Anda di halaman 1dari 133

GUBERNUR SULAWESI BARAT

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT


NOMOR … TAHUN 2024
TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI SULAWESI BARAT
TAHUN 2024-2043

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR SULAWESI BARAT,

Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (6)


Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, perlu
membentuk Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Barat
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi
Barat Tahun 2024-2043;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 105, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4422);
3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4725) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta
Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
4. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4739) sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang
Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara

1
Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6856);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4833) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017
Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6042);
7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6633);
8. Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang Pulau Sulawesi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 128, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5160);
9. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
2020 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional Tahun 2020-2024 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 10).

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT
dan
GUBERNUR SULAWESI BARAT

MEMUTUSKAN:

2
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG
WILAYAH PROVINSI SULAWESI BARAT TAHUN 2024-2043.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh
Wakil Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintah Daerah adalah Gubernur sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom Provinsi
Sulawesi Barat.
3. Provinsi adalah Provinsi Sulawesi Barat.
4. Gubernur adalah Gubernur Sulawesi Barat.
5. Kabupaten adalah kabupaten dalam wilayah Provinsi Sulawesi Barat.
6. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi.
7. Masyarakat adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk
masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan
non-pemerintah lain dalam penyelenggaraan penataan ruang.
8. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah,
tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan
memelihara kelangsungan hidupnya.
9. Tata Ruang adalah wujud Struktur Ruang dan Pola Ruang.
10. Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem
jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung
kegiatan sosial ekonomi Masyarakat yang secara hierarki memiliki
hubungan fungsional.
11. Pola Ruang adalah distribusi peruntukan Ruang dalam suatu wilayah
yang meliputi peruntukan Ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan
Ruang untuk fungsi budidaya.
12. Rencana Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RTR adalah hasil
Perencanaan Tata Ruang yang telah ditetapkan di Provinsi Sulawesi
Barat.
13. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses Perencanaan Tata Ruang,
Pemanfaatan Ruang, dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang.
14. Penyelenggaraan Penataan Ruang adalah kegiatan yang meliputi
Pengaturan, Pembinaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan Penataan
Ruang.
15. Pengaturan Penataan Ruang adalah upaya pembentukan landasan
hukum bagi Pemerintah Daerah dan Masyarakat dalam Penataan
Ruang.
16. Pelaksanaan Penataan Ruang adalah upaya pencapaian tujuan
Penataan Ruang melalui pelaksanaan Perencanaan Tata Ruang,
Pemanfaatan Ruang, dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang.

3
17. Perencanaan Tata Ruang adalah suatu proses untuk menentukan
Struktur Ruang dan Pola Ruang yang meliputi penyusunan dan
penetapan RTR.
18. Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan Struktur Ruang
dan Pola Ruang sesuai dengan RTR melalui penyusunan dan
pelaksanaan program beserta pembiayaannya.
19. Pengendalian Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan
tertib Tata Ruang.
20. Pengawasan Penataan Ruang adalah upaya agar Penyelenggaraan
Penataan Ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
21. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang selanjutnya disingkat
KKPR adalah kesesuaian antara rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang
dengan RTR.
22. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut yang selanjutnya
disingkat KKPRL adalah kesesuaian antara rencana kegiatan
Pemanfaatan Ruang Laut dengan Rencana Tata Ruang dan/atau
Rencana Zonasi.
23. Konfirmasi KKPR adalah dokumen yang menyatakan kesesuaian antara
rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang dengan RDTR.
24. Persetujuan KKPR adalah dokumen yang menyatakan kesesuaian antara
rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang dengan RTR selain RDTR.
25. Rekomendasi KKPR adalah dokumen yang menyatakan kesesuaian
rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang yang didasarkan pada kebijakan
nasional yang bersifat strategis dan belum diatur dalam Rencana Tata
Ruang dengan mempertimbangkan asas dan tujuan Penyelenggaraan
Penataan Ruang.
26. Sinkronisasi Program Pemanfaatan Ruang yang selanjutnya disingkat
SPPR adalah upaya menyelaraskan indikasi program utama dengan
program sektoral dan kewilayahan dalam dokumen rencana
pembangunan secara terpadu.
27. Wilayah adalah Ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.
28. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau
budidaya.
29. Kawasan Lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya
alam dan sumber daya buatan.
30. Kawasan Budi Daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi
utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber
daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
31. Pusat Kegiatan Nasional yang selanjutnya disingkat PKN adalah
Kawasan Perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala
internasional, Nasional, atau beberapa provinsi.
32. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disingkat PKW adalah
Kawasan Perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala
Provinsi atau beberapa Kabupaten.

4
33. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disingkat PKL adalah Kawasan
Perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala Kabupaten
atau beberapa kecamatan.
34. Jalan Tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan
jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan
membayar tol.
35. Terminal Penumpang Tipe A adalah terminal penumpang yang berfungsi
melayani kendaraan penumpang umum untuk angkutan antarkota
antarprovinsi (AKAP), angkutan lintas batas antarnegara, angkutan
antarkota dalam provinsi (AKDP), angkutan kota (AK), serta angkutan
perdesaan (ADES).
36. Terminal Penumpang Tipe B adalah terminal penumpang yang berfungsi
melayani kendaraan penumpang umum untuk angkutan antarkota
dalam provinsi (AKDP), angkutan kota (AK), serta angkutan perdesaan
(ADES).
37. Terminal Barang adalah tempat untuk melakukan kegiatan bongkar
muat barang, perpindahan intramoda dan antarmoda angkutan barang,
konsolidasi barang/pusat kegiatan logistik, dan/atau tempat parkir
mobil barang.
38. Jembatan Timbang adalah alat dan tempat yang digunakan untuk
pengawasan dan pengamanan jalan dengan menimbang muatan
kendaraan angkutan.
39. Jaringan Jalur Kereta Api adalah seluruh jalur kereta api yang terkait
satu sama lain yang menghubungkan berbagai tempat sehingga
merupakan satu sistem. Jaringan jalur Kereta Api termasuk kereta rel
listrik, kereta bawah tanah, monorel, dan lain-lain.
40. Stasiun Kereta Api adalah prasarana kereta api sebagai tempat
pemberangkatan dan pemberhentian kereta api.
41. Pelabuhan Pengumpan adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya
melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut
dalam negeri dalam jumlah terbatas, merupakan pengumpan bagi
pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul, dan sebagai tempat asal
tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan
dengan jangkauan pelayanan dalam provinsi.
42. Terminal Umum adalah bagian dari pelabuhan yang terletak di dalam
atau di luar daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan
kepentingan pelabuhan yang merupakan bagian dari pelabuhan
terdekat untuk melayani kepentingan umum yang diselenggarakan oleh
penyelenggara pelabuhan atau badan usaha pelabuhan yang telah atau
akan diberikan hak untuk menyelenggarakan kegiatan penyediaan
dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan tertentu dalam jangka waktu
tertentu dan kompensasi tertentu yang diatur dalam perjanjian konsesi
atau bentuk kerja sama lainnya.
43. Terminal Khusus adalah terminal yang terletak di luar daerah
lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan yang
merupakan bagian dari pelabuhan terdekat untuk melayani kepentingan
sendiri sesuai dengan usaha pokoknya.

5
44. Pelabuhan Pengumpul adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya
melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut
dalam negeri dalam jumlah menengah, dan sebagai tempat asal tujuan
penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan
jangkauan pelayanan antarprovinsi.
45. Pelabuhan Pengumpan adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya
melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut
dalam negeri dalam jumlah terbatas, merupakan pengumpan bagi
Pelabuhan Utama dan Pelabuhan Pengumpul, dan sebagai tempat asal
tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan.
46. Pelabuhan Perikanan Nusantara adalah tempat yang terdiri atas daratan
dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat
kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang
digunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh,
dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas
keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan kelas B.
47. Pangkalan Pendaratan Ikan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan
perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat
kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang
digunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh,
dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas
keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan kelas D.
48. Bandara Udara Pengumpan adalah bandar udara yang mempunyai
cakupan pelayanan dan mempengaruhi perkembangan ekonomi
terbatas.
49. Jaringan Minyak dan Gas Bumi adalah jaringan yang mendukung
seluruh kebutuhan minyak dan gas bumi di permukaan tanah atau di
bawah permukaan tanah, termasuk jaringan pipa/kabel bawah laut.
50. Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang selanjutnya disingkat PLTU adalah
pembangkit listrik yang memanfaatkan tenaga uap.
51. Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro yang selanjutnya disingkat PLTM
adalah adalah pembangkit listrik yang memanfaatkan tenaga dari
aliran/terjunan air, waduk/bendungan, atau saluran irigasi yang
pembangunannya bersifat multiguna dengan kapasitas lebih dari 1 MW
(satu Megawatt) sampai dengan 10 MW (sepuluh Megawatt).
52. Pembangkit Listrik Tenaga Surya yang selanjutnya disingkat PLTS
adalah pembangkit listrik yang memanfaatkan tenaga matahari.
53. Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro yang selanjutnya disingkat
PLTMH adalah pembangkit listrik yang memanfaatkan tenaga dari
aliran/terjunan air, waduk/bendungan, atau saluran irigasi yang
pembangunannya bersifat multiguna dengan kapasitas kurang dari 1
MW (satu Megawatt).
54. Pembangkit Listrik Tenaga Bayu yang selanjutnya disingkat PLTB
adalah pembangkit listrik yang memanfaatkan tenaga angin.
55. Pembangkit listrik tenaga air yang selanjutnya disingkat PLTA adalah
pembangkit listrik yang memanfaatkan tenaga dari aliran/terjunan air,
waduk/bendungan, atau saluran irigasi yang pembangunannya bersifat
multiguna dengan kapasitas lebih dari 10 MW (sepuluh Megawatt).

6
56. Pembangkit Listrik Tenaga Diesel yang selanjutnya disingkat PLTD
adalah pembangkit listrik yang memanfaatkan tenaga diesel.
57. Jaringan Transmisi Tenaga Listrik Antarsistem adalah jaringan yang
menyalurkan tenaga listrik dari pembangkit ke sistem distribusi.
58. Jaringan Pipa/Kabel Bawah Laut Penyaluran Tenaga Listrik adalah
jaringan tabung berongga dengan diameter dan panjang bervariasi serta
kabel untuk penyaluran tenaga listrik yang terletak/tertanam di bagian
bawah laut.
59. Gardu Listrik adalah bangunan sebagai tempat distribusi arus listrik.
60. Jaringan Tetap adalah satu kesatuan penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi untuk layanan telekomunikasi tetap, termasuk
pipa/kabel bawah laut telekomunikasi.
61. Jaringan Bergerak adalah jaringan untuk layanan telekomunikasi
bergerak.
62. Sistem Penyediaan Air Minum yang selanjutnya disingkat SPAM adalah
satu kesatuan sarana dan prasarana penyediaan air minum, termasuk
pipa/kabel bawah laut air minum.
63. Sistem Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) adalah
satu kesatuan sarana dan prasarana pengelolaan limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3).
64. Badan Air adalah air permukaan bumi yang berupa sungai, danau,
embung, waduk, dan sebagainya.
65. Kawasan yang Memberikan Perlindungan Terhadap Kawasan
Bawahannya adalah kawasan dengan fungsi lindung yang terdiri atas
Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Resapan Air.
66. Kawasan Perlindungan Setempat adalah Kawasan Lindung yang
berfungsi melindungi kawasan sempadan pantai, sempadan sungai,
sekitar danau/waduk.
67. Kawasan Konservasi adalah kawasan yang mempunyai ciri khas tertentu
sebagai satu kesatuan ekosistem yang dilindungi, dilestarikan, dan
dimanfaatkan secara berkelanjutan.
68. Kawasan Rawan Bencana adalah Kawasan Lindung atau Kawasan Budi
Daya yang meliputi zona berpotensi mengalami bencana.
69. Kawasan Ekosistem Mangrove adalah hutan yang berada di lingkungan
perairan payau yang sangat dipengaruhi oleh keberadaan pasang surut
air laut.
70. Kawasan Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai
fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
71. Kawasan Perkebunan Rakyat adalah hutan rakyat yang dibangun dan
dikelola oleh rakyat yang berada di atas tanah milik atau tanah adat,
dan dapat juga berupa tanah negara atau kawasan hutan negara.
72. Kawasan Pertanian adalah kawasan yang dialokasikan dan memenuhi
kriteria untuk budi daya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,
dan peternakan.
73. Kawasan Perikanan adalah Kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utama untuk kegiatan perikanan tangkap dan perikanan budi daya
termasuk di dalamnya pengelolaan ekosistem pesisir.

7
74. Kawasan Pertambangan adalah Kawasan Budi Daya yang peruntukan
bagi pertambangan, baik Wilayah yang sedang maupun yang akan
segera dilakukan kegiatan pertambangan.
75. Kawasan Peruntukan Industri adalah bentangan lahan yang
diperuntukkan bagi kegiatan Industri berdasarkan Rencana Tata Ruang
Wilayah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
76. Kawasan Pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang
dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata.
77. Kawasan Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar
Kawasan Lindung, baik berupa Kawasan Perkotaan maupun Kawasan
Perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan.
78. Kawasan Perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama
pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa,
pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
79. Kawasan Perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan
pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
80. Kawasan Pertahanan dan Keamanan adalah Wilayah yang ditetapkan
secara Nasional yang digunakan untuk kepentingan pertahanan.
81. Ruang Terbuka Hijau yang selanjutnya disingkat RTH adalah area
memanjang/jalur dan/atau mengelompok yang penggunaannya lebih
bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara
alamiah maupun yang sengaja ditanam, dengan mempertimbangkan
aspek fungsi ekologis, resapan air, ekonomi, sosial budaya, dan estetika.
82. Kawasan Strategis Nasional yang selanjutnya disingkat KSN adalah
wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai
pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara,
pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau
lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan
dunia.
83. Kawasan Strategis Provinsi merupakan bagian wilayah provinsi yang
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam
lingkup wilayah provinsi di bidang ekonomi, sosial budaya, sumber daya
alam dan/atau teknologi tinggi dan/atau lingkungan hidup.
84. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
85. Usaha Mikro dan Kecil yang selanjutnya disingkat UMK adalah usaha
mikro dan usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
86. Laut adalah ruang perairan di muka bumi yang menghubungkan
daratan dengan daratan dan bentuk-bentuk alamiah lainnya, yang
merupakan kesatuan geografis dan ekologis beserta segenap unsur

8
terkait, dan yang batas dan sistemnya ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan dan hukum internasional.
87. Perairan Pesisir adalah Laut yang berbatasan dengan daratan meliputi
perairan sejauh 12 (dua belas) mil Laut diukur dari garis pantai,
perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk,
perairan dangkal, rawa payau, dan laguna.
88. Alur Laut adalah perairan yang dimanfaatkan, antara lain, untuk alur
pelayaran, pipa dan/atau kabel bawah laut, dan migrasi biota laut.
89. Indikasi Arahan Zonasi adalah arahan dalam penyusunan ketentuan
umum indikasi arahan zonasi dan indikasi arahan zonasi yang lebih
detail dan sebagai acuan bagi pemanfaatan Ruang dalam Wilayah
Provinsi.
90. Arahan Insentif adalah pengaturan yang bertujuan memberikan
rangsangan terhadap kegiatan yang seiring dengan tujuan Rencana Tata
Ruang.
91. Arahan Disinsentif adalah pengaturan yang bertujuan membatasi
pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan
Rencana Tata Ruang
92. Forum Penataan Ruang adalah wadah di tingkat daerah yang bertugas
untuk membantu Pemerintah Daerah dengan memberikan
pertimbangan dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang.

BAB II
RUANG LINGKUP

Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Wilayah Perencanaan

Pasal 2
(1) Wilayah perencanaan RTRW Provinsi Sulawesi Barat meliputi seluruh
wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Barat yang berada pada posisi
geografis antara 0o 12” – 3o 38” Lintang Selatan dan 118o 43’ 15” – 119o
54’ 3” Bujur Timur.
(2) Cakupan Wilayah perencanaan RTRW Provinsi Sulawesi Barat
mempunyai luas sebesar kurang lebih 3.654.159 (tiga juta enam ratus
lima puluh empat ribu seratus lima puluh sembilan) hektare meliputi:
a. wilayah darat berupa wilayah kabupaten dan pulau-pulau kecil; dan
b. wilayah laut berupa perairan pesisir, termasuk ruang udara dan
ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah.
(3) Wilayah darat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi 6
(enam) kabupaten meliputi:
a. Kabupaten Polewali Mandar;
b. Kabupaten Mamasa;
c. Kabupaten Majene;
d. Kabupaten Mamuju;
e. Kabupaten Mamuju Tengah; dan
f. Kabupaten Pasangkayu.

9
(4) Wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi
Garis Pantai dengan jarak 12 (dua belas) mil laut ke arah perairan
pesisir dan/atau laut, serta batas kewenangan pengelolaan sumber daya
laut, terdapat di Selat Makassar yang terdiri atas 69 (enam puluh
sembilan) pulau, meliputi:
a. Kabupaten Polewali Mandar terdiri dari 10 (sepuluh) pulau;
b. Kabupaten Majene terdiri dari 1 (satu) pulau;
c. Kabupaten Mamuju terdiri dari 37 (tiga puluh tujuh) pulau;
d. Kabupaten Mamuju Tengah terdiri dari 7 (tujuh) pulau; dan
e. Kabupaten Pasangkayu terdiri dari 14 (empat belas) pulau.
(5) Batas wilayah perencanaan RTRW Provinsi Sulawesi Barat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah;
b. sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan;
c. sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan; dan
d. sebelah barat berbatasan dengan Selat Makassar.
(6) Cakupan wilayah RTRW Provinsi Sulawesi Barat sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian
geometri dan ketelitian detail informasi skala 1:250.000 yang tercantum
dalam Lampiran I dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua
Ruang Lingkup Substansi

Pasal 3
Ruang lingkup pengaturan dalam Peraturan Daerah ini meliputi:
a. ruang lingkup;
b. tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah provinsi;
c. rencana struktur ruang wilayah provinsi;
d. rencana pola ruang wilayah provinsi;
e. kawasan strategis provinsi;
f. arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi;
g. arahan pengendalian pemanfaatan Ruang wilayah provinsi;
h. peran masyarakat dan kelembagaan;
i. ketentuan peralihan; dan
j. ketentuan lain-lain.

BAB III
TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN
RUANG WILAYAH PROVINSI

Bagian Kesatu
Tujuan Penataan Ruang

Pasal 4
Penataan ruang Provinsi Sulawesi Barat bertujuan untuk mewujudkan
ruang wilayah Provinsi Sulawesi Barat yang aman, produktif, kompetitif,

10
inklusif, inovatif, yang mendukung pemenuhan kebutuhan dasar dan
peningkatan taraf hidup masyarakat secara berkelanjutan, berbasis pada
kearifan lokal malaqbi menuju provinsi yang terkemuka.

Bagian Kedua
Kebijakan

Pasal 5
Kebijakan penataan ruang Provinsi Sulawesi Barat meliputi:
a. pergeseran sektor basis perekonomian Provinsi Sulawesi Barat ke sektor
perekonomian yang lebih kompetitif;
b. peningkatan akses pelayanan pusat-pusat permukiman yang berupa
pusat-pusat kegiatan dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi wilayah
yang merata dan berhirarki;
c. peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana
transportasi, energi, telekomunikasi, sumber daya air dan prasarana
lainnya yang terpadu dan merata di seluruh wilayah Provinsi Sulawesi
Barat;
d. pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan
kerusakan lingkungan hidup;
f. perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antar dan
intra kawasan budidaya; dan
g. pengendalian perkembangan kegiatan budi daya agar tidak melampaui
daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Bagian Ketiga
Strategi

Pasal 6
(1) Strategi pergeseran sektor basis perekonomian Provinsi Sulawesi Barat
ke sektor perekonomian yang lebih kompetitif, yaitu:
a. pengembangan pola ruang kawasan pertanian tanaman pangan,
perkebunan, hortikultura, peternakan, perikanan, industri
manufaktur dan pariwisata sebagai sektor perekonomian basis baru;
b. pengembangan prasarana transportasi, energi, telekomunikasi
sumber daya air serta prasarana lainnya pendukung pergeseran
sektor basis ekonomi;
c. pengembangan sarana pendukung pergeseran sektor basis ekonomi
yang lebih kompetitif; dan

11
d. pemberian kemudahan berusaha dalam pengembangan sektor
perekonomian yang lebih kompetitif berupa kemudahan dalam
Persetujuan KKPR.
(2) Strategi peningkatan akses pelayanan pusat-pusat permukiman yang
berupa pusat-pusat kegiatan dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
wilayah yang merata dan berhirarki, yaitu:
a. menjaga dan mewujudkan keterkaitan antar pusat-pusat
permukiman di wilayah provinsi Sulawesi Barat, serta antar pusat-
pusat permukiman wilayah di Provinsi Sulawesi Barat dengan pusat-
pusat permukiman wilayah eksternal;
b. mengembangkan pusat permukiman baru di kawasan yang belum
terlayani oleh pusat permukiman eksisting;
c. mengembangkan pusat permukiman kelautan dan perikanan di
pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan;
d. mendorong pusat-pusat permukiman agar lebih kompetitif dan lebih
efektif;
e. mengembangkan pelayanan pusat-pusat permukiman yang
mendukung sektor unggulan sebagai kota industri, perdagangan dan
wisata secara berkelanjutan; dan
f. mengembangkan kota dan kawasan perkotaan baru secara holistik
dan terintegrasi, inklusif, serta berkelanjutan.
(3) Strategi Peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan
prasarana transportasi, energi, telekomunikasi, sumber daya air dan
prasarana lainnya yang terpadu dan merata di seluruh wilayah Provinsi
Sulawesi Barat, yaitu:
a. meningkatkan kualitas jaringan prasarana transportasi dengan
mewujudkan keterpaduan pelayanan transportasi darat, laut, dan
udara;
b. mendorong pengembangan prasarana telekomunikasi terutama di
pusat-pusat permukiman yang terisolasi;
c. meningkatkan jaringan energi dan pembangkit listrik untuk
memanfaatkan energi listrik terbarukan seperti sinar matahari, air
dan angin dan tak terbarukan seperti batubara, diesel secara optimal
serta mewujudkan keterpaduan sistem penyediaan tenaga listrik;
d. membangun infrastruktur minyak dan gas bumi regional yang
optimal;
e. meningkatkan kualitas jaringan prasarana dan keterpaduan sistem
jaringan sumber daya air; dan
f. mengembangkan kapasitas jaringan prasarana pengelolaan
persampahan.
(4) Strategi Pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan
hidup, yaitu:
a. menetapkan kawasan lindung di ruang darat, ruang laut dan ruang
udara termasuk ruang di dalam bumi;
b. mewujudkan kawasan berfungsi lindung yang mendukung wilayah
Pulau Sulawesi agar luas kawasan lindung tersebut paling sedikit
40% (empat puluh persen) dari luas Pulau Sulawesi sesuai dengan

12
kondisi, karakter, dan fungsi ekosistemnya serta tersebar secara
proporsional;
c. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung akibat
pengembangan kegiatan budi daya dalam rangka mewujudkan dan
memelihara keseimbangan ekosistem wilayah;
d. mengendalikan pemanfaatan dan penggunaan kawasan yang
berpotensi mengganggu fungsi lindung; dan
e. mewujudkan, memelihara, dan meningkatkan fungsi kawasan
lindung dalam rangka meningkatkan daya dukung daerah aliran
sungai.
(5) Strategi pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat
menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, yaitu:
a. menyelenggarakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup;
b. melindungi dan meningkatkan kemampuan lingkungan hidup dari
tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh
suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung perikehidupan
manusia dan makhluk hidup lainnya;
c. melindungi dan meningkatkan kemampuan lingkungan hidup untuk
menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang dibuang ke
dalamnya;
d. mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau
tidak langsung menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan yang
mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi dalam menunjang
pembangunan yang berkelanjutan;
e. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana
untuk menjamin kepentingan generasi masa kini dan generasi masa
depan; dan
f. mengelola sumber daya alam tak terbarukan untuk menjamin
pemanfaatannya secara bijaksana dan sumber daya alam yang
terbarukan untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta
keanekaragamannya.
(6) Strategi perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan
antar dan intra kawasan budidaya, yaitu:
a. menetapkan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis
provinsi untuk pemanfaatan sumber daya alam di ruang darat,
ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi secara
sinergis untuk mewujudkan keseimbangan pemanfaatan ruang
wilayah;
b. mengembangkan kegiatan budi daya unggulan di dalam kawasan
beserta prasarana secara sinergis dan berkelanjutan untuk
mendorong pengembangan perekonomian kawasan dan wilayah
sekitarnya;
c. mengembangkan kegiatan budi daya untuk menunjang aspek politik,
pertahanan dan keamanan, sosial budaya, serta ilmu pengetahuan
dan teknologi tinggi;

13
d. menetapkan, memanfaatkan, mengembangkan, dan
mempertahankan kawasan pertanian pangan berkelanjutan untuk
mewujudkan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan;
e. mengembangkan kegiatan budidaya yang mempunyai daya adaptasi
bencana di kawasan rawan bencana dan kawasan risiko perubahan
iklim;
f. mengembangkan pulau-pulau kecil sebagai sentra ekonomi wilayah
yang berbasis kelautan dan perikanan yang berdaya saing dan
berkelanjutan;
g. mengelola kekayaan sumber daya kelautan di wilayah perairan,
wilayah yurisdiksi, laut, dan wilayah dasar laut kewenangan Provinsi
Sulawesi Barat untuk kemandirian ekonomi regional dan
mendukung kedaulatan ekonomi nasional; dan
h. mengakomodir ketentuan pertahanan dan keamanan nasional di
wilayah udara Provinsi Sulawesi Barat.
(7) Strategi pengendalian perkembangan kegiatan budi daya agar tidak
melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan, yaitu:
a. membatasi dan mengendalikan perkembangan kegiatan budi daya
terbangun di kawasan rawan bencana dan risiko tinggi bencana
serta dampak perubahan iklim untuk meminimalkan potensi
kerugian akibat bencana dan perubahan iklim;
b. mengembangkan perkotaan metropolitan dan kota besar dengan
mengoptimalkan pemanfaatan ruang secara vertikal dan kompak;
c. membatasi perkembangan kawasan terbangun di kawasan
metropolitan dan kota besar untuk mempertahankan tingkat
pelayanan prasarana dan sarana kawasan perkotaan serta
mempertahankan fungsi kawasan perdesaan di sekitarnya;
d. mengembangkan kegiatan budidaya yang dapat mempertahankan
keberadaan pulau pulau kecil;
e. membatasi dan mengendalikan kegiatan budi daya pada lokasi yang
memiliki nilai konservasi tinggi;
f. menetapkan lokasi rusak dan tercemar untuk dipulihkan;
g. mengendalikan keseimbangan daya dukung dan daya tampung
lingkungan di kota sedang sebagai kawasan perkotaan penyangga
arus urbanisasi desa ke kota besar;
h. mengendalikan perubahan peruntukan kawasan hutan untuk
alokasi lahan pembangunan bagi sektor non kehutanan dengan
memperlimbangkan kuatitas lingkungan, karakter sumber daya
alam, fungsi ekologi, dan kebutuhan lahan untuk pembangunan
secara berkelanjutan; dan
i. mengembangkan kegiatan budidaya dengan memperhatikan
bioekoregion yang merupakan bentang alam yang berada di dalam
satu atau lebih daerah aliran sungai.

BAB IV
RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH PROVINSI

Bagian Kesatu

14
Umum

Pasal 7
(1) Rencana struktur ruang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3
huruf c, terdiri atas:
a. sistem pusat permukiman;
b. sistem jaringan transportasi;
c. sistem jaringan energi;
d. sistem jaringan telekomunikasi;
e. sistem jaringan sumber daya air; dan
f. sistem jaringan prasarana lainnya.
(2) Rencana struktur ruang wilayah provinsi digambarkan dalam peta
dengan tingkat ketelitian geometri dan ketelitian detail informasi
1:250.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Bagian Kedua
Sistem Pusat Permukiman

Pasal 8
(1) Sistem Pusat Permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1) huruf a, terdiri atas:
a. PKN;
b. PKW; dan
c. PKL.
(2) PKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, merupakan PKN
Mamuju yang meliputi sebagian wilayah Kabupaten Mamuju.
(3) PKW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. PKW Majene di Kabupaten Majene; dan
b. PKW Pasangkayu di Kabupaten Pasangkayu.
(4) PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:
a. Kawasan Perkotaan Mamasa di Kabupaten Mamasa;
b. Kawasan Perkotaan Mambi di Kabupaten Mamasa;
c. Kawasan Perkotaan Sumarorong di Kabupaten Mamasa;
d. Kawasan Perkotaan Papalang di Kabupaten Mamuju;
e. Kawasan Perkotaan Tobadak di Kabupaten Mamuju Tengah;
f. Kawasan Perkotaan Balanipa di Kabupaten Polewali Mandar;
g. Kawasan Perkotaan Polewali di Kabupaten Polewali Mandar; dan
h. Kawasan Perkotaan Sidodadi di Kabupaten Polewali Mandar.
(5) Rencana sistem pusat permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian geometri dan
ketelitian detail informasi 1:250.000 yang tercantum dalam Lampiran III
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Ketiga
Sistem Jaringan Transportasi

Paragraf 1
Umum

15
Pasal 9
(1) Sistem jaringan transportasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7
huruf ayat (1) huruf b, terdiri atas:
a. sistem jaringan jalan;
b. sistem jaringan kereta api;
c. sistem jaringan sungai, danau, dan penyeberangan;
d. sistem jaringan transportasi laut; dan
e. bandar udara umum dan bandar udara khusus.
(2) Rencana sistem jaringan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian geometri dan
ketelitian detail informasi 1:250.000 yang tercantum dalam Lampiran IV
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Paragraf 2
Sistem Jaringan Jalan

Pasal 10
Sistem jaringan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf
a, terdiri atas:
a. jalan umum;
b. jalan tol;
c. terminal penumpang;
d. terminal barang; dan
e. jembatan timbang.

Pasal 11
(1) Jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a, meliputi:
a. jalan arteri; dan
b. jalan kolektor.
(2) Jalan arteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, berupa jalan
arteri primer, meliputi:
a. Akses Bandar Udara Tampa Padang (Mamuju);
b. Akses Pelabuhan Belang-Belang;
c. Baras – Karossa;
d. Bts. Kab. Mamuju – Tameroddo;
e. Bts. Kota Majene – Bts. Kota Polewali;
f. Bts. Kota Mamuju – Bts. Kota Majene;
g. Bts. Kota Polewali – Bts. Prov. Sulsel;
h. Jalan Ahmad Yani (Majene);
i. Jalan Ahmad Yani (Polewali);
j. Jalan Andi Depu (Polewali);
k. Jalan Gatot Subroto (Majene);
l. Jalan Gatot Subroto (Mamuju);
m. Jalan H. Abd. Malik Pattana Endeng (Mamuju);
n. Jalan Hasanuddin (Majene);
o. Jalan Martadinata (Akses Pelabuhan Penyeberangan Mamuju);

16
p. Jalan Martadinata (Mamuju);
q. Jalan Mr Moh. Yamin (Polewali);
r. Jalan R.E. Martadinata (Mamuju);
s. Jalan Sudirman (Majene);
t. Jalan Tengku Umar (Polewali);
u. Jalan Yos Sudarso (Mamuju);
v. Kalukku – Bts. Kota Mamuju;
w. Karossa – Topoyo;
x. Mamuju Arterial Ring Road II;
y. Mamuju Arterial Road (Mamuju);
z. Pasangkayu – Baras;
aa. Surumana (Bts. Prov. Sulteng) – Pasangkayu;
ab. Tameroddo – Bts. Kota Majene;
ac. Tarailu – Kalukku; dan
ad. Topoyo – Tarailu.
(3) Jalan kolektor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, berupa
jalan kolektor primer, meliputi:
a. Bonehau – Kalumpang;
b. Jalan Akses Pelabuhan Laut Majene (Majene);
c. Kalukku – Salubatu;
d. Kalumpang – Bts. Prov. Sulbar/Sulsel;
e. Malabo – Mamasa;
f. Malabo – Tabone;
g. Mamasa – Tabang (Bts. Prov. Sulsel);
h. Mambi – Malabo;
i. Salubatu – Bonehau;
j. Salubatu – Mambi;
k. Salutambung – Urekang;
l. Tabone – Polewali;
m. Urekang – Mambi;
n. Jalan Arteri Depan Kantor Gubernur Sulawesi Barat - Simpang
Empat Pelabuhan Fery Mamuju;
o. Jalan Abd. Malik Pattana Endeng - Sumare (Rangas) - Bts. Tapalang
Barat;
p. Kalumpang – Batuisi;
q. Lampa (Mapilli) – Matangnga;
r. Matangnga – Keppe;
s. Tikke - Batas Sulteng;
t. Tobadak II - Gerbang Tobadak VIII;
u. Tobadak II - Gerbang Tobadak VIII;
v. Alu - Pao-Pao (Kantor Desa);
w. Batuisi - Bts. Toraja;
x. Bts. Tapalang Barat - Bts. Tapalang (Desa Tampalang);
y. Lombongan - Petabeang;
z. Mapilli - Piriang;
aa. Nosu - Pana (Desa Panura);
ab. Pallang Pallang - Bts. Tibung;
ac. Tabone - Nosu;
ad. Tinambung - Alu;

17
ae. Akses Bandara Sumarorong;
af. Akses Pelabuhan Budong-budong (Polohu-Babana-Pelabuhan); dan
ag. Akses Pelabuhan Pasangkayu (Kayumaloa-Pelabuhan-SPBU Ako).

Pasal 12
(1) Jalan tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b, meliputi:
a. Mamuju – Palu; dan
b. Mamuju – Pinrang – Pare-Pare.
(2) Jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat indikatif dan
penyelenggaraannya akan ditetapkan setelah ada kajian lebih lanjut dari
instansi yang membidangi jalan tol.

Pasal 13
(1) Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c,
meliputi:
a. terminal penumpang tipe A; dan
b. terminal penumpang tipe B.
(2) Terminal penumpang tipe A sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, meliputi:
a. terminal Simbuang di Kabupaten Mamuju;
b. terminal Tipalayo di Kabupaten Polewali Mandar; dan
c. terminal Pasangkayu di Kabupaten Pasangkayu.
(3) Terminal penumpang tipe B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, meliputi:
a. terminal Mamuju Tengah di Kabupaten Mamuju Tengah;
b. terminal Majene di Kabupaten Majene; dan
c. terminal Mamasa di Kabupaten Mamasa.
(4) Terminal penumpang tipe A sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
c bersifat indikatif dan penyelenggaraannya sesuai dengan kebijakan
dan ketentuan instansi terkait yang membidangi terminal penumpang
tipe A.
(5) Terminal penumpang tipe B sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b dan huruf c bersifat indikatif dan penyelenggaraannya sesuai dengan
kebijakan dan ketentuan instansi terkait yang membidangi terminal
penumpang tipe B.

Pasal 14
(1) Terminal barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf d,
meliputi:
a. terminal barang Majene di Kabupaten Majene;
b. terminal barang Mamuju di Kabupaten Mamuju;
c. terminal barang Pasangkayu di Kabupaten Pasangkayu; dan
d. terminal barang Polewali Mandar di Kabupaten Polewali Mandar.
(2) Terminal barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat indikatif
dan penyelenggaraannya sesuai dengan kebijakan dan ketentuan
instansi terkait yang membidangi terminal barang.

Pasal 15

18
(1) Jembatan timbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf e
meliputi:
a. jembatan timbang beru beru di kabupaten Mamuju;
b. jembatan timbang paku di kabupaten Polewali Mandar;
c. jembatan timbang kalumpang di kabupaten Mamuju; dan
d. jembatan timbang sarjo di kabupaten Pasangkayu.
(2) Jembatan timbang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan
huruf d bersifat indikatif dan penyelenggaraannya akan ditetapkan
setelah ada kajian lebih lanjut dari instansi yang membidangi Jembatan
Timbang.

Paragraf 3
Sistem Jaringan Kereta Api

Pasal 16
(1) Sistem jaringan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf b, terdiri atas:
a. jaringan jalur kereta api; dan
b. stasiun kereta api.
(2) Jaringan jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
meliputi:
a. trase kereta api Mamuju – Mamasa; dan
b. trase kereta api Pare Pare – Donggala – Mamuju.
(3) Stasiun kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi:
a. stasiun Bambu di Kabupaten Mamuju;
b. stasiun Banggae di Kabupaten Majene;
c. stasiun Baras di Kabupaten Pasangkayu;
d. stasiun Budong-Budong di Kabupaten Mamuju Tengah;
e. stasiun Campalagian di Kabupaten Polewali Mandar;
f. stasiun Dapurang di Kabupaten Pasangkayu;
g. stasiun Kaluku di Kabupaten Mamuju;
h. stasiun Karosa di Kabupaten Mamuju Tengah;
i. stasiun Karya Bersama di Kabupaten Pasangkayu;
j. stasiun Lariang di Kabupaten Pasangkayu;
k. stasiun Malunda di Kabupaten Majene;
l. stasiun Mamuju di Kabupaten Mamuju;
m. stasiun Pamboang di Kabupaten Majene;
n. stasiun Papalang di Kabupaten Mamuju;
o. stasiun Pasangkayu di Kabupaten Pasangkayu;
p. stasiun Salubiru di Kabupaten Mamuju Tengah;
q. stasiun Salupakang di Kabupaten Mamuju Tengah;
r. stasiun Sampaga di Kabupaten Mamuju;

19
s. stasiun Sarudu di Kabupaten Pasangkayu;
t. stasiun Sendana di Kabupaten Majene;
u. stasiun Simboro di Kabupaten Mamuju;
v. stasiun Sinyoyoi di Kabupaten Mamuju;
w. stasiun Tammerodo di Kabupaten Majene;
x. stasiun Tapalang di Kabupaten Mamuju;
y. stasiun Tapalang Barat di Kabupaten Mamuju;
z. stasiun Tikke di Kabupaten Pasangkayu;
aa. stasiun Tinambung di Kabupaten Polewali Mandar;
ab. stasiun Tobadak di Kabupaten Mamuju Tengah;
ac. stasiun Ulumanda di Kabupaten Majene; dan
ad. stasiun Wonomulyo di Kabupaten Polewali Mandar.
(4) Sistem jaringan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat
indikatif dan penyelenggaraannya sesuai dengan kebijakan dan
ketentuan instansi terkait yang membidangi perkeretaapian.
(5) Rencana pembangunan dan pengembangan jaringan kereta api lainnya
diatur sesuai dengan kebijakan pemerintah yang ditetapkan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 4
Sistem Jaringan Sungai, Danau, dan Penyeberangan

Pasal 17
(1) Sistem jaringan sungai, danau, dan penyeberangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, terdiri atas:
a. pelabuhan sungai dan danau; dan
b. pelabuhan penyeberangan.
(2) Pelabuhan sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, meliputi:
a. dermaga sungai Batu Parigi di Kabupaten Mamuju Tengah;
b. dermaga sungai Mapili di Kabupaten Polewali Mandar;
c. dermaga sungai Salulebo di Kabupaten Mamuju Tengah;
d. dermaga sungai Tinambung di Kabupaten Polewali Mandar;
e. dermaga sungai Tarailu di Kabupaten Mamuju; dan
f. pelabuhan sungai Sampaga Mamuju di Kabupaten Mamuju.
(3) Pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi:
a. pelabuhan penyeberangan Majene di Kabupaten Majene;
b. pelabuhan penyeberangan Mamuju di Kabupaten Mamuju;
c. pelabuhan penyeberangan Balabalakang di Kabupaten Mamuju; dan
d. pelabuhan penyeberangan Pasangkayu di Kabupaten Pasangkayu.
(4) Pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c
dan huruf d bersifat indikatif dan penyelenggaraannya sesuai dengan
kebijakan dan ketentuan instansi terkait yang membidangi
penyeberangan.
(5) Rencana pembangunan dan pengembangan jaringan sungai, danau, dan
penyeberangan lainnya diatur sesuai dengan kebijakan pemerintah yang
ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

20
Paragraf 5
Sistem Jaringan Transportasi Laut

Pasal 18
(1) Sistem jaringan transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf d, terdiri atas:
a. pelabuhan laut; dan
b. alur pelayaran di laut.
(2) Pelabuhan laut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, terdiri
atas:
a. pelabuhan pengumpul;
b. pelabuhan pengumpan;
c. terminal umum;
d. terminal khusus; dan
e. pelabuhan perikanan.
(3) Pelabuhan pengumpul sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a,
meliputi:
a. pelabuhan Belang-Belang di Kabupaten Mamuju;
b. pelabuhan Majene di Kabupaten Majene;
c. pelabuhan Mamuju di Kabupaten Mamuju; dan
d. pelabuhan Tanjung Silopo di Kabupaten Polewali Mandar.
(4) Pelabuhan pengumpan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,
meliputi:
a. Pelabuhan Pengumpan Regional Palipi di Kabupaten Majene;
b. Pelabuhan Pengumpan Regional Pasangkayu di Kabupaten
Pasangkayu;
c. Pelabuhan Pengumpan Regional Salissingan di Kabupaten Mamuju;
d. Pelabuhan Pengumpan Lokal Budong-Budong di Kabupaten Mamuju
Tengah;
e. Pelabuhan Pengumpan Lokal Karampuang di Kabupaten Mamuju;
f. Pelabuhan Pengumpan Lokal Pamboang di Kabupaten Majene;
g. Pelabuhan Pengumpan Lokal Pulau Ambo di Kabupaten Mamuju;
h. Pelabuhan Pengumpan Lokal Popoongan di Kabupaten Mamuju;
i. Pelabuhan Pengumpan Lokal Tapalang di Kabupaten Mamuju;
j. Pelabuhan Pengumpan Lokal Bambaloka di Kabupaten Pasangkayu;
k. Pelabuhan Pengumpan Lokal Campalagian di Kabupaten Polewali
Mandar;
l. Pelabuhan Pengumpan Lokal Kalukku di Kabupaten Mamuju;
m. Pelabuhan Pengumpan Lokal Malunda di Kabupaten Majene;
n. Pelabuhan Pengumpan Lokal Sampaga di Kabupaten Mamuju;
o. Pelabuhan Pengumpan Lokal Sendana di Kabupaten Majene; dan
p. Pelabuhan Pengumpan Lokal Tinambung di Kabupaten Polewali
Mandar.
(5) Terminal umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, yaitu
Terminal Umum Belang-Belang di Kabupaten Mamuju.
(6) Terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d,
meliputi:

21
a. Terminal Khusus CPO Ako Mamuju Utara di Kabupaten Pasangkayu;
b. Terminal Khusus CPO Bone Manjeng di Kabupaten Pasangkayu;
c. Terminal Khusus pelabuhan Cinoki di Kabupaten Pasangkayu;
d. Terminal Khusus CV. Maju Bersama di Kabupaten Pasangkayu;
e. Terminal Khusus PT. Samudera Pantoloan di Kabupaten
Pasangkayu;
f. Terminal Khusus di Kabupaten Pasangkayu;
g. Terminal Khusus PT. Rekind Daya Mamuju di Kabupaten Mamuju;
h. Terminal Khusus PT. Semen Tonasa di Kabupaten Mamuju;
i. Terminal Khusus TNI AL di Kabupaten Mamuju;
j. Terminal Khusus Kawasan Industri Strategis Tikke Raya di
Kabupaten Pasangkayu;
k. Terminal Khusus PT. Aneka Bara Lestari di Kabupaten Mamuju;
l. Terminal Khusus PT. Manakarra Unggul Lestari di Kabupaten
Mamuju; dan
m. Terminal Khusus PT. Tambang Batuan Andesit di Kabupaten
Mamuju.
(7) Pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e,
terdiri atas:
a. Pelabuhan perikanan nusantara; dan
b. Pangkalan pendaratan ikan.
(8) Pelabuhan perikanan nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
huruf a, meliputi:
a. Pelabuhan Perikanan Nusantara Banggae di Kabupaten Majene;
b. Pelabuhan Perikanan Nusantara Lantora di Kabupaten Polewali
Mandar; dan
c. Pelabuhan Perikanan Nusantara Palipi di Kabupaten Majene.
(9) Pangkalan Pendaratan Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf
b, meliputi:
a. Pangkalan Pendaratan Ikan Kasiwa di Kabupaten Mamuju;
b. Pangkalan Pendaratan Ikan Babana di Kabupaten Mamuju Tengah;
c. Pangkalan Pendaratan Ikan Bambalamotu di Kabupaten
Pasangkayu;
d. Pangkalan Pendaratan Ikan Bambaloka di Kabupaten Pasangkayu;
e. Pangkalan Pendaratan Ikan Pasangkayu di Kabupaten Pasangkayu;
dan
f. Pangkalan Pendaratan Ikan Rangas Mamuju di Kabupaten Mamuju.
(10) Alur pelayaran di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1)
huruf b, terdiri dari:
a. alur pelayaran umum dan perlintasan; dan
b. alur pelayaran masuk pelabuhan.
(11) Alur pelayaran umum dan perlintasan sebagaimana dimaksud ayat (10)
huruf a, meliputi:
a. alur pelayaran nasional Mamuju – Balikpapan;
b. alur pelayaran nasional Mamuju – Makassar;
c. alur pelayaran regional Bonemanjeng, Kab. Mateng – Bontang;
d. alur pelayaran regional Majene – Kota Baru;
e. alur pelayaran regional Pasangkayu – Balikpapan;

22
f. alur pelayaran regional Pasangkayu – Bontang;
g. alur pelayaran regional Pelabuhan Belang-Belang – Balikpapan;
h. alur pelayaran regional Sendana, Majene – Balikpapan;
i. alur pelayaran regional Sendana, Majene – Kotabaru;
j. alur pelayaran regional Tanjung Silopo – Pare-Pare;
k. alur pelayaran lokal Mamuju – Salissingan – Balikpapan;
l. alur pelayaran lokal Pasangkayu – Tanjung Silopo; dan
m. alur laut Kepulauan Indonesia II.
(12) Alur pelayaran masuk pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(10) huruf b, meliputi:
a. alur masuk Pelabuhan Belang-Belang - Nasional;
b. alur masuk Pelabuhan Karampuang - Nasional;
c. alur masuk Pelabuhan Mamuju - Nasional;
d. alur masuk Pelabuhan Majene - Regional;
e. alur masuk Pelabuhan Palipi/PPN Palipi - Regional;
f. alur masuk Pelabuhan Palipi - Regional;
g. alur masuk Tersus PT Semen Tonasa - Regional;
h. alur masuk Pasangkayu - Lokal;
i. alur masuk Pelabuhan Budong-Budong - Lokal;
j. alur masuk Pelabuhan Campalagian - Lokal;
k. alur masuk Pelabuhan Malunda - Lokal;
l. alur masuk Pelabuhan Pasangkayu - Lokal.
m. alur masuk Pelabuhan Sampaga - Lokal;
n. alur masuk Pelabuhan Sendana - Lokal;
o. alur masuk Pelabuhan Tapalang - Lokal;
p. alur masuk Pelabuhan Tinambung - Lokal;
q. alur masuk PPN Lantora - Lokal; dan
r. alur masuk Tersus Pelabuhan Cinoki - Lokal.
(13) Pelabuhan pengumpan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf j,
huruf k, huruf l, huruf m, huruf n, huruf o, dan huruf p bersifat
indikatif dan penyelenggaraannya sesuai dengan kebijakan dan
ketentuan instansi terkait yang membidangi pelabuhan pengumpan.
(14) Terminal umum sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bersifat indikatif
dan penyelenggaraannya sesuai dengan kebijakan dan ketentuan
instansi terkait yang membidangi terminal umum.
(15) Terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf j, huruf k,
huruf l, dan huruf m bersifat indikatif dan penyelenggaraannya sesuai
dengan kebijakan dan ketentuan instansi terkait yang membidangi
terminal khusus.
(16) Pangkalan pendaratan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf
b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f bersifat indikatif dan
penyelenggaraannya sesuai dengan kebijakan dan ketentuan instansi
terkait yang membidangi pangkalan pendaratan ikan.
(17) Rencana pembangunan dan pengembangan jaringan transportasi laut
lainnya diatur sesuai dengan kebijakan pemerintah yang ditetapkan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 6

23
Bandar Udara Umum dan Bandar Udara Khusus

Pasal 19
(1) Bandar udara umum dan bandar udara khusus sebagaimana dimaksud
dalam pasal 9 ayat (1) huruf e, terdiri atas:
a. bandar udara pengumpul; dan
b. bandar udara pengumpan.
(2) Bandar udara pengumpul sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
yaitu bandar udara Tampa Padang di Kabupaten Mamuju.
(3) Bandar udara pengumpan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
b, meliputi:
a. bandar udara Sumarorong di Kabupaten Mamasa;
b. bandar udara Pasangkayu di Kabupaten Pasangkayu; dan
c. bandar udara Polewali Mandar di Kabupaten Polewali Mandar.
(4) Bandar udara pengumpan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b
dan huruf c bersifat indikatif dan penyelenggaraannya sesuai dengan
kebijakan dan ketentuan instansi terkait yang membidangi bandar
udara pengumpan.
(5) Rencana pembangunan dan pengembangan bandar udara umum dan
bandar udara khusus lainnya diatur sesuai dengan kebijakan
pemerintah yang ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(6) Bandar udara yang berada di Wilayah Laut selanjutnya diatur lebih
lanjut dalam arahan zona KKPRL sebagaimana tercantum dalam
Lampiran XV dan digambarkan dalam peta KKPRL dengan tingkat
ketelitian skala 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran XVI
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Keempat
Sistem Jaringan Energi

Paragraf 1
Umum

Pasal 20
(1) Sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
huruf c, terdiri atas:
a. jaringan infrastruktur minyak dan gas bumi; dan
b. jaringan infrastruktur ketenagalistrikan.
(2) Rencana sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian geometri dan
ketelitian detail informasi 1:250.000 yang tercantum dalam Lampiran V
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Paragraf 2
Jaringan Infrastruktur Minyak dan Gas Bumi

Pasal 21

24
(1) Jaringan infrastruktur minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud
pada Pasal 20 ayat (1) huruf a, terdiri atas:
a. infrastruktur minyak dan gas bumi; dan
b. jaringan minyak dan gas bumi.
(2) Infrastruktur minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, yaitu infrastruktur minyak dan gas bumi Mamuju di
Kabupaten Mamuju.
(3) Jaringan minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, meliputi Koridor Sepinggan/Balikpapan-Offshore.
(4) Infrastruktur minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) bersifat indikatif dan penyelenggaraannya menyesuaikan dengan
kebijakan dan ketentuan instansi terkait yang membidangi minyak dan
gas bumi.
(5) Rencana pembangunan dan pengembangan jaringan infrastruktur
minyak dan gas bumi lainnya diatur sesuai dengan kebijakan
pemerintah yang ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Paragraf 3
Jaringan Infrastruktur Ketenagalistrikan

Pasal 22
(1) Jaringan infrastruktur ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (1) huruf b, terdiri atas:
a. infrastruktur pembangkitan tenaga listrik dan sarana
pendukungnya; dan
b. jaringan infrastruktur penyaluran tenaga listrik dan sarana
pendukungnya.
(2) Infrastruktur pembangkitan tenaga listrik dan sarana pendukungnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, terdiri atas:
a. PLTU;
b. PLTM;
c. PLTS;
d. PLTMH;
e. PLTB;
f. PLTA; dan
g. PLTD.
(3) PLTU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a yaitu PLTU Mamuju
di Kabupaten Mamuju.
(4) PLTM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, meliputi:
a. PLTM Balla di Kabupaten Mamasa;
b. PLTM Bonehau di Kabupaten Mamasa;
c. PLTM Budong-Budong di Kabupaten Mamuju; dan
d. PLTM Kalukku di Kabupaten Mamuju.
(5) PLTS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, meliputi:
a. PLTS Aralle di Kabupaten Mamasa;

25
b. PLTS Balabalakang di Kabupaten Mamuju;
c. PLTS Budong-Budong di Kabupaten Mamuju Tengah;
d. PLTS Dapurang di Kabupaten Pasangkayu;
e. PLTS Kalumpang di Kabupaten Mamuju;
f. PLTS Karampuang #1 di Kabupaten Mamuju;
g. PLTS Karampuang #2 di Kabupaten Mamuju;
h. PLTS Karampuang #3 di Kabupaten Mamuju;
i. PLTS Karampuang #4 di Kabupaten Mamuju;
j. PLTS Lariang di Kabupaten Pasangkayu;
k. PLTS Malunda di Kabupaten Majene;
l. PLTS Mamasa di Kabupaten Mamasa;
m. PLTS Matangnga di Kabupaten Polewali Mandar;
n. PLTS Mehalan di Kabupaten Mamasa;
o. PLTS Pedongga di Kabupaten Pasangkayu;
p. PLTS Pulau Ambo di Kabupaten Mamuju;
q. PLTS Pulau Popoongan di Kabupaten Mamuju;
r. PLTS Pulau Salissingang di Kabupaten Mamuju;
s. PLTS Pulau Samataha di Kabupaten Mamuju;
t. PLTS Tawalian di Kabupaten Mamasa;
u. PLTS Tutar di Kabupaten Polewali Mandar;
v. PLTS Ulumanda di Kabupaten Majene; dan
w. PLTS di Kabupaten Polewali Mandar.
(6) PLTMH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, meliputi:
a. PLTMH Nosu di Kabupaten Mamasa;
b. PLTMH Ulumanda di Kabupaten Majene; dan
c. PLTMH di Kabupaten Polewali Mandar.
(7) PLTB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, meliputi:
a. PLTB Majene di Kabupaten Majene; dan
b. PLTB di Kabupaten Polewali Mandar.
(8) PLTA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f, meliputi:
a. PLTA Karama di Kabupaten Mamuju;
b. PLTA Mapili di Kabupaten Polewali Mandar;
c. PLTA Tabulahan di Kabupaten Mamasa;
d. potensi tenaga air Sungai Aralle di Kabupaten Mamasa;
e. potensi tenaga air Sungai Bambang di Kabupaten Mamasa;
f. potensi tenaga air Sungai Banea di Kabupaten Mamasa;
g. potensi tenaga air Sungai Budong-Budong di Kabupaten Mamuju
Tengah;
h. potensi tenaga air Sungai Buntu Malaka di Kabupaten Mamasa;
i. potensi tenaga air Sungai Lariang di Kabupaten Pasangkayu;
j. potensi tenaga air Sungai Mambi di Kabupaten Mamasa;
k. potensi tenaga air Sungai Mehalaan di Kabupaten Mamasa;
l. potensi tenaga air Sungai Paku di Kabupaten Mamasa;
m. potensi tenaga air Sungai Pamoseang di Kabupaten Mamasa;
n. potensi tenaga air Sungai Salu Le’bo di Kabupaten Mamuju Tengah;
dan
o. potensi tenaga air Sungai Sungai Bulo di Kabupaten Mamuju.

26
(9) PLTD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g, yaitu PLTD
Pasangkayu di Kabupaten Pasangkayu.
(10) Jaringan infrastruktur penyaluran tenaga listrik dan sarana
pendukungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, meliputi:
a. jaringan transmisi tenaga listrik antarsistem;
b. jaringan pipa/kabel bawah laut penyaluran tenaga listrik; dan
c. gardu listrik.
(11) Jaringan transmisi tenaga listrik antarsistem sebagaimana dimaksud
dalam ayat (10) huruf a, yang melintas di seluruh Kabupaten, meliputi:
a. SUTT GI Polman – GI Majene yang melintas di Kabupaten Polewali
Mandar dan Kabupaten Majene;
b. SUTT GI Polman – GI Incomer yang melintas di Kabupaten Polewali
Mandar;
c. SUTT GI Majene – GI Mamuju yang melintas di Kabupaten Majene
dan Kabupaten Mamuju;
d. SUTT GI Mamuju – GI Mamuju Baru yang melintas di Kabupaten
Mamuju;
e. SUTT GI PLTU Mamuju – GI Mamuju Baru yang melintas di
Kabupaten Mamuju;
f. SUTT GI Topoyo – GI Pasangkayu yang melintas di Kabupaten
Mamuju Tengah dan Kabupaten Pasangkayu;
g. SUTT GI Pasangkayu- GI Silae yang melintas di Kabupaten
Pasangkayu;
h. SUTT GI PLTU Mamuju – GI Topoyo yang melintas di Kabupaten
Mamuju dan Kabupaten Mamuju Tengah; dan
i. SUTT GI Polman – GI Mamasa yang melintas di Kabupaten Polewali
Mandar dan Kabupaten Mamasa.
(12) Jaringan pipa/kabel bawah laut penyaluran tenaga listrik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (10) huruf b, meliputi:
a. alur Binuang – P. Battoa;
b. alur Kalukku – P. Tiporbakengkeng; dan
c. alur Mamuju – P. Karampuang.
(13) Gardu listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) huruf c, berupa
gardu induk yang terdiri dari:
a. Gardu Induk Majene di Kabupaten Majene;
b. Gardu Induk Mamasa di Kabupaten Mamasa.
c. Gardu Induk Mamuju Baru di Kabupaten Mamuju;
d. Gardu Induk Mamuju di Kabupaten Mamuju;
e. Gardu Induk Pasangkayu di Kabupaten Pasangkayu;
f. Gardu Induk PLTU Mamuju di Kabupaten Mamuju;
g. Gardu Induk Polman di Kabupaten Polewali Mandar; dan
h. Gardu Induk Topoyo di Kabupaten Mamuju Tengah.
(14) PLTB sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b bersifat indikatif dan
penyelenggaraannya menyesuaikan dengan kebijakan dan ketentuan
instansi terkait yang membidangi ketenagalistrikan.
(15) PLTA sebagaimana dimaksud pada ayat (8) bersifat indikatif dan
penyelenggaraannya menyesuaikan dengan kebijakan dan ketentuan
instansi terkait yang membidangi ketenagalistrikan.

27
(16) Jaringan transmisi tenaga listrik antarsistem sebagaimana dimaksud
pada ayat (11) huruf i bersifat indikatif dan penyelenggaraannya
menyesuaikan dengan kebijakan dan ketentuan instansi terkait yang
membidangi ketenagalistrikan.
(17) Jaringan pipa/kabel bawah laut penyaluran tenaga listrik sebagaimana
dimaksud pada ayat (12) bersifat indikatif dan penyelenggaraannya
menyesuaikan dengan kebijakan dan ketentuan instansi terkait yang
membidangi ketenagalistrikan.
(18) Gardu listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (13) huruf h bersifat
indikatif dan penyelenggaraannya menyesuaikan dengan kebijakan dan
ketentuan instansi terkait yang membidangi ketenagalistrikan.
(19) Rencana pembangunan dan pengembangan jaringan infrastruktur
ketenagalistrikan lainnya diatur sesuai dengan kebijakan pemerintah
yang ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kelima
Sistem Jaringan Telekomunikasi

Pasal 23
(1) Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) huruf d, terdiri atas:
a. jaringan tetap; dan
b. jaringan bergerak.
(2) Jaringan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri
atas:
a. infrastruktur jaringan tetap; dan
b. jaringan tetap.
(3) Jaringan bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu
infrastruktur jaringan bergerak.
(4) Infrastruktur jaringan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a, meliputi:
a. sentral telepon otomat Majene di Kabupaten Majene;
b. sentral telepon otomat Mamasa di Kabupaten Mamasa;
c. sentral telepon otomat Mamuju di Kabupaten Mamuju;
d. sentral telepon otomat Pasangkayu di Kabupaten Pasangkayu; dan
e. sentral telepon otomat Polewali Mandar di Kabupaten Polewali
Mandar.
(5) Jaringan tetap termasuk kabel bawah laut telekomunikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b, meliputi:
a. jaringan serat optik;
b. koridor Doda - Balikpapan INA - CBT;
c. koridor Makassar - Kota Baru;
d. koridor Mamuju - Balikpapan;
e. koridor Balikpapan - Mamuju;
f. koridor Mamuju - Polewali;
g. koridor Singapura - Amerika (Apricot); dan
h. koridor Singapura - Amerika (Bifrost).

28
(6) Infrastruktur jaringan bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
meliputi:
a. base transceiver station 4G Saloadak di Kabupaten Mamuju Tengah;
b. base transceiver station 4G Salulekbo di Kabupaten Mamuju Tengah;
dan
c. base transceiver station 4G Sejati di Kabupaten Mamuju Tengah.
(7) Jaringan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf e, huruf f,
huruf g, dan huruf h, bersifat indikatif dan penyelenggaraannya
menyesuaikan dengan kebijakan dan ketentuan instansi terkait yang
membidangi jaringan tetap.
(8) Rencana pembangunan dan pengembangan jaringan telekomunikasi
lainnya diatur sesuai dengan kebijakan pemerintah yang ditetapkan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(9) Rencana sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian geometri dan
ketelitian detail informasi 1:250.000 yang tercantum dalam Lampiran VI
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Keenam
Sistem Jaringan Sumber Daya Air

Pasal 24
(1) Sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) huruf e berupa prasarana sumber daya air, meliputi:
a. sistem jaringan irigasi;
b. sistem jaringan air bersih; dan
c. bangunan sumber daya air.
(2) Sistem jaringan irigasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a,
terdapat di seluruh kabupaten.
(3) Sistem jaringan air bersih sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
b, meliputi:
a. pipa bawah laut air bersih Binuang – P. Battoa;
b. pipa bawah laut air bersih Kalukku – P. Tiporbakengkeng; dan
c. pipa bawah laut air bersih Mamuju – P. Karampuang.
(4) Bangunan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
c, terdapat di seluruh kabupaten.
(5) Rencana pembangunan dan pengembangan jaringan sumber daya air
lainnya diatur sesuai dengan kebijakan pemerintah yang ditetapkan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Rencana sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian geometri dan
ketelitian detail informasi 1:250.000.

29
(7) Sistem Jaringan Irigasi, Bangunan Sumber Daya Air dan Peta Rencana
Sistem Jaringan Sumber Daya Air Provinsi Sulawesi Barat tercantum
dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.

Bagian Ketujuh
Sistem Jaringan Prasarana Lainnya

Paragraf 1
Umum

Pasal 25
(1) Sistem Jaringan Prasarana Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (1) huruf f, terdiri atas:
a. SPAM; dan
b. Sistem Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
(2) Rencana pembangunan dan pengembangan jaringan prasarana lainnya
lainnya diatur sesuai dengan kebijakan pemerintah yang ditetapkan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Rencana sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian
geometri dan ketelitian detail informasi 1:250.000 yang tercantum dalam
Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.

Paragraf 2
Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM)

Pasal 26
(1) SPAM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a, terdiri
atas:
a. infrastruktur SPAM; dan
b. jaringan SPAM.
(2) Infrastruktur SPAM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a,
meliputi:
a. Offtaker Tinambung SPAM Regional Polewali Mandar – Majene;
b. Offtaker Parang-Parang SPAM Regional Polewali Mandar – Majene;
c. Offtaker Palippis SPAM Regional Polewali Mandar – Majene
d. Intake SPAM Regional Polewali Mandar – Majene; dan
e. IPA SPAM Regional Polewali Mandar – Majene.
(3) Jaringan SPAM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, yaitu
SPAM Regional Polewali Mandar – Majene.
(4) SPAM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat indikatif dan
penyelenggaraannya menyesuaikan dengan kebijakan dan ketentuan
instansi terkait yang membidangi SPAM.
(5) Rencana pembangunan dan pengembangan SPAM lainnya diatur sesuai
dengan kebijakan pemerintah yang ditetapkan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.

30
Paragraf 3
Sistem Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)

Pasal 27
(1) Sistem Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b, yaitu
pengolahan limbah B3 (Insinerator) Regional Medis Fasyankes di
Kabupaten Mamuju.
(2) Rencana pembangunan dan pengembangan sistem pengelolaan limbah
B3 diatur sesuai dengan kebijakan pemerintah yang ditetapkan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB V
RENCANA POLA RUANG WILAYAH PROVINSI

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 28
(1) Rencana pola ruang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 huruf
d, terdiri atas:
a. kawasan lindung; dan
b. kawasan budi daya.
(2) Rencana pola ruang wilayah provinsi digambarkan dalam peta dengan
tingkat ketelitian geometri dan ketelitian detail informasi 1:250.000
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua
Kawasan Lindung

Pasal 29
Kawasan Lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a
meliputi:
a. badan air dengan kode BA;
b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan
bawahannya dengan kode PTB;
c. kawasan perlindungan setempat dengan kode PS;
d. kawasan konservasi dengan kode KS;
e. kawasan pencadangan konservasi di laut dengan kode KPL; dan
f. kawasan ekosistem mangrove dengan kode EM.

Paragraf 1
Badan Air

Pasal 30

31
Badan air dengan kode BA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a
seluas kurang lebih 5.678 ha (lima ribu enam ratus tujuh puluh delapan
hektare) terdapat di seluruh kabupaten.

Paragraf 2
Kawasan yang Memberikan Perlindungan Terhadap Kawasan Bawahannya

Pasal 31
Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya
dengan kode PTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf b seluas
kurang lebih 450.023 ha (empat ratus lima puluh ribu dua puluh tiga
hektare) terdapat di seluruh kabupaten.

Paragraf 3
Kawasan Perlindungan Setempat

Pasal 32
Kawasan Perlindungan Setempat dengan kode PS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 huruf c seluas kurang lebih 16.392 ha (enam belas ribu tiga
ratus sembilan puluh dua hektare) terdapat di seluruh kabupaten.

Paragraf 4
Kawasan Konservasi

Pasal 33
(1) Kawasan konservasi dengan kode KS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 huruf d, meliputi Kawasan konservasi di darat dan di laut
seluas kurang lebih 372.504 ha (tiga ratus tujuh puluh dua ribu lima
ratus empat hektare) terdapat di:
a. Kabupaten Mamasa;
b. Kabupaten Mamuju;
c. Kabupaten Mamuju Tengah;
d. Kabupaten Pasangkayu; dan
e. Kabupaten Polewali Mandar.
(2) Kawasan konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berada
di wilayah laut dan/atau berbatasan langsung dengan laut diatur lebih
lanjut dalam KKPR di Perairan Pesisir, wilayah perairan, dan wilayah
yurisdiksi yang tercantum dalam Lampiran XI dan digambarkan dalam
peta KKPR dengan tingkat ketelitian geometri dan ketelitian detail
informasi 1:250.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI.1 yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Paragraf 5
Kawasan Pencadangan Konservasi di Laut

Pasal 34
(1) Kawasan pencadangan konservasi di laut dengan kode KPL
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf e seluas kurang lebih

32
22.575 ha (dua puluh dua ribu lima ratus tujuh puluh lima hektare)
terdapat di wilayah laut.
(2) Kawasan pencadangan konservasi di laut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur lebih lanjut dalam KKPR di Perairan Pesisir, wilayah
perairan, dan wilayah yurisdiksi yang tercantum dalam Lampiran XI dan
digambarkan dalam peta KKPR dengan tingkat ketelitian geometri dan
ketelitian detail informasi 1:250.000 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran XI.1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.

Paragraf 6
Kawasan Ekosistem Mangrove

Pasal 35
(1) Kawasan ekosistem mangrove dengan kode EM sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 huruf f seluas kurang lebih 1.085 ha (seribu delapan
puluh lima hektare) terdapat di:
a. Kabupaten Majene;
b. Kabupaten Mamuju;
c. Kabupaten Mamuju Tengah;
d. Kabupaten Pasangkayu;
e. Kabupaten Polewali Mandar; dan
f. wilayah laut.
(2) Kawasan ekosistem mangrove sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang berada di wilayah laut dan/atau berbatasan langsung dengan laut
diatur lebih lanjut dalam KKPR di Perairan Pesisir, wilayah perairan,
dan wilayah yurisdiksi yang tercantum dalam Lampiran XI dan
digambarkan dalam peta KKPR dengan tingkat ketelitian geometri dan
ketelitian detail informasi 1:250.000 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran XI.1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.

Bagian Ketiga
Kawasan Budi Daya

Pasal 36
Kawasan budi daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b,
terdiri atas:
a. kawasan hutan produksi dengan kode KHP;
b. Kawasan perkebunan rakyat dengan kode KR;
c. kawasan pertanian dengan kode P;
d. kawasan perikanan dengan kode IK;
e. kawasan pergaraman dengan kode KEG;
f. kawasan pertambangan dan energi dengan kode TE;
g. kawasan peruntukan industri dengan kode KPI;
h. kawasan pariwisata dengan kode W;
i. kawasan permukiman dengan kode PM;
j. kawasan transportasi dengan kode TR; dan

33
k. kawasan pertahanan dan keamanan dengan kode HK.

Paragraf 1
Kawasan Hutan Produksi

Pasal 37
Kawasan hutan produksi dengan kode KHP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 huruf a seluas kurang lebih 420.072 ha (empat ratus dua puluh
ribu tujuh puluh dua hektare) terdapat di seluruh kabupaten.

Paragraf 2
Kawasan Perkebunan Rakyat

Pasal 38
Kawasan perkebunan rakyat dengan kode KR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 huruf b seluas kurang lebih 54.516 ha (lima puluh empat ribu lima
ratus enam belas hektare) terdapat di:
a. Kabupaten Mamasa;
b. Kabupaten Mamuju;
c. Kabupaten Pasangkayu; dan
d. Kabupaten Polewali Mandar.

Paragraf 3
Kawasan Pertanian

Pasal 39
(1) Kawasan pertanian dengan kode P sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 huruf c seluas kurang lebih 468.348 ha (empat ratus enam puluh
delapan ribu tiga ratus empat puluh delapan hektare) terdapat di
seluruh kabupaten.
(2) Pada kawasan pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan KP2B seluas kurang lebih 44.636 ha (empat puluh empat
ribu enam ratus tiga puluh enam hektare) yang terdapat di seluruh
kabupaten.

Paragraf 4
Kawasan Perikanan

Pasal 40
(1) Kawasan perikanan dengan kode IK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 huruf d seluas kurang lebih 1.782.949 ha (satu juta tujuh ratus
delapan puluh dua ribu sembilan ratus empat puluh sembilan hektare)
terdapat di seluruh kabupaten dan di wilayah laut.
(2) Kawasan perikanan dengan kode IK sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1) yang berada di wilayah laut dan/atau berbatasan langsung
dengan laut diatur lebih lanjut dalam KKPR di Perairan Pesisir, wilayah
perairan dan wilayah yurisdiksi sebagaimana tercantum dalam lampiran
XI dan digambarkan dalam peta KKPR dengan tingkat ketelitian skala

34
1:250.000 sebagaimana tercantum dalam lampiran XI yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Paragraf 5
Kawasan Pergaraman

Pasal 41
(1) Kawasan pergaraman dengan kode KEG sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 huruf e seluas kurang lebih 221 ha (dua ratus dua puluh satu
hektare) terdapat di:
a. Kabupaten Majene; dan
b. Kabupaten Polewali Mandar.
(2) Kawasan pergaraman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berada
di wilayah laut dan/atau berbatasan langsung dengan laut diatur lebih
lanjut dalam KKPR di Perairan Pesisir, wilayah perairan, dan wilayah
yurisdiksi yang tercantum dalam Lampiran XI dan digambarkan dalam
peta KKPR dengan tingkat ketelitian geometri dan ketelitian detail
informasi 1:250.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI.1 yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Paragraf 6
Kawasan Pertambangan dan Energi

Pasal 42
(1) Kawasan pertambangan dan energi dengan kode TE sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 huruf f seluas kurang lebih 27 ha (dua puluh
tujuh hektare) terdapat di Kabupaten Mamuju.
(2) Kawasan pertambangan dan energi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang berada di wilayah laut dan/atau berbatasan langsung dengan
laut diatur lebih lanjut dalam KKPR di Perairan Pesisir, wilayah
perairan, dan wilayah yurisdiksi yang tercantum dalam Lampiran XI dan
digambarkan dalam peta KKPR dengan tingkat ketelitian geometri dan
ketelitian detail informasi 1:250.000 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran XI.1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.

Paragraf 7
Kawasan Peruntukan Industri

Pasal 43
(1) Kawasan peruntukan industri dengan kode KPI sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 huruf g seluas kurang lebih 2.582 ha (dua ribu lima
ratus delapan puluh dua hektare) terdapat di:
a. Kabupaten Mamuju;
b. Kabupaten Mamuju Tengah;
c. Kabupaten Pasangkayu;
d. Kabupaten Polewali Mandar; dan
e. wilayah laut.

35
(2) Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang berada di wilayah laut dan/atau berbatasan langsung dengan laut
diatur lebih lanjut dalam KKPR di Perairan Pesisir, wilayah perairan, dan
wilayah yurisdiksi yang tercantum dalam Lampiran XI dan digambarkan
dalam peta KKPR dengan tingkat ketelitian geometri dan ketelitian detail
informasi 1:250.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI.1 yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Paragraf 8
Kawasan Pariwisata

Pasal 44
(1) Kawasan pariwisata dengan kode W sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 huruf h seluas kurang lebih 4.969 ha (empat ribu sembilan ratus
enam puluh sembilan hektare) terdapat di:
a. Kabupaten Mamuju;
b. Kabupaten Mamuju Tengah;
c. Kabupaten Pasangkayu;
d. Kabupaten Polewali Mandar; dan
e. wilayah laut.
(2) Kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berada
di wilayah laut dan/atau berbatasan langsung dengan laut diatur lebih
lanjut dalam KKPR di Perairan Pesisir, wilayah perairan, dan wilayah
yurisdiksi yang tercantum dalam Lampiran XI dan digambarkan dalam
peta KKPR dengan tingkat ketelitian geometri dan ketelitian detail
informasi 1:250.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI.1 yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Paragraf 9
Kawasan Permukiman

Pasal 45
(1) Kawasan permukiman dengan kode PM sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 huruf i seluas kurang lebih 38.522 ha (tiga puluh delapan ribu
lima ratus dua puluh dua hektare) terdapat di seluruh kabupaten.
(2) Kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berada
di wilayah laut dan/atau berbatasan langsung dengan laut diatur lebih
lanjut dalam KKPR di Perairan Pesisir, wilayah perairan, dan wilayah
yurisdiksi yang tercantum dalam Lampiran XI dan digambarkan dalam
peta KKPR dengan tingkat ketelitian geometri dan ketelitian detail
informasi 1:250.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI.1 yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Paragraf 10
Kawasan Transportasi

36
Pasal 46
(1) Kawasan transportasi dengan kode TR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 huruf j seluas kurang lebih 3.675 ha (tiga ribu enam ratus
tujuh puluh lima hektare) terdapat di seluruh kabupaten.
(2) Kawasan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berada
di wilayah laut dan/atau berbatasan langsung dengan laut diatur lebih
lanjut dalam KKPR di Perairan Pesisir, wilayah perairan, dan wilayah
yurisdiksi yang tercantum dalam Lampiran XI dan digambarkan dalam
peta KKPR dengan tingkat ketelitian geometri dan ketelitian detail
informasi 1:250.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI.1 yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Paragraf 11
Kawasan Pertahanan dan Keamanan

Pasal 47
Kawasan pertahanan dan keamanan dengan kode HK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 huruf k seluas kurang lebih 33 ha (tiga puluh tiga
hektare) terdapat di:
a. Kabupaten Mamuju; dan
b. Kabupaten Polewali Mandar.

BAB VI
KAWASAN STRATEGIS PROVINSI

Pasal 48
(1) Kawasan strategis provinsi, terdiri atas:
a. kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan pertumbuhan
ekonomi;
b. kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan sosial dan
budaya; dan
c. kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan daya
dukung lingkungan hidup.
(2) Kawasan Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan
dalam peta dengan tingkat ketelitian geometri dan ketelitian detail
informasi 1:250.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran X yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Pasal 49
(1) kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan pertumbuhan
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a,
meliputi:
a. kawasan strategis provinsi terpadu pelabuhan, bandara, industri,
perdagangan dan Pergudangan Mamuju - Tampa Padang-
Belangbelang (MATABE) di Kabupaten Mamuju;
b. kawasan strategis provinsi agropolitan yang meliputi:

37
1. Kawasan Strategis Agropolitan Wilayah Utara pada wilayah
administrasi Kabupaten Pasangkayu dan Kabupaten Mamuju
Tengah; dan
2. Kawasan Strategis Agropolitan Wilayah Selatan pada wilayah
administrasi Kabupaten Polewali Mandar, Kabupaten Mamasa
dan Kabupaten Majene.
c. kawasan strategis provinsi hortikultura pada wilayah administrasi
Kabupaten Mamasa;
d. kawasan strategis provinsi minapolitan yang meliputi:
1. Kawasan Strategis Minapolitan Pesisir Pantai Utara pada wilayah
administrasi Kabupaten Pasangkayu.
2. Kawasan Strategis Minapolitan Pesisir Pantai Selatan pada
Wilayah administrasi Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten
Majene.
e. Kawasan Strategis Provinsi Kota Terpadu Mandiri Tobadak di
Kabupaten Mamuju Tengah;
f. Kawasan Strategis Provinsi Pendidikan Tinggi Majene di Kabupaten
Majene.
(2) kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan sosial dan budaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b yaitu KSP
Kawasan Wisata Adat Mamasa di Kabupaten Mamasa; dan
(3) kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan daya
dukung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat
(1) huruf c yaitu kawasan strategis provinsi kawasan wisata bahari Bala-
Balakang pada wilayah administrasi Kabupaten Mamuju.

BAB VII
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH PROVINSI

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 50
(1) Pemanfaatan ruang wilayah Provinsi berpedoman pada rencana struktur
ruang dan pola ruang.
(2) Arahan Pemanfaatan Ruang wilayah provinsi, meliputi:
a. KKPR;
b. indikasi program utama jangka menengah 5 (lima) tahunan; dan
c. SPPR.

Bagian Kedua
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang

38
Pasal 51
(1) KKPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a, terdiri atas:
a. KKPR wilayah darat; dan
b. KKPRL.
(2) KKPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
a. KKPR untuk kegiatan berusaha;
b. KKPR untuk kegiatan non berusaha; dan
c. KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional.

Pasal 52
(1) Pelaksanaan KKPR wilayah darat sebagaimana dimaksud dalam Pasasl
52 ayat (1) huruf a dilakukan melalui:
a. konfirmasi KKPR;
b. persetujuan KKPR; dan/atau
c. rekomendasi KKPR.
(2) Pelaksanaan KKPR wilayah darat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 53
(1) Pelaksanaan KKPRL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1)
huruf b dilakukan melalui:
a. persetujuan KKPR; atau
b. konfirmasi KKPR.
(2) Dalam rangka pemberian KKPRL sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dijabarkan ke dalam kegiatan.
(3) Pelaksanaan KKPRL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Rincian rencana pola ruang, kegiatan, lokasi, luas, koordinat, dan
aturan pemanfaatan ruang pada masing-masing kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(5) KKPRL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam peta
dengan tingkat ketelitian geometri dan ketelitian detail informasi skala
1:50.000 yang tercantum dalam Lampiran XI.1 dan merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Ketiga
Indikasi Program Utama Jangka Menengah 5 (lima) Tahunan

Pasal 54
(1) Indikasi program utama jangka menengah 5 (lima) tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf b, meliputi:
a. program utama;
b. lokasi;
c. sumber pendanaan;
d. instansi pelaksana; dan
e. waktu pelaksanaan.

39
(2) Program utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri
atas
a. perwujudan rencana struktur ruang wilayah provinsi, meliputi:
1. perwujudan sistem pusat permukiman;
2. perwujudan sistem jaringan transportasi;
3. perwujudan sistem jaringan energi;
4. perwujudan sistem jaringan telekomunikasi;
5. perwujudan sistem jaringan sumber daya air; dan
6. perwujudan sistem jaringan prasarana lainnya.
b. perwujudan rencana pola ruang wilayah provinsi, meliputi:
1. perwujudan kawasan lindung; dan
2. perwujudan kawasan budi daya.
c. perwujudan kawasan strategis provinsi.
(3) Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan tempat
dimana usulan program utama akan dilaksanakan.
(4) Sumber pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat
bersumber dari:
a. anggaran pendapatan belanja nasional;
b. anggaran pendapatan belanja daerah provinsi;
c. swasta;
d. masyarakat; dan/atau
e. sumber lain yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(5) Instansi pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
merupakan pelaksana program utama, meliputi:
a. pemerintah (sesuai dengan kewenangan masing-masing
pemerintahan);
b. swasta; dan/atau
c. masyarakat.
(6) Waktu pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terdiri
atas 5 (lima) tahapan sebagai dasar bagi instansi pelaksana dalam
menetapkan prioritas pembangunan pada wilayah kabupaten, meliputi:
a. tahap I (2024);
b. tahap II (2025 – 2029);
c. tahap III (2030 – 2034);
d. tahap IV (2035 – 2039); dan
e. tahap V (2040 – 2043).
(7) Indikasi program utama jangka menengah 5 (lima) tahunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XII
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Daerah ini.

Bagian Keempat
Pelaksanaan Sinkronisasi Program Pemanfaatan Ruang

Pasal 55
(1) Pelaksanaan SPPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf
c dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

40
(2) Pelaksanaan SPPR yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
a. rencana tata ruang wilayah provinsi; dan/atau
b. rencana tata ruang wilayah kabupaten.
(3) Pelaksanaan SPPR dilakukan berdasarkan indikasi program utama yang
termuat dalam RTR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan
huruf b; dan
(4) Pelaksanaan SPPR dilakukan dengan menyelaraskan indikasi program
utama dengan program sektoral dan kewilayahan dalam dokumen
rencana pembangunan secara terpadu.
(5) SPPR menghasilkan dokumen:
a. sinkronisasi program Pemanfaatan Ruang jangka menengah 5 (lima)
tahunan; dan
b. sinkronisasi program Pemanfaatan Ruang jangka pendek 1 (satu)
tahunan.
(6) Dokumen sinkronisasi program Pemanfaatan Ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) menjadi masukan untuk penyusunan rencana
pembangunan dan pelaksanaan peninjauan kembali dalam rangka revisi
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.

BAB VIII
ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG
WILAYAH PROVINSI

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 56
(1) Pengendalian Pemanfaatan Ruang dilaksanakan untuk mendorong
setiap Orang agar:
a. menaati RTR yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan Ruang sesuai dengan RTR; dan
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan KKPR.
(2) Pengendalian Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui:
a. indikasi arahan zonasi sistem provinsi;
b. penilaian pelaksanaan pemanfaatan ruang;
c. Penilaian perwujudan RTR;
d. arahan dan ketentuan insentif dan disinsentif; dan
e. arahan sanksi.

Bagian Kedua
Indikasi Arahan Zonasi Sistem Provinsi

Paragraf 1
Umum

41
Pasal 57
(1) Indikasi Arahan Zonasi Sistem Provinsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 ayat (2) huruf a digunakan sebagai pedoman Pemerintah
Daerah Kabupaten dalam menyusun ketentuan umum zonasi;
(2) Indikasi Arahan Zonasi sistem provinsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), terdiri atas:
a. indikasi arahan zonasi untuk struktur ruang;
b. indikasi arahan zonasi untuk pola ruang; dan
c. ketentuan khusus.

Paragraf 2
Indikasi Arahan Zonasi untuk Struktur Ruang

Pasal 58
Indikasi Arahan Zonasi untuk Struktur Ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 57 ayat (2) huruf a, terdiri atas:
a. Indikasi Arahan Zonasi pada sistem pusat permukiman;
b. Indikasi Arahan Zonasi pada sistem jaringan transportasi;
c. Indikasi Arahan Zonasi pada sistem jaringan energi;
d. Indikasi Arahan Zonasi pada sistem jaringan telekomunikasi;
e. Indikasi Arahan Zonasi pada sistem jaringan sumberdaya air; dan
f. Indikasi Arahan Zonasi pada sistem jaringan prasarana lainnya.

Paragraf 3
Indikasi Arahan Zonasi pada Sistem Pusat Permukiman

Pasal 59
(1) Indikasi Arahan Zonasi pada sistem pusat permukiman provinsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf a, terdiri atas:
a. indikasi arahan zonasi pada PKN;
b. indikasi arahan zonasi pada PKW; dan
c. indikasi arahan zonasi pada PKL.
(2) Indikasi Arahan Zonasi pada PKN, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, terdiri dari:
a. kegiatan Pemanfaatan Ruang pada PKN, meliputi:
1. kegiatan Pemanfaatan Ruang diperbolehkan yaitu pemanfaatan
ruang untuk kegiatan ekonomi perkotaan berskala internasional
dan Nasional yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur
perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang
dilayaninya;
2. kegiatan Pemanfaatan Ruang diperbolehkan dengan syarat yaitu
kegiatan industri pada kawasan peruntukan industri yang tidak
mengganggu fungsi kawasan perkotaan, alokasi penambahan
kegiatan karena adanya penambahan kebijakan yang bersifat
strategis nasional yang bersifat mendesak dan tidak dapat
ditunda pelaksanaannya, tidak dapat dialihkan ke lokasi lain,
tidak berpengaruh negatif terhadap fungsi kawasan perkotaan,

42
dan didukung kajian aspek daya dukung dan daya tampung
lingkungan; dan
3. kegiatan Pemanfaatan Ruang tidak diperbolehkan yaitu kegiatan
yang berpotensi mengganggu pelayanan kota/perkotaan dan
kegiatan yang memiliki daya rusak dari aspek sosial dan
lingkungan.
b. intensitas pemanfaatan ruang, meliputi:
1. pemanfaatan ruang budi daya diarahkan dengan tingkat
intensitas ruang tinggi yang kecenderungan pengembangan
ruangnya ke arah horizontal dan vertikal dengan
mempertimbangkan dimensi fisik (karakteristik lahan, topografi,
daya dukung lahan) dan non fisik (ekonomi, sosial dan budaya);
2. arahan intensitas pemanfaatan ruang disesuaikan dengan
memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
dan kondisi masing-masing wilayah Kabupaten/Kota dengan
pertimbangan daya dukung dan tampung ruang serta faktor
teknis lainnya; dan
3. penyediaan RTH paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas
wilayah kota/kawasan perkotaan.
c. sarana prasarana minimum, meliputi:
1. kebutuhan dasar antara lain listrik, telekomunikasi, air bersih,
serta pengolahan sampah dan limbah;
2. prasarana dan sarana pendukung aksesibilitas berupa jaringan
jalan, terminal, serta angkutan penumpang dan angkutan
barang;
3. prasarana dan sarana kesehatan; dan
4. prasarana dan sarana pertahanan dan keamanan negara.
(3) Indikasi Arahan Zonasi pada PKW, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, terdiri dari:
a. kegiatan pemanfaatan ruang pada PKW, meliputi:
1. kegiatan Pemanfaatan Ruang diperbolehkan yaitu kegiatan
ekonomi perkotaan berskala provinsi yang didukung dengan
fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan
kegiatan ekonomi yang dilayaninya;
2. kegiatan Pemanfaatan Ruang diperbolehkan dengan syarat yaitu
alokasi penambahan kegiatan karena adanya penambahan
kebijakan yang bersifat strategis nasional yang bersifat mendesak
dan tidak dapat ditunda pelaksanaannya, tidak dapat dialihkan
ke lokasi lain, tidak berpengaruh negatif terhadap fungsi
kawasan perkotaan, dan dan didukung kajian aspek daya
dukung dan daya tampung lingkungan; dan
3. kegiatan Pemanfaatan Ruang tidak diperbolehkan yaitu kegiatan
yang berpotensi mengganggu pelayanan kota/perkotaan dan
kegiatan yang memiliki daya rusak dari aspek sosial dan
lingkungan.
b. intensitas pemanfaatan lahan, meliputi:
1. pemanfaatan ruang diarahkan dengan tingkat intensitas ruang
menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan

43
ruangnya ke arah horizontal dan vertikal dengan
mempertimbangkan dimensi fisik (karakteristik lahan, topografi,
daya dukung lahan) dan non fisik (ekonomi, sosial dan budaya);
dan
2. penyediaan RTH paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas
wilayah kota/kawasan perkotaan.
c. sarana prasarana minimum, meliputi:
1. kebutuhan dasar antara lain listrik, telekomunikasi, air bersih,
serta pengolahan sampah dan limbah;
2. prasarana dan sarana pendukung aksesibilitas berupa jaringan
jalan, terminal, serta angkutan penumpang dan angkutan
barang;
3. prasarana dan sarana kesehatan; dan
4. prasarana dan sarana pertahanan dan keamanan negara.
(4) Indikasi Arahan Zonasi pada PKL, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, terdiri dari:
a. kegiatan pemanfaatan ruang pada PKL, meliputi:
1. kegiatan Pemanfaatan Ruang diperbolehkan yaitu kegiatan
ekonomi perkotaan berskala kabupaten yang didukung dengan
fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan
kegiatan ekonomi yang dilayaninya;
2. kegiatan Pemanfaatan Ruang diperbolehkan dengan syarat yaitu
alokasi penambahan kegiatan karena adanya penambahan
kebijakan yang bersifat strategis nasional yang bersifat mendesak
dan tidak dapat ditunda pelaksanaannya, tidak dapat dialihkan
ke lokasi lain, tidak berpengaruh negatif terhadap fungsi
kawasan perkotaan, dan dan didukung kajian aspek daya
dukung dan daya tampung lingkungan; dan
3. kegiatan Pemanfaatan Ruang tidak diperbolehkan yaitu kegiatan
yang berpotensi mengganggu pelayanan kota/perkotaan dan
kegiatan yang memiliki daya rusak dari aspek sosial dan
lingkungan.
b. intensitas pemanfaatan ruang, meliputi:
1. pemanfaatan ruang diarahkan dengan tingkat intensitas ruang
menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan
ruangnya ke arah horizontal dan vertikal dengan
mempertimbangkan dimensi fisik (karakteristik lahan, topografi,
daya dukung lahan) dan non fisik (ekonomi, sosial dan budaya);
dan
2. penyediaan RTH paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas
wilayah kota/kawasan perkotaan.
c. sarana prasarana minimum, meliputi:
1. kebutuhan dasar antara lain listrik, telekomunikasi, air bersih,
serta pengolahan sampah dan limbah;
2. prasarana dan sarana pendukung aksesibilitas berupa jaringan
jalan, terminal, serta angkutan penumpang dan angkutan
barang;
3. prasarana dan sarana kesehatan;

44
4. prasarana dan sarana pertahanan dan keamanan negara.

Pasal 60
Indikasi Arahan Zonasi pada sistem jaringan transportasi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 58 huruf b, terdiri dari:
a. indikasi arahan zonasi pada sistem jaringan jalan;
b. indikasi arahan zonasi pada sistem jaringan kereta api;
c. indikasi arahan zonasi pada sistem jaringan sungai, danau dan
penyeberangan;
d. indikasi arahan zonasi pada sistem jaringan transportasi laut; dan
e. indikasi arahan zonasi pada bandar udara umum dan bandar udara
khusus.

Pasal 61
(1) Indikasi Arahan Zonasi pada sistem jaringan jalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60 huruf a, terdiri dari:
a. indikasi arahan zonasi pada jalan umum dan jalan tol;
b. indikasi arahan zonasi pada terminal penumpang dan terminal
barang; dan
c. indikasi arahan zonasi pada Jembatan Timbang.
(2) Indikasi Arahan Zonasi pada jalan umum dan jalan tol sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a, terdiri dari:
a. kegiatan pemanfaatan ruang pada sistem jaringan jalan, meliputi:
1. kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan meliputi
aktivitas angkutan orang dan barang serta aktivitas lain sesuai
dengan ketentuan pemanfaatan ruang pada ruang milik jalan,
ruang manfaat jalan, dan ruang pengawasan jalan sesuai dengan
ketentuan peraturan-perundang-undangan;
2. kegiatan pemanfaatan ruang diperbolehkan dengan syarat yaitu
pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan nasional maupun
jalan provinsi yang kecenderungannya menengah hingga tinggi,
jalan yang berlokasi di hutan lindung sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan sektor kehutanan dan
pembangunan utilitas kota termasuk bangunan pelengkap jalan
serta fasilitas pendukung jalan lainnya yang tidak mengganggu
kelancaran lalu lintas dan keselamatan pengguna jalan; dan
3. kegiatan pemanfaatan ruang tidak diperbolehkan yaitu
pemanfaatan ruang milik jalan, ruang manfaat jalan dan ruang
pengawasan jalan yang mengganggu kelancaran dan
keselamatan pengguna jalan serta alih fungsi lahan yang
berfungsi lindung pemanfaatan ruang tidak diperbolehkan.
b. intensitas pemanfaatan ruang untuk jaringan jalan disesuaikan
dengan volume dan kecepatan rencana sesuai dengan fungsi dan
kelas jalan dan tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku; dan
c. sarana prasarana minimum meliputi bangunan pelengkap jalan yang
disesuaikan dengan fungsi jalan serta memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

45
(3) Indikasi Arahan Zonasi pada terminal penumpang dan terminal barang,
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, terdiri dari:
a. kegiatan pemanfaatan ruang pada terminal penumpang dan terminal
barang, meliputi:
1. kegiatan pemanfaatan ruang diperbolehkan yaitu kegiatan
operasional, penunjang operasional serta pengembangan
terminal dengan memperhatikan aspek lingkungan dan aspek
mitigasi bencana;
2. kegiatan pemanfaatan ruang diperbolehkan dengan syarat yaitu
selain kegiatan yang telah disebutkan pada ayat (3) huruf a
angka 1 yang tidak mengganggu keamanan dan keselamatan lalu
lintas dan angkutan jalan serta fungsi terminal penumpang dan
terminal barang;
3. kegiatan pemanfaatan ruang tidak diperbolehkan yaitu
pemanfaatan ruang pada terminal penumpang dan barang yang
dapat mengganggu kegiatan operasional terminal, keamanan dan
kenyamanan fungsi fasilitas utama dan fasilitas penunjang
terminal.
b. sarana prasarana minimum pada terminal penumpang dan terminal
barang, meliputi:
1. fasilitas utama meliputi jalur pemberangkatan kendaraan, jalur
kedatangan kendaraan, tempat parkir, kantor terminal, rambu-
rambu serta papan informasi.
2. fasilitas penunjang berupa kamar kecil/toilet, tempat ibadah,
kios/kantin, ruang pengobatan, ruang informasi dan pengaduan,
alat pemadam kebakaran, dan taman;
(4) Indikasi Arahan Zonasi pada Jembatan Timbang, sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf c, terdiri dari:
a. kegiatan pemanfaatan ruang pada Jembatan Timbang, meliputi:
1. kegiatan Pemanfaatan Ruang diperbolehkan mengembangkan
prasarana utama dan penunjang dengan memperhatikan aspek
lingkungan dan mitigasi bencana serta pemanfaatan ruang
dengan tingkat intensitas menengah hingga tinggi dengan
kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi;
2. kegiatan Pemanfaatan Ruang diperbolehkan dengan syarat yaitu
pemanfaatan ruang selain yang telah disebutkan pada ayat (4)
ayat a angka 1 yang tidak mengganggu kegiatan operasional,
keamanan dan kenyamanan Jembatan Timbang; dan
3. kegiatan Pemanfaatan Ruang tidak diperbolehkan yaitu
pemanfaatan ruang pada unit Jembatan Timbang yang dapat
mengganggu kegiatan operasional, keamanan dan kenyamanan
fungsi fasilitas utama dan fasilitas penunjang Jembatan
Timbang.
b. intensitas pemanfaatan lahan dilengkapi dengan RTH yang
penyediaannya diserasikan dengan luas unit Jembatan Timbang;
dan
c. sarana prasarana minimum merupakan sarana dan prasarana
fasilitas utama dan pendukung kegiatan pada unit Jembatan

46
Timbang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 62
Indikasi Arahan Zonasi pada sistem jaringan kereta api, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60 huruf b, terdiri dari:
a. kegiatan Pemanfaatan Ruang pada Sistem Jaringan Kereta Api, meliputi:
1. kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan yaitu kegiatan
operasional, penunjang operasional dan kegiatan pengembangan
stasiun kereta api, penetapan garis sempadan bangunan di sisi
jaringan jalur kereta api dengan memperhatikan dampak
lingkungan dan kebutuhan pengembangan jaringan jalur kereta api;
2. kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan dengan syarat
yaitu kegiatan yang tidak mengganggu keamanan konstruksi rel dan
fasilitas operasi kereta api serta keselamatan pengguna kereta api,
pemanfaatan ruang yang peka terhadap dampak lingkungan akibat
lalu lintas kereta api di sepanjang jalur kereta api, dan jumlah
perlintasan sebidang antara jaringan jalur kereta api dengan jalan;
dan
3. kegiatan pemanfaatan ruang tidak diperbolehkan yaitu pemanfaatan
ruang pengawasan jalur kereta api yang dapat mengganggu
kepentingan operasi dan keselamatan transportasi perkeretaapian.
b. intensitas pemanfaatan ruang meliputi pengawasan jalur kereta api
yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
RTH pada stasiun kereta api yang penyediaannya diserasikan dengan
luasan stasiun; dan
c. sarana prasarana minimum merupakan sarana prasarana utama dan
pendukung kegiatan pada sistem jaringan kereta api sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 63
(1) Indikasi Arahan Zonasi pada sistem jaringan sungai, danau dan
penyeberangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf c, yaitu
indikasi Arahan Zonasi pada Pelabuhan Sungai dan Penyeberangan.
(2) Indikasi Arahan Zonasi pada Pelabuhan Sungai dan Penyeberangan,
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, terdiri dari:
a. kegiatan Pemanfaatan Ruang pada pelabuhan sungai dan
penyeberangan, meliputi:
1. kegiatan Pemanfaatan Ruang diperbolehkan yaitu kegiatan
penyelenggaraan kepelabuhanan meliputi kegiatan
pemerintahan, kegiatan jasa kepelabuhanan, kegiatan
penunjang kepelabuhanan, kepabeanan, keimigrasian,
kekarantinaan, kegiatan pemerintahan lainnya yang bersifat
tidak tetap, dan kegiatan lain yang diperbolehkan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
2. kegiatan Pemanfaatan Ruang diperbolehkan dengan syarat yaitu
Kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan bersyarat yaitu
kegiatan pariwisata dan fasilitas pendukungnya dan kegiatan

47
lain yang diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; dan
3. kegiatan Pemanfaatan Ruang tidak diperbolehkan kegiatan-
kegiatan yang dapat mengganggu fungsi, operasional dan
membahayakan keselamatan penyelenggaraan kepelabuhanan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. intensitas Pemanfaatan Ruang menyesuaikan dengan rencana induk
pelabuhan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku terkait kepelabuhanan;
c. sarana prasarana minimum dalam DLKr dan DLKp merupakan
sarana prasarana pendukung kegiatan kepelabuhanan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan

Pasal 64
(1) Indikasi Arahan Zonasi pada sistem jaringan transportasi laut,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf d, terdiri dari:
a. indikasi Arahan Zonasi pada Pelabuhan Laut; dan
b. indikasi Arahan Zonasi pada Alur Pelayaran di Laut.
(2) Indikasi Arahan Zonasi pada pelabuhan laut, sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a, terdiri dari:
a. kegiatan Pemanfaatan Ruang pada Pelabuhan Laut, meliputi:
1. kegiatan Pemanfaatan Ruang yang diperbolehkan yaitu kegiatan
operasional pelabuhan laut, kegiatan penunjang pelabuhan laut,
kegiatan pengembangan pelabuhan laut, kegiatan pertahanan
dan keamanan negara secara terbatas, kepabeanan,
keimigrasian, kekarantinaan, kegiatan pemerintahan lainnya
yang bersifat tidak tetap, pembangunan fasilitas pokok dan
fasilitas penunjang, kegiatan lalu lintas kapal yang masuk dan
keluar pelabuhan, penempatan dan pemeliharaan sarana bantu
navigasi pelayaran, dan kegiatan lain yang diperbolehkan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2. kegiatan Pemanfaatan Ruang diperbolehkan dengan syarat,
yaitu:
a) kegiatan lain yang berada dalam DLKr dan DLKp dengan
mendapat izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, di Ruang udara bebas di atas badan air yang
berdampak pada keberadaan jalur transportasi Laut;
b) kegiatan penelitian, pendidikan, dan kegiatan pariwisata;
c) kegiatan pengerukan alur pelabuhan;
d) kegiatan pembangunan bangunan pelindung pantai, kegiatan
salvage, penggelaran/pemasangan kabel/pipa bawah Laut,
dan penggunaan atau pemanfaatan air Laut.
3. kegiatan Pemanfaatan Ruang tidak diperbolehkan yaitu kegiatan-
kegiatan yang dapat mengganggu fungsi, operasional dan
membahayakan keselamatan penyelenggaraan kepelabuhanan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

48
b. intensitas Pemanfaatan Ruang menyesuaikan dengan rencana induk
pelabuhan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku terkait kepelabuhanan
c. sarana prasarana minimum dalam DLKr dan DLKp merupakan
sarana prasarana pendukung kegiatan kepelabuhanan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Indikasi Arahan Zonasi alur pelayaran di laut, sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b, terdiri dari:
a. kegiatan Pemanfaatan Ruang alur pelayaran di laut, meliputi:
1. kegiatan Pemanfaatan Ruang diperbolehkan, yaitu:
a) kegiatan penyelenggaraan alur pelayaran di laut dan kegiatan
penyediaan fasilitas alur pelayaran di laut sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
b) kegiatan penangkapan ikan pelagis dan demersal
menggunakan alat tangkap yang bergerak;
c) kegiatan wisata bahari atraktif;
d) kegiatan pengerukan alur pelayaran; dan
e) kegiatan yang selaras dengan pelestarian/perlindungan
lingkungan.
2. kegiatan Pemanfaatan Ruang diperbolehkan dengan syarat yaitu
pemanfaatan ruang pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil
di sekitar badan air sepanjang alur pelayaran di laut dilakukan
dengan tidak mengganggu aktivitas pelayaran, penempatan pipa
dan/atau kabel bawah laut, kegiatan penelitian dan pendidikan,
kegiatan bernavigasi yang berdekatan dengan alur migrasi biota
laut dan/atau kawasan konservasi dengan menjaga kecepatan
kapal sesuai ketentuan yang berlaku.
3. kegiatan Pemanfaatan Ruang tidak diperbolehkan yaitu kegiatan
di ruang udara bebas di atas perairan dan kegiatan di bawah
perairan yang dapat mengganggu aktivitas pelayaran.

Pasal 65
Indikasi Arahan Zonasi pada bandar udara umum dan bandar udara
khusus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf e, terdiri dari:
a. Kegiatan Pemanfaatan Ruang pada bandar udara umum dan bandar
udara khusus, meliputi:
1. Kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan yaitu kegiatan
penyelenggaraan kebandarudaraan, pengusahaan kebandarudaraan,
kegiatan pemerintahan yang membidangi urusan pembinaan
kegiatan pemerintahan, kepabeanan, keimigrasian dan
kerkarantinaan dan kegiatan lain yang diperbolehkan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
2. Kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan dengan syarat
yaitu kegiatan perekonomian, kegiatan alih moda transportasi,
penentuan batas Kawasan keselamatan operasional penerbangan
dan batas Kawasan kebisingan, dan kegiatan lain yang
diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku; dan

49
3. Kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak diperbolehkan yaitu
kegiatan-kegiatan yang dapat mengganggu fungsi, operasional dan
keselamatan penyelenggaraan kebandarudaraan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Intensitas pemanfaatan ruang menyesuaikan dengan rencana induk
bandar udara dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku terkait kebandarudaraan; dan
c. Sarana prasarana minimum di dalam dan sekitar bandar udara umum
dan bandara khusus merupakan sarana prasarana pendukung kegiatan
kebandarudaraan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 66
(1) Indikasi Arahan Zonasi pada sistem jaringan energi, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 huruf c, terdiri dari:
a. Indikasi Arahan Zonasi Sistem Jaringan Infrastruktur Minyak dan
Gas Bumi; dan
b. Indikasi Arahan Zonasi Jaringan Infrastruktur Ketenagalistrikan.
(2) Indikasi Arahan Zonasi sistem jaringan infrastruktur minyak dan gas
bumi, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, meliputi:
a. Kegiatan pemanfaatan ruang pada sistem jaringan infrastruktur
minyak dan gas bumi, yang meliputi:
1. Kegiatan pemanfaatan ruang yang diizinkan adalah kegiatan
penerimaan, penyimpanan dan penyaluran bahan bakar minyak
dan gas bumi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
2. Kegiatan pemanfaatan ruang yang diizinkan bersyarat yaitu
kegiatan yang mendukung kegiatan penerimaan, penyimpanan
dan penyaluran bahan bakar minyak dan gas bumi berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
3. Kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak diizinkan yaitu kegiatan
yang dapat mengganggu fungsi infrastruktur minyak dan gas
bumi dan/atau kegiatan yang dapat membahayakan jika
dilaksanakan di sekitar jaringan infrastruktur minyak dan gas
bumi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
b. Intensitas pemanfaatan ruang pada jaringan prasarana minyak dan
gas bumi memperhitungkan aspek keamanan, keselamatan dan
jarak aman dengan kawasan sekitarnya berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
c. Sarana prasarana minimum pada kawasan sekitar jaringan
prasarana minyak dan gas bumi merupakan sarana prasarana
pendukung dan sarana prasarana keamanan dan keselamatan pada
jaringan prasarana minyak dan gas bumi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Indikasi Arahan Zonasi jaringan infrastruktur ketenagalistrikan
sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b, yaitu:
a. Kegiatan pemanfaatan ruang, yang terdiri dari:

50
1. Kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan yaitu kegiatan
operasional ketenagalistrikan seperti pembangkitan tenaga listrik
dan penyaluran tenaga listrik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Kegiatan pemanfaatan ruang diperbolehkan dengan syarat yaitu
kegiatan pendukung pembangkitan dan penyaluran tenaga listrik
dengan syarat-syarat yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
3. Kegiatan pemanfaatan ruang tidak diperbolehkan yaitu kegiatan-
kegiatan yang dapat mengganggu operasional ketenagalistrikan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
b. Intensitas pemanfaatan ruang pada jaringan infrastruktur
ketenagalistrikan memperhatikan faktor keamanan, keselamatan,
jarak bebas minimum vertikal dan horizontal sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
c. Sarana prasarana minimum infrastruktur jaringan ketenagalistrikan
sarana prasarana operasional ketenagalistrikan, sarana prasarana
keselamatan dan sarana prasarana lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 67
(1) Indikasi Arahan Zonasi pada sistem jaringan telekomunikasi,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf d, terdiri dari:
a. indikasi arahan zonasi pada jaringan tetap; dan
b. indikasi arahan zonasi pada jaringan bergerak.
(2) Indikasi Arahan Zonasi pada jaringan tetap sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. kegiatan pemanfaatan ruang diperbolehkan, yaitu:
1) prasarana dan utilitas yang mendukung sistem jaringan
telekomunikasi;
2) menggunakan menara telekomunikasi secara bersama-sama di
antara penyedia layanan komunikasi;
3) Pemanfaatan Ruang untuk penempatan stasiun bumi, menara
pemancar telekomunikasi maupun menara pemancar informasi
yang memperhitungkan aspek keamanan dan keselamatan
aktivitas Kawasan di sekitarnya;
4) kegiatan operasional dan kegiatan penunjang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. kegiatan pemanfaatan ruang diperbolehkan dengan syarat, yaitu:
1) kegiatan selain huruf (1) yang aman bagi jaringan
telekomunikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
2) Memiliki rencana pendirian dan/atau penempatan bangunan
dan instalasi di laut;
3) Memiliki rencana detail yang memperhatikan ancaman bencana
di laut;
4) Menyusun studi kelayakan teknis;

51
5) Mempertimbangkan keberadaan sumber daya laut dan alur
migrasi biota laut dalam penentuan titik pendaratan;
6) Tidak didirikan dan/atau ditempatkan di atas terumbu karang;
7) Memperhitungkan penempatan jaringan agar tidak
mengakibatkan kerusakan ekosistem Laut; dan
8) penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut dengan fungsi
telekomunikasi harus memenuhi persyaratan teknis lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
pelayaran.
c. kegiatan pemanfaatan ruang tidak diperbolehkan yaitu kegiatan
pemanfaatan ruang yang dapat mengganggu operasionalisasi dan
membahayakan sistem jaringan telekomunikasi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Indikasi Arahan Zonasi pada jaringan bergerak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan yaitu kegiatan
operasional, kegiatan penunjang, dan pengembangan jaringan
bergerak seluler;
b. kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan dengan syarat
yaitu kegiatan lainnya yang tidak mengganggu fungsi bagi
infrastruktur dan jaringan bergerak;
c. kegiatan pemanfaatan ruang tidak diperbolehkan yaitu kegiatan
pemanfaatan ruang yang dapat mengganggu operasionalisasi dan
membahayakan sistem jaringan telekomunikasi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) intensitas pemanfaatan ruang pada sistem jaringan telekomunikasi
mengacu/memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku terkait intensitas pemanfaatan ruang pada sistem jaringan
telekomunikasi; dan
(5) sarana prasarana minimum pada sistem jaringan telekomunikasi
merupakan sarana prasarana operasional dan pendukung sistem
jaringan telekomunikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Pasal 68
Indikasi Arahan Zonasi pada sistem jaringan sumber daya air, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 huruf e, terdiri dari:
a. Kegiatan Pemanfaatan Ruang pada sistem jaringan sumber daya air,
meliputi:
1. Kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan yaitu kegiatan
pengelolaan sumber daya air, seperti sistem jaringan irigasi, sistem
jaringan air bersih, maupun bangunan sumber daya air sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan dengan syarat,
yaitu:
a) kegiatan pemanfaatan ruang yang bersifat sosial untuk kegiatan
umum dan kegiatan lain dengan syarat-syarat tertentu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

52
b) Pemanfaatan Ruang pada Kawasan di sekitar sistem jaringan
sumber daya air sesuai ketentuan teknis dengan tetap menjaga
kelestarian lingkungan; dan
c) Pemanfaatan Ruang di sekitar sistem jaringan sumber daya air
yang telah ditetapkan sebagai Kawasan rawan bencana alam.
3. Kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak diperbolehkan yaitu
kegiatan pemanfaatan ruang yang dapat mengganggu
operasionalisasi sistem jaringan sumber daya air sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Intensitas pemanfaatan ruang pada sistem jaringan sumber daya air
mengacu/ memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku terkait intensitas pemanfaatan ruang pada sistem jaringan
sumber daya air; dan
c. Sarana dan prasarana minimum pada sistem jaringan sumber daya air
merupakan sarana prasarana operasional dan pendukung sistem
jaringan sumber daya air, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 69
(1) Indikasi Arahan Zonasi sistem jaringan prasarana lainnya, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 huruf f, terdiri dari:
a. Indikasi Arahan Zonasi SPAM; dan
b. Indikasi Arahan Zonasi Sistem Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3).
(2) Indikasi Arahan Zonasi pada SPAM, sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, terdiri dari:
a. kegiatan pemanfaatan ruang pada SPAM, meliputi:
1. kegiatan pemanfaatan ruang diperbolehkan yaitu kegiatan
pengembangan SPAM dan pembangunan prasarana penunjang
SPAM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
2. kegiatan pemanfaatan ruang diperbolehkan dengan syarat yaitu
kegiatan pemanfaatan ruang selain no (1) diatas atau kegiatan
lain dengan syarat-syarat tertentu sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
3. kegiatan pemanfaatan ruang tidak diperbolehkan yaitu kegiatan
yang mengganggu keberlanjutan fungsi penyediaan air,
mengakibatkan pencemaran air baku dan mengakibatkan
kerusakan sarana dan prasarana penyediaan air minum.
b. intensitas pemanfaatan ruang pada SPAM mengacu/ memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait
intensitas pemanfaatan ruang pada SPAM; dan
c. sarana prasarana minimum pada SPAM merupakan sarana
prasarana operasional dan pendukung SPAM sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Indikasi Arahan Zonasi pada Sistem Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, terdiri dari:

53
a. Kegiatan Pemanfaatan Ruang pada PKW, meliputi:
1. Kegiatan Pemanfaatan Ruang diperbolehkan yaitu kegiatan
operasional pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
2. Kegiatan Pemanfaatan Ruang diperbolehkan dengan syarat yaitu
kegiatan pendukung pengelolaan limbah bahan berbahaya dan
beracun dan kegiatan lain yang dapat dilakukan jika telah
memenuhi syarat -syarat yang ditentukan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
3. Kegiatan Pemanfaatan Ruang tidak diperbolehkan yaitu kegiatan
pemanfaatan ruang yang dapat mengganggu kegiatan
pengelolaan limbah B3 dan kegiatan yang dapat membahayakan
nyawa berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
b. Intensitas pemanfaatan lahan pada sistem pengelolaan limbah
bahan berbahaya dan beracun memperhitungkan aspek keamanan,
keselamatan dan jarak aman dengan kawasan sekitarnya
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; dan
c. Sarana prasarana minimum pada kawasan sekitar sistem
pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun merupakan
sarana prasarana pendukung dan sarana prasarana keamanan dan
keselamatan pada sistem pengelolaan limbah bahan berbahaya dan
beracun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Paragraf 3
Indikasi Arahan Zonasi Untuk Pola Ruang

Pasal 70
(1) Indikasi Arahan Zonasi untuk Pola Ruang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 58 ayat (2) huruf b, terdiri atas:
a. Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Lindung; dan
b. Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Budi Daya.
(2) Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Lindung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. Indikasi Arahan Zonasi untuk Badan Air;
b. Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan yang Memberikan
Perlindungan Terhadap Kawasan Bawahannya;
c. Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Perlindungan Setempat;
d. Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Konservasi;
e. Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Pencadangan Konservasi di
Laut; dan
f. Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Ekosistem Mangrove.
(3) Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Budi Daya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Hutan Produksi;

54
b. Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Perkebunan Rakyat;
c. Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Pertanian;
d. Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Perikanan;
e. Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Pergaraman;
f. Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Pertambangan dan energi;
g. Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Peruntukan Industri;
h. Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Pariwisata;
i. Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Permukiman;
j. Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Transportasi; dan
k. Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Pertahanan dan Keamanan.

Pasal 71
Indikasi Arahan Zonasi untuk Badan Air sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 70 ayat (2) huruf a, meliputi:
a. kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan dalam kawasan badan
air yaitu kegiatan yang sesuai dengan peruntukannya, berupa kegiatan
pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air;
b. kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan bersyarat dalam
kawasan badan air, meliputi:
1. pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum;
2. kegiatan penunjang aktivitas transportasi air;
3. kegiatan pertambangan di kawasan badan air harus mengikuti
aturan perundang-undangan yang berlaku; dan
4. kegiatan permukiman yang telah ada sebelum peraturan daerah ini
ditetapkan.
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan dalam kawasan badan air meliputi
aktivitas yang mengganggu fungsi badan air, merusak ekosistem, dan
mencemari badan air;
d. sarana dan prasarana minimum pada kawasan badan air meliputi
sarana dan prasarana penunjang kehiatan pelestarian dan perlindungan
badan air;
e. Ketentuan khusus pada badan air, meliputi:
1. ketentuan khusus pada badan air yang bertampalan dengan Kawasan
Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP), yaitu pendirian dan
pengaturan tata bangunan wajib mengikuti ketentuan teknis yang
berlaku.
2. ketentuan khusus pada badan air yang bertampalan dengan kawasan
pertanian pangan berkelanjutan (KP2B), terdiri dari:
a) alih fungsi lahan yang sudah ditetapkan sebagai KP2B untuk
kepentingan umum dilaksanakan dengan ketentuan penggantian
lahan yaitu:
1) paling sedikit 3 (tiga) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan beririgasi;
2) paling sedikit 2 (dua) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan non
pasang surut; dan
3) paling sedikit 1 (satu) kali luas lahan dalam hal yang
dialihfungsikan lahan yang tidak beririgasi.

55
b) penggantian lahan dilakukan dengan ketentuan:
1) pembukaan lahan baru diluar KP2B;
2) pengalihfungsian lahan dari lahan non pertanian ke pertanian,
terutama dari tanah terlantar dan/ atau tanah bekas kawasan
hutan; dan
3) penyediaan pengganti lahan yang sudah ditetapkan sebagai
KP2B dilakukan paling lambat dua tahun setelah alih fungsi
dilakukan.
f. ketentuan lain dalam kawasan badan air meliputi sistem jaringan
sarana dan prasarana yang melintas di kawasan badan air wajib
mengikuti ketentuan teknis sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Pasal 72
Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan yang Memberikan Perlindungan
Terhadap Kawasan Bawahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70
ayat (2) huruf b disusun dengan meliputi:
A. Kawasan hutan lindung
1. Kegiatan pemanfaatan ruang pada kawasan hutan lindung, yang
meliputi:
a) pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung diperbolehkan untuk
kegiatan rehabilitasi dan perlindungan hutan khususnya pada
wilayah yang memiliki daya dukung lingkungan hidup tinggi;
b) pemanfaatan ruang kawasan hutan lindung diperbolehkan
bersyarat dilakukan untuk kegiatan wisata, Pendidikan dan
penelitian tanpa merubah bentang alam sesuai dengan ketentuan
perundang undangan yang berlaku serta kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan; dan
c) pemanfaatan ruang kawasan hutan lindung tidak diperbolehkan
melakukan kegiatan yang berpotensi mengurangi fungsi lindung
kawasan, khususnya pada wilayah yang memiliki daya dukung
pengaturan air tinggi.
2. Intensitas pemanfaatan ruang pada kawasan hutan lindung
memperhitungkan potensi dan ketersediaan sumberdaya alam yang
ada berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
3. Sarana dan prasarana minimum pada kawasan hutan lindung
merupakan sarana prasarana yang dapat mendukung kegiatan yang
diperbolehkan dalam Kawasan hutan lindung dan disesuaikan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
dan
4. Ketentuan khusus pada kawasan hutan lindung, meliputi:
a) Ketentuan khusus kawasan hutan lindung yang secara eksisting
tidak sesuai dengan fungsi kawasan hutan lindung, seperti
kawasan permukiman, pertanian dan sebagainya diatur lebih
lanjut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b) ketentuan khusus pada kawasan hutan lindung yang bertampalan
dengan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP), yaitu

56
pendirian dan pengaturan tata bangunan wajib mengikuti
ketentuan teknis yang berlaku.
c) ketentuan khusus pada kawasan hutan lindung yang bertampalan
dengan kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B), terdiri
dari:
1) alih fungsi lahan yang sudah ditetapkan sebagai KP2B untuk
kepentingan umum dilaksanakan dengan ketentuan
penggantian lahan yaitu:
I. paling sedikit 3 (tiga) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan beririgasi;
II. paling sedikit 2 (dua) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan non
pasang surut; dan
III. paling sedikit 1 (satu) kali luas lahan dalam hal yang
dialihfungsikan lahan yang tidak beririgasi.
2) penggantian lahan dilakukan dengan ketentuan:
I. pembukaan lahan baru diluar KP2B;
II. pengalihfungsian lahan dari lahan non pertanian ke
pertanian, terutama dari tanah terlantar dan/ atau tanah
bekas kawasan hutan; dan
III. penyediaan pengganti lahan yang sudah ditetapkan sebagai
KP2B dilakukan paling lambat dua tahun setelah alih
fungsi dilakukan.
A. Kawasan lindung gambut
1. Kegiatan pemanfaatan ruang pada kawasan lindung gambut, yang
meliputi:
a) pemanfaatan ruang kawasan untuk Kawasan lindung gambut
diperbolehkan rehabilitasi dan perlindungan Kawasan.
b) pemanfaatan ruang kawasan bergambut diperbolehkan bersyarat
untuk kegiatan budidaya khususnya pada Kawasan gambut
dangkal/muda.
c) pemanfaatan ruang Kawasan lindung gambut tidak
diperbolehkan melakukan kegiatan yang berpotensi merubah
tata air dan ekosistem unik gambut khususnya pada Kawasan
gambut dalam.
2. Intensitas pemanfaatan ruang pada kawasan lindung gambut
memperhitungkan potensi dan ketersediaan sumberdaya alam yang
ada berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
3. Sarana dan prasarana minimum pada kawasan lindung gambut
merupakan sarana prasarana pengendalian kerusakan lahan
gambut; dan
4. Ketentuan khusus pada kawasan lindung gambut, yaitu:
a) ketentuan khusus pada kawasan lindung gambut yang
bertampalan dengan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan
(KKOP), yaitu pendirian dan pengaturan tata bangunan wajib
mengikuti ketentuan teknis yang berlaku.

57
b) ketentuan khusus pada kawasan lindung gambut yang
bertampalan dengan kawasan pertanian pangan berkelanjutan
(KP2B), terdiri dari:
1) alih fungsi lahan yang sudah ditetapkan sebagai KP2B untuk
kepentingan umum dilaksanakan dengan ketentuan
penggantian lahan yaitu:
I. paling sedikit 3 (tiga) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan beririgasi;
II. paling sedikit 2 (dua) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan
non pasang surut; dan
III. paling sedikit 1 (satu) kali luas lahan dalam hal yang
dialihfungsikan lahan yang tidak beririgasi.
2) penggantian lahan dilakukan dengan ketentuan:
I. pembukaan lahan baru diluar KP2B;
II. pengalihfungsian lahan dari lahan non pertanian ke
pertanian, terutama dari tanah terlantar dan/ atau tanah
bekas kawasan hutan; dan
III. penyediaan pengganti lahan yang sudah ditetapkan sebagai
KP2B dilakukan paling lambat dua tahun setelah alih
fungsi dilakukan.

Pasal 73
Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Perlindungan Setempat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) huruf c meliputi:
a. Kegiatan pemanfaatan ruang pada kawasan perlindungan setempat,
yang meliputi:
1. Pemanfaatan ruang kawasan perlindungan setempat diperbolehkan
untuk kegiatan penelitian, pendidikan, bangunan pengendali air,
dan pemasangan sistem peringatan dini (early warning system),
perikanan tradisional, ekowisata, pengembangan RTH, dan
pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah
abrasi, erosi dan longsor;
2. Pemanfaatan ruang kawasan perlindungan setempat diperbolehkan
secara terbatas untuk kegiatan yang berpotensi mengakibatkan
perubahan garis pantai (reklamasi) dan pertambangan wajib
memiliki izin pemerintah berdasarkan ketentuan perundang
undangan dengan terlebih dahulu menyusun dokumen amdal yang
telah disepakati instansi berwenang; dan
3. Pemanfaatan kawasan perlindungan setempat tidak diperbolehkan
dilakukan kegiatan budidaya yang menurunkan nilai ekologis, dan
estetika kawasan.
b. Intensitas pemanfaatan ruang pada kawasan perlindungan setempat
memperhitungkan kondisi sumberdaya alam yang ada berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Sarana dan prasarana minimum pada kawasan perlindungan setempat
merupakan sarana prasarana kawasan budidaya yang diperbolehkan;
dan

58
d. Ketentuan khusus pada kawasan perlindungan setempat, meliputi:
1. Ketentuan khusus pada kawasan perlindungan setempat yang
bertampalan dengan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan
(KKOP), yaitu pendirian dan pengaturan tata bangunan wajib
mengikuti ketentuan teknis yang berlaku.
2. Ketentuan khusus pada kawasan perlindungan setempat yang
bertampalan dengan kawasan pertanian pangan berkelanjutan
(KP2B), terdiri dari:
a) alih fungsi lahan yang sudah ditetapkan sebagai KP2B untuk
kepentingan umum dilaksanakan dengan ketentuan penggantian
lahan yaitu:
1) paling sedikit 3 (tiga) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan beririgasi;
2) paling sedikit 2 (dua) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan non
pasang surut; dan
3) paling sedikit 1 (satu) kali luas lahan dalam hal yang
dialihfungsikan lahan yang tidak beririgasi.
b) penggantian lahan dilakukan dengan ketentuan:
1) pembukaan lahan baru diluar KP2B;
2) pengalihfungsian lahan dari lahan non pertanian ke pertanian,
terutama dari tanah terlantar dan/ atau tanah bekas kawasan
hutan; dan
3) penyediaan pengganti lahan yang sudah ditetapkan sebagai
KP2B dilakukan paling lambat dua tahun setelah alih fungsi
dilakukan.
3. Ketentuan khusus pada kawasan perlindungan setempat yang
bertampalan dengan kawasan rawan bencana, meliputi:
a) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana banjir, yaitu:
1) memperhatikan peil banjir;
2) pendirian bangunan dalam kawasan perlindungan setempat
wajib mengikuti rekomendasi kajian kebencanaan dan
ketentuan teknis;
3) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi; dan
4) penyediaan sarana dan prasarana mitigasi bencana dalam
kawasan perlindungan setempat.

b) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana banjir bandang,


yaitu:
1) memperhatikan pemanfaatan ruang bagi RTH dan
pengendalian pembangunan fasilitas umum;
2) pengendalian pada kawasan terbangun sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
3) arahan pemanfaatan ruang menyesuaikan pada hasil kajian
kebencanaan;

59
4) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi;
5) mencegah terjadinya luapan air sungai pada debit banjir
dengan periode tertentu dengan bangunan pengendalian
banjir; dan
6) penyediaan sarana dan prasarana mitigasi bencana dalam
kawasan perlindungan setempat.
c) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana tsunami, yaitu:
1) penyediaan infrastruktur proteksi bencana yang memadai;
2) pemberlakuan pembatasan dan pengendalian terhadap
perkembangan area terbangun dalam kawasan perlindungan
setempat; dan
3) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi.
d) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana gempa bumi,
yaitu:
1) pengendalian pembangunan di kawasan rawan gempa harus
mengikuti ketentuan aturan bangunan tahan gempa sesuai
dengan analisis resiko bencana;
2) penyediaan infrastruktur penunjang aktivitas budidaya
menyesuaikan dengan ketentuan teknis yang berlaku;
3) pemasangan papan info dan rambu peringatan, jalur evakuasi
dan tempat evakuasi sementara; dan
4) pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana harus
mengikuti ketentuan aturan bangunan tahan gempa.
e) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana likuifaksi, yaitu:
1) pengendalian area terbangun dengan mengacu pada kaidah
teknis dan peraturan perundang-undangan;
2) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi; dan
3) pengendalian pengambilan air tanah yang dilakukan secara
besar-besaran berdasarkan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
f) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana tanah longsor,
yaitu:
1) pengendalian pembangunan pada kawasan rawan longsor
dengan memperhatikan ketentuan teknis yang berlaku;
2) pengendalian aktivitas dalam kawasan rawan bencana longsor
tinggi;
3) pemasangan papan info dan rambu peringatan, jalur evakuasi
dan tempat evakuasi sementara; dan
4) kegiatan eksisting dengan intensitas tinggi yang berada pada
kawasan rawan longsor tinggi diarahkan untuk relokasi
bangunan dan/atau tidak melakukan perluasan atau
penambahan bangunan.
4. Ketentuan khusus kawasan perlindungan setempat yang secara
eksisting tidak sesuai dengan fungsi kawasan perlindungan setempat,

60
seperti kawasan permukiman, pertanian dan sebagainya diatur lebih
lanjut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 74
Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 70 ayat (2) huruf d disusun dengan meliputi:
a. Kawasan suaka alam dan pelestarian alam, terdiri dari:
1. Kegiatan pemanfaatan ruang pada kawasan suaka alam dan
pelestarian alam, yang meliputi:
a) Pemanfaatan ruang kawasan suaka alam dan pelestarian alam
diperbolehkan dilakukan kegiatan penelitian, pendidikan, wisata
alam dengan tidak mengakibatkan penurunan fungsi;
b) Pemanfaatan ruang kawasan dalam kawasan suaka alam dan
pelestarian alam diperbolehkan secara terbatas dibangun
prasarana wilayah, prasarana penunjang fungsi kawasan, dan
prasarana pencegah bencana alam sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
c) Pemanfaatan ruang kawasan dalam kawasan suaka alam dan
pelestarian alam tidak diperbolehkan pemanfaatan flora dan
fauna yang dilindungi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan kegiatan yang mengakibatkan
menurunnya fungsi kawasan suaka alam.
2. Intensitas pemanfaatan ruang pada Kawasan suaka alam dan
pelestarian alam memperhitungkan potensi keanekaragaman hayati
kawasan yang ada berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
3. Sarana prasarana minimum pada Kawasan suaka alam dan
pelestarian alam merupakan sarana prasarana untuk pengelolaan
Kawasan suaka alam dan pelestarian alam; dan
4. Ketentuan khusus pada kawasan suaka alam dan pelestarian alam
meliputi:
a) Ketentuan khusus pada kawasan suaka alam dan pelestarian
alam yang bertampalan dengan kawasan pertanian pangan
berkelanjutan (KP2B), terdiri dari:
1) alih fungsi lahan yang sudah ditetapkan sebagai KP2B untuk
kepentingan umum dilaksanakan dengan ketentuan
penggantian lahan yaitu:
I. paling sedikit 3 (tiga) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan beririgasi;
II. paling sedikit 2 (dua) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan
non pasang surut; dan
III. paling sedikit 1 (satu) kali luas lahan dalam hal yang
dialihfungsikan lahan yang tidak beririgasi.
2) penggantian lahan dilakukan dengan ketentuan:
I. pembukaan lahan baru diluar KP2B;

61
II. pengalihfungsian lahan dari lahan non pertanian ke
pertanian, terutama dari tanah terlantar dan/ atau tanah
bekas kawasan hutan; dan
III. penyediaan pengganti lahan yang sudah ditetapkan
sebagai KP2B dilakukan paling lambat dua tahun setelah
alih fungsi dilakukan.
b) ketentuan khusus kawasan suaka alam dan pelestarian alam
yang secara eksisting tidak sesuai dengan fungsi kawasan,
seperti kawasan permukiman, pertanian dan sebagainya diatur
lebih lanjut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Kawasan taman nasional, terdiri dari:
1. Kegiatan pemanfaatan ruang pada kawasan taman nasional, yang
meliputi:
a) Pemanfaatan ruang kawasan taman nasional diperbolehkan
secara terbatas dilakukan kegiatan penelitian, pendidikan dan
wisata alam sepanjang tidak merusak lingkungan dan
mengurangi fungsi Kawasan;
b) Pemanfaatan ruang kawasan taman nasional diperbolehkan
secara terbatas dibangun prasarana sepanjang tidak merusak
atau mengurangi fungsi Kawasan; dan
c) Pemanfaatan ruang kawasan taman nasional tidak diperbolehkan
dilakukan kegiatan yang menyebabkan menurunnya fungsi
Kawasan dan penebangan pohon dan perburuan satwa yang
dilindungi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2. Intensitas pemanfaatan ruang pada Kawasan taman nasional
memperhitungkan potensi keanekaragaman hayati kawasan yang
ada berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3. Sarana prasarana minimum pada Kawasan taman nasional
merupakan sarana prasarana untuk pengelolaan Kawasan taman
nasional; dan
4. Ketentuan khusus pada Kawasan taman nasional meliputi:
a) Ketentuan khusus pada kawasan taman nasional yang
bertampalan dengan kawasan pertanian pangan berkelanjutan
(KP2B), terdiri dari:
1) alih fungsi lahan yang sudah ditetapkan sebagai KP2B untuk
kepentingan umum dilaksanakan dengan ketentuan
penggantian lahan yaitu:
I. paling sedikit 3 (tiga) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan beririgasi;
II. paling sedikit 2 (dua) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan
non pasang surut; dan
III. paling sedikit 1 (satu) kali luas lahan dalam hal yang
dialihfungsikan lahan yang tidak beririgasi.
2) penggantian lahan dilakukan dengan ketentuan:
I. pembukaan lahan baru diluar KP2B;

62
II. pengalihfungsian lahan dari lahan non pertanian ke
pertanian, terutama dari tanah terlantar dan/ atau tanah
bekas kawasan hutan; dan
III. penyediaan pengganti lahan yang sudah ditetapkan
sebagai KP2B dilakukan paling lambat dua tahun setelah
alih fungsi dilakukan.
b) ketentuan khusus kawasan taman nasional yang secara eksisting
tidak sesuai dengan fungsi kawasan, seperti kawasan
permukiman, pertanian dan sebagainya diatur lebih lanjut sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Kawasan taman hutan raya, terdiri dari:
1. Kegiatan pemanfaatan ruang pada kawasan taman hutan raya, yang
meliputi:
a) Pemanfaatan ruang kawasan taman hutan raya diperbolehkan
secara terbatas dilakukan kegiatan wisata alam dan wisata
konservasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
b) Pemanfaatan ruang kawasan taman hutan raya diperbolehkan
secara terbatas dilakukan budidaya lain yang menunjang
kegiatan pariwisata dan kegiatan pembangunan prasarana
wilayah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang
undangan; dan
c) Pemanfaatan ruang kawasan taman hutan raya tidak
diperbolehkan dilakukan kegiatan yang merusak dan/atau
menurunkan fungsi kawasan.
2. Intensitas pemanfaatan ruang pada Kawasan taman hutan raya
memperhitungkan potensi keanekaragaman hayati kawasan yang
ada berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
3. Sarana prasarana minimum pada Kawasan taman hutan raya
merupakan sarana prasarana untuk pengelolaan Kawasan taman
hutan raya; dan
4. Ketentuan khusus pada kawasan taman hutan raya meliputi:
a) Ketentuan khusus pada kawasan taman hutan raya yang
bertampalan dengan kawasan pertanian pangan berkelanjutan
(KP2B), terdiri dari:
1) alih fungsi lahan yang sudah ditetapkan sebagai KP2B untuk
kepentingan umum dilaksanakan dengan ketentuan
penggantian lahan yaitu:
I. paling sedikit 3 (tiga) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan beririgasi;
II. paling sedikit 2 (dua) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan
non pasang surut; dan
III. paling sedikit 1 (satu) kali luas lahan dalam hal yang
dialihfungsikan lahan yang tidak beririgasi.
2) penggantian lahan dilakukan dengan ketentuan:
I. pembukaan lahan baru diluar KP2B;

63
II. pengalihfungsian lahan dari lahan non pertanian ke
pertanian, terutama dari tanah terlantar dan/ atau tanah
bekas kawasan hutan; dan
III. penyediaan pengganti lahan yang sudah ditetapkan
sebagai KP2B dilakukan paling lambat dua tahun setelah
alih fungsi dilakukan.
b) Ketentuan khusus kawasan taman hutan raya yang secara
eksisting tidak sesuai dengan fungsi kawasan, seperti kawasan
permukiman, pertanian dan sebagainya diatur lebih lanjut sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Kawasan konservasi perairan, terdiri dari:
1. Kegiatan pemanfaatan ruang pada kawasan konservasi perairan,
yang meliputi:
1. Pemanfaatan Kawasan konservasi perairan di perbolehkan untuk
perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, alur migrasi
biota laut, perlindungan tempat hidup dan berkembangbiaknya
suatu jenis atau sumberdaya alam hayati yang khas/endemik,
unik, langka dan/atau kharismatik, dan dikhawatirkan akan
punah, perlindungan kondisi fisik yang rentan terhadap
perubahan dan/atau mampu mengurangi dampak bencana,
perlindungan tempat tenggelamnya kapal yang mempunyai nilai
arkeologi-historis khusus, perlindungan situs sejarah
kemaritiman yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan dan budaya dan tempat ritual keagamaan atau
adat;
2. Pemanfaatan Kawasan konservasi perairan diperbolehkan secara
terbatas untuk kegiatan penelitian, pendidikan, pengembangan
untuk tujuan rehabilitasi, wisata dan rekreasi, perikanan
tradisional yang ramah lingkungan, bangunan maritim, alur
pelayaran, serta pemasangan kabel dan pipa bawah laut; dan
3. Pemanfaatan Kawasan konservasi perairan tidak diperbolehkan
untuk kegiatan reklamasi pada kawasan konservasi,
penangkapan ikan secara destruktif, pengambilan material
pantai dan dasar laut, pembuangan dan/atau pengaliran limbah,
mendirikan bangunan selain bangunan maritim.
2. Intensitas pemanfaatan ruang pada Kawasan konservasi perairan
memperhitungkan potensi sumberdaya alam kawasan yang ada
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3. Sarana prasarana minimum pada pada Kawasan konservasi perairan
merupakan sarana prasarana untuk pengelolaan Kawasan
konservasi perairan; dan
4. Ketentuan khusus pada Kawasan konservasi perairan, meliputi:
a) Ketentuan khusus pada kawasan konservasi perairan yang
bertampalan dengan kawasan pertanian pangan berkelanjutan
(KP2B), terdiri dari:

64
1) alih fungsi lahan yang sudah ditetapkan sebagai KP2B untuk
kepentingan umum dilaksanakan dengan ketentuan
penggantian lahan yaitu:
I. paling sedikit 3 (tiga) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan beririgasi;
II. paling sedikit 2 (dua) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan
non pasang surut; dan
III. paling sedikit 1 (satu) kali luas lahan dalam hal yang
dialihfungsikan lahan yang tidak beririgasi.
2) penggantian lahan dilakukan dengan ketentuan:
I. pembukaan lahan baru diluar KP2B;
II. pengalihfungsian lahan dari lahan non pertanian ke
pertanian, terutama dari tanah terlantar dan/ atau tanah
bekas kawasan hutan; dan
III. penyediaan pengganti lahan yang sudah ditetapkan
sebagai KP2B dilakukan paling lambat dua tahun setelah
alih fungsi dilakukan.
b) Merupakan kawasan yang dilindungi karena potensi sumber
daya alam, yang penetapannya mengikuti peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
c) Untuk kawasan kawasan konservasi perairan yang bukan
merupakan zona inti dapat dilakukan kegiatan lain, asal tidak
berpotensi mengganggu dan merusak potensi sumberdaya alam
yang ada.

Pasal 75
Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Pencadangan Konservasi di Laut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) huruf e, meliputi:
a. kegiatan pemanfaatan ruang pada Kawasan Pencadangan Konservasi di
Laut, yang meliputi:
1. Pemanfaatan Ruang yang diperbolehkan berupa kegiatan
perlindungan dan konservasi sesuai dengan ketentuan pengelolaan
kawasan konservasi di laut berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
2. Pemanfaatan Ruang yang diperbolehkan bersyarat berupa kegiatan
penelitian dan pendidikan, pemanfaatan sumber daya laut, dan
kegiatan lainnya yang selaras, tidak mengganggu, dan tidak
mengubah fungsi perlindungan dalam Kawasan Pencadangan
Konservasi di Laut; dan
3. Pemanfaatan Ruang yang tidak diberbolehkan berupa kegiatan yang
mengakibatkan perubahan potensi/indikasi pencadangan konservasi
di laut, mengganggu pengelolaan sumber daya laut, dan/atau
kegiatan lainnya yang berdampak pada Kawasan Pencadangan
Konservasi di Laut.
b. Intensitas pemanfaatan ruang pada Kawasan Pencadangan Konservasi di
Laut diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan
yang berlaku; dan

65
c. Sarana dan prasarana minimum pada Kawasan Pencadangan Konservasi
di Laut diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-
undangan yang berlaku.
d. Ketentuan khusus pada Kawasan Pencadangan Konservasi di Laut,
meliputi:
1. Ketentuan khusus pada Kawasan Pencadangan Konservasi di Laut
yang bertampalan dengan Kawasan Keselamatan Operasi
Penerbangan (KKOP), yaitu pendirian dan pengaturan tata bangunan
wajib mengikuti ketentuan teknis yang berlaku.
2. Ketentuan khusus pada Kawasan Pencadangan Konservasi di Laut
yang bertampalan dengan kawasan sempadan, terdiri dari:
a) pengendalian pemanfaatan ruang untuk aktivitas pada kawasan
Pencadangan Konservasi di Laut pada kawasan sempadan
mengikuti ketentuan teknis yang berlaku; dan
b) pemanfaatan ruang untuk pendirian bangunan wajib
memperhatikan pedoman bangunan bencana, yang secara terus
menerus mampu menjaga keberlanjutan ekosistem yang selaras
dengan fungsi lingkungan, sosial dan ekonomi setempat.

Pasal 76
Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Ekosistem Mangrove sebagaimana
dimaksud dalam 70 ayat (2) huruf f disusun dengan memperhatikan:
a. Kegiatan pemanfaatan ruang pada kawasan ekosistem mangrove, yang
meliputi:
1. Pemanfaatan ruang kawasan ekosistem mangrove diperbolehkan
dilakukan kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata alam
sepanjang tidak merusak kawasan mangrove dan habitat satwa yang
ada;
2. Pemanfaatan ruang kawasan ekosistem mangrove diperbolehkan
secara terbatas untuk pembangunan bangunan pelindung pantai
dan aktivitas pelayaran tradisional; dan
3. Pemanfaatan ruang kawasan ekosistem mangrove tidak
diperbolehkan penebangan kayu bakau kecuali pada Kawasan yang
dialokasikan dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil dan memenuhi kaidah-kaidah konservasi serta
tidak diperbolehkan dilakukan reklamasi dan pembangunan
permukiman yang mempengaruhi fungsi kawasan dan merubah
bentang alam.
b. Intensitas pemanfaatan ruang pada kawasan ekosistem mangrove
menyesuaikan dengan rencana Kawasan cagar budaya sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
c. Sarana prasarana minimum pada kawasan ekosistem mangrove
memperhitungkan potensi sumberdaya alam kawasan yang ada
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
dan
d. Ketentuan khusus pada Kawasan ekosistem mangrove, meliputi:
1. Ketentuan khusus pada kawasan ekosistem mangrove yang
bertampalan dengan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan

66
(KKOP), yaitu pendirian dan pengaturan tata bangunan wajib
mengikuti ketentuan teknis yang berlaku.
2. Ketentuan khusus pada kawasan ekosistem mangrove yang
bertampalan dengan kawasan pertanian pangan berkelanjutan
(KP2B), terdiri dari:
a) alih fungsi lahan yang sudah ditetapkan sebagai KP2B untuk
kepentingan umum dilaksanakan dengan ketentuan penggantian
lahan yaitu:
1) paling sedikit 3 (tiga) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan beririgasi;
2) paling sedikit 2 (dua) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan non
pasang surut; dan
3) paling sedikit 1 (satu) kali luas lahan dalam hal yang
dialihfungsikan lahan yang tidak beririgasi.
b) penggantian lahan dilakukan dengan ketentuan:
1) pembukaan lahan baru diluar KP2B;
2) pengalihfungsian lahan dari lahan non pertanian ke pertanian,
terutama dari tanah terlantar dan/ atau tanah bekas kawasan
hutan; dan
3) penyediaan pengganti lahan yang sudah ditetapkan sebagai
KP2B dilakukan paling lambat dua tahun setelah alih fungsi
dilakukan.

3. Ketentuan khusus pada kawasan ekosistem mangrove yang


bertampalan dengan kawasan sempadan, terdiri dari:
a) pengendalian pemanfaatan ruang untuk aktivitas pada kawasan
ekosistem mangrove pada kawasan sempadan mengikuti
ketentuan teknis yang berlaku; dan
b) pemanfaatan ruang untuk pendirian bangunan wajib
memperhatikan pedoman bangunan bencana, yang secara terus
menerus mampu menjaga keberlanjutan ekosistem yang selaras
dengan fungsi lingkungan, sosial dan ekonomi setempat.

Pasal 77
Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Hutan Produksi sebagaimana
dimaksud dalam 71 ayat (3) huruf a disusun dengan memperhatikan:
a. Kegiatan pemanfaatan ruang pada kawasan hutan produksi, yang
meliputi:
1. Pemanfaatan ruang kawasan hutan produksi tidak diperbolehkan
kegiatan budidaya kecuali kegiatan budidaya kehutanan dan
pembangunan sistem jaringan prasarana wilayah dan bangunan
terkait dengan pengelolaan budidaya hutan produksi;
2. Pemanfaatan ruang kawasan hutan produksi tidak diperbolehkan
dilakukan kegiatan menimbulkan gangguan lingkungan;
3. Pemanfaatan ruang kawasan hutan produksi tidak diperbolehkan
dialihfungsikan untuk kegiatan lain diluar kehutanan;

67
4. Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dapat difungsikan
untuk kegiatan lain diluar sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan; dan
5. Sebelum kegiatan pengelolaan, diwajibkan melakukan studi
kelayakan dan/atau studi amdal atau upaya pengelolaan lingkungan
dan upaya pemantauan lingkungan yang telah disetujui.
b. Intensitas pemanfaatan ruang pada Kawasan hutan produksi
memperhitungkan potensi dan ketersediaan sumberdaya alam yang ada
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Sarana prasarana minimum pada pada Kawasan hutan produksi
merupakan sarana prasarana yang dapat mendukung kegiatan yang
diperbolehkan dalam Kawasan hutan produksi dan disesuaikan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
d. Ketentuan khusus pada Kawasan hutan produksi, meliputi:
1. Ketentuan khusus pada kawasan hutan produksi yang bertampalan
dengan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP), yaitu
pendirian dan pengaturan tata bangunan wajib mengikuti ketentuan
teknis yang berlaku.
2. Ketentuan khusus pada kawasan hutan produksi yang bertampalan
dengan kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B), terdiri dari:
a) alih fungsi lahan yang sudah ditetapkan sebagai KP2B untuk
kepentingan umum dilaksanakan dengan ketentuan penggantian
lahan yaitu:
1) paling sedikit 3 (tiga) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan beririgasi;
2) paling sedikit 2 (dua) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan non
pasang surut; dan
3) paling sedikit 1 (satu) kali luas lahan dalam hal yang
dialihfungsikan lahan yang tidak beririgasi.
b) penggantian lahan dilakukan dengan ketentuan:
1) pembukaan lahan baru diluar KP2B;
2) pengalihfungsian lahan dari lahan non pertanian ke pertanian,
terutama dari tanah terlantar dan/ atau tanah bekas kawasan
hutan; dan
3) penyediaan pengganti lahan yang sudah ditetapkan sebagai
KP2B dilakukan paling lambat dua tahun setelah alih fungsi
dilakukan.

Pasal 78
Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Perkebunan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) huruf b disusun dengan memperhatikan:
a. Kegiatan pemanfaatan ruang pada kawasan perkebunan rakyat, yang
meliputi:
1. pemanfaatan ruang kawasan perkebunan rakyat diperbolehkan
untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan rakyat secara selektif
untuk menjaga kestabilan neraca sumber daya hutan dan
lingkungan, pendirian bangunan penunjang kegiatan pengamanan

68
kawasan dan pemanfaatan hasil hutan secara selektif, penanaman
kembali tanaman kehutanan;
2. pemanfaatan ruang kawasan perkebunan rakyat diperbolehkan
secara terbatas untuk kegiatan memenuhi persyaratan teknis dan
tidak mengganggu fungsi kawasan peruntukan hutan rakyat,
meliputi: prosesi keagamaan, pembangunan instalasi pembangkit,
transmisi, distribusi, dan teknologi energi/listrik baru dan
terbarukan, pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun
pemancar radio, dan stasiun relay televisi, pembangunan jalan
umum, pembangunan sarana transportasi yang tidak dikategorikan
sebagai sarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan
hasil produksi, pembangunan sarana dan prasarana sumber daya
air, jaringan instalasi air, saluran air minum, saluran air limbah,
pembangunan fasilitas umum, pertahanan dan keamanan,
prasarana penunjang keselamatan umum dan penampungan
sementara korban bencana alam; dan
3. pemanfaatan ruang kawasan perkebunan rakyat tidak diperbolehkan
untuk kegiatan pertambangan, kegiatan industri, kegiatan berburu
binatang/fauna, penebangan pohon secara tebang habis, dan
kegiatan lainnya yang tidak sesuai dengan ketentuan kawasan
peruntukan perkebunan rakyat.
b. Intensitas pemanfaatan ruang pada Kawasan perkebunan rakyat
memperhitungkan daya dukung lahan;
c. Sarana prasarana minimum pada pada Kawasan perkebunan rakyat
merupakan sarana prasarana yang dapat mendukung kegiatan
perkebunan rakyat dan disesuaikan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; dan
d. Ketentuan khusus pada kawasan perkebunan rakyat meliputi:
1. Ketentuan khusus pada kawasan perkebunan rakyat yang
bertampalan dengan kawasan pertanian pangan berkelanjutan
(KP2B), terdiri dari:
a) alih fungsi lahan yang sudah ditetapkan sebagai KP2B untuk
kepentingan umum dilaksanakan dengan ketentuan penggantian
lahan yaitu:
1) paling sedikit 3 (tiga) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan beririgasi;
2) paling sedikit 2 (dua) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan non
pasang surut; dan
3) paling sedikit 1 (satu) kali luas lahan dalam hal yang
dialihfungsikan lahan yang tidak beririgasi.
b) penggantian lahan dilakukan dengan ketentuan:
1) pembukaan lahan baru diluar KP2B;
2) pengalihfungsian lahan dari lahan non pertanian ke pertanian,
terutama dari tanah terlantar dan/ atau tanah bekas kawasan
hutan; dan

69
3) penyediaan pengganti lahan yang sudah ditetapkan sebagai
KP2B dilakukan paling lambat dua tahun setelah alih fungsi
dilakukan.

2. ketentuan khusus pada kawasan perkebunan rakyat yang


bertampalan dengan kawasan rawan bencana, meliputi:
a) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana banjir, yaitu:
1) memperhatikan peil banjir;
2) Pendirian bangunan dalam kawasan perkebunan rakyat wajib
mengikuti rekomendasi kajian kebencanaan dan ketentuan
teknis;
3) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi; dan
4) penyediaan sarana dan prasarana mitigasi bencana dalam
kawasan perkebunan rakyat.
b) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana banjir bandang,
yaitu:
1) memperhatikan pemanfaatan ruang bagi RTH dan pengendalian
pembangunan fasilitas umum;
2) pengendalian pada kawasan terbangun sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
3) arahan pemanfaatan ruang menyesuaikan pada hasil kajian
kebencanaan;
4) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi;
5) mencegah terjadinya luapan air sungai pada debit banjir
dengan periode tertentu dengan bangunan pengendalian banjir;
dan
6) penyediaan sarana dan prasarana mitigasi bencana dalam
kawasan perkebunan rakyat.
c) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana likuifaksi, yaitu:
1) pengendalian area terbangun dengan mengacu pada kaidah
teknis dan peraturan perundang-undangan;
2) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi; dan
3) pengendalian pengambilan air tanah yang dilakukan secara
besar-besaran berdasarkan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
d) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana tanah longsor,
yaitu:
1) pengendalian pembangunan pada kawasan rawan longsor
dengan memperhatikan ketentuan teknis yang berlaku;
2) pengendalian aktivitas dalam kawasan rawan bencana longsor
tinggi;
3) pemasangan papan info dan rambu peringatan, jalur evakuasi
dan tempat evakuasi sementara; dan
4) kegiatan eksisting dengan intensitas tinggi yang berada pada
kawasan rawan longsor tinggi diarahkan untuk relokasi

70
bangunan dan/atau tidak melakukan perluasan atau
penambahan bangunan.

Pasal 79
Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Pertanian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 ayat (3) huruf c disusun dengan memperhatikan:
a. Kegiatan pemanfaatan ruang pada kawasan pertanian, yang meliputi:
1. pemanfaatan ruang kawasan pertanian diperbolehkan adanya
bangunan prasarana wilayah dan bangunan yang bersifat
mendukung kegiatan hilirisasi produk pertanian tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan dan peternakan;
2. pemanfaatan ruang kawasan pertanian diperbolehkan secara
terbatas dilakukan kegiatan wisata alam secara terbatas, penelitian,
dan Pendidikan; dan
3. pemanfaatan ruang kawasan pertanian tanaman pangan dan
potensial sebagai kawasan pertanian pangan berkelanjutan tidak
diperbolehkan dialihfungsikan dan tidak diperbolehkan dilakukan
pemborosan penggunaan sumber air.
b. Intensitas pemanfaatan ruang pada Kawasan pertanian
memperhitungkan daya dukung lahan;
c. Sarana prasarana minimum pada pada Kawasan pertanian merupakan
sarana prasarana yang dapat mendukung kegiatan pertanian dan
disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; dan
d. Ketentuan khusus pada Kawasan pertanian, meliputi:
1. ketentuan khusus pada kawasan pertanian yang bertampalan
dengan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP), yaitu
pendirian dan pengaturan tata bangunan wajib mengikuti ketentuan
teknis yang berlaku.
2. ketentuan khusus pada kawasan pertanian yang ditetapkan sebagai
kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B), tidak boleh
dialihfungsikan dan kesejahteraan petani pada Kawasan tersebut
diperhatikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
3. ketentuan khusus pada kawasan pertanian yang bertampalan
dengan kawasan rawan bencana, meliputi:
a) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana banjir, yaitu:
1) memperhatikan peil banjir;
2) Pendirian bangunan dalam kawasan pertanian wajib mengikuti
rekomendasi kajian kebencanaan dan ketentuan teknis;
3) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi; dan
4) penyediaan sarana dan prasarana mitigasi bencana dalam
kawasan pertanian.
b) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana banjir bandang,
yaitu:

71
1) memperhatikan pemanfaatan ruang bagi RTH dan
pengendalian pembangunan fasilitas umum;
2) pengendalian pada kawasan terbangun sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
3) arahan pemanfaatan ruang menyesuaikan pada hasil kajian
kebencanaan;
4) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi;
5) mencegah terjadinya luapan air sungai pada debit banjir
dengan periode tertentu dengan bangunan pengendalian
banjir; dan
6) penyediaan sarana dan prasarana mitigasi bencana dalam
kawasan pertanian.
c) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana tsunami, yaitu:
1) penyediaan infrastruktur proteksi bencana yang memadai;
2) pemberlakuan pembatasan dan pengendalian terhadap
perkembangan area terbangun dalam kawasan pertanian; dan
3) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi.
d) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana gempa bumi,
yaitu:
1) pengendalian pembangunan di kawasan rawan gempa harus
mengikuti ketentuan aturan bangunan tahan gempa sesuai
dengan analisis resiko bencana;
2) penyediaan infrastruktur penunjang aktivitas budidaya
menyesuaikan dengan ketentuan teknis yang berlaku;
3) pemasangan papan info dan rambu peringatan, jalur evakuasi
dan tempat evakuasi sementara; dan
4) pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana harus
mengikuti ketentuan aturan bangunan tahan gempa.
e) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana likuifaksi, yaitu:
1) pengendalian area terbangun dengan mengacu pada kaidah
teknis dan peraturan perundang-undangan;
2) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi; dan
3) pengendalian pengambilan air tanah yang dilakukan secara
besar-besaran berdasarkan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
f) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana tanah longsor,
yaitu:
1) memperhatikan ketentuan teknis yang berlaku;
2) pengendalian aktivitas dalam kawasan rawan bencana longsor
tinggi;
3) pemasangan papan info dan rambu peringatan, jalur evakuasi
dan tempat evakuasi sementara; dan
4) kegiatan eksisting dengan intensitas tinggi yang berada pada
kawasan rawan longsor tinggi diarahkan untuk relokasi

72
bangunan dan/atau tidak melakukan perluasan atau
penambahan bangunan.

Pasal 80
Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Perikanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 ayat (3) huruf d disusun dengan memperhatikan:
a. Kegiatan pemanfaatan ruang pada kawasan perikanan, yang meliputi:
1. Pemanfaatan ruang kawasan perikanan diperbolehkan, yaitu:
a) pemanfaatan ruang untuk kegiatan perikanan tangkap;
b) penetapan kawasan perikanan budidaya serta pemanfaatan
ruang untuk kegiatan perikanan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
c) pemanfaatan ruang untuk sarana dan prasarana yang
mendukung kegiatan perikanan; dan
d) kegiatan perikanan budidaya diwajibkan memperhatikan
pengelolaan yang berkelanjutan dari aspek produksi, lingkungan
dan peningkatan sosial ekonomi masyarakat setempat.
2. Pemanfaatan ruang kawasan perikanan budidaya diperbolehkan
dengan syarat untuk permukiman, kegiatan wisata alam secara
terbatas, penelitian, dan Pendidikan, serta untuk sarana dan utilitas
sesuai ketentuan teknis yang berlaku.
3. Kawasan budidaya perikanan tidak diperbolehkan kegiatan yang
mengakibatkan pencemaran dan kerusakan ekosistem perairan dan
kegiatan yang mengakibatkan terganggunya alur pelayaran, alur
migrasi biota dan infrastruktur dalam laut lainnya, serta
mengganggu akses keluar masuk nelayan tradisional.
b. Intensitas pemanfaatan ruang pada Kawasan perikanan
memperhitungkan daya dukung Kawasan;
c. Sarana prasarana minimum pada pada Kawasan perikanan merupakan
sarana prasarana yang dapat mendukung kegiatan perikanan dan
disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; dan
d. Ketentuan khusus pada Kawasan perikanan, meliputi:
1. Ketentuan khusus pada kawasan perikanan yang bertampalan
dengan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP), yaitu
pendirian dan pengaturan tata bangunan wajib mengikuti ketentuan
teknis yang berlaku.
2. Ketentuan khusus pada kawasan perikanan yang bertampalan
dengan kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B), terdiri dari:
a) alih fungsi lahan yang sudah ditetapkan sebagai KP2B untuk
kepentingan umum dilaksanakan dengan ketentuan penggantian
lahan yaitu:
1) paling sedikit 3 (tiga) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan beririgasi;
2) paling sedikit 2 (dua) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan non
pasang surut; dan

73
3) paling sedikit 1 (satu) kali luas lahan dalam hal yang
dialihfungsikan lahan yang tidak beririgasi.
b) penggantian lahan dilakukan dengan ketentuan:
1) pembukaan lahan baru diluar KP2B;
2) pengalihfungsian lahan dari lahan non pertanian ke pertanian,
terutama dari tanah terlantar dan/ atau tanah bekas kawasan
hutan; dan
3) penyediaan pengganti lahan yang sudah ditetapkan sebagai
KP2B dilakukan paling lambat dua tahun setelah alih fungsi
dilakukan.
3. ketentuan khusus pada kawasan perikanan yang bertampalan
dengan kawasan rawan bencana, meliputi:
a) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana banjir, yaitu:
1) memperhatikan peil banjir;
2) Pendirian bangunan dalam kawasan perikanan wajib mengikuti
rekomendasi kajian kebencanaan dan ketentuan teknis;
3) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi; dan
4) penyediaan sarana dan prasarana mitigasi bencana dalam
kawasan perikanan.
b) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana banjir bandang,
yaitu:
1) memperhatikan pemanfaatan ruang bagi RTH dan pengendalian
pembangunan fasilitas umum;
2) pengendalian pada kawasan terbangun sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
3) arahan pemanfaatan ruang menyesuaikan pada hasil kajian
kebencanaan;
4) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi;
5) mencegah terjadinya luapan air sungai pada debit banjir
dengan periode tertentu dengan bangunan pengendalian banjir;
dan
6) penyediaan sarana dan prasarana mitigasi bencana dalam
kawasan perikanan.
c) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana tsunami, yaitu:
1) penyediaan infrastruktur proteksi bencana yang memadai;
2) pemberlakuan pembatasan dan pengendalian terhadap
perkembangan area terbangun dalam kawasan perikanan; dan
3) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi.
d) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana gempa bumi,
yaitu:
1) pengendalian pembangunan di kawasan rawan gempa harus
mengikuti ketentuan aturan bangunan tahan gempa sesuai
dengan analisis resiko bencana;
2) penyediaan infrastruktur penunjang aktivitas budidaya
menyesuaikan dengan ketentuan teknis yang berlaku;

74
3) pemasangan papan info dan rambu peringatan, jalur evakuasi
dan tempat evakuasi sementara; dan
4) pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana harus
mengikuti ketentuan aturan bangunan tahan gempa.
e) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana likuifaksi, yaitu:
1) pengendalian area terbangun dengan mengacu pada kaidah
teknis dan peraturan perundang-undangan;
2) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi; dan
3) pengendalian pengambilan air tanah yang dilakukan secara
besar-besaran berdasarkan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
f) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana tanah longsor,
yaitu:
1) pengendalian pembangunan pada kawasan rawan longsor
dengan memperhatikan ketentuan teknis yang berlaku;
2) pengendalian aktivitas dalam kawasan rawan bencana longsor
tinggi;
3) pemasangan papan info dan rambu peringatan, jalur evakuasi
dan tempat evakuasi sementara; dan
4) kegiatan eksisting dengan intensitas tinggi yang berada pada
kawasan rawan longsor tinggi diarahkan untuk relokasi
bangunan dan/atau tidak melakukan perluasan atau
penambahan bangunan.
4. Ketentuan khusus pada kawasan perikanan yang bertampalan
dengan kawasan sempadan, terdiri dari:
a) pengendalian pemanfaatan ruang untuk aktivitas pada kawasan
perikanan pada kawasan sempadan mengikuti ketentuan teknis
yang berlaku; dan
b) pemanfaatan ruang untuk pendirian bangunan wajib
memperhatikan pedoman bangunan bencana, yang secara terus
menerus mampu menjaga keberlanjutan ekosistem yang selaras
dengan fungsi lingkungan, sosial dan ekonomi setempat.

Pasal 81
Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Pergaraman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 ayat (3) huruf e disusun dengan memperhatikan:
a. kegiatan pemanfaatan ruang, yang meliputi:
1. kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan, yaitu kegiatan
praproduksi, produksi, pascaproduksi, dan pengolahan garam, serta
sarana prasarana yang mendukung kegiatan pergaraman dan
kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan dengan
memperhatikan kelestariannya;
2. kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan bersyarat yaitu
kegiatan pendirian dan/atau penempatan bangunan dan instalasi di
laut untuk mendukung fungsi kawasan pergaraman, kegiatan
pendidikan, penelitian serta pariwisata, dan kegiatan perindustrian
yang menunjang aktivitas pergaraman dengan memenuhi syarat-

75
syarat tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku; dan
3. kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak diperbolehkan yaitu
kegiatan yang dapat mengganggu aktivitas serta mencemari
lingkungan pada kawasan pergaraman sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. intensitas pemanfaatan ruang pada kawasan pergaraman menyesuaikan
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. sarana dan prasarana minimum pada kawasan pergaraman yaitu
sarana dan prasarana yang mampu menunjang segala jenis kegiatan di
dalam kawasan pergaraman sesuai dengan ketentuang perundang-
undangan yang berlaku; dan
d. ketentuan khusus pada kawasan pergaraman, meliputi:
1. ketentuan khusus pada kawasan pergaraman yang bertampalan
dengan kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B), terdiri
dari:
a) alih fungsi lahan yang sudah ditetapkan sebagai KP2B untuk
kepentingan umum dilaksanakan dengan ketentuan penggantian
lahan yaitu:
1) paling sedikit 3 (tiga) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan beririgasi;
2) paling sedikit 2 (dua) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan non
pasang surut; dan
3) paling sedikit 1 (satu) kali luas lahan dalam hal yang
dialihfungsikan lahan yang tidak beririgasi.
b) penggantian lahan dilakukan dengan ketentuan:
1) pembukaan lahan baru diluar KP2B; atau
2) pengalihfungsian lahan dari lahan non pertanian ke
pertanian, terutama dari tanah terlantar dan/ atau tanah
bekas kawasan hutan; dan
3) penyediaan pengganti lahan yang sudah ditetapkan sebagai
KP2B dilakukan paling lambat dua tahun setelah alih fungsi
dilakukan.
2. ketentuan khusus pada kawasan pergaraman yang bertampalan
dengan kawasan rawan bencana, terdiri dari:
a) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana banjir, yaitu:
1) memperhatikan peil banjir;
2) pengendalian terhadap perkembangan area terbangun dalam
kawasan pergaraman;
3) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi; dan
4) penyediaan sarana dan prasarana mitigasi bencana.
b) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana tsunami, yaitu:
1) penyediaan infrastruktur proteksi bencana yang memadai;
2) pemberlakuan pembatasan dan pengendalian terhadap
perkembangan area terbangun dalam kawasan pergaraman;

76
3) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi; dan
4) penyiapan perlindungan dengan memanfaatkan vegetasi
pesisir.
c) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana gempa bumi,
yaitu:
1) pengendalian pembangunan di kawasan rawan gempa harus
mengikuti ketentuan aturan bangunan tahan gempa sesuai
dengan analisis resiko bencana;
2) penyediaan infrastruktur penunjang aktivitas budidaya
menyesuaikan dengan ketentuan teknis yang berlaku;
3) pemasangan papan info dan rambu peringatan, jalur
evakuasi dan tempat evakuasi sementara; dan
4) pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana harus
mengikuti ketentuan aturan bangunan tahan gempa.
d) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana likuifaksi yaitu:
1) pengendalian area terbangun dengan mengacu pada kaidah
teknis dan peraturan perundang-undangan;
2) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi; dan
3) pengendalian pengambilan air tanah yang dilakukan secara
besar-besaran berdasarkan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
3. Ketentuan khusus pada kawasan pergaraman yang bertampalan
dengan kawasan sempadan, terdiri dari:
a) pengendalian pemanfaatan ruang untuk aktivitas pada kawasan
pergaraman pada kawasan sempadan mengikuti ketentuan
teknis yang berlaku; dan
b) pemanfaatan ruang untuk pendirian bangunan wajib
memperhatikan pedoman bangunan bencana, yang secara terus
menerus mampu menjaga keberlanjutan ekosistem yang selaras
dengan fungsi lingkungan, sosial dan ekonomi setempat.

Pasal 82
Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Pertambangan dan Energi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) huruf f disusun dengan
meliputi:
a. Kegiatan pemanfaatan ruang pada kawasan pertambangan dan energi,
yang meliputi:
1. Diperbolehkan kegiatan pertambangan berdasarkan jenis
penambangan sesuai dengan ketentuan teknis dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
2. Diperbolehkan kegiatan Eksplorasi, Eksploitasi, dan pemanfaatan
sesuai dengan ketentuan teknis dan peraturan perundang undangan
yang berlaku;
3. Diperbolehkan kegiatan yang memberikan dukungan terhadap
kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi;

77
4. Diperbolehkan secara bersyarat kegiatan reklamasi dan pasca
tambang yang mengacu pada dokumen lingkungan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada lahan-lahan yang
terganggu akibat kegiatan pertambangan wajib dilakukan reklamasi
dan rehabilitasi lahan pasca tambang sesuai rencana peruntukan
lahan. Rencana Reklamasi dan Rencana Pasca Tambang harus
diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh IUP, IUPK dan/atau
Kontrak Karya, termasuk perpanjangannya;
5. Diperbolehkan secara bersyarat dan/atau terbatas untuk kegiatan
pengembangan permukiman pendukung kegiatan pertambangan;
6. Diperbolehkan secara bersyarat dan atau terbatas kegiatan industri
pengolahan hasil tambang;
7. Lokasi kegiatan pertambangan harus memenuhi ketentuan radius
minimum terhadap permukiman yang sudah ada sesuai peraturan
perundang-undangan;
8. Kegiatan eksplorasi dan operasi produksi tambang wajib memiliki
IUP, IPR, IUPK sesuai tahapan, memiliki izin khusus lain dan/atau
Kontrak Karya yang masih berlaku, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
9. Tidak diperbolehkan usaha dan/atau kegiatan pertambangan yang
dilakukan pada:
a) Kawasan hutan lindung, kecuali untuk penambangan bawah
permukaan tanah (underground mining); Dalam hal kawasan
hutan lindung sudah bertampalan dengan WUP, WUPK,
dan/atau WPR, berlaku izin pinjam pakai kawasan hutan
menurut peraturan perundangan-undangan dan dilarang
melakukan penambangan terbuka (open pit mining);
b) Sekitar sumber mata air;
c) Kawasan sempadan pantai. Dalam hal kawasan sempadan pantai
sudah bertampalan dengan WUP, WUPK, dan/atau WPR,
kegiatan pertambangan tahap operasi produksi dapat dilakukan
setelah melalui kajian sesuai ketentuan peraturan perundangan-
undangan;
d) Kawasan permukiman. Dalam hal kegiatan pertambangan berada
pada kawasan permukiman perkotaan dan kawasan permukiman
perdesaan yang masih dalam tahap perencanaan (belum
eksisting), dapat dilakukan sepanjang pasca tambang sesuai
arahan rencana peruntukan kawasan dimaksud; dan
e) Kawasan dengan tingkat kerawanan bencana tinggi hingga
sangat tinggi.
10. Kegiatan Pertambangan yang dikembangkan pada kawasan hutan
meliputi tahap eksplorasi dan/atau tahap operasi produksi. Kegiatan
tahap eksplorasi meliputi kegiatan Usaha Pertambangan untuk
memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi,
bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari
bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan
lingkungan hidup. Kegiatan tahap eksplorasi memiliki syarat sebagai
berikut:

78
a) Melakukan kajian kelayakan pertambangan dari aspek
penggunaan lahan, aspek geologi, dan aspek sosial budaya; dan
b) Tidak boleh melakukan operasi produksi sebelum memperoleh
IUP Operasi Produksi.
11. Kegiatan tahap operasi produksi pertambangan meliputi kegiatan
Usaha Pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan,
pengolahan dan/atau pemurnian atau pengembangan dan/atau
pemanfaatan, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana
pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi
kelayakan. Kegiatan pertambangan tahap operasi produksi
memperhatikan keseimbangan biaya dan manfaat serta
keseimbangan risiko dan manfaat yang berlandaskan pada asas
keadilan. Setiap pelaku usaha pertambangan tahap operasi produksi
wajib melaksanakan kegiatan pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat (community development) sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
b. Intensitas pemanfaatan ruang pada kawasan pertambangan dan energi
menyesuaikan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Sarana dan prasarana minimum pada kawasan pertambangan dan
energi merupakan sarana dan prasarana pendukung kegiatan
pertambangan berdasarkan jenis penambangan sesuai dengan
ketentuan teknis dan peraturan perundang undangan yang berlaku; dan
d. Ketentuan khusus pada kawasan pertambangan dan energi meliputi:
1. Ketentuan khusus pada kawasan pertambangan dan energi yang
bertampalan dengan kawasan rawan bencana, terdiri dari:
a) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana banjir, yaitu:
1) memperhatikan peil banjir;
2) Pendirian bangunan dalam kawasan pertambangan dan energi
wajib mengikuti rekomendasi kajian kebencanaan dan
ketentuan teknis;
3) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi; dan
4) penyediaan sarana dan prasarana mitigasi bencana dalam
kawasan pertambangan dan energi.
b) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana banjir bandang,
yaitu:
1) memperhatikan pemanfaatan ruang bagi RTH dan
pengendalian pembangunan fasilitas umum;
2) pengendalian pada kawasan terbangun sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
3) arahan pemanfaatan ruang menyesuaikan pada hasil kajian
kebencanaan;
4) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi;
5) mencegah terjadinya luapan air sungai pada debit banjir
dengan periode tertentu dengan bangunan pengendalian
banjir; dan

79
6) penyediaan sarana dan prasarana mitigasi bencana dalam
kawasan pertambangan dan energi.
c) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana tsunami, yaitu:
1) penyediaan infrastruktur proteksi bencana yang memadai;
2) pemberlakuan pembatasan dan pengendalian terhadap
perkembangan area terbangun dalam kawasan pertambangan
dan energi; dan
3) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi.
2. Ketentuan khusus pada kawasan pertambangan dan energi yang
bertampalan dengan kawasan sempadan, terdiri dari:
a) tidak diperbolehkan semua jenis kegiatan yang dapat
menurunkan luas, nilai ekologis, dan estetika kawasan; dan
b) pemanfaatan secara bersyarat kegiatan pertambangan di
kawasan sempadan.

Pasal 83
Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Peruntukan Industri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) huruf g disusun dengan meliputi:
a. Kegiatan pemanfaatan ruang pada kawasan peruntukan industri, yang
meliputi:
1. Diperbolehkan kegiatan peruntukan industri dan logistik barang;
2. Diperbolehkan kegiatan penyediaan RTH pada kawasan industri
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang
berlaku;
3. Diperbolehkan secara bersyarat kegiatan pengembangan
permukiman di Kawasan Peruntukan Industri;
4. Diperbolehkan secara bersyarat kegiatan infrastruktur dasar,
infrastruktur penunjang, dan sarana penunjang lainnya sesuai
dengan ketentuan teknis;
5. Diperbolehkan secara bersyarat kegiatan pemanfaatan air baku
berdasarkan prinsip manajemen air sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan;
6. Perusahaan industri besar baru wajib berada di kawasan industri
kecuali belum tersedia kawasan industri, tersedia kawasan industri
tetapi sudah penuh, dan/atau industri yang menggunakan bahan
baku khusus dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi
khusus dan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat;
7. Diperbolehkan pemanfaatan ruang kegiatan industri wajib
menyediakan zona penyangga dengan lingkungan sekitar;
8. Diperbolehkan secara bersyarat kegiatan industri yang berada di
dalam dan/atau berdekatan dengan kawasan permukiman wajib
menyediakan prasarana sanitasi, pengolahan limbah dan
persampahan serta memperhatikan jarak dengan kawasan
permukiman;
9. Diperbolehkan kawasan peruntukan industri dapat dikembangkan
dengan konsep eco industrial park;

80
10. Pengembangan kawasan industri memperhatikan keberadaan daerah
resapan air dan air tanah, jarak dari permukiman dan sungai, daya
dukung dan daya tampung lahan, kemampuan penggunaan
teknologi, potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia di
wilayah sekitarnya, serta prinsip ketahanan terhadap bencana
sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan; dan
11. Tidak diperbolehkan kegiatan yang merusak fungsi kawasan sesuai
dengan ketentuan teknis dan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
b. Intensitas pemanfaatan ruang pada kawasan peruntukan industri
menyesuaikan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Sarana dan prasarana minimum pada Kawasan Peruntukan Industri
merupakan sarana dan prasarana pendukung kegiatan industri dengan
ketentuan teknis dan peraturan perundang undangan yang berlaku; dan
d. Ketentuan khusus pada kawasan peruntukan industri meliputi:
1. Ketentuan khusus pada kawasan perikanan yang bertampalan
dengan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP), yaitu
pendirian dan pengaturan tata bangunan wajib mengikuti ketentuan
teknis yang berlaku.
2. Ketentuan khusus pada kawasan peruntukan industri yang
bertampalan dengan Kawasan pertanian pangan berkelanjutan
(KP2B), terdiri dari:
a) Alih fungsi lahan kawasan peruntukan industri yang sudah
ditetapkan sebagai KP2B dilaksanakan dengan ketentuan
penggantian lahan yaitu:
1) Paling sedikit 3 (tiga) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan beririgasi;
2) Paling sedikit 2 (dua) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan non
pasang surut; dan
3) Paling sedikit 1 (satu) kali luas lahan dalam hal yang
dialihfungsikan lahan yang tidak beririgasi.
b) Penggantian lahan dilakukan dengan ketentuan:
1) Pembukaan lahan baru diluar KP2B; atau
2) Pengalihfungsian lahan dari lahan non pertanian ke
pertanian, terutama dari tanah terlantar dan/atau tanah
bekas kawasan hutan; dan
3) Penyediaan pengganti lahan yang sudah ditetapkan sebagai
KP2B dilakukan paling lambat dua tahun setelah alih fungsi
dilakukan.
2. Ketentuan khusus pada kawasan peruntukan industri yang
bertampalan dengan kawasan rawan bencana, terdiri dari:
a) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana banjir, yaitu:
1) memperhatikan peil banjir;
2) Pendirian bangunan dalam kawasan peruntukan industri
wajib mengikuti rekomendasi kajian kebencanaan dan
ketentuan teknis;

81
3) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi; dan
4) penyediaan sarana dan prasarana mitigasi bencana dalam
kawasan peruntukan industri.
b) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana banjir bandang,
yaitu:
1) memperhatikan pemanfaatan ruang bagi RTH dan
pengendalian pembangunan fasilitas umum;
2) pengendalian pada kawasan terbangun sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
3) arahan pemanfaatan ruang menyesuaikan pada hasil kajian
kebencanaan;
4) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi;
5) mencegah terjadinya luapan air sungai pada debit banjir
dengan periode tertentu dengan bangunan pengendalian
banjir; dan
6) penyediaan sarana dan prasarana mitigasi bencana dalam
kawasan peruntukan industri.
c) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana tsunami, yaitu:
1) penyediaan infrastruktur proteksi bencana yang memadai;
2) pemberlakuan pembatasan dan pengendalian terhadap
perkembangan area terbangun dalam kawasan peruntukan
industri; dan
3) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi.
d) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana likuifaksi, yaitu:
1) pengendalian area terbangun dengan mengacu pada kaidah
teknis dan peraturan perundang-undangan;
2) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi; dan
3) pengendalian pengambilan air tanah yang dilakukan secara
besar-besaran berdasarkan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
3. Ketentuan khusus pada kawasan peruntukan industri yang
bertampalan dengan kawasan sempadan, terdiri dari:
a) pemanfaatan secara terbatas pendirian bangunan hanya untuk
menunjang kegiatan industri;
b) pemanfaatan secara terbatas untuk kawasan industri pada
kawasan sempadan; dan
c) tidak diperbolehkan semua jenis kegiatan yang dapat
menurunkan luas, nilai ekologis, dan estetika kawasan.

Pasal 84
Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Pariwisata sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 ayat (3) huruf h disusun dengan memperhatikan:
a. kegiatan pemanfaatan ruang, yang meliputi:

82
1. kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan yaitu kegiatan
pemanfaatan ruang untuk kegiatan pembangunan pariwisata dan
fasilitas penunjang pariwisata, kegiatan pemanfaatan potensi alam
dan budaya masyarakat sesuai dengan daya dukung dan daya
tampung lingkungan, kegiatan perlindungan terhadap situs
peninggalan kebudayaan masa lampau (heritage), dan kegiatan
penelitian dan pengembangan pendidikan, serta kegiatan penyediaan
ruang terbuka hijau pada kawasan pariwisata sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku;
2. kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan bersyarat yaitu
hunian dan fungsi campuran dengan mengacu pada peraturan
teknis yang berlaku, situs cagar budaya sebagai daya tarik wisata
dan bentuk pelestarian terhadap situs cagar budaya serta
infrastruktur dasar, infrastruktur penunjang, dan sarana penunjang
lainnya sesuai dengan ketentuan teknis; dan
3. kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak diperbolehkan yaitu
kegiatan yang mengganggu fungsi kawasan sesuai dengan ketentuan
teknis dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
b. intensitas pemanfaatan ruang menyesuaikan dengan rencana induk
pariwisata sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
c. sarana dan prasarana minimum pada kawasan pariwisata berupa
penyediaan infrastruktur dasar penunjang aktivitas dalam kawasan
pariwisata seperti air bersih, telekomunikasi, akses transportasi umum,
persampahan, dan sebagainya sesuai ketentuan teknis yang berlaku;
dan
d. ketentuan khusus pada kawasan pariwisata terdiri dari:
1. Ketentuan khusus pada kawasan perikanan yang bertampalan
dengan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP), yaitu
pendirian dan pengaturan tata bangunan wajib mengikuti ketentuan
teknis yang berlaku.
2. ketentuan khusus pada kawasan pariwisata yang bertampalan
dengan kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B), terdiri
dari:
a) alih fungsi lahan yang sudah ditetapkan sebagai KP2B untuk
kepentingan umum dilaksanakan dengan ketentuan penggantian
lahan yaitu:
1) paling sedikit 3 (tiga) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan beririgasi;
2) paling sedikit 2 (dua) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan non
pasang surut; dan
3) paling sedikit 1 (satu) kali luas lahan dalam hal yang
dialihfungsikan lahan yang tidak beririgasi.
b) penggantian lahan dilakukan dengan ketentuan:
1) pembukaan lahan baru diluar KP2B;
2) pengalihfungsian lahan dari lahan non pertanian ke
pertanian, terutama dari tanah terlantar dan/ atau tanah
bekas kawasan hutan; dan

83
3) penyediaan pengganti lahan yang sudah ditetapkan sebagai
KP2B dilakukan paling lambat dua tahun setelah alih fungsi
dilakukan.
3. ketentuan khusus pada kawasan pariwisata yang bertampalan
dengan kawasan rawan bencana, terdiri dari:
a) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana banjir, yaitu:
1) memperhatikan peil banjir;
2) Pengendalian terhadap perkembangan area terbangun dalam
kawasan pariwisata;
3) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi; dan
4) penyediaan sarana dan prasarana mitigasi bencana dalam
kawasan pariwisata.
b) Ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana longsor, yaitu:
1) pengendalian pembangunan pada kawasan rawan longsor
dengan memperhatikan ketentuan teknis yang berlaku;
2) pemasangan papan info dan rambu peringatan, jalur
evakuasi dan tempat evakuasi sementara; dan
3) kegiatan eksisting dengan intensitas tinggi yang berada pada
kawasan rawan longsor tinggi diarahkan untuk relokasi
bangunan dan/atau tidak melakukan perluasan atau
penambahan bangunan.
c) Ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana banjir bandang,
yaitu:
1) memperhatikan pemanfaatan ruang bagi RTH dan
pengendalian pembangunan fasilitas umum;
2) pengendalian pada kawasan terbangun sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
3) arahan pemanfaatan ruang menyesuaikan pada hasil kajian
kebencanaan;
4) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi;
5) mencegah terjadinya luapan air sungai pada debit banjir
dengan periode tertentu dengan bangunan pengendalian
banjir; dan
6) penyediaan sarana dan prasarana mitigasi bencana dalam
kawasan pariwisata.
d) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana tsunami, yaitu:
1) penyediaan infrastruktur proteksi bencana yang memadai;
2) pemberlakuan pembatasan dan pengendalian terhadap
perkembangan area terbangun dalam kawasan pariwisata;
3) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi; dan
4) penyiapan perlindungan dengan memanfaatkan vegetasi
pesisir.
e) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana likuifaksi yaitu:
1) pengendalian area terbangun dengan mengacu pada kaidah
teknis dan peraturan perundang-undangan;

84
2) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi; dan
3) pengendalian pengambilan air tanah yang dilakukan secara
besar-besaran berdasarkan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
4. ketentuan khusus pada kawasan pariwisata yang bertampalan
dengan kawasan sempadan, terdiri dari:
a) pengendalian pemanfaatan ruang untuk aktivitas pariwisata
pada kawasan sempadan mengikuti ketentuan teknis yang
berlaku; dan
b) pemanfaatan ruang untuk pendirian bangunan wajib
memperhatikan pedoman bangunan bencana, yang secara terus
menerus mampu menjaga keberlanjutan ekosistem yang selaras
dengan fungsi lingkungan, sosial dan ekonomi setempat.

Pasal 85
Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Permukiman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) huruf i disusun dengan memperhatikan:
a. kegiatan pemanfaatan ruang, yang meliputi:
1. kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan yaitu penyediaan
sarana pelayanan umum berupa sarana pendidikan, sarana
kesehatan, sarana perdagangan dan niaga, ruang terbuka, fasilitas
olahraga dan diperbolehkan pembangunan kawasan perumahan
vertikal yang menjamin tersedia kawasan hijau yang berfungsi
resapan, sosial, dan estetika;
2. kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan secara bersyarat
kegiatan yang mempunyai tujuan strategis seperti distribusi listrik,
teknologi energi baru dan terbarukan, pembangunan jaringan
telekomunikasi dan stasiun pemancar radio, jalan umum, jalan tol,
dan jalur kereta api dan diperbolehkan secara bersyarat
permukiman instansional dan permukiman developer dengan
memperhatikan kondisi alam dan tidak merusak lingkungan; dan
3. kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak diperbolehkan yaitu
kegiatan pertambangan pada kawasan permukiman, baik
permukiman perkotaan maupun perdesaan yang telah ada
(eksisting) dan tidak diperbolehkan kegiatan yang mengganggu
fungsi kawasan permukiman sesuai dengan ketentuan teknis dan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
b. intensitas pemanfaatan ruang dan tata massa bangunan ditetapkan
dengan KDB maksimum, KLB maksimum, dan KDH minimum
ditetapkan sesuai dengan klasifikasi kepadatan dan fungsi jalan serta
dengan mempertimbangkan daya dukung lahan; GSB minimum
berbanding lurus dengan ruang milik jalan; Tinggi bangunan maksimum
mempertimbangkan daya dukung lahan dan prasarana lingkungan,
KKOP, serta mempertimbangkan aspek keselamatan;
c. sarana dan prasarana minimum pada kawasan permukiman merupakan
penyediaan infrastruktur penunjang aktivitas pada kawasan

85
permukiman dengan intensitas kegiatan rendah hingga tinggi sesuai
ketentuan yang berlaku; dan
d. ketentuan khusus pada kawasan permukiman, terdiri dari:
1. Ketentuan khusus pada kawasan permukiman yang bertampalan
dengan kawasan keselamatan operasional penerbangan (KKOP),
yaitu pendirian dan pengaturan tata bangunan wajib mengikuti
ketentuan teknis yang berlaku.
2. ketentuan khusus pada kawasan permukiman yang bertampalan
dengan kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B), terdiri
dari:
a) alih fungsi lahan yang sudah ditetapkan sebagai KP2B untuk
kepentingan umum dilaksanakan dengan ketentuan penggantian
lahan yaitu:
1) paling sedikit 3 (tiga) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan beririgasi;
2) paling sedikit 2 (dua) kali luas lahan dalam hal lahan yang
dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan non
pasang surut; dan
3) paling sedikit 1 (satu) kali luas lahan dalam hal yang
dialihfungsikan lahan yang tidak beririgasi.
b) penggantian lahan dilakukan dengan ketentuan:
1) pembukaan lahan baru diluar KP2B;
2) pengalihfungsian lahan dari lahan non pertanian ke
pertanian, terutama dari tanah terlantar dan/ atau tanah
bekas kawasan hutan; dan
3) penyediaan pengganti lahan yang sudah ditetapkan sebagai
KP2B dilakukan paling lambat dua tahun setelah alih fungsi
dilakukan.
3. ketentuan khusus pada kawasan permukiman yang bertampalan
dengan kawasan rawan bencana, terdiri dari:
a) Ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana banjir, yaitu:
1) memperhatikan peil banjir;
2) Pendirian bangunan dalam kawasan permukiman wajib
mengikuti rekomendasi kajian kebencanaan dan ketentuan
teknis;
3) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi; dan
4) penyediaan sarana dan prasarana mitigasi bencana dalam
kawasan permukiman.
b) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana longsor, yaitu:
1) pengendalian pembangunan pada kawasan rawan longsor
dengan memperhatikan ketentuan teknis yang berlaku;
2) pengendalian aktivitas dalam kawasan rawan bencana
longsor tinggi;
3) pemasangan papan info dan rambu peringatan, jalur
evakuasi dan tempat evakuasi sementara; dan
4) kegiatan eksisting dengan intensitas tinggi yang berada pada
kawasan rawan longsor tinggi diarahkan untuk relokasi

86
bangunan dan/atau tidak melakukan perluasan atau
penambahan bangunan.
c) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana banjir bandang,
yaitu:
1) memperhatikan pemanfaatan ruang bagi RTH dan
pengendalian pembangunan fasilitas umum;
2) pengendalian pada kawasan terbangun sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
3) arahan pemanfaatan ruang menyesuaikan pada hasil kajian
kebencanaan;
4) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi;
5) mencegah terjadinya luapan air sungai pada debit banjir
dengan periode tertentu dengan bangunan pengendalian
banjir; dan
6) penyediaan sarana dan prasarana mitigasi bencana dalam
kawasan permukiman.
d) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana gempa bumi,
yaitu:
1) pengendalian pembangunan di kawasan rawan gempa harus
mengikuti ketentuan aturan bangunan tahan gempa sesuai
dengan analisis resiko bencana;
2) penyediaan infrastruktur penunjang aktivitas budidaya
menyesuaikan dengan ketentuan teknis yang berlaku;
3) pemasangan papan info dan rambu peringatan, jalur
evakuasi dan tempat evakuasi sementara; dan
4) pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana harus
mengikuti ketentuan aturan bangunan tahan gempa.
e) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana tsunami, yaitu:
1) penyediaan infrastruktur proteksi bencana yang memadai;
2) pemberlakuan pembatasan dan pengendalian terhadap
perkembangan area terbangun dalam kawasan permukiman;
dan
3) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi;
f) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana likuifaksi yaitu:
1) pengendalian area terbangun dengan mengacu pada kaidah
teknis dan peraturan perundang-undangan;
2) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi; dan
3) pengendalian pengambilan air tanah yang dilakukan secara
besar-besaran berdasarkan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
4. Ketentuan khusus pada kawasan permukiman yang bertampalan
dengan kawasan sempadan, terdiri dari:
a) pengendalian pemanfaatan ruang untuk aktivitas pada kawasan
permukiman pada kawasan sempadan mengikuti ketentuan teknis
yang berlaku; dan

87
b) pemanfaatan ruang untuk pendirian bangunan wajib
memperhatikan pedoman bangunan bencana, yang secara terus
menerus mampu menjaga keberlanjutan ekosistem yang selaras
dengan fungsi lingkungan, sosial dan ekonomi setempat.
5. Ketentuan khusus pada kawasan permukiman yang bertampalan
dengan kawasan cagar budaya, terdiri dari:
a) Pengendalian dan pelestarian cagar budaya dilakukan dengan
penetapan sistem zonasi berdasarkan hasil kajian dari instansi
teknis yang membidangi cagar budaya
b) Kegiatan pemanfaatan ruang pada kawasan yang bertampalan
dengan cagar budaya diperbolehkan untuk aktivitas penunjang
dan kegiatan yang tidak merusak dan/atau mengganggu
keberlangsungan objek cagar budaya.

Pasal 86
(1) Indikasi Arahan Zonasi untuk Kawasan Transportasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) huruf j terdiri atas:
a. Kegiatan pemanfaatan ruang, yang meliputi:
1. Kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan yaitu kegiatan
berupa penyediaan fasilitas penunjang kawasan transportasi,
perdagangan dan jasa skala lingkungan, dan RTNH;
2. Kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan secara
bersyarat pengadaan RTH dengan memperhatikan jenis vegetasi
yang ditanam tidak menimbulkan gangguan (obstacle) dalam
Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP); dan
3. Kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak diperbolehkan kegiatan
yang mengganggu aktivitas dalam kawasan transportasi.
b. intensitas pemanfaatan ruang dan tata massa bangunan ditetapkan
berdasarkan ketentuan teknis yang berlaku;
c. sarana dan prasarana minimum pada kawasan transportasi
merupakan penyediaan infrastruktur penunjang aktivitas pada
kawasan sesuai ketentuan yang berlaku; dan
d. ketentuan khusus pada kawasan transportasi, terdiri dari:
1. ketentuan khusus pada kawasan transportasi yang bertampalan
dengan kawasan keselamatan operasional penerbangan (KKOP),
yaitu pendirian dan pengaturan tata bangunan wajib mengikuti
ketentuan teknis yang berlaku.
2. ketentuan khusus pada kawasan transportasi yang bertampalan
dengan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan (DLKp),
terdiri dari:
a) pengendalian dan pengembangan pembangunan dalam
wilayah DKLp wajib memiliki kajian lingkungan sesuai aturan
yang berlaku; dan
b) sekurang-kurangnya, dalam DLKp tersedia area
pengembangan, tempat tunggu kendaraan, bunker, dan
fasilitas pemadam kebakaran.
3. ketentuan khusus pada kawasan transportasi yang bertampalan
dengan kawasan rawan bencana, terdiri dari:

88
a) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana banjir,
yaitu:
1) memperhatikan peil banjir;
2) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan
rambu peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi;
dan
3) penyediaan sarana dan prasarana mitigasi bencana dalam
kawasan transportasi.
b) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana banjir
bandang, yaitu:
1) memperhatikan pemanfaatan ruang bagi RTH dan
pengendalian pembangunan fasilitas umum;
2) pengendalian pada kawasan terbangun sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
3) arahan pemanfaatan ruang menyesuaikan pada hasil
kajian kebencanaan;
4) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan
rambu peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi;
5) mencegah terjadinya luapan air sungai pada debit banjir
dengan periode tertentu dengan bangunan pengendalian
banjir; dan
6) penyediaan sarana dan prasarana mitigasi bencana dalam
kawasan transportasi.
c) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana longsor,
yaitu:
1) pengendalian pembangunan pada kawasan rawan longsor
dengan memperhatikan ketentuan teknis yang berlaku;
dan
2) pemasangan papan info dan rambu peringatan, jalur
evakuasi dan tempat evakuasi sementara;
d) Ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana gempa
bumi, yaitu:
1) pengendalian pembangunan di kawasan rawan gempa
harus mengikuti ketentuan aturan bangunan tahan gempa
sesuai dengan analisis resiko bencana;
2) penyediaan infrastruktur penunjang aktivitas budidaya
menyesuaikan dengan ketentuan teknis yang berlaku;
3) pemasangan papan info dan rambu peringatan, jalur
evakuasi dan tempat evakuasi sementara; dan
4) pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana harus
mengikuti ketentuan aturan bangunan tahan gempa.
e) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana tsunami,
yaitu:
1) penyediaan infrastruktur proteksi bencana yang memadai;
2) pemberlakuan pembatasan dan pengendalian terhadap
perkembangan area terbangun dalam kawasan
transportasi; dan

89
3) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan
rambu peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi;
f) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana likuifaksi
yaitu:
1) pengendalian area terbangun dengan mengacu pada
kaidah teknis dan peraturan perundang-undangan;
2) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan
rambu peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi;
dan
3) pengendalian pengambilan air tanah yang dilakukan
secara besar-besaran berdasarkan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
4. Ketentuan khusus pada kawasan transportasi yang bertampalan
dengan kawasan sempadan, terdiri dari:
a) pemanfaatan secara terbatas pendirian bangunan hanya
untuk menunjang kegiatan kawasan transportasi;
b) pemanfaatan secara terbatas untuk kawasan transportasi
pada kawasan sempadan; dan
c) tidak diperbolehkan semua jenis kegiatan yang dapat
menurunkan luas, nilai ekologis, dan estetika kawasan.

Pasal 87
Indikasi Arahan Zonasi untuk untuk Kawasan Pertahanan dan Keamanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) huruf k disusun dengan
meliputi:
a. Kegiatan pemanfaatan ruang pada kawasan pertahanan dan keamanan,
yang meliputi:
1. Kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan, yaitu:
a) kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan pertahanan dan
keamanan seperti pangkalan militer atau kesatrian, latihan
militer, pembangunan instalasi militer, uji coba peralatan dan
persenjataan militer;
b) untuk kegiatan kantor, gudang, rumah dinas, bangunan asrama
dan/atau barak dan bangunan sejenis lainnya yang terkait
dengan kepentingan pertahanan dan keamanan;
c) penyediaan fasilitas sosial dan fasilitas umum sesuai dengan
standar pelayanan minimal;
d) penyediaan jalur evakuasi bencana;
e) kegiatan pariwisata tertentu.
2. Kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan secara bersyarat,
yaitu:
a) kegiatan penyimpanan barang eksplosif berbahaya lainnya,
disposal amunisi dan peralatan pertahanan berbahaya lainnya;
dan
b) pengembangan kawasan lindung dan/atau kawasan budi daya
tidak terbangun di sekitar kawasan pertahanan dan keamanan
sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan pertahanan
keamanan dengan kawasan budi daya terbangun.

90
3. Tidak diperbolehkan kegiatan yang mengganggu fungsi kawasan
pertahanan dan keamanan sesuai dengan ketentuan teknis dan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
b. Intensitas pemanfaatan ruang pada kawasan pertahanan dan keamanan
menyesuaikan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Sarana dan prasarana minimum pada kawasan pertahanan dan
keamanan diperbolehkan sarana dan prasarana pendukung kegiatan
kawasan pertahanan dan keamanan dengan ketentuan teknis dan
peraturan perundang undangan yang berlaku; dan
d. Ketentuan khusus pada kawasan pertahanan dan keamanan meliputi:
1. Ketentuan khusus pada kawasan pertahanan dan keamanan yang
bertampalan dengan kawasan rawan bencana, terdiri dari:
a) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana banjir, yaitu:
1) memperhatikan peil banjir;
2) Pendirian bangunan dalam kawasan pertahanan dan
keamanan wajib mengikuti rekomendasi kajian kebencanaan
dan ketentuan teknis;
3) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi; dan
4) penyediaan sarana dan prasarana mitigasi bencana dalam
kawasan pertahanan dan keamanan.
b) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana banjir bandang,
yaitu:
1) memperhatikan pemanfaatan ruang bagi RTH dan
pengendalian pembangunan fasilitas umum;
2) pengendalian pada kawasan terbangun sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
3) arahan pemanfaatan ruang menyesuaikan pada hasil kajian
kebencanaan;
4) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi;
5) mencegah terjadinya luapan air sungai pada debit banjir
dengan periode tertentu dengan bangunan pengendalian
banjir; dan
6) penyediaan sarana dan prasarana mitigasi bencana dalam
kawasan pertahanan dan keamanan.
c) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana tsunami, yaitu:
1) penyediaan infrastruktur proteksi bencana yang memadai;
2) pemberlakuan pembatasan dan pengendalian terhadap
perkembangan area terbangun dalam kawasan pertahanan
dan keamanan; dan
3) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi.
d) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana gempa bumi,
yaitu:
1) pengendalian pembangunan di kawasan rawan gempa harus
mengikuti ketentuan aturan bangunan tahan gempa sesuai
dengan analisis resiko bencana;

91
2) penyediaan infrastruktur penunjang aktivitas budidaya
menyesuaikan dengan ketentuan teknis yang berlaku;
3) pemasangan papan info dan rambu peringatan, jalur evakuasi
dan tempat evakuasi sementara; dan
4) pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana harus
mengikuti ketentuan aturan bangunan tahan gempa.
e) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana likuifaksi, yaitu:
1) pengendalian area terbangun dengan mengacu pada kaidah
teknis dan peraturan perundang-undangan;
2) pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi; dan
3) pengendalian pengambilan air tanah yang dilakukan secara
besar-besaran berdasarkan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
f) ketentuan khusus pada kawasan rawan bencana tanah longsor,
yaitu:
1) pengendalian pembangunan pada kawasan rawan longsor
dengan memperhatikan ketentuan teknis yang berlaku;
2) pengendalian aktivitas dalam kawasan rawan bencana longsor
tinggi;
3) pemasangan papan info dan rambu peringatan, jalur evakuasi
dan tempat evakuasi sementara; dan
4) kegiatan eksisting dengan intensitas tinggi yang berada pada
kawasan rawan longsor tinggi diarahkan untuk relokasi
bangunan dan/atau tidak melakukan perluasan atau
penambahan bangunan.
2. Ketentuan khusus pada kawasan pertahanan dan keamanan yang
bertampalan dengan kawasan sempadan, terdiri dari:
a) pemanfaatan secara terbatas pendirian bangunan hanya untuk
menunjang kegiatan kawasan pertahanan dan keamanan;
b) pemanfaatan secara terbatas untuk Kawasan industri pada
Kawasan sempadan; dan
c) tidak diperbolehkan semua jenis kegiatan yang dapat
menurunkan luas, nilai ekologis, dan estetika Kawasan.

Bagian Ketiga
Penilaian Pelaksanaan Pemanfaatan Ruang

Pasal 88
(1) Penilaian pelaksanaan KKPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57
ayat (2) huruf b dilaksanakan pada pada ruang darat dan ruang laut
untuk memastikan:
a. Kepatuhan pelaksanaan ketentuan KKPR; dan
b. Pemenuhan prosedur perolehan KKPR.
(2) Penilaian kepatuhan pelaksanaan ketentuan KKPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan pada periode:
a. Selama pembangunan; dan
b. Pasca pembangunan.

92
(3) Penilaian pada periode selama pembangunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a dilakukan untuk memastikan kepatuhan
pelaksanaan dalam memenuhi ketentuan KKPR.
(4) Penilaian pada periode selama pembangunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a dilakukan paling lambat 2 (dua) tahun sejak
diterbitkannya KKPR.
(5) Penilaian pada periode pasca pembangunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b dilakukan untuk memastikan kepatuhan hasil
pembangunan dengan ketentuan dokumen KKPR.
(6) Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
ditemukan ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang tertuang dalam
dokumen KKPR, pelaku kegiatan Pemanfaatan Ruang diharuskan
melakukan penyesuaian.
(7) Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
ditemukan ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang tertuang dalam
dokumen KKPR, dilakukan pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
(8) Hasil penilaian pelaksanaan ketentuan dalam dokumen KKPR pada
periode selama pembangunan dan pasca pembangunan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dituangkan dalam bentuk tekstual dan spasial.
(9) Penilaian pelaksanaan ketentuan dalam dokumen KKPR dilakukan oleh
gubernur sesuai ketentuan perundang-undangan.

Bagian Keempat
Penilaian Perwujudan RTR

Pasal 89
(1) Penilaian perwujudan RTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat
(2) huruf c dilakukan dengan penilaian perwujudan rencana Struktur
Ruang dan rencana Pola Ruang.
(2) Penilaian perwujudan rencana Struktur Ruang dan rencana Pola Ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. Penilaian tingkat perwujudan rencana Struktur Ruang; dan
b. Penilaian tingkat perwujudan rencana Pola Ruang.
(3) Penilaian tingkat perwujudan rencana Struktur Ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dengan penyandingan
pelaksanaan program pembangunan pusat-pusat permukiman dan
sistem jaringan prasarana terhadap rencana Struktur Ruang.
(4) Penilaian tingkat perwujudan rencana Pola Ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan dengan penyandingan
pelaksanaan program pengelolaan lingkungan, pembangunan
berdasarkan Perizinan Berusaha, dan hak atas tanah terhadap rencana
Pola Ruang.

Pasal 90
(1) Hasil penilaian tingkat perwujudan rencana Struktur Ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2) huruf a berisikan:
a. muatan rencana Struktur Ruang yang terwujud;

93
b. muatan rencana Struktur Ruang yang belum terwujud; dan
c. pelaksanaan program pembangunan yang tidak sesuai dengan
muatan rencana Struktur Ruang.
(2) Hasil penilaian tingkat perwujudan rencana Pola Ruang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2) huruf b berisikan:
a. muatan rencana Pola Ruang yang terwujud;
b. muatan rencana Pola Ruang yang belum terwujud; dan
c. pelaksanaan program pembangunan yang tidak sesuai dengan
muatan rencana Pola Ruang.
(3) Tingkat perwujudan rencana Struktur Ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan tingkat perwujudan rencana Pola Ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam bentuk tekstual dan spasial.

Pasal 91
(1) Terhadap hasil penilaian pelaksanaan KKPR Ruang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 92 dan hasil penilaian perwujudan RTR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94, dilakukan pengendalian
implikasi kewilayahan untuk terwujudnya keseimbangan pengembangan
wilayah sebagaimana tertuang dalam RTR.
(2) Pengendalian implikasi kewilayahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan dengan membatasi:
a. konsentrasi Pemanfaatan Ruang tertentu pada wilayah tertentu yang
tidak sesuai dengan skenario perwujudan RTR; dan
b. dominasi kegiatan Pemanfaatan Ruang tertentu.
(3) Pengendalian implikasi kewilayahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan pada:
a. zona kendali; dan/atau
b. zona yang didorong.
(4) Zona kendali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a merupakan
zona dengan konsentrasi kegiatan Pemanfaatan Ruang dan atau
dominasi kegiatan Pemanfaatan Ruang tertentu yang tinggi dan
berpotensi melampaui daya dukung dan daya tampung.
(5) Zona yang didorong sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b
merupakan zona dengan konsentrasi kegiatan Pemanfaatan Ruang
dan/atau dominasi kegiatan Pemanfaatan Ruang tertentu yang sangat
rendah yang perlu ditingkatkan perwujudannya sesuai dengan RTR.
(6) Terhadap zona kendali dan zona yang didorong sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), dapat disusun perangkat Pengendalian Pemanfaatan
Ruang yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 92
(1) Penilaian perwujudan RTRW Provinsi dilakukan Gubernur sesuai
dengan kewenangannya.
(2) Penilaian perwujudan RTRW Provinsi dilakukan secara periodik dan
terus-menerus.

94
(3) Penilaian perwujudan RTRW Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun dan dilaksanakan 1
(satu) tahun sebelum peninjauan kembali RTRW.
(4) Pelaksanaan penilaian perwujudan RTRW dapat dilakukan lebih dari 1
(satu) kali dalam 5 (lima) tahun dalam hal terdapat perubahan kebijakan
yang bersifat strategis nasional yang ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan.

Bagian Kelima
Arahan Insentif dan Disinsentif

Pasal 93
Pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
ayat (2) huruf d diselenggarakan untuk:
a. meningkatkan upaya Pengendalian Pemanfaatan Ruang dalam rangka
mewujudkan Tata Ruang sesuai dengan RTRW;
b. memfasilitasi kegiatan Pemanfaatan Ruang agar sejalan dengan RTRW;
dan
c. meningkatkan kemitraan semua pemangku kepentingan dalam rangka
Pemanfaatan Ruang yang sejalan dengan RTRW.

Pasal 94
(1) Insentif dan disinsentif dapat diberikan kepada pelaku kegiatan
Pemanfaatan Ruang untuk mendukung perwujudan RTRW.
(2) Pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan untuk:
e. menindaklanjuti pengendalian implikasi kewilayahan pada zona
kendali atau zona yang didorong; atau
f. menindaklanjuti implikasi kebijakan atau rencana strategis
nasional.
(3) Insentif merupakan perangkat untuk memotivasi, mendorong,
memberikan daya tarik, dan/atau memberikan percepatan terhadap
kegiatan Pemanfaatan Ruang yang memiliki nilai tambah pada zona
yang perlu didorong pengembangannya.
(4) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
a. insentif fiskal; dan/atau
b. insentif nonfiskal.

Pasal 95
(1) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (4) huruf a
dapat berupa pemberian keringanan pajak, retribusi, dan/atau
penerimaan negara bukan pajak.
(2) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Insentif nonfiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (4) huruf
b dapat berupa:

95
a. pemberian kompensasi;
b. subsidi;
c. imbalan;
d. sewa ruang;
e. urun saham;
f. fasilitasi Persetujuan KKPR;
g. penyediaan prasarana dan sarana;
h. penghargaan; dan atau
i. publikasi atau promosi.
(4) Pelaksanaan insentif nonfiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 96
(1) Insentif dapat diberikan oleh:
a. Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah;
b. Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Daerah lainnya; dan
c. Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah kepada Masyarakat.
(2) Insentif dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa:
a. subsidi;
b. penyediaan prasarana dan sarana di daerah;
c. pemberian kompensasi;
d. penghargaan; dan/atau
e. publikasi atau promosi daerah.
(3) Insentif dari Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Daerah lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa:
g. pemberian kompensasi;
h. pemberian penyediaan prasarana dan sarana;
i. penghargaan; dan/atau
j. publikasi atau promosi daerah.
(4) Insentif dari Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah kepada
Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat berupa:
a. pemberian keringanan pajak dan/atau retribusi;
b. subsidi;
c. pemberian kompensasi;
d. imbalan;
e. sewa ruang;
f. urun saham;
g. fasilitasi Persetujuan KKPR;
h. penyediaan prasarana dan sarana;
i. penghargaan; dan/atau
j. publikasi atau promosi.

Pasal 97
(1) Untuk mewujudkan kawasan lindung, Pemerintah Daerah dapat
memberikan bantuan keuangan dan/atau jasa lingkungan kepada
kabupaten/kota dengan pertimbangan proporsi luas kawasan lindung

96
dan apresiasi terhadap upaya perwujudan program pencapaian luas
kawasan lindung di wilayahnya.
(2) Dalam rangka pengelolaan kawasan lindung berbasis DAS dan
pemanfaatan sumberdaya air, Pemerintah Daerah memfasilitasi
pengaturan insentif dan pembagian peran dalam pembiayaan (role
sharing) antar kabupaten/kota yang secara geografis terletak di daerah
hulu dan hilir DAS, yang ditetapkan melalui pola kerjasama
antardaerah.
(3) Dalam rangka pengelolaan kawasan lindung berbasis DAS dan
pemanfaatan sumber daya air, Pemerintah Daerah meningkatkan upaya
untuk memperoleh insentif dan pembagian peran dalam pembiayaan
(role sharing) dari provinsi yang berbatasan.

Pasal 98
(1) Disinsentif merupakan perangkat untuk mencegah dan/atau
memberikan batasan terhadap kegiatan Pemanfaatan Ruang yang
sejalan dengan RTR dalam hal berpotensi melampaui daya dukung dan
daya tampung lingkungan;
(2) Disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. disinsentif fiskal; dan/atau
b. disinsentif nonfiskal.
(3) Disinsentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dapat
berupa pengenaan pajak dan/atau retribusi yang tinggi;
(4) Pemberian disinsentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
(5) Disinsentif nonfiskal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b
dapat berupa:
a. kewajiban memberi kompensasi atau imbalan;
b. pembatasan penyediaan prasarana dan sarana; dan/atau
c. pemberian status tertentu.

Pasal 99
(1) Disinsentif dapat diberikan oleh:
a. Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah;
b. Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Daerah lainnya; dan
c. Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah kepada Masyarakat.
(2) Disinsentif dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan dalam
bentuk:
a. pembatasan penyediaan prasarana dan sarana di daerah; dan/atau
b. pemberian status tertentu.
(3) Disinsentif dari Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Daerah lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa pembatasan
penyediaan prasarana dan sarana.
(4) Disinsentif dari Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah kepada
Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat berupa:
a. pengenaan pajak dan/atau retribusi yang tinggi;
b. kewajiban memberi kompensasi atau imbalan; dan/atau

97
c. pembatasan penyediaan prasarana dan sarana.

Bagian Keenam
Arahan Sanksi

Pasal 100
(1) Arahan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf e
yaitu berupa sanksi administrasi dikenakan kepada setiap Orang yang
tidak menaati RTR yang telah ditetapkan yang mengakibatkan
perubahan fungsi ruang.
(2) Pemeriksaan perubahan fungsi ruang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui audit Tata Ruang.
(3) Dalam hal terdapat perubahan fungsi ruang Laut, pemeriksaan fungsi
ruang Laut dilaksanakan oleh gubernur sesuai dengan kewenangannya
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Audit Tata Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
Pemerintah Daerah provinsi sesuai dengan kewenangannya.
(5) Hasil audit Tata Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dengan keputusan gubernur; atau
(6) Dalam pelaksanaan audit Tata Ruang, tim audit Tata Ruang dapat
dibantu oleh penyidik pegawai negeri sipil penataan ruang dan ahli
lainnya sesuai kebutuhan.

Pasal 101
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1)
dikenakan juga kepada Orang yang tidak mematuhi ketentuan
Pemanfaatan Ruang dalam RTRW.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
langsung dikenakan tanpa melalui proses audit Tata Ruang.

Pasal 102
Perbuatan tidak mematuhi RTRW yang telah ditetapkan yang
mengakibatkan perubahan fungsi ruang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 104 ayat (1) dan tidak mematuhi ketentuan Pemanfaatan Ruang
dalam RTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) meliputi:
a. Pemanfaatan Ruang yang tidak memiliki KKPR; dan/atau
b. Pemanfaatan Ruang yang tidak mematuhi ketentuan dalam muatan
KKPR.

Pasal 103
(1) Selain perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106, sanksi
administratif dapat dikenakan kepada setiap Orang yang menghalangi
akses terhadap Kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan dinyatakan sebagai milik umum;
(2) Perbuatan menghalangi akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa penutupan akses secara sementara maupun permanen;
(3) Dalam hal Pemanfaatan Ruang Laut, sanksi administratif dikenakan
terhadap:

98
a. penggunaan dokumen Persetujuan KKPR Laut atau konfirmasi
kesesuaian ruang laut yang tidak sah;
b. tindakan tidak melaporkan pendirian dan/atau penempatan
bangunan dan instalasi di laut kepada menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan;
c. tindakan tidak menyampaikan laporan tertulis secara berkala setiap
1 (satu) tahun sekali kepada menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kelautan:
d. pelaksanaan Persetujuan KKPR Laut yang tidak sesuai dengan RTR,
RZ KAW, dan/atau RZ KSNT; dan/atau
e. pelaksanaan Persetujuan KKPR Laut yang mengganggu ruang
penghidupan dan akses nelayan kecil, nelayan tradisional, dan
pembudidaya ikan kecil.

Pasal 104
Pengenaan sanksi administratif dilakukan berdasarkan:
a. hasil penilaian pelaksanaan ketentuan KKPR;
b. hasil Pengawasan Penataan Ruang;
c. hasil audit Tata Ruang; dan/atau
d. pengaduan pelanggaran Pemanfaatan Ruang.

Pasal 105
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1)
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian sementara pelayanan umum;
e. penutupan lokasi;
f. pencabutan KKPR;
g. pembatalan KKPR;
h. pembongkaran bangunan; dan/atau
i. pemulihan fungsi ruang.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disertai dengan tanda pemberitahuan pelanggaran Pemanfaatan Ruang.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai
dengan upaya paksa oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah
Daerah.
(4) Pengenaan sanksi administratif dapat dilakukan melalui koordinasi
dengan kementerian/lembaga dan/atau perangkat daerah sesuai
dengan kewenangannya.
(5) Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi tidak dimaksudkan untuk
pemutihan.
(6) Pemutihan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan tindakan
mengakomodasi pelanggaran Pemanfaatan Ruang dalam revisi RTRW
tanpa terlebih dahulu mengenakan sanksi kepada pelaku pelanggaran
Pemanfaatan Ruang.

99
(7) Dalam hal Pemerintah Daerah terbukti melakukan pemutihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), maka dilakukan pengurangan
dana alokasi khusus.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif bidang Penataan Ruang diatur dengan peraturan
perundang-undangan.

BAB IX
KELEMBAGAAN

Pasal 106
(1) Dalam rangka Penyelenggaraan Penataan Ruang secara partisipatif di
daerah, gubernur membentuk Forum Penataan Ruang;
(2) Forum Penataan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Gubernur.
(3) Forum Penataan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas
untuk memberikan masukan dan pertimbangan dalam pelaksanaan
Penataan Ruang.
(4) Anggota Forum Penataan Ruang di Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas instansi vertikal bidang pertanahan, perangkat
daerah bersifat melekat pada jabatannya (ex-officio), asosiasi profesi,
asosiasi akademisi, dan tokoh masyarakat.
(5) Pembentukan, susunan keanggotaan, tugas, fungsi, dan tata kerja
Forum Penataan Ruang dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

BAB X
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT
DALAM PENATAAN RUANG

Bagian Kesatu
Hak Masyarakat
Pasal 107
(1) Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:
a. mengetahui rencana tata ruang;
b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
c. mengajukan usulan pemanfaatan ruang;
d. memperoleh penggantian yang layak atas akibat pelaksanaan
kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
e. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap
pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di
wilayahnya;

100
f. mengajukan tuntutan pembatalan persetujuan kegiatan penataan
ruang dan/atau penghentian pembangunan yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang kepada pejabat yang berwenang;
g. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau
kepada pelaksana kegiatan apabila kegiatan pembangunan yang
tidak sesuai dengan rencana tata ruang; dan
h. mendapat pendampingan dan bantuan hukum terhadap
permasalahan yang dihadapi dalam pemanfaatan ruang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Agar masyarakat mengetahui RTRW Provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a yang telah ditetapkan maka perangkat daerah
yang berwenang wajib menyebarluaskan melalui media massa, audio,
visual, papan pengumuman, dan selebaran serta sosialisasi secara
langsung kepada seluruh aparat pemerintah daerah dan masyarakat di
daerah.

Bagian Kedua
Kewajiban Masyarakat

Pasal 108
Dalam penataan ruang, setiap orang wajib:
a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan KKPR dari pejabat yang berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan KKPR;
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum;
e. menjaga, melindungi, dan memelihara kelestarian kawasan; dan
f. menyampaikan laporan terjadinya permasalahan pelaksanaan
pemanfaatan ruang.

Bagian Ketiga
Peran Masyarakat

Pasal 109
(1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
Provinsi dengan melibatkan peran masyarakat dan/atau dunia usaha.
(2) Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui partisipasi dalam:
a. penyusunan rencana tata ruang;
b. pemanfaatan ruang; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang.
(3) Partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, dapat berupa:
a. memberikan masukan mengenai:
1. persiapan penyusunan rencana tata ruang;
2. penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan;
3. pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan wilayah
atau kawasan;

101
4. perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau
5. penetapan rencana tata ruang.
b. melakukan kerja sama dengan Pemerintah, Pemerintah Daerah
dan/atau sesama unsur masyarakat dalam perencanaan tata ruang.
(4) Partisipasi dalam pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b, dapat berupa:
a. memberikan masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang;
b. kerjasama dengan pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sesama
unsur masyarakat dalam pemanfaatan ruang;
c. kegiatan memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan
rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
d. meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam
pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di
dalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal serta sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. kegiatan menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan serta
memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup
dan sumberdaya alam; dan
f. kegiatan investasi dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c, dapat berupa:
a. memberikan masukan terkait arahan dan/atau peraturan zonasi,
perizinan, pemberian insentif, dan disinsentif serta pengenaan
sanksi;
b. keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi pelaksanaan
rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
c. melaporkan kepada instansi dan/atau pejabat yang berwenang
dalam hal menemukan dugaan penyimpangan atau pelanggaran
kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang
yang telah ditetapkan; dan
d. mengajukan keberatan terhadap keputusan pejabat yang berwenang
terhadap pembangunan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana
tata ruang.
(6) Pelaksanaan peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Pemerintah
Daerah.
(7) Tata cara dan bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang diatur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.

BAB XI
PENYIDIKAN

Pasal 110
(1) Selain pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia, pegawai
negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang penataan ruang diberi

102
wewenang khusus sebagai penyidik untuk membantu pejabat penyidik
kepolisian negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2) PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
yang berkenaan dengan tindak pidana dalam bidang penataan ruang;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan
tindak pidana dalam bidang penataan ruang;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang sehubungan
dengan peristiwa tindak pidana dalam bidang penataan ruang;
d. melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen yang berkenaan
dengan tindak pidana dalam bidang penataan ruang;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat
bahan bukti dan dokumen lain serta melakukan penyitaan dan
penyegelan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat
dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana dalam bidang penataan
ruang; dan
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana dalam bidang penataan ruang.
(3) PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan kepada Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
(4) Apabila pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
memerlukan tindakan penangkapan dan penahanan, PPNS melakukan
koordinasi dengan Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil
penyidikan kepada penuntut umum melalui Pejabat Penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
(6) Pengangkatan pejabat PPNS dan tata cara serta proses penyidikan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 111
(1) Setiap orang yang dalam melakukan usaha dan/atau kegiatannya
memanfaatkan ruang yang telah ditetapkan tanpa memiliki persetujuan
kesesuaian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92
ayat (1) huruf a, yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang, dipidana
dengan pidana penjara sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang
atau mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.

BAB XIII

103
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 112
(1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, peraturan pelaksanaan
Peraturan Daerah yang berkaitan dengan penataan ruang daerah yang
telah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Peraturan Daerah ini.
(2) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka:
a. izin pemanfaatan ruang/KKPR/KKPRL yang telah dikeluarkan dan
telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini tetap berlaku
sesuai dengan masa berlakunya;
b. izin pemanfaatan ruang/KKPR/KKPRL yang telah dikeluarkan tetapi
tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini berlaku
ketentuan:
1. untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut
disesuaikan dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan
Daerah ini;
2. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, Pemanfaatan
Ruang dilakukan sampai izin terkait habis masa berlakunya dan
dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan
Peraturan Daerah ini;
3. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak
memungkinkan untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi
kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini, izin yang telah
diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian yang timbul
sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan
penggantian yang layak;
4. penggantian yang layak sebagaimana dimaksud pada angka 3 di
atas dengan memperhatikan indikator sebagai sebagai berikut:
a) memperhatikan harga pasaran setempat dan/atau; atau
b) sesuai dengan kemampuan Daerah berdasarkan hasil
appraisal.
5. penggantian terhadap kerugian yang timbul sebagai akibat
pembatalan izin tersebut dibebankan pada APBD Provinsi
dan/atau Kabupaten/Kota yang membatalkan/mencabut Izin.
c. pemanfaatan ruang di daerah yang diselenggarakan tanpa izin dan
bertentangan dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, akan
ditertibkan dan disesuaikan dengan Peraturan Daerah ini;
d. pemanfaatan ruang yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah
ini, agar dipercepat untuk mendapatkan izin yang diperlukan;
e. izin pemanfaatan ruang/KKPR/KKPRL yang telah habis masa
berlakunya dan akan diperpanjang, ditindaklanjuti melalui
mekanisme penerbitan KKPR.
(3) Sepanjang RTRW Kabupaten/Kota atau Rencana Detail Tata Ruang
belum disesuaikan dengan Peraturan Daerah ini, digunakan Peraturan
Daerah ini sebagai acuan pemberian KKPR.
(4) Batas daerah dalam Peraturan Daerah ini yang menggunakan batas
indikatif berdasarkan kesepakatan antar daerah, dimana batas wilayah

104
definitif selanjutnya mengikuti ketetapan menteri yang
menyelenggarakan bidang urusan dalam negeri, meliputi:
a. Batas daerah Kabupaten Pasangkayu Provinsi Sulawesi Barat dengan
Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah;
b. Batas daerah Kabupaten Mamuju Tengah dengan Kabupaten Sigi
Provinsi Sulawesi Tengah;
c. Batas daerah Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat dengan
Kabupaten Toraja Utara Provinsi Sulawesi Selatan;
d. Batas daerah Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat dengan
Kabupaten Tana Toraja Provinsi Sulawesi Selatan;
e. Batas daerah Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Barat dengan
Kabupaten Tana Toraja Provinsi Sulawesi Selatan;
f. Batas daerah Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Barat dengan
Kabupaten Pinrang Provinsi Sulawesi Selatan;
g. Batas daerah Kabupaten Polewali Mandar Provinsi Sulawesi Barat
dengan Kabupaten Pinrang Provinsi Sulawesi Selatan;
h. Batas daerah Kabupaten Pasangkayu Provinsi Sulawesi Barat dengan
Kabupaten Mamuju Tengah Provinsi Sulawesi Barat;
i. Batas daerah Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat dengan
Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Barat;
j. Batas Daerah Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat dengan
Kabupaten Majene Provinsi Sulawesi Barat; dan
k. Batas Daerah Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Barat dengan
Kabupaten Majene Provinsi Sulawesi Barat.

BAB XIV
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 113
(1) Jangka waktu RTRW Provinsi adalah 20 (dua puluh) tahun.
(2) RTRW Provinsi dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun.
(3) Peninjauan kembali RTRW Provinsi dapat dilakukan lebih dari 1 (satu)
kali dalam 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis
berupa:
a. Bencana alam yang ditetapkan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. Perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan undang-
undang;
c. Perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan dengan undang-
undang; dan
d. Perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis.
(4) Mekanisme Peninjauan kembali RTRW Provinsi dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 114
(1) Dalam Kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal
36, dan Pasal 41 dapat terdapat tanah objek reformasi agraria yang

105
merupakan program Pemerintah dalam rangka pemerataan ekonomi
Masyarakat.
(2) Tanah objek reformasi agraria sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan melalui keputusan menteri yang menangani urusan
pemerintahan bidang kehutanan.
(3) Pengaturan lebih lanjut mengenai Pemanfaatan Ruang tanah objek
reformasi agraria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 115
(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, organisasi kemasyarakatan berhak mengajukan
gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan.
(2) Organisasi kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan berikut:
a. merupakan organisasi resmi di wilayah tersebut atau organisasi
nasional;
b. berbentuk badan hukum;
c. memiliki anggaran dasar yang dengan tegas menyebutkan tujuan
didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian lingkungan;
dan
d. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasar dan
anggaran rumah tangganya.
(3) Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terbatas
pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya
tuntutan ganti kerugian kecuali penggantian biaya atau pengeluaran
yang nyata-nyata dibayarkan.

Pasal 116
(1) Pemerintah Daerah mengembangkan sistem informasi penyelenggaraan
penataan ruang.
(2) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Arahan pemanfaatan ruang;
b. Indikasi program;
c. Data pemanfaatan ruang; dan
d. Data pemegang izin lokasi perairan pesisir dan izin pengelola.
(3) Pengembangan sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Perangkat Daerah Provinsi yang melaksanakan
urusan pemerintahan bidang penataan ruang; dan
(4) Ketentuan mengenai pengembangan sistem informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

BAB XV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 117
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:

106
a. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2014-2034
(Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2014 Nomor 1); dan
b. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 6 Tahun 2017 tentang
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Sulawesi
Barat Tahun 2017-2037 (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Barat
Tahun 2017 Nomor 6 Nomor Register Peraturan Daerah Provinsi
Sulawesi Barat : 6/254/2017).
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 118
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah
Provinsi Sulawesi Barat.
Ditetapkan di Mamuju
pada tanggal
PJ GUBERNUR SULAWESI BARAT,

ZUDAN ARIF FAKHRULLOH

Diundangkan di Mamuju
pada tanggal
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT,

MUHAMMAD IDRIS

LEMBARAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT TAHUN 2024 NOMOR


NOMOR REGISTRASI PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT

107
PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT
NOMOR ... TAHUN 2024

TENTANG

RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI SULAWESI BARAT


TAHUN 2024-2043

I. UMUM

Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Barat sebagai sub sistem dari


Ruang Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik sebagai
kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya,
merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada masyarakat
Provinsi Sulawesi Barat yang perlu disyukuri, dilindungi dan dikelola
secara berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai
dengan amanat yang terkandung dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, serta makna yang
terkandung dalam falsafah dan Dasar negara Pancasila.
Provinsi Sulawesi Barat dibentuk berdasarkan amanat Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2004 tentang Pembentukan Provinsi
Sulawesi Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4422). Secara geografis Provinsi Sulawesi Barat berada pada posisi
geografis antara 0o 12” – 3o 38” Lintang Selatan dan 118o 43’ 15” –
119o 54’ 3” Bujur Timur. Provinsi Sulawesi Barat di sebelah utara
berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah, berbatasan dengan
Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi Sulawesi Selatan di sebelah
Timur, berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan di bagian
Selatan, dan berbatasan dengan Selat Makassar di bagian barat.
Secara administratif, Provinsi Sulawesi Barat terdiri dari 6
(enam) kabupaten, 69 (enam puluh Sembilan) kecamatan, 73 (tujuh
puluh tiga) kelurahan, dan 575 (lima ratus tujuh puluh lima) desa.

108
Provinsi Sulawesi Barat memiliki wilayah darat seluas 16.594,75 km 2
dimana Kabupaten terluas di Provinsi Sulawesi Barat adalah
Kabupaten Mamuju, sedangkan yang terkecil adalah Kabupaten
Majene.
Sesuai amanat Pasal 26 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang sebagaimana diubah dengan Pasal 17 angka
16 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi menjadi pedoman untuk penyusunan
rencana pembangunan jangka Panjang daerah (RPJPD), penyusunan
rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD),
penyusunan RTRW Kabupaten di wilayahnya, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah provinsi, perwujudan
keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor, dan
penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi serta dasar untuk
kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang.
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Barat bersifat
umum dan disusun berdasarkan pendekatan administrasi provinsi
dengan muatan substansi meliputi tujuan, kebijakan, dan strategi
penataan ruang, rencana struktur ruang wilayah yang meliputi
rencana sistem pusat permukiman dan rencana sistem jaringan
prasarana, rencana pola ruang wilayah yang meliputi kawasan
lindung dan kawasan budi daya, arahan pemanfaatan ruang wilayah
provinsi yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima
tahunan, ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang yang berisi
ketentuan umum zonasi, ketentuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan
ruang, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
Tujuan penataan ruang Provinsi Sulawesi Barat untuk
mewujudkan ruang wilayah Provinsi Sulawesi Barat yang aman,
produktif, kompetitif, inklusif, inovatif, yang mendukung pemenuhan
kebutuhan dasar dan peningkatan taraf hidup masyarakat secara
berkelanjutan, berbasis pada kearifan lokal malaqbi menuju provinsi
yang terkemuka. Guna menjabarkan tujuan penataan ruang tersebut,
dirumuskan kebijakan penataan ruang meliputi pergeseran sektor
basis perekonomian Provinsi Sulawesi Barat ke sektor perekonomian
yang lebih kompetitif, peningkatan akses pelayanan pusat-pusat
permukiman yang berupa pusat-pusat kegiatan dan pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi wilayah yang merata dan berhirarki,
peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana
transportasi, energi, telekomunikasi, sumber daya air dan prasarana
lainnya yang terpadu dan merata di seluruh wilayah Provinsi Sulawesi
Barat, pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan
hidup, pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat
menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, perwujudan dan
peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antar dan intra kawasan
budidaya, dan pengendalian perkembangan kegiatan budi daya agar
tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Selanjutnya dengan maksud tersebut, maka pelaksanaan
pembangunan di Provinsi Sulawesi Barat harus sesuai dengan
rencana tata ruang, agar dalam pemanfaatan ruang tidak

109
bertentangan dengan substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
Sulawesi Barat yang disepakati.
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “terdiri atas 69 (enam puluh sembilan)
pulau” adalah jumlah pulau yang mengacu pada Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor 050-145 Tahun 2022 tentang Pemberian dan
Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, dan
Pulau Tahun 2021, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022 tentang
Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi
Pemerintahan, dan Pulau.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tujuan, kebijakan, dan strategi
Penataan Ruang wilayah provinsi” adalah terjemahan dari visi
dan misi pengembangan wilayah provinsi dalam pelaksanaan
pembangunan untuk mencapai kondisi ideal tata ruang wilayah
provinsi yang diharapkan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “rencana Struktur Ruang wilayah
provinsi” adalah rencana susunan pusat-pusat permukiman
(sistem perkotaan wilayah provinsi yang berkaitan dengan
kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya) dan sistem
jaringan prasarana wilayah provinsi yang dikembangkan untuk
melayani kegiatan skala provinsi, dan mengintegrasikan wilayah
provinsi.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “rencana Pola Ruang wilayah provinsi”
adalah rencana distribusi peruntukan ruang wilayah provinsi
yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan
fungsi budi daya.

110
Huruf e
Yang dimaksud dengan “kawasan strategis wilayah provinsi”
adalah bagian wilayah provinsi yang penataan ruangnya
diprioritaskan, karena mempunyai pengaruh sangat penting
dalam lingkup wilayah provinsi di bidang ekonomi, sosial
budaya, sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi, dan/atau
lingkungan hidup.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “arahan pemanfaatan ruang wilayah
provinsi” adalah arahan pembangunan/pengembangan wilayah
untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang wilayah
provinsi sesuai dengan RTRW Provinsi melalui ketentuan
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, indikasi program
utama jangka menengah 5 (lima) tahunan, dan pelaksanaan
sinkronisasi program pemanfaatan ruang.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “arahan Pengendalian Pemanfaatan
Ruang wilayah provinsi” adalah upaya untuk mewujudkan
tertib tata ruang wilayah provinsi sesuai dengan RTRW Provinsi
meliputi indikasi arahan zonasi, penilaian pelaksanaan
pemanfaatan ruang, arahan insentif dan disinsentif, dan arahan
sanksi.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Huruf a
Yang dimaksud dengan “jalan umum” adalah jalan yang
diperuntukan bagi lalu lintas umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “jalan tol” adalah jalan umum yang
merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan
nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “terminal penumpang” adalah tempat
yang diperuntukan bagi pergantian antarmoda dan intermoda

111
yaitu wilayah administrasi kabupaten/kota yang menjadi lokasi
terminal penumpang dengan fungsi utama melayani kendaraan
umum untuk angkutan lintas batas negara dan/atau angkutan
antarkota antar provinsi dan dipadukan dengan pelayanan
angkutan antarkota dalam provinsi, angkutan perkotaan,
angkutan pedesaaan dan/atau angkutan orang dengan
kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “terminal barang” adalah tempat untuk
melakukan kegiatan bongkar muat barang, perpindahan
intramoda dan antarmoda angkutan barang, konsolidasi
barang/pusat kegiatan logistik, dan/atau tempat parkir mobil
barang.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “jembatan timbang” adalah alat dan
tempat yang digunakan untuk pengawasan dan pengamanan
jalan dengan menimbang muatan kendaraan angkutan.
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “jalan arteri” adalah jalan umum
yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri
perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan
jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “jalan kolektor” adalah jalan
umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul
atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang,
kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk
dibatasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “jaringan jalur kereta api” adalah
jalur kereta api termasuk kereta rel listrik, kereta bawah
tanah, monorail dan lain-lain yang secara umum untuk
melayani perpindahan orang dan/atau barang atau secara
khusus untuk menunjang kegiatan pokok badan usaha
tertentu.

112
Huruf b
Yang dimaksud dengan “stasiun kereta api” adalah
prasarana kereta api sebagai tempat pemberangkatan dan
pemberhentian kereta api.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pelabuhan sungai dan danau”
adalah pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan
sungai yang terletak di sungai dan danau.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pelabuhan penyeberangan” adalah
pelabuhan laut yang digunakan untuk kegiatan angkutan
penyeberangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e

113
Yang dimaksud dengan “pelabuhan perikanan” adalah
tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya
dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan
pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang
digunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar,
berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi
dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan
penunjang perikanan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “alur pelayaran umum dan
perlintasan” adalah bagian dari perairan yang dapat dilayari
sesuai dimensi/spesifikasi kapal di laut sesuai kepentingan
pelayanan masyarakat umum. Alur Pelayaran Umum dan
Perlintasan dapat berupa Alur Laut Kepulauan Indonesia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “alur pelayaran masuk pelabuhan”
adalah jalur yang menghubungkan masuk ke wilayah
perairan dan masuk ke pelabuhan. Alur Pelayaran Masuk
Pelabuhan dapat berupa Alur Laut Kepulauan Indonesia.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Cukup jelas.
Ayat (13)
Cukup jelas.
Ayat (14)
Cukup jelas.
Ayat (15)
Cukup jelas.
Ayat (16)
Cukup jelas.
Ayat (17)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a

114
Yang dimaksud dengan “bandar udara pengumpul” adalah
bandar udara yang mempunyai cakupan pelayanan yang
luas dari berbagai bandar udara yang melayani penumpang
dan/atau kargo dalam jumlah besar dan mempengaruhi
perkembangan ekonomi secara nasional atau berbagai
provinsi.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “jaringan infrastruktur minyak dan
gas bumi” adalah
Huruf b
Yang dimaksud dengan “jaringan infrastruktur
ketenagalistrikan” adalah
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “infrastruktur minyak dan gas bumi”
adalah prasarana utama yang mendukung seluruh
kebutuhan minyak dan gas bumi, di permukaan tanah atau
di bawah permukaan tanah.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “infrastruktur pembangkitan tenaga
listrik dan sarana pendukung” adalah prasarana yang

115
berkaitan dengan kegiatan memproduksi tenaga listrik dan
sarana pendukungnya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “jaringan infrastruktur penyaluran
tenaga listrik dan sarana pendukung” adalah jaringan yang
berkaitan dengan kegiatan penyaluran tenaga listrik dan
sarana pendukungnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “jaringan transmisi tenaga listrik
antarsistem” adalah jaringan yang menyalurkan tenaga
listrik dari pembangkit ke sistem distribusi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “jaringan pipa/kabel bawah laut
penyaluran tenaga listrik” adalah jaringan tabung berongga
dengan diameter dan panjang bervariasi serta kabel untuk
penyaluran tenaga listrik yang terletak/tertanam di bagian
bawah laut.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “gardu listrik” adalah bangunan
sebagai tempat distribusi arus listrik.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Cukup jelas.
Ayat (13)
Cukup jelas.
Ayat (14)
Cukup jelas.
Ayat (15)
Cukup jelas.
Ayat (16)
Cukup jelas.
Ayat (17)
Cukup jelas.

116
Ayat (18)
Cukup jelas.
Ayat (19)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “infrastruktur jaringan tetap” adalah
adalah sarana jaringan telekomunikasi untuk layanan
telekomunikasi tetap seperti jaringan serat optik, sentral
telepon otomat, rumah kabel, kotak pembagi, pusat otomasi
sambungan telepon, dan telepon fixed line.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “infrastruktur jaringan bergerak” adalah
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “prasarana sumber daya air” adalah
bangunan air beserta bangunan lain yang menunjang kegiatan
pengelolaan sumber daya air, baik langsung maupun tidak
langsung.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “sistem jaringan irigasi” adalah
bangunan air beserta bangunan lain yang menunjang
kegiatan pengelolaan sumber daya air, baik langsung
maupun tidak langsung.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “sistem jaringan air bersih” adalah
jaringan penyaluran air bersih yang tidak digunakan untuk
keperluan air minum, termasuk pipa/kabel bawah laut air
bersih yang digunakan untuk kebutuhan water treatment
yang ada di laut.
Huruf c

117
Yang dimaksud dengan “bangunan sumber daya air” adalah
bangunan yang menunjang kegiatan pengelolaan air, sumber
air, dan daya air yang terkandung di dalamnya. Termasuk di
dalamnya bangunan water treatment.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 25
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Infrastruktur SPAM” adalah
Huruf b
Yang dimaksud dengan “jaringan SPAM” adalah
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud “insinerator” adalah alat yang digunakan untuk
membakar limbah dalam bentuk padat dan dioperasikan
dengan memanfaatkan teknologi pembakaran pada suhu
tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.

118
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “pencadangan kawasan konservasi di
laut” adalah kawasan konservasi di laut yang belum ada
penetapan dalam bentuk surat keputusan atau penetapan legal
lainnya.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 36
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kawasan hutan produksi” adalah
kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi
hasil hutan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kawasan pertanian” adalah kawasan
yang dialokasikan dan memenuhi kriteria untuk budi daya
tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan.
Huruf d

119
Yang dimaksud dengan “kawasan perikanan” adalah kawasan
yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk kegiatan
perikanan tangkap dan perikanan budi daya. Termasuk di
dalamnya kawasan pengelolaan ekosistem pesisir.
Huruf e
Huruf f
Yang dimaksud dengan “kawasan pertambangan dan energi”
adalah kawasan pada permukaan tanah dan/atau dibawah
permukaan tanah yang direncanakan sebagai kegiatan hilir
pertambangan minyak dan gas bumi dan/atau kegiatan operasi
produksi pertambangan mineral dan batubara serta kawasan
panas bumi dan kawasan pembangkitan tenaga listrik.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “kawasan permukiman” adalah bagian
dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa
kawasan perkotaan dan maupun perdesaan, yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan
tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan
penghidupan.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

120
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.

Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Kawasan pertampalan” adalah
kawasan yang diberikan fleksibilitas dalam penerapan
peraturan zonasi yang berupa pembatasan intensitas
pembangunan melalui penerapan dua atau lebih aturan. Dapat
diterapkan sebagai bentuk disinsentif pemberian persyaratan
tertentu dalam perizinan
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kawasan rawan bencana” adalah
kawasan dengan kondisi atau karakteristik geologis, biologis,
hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik,
ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka
waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah,
meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan
untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kawasan sempadan” adalah
kawasan dengan jarak tertentu dari pantai, sungai,
situ/danau/embung/waduk, mata air, dan pipa/kabel
bawah laut yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi.

121
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kawasan pertambangan mineral
dan batubara” adalah kawasan yang memiliki potensi berupa
komoditas pertambangan mineral dan batubara, dapat
berupa wilayah pertambangan (WP), Wilayah Usaha
Pertambangan (WUP), dll sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di bidang pertambangan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
(LP2B)” adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk
dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna
menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan
kedaulatan pangan nasional.
Yang dimaksud dengan “Lahan cadangan pertanian pangan
berkelanjutan” adalah lahan potensial yang dilindungi
pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap
terkendali untuk dimanfaatkan sebagai Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan pada masa yang akan datang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi
dengan kriteria:
a. memiliki potensi ekonomi cepat tumbuh;
b. memiliki sektor unggulan yang dapat menggerakan
pertumbuhan ekonomi provinsi;
c. memiliki potensi ekspor;
d. memiliki pusat kegiatan yang mempunyai pengaruh terhadap
sektor dan pengembangan wilayah;
e. didukung jaringan prasarana dan fasilitas penunjang kegiatan
ekonomi;
f. ditetapkan untuk mempercepat pertumbuhan kawasan
tertinggal;
g. ditetapkan untuk mempertahankan tingkat produksi sumber
energi dalam rangka mewujudkan ketahanan energi;
h. memiliki pusat kegiatan pengelolaan, pengolahan, dan
distribusi bahan baku menjadi bahan jadi;
i. memiliki kegiatan ekonomi yang memanfaatkan teknologi tinggi;
j. memiliki fungsi untuk mempertahankan tingkat produksi
pangan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan.
Kawasan strategis ini ditetapkan sebagai Kawasan Pertanian
Pangan Berkelanjutan (KP2B);
k. kawasan yang dapat mempercepat pertumbuhan kawasan
tertinggal di dalam wilayah provinsi;

122
l. memiliki pusat pengembangan produk unggulan; dan/atau
m. memiliki pusat kegiatan perdagangan dan jasa.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “ketentuan Kesesuaian Kegiatan
Pemanfaatan Ruang (KKPR)” adalah ketentuan kegiatan
pemanfaatan ruang dan pelaksanaan sinkronisasi program
pemanfaatan ruang yang dituangkan dalam bentuk indikasi
program utama.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “indikasi program utama jangka
menengah 5 (lima) tahunan” adalah petunjuk yang memuat
usulan program utama, lokasi, sumber pendanaan, instansi
pelaksana, dan waktu pelaksanaan dalam mewujudkan
ruang provinsi yang sesuai dengan rencana tata ruang.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pelaksanaan sinkronisasi program
Pemanfaatan Ruang” adalah menyelaraskan indikasi
program utama dengan program sektoral dan kewilayahan
dalam dokumen rencana pembangunan secara terpadu yang
kemudian akan menghasilkan dokumen sinkronisasi
program pemanfaatan ruang jangka menengah 5 (lima)
tahun, dan sinkronisasi program pemanfaatan ruang jangka
pendek 1 (satu) tahun.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “KKPR untuk kegiatan berusaha”
adalah KKPR untuk kegiatan Pemanfaatan Ruang yang
memerlukan Perizinan Berusaha.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “KKPR untuk kegiatan nonberusaha”
adalah KKPR untuk kegiatan pemanfaatan ruang yang
pelaksanaannya tidak memerlukan perizinan berusaha
Huruf c
Yang dimaksud dengan “KKPR untuk kegiatan yang bersifat
strategis nasional” adalah KKPR untuk kegiatan
pemanfaatan ruang yang memiliki sifat strategis untuk
peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan

123
pembangunan daerah, serta mempunyai pengaruh sangat
penting secara nasional terhadap kedaulatan negara,
pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya,
dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan
sebagai warisan negara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
kegiatan usaha pemanfaatan kawasan pada hutan lindung,
meliputi:
1) budidaya tanaman obat;
2) budidaya tanaman hias;
3) budidaya jamur;
4) budidaya lebah;
5) budidaya hijauan makanan ternak;

124
6) budidaya buah-buahan dan biji-bijian;
7) budidaya tanaman atsiri;
8) budidaya tanaman nira;
9) wana mina (silvofishery);
10) wana ternak (silvopastura);
11) tanam wana tani (agroforestry);
12) wana tani ternak (agrosilvopastura);
13) penangkaran satwa liar; dan/atau
14) rehabilitasi satwa.
kegiatan usaha pemanfaatan kawasan pada hutan lindung,
dilakukan dengan ketentuan:
1) tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi
utamanya;
2) tidak menimbulkan dampak negative terhadap biofisik
dan sosial ekonomi;
3) tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat;
dan
4) tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah
bentang alam.
kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan
lindung, meliputi:
1) pemanfaatan aliran air;
2) pemanfaatan air;
3) wisata alam;
4) perlindungan keanekaragaman hayati;
5) pemulihan lingkungan; dan/atau
6) penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan
lindung, dilakukan dengan ketentuan:
1) tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi
utamanya;
2) tidak mengubah bentang alam;
3) tidak merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan;
dan
4) tidak dilakukan pada blok inti dan blok khusus.
kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan
lindung, berupa:
1) rotan;
2) madu;
3) getah;
4) buah;
5) biji;
6) jamur;
7) daun;
8) bunga;
9) sarang burung walet; dan/atau
10) hasil Hutan bukan kayu lainnya.

125
kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan
lindung, dilakukan dengan ketentuan:
1) hasil Hutan bukan kayu yang dipungut harus sudah
tersedia secara alami dan/atau hasil rehabilitasi;
2) tidak merusak lingkungan;
3) tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi
utamanya; dan
4) memungut hasil Hutan bukan kayu sesuai berat atau
volume yang diizinkan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
kegiatan usaha pemanfaatan kawasan pada hutan
produksi tetap sebagaimana dimaksud dalam, dilakukan
paling sedikit meliputi kegiatan:
1) budidaya tanaman obat;
2) budidaya tanaman hias;
3) budidaya jamur;
4) budidaya lebah;
5) penangkaran satwa liar;
6) budidaya sarang burung walet;
7) rehabilitasi satwa;
8) budidaya hijauan makanan ternak;
9) budidaya buah-buahan dan biji-bijian;
10) budidaya tanaman atsiri;
11) budidaya tanaman nira;
12) budidaya serat;
13) wana mina (silvofishery);
14) wana ternak (silvopasfira);

126
15) tanam wana tani (agroforestry);
16) wana tani ternak (agrosilvopastra);
17) budidaya tanaman penghasil biomassa atau
bioenergy; dan/atau
18) budidaya tanaman pangan dalam rangka ketahanan
pangan.
kegiatan usaha pemanfaatan kawasan pada hutan
produksi tetap tidak bersifat limitatif dan dapat diberikan
kegiatan pemanfaatan lainnya, dengan tidak
menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial
ekonomi.
kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan
produksi tetap, dilakukan paling sedikit meliputi:
1) pemanfaatan jasa aliran air;
2) pemanfaatan air;
3) wisata alam;
4) perlindungan keanekaragaman hayati;
5) pemulihan lingkungan; dan/atau
6) penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan
produksi tetap tidak bersifat limitatif dan dapat diberikan
kegiatan pemanfaatan lainnya, dengan tidak merusak
keseimbangan unsur lingkungan.
kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada
hutan produksi tetap dilakukan melalui:
1) pemanfaatan hasil hutan kayu yang tumbuh alami;
dan/atau
2) pemanfaatan hasil hutan kayu budidaya tanaman.
kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu yang
tumbuh alami meliputi kegiatan:
1) penebangan/pemanenan;
2) pengayaan;
3) pembibitan;
4) penanaman;
5) pemeliharaan;
6) pengamanan;
7) pengolahan; dan
8) pemasaran.
kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu budidaya
tanaman, meliputi kegiatan:
1) penyiapan lahan;
2) pembibitan;
3) penanaman;
4) pemeliharaan;
5) pengamanan;
6) pemanenan;
7) pengolahan; dan
8) pemasaran.

127
tanaman yang dihasilkan dari perizinan berusaha
pemanfaatan hasil hutan kayu budidaya tanaman
merupakan asset pemegang perizinan berusaha dan
dapat dijadikan agunan sepanjang perizinan berusaha
yang dipegang masih berlaku.
kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
pada hutan produksi tetap, paling sedikit berupa
pemanfaatan:
1) rotan, sagu, nipah, aren, bambu;
2) getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu;
3) komoditas pengembangan bahan baku bahan bakar
nabati (bioenergy); dan/atau
4) komoditas pengembangan tanaman pangan, yang
meliputi kegiatan pengayaan/penanaman,
pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan/atau
pemasaran.
kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
untuk kegiatan pengembangan bahan baku bahan bakar
nabati (bioenergy), hanya dapat dilakukan pada hutan
produksi tetap yang tidak produktif.
kegiatan pemungutan hasil hutan kayu pada hutan
produksi tetap, dilakukan untuk:
1) memenuhi kebutuhan pembangunan fasilitas umum
kelompok Masyarakat setempat; dan
2) memenuhi kebutuhan individu.
kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada
hutan produksi tetap hanya boleh dilakukan oleh
Masyarakat di sekitar Hutan.
kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada
hutan produksi tetap dapat berupa:
1) rotan;
2) madu;
3) getah;
4) buah atau biji;
5) daun;
6) gaharu;
7) kulit kayu;
8) tanaman obat;
9) umbi-umbian; atau
10) hasil Hutan bukan kayu lainnya.
kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada
hutan produksi tetap terhadap tumbuhan liar dan/atau
satwa liar dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.

128
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
kegiatan usaha pemanfaatan kawasan pada hutan
produksi yang dapat dikonversi sebagaimana dimaksud
dalam, dilakukan paling sedikit meliputi kegiatan:
1) budidaya tanaman obat;
2) budidaya tanaman hias;
3) budidaya jamur;
4) budidaya lebah;
5) penangkaran satwa liar;
6) budidaya sarang burung walet;
7) rehabilitasi satwa;
8) budidaya hijauan makanan ternak;
9) budidaya buah-buahan dan biji-bijian;
10) budidaya tanaman atsiri;
11) budidaya tanaman nira;
12) budidaya serat;
13) wana mina (silvofishery);
14) wana ternak (silvopasfira);
15) tanam wana tani (agroforestry);
16) wana tani ternak (agrosilvopastra);
17) budidaya tanaman penghasil biomassa atau
bioenergy; dan/atau
18) budidaya tanaman pangan dalam rangka ketahanan
pangan.
kegiatan usaha pemanfaatan kawasan pada hutan
produksi yang dapat dikonversi tidak bersifat limitatif dan
dapat diberikan kegiatan pemanfaatan lainnya, dengan
tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan
sosial ekonomi.
kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan
produksi yang dapat dikonversi, dilakukan paling sedikit
meliputi:
1) pemanfaatan jasa aliran air;
2) pemanfaatan air;
3) wisata alam;
4) perlindungan keanekaragaman hayati;
5) pemulihan lingkungan; dan/atau
6) penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan
produksi yang dapat dikonversi tidak bersifat limitatif dan
dapat diberikan kegiatan pemanfaatan lainnya, dengan
tidak merusak keseimbangan unsur lingkungan.
kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada
hutan produksi yang dapat dikonversi dilakukan melalui:

129
1) pemanfaatan hasil hutan kayu yang tumbuh alami;
dan/atau
2) pemanfaatan hasil hutan kayu budidaya tanaman.
kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu yang
tumbuh alami meliputi kegiatan:
1) penebangan/pemanenan;
2) pengayaan;
3) pembibitan;
4) penanaman;
5) pemeliharaan;
6) pengamanan;
7) pengolahan; dan
8) pemasaran.
kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu budidaya
tanaman, meliputi kegiatan:
1) penyiapan lahan;
2) pembibitan;
3) penanaman;
4) pemeliharaan;
5) pengamanan;
6) pemanenan;
7) pengolahan; dan
8) pemasaran.
tanaman yang dihasilkan dari perizinan berusaha
pemanfaatan hasil hutan kayu budidaya tanaman
merupakan asset pemegang perizinan berusaha dan
dapat dijadikan agunan sepanjang perizinan berusaha
yang dipegang masih berlaku.
kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
pada hutan produksi yang dapat dikonversi, paling sedikit
berupa pemanfaatan:
1) rotan, sagu, nipah, aren, bambu;
2) getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu;
3) komoditas pengembangan bahan baku bahan bakar
nabati (bioenergy); dan/atau
4) komoditas pengembangan tanaman pangan, yang
meliputi kegiatan pengayaan/penanaman,
pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan/atau
pemasaran.
kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
untuk kegiatan pengembangan bahan baku bahan bakar
nabati (bioenergy), hanya dapat dilakukan pada hutan
produksi yang dapat dikonversi yang tidak produktif.
kegiatan pemungutan hasil hutan kayu pada hutan
produksi yang dapat dikonversi, dilakukan untuk:
1) memenuhi kebutuhan pembangunan fasilitas umum
kelompok Masyarakat setempat; dan
2) memenuhi kebutuhan individu.

130
kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada
hutan produksi yang dapat dikonversi hanya boleh
dilakukan oleh Masyarakat di sekitar Hutan.
kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada
hutan produksi yang dapat dikonversi dapat berupa:
1) rotan;
2) madu;
3) getah;
4) buah atau biji;
5) daun;
6) gaharu;
7) kulit kayu;
8) tanaman obat;
9) umbi-umbian; atau
10) hasil Hutan bukan kayu lainnya.
kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada
hutan produksi yang dapat dikonversi terhadap
tumbuhan liar dan/atau satwa liar dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91

131
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.

132
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR

133

Anda mungkin juga menyukai