KAJIAN PENGGUNAAN BILANGAN Thiobarbituric Acid (TBA) SEBAGAL
INDIKATOR PENDUGA UMUR SIMPAN BUMBU MASAK SIAP PAKAI
Oleh
NETI DEWI HARTATI
03496002
2001
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGORNeti Dewi Hartati. F03496002. Kajian Penggunaan Bilangan Thiobarbituric Acid
(TBA) sebagai Indikator Penduga Umur Simpan Bumbu Masak Siap Pakai. Dibawah
bimbingan Meika Syahbana Rusli. 2001
RINGKASAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai potensi rempah-
rempah yang cukup besar. Rempah-rempah tersebut sebagian besar digunakan untuk
bahan baku bumbu. Salah satu kerusakan yang terjadi pada bumbu masak siap pakai
adalah kerusakan akibat oksidasi yang menyebabkan ketengikan. Ketengikan dalam
suatu bahan pangan berlemak dapat divkur dengan menggunakan Uji TBA
(Thiobarbituric Acid). Penelitian ini bertuyjuan untuk mengkaji penggunaan Uji TBA
untuk mendeteksi ketengikan yang merupakan indikator untuk menduga umur
simpan bumbu masak siap pakai.
Pada penelitian ini ditentukan peubah proses pembuatan bumbu masak siap
pakai yang terdiri dari penentuan alat pengecil ukuran (grinder dan rotary knife
cutter), penentuan waktu penumisan (15 menit dan 20 menit) dan minyak goreng
untuk menumis (37 % (“/,) dan 30 % ('/s)), penentuan jumlah lapisan pada kemasan.
plastik (dua lapis dan satu lapis), penentuan waktu sterilisasi (15 menit dan 30 menit)
dan penyimpanan dengan Metoda Akselerasi. Selanjuinya dilihat apakah Uji TBA
dapat dipergunakan untuk menduga umur simpan dari bumbu masak siap pakai
dibandingkan dengan Uji Organoleptik sebagai kontrol. Pada penelitian ini
digunakan dua jenis bumbu masak siap pakai yaitu bumbu rendang dan bumbu opor.
Kemasan yang digunakan pada penelitian ini adalah plastik PP dan wadah gelas,
pengamatan dilakukan selama 28 hari (4 minggit), pengujian meliputi Uji TBA dan
‘Uji Organoleptik yang dilakukan 4 hari sekali.
Pada penentuan peubah proses pembuatan bumbu masak siap pakai diperoleh
alit pengecil ukuran yang dipilih adalah grinder. Penumisan dilakukan selama 20
menit dengan menggunakan minyak goreng sebanyak 30 % ("/,). Kemasan plastik
digunakan sebanyak dua lapis plastik. sterilisasi dilakukan selama 30 menit dan suhu
penyimpanan yang digunakan adalah 30°C.
Hasil Uji Organoleptik pada bumbu rendang siap pakai kemasan plastik
menunjukkan 100 % panelis menyatakan tengik, terjadi pada hari ke-20, sedangkan
pada bumbu rendang siap pakai kemasan gelas sampai hari ke-28 ketengikan belum
teridentifikasi oleh panelis, Pada bumbu opor siap pakei kemasan plastik 100 %
panclis menyatakan tengik, terjadi pada hari ke-12, sedangkan pada bumbu opor siap
pakai kemasan gelas sampai hari ke-28 ketengikan belum teridentifikasi oleh panelis.
Perubahan bilangan TBA selama penyimpanan menunjukkan ketidaksesuaian
dengan hasil Uji Organoleptik. Pada bumbu rendang siap pakai kemasan plastik
grafik bilangan TBA menunjukkan kecenderungan naik sampai hari ke-16 dan
kemudian menurun, Pada bumbu rendang siap pakai kemasan plastik grafik bilangan
TBA menunjukkan kecenderungan tetap. Pada bumbu opor siap pakai kemasan
plastik grafik bilangan TBA cenderung naik, sedangkan pada bumbu opor siap pakai
kemasan gelas grafik bilangan TBA cenderung menurun,
Berdasarkan hasil Uji TBA dan Uji organoleptik di atas maka dapat dinyatakan
bahwa Uji TBA tidak dapat digunakan sebagai indikator penduga umur simpan pada
bumbu rendang dan opor siap pakai pada kondisi yang berlaku pada penelitian iniKAJIAN PENGGUNAAN BILANGAN Thiobarbituric Acid (TBA) SEBAGAI
INDIKATOR PENDUGA UMUR SIMPAN BUMBU MASAK SIAP PAKAI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh
NETI DEWI HARTATI
F03496002
2001
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR.
BOGORINSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
KAJIAN PENGGUNAAN BILANGAN Thiobarbituric Acid (TBA) SEBAGAL
INDIKATOR PENDUGA UMUR SIMPAN BUMBU MASAK SIAP PAKAL
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pert
ian Bogor
Oleh
NETI DEWI HARTATI
F03496002
Dilahirkan di Garut, pada tanggal 19 September 1978
Tanggal lulus: 1B Agustus 2001
Dosen PembimbingKATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji hanya untuk Allah SWT yang telah melimpahkan
karunia, kasih sayang dan pertolongan-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan
studi di Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Selama penelitian, penulisan skripsi maupun selama studi, penulis banyak
‘mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih
sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Meika Syehbana Rusli, M.Sc., sebagai dosen pembimbing atas
bimbingan, saran dan bantuan kepada penulis selama pelaksanaan penelitian
maupun penulisan skripsi.
Tu Dr. Tatit K. Bunasor, M.Sc, dan Dr. Ir. Ani Suryani, DEA sebagai dosen
penguji yang banyak memberikan masukan kepada penulis.
3. My beloved Ibu, Bapak, AA Deden, AA Devi dan teteh-tetchku atas dukungan,
kkasih sayang dan doa yang selalu tercurah kepada penulis.
4. Tu Rini, Pak Masyudi dan Mas Heri atas bantuannya selama penelitian.
5. Warga Wisma Nabila, Jasmine, Nadila. Syafanah, Nurjanch dan Al-Ifah ates
kesediaannya menjadi panelis.
6. Rekan-rekan seperjuangen di Lab. Teknologi Kimia, Neneng. Eli. Dani, Mifta
den lain-lain alas kebersamaannya yang sangat mengesankan.
7. Seluruh rekan TIN 33. terutama Ina, Effi. Yati, Heli. Dewi. Rohmah dan Indah
atas persahabtan dalam meniti langkah selama studi.
8. Seluruh penghuni Wisma Nebila teruiama M’Dyah, Shelly, Rosma. Nancy,
Henny, Hasan. M’Ina, M’Farah, M'Indah, B’Erum, B’Uti, Dian dan Rini atas
pinjaman komputernya dan atas persaudaraan yang manis selama ini
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang selalu memberikan
semangat dan perhatian kepadas penulis.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan
para pembacanya, Amin
Bogor, Agustus 2001
penulisDAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.. iti
DAFTAR TABEL.... vi
DAFTAR GAMBAR.... vill
DAFTAR LAMPIRAN...
I. PENDAHULUAN... 1
II, TINJAUAN PUSTAKA w.essns 3
A. BUMBU MASAK SIAP PAKAI eae 3
B. KERUSAKAN PADA BUMBU MASAK SIAP PAKAI.... 6
C. ANTIOKSIDAN DAN ANTIOKSIDAN ALAML 9
1. Antioksidan... 9
2. Antioksidan Alami... ee 12
D. METODE UNTUK MENGETAHUI TERJADINYA
PROSES OKSIDASI. 14
5, UMUR SIMPAN.... 1
F. KEMASAN... 18
HLMETODOLOGI PENELITIAN 20
A. BAHAN... ses 20
B. ALAT.WWww.. eee a 20
C. METODE..ssnee 2
1, Penentuan Peubah Pada Proses Pembuatan
Bumbu Masak Siap Pakai 2
a, Penentuan Alat Pengecil Ukuran.... 22
b, Penentuan Waktu Penumisan dan
Proporsi Minyak Goreng untuk Menumis.. 22
¢. Penentuan Jumlah Lapisan Pada Kemasan Plastikccccnene 23
4, Penentuan Waktu Sterilisasi 2B
e. Penyimpanan dengan Metode Akseleras.. eee
2. Penggunaan Uji TBA Pada Bumbu Masak Siap Pakai 24IV.HASIL DAN PEMBAHASAN.
DAFTAR PUSTAKA
D. PROSEDUR
1. Persiapan Bumbu.
2. Pengemasan, Sterilisasi dan Penyimpanan
3. Cara Pengambilan Sampel dan Ulangan..
4, Analisis rns
5. Pengolahan Data
A. PENENTUAN PEUBAH PADA PROSES PEMBUATAN,
BUMBU MASAK SIAP PAKAI..
1. Penentuan Alat Pengecil Ukuran..
2. Penentuan Waktu Penumisan dan
Proporsi Minyak Goreng untuk Menumis...
3. Penentuan Jumlah Lapisan Pada Kemasan Plastik.
4, Penentuan Waktu Sterilisasi...
5. Penyimpanan dengan Metode Akselerasi.....:.
B. PERUBAHAN KETENGIKAN SELAMA PENYIMPANAN,
1. Kemasan Plasti
2. Kemasan Gelas
C. PERUBAHAN BILANGAN TBA SELAMA PENYIMPANAN
PADA BLIMBU MASAK SIAP PAKA ..
1. Bumbu Rendang Siap Pakai dengan Kemasan Plastik
2. Bumbu Rendang Siap Pakai dengan Kemasan Gelas
3. Bumbu Opor Siap Pakai dengan Kemasan Plastik...
4, Bumbu Opor Siap Pakai dengan Kemasan Gelas...
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN.wo
B. SARAN
LAMPIRAN
24
24
25
26
26
27
29
29
29
46
47
48
52DAFTAR TABEL
‘Tabel 1. Jumlah Ekspor Bumbu Masak Tahun 1998-2000
Tabel 2. Senyawa Aktif Dalam Rempah-Rempah
Tabel 3. Sumber-Sumber Antioksidan Alami ....
Tabel 4. Aktivitas Antioksidan Beberapa Rempah-Rempah.
Tabel 5. Komposisi Bumbu Rendang
Tabel 6. Komposisi Bumbu OporGambar 1
Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar 4,
Gambar 5.
Gambar 6.
Gambar 7.
Gambar 8.
Gambar 9.
Gambar 10.
Gambar 11.
Gambar 12.
Gambar 13,
Gambar 14.
Gambar 15.
DAFTAR GAMBAR
Skema Pembentulkkan Hidroperoksida Pada Reaksi Oksidasi.
Kemasan Plastik dan Wadah Geles.....
Grinder.
Rotary Knife Cutter... ies
Diagram Alir Proses Pembuatan Bumbu Masak Siap Paka...
Grafik Bilangan TBA Bumbu Rendang Siap Pakai
Kemasan Gelas Selama Penyimpanan ....
Grafik Bilangan TBA Bumbu Opor Siap Pakai
Kemasan Gelas Selama Penyimpanan ..
Distribusi Penilaian Ketengikan Selama Penyimpanan
Pada Bumbu Rendang Siap Pakai Kemasan Plastik
Distribusi Penilaian Ketengikan Selama Penyimpanan
Pada Bumbu Opor Siap Pakai Kemasan Plastik
Distribusi Penilaian Ketengikan Selama Penyimpanan
Pada Bumbu Rendang Siap Pakai Kemasan Geles ....
Distribusi Penilaian Ketengikan Selama Penyimpanan
Pada Bumbu Opor Siap Pakai Kemasan Gelas......
Grafik Hasii Uji TBA dan Uji Organoleptik
Pada Bumbu Rendang Siap Pakai Kemasan Plastik
Grafik Hasil Uji TBA dan Uji Organoleptik
Pada Bumbu Rendang Siap Pakai Kemasan Gelas.
Grafik Hasil Uji TBA dan Uji Organoleptik
Pada Bumbu Opor Siap Pakai Kemasan Plastik
Grafik Hasil Uji TBA dan Uji Organoleptik
Pada Bumbu Opor Siap Pakai Kemasan Gelas
Halaman
u
20
a
22
26
44
45DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Sketsa Wadah Gelas dan Dimensinya. rf eS.
Lampiran 2. Formulir Uji Mutu Hedonik Ketengikan Bumbu........ 53
Lampiran 3. Data Hasil Uji TBA Pada Bumbu Rendang Siap Pakai
Pada Tiga Suhu Penyimpanatia. 54
Lampiran4. Data Hasil Uji TBA Pada Bumbu Opor Siap Pakai
Pada Tiga Suhu Penyimpanan 54
Lampiran 5. Data Hasil Uji Organoleptik Bumbu Rendang
Siap Pakai Kemasan Plastik... : $5
Lampiran 6. Persentase Jumlah Panelis di Setiap Tingkat Ketengikan
Pada Bumbu Rendang Siap Pakai Kemasan Plastik... 55
Lampiran7. Hasil Uji Jonckhere Pada
Bumbu Rendang Siap Pakai Kemasan Plastik: 56
Lampiran 8. Data Hesil Uji Organoleptik Bumbu Opor
Siap Pakai Kemasan Plastik ......csnernse 37
Lampiran9. Persentase Jumiah Panelis di Setiap Tingkat Ketengikan
Pada Bumbu Opor Siap Pakai Kemasan Plastik 37
‘Lampiran 10. Hasil Uji Jonckhere Pada iz
Bumbu Opor Siap Pakai Kemasen Piastik 38
Lampiran 11. Data Hasil Uji Organoleptik Bumbu Rendang
Siap Pakai Kemasan Gelas 39
Lampiran 12. Persentase Jumlah Panelis di Setiep Tingkat Ketengiken
Pada Bumbu Rendang Siap Pakei Kemasan Gelas 59
Lampiran 13, Hasil Uji Jonckhere Pada
Bumbu Rendang Siap Pakai Kemasan Gelas. 60
Lampiran 14, Data Hasil Uji Orgenoleptik Bumbu Opor
Siap Pakai Kemasan Gelas. 61
Lampiran 15. Persentase Jumlah Panelis di Setiap Tingkat Ketengikan
Pada Bumbu Opor Siap Pakai Kemasan Gelas. 61
Lampiran 16, Hasil Uji Jonckhere Pada
+ Bumbu Opor Siap Pakai Kemasan Gelas 02
Lampiran 17. Data Hasil Uji TBA Pada Bumbu Rendang Siap Pakai 68
Lampiran 18. Data Hasil Uji TBA Pada Bumu Opor Siap Pakai 681. PENDAHULUAN
indonesia merupakan negara yang kaya akan rempah-rempah, Sejak zaman
Penjajahan Belanda, indonesia dikenal sebagei penghasil rempah-rempah yang
memberikan keuntu
wan yang besar bagi pihak penjajah, Hal ini dikarenakan nilai
ekonomis dati rempah-rempah yang cukup ti
ei
Rempah-rempah sebagian besar digunakan untuk pembuatan bumbu_masak
Rempah-rempah berfungsi untuk memperkuat dan memperkaya cita rasa dari behan
pangan, Cita rasa yang diberikan rempah-rempah dapat berupa bau harum dan sedap
atau berupa rasa sedap atau rasa tajam yang menyenangkan, yang dapat memberikan
karakteristik pada bahan pangan tersebut
Sejalan dengan berubahnya gaya hidup masyarakat menjadi masyarakat yang
membutuhkan kepraktisan dan waktu singkat dalam menyajikan makanan, maka
kebutuhan akan bumbu masak siap pakaipun meningkat. Selain itu mengkerutnya
bumi dalam pengertian semakin mudahnya transportasi yang memudahkan orang,
untuk berpindah tempat yang membawa serta budayanya termasuk cara memasal
serta ketentarikan yang meningkat pada alternatit cara memasak, telah mempengaruht
peningkatan permintaan bumbu masak siap pakai, Hal ini terlihat dari permintaan
bumbu masak siap pakar vang meningkat dan tahun hetahun. yang tercermin pada
disamkan pada
peningkatan jumlah ekspor bumbu masak dan tahun 1998-2000 va
Tabel | Jumilah Ekspor Bumbu Masak Tahun 1998-2000
Berat bersih (kg) | Nilai (US'S)
1998 | 1982568 * 3.844.930
[_ 1999 2.697 348 5096 890
2000 2976 283 6 250 404
Sumber: BPS (2000)
Pada pembuatan bumbu siap pakai ini terdapat masalah-masalah yang sering,
dihadapi. Salah satunya adalah masalah kerusakan yang disebabkan oleh proses
oksidasi yang menyedabkan Ketengikan yang mempengaruhi daya simpan dai
produk tersebut. Untuk me
rangi masalah kerusakan tersebut _biasanya
ditambahkan zat aditif misalnya antioksidan sintetik untuk menghambat timbulnyaketengikan akibat reaksi oksidasi. Sebenarnya dari bahan penyusun bumbu itu sendiri
yaitu rempah-rempah terdapat antioksidan alami yang lebih aman untuk digunakan
dibandingkan dengan antioksidan sintetik. Penggunaan antioksidan sintetik menurut
Kikuzaki dan Nakatami (1993) kemungkinan dapat menimbulkan efek samping yang
merugikan, diantaranya bersifat toksik.
Sejauh ini informasi mengenai metode untuk mendeteksi ketengikan pada
bumbu dirasakan kurang. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui
ketengikan adalah metode Thio Barbituric Acid (TBA). Metode ini memiliki
kelebihan yaitu dapat mengetahui Kketengikan pada bahan pangan berlemak tanpa
harus mengekstrak fraksi lemaknya terlebih dahulu, sehi
hal pengujian, Disamping memiliki kelebihan, metode ini pun memiliki kelemahan
ga memudahkan dalam
yaitu pereaksi TBA yang digunakan dapat bereaksi dengan senyawa lain selain hasil
oksidasi, schingga hasil yang diperoleh menjadi tidak murni lagi sebagai ukuran
untuk ketengikan,
Dilatarbelakangi olch keadaan tersebut di atas maka penelitian ini bertujuan
untuk mengkeji penggunaan metode TBA untuk mendeteksi ketengikan untuk
menduga umur simpan bumbu masak siap pakaiIl, TINJAUAN PUSTAKA
A. BUMBU MASAK SIAP PAKAI
Farrell (1990) mendefinisikan bumbu sebagai campuran yang terdiri atas
beberapa rempah yang ditambahkan pada bahan pangan sebelum disajikan. Vail
ef al, (1978), mendefinisikan bumbu sebagai beberapa bahan yang digunakan
dalam jumlah yang sedikit yang ditambahkan pada behan pangen, Bahan-bahan
yang, biasa digunakan untuk menyusun bumbu entara Iain rempah-rempab,
garam, cuka, ekstrak flavour, dan flavour potentiator. Ekstrak flavour biasanya
merupakan larutan minyak atsiri dalam etil alkohol. Istilah flavour potentiator
menurut Winarno (1992), digunakan bagi bahan-bahan yang dapat meningkatkan
rasa enak atau menekan rasa yang tidak diinginkan dari suatu bahan makanan.
Bahan itu sendiri tidak atau sedikit mempunyai cita rasa, misalnya monosodium
glutamat (MSG).
Menurut Hanas (1994), bumbu adalah sesuatu yang ditambahkan pada
bahan pangen sebelum disajikan, yaitu pada saat persiapan ataupun pembuatan.
Bumbu dapat berupa komponen tunggal seperti rempah-rempah secara individual
ataupun campuran yang komplek dari beberapa komponen, misalnya campuran
dari komponen-komponen yang menghasilkan flavour.
Istilah flavour menurst Apnyantono (1997), merupakan keseluruhan kesan
yang diterima oleh indera manusia pada saat bahan pangan dikonsumsi atau
kesan gabungan rasa dan bau, Rasa adalah kesan yang diperoleh indera (lidah),
sedangkan bau adalah kesan yang diperoleh indera pembau (hidung).
Fungsi bumbu menurut Farrell (1990), adalah untuk meningkatkan flavour
alami dari bahan pangan, sehingge dapat meningkatkan tingkat penerimaan
Konsumen, sedangkan Random House Dictionary dalam Farrell (1990),
mendefinisikan istilah membumbui sebagai perbuatan untuk membuat bahan
makanan yang disajikan menjadi lebih lezat dengan cara menambabkan beberapa
bahan-bahan yang menghasilkan flavour.
Menurat Wijayakusuma (1997), membumbui bahan pangan dengan
rempah-rempah merupakan salah satu cara pengolzhan sehingga bahan pangan
tersebut mempunyai cita rasa yang dapat diterima dan dapat menimbulkan seleradan kenikmatan, schingga dapat membantu proses pencernaan secara psikologis,
Underriner (1994), menjelaskan ide umum pemberian bumbu adalah untuk
memodifikasi suatu bahan pangan dengan cara menambahkan ramuan yang dapat
memperkaya dan memberikan karakteristik berupa rasa dan bau tethadap bahan
pangan tersebut.
Secara tradisional bumbu dibuat dengan cara mengiris tipis, menumbuk
kasar ataupun menghaluskan komponen-komponen penyusunnya, kemudian
menumisnya dengan menggunakan minyak goreng (Runtuwene, 2000). Menurut
Lee (1994), secara fisik bumbu masak siap pakai hasil olahan industri
ibagi dua
yaity bumbu yang berbentuk bubuk dan bumbu yang berbentuk cair, termasuk
pasta, Menurut Rimbawan (1976), pasta merupakan produk emulsi yang bersifat
plastis seperti mentega atau margarin, yaitu makanan yang berbentuk padat tetapi
dapat dioleskan, Dijelaskan oleh Earle (1969), emulsi merupaken suspensi yang
stabil dari suatu bahan cair di dalam bahan cair lain, bahan-bahan cair tersebut
tidak bercampur.
Komponen-komponen yang digunakan dalam pembuatan bumbu siap pakai
olahan industri antara lain senyawa yang dapat menghasilkan flavour misalnya
rempah-rempah, senyawa yang dapat memperkaya flavour misalnya garam dan
monosodium glutamat, dari senyawa yang dapat memberikan warna, misalnya
ekstrak dari hewan dan tumbuban Selain itu juga ditambahkan senvawa aditif
misalnya antioksidan, dan pengawet yang berupa scnyawa antimikroba (Hanes.
1994).
Farrell (1990), mendefinisikan rempah-rempah sebagai bahan yang
dikeringkan, yang memiliki aroma atau cita rasa tertentu, yang merupakan
tanaman atau bagian dari tanaman baik dalam bentuk utuh atau potongan, dan
lebih berfungsi sebagai penyedap rasa dibandingkan dengan untuk meningkatkan
nilai gizi suatu bahan pangan. American Spice Trade Assosiation's dalam Farrell
(1990), menjelaskan secara lebih singkat mengenai istilah rempah yang diartikan
sebagai produk tanaman kering yang digunakan untuk bumbu
Rempah-rempah sebagai komponen pembentuk bumbu secara alami
mengandung senyawa antioksidan. Kochhar dan Rossell (1990) yang dikutip
oleh Darmini (1998), menjelaskan bahwa tidak kurang dari 30 jenis tanamanrempah-rempah menunjukkan sifat antioksidan, Beberapa senyawa antioksidan,
(erutama fenolik, dari ekstrak berbagai rempah-rempah telah diidentifikasi. Hasil
penelitian Darmini (1998), terhadap bumbu segar yaitu bumbu rendang, rawon,
Bulai, opor, kari dan ayam goreng, menunjukkan bahwa bumbu-bumbu tersebut
memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai yang berbeda-beda.
Selain mengandung senyawa antioksidan, rempah-rempah juga
mengandung senyawa antimikroba. Menurut Web dan Tanner (1945) yang
dikutip oleh Triana (1998), aktivitas antimikroba rempah tergantung pada satu
atau beberapa senyawa yang merupakan komponen minyak atsirinya, Hasil
penelitian Triana (1998), terhadap bumbu segar olahan industri yaitu bumbu
rendang, opor, kare, gulai, rawon, dan ayam goreng menunjukkan bahwa bumbu
segar steril terbukti masih memiliki aktivitas antimikroba. Secara umum senyawa
aktif yaitu senyawa mempunyai khasiat tertentu baik itu antioksidan, antimikroba
ataupun yang lainnya dari beberapa rempah-rempah disajikan pada Tabel 2
‘Tabel 2. Senyawa aktif dalam rempah-rempah
f aki Sumber pestis
Bawang merah | Allin, allisin ‘Sumarjono dan
a __| Sosdono (1983) |
Bawang putih Dialilsulfida, dialiltrisulfida, ~alil | Farrell (1990) |
propil disulfida dan sejumlah hecil |
| dietilsulfida, dialil polisulfida. allinin,
t | allisin
Retumbar inalool, Ga-pinen, B-pinen, a-B-| Farrell 1980)
: terpenin, geraniol bemeol
desilaldchida. asam asetat i i
| Cabe merah Asam askorbat. _bioflavonoid. | Farrell (1990) 1
1 Karatenoid. kapsantin I
[Tada Monoterpen. seskuiterpen Farell (1990)
Jahe Zingiberen, —_kurkumin, filandren. | Muchtadi dan
sgingerol, shogaol Sugiyono (1992)
Daun salam Sineol, Hlinalool, eugenol, —metil | Farrell (1990)
eugenal, geraniol, geranil, ester
eugenil, L-a-terpinol, cepinen, — B-
filandren
Serai Sitral, geraniol Farrell (1990)
Tengkuas Kamfer, galangi, galangol, eugenol, |Muchtadi dan
kurkumin Sugiyono (1992)Pertimbangan terbaru mengenai Kesehatan, zat gizi dan ekologi telah
meningkatkan permintaan konsumen terhadap sesuatu yang terbuat dari bahan
alami. Hal itu juga terjadi pada permintaan produk bumbu masak siap pakai
(Underriner, 1994),
KERUSAKAN PADA BUMBU MASAK SIAP PAKAI
Selama penyimpanan dan distribusi, bahan pangan terbuka terhadap kondisi
Jingkungan di sckelilingnya, Faktor-faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban,
oksigen dan cahaya dapat memicu reaksi yang dapat menimbulkan kerusakan
pada bahan pengan. Akibat dari reaksi tersebut, bahan pangan akan mencapai
suatu titik, dimana konsumen akan menolak bahan pangan tersebut atau bahan
pangan tersebut akan membahayakan orang yang mengkonsumsinya (Singh,
1994). Begitu pula pada bumbu masak siap pakai faktor yang berpengaruh pada
kualitas bumbu adalah komposisi kimia, kelembaban, suhu penyimpanan,
pengaruh cahaya dan oksigen (Underriner, 1994),
Kerusakan pada bahan pangan termasuk pada bumbu masak siap pakai,
dapat disebabkan oleh terjadinya perubahait kimia, fisik dan mikrobiologi
Perubahan fisik dapat disebabkan oleh adanya kesalahan‘penanganan dari bahan
pangan selama pemanenan. produksi dan distribusi Perubahan kimia dapat
disebabkan oleh aksi enzim, reaksi oksidasi. terutama oksidasi lipid yang
menyebabkan berubahnya flavour bahan pangan berlemak, dan reaksi
pencoklatan non enzimatis yang menyebabkan perubahan pada penampakan,
Perubahan ini melibatkan faktor internal berupa komponen dalam bahan
makanan itu sendiri dan faktor eksternal yaitu lingkungan, Pada umumnya
perubahan kimia terjadi selama proses produksi dan penyimpanan (Singh, 1994),
Reaksi oksidasi merupakan masalah utama pada lemak atau bahan pangan
berlemak. Oksidasi dapat menyebabkan perubahan pada flavour, aroma, warna
dan kadang-kadang tekstur atau kekentalan suatu produk. Faktor-faktor yang
mempengaruhi oksidasi bahan pangan mefiputi (i) suhu, (ii) cahaya, (ii) oksigen,
(iv) logam berat, (v) pigmen, dan (vi) derajat ketidakjenuhan komponen lemak
(Hanas, 1994)
‘Menurut Ketaren (1986), kecepatan oksidasi lemak yang dibiarkan di udara
akan bertambah dengan kenaikan suhu dan berkurang dengan penurunan suhuSelanjutnya dijelaskan bahwa cahaya dapat mempercepat reaksi oksidasi, cahaya
berpengaruh sebagai akselerator pada oksidasi konstituen tidak jenuh dalam
Jemak. Selain itu juga dijelaskan bahwa reaksi oksidasi dapat berlangsung bila
terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak.
Beberapa logam terutama yang mempunyai valensi dua atau lebih,
misalnya Fe, Cu, Co, Mn, dan Ni umumnya dapat berfungsi sebagai katalisator
dalam proses oksidasi. Logam-logam tersebut pada konsentrasi di bawah 100
ppm dalam lemak, masih mempunyai potensi yang cukup kuat sebagai katalis
dalam proses oksidasi asam linoleat, linolenat atau metil esternya (Ketaren,
1986).
Beberapa persenyawaan organik komplek seperti pigmen hematin
merupakan katalis pada proses adisi oksigen ke dalam ikatan tidak jenuh dalam
minyak. Persenyawaan hematin merupakan zat protein dan mempunyai aktivitas
yang lebih besar sebagai katalisator oksidasi, dibandingkan dengan katalisator
lainnya (Ketaren, 1986).
Asam lemak pada umumnya bersifat semakin reaktif terhadap oksigen
dengan bertambahnya jumlah ikatan rangkap pada rantai molekul, schingga
semakin tinggi derajat Ketidakjenuhnya maka semakin mudah asam lemak
tersebut teroksidasi. Derajat ketidakjenuhan lemak ditunjukkan oleh banyaknya
ikatan rangkap pada rantai molekul asam lemaknya (Ketaren, 1986),
Reaksi oksidasi merupakan suatu rantai reaksi radikal bebas. Mekanisme
dari reaksi tersebut terdiri dari tiga tahap yaitu (1) inisiasi, (2) propagasi. dan (3)
terminasi, Inisiasi merupakan reaksi_pembentukan radikal bebas, propagasi
merupakan reaksi perubahan radikal bebas menjadi radikal yang lain, Terminasi
merupakan reaksi yang melibatkan kombinasi dua radikal untuk membentuk
produk yang lebih stabil (Gordon, 1990). Mekanisme dari tahapan reaksi
oksidasi di atas dijelackan oleh Hamilton (1983) sebagai berikut:
Inisiasi RH +0, SE, R* + *OOH (reaksi 1)
RH MH YR + 4H (reaksi 2)
Propagasi: R* +O; 4 ROO* (reaksi 3)
ROO* + RH ———> ROOH + R* (reaksi 4)Terminasi: R* + R* ——_> RR (reaksi 5)
ROO* + R* ——_» ROOR (reaksi 6)
RH merupakan lipid tidak jenuh, R* merupakan radikal lipid dan ROO*
merupakan radikal peroksida. Pada tahap inisiasi, radikal lipid diperoleh melalui
(reaksi 1 dan 2) dengan keberadaan ketalis, Katalis yang dimaksud dapat berupa
panas, cahaya atau radiasi energi tinggi, ion logam atau zat protein seperti
hematin. Pada tahap propagasi di atas, yaitu pada (reaksi 4), dihasilkan
hidroperoksida (ROOH). Hidroperoksida merupakan senyawa yang tidak berbau,
tetapi bersifat labil sehingga dapat terpecah menjadi senyawa yang lebih kecil
yang menyebabkan timbulnya bau tengik, Senyawa yang dihasilkan dari
hidroperoksida ini antara Jain aldehid, alkohol dan hidrokarbon, Menurut
Ketaren (1986), ketengikan terbentuk oleh aldehida bukan oleh peroksida
Perubahan mikrobilogi disebabkan oleh pertumbuhan mikroba pada bahan
pangan. Pertumbuhan mikroba tersebut akan menyebabkan —timbulnya
pembusukan yang akan mengakibatkan munculnya karakteristik sensori yang
tidak diinginken dan pada beberape kasus dapat menyebabkan bahan pangan
‘menjadi tidak aman untuk dikonsumsi (Singh, 1994). Selanjutnya dijelaskan oleh
Muchtad: (1989). kerusakan sensori yang diakibatkan oleh mikroba dapat berupa
lendir, busa dan lain-lain, Mikroba
pelunakan, terjadinya asam, terbentukny:
yang dapat menyebabkan Kerusakan pada bahan pangan antara lain. bakteri,
kapang dan khamir.
Bakteri yang terdapat dalam bahan pangan mempunyai ukuran sangat kecil,
yaita sebagian besar mempunyai ukuran panjang sel satu sampai beberapa
mikron (1 mikron = '/jog9 mm). Khamir mempunyai ukuran panjang sel 20
mikron, Kapang berukuran lebih besar dan lebih kompleks. Kapang tumbuh
seperti buku rambut yang disebut mycelia dan pada ujungnya berbentuk seperti
buah yang disebut conidia dan mengandung spora kapang. Misalnya kapang
hitam pada roti, warna merah jingga pada oncom, atau warna putih dan hitam
pada tempe yang disebabkan oleh warna conidia atau sporanya
Menurut Singh (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
mikroba antara lain, suhu, air, gas seperti oksigen dan karbondioksida, dan pH.
Menurut Muchtadi (1989), bakteri, khamir dan kapang senang akan keadaanhangat dan lembab. Suhu pertumbuhan untuk setiap bakteri berbeda-beda
Kapang dan khamir mempunyai suhu optimum untuk pertumbuhannya pada
subu 25-30°C atau suhu kamar. Beberapa bakteri dan semua kapang
membutuhkan oksigen untuk tumbuh (Muchtadi, 1989).
Pembusukan oleh mikroba timbul akibat adanya absorpsi atau kontaminasi
Absorpsi tersebut dapat diminimisasi dengan penyimpanan dingin, transportasi
yang, baik, pengemasan yang hati-hati dan sterilisasi (Hamilton, 1983). Menurut
‘Muchtadi (1989) untuk menghilangkan atau mengurangi aktivitas biologis yang
tidak diinginkan dalam bahan pangan, seperti aktivitas enzim dan mikrobiologis,
dapat digunakan pengolahan dengan suhu tinggi, Salah satu pengolahan suhu
tinggi yang dapat digunakan adalah sterilisasi
ANTIOKSIDAN DAN ANTIOKSIDAN ALAMI
1. Antioksidan
Antioksidan dalam industri bahan pangan mempunyai_berbagai
kegunaan diantaranya antioksidan dapat memperpanjang umur simpan dati
bahan pangan, mengurangi Kehilangan nutrisi seperti vitamin yang tarut
dalam minyak, miselnya vitamin A yang rentan terhadap oksidasi Selain itu
antioksidan dapat memberikan peluang penggunaan lemak dan minyak yang
lebih besar dalam teknologi pangan (Coppen. 1983)
Menurut Winarno (1992) adanya antioksidan dalam lemak akan
menghambat dan mengurangi kecepatan reaksi oksidasi, Nawar (1985),
menjelaskan bahwa antioksidan dapat _menunda terjadinya reaksi oksidasi
atau memperlambat kecepatan reaksi oksidasi yang terjadi pada bahan yang
dapat teroksidasi, Akan tetapi antioksidan tidak dapat memperbaiki minyak
yang telah mengelami ketengikan karena antioksidan ini bekerja pada saat
sebelum terjadinya ketengikan (Coppen, 1983).
.Menurut Hamilton (1983), oksidasi_ dapat dihambat dengan
menambahkan antioksidan pemutus rantai (AH) pada konsentrasi yang rendah
yang dapat terlibat pada tahap propagesi. Selain antioksidan pemutus rantai
terdapat juga antioksidan pencegah, yang bekerja dengan cara mengurangi
kecepatan rantai inisiasi, Kedua jenis antioksidan tersebut dapat digunakansecara bersamaan untuk memberikan fungsi yang sinergis. Jika antioksidan
pemutus rantai dan pencegah digunakan secara bersamaan, rantai inisiasi dan
propagasi keduanya dapat dihambat
Inglod dalam Gordon (1990), mengklasifikasikanantioksidan
berdasarkan mekanisme menjadi dua yaitu antioksidan primer dan
antioksidan sekunder. Antioksida primer atau disebut juga antioksidan
pemutus rantai reaksi oksidasi merupakan antioksidan yang dapat bereaksi
dengan radikal lipid dan mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil
Antioksidan sekunder atau disebut juga antioksidan pencegah merupakan
antioksidan yang dapat mengurangi kecapatan dari rangkaian reaksi pada
tahap inisiasi dari reaksi oksidasi (reaksi 1 dan 2), dengan berbagai
mekenisme.
Selanjutnya Gordon (1990) menjelaskan suatu molekul dapat disebut
antioksidan primer, jika molekul tersebut dapat memberikan sumbangen atom
hidrogen secara cepat pada radikal lipid dan jika radikal yang diturunkan dari
antioksidan (A*) lebih stabil dibandingkan dengan radikal lipid atau dapat
diubah menjadi produk lain yang lebih stabil (reaksi 7),
Sieg ae eng ta (reaksi 7)
Antioksidan primer yang biasa digunakan pada industri bahan pangan
adalah senyawa penol seperti Buluted hydroxyanisole (BHA), Buivlated
hydroxytoluene (BHT). Propylgallae (PG) dan Burylated hydroquinone
(TBHQ). Komponen-komponen tersebut merupakan antioksidan sintetik yang
dapat kehilangan efisiensinya pada temperatur tinggi (Hamilton, 1983).
Antioksidan primer dapat berupa antioksidan alami seperti tokoferol. lesitin,
fosfatida, sesamol, gosipol dan asam askorbat (Winarno, 1992).
Hamilton (1983), menjelaskan reaksi penghambatan antioksidan primer
(AH) pada tahap propagesi dari reaksi oksidasi sebagai berikut:
ROO*+AH———* — ROOH + A* (reaksi 8)
A*+ROO* ——>
} produk non radial
At+A* = ——+
Seperti dikemukakan sebelumnya, menurut Nawar (1985), pada tahap
propagasi radikal lipid (R*) yang dihasilkan dari tahap inisiasi akan bereaksiu
dengan oksigen (0) menghasilkan radikal peroksida (ROO*) yang
selanjutnya bereaksi dengan molekul lipid (RE) menghasilkan hidroperoksida
(ROOH) dan radikel lipid (R*) yang selanjutnya akan beraksi kembali
dengan oksigen, sehingga reaksi ini disebut reaksi berantai, Skema dari
tahap propagasi tersebut, yang menghasilkan hidroperoksida disajikan pada
Gambar 1
On
INISIASI
ROO
PROPAGASI
RH
ROOH
hidroperoksida
‘Gambar 1. Skema pembentukkan hiroperoksida pada reaksi oksidasi
S(Nawar, 198
Menurut Gordon (1990), radikal peroksida (ROO*) yang merupakan
agen penvebab oksidasi dapat dengan mudah direduksi menjadi anionnya dan
selanjutnya diubah menjadi hidroperoksida oleh elektron donor (reaksi 9),
atau dapat secara langsung diubah menjadi hidroperoksida oleh sebuah
elektron donor yang dapat merupakan antioksidan (AH) (reaksi 8), sehingga
pembentukkan radikal lipid (R*) akan terhambat yang menyebabkan rantai
tahap propagasi terputus yang pada akhirnya akan menghambat
pembentukkan hidroperoksida (ROH).
Root —* , Roo’, ROOH (reaksi 9)
Menurut Hamilton (1983), antioksidan sekunder bekerja dengan cara
meng-inaktifasi ion logam yang dapat mengkatalis rantai inisiasi, yang
termasuk antioksidan jenis ini antara lain asam sitrat dan asam askorbat,
Beberapa antioksidan sekunder dapat pula mengabsorbsi radiasi_tanpamembentuk radikal, Penil salisilat dan hidrobenzopenon merupakan contoh
UV deaktivators.
Keefektifan dari antioksidan berhubungan dengan banyak faktor
meliputi energi aktivasi, kostanta kecepatan reaksi, potensial oksidasi reduksi,
kemudahan aktioksidan untuk hilang atau rusak dan sifat-sifat kelarutannya
(Nawar, 1985), Menurut Gordon (1990), efektivitas dari antioksidan
tergantung pada beberapa faktor termasuk struktur, kondisi oksidasi dan
bahan yang dioksidasi, Seringkali aktivitas dari antioksidan yang berupa
senyawa penol hilang pada konsentrasi tinggi dan antioksidan itu dapat
menjadi prooksidan
. Antioksidan Alami
Senyawa antioksidan alami pada umumnya merupakan kelompok
penolik atau polipenolik dari sumber tanaman, Antioksidan alami yang paling
umum adalah flavonoid (flovanol, isoflovanol, flavon, katekin dan flavanon),
derivat asam sinamet, kumarin, tokoferol dan asam organik polifungsional
(Pratt dan Hudson, 1990).
Antioksidan alami dalam makanan dapat berisal dari (a) senyawa
endogeneus dari satu atau lebih komponen bahan pangan, (b) substansi yang
terbentuk dari reaksi selama pengolahan. dan (c) bahan tambehan yang
duisolasi dari suber alami Beberapa sumber antioksidan alami yang umum
dapat dilhat pada Tabel 3.
Antioksidan alami dapat berfungsi dengan satu atau lebih cara yaitu
sebagai senyawa pereduksi, sebagai penghambat radikal bebas, sebagai
pengkomplek logam prooksidan, dan sebagai penekan oksigen singlet (Pratt
dan Hudson, 1990). Menurut Gordon (1990), oksigen singlet merupakan
bentuk oksigen yang sanget reaktif dan dapat dengan cepat bereaksi dengan
molekul lipida untuk memulai reaksi rantai oksidasi.
* Salah satu tanaman yang mengandung antioksidan alami adalah rempah-
rempah. Menurut Schuler (1983), rempah-rempah mempunyai nilai komersial
sebagai antioksidan, Pengaruh yang menguntungkan dari rempab-rempah
tersebut terhadap lemak telah diketahui sejak bertahun-tahun yang laluRempah-rempah sering ditambahkan pada produk daging dan bahan-bahan
yang dipanaskan, juga pada bahan pangan lain yang diawetkan,
‘Tabel 3. Sumber-sumber antioksidan alami *)
lenis tinamanbaben ene taamabahan 7
Alga Macam-macam lada
Ekstrak tanaman Rempah-rempah dan tanaman bumbu_
Sereal Bawang merah dan bawang putih
Hidroksisat pati Legume
Produk coklat Zaitun
Resin Biji-bijian berminyak
Sitrus,
*) Pratt dan Hudson (1990)
Efektivitas antioksidan dari rempah-rempah tidak hanya tergantung
pada jenis dan kualitas rempah-rempah, tetapi juga pada kondisi
penyimpanan. Berbagai laporan penelitian menyebutkan bahwa akti
antioksidan dari rempah-rempah bervariasi pada rentang yang lebar.
Keberadaan cahaya mempengaruhi sebagian besar rempah-rempah sehingga
akan merubah efek antioksidannya menjadi prooksidan
Ak
‘as antioksidan alami dari beberapa rempah-rempah_menurut
Sumardi (1992), dinyatakan dengan nil
p. Fp merupakan faktor protektif
yaitu perbandingan antara waktu oksidasi emulsi_ yang ditambahkan
antioksidan dengan waktu oksidasi emulsi tanpa antioksidan. Berikut adalah
aktivitas antioksidan dari beberapa remaph-rempah yang disajikan pada
Tabel 4
Tabel 4. Abtivitas antioksidan beberapa rempah-rempah
Sens rempab [Fp FoR?
Bawang merah | 2.45 | 0.30
Bawang putih_|_3.89 | 0.59
Kemiri 2.78 0.42
Ketumbar 2.16 [0.38
‘Cabe merah 4.91 | 0.65
Tada putih 3.44 [054
Jahe 277 0.38
Daun salam | 1.83 | 031
Serai 232 | 0.31
*)perbandingan Fp sampel dengan
Fp BHT (Butylaled hydroxytoluene)
Sumber : Sumardi (1992)14
D. METODE UNTUK MENGETAHUI TERJADINYA PROSES OKSIDASI
‘Uji yang paling utama untuk mengukur ketengikan adalah Uji Organoleptik
yang bersifat subjektif. Hal ini dikarenakan ketengikan merupakan
penyimpangan flavour dari suatu bahan, dimana jika bahan itu dirasakan oleh
indera manusia tengik, maka bahan itu dinyatekan tengik. Namun selain Uji
Organoleptik dibutuhkan pula pengukuran secara objektif terutama pada industri
pangan. Pengukuran secara objektif ini dibutuhkan untuk mengontrol kualitas
suatu bahan pangan berlemak yang akan dikeluarkan dari pabrik, juga untuk
memastikan kondisi suatu lemak yang akan digunakan pada proses selanjutnya
(Rossell, 1983),
Menurut Ketaren (1989), uji ketengikan minyak secara kualitatif dan
kuantitatif dilekukan dengan mendeteksi senyawa-senyawa yang menimbulkan
bau tengik dalam minyek misalnya aldehida, keton dan peroksida yang dapat
menguap. Macam-macam uji ketengikan antara lain Uji Kreis, Issoglio, Schiff
Lea dan Uji Thio Barbituric Acid (TBA)
Uji Kreis merupakan uji yang berprinsip. kepada reaksi kondensasi antara
ephydrin-aldehida dengan phloro glusinol, sehingga menghasilkan warna merah
Jambu. Ephydrin-aidehida merupakan hasil dekomposisi.perokside Peroksida
tersebut terbentuk arena oksidasi asam lemak tidak jenuh dalam minyak
(Ketaren, 1989),
Uji Issoglio mempunyai prinsip yang sama dengan penentuan bilangan
Reichert-Meissl, yang bertujuan untuk menguji senyawa keton dan aldehida yang
dapat menguap secara kuantitatif. Senyawa keton dan aldehida yang dihasilkan
dari oksidasi lemak merupakan salah satu penyebab bau tengik dalam minyak
(Ketaren, 1989)
Uji Schiff bertujuan untuk menentukan jumlah aldehida yang dihasilkan
dan dekomposisi ikatan tidak jenuh dalam asam lemak. Uji ini menggunakan
larutan fuchsin yang berikatan dengan SO:, Warna ungu larutan fuchsin akan
hilang jika berikatan dengan SOz. Jika larutan fuchsin SO, bereaksi dengan
aldehida, maka SO, dalam fuchsin diikat oleh aldehida schingga fuchsin
membebaskan SO; dan larutan berwarna ungu kembali (Ketaren, 1989),1s
Uji Lea digunaken untuk menentukan secara langsung kadar aldehida
dalam lemak. Aldehida direaksikan dengan persenyawaan Na-bikarbonat,
kemudian
asi dengan iodium. Prinsip dari uji ini ditentukan oleh jumlah iod
dalam KI yang dibebaskan oleh peroksida. lod bebas diikat dengan larutan
Na-thiosulfit. Bilangan peroksida dinyatakan dengan jumlah ml Na-thiosulfit
0,002 N yang dibutubkan untuk mengikat Iz bebas dalam setiap satu gram lemak
yang dianalisis (Ketaren, 1989)
Uji Thio Barbituric Acid (TBA) didasarkan atas terbentuknya pigmen
berwarna merah sebagai hasil dari reaksi kondensasi antara dua molekul TBA
dengan satu molekul malonaldehida. Persenyawaan malonaldehida secara teoritis
dapat dibasilkan oleh pembentukkan di-peroksida pada gugus pentadiena yang
disusul dengan pemutusan rantei molekul atau dengan cara oksidasi lebih lanjut
2-enol yang dihasilkan dari penguraian monohidro peroksida.
Nawar (1985) menjelaskan bahwa malonaldehida terbentuk dari penguraian
senyawa peroksida yang mempunyai lebih dari dua buah ikatan rangkap (reaksi
10). Malonaldehida tersebut dapat bereaksi dengan pereaksi TBA membentuk
persenyawaan berwama merah (reaksi 11),
wor a
oO
Mad
|
C-C-Che-c-¢}- c=c-c=c~
‘oF oF
t
GaGak Fro-G Cm ere
f o 0
Malonaldehida (reaksi 10)16
us
LAN
-cg +2 OF
cio]
WN 3c
Malonaldchida Sc
1
6 8 é
a
vt Komplek TBA-malonaldehida
Menurut Ketaren (1986), kelebihan dari Uji TBA dibandingkan dengan
metode yang lainnya adalah uj
i dapat digunakan langsung untuk menguji
Jemak dalam suatu bahan tanpa harus mengekstraksi fraksi lemaknya terlebih
dahulu. Kelemahan dari uji TBA ini adalah adanya kemungkinan beberapa
persenyawaan selain hasil oksidasi lemak berupa asam akan tersuling bersama
dengan uap dan selanjutnya terhadap destilat dilakukan uji TBA. Telah diketahui
pula bahwa asam Thiobarbituric bersifat tidak stabil dan mengalami
dekomposisi di bawah Kondisi pengujian (yaitu dengan adanya pemanasan dan
asam keras), terutama kerena adanya peroksida, Hasil degradasi tersebut
mempunyai warna yang sama (diabsorbsi dengan panjang gelombang yang
sama) dengan kompleks TBA-malonaldehida
FE. UMUR SIMPAN
Umur simpan adalah jangka waktu antara saat produk mulai dikemas
sampai produk tersebut digunakan, dimana pada saat digunakan mutu produk
tersebut masih dapat diterima oleh penggunanya (Hine, 1987). Menurut Ellis
(1994), umur simpan adalah waktu antara saat bahan pangan diproduksi dan
dikemas, sampai saat produk tidak dapat diterima lagi pada kondisi lingkungan,
imana produk tersebut digunakan,
‘Umur simpan suatu produk ditentukan oleh tiga faktor yaitu, karakteristik
produk, lingkungan dimana produk berada selama penyimpanan dan karakteristik
Kemasan yang digunakan (Ivory, 1994). Menurut Desrosier (1988), faktor
yang mempengaruhi stabilitas penyimpanan bahan pangan meliputi, jenis dan
kualitas bahan baku yang digunakan, metode dan keefektifan pengolahan, jenis
dan keadaan pengemasan, perlakuan mekanis yang dilakukan terhadap produkyang dikemas selama distribusi dan penyimpanan, dan pengaruh yang
ditimbulkan ofeh suhu dan kelembaban penyimpanan,
Selanjutnya dijelaskan oleh Desrosier (1988), bahwa setiap jenis bahan
pangan yang berada dalam kondisi yang baik mempunyai potensi untuk
disimpan. Potensi ini dapat hilang oleh perlakuan mekanis yang cukup berat,
pengemasan yang tidak memadai, dan kondisi penyimpanan yang jelek. Untuk
mencegah hilangnya potensi tersebut diperlukan pemilihan jenis dan kondisi
pengolahan yang sesuai, pengemasan dan penyimpanan yang tepat schingga
dapat benar-benar melindungi dan mempertahankan kualitas yang dikehendaki
Menurut Syarief, ef al, (1989), secara umum faktor-faktor yang
mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah sebagai berikut:
a. Keadaan alamiah atau sifat bahan pangan dan mekanisme berlangsungnya
perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan
terjadinya perubahan-perubahan kimia dan fisik
b. Ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume
c. Kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban) di mana kemasan dapat
bertahan selama distribusi dan sebelum digunakan
d. Ketahanan kescluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas dan
bau, termasuk dari perekatan, penutupan dan bagian-bayian yang terlipat
Menurut Ellis (1994), penentuan umur simpan suatu produk dapat dilakukan
dengan mengamati produk tersebut selama penyimpanan sampai_terjadi
perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen, Selanjutnya Syarief. er
al, (1989), menjelaskan bahwa penentuan umur simpan bahan pangan dapat
diketahui dengan metode konvensional, metode akselerasi kondisi penyimpanan
(verformance method) dan metode nilai waktu paruh, Metode konvensional
dilakukan dengan pengemasan produk dengan berat yang sama dan disimpan
pada tempat dan kondisi suhu 25°C-30°C serta RH 50%. Pengamatan dilakukan
setiap selang waktu tertentu untuk mengetahui perubahan mutu yang terjadi
selama penyimpanan.
Metode akselerasi merupakan metode pendugaan umur simpan dengan cara
mempercepat kerusakan pada bahan pangan dengan mengubah kondisi
penyimpanan dari kondisi normal. Kondisi penyimpanan yang umum diubah18
adalah suhu. Kenaikan suhu dapat mempercepat berbagai macam kerusekan yang
‘memperpendek umur simpan dari bahan pangan (Syarief, ef al, 1989).
Metode nilai paruh waktu adalah suatu metode yang menggunakan nilai
paruh waktu. Nilai paruh waktu pada metode ini didefinisikan sebagai waktu
yang dibutuhkan oleh kadar air bahan pangan yang dikemas untuk bergerak
separuh jalan antara kadar air awal hingga kadar ait yang akan diperoleh bila
kKesetimbangan dengan kondisi penyimpanan telah tercapai (Syarief, 7 al, 1989)
Syarief dan Halid (1991) menyatakan bahwa penurunan mutu makanan
sangat menentukan umur simpannya, Untuk menganalisis penurunan mutu
diperiukan beberapa pengamatan terhadap parameter-parameter yang dapat
diukur secara kuantitatif dalam bentuk pengukuran kimiawi, uji organoleptik, uj
kadar vitamin C, skor uji cita rasa, tekstur, warna, total mikroba dan sebagainya
(Syarief dan Halid, 1993), Menurut Desrosier (1988), untuk menetapkan daya
simpan suatu bahan pangan diperlukan data yang berkenaan dengan perubahan
warna, bau, cita rasa, tekstur, zat gizi, kadar air, Keapekan, ketengikan, dan
seluruh perubaban yang mempengaruhi tingket penetimaan produk oleh
konsumen,
F, KEMASAN
Kemasan memegang peranan penting dalam pengawetan bahan hasil
Pertanian. Kemasan yang tepat dapat membantu mencegah atau mengurangi
Kerusakan, melindungi bahan pangan yang ada di dalamnya dari bahaya
Pencemaran serta gangguan fisik (gesekan, benturan, getaran) (Syarief, ef
al.,1989), Menurat Syarief dan Irawati (1983), pengemasan pada umumnya
bertujuan untuk menghindari kerusakan yang disebabkan oleh mikroba, fisik,
kimia, biokimia, perpindahan uap air dan gas, sinar UV dan perubahan subu.
Kemasan memegang peranan penting dalam mempertahankan mutu baka.
Fungsi kemasan antara lain
a. Wadah untuk menempatkan produk dan memberi bentuk sehingga
memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi
b. Memberi perlindungan terhadap mutu produk dari kontaminasi Iuar dan
kerusakan19
¢. Iklan atau promosi untuk menarik Konsumen supaya mau membeli (Syarief
dan Irawati,1988)
Tenis kemasan yang dapat digunakan untuk makanan berlemak adalah
wadah gelas, kertas, plastik dan kaleng (Ketaren ,1986), Menurut Winarno et
al.,(1980), jenis plastik yang umum digunakan dalam pengemasan bahan pangan
adalah selofan, selulosa asetat, poliamida (nilon), keret hidrokhlorida (polifilm),
poliester, polietilena, polipropilena, polistirena, polivinildienakhlorida, dan vinil
khlorida, Jenis kemasan plastik yang sering digunakan untuk mengemas bumbu
masak siap pakai adalah polipropilen (PP). Menurut Syarief dan Irawati (1988),
polipropilen termasuk jenis plastik olifein, lebih kaku dari polietilen, memiliki
kekuatan tarik dan kejernihan lebih baik dari polietilen, serta permeabilitas uap
air rendah, Suhu leleh polipropilen sekitar 150°C, sehingga dapat digunakan
untuk kemasan yang memerlukan steriisasi dan kemasan produk yang dapat
dipanaskan langsung di oven atau direbus.
Selain dikemas dengan kemasan plestik, bumbu masak siap pakai sering
pula dikemas dengan wadah gelas. Syarief ef af., (1989), menyatakan wadah
gelas merupakan kemasan dengan komponen utama pasir silika (SiO,) dan soda
abu (NazCOs) yang dalam pembakaran suhu tinggi berubah menjadi NaxO, yang
menyebabkan wadah gelas tampak jemnih Sifat-sifat umim dari wadah gelas
adalah sebagai berikut
+ Bersifat tembus pandang (transparan) sehingga dapat dimamfaatkan untuk
tujuan komersial guna merangsang konsumen untuk membeli, tetapi sifet
tembus pandang ini kurang menguntungkan bagi bahan pangan yang peka
terhadap cahaya
+ Kedap terhadap semua gas, sehingga dapat mencegah kontaminasi bau
+ Bersifat inert (tidak bereaksi),I. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN
1.
Rempah-rempah
Rempah-rempah yang digunakan terdiri atas cabe merah, bawang
merah, bawang putih, lengkuas, jahe, kemiri, ketumbar, lada, sereh, daun
salam, daun kunyit dan daun jeruk purut. Keseluruhan rempah-rempah
tersebut diperoleh dari Pasar Anyar dalam keadaan segar.
Kemasan
Kemasan yang digunakan terdiri atas plastik PP dengan ketebalan 0.08
mm, panjang 15 cm, lebar 10 cm dan wadah gelas bermulut lebar dengan
tinggi 9.31 om, diameter badan 6.31 cm, tinggi tumit 1.71 em, tinggi ruang
tabel 5.25 cm, diameter bahu 4.91 cm dan volume 100 ml. Gambar kemasan
plastik dan wadah gelas disajikan pada Gambar 2. Sketsa wadah gelas beserta
dimensinya disajikan pada Lampiran 1. Plastik PP diperoleh dari Toko Aneka
Plastik, Pasar Anyar, sedangkan wadah gelas diperoleh dari Toko bahan
kimia Frisconina, Warung Jambu,
Gambar 2. Kemasan plastik PP dan wadah gelas21
Bahan kimia
Bahan kimia yang digunakan adalah HCI, TBA (Thiobarbiturie Acid)
dan asam asetat glasial, Bahan-bahan tersebut digunakan untuk analisis TBA,
4, Bahan lain
Bahan lain yang digunakan adalah aquades untuk membuat Jarutan dan
minyak goreng nabati “Tropical” untuk menumis.
B. ALAT
lat yang digunakan dalam penelitian ini adalah grinder dengan diameter
grinding 8 cm dan digerakan dengan motor berbahan bakar bensin serta dapat
digunakan secara otomatis. Alat lain yang digunakan adalah sealer, rotary knife
cutter merk Philips dengan tenaga penggerak listrik yang dapat digunakan secara
otomatis, kompor gas merk Hitachi, penggorengan teplon, otoklaf, oven, alat
destilasi, pipet volumetrik, pipet mohr, gelas piala, timbangan, hotplate,
spektrofotometer Milton Roy 20 D dan labu ukur. Gambar grinder disajikan pada
Gambar 3, sedangkan gambar rotary knife cutter disajikan pada Gambar 4.
Gambar 3. Grinder2
Gamba 4. Rotary knife cutter
Cc. METODE
1. Penentuan peubah pada proses pembuatan bumbu masak siap pakai
a
Penentuan alat pengecil ukuran
Pada penelitian ini digunakan dua buah alat pengecil ukuran yaitu
grinder dan rotary knife cutter. Selanjutnya dilihat waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan proses pengecilan dan mutu produk berupa
Kehalusan. Alat yang menghasilkan wakt proses paling cepat dan
Kehalusan produk yang sesuai dengan yang umum ada di pasaran,
‘merupakan alat yang akan digunakan pada penelitian selanjutnya
Penentuan waktu penumisan dan proporsi minyak goreng untuk menumis
Waktu menumis yang digunakan pada penclitian ini adalah 15
menit dan 20 menit, Penumisan dilekukan dengon menggunakan
penggorengan teflon dengan ukuran diameter atas + 30 cm, diameter
bawah + 15 cm dan tinggi + 9 cm. Sumber panas yang digunakan untuk
menumis adalah kompor gas merk Hitachi 3000 Kal, dengan besar api23
pada skala 1. Waktu penumisan yang menghasilkan bau khas bumbu yang
paling nyata, merupakan waktu penumisan yang akan dilakukan pada
penelitian selanjutnya,
Proporsi minyak goreng yang digunakan untuk menumis adalah
sebanyak 37 % (“/) dan 30 % ("h). Hal ini didasarkan pada cara
penumisan dengan menggunakan minyak goreng yang umum dilakukan,
Proporsi minyak goreng yang memberikan penampakan yang paling baik
akan digunaken pada penelitian selanjutnya. Penampekan yang
diinginkan adalah penampakan yang umum dari bumbu yang sudah
ditumis, yaitu tidak terlalu kering atau pun terlalu banyak minyak,
Penentuan jumiah lapisan pada kemasan plastik
Pada kemasan plastik diujikan dua cara pengemasan. Cara pertama,
bumbu masak siap pakai dikemas dengan satu lapis kemasan plastik PP.
Cara kedua, bumbu masak siap pakai dikemas dengan dua lapis kemasan
plastik PP. selanjutnya dilihat adanya kapang yang tumbuh dengan kasat
mata, Cara pengemasan yang memuiigkinkan waktu yang paling lama
untuk tumbuh kapang akan digunakan pada penelitian selanjutnya.
Penentuan waktu sterilisasi
Waktu sterilisasi yang dilakukan terdiri dari 15 menit dan 30 menit
Sterilisasi dilakukan dengan menggunakan autoclave. Pada penentuan
waktu sterilisasi ini akan dilihat efek dari waktu sterilisasi tersebut
terhadap pertumbuhan kapang pada bumbu siap pakai sclama
penyimpanan, secara kasat miata, Waktu sterilisasi yang memberikan efek
pertumbuhan yang paling lambat, akan digunakan pada penelitian
selanjutnya.
Penyimpanan dengan Metoda Akselerasi
Sebagian besar Metoda Akselerasi didasarkan pada kenaikan suhu
penyimpanan. Kenaikan suhu penyimpanan akan mempercepat proses-
roses penuaan, termasuk reaksi oksidasi yang menyebabkan ketengikan
(Ellis, 1994), Pada penelitan ini digunakan tiga suhu penyimpanan yaitu24
30°C, 40°C, dan 50°C. Selanjutnya akan dilihat efek dari ketiga suhu
tersebut terhadap bilangan TBA.
2. Penggunaan Uji TBA pada bumbu mask siap pakai
Pada tahap ini dilihat apakah uji TBA dapat dipergunakan sebagai
indikator penduga umur simpan dari bumbu masak siap pakai, Bumbu masak
siap pakai yang digunakan adalah bumbu rendang dan bumbu opor. Bumbu
rendang dan bumbu opor tersebut diproses menjadi bumbu rendang dan
bumbu opor siap pakai, selanjutnya disimpan pada suhu 30°C dan diamati
Pengamatan yang dilakukan meliputi uji TBA dan uji organoleptik.
D. PROSEDUR
1. Persiapan Bumbu
Pembuatan bumbu opor dan bumbu rendang dilakukan dengan
mempersiapkan formula bumbu. Formula bumbu ditentukan berdasarkan
hasil penelitian Darmini (1998) yaitu formulasi hasil survei di Pasar Anyer,
yang dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6.
Tabel 5. Komposisi bumbu rendang
[Jenis‘Rempahys
[Cabe
Bawang merah
Bawang putih
Tengkuas
Tahe
Kemint
Ketumbar
‘Bumbu campur*)
Total
*) Camparan sereh, daun salam, daun kunyit dan daun jeruk
Sumber: Darmini (1998)ny
‘Tabel 6. Komposisi bumbu opor
‘Bawang merah
Bawang putih
Tengkuas
Tahe
Kemirt
Ketumbar 32
Tada 28
Total 100
Sumber: Darmini (1998)
Setelah persiapan formulasi, selanjutnya rempsh-rempah untuk masing-
masing bumbu dikupas dengan menggunakan pisau dan dicuei dengan air.
Setelah itu bahan selain bawang merah, bawang putih, kemiri, ketumbar dan
Jada, diiris setebal + 1 cm dengan menggunakan pisau, kemudian digiling
atau dikecilkan ukurannya dengan grinder dan ditumis selama 20 menit
dengan menggunakan minyak goreng sebanyak 30 % ("/,). Setelah digiling
dan ditumis, selanjutnya bumbu dikemas,
Pengemasan. sterilisasi dan penyimpanan
Pengemasan dilakukan pada saat bumbu masih dalam keadaan panas.
Kemasan yang digunakan terdiri dari 2 jenis yaitu kemasan plastik dan wadah
gelas. Kemasan platik yang digunakan aadalah plastik PP sebanyak dua lapis
untuk tiap kemasan, Wadah gelas yang digunakan direbus dengan air
mendidih selama 30 menit dan digunakan pada saat mesih panas.
Pengemasan dengaa plastik dilakukan pada saat bumbu masih panas,
kemudian di-seal dengan menggunakan sealer. Setelah dikemas bumbu
masak siap pakai selanjutnya disterilisasi pada subu 121°C selama 30 menit,
dan kemudian disimpan dalam oven suhu 30°C. Diagram alir proses
pembuatan bumbu siap pakai sampai penyimpanan disajikan pada Gambar 5,Penggilingan dengan grinder
Penumisan selama 20 menit
Sterilisasi selama 30 menit
Penyimpanan dan Pengamatan
Gambar 5. Diagram alir proses pembuatan bumbu masak siap pakai
. Cara pengambilan sampel dan ulangan
Sampel diambil secara acak, sebahyak dua kali ulangan. Masing-
masing ulangan diuji TBA secara duplo dan diuji orgnoleptik.
Analisis
Analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Bilangan Thiobarbituric Acid (TBA) (Apriyantono et al., 1989)
Bahan ditimbang sebanyak 10 gram dengan teliti lalu dimasukkan
ke dalam waring blender, ditambahkan 50 ml aquades dan dihancurkan
selama 2 menit. Sampel dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu
destilasi sambil di cuci dengan 47.5 ml aquades, Ditambahkan + 2.5 ml
HCI 4M sampai pH menjadi 1.5. Kemudian ditambahkan_batu didih dan
pencegah buih (anti foaming agent) secukupnya dan dipasangkan labu
destilasi pada alat destilasi.
Destilasi dijalankan dengan pemanasan tinggi sehingga diperoleh 50
nl destilat selama 10 menit pemanasan, Destilat yang diperoleh diaduk
merata, kemudian 5 ml destilat dipipet ke dalam tabung reaksi bertutup.27
Ditambahkan 5 ml pereaksi TBA, ditutup dan dicampur merata lau
Gipanaskan selama 35 menit dalam air mendidih, Dibuat blanko dengan
menggunakan 5 ml aquades dan 5 ml pereaksi, lakukan seperti pada
penetapan sampel.
Tabung reaksi didinginkan dengan pendingin selama + 10 menit,
kemudian diukur absorbansinya (D) pada panjang gelombang 528 nm
dengan Jarutan blanko sebagai titik nol. Digunakan sampel sel
berdiameier 1 cm. Bilangan TBA dihitung dan dinyatakan dalam mg
malanoldehid per kg sampel, Bilangan TBA = 7.8 D.
b. Uji Organoleptik (Soekarto, 1990)
Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah uji mut hedonik
terhadap parameter ketengikan dengan menggunakan 25 panelis semi
terlatih, Pada pengujian ini digunakan 6 skala tingkat ketengikan. Hal ini
dilakukan dengan pertimbangan tingkat sensitifitas pengujian. Skala yang
digunakan adalah :
1 : sangat tengik
2 : tengik
3 : agak tengik
4: agak tidak tengik
5: tidak tengik
6 : sangat tidak tengik
Formulir selengkapnya dari uji organoleptik disajikan pada Lampiran 2
5. Pengolahan Data
a. Bilangan TBA
Hasil pengamatan bilangan TBA disajikan dalam bentuk grafik
hubungan antara bilangan TBA dan waktu pengamatan, Sclanjutnya
grafik tersebut dibandingkan antara jenis bumbu dan jenis kemasannya.28
b. Uji Organoleptik
Data hasil Uji Organoleptik yang menggunakan 6 skala tingkat
ketengikan, diolah lebih lanjut menjadi 3 skala tingkat ketengikan, yaitu :
1. tengike
agak tengik
3. tidak tengik.
Kemudian dihitung persentase jumlah panelis yang menyatakan
setiap tingkat ketengikan selama penyimpanan. Hasil persentase tersebut
disajikan dalam bentuk grafik batang hubungan antara persentase jumlah
panelis dan waktu pengamatan,
Selain itu, data hasil Uji Organoleptik yang telah diolah menjadi 3
skala diuji dengan Uji Jonekhere (O’Mahony, 1986). Uji ini merupakan
uji statistik non parametrik untuk melihat adanya kenaikan tingkat
ketengikan dihubungkan dengan lama penyimpanan,IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENENTUAN PEUBAH PROSES PEMBUATAN BUMBU MASAK SIAP
PAKAI
1. Penentuan alat pengecil ukuran
Alat pengecil ukuran berfungsi untuk menggiling dan menghaluskan
rempah-rempah yang digunakan. Alat pengecil ukuran yang biasa digunakan
untuk memperkecil ukuran komponen-komponen pada bumbu adalah rotary
knife cutter dan grinder. Hasil penelitian pendahuluan memperlihatkan hasil
gilingan grinder, lebih halus dibandingkan dengan hasil gilingan rotary knife
cutter. Hal ini disebabkan oleh perbedaan prinsip kerja kedua alat, Prinsip
kerja yang berlaku pada rotary knife cutter adalah pemotongan, sedangkan
pada grinder prinsip yang berlaku adalah penggerusan. Grinder yang
digunakan merupakan grinder jenis atrisi piring putar tunggal, Menurut
McCabe et al,, (1991) grinder dapat memperkecil ukuran ukuran_ produk
sehingga dapat melalui saringan ukuran 40 mesh.
Selain itu waktu proses yang diperlukan oleh rotary knife cutter rata-
rata lebih lama dibandingkan dengan waktu proses yang diperlukan grinder.
Hal ini disebabkan karena kapasitas yang berbeda yaitu pada rotary knife
cutter digunakan kapasitas yang lebih ke
vaitu untuk sekali proses hanya
Gapat memproses + 0.25 kg bumbu, sedangkan pada grinder digunakan
kapasitas yang lebih besar yaitu untuk sekali proses dapat memproses lebih
dari 6 kg. Pemilihan kapasitas alat tersebut didasarkan pada sumber daya
yang tersedia.
Pada penelitian ini untuk sekali ulangan dibutuhkan + 6 ke bumbu.
Berdasarkan kehalusan hasil gilingan, dan untuk memperoleh hasil gilingan
yang sama serta efisiensi waktu proses dengan pertimbangan sumber daya
yang ada maka dipilih grinder sebagai alat pengecil ukuran yang akan
digunakan pada proses pembuatan bumbu masak siap pakai selanjutnya.30
2. Penentuan waktu penumisan dan proporsi minyak goreng yang
digunakan
Perlakuan penumisan didasarkan pada kebiasaan memasak pada
umumnya yang menumis bumbu terlebih dabulu sebelum diolah lebih lanjut.
Selain itu penumisan juga berfungsi mengurangi jumlah mikroba di dalam
produk bumbu masak yang dapat menyebabkan kerusakan pada bumbu
tersebut, sehingga dapat mempengaruhi umur simpannya, Menurut hasil
penelitian Katrina (2000), kondisi awal setelah penumisan menunjukkan
bahwa secara umum jumlah mikroba bumbu rendang mentah lebih tinggi
dibandingkan dengan bumbu rendang tumis. Hal ini disebabkan oleh
perbedsan kadar air Keduanya. Menurut Silliker et al.,(1980), kadar air
produk pangan sangat mempengaruhi jumlah dan ragam mikroflora yang
dapat tumbuh. Semakin tinggi kadar air dan aktivitas air (Ay) suatu produk
pangan, jumlah dan ragam mikroflora yang tumbuh cenderung meningkat.
Waktu penumisan adalah waktu yang diperlukan untuk memasak
bumbu sampai bumbu yang dimasek mengeluarkan bau yang menyengat. Bau
yang menyengat ini timbul: karena komponen-komponen penyusun bumbu,
yaitu rempah-rempah mengeluarkan zat volatil yang terkandung di dalamnya.
Berdasarkan cara penumisan yang umum dilakukan diperoleh dua
waktu penumisan yaitu selama 20 menit dan 15 menit untuk 1,5 kilogram
bumbu. Penumisan dilakukan dengan menggunakan penggorengan teflon
dengan ukuran diameter atas + 30 cm, diameter bawah + 15 em dan tinggi
£9 cm. Sumber panas yang digunakan untuk menumis adalah kompor gas
merk Hitachi 3000 Kal, dengan besar api pada skala 1. Pengadukan pada
proses penumisan dilakukan secara manual. Hasil penelitian pendahuluan ini
menunjukkan penumisan selama 20 menit memberikan bau yang lebih nyata
dibandingkan dengan penumisan selama 15 menit, schingga untuk pembuatan
bumbu masak siap pakai ini dipilih waktu penumisan selama 20 menit.
Minyak goreng yang digunakan untuk menumis adalah minyak kelapa
sawit. Hal ini dikarenakan minyak kelapa sawit baik dan umum digunakan
untuk pangan karena mengandung asam lemak tidak jenuh yang tinggi.31
Minyak kelapa sawit mengandung 39-45% asam oleat yang merupakan asam
emak tidak jenuh (Ketaren, 1986).
Berdasarkan cara penumisan yang umum dilakuken, maka digunakan
minyak goreng sebanyak 37 % (“/) dan 30 % (“/,). Hasil penelitian tersebut
menunjukkan untuk penumisan dengan menggunaken minyak goreng
sebanyak 37 % (‘/p) menghasilkan bumbu yang banyak mengandung minyak,
sehingga penampakannya kurang baik, sedangkan penumisan dengan
‘menggunakan minyak goreng sebanyak 30 % (“/,) menghasilkan penampakan
yang lebih baik. Perbedaan penampakan ini terutama terlihat pada bumbu
opor siap pakai, Hal is
Menurut Ketaren (1986), bagian buah (biji) kemiri mengandung minyak
sebesar 55-65 %.
disebabkan bumbu opor mengandung 20,7 % kemiri.
. Penentuan jumlah lapisan pada kemasan plastik
Kemasan plastik yang sering digunakan pada produk bumbu masak siap
pakai adalah plastik PP. Plastik PP mempunyai kelebihan yaitu sifetnya yang
transparan sehingga mudah dilihat bagian dalamnya, kaku dan tidak mudah
sobek schingga mudah dalam penanganan, dan’ tahan tethadap suhu
sterilisasi.
Plastik PP yang dipilih untuk digunakan mempunyai ketebalan
0.08 mm, ketebalan tersebut dipilih untuk menutupi kelemahannya yaitu
mempunyai permeabilitas terhadap gas yang sedang, yang tidak
menguntungkan bagi produk bumbu.
Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan pada penyimpanan suhu
30°C, bumbu rendang siap pakai yang dikemas dengan plastik PP sebanyak
satu lapis, pada hari ke-6 telah ditumbuhi kapang, sedangkan bumbu rendang
siap pakai yang dikemas dengan plastik PP sebanyak dua lapis, sampai hari
ke-7 belum ditumbuhi kapang. Pada bumbu opor siap pakai terlihat sampai
hari ke-7, bumbu yang dikemas dengan plastik PP sebanyak satu lapis atau
pun dua lapis, belum ditumbuhi kapang. Berdasarkan hasil tersebut, maka
pada pembuatan bumbu masak siap pakai selanjutnya digunakan dua lapis
plastik PP untuk mengemas bumbu masak siap pakai kemasan plastik.