Anda di halaman 1dari 73
KAJIAN PENGGUNAAN BILANGAN Thiobarbituric Acid (TBA) SEBAGAL INDIKATOR PENDUGA UMUR SIMPAN BUMBU MASAK SIAP PAKAI Oleh NETI DEWI HARTATI 03496002 2001 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR Neti Dewi Hartati. F03496002. Kajian Penggunaan Bilangan Thiobarbituric Acid (TBA) sebagai Indikator Penduga Umur Simpan Bumbu Masak Siap Pakai. Dibawah bimbingan Meika Syahbana Rusli. 2001 RINGKASAN Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai potensi rempah- rempah yang cukup besar. Rempah-rempah tersebut sebagian besar digunakan untuk bahan baku bumbu. Salah satu kerusakan yang terjadi pada bumbu masak siap pakai adalah kerusakan akibat oksidasi yang menyebabkan ketengikan. Ketengikan dalam suatu bahan pangan berlemak dapat divkur dengan menggunakan Uji TBA (Thiobarbituric Acid). Penelitian ini bertuyjuan untuk mengkaji penggunaan Uji TBA untuk mendeteksi ketengikan yang merupakan indikator untuk menduga umur simpan bumbu masak siap pakai. Pada penelitian ini ditentukan peubah proses pembuatan bumbu masak siap pakai yang terdiri dari penentuan alat pengecil ukuran (grinder dan rotary knife cutter), penentuan waktu penumisan (15 menit dan 20 menit) dan minyak goreng untuk menumis (37 % (“/,) dan 30 % ('/s)), penentuan jumlah lapisan pada kemasan. plastik (dua lapis dan satu lapis), penentuan waktu sterilisasi (15 menit dan 30 menit) dan penyimpanan dengan Metoda Akselerasi. Selanjuinya dilihat apakah Uji TBA dapat dipergunakan untuk menduga umur simpan dari bumbu masak siap pakai dibandingkan dengan Uji Organoleptik sebagai kontrol. Pada penelitian ini digunakan dua jenis bumbu masak siap pakai yaitu bumbu rendang dan bumbu opor. Kemasan yang digunakan pada penelitian ini adalah plastik PP dan wadah gelas, pengamatan dilakukan selama 28 hari (4 minggit), pengujian meliputi Uji TBA dan ‘Uji Organoleptik yang dilakukan 4 hari sekali. Pada penentuan peubah proses pembuatan bumbu masak siap pakai diperoleh alit pengecil ukuran yang dipilih adalah grinder. Penumisan dilakukan selama 20 menit dengan menggunakan minyak goreng sebanyak 30 % ("/,). Kemasan plastik digunakan sebanyak dua lapis plastik. sterilisasi dilakukan selama 30 menit dan suhu penyimpanan yang digunakan adalah 30°C. Hasil Uji Organoleptik pada bumbu rendang siap pakai kemasan plastik menunjukkan 100 % panelis menyatakan tengik, terjadi pada hari ke-20, sedangkan pada bumbu rendang siap pakai kemasan gelas sampai hari ke-28 ketengikan belum teridentifikasi oleh panelis, Pada bumbu opor siap pakei kemasan plastik 100 % panclis menyatakan tengik, terjadi pada hari ke-12, sedangkan pada bumbu opor siap pakai kemasan gelas sampai hari ke-28 ketengikan belum teridentifikasi oleh panelis. Perubahan bilangan TBA selama penyimpanan menunjukkan ketidaksesuaian dengan hasil Uji Organoleptik. Pada bumbu rendang siap pakai kemasan plastik grafik bilangan TBA menunjukkan kecenderungan naik sampai hari ke-16 dan kemudian menurun, Pada bumbu rendang siap pakai kemasan plastik grafik bilangan TBA menunjukkan kecenderungan tetap. Pada bumbu opor siap pakai kemasan plastik grafik bilangan TBA cenderung naik, sedangkan pada bumbu opor siap pakai kemasan gelas grafik bilangan TBA cenderung menurun, Berdasarkan hasil Uji TBA dan Uji organoleptik di atas maka dapat dinyatakan bahwa Uji TBA tidak dapat digunakan sebagai indikator penduga umur simpan pada bumbu rendang dan opor siap pakai pada kondisi yang berlaku pada penelitian ini KAJIAN PENGGUNAAN BILANGAN Thiobarbituric Acid (TBA) SEBAGAI INDIKATOR PENDUGA UMUR SIMPAN BUMBU MASAK SIAP PAKAI SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Oleh NETI DEWI HARTATI F03496002 2001 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR. BOGOR INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN KAJIAN PENGGUNAAN BILANGAN Thiobarbituric Acid (TBA) SEBAGAL INDIKATOR PENDUGA UMUR SIMPAN BUMBU MASAK SIAP PAKAL SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pert ian Bogor Oleh NETI DEWI HARTATI F03496002 Dilahirkan di Garut, pada tanggal 19 September 1978 Tanggal lulus: 1B Agustus 2001 Dosen Pembimbing KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji hanya untuk Allah SWT yang telah melimpahkan karunia, kasih sayang dan pertolongan-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama penelitian, penulisan skripsi maupun selama studi, penulis banyak ‘mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Meika Syehbana Rusli, M.Sc., sebagai dosen pembimbing atas bimbingan, saran dan bantuan kepada penulis selama pelaksanaan penelitian maupun penulisan skripsi. Tu Dr. Tatit K. Bunasor, M.Sc, dan Dr. Ir. Ani Suryani, DEA sebagai dosen penguji yang banyak memberikan masukan kepada penulis. 3. My beloved Ibu, Bapak, AA Deden, AA Devi dan teteh-tetchku atas dukungan, kkasih sayang dan doa yang selalu tercurah kepada penulis. 4. Tu Rini, Pak Masyudi dan Mas Heri atas bantuannya selama penelitian. 5. Warga Wisma Nabila, Jasmine, Nadila. Syafanah, Nurjanch dan Al-Ifah ates kesediaannya menjadi panelis. 6. Rekan-rekan seperjuangen di Lab. Teknologi Kimia, Neneng. Eli. Dani, Mifta den lain-lain alas kebersamaannya yang sangat mengesankan. 7. Seluruh rekan TIN 33. terutama Ina, Effi. Yati, Heli. Dewi. Rohmah dan Indah atas persahabtan dalam meniti langkah selama studi. 8. Seluruh penghuni Wisma Nebila teruiama M’Dyah, Shelly, Rosma. Nancy, Henny, Hasan. M’Ina, M’Farah, M'Indah, B’Erum, B’Uti, Dian dan Rini atas pinjaman komputernya dan atas persaudaraan yang manis selama ini 9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang selalu memberikan semangat dan perhatian kepadas penulis. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan para pembacanya, Amin Bogor, Agustus 2001 penulis DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR.. iti DAFTAR TABEL.... vi DAFTAR GAMBAR.... vill DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN... 1 II, TINJAUAN PUSTAKA w.essns 3 A. BUMBU MASAK SIAP PAKAI eae 3 B. KERUSAKAN PADA BUMBU MASAK SIAP PAKAI.... 6 C. ANTIOKSIDAN DAN ANTIOKSIDAN ALAML 9 1. Antioksidan... 9 2. Antioksidan Alami... ee 12 D. METODE UNTUK MENGETAHUI TERJADINYA PROSES OKSIDASI. 14 5, UMUR SIMPAN.... 1 F. KEMASAN... 18 HLMETODOLOGI PENELITIAN 20 A. BAHAN... ses 20 B. ALAT.WWww.. eee a 20 C. METODE..ssnee 2 1, Penentuan Peubah Pada Proses Pembuatan Bumbu Masak Siap Pakai 2 a, Penentuan Alat Pengecil Ukuran.... 22 b, Penentuan Waktu Penumisan dan Proporsi Minyak Goreng untuk Menumis.. 22 ¢. Penentuan Jumlah Lapisan Pada Kemasan Plastikccccnene 23 4, Penentuan Waktu Sterilisasi 2B e. Penyimpanan dengan Metode Akseleras.. eee 2. Penggunaan Uji TBA Pada Bumbu Masak Siap Pakai 24 IV.HASIL DAN PEMBAHASAN. DAFTAR PUSTAKA D. PROSEDUR 1. Persiapan Bumbu. 2. Pengemasan, Sterilisasi dan Penyimpanan 3. Cara Pengambilan Sampel dan Ulangan.. 4, Analisis rns 5. Pengolahan Data A. PENENTUAN PEUBAH PADA PROSES PEMBUATAN, BUMBU MASAK SIAP PAKAI.. 1. Penentuan Alat Pengecil Ukuran.. 2. Penentuan Waktu Penumisan dan Proporsi Minyak Goreng untuk Menumis... 3. Penentuan Jumlah Lapisan Pada Kemasan Plastik. 4, Penentuan Waktu Sterilisasi... 5. Penyimpanan dengan Metode Akselerasi.....:. B. PERUBAHAN KETENGIKAN SELAMA PENYIMPANAN, 1. Kemasan Plasti 2. Kemasan Gelas C. PERUBAHAN BILANGAN TBA SELAMA PENYIMPANAN PADA BLIMBU MASAK SIAP PAKA .. 1. Bumbu Rendang Siap Pakai dengan Kemasan Plastik 2. Bumbu Rendang Siap Pakai dengan Kemasan Gelas 3. Bumbu Opor Siap Pakai dengan Kemasan Plastik... 4, Bumbu Opor Siap Pakai dengan Kemasan Gelas... V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN.wo B. SARAN LAMPIRAN 24 24 25 26 26 27 29 29 29 46 47 48 52 DAFTAR TABEL ‘Tabel 1. Jumlah Ekspor Bumbu Masak Tahun 1998-2000 Tabel 2. Senyawa Aktif Dalam Rempah-Rempah Tabel 3. Sumber-Sumber Antioksidan Alami .... Tabel 4. Aktivitas Antioksidan Beberapa Rempah-Rempah. Tabel 5. Komposisi Bumbu Rendang Tabel 6. Komposisi Bumbu Opor Gambar 1 Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4, Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13, Gambar 14. Gambar 15. DAFTAR GAMBAR Skema Pembentulkkan Hidroperoksida Pada Reaksi Oksidasi. Kemasan Plastik dan Wadah Geles..... Grinder. Rotary Knife Cutter... ies Diagram Alir Proses Pembuatan Bumbu Masak Siap Paka... Grafik Bilangan TBA Bumbu Rendang Siap Pakai Kemasan Gelas Selama Penyimpanan .... Grafik Bilangan TBA Bumbu Opor Siap Pakai Kemasan Gelas Selama Penyimpanan .. Distribusi Penilaian Ketengikan Selama Penyimpanan Pada Bumbu Rendang Siap Pakai Kemasan Plastik Distribusi Penilaian Ketengikan Selama Penyimpanan Pada Bumbu Opor Siap Pakai Kemasan Plastik Distribusi Penilaian Ketengikan Selama Penyimpanan Pada Bumbu Rendang Siap Pakai Kemasan Geles .... Distribusi Penilaian Ketengikan Selama Penyimpanan Pada Bumbu Opor Siap Pakai Kemasan Gelas...... Grafik Hasii Uji TBA dan Uji Organoleptik Pada Bumbu Rendang Siap Pakai Kemasan Plastik Grafik Hasil Uji TBA dan Uji Organoleptik Pada Bumbu Rendang Siap Pakai Kemasan Gelas. Grafik Hasil Uji TBA dan Uji Organoleptik Pada Bumbu Opor Siap Pakai Kemasan Plastik Grafik Hasil Uji TBA dan Uji Organoleptik Pada Bumbu Opor Siap Pakai Kemasan Gelas Halaman u 20 a 22 26 44 45 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Sketsa Wadah Gelas dan Dimensinya. rf eS. Lampiran 2. Formulir Uji Mutu Hedonik Ketengikan Bumbu........ 53 Lampiran 3. Data Hasil Uji TBA Pada Bumbu Rendang Siap Pakai Pada Tiga Suhu Penyimpanatia. 54 Lampiran4. Data Hasil Uji TBA Pada Bumbu Opor Siap Pakai Pada Tiga Suhu Penyimpanan 54 Lampiran 5. Data Hasil Uji Organoleptik Bumbu Rendang Siap Pakai Kemasan Plastik... : $5 Lampiran 6. Persentase Jumlah Panelis di Setiap Tingkat Ketengikan Pada Bumbu Rendang Siap Pakai Kemasan Plastik... 55 Lampiran7. Hasil Uji Jonckhere Pada Bumbu Rendang Siap Pakai Kemasan Plastik: 56 Lampiran 8. Data Hesil Uji Organoleptik Bumbu Opor Siap Pakai Kemasan Plastik ......csnernse 37 Lampiran9. Persentase Jumiah Panelis di Setiap Tingkat Ketengikan Pada Bumbu Opor Siap Pakai Kemasan Plastik 37 ‘Lampiran 10. Hasil Uji Jonckhere Pada iz Bumbu Opor Siap Pakai Kemasen Piastik 38 Lampiran 11. Data Hasil Uji Organoleptik Bumbu Rendang Siap Pakai Kemasan Gelas 39 Lampiran 12. Persentase Jumlah Panelis di Setiep Tingkat Ketengiken Pada Bumbu Rendang Siap Pakei Kemasan Gelas 59 Lampiran 13, Hasil Uji Jonckhere Pada Bumbu Rendang Siap Pakai Kemasan Gelas. 60 Lampiran 14, Data Hasil Uji Orgenoleptik Bumbu Opor Siap Pakai Kemasan Gelas. 61 Lampiran 15. Persentase Jumlah Panelis di Setiap Tingkat Ketengikan Pada Bumbu Opor Siap Pakai Kemasan Gelas. 61 Lampiran 16, Hasil Uji Jonckhere Pada + Bumbu Opor Siap Pakai Kemasan Gelas 02 Lampiran 17. Data Hasil Uji TBA Pada Bumbu Rendang Siap Pakai 68 Lampiran 18. Data Hasil Uji TBA Pada Bumu Opor Siap Pakai 68 1. PENDAHULUAN indonesia merupakan negara yang kaya akan rempah-rempah, Sejak zaman Penjajahan Belanda, indonesia dikenal sebagei penghasil rempah-rempah yang memberikan keuntu wan yang besar bagi pihak penjajah, Hal ini dikarenakan nilai ekonomis dati rempah-rempah yang cukup ti ei Rempah-rempah sebagian besar digunakan untuk pembuatan bumbu_masak Rempah-rempah berfungsi untuk memperkuat dan memperkaya cita rasa dari behan pangan, Cita rasa yang diberikan rempah-rempah dapat berupa bau harum dan sedap atau berupa rasa sedap atau rasa tajam yang menyenangkan, yang dapat memberikan karakteristik pada bahan pangan tersebut Sejalan dengan berubahnya gaya hidup masyarakat menjadi masyarakat yang membutuhkan kepraktisan dan waktu singkat dalam menyajikan makanan, maka kebutuhan akan bumbu masak siap pakaipun meningkat. Selain itu mengkerutnya bumi dalam pengertian semakin mudahnya transportasi yang memudahkan orang, untuk berpindah tempat yang membawa serta budayanya termasuk cara memasal serta ketentarikan yang meningkat pada alternatit cara memasak, telah mempengaruht peningkatan permintaan bumbu masak siap pakai, Hal ini terlihat dari permintaan bumbu masak siap pakar vang meningkat dan tahun hetahun. yang tercermin pada disamkan pada peningkatan jumlah ekspor bumbu masak dan tahun 1998-2000 va Tabel | Jumilah Ekspor Bumbu Masak Tahun 1998-2000 Berat bersih (kg) | Nilai (US'S) 1998 | 1982568 * 3.844.930 [_ 1999 2.697 348 5096 890 2000 2976 283 6 250 404 Sumber: BPS (2000) Pada pembuatan bumbu siap pakai ini terdapat masalah-masalah yang sering, dihadapi. Salah satunya adalah masalah kerusakan yang disebabkan oleh proses oksidasi yang menyedabkan Ketengikan yang mempengaruhi daya simpan dai produk tersebut. Untuk me rangi masalah kerusakan tersebut _biasanya ditambahkan zat aditif misalnya antioksidan sintetik untuk menghambat timbulnya ketengikan akibat reaksi oksidasi. Sebenarnya dari bahan penyusun bumbu itu sendiri yaitu rempah-rempah terdapat antioksidan alami yang lebih aman untuk digunakan dibandingkan dengan antioksidan sintetik. Penggunaan antioksidan sintetik menurut Kikuzaki dan Nakatami (1993) kemungkinan dapat menimbulkan efek samping yang merugikan, diantaranya bersifat toksik. Sejauh ini informasi mengenai metode untuk mendeteksi ketengikan pada bumbu dirasakan kurang. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui ketengikan adalah metode Thio Barbituric Acid (TBA). Metode ini memiliki kelebihan yaitu dapat mengetahui Kketengikan pada bahan pangan berlemak tanpa harus mengekstrak fraksi lemaknya terlebih dahulu, sehi hal pengujian, Disamping memiliki kelebihan, metode ini pun memiliki kelemahan ga memudahkan dalam yaitu pereaksi TBA yang digunakan dapat bereaksi dengan senyawa lain selain hasil oksidasi, schingga hasil yang diperoleh menjadi tidak murni lagi sebagai ukuran untuk ketengikan, Dilatarbelakangi olch keadaan tersebut di atas maka penelitian ini bertujuan untuk mengkeji penggunaan metode TBA untuk mendeteksi ketengikan untuk menduga umur simpan bumbu masak siap pakai Il, TINJAUAN PUSTAKA A. BUMBU MASAK SIAP PAKAI Farrell (1990) mendefinisikan bumbu sebagai campuran yang terdiri atas beberapa rempah yang ditambahkan pada bahan pangan sebelum disajikan. Vail ef al, (1978), mendefinisikan bumbu sebagai beberapa bahan yang digunakan dalam jumlah yang sedikit yang ditambahkan pada behan pangen, Bahan-bahan yang, biasa digunakan untuk menyusun bumbu entara Iain rempah-rempab, garam, cuka, ekstrak flavour, dan flavour potentiator. Ekstrak flavour biasanya merupakan larutan minyak atsiri dalam etil alkohol. Istilah flavour potentiator menurut Winarno (1992), digunakan bagi bahan-bahan yang dapat meningkatkan rasa enak atau menekan rasa yang tidak diinginkan dari suatu bahan makanan. Bahan itu sendiri tidak atau sedikit mempunyai cita rasa, misalnya monosodium glutamat (MSG). Menurut Hanas (1994), bumbu adalah sesuatu yang ditambahkan pada bahan pangen sebelum disajikan, yaitu pada saat persiapan ataupun pembuatan. Bumbu dapat berupa komponen tunggal seperti rempah-rempah secara individual ataupun campuran yang komplek dari beberapa komponen, misalnya campuran dari komponen-komponen yang menghasilkan flavour. Istilah flavour menurst Apnyantono (1997), merupakan keseluruhan kesan yang diterima oleh indera manusia pada saat bahan pangan dikonsumsi atau kesan gabungan rasa dan bau, Rasa adalah kesan yang diperoleh indera (lidah), sedangkan bau adalah kesan yang diperoleh indera pembau (hidung). Fungsi bumbu menurut Farrell (1990), adalah untuk meningkatkan flavour alami dari bahan pangan, sehingge dapat meningkatkan tingkat penerimaan Konsumen, sedangkan Random House Dictionary dalam Farrell (1990), mendefinisikan istilah membumbui sebagai perbuatan untuk membuat bahan makanan yang disajikan menjadi lebih lezat dengan cara menambabkan beberapa bahan-bahan yang menghasilkan flavour. Menurat Wijayakusuma (1997), membumbui bahan pangan dengan rempah-rempah merupakan salah satu cara pengolzhan sehingga bahan pangan tersebut mempunyai cita rasa yang dapat diterima dan dapat menimbulkan selera dan kenikmatan, schingga dapat membantu proses pencernaan secara psikologis, Underriner (1994), menjelaskan ide umum pemberian bumbu adalah untuk memodifikasi suatu bahan pangan dengan cara menambahkan ramuan yang dapat memperkaya dan memberikan karakteristik berupa rasa dan bau tethadap bahan pangan tersebut. Secara tradisional bumbu dibuat dengan cara mengiris tipis, menumbuk kasar ataupun menghaluskan komponen-komponen penyusunnya, kemudian menumisnya dengan menggunakan minyak goreng (Runtuwene, 2000). Menurut Lee (1994), secara fisik bumbu masak siap pakai hasil olahan industri ibagi dua yaity bumbu yang berbentuk bubuk dan bumbu yang berbentuk cair, termasuk pasta, Menurut Rimbawan (1976), pasta merupakan produk emulsi yang bersifat plastis seperti mentega atau margarin, yaitu makanan yang berbentuk padat tetapi dapat dioleskan, Dijelaskan oleh Earle (1969), emulsi merupaken suspensi yang stabil dari suatu bahan cair di dalam bahan cair lain, bahan-bahan cair tersebut tidak bercampur. Komponen-komponen yang digunakan dalam pembuatan bumbu siap pakai olahan industri antara lain senyawa yang dapat menghasilkan flavour misalnya rempah-rempah, senyawa yang dapat memperkaya flavour misalnya garam dan monosodium glutamat, dari senyawa yang dapat memberikan warna, misalnya ekstrak dari hewan dan tumbuban Selain itu juga ditambahkan senvawa aditif misalnya antioksidan, dan pengawet yang berupa scnyawa antimikroba (Hanes. 1994). Farrell (1990), mendefinisikan rempah-rempah sebagai bahan yang dikeringkan, yang memiliki aroma atau cita rasa tertentu, yang merupakan tanaman atau bagian dari tanaman baik dalam bentuk utuh atau potongan, dan lebih berfungsi sebagai penyedap rasa dibandingkan dengan untuk meningkatkan nilai gizi suatu bahan pangan. American Spice Trade Assosiation's dalam Farrell (1990), menjelaskan secara lebih singkat mengenai istilah rempah yang diartikan sebagai produk tanaman kering yang digunakan untuk bumbu Rempah-rempah sebagai komponen pembentuk bumbu secara alami mengandung senyawa antioksidan. Kochhar dan Rossell (1990) yang dikutip oleh Darmini (1998), menjelaskan bahwa tidak kurang dari 30 jenis tanaman rempah-rempah menunjukkan sifat antioksidan, Beberapa senyawa antioksidan, (erutama fenolik, dari ekstrak berbagai rempah-rempah telah diidentifikasi. Hasil penelitian Darmini (1998), terhadap bumbu segar yaitu bumbu rendang, rawon, Bulai, opor, kari dan ayam goreng, menunjukkan bahwa bumbu-bumbu tersebut memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai yang berbeda-beda. Selain mengandung senyawa antioksidan, rempah-rempah juga mengandung senyawa antimikroba. Menurut Web dan Tanner (1945) yang dikutip oleh Triana (1998), aktivitas antimikroba rempah tergantung pada satu atau beberapa senyawa yang merupakan komponen minyak atsirinya, Hasil penelitian Triana (1998), terhadap bumbu segar olahan industri yaitu bumbu rendang, opor, kare, gulai, rawon, dan ayam goreng menunjukkan bahwa bumbu segar steril terbukti masih memiliki aktivitas antimikroba. Secara umum senyawa aktif yaitu senyawa mempunyai khasiat tertentu baik itu antioksidan, antimikroba ataupun yang lainnya dari beberapa rempah-rempah disajikan pada Tabel 2 ‘Tabel 2. Senyawa aktif dalam rempah-rempah f aki Sumber pestis Bawang merah | Allin, allisin ‘Sumarjono dan a __| Sosdono (1983) | Bawang putih Dialilsulfida, dialiltrisulfida, ~alil | Farrell (1990) | propil disulfida dan sejumlah hecil | | dietilsulfida, dialil polisulfida. allinin, t | allisin Retumbar inalool, Ga-pinen, B-pinen, a-B-| Farrell 1980) : terpenin, geraniol bemeol desilaldchida. asam asetat i i | Cabe merah Asam askorbat. _bioflavonoid. | Farrell (1990) 1 1 Karatenoid. kapsantin I [Tada Monoterpen. seskuiterpen Farell (1990) Jahe Zingiberen, —_kurkumin, filandren. | Muchtadi dan sgingerol, shogaol Sugiyono (1992) Daun salam Sineol, Hlinalool, eugenol, —metil | Farrell (1990) eugenal, geraniol, geranil, ester eugenil, L-a-terpinol, cepinen, — B- filandren Serai Sitral, geraniol Farrell (1990) Tengkuas Kamfer, galangi, galangol, eugenol, |Muchtadi dan kurkumin Sugiyono (1992) Pertimbangan terbaru mengenai Kesehatan, zat gizi dan ekologi telah meningkatkan permintaan konsumen terhadap sesuatu yang terbuat dari bahan alami. Hal itu juga terjadi pada permintaan produk bumbu masak siap pakai (Underriner, 1994), KERUSAKAN PADA BUMBU MASAK SIAP PAKAI Selama penyimpanan dan distribusi, bahan pangan terbuka terhadap kondisi Jingkungan di sckelilingnya, Faktor-faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, oksigen dan cahaya dapat memicu reaksi yang dapat menimbulkan kerusakan pada bahan pengan. Akibat dari reaksi tersebut, bahan pangan akan mencapai suatu titik, dimana konsumen akan menolak bahan pangan tersebut atau bahan pangan tersebut akan membahayakan orang yang mengkonsumsinya (Singh, 1994). Begitu pula pada bumbu masak siap pakai faktor yang berpengaruh pada kualitas bumbu adalah komposisi kimia, kelembaban, suhu penyimpanan, pengaruh cahaya dan oksigen (Underriner, 1994), Kerusakan pada bahan pangan termasuk pada bumbu masak siap pakai, dapat disebabkan oleh terjadinya perubahait kimia, fisik dan mikrobiologi Perubahan fisik dapat disebabkan oleh adanya kesalahan‘penanganan dari bahan pangan selama pemanenan. produksi dan distribusi Perubahan kimia dapat disebabkan oleh aksi enzim, reaksi oksidasi. terutama oksidasi lipid yang menyebabkan berubahnya flavour bahan pangan berlemak, dan reaksi pencoklatan non enzimatis yang menyebabkan perubahan pada penampakan, Perubahan ini melibatkan faktor internal berupa komponen dalam bahan makanan itu sendiri dan faktor eksternal yaitu lingkungan, Pada umumnya perubahan kimia terjadi selama proses produksi dan penyimpanan (Singh, 1994), Reaksi oksidasi merupakan masalah utama pada lemak atau bahan pangan berlemak. Oksidasi dapat menyebabkan perubahan pada flavour, aroma, warna dan kadang-kadang tekstur atau kekentalan suatu produk. Faktor-faktor yang mempengaruhi oksidasi bahan pangan mefiputi (i) suhu, (ii) cahaya, (ii) oksigen, (iv) logam berat, (v) pigmen, dan (vi) derajat ketidakjenuhan komponen lemak (Hanas, 1994) ‘Menurut Ketaren (1986), kecepatan oksidasi lemak yang dibiarkan di udara akan bertambah dengan kenaikan suhu dan berkurang dengan penurunan suhu Selanjutnya dijelaskan bahwa cahaya dapat mempercepat reaksi oksidasi, cahaya berpengaruh sebagai akselerator pada oksidasi konstituen tidak jenuh dalam Jemak. Selain itu juga dijelaskan bahwa reaksi oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak. Beberapa logam terutama yang mempunyai valensi dua atau lebih, misalnya Fe, Cu, Co, Mn, dan Ni umumnya dapat berfungsi sebagai katalisator dalam proses oksidasi. Logam-logam tersebut pada konsentrasi di bawah 100 ppm dalam lemak, masih mempunyai potensi yang cukup kuat sebagai katalis dalam proses oksidasi asam linoleat, linolenat atau metil esternya (Ketaren, 1986). Beberapa persenyawaan organik komplek seperti pigmen hematin merupakan katalis pada proses adisi oksigen ke dalam ikatan tidak jenuh dalam minyak. Persenyawaan hematin merupakan zat protein dan mempunyai aktivitas yang lebih besar sebagai katalisator oksidasi, dibandingkan dengan katalisator lainnya (Ketaren, 1986). Asam lemak pada umumnya bersifat semakin reaktif terhadap oksigen dengan bertambahnya jumlah ikatan rangkap pada rantai molekul, schingga semakin tinggi derajat Ketidakjenuhnya maka semakin mudah asam lemak tersebut teroksidasi. Derajat ketidakjenuhan lemak ditunjukkan oleh banyaknya ikatan rangkap pada rantai molekul asam lemaknya (Ketaren, 1986), Reaksi oksidasi merupakan suatu rantai reaksi radikal bebas. Mekanisme dari reaksi tersebut terdiri dari tiga tahap yaitu (1) inisiasi, (2) propagasi. dan (3) terminasi, Inisiasi merupakan reaksi_pembentukan radikal bebas, propagasi merupakan reaksi perubahan radikal bebas menjadi radikal yang lain, Terminasi merupakan reaksi yang melibatkan kombinasi dua radikal untuk membentuk produk yang lebih stabil (Gordon, 1990). Mekanisme dari tahapan reaksi oksidasi di atas dijelackan oleh Hamilton (1983) sebagai berikut: Inisiasi RH +0, SE, R* + *OOH (reaksi 1) RH MH YR + 4H (reaksi 2) Propagasi: R* +O; 4 ROO* (reaksi 3) ROO* + RH ———> ROOH + R* (reaksi 4) Terminasi: R* + R* ——_> RR (reaksi 5) ROO* + R* ——_» ROOR (reaksi 6) RH merupakan lipid tidak jenuh, R* merupakan radikal lipid dan ROO* merupakan radikal peroksida. Pada tahap inisiasi, radikal lipid diperoleh melalui (reaksi 1 dan 2) dengan keberadaan ketalis, Katalis yang dimaksud dapat berupa panas, cahaya atau radiasi energi tinggi, ion logam atau zat protein seperti hematin. Pada tahap propagasi di atas, yaitu pada (reaksi 4), dihasilkan hidroperoksida (ROOH). Hidroperoksida merupakan senyawa yang tidak berbau, tetapi bersifat labil sehingga dapat terpecah menjadi senyawa yang lebih kecil yang menyebabkan timbulnya bau tengik, Senyawa yang dihasilkan dari hidroperoksida ini antara Jain aldehid, alkohol dan hidrokarbon, Menurut Ketaren (1986), ketengikan terbentuk oleh aldehida bukan oleh peroksida Perubahan mikrobilogi disebabkan oleh pertumbuhan mikroba pada bahan pangan. Pertumbuhan mikroba tersebut akan menyebabkan —timbulnya pembusukan yang akan mengakibatkan munculnya karakteristik sensori yang tidak diinginken dan pada beberape kasus dapat menyebabkan bahan pangan ‘menjadi tidak aman untuk dikonsumsi (Singh, 1994). Selanjutnya dijelaskan oleh Muchtad: (1989). kerusakan sensori yang diakibatkan oleh mikroba dapat berupa lendir, busa dan lain-lain, Mikroba pelunakan, terjadinya asam, terbentukny: yang dapat menyebabkan Kerusakan pada bahan pangan antara lain. bakteri, kapang dan khamir. Bakteri yang terdapat dalam bahan pangan mempunyai ukuran sangat kecil, yaita sebagian besar mempunyai ukuran panjang sel satu sampai beberapa mikron (1 mikron = '/jog9 mm). Khamir mempunyai ukuran panjang sel 20 mikron, Kapang berukuran lebih besar dan lebih kompleks. Kapang tumbuh seperti buku rambut yang disebut mycelia dan pada ujungnya berbentuk seperti buah yang disebut conidia dan mengandung spora kapang. Misalnya kapang hitam pada roti, warna merah jingga pada oncom, atau warna putih dan hitam pada tempe yang disebabkan oleh warna conidia atau sporanya Menurut Singh (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba antara lain, suhu, air, gas seperti oksigen dan karbondioksida, dan pH. Menurut Muchtadi (1989), bakteri, khamir dan kapang senang akan keadaan hangat dan lembab. Suhu pertumbuhan untuk setiap bakteri berbeda-beda Kapang dan khamir mempunyai suhu optimum untuk pertumbuhannya pada subu 25-30°C atau suhu kamar. Beberapa bakteri dan semua kapang membutuhkan oksigen untuk tumbuh (Muchtadi, 1989). Pembusukan oleh mikroba timbul akibat adanya absorpsi atau kontaminasi Absorpsi tersebut dapat diminimisasi dengan penyimpanan dingin, transportasi yang, baik, pengemasan yang hati-hati dan sterilisasi (Hamilton, 1983). Menurut ‘Muchtadi (1989) untuk menghilangkan atau mengurangi aktivitas biologis yang tidak diinginkan dalam bahan pangan, seperti aktivitas enzim dan mikrobiologis, dapat digunakan pengolahan dengan suhu tinggi, Salah satu pengolahan suhu tinggi yang dapat digunakan adalah sterilisasi ANTIOKSIDAN DAN ANTIOKSIDAN ALAMI 1. Antioksidan Antioksidan dalam industri bahan pangan mempunyai_berbagai kegunaan diantaranya antioksidan dapat memperpanjang umur simpan dati bahan pangan, mengurangi Kehilangan nutrisi seperti vitamin yang tarut dalam minyak, miselnya vitamin A yang rentan terhadap oksidasi Selain itu antioksidan dapat memberikan peluang penggunaan lemak dan minyak yang lebih besar dalam teknologi pangan (Coppen. 1983) Menurut Winarno (1992) adanya antioksidan dalam lemak akan menghambat dan mengurangi kecepatan reaksi oksidasi, Nawar (1985), menjelaskan bahwa antioksidan dapat _menunda terjadinya reaksi oksidasi atau memperlambat kecepatan reaksi oksidasi yang terjadi pada bahan yang dapat teroksidasi, Akan tetapi antioksidan tidak dapat memperbaiki minyak yang telah mengelami ketengikan karena antioksidan ini bekerja pada saat sebelum terjadinya ketengikan (Coppen, 1983). .Menurut Hamilton (1983), oksidasi_ dapat dihambat dengan menambahkan antioksidan pemutus rantai (AH) pada konsentrasi yang rendah yang dapat terlibat pada tahap propagesi. Selain antioksidan pemutus rantai terdapat juga antioksidan pencegah, yang bekerja dengan cara mengurangi kecepatan rantai inisiasi, Kedua jenis antioksidan tersebut dapat digunakan secara bersamaan untuk memberikan fungsi yang sinergis. Jika antioksidan pemutus rantai dan pencegah digunakan secara bersamaan, rantai inisiasi dan propagasi keduanya dapat dihambat Inglod dalam Gordon (1990), mengklasifikasikanantioksidan berdasarkan mekanisme menjadi dua yaitu antioksidan primer dan antioksidan sekunder. Antioksida primer atau disebut juga antioksidan pemutus rantai reaksi oksidasi merupakan antioksidan yang dapat bereaksi dengan radikal lipid dan mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil Antioksidan sekunder atau disebut juga antioksidan pencegah merupakan antioksidan yang dapat mengurangi kecapatan dari rangkaian reaksi pada tahap inisiasi dari reaksi oksidasi (reaksi 1 dan 2), dengan berbagai mekenisme. Selanjutnya Gordon (1990) menjelaskan suatu molekul dapat disebut antioksidan primer, jika molekul tersebut dapat memberikan sumbangen atom hidrogen secara cepat pada radikal lipid dan jika radikal yang diturunkan dari antioksidan (A*) lebih stabil dibandingkan dengan radikal lipid atau dapat diubah menjadi produk lain yang lebih stabil (reaksi 7), Sieg ae eng ta (reaksi 7) Antioksidan primer yang biasa digunakan pada industri bahan pangan adalah senyawa penol seperti Buluted hydroxyanisole (BHA), Buivlated hydroxytoluene (BHT). Propylgallae (PG) dan Burylated hydroquinone (TBHQ). Komponen-komponen tersebut merupakan antioksidan sintetik yang dapat kehilangan efisiensinya pada temperatur tinggi (Hamilton, 1983). Antioksidan primer dapat berupa antioksidan alami seperti tokoferol. lesitin, fosfatida, sesamol, gosipol dan asam askorbat (Winarno, 1992). Hamilton (1983), menjelaskan reaksi penghambatan antioksidan primer (AH) pada tahap propagesi dari reaksi oksidasi sebagai berikut: ROO*+AH———* — ROOH + A* (reaksi 8) A*+ROO* ——> } produk non radial At+A* = ——+ Seperti dikemukakan sebelumnya, menurut Nawar (1985), pada tahap propagasi radikal lipid (R*) yang dihasilkan dari tahap inisiasi akan bereaksi u dengan oksigen (0) menghasilkan radikal peroksida (ROO*) yang selanjutnya bereaksi dengan molekul lipid (RE) menghasilkan hidroperoksida (ROOH) dan radikel lipid (R*) yang selanjutnya akan beraksi kembali dengan oksigen, sehingga reaksi ini disebut reaksi berantai, Skema dari tahap propagasi tersebut, yang menghasilkan hidroperoksida disajikan pada Gambar 1 On INISIASI ROO PROPAGASI RH ROOH hidroperoksida ‘Gambar 1. Skema pembentukkan hiroperoksida pada reaksi oksidasi S(Nawar, 198 Menurut Gordon (1990), radikal peroksida (ROO*) yang merupakan agen penvebab oksidasi dapat dengan mudah direduksi menjadi anionnya dan selanjutnya diubah menjadi hidroperoksida oleh elektron donor (reaksi 9), atau dapat secara langsung diubah menjadi hidroperoksida oleh sebuah elektron donor yang dapat merupakan antioksidan (AH) (reaksi 8), sehingga pembentukkan radikal lipid (R*) akan terhambat yang menyebabkan rantai tahap propagasi terputus yang pada akhirnya akan menghambat pembentukkan hidroperoksida (ROH). Root —* , Roo’, ROOH (reaksi 9) Menurut Hamilton (1983), antioksidan sekunder bekerja dengan cara meng-inaktifasi ion logam yang dapat mengkatalis rantai inisiasi, yang termasuk antioksidan jenis ini antara lain asam sitrat dan asam askorbat, Beberapa antioksidan sekunder dapat pula mengabsorbsi radiasi_tanpa membentuk radikal, Penil salisilat dan hidrobenzopenon merupakan contoh UV deaktivators. Keefektifan dari antioksidan berhubungan dengan banyak faktor meliputi energi aktivasi, kostanta kecepatan reaksi, potensial oksidasi reduksi, kemudahan aktioksidan untuk hilang atau rusak dan sifat-sifat kelarutannya (Nawar, 1985), Menurut Gordon (1990), efektivitas dari antioksidan tergantung pada beberapa faktor termasuk struktur, kondisi oksidasi dan bahan yang dioksidasi, Seringkali aktivitas dari antioksidan yang berupa senyawa penol hilang pada konsentrasi tinggi dan antioksidan itu dapat menjadi prooksidan . Antioksidan Alami Senyawa antioksidan alami pada umumnya merupakan kelompok penolik atau polipenolik dari sumber tanaman, Antioksidan alami yang paling umum adalah flavonoid (flovanol, isoflovanol, flavon, katekin dan flavanon), derivat asam sinamet, kumarin, tokoferol dan asam organik polifungsional (Pratt dan Hudson, 1990). Antioksidan alami dalam makanan dapat berisal dari (a) senyawa endogeneus dari satu atau lebih komponen bahan pangan, (b) substansi yang terbentuk dari reaksi selama pengolahan. dan (c) bahan tambehan yang duisolasi dari suber alami Beberapa sumber antioksidan alami yang umum dapat dilhat pada Tabel 3. Antioksidan alami dapat berfungsi dengan satu atau lebih cara yaitu sebagai senyawa pereduksi, sebagai penghambat radikal bebas, sebagai pengkomplek logam prooksidan, dan sebagai penekan oksigen singlet (Pratt dan Hudson, 1990). Menurut Gordon (1990), oksigen singlet merupakan bentuk oksigen yang sanget reaktif dan dapat dengan cepat bereaksi dengan molekul lipida untuk memulai reaksi rantai oksidasi. * Salah satu tanaman yang mengandung antioksidan alami adalah rempah- rempah. Menurut Schuler (1983), rempah-rempah mempunyai nilai komersial sebagai antioksidan, Pengaruh yang menguntungkan dari rempab-rempah tersebut terhadap lemak telah diketahui sejak bertahun-tahun yang lalu Rempah-rempah sering ditambahkan pada produk daging dan bahan-bahan yang dipanaskan, juga pada bahan pangan lain yang diawetkan, ‘Tabel 3. Sumber-sumber antioksidan alami *) lenis tinamanbaben ene taamabahan 7 Alga Macam-macam lada Ekstrak tanaman Rempah-rempah dan tanaman bumbu_ Sereal Bawang merah dan bawang putih Hidroksisat pati Legume Produk coklat Zaitun Resin Biji-bijian berminyak Sitrus, *) Pratt dan Hudson (1990) Efektivitas antioksidan dari rempah-rempah tidak hanya tergantung pada jenis dan kualitas rempah-rempah, tetapi juga pada kondisi penyimpanan. Berbagai laporan penelitian menyebutkan bahwa akti antioksidan dari rempah-rempah bervariasi pada rentang yang lebar. Keberadaan cahaya mempengaruhi sebagian besar rempah-rempah sehingga akan merubah efek antioksidannya menjadi prooksidan Ak ‘as antioksidan alami dari beberapa rempah-rempah_menurut Sumardi (1992), dinyatakan dengan nil p. Fp merupakan faktor protektif yaitu perbandingan antara waktu oksidasi emulsi_ yang ditambahkan antioksidan dengan waktu oksidasi emulsi tanpa antioksidan. Berikut adalah aktivitas antioksidan dari beberapa remaph-rempah yang disajikan pada Tabel 4 Tabel 4. Abtivitas antioksidan beberapa rempah-rempah Sens rempab [Fp FoR? Bawang merah | 2.45 | 0.30 Bawang putih_|_3.89 | 0.59 Kemiri 2.78 0.42 Ketumbar 2.16 [0.38 ‘Cabe merah 4.91 | 0.65 Tada putih 3.44 [054 Jahe 277 0.38 Daun salam | 1.83 | 031 Serai 232 | 0.31 *)perbandingan Fp sampel dengan Fp BHT (Butylaled hydroxytoluene) Sumber : Sumardi (1992) 14 D. METODE UNTUK MENGETAHUI TERJADINYA PROSES OKSIDASI ‘Uji yang paling utama untuk mengukur ketengikan adalah Uji Organoleptik yang bersifat subjektif. Hal ini dikarenakan ketengikan merupakan penyimpangan flavour dari suatu bahan, dimana jika bahan itu dirasakan oleh indera manusia tengik, maka bahan itu dinyatekan tengik. Namun selain Uji Organoleptik dibutuhkan pula pengukuran secara objektif terutama pada industri pangan. Pengukuran secara objektif ini dibutuhkan untuk mengontrol kualitas suatu bahan pangan berlemak yang akan dikeluarkan dari pabrik, juga untuk memastikan kondisi suatu lemak yang akan digunakan pada proses selanjutnya (Rossell, 1983), Menurut Ketaren (1989), uji ketengikan minyak secara kualitatif dan kuantitatif dilekukan dengan mendeteksi senyawa-senyawa yang menimbulkan bau tengik dalam minyek misalnya aldehida, keton dan peroksida yang dapat menguap. Macam-macam uji ketengikan antara lain Uji Kreis, Issoglio, Schiff Lea dan Uji Thio Barbituric Acid (TBA) Uji Kreis merupakan uji yang berprinsip. kepada reaksi kondensasi antara ephydrin-aldehida dengan phloro glusinol, sehingga menghasilkan warna merah Jambu. Ephydrin-aidehida merupakan hasil dekomposisi.perokside Peroksida tersebut terbentuk arena oksidasi asam lemak tidak jenuh dalam minyak (Ketaren, 1989), Uji Issoglio mempunyai prinsip yang sama dengan penentuan bilangan Reichert-Meissl, yang bertujuan untuk menguji senyawa keton dan aldehida yang dapat menguap secara kuantitatif. Senyawa keton dan aldehida yang dihasilkan dari oksidasi lemak merupakan salah satu penyebab bau tengik dalam minyak (Ketaren, 1989) Uji Schiff bertujuan untuk menentukan jumlah aldehida yang dihasilkan dan dekomposisi ikatan tidak jenuh dalam asam lemak. Uji ini menggunakan larutan fuchsin yang berikatan dengan SO:, Warna ungu larutan fuchsin akan hilang jika berikatan dengan SOz. Jika larutan fuchsin SO, bereaksi dengan aldehida, maka SO, dalam fuchsin diikat oleh aldehida schingga fuchsin membebaskan SO; dan larutan berwarna ungu kembali (Ketaren, 1989), 1s Uji Lea digunaken untuk menentukan secara langsung kadar aldehida dalam lemak. Aldehida direaksikan dengan persenyawaan Na-bikarbonat, kemudian asi dengan iodium. Prinsip dari uji ini ditentukan oleh jumlah iod dalam KI yang dibebaskan oleh peroksida. lod bebas diikat dengan larutan Na-thiosulfit. Bilangan peroksida dinyatakan dengan jumlah ml Na-thiosulfit 0,002 N yang dibutubkan untuk mengikat Iz bebas dalam setiap satu gram lemak yang dianalisis (Ketaren, 1989) Uji Thio Barbituric Acid (TBA) didasarkan atas terbentuknya pigmen berwarna merah sebagai hasil dari reaksi kondensasi antara dua molekul TBA dengan satu molekul malonaldehida. Persenyawaan malonaldehida secara teoritis dapat dibasilkan oleh pembentukkan di-peroksida pada gugus pentadiena yang disusul dengan pemutusan rantei molekul atau dengan cara oksidasi lebih lanjut 2-enol yang dihasilkan dari penguraian monohidro peroksida. Nawar (1985) menjelaskan bahwa malonaldehida terbentuk dari penguraian senyawa peroksida yang mempunyai lebih dari dua buah ikatan rangkap (reaksi 10). Malonaldehida tersebut dapat bereaksi dengan pereaksi TBA membentuk persenyawaan berwama merah (reaksi 11), wor a oO Mad | C-C-Che-c-¢}- c=c-c=c~ ‘oF oF t GaGak Fro-G Cm ere f o 0 Malonaldehida (reaksi 10) 16 us LAN -cg +2 OF cio] WN 3c Malonaldchida Sc 1 6 8 é a vt Komplek TBA-malonaldehida Menurut Ketaren (1986), kelebihan dari Uji TBA dibandingkan dengan metode yang lainnya adalah uj i dapat digunakan langsung untuk menguji Jemak dalam suatu bahan tanpa harus mengekstraksi fraksi lemaknya terlebih dahulu. Kelemahan dari uji TBA ini adalah adanya kemungkinan beberapa persenyawaan selain hasil oksidasi lemak berupa asam akan tersuling bersama dengan uap dan selanjutnya terhadap destilat dilakukan uji TBA. Telah diketahui pula bahwa asam Thiobarbituric bersifat tidak stabil dan mengalami dekomposisi di bawah Kondisi pengujian (yaitu dengan adanya pemanasan dan asam keras), terutama kerena adanya peroksida, Hasil degradasi tersebut mempunyai warna yang sama (diabsorbsi dengan panjang gelombang yang sama) dengan kompleks TBA-malonaldehida FE. UMUR SIMPAN Umur simpan adalah jangka waktu antara saat produk mulai dikemas sampai produk tersebut digunakan, dimana pada saat digunakan mutu produk tersebut masih dapat diterima oleh penggunanya (Hine, 1987). Menurut Ellis (1994), umur simpan adalah waktu antara saat bahan pangan diproduksi dan dikemas, sampai saat produk tidak dapat diterima lagi pada kondisi lingkungan, imana produk tersebut digunakan, ‘Umur simpan suatu produk ditentukan oleh tiga faktor yaitu, karakteristik produk, lingkungan dimana produk berada selama penyimpanan dan karakteristik Kemasan yang digunakan (Ivory, 1994). Menurut Desrosier (1988), faktor yang mempengaruhi stabilitas penyimpanan bahan pangan meliputi, jenis dan kualitas bahan baku yang digunakan, metode dan keefektifan pengolahan, jenis dan keadaan pengemasan, perlakuan mekanis yang dilakukan terhadap produk yang dikemas selama distribusi dan penyimpanan, dan pengaruh yang ditimbulkan ofeh suhu dan kelembaban penyimpanan, Selanjutnya dijelaskan oleh Desrosier (1988), bahwa setiap jenis bahan pangan yang berada dalam kondisi yang baik mempunyai potensi untuk disimpan. Potensi ini dapat hilang oleh perlakuan mekanis yang cukup berat, pengemasan yang tidak memadai, dan kondisi penyimpanan yang jelek. Untuk mencegah hilangnya potensi tersebut diperlukan pemilihan jenis dan kondisi pengolahan yang sesuai, pengemasan dan penyimpanan yang tepat schingga dapat benar-benar melindungi dan mempertahankan kualitas yang dikehendaki Menurut Syarief, ef al, (1989), secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah sebagai berikut: a. Keadaan alamiah atau sifat bahan pangan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan kimia dan fisik b. Ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume c. Kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban) di mana kemasan dapat bertahan selama distribusi dan sebelum digunakan d. Ketahanan kescluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas dan bau, termasuk dari perekatan, penutupan dan bagian-bayian yang terlipat Menurut Ellis (1994), penentuan umur simpan suatu produk dapat dilakukan dengan mengamati produk tersebut selama penyimpanan sampai_terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen, Selanjutnya Syarief. er al, (1989), menjelaskan bahwa penentuan umur simpan bahan pangan dapat diketahui dengan metode konvensional, metode akselerasi kondisi penyimpanan (verformance method) dan metode nilai waktu paruh, Metode konvensional dilakukan dengan pengemasan produk dengan berat yang sama dan disimpan pada tempat dan kondisi suhu 25°C-30°C serta RH 50%. Pengamatan dilakukan setiap selang waktu tertentu untuk mengetahui perubahan mutu yang terjadi selama penyimpanan. Metode akselerasi merupakan metode pendugaan umur simpan dengan cara mempercepat kerusakan pada bahan pangan dengan mengubah kondisi penyimpanan dari kondisi normal. Kondisi penyimpanan yang umum diubah 18 adalah suhu. Kenaikan suhu dapat mempercepat berbagai macam kerusekan yang ‘memperpendek umur simpan dari bahan pangan (Syarief, ef al, 1989). Metode nilai paruh waktu adalah suatu metode yang menggunakan nilai paruh waktu. Nilai paruh waktu pada metode ini didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan oleh kadar air bahan pangan yang dikemas untuk bergerak separuh jalan antara kadar air awal hingga kadar ait yang akan diperoleh bila kKesetimbangan dengan kondisi penyimpanan telah tercapai (Syarief, 7 al, 1989) Syarief dan Halid (1991) menyatakan bahwa penurunan mutu makanan sangat menentukan umur simpannya, Untuk menganalisis penurunan mutu diperiukan beberapa pengamatan terhadap parameter-parameter yang dapat diukur secara kuantitatif dalam bentuk pengukuran kimiawi, uji organoleptik, uj kadar vitamin C, skor uji cita rasa, tekstur, warna, total mikroba dan sebagainya (Syarief dan Halid, 1993), Menurut Desrosier (1988), untuk menetapkan daya simpan suatu bahan pangan diperlukan data yang berkenaan dengan perubahan warna, bau, cita rasa, tekstur, zat gizi, kadar air, Keapekan, ketengikan, dan seluruh perubaban yang mempengaruhi tingket penetimaan produk oleh konsumen, F, KEMASAN Kemasan memegang peranan penting dalam pengawetan bahan hasil Pertanian. Kemasan yang tepat dapat membantu mencegah atau mengurangi Kerusakan, melindungi bahan pangan yang ada di dalamnya dari bahaya Pencemaran serta gangguan fisik (gesekan, benturan, getaran) (Syarief, ef al.,1989), Menurat Syarief dan Irawati (1983), pengemasan pada umumnya bertujuan untuk menghindari kerusakan yang disebabkan oleh mikroba, fisik, kimia, biokimia, perpindahan uap air dan gas, sinar UV dan perubahan subu. Kemasan memegang peranan penting dalam mempertahankan mutu baka. Fungsi kemasan antara lain a. Wadah untuk menempatkan produk dan memberi bentuk sehingga memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi b. Memberi perlindungan terhadap mutu produk dari kontaminasi Iuar dan kerusakan 19 ¢. Iklan atau promosi untuk menarik Konsumen supaya mau membeli (Syarief dan Irawati,1988) Tenis kemasan yang dapat digunakan untuk makanan berlemak adalah wadah gelas, kertas, plastik dan kaleng (Ketaren ,1986), Menurut Winarno et al.,(1980), jenis plastik yang umum digunakan dalam pengemasan bahan pangan adalah selofan, selulosa asetat, poliamida (nilon), keret hidrokhlorida (polifilm), poliester, polietilena, polipropilena, polistirena, polivinildienakhlorida, dan vinil khlorida, Jenis kemasan plastik yang sering digunakan untuk mengemas bumbu masak siap pakai adalah polipropilen (PP). Menurut Syarief dan Irawati (1988), polipropilen termasuk jenis plastik olifein, lebih kaku dari polietilen, memiliki kekuatan tarik dan kejernihan lebih baik dari polietilen, serta permeabilitas uap air rendah, Suhu leleh polipropilen sekitar 150°C, sehingga dapat digunakan untuk kemasan yang memerlukan steriisasi dan kemasan produk yang dapat dipanaskan langsung di oven atau direbus. Selain dikemas dengan kemasan plestik, bumbu masak siap pakai sering pula dikemas dengan wadah gelas. Syarief ef af., (1989), menyatakan wadah gelas merupakan kemasan dengan komponen utama pasir silika (SiO,) dan soda abu (NazCOs) yang dalam pembakaran suhu tinggi berubah menjadi NaxO, yang menyebabkan wadah gelas tampak jemnih Sifat-sifat umim dari wadah gelas adalah sebagai berikut + Bersifat tembus pandang (transparan) sehingga dapat dimamfaatkan untuk tujuan komersial guna merangsang konsumen untuk membeli, tetapi sifet tembus pandang ini kurang menguntungkan bagi bahan pangan yang peka terhadap cahaya + Kedap terhadap semua gas, sehingga dapat mencegah kontaminasi bau + Bersifat inert (tidak bereaksi), I. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN 1. Rempah-rempah Rempah-rempah yang digunakan terdiri atas cabe merah, bawang merah, bawang putih, lengkuas, jahe, kemiri, ketumbar, lada, sereh, daun salam, daun kunyit dan daun jeruk purut. Keseluruhan rempah-rempah tersebut diperoleh dari Pasar Anyar dalam keadaan segar. Kemasan Kemasan yang digunakan terdiri atas plastik PP dengan ketebalan 0.08 mm, panjang 15 cm, lebar 10 cm dan wadah gelas bermulut lebar dengan tinggi 9.31 om, diameter badan 6.31 cm, tinggi tumit 1.71 em, tinggi ruang tabel 5.25 cm, diameter bahu 4.91 cm dan volume 100 ml. Gambar kemasan plastik dan wadah gelas disajikan pada Gambar 2. Sketsa wadah gelas beserta dimensinya disajikan pada Lampiran 1. Plastik PP diperoleh dari Toko Aneka Plastik, Pasar Anyar, sedangkan wadah gelas diperoleh dari Toko bahan kimia Frisconina, Warung Jambu, Gambar 2. Kemasan plastik PP dan wadah gelas 21 Bahan kimia Bahan kimia yang digunakan adalah HCI, TBA (Thiobarbiturie Acid) dan asam asetat glasial, Bahan-bahan tersebut digunakan untuk analisis TBA, 4, Bahan lain Bahan lain yang digunakan adalah aquades untuk membuat Jarutan dan minyak goreng nabati “Tropical” untuk menumis. B. ALAT lat yang digunakan dalam penelitian ini adalah grinder dengan diameter grinding 8 cm dan digerakan dengan motor berbahan bakar bensin serta dapat digunakan secara otomatis. Alat lain yang digunakan adalah sealer, rotary knife cutter merk Philips dengan tenaga penggerak listrik yang dapat digunakan secara otomatis, kompor gas merk Hitachi, penggorengan teplon, otoklaf, oven, alat destilasi, pipet volumetrik, pipet mohr, gelas piala, timbangan, hotplate, spektrofotometer Milton Roy 20 D dan labu ukur. Gambar grinder disajikan pada Gambar 3, sedangkan gambar rotary knife cutter disajikan pada Gambar 4. Gambar 3. Grinder 2 Gamba 4. Rotary knife cutter Cc. METODE 1. Penentuan peubah pada proses pembuatan bumbu masak siap pakai a Penentuan alat pengecil ukuran Pada penelitian ini digunakan dua buah alat pengecil ukuran yaitu grinder dan rotary knife cutter. Selanjutnya dilihat waktu yang dibutuhkan untuk melakukan proses pengecilan dan mutu produk berupa Kehalusan. Alat yang menghasilkan wakt proses paling cepat dan Kehalusan produk yang sesuai dengan yang umum ada di pasaran, ‘merupakan alat yang akan digunakan pada penelitian selanjutnya Penentuan waktu penumisan dan proporsi minyak goreng untuk menumis Waktu menumis yang digunakan pada penclitian ini adalah 15 menit dan 20 menit, Penumisan dilekukan dengon menggunakan penggorengan teflon dengan ukuran diameter atas + 30 cm, diameter bawah + 15 cm dan tinggi + 9 cm. Sumber panas yang digunakan untuk menumis adalah kompor gas merk Hitachi 3000 Kal, dengan besar api 23 pada skala 1. Waktu penumisan yang menghasilkan bau khas bumbu yang paling nyata, merupakan waktu penumisan yang akan dilakukan pada penelitian selanjutnya, Proporsi minyak goreng yang digunakan untuk menumis adalah sebanyak 37 % (“/) dan 30 % ("h). Hal ini didasarkan pada cara penumisan dengan menggunakan minyak goreng yang umum dilakukan, Proporsi minyak goreng yang memberikan penampakan yang paling baik akan digunaken pada penelitian selanjutnya. Penampekan yang diinginkan adalah penampakan yang umum dari bumbu yang sudah ditumis, yaitu tidak terlalu kering atau pun terlalu banyak minyak, Penentuan jumiah lapisan pada kemasan plastik Pada kemasan plastik diujikan dua cara pengemasan. Cara pertama, bumbu masak siap pakai dikemas dengan satu lapis kemasan plastik PP. Cara kedua, bumbu masak siap pakai dikemas dengan dua lapis kemasan plastik PP. selanjutnya dilihat adanya kapang yang tumbuh dengan kasat mata, Cara pengemasan yang memuiigkinkan waktu yang paling lama untuk tumbuh kapang akan digunakan pada penelitian selanjutnya. Penentuan waktu sterilisasi Waktu sterilisasi yang dilakukan terdiri dari 15 menit dan 30 menit Sterilisasi dilakukan dengan menggunakan autoclave. Pada penentuan waktu sterilisasi ini akan dilihat efek dari waktu sterilisasi tersebut terhadap pertumbuhan kapang pada bumbu siap pakai sclama penyimpanan, secara kasat miata, Waktu sterilisasi yang memberikan efek pertumbuhan yang paling lambat, akan digunakan pada penelitian selanjutnya. Penyimpanan dengan Metoda Akselerasi Sebagian besar Metoda Akselerasi didasarkan pada kenaikan suhu penyimpanan. Kenaikan suhu penyimpanan akan mempercepat proses- roses penuaan, termasuk reaksi oksidasi yang menyebabkan ketengikan (Ellis, 1994), Pada penelitan ini digunakan tiga suhu penyimpanan yaitu 24 30°C, 40°C, dan 50°C. Selanjutnya akan dilihat efek dari ketiga suhu tersebut terhadap bilangan TBA. 2. Penggunaan Uji TBA pada bumbu mask siap pakai Pada tahap ini dilihat apakah uji TBA dapat dipergunakan sebagai indikator penduga umur simpan dari bumbu masak siap pakai, Bumbu masak siap pakai yang digunakan adalah bumbu rendang dan bumbu opor. Bumbu rendang dan bumbu opor tersebut diproses menjadi bumbu rendang dan bumbu opor siap pakai, selanjutnya disimpan pada suhu 30°C dan diamati Pengamatan yang dilakukan meliputi uji TBA dan uji organoleptik. D. PROSEDUR 1. Persiapan Bumbu Pembuatan bumbu opor dan bumbu rendang dilakukan dengan mempersiapkan formula bumbu. Formula bumbu ditentukan berdasarkan hasil penelitian Darmini (1998) yaitu formulasi hasil survei di Pasar Anyer, yang dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6. Tabel 5. Komposisi bumbu rendang [Jenis‘Rempahys [Cabe Bawang merah Bawang putih Tengkuas Tahe Kemint Ketumbar ‘Bumbu campur*) Total *) Camparan sereh, daun salam, daun kunyit dan daun jeruk Sumber: Darmini (1998) ny ‘Tabel 6. Komposisi bumbu opor ‘Bawang merah Bawang putih Tengkuas Tahe Kemirt Ketumbar 32 Tada 28 Total 100 Sumber: Darmini (1998) Setelah persiapan formulasi, selanjutnya rempsh-rempah untuk masing- masing bumbu dikupas dengan menggunakan pisau dan dicuei dengan air. Setelah itu bahan selain bawang merah, bawang putih, kemiri, ketumbar dan Jada, diiris setebal + 1 cm dengan menggunakan pisau, kemudian digiling atau dikecilkan ukurannya dengan grinder dan ditumis selama 20 menit dengan menggunakan minyak goreng sebanyak 30 % ("/,). Setelah digiling dan ditumis, selanjutnya bumbu dikemas, Pengemasan. sterilisasi dan penyimpanan Pengemasan dilakukan pada saat bumbu masih dalam keadaan panas. Kemasan yang digunakan terdiri dari 2 jenis yaitu kemasan plastik dan wadah gelas. Kemasan platik yang digunakan aadalah plastik PP sebanyak dua lapis untuk tiap kemasan, Wadah gelas yang digunakan direbus dengan air mendidih selama 30 menit dan digunakan pada saat mesih panas. Pengemasan dengaa plastik dilakukan pada saat bumbu masih panas, kemudian di-seal dengan menggunakan sealer. Setelah dikemas bumbu masak siap pakai selanjutnya disterilisasi pada subu 121°C selama 30 menit, dan kemudian disimpan dalam oven suhu 30°C. Diagram alir proses pembuatan bumbu siap pakai sampai penyimpanan disajikan pada Gambar 5, Penggilingan dengan grinder Penumisan selama 20 menit Sterilisasi selama 30 menit Penyimpanan dan Pengamatan Gambar 5. Diagram alir proses pembuatan bumbu masak siap pakai . Cara pengambilan sampel dan ulangan Sampel diambil secara acak, sebahyak dua kali ulangan. Masing- masing ulangan diuji TBA secara duplo dan diuji orgnoleptik. Analisis Analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut: a. Bilangan Thiobarbituric Acid (TBA) (Apriyantono et al., 1989) Bahan ditimbang sebanyak 10 gram dengan teliti lalu dimasukkan ke dalam waring blender, ditambahkan 50 ml aquades dan dihancurkan selama 2 menit. Sampel dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu destilasi sambil di cuci dengan 47.5 ml aquades, Ditambahkan + 2.5 ml HCI 4M sampai pH menjadi 1.5. Kemudian ditambahkan_batu didih dan pencegah buih (anti foaming agent) secukupnya dan dipasangkan labu destilasi pada alat destilasi. Destilasi dijalankan dengan pemanasan tinggi sehingga diperoleh 50 nl destilat selama 10 menit pemanasan, Destilat yang diperoleh diaduk merata, kemudian 5 ml destilat dipipet ke dalam tabung reaksi bertutup. 27 Ditambahkan 5 ml pereaksi TBA, ditutup dan dicampur merata lau Gipanaskan selama 35 menit dalam air mendidih, Dibuat blanko dengan menggunakan 5 ml aquades dan 5 ml pereaksi, lakukan seperti pada penetapan sampel. Tabung reaksi didinginkan dengan pendingin selama + 10 menit, kemudian diukur absorbansinya (D) pada panjang gelombang 528 nm dengan Jarutan blanko sebagai titik nol. Digunakan sampel sel berdiameier 1 cm. Bilangan TBA dihitung dan dinyatakan dalam mg malanoldehid per kg sampel, Bilangan TBA = 7.8 D. b. Uji Organoleptik (Soekarto, 1990) Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah uji mut hedonik terhadap parameter ketengikan dengan menggunakan 25 panelis semi terlatih, Pada pengujian ini digunakan 6 skala tingkat ketengikan. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan tingkat sensitifitas pengujian. Skala yang digunakan adalah : 1 : sangat tengik 2 : tengik 3 : agak tengik 4: agak tidak tengik 5: tidak tengik 6 : sangat tidak tengik Formulir selengkapnya dari uji organoleptik disajikan pada Lampiran 2 5. Pengolahan Data a. Bilangan TBA Hasil pengamatan bilangan TBA disajikan dalam bentuk grafik hubungan antara bilangan TBA dan waktu pengamatan, Sclanjutnya grafik tersebut dibandingkan antara jenis bumbu dan jenis kemasannya. 28 b. Uji Organoleptik Data hasil Uji Organoleptik yang menggunakan 6 skala tingkat ketengikan, diolah lebih lanjut menjadi 3 skala tingkat ketengikan, yaitu : 1. tengike agak tengik 3. tidak tengik. Kemudian dihitung persentase jumlah panelis yang menyatakan setiap tingkat ketengikan selama penyimpanan. Hasil persentase tersebut disajikan dalam bentuk grafik batang hubungan antara persentase jumlah panelis dan waktu pengamatan, Selain itu, data hasil Uji Organoleptik yang telah diolah menjadi 3 skala diuji dengan Uji Jonekhere (O’Mahony, 1986). Uji ini merupakan uji statistik non parametrik untuk melihat adanya kenaikan tingkat ketengikan dihubungkan dengan lama penyimpanan, IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN PEUBAH PROSES PEMBUATAN BUMBU MASAK SIAP PAKAI 1. Penentuan alat pengecil ukuran Alat pengecil ukuran berfungsi untuk menggiling dan menghaluskan rempah-rempah yang digunakan. Alat pengecil ukuran yang biasa digunakan untuk memperkecil ukuran komponen-komponen pada bumbu adalah rotary knife cutter dan grinder. Hasil penelitian pendahuluan memperlihatkan hasil gilingan grinder, lebih halus dibandingkan dengan hasil gilingan rotary knife cutter. Hal ini disebabkan oleh perbedaan prinsip kerja kedua alat, Prinsip kerja yang berlaku pada rotary knife cutter adalah pemotongan, sedangkan pada grinder prinsip yang berlaku adalah penggerusan. Grinder yang digunakan merupakan grinder jenis atrisi piring putar tunggal, Menurut McCabe et al,, (1991) grinder dapat memperkecil ukuran ukuran_ produk sehingga dapat melalui saringan ukuran 40 mesh. Selain itu waktu proses yang diperlukan oleh rotary knife cutter rata- rata lebih lama dibandingkan dengan waktu proses yang diperlukan grinder. Hal ini disebabkan karena kapasitas yang berbeda yaitu pada rotary knife cutter digunakan kapasitas yang lebih ke vaitu untuk sekali proses hanya Gapat memproses + 0.25 kg bumbu, sedangkan pada grinder digunakan kapasitas yang lebih besar yaitu untuk sekali proses dapat memproses lebih dari 6 kg. Pemilihan kapasitas alat tersebut didasarkan pada sumber daya yang tersedia. Pada penelitian ini untuk sekali ulangan dibutuhkan + 6 ke bumbu. Berdasarkan kehalusan hasil gilingan, dan untuk memperoleh hasil gilingan yang sama serta efisiensi waktu proses dengan pertimbangan sumber daya yang ada maka dipilih grinder sebagai alat pengecil ukuran yang akan digunakan pada proses pembuatan bumbu masak siap pakai selanjutnya. 30 2. Penentuan waktu penumisan dan proporsi minyak goreng yang digunakan Perlakuan penumisan didasarkan pada kebiasaan memasak pada umumnya yang menumis bumbu terlebih dabulu sebelum diolah lebih lanjut. Selain itu penumisan juga berfungsi mengurangi jumlah mikroba di dalam produk bumbu masak yang dapat menyebabkan kerusakan pada bumbu tersebut, sehingga dapat mempengaruhi umur simpannya, Menurut hasil penelitian Katrina (2000), kondisi awal setelah penumisan menunjukkan bahwa secara umum jumlah mikroba bumbu rendang mentah lebih tinggi dibandingkan dengan bumbu rendang tumis. Hal ini disebabkan oleh perbedsan kadar air Keduanya. Menurut Silliker et al.,(1980), kadar air produk pangan sangat mempengaruhi jumlah dan ragam mikroflora yang dapat tumbuh. Semakin tinggi kadar air dan aktivitas air (Ay) suatu produk pangan, jumlah dan ragam mikroflora yang tumbuh cenderung meningkat. Waktu penumisan adalah waktu yang diperlukan untuk memasak bumbu sampai bumbu yang dimasek mengeluarkan bau yang menyengat. Bau yang menyengat ini timbul: karena komponen-komponen penyusun bumbu, yaitu rempah-rempah mengeluarkan zat volatil yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan cara penumisan yang umum dilakukan diperoleh dua waktu penumisan yaitu selama 20 menit dan 15 menit untuk 1,5 kilogram bumbu. Penumisan dilakukan dengan menggunakan penggorengan teflon dengan ukuran diameter atas + 30 cm, diameter bawah + 15 em dan tinggi £9 cm. Sumber panas yang digunakan untuk menumis adalah kompor gas merk Hitachi 3000 Kal, dengan besar api pada skala 1. Pengadukan pada proses penumisan dilakukan secara manual. Hasil penelitian pendahuluan ini menunjukkan penumisan selama 20 menit memberikan bau yang lebih nyata dibandingkan dengan penumisan selama 15 menit, schingga untuk pembuatan bumbu masak siap pakai ini dipilih waktu penumisan selama 20 menit. Minyak goreng yang digunakan untuk menumis adalah minyak kelapa sawit. Hal ini dikarenakan minyak kelapa sawit baik dan umum digunakan untuk pangan karena mengandung asam lemak tidak jenuh yang tinggi. 31 Minyak kelapa sawit mengandung 39-45% asam oleat yang merupakan asam emak tidak jenuh (Ketaren, 1986). Berdasarkan cara penumisan yang umum dilakuken, maka digunakan minyak goreng sebanyak 37 % (“/) dan 30 % (“/,). Hasil penelitian tersebut menunjukkan untuk penumisan dengan menggunaken minyak goreng sebanyak 37 % (‘/p) menghasilkan bumbu yang banyak mengandung minyak, sehingga penampakannya kurang baik, sedangkan penumisan dengan ‘menggunakan minyak goreng sebanyak 30 % (“/,) menghasilkan penampakan yang lebih baik. Perbedaan penampakan ini terutama terlihat pada bumbu opor siap pakai, Hal is Menurut Ketaren (1986), bagian buah (biji) kemiri mengandung minyak sebesar 55-65 %. disebabkan bumbu opor mengandung 20,7 % kemiri. . Penentuan jumlah lapisan pada kemasan plastik Kemasan plastik yang sering digunakan pada produk bumbu masak siap pakai adalah plastik PP. Plastik PP mempunyai kelebihan yaitu sifetnya yang transparan sehingga mudah dilihat bagian dalamnya, kaku dan tidak mudah sobek schingga mudah dalam penanganan, dan’ tahan tethadap suhu sterilisasi. Plastik PP yang dipilih untuk digunakan mempunyai ketebalan 0.08 mm, ketebalan tersebut dipilih untuk menutupi kelemahannya yaitu mempunyai permeabilitas terhadap gas yang sedang, yang tidak menguntungkan bagi produk bumbu. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan pada penyimpanan suhu 30°C, bumbu rendang siap pakai yang dikemas dengan plastik PP sebanyak satu lapis, pada hari ke-6 telah ditumbuhi kapang, sedangkan bumbu rendang siap pakai yang dikemas dengan plastik PP sebanyak dua lapis, sampai hari ke-7 belum ditumbuhi kapang. Pada bumbu opor siap pakai terlihat sampai hari ke-7, bumbu yang dikemas dengan plastik PP sebanyak satu lapis atau pun dua lapis, belum ditumbuhi kapang. Berdasarkan hasil tersebut, maka pada pembuatan bumbu masak siap pakai selanjutnya digunakan dua lapis plastik PP untuk mengemas bumbu masak siap pakai kemasan plastik.

Anda mungkin juga menyukai