 5(1), pp. 1–7.

122
Profil Penulis
Ns. Putu Noviana Sagitarini, S.Kep., M.Kes.
Penulis dilahirkan di Desa Banyuatis, Kecamatan
Banjar, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali pada
tanggal 19 Desember 1987. Merupakan anak
pertama dari dua bersaudara. Penulis
menamatkan pendidikan SDN, SLTP, SLTA di Kota
Denpasar. Penulis menyelesaikan program S1 di Program Studi
Sarjana Keperawatan Ners Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bali,
lulus tahun 2011. Selanjutnya penulis menyelesaikan program
S2 di Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat dengan
konsentrasi KIA-Kespr Universitas Udayana, lulus tahun 2018.
Saat ini penulis bekerja menjadi Dosen Keperawatan di Institut
Teknologi dan Kesehatan Bali dengan mengampu mata kuliah
pemenuhan kebutuhan dasar manusia, komunikasi efektif dan
keperawatan maternitas. Selain itu penulis juga aktif
melakukan penelitian, publikasi jurnal, dan melakukan
pengabdian kepada masyarakat.
Email Penulis: sagitarini.novi@gmail.com

123
124
8
POSTPARTUM

Rizki Dyah Haninggar, M.Keb.


Poltekkes Kemenkes Mamuju

Pendahuluan
Periode postpartum atau masa nifas merupakan waktu
yang diperlukan untuk memulihkan kembali organ
reproduksi seperti sebelum hamil. Proses ini dimulai sejak
kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-alat
kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil serta
membutuhkan waktu 6 minggu atau 42 hari (Maritalia,
2017).
Masa ini merupakan masa yang cukup penting bagi
tenaga kesehatan untuk selalu melakukan pemantauan
karena pelaksanaan yang kurang maksimal dapat
menyebabkan ibu mengalami berbagai masalah, bahkan
dapat berlanjut pada komplikasi masa nifas, seperti sepsis
puerperalis. Jika ditinjau dari penyebab kematian para
ibu, infeksi merupakan penyebab kematian terbanyak
nomor dua setelah perdarahan sehingga sangat tepat jika
para tenaga kesehatan memberikan perhatian yang tinggi
pada masa ini. Adanya permasalahan pada ibu akan
berimbas juga kepada kesejahteraan bayi yang dilahirkan
karena bayi tersebut tidak akan mendapatkan perawatan
maksimal dari ibunya (Mauluddina, 2022).
Perawatan pada masa postpartum harus menjadi
perhatian karena diperkirakan 60% kematian ibu akibat

125
kehamilan terjadi setelah persalinan, dan 50% kematian
masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab
utama kematian ibu yaitu karena perdarahan 30,3%,
hipertensi 27,1%, infeksi 7,3%, lain - lain 40,8 %.
Morbiditas pada minggu awal postpartum biasanya
disebabkan karena mastitis, infeksi traktus urinarius,
infeksi pada episiotomi atau laserasi, dan penyakit
lainnya. Asuhan masa nifas diperlukan dalam periode ini
karena merupakan masa kritis baik ibu maupun bayinya
(Nurrahmaton, 2019).
Tujuan Asuhan Kebidanan pada Masa Postpartum
Tujuan dari pemberian asuhan kebidanan pada masa
nifas (postpartum) adalah sebagai berikut :
1. Menjaga kesehatan ibu dan bayinya, baik fisik, mental
maupun psikologis.
2. Mendeteksi adanya masalah pada masa nifas,
mengobati dan melakukan rujukan bila terjadi
komplikasi pada ibu nifas maupun bayinya.
3. Memberikan health education tentang perawatan
kesehatan diri, perawatan pada bayi, nutrisi yang
tepat pada masa nifas, kontrasepsi pasca salin, cara
menyusui yang benar beserta manfaatnya.
4. Memberikan pelayanan KB (kontrasepsi) (Purwanto,
2018).
Kebijakan Program Nasional Kunjungan Masa Nifas
(Postpartum)
Kunjungan masa nifas dilakukan paling sedikit empat kali
selama periode Masa Nifas (Postpartum). Kunjungan ini
bertujuan untuk menilai status ibu dan bayi baru lahir,
mencegah kemungkinan timbulnya masalah pada masa
nifas, mendeteksi dan menangani masalah-masalah yang
terjadi pada masa postpartum (Kemenkes RI, 2023).

126
Kunjungan
Waktu Tujuan
Nifas (KF)
KF 1 6-48 1. Mencegah pendarahan masa nifas
Jam karena atonia uteri.
2. Mendeteksi dan merawat penyebab lain
pendarahan, merujuk bila pendarahan
berlanjut.
3. Memberikan konseling kepada ibu dan
salah satu anggota keluarga
bagaimana mencegah pendarahan
masa nifas karena atonia uteri.
4. Pemberian ASI awal.
5. Melakukan supervisi pada ibu
bagaimana teknik melakukan
hubungan antara ibu dan bayi baru
lahir.
6. Menjaga bayi tetap sehat dengan cara
mencegah hipotermia dan jika bidan
menolong persalinan, ia harus tinggal
dengan ibu dan bayi baru lahir untuk
2 jam pertama setelah kelahiran, atau
sampai ibu dan bayi dalam keadaan
stabil.
KF 2 Hari 1. Memastikan involusi uterus berjalan
normal; uterus berkontraksi, fundus
dibawah umbilikus, tidak ada
perdarahan abnormal, dan tidak ada
bau.
2. Menilai adanya tanda-tanda demam,
infeksi atau cairan, dan perdarahan
abnormal.
3. Memastikan ibu cukup makan, minum
dan istirahat (kebutuhan hidup
terpenuhi).
4. Memastikan ibu menyusui dengan
baik dan tidak memperlihatkan tanda-
tanda penyulit selama menyusui.
5. Memberikan konseling pada ibu
mengenai asuhan pada bayi;
perawatan tali pusat, menjaga bayi
tetap hangat dan merawat bayi sehari-
hari
8-28
KF 3 Sama seperti diatas (KF3)
Hari
KF 4 29-42 1. Menanyakan pada ibu tentang
Hari penyulit–penyulit yang ia atau bayi
alami.
2. Memberikan konseling untuk
mendapatkan pelayanan KB secara
dini.

127
Perubahan Sistem Reproduksi pada Masa Postpartum
Pada masa postpartum, terjadi perubahan-perubahan
anatomi dan fisiologis pada ibu. Perubahan fisiologis yang
terjadi sangat jelas walaupun dianggap normal, proses-
proses pada kehamilan berjalan terbalik. Banyak faktor,
termasuk tingkat energi, tingkat kenyamanan, kesehatan
bayi baru lahir dan perawatan serta dorongan semangat
yang diberikan oleh tenaga kesehatan, ikut membentuk
respon ibu terhadap bayinya selama masa nifas. Untuk
memberikan asuhan yang menguntungkan terhadap ibu,
bayi dan keluarganya, seorang bidan harus memahami
dan memiliki pengetahuan tentang perubahan-perubahan
anatomi dan fisiologis dalam masa postpartum (Safari,
2022).
Perubahan pada sistem reproduksi secara keseluruhan
disebut involusi. Organ pada sistem reproduksi yang
mengalami perubahan pada masa postpartum, yaitu:
1. Uterus
Uterus adalah organ yang mengalami banyak
perubahan besar selama masa kehamilan dan
persalinan. Pembesaran uterus tidak terjadi secara
terus menerus, sehingga adanya janin dalam uterus
tidak dalam jangka waktu lama. Bila adanya janin
tersebut melebihi waktu yang seharusnya, maka
terjadi kerusakan serabut otot yang tidak
dikehendaki. Proses katabolisme bermanfaat untuk
mencegah terjadinya masalah tersebut (Sibagariang,
2016).
Proses involusi uterus adalah proses pengerutan
rahim atau kembalinya rahim ke keadaan sebelum
hamil dengan berat sekitar 60 gram. Proses ini dimulai
segera setelah plasenta lahir sampai dengan 6 minggu
(42 han) post partum yang discbabkan karena adanya
kontraksi pada otot polos uterus. Jika terjadi masalah

128
kontraksi pada masa nifas akan berdampak sehingga
terjadi subinvolusi. Penyebab subinvolusi yang paling
sering adalah tertahannya fragmen plasenta dan
akibat adanya infeksi jalan lahir dan rahim
(Nurhayati, 2022).
Tinggi fundus uteri dan berat uterus menurut masa
involusi terlihat pada tabel berikut ini :
Palpasi
Involusi Berat Diameter
TFU Serviks
Uterus Uterus Uterus
Uterus
Setinggi
Bayi Lahir 1000 gr 12,5 cm Lembut/lunak
pusat
Plasenta Dua jari
750 gr 12,5 cm Lembut/lunak
lahir bawah pusat
Pertengahan
1 Minggu pusat 500 gr 7,5 cm 2 cm
simpisis
Tidak teraba
2 Minggu diatas 300 gr 5 cm 1 cm
simfisis
Bertambah
6 Minggu 60 gr 2,5 cm Menyempit
kecil

2. Lochea
Lochea adalah ekskresi cairan rahim selama masa
postpartum yang mempunyai reaksi basa/alkalis
yang dapat membuat organisme berkembang lebih
cepat (Violita, 2019). Lochea mulai terjadi pada jam
pertama post partum sampai empat belas hari masa
nifas dengan jumlah semakin berkurang. Lochea
mengandung darah dan sisa jaringan desidua yang
nekrotik dan dalam uterus. Pemeriksaan lochea
meliputi bau yang khas, amis atau bau darah dan jika
ada infeksi ditandai dengan lochea yang berbau
busuk. Lochea juga mengalami perubahan karena
proses involusi. Perubahan lochea pada masa post
partum yaitu:
a. Lochea Rubra: 1-3 hari post partum, berwarna
merah dan hitam, terdiri dan sel desidua, verniks

129
kaseosa, rambut lanugo, sisa mikonium, sisa
darah.
b. Lochea Sanguinolenta: 4-7 hari berwarna putih
campur merah kecokiatan,
c. Lochea Serosa: 8- 14 hari berwarna kekuningan,
mengandung serum, leukosit.
d. Lochea Alba: setelah hari ke-14 berwarna putih,
terdiri dan leukosit, sel desidua, sel epitel, selaput
lendir serviks dan serabut jaringan yang mati.
e. Lochea Purulenta: lochea ini terjadi karena infeksi,
keluar cairan seperti nanah berbau busuk.
f. Lochea Statis: pengeluaran lochea yang tidak
lancar (Dewi, 2020).
Perubahan Psikologi pada Masa Postpartum
Perubahan fisiologis pada masa postpartum menimbulkan
dampak perubahan psikologis pada ibu nifas. Pada masa
ini ibu mengalami stimulasi kegembiraan yang luar biasa,
dalam menjalani proses eksplorasi dan asimilasi terhadap
bayinya. Ibu berada dibawah tekanan untuk dapat
menyerap pembelajaran yang di perlukan tentang apa
yang harus di ketahuinya untuk perawatan diri dan
perawatan untuk bayinya, serta merasa tanggungjawab
luar biasa sekarang untuk menjadi seorang Ibu. Proses
adaptasi psikologi sudah terjadi selama kehamilan,
menjelang proses kelahiran maupun setelah persalinan.
Pada periode tersebut, kecemasan seorang wanita dapat
bertambah. Pengalaman yang unik dialami oleh ibu
setelah persalinan. Masa nifas merupakan masa yang
rentan dan terbuka untuk bimbingan dan pembelajaran.
Perubahan peran seorang ibu memerlukan adaptasi.
Dukungan keluarga dan tenaga kesehatan sangat
dibutuhkan pada masa nifas (Saleha, 2013).

130
Tahapan Adaptasi Psikologi pada Masa Postpartum
1. Fase Taking In (Masa Ketergantungan)
Terjadi pada 1-2 han setelah persalinan. Pada fase ini
ibu masih pasif dan sangat bergantung pada orang
lain, fokus perhatian terhadap tubuhnya, ibu lebih
mengingat pengalaman melahirkan dan persalinan
yang dialami serta kebutuhan tidur dan nafsu makan
meningkat. Ketidaknyamanan fisik yang dialami ibu
pada fase ini seperti rasa mules, nyeri pada jahitan,
kurang tidur dan kelelahan merupakan sesuatu yang
tidak dapat dihindari. Hal tersebut membuat ibu perlu
cukup istirahat untuk mencegah gangguan psikologis
yang mungkin dialami, seperti mudah tersinggung
dan menangis. Peran keluarga dan tenaga kesehatan
sangat dibutuhan agar ibu dapat melewati fase ini.
2. Fase Taking Hold
Berlangsung 3-10 hari postpartum, secara bertahap
tenaga ibu mulai meningkat dan merasa nyaman, ibu
sudah mulai mandiri namun masih memerlukan
bantuan, ibu sudah mulai memperlihatkan perawatan
diri dan keinginan untuk belajar merawat bayinya.
Pada fase ini pula ibu timbul rasa khawatir akan
ketidakmampuan dan rasa tanggung jawabnya dalam
merawat bayi. Pada masa ini ibu menjadi sangat
sensitif, sehingga membutuhkan bimbingan dan
dorongan perawat untuk mengatasi kritikan yang
dialami ibu. Dukungan moril sangat diperlukan untuk
menumbuhkan kepercayaan diri ibu.
3. Fase Letting go
Fase ini berlangsung sepuluh hari setelah melahirkan.
Fase letting go yaitu periode menerima tanggung
jawab akan peran barunya. Pada fase ini ibu sudah
mulai menyesuaikan diri dengan ketergantungan

131
bayinya. Ibu memahami bahwa bayi butuh disusui
sehingga siap terjaga untuk memenuhi kebutuhan
bayinya. Keinginan untuk merawat diri dan bayinya
sudah meningkat pada fase ini. Ibu akan lebih percaya
diri dalam menjalani peran barunya. Pendidikan
kesehatan yang kita berikan pada fase sebelumnya
akan sangat berguna bagi ibu. Ibu lebih mandiri
dalam memenuhi kebutuhan diri dan bayinya.
Dukungan suami dan keluarga masih terus
diperlukan oleh ibu. Suami dan keluarga dapat
membantu merawat bayi, mengerjakan urusan rumah
tangga sehingga ibu tidak terlalu terbebani. Ibu
memerlukan istirahat yang cukup, sehingga
mendapatkan kondisi fisik yang bagus untuk dapat
merawat bayinya (Saleha, 2013).
Cara Menyusui dan Perawatan Payudara
Menyusui bayi bermanfaat dalam involusi uterus
(pemulihan rahim) dan kesehatan payudara. ASI
merupakan gizi terbaik bagi bayi, maka dari itu
dianjurkan memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan.
Cara menyusui yang benar:
1. Menyusui sesering mungkin/semau bayi (8-12 kali
sehari atau lebih).
2. Bila bayi tidur lebih dari 3 jam, bangunkan, lalu susui
3. Susui sampai payudara terasa kosong, lalu pindah ke
payudara sisi yang lain
4. Apabila bayi sudah kenyang, tetapi payudara masih
terasa penuh/kencang, maka payudara perlu diperah,
ASI disimpan. Hal ini bertujuan mencegah mastitis
dan menjaga pasokan ASI (Kemenkes RI, 2023).

132
Posisi dan Pelekatan Menyusui yang Benar
Posisi bayi: Pelekatan:
1. Kepala dan badan bayi 1. Bayi dekat dengan payudara
membentuk garis lurus dengan mulut terbuka lebar
2. Wajah bayi menghadap 2. Dagu bayi menyentuh
payudara, hidung payudara
berhadapan dengan puting
susu
3. Badan bayi dekat ke tubuh 3. Bagian areola di atas lebih
ibu banyak terlihat dibanding di
4. Ibu bawah mulut bayi
menggendong/mendekap 4. Bibir bawah bayi memutar
badan bayi secara utuh keluar (dower)

Perawatan Payudara:
1. Menjaga payudara tetap bersih dan kering
2. Menggunakan bra yang menyokong payudara
3. Puting lecet dapat dicegah dengan memastikan
perlekatan mulut bayi saat menyusu dengan benar
(mencapai areola)
4. Payudara bengkak dapat menimbulkan nyeri. Atasi
dengan memerah ASI dan kompres dingin 15-20 menit
(Wahyuni, 2022).
Perawatan pada Masa Postpartum
Perawatan masa nifas (postpartum) dimulai sejak kala
uri/pengeluaran plasenta dengan menghindarkan adanya
kemungkinan terjadinya perdarahan post partum dan
infeksi. Bila ada perlukaan jalan lahir atau luka bekas
episiotomi, lakukan penjahitan dan perawatan luka
dengan sebaik-baiknya. Penolong persalinan harus tetap
waspada sekurang-kurangnya 1 jam sesudah melahirkan,
untuk mengatasi kemungkinan terjadinya perdarahan
post partum (Aprilya, 2018).
Pelayanan kesehatan pada masa postpartum mulai dari 6
jam sampai 42 hari pasca bersalin oleh tenaga kesehatan
minimal 4 kali kunjungan selama masa nifas. Pertama: 6
jam - 2 hari setelah persalinan, kedua: 3-7 hari setelah
133
persalinan, ketiga: 8–28 hari setelah persalinan, keempat
29-42 hari setelah persalinan (Kemenkes RI, 2023).
Pelayanan kesehatan ibu nifas meliputi:
1. Menanyakan kondisi ibu nifas secara umum
2. Pengukuran tekanan darah, suhu tubuh, pernapasan,
dan nadi
3. Pemeriksaan lochea dan perdarahan
4. Pemeriksaan kondisi jalan lahir dan tanda infeksi
5. Pemeriksaan kontraksi rahim dan tinggi fundus uteri
6. Pemeriksaan payudara dan anjuran pemberian ASI
Eksklusif
7. Pemberian kapsul vitamin A (2 kapsul)
Pertama diberikan segera setelah melahirkan danyang
kedua diberikan setelah 24 jam dan jadwal pemberian
kapsul vitamin A yang pertama. Pemberiaan kapsul
vitamin A bermanfaat untuk meningkatkan
kandungan vitamin A dalam ASI, untuk pertumbuhan
dan peningkatan daya tahan tubuh (Nurhayati, 2022).
8. Pelayanan kontrasepsi Pasca Persalinan
9. Konseling.
10. Tatalaksana pada ibu nifas sakit atau ibu nifas
dengan komplikasi.
Pemberian Edukasi pada ibu nifas yaitu:
a. Makan makanan yang beraneka ragam yang
mengandung karbohidrat, protein hewani, protein
nabati, sayur, dan buah-buahan. Rata – rata
tambahan kalori yang dibutuhkan adalah 500
kalori setiap hari.

134
b. Kebutuhan air minum pada ibu menyusui pada 6
bulan pertama adalah 14 gelas sehari dan pada 6
bulan kedua adalah 12 gelas sehari.
c. Ajarkan ibu untuk menjaga kebersihan tubuh
terutama daerah genitalia dan perineum.
Anjurkan ibu untuk mengganti pembalut sesering
mungkin mencuci tangan dengan sabun sebelum
dan sesudah membersihkan daerah kelamin.
Untuk daerah perineum yang mengalami laserasi
atau robekan perineum bersihkan daerah tersebut
dengan air dingin minimal sehari sekali. Bidan
dapat memberikan edukasi bagaimana cara
membersihkan daerah genatalia dengan terlebih
dahulu membersihkan daerah sekitar vulva dan
depan ke belakang, kemudian bersihkan daerah
sekitar anus (Zubaidah, 2021).
d. Istirahat cukup, saat bayi tidur ibu istirahat Ibu
nifas dianjurkan untuk istirahat cukup agar
terhindar rasa lelah yang berlebihan. Ibu nifas
yang kurang istirahat akan mempengaruhi
produksi ASI, memperlambat proses involusi dan
bisa menyebabkan ibu mengalami post partum
blues.
e. Melakukan aktivitas fisik pasca melahirkan
dengan intensitas ringan sampai sedang selama
30 menit, frekuensi 3-5 kali dalam seminggu
f. Bagi ibu yang melahirkan dengan cara operasi
caesar maka harus menjaga kebersihan luka
bekas operasi. Latihan fisik dapat dilakukan
setelah 3 (tiga) bulan pasca melahirkan.
g. Kegiatan seksual dapat dilakukan jika darah
merah berhenti dan ibu dapat memasukkan 1
atau 2 jari ke dalam vagina tanpa rasa nyeri. Pada
beberapa budaya atau tradisi hubungan seksual

135
dilakukan ketika ibu sudah 40 hari paska
persalinan.
h. Cara menyusui yang benar dan hanya memberi
ASI saja selama 6 bulan.
i. Perawatan bayi yang benar.
j. Jangan membiarkan bayi menangis terlalu lama,
karena akan membuat bayi stress.
k. Lakukan stimulasi komunikasi dengan bayi sedini
mungkin bersama suami dan keluarga.
l. Untuk berkonsultasi kepada tenaga kesehatan
untuk pelayanan KB setelah persalinan
(Kemenkes RI, 2023).
KB Paska Persalinan
KB Paska Persalinan adalah pemanfaatan atau
penggunaan alat kontrasepsi langsung sesudah
melahirkan sampai 6 minggu/42 hari sesudah
melahirkan. Prinsip pemilihan metode kontrasepsi yang
digunakan tidak mengganggu produksi ASI dan sesuai
dengan kondisi ibu (Kemenkes RI, 2023).
Tujuan KB Paska Persalinan, antara lain:
1. Mengatur jarak dan mencegah kehamilan agar tidak
terlalu dekat (minimal 2 tahun setelah melahirkan.
2. Mengatur jumlah anak agar ibu tidak terlalu sering
melahirkan (sebaiknya tidak lebih dari tiga)
3. Mencegah kehamilan yang tidak diinginkan
4. Menjaga dan meningkatkan kesehatan ibu, bayi dan
balita.
5. Ibu memiliki waktu dan perhatian yang cukup untuk
dirinya sendiri, anak dan keluarga

136
Jenis-jenis KB Paska Persalinan:
1. Metode Kontrasepsi Jangka Panjang
a. Metode Operasi Wanita (MOW), Metode Operasi
Pria (MOP)
b. Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)/spiral,
jangka waktu penggunaan bisa sampai 10 tahun.
c. Implan (alat kontrasepsi bawah kulit), jangka
waktu penggunaan 3 tahun.
2. Non Metode Kontrasepsi Jangka Panjang:
a. Kontrasepsi suntik 3 bulan diberikan setelah 6
minggu pasca persalinan. Untuk ibu menyusui,
tidak disarankan menggunakan KB suntik 1
bulan, karena akan mengganggu produksi ASI
b. Pil KB.
c. Kondom.

137
Daftar Pustaka
Aprilya, T. D. (2018). Perbedaan Percepatan Kesembuhan
Luka Jahitan Perineum Dengandan Tanpa Anestesi
Lokal Pada Ibu Nifas. Health Sciences Journal. Vol 4
No. 2, Hal. 50-63
Dewi, Y. V. A. (2020). Buku Ajar Asuhan Kebidanan 3.
Media Sains Indonesia.
Kementerian Kesehatan RI. (2023). Buku Kesehatan Ibu
dan Anak. Jakarta: Kemenkes RI.
Maritalia, D. (2017). Asuhan Kebidanan Pada Ibu
Nifas. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Mauluddina, F. (2022). Pelayanan Asuhan Postpartum di
Komunitas. Community Development Journal: Jurnal
Pengabdian Masyarakat, 3(3), 1744-1746.
Nurhayati, S. S. T. (2022). Kesehatan Ibu Nifas. Kesehatan
Keluarga, 31.
Nurrahmaton. (2019). Hubungan Pengetahuan Ibu Nifas
Tentang Perawatan Luka Perineum Dengan Proses
Penyembuhan Luka Di Bpm Sunggal Medan Tahun
2018. Jurnal Gentle Birth, 2(1), 18-27.
Purwanto, T. S., & Rahayu, T. P. (2018). Asuhan
kebidanan Nifas dan Menyusui. Cetakan ke 2.
Surabaya.
Safari, F. R. N., & Sinaga, E. B. (2022). Pemanfaatan Pilis
Wangi Dan Jamu Pasca Melahirkan Sebagai Terapi
Tradisional Perawatan Nifas Di Wilayah Kerja Klinik
Anugrah Binjai Tahun 2022. Jurnal Pengabdian
Masyarakat Aufa (Jpma), 4(2), 39-45.
Saleha, S. (2013). Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas.
Jakarta: Salemba Medika.
Sibagariang, E. E. (2016). Kesehatan Reproduksi Wanita–
Edisi Revisi. Jakarta Trans Info Media.

138
Violita, T. Y. V. (2019). Efektifitas Ikan Gabus Terhadap
Penyembuhan Luka Perineum Pada Ibu Post Partum
di Wilayah Kerja Puskesmas Kalongan Kabupaten
Semarang Tahun 2019 (Doctoral dissertation,
Universitas Ngudi Waluyo).
Wahyuni, E., Andriani, L., Yanniarti, S., & Yorita, E.
(2022). Perawatan Payudara (Breast Care) untuk
Mengatasi Masalah Puting Susu. Penerbit NEM.
Zubaidah, Rusdiana, N., Raihana Norfitri, M., &
Pusparina, I (2021). Asuhan Keperawatan Nifas.
Deepublish.

139
Profil Penulis
Rizki Dyah Haninggar, M.Keb.
Penulis lahir di Madiun, pada 31 Agustus 1989.
Penulis tercatat sebagai lulusan S2 Kebidanan di
Universitas Padjadjaran Bandung. Penulis adalah
anak dari pasangan Anang Dwi Hartanto (ayah)
dan Pudji Enggarwati (ibu). Penulis saat ini
merupakan dosen di Poltekkes Kemenkes Mamuju. Mata Kuliah
yang diampu yaitu Asuhan Kebidanan Pasca Persalinan dan
Menyusui, Pengantar Asuhan Kebidanan, dan Konsep
Kebidanan. Selain itu penulis juga aktif dalam menulis jurnal,
buku ajar dan book chapter. Beberapa buku yang diterbitkan
oleh penulis antara lain, Komplikasi Kehamilan, Kesehatan
Reproduksi dan Keluarga Berencana, Pengantar Ilmu
Kebidanan, Prinsip Pengantar Konsep Kebidanan. Sebagai
seorang akademisi, penulis aktif mengikuti berbagai pelatihan,
melakukan pengabdian kepada masyarakat, dan melaksanakan
penelitian ilmiah. Penulis juga aktif dalam organisasi
keprofesian yaitu Ikatan Bidan Indonesia (IBI).
Email Penulis: rizki.dyah89@gmail.com

140
9
KESEHATAN NEONATAL,
BAYI DAN ANAK BALITA

Nursyahraeni Madika Rahman, S.ST., M.Keb.


Universitas Sipatokkong Mambo

Kesehatan Neonatal
Neonatal adalah bayi berumur 0 (baru lahir) sampai
dengan usia 28 hari, disebut juga bayi baru lahir. Pada
masa periode neonatal, bayi rentan sekali terhadap
penyakit yang dapat berpengaruh untuk kelangsungan
hidup ke depannya. Bayi baru lahir mudah sakit
dikarenakan fisiknya yang masih sulit beradaptasi dengan
lingkungan baru di sekitarnya. Pada masa bayi neonatal
merupakan periode yang berbahaya, baik secara fisik
maupun psikologis. Secara fisik periode ini berbahaya
karena sulitnya mengadakan penyesuaian diri secara
radikal yang penting pada lingkungan yang sangat baru
dan sangat berbeda (Ahmad, 2014).
Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu
indikator derajat kesehatan masyarakat karena dapat
menggambarkan status kesehatan penduduk secara
umum. AKB termasuk ke dalam salah satu indikator
tujuan ke empat Millenium Development Goals (MDGs).
AKB berdasarkan target MDGs pada tahun 2015 adalah
23 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup (Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, 2011). AKB
berdasarkan target Rencana Strategi (Renstra) tahun
2014 adalah 24 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup
(Kemenkes RI, 2013).

141
Bayi baru lahir, penting untuk dilakukan IMD. IMD yaitu
Inisiasi Menyusui Dini adalah bayi segera disusui setelah
dilahirkan tanpa dibersihkan terlebih dahulu. Biarkan
bayi mencari dan menghisap puting susu walaupun ASI
belum keluar, dekap dan biarkan bayi menyusu dalam 1
jam pertama kelahirannya. Hal ini berfungsi untuk
menjaga kedekatan psikologis antara ibu dan bayi dan
mencegah terbuangnya air susu ibu pertama (Kolostrum)
Bayi Diberi ASI Ekslusif Pemberian ASI secara eksklusif
adalah bayi hanya diberi ASI saja tanpa tambahan
makanan yang diberikan selama 6 bulan dianjurkan
sampai usia 2 tahun.
Manfaat pemberian ASI:
1. Mengandung zat gizi yang bernilai sangat tinggi baik
dalam jumlah maupun mutu yang diperlukan untuk
pertumbuhan, perkembangan dan imun pada tubuh
bayi
2. Dapat membantu pertumbuhan gigi dan bentuk
rahang bayi secara sempurna
3. Mudah dicerna
4. Mempunyai suhu yang sesuai untuk bayi serta selalu
bersih dan segar
5. Bagi ibu ASI dapat membantu mengencangkan rahim
dan mencegah kehamilan
Pemeriksaan bayi baru lahir Kegiatan ini dilakukan oleh
bidan yang bertujuan untuk memastikan normalitas dan
mendeteksi adanya penyimpangan dari normal.
Pemeriksaan yang dilakukan yaitu: Pemeriksaan fisik:
Kepala, wajah, mata, hidung, mulut, telinga, leher,
tangan, dada, anus, kulit dan sindrom downbaby
(Permenkes No 53, 2014).

142
Masalah utama bayi baru lahir pada masa perinatal dapat
menyebabkan kematian, kesakitan dan kecacatan. Hal ini
merupakan akibat dari kondisi kesehatan ibu yang jelek,
perawatan selama kehamilan yang tidak adekuat,
penanganan selama persalinan yang tidak tepat dan tidak
bersih, serta perawatan neonatal yang tidak adekuat. Bila
ibu meninggal saat melahirkan, kesempatan hidup yang
dimiliki bayinya menjadi semakin kecil. Kematian
neonatal tidak dapat diturunkan secara bermakna tanpa
dukungan upaya menurunkan kematian ibu dan
meningkatkan kesehatan ibu. Perawatan antenatal dan
pertolongan persalinan sesuai standar, harus disertai
dengan perawatan neonatal yang adekuat dan upaya-
upaya untuk menurunkan kematian bayi akibat bayi
berat lahir rendah, infeksi pasca lahir (seperti tetanus
neonatorum, sepsis), hipotermia dan asfiksia. Sebagian
besar kematian neonatal yang terjadi pasca lahir
disebabkan oleh penyakit–penyakit yang dapat dicegah
dan diobati dengan biaya yang tidak mahal, mudah
dilakukan, bisa dikerjakan dan efektif. Intervensi
imunisasi Tetanus Toxoid pada ibu hamil menurunkan
kematian neonatal hingga 33-58% (Permenkes No 53,
2014).
Penyumbang utama kematian BBLR adalah prematuritas,
infeksi, asfiksia lahir, hipotermia dan pemberian ASI yang
kurang adekuat. Beberapa penelitian telah membuktikan
bahwa kematian karena hipotermia pada bayi berat lahir
rendah (BBLR) dan bayi prematur jumlahnya cukup
bermakna. Perilaku/kebiasaan yang merugikan seperti
memandikan bayi segera setelah lahir atau tidak segera
menyelimuti bayi setelah lahir, dapat meningkatkan risiko
hipotermia pada bayi baru lahir. Intervensi untuk menjaga
bayi baru lahir tetap hangat dapat menurunkan kematian
neonatal sebanyak 18-42% (Permenkes No 53, 2014).

143
Indikator yang menggambarkan upaya kesehatan yang
dilakukan untuk mengurangi risiko kematian pada
periode neonatal yaitu 6-48 jam setelah lahir adalah
cakupan Kunjungan Neonatal Pertama atau KN1.
Pelayanan dalam kunjungan ini (Manajemen Terpadu
Balita Muda) antara lain meliputi termasuk konseling
perawatan bayi baru lahir, ASI eksklusif, pemberian
vitamin K1 injeksi dan Hepatitis B0 injeksi (bila belum
diberikan). Capaian KN1 Puskesmas Rasau Jaya pada
tahun 2021 sebesar 100% (Kemenkes RI, 2013).
Pelayanan kesehatan bagi neonatus didapatkan sejak
pertolongan persalinan di fasilitas kesehatan berupa
pertolongan yang bersih dan aman, mendapatkan asuhan
esensial bayi baru lahir sesuai dengan standar pelayanan
kesehatan neonatal esensial meliputi Kewaspadaan
Umum (Universal Precaution), Penilaian Awal,
Pencegahan Kehilangan Panas, Pemotongan dan
Perawatan Tali Pusat, inisiasi Menyusu Dini (IMD),
Pencegahan Perdarahan dengan pemberian vitamin K
injeksi, Pencegahan Infeksi Mata, Pemberian Imunisasi,
Pemberian Identitas, Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis.
Pelayanan ini diberikan segera setelah bayi lahir selama
bayi di fasilitas kesehatan dan sebelum meninggalkan
fasilitas kesehatan (Kemenkes RI, 2013).
Sistem pembekuan darah pada bayi baru lahir belum
sempurna, maka semua bayi akan berisiko untuk
mengalami perdarahan tidak tergantung apakah bayi
mendapat ASI atau susu formula atau usia kehamilan dan
berat badan pada saat lahir. Perdarahan bisa ringan atau
menjadi sangat berat, berupa perdarahan pada Kejadian
Ikutan Pasca Imunisasi ataupun perdarahan intrakranial.
Untuk mencegah kejadian perdarahan pada bayi, maka
pada semua bayi baru lahir diberikan suntikan vitamin K1
(Phytomenadione) sebanyak 1 mg dosis tunggal, intra
muskular pada antero lateral paha kiri. Suntikan Vitamin

144
K1 dilakukan setelah proses IMD dan sebelum pemberian
imunisasi hepatitis B.
Pemantauan dan asuhan bayi baru lahir selanjutkan di
berikan selama bayi atau neonatus dibawa oleh orang tua
ke fasilitas kesehatan untuk kunjungan neonatal ke-1 24
jam-2 hari, neonatal ke-2 antara umur 3 hari 7 hari dan
kunjungan neonatal lengkap dilakukan pada usia 8 hari
sampai 28 hari. Kunjungan neonatal ke-2 memberikan
asuhan kepada bayi meliputi mengecek pemberian
vitamin K, mengecek pemberian immunisasi HB0,
mendeteksi tanda bahaya pada bayi sesuai manejemen
terpadu bayi muda (MTBM) dan konseling bagi ibu tentang
perawatan bayi di rumah (menjaga kehangatan, memberi
ASI, menjaga kebersihan dan mengenali tanda bahaya
pada bayi serta memberikan asuhan yang tepat, stimulasi
pertumbuhan perkembangan dan imunisasi). Pelayanan
kesehatan neonatal ini sangat penting untuk memberikan
asuhan pada bayi, mendeteksi bahaya pada bayi dan
melakukan penangan secara efektif sehingga
memfasilitasi kelangsungan hidup bayi yang sehat
optimal. (Kemenkes RI, 2013).
Pelayanan kesehatan neonatal khusunya kunjungan
neonatal (KN) dan pemberian injeksi vitamin K pada bayi
baru lahir secara statistik terdapat hubungan bermakna
dengan kematian neonatal di Indonesia. Kunjungan
neonatal yang tidak sesuai standar atau perilaku tidak
melakukan kunjungan neonatal serta tidak mendapatkan
pelayanan pemberian injeksi vitamin K secara statistik
memiliki risiko kematian neonatal yang besar. Hasil
peneltian ini mengisyaratkan agar tenaga kesehatan dapat
memperbaiki pelayanan kesehatan Ibu dan Anak dengan
memperhatikan aspek pelayanan yang berkualitas
sehingga dapat memberikan kontribusi dalam
menurunkan kesakitan dan kematian neonatal.
Pelaksanaan program kunjungan neonatal yang optimal

145
dengan memberikan asuhan bayi baru lahir melalui
pemberian pelayanan; deteksi dini tanda bahaya, menjaga
kehangatan, pemberian ASI, pencegahan infeksi,
pencegahan perdarahan dengan memberikan vitamin K
injeksi untuk menurunkan risiko kesakitan dan kematian
pada masa neonatus. (Sukamti, 2015).
Kesehatan Bayi dan Anak Balita
Usia anak 1-5 tahun atau balita balita merupakan
kelompok yang sangat perlu perhatian yang besar baik
nutrisinya maupun pertumbuhan dan perkembangannya.
Kekurangan akan kebutuhan gizi pada masa anak-anak
selain akan mengakibatkan gangguan pada pertumbuhan
jasmaninya juga akan menyebabkan gangguan
perkembangan mental anak. Anak-anak yang menderita
kurang gizi setelah mencapai usia dewasa tubuhnya tidak
akan tinggi yang seharusnya dapat dicapai, serta
jaringan-jaringan otot yang kurang berkembang (Solechah
& Fitriahadi, 2017)
Keadaan sosial ekonomi merupakan aspek sosial budaya
yang sangat mempengaruhi status kesehatan dan juga
berpengaruh pada pola penyakit dan juga dapat
berpengaruh pada kematian misalnya obesitas banyak
ditemukan pada golongan masyarakat berstatus ekonomi
tinggi, malnutrisi lebih banyak ditemukan pada kelompok
masyarakat dengan ekonomi rendah (Notoatmodjo, 2012).
Pelayanan bayi dan balita perlu mendapatkan perhatian
dari semua pihak, karena pada periode ini terjadi
pertumbuhan dan perkembangan secara cepat yang
merupakan dasar untuk kehidupan selanjutnya. Dalam
Peratutan Menteri Kesehatan RI tahun 2014 no 25
dijelaskan bahwa ”Upaya Kesehatan Anak dilakukan sejak
janin dalam kandungan sampai berusia 18 (delapan belas)
tahun melalui pelayanan 1) kesehatan janin dalam
kandungan, 2) kesehatan Bayi Baru Lahir, 3) kesehatan

146
Bayi, Anak Balita, dan Prasekolah, 4) kesehatan Anak
Usia Sekolah dan Remaja, 5) perlindungan kesehatan
anak” (Menkes, 2014).
Upaya kesehatan pada bayi, anak balita dan Pra sekolah
perlu dilakukan secara dini dan berkesinambungan
terutama dalam pemantauan tumbuh kembangnya,
sehingga jika ada masalah bisa segera dilakukan
tindakan. Parameter yang digunakan untuk pemantauan
pertumbuhan, tentunya berbeda dengan parameter untuk
pemantauan perkembangan meskipun keduanya
mempunyai keterkaitan.
Pemantauan pertumbuhan sebaiknya sudah harus
dilakukan sejak anak lahir sampai usia 72 bulan yaitu
dengan penimbangan berat badan tiap bulan, pengukuran
tinggi badan tiap 3 (tiga) bulan dan pengukuran lingkar
kepala sesuai jadwal. Sedangkan pemantauan
perkembangan dapat dilakukan dengan memberikan
stimulasi, melakukan deteksi dini dan intervensi tumbuh
kembang tiap 3 (tiga)bulan padaanak usia 0 sampai 1
tahun tiap 6 (enam) bulan pada anak usia 1 sampai 6
tahun. Pemantauan tumbuh kembang bisa dilakukan
oleh orang tua atau keluarga balita dengan menggunakan
Buku KIA. “Buku KIA ini telah digunakan di Indonesia
sejak tahun 2004 dan ditetapkan dengan keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
284/Menkes/SK/III/2004 tentang Buku Kesehatan Ibu
dan Anak”. Buku KIA “merupakan alat untuk mendeteksi
secara dini adanya gangguan atau masalah kesehatan ibu
dan anak, alat komunikasi dan penyuluhan dengan
informasi yang penting bagi ibu, keluarga dan masyarakat
mengenai pelayanan, kesehatan ibu dan anak termasuk
rujukannya dan paket (standar) pelayanan KIA, gizi,
imunisasi, dan tumbuh kembang balita”. Ibu dan anak
perlu memiliki catatan yang lengka sejak ibu hamil

147
sampai dengan selesai masa nifas dan anaknya sejak lahir
hingga berusia 5 (lima) tahun (Utami ,2015).
Menilai Status gizi balita bisa dilakukan dengan cara
menimbang berat badan menurut umur (BB/U),
mengukur tinggi badan menurut umur (TB/U), berat
badan menurut tinggi badan (TB/BB). Sumber gizi utama
berasal dari makanan. Makanan bergizi merupakan modal
utama dalam perkembangan tubuh, kecerdasan otak dan
kesehatan tubuh bayi. Sumber gizi bisa di dapat dari:
Karbohidrat (nasi, jagung, gandum dan umbi-umbian),
protein (daging, ikan kacang-kacangan), mineral, vitamin
(sayuran dan buah-buahan) dan susu. Stimulasi Deteksi
dan Intervensi tumbuh kembang anak (SDIDTK) adalah
cara untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan
anak optimal dan tidak terjadi penyimpangan. SDIDTK
dilakukan dengan cara merangsang kemampuan dasar
anak umur 0-6 tahun seperti:
1. Mengukur Berat Badan
2. Tinggi Badan dan Lingkar Kepala
3. Tes Daya Lihat dan Tes Daya Dengar
4. Mental Emosional
5. Cek lis Deteksi Dini Autis
6. Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas
Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) ISPA
penyakit yang disebabkan virus, gejala yang timbul
bervariasi mulai demam, nyeri tenggorokan, pilek,
hidung mampet, batuk kering, batuk berdahak dan
bahkan bisa menimbulkan komplikasi pneumonia
(radang paru) dengan gejala sesak nafas.
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah menjaga daya
tahan tubuh, makan-makanan bergizi dan minum yang
cukup. Diare: adalah keadaan buang-buang air dengan
banyak cairan lebih dari tiga kali dalam satu hari dan

148
biasanya berlangsung selama dua hari atau lebih yang
menyebabkan dehidrasi. Hal ini membuat tubuh kita
tidak dapat berfungsi dengan baik dan dapat
membahayakan jiwa, diare menjadi penyebab nomor satu
kematian balita diseluruh dunia (Kemenkes RI, 2014).
Faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak
adalah faktor biologis dimana salah satunya adalah gizi.
Pertumbuhan jaringan otak yang pesat pada anak terjadi
pada usia bayi sampai dengan 2 tahun. Pada usia 2 tahun
ukuran otak anak mencapai 80% dari ukuran otak orang
dewasa. Selanjutnya otak akan berkembang dengan
perkembangan yang lebih lambat. Otak yang tidak
berkembang secara optimal maka akan mempengaruhi
perkembangan kognitif pada anak. Perkembangan kognitif
meliputi kemampuan anak memahami dunianya melalui
inderanya, kecakapan motorik dan proses berfikir logis
maupun abstrak. Diperlukan asupan nutrisi yang baik
pada masa pertumbuhan dan perkembangan otak, agar
otak dapat berkembang secara optimal, sehingga anak
memiliki perkembangan kognitif yang optimal (Ranuh,
2015).
Masa infant merupakan bagian pertumbuhan dan
perkembangan yang mengalami peningkatan yang sangat
pesat pada usia dini, yaitu dari usia 0 sampai 5 tahun
yang sering disebut juga sebagai fase “Golden age”. Golden
age merupakan masa yang sangat penting sekali untuk
mengetahui pertumbuhan dan perkembangan anak
secara cermat agar sedini mungkin dapat terdeteksi
apabila terjadi kelainan, selain itu agar bisa menangani
kelainan yang sesuai dengan masa golden age sehingga
dapat mencegah dan meminimalisir kelainan
perkembangan yang bersifat permanen (Livana, 2019).
Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan perubahan
dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel,
organ maupun individu yang bisa diukur dengan ukuran

149
berat (gram, kilogram) ukuran panjang (cm, meter), umur
tulang dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan
nitrogen tubuh). Sedangkan perkembangan (development)
adalah bertambahnya kemampuan serta struktur dan
fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang
teratur, dapat diperkirakan dan diramalkan sebagai hasil
dari proses diferensiasi sel, jaringan tubuh, organ-organ
dan sistem organ yang terorganisasi dan berkembang
sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat
memenuhi fungsinya (Soetjiningsih, 2012).
Pada bayi normal akan mengalami kenaikan berat badan
paling sedikit 1 kg setiap bulannya pada dua bulan
pertama, kemudian mengalami kenaikan 0,5 kg setiap
bulan hingga usia 6 bulan, selanjutnya menurun menjadi
0,2-0,3 kg setiap bulan hingga usia anak 12 bulan. Berat
badan bayi lahir normal adalah 2,5-4 kg. Pada usia 5
bulan berat badan bayi mencapai 2 kali berat badan lahir,
diperkirakan berat badan bayi antara 5-8 kg dan pada
usia 12 bulan berat badan bayi mencapai 3 kali berat
badan lahir, yaitu sekitar 7,5-12 kg.4 Berat badan normal
pada toddler menurut tabel standar berat badan menurut
usia oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan rentang
7,2-18,3 kg dengan rata-rata 12,2 kg, sedangkan pada
preschool menunjukkan rentang 10,9-23,9 kg dengan
rata-rata 16,8 kg (Kemenkes RI, 2020).
WHO telah merekomendasikan menu gizi seimbang
ditengah pandemi Covid-19. Artinya, disetiap menu
makanan harus mencakup nutrisi lengkap, baik itu
makronutrien seperti karbohidrat, protein, lemak, serta
mikronutrien dari vitamin dan mineral. Namun, untuk
membuat pondasi daya tahan tubuh yang kuat (building
block), kita harus fokus pada asupan protein. Masyarakat
harus membiasakan mengonsumsi aneka ragam
makanan pokok. Batasi konsumsi makanan yang manis,
asin, dan berlemak. Perbanyak aktivitas fisik yang cukup

150
dan pertahankan berat badan ideal. Lakukan kebiasaan
mengkonsumsi lauk pauk yang mengandung protein
tinggi. Perbanyak makan buah dan sayuran karena
sayuran dan buah-buahan kaya akan vitamin dan zat gizi
yang baik untuk tubuh (Akbar & Aidha, 2020).
Tumbuh dapat juga diartikan sebagai bertambahnya
ukuran dan jumlah sel di seluruh bagian tubuh yang
secara kuantitatif dapat diukur, seperti tinggi badan,
berat badan, dan lingkar kepala. Kembang adalah
bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh yang dapat
dicapai melalui belajar, terdiri dari kemampuan gerak
kasar dan halus, pendengaran, penglihatan, komunikasi,
bicara, emosi-sosial,kemandirian, intelegensia, dan
perkembangan moral Dengan demikian tumbuh kembang
adalah proses yang berkesinambungan dan sulit untuk
dipisahkan antara perubahan fisik seperti bertambahnya
ukuran berat badan, panjang badan dan perubahan
kemampuan bayi seperti kemampuan gerak kasar, halus,
bicara, dan emosi sosial (Soetjiningsih, 2014).
ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi.ASI sangat
dibutuhkan untuk kesehatan bayi dan mendukung
pertumbuhan dan perkembangan bayi secara optimal.
Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif akan memperoleh
semua kelebihan ASI serta terpenuhinya kebutuhan
gizinya secara maksimal sehingga bayi lebih sehat, lebih
tahan terhadap infeksi, tidak mudah terkena alergi, dan
lebih jarang sakit karena ASI mengandung antibodi.
Dengan demikian jika bayi yang mendapatkan ASI sacara
eksklusif akan mengalami pertumbuhan yang optimal, hal
ini dapat dilihat dari penambahan berat badan, panjang
badan, atau lingkar kepala. ASI juga merpkanan makanan
untuk perkembangan otak anak.ASI mengandung
kolesterol tinggi yang diperlukan untuk mielinisasi.
Demikian juga kadar AA dan DHA juga tinggi pada ASI.
Anak yang mendapatkan ASI mempunyai kecerdasan

151
yang lebih baik dari pada yang tidak mendapatkan ASI
(Soetjiningsih, 2014).
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi
pada 1000 hari pertama kehidupan adalah terganggunya
perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan
fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh.
Menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar,
menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan
resiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes,
kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah,
kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua. Semuanya
itu akan menurunkan kualitas sumber daya manusia
Indonesia, produktifitas, dan daya saing bangsa (Achadi,
2014).

152
Daftar Pustaka
Achadi. Endang L. (2014). Periode Kritis 1000 Hari Pertama
Kehidupan dan Dampak Jangka Panjang Terhadap
Kesehatan dan Fungsinya. Yogyakarta: Departemen
GiziKesmas FKM UI.
Ahmad, E.H., Buraerah, Hakim, Prawirodihardjo, L.
(2014). faktor determinan status kesehatan bayi
neonatal di rskdia siti fatimah makassar. Jurnal
Kesehatan Masyarakat
Akbar, D. M., & Aidha, Z. 2020. Perilaku Penerapan Gizi
Seimbang Masyarakat Kota Binjai Pada Masa Pandemi
Covid-19 Tahun 2020. Menara Medika.
Kementerian Kesehatan (2020). Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 2 tahun 2020 tentang Standar
Antropometri Anak
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2013). Profil
Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: Pusat Data dan
Informasi.
Kirana, P. (2018) ‘Buku KIA Belum Dimanfaatkan Secara
Maksimal’, Gatra.com
Livana, (2019). Karakteristik Orang Tua dan
Perkembangan Psikososial Infant. Jurnal Kesehatan
Vol 12 No1.
Menkes, (2014) Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 25 Tahun 2014 Tentang Upaya
Kesehatan Anak. Jakarta.
Notoatmodjo, S. (2005). Teori dan aplikasi promosi
kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
53 tahun (2014). (n.d.).
Soetjiningsih. 2012. Pertumbuhan dan Perkembangan
Anak. Jakarta: EGC
Solechah, M., & Fitriahadi, E. (2017). Hubungan status gizi
dengan perkembangan balita usia 1-3 tahun di wilayah
kerja Puskesmas JetisYogyakarta.Universitas Aisyiyah
Yogyakarta.

153
Sukamti, S., & Riono, P. (2015). Pelayanan kesehatan
neonatal berpengaruh terhadap kematian neonatal di
Indonesia (analisis data Riskesdas 2010). Jurnal Ilmu
Dan Teknologi Kesehatan.
Ranuh, S. (2015). Tumbuh Kembang Anak Edisi 2.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Utami, S., Susilaningrum, R., & Purwanti, D. (2021).
optimalisasi tumbuh kembang bayi dan balita melalui
pemberdayaan keluarga dalam pemanfaatan buku kia
di surabaya optimizing the growth of babies and
children through empowerment of the family in the
utilization of kia books in surabaya. Jurnal Media
Pengabdian Kepada Masyarakat.

154
Profil Penulis
Nursyahraeni Madika Rahman, S.ST., M.Keb.
Penulis dilahirkan di Kota Bulukumba Provinsi
Sulawesi Selatan pada Tanggal 10 Januari 1991.
Merupakan anak ke-dua dari pasangan Abdul
Rahman, S.Pd. (Alm) dan Ibu Dra Hj. Sitti Ramlah
M.Ap . Penulis menyelesaikan Program DIII
Kebidanan di Akademi Kebidanan Tahirah Al-
Baety Bulukumba lulus tahun 2011 dan menyelesaikan
Program DIV Bidan Pendidik di Universitas Mega Rezky lulus
tahun 2014. Penulis menyelesaikan Program S2 di Program
Studi Ilmu Kebidanan Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin Makassar lulus tahun 2022. Penulis Pernah
Bekerja di Klinik Bersalin Sehati Bulukumba Sebagai Bidan.
Penulis pernah bekerja sebagai dosen di Program DIII
Kebidanan di STIKES Panrita Husada Bulukumba. Penulis
pernah bekerja di RSUD H.A Sulthan DG Radja Bulukumba di
bagian Penunjang Rumah Sakit dan Instalasi Sistem Informasi
Rumah Sakit. Penulis pernah bekerja di BKKBN Kabupaten
Bulukumba sebagai Penyuluh Keluarga Berencana (PLKB). Saat
ini sedang bekerja di Universitas Sipatokkong Mambo sebagai
Dosen. Selain itu penulis juga aktif dalam menulis jurnal
nasional maupun internasional serta aktif menulis buku ajar
dan book chapter.
Email Penulis: saraheni32@gmail.com

155
156
10
TUMBUH KEMBANG

Natalia Debi Subani, S.Kep., M.Kes.


Poltekkes Kemenkes Kupang

Pertumbuhan dan Perkembangan


Istilah “pertumbuhan” dan “perkembangan” sering
digunakan oleh kebanyakan orang secara bergantian dan
menganggapnya sebagai suatu kesamaan walaupun pada
kenyataannya, arti dari kedua istilah ini berbeda. Berikut
akan dibahas secara jelas tentang tumbuh dan kembang
termasuk perbedaan dari keduanya.
Pengertian Pertumbuhan
Pertumbuhan mengacu pada peningkatan kuantitas fisik
dari waktu ke waktu. Ini termasuk perubahan dalam hal
tinggi badan, berat badan, proporsi tubuh dan
penampilan fisik secara umum. Ensiklopedia Britannica
mendefinisikan pertumbuhan sebagai peningkatan
ukuran atau jumlah suatu entitas, yang artinya
pertumbuhan mencakup semua perubahan struktural
dan fisiologis yang terjadi dalam diri individu selama
proses maturasi. Misalnya, pertumbuhan seorang anak
berarti bertambahnya berat, tinggi, dan berbagai organ
tubuh anak. Pertumbuhan juga didefinisikan oleh
Hurlock sebagai perubahan dalam ukuran, dalam
proporsi, hilangnya fitur lama dan akuisisi yang baru.
Pertumbuhan mengacu pada perubahan struktural dan
fisiologis (Crow and Crow, 1962). Dengan demikian,
pertumbuhan mengacu pada peningkatan ukuran fisik
keseluruhan atau bagiannya dan dapat diukur.

157
Pengertian Perkembangan
Perkembangan mengacu pada perubahan kualitatif secara
keseluruhan dalam diri organisme. Perkembangan
diartikan sebagai suatu proses perubahan fisik, emosional
dan intelektual secara berkesinambungan. Istilah ini yang
lebih luas dan komprehensif bila dibandingkan dengan
pertumbuhan. Walaupun tanpa adanya pertumbuhan
namun perkembangan tetap mungkin terjadi.
Kamus Webster mendefinisikan perkembangan sebagai
suatu rangkaian perubahan yang dialami suatu
organisme sejak tahap embrio hingga matur. Encyclopedia
Britannica juga mendefinisikan istilah perkembangan
sebagai perubahan progresif dalam ukuran, bentuk dan
fungsi selama kehidupan suatu organisme dimana potensi
genetiknya diterjemahkan ke dalam sistem dewasa yang
berfungsi. Hal ini berarti perkembangan mencakup semua
perubahan psikologis yang melibatkan fungsi dan
aktivitas berbagai organ organisme.
Perkembangan merupakan proses yang terus menerus
dan bertahap (Skinner). Menurut Crow and Crow (1965)
perkembangan berhubungan dengan pertumbuhan serta
perubahan perilaku yang dihasilkan dari situasi
lingkungan.
Jadi, perkembangan adalah proses perubahan
pertumbuhan dan kemampuan dari waktu ke waktu
karena fungsi pematangan dan interaksi dengan
lingkungan.
Perbandingan Antara Pertumbuhan dan Perkembangan
Tabel berikut akan memberikan gambaran secara
prinsipal tentang perbandingan antara pertumbuhan dan
perkembangan.

158
Tabel 10.1.
Perbandingan Antara Pertumbuhan dan Perkembangan

Pertumbuhan Perkembangan
Perkembangan ditujukan pada
perubahan individu secara
Pertumbuhan mengacu pada
keseluruhan. Hal ini melibatkan
perubahan-perubahan fisiologis
perubahan yang teratur dan
koheren menuju kedewasaan
Pertumbuhan dinyatakan Perubahan kualitas
sebagai perubahan secara perkembangan berjalan seiring
kuantitatif dengan aspek kuantitatif
Pertumbuhan tidak terus Perkembangan terus berlanjut
berlanjut sepanjang hidup sepanjang hidup
Pertumbuhan akan berhenti
Perkembangan bersifat progresif
setelah maturasi
Perkembangan terjadi karena
Pertumbuhan terjadi karena
maturasi dan interaksi dengan
multiplikasi sel
lingkungan
Pertumbuhan bersifat seluler Perkembangan lebih bersifat
(terjadi di sel) organisasional
Pertumbuhan merupakan salah
Perkembangan bersifat lebih
satu bagian dari proses
luas dan komprehensif
perkembangan
Pertumbuhan dapat
Perkembangan menggambarkan
menggambarkan perubahan
perubahan organisme secara
pada aspek-aspek tertentu dari
keseluruhan
tubuh dan perilaku organisme
Perkembangan membawa
perubahan kualitatif yang sulit
Perubahan yang dihasilkan oleh
diukur secara langsung. Mereka
pertumbuhan merupakan
dinilai melalui pengamatan
subjek pengukuran yang dapat
secara saksama terhadap
diukur dan diamati secara alami
perilaku dalam situasi yang
berbeda
Pertumbuhan mungkin atau
Perkembangan mungkin terjadi
mungkin tidak sejalan dengan
tanpa pertumbuhan
perkembangan

Prinsip-Prinsip Perkembangan
Karakteristik dari pola dan proses perkembangan
memiliki beberapa prinsip. Prinsip-prinsip atau
karakteristik ini menjelaskan bahwa tipikal
perkembangan sebagai suatu proses yang dapat
diprediksi dan teratur. Orang dewasa dapat memprediksi
bagaimana sebagian besar anak akan berkembang dan

159
bahwa mereka akan berkembang dengan kecepatan yang
sama dan pada waktu yang hampir sama dengan anak-
anak lain. Prinsip dan karakteristik perkembangan
merupakan pola universal meskipun terdapat perbedaan
individual terkait kepribadian anak, tingkat aktivitas, dan
waktu mulainya perkembangan, seperti usia dan tahapan.
Prinsip-prinsip tersebut, yaitu:
1. Prinsip Kontinuitas
Dalam hidup setiap individu, proses perkembangan
tidak pernah berakhir. Proses ini dimulai dengan
konsepsi dan berakhir dengan kematian.
2. Prinsip Kurangnya Keseragaman Tingkat
Perkembangan
Walaupun perkembangan terjadi secara terus
menerus, namun hal ini tidak stabil dan tidak sama
pada semua tahapan kehidupan. Proses
perkembangan dapat terjadi secara cepat pada tahap
awal namun melambat pada tahap selanjutnya. Di sisi
lain, setiap anak berbeda dan tingkat di yang individu
anak tumbuh berbeda. Meskipun pola dan urutan
untuk pertumbuhan dan perkembangan biasanya
sama untuk semua anak, tingkat di mana masing-
masing anak mencapai tahap perkembangan akan
berbeda
3. Prinsip Perbedaan Individu
Setiap individu adalah ciptaan yang berbeda dan unik
sehingga tingkat dan hasil perkembangan menjadi
unik dan spesifik. Setiap anak akan tumbuh dan
berkembang dengan tingkat keunikannya sendiri.
Setiap tugas perkembangan berlangsung terjadi pada
rentang usia tertentu sehingga pernyataan tentang
"anak biasa (average child)" harus ditepiskan. Ada
anak yang baru bisa berjalan beberapa bulan lebih

160
tua, misalnya pada usia delapan belas bulan
sedangkan ada anak yang sudah bisa berjalan pada
usia sepuluh bulan. Beberapa anak lebih aktif
sementara yang lain pasif. Hal ini tak berarti bahwa
anak yang pasif kurang cerdas seperti orang dewasa.
Tidak ada validitas yang membandingkan kemajuan
seorang anak dengan anak lainnya. Tingkat
perkembangan juga tidak seragam pada setiap anak.
Contoh konkritnya adalah perkembangan intelektual
seorang anak bisa terjadi lebih cepat daripada
perkembangan emosi atau sosial.
4. Prinsip Keseragaman Pola
Prinsip ini menjelaskan tentang adanya pola standar
(arah dan urutan) peperkembangan pada setiap
spesies yang mengikuti keseragaman di secara global
dan tidak ada perbedaan di antara mereka. Terdapat
dua kategoris pola standar perkembangan fisik
manusia, yaitu: cephalocaudal dan proksimodistal.
Prinsip perkembangan cephalocaudal menyatakan
bahwa awalnya anak dapat mengontrol kepala
kemudian diikuti lengan dan kaki. Perkembangan
kontrol gerakan kepala dan wajah bayi terjadi dalam
dua bulan pertama setelah lahir. Mereka mampu
mengangkat diri dengan menggunakan lengannya
beberapa bulan ke depan. Saat berusia 6 sampai 12
bulan, bayi mulai dapat mengontrol kaki dan mungkin
bisa merangkak, berdiri, atau berjalan. Koordinasi
lengan biasanya selalu mendahului koordinasi kaki.
Prinsip perkembangan proximodistal berarti sumsum
tulang belakang berkembang sebelum bagian luar
tubuh. Lengan anak berkembang sebelum tangan,
tangan dan kaki berkembang sebelum jari tangan dan
jari kaki. Otot jari tangan dan kaki (digunakan untuk
ketangkasan motorik halus) berada pada urutan
dalam perkembangan fisik. Demikian pula dimensi

161
perkembangan lainnya kelihatannya mengikuti
urutan yang pasti pada seluruh anak.
5. Prinsip Melanjutkan Respons Umum ke Spesifik
Pertumbuhan dan perkembangan terjadi dari umum
ke khusus. Misalnya anak belajar konsep umum
terlebih dahulu lalu mempelajari secara mendalam
atau spesifik. Awalnya anak belajar mengendalikan
seluruh tangannya lalu mencoba mengontrol gerakan
jari-jari tangannya.
6. Prinsip Integrasi
Pertumbuhan dan perkembangan berawal dari umum
ke khusus. Hal ini tidak berarti bahwa hanya respon
spesifik ditujukan sebagai hasil akhir dari
perkembangan seseorang. Sebaliknya, hal itu menjadi
semacam integrasi yang pada akhirnya diinginkan.
Prinsip ini menjelaskan bagaimana awalnya seorang
anak belajar bagaimana untuk menggerakkan seluruh
lengan kemudian bagaimana menggerakkan berbagai
bagiannya dan akhirnya dia belajar untuk
mengintegrasikan berbagai bagian lengan. Dalam
perkembangan berarti ada pergerakan seluruh bagian
dan dari bagian-bagian itu ke keseluruhan. Melalui
cara inilah terdapat integrasi dari keseluruhan dan
bagian-bagiannya.
7. Prinsip Keterkaitan
Pada berbagai dimensi, baik itu fisik, mental,
emosional, sosial, moral, dan spiritual, pertumbuhan
dan perkembangan saling terkait dan saling
bergantung. Misalnya Tubuh yang sehat cenderung
mengembangkan pikiran yang sehat dan kestabilan
emosional.

162
8. Prinsip Prediktabilitas
Menurut prinsip ini, pertumbuhan dan
perkembangan dapat diprediksi. Laju pertumbuhan
dan perkembangan dari setiap anak memberikan
ruang untuk memprediksi perkembangan masa
depan, baik fisik, mental, emosional atau sosial.
9. Prinsip Spiral Versus Linier Advancement
Proses perkembangan anak tidak mengikuti pola
secara umum dengan kecepatan maupun kestabilan
yang konstan pada setiap tahapannya. Sebenarnya
anak membuat kemajuan selama periode tertentu
tetapi berhenti sejenak pada periode berikutnya untuk
mengkonsolidasikan perkembangannya. Saat telah
maju lebih jauh anak berbalik kembali namun
kemudian bergerak maju lagi seperti spiral.
10. Prinsip Interaksi
Pertumbuhan dan perkembangan adalah produk
bersama antara herediter maupun lingkungan.
Keturunan anak merupakan titik awal pertumbuhan
dan perkembangan berlangsung karena interaksi
anak (keturunan) dengan lingkungan. Oleh karena
itu, pada setiap tahap, perilaku individu atau
pembentukan kepribadian menjadi produk akhir dari
interaksi konstan antara herediter dan lingkungan.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan
sehingga setiap anak berbeda satu sama lain. Faktor-
faktor tersebut adalah:
1. Herediter
Kode genetik memberikan dasar pertumbuhan otak
dan tubuh yang dimanifestasikan dalam bentuk
penampilan dan perilaku yang dapat diamati.

163
2. Lingkungan
Lingkungan memiliki berbagai stimulus yang
memberikan masukan dan dasar pengalaman yang
diperlukan untuk perkembangan anak.
3. Lingkungan Rumah
Lingkungan rumah memberikan pengaruh yang luar
biasa pada pemahaman anak tentang dunia luar serta
membangun konsep diri dan mempersiapkannya
untuk menghadapi dunia luar. Anak mulai
memperoleh pengetahuan melalui interaksi dengan
orang tua dan anggota keluarga lainnya. Selama
tahun-tahun awal perkembangannya, perilaku anak
dimodulasi oleh lingkungan rumah. Lingkungan
keluarga dapat mensuport atau menjadi stresor bagi
anak. Jika lingkungan mendukung, hangat dan
harmonis, anak akan berkembang secara normal.
Dalam lingkungan rumah yang tidak mendukung dan
penuh tekanan, keluarga yang berantakan atau orang
tua yang tidak peduli dalam keluarga, anak dapat
berkembang menjadi orang yang tidak dapat
menyesuaikan diri.
4. Budaya
Budaya mengacu pada sistem kepercayaan, sikap,
dan nilai yang ditransmisikan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Ini merupakan hasil dari
perilaku manusia masa lalu dan juga membentuk
aspirasi masa depan. Perkembangan anak
dipengaruhi oleh keluarga dan juga oleh masyarakat.
Anak mempelajari kebiasaan, keyakinan, sikap,
keterampilan, dan standar penilaian melalui proses
sosialisasi. Proses sosialisasi anak berlangsung sesuai
dengan budaya, adat istiadat dan tradisi masyarakat.

164
5. Status Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi berperan penting terhadap
perkembangan manusia dan hal ini ditentukan oleh
pendidikan orang tua, pekerjaan dan pendapatan.
Anak-anak dengan status sosial ekonomi rendah
dapat berkembang menjadi malnutrisi, menderita
karena kurang pengetahuan dalam banyak aspek dan
perkembangan normal mereka dapat terhambat. Pola
asuh pada keluarga berstatus sosial ekonomi tinggi
akan berbeda dengan keluarga berstatus sosial
ekonomi rendah.
6. Pengaruh Normatif
Pengaruh normatif terjadi dengan cara yang sama
untuk sebagian besar orang dalam kelompok tertentu
dan dapat bersifat biologis atau lingkungan.
7. Pendidikan dan Latihan
Langkah pertama dan terpenting adalah
mengidentifikasi dan mengenali kemampuan anak.
Langkah selanjutnya yakni memberikan kesempatan
yang adekuat untuk mengembangkan hal yang sama.
Kemampuan bawaan anak mungkin tidak
berkembang jika identifikasi kemampuan yang tepat
tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas yang
memadai bagi anak.
Model Tahap Perkembangan Psikoseksual
Sigmund Freud
Sigmund Freud menyatakan bahwa perkembangan terdiri
atas lima tahap. Freud percaya bahwa pada tiga tahap
pertama yang mencakup beberapa tahun pertama
kehidupan yang membentuk kepribadian, ketika anak-
anak berhadapan dengan konflik antara biologis dan
dorongan seksual mereka dengan tekanan masyarakat.
Terjadi perubahan sumber kepuasan utama pada setiap

165
tahap yang ditandai dengan perilaku memperoleh
kesenangan yang khas serta konflik akibat tekanan sosial.
Tahapan-tahapan tersebut diberi nama sesuai dengan
sumber kesenangan pada tahapan tertentu. Tahapan-
tahapan tersebut adalah:
1. Fase Oral (lahir-18 Bulan)
Selama tahap ini organ utama yang menjadi sumber
kenikmatan adalah mulut. Pikiran bawah sadar anak
dipengaruhi oleh pengalaman hubungan anak dan
ibu. Tahap ini berkaitan dengan aktivitas seperti
makan, menangis, tumbuh gigi, menggigit dan
mengisap jempol, dll.
2. Fase Anal (18 Bulan-3 Tahun)
Pada fase ini, anak mendapat kepuasan sensual dari
menahan dan mengeluarkan kotoran. Selama tahap
ini anus menjadi sumber utama kesenangan.
Pengalaman nyata anak selama tahap ini berdampak
pada ketidaksadaran dan perilaku.
3. Fase Falik (3-6 Tahun)
Anak memperoleh kesenangan dari daerah genital
selama fase ini. Kebanyakan dari perilaku seksual
normal kepribadian manusia berkembang selama fase
ini. Kerinduan seksual anak diintensifkan saat ini dan
konflik yang berkaitan dengan masalah reproduksi
diselesaikan.
4. Fase Laten (6 Tahun-Pubertas)
Fase ini merupakan tahap untuk mempelajari
keterampilan bukan tahap psikoseksual. Selama fase
ini tidak ada perkembangan seksual yang terjadi. Ini
adalah waktu yang relatif tenang di antara tahapan
yang lebih bergejolak. Pengalaman sebelumnya,
ketakutan dan kondisi telah membentuk sebagian
besar perasaan dan sikap anak.

166
5. Fase Genital (Pubertas dan seterusnya)
Periode ini merupakan masa pematangan seksualitas
orang dewasa. Perubahan hormonal dan fisik banyak
terjadi selama fase ini. Anak-anak terlibat dalam
pikiran dan perasaan yang berhubungan dengan seks.
Selama tahap ini terjadi narsisme.
Perkembangan Kesehatan Seksual Anak
Hal yang memegang peranan penting dalam pencegahan
kekerasan seksual pada anak adalah pemahaman yang
baik terkait perkembangan kesehatan seksual anak.
Banyak orang dewasa yang sulit membedakan antara
perilaku sehat dan tidak sehat karena mereka tidak
pernah mengetahui tentang hal-hal yang semestinya
terjadi dalam perkembangan seksual anak. Padahal
mereka akan mampu memberikan dukungan yang lebih
baik tentang sikap dan perilaku sehat serta reaksi
terhadap momen-momen yang bisa diajarkan jika
memahami perbedaan antara kedua hal itu.
Orang tua dapat mempromosikan tentang perkembangan
yang sehat jika mereka memahami perkembangan
perilaku yang diharapkan pada setiap tahap
perkembangannya. Mereka juga akan lebih siap untuk
campur tangan ketika ada kekhawatiran terkait perilaku
ataupun pelecehan. Hal ini lebih baik daripada orang tua
sibuk menginterpretasikan perilaku-perilaku anak
menggunakan perspektif seks dan seksualitas orang
dewasa.
Memahami Perkembangan Seksual Anak
Seksualitas diartikan lebih dari sekadar seks karena
mencakup nilai-nilai, perilaku, perasaan, interaksi serta
perilaku. Seksualitas adalah menyangkut emosional,
sosial, kultural, dan fisik. Salah satu bagian dari
seksualitas adalah perkembangan seksualitas, dimana

167
hal ini dimulai jauh lebih dahulu daripada pubertas.
Tindakan dan sikap bayi dan anak-anak di masa depan
akan dibentuk dengan cara belajar dan
menginterpretasikan pesan-pesan yang berhubungan
dengan seksualitas walaupun mungkin mereka tidak
berpikir tentang seksualitas dengan cara yang sama
seperti orang dewasa. Contohnya, ketika berusia tiga
tahun anak menanggalkan pakaiannya di depan orang
lain dan orangtua memberi pengertian kepada anak
bahwa tak masalah telanjang saat mandi atau dalam
kamar tidur namun tidak benar jika ada orang lain di situ.
Dari peristiwa ini maka anak akan mempelajari tentang
waktu yang tepat atau tidak tepat untuk telanjang.
Anak-anak belajar tentang norma-norma sosial dan apa
saja hal-hal yang diharapkan atau seharusnya dalam
interaksi dan hubungan. Setiap tahap perkembangan
memiliki ekspresi seksualitas yang sehat dan umum yang
berbeda. Orang dewasa seringkali ingin mengetahui
perilaku mana yang sesuai dan mengindikasikan
perkembangan seksual yang sehat. Informasi-informasi
tentang tahapan perkembangan seksual yang sehat akan
tercantum di dalam tabel berikut:
Tabel 10.2. Perkembangan Kesehatan Seksual Anak

Perkembangan Kesehatan Seksual Anak


Dorongan
Tahap
Perilaku Umum perkembangan
Perkembangan
Kesehatan
Infant  Memiliki rasa ingin  Ajarilah tentang
(Usia 0-2 tahun) tahu tentang nama sebenarnya
tubuhnya, dari bagian-
termasuk genitalia bagian tubuh,
 Menyentuh misalnya vagina
genitalia, dan penis
termasuk  Berikan informasi
melakukan dasar tentang
masturbasi, di perbedaan antara
area publik perempuan dan
laki-laki

168
Perkembangan Kesehatan Seksual Anak
 Tak masalah jika  Bantulah anak
akan telanjang untuk mulai
memahami cara
berinteraksi yang
baik dengan
teman sebaya
 Siapkan jawaban
yang sangat
sederhana atas
pertanyaan
seputar bagian-
bagian tubuh
beserta
fungsinya.
Early Childhood  Sesekali  Berikan informasi
(Usia 2-5 tahun) melakukan dasar tentang
masturbasi. reproduksi ,
Biasanya tindakan misalnya bahwa
ini dilakukan lebih bayi tumbuh di
ditujukan untuk rahim wanita.
menenangkan  Dorong
daripada sebagai pemahaman
bentuk mendasar tentang
kesenangan privasi dan ketika
seksual. Kegiatan hal-hal sesuai
ini dapat bersifat atau tidak sesuai
publik maupun  Jelaskan
private. perbedaan antara
 Eksplorasi yang sentuhan yang
konsensual dan diinginkan dan
menyenangkan yang tidak
dengan anak diinginkan, seperti
seumuran. Contoh pelukan
yang sering sambutan dan
ditemui, seperti positif dengan
bermain rumah- pelukan yang
rumahan atau tidak diinginkan
bermain dokter- dan tidak
dokteran nyaman.
 Dapat mengajukan  Ajari anak tentang
pertanyaan- batasan-batasan.
pertanyaan Biarkan anak-
tentang anak tahu bahwa
seksualitas atau tubuhnya adalah
reproduksi, seperti miliknya sendiri
“Darimana asalnya dan bahwa
bayi?” mereka bisa
 Dapat katakan tidak
menunjukkan rasa pada sentuhan

169
Perkembangan Kesehatan Seksual Anak
ingin tahu tentang yang tidak
tubuh orang diinginkan.
dewasa (misalnya,
ingin pergi ke ke
kamar mandi
bersama orang
tua, menyentuh
payudara wanita,
dll.)
 Ketidakpedulian
terhadap
ketelanjangan
masih tetap
berlanjut.
Misalnya
melepaskan diaper
atau pakaiannya
Middle Childhood  Menggunakan  Tanamkan
(Usia 5-8 Tahun) istilah-istilah slang pemahaman yang
(lagi tren namun kuat tentang
tak lumrah) dan gender dan
lelucon tentang bagaimana
bagian-bagian perasaan anak-
tubuh beserta anak tentang
fungsinya. identitas gender
 Telah memiliki mereka. Anak-
pemahaman yang anak yang
lebih dalam teridentifikasi
tentang gender sebagai
peran dan transgender atau
tindakannya bisa gender tak
lebih mengarah terkonfirmasi akan
pada gender merasakan hal ini
tertentu. Hal ini juga walaupun
sejalan dengan merasa bingung
norma-norma dan dan mungkin
perilaku terkait membutuhkan
gender yang telah dukungan yang
dipelajari. Contoh lebih banyak dari
konkritnya seperti orang dewasa.
anak perempuan  Jelaskan tentang
mungkin ingin dasar-dasar
memakai gaun. reproduksi
 Permainan seks manusia,
atau aktivitas- termasuk peran
aktivitas untuk vaginal intercourse
mengeksplorasi  Komunikasikan
tubuh dan tentang
seksualitas dapat perubahan-

170
Perkembangan Kesehatan Seksual Anak
dilakukan perubahan fisik
bersama teman yang akan terjadi
sejenis maupun selama masa
berbeda jenis pubertas.
kelamin.  Jelaskan tentang
 Beberapa anak adanya
melakukan perberbedaan
masturbasi atau orientasi seksual
menyentuh seperti
genitalia untuk heteroseksual,
mendapatkan homoseksual, dan
kesenangan. Hal biseksual.
ini biasanya lebih  Ajarkan bahwa
bersifat privat. masturbasi adalah
suatu hal yang
bersifat pribadi.
 Tekankan tentang
hak-hak personal
dan tanggung
jawab terkait
dengan
seksualitas,
seperti bahwa
tubuh anak adalah
miliknya sendiri
serta bagaimana
memperlakukan
anak laki-laki dan
perempuan secara
setara
Late childhood  Saat pubertas  Informasikan
(Usia 9-12) kebutuhan akan secara
privasi dan berkelanjutan
kemandirian mulai terkait aspek fisik
meningkat dan dari pubertas dan
sering diungkapkan. perubahan-
 Minat dalam perubahan dalam
membina hubungan tubuh mereka.
sehingga mungkin  Didiklah anak
ingin memiliki pacar perihal aspek
 Dapat sosial dan
mengungkapkan emosional
rasa ingin tahu pubertas.
tentang tubuh Membantu
orang dewasa. Anak menormalkan
juga mencoba emosi dan
melihat orang kebutuhan baru
telanjang atau yang mungkin
membuka baju atau dirasakan.

171
Perkembangan Kesehatan Seksual Anak
mencari dengan  Berikan
melibatkan media pendidikan
seperti TV, film, seksualitas sesuai
situs web, dan usia dan informasi
majalah dengan dasar tentang
konten seksual. perilaku seksual
 Masturbasi sebagai dan infeksi
norma sosial menular seksual,
menjadi lebih jelas dll
dan kemungkinan  Doronglah
akan bersifat pemikiran kritis
pribadi. dan bangun
keterampilan
untuk
membedakan
fakta dari
gambaran fiksi
media dan
representasi-
representasi
seksualitas.
 Dukung anak
untuk mengetahui
bahwa mereka
memiliki hak dan
tanggung jawab
dalam pergaulan
dan relasi mereka.
Informasikan
tentang ciri-ciri
persahabatan dan
relasi yang sehat.

172
Daftar Pustaka
Araújo, L. A. de, Veloso, C. F., Souza, M. de C., Azevedo, J.
M. C. de, & Tarro, G. (2021). The potential impact of
the COVID-19 pandemic on child growth and
development: a systematic review. Jornal de Pediatria,
97(4), 369–377.
https://doi.org/10.1016/j.jped.2020.08.008
Bruserud, I. S., Roelants, M., Oehme, N. H. B., Madsen,
A., Eide, G. E., Bjerknes, R., Rosendahl, K., &
Juliusson, P. B. (2020). References for ultrasound
staging of breast maturation, tanner breast staging,
pubic hair, and menarche in Norwegian girls. Journal
of Clinical Endocrinology and Metabolism, 105(5),
1599–1607.
https://doi.org/10.1210/clinem/dgaa107
Center, N. S. V. R. (2013). An overview of healthy childhood
sexual development (pp. 1–6). National Sexual Violence
Resource Center l.
del Barrio, V. (2016). A-1 Human Growth and Development
Unit - 1 : Approaches to Human Development. 1–85.
Direktorat Kesehatan Departmen Kesehatan Keluarga.
(2016). Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan
lntervensi Dini Tumbuh Kembang Anak. Bakti
Husada, 59.
Goldmeier, D. (1987). Understanding human sexuality. In
Sexually Transmitted Infections (Vol. 63, Issue 6).
https://doi.org/10.1136/sti.63.6.399-a
Human Growth And Development (Issue 044). (2002).
Tamilnadu Open University.
James M, T. (2012). Puberty and the Tanner Stages -
developed by Professor James M Tanner. Child Growth
Foundation, 5–6.
http://www.childgrowthfoundation.org/CMS/FILES/
Puberty_and_the_Tanner_Stages.pdf
Johnson, M. H. (2013). Essential Reproduction (Seventh,
Vol. 7). Wiley-Blackwell.

173
Laks, H., Ott, R. A., Hahn, J. W., Standeven, J. W., &
Willman, V. L. (1977). A servo controlled transapical
left ventricular to aortic assist device with implantable
cannulae. Transactions - American Society for Artificial
Internal Organs, 23(1), 319–325.
https://doi.org/10.1097/00002480-197700230-
00079
Mishra, P. K. (2020). Human Growth And Development -
Developmental Psychology. 21(1), 1–194.
Ríos, L. (2018). Human Growth and Development. The
Encyclopedia of Archaeological Sciences, 1–4.
https://doi.org/10.1002/9781119188230.saseas030
8

174
Profil Penulis
Natalia Debi Subani, S.Kep., M.Kes.
Penulis mengawali pendidikan tingginya dengan
menyelesaikan pendidikan di Akademi
Keperawatan- MSA Kupang pada tahun 2001.
Setelah itu penulis melanjutkan studi di Program
Studi Ilmu Keperawatan – Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro Semarang pada tahun 2006. Penulis mulai tertarik
untuk mendalami ilmu tentang kesehatan reproduksi sehingga
pada tahun 2011 penulis memilih untuk melanjutkan
pendidikan di Prodi Ilmu Kesehatan Reproduksi Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Fokus mengajar
dari penulis pada mata kuliah terkait sistem reproduksi
manusia dan kesehatan reproduksi manusia beserta berbagai
permasalahannya, seperti anatomi dan fisiologi manusia, ilmu
biomedik dasar beserta mata kuliah-mata kuliah yang terkait,
fisika dan biologi, keperawatan maternitas.
Email Penulis: nataliadebi@gmail.com

175
176
11
MENYUSUI DAN ASI EKSKLUSIF

Sherllia Sofyana, S.Tr.Keb., M.Tr.Keb.


Universitas Widya Nusantara

Menyusui
Menyusui adalah proses pemberian susu kepada bayi
atau anak kecil dengan air susu ibu (ASI) dari payudara
ibu. Bayi menggunakan refleks menghisap untuk
mendapatkan dan menelan susu. Bukti eksperimental
menyimpulkan bahwa air susu ibu adalah gizi terbaik
untuk bayi. Para pakar masih memperdebatkan seberapa
lama periode menyusui yg paling baik dan seberapa jauh
risiko penggunaan susu formula. Seorang bayi dapat
disusui oleh ibunya sendiri atau oleh wanita lain. ASI juga
dapat diperah dan diberikan melalui alat menyusui lain
seperti botol susu, cangkir, sendok, atau pipet. Susu
formula juga tersedia untuk para ibu yang tidak bisa atau
memilih untuk tidak menyusui, tetapi para ahli sepakat
bahwa kualitas susu formula tidaklah sebaik ASI. Di
banyak negara, pemberian susu formula terkait dengan
tingkat kematian bayi akibat diare, tetapi apabila
pembuatannya dilakukan dengan hati-hati menggunakan
air bersih, pemberian susu formula cukup aman.
Pemerintah dan organisasi internasional sepakat untuk
mempromosikan menyusui sebagai metode terbaik untuk
pemberian gizi bayi setidaknya tahun pertama dan
bahkan lebih lama lagi, antara lain WHO, Akademi Dokter
Anak Amerika (American Academy of Pediatrics), dan
Departemen Kesehatan.

177
Dalam rangka menjamin hak bayi, Kementerian
Kesehatan telah menetapkan program Sepuluh Langkah
Menuju Keberhasilan Menyusui (LMKM) melalui
keputusan Menteri Kesehatan Nomor
450/Menkes/SK/IV/2004 tentang pemberian air susu
ibu (ASI) secara eksklusif pada bayi di Indonesia. Tenaga
kesehatan harus menginformasikan sepuluh langkah
menuju keberhasilan menyusui (LMKM). Langkah-
langkah sepuluh langkah menuju keberhasilan menyusui
(Ten Steps to Successful Breastfeeding) adalah:
1. Fasilitas kesehatan mempunyai kebijakan pemberian
ASI tertulis yang secara rutin dikomunikasikan
kepada semua petugas kesehatan.
2. Melatih keterampilan yang diperlukan semua petugas
kesehatan dalam mengimplementasikan kebijakan
ini.
3. Menginformasikan dan menjelaskan kepada semua
wanita hamil mengenai manfaat dan penatalaksanaan
pemberian ASI dimulai sejak masa kehamilan, masa
bayi lahir sampai umur dua tahun termasuk cara
mengatasi kesulitan menyusui.
4. Membantu ibu melakukan inisiasi menyusui dini
(IMD) dalam 1 jam kelahiran.
5. Menunjukkan dan membantu ibu cara menyusui dan
cara mempertahankan laktasi walaupun mereka
terpisah dari bayi mereka.
6. Tidak memberikan bayi makanan atau minuman
selain ASI, kecuali diindikasikan secara medis.
7. Melakukan praktik “rooming in” atau rawat gabung
dengan memfasilitasi ibu dan bayi untuk tetap
bersama 24 jam sehari.
8. Mendorong ibu untuk memberikan ASI kepada bayi
tanpa batasan.

178
9. Tidak memberikan dot atau puting buatan untuk
menyusui bayi.
10. Meningkatkan perkembangan Kelompok Pendukung
ASI (KP-ASI) dan merujuk ibu ke kelompok tersebut
saat mereka pulang dari rumah sakit atau klinik
bersalin.
ASI Eksklusif
Banyak komponen yang terkandung dalam ASI antara lain
sel fagosit dan immunoglobulin A yang esensial dalam
melindungi mukosa tubuh dari mulut, saluran nafas atas,
serta saluran cerna terhadap infeksi. Selain itu komponen
yang ikut menjaga daya tahan tubuh seperti laktiferin,
lisozim, juga terkandung secara cukup dalam ASI.
Lactoferin adalah suatu protein yang dapat mengikat besi.
Ikatan antara lactoferin dengan besi bermanfaat untuk
menghambat pertumbuhan beberapa jenis kuman
diantaranya Staphylococcus, E coli dan Entamoeba
hystolitica. Ketiga jenis mikroorganisme ini juga
memerlukan besi untuk pertumbuhan. Lactoferin juga
dapat menghambat pertumbuhan jamur Candida albicus.
Selain lactoferin dalam ASI terkandung suatu enzim yang
dapat memecah dinding bakteri dan bersifat anti inflamasi
yang dikenal dengan lizozim. Lizozim bersama peroksida
akan melumpuhkan E. coli dan sebagian genus
Salmonella. Aktivitas lizozim ASI dikatakan beberapa kali
lebih tinggi dibandingkan lizozim pada susu sapi.
Immunoglobulin yang terkandung dalam ASI memiliki
kadar bervariasi antara satu dengan lainya. Kadar
terhadap enzim proteotik dan asam dalam saluran
pencernaan bayi. Pernah dilaporkan bahwa dalam ASI
terdapat antibiotik spesifik terhadap beberapa jenis
bakteri dan virus seperti E. coli, Salmonella typi, Shigela,
polio dan campak. Antibody terhadap rotavirus ditemukan
cukup tinggi dalam kolostrum dan sedikit menurun pada
minggu pertama kelahiran kemudian menetap hingga 2

179
tahun. Demikian juga antibody terhadap Helicobacter
jejuni ditemukan cukup tinggi dalam kolostrum yang
sedikit menurun pada 1 bulan pertama dan kemudian
menetap selama menyusui.
Peranan ASI yang lain adalah meningkatkan imunitas
seluler bayi. Hal ini dikarenakan kandungan sel-sel yang
berperan dalam sistem kekebalan manusia didapatkan
cukup tinggi dalam ASI. Sebagian besar atau hamper 90%
adalah berupa makrofag sedangkan sisanya (10%) terdiri
dari sel limfosit T dan B. Faktor–faktor anti infeksi ini
kadarnya cukup tinggi terutama dalam kolostrum.
Perbedaan status gizi ibu tidak mempengruhi kadar anti
infeksi dalam ASI.
Dalam rangka menurunkan angka kesakitan dan
kematian anak, UNICEF dan WHO merekomendasikan
pemberian ASI selama paling sedikit enam bulan.
Makanan padat dapat diberikan sesudah anak berusia 2
tahun. Pada tahun 2003 pemerintah Indonesia merubah
kebijakan pemberian ASI dari empat bulan menjadi enam
bulan.
Berkaitan dengan pola pemberian ASI di masyarakat,
terdapat empat kategori yaitu menyusui eksklusif,
menyusui predominan, menyusui parsial, dan pemberian
susu non ASI. Adapun perbedaan antara keempat kategori
itu adalah:
1. Menyusui eksklusif adalah memberikan ASI baik
secara langsung yaitu dengan disusui maupun
dengan menggunakan botol (perahan ASI) tanpa
memberi makanan atau minuman lain terkecuali
obat, vitamin, dan mineral selama 6 bulan.
2. Menyusui predominan adalah memberikan ASI secara
langsung atau pun dengan menggunakan botol
selama 6 bulan tetapi pernah memberikan sedikit

180
makanan atau minuan prelakteal berbasis air
sebelum ASI keluar.
3. Menyusui parsial adalah memberikan ASI dengan
disertai makanan atau minuman tambahan sebelum
bayi berumur 6 bulan.
4. Non ASI adalah pemberian minuman berupa susu non
ASI atau minuman lain yang dominan selama 6 bulan
tanpa atau dengan peberian ASI dalam jumlah yang
sangat terbatas.
Pengeluaran ASI merupakan suatu interaksi yang sangat
kompleks antara rangsangan mekanik, saraf dan
bermacam-macam hormon. Pengaturan hormon terhadap
pengeluaran ASI dapat dibedakan menjadi 3 bagian
(Komang Kari dalam Soetjiningsih, 1997 :4) yaitu:
1. Pembentukan Kelenjar Payudara
a. Sebelum Pubertas
Duktus primer dan sekunder sudah terbentuk
pada masa fetus. Mendekati pubertas terjadi
pertumbuhan yang cepat dari sistem duktus
terutama di bawah pengaruh hormon estrogen
sedangkan pertumbuhan alveoli oleh hormon
progesteron. Hormon yang juga ikut berperan
dalam pertumbuhan kelenjar payudara adalah
prolaktin yang dikeluarkan oleh kelenjar
adenohipofise (hipofise anterior). Hormon yang
kurang perannya adalah hormon kelenjar
adrenalin, tiroid, paratiroid dan hormon
pertumbuhan.
b. Masa Pubertas
Pada masa ini terjadi pertumbuhan percabangan-
percabangan sistem duktus, proliferasi dan
kanalisasi dari unit-unit lobuloalveolar yang
terletak pada ujung-ujung distal duktulus.

181
Jaringan penyangga stroma mengalami organisasi
dan membentuk septum interlobular.
c. Masa Siklus Menstruasi
Perubahan kelenjar payudara wanita dewasa
berhubungan dengan siklus menstruasi dan
pengaruh-pengaruh hormon yang mengatur
siklus tersebut seperti estrogen dan progesteron
yang dihasilkan oleh korpus luteum. Bila kadar
hormon ini meningkat maka akan terjadi edema
lobules. Secara klinis akan dirasakan payudara
berat dan penuh. Setelah menstruasi dimana
kadar estrogen dan progesteron berkurang, yang
berperan hanya prolaktin saja. Hal ini
menyebabkan payudara selalu bertambah besar
tiap siklus ovulasi mulai dari permulaan tahun
menstruasi sampai umur 30 tahun.
d. Masa Kehamilan
Pada awal kehamilan terjadi peningkatan yang
jelas dari duktulus yang baru, percabangan-
percabangan dan lobulus, yang dipengaruhi oleh
hormon-hormon plasenta dan korpus luteum.
Hormon-hormon yang ikut membantu
mempercepat pertumbuhan adalah prolaktin,
lactogen plasenta, korionik gonadotropin, insulin,
kortisol, hormon tiroid, hormon paratiroid, hormon
pertumbuhan.
e. Pada 3 Bulan Kehamilan
Prolaktin dari adenohipofise (hipofise anterior)
mulai merangsang kelenjar air susu untuk
menghasilkan air susu yang disebut kolostrum.
Pada masa ini pengeluaran kolostrum masih
dihambat oleh estrogen dan progesteron, tetapi

182
jumlah prolaktin meningkat hanya aktifitas dalam
pembuatan kolostrum yang ditekan.
f. Pada Trimester Kedua Kehamilan
Laktogen plasenta mulai merangsang
pembentukan kolostrum. Keaktifan dari
rangsangan hormon-hormon terhadap
pengeluaran air susu telah didemonstrasikan
kebenarannya bahwa seorang ibu yang
melahirkan bayi berumur 4 bulan dimana bayinya
meninggal, tetap keluar kolostrum.
2. Proses Pembentukan Laktogen
a. Laktogenesis I
Fase laktogenesis I terjadi pada akhir kehamilan.
Pada fase ini lobules alveolus jumlahnya akan
bertambah dan ukurannya pun akan bertambah
besar. Pada masa penambahan dan pembesaran
lobulus alveolus payudara juga memproduksi
sebuah cairan kental yang berwarna
kekuningkuningan atau yang biasa disebut
kolostrum. Dalam proses pembentukan kolostrum
akan membuat hormon progesteron dalam
payudara meningkat jumlahnya sehingga hal ini
akan menghambat atau mencegah produksi ASI.
Tetapi hal ini bukan menjadi masalah atau
menjadi indikasi sedikit atau banyaknya jumlah
ASI yang diproduksi oleh payudara.
b. Laktogenesis II
Fase laktogenesis II terjadi pada saat melahirkan.
Pada fase ini terjadi pengeluaran plasenta yang
mengakibatkan menurunnya kadar hormon
progesteron, esterogen dan HPL. Turunnya ketiga
kadar hormon ini mengakibatkan terjadinya
pembentukan atau produksi ASI besar-besaran

183
karena kadar hormon prolaktin tetap tinggi. Jika
terjadi rangsangan pada payudara misalnya
hisapan bayi, hal ini akan membuat kadar
prolactin dalam darah ikut mengalami
peningkatan dan akan mencapai puncak produksi
dalam periode kurang lebih sekitar 45 menit dan
kemudian akan kembali normal. Hal inilah yang
menjadi alasan mengapa seorang ibu hendaknya
menyusui bayinya sesegera mungkin setelah
melahirkan. Hormon prolaktin yang menstimulasi
sel dalam alveoli dan merangsangnya untuk
memproduksi ASI juga akan keluar tercampur
dalam ASI itu sendiri saat bayi menghisapnya.
c. Laktogenesis III
Pada fase laktogenesis III, sistem kontrol hormon
endokrin yang terdapat dalam payudara akan
mengatur produksi ASI selama kehamilan dan
beberapa hari setelah melahirkan dan mulai
bekerja setelah produksi ASI sudah mulai stabil.
Pada tahap ini, apabila ASI banyak dikeluarkan,
maka payudara akan memproduksi ASI semakin
banyak pula. Penelitian berkesimpulan bahwa
ketika payudara dikosongkan secara menyeluruh,
maka produksi ASI selanjutnya juga akan
meningkat. Dengan demikian, produksi ASI
dipengaruhi oleh seberapa sering ibu menyusui
dan seberapa baik bayi menghisap.
3. Refleks Dalam Proses Laktasi
Pada seorang ibu yang menyusui dikenal 2 refleks
yang masing-masing berperan sebagai pembentukan
dan pengeluaran air susu yaitu refleks prolaktin dan
refleks “let down” (Lawrence RA, 1988 dan 1995 dalam
Soetjiningsih, 1997:7).

184
a. Refleks Prolactin
Pada akhir kehamilan hormon prolaktin
memegang peranan untuk membuat kolostrum
namun jumlah kolostrum terbatas, karena
aktifitas prolaktin dihambat oleh estrogen dan
progesteron yang kadarnya memang tinggi.
Terlepasnya plasenta setelah partus dan kurang
berfungsinya korpus luteum mengakibatkan
estrogen dan progesteron sangat berkurang,
ditambah lagi dengan adanya isapan bayi yang
merangsang puting susu dan kalang payudara,
akan merangsang ujung-ujung saraf sensoris
yang berfungsi sebagai reseptor mekanik.
Rangsangan ini dilanjutkan ke hipotalamus
melalui medulla spinalis dan mesensephalon.
Hipotalamus akan menekan prolaktin dan
sebaliknya merangsang pengeluaran faktor-faktor
yang memacu sekresi prolaktin. Faktor-faktor
yang memacu sekresi prolaktin akan merangsang
adenohipofise (hipofise anterior) sehingga keluar
prolaktin. Hormon ini merangsang sel-sel alveoli
yang berfungsi untuk membuat air susu. Kadar
prolaktin pada ibu yang menyusui akan menjadi
normal 3 bulan setelah melahirkan sampai
penyapihan anak dan pada saat tersebut tidak
akan ada peningkatan prolaktin walaupun ada
isapan bayi, namun pengeluaran air susu tetap
berlangsung. Pada ibu yang melahirkan anak
tetapi tidak menyusui, kadar prolaktin akan
menjadi normal pada minggu ke 2-3. Pada ibu
yang menyusui, prolaktin akan meningkat dalam
keadaan-keadaan seperti; stress atau pengaruh
psikis, anastesi, operasi, rangsangan puting susu,
hubungan kelamin, obat-obatan tranqulizer
hipotalamus seperti reserpine, klorpromazin,

185
fenotiazid. Sedangkan keadaan-keadaan yang
menghambat pengeluaran prolaktin adalah gizi
ibu yang jelek dan obatobatan seperti ergot, l-
dopa.
b. Refleks let down (milk ejection reflex)
Bersamaan dengan pembentukan prolaktin oleh
adenohipofise, rangsangan yang berasal dari
isapan bayi ada yang dilanjutkan ke neurohipofise
(hipofise posterior) yang kemudian dikeluarkan
oksitosin. Melalui aliran darah, hormon ini
diangkut menuju uterus yang dapat
menimbulkan kontraksi pada uterus sehingga
terjadi involusi dari organ tersebut. Oksitosin
yang sampai pada alveoli akan mempengaruhi sel
mioepitelium. Kontraksi dari sel akan memeras air
susu yang telah terbuat keluar dari alveoli dan
masuk ke sistem duktulus yang untuk
selanjutnya mengalir melalui duktus laktiferus
masuk ke mulut bayi. Faktor-faktor yang
meningkatkan refleks let down adalah dengan
melihat bayi, mendengarkan suara bayi, mencium
bayi, dan memikirkan untuk menyusui bayi.
Sedangkan faktor-faktor yang menghambat
refleks let down adalah stress seperti; keadaan
bingung/pikiran kacau, takut, cemas. Di dalam
interaksi timbal balik antara ibu dan bayi terdapat
keuntungan yang timbal balik pula. Keuntungan
untuk bayi selain nilai gizi ASI yang tinggi, juga
adanya zat anti pada ASI yang melindungi bayi
terhadap berbagai macam infeksi. Disamping itu
bayi juga merasakan sentuhan, kata-kata dan
tatapan kasih sayang dari ibunya, serta
mendapatkan kehangatan yang penting untuk
tumbuh kembangnya. Sedangkan keuntungan
yang diperoleh ibu adalah selain menimbulkan

186
perasaan senang dan dibutuhkan oleh bayinya,
sehingga menimbulkan rasa percaya diri, juga
adanya sekresi hormon oksitosin akan
mempercepat berhentinya perdarahan setelah
melahirkan dan prolactin akan mencegah
terjadinya ovulasi yang mempunyai efek
menjarangkan kehamilan. Bila stress dari ibu
yang menyusui, maka akan terjadi suatu blockade
dari refleks let down. Ini disebabkan oleh karena
adanya pelepasan dari adrenalin (epinefrin) yang
menyebabkan vasokontriksi dari pembuluh darah
alveoli, sehingga oksitosin sedikit harapannya
untuk dapat mencapai target organ mioepitelium.
Akibat dari tidak sempurnya refleks let down
maka akan terjadi penumpukan air susu di dalam
alveoli yang secara klinis tampak payudara
membesar. Payudara yang besar dapat berakibat
abses, gagal untuk menyusui dan rasa sakit. Rasa
sakit ini akan merupakan stress lagi bagi seorang
ibu sehingga stress akan bertambah. Karena
refleks let down tidak sempurna, maka bayi yang
haus jadi tidak puas. Ketidakpuasan ini akan
menjadi tambahan stress bagi ibunya. Bayi yang
haus dan tidak puas ini akan berusaha untuk
dapat air susu yang cukup dengan cara
menambah kuat isapannya sehingga tidak jarang
dapat menimbulkan luka-luka pada puting susu
dan sudah tentu luka-luka ini akan dirasakan
sakit oleh ibunya yang juga akan menambah
stressnya tadi. Dengan demikian akan terbentuk
satu lingkaran setan yang tertutup (circulus
vitisus) dengan akibat kegagalan dalam menyusui.
4. Pemeliharaan Pengeluaran Air Susu
Hubungan yang utuh antara hipotalamus dan hipofise
akan mengatur kadar prolaktin dan oksitosin dalam

187
darah. Hormon-hormon ini sangat perlu untuk
pengeluaran permulaan dan pemeliharaan
penyediaan air susu selama menyusui. Proses
menyusui memerlukan pembuatan dan pengeluaran
air susu dari alveoli ke sistem duktus. Bila susu tidak
dikeluarkan akan mengakibatkan berkurangnya
sirkulasi darah kapiler yang menyebabkan
terlambatnya proses menyusui. Berkurangnya
rangsangan menyusui oleh bayi misalnya kuatan
isapan yang kurang, frekuensi isapan yang kurang
dan singkatanya waktu menyusui ini berarti
pelepasan prolaktin dari hipofise berkurang, sehingga
pembuatan air susu berkurang, karena diperlukan
kadar prolaktin yang cukup untuk mempetahankan
pengeluaran air susu mulai sejak minggu pertama
kelahiran.
Manajemen Laktasi
Manajemen laktasi adalah tata laksana yang diperlukan
untuk menunjang keberhasilan menyusui, mulai dari ASI
diproduksi hingga proses bayi menghisap dan menelan
ASI. Ruang lingkup pelaksanaan manjemen laktasi adalah
dimulai pada masa kehamilan, setelah persalinan, dan
pada masa menyusui. Tujuan dari manajemen laktasi
adalah untuk meningkatkan keberhasilan ASI eksklusif
sampai bayi berusia 6 bulan. Manajemen yang baik dalam
laktasi meliputi perawatan payudara, praktek menyusui
yang benar, serta dikenalinya masalah dalam laktasi.
1. Masa Kehamilan
a. Memberikan KIE (komunikasi, informasi dan
edukasi) kepada ibu mengenai manfaat dan
keunggulan ASI, manfaat menyusui bagi ibu, bayi
dan keluarga, cara pelaksanaan manajemen
laktasi, dan dampak negatif terhadap pemberian
susu formula.

188
b. Melakukan pemeriksaan kesehatan tubuh,
kehamilan, dan kondisi payudara. Disamping itu,
perlu dilakukan pemantauan kenaikan berat
badan ibu hamil selama kehamilan. Pemeriksaan
payudara bertujuan untuk mengetahui lebih dini
adanya kelainan, sehingga dapat dikoreksi
sebelum persalinan. Pemeriksaan payudara
dilaksanakan pada kunjungan pertama, dimulai
dari inspeksi dan palpasi.
c. Memperhatikan kecukupan gizi dalam makanan
sehari-hari termasuk mencegah kekurangan zat
besi. Jumlah makanan sehari-hari perlu
ditambah mulai kehamilan trimester ke-2 (minggu
ke 13-26) menjadi 1-53 kali porsi dari jumlah
makanan pada saat sebelum hamil untuk
kebutuhan gizi ibu hamil.
d. Menciptakan suasana keluarga yang
menyenangkan termasuk mendapatkan
dukungan suami yang dapat memberikan rasa
nyaman kepada ibu.
2. Masa Setelah Persalinan (Prenatal)
a. Dalam waktu 30 menit setelah melahirkan, ibu
dibantu dan dimotivasi agar mulai kontak dengan
bayi (skin to skin contact) dan mulai menyusui
bayi.
b. Membantu kontak langsung ibu bayi (skin to skin
contact) pada satu jam pertama setelah persalinan
merupakan waktu paling sensitif dalam
pembentukan ikatan (bonding) antara ibu dan
bayi.
3. Masa Menyusui (Post-Natal)

189
a. Menyusui secara eksklusif selama 6 bulan
pertama usia bayi, tanpa memberikan makanan
ataupun minuman lainnya.
b. Memperhatikan kecukupan gizi makanan ibu
menyusui sehari-hari. Ibu menyusui memerlukan
lebih banyak dari biasanya dan minum minima
gelas per hari.
c. Cukup istirahat, menjaga ketenangan pikiran dan
menghindari kelelahan fisik yang berlebihan agar
produksi ASI tidak terhambat.
d. Pengertian dan dukungan keluarga terutama
suami sangat penting untuk menunjang
keberhasilan menyusui.
e. Mengikuti petunjuk petugas kesehatan (merujuk
ke Puskesmas atau Posyandu) bila ada
permasalahan yang terkait dengan penyusuan.
Misalnya apabila payudara bengkak, bayi tidak
mau menyusu, puting lecet, dan lain-lain.
f. Memperhatikan kecukupan gizi makanan bayi,
terutama setelah bayi berumur 6 bulan. Selain
ASI, berikan MP-ASI yang cukup, baik kualitas
maupun kuantitasnya secara bertahap.
Manfaat Air Susu Ibu (ASI)
Air susu ibu (ASI) mempunyai manfaat praktis dan
psikologis yang harus dipertimbangkan karena ASI adalah
makanan yang paling cocok dari semua susu yang
tersedia untuk bayi manusia karena ASI secara unik
disesuaikan untuk kebutuhan bayi. Pemberian ASI lebih
menguntungkan dibandingkan susu formula. Hal ini
dikarenakan ASI memberikan banyak manfaat, baik
kepada bayi, ibu, masyarakat dan juga negara. Menyusui
tidak hanya memberikan manfaat tak terhingga bagi bayi
yang sehat, tetapi juga bagi bayi yang berkebutuhan
khusus.

190
Daftar Pustaka
Behrman, R.E, Kliegman, R.M., Arvin, A.M., Wahab, A.S.
(1999). Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Vol 1. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC.
Budiasih KS. 2008. Handbook Ibu Menyusui.Bandung:
Hayati Qualita.
Cadwell K, Turner Maffei C. (2011). Manajemen Laktasi.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Limberti, L.M., Walker, C.L.F, Noiman, A., (2011).
Breasfeeding and The Risk for Diarrhea Morbidity and
Mortality. BMC Public Health. 138:297-504.
Misdayanti. (2016). Determinan Perilaku Ibu Terhadap
Keberhasilan Asi Eksklusif (di Wilayah Kerja
Puskesmas Lameuru Kabupaten Konawe Selatan
Provinsi Sulawesi Tenggara). Tesis. FKM Universitas
Airlangga.
Moody J, Britten J, Hogg K. (2006). Breastfeeding Your
Baby. Jakarta: Arcan.
Mutia, I., (2012). Hubungan Antara Status Gizi, ASI
Eksklusif, dan Faktor Lain Terhadap Frekuensi Diare
Pada Anak Usia 10-23 Bulan di Puskesmas Tugu
Depok. Skripsi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Prasetyono DS. 2012. Buku Pintar ASI Eksklusif.
Yogyakarta: Diva Press.
Purwanti. 2004. Konsep Penerapan ASI Eksklusif.
Bandung: Cendekia.
Sri, Kurniawati. (2016). Model Prediksi Kejadian Diare
Akut Pada Anak Balita di Puskesmas Pacar Keling
Kota Surabaya. Tesis. FKM Universitas Airlangga.
Sulistyoningsih, H. (2011). Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan
Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suradi, R. (2008). Manfaat ASI dan Menyusui. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Yurillah. (2010). Hubungan antara pemberian ASI
Eksklusif dengan kejadian Diare pada bayi berusia 6-
12 bulan di Kel. Bendungan Kec. Cilegon. Skripsi
Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

191
Profil Penulis
Sherllia Sofyana, S.Tr.Keb., M.Tr.Keb
Penulis dilahirkan di Desa Tolai, kabupaten
Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah pada
Tanggal 14 Januari 1993. Merupakan anak
Pertama dari dua bersaudara. Penulis
menyelesaikan pendidik D3 Kebidanan di
Akademi Kebidanan Palu lulus tahun 2014, Menyelesaikan
pendidikan D4 Kebidanan di STIKes Ngudi Waluyo Ungaran
lulus tahun 2016 dan menyelesaikan S2 Terapan Kebidanan di
STIKes Dharma Husada Bandung lulus tahun 2019. Sehari-
harinya bekerja sebagai dosen pengampu mata kuliah Ilmu
Sosial Budaya Dasar, Pengantar Asuhan Kebidanan (Konsep
Kebidanan), Psikologi, Kesehatan Perempuan dan Perencanaan
Keluarga, Pengantar asuhan kebidanan nifas. Selain itu penulis
juga aktif dalam menulis jurnal nasional.
Email Penulis: sherllia.sofyana93@gmail.com

192
12
KESEHATAN
REPRODUKSI LANSIA

Ns. Cut Mutiya Bunsal, S.Kep., M.Kep.


Universitas Muhammadiyah Manado

Latar Belakang Kesehatan Reproduksi Lansia


Lansia menurut Perpres Nomor 88 Tahun 2021 adalah
seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh)
tahun ke atas. Lanjut usia adalah suatu kejadian yang
pasti akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai
umur Panjang. Sedangkan menua (menjadi tua) adalah
suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti
dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak
dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki
kerusakan yang diderita. Menuruntnya fungsi tubuh saat
menua dapat mempengaruhi lansia baik secara fisik,
pikiran maupun hasrat seksualnya menurun. Perubahan
pada fungsi seksualitas lansia pada Wanita ditandai
dengan terjadinya menopause, sedangkan pada pria
ditandai dengan terjadinya anropause (Darmojo, 2009).
Mengingat lansia berada dalam massa peneurunan
berbagai fungsi fisik, termasuk penurunan fungsi seksual,
maka bentuk aktivitas seksual pasangan lansia juga
berbeda-beda, lebih banyak kasih saying keluarga,
perhatian, berpegangan tangan, menyentuh, atau sekedar
menggoda (Pambudi, 2018).

193
Pada tahun 2030, diperkirakan setidaknya 1 dari 6 orang
di dunia akan berusia 60 tahun atau lebih (WHO, 2022).
Jumlah penduduk dunia yang berusia 60 tahun ke atas
diperkirakan akan meningkat dari 1,4 miliar pada tahun
2020 menjadi 2,1 miliar pada tahun 2050. Sejak tahun
2021, Indonesia telah memasuki struktur penduduk tua
(ageing population), di mana sekitar 1 dari 10 penduduk
adalah lansia. Fenomena ageing population bisa menjadi
bonus demografi kedua, yaitu ketika proporsi lansia
semakin banyak tetapi masih produktif dan dapat
memberikan sumbangan bagi perekonomian negara
(Heryanah, 2015). Akan tetapi, lansia dapat menjadi
tantangan pembangunan ketika tidak produktif dan
menjadi bagian dari penduduk rentan. (BPS, 2022). Pada
RPJMN 2020-2024, pemerintah juga telah menyusun
strategi guna mengantisipasi kondisi Indonesia yang telah
memasuki ageing population. Wujud antisipasinya antara
lain dengan penyiapan terkait kelanjutusiaan pada
berbagai aspek untuk menciptakan lansia yang sehat dan
produktif. Pemerintah menargetkan pada tahun 2024
terjadi peningkatan kawasan yang ramah lansia.
Penduduk lanjut usia perempuan memberikan kontribusi
lebih besar terhadap total lansia. Sekitar 51,81 persen
lansia adalah lansia perempuan. Sementara itu, lansia
laki-laki sebesar 48,19 persen. Besarnya populasi lansia
serta pertumbuhan yang sangat cepat menimbulkan
berbagai permasalahan, sehingga perlu mendapatkan
perhatian yang serius dari semua sektor untuk upaya
peningkatan kesejahteraan lansia. Program kesehatan
pada lansia sering hanya menitikberatkan pada pelayanan
akibat proses degeneratif seperti hipertensi, stroke,
diabetes mellitus, dan radang sendi. Padahal
kesejahteraan reproduksi juga meerupakan salah satu
masalah kesehatan yang dialami oleh lansia, utamanya
saat masa subur wanita berakhir (menopause) dan pada

194
pria saat mengalami penurunan fungsi seksual dan
kesuburan (andropouse) (Kemenkes RI, 2015).
Kesehatan reproduksi lansia menjadi salah satu perhatian
pada strategi peningkatan derajat kesehatan dan kualitas
hidup lansia, penghormatan, perlindungan, dan
pemenuhan terhadap hak lanjut usia dalam Peraturan
Presiden tahun 2021 Pasal 4. Adapun penguatan
kelembagaan pelaksanaan program kelanjutusiaan telah
difasilitasi oleh pemerintah melalui konseling reproduksi
lansia di puskesmas. Meskipun baru 30% Puskesmas di
seluruh Indonesia melakukan pelayanan konseling
kesehatan reproduksi lansia. Adanya Bina Keluarga
Lansia (BKL) oleh BKKBN, dimana BKL ini dapat menjadi
wadah bagi para lansia agar tetap sehat, aktif, produktif,
dan mandiri dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan
kelompok (BKKBN, 2020).
Perubahan Sistem Reproduksi Lansia
Secara umum perubahan biologis yang terjadi sebagai
akibat bertambahnya usia akan mengurangi kemampuan
seseorang untuk merespon fisik maupun psikis lansia,
berbagai masalah bisa terbawa oleh kondisi tersebut dan
paling menonjol adalah masalah yang berkaitan dengan
dorongan dan sikap perilaku seksual seseorang.
Perubahan sistem reproduksi yang terjadi pada lansia
akan dijelaskan bagaimana yang terjadi pada Wanita dan
pria.
1. Perubahan sistem reproduksi Wanita.
Pada wanita, perubahan sistem reproduksi mulai
dirasakan saat terjadinya menopause. Dimana ketika
perempuan secara alami berhenti mengalami
menstruasi selama 12 bulan berturut-turut. Usia
rata-rata perempuan yang mengalami menopause
adalah 51 tahun. Dalam teori siklus sel reproduksi
menurut Bowen, dkk (2004), proses menua

195
dipengaruhi hormon reproduksi melalui sinyal sel
yang terlibat dalam pertumbuhan dan perkembangan
di masa awal kehidupan dan akan mempertahankan
fungsi reproduksi dimasa setelahnya. Gangguan
sistem hormon akan diikuti oleh berkurangnya folikel
hingga menjadi menopause, kondisi tersebut
mengganggu sinyal siklus sel yang akan mengarah ke
kematian dan disfungsi sel, disfungsi jaringan
(munculnya penyakit), hingga kematian.
Terdapat tanda dan gejala yang menunjukkan
perempuan memasuki awal dan masa menopause
(premenopause dan menopause), diantaranya adalah
dimulai dengan berkurangnya periode menstruasi dan
perubahan pada fisik, seksual dan psikologis
perempuan pada masa menopause.
a. Perubahan fisik: hot flushes, berat badan
bertambah, kulit keriput, sembelit, pengeroposan
pada tulang dan pinggul, sakit kepala, sering
buang air kecil.
b. Perubahan seksual: siklus menstruasi berkurang,
mudah terjadinya lecet pada organ intim,
lubrikasi vagina, dan pengerutan organ intim.
c. Perubahan psikologis: mudah tersinggung, susah
tidur, cemas, dan depresi, merasa tidak
dibutuhkan, dan cepat lupa (Greenblum, 2010).
Kekurangan estrogen dan progesterone dapat
menurunkan libido wanita dengan menciptakan
perubahan-perubahan fisik yang secara sederhana
membuat tindak senggama kurang nikmat.
Kekeringan dan penipisan dinding vagina dapat
menimbulkan ketidaknyamanan fisik selama
senggama, sebagaimana kejang otot vagina.
Perubahan dan fungsi saraf dapat mematikan rasa
dibagian-bagian tubuh yang biasanya peka, dan

196
perubahan dalam sirkulasi darah dapat menurunkan
respon fisik jika timbul rangsangan, yang
menjadikannya semakin sulit untuk mencapai
orgasme (Northup, 2006 dalam Cut Mutiya, 2019).
Pengerutan pada organ intim terjadi karena jaringan
lapisan organ intim menjadi tipis dan menurunnya
lubrikasi, sehingga menimbulkan rasa nyeri saat
berhubungan intim. Kondisi ini dapat diminimalkan
dengan melakukan hubungan intim yang teratur,
yang akan meningkatkan aliran darah menuju organ
intim sehingga mengurangi trauma pada dinding
organ intim (Eden, 2009).
Lubrikasi organ intim berkurang pada masa
menopause, perempuan menghindari berhubungan
intim karena trauma rasa sakit saat berhubungan
intim. Dampak yang ditimbulkan pada perempuan
menopause adalah menurunnya hubungan intim
dengan pasangan.
Rasa sakit berhubungan intim dirasakan oleh
umumnya perempuan menopause yaitu:
a. Rasa Sakit pada Alat Kelamin
Rasa sakit yang timbul pada alat kemaluan
sebelum, selama atau sesudah melakukan
hubungan intim. Keadaan ini sangat mengganggu
dan dapat menurunkan keinginan melakukan
hubuingan intim. Kondisi ini terjadi karena
masalah hormonal, dan kurang cairan vagina.
b. Ketidaksiapan Berhubungan Intim
Ketidaksiapan perempuan menopause melakukan
hubungan intim dapat menimbulkan rasa sakit
ketika berhubungan intim.
Rasa sakit yang ditimbulkan menyebabkan faktor
psikis seperti cemas dan pengalaman

197
berhubungan intim yang tidak menyenangkan,
karena perubahan fisik. Perubahan ini dapat
mengurangi rasa percaya diri dan menurunkan
hasrat untuk melakukan hubungan intim. Jika
gangguan terjadi karena masalah psikis, perlu
dilakukan diskusi dengan pasangan agar
hubungan intim dapat lebih menyenangkan.
2. Perubahan Sistem Reproduksi Pria
Perubahan pada lansia pria dimulai sejak terjadinya
anropause yang merupakan suatu keadaan dimana
testis dari seorang laki-laki yang sudah berusia tua
hanya sedikit dan memproduksi sperma dan hormon
testosterone tidak seperti berusia muda (Baziad, 2003
dalam Syarif Hidayatullah 2018). Penurunan fungsi
hipotalamus dan testis berhubungan dengan
penurunan testosterone yang berkaitan dengan usia.
Kelenjar pituitary kurang menghasilkan hormon LH
sebagai hasil dari penuruann pelepasan hormon
GnRH yang berkaitan dengan usia. Penurunan jumlah
dan volume sel Leydig juga merupakan faktor yang
berkontribusi terhadap terhambatnya produksi
testosterone.
Andropause merupakan proses alami yang terjadi
seiring bertambahnya usia pada pria. Semua pria
pasti mengalami andropause dan gejala tersebut
biasanya mulai terjadi pada pria yang sudah berusia
di atas 40 tahun. Sebagian pria bahkan telah
mengalami sindroma andropause sejak usia tiga
puluhan, tetapi dengan jumlah yang relatif kecil yaitu
kurang lebih 5%, umumnya adnropause terjadi Ketika
seorang pria mencapai usia 50-55 tahun. Usia
andropause terjadi ketika seorang pria mencapai usia
50-55 tahun. Usia anropause dipengruhi banyak
faktor, diantaranya gaya hidup tidak sehat, misalnya
merokok, mengkonsumsi minuman keras. Perubahan

198
yang terjadi pada anropause tidak hanya pada aspek
fisik, tetapi juga aspek psikis. Salah satu yang paling
berpengaruh diantaranya berkurangnya ereksi,
menurunya libido, dan orgasme yang terlambat.
Masalah Kesehatan Reproduksi Lansia
Proses penuaan memerlukan kebutuhan yang lebih besar
untuk merawat aspek yang berkaitan dengan penuaan
primer (perubahan fisik akibat penuaan) dan penuaan
sekunder (penyakit dengan risiko meningkat di usia tua).
Risiko kanker meningkat secara eksponensial seiring
bertambahnya usia. Sekitar 60% kanker terjadi pada
orang berusia 65 tahun atau lebih. Selanjutnya sekitar
70% kematian yang disebabkan oleh kankter terjadi pada
tahap ini (Tania Estape, 2017).
Survei nasional Amerika Serikat menunjukkan bahwa
orang yang berusia diatas 40 tahun memiliki tingkat
penggunaan kondom yang lebih rendah. Menurut estimasi
global 2008 yang dihasilkan oleh WHO dan Program
Gabungan United Nations Programme for HIV/AIDS
(UNAIDS), masing-masing 50 dan 60% dari orang yang
hidup dengan infeksi HIV di dunia dan di sub-Sahara
Afrika. Lansia tidak hanya beresiko terpapar penyakit
menular seksual yang seperti itu, namun secara fisiologis
lansia lebih rentan terpapar penyakit seperti sifilis dan
infeksi dengan Chlamydia trachomatis, Neisseria
gonorhoea dan Trichomonas vaginalis (WHO, 2009) dalam
(Lusti-Narasimhan & Beard, 2013).
Kesehatan seksual orang lanjut usia harus dikelola, tidak
hanya dalam konteks usia, jenis kelamin, dan kesehatan
umum, tetapi juga dalam hubungan seksual mereka yang
ada. Penelitian tentang gambaran fungsi seksual
menggunakan Female Sexual Function Index (FSFI) pada
wanita pasca menopause di Poli Geriatri Rsud dr. Soetomo
Surabaya masalah yang terjadi pada sistem reproduksi

199
lansia antara lain gangguan hasrat sebesar, gangguan
rangsangan sebesar, gangguan lubrikasi sebesar,
gangguan orgasme sebesar, gangguan kepuasan sebesar
dan gangguan nyeri sebesar. Penilaian fungsi seksual
didapatkan mengalami disfungsi (Hurrahmi, 2017).
Menurut Barbara et al (2011) dalam Ayu Wardani (2022),
disfungsi seksual yang terjadi pada perempuan lansia,
yaitu:
1. Gangguan gairah seksual hipoaktif
2. Gangguan rangsangan seksual
3. Gangguan orgasme
4. Gangguan nyeri seksual
Sedangkan pada laki-laki, terjadi:
a. Disfugnsi seksual
b. Gangguan ereksi atau impotensi (gangguan ereksi
impotensi, mengacu pada ketidakmampuan
menghasilkan atau mempertahankan ereksi penis
yang cukup untuk menyelesaikan senggama)
Masalah kesehatan reproduksi yang terjadi pada
lansia dapat dicegah baik bagi wanita menopause
maupun pria andropause. Pada menopause, dapat
dilakukan melalui:
a. Deteksi dini kanker leher Rahim dengan IVA pap
smear,
b. Deteksi dini kanker payudara dengan SADARI,
SADANIS, USG, atau mamografi
c. Makan makanan yang sehat, rendah lemak, tinggi
serat.
d. Penggunaan bahan makan yang mengandung
unsur fitoestrogen seperti kedelai, tahu, tempe,
kecap, papaya dan semanggi merah

200
e. Penggunaan bahan makanan sumber kalsium
susu, yogurt, keju, teri, dll.
f. Menghindari rokok, kopi dan alcohol
g. Pertahankan berat badan sehat
h. Lakukan olahraga secara teratur.
Penanganan Kesehatan Reproduksi Lansia
Lanjut usia sehat berkualitas, mengacu pada konsep
Active Ageing WHO yaitu proses penuaan yang tetap sehat
secara fisik, sosial dan jiwa sehingga dapat tetap sejahtera
sepanjang hidup dan berpartisipasi dalam rangka
meningkatkan kualitas hidup sebagai anggota
masyarakat. Sementara pemerintah juga harus
memfasilitasi dengan menyediakan fasilitas dan
perlindungan yang memadai, keamanan, serta perawatan
ketika dibutuhkan. Dalam penelitian Niken Budi
Susilowati dkk (2017), salah satu faktor yang
mempengaruhi berhasilnya pelayanan reproduksi lansia
adalah melalui kebutuhan konseling reproduksi lansia
yang harus ditingkatkan peran petugas kesehatan dalam
memfasilitasi ibu lansia melakukan konseling kesehatan
reproduksi lansia pada tingkat fasilitas pelayanan
kesehatan pertama yakni di Puskesmas.
Pelaksanaannya di Indonesia diterjemahkan dalam
bentuk pelayanan kesehatan santun lanjut usia baik di
fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun fasilitas
kesehatan rujukan tingkat lanjutan. Pemberian
pelayanan kesehatan kepada lanjut usia dilakukan
mengacu kepada hasil penapisan dan pengelompokan
berdasarkan status fungsional, dikelompokkan menjadi 3
kelompok yakni:
1. Lanjut usia mandiri/ketergantungan ringan;
2. Lanjut usia dengan ketergantungan sedang; dan

201
3. Lanjut usia dengan ketergantungan berat dan total,
yang masing-masing kelompok mendapat intervensi
program sebagai berikut: untuk kelompok lanjut usia
mandiri dan lanjut usia dengan ketergantungan
ringan, mengikuti kegiatan di Kelompok Lanjut Usia
secara aktif.
Untuk lanjut usia sehat dengan ketergantungan
sedang, lanjut usia dengan ketergantungan berat dan
total mendapatkan intervensi program layanan home
care atau dirujuk ke rumah sakit. Pelayanan
kesehatan yang diberikan baik di fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama, maupun fasilitas
kesehatan rujukan tingkat lanjutan akan disesuaikan
dengan kebutuhan kondisi kesehatan lanjut usia
sesuai pengelompokan tersebut di atas. Khusus
untuk lanjut usia yang sehat harus diberdayakan agar
dapat tetap sehat dan mandiri selama mungkin.
Ada berbagai program kelanjutusiaan yang dijalankan
oleh kementerian/lembaga dan mitrakerja yang
berada didalam komunitas, diantaranya Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN)
melalui kelompok kegiatan Bina Keluarga Lansia
(BKL), Kementerian Kesehatan melalui kegiatan
Posyandu Lansia, Kementerian Sosial melalui Pusat
Santunan Keluarga (PUSAKA) dan Sekolah Lansia
yang dikelola oleh
Universitas Respati Indonesia (Urindo) dan Indonesia
Ramah Lansia (IRL).
Adapun kegiatan BKL yang menjadi program BKKBN
yang terdiri dari kegiatan utama dan pengembangan
bisa menjadi salah satu penanganan kesehatan
reproduksi lansia, yakni:

202
a. Penyuluhan, meliputi materi pembangunan
Keluarga Lansia Tangguh dan materi
kelanjutusiaan sesuai dengan budaya kearifan
lokal.
b. Kunjungan rumah
c. Pendampingan, berhubungan dengan
pendampingan perawatan jangka Panjang bagi
lansia.
d. Rujukan merupakan kegiatan untuk mengatasi
masalah yang dihadapi anggota BKL
e. Pencatatan dan pelaporan
f. Menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan
fisik antra lain olahraga, penyediaan makanan
tambahan
g. Kegaiatan sosial kemasyarakatan, bina
lingkungan dan kegiatan keagmaan;
h. Kegiatan peningkatan pendapatan usaha ekonomi
i. Penguatan kemitraan.

203
Daftar Pustaka
Atikah Rahayu, dkk. 2017. Buku Ajar Kesehatan
Reproduksi Remaja dan Lansia. Pusat Penerbitan dan
Percetakan UNAIR; Airlangga University Press.
Surabaya.
Ayu Wardani. 2022. Gambaran Fungsi Seksual Pada
Lanjut Usia di Kota Makassar. Skripsi. Makassar.
Badan Pusat Statistik. 2022. Statistik Penduduk Lanjut
Usia. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Cut Mutiya Bunsal, dkk. 2019. Efek Paket Sejahtera
Terhadap Kemampuan Perempuan Menopause dalam
Menghadapi Perubahan Fisik, Seksual dan Psikologis
di Kota Depok. JIKP Vol. 9 Nomor 1. http://stikesmu-
sidrap.e-journal.id/JIKP
Darmojo.2009. Buku Ajar Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI
Direktorat Bina Ketahanan Keluarga dan Rentan. Media
Pembelajaran BKL Seri 3: Pembinaan Kesehatan
Reproduksi Bagi Lansia. Statewide Agricultural Land
Use Baseline 2015. Jakarta: BKKBN; 2012
Direktorat Bina Ketahanan Keluarga Lansia dan Rentan
BKKBN. 2020. Panduan Bina Keluarga Lansia
Integrasi. Jakarta
Hurrahmi, M., 2017, Gambaran Fungsi Seksual
Menggunakan Female Sexual Function Index (FSFI)
pada Wanita Pasca Menopause di Poli Geriatri RSUD
DR. Soetomo Surabaya, Universitas Airlangga,
http://repository.unair.ac.id/eprint/66330 diakses
pada bulan Maret 2023
Kemenkes RI. 2016. Situasi Lanjut Usia (Lansia) di
Indonesia. Infodatin Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. ISSN
2442-7659
Namira Wadjir Sangadji. 2019. Modul Sesi 12 Kesehatan
Reproduksi Lansia. Universitas Esa Unggul. Jakarta.

204
Niken Budi Susilowati, dkk, 2017. Hubungan Beberapa
Faktor Ibu Lansia Dengan Pemanfaatan Pelayanan
Kesehatan Reproduksi Lansia di Puskesmas Lebdosari
Semarang Triwulan I Tahun 2016. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Volume 5, Nomor 1, Januari 2017 (ISSN:
2536-3346)
Pambudi, P. (2018) ‘Efektivita Kompres Hangat Rebusan
Jahe Emprit dan Jahe Merah Terhadap Perubahan
Intensitas Nyeri Sendi Pada Lansia Di UPT Pelayanan
Sosial Tresna Werdha MMagetan Di Asrama
Ponorogo’, Jurnal Ilmu dan Teknologi Kesehatan,
75(3), pp. 55–58
Ratu Matahari, Suci Musvita Ayu. 2020. Bahan Ajar
Kesehatan Reproduksi Lanjut Usia. Fakultas
Kesehatan Masyarakat; Universitas Ahmad Dahlan.
Yogyakarta
Syarif Hidayatullah, dkk. 2018. Faktor-faktor yang
Berhubungan Dengan Kejadian Andropause Pada Pria
Usia 30-50 Tahun (Studi di Kecamatan Pedurungan
Kota Semarang). JKM Volume 6, Nomor 1 (ISSN: 2356-
3346). http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm
diakses pada bulan Maret 2023.
Tania Estape. 2017. Cancer in the Elderly: Challenges and
Barriers. Asia Pasific Journal of Oncology Nursing
Volume 5.

205
Profil Penulis
Ns. Cut Mutiya Bunsal, S.Kep., M.Kep.
Penulis dilahirkan di Desa Popodu Kabupaten
Bolaang Mongondow Selatan, Provinsi Sulawesi
Utara pada tanggal 25 Juni 1993. Penulis
menyelesaikan program S1 Keperawatan di STIKes
Muhammadiyah Manado lulus pada tahun 2014,
Profesi Ners di STIKes Kusuma Husada Surakarta
lulus tahun 2016 dan S2 di Universitas Muhammadiyah
Jakarta lulus pada tahun 2019 dari fakultas Keperawatan. Saat
ini penulis sbekerja sebagai dosen tetap Universitas
Muhammadiyah Manado pada Program Studi Ners sebagai
dosen pengampu mata kuliah Keperawatan Maternitas.
Saat ini penulis juga sebagai staff kepegawaian dalam Bidang
Kemahasiswaan dan AIK Universitas Muhammadiyah Manado.
Email Penulis: mutiya.bunsal@gmail.com

206

Anda mungkin juga menyukai