Anda di halaman 1dari 9

Kita sebagai orang tua seringkali mengikutkan anak kita berbagai macam les tambahan di luar

sekolah seperti les matematika, les bahasa inggris, les fisika dan lain-lain. Saya yakin hal ini kita
dilakukan untuk mendukung anak agar tidak tertinggal atau menjadi yang unggul di sekolah.
Bahkan, terkadang ide awal mengikuti les tersebut tidak datang dari si anak, namun datang dari
kita sebagai orang tua. Benar tidak?
Memang, saat ini kita menganggap tidak cukup jika anak kita hanya belajar di sekolah saja,
sehingga kita mengikutkan anak kita bermacam-macam les. Kita ingin anak kita pintar berhitung,
kita ingin anak kita mahir berbahasa inggris, kita juga ingin anak kita jago fisika dan lain
sebagainya. Dengan begitu, anak memiliki kemampuan kognitif yang baik.
Ini tiada lain karena, pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah juga menuntut untuk
memaksimalkan kecakapan dan kemampuan kognisi. Dengan pemahaman seperti itu,
sebenarnya ada hal lain dari anak yang tak kalah penting yang tanpa kita sadari telah
terabaikan. Apa itu? Yaitu memberikan pendidikan karakterpada anak didik. Saya
mengatakan hal ini bukan berarti pendidikan kognitif tidak penting, bukan seperti itu!
Maksud saya, pendidikan karakter penting artinya sebagai penyeimbang kecakapan kognitif.
Beberapa kenyataan yang sering kita jumpai bersama, seorang pengusaha kaya raya justru tidak
dermawan, seorang politikus malah tidak peduli pada tetangganya yang kelaparan, atau
seorang guru justru tidak prihatin melihat anak-anak jalanan yang tidak mendapatkan
kesempatan belajar di sekolah. Itu adalah bukti tidak adanya keseimbangan
antara pendidikan kognitif dan pendidikan karakter.
Ada sebuah kata bijak mengatakan, ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah
lumpuh. Sama juga artinya bahwa pendidikan kognitif tanpa pendidikan karakter adalah
buta. Hasilnya, karena buta tidak bisa berjalan, berjalan pun dengan asal nabrak. Kalaupun
berjalan dengan menggunakan tongkat tetap akan berjalan dengan lambat. Sebaliknya,
pengetahuan karakter tanpa pengetahuan kognitif, maka akan lumpuh sehingga mudah disetir,
dimanfaatkan dan dikendalikan orang lain. Untuk itu, penting artinya untuk tidak
mengabaikan pendidikan karakter anak didik. Lalu apa sih pendidikan karaker itu?
Jadi, Pendidikan karakter adalah pendidikan yang menekankan pada pembentukan nilai-
nilai karakterpada anak didik. Saya mengutip empat ciri dasar pendidikan karakter yang
dirumuskan oleh seorang pencetus pendidikan karakter dari Jerman yang bernama FW
Foerster. Pertama, pendidikan karaktermenekankan setiap tindakan berpedoman terhadap
nilai normatif. Anak didik menghormati norma-norma yang ada dan berpedoman pada norma
tersebut. Kedua, adanya koherensi atau membangun rasa percaya diri dan keberanian, dengan
begitu anak didik akan menjadi pribadi yang teguh pendirian dan tidak mudah terombang-
ambing dan tidak takut resiko setiap kali menghadapi situasi baru. Ketiga, adanya otonomi, yaitu
anak didik menghayati dan mengamalkan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi
pribadinya. Dengan begitu, anak didik mampu mengambil keputusan mandiri tanpa dipengaruhi
oleh desakan dari pihak luar. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan adalah daya tahan
anak didik dalam mewujudkan apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan marupakan dasar
penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Pendidikan karakter penting bagi pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter akan
menjadi basic atau dasar dalam pembentukan karakter berkualitas bangsa, yang tidak
mengabaikan nilai-nilai sosial seperti toleransi, kebersamaan, kegotongroyongan, saling
membantu dan mengormati dan sebagainya.Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi
unggul yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif saja namun memiliki karakter yang
mampu mewujudkan kesuksesan.
Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan seseorang
tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis dan kognisinyan (hard
skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini
mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen hard skill dan sisanya 80
persen oleh soft skill. Dan, kecakapan soft skill ini terbentuk melalui
pelaksanaan pendidikan karater pada anak didik.
Berpijak pada empat ciri dasar pendidikan karakter di atas, kita bisa menerapkannya dalam
polapendidikan yang diberikan pada anak didik. Misalanya, memberikan pemahaman sampai
mendiskusikan tentang hal yang baik dan buruk, memberikan kesempatan dan peluang untuk
mengembangkan dan mengeksplorasi potensi dirinya serta memberikan apresiasi atas potensi
yang dimilikinya, menghormati keputusan dan mensupport anak dalam mengambil keputusan
terhadap dirinya, menanamkan pada anakdidik akan arti keajekan dan bertanggungjawab dan
berkomitmen atas pilihannya. Kalau menurut saya, sebenarnya yang terpenting bukan
pilihannnya, namun kemampuan memilih kita dan pertanggungjawaban kita terhadap pilihan kita
tersebut, yakni dengan cara berkomitmen pada pilihan tersebut.
Pendidikan karakter hendaknya dirumuskan dalam kurikulum, diterapkan
metode pendidikan, dan dipraktekkan dalam pembelajaran. Selain itu, di lingkungan keluarga
dan masyarakat sekitar juga sebaiknya diterapkan pola pendidikan karakter. Dengan begitu,
generasi-generasi Indonesia nan unggul akan dilahirkan dari sistem pendidikan karakter.

Pentingya pendidikan karakter dalam dunia pendidikan

Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk 275 juta penduduk Indonesia”

Sebelum kita membahas topik ini lebih jauh lagi saya akan memberikan data dan fakta berikut:

 158 kepala daerah tersangkut korupsi sepanjang 2004-2011


 42 anggota DPR terseret korupsi pada kurun waktu 2008-2011
 30 anggota DPR periode 1999-2004 terlibat kasus suap pemilihan DGS BI
 Kasus korupsi terjadi diberbagai lembaga seperti KPU,KY, KPPU, Ditjen Pajak, BI, dan BKPM

Sumber : Litbang Kompas

Kini setelah membaca fakta diatas, apa yang ada dipikran anda? Cobalah melihat lebih ke atas
sedikit, lebih tepatnya judul artikel ini. Yah, itu adalah usulan saya untuk beberapa kasus yang
membuat hati di dada kita “terhentak” membaca kelakuan para pejabat Negara.

Pendidikan karakter, sekarang ini mutlak diperlukan bukan hanya di sekolah saja, tapi
dirumah dan di lingkungan sosial. Bahkan sekarang ini peserta pendidikan karakter bukan
lagi anak usia dini hingga remaja, tetapi juga usia dewasa. Mutlak perlu untuk kelangsungan
hidup Bangsa ini.
Bayangkan apa persaingan yang muncul ditahun 2021? Yang jelas itu akan menjadi beban kita
dan orangtua masa kini. Saat itu, anak-anak masa kini akan menghadapi persaingan dengan
rekan-rekannya dari berbagai belahan Negara di Dunia. Bahkan kita yang masih akan berkarya
ditahun tersebut akan merasakan perasaan yang sama. Tuntutan kualitas sumber daya manusia
pada tahun 2021 tentunya membutuhkan good character.
Bagaimanapun juga, karakter adalah kunci keberhasilan individu. Dari sebuah penelitian di
Amerika, 90 persen kasus pemecatan disebabkan oleh perilaku buruk seperti tidak bertanggung
jawab, tidak jujur, dan hubungan interpersonal yang buruk. Selain itu, terdapat penelitian lain
yang mengindikasikan bahwa 80 persen keberhasilan seseorang di masyarakat ditentukan oleh
emotional quotient.
Bagaimana dengan bangsa kita? Bagaimana dengan penerus orang-orang yang sekarang sedang
duduk dikursi penting pemerintahan negara ini dan yang duduk di kursi penting yang mengelola
roda perekonomian negara ini? Apakah mereka sudah menunjukan kualitas karakter yang baik
dan melegakan hati kita? Bisakah kita percaya, kelak tongkat estafet kita serahkan pada mereka,
maka mereka mampu menjalankan dengan baik atau justru sebaliknya?
Dari sudut pandang psikologis, saya melihat terjadi penurunan kulaitas “usia psikologis” pada
anak yang berusia 21 tahun pada tahun 20011, dengan anak yang berumur 21 pada tahun
2001. Maksud usia psikologis adalah usia kedewasaan, usia kelayakan dan kepantasan yang
berbanding lurus dengan usia biologis. Jika anak sekarang usia 21 tahun seakan mereka seperti
berumur 12 atau 11 tahun. Maaf jika ini mengejutkan dan menyakitkan.
Walau tidak semua, tetapi kebanyakan saya temui memiliki kecenderungan seperti itu. Saya
berulangkali bekerjasama dengan anak usia tersebut dan hasilnya kurang maksimal. Saya tidak
“kapok” ber ulang-ulang bekerja sama dengan mereka. Dan secara tidak sengaja saya
menemukan pola ini cenderung berulang, saya amati dan evaluasi perilaku
dan karakter mereka. Kembali lagi ingat, disekolah pada umumnya tidak
diberikan pendidikan untuk mengatasi persaingan pada dunia kerja. Sehingga ada survey
yang mengatakan rata-rata setelah sekolah seorang anak perlu 5-7 tahun beradaptasi dengan
dunia kerja dan rata-rata dalam 5-7 tahun tersebut pindah kerja sampai 3-5 kali. Hmm..
dan proses seperti ini sering disebut dengan proses mencari jati diri. Pertanyaan saya mencari
“diri” itu didalam diri atau diluar diri? “saya cocoknya kerja apa ya? Coba kerjain ini lah” lalu
kalau tidak cocok pindah ke lainnya. Kenapa tidak diajarkan disekolah, agar proses anak
menjalani kehidupan di dunia yang sesungguhnya tidak mengalami hambatan bahkan tidak
jarang yang putus asa karena tumbuh perasaan tidak mampu didalam dirinya dan seumur hidup
terpenjara oleh keyakinannya yang salah.
Baiklah kembali lagi ke topik, Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat.
Bagi Indonesia sekarang ini, pendidikan karakter juga berarti melakukan usaha sungguh-
sungguh, sitematik dan berkelanjutan untuk membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta
keyakinan semua orang Indonesia bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa
membangun dan menguatkankarakter rakyat Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada masa
depan yang lebih baik yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan disiplin diri,
tanpa kegigihan, tanpa semangat belajar yang tinggi, tanpa mengembangkan rasa tanggung
jawab, tanpa memupuk persatuan di tengah-tengah kebinekaan, tanpa semangat berkontribusi
bagi kemajuan bersama, serta tanpa rasa percaya diri dan optimisme. Inilah tantangan kita
bangsa Indonesia, sanggup?

Theodore Roosevelt mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate
a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral
adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat)
Siapakah Guru Pendidikan Karakter?

Anda tidak bisa mengajarkan apa yang Anda mau, Anda tidak bisa mengajarkan apa yang Anda
tahu. Anda hanya bisa mengajarkan siapa Anda” – Soekarno
Sebelum saya lebih jauh mengkaji tentang topic yang akan dibahas kali ini, maka saya akan
berbagi tentangbelajar. Ya, proses belajar bagaimana otak menyerap informasi. Inilah yang
seringkali diabaikan, kita sebagai orangtua atau guru maunya seringkali “memaksa” anak
mengerti tentang sesuatu hal dan “jalankan” seperti computer, kasi perintah dan tekan “ENTER”.
Nah, kalo di manusia bukan ENTER tapi “ENTAR” upsss…

Dari penelitian diberbagai belahan dunia yang terus berkembang, hasil riset tentang tehnik
penyerapan informasi ke otak dibagi menjadi 5 tahap :
 Membaca dengan prosentase penyerapan informasi 10%
 Mendengar dengan prosentase penyerapan informasi 20%
 Mendengar dan Melihat dengan prosentase penyerapan informasi 50%
 Mengatakan dengan prosentase penyerapan informasi 70%
 Mengatakan dan melakukan dengan prosentase penyerapan informasi 90%
Dari informasi diatas mudah bagi kita untuk mengetahui cara yang paling efektif untuk
mendidik karakter anak bukan? Kalo mau hasil maksimal, dengan penyerapan diatas 50 %
maka metode mendidiknya harus disesuaikan dengan cara otak menyerap informasi.

Tentunya cara itu adalah kombinasi antara Melihat, Mendengar, Mengatakan dan Melakukan.
Saya akan membagi 2 tahap penjelasan, yaitu:

1. Melihat dan Mendengar


Adalah proses belajar yang ada contoh dan ada pengajarnya. Jika disekolah tentunya guru
yang akan bersuara, jika dirumah maka orangtua. Sebagai guru tentunya harus memberikan
contoh dan modelkarakter yang dikehendaki anak didiknya bagaimana serta mengajarkan “how
to achieve”. Jadi pada dasarnya semua guru disekolah bisa menjadi guru pendidikan karakter,
jika berkomitmen untuk menjadi contoh dan mau menjelaskan bagaimana agar siswa dapat
memiliki karakter seperti gurunya. Sama halnya orangtua yang ada dirumah, siswa hanya 30%
berada disekolah, 10-15 % lingkungan sosialnya dan sisanya dirumah. Maka porsi terbesar
adalah orangtua yang menjadi guru pendidikan karakter bagi anaknya.
Seorang anak dari bayi, dia tidak mengenal bahasa. Saat dia kecil dia belajar dengan melihat
contoh, diabelajar jalan, membuka pintu, menyalakan tv, semuanya melihat.
Dan proses belajar seperti ini masih berlanjut pada kehidupan kita orang dewasa. Jadi jangan
anggap sepele dalam sikap dan perilaku kita untuk memberikan contoh yang baik
untum pendidikan karakter anak.
2. Mengatakan dan Melakukan
Ini terkait dengan peraturan dan system yang berlaku lingkungan belajar pendidikan
karakter (sekolah dan rumah). Bagaimana peraturan disekolah dan dirumah selaras dengan
tujuan pendidikan karakter. Baiklah saya akan memberi contoh, di Indonesia, di Surabaya
khususnya saya masih bisa memberhentikan angkutan umum (metromini) sembarangan. Dimana
saya ada di jalan raya, saya lihat ada angkutan umum saya tinggal angkat tangan saja maka
amgkutan umum itu akan berhenti. Hal ini bisa berlaku di Surabaya, tapi tidak di Singapura. Jika
saya pindah ke Singapura maka saya tidak bisa seenaknya saja memberhentikan angkutan
umum, ada tempat khusus dimana angkutan umum tersebut mau berhenti. Maka perilaku saya
akan berubah mengikuti aturan yang berlaku, saya akan ke halte jika mau naik kendaraan
umum.
Jadi dalam pendidikan karakter juga diperlukan seting macam ini juga, seting lingkungan
untuk mendukung perilaku Melakukan yang akhirnya akan terbiasa. Seperti ada pepatah bisa
karena biasa, sama seperti halnya aturan baru dalam berlalu lintas. Belakangan ini banyak
aturan baru sehingga jalan yang biasanya bisa 2 arah hanya satu arah untuk keefektifan
pengguna jalan dan menghindari kemacetan, jika kita langgar maka tilang. Pertama terasa berat,
setelah 1 bulan sudah biasa, tidak ada beban lagi. Manusia adalah mahluk yang mudah
beradaptasi, terasa berat jika itu dijalankan terus menerus, maka lama-lama terbiasa. Dalam
melakukan pola ini jangan lupa memberikan konsekuensi jika melanggar, tentunya konsekuensi
yang mendidik dan tidak merusak harga diri anak. Contoh: jika melanggar maka mainan
kesukaan anak akan disita 2 hari.
Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang
anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam
mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan
berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil
secara akademis.
Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di
atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat.
Karena itu, seyogyanyapendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam
lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru,
yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung
tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik

Enam ciri karakter anak bermasalah

“Mungkinkah mengetahui dan memastikan apakah seorang anak itu bermasalah, dalam waktu 5-
10 menit pertama saat kita bertemu dengannya?” Jawabannya adalah “mungkin” dan “pasti”.
Pertanyaan yang sering saya ajukan kepada peserta seminar ataupun para orangtua yang
sedang bersemangat belajar dan mencecar saya dengan berbagai pertanyaan seputar anaknya.

Rahasia tersebut akan saya bahas sekarang, rahasia yang sering saya gunakan untuk
menganalisa seorang anak. Apakah dia bermasalah, bahkan setelah mempelajarinya dengan
seksama kita mampu meramal masa depan seorang anak. Wow, tenang ini bukan obral janji,
tapi ini pasti. Dari hasil menangani berbagai kasus keluarga dan individu maka terbentuklah
suatu pola yang akurat ditiap individu. Kebanyakan klien saya jika memiliki masalah, kebanyakan
masalah tersebut dan sebagian besar masalah itu berasal dari 2 hal. Ini juga rahasia (Rahasia
dari ruang terapi saya), tapi akan saya bongkar habis.

Baiklah 2 hal tersebut berasal dari :

 Keluarga (keluarga yang membentuk masalah tersebut secara tidak sengaja).


 Masalah tersebut berasal dari usia 7 tahun kebawah.

Keluarga, adalah faktor penting dalam pendidikan seorang anak. Karakter seorang anak
berasal dari keluarga. Dimana sebagian sampai usia 18 tahun anak-anak diIndonesia
menghabiskan waktunya 60-80 % bersama keluarga. Manusia berbeda dengan binatang
(maaf..) seekor anak kucing yang baru lahir, bisa hidup jika dipisahkan dari induknya, dan
banyak binatang yang lain yang memiliki kemampuan serupa. Manusia tidak bisa, sampai usia 18
tahun masih membutuhkan orangtua dan kehangatan dalam keluarga. Sukses seorang manusia
tidak lepas dari “kehangatan dalam keluarga”. Akan sangat banyak hal yang akan dikupas dari
tiap tahun kehidupan manusia dan kebutuhannya serta cara memenuhi kebutuhan tersebut,
terutama aspek emosi. Saya tidak akan meneruskannya, kita akan bahas dikesempatan lainnya,
kini kita kembali ke cara mengetahui ciri anak bermasalah.
Usia 7 tahun kebawah? Ada apa pada usia ini? Pada masa ini kebanyakan (85%) letak
masalah atau asal muasal masalah / hambatan seorang manusia tercipta. Istilah
kerennya Mental Block. Karakter yang menghabat pencapaian cita-cita pribadi kita. Dan
biasanya akan terasa pada usia 22 tahun ke atas. Woo… segitunya? Ya Mental Block seperti
program yang seakan-akan dipersiapkan (karena ketidak sengajaan dan ketidak tahuan orangtua
kita) untuk menghambat berbagai macam aspek dalam kehidupan kita. Aspek itu bisa berupa
Karier (takut kaya, takut jabatan tinggi) kesehatan (tubuh gemuk, alergi) Relationship (tidak
gampang cocok dengan pasangan/teman, paranoid) dan lain hal, serta masih banyak lagi.
Ada apa dengan 7 tahun kebawah dan disekitar 7 tahun pertama kehidupan manusia? Baiklah
saya jelaskan, pada masa ini kita membutuhkan, kebutuhan dasar Emosi yang harus terpenuhi
ingat HARUS terpenuhi. Jika pada masa ini lewat dan tidak terpenuhi maka, akan terjadi Mental
Block pada diri anak tersebut. Inilah asal muasal dimana Mental Block terbentuk. Karena tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar Emosi yang dibutuhkan seorang manusia. Kebutuhan apa yang
dibutuhkan pada anak seusia itu? Sehingga fatal akibatnya (pada masa dewasa anak tersebut)
jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi

Ada 3 kebutuhan yang harus dipenuhi pada anak usia 0 – 7 tahun bahkan lebih, cara ini adalah
kunci dalampendidikan karakter, agar karakter anak kita bisa tumbuh dan berkembang
maksimal. Disamping itu ketiga hal inilah asal muasal Mental Block yang sering kali terjadi atau
terasa sangat menganggu pada saat anak tersebut dewasa. Yaitu :

1. Kebutuhan akan rasa aman


2. Kebutuhan untuk mengontrol
3. Kebutuhan untuk diterima
3 kebutuhan dasar emosi tersebut harus terpenuhi agar anak kita menjadi pribadi yang handal
dan memilikikarakter yang kuat menghadapi hidup. Ini akan sangat panjang sekali jika
dijelaskan, nah mengingat kita membahas ciri – ciri karakter anak bermasalah maka kita akan
kembali ke topic tersebut.
Sebenarnya ada 6 ciri karakter anak yang bermasalah, cukup kita melihat dari perilakunya yang
nampak maka, kita sudah dapat melakukan deteksi dini terhadap “musibah besar” dikehidupan
yang akan datang (baca: semakin dewasa) dan secepatnnya dapat melakukan perbaikan.
Inilah ciri-ciri karakter tersebut :
1. Susah diatur dan diajak kerja sama
Hal yang paling Nampak adalah anak akan membangkang, akan semaunya sendiri, mulai
mengatur tidak mau ini dan itu. pada fase ini anak sangat ingin memegang kontrol. Mulai ada
“pemberontakan” dari dalam dirinya. Hal yang dapat kita lakukan adalah memahaminya dan kita
sebaiknya menanggapinya dengan kondisi emosi yang tenang.
Ingat akan kebutuhan dasar manusia? Tiga hal diatas yang telah saya sebutkan, nah kebutuhan
itu sedang dialami anak. Kita hanya bisa mengarahkan dan mengawasi dengan seksama.
2. Kurang terbuka pada pada Orang Tua
Saat orang tua bertanya “Gimana sekolahnya?” anak menjawab “biasa saja”, menjawab dengan
malas, namun anehnya pada temannya dia begitu terbuka. Aneh bukan? Ini adalah ciri ke 2, nah
pada saat ini dapat dikatakan figure orangtua tergantikan dengan pihak lain (teman ataupun
ketua gang, pacar, dll). Saat ini terjadi kita sebagai orangtua hendaknya mawas diri dan mulai
menganti pendekatan kita.
3. Menanggapi negatif
Saat anak mulai sering berkomentar “Biarin aja dia memang jelek kok”, tanda harga diri anak
yang terluka. Harga diri yang rendah, salah satu cara untuk naik ke tempat yang lebih tinggi
adalah mencari pijakan, sama saat harga diri kita rendah maka cara paling mudah untuk
menaikkan harga diri kita adalah dengan mencela orang lain. Dan anak pun sudah terlatih
melakukan itu, berhati-hatilah terhadap hal ini. Harga diri adalah kunci sukses di masa depan
anak.
4. Menarik diri
Saat anak terbiasa dan sering Menyendiri, asyik dengan duniannya sendiri, dia tidak ingin orang
lain tahu tentang dirinya (menarik diri). Pada kondisi ini kita sebagai orangtua sebaiknya segera
melakukan upaya pendekatan yang berbeda. Setiap manusia ingin dimengerti, bagaimana cara
mengerti kondisi seorang anak? Kembali ke 3 hal yang telah saya jelaskan. Pada kondisi ini
biasanya anak merasa ingin diterima apa adanya, dimengerti – semengertinya dan sedalam-
dalamnya.
5. Menolak kenyataan
Pernah mendengar quote seperti “Aku ini bukan orang pintar, aku ini bodoh”, “Aku ngga bisa,
aku ini tolol”. Ini hampir sama dengan nomor 4, yaitu kasus harga diri. Dan biasanya kasus ini
(menolak kenyataan) berasal dari proses disiplin yang salah. Contoh: “masak gitu aja nga bisa
sih, kan mama da kasih contoh berulang-ulang”.
6. Menjadi pelawak
Suatu kejadian disekolah ketika teman-temannya tertawa karena ulahnya dan anak tersebut
merasa senang. Jika ini sesekali mungkin tidak masalah, tetapi jika berulang-ulang dia tidak mau
kembali ke tempat duduk dan mencari-cari kesempatan untuk mencari pengakuan dan
penerimaan dari teman-temannya maka kita sebagai orang tua harap waspada. Karena anak
tersebut tidak mendapatkan rasa diterima dirumah, kemanakah orangtua?

Anda mungkin juga menyukai