Anda di halaman 1dari 78

2

e. bahwa berdasarkan hasil kajian peninjauan kembali


terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Kudus Tahun 2012-2032, perubahan kebijakan di
tingkat nasional dan Provinsi Jawa Tengah, serta
dinamika pembangunan di daerah yang memerlukan
revisi rencana tata ruang wilayah, maka Peraturan
Daerah Kabupaten Kudus Nomor 16 Tahun 2012
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Kudus Tahun 2012-2032 tidak sesuai lagi sehingga
perlu diganti;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana


dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kudus
Tahun 2022-2042;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang


Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten dalam
Lingkungan Propinsi Djawa Tengah;

3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang


Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6573);

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang


Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587),
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang


Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4833), sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26
Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6042);
3

6. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang


Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6633);

7. Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang


Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
Tahun 2020-2024 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 10);

8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun


2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
2036), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk
Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 157);

9. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6


Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2029 (Lembaran
Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 Nomor 6,
Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah
Nomor 28), sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 16
Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa
Tengah Tahun 2009-2029 (Lembaran Daerah Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2019 Nomor 16, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 121);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KUDUS

dan

BUPATI KUDUS

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG


WILAYAH KABUPATEN KUDUS TAHUN 2022-2042.
4

BAB I

KETENTUAN UMUM

Bagian Kesatu
Pengertian

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:

1. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia


yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden
dan menteri sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

2. Provinsi adalah Provinsi Jawa Tengah.

3. Pemerintah Provinsi adalah Gubernur sebagai unsur


penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.

4. Kabupaten adalah Kabupaten Kudus.

5. Pemerintah Kabupaten adalah Bupati sebagai unsur


penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.

6. Bupati adalah Bupati Kudus.

7. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang


laut dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi
sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia, dan
makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan
memelihara kelangsungan hidupnya.

8. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola


ruang.

9. Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat


permukiman dan sistem jaringan prasarana dan
sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan
sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis
memiliki hubungan fungsional.

10. Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam


suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk
fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi
budi daya.

11. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses


perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
5

12. Perencanaan Tata Ruang adalah suatu proses untuk


menentukan Struktur Ruang dan Pola Ruang yang
meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata
ruang.

13. Rencana Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RTR


adalah hasil perencanaan tata ruang.

14. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan


geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif
dan/atau aspek fungsional.

15. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kudus yang


selanjutnya disebut RTRW Kabupaten adalah hasil
perencanaan tata ruang pada wilayah Kabupaten
Kudus, yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya
ditentukan berdasarkan aspek administratif.

16. Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat


RDTR adalah rencana secara terperinci tentang Tata
Ruang Wilayah Kabupaten yang dilengkapi dengan
ketentuan umum zonasi Kabupaten.

17. Kawasan adalah Wilayah yang memiliki fungsi utama


lindung atau budi daya.

18. Kawasan Lindung adalah Wilayah yang ditetapkan


dengan fungsi utama melindungi kelestarian
lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam
dan sumber daya buatan.

19. Kawasan Budi Daya adalah Wilayah yang ditetapkan


dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar
kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya buatan.

20. Kawasan Perkotaan adalah Wilayah yang mempunyai


kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan
jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan
ekonomi.

21. Ruang Terbuka Hijau yang selanjutnya disingkat RTH


adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok,
yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat
tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah,
maupun yang sengaja ditanam, dengan
mempertimbangkan aspek fungsi ekologis, resapan air,
ekonomi, sosial budaya, dan estetika.

22. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disingkat


PKW adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk
melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa
kabupaten/kota.
6

23. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disingkat


PPK adalah pusat permukiman yang berfungsi untuk
melayani kegiatan skala kecamatan.

24. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya


disingkat PPL adalah pusat permukiman yang
berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar desa.

25. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang


meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan
pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan
bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah,
di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah
dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali
jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.

26. Jalan Umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi


lalu lintas umum.

27. Jalan Arteri adalah Jalan Umum yang berfungsi


melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak
jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan
masuk dibatasi secara berdaya guna.

28. Jalan Kolektor adalah Jalan Umum yang berfungsi


melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan
ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata
sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.

29. Jalan Lokal adalah Jalan Umum yang berfungsi


melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan
jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah
jalan masuk tidak dibatasi.

30. Jalan Lingkungan adalah Jalan Umum yang berfungsi


melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan
jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.

31. Jalan Tol adalah Jalan Umum yang merupakan bagian


sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang
penggunanya diwajibkan membayar tol.

32. Terminal adalah pangkalan kendaraan bermotor


umum yang digunakan untuk mengatur kedatangan
dan keberangkatan, menaikkan dan menurunkan
orang dan/atau barang, serta perpindahan moda
angkutan.

33. Jaringan Jalur Kereta Api adalah seluruh jalur kereta


api yang terkait satu dengan yang lain yang
menghubungkan berbagai tempat sehingga
merupakan satu sistem.

34. Stasiun Kereta Api adalah tempat pemberangkatan dan


pemberhentian kereta api.
7

35. Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas,


ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam
pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan
air laut yang berada di darat.

36. Sumber Daya Air adalah air, sumber air, dan daya air
yang terkandung di dalamnya.

37. Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau


buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di
dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan
dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan.

38. Jaringan Irigasi adalah saluran, bangunan, dan


bangunan pelengkapnya yang merupakan satu
kesatuan dan diperlukan untuk pengaturan air irigasi
mulai dari penyediaan, pengambilan, pembagian,
pemberian, penggunaan, dan pembuangannya.

39. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa


hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan.

40. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk


dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

41. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang


mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah
intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

42. Hutan Produksi adalah kawasan hidup yang


mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.

43. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat


kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan
Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar
Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau
di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena
memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui
proses penetapan.

44. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang


selanjutnya disingkat KP2B adalah wilayah budi daya
pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang
memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan dan/atau hamparan Lahan Cadangan
Pertanian Pangan Berkelanjutan serta unsur
penunjangnya dengan fungsi utama untuk
mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan
pangan nasional.
8

45. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan


kegiatan dalam rangka, pengelolaan dan pengusahaan
mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan
umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian atau
pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan
dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.

46. Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah


bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi,
dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai
yang lebih tinggi untuk penggunaanya, termasuk
kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri.

47. Kawasan Peruntukan Industri adalah bentangan lahan


yang diperuntukkan bagi kegiatan industri
berdasarkan RTRW Kabupaten yang ditetapkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

48. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian


yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan
yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum,
serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di
kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan.

49. Kawasan Permukiman adalah bagian dari lingkungan


hidup di luar Kawasan Lindung, baik berupa kawasan
perkotaan maupun kawasan perdesaan, yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung perikehidupan dan penghidupan.

50. Kawasan Strategis Kabupaten adalah kawasan yang


penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai
pengaruh sangat penting dalam lingkup daerah
terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau
lingkungan bagi kepentingan tingkat/skala daerah.

51. Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan


Struktur Ruang dan Pola Ruang sesuai dengan
rencana tata ruang melalui penyusunan dan
pelaksanaan program beserta pembiayaannya.

52. Pengendalian Pemanfaatan Ruang adalah upaya


mewujudkan tertib tata ruang.

53. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang


selanjutnya disingkat KKPR adalah kesesuaian antara
rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang dengan RTR.

54. Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang


yang selanjutnya disingkat KKKPR adalah dokumen
yang menyatakan kesesuaian antara rencana kegiatan
Pemanfaatan Ruang dengan RDTR.
9

55. Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang


yang selanjutnya disingkat PKKPR adalah dokumen
yang menyatakan kesesuaian antara rencana kegiatan
Pemanfaatan Ruang dengan RTR selain RDTR.

56. Rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan


Ruang yang selanjutnya disingkat RKKPR adalah
dokumen yang menyatakan kesesuaian rencana
kegiatan Pemanfaatan Ruang yang didasarkan pada
kebijakan nasional yang bersifat strategis dan belum
diatur dalam RTR dengan mempertimbangkan asas
dan tujuan penyelenggaraan penataan ruang.

57. Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara


Elektronik (Online Single Submission) yang selanjutnya
disebut Sistem OSS adalah sistem elektronik
terintegrasi yang dikelola dan diselenggarakan oleh
Lembaga OSS untuk penyelenggaraan perizinan
berusaha berbasis risiko.

58. Indikasi Program Utama Jangka Menengah 5 (lima)


Tahunan adalah arahan Pemanfaatan Ruang dalam
RTRW Kabupaten yang merupakan petunjuk yang
memuat usulan program utama, lokasi, besaran,
sumber pendanaan, instansi pelaksana, dan waktu
pelaksanaan dalam jangka waktu perencanaan 5 (lima)
tahunan sampai akhir tahun perencanaan 20 (dua
puluh) tahun untuk mewujudkan Tata Ruang
Kabupaten.

59. Sinkronisasi Program Pemanfaatan Ruang yang


selanjutnya disingkat SPPR adalah upaya
menyelaraskan indikasi program utama dengan
program sektoral dan kewilayahan dalam dokumen
rencana pembangunan secara terpadu.

60. Ketentuan Umum Zonasi adalah ketentuan umum


yang mengatur Pemanfaatan Ruang dan ketentuan
Pengendalian Pemanfaatan Ruang yang disusun untuk
setiap klasifikasi peruntukan/fungsi ruang dan
kawasan sekitar jaringan prasarana sesuai dengan
RTRW Kabupaten.

61. Ketentuan Khusus adalah ketentuan yang mengatur


pemanfaatan kawasan yang memliki fungsi khusus
dan memiliki aturan tambahan seperti adanya
kawasan yang bertampalan dengan kawasan
peruntukan utama, yang disebut sebagai kawasan
pertampalan/tumpang susun (overlay).

62. Ketentuan Insentif dan Disinsentif adalah ketentuan


yang diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten untuk
mendorong pelaksanaan Pemanfaatan Ruang agar
sesuai rencana tata ruang dan untuk mencegah
Pemanfaatan Ruang yang tidak sesuai dengan rencana
tata ruang.
10

63. Arahan Sanksi adalah arahan untuk memberikan


sanksi bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran
ketentuan kewajiban Pemanfaatan Ruang sesuai
dengan rencana tata ruang yang berlaku.

64. Forum Penataan Ruang adalah wadah di tingkat


pusat dan daerah yang bertugas untuk membantu
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan
memberikan pertimbangan dalam Penyelenggaraan
Penataan Ruang.

Bagian Kedua
Ruang Lingkup

Pasal 2

(1) Ruang lingkup materi RTRW Kabupaten, meliputi:


a. tujuan, kebijakan, dan strategi Penataan Ruang
Wilayah Kabupaten;
b. rencana Struktur Ruang Wilayah Kabupaten;
c. rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten;
d. Kawasan Strategis Kabupaten;
e. arahan Pemanfaatan Ruang Wilayah Kabupaten;
dan
f. ketentuan Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Wilayah Kabupaten.

(2) Ruang lingkup Wilayah RTRW Kabupaten adalah


seluruh wilayah administrasi dengan luas kurang
lebih 44.744 (empat puluh empat ribu tujuh ratus
empat puluh empat) hektar, yang terletak antara
701’13” sampai dengan 7022’57” Lintang Selatan, dan
antara 110045’30” sampai dengan 110058’37” Bujur
Timur, meliputi:
a. Kecamatan Kota Kudus;
b. Kecamatan Jati;
c. Kecamatan Kaliwungu;
d. Kecamatan Bae;
e. Kecamatan Gebog;
f. Kecamatan Dawe.
g. Kecamatan Jekulo;
h. Kecamatan Mejobo; dan
i. Kecamatan Undaan.

(3) Batas-batas wilayah Kabupaten meliputi:


a. sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten
Jepara dan Kabupaten Pati;
b. sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten
Pati;
c. sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten
Grobogan dan Kabupaten Pati; dan
d. sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten
Demak dan Kabupaten Jepara.
11

BAB II

TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN


RUANG WILAYAH KABUPATEN

Bagian Kesatu
Tujuan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten

Pasal 3

Tujuan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten adalah


mewujudkan Ruang Wilayah Kabupaten yang berkualitas
berbasis industri dan pertanian, didukung sumber daya
alam yang berkelanjutan.

Bagian Kedua
Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Wilayah
Kabupaten

Paragraf 1
Kebijakan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten

Pasal 4

Kebijakan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten, meliputi:


a. pengembangan fungsi dan peran pusat permukiman;
b. pengembangan jaringan prasarana Wilayah yang
berkualitas, terpadu, dan berkelanjutan;
c. pengembangan peruntukan industri yang
berwawasan lingkungan;
d. perlindungan kawasan pertanian;
e. pengembangan permukiman perkotaan dan
perdesaan;
f. pemanfaatan potensi pertambangan yang
berwawasan lingkungan;
g. peningkatan pengelolaan Kawasan Lindung; dan
h. peningkatan fungsi pertahanan dan keamanan.

Paragraf 2
Strategi Penataan Ruang Wilayah Kabupaten

Pasal 5

(1) Strategi kebijakan pengembangan fungsi dan peran


pusat permukiman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf a, meliputi:
a. menetapkan hierarki pusat permukiman sesuai
dengan perkembangan Wilayah;
b. meningkatkan keterkaitan dan keterpaduan
antar hierarki pusat permukiman sebagai satu
kesatuan pengembangan Wilayah; dan
c. mengembangkan pusat permukiman secara
berjenjang sesuai hierarki pelayanan.
12

(2) Strategi kebijakan pengembangan jaringan prasarana


Wilayah yang berkualitas, terpadu, dan
berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf b, meliputi:
a. mengembangkan prasarana transportasi secara
terpadu, efektif dan efisien;
b. mengembangkan sistem serta kualitas pelayanan
jaringan energi dan jaringan telekomunikasi;
c. mengembangkan prasarana Sumber Daya Air dan
air baku;
d. mengembangkan prasarana pengelolaan
lingkungan yang mencakup air limbah, limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan jaringan
persampahan; dan
e. mengembangkan jalur dan ruang evakuasi
bencana.

(3) Strategi kebijakan pengembangan peruntukan


industri yang berwawasan lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, meliputi:
a. mengembangkan Kawasan Peruntukan Industri
yang berdaya saing dengan memperhatikan daya
dukung dan daya tampung lingkungan;
b. mengembangkan dan memberdayakan industri
kecil; dan
c. mengembangkan prasarana dan sarana
pendukung industri yang berkelanjutan.

(4) Strategi kebijakan perlindungan kawasan pertanian


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d,
meliputi:
a. menetapkan KP2B guna mewujudkan
kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan
pangan;
b. mengembangkan prasarana pendukung
produktivitas pertanian; dan
c. mengembangkan aksesibilitas dan pelayanan
pemasaran hasil pertanian.

(5) Strategi kebijakan pengembangan permukiman


perkotaan dan perdesaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf e, meliputi:
a. mengembangkan Kawasan Permukiman
perkotaan dan perdesaan;
b. mengembangkan aksesibilitas dan prasarana
permukiman perkotaan dan perdesaan; dan
c. menyediakan pemenuhan kebutuhan RTH pada
kawasan perkotaan dengan luas paling sedikit
30 % (tiga puluh persen) dari luas kawasan
perkotaan, meliputi 20 % (dua puluh persen) RTH
publik dan 10 % (sepuluh persen) RTH privat.
13

(6) Strategi kebijakan pemanfaatan potensi


pertambangan yang berwawasan lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf f,
meliputi:
a. mengembangkan pertambangan yang
berwawasan lingkungan serta memberikan
kontribusi sosial, ekonomi dan kelembagaan
masyarakat;
b. mengembangkan pengelolaan pertambangan
yang berwawasan lingkungan melalui kerjasama
dan koordinasi secara efektif dengan Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Pusat; dan
c. mengendalikan pemanfaatan pertambangan dan
menertibkan pertambangan tanpa izin untuk
menjaga kualitas lingkungan hidup.

(7) Strategi kebijakan peningkatan pengelolaan Kawasan


Lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf g, meliputi:
a. menetapkan Kawasan Lindung sesuai dengan
fungsi perlindungannya;
b. melestarikan dan mengembangkan fungsi
Kawasan Lindung; dan
c. membatasi dan mengendalikan Pemanfaatan
Ruang yang berpotensi mengurangi fungsi
Kawasan Lindung.

(8) Strategi kebijakan peningkatan fungsi pertahanan


dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf h, meliputi:
a. mengalokasikan kawasan pertahanan dan
keamanan;
b. mengembangkan dan mensinergikan
pemanfaatan kawasan pertahanan dan
keamanan dengan kawasan di sekitarnya secara
selektif; dan
c. memelihara serta menjaga aset pertahanan dan
keamanan.

BAB III

RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 6

(1) Rencana Struktur Ruang Wilayah Kabupaten terdiri


atas:
a. sistem pusat permukiman; dan
b. sistem jaringan prasarana.
14

(2) Rencana Struktur Ruang Wilayah Kabupaten


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan
dalam peta dengan tingkat ketelitian skala 1:50.000
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.A,
Lampiran I.B, dan Lampiran I.C yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua
Sistem Pusat Permukiman

Pasal 7

(1) Sistem pusat permukiman sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, terdiri atas:
a. PKW; dan
b. Pusat-pusat lain.

(2) PKW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,


berada di Kawasan Perkotaan Kota Kudus.

(3) Pusat-pusat lain sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) huruf b, terdiri atas:
a. PPK; dan
b. PPL.

(4) PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a,


meliputi:
a. Kawasan Perkotaan Jekulo;
b. Kawasan Perkotaan Gebog;
c. Kawasan Perkotaan Dawe;
d. Kawasan Perkotaan Mejobo; dan
e. Kawasan Perkotaan Undaan.

(5) PPL sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (3)


huruf b, meliputi:
a. Kecamatan Kaliwungu;
b. Kecamatan Gebog;
c. Kecamatan Dawe;
d. Kecamatan Jekulo; dan
e. Kecamatan Undaan;

(6) Sistem pusat permukiman sebagaimana dimaksud


pada ayat (1), diatur lebih lanjut melalui penyusunan
RDTR yang ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

(7) Sistem pusat permukiman sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) digambarkan dalam peta dengan
tingkat ketelitian skala 1:50.000 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
15

Bagian Ketiga
Sistem Jaringan Prasarana

Paragraf 1
Umum

Pasal 8

Sistem jaringan prasarana sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 6 ayat (1) huruf b, meliputi:
a. sistem jaringan transportasi;
b. sistem jaringan energi;
c. sistem jaringan telekomunikasi;
d. sistem jaringan Sumber Daya Air; dan
e. sistem jaringan prasarana lainnya.

Paragraf 2
Sistem Jaringan Transportasi

Pasal 9

(1) Sistem jaringan transportasi sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 8 huruf a, meliputi:
a. sistem jaringan jalan; dan
b. sistem jaringan kereta api.

(2) Sistem jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) huruf a, meliputi:
a. Jalan Umum;
b. Jalan Tol; dan
c. Terminal penumpang.

(3) Sistem jaringan kereta api sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. Jaringan Jalur Kereta Api; dan
b. Stasiun Kereta Api.

(4) Sistem jaringan transportasi sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) digambarkan dalam peta dengan
tingkat ketelitian skala 1:50.000 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran III yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Pasal 10

(1) Jalan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9


ayat (2) huruf a, meliputi:
a. Jalan Arteri;
b. Jalan Kolektor;
c. Jalan Lokal; dan
d. Jalan Lingkungan.

(2) Jalan Arteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


huruf a, meliputi:
a. Jalan Arteri primer; dan
b. Jalan Arteri sekunder.
16

(3) Jalan Arteri primer sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) huruf a, meliputi:
a. Batas Kabupaten Demak/Kudus-Jati;
b. Jati-Kudus;
c. Jalan Lingkar Kudus; dan
d. Simpang Tiga Lingkar Kudus Timur - Batas
Kabupaten Pati/Kudus.

(4) Jalan Arteri sekunder sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) huruf b, meliputi:
a. ruas jalan Kencing-Tanjungkarang;
b. ruas jalan R. Agil Kusumadya-Mijen;
c. ruas jalan Mijen-Klumpit;
d. ruas jalan Peganjaran-Klumpit;
e. ruas jalan Panjang- Peganjaran;
f. ruas jalan Panjang-UMK; dan
g. ruas jalan UMK-Ngembalrejo.

(5) Jalan Kolektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


huruf b, berupa Jalan Kolektor primer, meliputi:
a. Jalan Kudus-Margoyoso/Batas Kabupaten
Jepara;
b. Jalan Jati-Klambu/Batas Kabupaten Grobogan;
c. Jalan Purwodadi (Kudus);
d. Jalan Kudus-Colo;
e. Jalan Simpang Tujuh;
f. Jalan Sunan Kudus;
g. Jalan Sunan Muria;
h. Jalan Jend. Sudirman;
i. Jalan Lukmono Hadi;
j. Jalan Dr. Ramelan;
k. Jalan A. Yani;
l. Jalan Pemuda;
m. Jalan Pramuka;
n. Jalan KHR. Asnawi;
o. ruas jalan Mlati Kidul-Jepang Pendem;
p. ruas jalan lingkar tenggara-Jepang Pendem;
q. ruas jalan lingkar tenggara-Mejobo;
r. ruas jalan Mejobo-Kesambi;
s. ruas jalan Kesambi- Bulungcangkring;
t. ruas jalan Jekulo-Bulungcangkring;
u. ruas jalan Peganjaran-Besito;
v. ruas jalan Besito-Gebog; dan
w. ruas jalan Dawe-Gebog.

(6) Jalan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


huruf c, meliputi:
a. Jalan Lokal primer; dan
b. Jalan Lokal sekunder.

(7) Jalan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (6),


sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.
17

(8) Jalan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) huruf d berupa Jalan Lingkungan primer,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.

Pasal 11

Jalan Tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)


huruf b, berupa Jalan Tol Demak-Tuban.

Pasal 12

Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal


9 ayat (2) huruf c, meliputi:
a. Terminal penumpang tipe A, berada di Kecamatan
Jati;
b. Terminal penumpang tipe C, meliputi:
1. Terminal Singocandi berada di Kecamatan Kota
Kudus;
2. Terminal Getaspejaten berada di Kecamatan Jati;
3. Terminal Jetak berada di Kecamatan Kaliwungu;
dan
4. Terminal Kalirejo berada di Kecamatan Undaan.

Pasal 13

(1) Jaringan Jalur Kereta Api sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a, berupa Jaringan Jalur
Kereta Api antarkota yang melintasi wilayah
kabupaten untuk melayani perpindahan orang
dan/atau barang, meliputi:
a. Jaringan Jalur Kereta Api antarkota Semarang-
Demak-Kudus-Pati-Rembang;
b. Jaringan Jalur Kereta Api antarkota Kudus-
Bakalan; dan
c. Jaringan Jalur Kereta Api antarkota Semarang-
Tuban.

(2) Stasiun Kereta Api sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 9 ayat (3) huruf b, berupa Stasiun Kereta Api
penumpang yang berada di Kecamatan Kota Kudus,
Kecamatan Mejobo dan Kecamatan Jekulo.

Paragraf 3
Sistem Jaringan Energi

Pasal 14

(1) Sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 8 huruf b, meliputi:
a. jaringan infrastruktur minyak dan gas bumi; dan
b. jaringan infrastruktur ketenagalistrikan.
18

(2) Jaringan infrastruktur minyak dan gas bumi


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berupa
jaringan yang menyalurkan minyak dan gas bumi
dari fasilitas produksi ke tempat penyimpanan,
meliputi:
a. Kecamatan Jati;
b. Kecamatan Mejobo;
c. Kecamatan Bae; dan
d. Kecamatan Jekulo.

(3) Jaringan infrastruktur ketenagalistrikan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi:
a. infrastruktur pembangkitan tenaga listrik dan
sarana pendukung; dan
b. jaringan infrastruktur penyaluran tenaga listrik
dan sarana pendukung.

(4) Infrastruktur pembangkitan tenaga listrik dan


sarana pendukung sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf a, berupa Pembangkit Listrik Tenaga
Air (PLTA), berada di:
a. Kecamatan Jekulo; dan
b. Kecamatan Dawe.

(5) Jaringan infrastruktur penyaluran tenaga listrik dan


sarana pendukung sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf b, meliputi:
a. jaringan transmisi tenaga listrik untuk
menyalurkan tenaga listrik antarsistem;
b. jaringan distribusi tenaga listrik; dan
c. gardu listrik.

(6) Jaringan transmisi tenaga listrik untuk menyalurkan


tenaga listrik antarsistem sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) huruf a, meliputi:
a. jaringan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi
(SUTET), meliputi:
1. Kecamatan Gebog;
2. Kecamatan Dawe;
3. Kecamatan Bae;
4. Kecamatan Jekulo; dan
5. Kecamatan Mejobo.
b. jaringan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT),
meliputi:
1. Kecamatan Kaliwungu;
2. Kecamatan Jati;
3. Kecamatan Mejobo;
4. Kecamatan Jekulo; dan
5. Kecamatan Undaan.

(7) Jaringan distribusi tenaga listrik sebagaimana


dimaksud pada ayat (5) huruf b, berupa Saluran
Udara Tegangan Rendah (SUTR) berada di seluruh
kecamatan.
19

(8) Gardu listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (5)


huruf c, berada di:
a. Kecamatan Jati; dan
b. Kecamatan Mejobo.

(9) Pengembangan jaringan infrastruktur


ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(10) Sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) digambarkan dalam peta dengan tingkat
ketelitian skala 1:50.000 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Paragraf 4
Sistem Jaringan Telekomunikasi

Pasal 15

(1) Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 8 huruf c, meliputi:
a. jaringan tetap; dan
b. jaringan bergerak.

(2) Jaringan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


huruf a, berada di seluruh kecamatan.

(3) Jaringan bergerak sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) huruf b, berupa jaringan bergerak seluler
yang berada di seluruh kecamatan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan dan


pengendalian jaringan bergerak seluler sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), diatur dengan Peraturan
Bupati.

(5) Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam peta
dengan tingkat ketelitian skala 1:50.000
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.

Paragraf 5
Sistem Jaringan Sumber Daya Air

Pasal 16

(1) Sistem jaringan Sumber Daya Air sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 8 huruf d, meliputi:
a. sistem Jaringan Irigasi;
b. sistem pengendalian banjir; dan
c. bangunan Sumber Daya Air.
20

(2) Sistem Jaringan Irigasi sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) huruf a, meliputi:
a. Jaringan Irigasi primer; dan
b. Jaringan Irigasi sekunder.

(3) Jaringan Irigasi primer sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) huruf a, meliputi:
a. Kecamatan Kota Kudus;
b. Kecamatan Jati;
c. Kecamatan Kaliwungu;
d. Kecamatan Bae;
e. Kecamatan Gebog;
f. Kecamatan Dawe;
g. Kecamatan Jekulo; dan
h. Kecamatan Mejobo;

(4) Jaringan Irigasi sekunder sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) huruf b, meliputi:
a. Kecamatan Kota Kudus;
b. Kecamatan Jati;
c. Kecamatan Kaliwungu;
d. Kecamatan Gebog;
e. Kecamatan Bae; dan
f. Kecamatan Mejobo.

(5) Sistem pengendalian banjir sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. jaringan pengendalian banjir; dan
b. bangunan pengendalian banjir.

(6) Jaringan pengendalian banjir sebagaimana


dimaksud pada ayat (5) huruf a, meliputi:
a. Sungai Wulan, berada di:
1. Kecamatan Undaan;
2. Kecamatan Jati; dan
3. Kecamatan Kaliwungu.
b. Sungai Juana, berada di:
1. Kecamatan Undaan;
2. Kecamatan Mejobo; dan
3. Kecamatan Jekulo.
c. Sungai Gelis, berada di:
1. Kecamatan Gebog;
2. Kecamatan Bae;
3. Kecamatan Kota Kudus; dan
4. Kecamatan Jati
d. Sungai Piji, berada di:
1. Kecamatan Dawe;
2. Kecamatan Bae;
3. Kecamatan Jekulo; dan
4. Kecamatan Mejobo.
e. Sungai Dawe, berada di:
1. Kecamatan Dawe;
2. Kecamatan Bae; dan
3. Kecamatan Mejobo.
21

(7) Bangunan pengendalian banjir sebagaimana


dimaksud pada ayat (5) huruf b, berupa kolam
pengendali banjir yang berada di:
a. Kecamatan Jekulo;
b. Kecamatan Mejobo;
c. Kecamatan Jati;
d. Kecamatan Kaliwungu; dan
e. Kecamatan Undaan.

(8) Bangunan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf c, meliputi:
a. Bendungan Logung, berada di:
1. Kecamatan Jekulo; dan
2. Kecamatan Dawe.
b. Embung, berada di:
1. Kecamatan Jati;
2. Kecamatan Kaliwungu;
3. Kecamatan Gebog;
4. Kecamatan Jekulo;
5. Kecamatan Mejobo; dan
6. Kecamatan Undaan.
c. Bendung, berada di:
1. Kecamatan Jati;
2. Kecamatan Kaliwungu;
3. Kecamatan Bae;
4. Kecamatan Gebog;
5. Kecamatan Dawe;
6. Kecamatan Jekulo; dan
7. Kecamatan Mejobo.
d. Sumur irigasi air tanah, berada di:
1. Kecamatan Gebog; dan
2. Kecamatan Kaliwungu.

(9) Sistem jaringan Sumber Daya Air sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam peta
dengan tingkat ketelitian skala 1:50.000
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.

Paragraf 6
Sistem Jaringan Prasarana Lainnya

Pasal 17

(1) Sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 8 huruf e, meliputi:
a. Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM);
b. Sistem Pengelolaan Air Limbah (SPAL);
c. sistem pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3);
d. sistem jaringan persampahan; dan
e. sistem jaringan evakuasi bencana.
22

(2) Sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam peta
dengan tingkat ketelitian skala 1:50.000
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.

Pasal 18

(1) Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, meliputi:
a. jaringan perpipaan; dan
b. bukan jaringan perpipaan.

(2) Jaringan perpipaan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) huruf a, meliputi:
a. unit air baku berupa bangunan penampungan
dan pengambilan air, berada di seluruh
kecamatan;
b. unit produksi berupa sumur produksi, bangunan
pengolahan dan pelengkapnya, berada di seluruh
kecamatan; dan
c. unit distribusi berupa jaringan pipa distribusi,
berada di seluruh kecamatan.

(3) Bukan jaringan perpipaan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf b, berupa bangunan penangkap
mata air yang berada di:
a. Kecamatan Dawe;
b. Kecamatan Gebog; dan
c. Kecamatan Undaan.

Pasal 19

(1) Sistem Pengelolaan Air Limbah (SPAL) sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b, meliputi:
a. infrastruktur sistem pengelolaan air limbah non
domestik; dan
b. infrastruktur sistem pengelolaan air limbah
domestik.

(2) Sistem pengelolaan air limbah non domestik


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
meliputi:
a. Kecamatan Kota Kudus;
b. Kecamatan Jati;
c. Kecamatan Bae;
d. Kecamatan Gebog;
e. Kecamatan Kaliwungu;
f. Kecamatan Mejobo; dan
g. Kecamatan Jekulo.

(3) Sistem pengelolaan air limbah domestik


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berada
di seluruh kecamatan.
23

Pasal 20

(1) Sistem pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan


Beracun (B3) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1) huruf c, meliputi:
a. sistem pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3) penghasil limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun (B3); dan
b. sistem pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3) bukan penghasil limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3).

(2) Sistem pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan


Beracun (B3) penghasil limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun (B3) sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, berada di:
a. Kecamatan Kota Kudus;
b. Kecamatan Jati;
c. Kecamatan Kaliwungu;
d. Kecamatan Gebog;
e. Kecamatan Bae;
f. Kecamatan Dawe;
g. Kecamatan Jekulo; dan
h. Kecamatan Mejobo.

(3) Sistem pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan


Beracun (B3) bukan penghasil limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, berada di:
a. Kecamatan Kaliwungu.
b. Kecamatan Jekulo; dan
c. Kecamatan Dawe.

(4) Pelaksanaan sistem pengolahan limbah Bahan


Berbahaya dan Beracun (B3) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 21

(1) Sistem jaringan persampahan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf d, meliputi:
a. Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce,
Recycle (TPS3R);
b. Tempat Penampungan Sampah Sementara (TPS);
c. Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST);
dan
d. Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).

(2) Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce, Recycle


(TPS3R) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, berada di seluruh kecamatan.

(3) Tempat Penampungan Sampah Sementara (TPS)


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berada
di seluruh kecamatan.
24

(4) Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST)


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, berada
di seluruh kecamatan.

(5) Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPA)


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, berada
di:
a. Kecamatan Jekulo; dan
b. Kecamatan Dawe.

Pasal 22

(1) Sistem jaringan evakuasi bencana sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf e, meliputi:
a. jalur evakuasi bencana; dan
b. tempat evakuasi bencana.

(2) Jalur evakuasi bencana sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. jalur evakuasi bencana gerakan tanah; dan
b. jalur evakuasi bencana banjir.

(3) Jalur evakuasi bencana gerakan tanah sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) huruf a, meliputi:
a. Kecamatan Gebog;
b. Kecamatan Dawe; dan
c. Kecamatan Jekulo.

(4) Jalur evakuasi bencana banjir sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) huruf b, meliputi:
a. Kecamatan Kaliwungu;
b. Kecamatan Jati;
c. Kecamatan Mejobo;
d. Kecamatan Jekulo; dan
e. Kecamatan Undaan.

(5) Tempat evakuasi bencana sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. tempat evakuasi bencana gerakan tanah; dan
b. tempat evakuasi bencana banjir.

(6) Tempat evakuasi bencana gerakan tanah


sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a,
meliputi:
a. Kecamatan Gebog;
b. Kecamatan Dawe; dan
c. Kecamatan Jekulo.

(7) Tempat evakuasi bencana banjir sebagaimana


dimaksud pada ayat (5) huruf b, berada di:
a. Kecamatan Kaliwungu;
b. Kecamatan Jati;
c. Kecamatan Mejobo;
d. Kecamatan Jekulo; dan
e. Kecamatan Undaan.
25

BAB IV

RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 23

(1) Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten, terdiri atas:


a. Kawasan Lindung; dan
b. Kawasan Budi Daya.

(2) Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan
dalam peta dengan tingkat ketelitian skala 1:50.000
tercantum dalam Lampiran X.A, Lampiran X.B, dan
Lampiran X.C, yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua
Kawasan Lindung

Paragraf 1
Umum

Pasal 24

Kawasan Lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23


ayat (1) huruf a, meliputi:
a. badan air;
b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap
kawasan bawahannya; dan
c. kawasan perlindungan setempat.

Paragraf 2
Badan Air

Pasal 25

Badan air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a,


dengan luas kurang lebih 598 (lima ratus sembilan puluh
delapan) hektar, berada di seluruh kecamatan.

Paragraf 3
Kawasan yang Memberikan Perlindungan Terhadap
Kawasan Bawahannya

Pasal 26

Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap


kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 huruf b, berupa kawasan Hutan Lindung
dengan luas kurang lebih 1.088 (seribu delapan puluh
delapan) hektar, berada di:
a. Kecamatan Gebog; dan
b. Kecamatan Dawe.
26

Paragraf 4
Kawasan Perlindungan Setempat

Pasal 27

Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 24 huruf c dengan luas kurang lebih 1.309
(seribu tiga ratus sembilan) hektar, berada di seluruh
kecamatan.

Bagian Ketiga
Kawasan Budi Daya

Paragraf 1
Umum

Pasal 28

Kawasan Budi Daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal


23 ayat (1) huruf b, meliputi:
a. kawasan Hutan Produksi;
b. kawasan pertanian;
c. kawasan pertambangan dan energi;
d. Kawasan Peruntukan Industri;
e. Kawasan Permukiman; dan
f. kawasan pertahanan dan keamanan.

Paragraf 2
Kawasan Hutan produksi

Pasal 29

(1) Kawasan Hutan Produksi sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 28 huruf a, meliputi:
a. Hutan Produksi Terbatas; dan
b. Hutan Produksi Tetap.

(2) Hutan Produksi Terbatas sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf a, dengan luas kurang lebih 1.199
(seribu seratus sembilan puluh sembilan) hektar,
berada di:
a. Kecamatan Dawe; dan
b. Kecamatan Jekulo.

(3) Hutan Produksi Tetap ditetapkan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf b, dengan luas kurang
lebih 1.316 (seribu tiga ratus enam belas) hektar,
berada di:
a. Kecamatan Dawe;
b. Kecamatan Gebog;
c. Kecamatan Jekulo; dan
d. Kecamatan Undaan.
27

Paragraf 3
Kawasan Pertanian

Pasal 30

(1) Kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 28 huruf b, berupa kawasan tanaman pangan
dengan luas kurang lebih 22.360 (dua puluh dua ribu
tiga ratus enam puluh) hektar, berada di seluruh
kecamatan.

(2) Dalam rangka perlindungan kawasan tanaman


pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ditetapkan KP2B dengan luas kurang lebih 20.005
(dua puluh ribu lima) hektar, berada di seluruh
kecamatan.

Paragraf 4
Kawasan Pertambangan dan Energi

Pasal 31

(1) Kawasan pertambangan dan energi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 28 huruf c, berupa kawasan
pertambangan batuan.

(2) Kawasan pertambangan batuan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), dengan luas kurang lebih
54 (lima puluh empat) hektar, berada di Kecamatan
Jekulo.

Paragraf 5
Kawasan Peruntukan Industri

Pasal 32

Kawasan Peruntukan Industri sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 28 huruf d, dengan luas kurang lebih
2.235 (dua ribu dua ratus tiga puluh lima) hektar, berada
di:
a. Kecamatan Kota Kudus;
b. Kecamatan Jati;
c. Kecamatan Kaliwungu;
d. Kecamatan Bae;
e. Kecamatan Gebog;
f. Kecamatan Dawe;
g. Kecamatan Jekulo; dan
h. Kecamatan Mejobo.
28

Paragraf 6
Kawasan Permukiman

Pasal 33

(1) Kawasan Permukiman sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 28 huruf e, dengan luas kurang lebih 14.585
(empat belas ribu lima ratus delapan puluh lima)
hektar, meliputi:
a. Kawasan Permukiman Perkotaan; dan
b. Kawasan Permukiman Perdesaan.

(2) Kawasan Permukiman Perkotaan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf a, dengan luas kurang
lebih 8.643 (delapan ribu enam ratus empat puluh
tiga) hektar, berada di seluruh kecamatan.

(3) Kawasan Permukiman Perdesaan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf b, dengan luas kurang
lebih 5.942 (lima ribu sembilan ratus empat puluh
dua) hektar, berada di:
a. Kecamatan Kaliwungu;
b. Kecamatan Gebog;
c. Kecamatan Dawe;
d. Kecamatan Jekulo;
e. Kecamatan Mejobo; dan
f. Kecamatan Undaan.

Paragraf 7
Kawasan Pertahanan dan Keamanan

Pasal 34

Kawasan pertahanan dan keamanan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 28 huruf f, meliputi:
a. Komando Distrik Militer berada di Kecamatan Kota
Kudus;
b. Polisi Resor berada di Kecamatan Jekulo;
c. Komando Rayon Militer berada di seluruh kecamatan;
dan
d. Polisi Sektor berada di seluruh kecamatan.

BAB V

KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN

Pasal 35

(1) Kawasan Strategis Kabupaten terdiri atas:


a. kawasan strategis pertumbuhan ekonomi;
b. kawasan strategis sosial budaya; dan
c. kawasan strategis fungsi dan daya dukung
lingkungan hidup.
29

(2) Kawasan strategis pertumbuhan ekonomi


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
meliputi:
a. kawasan perkotaan Kota Kudus;
b. kawasan perkotaan Kecamatan Jekulo; dan
c. kawasan perkotaan Kecamatan Mejobo.

(3) Tujuan pengembangan kawasan strategis


pertumbuhan ekonomi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), adalah mewujudkan peningkatan
pertumbuhan ekonomi kawasan dan mempercepat
pengembangan kawasan di sekitarnya.

(4) Arah pengembangan kawasan strategis


pertumbuhan ekonomi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), meliputi:
a. penataan dan pengembangan pusat
pemerintahan, permukiman, perdagangan, jasa,
fasilitas umum, fasilitas sosial dan RTH;
b. pengelolaan Kawasan Peruntukan Industri yang
berwawasan lingkungan; dan
c. penyediaan jaringan prasarana dan utilitas
penunjang pengembangan kawasan.

(5) Kawasan strategis sosial budaya sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. situs Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus,
berada di Kecamatan Kota Kudus;
b. situs Makam Sunan Muria, berada di Kecamatan
Dawe; dan
c. kawasan Patiayam, berada di:
1. Kecamatan Jekulo; dan
2. Kecamatan Dawe.

(6) Tujuan pengembangan kawasan strategis sosial


budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (5), adalah
mewujudkan pelestarian dan pemanfaatan kawasan
yang dapat memacu pengembangan ekonomi serta
peningkatan kesejahteraan masyarakat.

(7) Arah pengembangan kawasan strategis sosial budaya


sebagaimana dimaksud pada ayat (5), meliputi:
a. pemeliharaan cagar budaya dengan
memperhatikan prinsip kemanfaatan,
keamanan, keterawatan, keaslian nilai-nilai
cagar budaya dan mempertahankan ciri budaya
lokal;
b. penataan dan pengembangan kawasan cagar
budaya dan sosial budaya lainnya; dan
c. Pengendalian Pemanfaatan Ruang yang
berpotensi mengganggu dan/atau merusak
kawasan strategis sosial budaya.
30

(8) Kawasan strategis fungsi dan daya dukung


lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c, berupa kawasan Hutan Lindung dan
kawasan Hutan Produksi, berada di:
a. Kecamatan Gebog;
b. Kecamatan Dawe;
c. Kecamatan Jekulo; dan
d. Kecamatan Undaan.

(9) Tujuan pengembangan kawasan strategis fungsi dan


daya dukung lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (8), adalah mewujudkan
perlindungan keanekaragaman hayati, perlindungan
ekosistem, flora dan/atau fauna, serta memberikan
perlindungan keseimbangan tata guna air.

(10) Arah pengembangan kawasan strategis fungsi dan


daya dukung lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (8), meliputi:
a. peningkatan pelestarian dan konservasi kawasan
Hutan Lindung dan Hutan Produksi;
b. pengelolaan kawasan Hutan Lindung dan Hutan
Produksi dengan melibatkan peran serta
masyarakat; dan
c. pemanfaatan kawasan Hutan Lindung dan Hutan
Produksi secara selektif dan melakukan
pengawasan yang ketat.

(11) Kawasan Strategis Kabupaten sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), digambarkan dalam peta
dengan tingkat ketelitian skala 1 : 50.000
sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.

BAB VI

ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH KABUPATEN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 36

(1) Arahan Pemanfaatan Ruang Wilayah Kabupaten


merupakan arahan pembangunan dan/atau
pengembangan Wilayah untuk mewujudkan Struktur
Ruang dan Pola Ruang Wilayah Kabupaten sesuai
dengan RTRW Kabupaten.

(2) Arahan Pemanfaatan Ruang Wilayah Kabupaten


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
melalui:
a. ketentuan KKPR;
b. Indikasi Program Utama Jangka Menengah 5
(lima) tahunan; dan
31

c. pelaksanaan SPPR.

Bagian Kedua
Ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang

Paragraf 1
Umum

Pasal 37

Ketentuan KKPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36


ayat (2) huruf a, terdiri atas:
a. KKPR untuk kegiatan berusaha;
b. KKPR untuk kegiatan nonberusaha; dan
c. KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional.

Paragraf 2
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Untuk Kegiatan
Berusaha

Pasal 38

(1) KKPR untuk kegiatan berusaha sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 37 huruf a, meliputi:
a. KKKPR kegiatan berusaha; dan
b. PKKPR kegiatan berusaha.

(2) KKKPR kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf a, diberikan berdasarkan
kesesuaian rencana lokasi kegiatan Pemanfaatan
Ruang dengan RDTR yang telah terintegrasi dengan
Sistem OSS.

(3) PKKPR kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf b, diberikan dalam hal di rencana
lokasi kegiatan Pemanfaatan Ruang belum tersedia
RDTR atau RDTR yang tersedia belum terintegrasi
dengan Sistem OSS.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai KKPR untuk


kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Paragraf 3
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Untuk Kegiatan
Nonberusaha

Pasal 39

(1) KKPR untuk kegiatan nonberusaha sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 37 huruf b, meliputi:
a. kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk rumah tinggal
pribadi, tempat peribadatan, yayasan sosial,
yayasan keagamaan, yayasan pendidikan, atau
yayasan kemanusiaan;
32

b. kegiatan Pemanfaatan Ruang yang tidak bersifat


strategis nasional yang dibiayai oleh Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD);
dan
c. kegiatan Pemanfaatan Ruang yang merupakan
pelaksanaan tanggung jawab sosial dan
lingkungan yang dibiayai dari perseroan terbatas
atau Corporate Social Responsibility (CSR).

(2) KKPR untuk kegiatan nonberusaha sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. KKKPR kegiatan nonberusaha; dan
b. PKKPR kegiatan nonberusaha.

(3) KKKPR kegiatan nonberusaha sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) huruf a, diberikan
berdasarkan kesesuaian rencana lokasi kegiatan
Pemanfaatan Ruang dengan RDTR yang telah
terintegrasi dengan Sistem OSS.

(4) PKKPR kegiatan nonberusaha sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) huruf b, diberikan dalam hal
di rencana lokasi kegiatan Pemanfaatan Ruang belum
tersedia RDTR atau RDTR yang tersedia belum
terintegrasi dengan Sistem OSS.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai KKPR untuk


kegiatan nonberusaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Paragraf 4
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk Kegiatan
yang Bersifat Strategis Nasional

Pasal 40

(1) KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf c,
meliputi:
a. rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang bersifat
strategis nasional yang termuat dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), RTR
Pulau/Kepulauan, RTR Kawasan Strategis
Nasional (KSN), Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi (RTRWP), RTRW Kabupaten, RDTR
Kawasan Perbatasan Negara (KPN), dan/atau
RDTR; dan
33

b. rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang bersifat


strategis nasional yang belum termuat dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN),
RTR Pulau/Kepulauan, RTR Kawasan Strategis
Nasional (KSN), Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi (RTRWP), RTRW Kabupaten/Kota, RDTR
Kawasan Perbatasan Negara (KPN), dan/atau
RDTR.

(2) Ketentuan pelaksanaan KKPR untuk rencana


kegiatan Pemanfaatan Ruang bersifat strategis
nasional yang termuat dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (RTRWN), RTR Pulau/Kepulauan,
RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN), Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), RTRW Kabupaten,
RDTR Kawasan Perbatasan Negara (KPN), dan/atau
RDTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
berlaku mutatis mutandis dengan ketentuan
pelaksanaan KKPR untuk kegiatan nonberusaha.

(3) Ketentuan pelaksanaan KKPR untuk rencana


kegiatan Pemanfaatan Ruang bersifat strategis
nasional yang belum termuat dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), RTR
Pulau/Kepulauan, RTR Kawasan Strategis Nasional
(KSN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
(RTRWP), RTRW Kabupaten, RDTR Kawasan
Perbatasan Negara (KPN), dan/atau RDTR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
dilaksanakan melalui RKKPR.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai KKPR untuk


kegiatan yang bersifat strategis nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Bagian Ketiga
Indikasi Program Utama Jangka Menengah 5 (lima)
Tahunan

Paragraf 1
Umum

Pasal 41

(1) Indikasi Program Utama Jangka Menengah 5 (lima)


tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
ayat (2) huruf b, meliputi:
a. Indikasi Program Utama Jangka Menengah 5
(lima) tahunan tahap kesatu; dan
b. Indikasi Program Utama Jangka Menengah 5
(lima) tahunan tahap kedua sampai dengan tahap
keempat.
34

(2) Indikasi Program Utama Jangka Menengah 5 (lima)


tahunan tahap kesatu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, terdiri atas:
a. program;
b. lokasi;
c. sumber pendanaan;
d. instansi pelaksana; dan
e. waktu pelaksanaan.

(3) Indikasi Program Utama Jangka Menengah 5 (lima)


tahunan tahap kesatu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), sebagaimana tercantum dalam Lampiran XII
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.

Pasal 42

Indikasi Program Utama Jangka Menengah 5 (lima)


tahunan tahap kedua sampai dengan tahap keempat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf b,
meliputi:
a. perwujudan rencana Struktur Ruang Wilayah
Kabupaten;
b. perwujudan rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten;
dan
c. perwujudan Kawasan Strategis Kabupaten.

Paragraf 2
Perwujudan Rencana Struktur Ruang Wilayah Kabupaten

Pasal 43

Perwujudan rencana Struktur Ruang wilayah Kabupaten


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf a, meliputi:
a. perwujudan sistem pusat permukiman; dan
b. perwujudan sistem jaringan prasarana.

Pasal 44

(1) Perwujudan sistem pusat permukiman sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 43 huruf a, meliputi:
a. perwujudan PKW; dan
b. perwujudan pusat-pusat lain.

(2) Perwujudan sistem jaringan prasarana sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 43 huruf b, meliputi:
a. perwujudan sistem jaringan transportasi;
b. perwujudan sistem jaringan energi;
c. perwujudan sistem jaringan telekomunikasi;
d. perwujudan sistem jaringan Sumber Daya Air;
dan
e. perwujudan sistem jaringan prasarana lainnya.
35

Pasal 45

(1) Perwujudan PKW sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 44 ayat (1) huruf a, meliputi:
a. peningkatan dan pengembangan prasarana,
sarana, dan utilitas skala lintas kabupaten untuk
menunjang fungsi kegiatan wilayah; dan
b. penyusunan RDTR.

(2) Perwujudan pusat-pusat lain sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 44 ayat (1) huruf b, meliputi:
a. perwujudan PPK; dan
b. perwujudan PPL.

(3) Perwujudan PPK sebagaimana dimaksud pada ayat


(2) huruf a, meliputi:
a. peningkatan dan pengembangan prasarana,
sarana, dan utilitas wilayah skala lintas
kecamatan untuk menunjang fungsi pelayanan
kawasan; dan
b. penyusunan RDTR.

(4) Perwujudan PPL sebagaimana dimaksud pada ayat


(2) huruf b, meliputi:
a. peningkatan dan pengembangan prasarana,
sarana, dan utilitas wilayah skala lintas desa
untuk menunjang fungsi pelayanan lingkungan;
b. penyusunan RDTR; dan
c. pengembangan kawasan terpilih pusat
pengembangan desa.

Pasal 46

(1) Perwujudan sistem jaringan transportasi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf
a, meliputi:
a. perwujudan sistem jaringan Jalan; dan
b. perwujudan sistem jaringan kereta api.

(2) Perwujudan sistem jaringan Jalan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. penyusunan rencana, kebijakan, strategi dan
perencanaan teknis penyelenggaraan Jalan dan
jembatan;
b. pembangunan dan pemeliharaan Jalan Arteri
primer;
c. pembangunan dan pemeliharaan Jalan Arteri
sekunder;
d. pembangunan dan pemeliharaan Jalan Kolektor
primer;
e. pembangunan dan pemeliharaan Jalan Lokal
primer;
f. pembangunan dan pemeliharaan Jalan Lokal
sekunder;
g. pembangunan dan pemeliharaan Jalan
Lingkungan primer;
36

h. pembangunan Jalan Tol Demak-Tuban;


i. pembangunan dan pemeliharaan bangunan
pelengkap Jalan;
j. penataan kawasan sekitar jaringan Jalan;
k. pembangunan dan pemeliharaan marka, rambu,
dan fasilitas pendukung;
l. penataan dan pengembangan Terminal
penumpang tipe A;
m. penataan dan pengembangan Terminal
penumpang tipe C; dan
n. peningkatan manajemen pengelolaan angkutan.

(3) Perwujudan sistem jaringan kereta api sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. reaktivasi Jaringan Jalur Kereta Api Semarang-
Demak-Kudus-Pati-Rembang;
b. reaktivasi Jaringan Jalur Kereta Api Kudus-
Bakalan;
c. pengembangan Jaringan Jalur Kereta Api Kudus-
Tuban;
d. pembangunan Stasiun Kereta Api;
e. pengembangan persimpangan tidak sebidang
sistem jaringan kereta api;
f. penataan kawasan sekitar jaringan kereta api;
dan
g. pengendalian bangunan sekitar Jaringan Jalur
Kereta Api.

Pasal 47

(1) Perwujudan sistem jaringan energi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf b, meliputi:
a. perwujudan jaringan infrastruktur minyak dan
gas bumi; dan
b. perwujudan jaringan infrastruktur
ketenagalistrikan.

(2) Perwujudan jaringan infrastruktur minyak dan gas


bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
meliputi:
a. pengembangan jaringan yang menyalurkan
minyak dan gas bumi dari fasilitas produksi ke
tempat penyimpanan; dan
b. penataan kawasan sekitar jaringan yang
menyalurkan minyak dan gas bumi dari fasilitas
produksi ke tempat penyimpanan.

(3) Perwujudan jaringan infrastruktur ketenagalistrikan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi:
a. pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air dan
sarana pendukung;
b. pengembangan jaringan Saluran Udara Tegangan
Ekstra Tinggi (SUTET);
c. pengembangan jaringan Saluran Udara Tegangan
Tinggi (SUTT);
37

d. pengembangan jaringan Saluran Udara Tegangan


Rendah (SUTR); dan
e. pengembangan gardu listrik.

Pasal 48

Perwujudan sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf c, meliputi:
a. pengembangan jaringan tetap;
b. pengembangan jaringan bergerak seluler; dan
c. penataan dan pengendalian jaringan bergerak
seluler.

Pasal 49

Perwujudan sistem jaringan Sumber Daya Air


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf d,
meliputi:
a. penyusunan rencana, kebijakan, strategi dan
perencanaan teknis sistem Jaringan Irigasi;
b. pembangunan, pemeliharaan dan pengembangan
Jaringan Irigasi primer;
c. pembangunan, pemeliharaan dan pengembangan
Jaringan Irigasi sekunder;
d. pembangunan, pemeliharaan dan pengembangan
Jaringan Irigasi tersier;
e. pembangunan, pemeliharaan dan pengembangan
jaringan;
f. penyusunan rencana, kebijakan, strategi dan
perencanaan teknis pengembangan sistem
pengendalian banjir;
g. pembangunan, pemeliharaan dan pengembangan
sistem pengendalian banjir;
h. penyusunan rencana, kebijakan, strategi dan
perencanaan teknis pengembangan bangunan
Sumber Daya Air; dan
i. pembangunan, pemeliharaan dan pengembangan
bangunan Sumber Daya Air.

Pasal 50

(1) Perwujudan sistem jaringan prasarana lainnya


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2)
huruf e, meliputi:
a. perwujudan Sistem Penyediaan Air Minum
(SPAM);
b. perwujudan Sistem Pengelolaan Air Limbah
(SPAL);
c. perwujudan sistem pengelolaan limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3);
d. perwujudan sistem jaringan persampahan; dan
e. perwujudan sistem jaringan evakuasi bencana.
38

(2) Perwujudan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM)


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
meliputi:
a. penyusunan rencana, kebijakan, strategi dan
perencanaan teknis pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum (SPAM);
b. pembangunan, pemeliharaan dan pengembangan
unit air baku;
c. pembangunan, pemeliharaan dan pengembangan
unit produksi;
d. pembangunan, pemeliharaan dan pengembangan
unit distribusi;
e. pembangunan, pemeliharaan dan pengembangan
unit pelayanan; dan
f. pembangunan, pemeliharaan dan pengembangan
bangunan penangkap mata air.

(3) Perwujudan Sistem Penyediaan Air Limbah (SPAL)


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi:
a. penyusunan rencana, kebijakan, strategi dan
perencanaan teknis pengembangan Sistem
Penyediaan Air Limbah (SPAL);
b. pembangunan, pemeliharaan dan pengembangan
sistem pembuangan air limbah non domestik;
dan
c. pembangunan, pemeliharaan dan pengembangan
sistem pembuangan air limbah domestik.

(4) Perwujudan sistem pengelolaan limbah Bahan


Berbahaya dan Beracun (B3) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, meliputi:
a. penyusunan rencana, kebijakan, strategi dan
perencanaan teknis pengembangan sistem
pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3);
b. pembangunan, pemeliharaan dan pengembangan
sistem pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3); dan
c. penataan kawasan sekitar lokasi pengelolaan
limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).

(5) Perwujudan sistem jaringan persampahan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
meliputi:
a. penyusunan rencana, kebijakan, strategi dan
perencanaan teknis pengembangan sistem
jaringan persampahan;
b. pembangunan, pemeliharaan dan pengembangan
Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce,
Recycle (TPS3R);
c. pembangunan, pemeliharaan dan pengembangan
Tempat Penampungan Sampah Sementara (TPS);
d. pembangunan, pemeliharaan dan pengembangan
Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST);
39

e. pembangunan, pemeliharaan dan pengembangan


Tempat Pemrosesan Akhir (TPA);
f. pengembangan prasarana dan sarana jaringan
persampahan;
g. penataan kawasan sekitar jaringan
persampahan; dan
h. peningkatan kerjasama pengelolaan
persampahan.

(6) Perwujudan sistem jaringan evakuasi bencana


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e,
meliputi:
a. penyusunan rencana, kebijakan, strategi dan
perencanaan teknis pengembangan sistem
jaringan evakuasi bencana dan mitigasi bencana;
b. pembangunan, pemeliharaan dan pengembangan
jalur evakuasi bencana;
c. pembangunan, pemeliharaan dan pengembangan
tempat evakuasi bencana; dan
d. pengelolaan kawasan rawan bencana.

Paragraf 3
Perwujudan Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten

Pasal 51

Perwujudan rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf b, meliputi:
a. perwujudan Kawasan Lindung; dan
b. perwujudan Kawasan Budi Daya.

Pasal 52

(1) Perwujudan Kawasan Lindung sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, meliputi:
a. perwujudan badan air;
b. perwujudan kawasan yang memberikan
perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
dan
c. perwujudan kawasan perlindungan setempat.

(2) Perwujudan badan air sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) huruf a, meliputi:
a. pemeliharaan bendungan dan sungai;
b. pembangunan, pemeliharaan dan pengelolaan
tanggul bendungan dan sungai;
c. pemanfaatan badan air untuk air baku,
perikanan dan pariwisata; dan
d. pengendalian kegiatan budi daya pada badan air
agar tidak mengganggu fungsi lindung.
40

(3) Perwujudan kawasan yang memberikan


perlindungan terhadap kawasan bawahannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi:
a. pelestarian Hutan Lindung, keanekaragaman
hayati dan ekosistemnya;
b. rehabilitasi dan revitalisasi kawasan Hutan
Lindung;
c. pengembangan Hutan Lindung untuk agrobisnis
dan pariwisata;
d. pembinaan kepada masyarakat dalam upaya
pelestarian kawasan Hutan Lindung; dan
e. pengendalian kegiatan budi daya di kawasan
Hutan Lindung dan sekitarnya agar tidak
mengganggu fungsi lindung.

(4) Perwujudan kawasan perlindungan setempat


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
meliputi:
a. pengelolaan sempadan Bendungan Logung dan
sempadan sungai;
b. penataan kawasan sekitar sempadan Bendungan
Logung dan sempadan sungai; dan
c. pengendalian kegiatan budi daya di sekitar
sempadan Bendungan Logung dan sempadan
sungai agar tidak mengganggu fungsi lindung.

Pasal 53

(1) Perwujudan Kawasan Budi Daya sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 51 huruf b, meliputi:
a. perwujudan kawasan Hutan Produksi;
b. perwujudan kawasan pertanian;
c. perwujudan kawasan pertambangan dan energi;
d. perwujudan Kawasan Peruntukan Industri;
e. perwujudan Kawasan Permukiman; dan
f. perwujudan kawasan pertahanan dan keamanan.

(2) Perwujudan kawasan Hutan Produksi sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. pengelolaan dan pemanfaatan Hutan Produksi;
b. rehabilitasi dan revitalisasi Hutan Produksi;
c. pengembangan kawasan Hutan Produksi untuk
pariwisata; dan
d. pembinaan kepada masyarakat dalam upaya
pelestarian kawasan Hutan Produksi.

(3) Perwujudan kawasan pertanian sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. pengelolaan KP2B;
b. pengembangan prasarana dan sarana pertanian;
c. penerapan teknologi pertanian ramah lingkungan
untuk meningkatkan produktivitas pertanian;
d. pengembangan intensifikasi dan diversifikasi
pertanian;
41

e. pengembangan pertanian terpadu, agrobisnis dan


agrowisata;
f. peningkatan penyuluhan pertanian,
kelembagaan dan korporasi petani;
g. pengembangan ternak ruminansia potong;
h. pengelolaan perikanan dan pengolahan hasil
perikanan budi daya; dan
i. penataan dan pengendalian kegiatan peternakan
dan perikanan pada kawasan pertanian.

(4) Perwujudan kawasan pertambangan dan energi


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
meliputi:
a. pengelolaan kawasan pertambangan batuan yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan;
b. pembinaan, pengendalian dan pengawasan
kegiatan pertambangan batuan; dan
c. rehabilitasi dan reklamasi lingkungan pasca
kegiatan pertambangan batuan.

(5) Perwujudan Kawasan Peruntukan Industri


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
meliputi:
a. pengelolaan Kawasan Peruntukan Industri yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan;
b. pengembangan prasarana dan sarana pendukung
Kawasan Peruntukan Industri;
c. pemberdayaan industri kecil dan menengah; dan
d. pengawasan kegiatan industri untuk mencegah
pencemaran lingkungan.

(6) Perwujudan Kawasan Permukiman sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf e, meliputi:
a. penataan dan pengembangan Kawasan
Permukiman Perkotaan dan Perdesaan;
b. peningkatan dan pengembangan prasarana,
sarana, dan utilitas permukiman;
c. rehabilitasi dan pembangunan permukiman
korban bencana;
d. relokasi permukiman yang berada pada kawasan
rawan bencana; dan
e. pengembangan RTH pada Kawasan Permukiman
Perkotaan dengan luas paling sedikit 30 % (tiga
puluh persen) dari luas Kawasan Permukiman
Perkotaan, meliputi 20 % (dua puluh persen) RTH
publik dan 10 % (sepuluh persen) RTH privat.

(7) Perwujudan kawasan pertahanan dan keamanan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f,
meliputi:
a. pengelolaan dan penataan kawasan pertahanan
dan keamanan;
b. pengembangan prasarana dan sarana kawasan
pertahanan dan keamanan; dan
c. Pengendalian Pemanfaatan Ruang di sekitar
kawasan pertahanan dan keamanan.
42

Paragraf 4
Perwujudan Kawasan Strategis Kabupaten

Pasal 54

Perwujudan Kawasan Strategis Kabupaten sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 42 huruf c, meliputi:
a. perwujudan kawasan strategis pertumbuhan
ekonomi;
b. perwujudan kawasan strategis sosial budaya; dan
c. perwujudan kawasan strategis fungsi dan daya
dukung lingkungan hidup.

Pasal 55

(1) Perwujudan kawasan strategis pertumbuhan


ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54
huruf a, meliputi:
a. penataan dan pengembangan kawasan strategis
pertumbuhan ekonomi di Kawasan Perkotaan
Kota Kudus, Kawasan Perkotaan Jekulo dan
Kawasan Perkotaan Mejobo;
b. pengelolaan Kawasan Peruntukan Industri yang
berwawasan lingkungan; dan

c. pengembangan prasarana, sarana, dan utilitas


kawasan strategis pertumbuhan ekonomi.

(2) Perwujudan kawasan strategis sosial budaya


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf b,
meliputi:
a. pengelolaan dan pelestarian situs Masjid Menara
dan Makam Sunan Kudus;
b. pengelolaan dan pelestarian situs Makam Sunan
Muria; dan
c. pengelolaan, pelestarian, dan pengembangan
kawasan Patiayam.

(3) Perwujudan kawasan strategis fungsi dan daya


dukung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 huruf c, meliputi:
a. pelestarian, rehabilitasi, dan revitalisasi kawasan
strategis fungsi dan daya dukung lingkungan
hidup;
b. pengembangan kawasan strategis fungsi dan
daya dukung lingkungan hidup untuk agrobisnis
dan pariwisata; dan
c. Pengendalian Pemanfaatan Ruang di kawasan
strategis fungsi dan daya dukung lingkungan
hidup.
43

Bagian Keempat
Pelaksanaan Sinkronisasi Program Pemanfaatan Ruang

Pasal 56

(1) Pelaksanaan SPPR sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 36 ayat (2) huruf c, dilakukan dengan
menyelaraskan indikasi program utama dengan
program sektoral dan kewilayahan dalam dokumen
rencana pembangunan secara terpadu.

(2) Pelaksanaan SPPR sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), menghasilkan dokumen:
a. SPPR Jangka Menengah 5 (lima) Tahunan; dan
b. SPPR Jangka Pendek 1 (satu) Tahunan.

(3) SPPR Jangka Menengah 5 (lima) Tahunan


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a,
disusun untuk mewujudkan keterpaduan program
Pemanfaatan Ruang, yang digunakan sebagai:
a. masukan untuk penyusunan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD);
b. masukan untuk pelaksanaan peninjauan kembali
dalam rangka revisi RTRW Kabupaten; dan
c. bahan penyusunan SPPR Jangka Pendek 1 (satu)
Tahunan.

(4) SPPR Jangka Pendek 1 (satu) Tahunan sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) huruf b, disusun untuk
menentukan prioritas program Pemanfaatan Ruang,
yang digunakan sebagai:
a. masukan untuk penyusunan Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD); dan
b. masukan untuk pelaksanaan peninjauan kembali
dalam rangka revisi RTRW Kabupaten.

(5) Pelaksanaan SPPR sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB VII

KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG


WILAYAH KABUPATEN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 57

(1) Ketentuan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Wilayah Kabupaten merupakan acuan dalam
pelaksanaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Wilayah Kabupaten.
44

(2) Ketentuan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Wilayah Kabupaten sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), meliputi:
a. Ketentuan Umum Zonasi;
b. penilaian pelaksanaan Pemanfaatan Ruang;
c. Ketentuan Insentif dan Disinsentif; dan
d. Arahan Sanksi.

Bagian Kedua
Ketentuan Umum Zonasi

Paragraf 1
Umum

Pasal 58

(1) Ketentuan Umum Zonasi sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 57 ayat (2) huruf a, merupakan
penjabaran secara umum ketentuan-ketentuan yang
mengatur tentang persyaratan Pemanfaatan Ruang
dan ketentuan pengendaliannya yang mencakup
Wilayah Kabupaten.

(2) Ketentuan Umum Zonasi sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) berfungsi sebagai:
a. dasar pertimbangan dalam pengawasan
Pemanfaatan Ruang;
b. dasar pemberian kesesuaian kegiatan
Pemanfaatan Ruang; dan
c. landasan penyusunan peraturan zonasi pada
tingkatan operasional Pengendalian Pemanfaatan
Ruang di setiap kawasan/zona.

(3) Ketentuan Umum Zonasi sebagaimana dimaksud


pada ayat (1), meliputi:
a. Ketentuan Umum Zonasi rencana Struktur
Ruang;
b. Ketentuan Umum Zonasi rencana Pola Ruang;
dan
c. Ketentuan Khusus.

Paragraf 2
Ketentuan Umum Zonasi Rencana Struktur Ruang

Pasal 59

(1) Ketentuan Umum Zonasi rencana Struktur Ruang


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3)
huruf a, meliputi:
a. Ketentuan Umum Zonasi sistem pusat
permukiman; dan
b. Ketentuan Umum Zonasi sistem jaringan
prasarana.
45

(2) Ketentuan Umum Zonasi sistem pusat permukiman


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
meliputi:
a. Ketentuan Umum Zonasi PKW; dan
b. Ketentuan Umum Zonasi pusat-pusat lain.

(3) Ketentuan Umum Zonasi pusat-pusat lain


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,
meliputi:
a. Ketentuan Umum Zonasi PPK; dan
b. Ketentuan Umum Zonasi PPL.

(4) Ketentuan Umum Zonasi sistem jaringan prasarana


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi:
a. Ketentuan Umum Zonasi sistem jaringan
transportasi;
b. Ketentuan Umum Zonasi sistem jaringan energi;
c. Ketentuan Umum Zonasi sistem jaringan
telekomunikasi;
d. Ketentuan Umum Zonasi sistem jaringan Sumber
Daya Air; dan
e. Ketentuan Umum Zonasi sistem jaringan
prasarana lainnya.

Pasal 60

(1) Ketentuan Umum Zonasi PKW sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf a, diatur
sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan Pemanfaatan
Ruang dan jaringan prasarana berskala lintas
kabupaten untuk mendukung fungsi dan peran
PKW.
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. industri, dengan syarat industri kecil
dan/atau industri yang telah ada dan berizin
pada saat Peraturan ini berlaku, mendapat
persetujuan dari lingkungan sekitar dan
Pemerintah Kelurahan/Desa setempat;
2. peternakan, dengan syarat skala mikro,
berada di permukiman kepadatan rendah,
mendapat persetujuan dari lingkungan
sekitar, Pemerintah Kelurahan/Desa
setempat dan instansi yang berwenang; dan
3. perikanan, dengan syarat perikanan
budidaya dan pengolahan skala mikro
dan/atau skala kecil, mendapat persetujuan
dari lingkungan sekitar, Pemerintah
Kelurahan/Desa setempat dan instansi yang
berwenang.
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang dapat
merusak lingkungan permukiman.
46

(2) Ketentuan Umum Zonasi PPK sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) huruf a, diatur
sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan Pemanfaatan
Ruang dan jaringan prasarana berskala
kecamatan untuk mendukung fungsi dan peran
PPK.
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. industri, dengan syarat industri kecil
dan/atau industri yang telah ada dan berizin
pada saat Peraturan ini berlaku, mendapat
persetujuan dari lingkungan sekitar dan
Pemerintah Kelurahan/Desa setempat;
2. peternakan, dengan syarat skala mikro,
berada di permukiman kepadatan rendah,
mendapat persetujuan dari lingkungan
sekitar, Pemerintah Kelurahan/Desa
setempat dan instansi yang berwenang; dan
3. perikanan, dengan syarat perikanan
budidaya dan pengolahan skala mikro
dan/atau skala kecil, mendapat persetujuan
dari lingkungan sekitar, Pemerintah
Kelurahan/Desa setempat dan instansi yang
berwenang.
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang dapat
merusak lingkungan permukiman.

(3) Ketentuan Umum Zonasi PPL sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 59 ayat (3) huruf b, diatur sebagai
berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan Pemanfaatan
Ruang dan jaringan prasarana berskala
antardesa untuk mendukung fungsi dan peran
PPL.
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. industri, dengan syarat industri kecil
dan/atau industri yang telah ada dan berizin
pada saat Peraturan ini berlaku, mendapat
persetujuan dari lingkungan sekitar dan
Pemerintah Kelurahan/Desa setempat;
2. peternakan, dengan syarat skala mikro,
berada di permukiman kepadatan rendah,
mendapat persetujuan dari lingkungan
sekitar, Pemerintah Kelurahan/Desa
setempat dan instansi yang berwenang; dan
3. perikanan, dengan syarat perikanan
budidaya dan pengolahan skala mikro
dan/atau skala kecil, mendapat persetujuan
dari lingkungan sekitar, Pemerintah
Kelurahan/Desa setempat dan instansi yang
berwenang.
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang dapat
merusak lingkungan permukiman.
47

Pasal 61

(1) Ketentuan Umum Zonasi sistem jaringan transportasi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4)
huruf a, meliputi:
a. Ketentuan Umum Zonasi sistem jaringan Jalan;
dan
b. Ketentuan Umum Zonasi sistem jaringan kereta
api.

(2) Ketentuan Umum Zonasi sistem sistem jaringan


Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
meliputi:
a. Ketentuan Umum Zonasi Jalan Umum;
b. Ketentuan Umum Zonasi Jalan Tol; dan
c. Ketentuan Umum Zonasi Terminal penumpang.

(3) Ketentuan Umum Zonasi sistem sistem jaringan


kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, meliputi:
a. Ketentuan Umum Zonasi Jaringan Jalur Kereta
Api; dan
b. Ketentuan Umum Zonasi Stasiun Kereta Api.

Pasal 62

(1) Ketentuan Umum Zonasi Jalan Umum sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) huruf a, diatur
sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan pembangunan
dan/atau pemeliharaan Jalan, jembatan dan
bangunan pelengkap sesuai dengan kondisi dan
kelas Jalan.
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. reklame dan RTH, dengan syarat tidak
mengganggu dan/atau tidak merusak
jaringan Jalan dan mendapat persetujuan
dari instansi yang berwenang;
2. jaringan prasarana, dengan syarat tidak
mengganggu dan/atau tidak merusak
jaringan Jalan dan mendapat persetujuan
dari instansi yang berwenang; dan
3. Pemanfaatan Ruang di sepanjang sisi Jalan
sesuai peruntukan dan garis sempadan.
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang dapat
mengganggu dan/atau merusak sistem jaringan
Jalan.

(2) Ketentuan Umum Zonasi Jalan Tol sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) huruf b, diatur
sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan pembangunan
dan/atau pemeliharaan Jalan, jembatan dan
bangunan pelengkap Jalan Tol;
48

b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan


Pemanfaatan Ruang manfaat Jalan dan ruang
milik Jalan untuk bangunan, jaringan utilitas,
reklame, media informasi, dan RTH dengan
syarat mendapat persetujuan dari penyelenggara
Jalan sesuai kewenangannya; dan
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang dapat
mengganggu dan/atau merusak Jalan Tol.

(3) Ketentuan Umum Zonasi Terminal penumpang


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2)
huruf c, diatur sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan pembangunan
dan/atau pemeliharaan Terminal penumpang
dan sarana prasarana penunjang.
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. reklame, RTH, perdagangan dan jasa, dengan
syarat tidak menganggu kegiatan pelayanan
Terminal penumpang, melakukan penataan,
dan mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang; dan
2. jaringan prasarana, dengan syarat tidak
mengganggu kegiatan pelayanan Terminal
penumpang dan mendapat persetujuan dari
instansi yang berwenang.
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang dapat
mengganggu dan/atau merusak Terminal
penumpang.

Pasal 63

(1) Ketentuan Umum Zonasi Jaringan Jalur Kereta Api


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (3)
huruf a, diatur sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan pembangunan,
pengembangan dan/atau pemeliharaan sarana
prasarana Jaringan Jalur Kereta Api.
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. RTH dan jaringan prasarana, dengan syarat
tidak mengganggu dan/atau tidak merusak
Jaringan Jalur Kereta Api,
mempertimbangkan faktor keamanan,
kenyamanan, estetika, dan mendapat
persetujuan dari instansi yang berwenang;
dan
2. Pemanfaatan Ruang di sepanjang sisi jalur
kereta api sesuai peruntukan kawasan
dengan syarat intensitas rendah sampai
dengan sedang, mematuhi ketentuan garis
sempadan, memperhatikan ketentuan
keselamatan perkeretaapian, dan rencana
pengembangan perkeretaapian.
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang dapat
mengganggu dan/atau merusak sistem Jaringan
Jalur Kereta Api.
49

(2) Ketentuan Umum Zonasi Stasiun Kereta Api


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (3)
huruf b, diatur sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan pembangunan
dan/atau pemeliharaan Stasiun Kereta Api dan
sarana prasarana penunjang.
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. reklame, RTH, perdagangan dan jasa, dengan
syarat tidak menganggu kegiatan pelayanan
Stasiun Kereta Api, melakukan penataan dan
mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang; dan
2. jaringan prasarana, dengan syarat tidak
mengganggu kegiatan pelayanan Stasiun
Kereta Api dan mendapat persetujuan dari
instansi yang berwenang.
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang dapat
mengganggu dan/atau merusak Stasiun Kereta
Api.

Pasal 64

(1) Ketentuan Umum Zonasi sistem jaringan energi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4)
huruf b, meliputi:
a. Ketentuan Umum Zonasi jaringan infrastruktur
minyak dan gas bumi; dan
b. Ketentuan Umum Zonasi jaringan infrastruktur
ketenagalistrikan.

(2) Ketentuan Umum Zonasi jaringan infrastruktur


minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, diatur sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan pembangunan,
pengembangan dan/atau pemeliharaan
infrastruktur minyak dan gas bumi;
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan
jaringan prasarana, dengan syarat tidak
mengganggu dan/atau tidak merusak jaringan
infrastruktur minyak dan gas bumi, serta
mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang; dan
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan
Pemanfaatan Ruang yang dapat mengganggu
dan/atau merusak jaringan infrastruktur minyak
dan gas bumi.

(3) Ketentuan Umum Zonasi jaringan infrastruktur


ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, diatur sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan pembangunan,
pengembangan dan/atau pemeliharaan jaringan
infrastruktur ketenagalistrikan;
50

b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan


Pemanfaatan Ruang di bawah jaringan kabel
transmisi dan distribusi, dengan syarat
memenuhi ketentuan teknis sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan mendapat
persetujuan dari instansi yang berwenang; dan
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang dapat
mengganggu dan/atau merusak jaringan
infrastruktur ketenagalistrikan.

Pasal 65

Ketentuan Umum Zonasi sistem jaringan telekomunikasi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4) huruf c,
diatur sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan pembangunan,
pengembangan dan/atau pemeliharaan jaringan
telekomunikasi;
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan jaringan
prasarana, dengan syarat tidak mengganggu
dan/atau tidak merusak jaringan telekomunikasi dan
mendapat persetujuan dari instansi yang berwenang;
dan
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang dapat
mengganggu dan/atau merusak sistem jaringan
telekomunikasi.

Pasal 66

(1) Ketentuan Umum Zonasi jaringan Sumber Daya Air


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4)
huruf d, meliputi:
a. Ketentuan Umum Zonasi sistem Jaringan Irigasi;
b. Ketentuan Umum Zonasi sistem pengendalian
banjir; dan
c. Ketentuan Umum Zonasi bangunan Sumber
Daya Air.

(2) Ketentuan Umum Zonasi sistem Jaringan Irigasi


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diatur
sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan pembangunan
dan/atau pemeliharaan Jaringan Irigasi;
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. RTH, dengan syarat tidak merusak sistem
Jaringan Irigasi, dan mendapat persetujuan
dari instansi yang berwenang;
2. pariwisata, dengan syarat tidak merusak
sistem Jaringan Irigasi, membuat kajian,
melakukan penataan dan bina lingkungan,
mendapat persetujuan dari Pemerintah
Kelurahan/Desa setempat dan instansi yang
berwenang; dan
51

3. jaringan prasarana, dengan syarat tidak


merusak sistem Jaringan Irigasi dan
mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang.
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang dapat
merusak sistem Jaringan Irigasi.

(3) Ketentuan Umum Zonasi sistem pengendalian banjir


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diatur
sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan pembangunan
dan/atau pemeliharaan jaringan dan bangunan
pengendalian banjir.
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. RTH, dengan syarat tidak merusak sistem
pengendalian banjir, dan mendapat
persetujuan dari instansi yang berwenang;
2. pariwisata, dengan syarat tidak merusak
sistem pengendalian banjir, membuat kajian,
melakukan penataan dan bina lingkungan
dan mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang; dan
3. jaringan prasarana, dengan syarat tidak
merusak sistem pengendalian banjir, dan
mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang.
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang dapat
mengganggu dan/atau merusak sistem
pengendalian banjir.

(4) Ketentuan Umum Zonasi bangunan Sumber Daya Air


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, diatur
sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan pembangunan
dan/atau pemeliharaan bangunan Sumber Daya
Air.
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. pemanfaatan air baku, dengan syarat tidak
merusak bangunan Sumber Daya Air,
membuat kajian dan mendapat persetujuan
dari instansi yang berwenang;
2. pariwisata, dengan syarat tidak merusak
bangunan Sumber Daya Air, membuat
kajian, melakukan penataan dan bina
lingkungan, mendapat persetujuan dari
Pemerintah Kelurahan/Desa setempat dan
instansi yang berwenang;
3. RTH, dengan syarat tidak merusak bangunan
Sumber Daya Air dan mendapat persetujuan
dari instansi yang berwenang; dan
4. jaringan prasarana, dengan syarat tidak
merusak bangunan Sumber Daya Air dan
mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang.
52

c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang dapat


merusak bangunan Sumber Daya Air.

Pasal 67

(1) Ketentuan Umum Zonasi sistem jaringan prasarana


lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat
(4) huruf e, meliputi:
a. Ketentuan Umum Zonasi Sistem Penyediaan Air
Minum (SPAM);
b. Ketentuan Umum Zonasi Sistem Pengelolaan Air
Limbah (SPAL);
c. Ketentuan Umum Zonasi sistem pengelolaan
limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3);
d. Ketentuan Umum Zonasi sistem jaringan
persampahan; dan
e. Ketentuan Umum Zonasi sistem jaringan
evakuasi bencana.

(2) Ketentuan Umum Zonasi Sistem Penyediaan Air


Minum (SPAM) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, diatur sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan pembangunan
dan/atau pemeliharaan Sistem Penyediaan Air
Minum (SPAM);
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan
jaringan prasarana, dengan syarat tidak merusak
Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) dan
mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang; dan
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang
dapat merusak Sistem Penyediaan Air Minum
(SPAM).

(3) Ketentuan Umum Zonasi Sistem Pengelolaan Air


Limbah (SPAL) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, diatur sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan pembangunan
dan/atau pemeliharaan Sistem Pengelolaan Air
Limbah (SPAL).
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. RTH, dengan syarat tidak merusak sistem
pengelolaan air limbah dan mendapat
persetujuan dari instansi yang berwenang;
dan
2. jaringan prasarana, dengan syarat tidak
merusak sistem pengelolaan air limbah dan
mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang.
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang
dapat merusak Sistem Pengelolaan Air Limbah
(SPAL).
53

(4) Ketentuan Umum Zonasi sistem pengelolaan limbah


Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, diatur sebagai
berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan pembangunan
dan/atau pemeliharaan sistem pengelolaan
limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. RTH, dengan syarat tidak merusak sistem
pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3) dan mendapat persetujuan dari
instansi yang berwenang; dan
2. jaringan prasarana, dengan syarat tidak
merusak sistem pengelolaan limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3) dan mendapat
persetujuan dari instansi yang berwenang.
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang dapat
merusak sistem pengelolaan limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3).

(5) Ketentuan Umum Zonasi sistem jaringan


persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d, diatur sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan pembangunan
dan/atau pemeliharaan fasilitas pendukung
jaringan persampahan.
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3), dengan syarat tidak merusak
jaringan persampahan, dan mendapat
persetujuan dari instansi yang berwenang;
2. RTH, dengan syarat tidak merusak jaringan
persampahan dan mendapat persetujuan
dari instansi yang berwenang; dan
3. jaringan prasarana, dengan syarat tidak
merusak jaringan persampahan dan
mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang.
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang dapat
merusak jaringan persampahan.

(6) Ketentuan Umum Zonasi sistem jaringan evakuasi


bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
e, diatur sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan pembangunan
dan/atau pemeliharaan jaringan evakuasi
bencana.
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. RTH, dengan syarat tidak merusak sistem
jaringan evakuasi bencana dan mendapat
persetujuan dari instansi yang berwenang;
dan
2. jaringan prasarana, dengan syarat tidak
merusak sistem jaringan evakuasi bencana
dan mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang.
54

c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang dapat


merusak jaringan evakuasi bencana.

Paragraf 3
Ketentuan Umum Zonasi Rencana Pola Ruang

Pasal 68

(1) Ketentuan Umum Zonasi rencana Pola Ruang


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3)
huruf b, meliputi:
a. Ketentuan Umum Zonasi Kawasan Lindung; dan
b. Ketentuan Umum Zonasi Kawasan Budi Daya.

(2) Ketentuan Umum Zonasi Kawasan Lindung


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
meliputi:
a. Ketentuan Umum Zonasi badan air;
b. Ketentuan Umum Zonasi kawasan yang
memberikan perlindungan terhadap kawasan
bawahannya; dan
c. Ketentuan Umum Zonasi kawasan perlindungan
setempat.

(3) Ketentuan Umum Zonasi Kawasan Budi Daya


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi:
a. Ketentuan Umum Zonasi kawasan Hutan
Produksi;
b. Ketentuan Umum Zonasi kawasan pertanian;
c. Ketentuan Umum Zonasi kawasan pertambangan
dan energi;
d. Ketentuan Umum Zonasi Kawasan Peruntukan
Industri;
e. Ketentuan Umum Zonasi Kawasan Permukiman;
dan
f. Ketentuan Umum Zonasi kawasan pertahanan
dan keamanan.

Pasal 69

Ketentuan Umum Zonasi badan air sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) huruf a, diatur sebagai
berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan pengelolaan dan
pelestarian badan air.
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. pemanfaatan air, dengan syarat tidak merusak
badan air, membuat kajian dan mendapat
persetujuan dari instansi yang berwenang;
2. pariwisata, dengan syarat tidak merusak badan
air, membuat kajian, melakukan penataan dan
bina lingkungan, mendapat persetujuan dari
instansi yang berwenang;
55

3. perikanan budi daya, dengan syarat tidak


merusak badan air dan/atau bangunan Sumber
Daya Air, dan mendapat persetujuan dari
instansi yang berwenang; dan
4. jaringan prasarana, dengan syarat tidak merusak
badan air dan mendapat persetujuan dari
instansi yang berwenang.
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang dapat
merusak badan air.

Pasal 70

(1) Ketentuan Umum Zonasi kawasan yang memberikan


perlindungan terhadap kawasan bawahannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2)
huruf b, berupa Ketentuan Umum Zonasi kawasan
Hutan Lindung.

(2) Ketentuan Umum Zonasi kawasan Hutan Lindung


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur sebagai
berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan konservasi.
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. penelitian, cagar budaya dan pariwisata
dengan syarat tidak merusak kawasan
Hutan Lindung, membuat kajian, melakukan
penataan dan bina lingkungan, mendapat
persetujuan dari instansi yang berwenang;
2. jaringan prasarana, dengan syarat tidak
merusak kawasan Hutan Lindung dan
mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang; dan
3. pembangunan untuk kepentingan umum dan
Pemanfaatan Ruang lain sesuai peraturan
perundang-undangan, dengan syarat
mengacu peraturan perundang-undangan,
membuat kajian dan mendapat persetujuan
dari instansi yang berwenang.
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang dapat
merusak kawasan Hutan Lindung.

Pasal 71

Ketentuan Umum Zonasi kawasan perlindungan setempat


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) huruf c,
diatur sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan yang bertujuan
memperkuat fungsi kawasan perlindungan setempat.
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. bangunan pengendalian banjir dan pemanfaatan
air, dengan syarat tidak merusak sempadan,
membuat kajian dan mendapat persetujuan dari
instansi yang berwenang;
56

2. cagar budaya dan pariwisata, dengan syarat tidak


merusak sempadan, membuat kajian,
melakukan penataan dan bina lingkungan,
mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang;
3. pertanian, dengan syarat tidak merusak
sempadan dan mendapat persetujuan dari
instansi yang berwenang;
4. peternakan dan perikanan, dengan syarat tidak
merusak sempadan, melakukan bina
lingkungan, mendapat persetujuan dari
lingkungan sekitar, Pemerintah Kelurahan/Desa
setempat dan instansi yang berwenang; dan
5. jaringan prasarana, dengan syarat tidak merusak
sempadan dan mendapat persetujuan dari
instansi yang berwenang.
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang dapat
merusak kawasan perlindungan setempat.

Pasal 72

(1) Ketentuan Umum Zonasi kawasan Hutan Produksi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (3)
huruf a, meliputi:
a. Ketentuan Umum Zonasi kawasan Hutan
Produksi Terbatas; dan
b. Ketentuan Umum Zonasi kawasan Hutan
Produksi Tetap.

(2) Ketentuan Umum Zonasi kawasan Hutan Produksi


Terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, diatur sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan:
1. pemanfaatan hasil hutan; dan
2. konservasi.
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. penelitian, cagar budaya dan pariwisata,
dengan syarat tidak merusak kawasan Hutan
Produksi Terbatas, dan mendapat
persetujuan dari instansi yang berwenang;
2. jaringan prasarana, dengan syarat tidak
merusak kawasan Hutan Produksi Terbatas,
dan mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang; dan
3. pembangunan untuk kepentingan umum dan
Pemanfaatan Ruang lain sesuai peraturan
perundang-undangan, dengan syarat
membuat kajian sesuai peraturan
perundang-undangan, dan mendapat
persetujuan dari instansi yang berwenang.
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang dapat
merusak kawasan Hutan Produksi Terbatas.
57

(3) Ketentuan Umum Zonasi kawasan Hutan Produksi


Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
diatur sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan:
1. pemanfaatan hasil hutan; dan
2. konservasi.
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. penelitian, cagar budaya dan pariwisata,
dengan syarat tidak merusak kawasan Hutan
Produksi Tetap, dan mendapat persetujuan
dari instansi yang berwenang;
2. jaringan prasarana, dengan syarat tidak
merusak kawasan Hutan Produksi Tetap, dan
mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang; dan
3. pembangunan untuk kepentingan umum dan
Pemanfaatan Ruang lain sesuai peraturan
perundang-undangan, dengan syarat
membuat kajian sesuai peraturan
perundang-undangan, dan mendapat
persetujuan dari instansi yang berwenang.
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang dapat
merusak kawasan Hutan Produksi Tetap.

Pasal 73

(1) Ketentuan Umum Zonasi kawasan pertanian


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (3)
huruf b, berupa Ketentuan Umum Zonasi kawasan
tanaman pangan.

(2) Ketentuan Umum Zonasi kawasan tanaman pangan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur sebagai
berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan tanaman pangan,
hortikultura dan perkebunan.
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. sarana prasarana pendukung tanaman
pangan, hortikultura dan perkebunan,
dengan syarat tidak mengubah status tanah
pertanian dan mendapat persetujuan dari
instansi yang berwenang;
2. peternakan dan perikanan, dengan syarat
tidak mengubah status tanah pertanian,
tidak berada pada lahan produktif dan
beririgasi teknis, melakukan bina
lingkungan, mendapat persetujuan dari
lingkungan sekitar, Pemerintah
Kelurahan/Desa setempat dan instansi yang
berwenang;
3. jaringan prasarana, dengan syarat membuat
kajian dan mendapat persetujuan dari
instansi yang berwenang;
58

4. pembangunan untuk kepentingan umum,


dengan syarat mengacu peraturan
perundang-undangan, membuat kajian dan
mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang;
5. pariwisata, dengan syarat tidak merusak
kawasan tanaman pangan, tidak mengubah
status tanah pertanian, membuat kajian,
melakukan penataan dan bina lingkungan,
mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang;
6. penataan lahan pertanian, dengan syarat
untuk mengoptimalkan lahan pertanian,
memiliki izin usaha pertambangan, membuat
kajian dan mendapat persetujuan dari
instansi yang berwenang; dan
7. produksi batu bata dan genteng, dengan
syarat diusahakan oleh penduduk setempat
yang bersifat musiman, mendapat
persetujuan dari Pemerintah
Kelurahan/Desa setempat dan instansi yang
berwenang.
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang
mengubah status lahan pertanian, kecuali
kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf b
angka 3 dan angka 4.

Pasal 74

(1) Ketentuan Umum Zonasi kawasan pertambangan


dan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68
ayat (3) huruf c, berupa Ketentuan Umum Zonasi
kawasan pertambangan batuan.

(2) Ketentuan Umum Zonasi kawasan pertambangan


batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur
sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan eksplorasi.
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. usaha pertambangan, prasarana dan sarana
pendukung, dengan syarat memiliki izin
usaha pertambangan, membuat kajian,
melakukan penataan dan bina lingkungan;
2. permukiman, perdagangan dan jasa, dengan
syarat kepadatan sangat rendah dan
pembatasan luasan pada lokasi yang tidak
ditambang; dan
3. pariwisata, dengan syarat membuat kajian,
melakukan penataan dan bina lingkungan,
mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang.
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan usaha
pertambangan yang tidak berizin dan/atau dapat
menimbulkan bencana.
59

Pasal 75

Ketentuan Umum Zonasi Kawasan Peruntukan Industri


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (3) huruf d,
diatur sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan:
1. industri dan sarana prasarana pendukung;
2. RTH.
3. gudang dan/atau pergudangan;
4. perdagangan dan jasa;
5. rumah tinggal;
6. fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas
umum dan fasilitas sosial; dan
7. jaringan prasarana.
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. pengelolaan sampah dan limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3) dengan syarat
membuat kajian, melakukan penataan dan bina
lingkungan dan mendapat persetujuan dari
Pemerintah Kelurahan/ Desa setempat dan
instansi yang berwenang;
2. perumahan, dengan syarat membuat kajian,
melakukan penataan lingkungan, menyediakan
RTH dan sabuk hijau;
3. peternakan dan perikanan, dengan syarat tidak
mengganggu kegiatan industri, melakukan bina
lingkungan, mendapat persetujuan dari
lingkungan sekitar, Pemerintah Kelurahan/Desa
setempat dan instansi yang berwenang; dan
4. penataan lahan industri, dengan syarat untuk
mengoptimalkan lahan bagi kegiatan industri,
memiliki izin usaha pertambangan, membuat
kajian dan mendapat persetujuan dari instansi
yang berwenang.
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang
mengganggu kegiatan industri dan/atau
menimbulkan pencemaran melebihi persyaratan
ambang batas.

Pasal 76

(1) Ketentuan Umum Zonasi Kawasan Permukiman


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (3)
huruf e, meliputi:
a. Ketentuan Umum Zonasi Kawasan Permukiman
Perkotaan; dan
b. Ketentuan Umum Zonasi Kawasan Permukiman
Perdesaan.

(2) Ketentuan Umum Zonasi Kawasan Permukiman


Perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, diatur sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan:
1. rumah tinggal;
2. fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan,
fasilitas umum dan fasilitas sosial; dan
60

3. jaringan prasarana.
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. perumahan, dengan syarat membuat kajian
dan mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang, melakukan penataan
lingkungan, menyediakan sarana prasarana,
utilitas pendukung dan RTH;
2. perdagangan dan jasa, dengan syarat
melakukan penataan dan bina lingkungan,
mendapat persetujuan dari lingkungan
sekitar dan Pemerintah Kelurahan/Desa
setempat;
3. pariwisata, dengan syarat membuat kajian,
melakukan penataan dan bina lingkungan,
mendapat persetujuan dari Pemerintah
Kelurahan/Desa setempat dan instansi yang
berwenang;
4. industri kecil dan usaha mikro, dengan
syarat tidak mengganggu Kawasan
Permukiman Perkotaan, tidak menambah
luas lahan, melakukan penataan dan bina
lingkungan, mendapat persetujuan dari
lingkungan sekitar, Pemerintah
Kelurahan/Desa setempat dan instansi yang
berwenang;
5. industri yang telah ada dan berizin pada saat
Peraturan ini berlaku, dengan syarat tidak
menambah luas lahan, tidak mengubah jenis
industri, tidak menimbulkan pencemaran
lingkungan yang melebihi ambang batas,
melakukan penataan dan bina lingkungan,
mendapat persetujuan lingkungan sekitar,
Pemerintah Kelurahan/Desa setempat dan
instansi yang berwenang;
6. peternakan skala mikro, dengan syarat
melakukan penataan dan bina lingkungan,
mendapat persetujuan dari lingkungan
sekitar, Pemerintah Kelurahan/Desa
setempat dan instansi yang berwenang;
7. perikanan budidaya dan/atau pengolahan
perikanan skala mikro dan kecil, dengan
syarat melakukan bina lingkungan,
mendapat persetujuan dari lingkungan
sekitar, Pemerintah Kelurahan/Desa
setempat dan instansi yang berwenang; dan
8. penataan lahan permukiman, dengan syarat
untuk mengoptimalkan lahan permukiman
perkotaan, memiliki izin usaha
pertambangan, membuat kajian dan
mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang.
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang dapat
mengganggu dan/atau mengubah fungsi
Kawasan Permukiman Perkotaan.
61

(3) Ketentuan Umum Zonasi Kawasan Permukiman


Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, diatur sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan:
1. rumah tinggal;
2. fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan,
fasilitas umum dan fasilitas sosial; dan
3. jaringan prasarana.
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. perumahan, dengan syarat melakukan
penataan lingkungan, menyediakan sarana
prasarana, utilitas pendukung dan RTH;
2. perdagangan dan jasa, dengan syarat
melakukan bina lingkungan, mendapat
persetujuan dari lingkungan sekitar dan
Pemerintah Kelurahan/Desa setempat;
3. pariwisata, dengan syarat membuat kajian,
melakukan penataan dan bina lingkungan,
mendapat persetujuan dari Pemerintah
Kelurahan/Desa setempat dan instansi yang
berwenang;
4. industri kecil dan usaha mikro, dengan
syarat tidak mengganggu Kawasan
Permukiman Perdesaan, tidak menambah
luas lahan, melakukan penataan dan bina
lingkungan, mendapat persetujuan dari
lingkungan sekitar, Pemerintah
Kelurahan/Desa setempat dan instansi yang
berwenang;
5. industri yang telah ada dan berizin pada saat
Peraturan ini berlaku, dengan syarat tidak
menambah luas lahan, tidak mengubah jenis
industri, tidak menimbulkan pencemaran
lingkungan yang melebihi ambang batas,
melakukan penataan dan bina lingkungan,
mendapat persetujuan lingkungan sekitar,
Pemerintah Kelurahan/Desa setempat dan
instansi yang berwenang;
6. peternakan, dengan syarat peternakan skala
mikro, melakukan bina lingkungan, dan
mendapat persetujuan dari lingkungan
sekitar, Pemerintah Kelurahan/Desa
setempat dan instansi yang berwenang;
7. perikanan, dengan syarat perikanan
budidaya dan/atau pengolahan perikanan
skala mikro dan kecil, melakukan bina
lingkungan, mendapat persetujuan dari
lingkungan sekitar, Pemerintah
Kelurahan/Desa setempat dan instansi yang
berwenang; dan
8. penataan lahan permukiman, dengan syarat
untuk mengoptimalkan lahan permukiman
perdesaan, memiliki izin usaha
pertambangan, membuat kajian dan
mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang.
62

c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang dapat


mengganggu dan mengubah fungsi Kawasan
Permukiman Perdesaan.

Pasal 77

Ketentuan Umum Zonasi kawasan pertahanan dan


keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (3)
huruf f, diatur sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan yang mendukung
fungsi pertahanan dan keamanan;
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan jaringan
prasarana, dengan syarat mengacu peraturan
perundang-undangan, membuat kajian dan
mendapat persetujuan dari instansi yang berwenang;
dan
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang dapat
mengganggu dan/atau merusak fungsi pertahanan
dan keamanan.

Paragraf 4
Ketentuan Khusus

Pasal 78

Ketentuan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58


ayat (3) huruf c, meliputi:
a. Ketentuan Khusus KP2B;
b. Ketentuan Khusus kawasan rawan bencana;
c. Ketentuan Khusus kawasan cagar budaya; dan
d. Ketentuan Khusus kawasan pertambangan mineral
dan batubara.

Pasal 79

(1) Ketentuan Khusus KP2B sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 78 huruf a, diatur sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan tanaman pangan,
hortikultura dan perkebunan.
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. sarana prasarana pendukung tanaman
pangan, hortikultura dan perkebunan,
dengan syarat tidak mengubah status tanah
pertanian dan mendapat persetujuan dari
instansi yang berwenang;
2. peternakan dan perikanan, dengan syarat
tidak mengubah status tanah pertanian,
tidak berada pada lahan produktif, tidak
berada pada lahan beririgasi teknis,
melakukan bina lingkungan, mendapat
persetujuan dari lingkungan sekitar,
Pemerintah Kelurahan/Desa setempat dan
instansi yang berwenang;
3. jaringan prasarana, dengan syarat membuat
kajian dan mendapat persetujuan dari
instansi yang berwenang;
63

4. pembangunan untuk kepentingan umum,


dengan syarat mengacu peraturan
perundang-undangan, membuat kajian dan
mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang;
5. pariwisata, dengan syarat tidak merusak
kawasan tanaman pangan, tidak mengubah
status tanah pertanian, membuat kajian,
melakukan penataan dan bina lingkungan
dan mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang; dan
6. penataan lahan pertanian, dengan syarat
untuk mengoptimalkan lahan pertanian,
memiliki izin usaha pertambangan, membuat
kajian dan mendapat persetujuan dari
instansi yang berwenang.
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang
mengubah status lahan pertanian, kecuali
kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf b
angka 3 dan angka 4.

(2) Ketentuan Khusus KP2B sebagaimana dimaksud


pada ayat (1), digambarkan dalam peta dengan
tingkat ketelitian skala 1:50.000 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran XIII yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Pasal 80

(1) Ketentuan Khusus kawasan rawan bencana


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf b,
meliputi:
a. Ketentuan Khusus kawasan rawan bencana
gerakan tanah; dan
b. Ketentuan Khusus kawasan rawan bencana
banjir.

(2) Ketentuan Khusus kawasan rawan bencana gerakan


tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
diatur sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan pengelolaan dan
pengembangan sarana prasarana
penanggulangan bencana gerakan tanah, jalur
dan/atau tempat evakuasi bencana gerakan
tanah.
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. permukiman, dengan syarat rumah tinggal
kepadatan rendah dengan
mempertimbangkan kondisi lingkungan dan
tingkat kerawanan bencana gerakan tanah;
2. pertanian, dengan syarat
mempertimbangkan kondisi lingkungan dan
tingkat kerawanan bencana gerakan tanah;
64

3. peternakan dan perikanan dengan syarat


mempertimbangkan kondisi lingkungan dan
tingkat kerawanan bencana gerakan tanah,
mendapat persetujuan dari lingkungan
sekitar, Pemerintah Kelurahan/Desa
setempat dan instansi yang berwenang; dan
4. jaringan prasarana, fasilitas umum dan
fasilitas sosial, dengan syarat membuat
kajian dan mendapat persetujuan dari
instansi yang berwenang.
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan:
1. pendirian bangunan pada kemiringan lereng
lebih dari 40 (empat puluh) persen; dan
2. Pemanfaatan Ruang yang dapat
menimbulkan rawan bencana gerakan tanah.

(3) Ketentuan Khusus kawasan rawan bencana banjir


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diatur
sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan pengelolaan dan
pengembangan sarana prasarana
penanggulangan bencana banjir, jalur dan/atau
tempat evakuasi bencana banjir.
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. permukiman, perdagangan, jasa dan
pertanian dengan syarat mempertimbangkan
kondisi lingkungan dan tingkat kerawanan
bencana banjir;
2. industri, dengan syarat mempertimbangkan
kondisi lingkungan dan tingkat kerawanan
bencana banjir, melakukan penataan dan
bina lingkungan, mendapat persetujuan dari
lingkungan sekitar, Pemerintah Kelurahan/
Desa setempat dan instansi yang berwenang;
3. peternakan dan perikanan dengan syarat
mempertimbangkan kondisi lingkungan dan
tingkat kerawanan bencana banjir, mendapat
persetujuan dari lingkungan sekitar,
Pemerintah Kelurahan/Desa setempat dan
instansi yang berwenang; dan
4. jaringan prasarana, fasilitas umum dan
fasilitas sosial, dengan syarat membuat
kajian dan mendapat persetujuan dari
instansi yang berwenang.
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan
Pemanfaatan Ruang yang dapat menimbulkan
rawan bencana banjir.

(4) Ketentuan Khusus kawasan rawan bencana


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digambarkan
dalam peta dengan tingkat ketelitian skala 1:50.000
sebagaimana tercantum dalam Lampiran XIV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.
65

Pasal 81

(1) Ketentuan Khusus kawasan cagar budaya


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf c,
diatur sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan pelestarian dan
pengembangan cagar budaya.
b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:
1. pemanfaatan cagar budaya berupa kegiatan
keagamaan, sosial kebudayaan, pendidikan,
penelitian, ilmu pengetahuan dan teknologi,
pariwisata, perdagangan dan jasa pendukung
pariwisata, dengan syarat tidak merusak
kawasan dan benda cagar budaya, membuat
kajian, melakukan penataan dan bina
lingkungan, mendapat persetujuan dari
instansi yang berwenang;
2. permukiman, dengan syarat berada di luar
zona inti kawasan cagar budaya, tidak
merusak benda cagar budaya dan mendapat
persetujuan dari instansi yang berwenang;
3. pertanian, peternakan dan perikanan dengan
syarat berada di luar zona inti kawasan cagar
budaya, tidak merusak benda cagar budaya,
mendapat persetujuan lingkungan sekitar,
Pemerintah Kelurahan/Desa setempat dan
instansi yang berwenang; dan
4. jaringan prasarana, fasilitas umum dan
fasilitas sosial, dengan syarat tidak merusak
benda cagar budaya dan mendapat
persetujuan dari instansi yang berwenang.
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan yang dapat
merusak kawasan dan benda cagar budaya.

(2) Ketentuan Khusus kawasan cagar budaya


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digambarkan
dalam peta dengan tingkat ketelitian skala 1:50.000
sebagaimana tercantum dalam Lampiran XV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.

Pasal 82

(1) Ketentuan Khusus kawasan pertambangan mineral


dan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78
huruf d, diatur sebagai berikut:
a. diperbolehkan, untuk kegiatan eksplorasi.
66

b. diperbolehkan bersyarat, untuk kegiatan:


1. usaha pertambangan, prasarana dan sarana
pendukung, dengan syarat lokasi usaha
pertambangan di luar kawasan Hutan
Lindung dan/atau lokasi yang dapat
menimbulkan rawan bencana gerakan tanah,
membuat kajian potensi tambang, memiliki
izin usaha pertambangan, melakukan
penataan dan bina lingkungan, mendapat
persetujuan dari lingkungan sekitar,
Pemerintah Kelurahan/ Desa setempat dan
instansi yang berwenang;
2. usaha pertambangan pada kawasan
pertanian, dengan syarat untuk
mengoptimalkan lahan pertanian, membuat
kajian, memiliki izin usaha pertambangan,
mendapat persetujuan dari lingkungan
sekitar, Pemerintah Kelurahan/Desa
setempat dan instansi yang berwenang;
3. usaha pertambangan pada Kawasan
Peruntukan Industri, dengan syarat untuk
mengoptimalkan lahan kegiatan industri,
membuat kajian, memiliki izin usaha
pertambangan, mendapat persetujuan dari
lingkungan sekitar, Pemerintah Kelurahan/
Desa setempat dan instansi yang berwenang;
4. usaha pertambangan pada Kawasan
Permukiman, dengan syarat untuk
mengoptimalkan lahan permukiman,
membuat kajian, memiliki izin usaha
pertambangan, mendapat persetujuan dari
lingkungan sekitar, Pemerintah
Kelurahan/Desa setempat dan instansi yang
berwenang; dan
c. tidak diperbolehkan, untuk kegiatan usaha
pertambangan yang tidak berizin dan/atau dapat
menimbulkan bencana.

(2) Ketentuan Khusus kawasan pertambangan mineral


dan batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian
skala 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran XVI yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Ketiga
Penilaian Pelaksanaan Pemanfaatan Ruang

Paragraf 1
Umum

Pasal 83

Penilaian pelaksanaan Pemanfaatan Ruang sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf b, terdiri atas:
a. penilaian pelaksanaan KKPR; dan
67

b. penilaian perwujudan RTR.

Paragraf 2
Penilaian Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan
Ruang

Pasal 84

(1) Penilaian pelaksanaan KKPR sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 83 huruf a, untuk memastikan:
a. kepatuhan pelaksanaan KKPR; dan
b. pemenuhan prosedur perolehan KKPR.

(2) Penilaian kepatuhan pelaksanaan KKPR


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dilakukan Pemerintah Pusat dan dapat didelegasikan
kepada Pemerintah Kabupaten, yang dilaksanakan
dalam periode:
a. selama pembangunan; dan
b. pasca pembangunan.

(3) Hasil penilaian kepatuhan pelaksanaan KKPR


sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dituangkan
dalam bentuk tekstual dan spasial.

(4) Apabila dalam periode penilaian kepatuhan


pelaksanaan KKPR selama pembangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a,
ditemukan ketidaksesuaian dalam pemenuhan
ketentuan KKPR dan/atau tidak dilaksanakan, maka
dilakukan penyesuaian.

(5) Apabila dalam periode penilaian kepatuhan


pelaksanaan KKPR pasca pembangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,
ditemukan ketidaksesuaian hasil pembangunan
dengan ketentuan KKPR, maka dilakukan pengenaan
sanksi.

(6) Pemenuhan prosedur perolehan KKPR sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan untuk
memastikan kepatuhan pelaku pembangunan
terhadap tahapan dan persyaratan perolehan KKPR,
dengan ketentuan:
a. apabila KKPR diterbitkan tidak melalui
prosedur yang benar, maka KKPR batal demi
hukum; dan
b. apabila KKPR tidak sesuai akibat perubahan
RTR, maka KKPR dibatalkan dan dapat
dimintakan ganti kerugian yang layak sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
68

Paragraf 3
Penilaian Perwujudan Rencana Tata Ruang

Pasal 85

(1) Penilaian perwujudan RTR sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 83 huruf b, dilakukan dengan:
a. penilaian tingkat perwujudan rencana Struktur
Ruang; dan
b. penilaian tingkat perwujudan rencana pola
ruang.

(2) Penilaian tingkat perwujudan rencana Struktur


Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dilakukan terhadap kesesuaian program, kesesuaian
lokasi dan kesesuaian waktu pelaksanaan kegiatan
Pemanfaatan Ruang dengan penyandingan
pelaksanaan pembangunan pusat-pusat
permukiman dan sistem jaringan prasarana terhadap
rencana Struktur Ruang.

(3) Penilaian tingkat perwujudan rencana Pola Ruang


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
dilakukan terhadap kesesuaian program,
kesesuaian lokasi dan kesesuaian waktu
pelaksanaan kegiatan Pemanfaatan Ruang dengan
penyandingan pelaksanaan program pengelolaan
lingkungan, pembangunan berdasarkan perizinan
berusaha, dan hak atas tanah terhadap rencana
Pola Ruang.

(4) Penilaian perwujudan RTR sebagaimana dimaksud


pada ayat (1), dilaksanakan secara periodik dan
terus menerus 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun dan
1 (satu) tahun sebelum peninjauan kembali RTR.

(5) Hasil penilaian perwujudan RTR sebagaimana


dimaksud pada ayat (4), berupa:
a. muatan terwujud;
b. belum terwujud; dan
c. pelaksanaan program pembangunan tidak
sesuai.

(6) Tata cara penilaian perwujudan RTR dilaksanakan


sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
69

Bagian Keempat
Ketentuan Insentif dan Disinsentif

Paragraf 1
Umum

Pasal 86

(1) Ketentuan Insentif dan Disinsentif sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf c,
diselenggarakan untuk:
a. meningkatkan upaya Pengendalian Pemanfaatan
Ruang dalam rangka mewujudkan tata ruang
sesuai dengan RTR;
b. memfasilitasi kegiatan Pemanfaatan Ruang agar
sejalan dengan RTR; dan
c. meningkatkan kemitraan semua pemangku
kepentingan dalam rangka Pemanfaatan Ruang
yang sejalan dengan RTR.

(2) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


merupakan perangkat untuk memotivasi,
mendorong, memberikan daya tarik, dan/atau
memberikan percepatan terhadap kegiatan
Pemanfaatan Ruang yang memiliki nilai tambah pada
zona yang perlu didorong pengembangannya.

(3) Disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


merupakan perangkat untuk mencegah dan/atau
memberikan batasan terhadap kegiatan Pemanfaatan
Ruang yang sejalan dengan RTR dalam hal berpotensi
melampaui daya dukung dan daya tampung
lingkungan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian


insentif dan disinsentif diatur oleh Bupati sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 2
Ketentuan Insentif

Pasal 87

(1) Ketentuan insentif sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 86 ayat (2), berupa:
a. insentif fiskal; dan
b. insentif non fiskal.

(2) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


huruf a, berupa pemberian keringanan pajak,
retribusi, dan/atau penerimaan bukan pajak.

(3) Insentif non fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) huruf b, berupa:
a. pemberian kompensasi;
b. subsidi;
70

c. imbalan;
d. sewa ruang;
e. urun saham;
f. fasilitasi KKPR;
g. penyediaan prasarana dan sarana;
h. penghargaan; dan/atau
i. publikasi atau promosi.

(4) Ketentuan insentif sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), meliputi:
a. dari Pemerintah Kabupaten kepada pemerintah
daerah lainnya, berupa:
1. pemberian kompensasi;
2. penyediaan prasarana dan sarana;
3. penghargaan; dan/atau
4. publikasi atau promosi daerah.
b. dari Pemerintah Kabupaten kepada masyarakat,
berupa:
1. pemberian keringanan pajak dan/atau
retribusi;
2. pemberian kompensasi;
3. subsidi;
4. imbalan;
5. sewa ruang;
6. urun saham;
7. fasilitasi KKPR;
8. penyediaan prasarana dan sarana;
9. penghargaan; dan/atau
10. publikasi atau promosi.

Paragraf 3
Ketentuan Disinsentif

Pasal 88

(1) Ketentuan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 86 ayat (3), merupakan perangkat atau upaya
untuk mencegah, membatasi atau mengurangi
kegiatan Pemanfaatan Ruang, berupa:
a. disinsentif fiskal; dan
b. disinsentif non fiskal.

(2) Disinsentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) huruf a, berupa pengenaan pajak dan/atau
retribusi yang tinggi.

(3) Disinsentif non fiskal sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) huruf b, berupa:
a. kewajiban memberi kompensasi atau imbalan;
b. pemberian status tertentu; dan/atau
c. pembatasan penyediaan prasarana dan sarana.
71

(4) Ketentuan disinsentif sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), meliputi:
a. dari Pemerintah Kabupaten kepada pemerintah
daerah lainnya, berupa pembatasan penyediaan
prasarana dan sarana.
b. dari Pemerintah Kabupaten kepada masyarakat,
berupa:
1. pengenaan pajak dan/atau retribusi yang
tinggi;
2. kewajiban memberi kompensasi atau
imbalan; dan/atau
3. pembatasan penyediaan prasarana dan
sarana.

Bagian Kelima
Arahan Sanksi

Pasal 89

(1) Arahan Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal


57 ayat (2) huruf d, merupakan perangkat atau upaya
pengenaan sanksi administratif yang diberikan
kepada pihak yang melakukan pelanggaran
Pemanfaatan Ruang.

(2) Pelanggaran Pemanfaatan Ruang sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. Pemanfaatan Ruang yang tidak sesuai dengan
KKPR yang diberikan oleh pejabat yang
berwenang;
b. Pemanfaatan Ruang yang tidak sesuai dengan
persyaratan KKPR yang diberikan oleh pejabat
yang berwenang;
c. Pemanfaatan Ruang yang menghalangi akses
terhadap kawasan yang dinyatakan oleh
peraturan perundang-undangan sebagai milik
umum; dan
d. Pemanfaatan Ruang yang tidak sesuai dengan
RTRW Kabupaten.

(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pembatalan KKPR;
f. pencabutan KKPR;
g. pembongkaran bangunan;
h. pemulihan fungsi ruang; dan
i. denda administratif.
72

Pasal 90

(1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 89 ayat (3) huruf a, dikenakan kepada pihak
yang melakukan pelanggaran Pemanfaatan Ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2)
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, dengan
penerbitan surat peringatan tertulis dari pejabat yang
berwenang, paling banyak 3 (tiga) kali, memuat:
a. rincian pelanggaran Pemanfaatan Ruang;
b. kewajiban untuk menyesuaikan kegiatan
Pemanfaatan Ruang dengan RTR dan ketentuan
teknis Pemanfaatan Ruang; dan
c. tindakan pengenaan sanksi yang akan diberikan
sesuai peraturan perundang-undangan.

(2) Penghentian sementara kegiatan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf b, dan
penghentian sementara pelayanan umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3)
huruf c, dikenakan kepada pihak yang melakukan
pelanggaran Pemanfaatan Ruang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) huruf a dan huruf
b, dengan tahapan:
a. pejabat yang berwenang menerbitkan surat
peringatan tertulis, sebagaimana dimaksud pada
ayat (1);
b. apabila surat peringatan tertulis diabaikan,
pejabat yang berwenang menerbitkan surat
keputusan penghentian sementara kegiatan
Pemanfaatan Ruang dan penghentian sementara
pelayanan umum dengan memuat penjelasan
dan rincian pelayanan umum yang akan
dihentikan sementara;
c. pejabat yang berwenang melakukan penghentian
sementara kegiatan Pemanfaatan Ruang dan
penghentian sementara pelayanan umum; dan
d. pejabat yang berwenang melakukan pengawasan
agar kegiatan Pemanfaatan Ruang yang
dihentikan tidak beroperasi kembali sampai
dengan terpenuhinya kewajiban untuk
menyesuaikan kegiatan pemanfatan ruang
dengan KKPR dan/atau persyaratan KKPR yang
diberikan oleh pejabat yang berwenang.

(3) Penutupan lokasi sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 89 ayat (3) huruf d, dikenakan kepada:
a. pihak yang melakukan pelanggaran Pemanfaatan
Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89
ayat (2) huruf a dan huruf b, apabila penghentian
sementara kegiatan dan penghentian sementara
pelayanan umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diabaikan, dengan tahapan:
1. pejabat yang berwenang menerbitkan surat
keputusan penutupan lokasi;
73

2. pejabat yang berwenang melakukan


penutupan lokasi dengan bantuan aparat
penertiban untuk melakukan penutupan
lokasi secara paksa; dan
3. pejabat yang berwenang melakukan
pengawasan untuk memastikan lokasi yang
ditutup tidak dibuka kembali sampai dengan
terpenuhinya kewajiban untuk
menyesuaikan kegiatan pemanfatan ruang
dengan KKPR dan/atau persyaratan KKPR
yang diberikan oleh pejabat yang berwenang.
b. pihak yang melakukan pelanggaran Pemanfaatan
Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89
ayat (2) huruf c dan huruf d, dengan tahapan:
1. pejabat yang berwenang menerbitkan surat
peringatan tertulis, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1);
2. apabila surat peringatan tertulis diabaikan,
pejabat yang berwenang menerbitkan surat
keputusan penutupan lokasi;
3. pejabat yang berwenang melakukan
penutupan lokasi dengan bantuan aparat
penertiban untuk melakukan penutupan
lokasi secara paksa; dan
4. pejabat yang berwenang melakukan
pengawasan untuk memastikan lokasi yang
ditutup tidak dibuka kembali.

(4) Pembatalan KKPR sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 89 ayat (3) huruf e dan pencabutan KKPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3)
huruf f, dikenakan kepada pihak yang melakukan
pelanggaran Pemanfaatan Ruang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) huruf a dan huruf
b, apabila tidak dapat memenuhi kewajiban untuk
menyesuaikan kegiatan pemanfatan ruang dengan
KKPR dan/atau persyaratan KKPR yang diberikan
oleh pejabat yang berwenang, dengan tahapan:
a. pejabat yang berwenang menerbitkan surat
keputusan pembatalan dan pencabutan KKPR;
dan
b. pejabat yang berwenang memberitahukan
kepada pihak yang melakukan pelanggaran
Pemanfaatan Ruang mengenai KKPR yang telah
dibatalkan dan dicabut, serta perintah
penghentian kegiatan Pemanfaatan Ruang.

(5) Pembongkaran bangunan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 89 ayat (3) huruf g, dikenakan kepada
pihak yang melakukan pelanggaran Pemanfaatan
Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat
(2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, apabila
pengenaan sanksi sebagaimana pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3) dan ayat (4) diabaikan, dengan tahapan:
a. pejabat yang berwenang menerbitkan surat
keputusan pembongkaran bangunan; dan
74

b. Pejabat yang berwenang melakukan


pembongkaran bangunan.

(6) Pemulihan fungsi ruang sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 89 ayat (3) huruf h, dikenakan kepada
pihak yang melakukan pelanggaran Pemanfaatan
Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat
(2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, apabila
telah dilakukan pengenaan sanksi pembongkaran
bangunan sebagaimana pada ayat (5), dengan
tahapan:
a. pejabat yang berwenang menerbitkan surat
perintah pemulihan fungsi ruang;
b. pejabat yang berwenang memberitahukan
kepada pihak yang melakukan pelanggaran
Pemanfaatan Ruang mengenai tata cara
pemulihan fungsi ruang dalam jangka waktu
yang ditentukan;
c. pejabat yang berwenang melakukan pengawasan
pelaksanan kegiatan pemulihan fungsi ruang;
d. apabila pihak yang melakukan pelanggaran
Pemanfaatan Ruang tidak dapat memenuhi tata
cara pemulihan fungsi ruang dalam jangka waktu
yang ditentukan, pejabat yang berwenang
melakukan tindakan pemulihan fungsi ruang
secara paksa; dan
e. apabila pihak yang melakukan pelanggaran
Pemanfaatan Ruang dinilai tidak mampu
membiayai kegiatan pemulihan fungsi ruang,
Pemerintah Kabupaten dapat mengajukan
penetapan pengadilan agar kegiatan pemulihan
fungsi ruang dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten atas beban pihak yang melakukan
pelanggaran Pemanfaatan Ruang.

(7) Denda administratif sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 89 ayat (3) huruf i, dikenakan kepada pihak
yang melakukan pelanggaran Pemanfaatan Ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2)
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, secara
tersendiri atau bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif lain.

BAB VIII

HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT

Bagian Kesatu
Hak Masyarakat

Pasal 91

Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:


a. mengetahui RTR;
b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat
penataan ruang;
75

c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian


yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan
pembangunan yang sesuai dengan RTR;
d. mengajukan tuntutan kepada pejabat berwenang
terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan
RTR di wilayahnya;
e. mengajukan tuntutan pembatalan KKPR dan/atau
penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan
RTR kepada pejabat berwenang; dan
f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada
Pemerintah Kabupaten dan/atau pemegang KKPR
apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai
dengan RTR menimbulkan kerugian.

Bagian Kedua
Kewajiban Masyarakat

Pasal 92

Dalam Pemanfaatan Ruang, setiap orang wajib:


a. menaati RTRW Kabupaten yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan KKPR dari
pejabat yang berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam
persyaratan KKPR; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai milik umum.

Bagian Ketiga
Peran Masyarakat

Pasal 93

(1) Peran masyarakat dalam penataan ruang dilakukan


melalui:
a. partisipasi dalam penyusunan RTR;
b. partisipasi dalam Pemanfaatan Ruang; dan
c. partisipasi dalam Pengendalian Pemanfaatan
Ruang.

(2) Partisipasi dalam penyusunan RTR sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf a, berupa:
a. masukan kepada Pemerintah Kabupaten
mengenai kebijakan penyusunan RTR; dan
b. kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten
dan/atau sesama unsur masyarakat dalam
perencanaan tata ruang.

(3) Partisipasi dalam Pemanfaatan Ruang sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf b, berupa:
a. masukan kepada Pemerintah Kabupaten
mengenai kebijakan Pemanfaatan Ruang;
b. melakukan kerjasama dengan Pemerintah
Kabupaten dan/atau sesama unsur masyarakat
dalam Pemanfaatan Ruang; dan
76

c. melakukan investasi dan kegiatan Pemanfaatan


Ruang sesuai dengan RTR yang ditetapkan.

(4) Partisipasi dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
berupa:
a. masukan kepada Pemerintah Kabupaten
mengenai kebijakan Pengendalian Pemanfaatan
Ruang;
b. keikutsertaan dalam memantau pelaksanaan
RTR yang ditetapkan; dan
c. melakukan pelaporan kepada instansi dan/atau
pejabat yang berwenang dalam hal menemukan
dugaan pelanggaran Pemanfaatan Ruang.

(5) Tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

BAB IX

KELEMBAGAAN

Pasal 94

(1) Dalam rangka koordinasi penyelenggaraan penataan


ruang dalam satu wilayah administrasi, koordinasi
antar daerah dan koordinasi antar tingkatan
pemerintahan, dibentuk Forum Penataan Ruang
Kabupaten, dengan susunan tugas dan keanggotan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Forum Penataan Ruang Kabupaten sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Bupati.

BAB X

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 95

(1) Jangka waktu RTRW Kabupaten adalah 20 (dua


puluh) tahun, yaitu tahun 2022-2042, dan dapat
ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima)
tahunan.

(2) Peninjauan kembali RTRW Kabupaten sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan lebih dari
1 (satu) kali apabila terjadi perubahan lingkungan
strategis, berupa:
a. bencana alam yang ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan;
b. perubahan batas teritorial negara yang
ditetapkan dengan Undang-Undang;
77

c. perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan


dengan Undang-Undang; dan
d. perubahan kebijakan nasional yang bersifat
strategis.

(3) Peninjauan kembali RTRW Kabupaten dilakukan


sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

BAB XI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 96

(1) Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku,


semua peraturan pelaksanaan yang telah ditetapkan
berkaitan dengan penataan ruang, tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti
berdasarkan Peraturan Daerah ini.

(2) Pada saat Peraturan Daerah ini ditetapkan, semua


pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang harus disesuaikan dengan
rencana tata ruang.

(3) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka:


a. izin pemanfaatan ruang dan kesesuaian kegiatan
pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetap
berlaku sesuai dengan masa berlakunya;
b. pemanfaatan ruang yang diselenggarakan tanpa
izin pemanfaatan ruang atau KKPR dan
bertentangan dengan ketentuan Peraturan
Daerah ini, akan ditertibkan dan disesuaikan
dengan Peraturan Daerah ini; dan
c. izin pemanfaatan ruang yang telah habis masa
berlakunya dan akan diperpanjang,
ditindaklanjuti melalui mekanisme penerbitan
KKPR.

BAB XII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 97

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku,


Peraturan Daerah Kabupaten Kudus Nomor 16 Tahun
2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Kudus Tahun 2012-2032 (Lembaran Daerah Kabupaten
Kudus Tahun 2012 Nomor 16, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Kudus Nomor 166), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.

Anda mungkin juga menyukai