Anda di halaman 1dari 125

DRAF

6 Februari 2022

GUBERNUR BALI

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI

NOMOR … TAHUN 2022

TENTANG

RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI BALI


TAHUN 2022-2042

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BALI,

Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Provinsi merupakan komponen


lingkungan hidup yang bersifat terbatas dan tidak
terperbaharui yang harus dimanfaatkan secara
berkelanjutan sebagai satu kesatuan ruang darat,
laut, udara dan ruang dalam bumi dalam tatanan
yang dinamis berlandaskan kebudayaan Bali sesuai
dengan Visi Pembangunan Daerah “Nangun Sat Kerthi
Loka Bali” melalui Pola Pembangunan Semesta
Berencana menuju Bali Era Baru;
b. bahwa sesuai ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan
Pasal 245 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 21
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan
Ruang, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
mencakup muatan pengaturan Perairan Pesisir
sehingga Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau
Pulau Kecil diintegrasikan ke dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi;
c. bahwa Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16
Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Bali Tahun 2009-2029 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas
Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali
Tahun 2009-2029 sudah tidak sesuai dengan kondisi
dan perkembangan hukum saat ini, sehingga perlu di
revisi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi Tahun 2022-2042;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang

1
Pembentukan Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 1649);
3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4725); sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja ((Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
4. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4739) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ((Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6573);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059), sebagaimana telah diubah
dengan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5068) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5214), sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019

2
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2019 Nomor 183, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6398);
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5679);
10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 294, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5603); sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ((Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6573);
11. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6573);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4833) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26
Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2017 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6041);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang
Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5160);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2014 tentang
Penataan Wilayah Pertahanan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 190,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5574);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2019 tentang
Rencana Tata Ruang Laut (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2019 Nomor 89, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6345);

3
16. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6633);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6639);
18. Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar,
Badung, Gianyar dan Tabanan sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 51
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan
Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar
dan Tabanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 121);
19. Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2012 tentang
Rencana Tata Ruang Pulau Jawa dan Bali (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 75);
20. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun
2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
2036) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk
Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2019 Nomor 157);
21. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2021
tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali,
Revisi, Dan Penerbitan Persetujuan Substansi Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten, Kota, Dan
Rencana Detail Tata Ruang (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2021 Nomor 329);
22. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2021
tentang Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan
Pemanfaatan Ruang Dan Sinkronisasi Program
Pemanfaatan Ruang (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2021 Nomor 330);
23. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 14 Tahun 2021
tentang Pedoman Penyusunan Basis Data Dan
Penyajian Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi,
Kabupaten, Dan Kota, Serta Peta Rencana Detail Tata
Ruang Kabupaten/Kota (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2021 Nomor 331);
24. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 15 Tahun 2021
tentang Koordinasi Penyelenggaraan Penataan Ruang

4
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor
327);
25. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
Laut (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021
Nomor 701);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI BALI


dan
GUBERNUR BALI

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG


WILAYAH PROVINSI BALI TAHUN 2022-2042

BAB I
KETENTUAN UMUM

Bagian Kesatu

Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
1. Provinsi adalah Provinsi Bali.
2. Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Bali.
3. Gubernur adalah Gubernur Bali.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali.
5. Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota se-Bali.
6. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten/Kota se-Bali.
7. Tri Hita Karana adalah falsafah hidup masyarakat Bali yang memuat tiga
unsur yang membangun keseimbangan dan keharmonisan hubungan
antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia
dengan lingkungannya yang menjadi sumber kesejahteraan, kedamaian,
dan kebahagiaan bagi kehidupan manusia.
8. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah,
tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan
memelihara kelangsungan hidupnya.
9. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
10. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

5
11. Penyelenggaran Penataan Ruang adalah kegiatan yang meliputi
pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan Penataan Ruang.
12. Perencanaan Tata Ruang adalah suatu proses untuk menentukan
struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan
rencana tata ruang.
13. Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang
dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan
dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.
14. Pengendalian Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan
tertib tata ruang.
15. Rencana Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RTR adalah hasil
perencanaan tata ruang.
16. Rencana Tata Ruang Wilayah yang selanjutnya disingkat RTRW adalah
hasil perencanaan tata ruang pada wilayah yang merupakan kesatuan
geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya
ditentukan berdasarkan aspek administratif.
17. Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RDTR adalah
rencana secara terperinci tentang tata ruang wilayah kabupaten/kota
yang dilengkapi dengan peraturan zonasi kabupaten/kota.
18. Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem
jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung
kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki
hubungan fungsional.
19. Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah
yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan
ruang untuk fungsi budi daya.
20. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau
budidaya.
21. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya
alam dan sumber daya buatan.
22. Kawasan Budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan, atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
23. Kawasan Perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
24. Kawasan Perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama
pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
25. Kawasan Metropolitan adalah Kawasan perkotaan yang terdiri atas
sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan
inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki
keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan
prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara
keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa.
26. Kawasan Strategis Nasional adalah ……bagian wilayah provinsi yang
penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat
penting dalam lingkup wilayah provinsi di bidang ekonomi, sosial budaya,
sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi dan/atau lingkungan hidup.
27. Kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala
internasional, nasional atau beberapa provinsi.

6
28. Kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala
provinsi atau beberapa kabupaten/kota.
29. Pusat Kegiatan Nasional yang selanjutnya disingkat PKN adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala internasional,
nasional, atau beberapa provinsi.
30. Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan yang
selanjutnya disebut Kawasan Perkotaan Sarbagita adalah satu kesatuan
kawasan perkotaan yang terdiri atas Kota Denpasar dan Kawasan
Perkotaan Kuta sebagai Kawasan Perkotaan inti. Kawasan Perkotaan
Mangupura dan Kawasan Perkotaan Jimbaran di Kabupaten Badung,
Kawasan Perkotaan Gianyar, Kawasan Perkotaan Sukawati, dan Kawasan
Perkotaan Ubud di Kabupaten Gianyar, dan Kawasan Perkotaan Tabanan
di Kabupaten Tabanan sebagai Kawasan Perkotaan disekitarnya yang
membentuk Kawasan Metropolitan.
31. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disingkat PKW adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau
beberapa kabupaten/kota.
32. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disingkat PKL adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota
atau beberapa kecamatan.
33. Kawasan Berorientasi Transit atau Transit Oriented Development yang
selanjutnya disebut Kawasan TOD adalah Kawasan yang ditetapkan
dalam rencana tata ruang sebagai kawasan terpusat pada integrasi
intermoda dan antarmoda yang berada pada radius 400 (empat ratus)
meter sampai dengan 800 (delapan ratus) meter dari simpul transit moda
angkutan umum massal yang memiliki fungsi pemanfaatan ruang
campuran dan padat dengan intensitas pemanfaatan ruang sedang
hingga tinggi..
34. Kawasan yang Memberikan Perlindungan terhadap Kawasan Bawahannya
merupakan kawasan yang diperuntukkan untuk menaungi lingkungan
dan makhluk hidup terdiri atas kawasan hutan lindung dan kawasan
gambut.
35. Kawasan Perlindungan Setempat merupakan kawasan yang
diperuntukkan bagi kegiatan pemanfaatan lahan yang menjunjung tinggi
nilai-nilai luhur dalam tata kehidupan masyarakat untuk melindungi dan
mengelola lingkungan hidup secara lestari, serta dapat menjaga
kelestarian jumlah, kualitas penyediaan tata air, kelancaran, ketertiban
pengaturan, dan pemanfaatan air dari sumber- sumber air. Termasuk
didalamnya kawasan kearifan lokal dan sempadan yang berfungsi sebagai
kawasan lindung antara lain sempadan pantai, sungai, mata air, situ,
danau, embung, dan waduk, serta kawasan lainnya yang memiliki fungsi
perlindungan setempat.
36. Kawasan Konservasi merupakan bagian wilayah darat dan/atau laut yang
mempunyai ciri khas sebagai satu kesatuan ekosistem yang dilindungi,
dilestarikan dan/atau dimanfaatkan secara berkelanjutan.
37. Kawasan Pencadangan Konservasi di Laut merupakan kawasan
konservasi di laut yang belum ada penetapan dalam bentuk surat
keputusan atau penetapan legal lainnya.
38. Kawasan Lindung Geologi merupakan daerah tertentu yang ditetapkan
dengan fungsi utama melindungi kelestarian gejala geologi yang
mencakup kawasan cagar alam geologi (KCAG), dan kawasan yang
memberikan perlindungan terhadap air tanah.
39. Kawasan Cagar Budaya merupakan satuan ruang geografis yang memiliki
dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau

7
memperlihatkan ciri tata ruang yang khas, dan ditetapkan oleh
pemerintah berdasarkan rekomendasi tim ahli cagar budaya.
40. Kawasan Ekosistem Mangrove merupakan Kawasan kesatuan antara
komunitas vegetasi mangrove berasosiasi dengan fauna dan mikro
organisme sehingga dapat tumbuh dan berkembang pada daerah
sepanjang pantai terutama di daerah pasang surut, laguna, muara sungai
yang terlindung dengan substrat lumpur atau lumpur berpasir dalam
membentuk keseimbangan lingkungan hidup yang berkelanjutan
41. Kawasan Hutan Produksi merupakan kawasan Hutan yang mempunyai
fungsi pokok memproduksi hasil Hutan.
42. Kawasan Pertanian merupakan kawasan yang dialokasikan dan
memenuhi kriteria untuk budi daya tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan, dan peternakan.
43. Kawasan Perikanan merupakan kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utama untuk kegiatan perikanan tangkap dan perikanan budi daya.
Termasuk di dalamnya kawasan pengelolaan ekosistem pesisir.
44. Kawasan Pergaraman merupakan kawasan yang berkaitan dengan
praproduksi, produksi, pascaproduksi, dan pengolahan garam.
45. Kawasan Pertambangan dan Energi merupakan kawasan pada
permukaan tanah dan/atau dibawah permukaan tanah yang
direncanakan sebagai kegiatan hilir pertambangan minyak dan gas bumi
dan/atau kegiatan operasi produksi pertambangan mineral dan batubara
serta kawasan panas bumi dan kawasan pembangkitan tenaga listrik.
46. Kawasan Peruntukan Industri merupakan bentangan lahan yang
diperuntukkan bagi kegiatan industri berdasarkan Rencana Tata Ruang
Wilayah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
47. Kawasan Pariwisata merupakan kawasan yang memiliki fungsi utama
pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata baik
alam, buatan, maupun budaya
48. Kawasan Permukiman merupakan kawasan yang merupakan bagian dari
lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan
perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan.
49. Kawasan Transportasi merupakan kawasan yang dikembangkan untuk
menampung fungsi transportasi skala regional dalam upaya untuk
mendukung kebijakan pengembangan sistem transportasi yang tertuang
di dalam rencana tata ruang yang meliputi transportasi darat, udara, dan
laut.
50. Kawasan Pertahanan dan Keamanan merupakan kawasan yang
dikembangkan untuk menjamin kegiatan dan pengembangan bidang
pertahanan dan keamanan seperti instalasi pertahanan dan keamanan,
termasuk tempat latihan, kodam, korem, koramil, dan sebagainya.
51. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang selanjutnya disingkat
KKPR adalah kesesuaian antara rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang
dengan RTR.
52. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut yang selanjutnya disingkat
KKPRL adalah kesesuaian antara rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang
laut dengan RTR dan/atau RZ.
53. Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang selanjutnya
disingkat KKKPR adalah dokumen yang menyatakan kesesuaian antara
rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang dengan RDTR.

8
54. Konfirmasi Kesesuaian Ruang Laut yang selanjutnya disebut Konfirmasi
adalah dokumen yang menyatakan kesesuaian antara rencana kegiatan
Pemanfaatan Ruang laut dengan RTR dan/atau RZ.
55. Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang selanjutnya
disingkat PKKPR adalah dokumen yang menyatakan kesesuaian antara
rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang dengan RTR selain RDTR.
56. Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut yang
selanjutnya disebut Persetujuan adalah dokumen yang menyatakan
kesesuaian antara rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang laut dengan RTR
dan/atau RZ.
57. Arahan Zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan
pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk
setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam Rencana
Rinci Tata Ruang.
58. Insentif adalah perangkat atau upaya untuk memberikan rangsangan
terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan RTR.
59. Disinsentif adalah perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan,
atau mengurangi pelaksanaan kegiatan yang tidak sejalan dengan RTR.
60. Bhisama Kesucian Pura adalah norma agama yang ditetapkan oleh Sabha
Pandita Parisadha Hindu Dharma Indonesia Pusat, sebagai pedoman
pengamalan ajaran Agama Hindu tentang kawasan kesucian pura yang
belum dijelaskan secara lengkap dalam kitab suci.
61. Sad Kerthi adalah upaya untuk menyucikan jiwa (atma kerthi), menjaga
kelestarian hutan (wana kerthi) dan danau (danu kerthi) sebagai sumber
air bersih, laut beserta pantai (segara kerthi), keharmonisan sosial dan
alam yang dinamis (jagat kerthi), dan membangun kualitas sumber daya
manusia (jana kerthi).
62. Tri Mandala adalah pola pembagian wilayah, Kawasan, dan/atau
pekarangan yang dibagi menjadi tiga tingkatan terdiri atas utama
mandala, madya mandala dan nista mandala.
63. Desa Adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang
memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak-hak tradisional, harta
kekayaan sendiri, tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat secara
turun temurun dalam ikatan tempat suci (kahyangan tiga atau
kahyangan desa), tugas dan kewenangan serta hak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri.
64. Wewidangan atau Wewengkon, yang selanjutnya disebut Wewidangan
Desa Adat adalah wilayah Desa Adat yang memiliki batas-batas tertentu.
65. Masyarakat adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk
masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan
nonpemerintah lain dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang.
66. Forum Penataan Ruang adalah wadah di tingkat pusat dan daerah yang
bertugas untuk membantu Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
dengan memberikan pertimbangan dalam Penyelenggaraan Penataan
Ruang.

Bagian Kedua
Ruang Lingkup

Pasal 2
(1) Lingkup wilayah RTRWP mencakup :

9
a. Wilayah dengan luas kurang lebih 1.531.479,22 ha (satu juta lima
ratus tiga puluh satu ribu empat ratus tujuh puluh sembilan koma
dua dua hektar), mencakup wilayah darat termasuk Pulau-Pulau Kecil
dan wilayah laut
b. wilayah udara; dan
c. wilayah dalam bumi
(2) Batas wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terletak pada
koordinat 08003’40”LS – 08050’48” LS dan 114025’53” BT – 115042’40”
BT, dengan batas-batas Wilayah :
a. sebelah utara : Laut Bali;
b. sebelah selatan : Samudera Hindia;
c. sebelah barat : Selat Bali; dan
d. sebelah timur : Selat Lombok.
(3) Wilayah darat, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, secara
administrasi terdiri dari 8 (delapan) wilayah kabupaten dan 1 (satu)
wilayah kota, seluas kurang lebih 559.472,91 ha (lima ratus lima puluh
sembilan ribu empat ratus tujuh puluh dua koma sembilan satu hektar)
mencakup wilayah :
a. Kabupaten Jembrana;
b. Kabupaten Tabanan;
c. Kabupaten Badung;
d. Kabupaten Gianyar;
e. Kabupaten Klungkung;
f. Kabupaten Bangli;
g. Kabupaten Karangasem;
h. Kabupaten Buleleng; dan
i. Kota Denpasar.
(4) Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terletak
di Kabupaten Jembrana, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Karangasem,
Kabupaten Buleleng dan Kota Denpasar
(5) Wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, mencakup
Wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai ke
arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan dan sejauh jarak
garis tengah antar Wilayah laut Provinsi yang berdekatan, seluas kurang
lebih 972.006,31 ha (sembilan ratus tujuh puluh dua ribu enam koma
tiga satu hektar)
(6) wilayah darat termasuk Pulau-Pulau Kecil dan sebagian wilayah laut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, mencakup total
wewidangan atau wewengkon seluruh desa adat di Bali berdasarkan
konsep kearifan lokal Bali.
(7) Lingkup wilayah RTRWP, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digambarkan dalam peta skala 1:250.000 (satu berbanding dua ratus
lima puluh ribu) sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Pasal 3
Muatan RTRWP meliputi:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi Penataan Ruang;
b. rencana struktur Ruang Wilayah;
c. rencana pola Ruang Wilayah;
d. KSP;
e. arahan pemanfaatan Ruang;

10
f. arahan pengendalian pemanfaatan Ruang; dan
g. peran masyarakat dan kelembagaan;

BAB II
TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN
STRATEGI PENATAAN RUANG

Bagian Kesatu
Tujuan

Pasal 4
Penataan Ruang Wilayah Provinsi bertujuan untuk mewujudkan ruang
wilayah yang berkualitas, aman, nyaman, produktif, berjatidiri, berdaya saing,
dan berkelanjutan sebagai pusat kegiatan ekonomi hijau berbasis pariwisata,
pertanian, industri kreatif dan kelautan dalam rangka menjaga keharmonisan
Alam dan kebudayaan Bali beserta isinya berlandaskan Tri Hita Karana dan
Sat Kertih Loka Bali.

Bagian Kedua
Kebijakan

Pasal 5
Kebijakan Penataan Ruang Wilayah Provinsi meliputi:
a. peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi
wilayah yang merata dan behierarkhis;
b. peningkatan konektivitas dan keterpaduan sistem jaringan transportasi
dalam wilayah, nasional dan internasional;
c. pengembangan, pemanfaatan, dan pengelolaan kawasan lindung berbasis
ekosistem, budaya dan kearifan lokal;
d. Pengelolaan Kawasan Budidaya unggulan pariwisata, pertanian, industri
kreatif dan potensi sumber daya kelautan secara optimal, berdaya saing
dan berkelanjutan didukung sektor penunjang lainnya secara terpadu;
e. pengintegrasian secara harmonis penataan ruang wilayah daratan dan
wilayah perairan pesisir;
f. pengintegrasian secara harmonis kawasan strategis kepentingan nasional
dan wilayah untuk pertumbuhan ekonomi, pelestrian lingkungan hidup
dan pelestarian budaya.
g. peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana wilayah
secara terpadu dan merata; dan
h. pengembangan wilayah berwawasan lingkungan hidup, berbasis mitigasi
bencana dan pembangunan rendah karbon

Bagian Ketiga
Strategi

Pasal 6

11
Pengembangan sistem perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
wilayah yang proporsional, merata, dan hierarkhis, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf a, dilaksanakan dengan strategi yang meliputi :
a. menjaga dan mewujudkan keterkaitan sistem perkotaan nasional dalam
wilayah provinsi meliputi :
1. Kawasan Perkotaan Sarbagita sebagai PKN; dan
2. Kawasan Perkotaan Singaraja, Kawasan Perkotaan Semarapura dan
Kawasan Perkotaan Negara sebagai PKW;
b. menetapkan Kawasan Perkotaan berfungsi PKL dan mengarahkan
pengembangan sistem perkotaan dan pusat pelayanan kabupaten/kota;
c. memantapkan keterkaitan 4 (empat) perwilayahan sistem perkotaan yang
mendukung pemerataan pengembangan wilayah mencakup sistem
perkotaan Bali Utara, Bali Timur, Bali Selatan dan Bali Barat
d. mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan baru yg mendukung sektor
unggulan sebagai kota wisata, minapolitan, agropolitan, industri, maritim
secara holistik, terintegrasi, inklusif, dan berkelanjutan;
e. mendorong kawasan perkotaan dan pusat pertumbuhan lebih kompetitif
dan lebih efektif dalam pengembangan wilayah di sekitamya, dan;
f. memantapkan integrasi keterkaitan kawasan perkotaan, pusat-pusat
kegiatan ekonomi, dengan kawasan perdesaan (urban-rural linkage).

Pasal 7
Peningkatan konektivitas dan keterpaduan sistem jaringan transportasi dalam
wilayah, nasional dan internasional, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b, dilaksanakan dengan strategi yang meliputi:
a. meningkatkan konektivitas dan keterpaduan sistem jaringan transportasi
darat, laut dan udara
b. meningkatkan kapasitas pintu gerbang udara Bali melalui pengembangan
sistem multi bandara komplementar antara Bandar Udara Ngurah Rai
dengan Bandar Udara Bali Utara
c. meningkatkan kualitas dan kapasitas layanan jaringan jalan, termasuk
pengembangan jalan tol.
d. meningkatkan kapasitas dan konektivitas pelabuhan dalam wilayah, antar
pulau dan internasional untuk pelayanan penyeberangan, umum,
pariwisata, energi dan lainnya
e. meningkatkan kapasitas dan konektivitas pelabuhan dalam wilayah, antar
pulau dan internasional untuk pelayanan penyeberangan, umum,
pariwisata, energi dan lainnya
f. mengembangkan angkutan massal perkotaan dan antar kota berbasis
jalan maupun kereta api.
g. meningkatkan aksesibilitas dan keterpaduan sistem transportasi Kawasan
Sarbagita
h. mengembangkan Kawasan TOD pada simpul-simpul pergerakan utama
kota dan wilayah; dan
i. mengembangkan sistem jaringan transportasi darat, di permukaan, di atas
permukaan dan di bawah permukaan tanah

Pasal 8
Pengelolaan kawasan berfungsi lindung, berbasis ekosistem, budaya dan
kearifan lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c, dilaksanakan
dengan strategi yang meliputi:
a. menetapkan kawasan lindung di ruang darat, ruang perairan pesisir, dan
ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi;

12
b. mewujudkan kawasan berfungsi lindung minimal 30% (tiga puluh persen)
dari luas ruang darat wilayah sesuai kondisi dan karakter DAS dan fungsi
ekosistemnya secara proporsional;
c. memperkuat kapasitas pengelolaan kawasan konservasi yang telah
ditetapkan dan menginisiasi pencadangan kawasan konservasi sesuai
potensinya;
d. melindungi dan melestarikan kawasan lindung berbasis kearifan lokal
untuk menjaga kesucian dan keharmonisan alam Bali beserta isinya;
e. meningkatkan pemulihan, restorasi, dan rehabilitasi kawasan lindung
untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan keberlanjutan ekosistem;
f. mengembangkan ketentuan khusus pemanfaatan ruang kawasan lindung
yang overlay dengan Kawasan budidaya; dan
g. memanfaatkan secara lestari jasa ekosistem kawasan lindung berbasis
masyarakat;

Pasal 9
Pengelolaan Kawasan Budidaya unggulan pariwisata, pertanian, industri
kreatif dan potensi sumber daya kelautan secara optimal, berdaya saing dan
berkelanjutan didukung sektor penunjang secara terpadu sebagaimana
dimaksud pada Pasal 5 huruf d, dilaksanakan dengan strategi yang meliputi:
a. menetapkan komponen kawasan budi daya bernilai strategis nasional dan
wilayah untuk pemanfaatan sumber daya alam di ruang darat, ruang laut,
dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi secara sinergis untuk
mewujudkan keseimbangan pemanfaatan ruang wilayah;
b. meningkatkan kapasitas, keterpaduan dan sinergi berkelanjutan
pemanfaatan ruang kegiatan budi daya unggulan pariwisata, pertanian,
industri, perikanan dan kelautan didukung sektor lainnya untuk
meningkatkan ketahanan perekonomian wilayah;
c. mengembangkan secara optimal kawasan pariwisata berbasis daya tarik
alam, budaya maupun buatan yang berdaya saing dan inklusif;
d. mengembangkan kawasan pertanian ramah lingkungan yang unggul,
berdaya saing tinggi, dan terkelola berdasarkan kearifan lokal;
e. menetapkan, memanfaatkan, mengembangkan, dan mempertahankan
kawasan pertanian pangan berkelanjutan untuk mewujudkan kemandirian,
ketahanan, kedaulatan pangan dan jatidiri budaya lansekap wilayah;
f. meningkatkan daya saing kawasan perkebunan dan hortikultura dengan
komoditas unggulan didukung penerapan riset, teknologi, dan sistem
agribisnis hulu hilir;
g. mengembangkan industri berbasis sumber daya alam lokal, industri kreatif
dan digital;
h. mengoptimalkan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan
perairan pesisir untuk kedaulatan ekonomi wilayah dan nasional;
i. meningkatkan kualitas permukiman perkotaan dan permukiman perdesaan
yang aman, nyaman, produktif dan berjatidiri budaya Bali;
j. meningkatkan optimasi pemanfaatan ruang kawasan terbangun Kawasan
Perkotaan dan pusat-pusat kegiatan melalui ekstensifikasi terbatas,
intensifikasi dan pengembangan bangunan vertikal kompak pada lokasi
tertentu;
k. mengembangkan ruang terbuka hijau minimal 30% (tiga puluh persen),
dan minimal 20% (dua puluh persen) RTH Publik dari luas terbangun
Kawasan Perkotaan; dan
l. membatasi dan mengendalikan kegiatan budi daya yang overlay pada
kawasan lindung

Pasal 10

13
Pengintegrasian secara harmonis pengelolaan wilayah daratan dan perairan
pesisir, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e, dilaksanakan dengan
strategi yang meliputi:
a. memantapkan konsep kearifan lokal nyegara – gunung pemanfaatan ruang
berbasis DAS dan perairan pesisir;
b. mengintegrasikan pusat-pusat pertumbuhan kelautan dan perikanan
dalam pusat-pusat pelayanan wilayah;
c. memantapkan konektivitas dan keterpaduan jaringan prasarana wilayah di
darat dan perairan pesisir;
d. memantapkan harmonisasi kawasan budidaya dan kawasan konservasi di
perairan pesisir dengan pemanfaatan ruang pada sisi daratan;
e. memantapkan pendayagunaan potensi wisata alam bawah laut
terintegrasi harmonis dengan pemanfaatan ruang darat, dan
f. mengembangkan manajemen pengelolaan dan pemeliharaan terpadu lintas
pelaku kawasan pantai dan sekitarnya;

Pasal 11
Pengintegrasian secara harmonis kawasan strategis kepentingan nasional dan
wilayah untuk pertumbuhan ekonomi, pelestrian lingkungan hidup dan
pelestarian budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf g,
dilaksanakan dengan strategi yang meliputi:
a. mengintegrasikan secara harmonis kawasan strategis kepentingan
nasional dalam struktur dan pola ruang wilayah;
b. mengembangkan Kawasan Strategis Provinsi dari sudut pertumbuhan
ekonomi wilayah yang produktif, berdaya saing nasional dan internasional
dalam bentuk Kawasan Strategis Pariwisata Daerah (KSPD) dan Kawasan
Pengembangan Terpadu Daerah (KPTD);
c. mengembangkan Kawasan Strategis Provinsi dari sudut perlindungan dan
pelestarian Kawasan yang mendukung jati diri sosial budaya dalam bentuk
Kawasan Tempat Suci Pura Sad Kahyangan dan Kawasan Warisan Budaya
d. mengembangkan Kawasan Strategis Provinsi dari sudut pelestarian
lingkungan hidup dan keunikan bentang alam dalam bentuk kawasan
sekitar danau dan Kawasan konservasi;
e. mengembangkan integrasi keterpaduan kluster-kluster kegiatan ekonomi
unggulan sebagai dasar percepatan program pengembangan koridor
ekonomi wilayah; dan
f. mengarahkan arah dan tema pengembangan Kawasan Strategis Provinsi
sebagai dasar penyusunan RTRW dan RDTR kabupaten/kota.

Pasal 12
Peningkatan pelayanan sistem jaringan prasarana wilayah secara terpadu dan
merata di seluruh wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf g
dilaksanakan dengan strategi yang meliputi:
a. meningkatkan kemandirian pelayanan energi dan meningkatkan bauran
sumber energi bersih dan energi baru terbarukan;
b. meningkatkan kualitas layanan infrastruktur digital dan telekomunikasi
menuju bali smart island dan pemerataan layanan teknologi informasi dan
komunikasi ke seluruh wilayah;
c. meningkatkan sediaan air baku dan pengelolaan sumber daya air dalam
sistem ekobioregion yang efisien, berkelanjutan, dan mengintegrasikan
prinsip-prinsip kearifan lokal Bali;
d. meningkatkan kapasitas, kualitas dan pemerataan layanan jaringan air
minum di kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan secara terpadu
e. memantapkan pengelolaan sampah berbasis sumber di seluruh desa
didukung penyediaan sarana dan prasarana pengolahan

14
f. meningkatkan kapasitas dan kualitas pengelolaan limbah domestik dan
penyediaan fasilitas pengolahan limbah B3;
g. mengintegrasikan secara harmonis Kawasan strategis tema pariwisata
antara KSPN, KSPD dan KPTD;
h. meningkatkan kualitas infrastruktur kebencanaan dan Mitigasi Rawan
Bencana; dan
i. meningkatkan keterpaduan sistem jaringan prasarana permukiman
Kawasan Perkotaan, Kawasan Perdesaan dan Kawasan Strategis Provinsi.

Pasal 13
Pengembangan wilayah berwawasan lingkungan hidup, berbasis mitigasi
bencana dan pembangunan rendah karbon sebagaimana dimaksud pada Pasal
5 huruf h, dilaksanakan dengan strategi yang meliputi:
a. mengintegrasikan kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan ke
dalam penataan Ruang;
b. meningkatkan upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup, mencegah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, dan
pemulihan fungsi lingkungan hidup secara terpadu;
c. menginternalisasikan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup dalam
pelaksanaan pembangunan wilayah semua sektor
d. menguatkan integrasi aspek pengurangan risiko bencana dan dampak
perubahan iklim;
e. mengintegrasikan upaya mereduksi emisi gas rumah kaca pada sektor-
sektor prioritas dalam penataan Ruang;
f. mengarahkan pemanfataan energi bersih dan energi baru terbarukan pada
sektor energi, domestik, non domestik dan transportasi;
g. mengembangkan kajian dan analisis resiko bencana skala wilayah dan
pada kawasan tertentu;
h. mengembangkan pola pembangunan yang tahan dan antisipatif terhadap
dampak perubahan iklim dan gangguan anomali cuaca; dan
i. mengembangkan jalur, tempat evakuasi dan infrastruktur mitigasi
bencana.

BAB III
RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH PROVINSI

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 14
(1) Rencana struktur ruang wilayah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf b, mencakup:
a. sistem pusat permukiman;
b. sistem jaringan transportasi;
c. sistem jaringan energi;
d. sistem jarungan telekomunikasi;
e. sistem jaringan sumber daya air; dan
f. sistem jaringan prasarana lainnya .
(2) Peta rencana struktur ruang wilayah, sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian skala 1:250.000

15
(satu berbanding dua ratus lima puluh ribu) sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II. yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua
Sistem Pusat Permukiman

Pasal 15
(1) Sistem pusat permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(1) huruf a, mencakup:
a. PKN;
b. PKW; dan
c. PKL;
(2) PKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), huruf a mencakup Kawasan
Perkotaan Denpasar – Badung – Gianyar – Tabanan (Sarbagita), meliputi:
a. Kawasan Perkotaan inti terdiri atas:
1. Kota Denpasar; dan
2. Kawasan Perkotaan Kuta di Kabupaten Badung;
b. Kawasan Perkotaan di sekitar Kawasan Perkotaan inti terdiri atas:
1. Kawasan Perkotaan Mangupura dan Kawasan Perkotaan Jimbaran
di Kabupaten Badung;
2. Kawasan Perkotaan Gianyar, Kawasan Perkotaan Ubud, dan
Kawasan Perkotan Sukawati di Kabupaten Gianyar; dan
3. Kawasan Perkotaan Tabanan di Kabupaten Tabanan.
(3) PKW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, mencakup:
a. Kawasan Perkotaan Negara di Kabupaten Jembrana;
b. Kawasan Perkotaan Semarapura di Kabupaten Klungkung; dan
c. Kawasan Perkotaan Singaraja di Kabupaten Buleleng.
(4) PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, mencakup:
a. Kawasan Perkotaan Bangli di Kabupaten Bangli
b. Kawasan Perkotaan Amlapura di Kabupaten Karangasem
c. Kawasan Perkotaan Gilimanuk – Pemuteran di Kabupaten Jembrana
dan Kabupaten Buleleng;
d. Kawasan Perkotaan Seririt di Kabupaten Buleleng.
e. Kawasan Perkotaan Kintamani di Kabupaten Bangli; dan
f. Kawasan Perkotaan Sampalan di Kabupaten Klungkung;
(5) Sistem pusat permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
selanjutnya didukung Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) dan Pusat
Pertumbuhan Kelautan.
(6) Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
selanjutnya ditetapkan dalam RTRW Kabupaten
(7) Pusat Pertumbuhan Kelautan, sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
terintegrasi dalam sistem pusat permukiman meliputi :
a. sentra perikanan tangkap dan pelabuhan perikanan di Kabupaten
Jembrana Kabupaten Tabanan, Kabupaten Klungkung, Kabupaten
Badung, Kota Denpasar, Kabupaten Gianyar, Kabupaten Klungkung,
Kabupaten Karangasem dan Kabupaten Buleleng;
b. sentra perikanan budidaya di Kabupaten Jembrana, Kabupaten
Badung, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Karangasem dan
Kabupaten Buleleng;
c. sentra pengolahan ikan di Kabupaten Jembrana, Kota Denpasar,
Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Buleleng;

16
d. sentra Pergaraman di Kabupaten Jembrana, Kabupaten Klungkung,
Kabupaten Karangasem dan Kabupaten Buleleng;
e. sentra industri maritim di Kabupaten Jembrana dan Kabupaten
Buleleng;
f. sentra penelitian dan pengembangan kelautan di Kabupaten
Jembrana, Kabupaten Karangasem dan Kabupaten Buleleng; dan
g. sentra pariwisata bahari di Kabupaten Jembrana, Kabupaten Badung,
Kabupaten Klungkung, Kabupaten Badung, Kota Denpasar,
Kabupaten Gianyar, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Karangasem
dan Kabupaten Buleleng.
(8) Peta sistem pusat permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian skala 1:250.000 (satu
berbanding dua ratus lima puluh ribu) sebagaimana tercantum dalam
Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.

Pasal 16
(1) Sistem pusat permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
terintegrasi dalam perwilayahan pelayanan perkotaan termasuk Kawasan
Perdesaan berdasarkan kondisi geografis dan aksesibilitas Wilayah
mencakup:
a. sistem perkotaan Bali Barat;
b. sistem perkotaan Bali Selatan;
c. sistem perkotaan Bali Timur;
d. sistem perkotaan Bali Utara; dan
a. sistem perkotaan Bali Utara;
(2) Sistem perkotaan Bali Barat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, meliputi sistem perkotaan di Wilayah Kabupaten Jembrana mencakup
Kawasan Perkotaan Negara berfungsi sebagai PKW, didukung Kawasan
Perkotaan Gilimanuk berfungsi sebagai PKL, Kawasan Perkotaan
berfungsi PPK dan pusat pusat pertumbuhan kelautan pada Wilayah
Kabupaten Jembrana.
(3) Sistem perkotaan Bali Selatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, meliputi sistem perkotaan di Wilayah Kabupaten Tabanan, Kabupaten
Badung, Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar mencakup:
a. pusat pelayanan Kawasan Perkotaan Sarbagita berfungsi sebagai PKN
yang merupakan Kawasan Metropolitan meliputi Kota Denpasar dan
Kawasan Perkotaan Kuta sebagai Kawasan Perkotaan inti didukung
Kawasan Perkotaan sekitar kota inti meliputi Kawasan Perkotaan
Mangupura, Kawasan Perkotaan Jimbaran, Kawasan Perkotaan
Gianyar, Kawasan Perkotaan Ubud, Kawasan Perkotaan Sukawati dan
Kawasan Perkotaan Tabanan serta Kawasan Perkotaan di antara kota
inti dan Kawasan Perkotaan sekitar kota inti meliputi Kawasan
Perkotaan Kuta Utara dan Kawasan Perkotaan Blahkiuh; dan
b. Kawasan Perkotaan di luar Kawasan Perkotaan Sarbagita berfungsi
sebagai PPK pada Wilayah Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar
dan Kabupaten Tabanan.
c. pusat pusat pertumbuhan kelautan pada Wilayah Kabupaten Badung,
Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Tabanan.
(4) Sistem perkotaan Bali Timur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c, meliputi sistem perkotaan di Wilayah Kabupaten Bangli, Kabupaten
Klungkung dan Kabupaten Karangasem mencakup pusat pelayanan
Kawasan Perkotaan Semarapura berfungsi sebagai PKW didukung

17
Kawasan Perkotaan Bangli, Kawasan Perkotaan Amlapura, Kawasan
Perkotaan Kintamani dan Kawasan Perkotaan Sampalan sebagai PKL
serta didukung Kawasan Perkotaan berfungsi PPK dan dan pusat pusat
pertumbuhan kelautan pada Wilayah Kabupaten Klungkung, Kabupaten
Bangli dan Kabupaten Karangasem.
(5) Sistem Perkotaan Bali Utara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
d, meliputi sistem perkotaan di Wilayah Kabupaten Buleleng, mencakup
pusat pelayanan Kawasan Perkotaan Singaraja berfungsi sebagai PKW
didukung Kawasan Perkotaan Seririt berfungsi sebagai PKL serta
didukung Kawasan Perkotaan berfungsi PPK dan pusat pusat
pertumbuhan kelautan pada Wilayah Kabupaten Buleleng.
(6) Skala pelayanan sistem perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), juga dikembangkan untuk melayani
Kawasan Perdesaan dalam Wilayah pelayanannya, mencakup:
a. pengembangan Pusat Pelayanan Lokal (PPL) sebagai pusat
permukiman dan kegiatan sosial ekonomi yang melayani kegiatan
skala antar desa yang selanjutnya ditetapkan dalam RTRW
Kabupaten; dan
b. pengembangan kawasan agropolitan yang mendorong tumbuhnya
kota pertanian melalui berjalannya sistem dan usaha agribisnis untuk
melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan
pertanian (agribisnis) di Wilayah sekitarnya, meliputi: Kawasan
Agropolitan Catur di Kabupaten Bangli, Kawasan Agropolitan
Candikuning di Kabupaten Tabanan, Kawasan Agropolitan Payangan
di Kabupaten Gianyar, Kawasan Agropolitan Melaya di Kabupaten
Jembrana, Kawasan Agropolitan Sibetan di Kabupaten Karangasem,
Kawasan Agropolitan Petang di Kabupaten Badung, Kawasan
Agropolitan Nusa Penida di Kabupaten Klungkung, dan kawasan
agropolitan lainnya setelah melalui kajian.
(7) Peta perwilayahan pelayanan perkotaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian skala
1:250.000 (satu berbanding dua ratus lima puluh ribu) sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Ketiga
Sistem Jaringan Transportasi

Paragraf 1
Umum

Pasal 17
(1) Sistem jaringan transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(1) huruf b, mencakup:
a. sistem jaringan jalan
b. sistem jaringan kereta api;
c. sistem jaringan sungai, danau, dan penyeberangan;
d. jaringan pelayanan angkutan penumpang dan barang;
e. sistem jaringan transportasi laut;
f. bandar udara umum dan bandar udara khusus; dan
g. jalur pendaratan dan penerbangan di laut.

18
(2) Peta sistem jaringan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian skala 1:250.000 (satu
berbanding dua ratus lima puluh ribu) sebagaimana tercantum dalam
Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini

Paragraf 2
Sistem Jaringan Jalan

Pasal 18
(1) Sistem jaringan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
huruf a, mencakup:
a. jalan umum;
b. jalan khusus;
c. jalan tol;
d. terminal penumpang;
e. terminal barang;
f. jembatan timbang; dan
g. jembatan
(2) Jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri dari:
a. jalan arteri;
b. jalan kolektor; dan
c. jalan lokal;
(3) Jalan arteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi 29
(dua puluh Sembilan) ruas jalan arteri primer yang menjadi kewenangan
nasional, meliputi ruas jalan :
a. Gilimanuk - Cekik
b. Cekik - Batas Kota Negara;
c. Jalan Ahmad Yani - Jalan Udayana (Negara);
d. Batas Kota Negara – Pekutatan;
e. Jalan Sudirman - Gajahmada (Negara);
f. Pekutatan – Antosari;
g. Antosari - Batas. Kota Tabanan;
h. Simpang Kediri - Pesiapan (Tabanan);
i. Batas. Kota Tabanan – Mengwitani;
j. Jalan Ahmad Yani (Tabanan);
k. Mengwitani - Batas Kota Denpasar;
l. Jalan Cokroaminoto (Denpasar);
m. Jalan Cokroaminoto (Denpasar);
n. Jalan Sutomo (Denpasar);
o. Jalan Setiabudi (Denpasar);
p. Jalan Wahidin (Denpasar);
q. Jalan Thamrin (Denpasar);
r. Denpasar – Tuban;
s. Simpang Kuta - Tugu Ngurah Rai;
t. Simpang Lapangan Terbang (Denpasar) - Tugu Ngurah Rai;
u. Simpang Kuta - Simp. Pesanggaran;
v. Simpang Pesanggaran - Gerbang Benoa;
w. Simpang Pesanggaran - Simpang Sanur;
x. Simpang Sanur - Simpang Tohpati;
y. Simpang Cokroaminoto – Simpang Tohpati (Jalan Gatot Subroto);
z. Simpang Tohpati - Simpang Pantai Siut;
aa. Simpang Pantai Siut – Kusamba;

19
bb. Kusamba (Batas Kabupaten Karangasem) – Angentelu; dan
cc. Angentelu – Padangbai.
(4) Jalan kolektor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, mencakup :
a. jalan kolektor primer satu yang menjadi kewenangan nasional,
meliputi ruas jalan :
1) Simpang Cokroaminoto – Simpang Kerobokan;
2) Jalan Gunung Agung - Akses Kargo;
3) Jalan Western Ring Road (Simpang Gatot Subroto);
4) Kuta - Banjar Taman;
5) Tugu Ngurah Rai - Nusa Dua;
6) Simpang Tohpati – Sakah;
7) Sakah - Blahbatu;
8) Blahbatuh – Semebaung;
9) Semebaung - Batas. Kota Gianyar;
10) Jalan Ciung Wanara (Gianyar);
11) Jalan Astina Utara (Gianyar);
12) Batas Kota Gianyar – Sidan;
13) Jalan Ngurah Rai (Gianyar);
14) Jalan Astina Timur (Gianyar);
15) Sidan - Batas Kota Klungkung;
16) Jalan Untung Suropati, Flamboyan (Semarapura);
17) Batas Kota Klungkung - Kosamba (Bts. Kab.);
18) Jalan Diponegoro (Semarapura);
19) Cekik – Seririt;
20) Jalan Ahmad Yani - Jalan S. Parman (Seririt);
21) Seririt - Batas Kota Singaraja;
22) Jalan Gajahmada - Dr. Sutomo - Ahmad Yani (Singaraja);
23) Batas Kota Singaraja – Kubutambahan;;
24) Jalan Ngurah Rai Selatan - Jalan Pramuka;
25) Kubutambahan - Km 124 Dps (Bon Dalem/Ds);
26) Km 124 Dps (Bon Dalem/Ds. Tembok) - Bts. Kabupaten;
27) Jalan Untung Surapati (Amlapura);
28) Batas Kota Amlapura – Angentelu;
29) Jalan Sudirman - Ahmad Yani (Amlapura);
30) Batas Kota Singaraja – Mengwitani;
31) Jalan Jelantik Gingsir - Veteran (Singaraja);
32) Simpang 3 Mengwi – Beringkit;
33) Sakah - Teges – Ubud;
34) Teges - Tampak Siring (Istana Presiden);
35) Klungkung - Penelokan - Ulun Danu; dan
36) Jimbaran – Uluwatu;
b. Jalan kolektor primer dua yang menjadi kewenangan provinsi,
meliputi ruas jalan :
1) Jln.Dr.Sutomo-Gatot Subroto (Negara);
2) Jln.Ngurah Rai (Negara);
3) Jln.Gajahmada - P.Menjangan - P.Batam (Tabanan);
4) Jln. P. Seribu ( Tabanan);
5) Jln. Gajahmada (Tabanan);
6) Jln Pahlawan-G. Semeru (Tabanan);
7) Jln Gatot Subroto (Tabanan);
8) Jln. Ngurah Rai (Tabanan);
9) Jln. Surapati (Dps);
10) Denpasar – Sanur;
11) Denpasar - Simp.Pesanggaran;
12) Jln.Udayana - Hassanudin (Dps);
13) Denpasar - Simp. Tohpati;
14) Jalan Ngurah Rai (Semarapura);

20
15) Semebaung – Bedahulu;
16) Sidan - Bts. Kota Bangli;
17) Jln. Merdeka (Bangli);
18) Tampaksiring – Kayuambua;
19) Bts. Kota Bangli – Penelokan;
20) Jln. Nusantara (Bangli);
21) Bts. Kota Bangli – Kayuambua;
22) Jln. Kusumayuda (Bangli);
23) Kayuambua – Penelokan;
24) Sp. Penelokan - Bts. Buleleng;
25) Bts. Buleleng – Kubutambahan;
26) Pupuan – Seririt;
27) Pupuan – Pekutatan;
28) Antosari – Pupuan;
29) Gempol - Banyuning - Penarukan (Sgr);
30) Jln. Puputan - Bts.Kota Semarapura;
31) Jln. Kecubung (Semarapura);
32) Arah: Denpasar-Semarapura;
33) Arah: Semarapura-Denpasar;
34) Jln. Rama (Semarapura);
35) Simp.Tl.Nitimandala-Sp.Imambonjol;
36) Simp. Imam Bonjol - Sp. Mahendradatta;
37) Bts. Kediri - Tanah Lot;
38) Jln. Husni Thamrin (Tabanan);
39) Jln. Imam Bonjol (Tabanan);
40) Jln. Teuku Umar - Bts. Kediri;
41) Jln. Wagimin Kediri (Tabanan);
42) Jln. Raya Puputan Nitimandala (Dps);
43) Jln. Cok Agung Tresna Nitimandala (Dps);
44) Jln.Basuki Rahmat Nitimandala (Dps);
45) Arah: Timur-Barat;
46) Arah: Barat-Timur;
47) Jln.Dr.Muardi Niti Mandala (Dps);
48) Jln. Tantular Nitimandala (Dps);
49) Jln. D.I. Panjaitan Nitimandala(Dps);
50) Jln. Kusumaatmaja Nitimandala (Dps);
51) Jln. Ir.Juanda Nitimandala (Dps);
52) Jln. Prof.Moch Yamin Nitimandala (Dps);
53) Jln. Cut Nya Dien Nitimandala (Dps);
54) Jln. S.Parman Nitimandala (Dps);
55) Jln. Tantular Barat Nitimandala (Dps);
56) Blahbatuh - Bone- Bts. Kota Gianyar;
57) Jln. Astina Selatan (Gianyar);
58) Jln. Kesatrian (Gianyar);
59) Simp Kedisan – Kedisan;
60) Rendang - Bts. Kota Amlapura;
61) Jln. K.H. Samanhudi (Amlapura);
62) Jln. Nenas (Amlapura);
63) Lingkar Pesangkan;
64) Bts. Kota Denpasar - Sp. Petang;
65) Jln. A Yani Utara (Denpasar);
66) Sp. Petang - Sp. Kintamani;
67) Tegaltamu – Kedewatan;
68) Kedewatan – Ubud;
69) Kedewatan - Payangan – Baturanyar;
70) Surabrata - Blatungan- Kemoning;
71) Mambal – Kengetan;

21
72) Ubud - Tegallalang – Bubungbayung;
73) Tampaksiring-Tegallalang;
74) Bts. Kota Bangli – Nongan;
75) Jln. Airlangga (Bangli);
76) Bts Kediri - Marga – Mengwi;
77) Jln. Kapten Tendean (Tabanan);
78) Jln. Raya Alas Kedaton-Bts Kediri;
79) Wanagiri - Munduk – Mayong;
80) Bts. Kota Negara – Pengambengan;
81) Jln. Danau Buyan - Bts. Kota Negara;
82) Jln.Batukaru - Sp. Buruan;
83) Jln. Gunung Batur (Tabanan);
84) Jln Gunung Agung (Tabanan);
85) Sp. Buruan - Senganan – Pacung;
86) Pengotan - Simp. Sekardadi;
87) Sp. Sekardadi - Sp. Bayung Gede;
88) Paksebali – Selat;
89) Sp. Lateng - Madenan – Bondalem;
90) Pengambengan - Cupel -Banyubiru;
91) Bts. Kota Amlapura – Seraya;
92) Seraya – Culik;
93) Jln. Sudirman-Gatot Subroto-Lettu Alit (Amlapura);
94) Jln.Gajahmada (Amlapura);
95) Jln. Diponegoro - Kesatrian (Amlpura);
96) Jln. Bayangkara - Bts.Kota Amlapura;
97) Sp. Petang – Batunya;
98) Buruan – Gianyar;
99) Arah: Buruan-Gianyar;
100) Arah: Gianyar-Buruan;
101) Sp. Kerobokan - Munggu - Tanah Lot;
102) Jln.Gunung Agung - Gunung Sanghyang(Denpasar);
103) Ketewel – Sukawati;
104) Simp. By Pas Ngurah Rai – Serangan;
105) Arah: By Pass Ngurah Rai-Serangan;
106) Arah: Serangan-By Pass Ngurah Rai;
107) Pempatan – Ban;
108) Belayu - Tmp Margarana;
c. Jalan kolektor primer tiga yang menjadi kewenangan provinsi,
meliputi ruas jalan :
1) Jl. Penataran Agung (Besakih);
2) Jalan Dalem Puri (Besakih);
3) Bts Kota Semarapura - Simp. Klotok;
4) Sp. Menanga - Sp. Pempatan;
5) Simp. Rambutsiwi - Pura Rambutsiwi;
6) Sp. Buruan – Batukaru;
7) Selat - Pasar Agung;
8) Angentelu – Andekasa;
9) Padangbai – Silayukti;
10) Simp. Bajo – Lempuyang;
11) Simp. Tista – Lempuyang;
d. Rencana pengembangan jalan kolektor, meliputi ruas jalan :
1) Sp. Kerobokan-Canggu;
2) Terusan Mahendradata (Sp. Gn. Soputan-Sp. Sunset);
3) Jalan Lingkar Kuta Selatan;
4) Sp. Kedundung (Besakih)-Pempatan;
5) Sp. Sanda - Wangayagede;
6) jalan akses Kawasan Pusat Kebudayuaan Bali;

22
7) jalan akses Pelabuhan Gunaksa;
8) jalan akses Pelabuhan Tanah Ampo;
9) jalan akses Pelabuhan Sanur;
10) jalan akses Pelabuhan Sangsit;
11) jalan Lingkar Nusa Penida;
12) jalan akses Bandar Udara Bali Utara;
13) jalan Padangbai-Amlapura;
14) jalan Amlapura-Seraya-Culik (Subagan- Embuh);
15) jalan alternatif/shortcut jalan Nasional;
16) jalan Simpang Sidan-Ida Bagus Mantra;
17) jalan Kayuamba – Rendang;
18) jalan Simpang Tamblingan-Simpang Pujungan;
19) jalan akses Lembongan-Ceningan;
20) jalan Pacung-Madenan;
21) jalan Marga-Apuan;
22) jalan sekitar Pura Besakih;
23) jalan Muncan-Besakih;
24) jalan sekitar Pura Batur;
25) jalan lingkar Penelokan;
26) jalan Penulisan-Belandingan-Songan;
27) jalan Songan-Tianyar;
28) jalan Bayunggede-Manikliyu-Belantih;
29) jalan Kintamani-Glagah Linggah-Langgahan;
30) jalan Celukan Bawang-Seririt;
31) jalan Seririt-Singaraja-Kubutambahan;
32) jalan alternatif Tejakula;
33) jalan Baturiti-Pelaga;
34) jalan Pelaga-Sidan-Langgahan;
35) jalan Baturiti-Candikuning-Pancasari;
36) jalan alternatif/shortcut jalan Provinsi; dan
37) jalan lainnya melalui kebijakan khusus.
(5) Jalan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, merupakan
jalan umum kewenangan kabupaten/kota dengan fungsi jalan kolektor
primer empat dan jalan lokal primer
(6) Jalan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan
jalan yang dibangun oleh instansi, badan usaha, perseorangan, atau
kelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri
(7) Jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, mencakup ruas
jalan tol :
a. Bali Mandara (I Gusti Ngurah Rai);
b. Gilimanuk-Negara-Pekutatan-Soka-Mengwi (rencana);
c. Soka-Celukan Bawang (rencana);
d. Canggu-Mengwi (rencana);
e. Pelabuhan Benoa-Tohpati-Ubud- Mengwi (rencana);
f. Gilimanuk – Sumberkelampok (rencana); dan
g. Ubud-Padangbai (rencana);
(8) Terminal penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
mencakup:
a. terminal penumpang tipe A dan/atau simpul transit dalam bentuk
simpul terminal penumpang antarmoda dan intermoda angkutan
antarkota antar Provinsi yang dipadukan dengan angkutan antarkota
dalam Provinsi, angkutan perkotaan dan/atau angkutan perdesaan,
dikembangkan setelah melalui kajian, meliputi terminal dan/atau
simpul transit Mengwi di Kabupaten Badung; dan

23
b. terminal penumpang tipe B dan/atau simpul transit dalam bentuk
simpul terminal penumpang antarmoda dan intermoda angkutan
antarkota dalam Provinsi yang dipadukan dengan pelayanan
angkutan perkotaan dan/atau angkutan perdesaan, dikembangkan
setelah melalui kajian, meliputi:
1) terminal dan/atau simpul transit Gilimanuk di Kabupaten
Jembrana;
2) terminal dan/atau simpul transit Pupuan di Kabupaten Tabanan;
3) terminal dan/atau simpul transit Kuta di Kabupaten Badung;
4) terminal dan/atau simpul transit Ubung di Kota Denpasar;
5) terminal dan/atau simpul transit Sanur di Kota Denpasar;
6) terminal dan/atau simpul transit Ubud di Kabupaten Gianyar;
7) terminal dan/atau simpul transit Klungkung di Kabupaten
Klungkung;
8) terminal dan/atau simpul transit Kintamani di Kabupaten Bangli;
9) terminal dan/atau simpul transit Padangbai di Kabupaten
Karangasem; dan
10) terminal dan/atau simpul transit Singaraja di Kabupaten
Buleleng;
c. terminal penumpang tipe C dan/atau simpul transit dalam bentuk
simpul terminal penumpang antarmoda dan intermoda angkutan
angkutan perkotaan dan angkutan perdesaan, diatur lebih lanjut
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;
d. terminal khusus dalam bentuk sentral parkir atau simpul transit di
pusat-pusat kegiatan perkotaan dan pariwisata yang telah
berkembang; dan
e. terminal penumpang sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d dapat dikembangkan menjadi Kawasan TOD.
(9) Terminal barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, meliputi:
a. terminal barang Gilimanuk di Kabupaten Jembrana;
b. terminal barang di Kota Denpasar;
c. terminal barang Pelabuhan Benoa di Kota Denpasar;
d. terminal barang Singaraja di Kabupaten Buleleng;
e. terminal barang Pelabuhan Celukan Bawang di Kabupaten Buleleng;
f. rencana terminal barang Tabanan di Kabupaten Tabanan;
g. rencana terminal barang Ubud di Kabupaten Gianyar;
h. rencana terminal barang Bali Timur di Kabupaten Karangasem;
i. rencana terminal barang Sampalan di Kabupaten Klungkung; dan
j. rencana terminal barang lainnya setelah melalui kajian.
(9) Jembatan timbang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f,
mencakup :
a. jembatan timbang Gilimanuk di Kabupaten Jembrana; dan
b. jembatan timbang lainnya sesuai kajian dan kebijakan.
(10) Jembatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, mencakup
seluruh jembatan pada jalan umum dan jalan khusus.
(11) Jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berubah status
dan fungsinya, ditetapkan oleh Menteri, Gubernur, Bupati, Wali Kota,
sesesuai ketentuan.
(12) Peta sistem jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf b, digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian skala
1:250.000 (satu berbanding dua ratus lima puluh ribu) sebagaimana
tercantum dalam Lampiran V.B dan merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Daerah ini.

24
(13) Sebaran ruas jalan arteri dan jalan kolektor tercantum pada Tabel
Lampiran V.C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.

Paragraf 3
Sistem Jaringan Kereta Api

Pasal 19
(1) Sistem jaringan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
huruf b, meliputi kereta rel listrik, kereta bawah tanah, monorail dan
lain-lain, mencakup:
a. jaringan jalur kereta api; dan
b. stasiun kereta api.
(2) Jaringan jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
meliputi:
a. jaringan jalur kereta api di dalam Kawasan Perkotaan Sarbagita,
meliputi jalur :
1) Bandar Udara Ngurah Rai – Nusa Dua;
2) Bandar Udara Ngurah Rai – Kuta – Mangupura – Mengwi;
3) Bandar Udara Ngurah Rai – Kuta – Pelabuhan Benoa/Niti Mandala
– Sanur; dan
4) Sanur – Ubud/Sukawati;
b. jaringan jalur kereta api koridor Bali Selatan – Bali Utara, meliputi
jalur :
1) Mengwi – Ubud/Sukawati; dan
2) Ubud/Sukawati – Kubutambahan
c. jaringan jalur kereta api melingkar mengelilingi Pulau Bali, meliputi
jalur :
1) Ubud/Sukawati – Kawasan Pusat Kebudayaan Bali;
2) Kawasan Pusat Kebudayaan Bali – Amlapura – Tulamben –
Kubutambahan;
3) Kubutambahan – Singaraja – Bandar Udara Bali Utara; dan
4) Mengwi - Bandar Udara Bali Utara.
(3) Stasiun kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
merupakan prasarana kereta api sebagai tempat pemberangkatan dan
pemberhentian kereta api, meliputi :
a. Stasiun kereta api di dalam Kawasan Perkotaan Sarbagita, meliputi:
Nusa Dua, Bandar Udara Ngurah Rai, Kuta, Seminyak, Kuta Utara,
Mangupura, Mengwi, Pelabuhan Benoa, Teuku Umar Denpasar, Niti
Mandala, Sanur, dan Ubud/Sukawati; dan
d. Stasiun kereta di luar Kawasan Perkotaan Sarbagita, meliputi :
Kawasan Pusat Kebudayaan Bali, Amlapura, Tulamben,
Kubutambahan, Singaraja, Lovina, Seririt, Celukan Bawang,
Pemuteran, Bandar Udara Bali Baru, Gilimanuk, Candikusuma,
Negara, Pekutatan, Bajera dan Tabanan
(4) Stasiun kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
diintegrasikan dengan simpul transit lainnya secara terpadu menjadi
Kawasan TOD.
(5) Dalam hal penetapan jaringan jalur kereta api, jenis kereta api, lokasi
stasiun kereta api berdasarkan kajian, kesepakatan antar pihak dan
selanjutnya ditetapkan oleh Menteri, jalur dan lokasi disesuaikan dengan
hasil penetapan Menteri.

25
Paragraf 4
Sistem Jaringan Sungai, Danau Dan Penyeberangan

Pasal 20
(1) Sistem jaringan sungai, danau dan penyeberangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf c, mencakup:
a. pelabuhan penyeberangan;
b. pelabuhan sungai dan danau;
c. lintas penyeberangan antar provinsi;
d. lintas penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi; dan
e. alur pelayaran sungai dan alur pelayaran danau.
(2) Pelabuhan Penyeberangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
meliputi:
a. Pelabuhan penyeberangan Kelas I;
b. Pelabuhan penyeberangan Kelas II; dan
c. Pelabuhan penyeberangan Kelas III
(3) Pelabuhan penyeberangan Kelas I, sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a, meliputi:
a. Pelabuhan Penyeberangan Gilimanuk di Kabupaten Jembrana;
b. Pelabuhan Penyeberangan Padangbai di Kabupaten Karangasem; dan
c. rencana Pelabuhan Penyeberangan Gunaksa di Kabupaten Klungkung
(4) Pelabuhan penyeberangan Kelas II, sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b, meliputi rencana rencana Pelabuhan Penyeberangan Sangsit di
Kabupaten Buleleng:
(5) Pelabuhan penyeberangan Kelas III, sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b, meliputi:
a. Pelabuhan Penyeberangan Nusa Penida di Kabupaten Klungkung; dan
b. Pelabuhan Penyeberangan Bias Munjul/Ceningan di Kabupaten
Klungkung;
(6) Pelabuhan sungai dan danau, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, meliputi:
a. Dermaga Danau Kedisan di Kabupaten Bangli;
b. Dermaga Danau Trunyan di Kabupaten Bangli;
c. Dermaga Danau Kuburan Trunyan di Kabupaten Bangli;
d. Dermaga Danau Toyabungkah di Kabupaten Bangli;
e. Dermaga Danau Beratan di Kabupaten Tabanan;
f. Dermaga Danau Bedugul di di Kabupaten Tabanan;
g. Dermaga Danau Buyan di Kabupaten Buleleng; dan
h. Dermaga Danau Tamblingan di Kabupaten Buleleng;
(7) Lintas penyeberangan antar provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c, mencakup:
a. lintas penyeberangan Selat Bali antara Pelabuhan Penyeberangan
Ketapang (Provinsi Jawa Timur) dengan Pelabuhan Penyeberangan
Gilimanuk;
b. lintas penyeberangan Selat Badung dan Selat Lombok antara :
1) Pelabuhan Penyeberangan Padangbai dengan Pelabuhan
Penyeberangan Lembar (Provinsi Nusa Tenggara Barat);
2) Pelabuhan penyeberangan Kawasan Pusat Kebudayaan Bali
dengan Pelabuhan PenyeberanganLembar (Provinsi Nusa Tenggara
Barat); dan
c. lintas penyeberangan Laut Bali antara rencana Pelabuhan
penyeberangan Sangsit dengan Pelabuhan Penyeberangan Sepeken,
Madura (Provinsi Jawa Timur);

26
(8) Lintas penyeberangan antar antar kabupaten/kota dalam provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, mencakup:
a. lintas penyeberangan Selat Badung antara Pelabuhan Penyeberangan
Nusa Penida dengan Pelabuhan Penyeberangan Kawasan Pusat
Kebudayaan Bali;
b. lintas penyeberangan Selat Badung dan Selat Ceningan antara
rencana Pelabuhan Penyeberangan Kawasan Pusat Kebudayaan Bali
dengan Pelabuhan Penyeberangan Bias Munjul/Ceningan; dan
c. lintas penyeberangan Selat Ceningan, Selat Toyapakeh dan Selat
Badung antara Pelabuhan Penyeberangan Nusa Penida dengan
Pelabuhan Penyeberangan Bias Munjul/Ceningan.
(9) Alur pelayaran sungai dan alur pelayaran danau, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf e, mencakup:
a. alur pelayaran di Danau Danau Batur;
b. alur pelayaran di Danau Danau Beratan;
c. alur pelayaran di Danau Danau Buyan;
d. alur pelayaran di Danau Danau Tamblingan; dan
e. alur pelayaran sungai untuk jalur wisata petualangan

Paragraf 5
Sistem Jaringan Pelayanan Angkutan Penumpang Dan Barang

Pasal 21
(1) Sistem jaringan pelayanan angkutan penumpang dan barang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf d, mencakup:
a. angkutan penumpang;
b. angkutan barang; dan
c. manajemen dan rekayasa lalu lintas
(2) Angkutan penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
mencakup:
a. angkutan penumpang dalam trayek, meliputi Angkutan Kota Antar
Provinsi (AKAP), Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP), angkutan
perkotaan dan angkutan perdesaan;
b. angkutan penumpang tidak dalam trayek, meliputi taksi, angkutan
dengan tujuan tertentu, angkutan pariwisata dan angkutan di
kawasan tertentu;
c. pemantapan angkutan penumpang umum massal Kawasan Perkotaan
Sarbagita berbasis bus;
d. pengintegrasian angkutan pengumpan di tiap Kabupaten/Kota dalam
Kawasan Perkotaan Sarbagita;
e. pengembangan angkutan umum ramah lingkungan dan
menggunakan energi baru terbarukan;
f. pengembangan sistem trayek terpadu dan terintegrasi baik antar kota,
Kawasan Perkotaan maupun Kawasan Perdesaan;
g. pengembangan kebijakan untuk menekan pemanfaatan kendaraan
pribadi; dan
h. pengembangan aksesibilitas keterpaduan moda.
(3) Angkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
mencakup jaringan lintas angkutan barang meliputi sepanjang jaringan
jalan Nasional, jalan Provinsi, dan jalur menuju Bandara dan Pelabuhan.
(4) Manajemen dan rekayasa lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, dilaksanakan untuk mengoptimalkan penggunaan jaringan jalan

27
dan pergerakan lalu lintas dalam rangka menjamin keamanan,
keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan,
dilakukan dengan:
a. penetapan prioritas angkutan massal melalui penyediaan lajur atau
jalur atau jalan khusus atau berbasis rel;
b. pengembangan titik-titik transit di pusat-pusat pelayanan Kawasan
Perkotaan, Kawasan Pariwisata, dan pusat pelayanan ekonomi
lainnya;
c. pemberian prioritas keselamatan dan kenyamanan bagi pengguna
jalan khususnya pejalan kaki dan pengendara sepeda melalui
penyediaan jalur khusus;
d. pemberian kemudahan dan penyediaan jalur lintasan bagi
penyandang cacat;
e. pemisahan atau pemilahan pergerakan arus lalu lintas berdasarkan
peruntukan lahan, mobilitas, dan aksesibilitas;
f. pemaduan berbagai moda angkutan;
g. pengendalian lalu lintas pada persimpangan jalan bebas hambatan
atau jalan lainnya dengan pengelolaan terintegrasi sirkulasi lalu lintas
terkait pemanfaatan jaringan jalan untuk prosesi budaya, adat dan
keagamaan serta membangun jalan penyeberangan;
h. pengendalian lalu lintas pada persimpangan padat lalu lintas dengan
pengembangan simpang tak sebidang, subway, underpass,
flayovers/overpass jalan diatas perairan atau jembatan
penyeberangan yang ditetapkan setelah melalui kajian;
i. perlindungan terhadap lingkungan dari dampak lalu lintas; dan
j. pembatasan lalu lintas yang diimplementasikan di kawasan tertentu
dengan ketentuan sebagai berikut:
1) terintegrasi dengan sistem angkutan umum massal;
2) berada di kawasan perkantoran, perdagangan, dan jasa di pusat
kota;
3) berada di kawasan tertentu untuk meningkatkan kelancaran lalu
lintas; dan
4) dapat diintegrasikan dengan kebijakan penerapan jalan berbayar
(road pricing).

Paragraf 6
Sistem Jaringan Transportasi Laut

Pasal 22
(1) Sistem jaringan transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1) huruf e, mencakup:
a. pelabuhan laut; dan
b. alur pelayaran di laut.
(2) Pelabuhan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. pelabuhan utama;
b. pelabuhan pengumpul;
c. pelabuhan pengumpan;
d. terminal umum;
e. terminal khusus; dan
f. pelabuhan perikanan
(3) Pelabuhan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a,
mencakup Pelabuhan Benoa, di Kota Denpasar.
(4) Pelabuhan pengumpul sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,
mencakup:

28
a. Pelabuhan Celukan Bawang di Kabupaten Buleleng; dan
b. Pelabuhan Labuhan Amuk/Tanah Ampo di Kabupaten Karangasem.
(5) Pelabuhan pengumpan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c,
mencakup:
a. pelabuhan pengumpan regional; dan
b. pelabuhan pengumpan lokal.
(6) Pelabuhan pengumpan regional sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
huruf a, mencakup:
a. Pelabuhan Gilimanuk di Kabupaten Jembrana;
b. Pelabuhan Nusa Penida (Toyapakeh) di Kabupaten Klungkung;
c. Pelabuhan Labuhan Amed di Kabupaten Karangasem;
d. Pelabuhan Buleleng (Sangsit) di Kabupaten Buleleng; dan
(7) Pelabuhan pengumpan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf
b, mencakup:
a. Pelabuhan Kedonganan di Kabupaten Badung;
b. Pelabuhan Serangan di Kota Denpasar;
c. Pelabuhan Sanur di Kota Denpasar;
d. Pelabuhan Buyuk di Kabupaten Klungkung;
e. Pelabuhan Kusamba di Kabupaten Klungkung;
f. Pelabuhan Gunaksa di Kabupaten Klungkung;
g. Pelabuhan Bias Munjul/Ceningan di Kabupaten Klungkung;
h. Pelabuhan Mentigi di Kabupaten Klungkung;
i. Pelabuhan Padangbai di Kabupaten Karangasem;
j. Pelabuhan Penuktukan di Kabupaten Buleleng;
k. Pelabuhan Lovina di Kabupaten Buleleng.
l. Pelabuhan Brombong di Kabupaten Buleleng;
m. Pelabuhan Pegametan di Kabupaten Buleleng;
n. Pelabuhan Banyuwedang di Kabupaten Buleleng; dan
o. Pelabuhan Labuhan Lalang di Kabupaten Buleleng.
(8) Terminal umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, meliputi :
a. Terminal Umum Mertasari di Kota Denpasar
b. Terminal Umum Lembongan di Kabupaten Klungkung;
c. Terminal Umum Batununggul di Kabupaten Klungkung;
d. Terminal Umum Toyapakeh di Kabupaten Klungkung; dan
e. Terminal Umum Pulau Menjangan di Kabupaten Buleleng.
(9) Terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, meliputi :
a. Terminal Khusus Candikusuma;
b. Terminal Khusus Sidakarya;
c. Terminal Khusus Manggis;
d. Terminal Khusus Kubu;
e. Terminal Khusus Pemaron; dan
f. Terminal khusus lainnya setelah melalui kajian
(10) Pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f,
meliputi Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) dan Pangkalan
Pendaratan Ikan (PPI), mencakup :
a. PPN Pengambengan di Kabupaten Jembrana
b. PPI Yeh Sumbul di Kabupaten Jembrana;
c. PPI Kedonganan di Kabupaten Badung;
d. PPI Tanjung Benoa di Kabupaten Badung;
e. PPI Serangan di Kota Denpasar;
f. PPI Kusamba di Kabupaten Klungkung;
g. PPI Amed di Kabupaten Karangasem; dan
h. PPI Sangsit di Kabupaten Buleleng.

29
(11) Alur pelayaran di Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi:
a. alur pelayaran umum dan perlintasan;
b. alur pelayaran masuk Pelabuhan; dan
c. alur pelayaran khusus.
(12) Alur pelayaran umum dan perlintasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(11) huruf a meliputi:
a. alur laut Kepulauan Indonesia II (ALKI II) di Selat Lombok;
b. alur pelayaran internasional di Selat Badung, Selat Lombok dan
Samudera Hindia;
c. alur pelayaran nasional di Selat Bali, Selat Badung, Selat Lombok,
Laut Bali dan Samudera Hindia
d. alur pelayaran regional di Selat Bali, Selat Badung, Selat Lombok, dan
Laut Bali; dan
e. alur pelayaran lokal di Selat Badung dan Laut Bali.
(13) Alur pelayaran masuk Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (11)
huruf b meliputi:
a. alur masuk pelabuhan di Selat Badung untuk :
1) pelabuhan utama Pelabuhan Benoa;
2) pelabuhan Pengumpul : Pelabuhan Labuhan Amuk/Tanah Ampo.
3) Pelabuhan pengumpan regional : Pelabuhan Nusa Penida
(Toyapakeh;
4) pelabuhan pengumpan lokal : Pelabuhan Serangan, Pelabuhan
Sanur, Pelabuhan Gunaksa, dan Pelabuhan Padangbai, Pelabuhan
Buyuk, Pelabuhan Kusamba, dan Pelabuhan Mentigi; dan
5) terminal umum : Terminal Umum Mertasari, Terminal Umum
Lembongan, Terminal Umum Batununggul, Terminal Umum
Toyapakeh.
6) pelabuhan perikanan : PPI Kusamba;
b. alur masuk Pelabuhan di Laut Bali untuk :
1) pelabuhan pengumpul Pelabuhan Celukan Bawang;
2) pelabunan pengumpan regional : Pelabuhan Buleleng (Sangsit)
3) pelabunan pengumpan lokal : Pelabuhan Lovina, Pelabuhan
Brombong, Pelabuhan Pegametan, Pelabuhan Banyuwedang, dan
Pelabuhan Labuhan Lalang.
4) terminal umum : Terminal Umum Pulau Menjangan.
5) pelabuhan perikanan : PPI Sangsit.
c. alur masuk pelabuhan di Selat Bali untuk :
1) pelabuhan penyeberangan : Pelabuhan Penyeberangan Gilimanuk;
2) pelabuhan pengumpan regional : Pelabuhan Gilimanuk
3) pelabuhan perikanan : PPN Pengambengan dan PPI Yeh Sumbul
d. alur masuk Pelabuhan di Selat Lombok untuk :
1) Pelabuhan pengumpan lokal : Pelabuhan Labuhan Amed
2) pelabuhan perikanan : PPI Amed.
e. alur masuk pelabuhan di Selat Samudera Hindia untuk :
1) pelabunan pengumpan lokal : Pelabuhan Kedonganan;
2) pelabuhan perikanan : PPI Kedonganan;
f. alur masuk Selat Ceningan untuk Pelabuhan Bias Munjul/Ceningan;
(14) Alur pelayaran khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (11) huruf c
meliputi :
a. alur masuk Selat Bali untuk Terminal Khusus Candikusuma
b. alur masuk Selat Badung untuk Terminal Khusus Sidakarya dan
Terminal Khusus Manggis
c. alur masuk Selat Lombok untuk Terminal Khusus Kubu; dan
d. alur masuk Laut Bali untuk Terminal Khusus Pemaron.

30
(15) Alur pelayaran umum dan perlintasan pada alur laut Kepulauan
Indonesia II (ALKI II) di Selat Lombok sebagaimana dimaksud pada ayat
(12) huruf a, dilengkapi dengan ketentuan bagan pemisah lalu lintas
(traffic separation scheme).

Paragraf 7
Bandar Udara Umum dan Bandar Udara Khusus

Pasal 23
(1) Bandar udara umum dan bandar udara khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1) huruf f, terdiri atas:
a. bandar udara pengumpul;
b. bandar udara khusus; dan
c. ruang udara untuk penerbangan.
(2) Bandar udara pengumpul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
meliputi bandar udara pengumpul primer mencakup:
a. Bandar Udara Internasional Ngurah Rai di Kabupaten Badung; dan
b. rencana pembangunan Bandar Udara Bali Baru di Kecamatan
Kubutambahan Kabupaten Buleleng.
(3) Bandar udara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
mencakup:
a. lapangan terbang Letkol Wisnu di Kecamatan Gerokgak Kabupaten
Buleleng; dan
b. pendaratan pesawat lain atau sejenisnya, setelah melalui kajian
sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(4) Ruang udara untuk penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, mencakup:
a. Ruang udara di atas bandar udara yang dipergunakan langsung
untuk kegiatan bandar udara;
b. Ruang udara di sekitar bandar udara yang dipergunakan untuk
operasi penerbangan; dan
c. Ruang udara yang ditetapkan sebagai jalur penerbangan.
(5) Ruang udara untuk penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur lebih lanjut dalam ketentuan khusus terkait KKOP.
(6) Dalam hal penetapan lokasi bandar udara baru telah ditetapkan oleh
Menteri, lokasi bandar udara baru disesuaikan dengan hasil penetapan
Menteri.

Paragraf 8
Jalur Pendaratan dan Penerbangan di Laut

Pasal 24
Jalur pendaratan dan penerbangan di Laut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1) huruf g terdiri atas yaitu jalur Jalur pendaratan dan
penerbangan di atas perairan laut dan ruang udara Desa Pejarakan dan Desa
Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng:

Bagian Keempat
Sistem Jaringan Energi

31
Pasal 24
(1) Sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)
huruf c, mencakup:
a. jaringan infrastruktur minyak dan gas bumi; dan
b. jaringan infrastruktur ketenagalistrikan.
(2) Jaringan infrastruktur minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, terdiri dari :
a. infrastruktur minyak dan gas bumi; dan
b. jaringan minyak dan gas bumi
(3) Infrastruktur minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a, terdiri dari :
a. terminal bahan bakar minyak Manggis di Kabupaten Karangasem;
b. terminal bahan bakar minyak Pelabuhan Benoa di Kota Denpasar;
c. depo bahan bakar minyak Pesanggaran di Kota Denpasar;
d. terminal gas bumi Celukan Bawang di Kabupaten Buleleng;
e. terminal gas bumi Candikusuma di Kabupaten Jembrana;
f. terminal gas bumi Sidakarya di Kota Denpasar; dan
g. terminal gas bumi Pemaron di Kabupaten Buleleng.
(4) Jaringan minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b, meliputi jaringan penyaluran pipa minyak dan gas bumi di
permukaan tanah atau di bawah permukaan tanah, termasuk jaringan
pipa/kabel bawah laut, terdiri dari :
a. jaringan pipa minyak dari Pelabuhan Benoa ke Bandar Udara Ngurah
Rai;
b. jaringan pipa gas bumi dari Pelabuhan Benoa ke Pesanggaran;
c. jaringan pipa gas bumi dari perairan pesisir Mertasari dan Serangan
ke terminal khusus Sidakarya;
d. jaringan pipa gas bumi dari terminal khusus Sidakarya ke PLTG
Pesanggaran;
e. jaringan pipa gas bumi dari terminal khusus Candikusuma ke PLTG
Gilimanuk; dan
f. jaringan pipa gas bumi dari terminal khusus Pemaron ke PLTG
Pemaron.
(5) Jaringan infrastruktur ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, meliputi:
a. infrastruktur pembangkitan tenaga listrik dan sarana pendukung; dan
b. jaringan infrastruktur penyaluran tenaga listrik dan sarana
pendukung.
(6) Infrastruktur pembangkitan tenaga listrik (PLT) dan sarana pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, meliputi:
a. Pusat Tenaga Listrik (PLT), meliputi :
1) PLT Gas Gilimanuk di Kabupaten Jembrana;
2) PLT Gas Pesanggaran di Kota Denpasar; dan
3) PLT Uap Celukan Bawang di Kabupaten Buleleng;
4) PLT Gas Pemaron di Kabupaten Buleleng;
5) PLT Uap Pesanggaran di Kota Denpasar;
6) PLT Diesel Pesanggaran di Kota Denpasar;
7) PLT Diesel Gas Pesanggaran di Kota Denpasar;
8) PLT Diesel Kutampi di Kabupaten Klungkung;
9) PLT Surya Bangli di Kabupaten Bangli;
10) PLT Surya Kubu di Kabupaten Karangasem;
11) PLT Bayu Puncak Mundi di Kabupaten Klungkung; dan
12) PLT Surya Nusa Penida di Kabupaten Klungkung.
b. rencana PLT baru terdiri atas:
1) PLT Surya Nusa Penida di Kabupaten Klungkung

32
2) PLT Gas/ Gas Uap Bali di Kota Denpasar;
3) PLT Mikrohidro Titab di Kabupaten Buleleng
4) PLT Surya Bali Barat di Kabupaten Buleleng
5) PLT Bali Timur di Kabupaten Karangasem
6) PLT dari sumber energi baru terbarukan (EBT) terdiri atas PLT
Surya, PLT air, PLT bayu, PLT panas bumi, PLT biomassa, PLT
biogas, PLT sampah, PLT gelombang laut, PLT perbedaan suhu
lapisan laut, dan PLT lainnya sesuai ketentuan dan kajian:
c. rencana PLT Baru dari konversi PLTD dan PLTU menjadi PLTG ,
meliputi :
1) PLT Diesel Pesanggaran di Kota Denpasar;
2) PLT Diesel Gas Pesanggaran di Kota Denpasar;
3) PLT Uap Celukan Bawang di Kabupaten Buleleng; dan
4) PLT Diesel Kutampi di Kabupaten Klungkung; dan
5) PLT lainnya
(7) Infrastruktur penyaluran tenaga listrik dan sarana pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, meliputi :
a. rencana Saluran Kabel Laut Tegangan Ekstra Tinggi (SKLTET) Jawa-
Bali Connection 500 kV (lima ratus kilovolt) di perairan Selat Bali;
b. rencana Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 500 kV (lima
ratus kilovolt) Gilimanuk-Antosari di Kabupaten Jembrana dan
Kabupaten Tabanan
c. rencana GIS Tegangan Ekstra Tinggi (GISTET) 500 kV
Antosari/Gilimanuk di Kabupaten Tabanan
d. Saluran Kabel Laut (SKLT) 150 KV (Seratus Lima Puluh Kilovolt)
Jawa-Bali di perairan Selat Bali;
e. Gardu Induk (GI) 150 kV (lima ratus kilovolt) meliputi : Gas Insulated
Switchgear (GIS) Tanah Lot, GIS Kapal, GIS Gilimanuk, GIS Negara,
GIS Baturiti, GIS Antosari, GIS Pemaron, GIS Padangsambian, GIS
Pedanggaran, GIS Celukan Bawang; GIS Pemecutan Klod, GIS
Ampalpura, GIS Gianyar; GIS Pecatu dan GIS Bandara;
f. rencana Gardu Induk (GI) 150 kV (lima ratus kilovolt) meliputi : GIS
Kubu, GIS Pesanggaran III/ Bali Turtle, GIS Gianyar II/ Bangli, GIS
Padang Sambian II/ Canggu, GIS Tinga-Tinga, GIS New Sanur, GIS
Pemecutan Kelod II, GIS Pesanggaran II dan Gardu induk lainnya
g. Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 150 kV (Seratus Lima Puluh
Kilovolt) meliputi : SUTT Gilimanuk – Negara, SUTT Negara –
Antosari, SUTT Antosari – Tanah Lot, SUTT Tanah Lot – Kapal, SUTT
Celukan Bawang – Incomer (Gilimanuk – Pemaron), SUTT Celukan
Bawang – Kapal, SUTT Celukan Bawang – Pemaron, SUTT Gilimanuk -
Celukan Bawang, SUTT Pemaron – Baturiti, SUTT Baturiti –
Payangan, SUTT Baturiti – Kapal, SUTT Payangan – Kapal, SUTT
Kapal – Padang Sambian, SUTT Kapal – Pemecutan Kelod, SUTT
Padang Sambian – Pemecutan Kelod, SUTT Pemecutan Kelod –
Pesanggaran, SUTT Pesanggaran – Bandara, SUTT Pemecutan Kelod –
Bandara, SUTT Pesanggaran – Nusa Dua, SUTT Pesanggaran – Sanur,
Sanur – Gianyar, SUTT Gianyar – Amlapura, dan SUTT Kapal –
Gianyar
h. Saluran Kabel Tegangan Tinggi (SKTT) 150 kV (Seratus Lima Puluh
Kilovolt) meliputi : SKTT Nusa Dua – Pecatu dan SKTT Pecatu –
Bandar Udara Ngurah Rai;
i. Saluran Kabel Laut Tegangan Tinggi (SKLTT) 150 kV (Seratus Lima
Puluh Kilovolt) Gianyar – Nusa Lembongan/Nusa Penida.
j. rencana SUTT 150 kV (seratus lima puluh kilovolt) meliputi SUTT
Kubu-Amlapura, Kubu-Pemaron, SUTT PLTS Bali Timur – Kubu, SUTT
PLTS Bali Barat – Negara, SUTT Kapal – Padang Sambian, Tx Kapal –
Pemecutan Kelod, SUTT Pesanggaran III/ Bali Turtle -Incomer

33
(Pesanggaran – Sanur), SUTT New Sanur- Incomer (Gianyar-Sanur),
SUTT Tanah Lot – Padang Sambian II, SUTT Padangsambian II/
Canggu-Padangsambian, SUTT Pemecutan Kelod – Pemecutan Kelod
II, SUTT Pesanggaran II – incomer (Pesanggaran – Sanur), Tinga Tinga-
Incomer (PLTU Celukan Bawang- Gilimanuk | Pemaron), SUTT Tinga
Tinga- Incomer (PLTU Celukan Bawang- Kapal), SUTT PLTS Bali Barat
II – Pemaron/ Celukan Bawang, SUTT PLTS Bali Timur II – Gianyar II/
Bangli/ Gianyar, SUTT Gianyar II/ Bangli – Gianyar, SUTT Baturiti –
Gianyar II/ Bangli, SUTT Antosari (Ekstension)-Incomer. (Celukan
Bawang PLTU-Kapal), SUTT Antosari (Ekstension)-Incomer (Antosari-
Kapal), SUTT Payangan – Gianyar, Recondocturing SUTT Kapal-
Pemecutan, Recondocturing SUTT Pemecutan Kelod-Bandara (Tx
Kelod-Tx. Pesanggaran-Tx.Bandara-Tx. Nusa Dua), Recondocturing
SUTT Antosari-Tanah Lot, Recondocturing SUTT Tanah Lot-Kapal,
Recondocturing SUTT Payangan – Kapal, Recondocturing SUTT
Baturiti-Payangan, dan Recondocturing SUTT Pemaron-Baturiti.

(8) Peta rencana pengembangan sistem jaringan infrastruktur


ketenagalistrikan yang lokasi dan jaringannya telah ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, digambarkan dalam peta
dengan tingkat ketelitian skala 1:250.000 (satu berbanding dua ratus
lima puluh ribu) sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Kelima
Sistem Jaringan Telekomunikasi

Pasal 26
(1) Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1) huruf d, diarahkan pada upaya peningkatan pelayanan
telekomunikasi dan informatika ke seluruh Wilayah menuju Bali Smart
Island, mencakup:
a. jaringan tetap; dan
b. jaringan bergerak;
(2) Jaringan tetap, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. jaringan pipa/kabel bawah laut
b. jaringan kabel teresrrial;
c. sentral telepon digital (STD);
d. jaringan satelit;
e. jaringan informatika; dan
f. jaringan penyiaran televisi dan lainnya.
(3) Jaringan pipa/kabel bawah laut, sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a, meliputi:
a. jaringan kabel di Selat Bali antar beach hole Pantai Muncar
Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur dengan Pantai
Candikusuma Kabupaten Jembrana
b. jaringan kabel di Selat Bali antar beach hole Pantai Puger Kabupaten
Jember Provinsi Jawa Timur dengan Pantai Jimbaran di Kabupaten
Badung
c. jaringan kabel di Selat Bali antar beach hole Pantai Grajagan
Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur dengan Pantai
Kedonganan Kabupaten Badung

34
d. jaringan kabel di Selat Bali antar beach hole Pantai Jimbaran
Kabupaten Badung dengan Pantai Benculuk Kabupaten Banyuwangi
Provinsi Jawa Timur
e. jaringan kabel di Selat Badung dan Selat Lombok antar beach hole
Pantai Senggigi Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara
Barat dengan pantai Sanur Kota Denpasar
f. jaringan kabel di Selat Badung dan Selat Lombok antar beach hole
Pantai Senggigi Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara
Barat dengan Pantai Goa Lawah Kabupaten Klungkung
g. jaringan kabel di Selat Badung dan Selat Lombok antar beach hole
Pantai Senggigi Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara
Barat dengan Pantai Seraya Kabupaten Karangasem
h. jaringan kabel di Selat Badung dan Selat Lombok antar beach hole
Pantai Sanur Kota Denpasar dengan Pantai Nusa Penida Kabupaten
Klungkung dan Pulau Lombok
i. jaringan kabel di Laut Bali antar beach hole Pantai Kubutambahan
Kabupaten Buleleng dengan Pulau Sulawesi
j. jaringan kabel Palapa Ring Timur di Samudera Hindia dan Selat
Lombok antar beach hole Pantai Sanur Kota Denpasar dan Pulau
Lombok
k. jaringan kabel Serat Optik Palapa di Laut Bali antar beach hole Pantai
Lokapaksa Kabupaten Buleleng dengan Pulau Kalimantan
(4) Jaringan kabel terrestrial, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,
meliputi:
a. jaringan kabel berupa pengembangan sistem jaringan kabel serat
optik di seluruh Wilayah Kabupaten/Kota;
b. pembangunan jaringan kabel pada pusat-pusat kegiatan diarahkan
terintegrasi melalui penyediaan sistem duktilitas terpadu dengan
jaringan prasarana lainnya;
(5) Sentral telepon digital (STD) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
c, meliputi:
a. Sentral Telepon Digital (STD) Negara dan Sentral Telepon Digital (STD)
Gilimanuk di Kabupaten Jembrana;
b. Sentral Telepon Digital (STD) Tabanan, Sentral Telepon Digital (STD)
Baturiti dan Sentral Telepon Digital (STD) Pupuan di Kabupaten
Tabanan;
c. Sentral Telepon Digital (STD) Kuta, Sentral Telepon Digital (STD)
Seminyak, Sentral Telepon Digital (STD) Jimbaran, Sentral Telepon
Digital (STD) Nusa Dua dan rencana pengembangan Sentral Telepon
Digital (STD) Mangupura di Kabupaten Badung;
d. Sentral Telepon Digital (STD) Ubung, Sentral Telepon Digital (STD)
Kaliasem, Sentral Telepon Digital (STD) Sanur, Sentral Telepon Digital
(STD) Tohpati, Sentral Telepon Digital (STD) Benoa dan Sentral
Telepon Digital (STD) Monang Maning di Kota Denpasar;
e. Sentral Telepon Digital (STD) Gianyar, Sentral Telepon Digital (STD)
Sukawati, Sentral Telepon Digital (STD) Ubud dan Sentral Telepon
Digital (STD) Tampaksiring di Kabupaten Gianyar;
f. Sentral Telepon Digital (STD) Bangli dan Sentral Telepon Digital (STD)
Kintamani di Kabupaten Bangli;
g. Sentral Telepon Digital (STD) Klungkung dan pengembangan Sentral
Telepon Digital (STD) Nusa Penida di Kabupaten Klungkung;
h. Sentral Telepon Digital (STD) Amlapura dan Sentral Telepon Digital
(STD) Candidasa di Kabupaten Karangasem;

35
i. Sentral Telepon Digital (STD) Singaraja, Sentral Telepon Digital (STD)
Seririt, Sentral Telepon Digital (STD) Lovina di Kabupaten Buleleng;
dan
j. pengembangan Sentral Telepon Digital (STD) lainnya setelah melalui
kajian dan sesuai ketentuan.
(6) Jaringan satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d,
dikembangkan untuk melengkapi sistem jaringan telekomunikasi melalui
satelit komunikasi dan stasiun bumi untuk melayani terutama Wilayah
kepulauan dan terpencil.
(7) Jaringan informatika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e,
berupa pengembangan jaringan layanan internet pada fasilitas umum dan
menjangkau seluruh Wilayah Provinsi.
(8) Jaringan penyiaran televisi dan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf f, berupa pengembangan jaringan layanan telekomunikasi untuk
mendukung pemerataan jangkauan siaran televisi dan kebutuhan
telekomunikasi lainnya di seluruh Wilayah Provinsi.
(9) Jaringan bergerak, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi:
a. pengembangan cakupan dan kualitas layanan melalui pengaturan
lokasi dan ketentuan teknis layanan jaringan nirkabel;
b. mengarahkan penataan dan pengaturan menara telekomunikasi
bersama dan Base Transceiver Station (BTS);
c. mengarahkan mengembangkan dan menata sebaran lokasi untuk
pemanfaatan secara bersama-sama antar operator; dan
d. pemanfaatan jaringan terestrial sistem nirkabel dengan penutupan
Wilayah blankspot pada Wilayah berbukit, pegunungan atau Wilayah
terpencil.
(10) Peta rencana sistem jaringan telekomunikasi di Provinsi untuk jaringan
primer digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian skala 1:250.000
(satu berbanding dua ratus lima puluh ribu) sebagaimana tercantum
dalam Lampiran VII dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.

Bagian Keenam
Sistem Jaringan Sumber Daya Air

Pasal 27
(1) Sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1) huruf e, meliputi:
a. sumber air; dan
b. prasarana sumber daya air;
(2) Sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. perlindungan kawasan resapan, tangkapan air dan alur sungai pada
391 (tiga ratus sembilan puluh satu) daerah aliran sungai (DAS);
b. perlindungan, pemeliharaan dan pelestarian ekosistem danau
meliputi:
1) Danau Batur di Kabupaten Bangli;
2) Danau Beratan di Kabupaten Tabanan
3) Danau Buyan di Kabupaten Buleleng; dan
4) Danau Tamblingan di Kabupaten Buleleng;
c. perlindungan mata air dan Kawasan Sekitar Mata Air; dan
d. perlindungan cekungan air tanah (CAT) lintas Kabupaten/Kota
meliputi CAT Denpasar–Tabanan, CAT Singaraja, CAT Amlapura, CAT

36
Negara, CAT Gilimanuk, CAT Nusa Penida, CAT Nusadua dan CAT
Tejakula.
(3) Prasarana sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi:
a. jaringan irigasi;
b. sistem jaringan air bersih;
c. sistem pengendalian banjir; dan
d. bangunan sumber daya air.
(4) Jaringan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, meliputi:
a. pemeliharaan, peningkatan pelayanan dan efektivitas pengelolaan air
pada sistem prasarana irigasi yang telah ada di seluruh Wilayah,
meliputi:
1. 9 (sembilan) daerah irigasi (DI) kewenangan Pemerintah seluas
42.589 ha (empat puluh dua ribu lima ratus delapan puluh
sembilan hektar) terdiri atas 3 (tiga) daerah irigasi (DI) lintas
Kabupaten/Kota dan 6 (enam) daerah irigasi (DI) utuh
Kabupaten/Kota tersebar di 8 (delapan) kabupaten;
2. 14 (empat belas) daerah irigasi (DI) kewenangan Pemerintah
Provinsi seluas 9.271 ha (sembilan ribu dua ratus tujuh puluh
satu hektar) meliputi 8 (delapan) daerah irigasi (DI) lintas
Kabupaten/Kota dan 6 (enam) daerah irigasi (DI) utuh
Kabupaten/Kota tersebar di 8 (delapan) Kabupaten/Kota kecuali
Kabupaten Karangasem; dan
3. 814 (delapan ratus empat belas) daerah irigasi (DI) kewenangan
pemerintah Kabupaten/Kota seluas 58.486 ha (lima puluh
delapan ribu empat ratus delapan puluh enam hektar) tersebar di
seluruh Wilayah Kabupaten/Kota;
b. pendayagunaan jaringan irigasi air tanah dan air baku untuk air
minum dengan sumur bor yang telah dibangun di beberapa kawasan
melalui pengembangan jaringan distribusi dan pemeliharaannya.
(5) Sistem jaringan air bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b,
meliputi:
a. sistem penyediaan air baku Waduk Muara Nusa Dua;
b. sistem penyediaan air baku Waduk Telaga Tunjung;
c. sistem penyediaan air baku Waduk Titab;
d. sistem penyediaan air baku Bendungan Sidan (rencana);
e. sistem penyediaan air baku Bendungan Tamblang (rencana)
(6) Sistem pengendalian banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c,
meliputi:
a. jaringan pengendalian banjir
1) jaringan pengendalian banjir pusat Kota Denpasar;
2) jaringan pengendalian banjir Kawasan Perkotaan Singaraja;
3) jaringan pengendalian banjir Kawasan Perkotaan Negara;
4) jaringan pengendalian banjir Kawasan Kuta;
5) jaringan pengendalian banjir Kawasan Nusa Dua;
6) jaringan pengendalian banjir Kawasan Sanur;
7) jaringan pengendalian banjir lainnya
b. bangunan pengendalian banjir meliputi :
1) bangunan pengendali banjir Tukad Mati di Kabupaten Badung
2) bangunan pengendali banjir Tukad Badung di Kota Denpasar
3) bangunan pengendali banjir Tukad Unda di Kabupaten Klungkung
4) bangunan embung Sanur di Kota Denpasar
5) bangunan pengendali banjir Tukad Banyumala di Kabupaten
Buleleng
6) bangunan pengendali banjir Danau Batur (rencana)

37
7) bangunan pengendali banjir Danau Beratan (rencana)
8) bangunan pengendali banjir Danau Buyan (rencana)
(7) Bangunan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d,
meliputi:
a. bangunan prasarana air baku berupa bendungan/waduk/embung
meliputi: Bendungan Gerokgak, Bendungan Palasari, Bendungan
Benel, Bendungan Telaga Tunjung, Waduk Muara Nusa Dua Tahap I,
Bendungan Titab, Embung Seraya, Embung Puragae, Embung Datah,
Embung Baturinggit, Embung Burana, Embung Besakih, Embung
Muntig, Embung Telung Buana, Embung Datah II, Embung Bukit,
Embung Badeg, Embung Dukuh, Embung Untalan, Embung Seraya
Timur, Embung Batu Dawa II, Embung Cemara dan Embung Adegan
Kangin;
b. Rencana bangunan prasarana air baku berupa bendungan/waduk/
embung meliputi : Bendungan Sidan, Bendungan Tamblang,
Bendungan Lambuk, Waduk Muara Nusa Dua Tahap II, Waduk Tukad
Unda, Waduk Muara Unda, Waduk Ayung, Bendungan Selat Kanan,
Bendungan Selat Kiri, Bendungan Sorga, Bendungan Telagawaja,
Bendungan Jahem, Bendungan Ayung, Embung Nusa Penida,
Embung Pendem, Embung Antapan, Embung Sanda, Embung
Kecagbalung, Embung Lebih, Embung Bejug, Embung Tandang,
Embung Dukuh II, Embung Salak, Embung Tampekan, Embung
Pengalusan, Embung Sukasada, Situ Yeh Malet dan
bendungan/waduk/embung lainnya setelah melalui kajian;
c. bangunan prasarana air baku berupa pengambilan air baku
Guyangan, Penida dan sumber mata air lainnya di Kawasan Nusa
Penida sebagai sumber air baku di Kawasan Nusa Penida;
d. bangunan pengambilan air baku Danau Batur melalui saluran
tertutup sebagai sumber air baku Kabupaten Bangli dan sebagian
Wilayah Kabupaten Karangasem setelah melalui kajian; dan
e. pengembangan air baku pada Kawasan yang mengalami kesulitan
penyediaan air baku melalui pengolahan air laut, air hujan, dan
sumber lainnya.
f. bangunan pengamanan pantai
(8) Pemerintah Kabupaten/Kota wajib mengembangkan masterplan sistem
drainase perkotaan dan sistem pengendalian banjir pada tiap-tiap
Wilayah Kabupaten/Kota.
(9) Peta sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian skala 1:250.000
(satu berbanding dua ratus lima puluh ribu) sebagaimana tercantum
dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.

Bagian Ketujuh
Sistem Jaringan Prasarana Lainnya

Pasal 28
(1) Sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 ayat (1) huruf e, mencakup:
a. sistem penyediaan air minum (SPAM);
b. sistem pengelolaan air limbah (SPAL);
c. sistem pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3);
d. sistem jaringan persampahan; dan
e. sistem jaringan mitigasi dan evakuasi bencana.

38
(2) Sistem penyediaan air minum SPAM sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, diarahkan pada SPAM lintas kabupaten/kota meliputi :
a. peningkatan dan pengembangan pelayanan SPAM perpipaan dan non
perpipaan di seluruh Wilayah mencakup Kawasan Perkotaan dan
Kawasan Perdesaan;
b. pengembangan SPAM terpadu Wilayah Bali Selatan meliputi Wilayah
Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, Kabupaten
Tabanan dan sebagian Kabupaten Klungkung yang terintegrasi
dengan SPAM Kawasan Perkotaan Sarbagita;
c. pengembangan SPAM Regional Burana meliputi Wilayah Kecamatan
Seririt, Banjar, Busungbiu dan Gerokgak di Kabupaten Buleleng dan
Kecamaan Melaya di Kabupaten Jembrana;
d. pengembangan SPAM terpadu Kawasan Nusa Penida meliputi Wilayah
Kecamatan Nusa Penida meliputi Nusa Penida, Nusa Lembongan dan
Nusa Ceningan;
e. pengembangan pipa/kabel bawah laut air minum Nusa Penida –
Ceningan Lembongan.
f. pengembangan SPAM pada Kawasan yang relatif mengalami kesulitan
air baku lainnya; dan
g. Pengembangan SPAM Kabupaten/Kota oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota maupun SPAM Desa terintegrasi dengan SPAM
lintas Kabupaten/Kota sebagai penyedia air minum pedesaan untuk
pemerataan pelayanan ke seluruh Wilayah Provinsi
(3) Sistem pengelolaan air limbah (SPAL) sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, diarahkan pada:
a. peningkatan dan perluasan pelayanan sistem prasarana pembuangan
air limbah perpipaan terpusat meliputi:
1. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Suwung di Kota Denpasar
melayani sebagian Wilayah Kota Denpasar dan sebagian Wilayah
Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung; dan
2. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Benoa melayani sebagian
Wilayah Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung;
b. pengembangan baru sistem prasarana pembuangan air limbah
perpipaan terpusat pada:
1. Kawasan Perkotaan Sarbagita yang belum terlayani Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL) Suwung dan Instalasi Pengolahan
Air Limbah (IPAL) Benoa;
2. Kawasan Perkotaan berfungsi PKW dan PKL;
3. pusat-pusat Kawasan Pariwisata dan pusat kegiatan lainnya yang
telah berkembang;
c. pengembangan sistem pengelolaan limbah setempat dan komunal
tersebar pada Kabupaten/Kota.
(4) Sistem pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, diarahkan pada:
a. pengembangan tempat pengelolaan limbah bahan berbahaya dan
beracun terpadu, lintas kabupaten/kota di Kawasan Industri
Candikusuma Kabupaten Jembrana setelah melalui kajian dan
mengacu ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
b. pengembangan TPS spesifik yang mengandung limbah B3 di tiap-tiap
kabupaten/kota.
c. penyelenggaraan koordinasi, pembinaan, pengawasan kinerja dalam
pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun tiap
Kabupaten/Kota.
(5) Sistem jaringan persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, mencakup:

39
a. menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan sampah berbasis
sumber untuk Bali Bersih;
b. pengurangan sampah dari sumber penghasil sampah meliputi:
1. pembatasan timbulan sampah (reduce);
2. pendauran ulang sampah (recycle); dan/atau
3. pemanfaatan kembali sampah (reuse);
c. penanganan sampah meliputi pemilahan, pengumpulan,
pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir
d. pemantapan sarana dan prasarana pengurangan dan penanganan
sampah
1. penyediaan TPS3R di tiap desa/kelurahan atau wewidangan Desa
Adat di seluruh wilayah;
2. penyediaan TPST untuk pelayanan kecamatan atau beberapa
desa/kelurahan sesuai kapasitas timbulan sampah; dan
3. penyediaan TPA di setiap Kabupaten/Kota
e. pembatasan timbulan sampah plastik sekali pakai;
f. pengembangan keterpaduan jejaring pengelolaan sampah antar desa,
antar desa adat, Kabupaten/Kota dan kelompok masyarakat;
g. penanganan terpadu sampah kiriman dari sungai ke arah perairan
pesisir; dan
h. penanganan terpadu antar wilayah kabupaten/kota atau antar
wilayah provinsi sampah kiriman dan bergerak pada perairan pesisir.
(6) Sistem jaringan mitigasi dan evakuasi bencana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf e, berupa pengembangan infrastruktur Mitigasi dan
pengurangan dampak bencana, pengembangan dan pemantapan jalur-
jalur dan titik evakuasi meliputi:
a. sistem jaringan Mitigasi dan evakuasi Rawan Bencana alam terdiri
atas:
1. kawasan rawan tanah longsor;
2. kawasan rawan gelombang pasang; dan
3. kawasan rawan banjir;
b. sistem jaringan Mitigasi dan evakuasi Rawan Bencana alam geologi
terdiri atas:
1. kawasan rawan letusan gunung berapi;
2. kawasan rawan gempa bumi;
3. kawasan rawan gerakan tanah;
4. kawasan rawan yang terletak di zona patahan aktif;
5. kawasan rawan tsunami;
6. kawasan rawan abrasi; dan
7. kawasan rawan bahaya gas beracun.
(7) Peta sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian skala 1:250.000
(satu berbanding dua ratus lima puluh ribu) sebagaimana tercantum
dalam Lampiran IX dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.

BAB V
RENCANA POLA RUANG WILAYAH PROVINSI

Bagian Kesatu
Umum

40
Pasal 29
(1) Rencana Pola Ruang Wilayah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf c, mencakup:
a. kawasan lindung; dan
b. kawasan budidaya.
(2) Peta rencana pola ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian skala 1:250.000 (satu
berbanding dua ratus lima puluh ribu) sebagaimana tercantum dalam
Lampiran X.A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.
(3) Alokasi ruang kawasan lindung dan Kawasan budidaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), tercantum dalam Tabel Lampiran X.B yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua
Kawasan Lindung

Pasal 30
Kawasan lindung, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf a,
meliputi :
a. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya
(PTB);
b. kawasan perlindungan setempat (PS);
c. kawasan konservasi (KS);
d. kawasan pencadangan konservasi di Laut (KPL);
e. kawasan rawan bencana (LGE);
f. kawasan cagar budaya (CB); dan
g. kawasan ekosistem mangrove (EM)

Pasal 31
Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya
(PTB), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf a, mencakup kawasan
hutan lindung seluas kurang lebih 96.688 ha (sembilan puluh enam ribu
enam ratus delapan puluh delapan hektar, terdiri atas:
a. Hutan Lindung Puncak Landep seluas kurang lebih 610 ha (enam ratus
sepuluh hektar) di Kabupaten Buleleng;
b. Hutan Lindung Gunung Mungsu seluas kurang lebih 1.122 ha (seribu
seratus dua puluh dua hektar) di Kabupaten Buleleng;
c. Hutan Lindung Gunung Silangjana seluas kurang lebih 409 ha (empat
ratus Sembilan hektar) di Kabupaten Buleleng;
d. Hutan Lindung Gunung Batukau seluas kurang lebih 11.722 ha (sebelas
ribu tujuh ratus dua puluh dua hektar) di Kabupaten Buleleng, Kabupaten
Tabanan dan Kabupaten Badung;
e. Hutan Lindung Munduk Pengajaran seluas kurang lebih 610 ha (enam
ratus sepuluh hektar) berlokasi di Kabupaten Bangli;
f. Hutan Lindung Gunung Abang Agung seluas kurang lebih 14.069 ha
(empat belas ribu enam puluh sembilan hektar) di Kabupaten Bangli dan
Kabupaten Karangasem;
g. Hutan Lindung Seraya seluas kurang lebih 1.105 ha (seribu seratus lima
hektar) di Kabupaten Karangasem;

41
h. Hutan Lindung Yeh Ayah seluas kurang lebih 576 ha (lima ratus tujuh
puluh enam hektar) di Kabupaten Tabanan;
i. Hutan Lindung Yeh Leh Yeh Lebah seluas kurang lebih 4.151 ha (empat
ribu seratus lima puluh satu hektar) di Kabupaten Tabanan, Kabupaten
Jembrana dan Kabupaten Buleleng;
j. Hutan Lindung Bali Barat seluas kurang lebih 55.691 ha (lima puluh lima
ribu enam ratus sembilan puluh satu hektar) di Kabupaten Jembrana dan
Kabupaten Buleleng;
k. Hutan Lindung Penulisan Kintamani seluas kurang lebih 5.512 ha (lima
ribu lima ratus dua belas hektar) di Kabupaten Buleleng dan Kabupaten
Bangli;
l. Hutan Lindung Nusa Lembongan seluas kurang lebih 229 ha (dua ratus
dua puluh sembilan hektar) di Kabupaten Klungkung;
m. Hutan Lindung Bunutan seluas kurang lebih 127ha (seratus dua puluh
tujuh hektar) di Kabupaten Karangasem;
n. Hutan Lindung Bukit Gumang seluas kurang lebih 31 ha (tiga puluh satu
hektar) di Kabupaten Karangasem;
o. Hutan Lindung Bukit Pawon seluas 40 ha (empat puluh hektar) di
Kabupaten Karangasem;
p. Hutan Lindung Kondang Dia seluas kurang lebih 80 ha (delapan puluh
hektar) di Kabupaten Karangasem;
q. Hutan Lindung Suana seluas kurang lebih 339 ha (tiga ratus tiga puluh
sembilan hektar) di Kabupaten Klungkung; dan
r. Hutan Lindung Sakti seluas kurang lebih 265 ha (dua ratus enam puluh
lima hektar) di Kabupaten Klungkung.

Pasal 32
(1) Kawasan perlindungan setempat (PS), sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 huruf b dengan luas kurang lebih 3.432 ha (tiga ribu empat
ratus tiga puluh dua hektar), mencakup:
a. kawasan kearifan lokal;
b. kawasan sempadan pantai;
c. kawasan sempadan sungai; dan
d. kawasan sekitar danau atau waduk.
(2) Kawasan kearifan lokal, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
mencakup:
a. kawasan suci;
b. kawasan tempat suci; dan
c. kawasan sempadan jurang.
(3) Kawasan suci, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, mencakup:
a. kawasan suci gunung mencakup kawasan dengan kemiringan
sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) derajat dari lereng kaki
gunung menuju ke puncak gunung.
d. kawasan suci danau, mencakup Danau Batur, Danau Beratan, Danau
Buyan, dan Danau Tamblingan.
e. kawasan suci campuhan mencakup seluruh pertemuan aliran dua
buah sungai di wilayah Provinsi.
f. kawasan Suci pantai mencakup tempat-tempat di pantai yang
dimanfaatkan untuk upacara melasti di seluruh pantai wilayah
Provinsi.
g. kawasan Suci laut mencakup kawasan perairan laut yang difungsikan
untuk tempat melangsungkan kegiatan spiritual di wilayah perairan
pesisir Provinsi.

42
h. Kawasan Suci mata air mencakup tempat-tempat mata air yang
difungsikan sebagai pengambilan air suci untuk melangsungkan
kegiatan spiritual di wilayah Provinsi.
(4) Kawasan tempat suci sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,
mencakup:
a. tempat suci pura kahyangan jagat mencakup kawasan tertentu di
sekitar pura sad kahyangan, pura dang kahyangan dan pura
kahyangan jagat lainnya;
b. tempat suci pura kahyangan desa meliputi area terttehtu sekitar pura
kahyangan tiga dan pura kahyangan desa lainnya; dan
c. tempat suci lainnya mencakup pura swagina dan pura keluarga atau
pura kawitan.
(5) Tempat suci pura sad kahyangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf a, tersebar di Kabupaten Karangasem, Kabupaten Bangli,
Kabupaten Tabanan, Kabupaten Badung, Kabupaten Klungkung dan
Kabupaten Gianyar.
(6) Tempat suci pura dang kahyangan, tempat suci pura kahyangan jagat
lainnya, tempat suci pura kahyangan desa dan tempat suci lainnya
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tersebar di seluruh Wilayah
Kabupaten/Kota dan diatur lebih lanjut dalam RTRW Kabupaten/Kota
dan RDTR Kabupaten/Kota.
(7) Kawasan sempadan jurang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c,
terletak pada kawasan- kawasan yang memenuhi kriteria Sempadan
Jurang di Kabupaten Jembrana, Kabupaten Tabanan, Kabupaten
Badung, Kabupaten Gianyar, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Bangli
dan Kabupaten Karangasem
(8) Kawasan Sempadan Pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
seluas kurang lebih 3.432 ha (tiga ribu empat ratus tiga puluh dua
hektar) terletak di Kabupaten Jembrana, Kabupaten Tabanan,
Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, Kabupaten Klungkung,
Kabupaten Karangasem, Kabupaten Buleleng dan Kota Denpasar.
(9) Kawasan Sempadan Sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
terletak pada sungai di Kawasan Perkotaan dan Kawasan Perdesaan
seluruh kabupaten/kota
(10) Kawasan Sekitar Danau atau Waduk sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d, terletak di Danau Batur di Kabupaten Bangli, Danau Beratan
di Kabupaten Tabanan, Danau Buyan dan Danau Tamblingan di
Kabupaten Buleleng, waduk yang telah ada dan waduk yang akan
dikembangkan.

Pasal 33
(1) Kawasan konservasi (KS), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf
c, mencakup:
a. cagar alam
b. taman nasional;
c. taman hutan raya (lintas Kabupaten/Kota);
d. taman wisata alam;
e. kawasan konservasi perairan; dan
f. kawasan konservasi maritim
(2) Cagar alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, merupakan
bagian dari kawasan suaka alam mencakup Cagar Alam Gunung Batukau

43
seluas kurang lebih 1.750 ha (seribu tujuh ratus lima puluh hektar), di
Kabupaten Buleleng dan Kabupaten Tabanan.
(3) Taman Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan
bagian dari kawasan pelestarian alam mencakup Taman Nasional Bali
Barat seluas kurang lebih 18.121 ha (delapan belas ribu seratus dua pulu
satu hektar) di Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Buleleng, meliputi :
a. Taman Nasional di wilayah daratan seluas kurang lebih 14.057 ha
(empat belas ribu lima puluh tujuh hektar) di Kabupaten Jembrana
dan Kabupaten Buleleng
b. Taman Nasional di wilayah perairan pesisir seluas kurang lebih 4.045
ha (empat ribu empat lima hektar) pada perairan pesisir Kabupaten
Jembrana dan Kabupaten Buleleng.
(4) Taman Hutan Raya lintas Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c, merupakan bagian dari kawasan pelestarian alam
mencakup Taman Hutan Raya Ngurah Rai seluas kurang lebih 1.248 ha
(seribu dua ratus empat puluh delapan hektar), meliputi :
a. Taman Hutan Raya di wilayah daratan seluas kurang lebih 1.158ha
(seribu seratus lima puluh delapan hektar), di perairan Teluk Benoa,
Kota Denpasar dan dan Kabupaten Badung
c. Taman Hutan Raya di wilayah perairan pesisir seluas kurang lebih
90ha (Sembilan puluh hektar pada perairan Kabupaten Badung dan
Kota Denpasar
(5) Taman Wisata Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
merupakan bagian dari kawasan pelestarian alam seluas kurang lebih
4.461 ha (empat ribu empat ratus enam puluh satu hektar), terdiri atas:
a. Taman Wisata Alam (TWA) Buyan-Tamblingan seluas kurang lebih
1.797 ha (seribu tujuh ratus sembilan puluh tujuh hektar) di
Kabupaten Buleleng dan Kabupaten Tabanan;
b. Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Batur-Bukit Payang seluas kurang
lebih 2.082 ha (dua ribu delapan puluh dua hektar) di Kabupaten
Bangli;
c. Taman Wisata Alam (TWA) Penelokan seluas kurang lebih 569 ha
(lima ratus enam puluh sembilan hektar) di Kabupaten Bangli; dan
d. Taman Wisata Alam (TWA) Sangeh seluas kurang lebih 14 ha (empat
belas hektar) di Kabupaten Badung.
(6) Kawasan konservasi perairan (KKP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, mencakup KKP Nusa Penida seluas kurang lebih 19.949 ha
(sembilan belas ribu sembilan empat sembilan hektar) di Kabupaten
Klungkung
(7) Kawasan konservasi maritim (KKM) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d, mencakup KKM Teluk Benoa seluas kurang lebih 1.241 ha
(seribu dua ratus empat puluh satu hektar) di perairan pesisir Kota
Denpasar dan Kabupaten Badung
(8) Rincian luas kawasan konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
tercantum dalam Tabel Lampiran XII.B yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Pasal 34
Kawasan pencadangan konservasi di Laut (KPL), sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 huruf d, mencakup Kawasan Konservasi Perairan Daerah
(KKD) seluas 81.383 ha (delapan puluh satu ribu tiga ratus delapan puluh tiga
hektar) mencakup :

44
a. KKD Melaya dan KKP Perancak seluas kurang lebih 2.127 ha (dua ribu
serratus dua puluh tujuh hektar) di perairan pesisir Kabupaten Jembrana;
b. KKD Kuta dan KKP Kuta Selatan seluas kurang lebih 54.677 ha (lima
puluh empat ribu enam ratus tujuh puluh tujuh hektar) di perairan pesisir
Kabupaten Badung;
c. KKD Serangan dan KKP Semawang seluas kurang lebih 1.061 ha (seribu
enam puluh satu hektar) di perairan Kota Denpasar;
d. KKD Padangbai, KKP Candidasa, KKP Seraya – Amed dan KKP Tulamben
seluas kurang lebih 5.486 ha (lima ribu empat ratus delapan puluh enam
hektar) di perairan Kabupaten Karangasem; dan
e. KKD Tejakula, KKP Buleleng – Banjar dan KKP Pemuteran seluas kurang
lebih 18.034 ha (delapan belas ribu tiga puluh empat hektar) di perairan
Kabupaten Buleleng.

Pasal 35
Kawasan ekosistem mangrove sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 huruf e,
dengan luas kurang lebih 345 ha (tiga ratus empat puluh lima hektar),
mencakup:
a. pantai berhutan mangrove kawasan Teluk Benoa, di luar Tahura Ngurah
Rai, di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung;
b. pantai berhutan mangrove Kawasan Perancak dan Kawasan Tuwed di
Kabupaten Jembrana;
c. pantai berhutan mangrove Kawasan Teluk Gilimanuk, di luar Taman
Nasional Bali Barat di Kabupaten Buleleng dan Kabupaten Jembrana;
d. pantai berhutan mangrove pada Kawasan Teluk Terima, Teluk
Banyuwedang dan Pulau Menjangan, di luar Taman Nasional Bali Barat
dan Kawasan Pejarakan dan Sumberkima di Kabupaten Buleleng; dan
e. pantai berhutan mangrove kawasan Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan
di Kabupaten Klungkung.

Bagian Ketiga
Kawasan Budidaya

Pasal 36
Kawasan budidaya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b,
terdiri atas:
a. kawasan hutan produksi (KHP);
b. kawasan pertanian (P);
c. kawasan perikanan (IK);
d. kawasan pergaraman (KEG);
e. kawasan pertambangan dan energi (TE);
f. kawasan peruntukan industri (KPI);
g. kawasan pariwisata (W);
h. kawasan permukiman (PM);
i. kawasan transportasi (TR); dan
j. kawasan pertahanan dan keamanan (HK).

Pasal 37
(1) Kawasan hutan produksi (KHP), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
huruf a, seluas kurang lebih 9.087 ha (sembilan ribu delapan puluh tujuh
hektar), meliputi:

45
a. hutan produksi tetap; dan
b. hutan produksi yang dapat dikonversi.
(2) Hutan produksi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
seluas kurang lebih 8.917 ha (delapan ribu Sembilan ratus tujuh belas,
hektar), terdiri atas:
a. Hutan produksi tetap Bali Barat seluas kurang lebih 1.945 ha (seribu
sembilan ratus empat puluh lima hektar) di Kabupaten Buleleng;
b. Hutan produksi tetap Budeng seluas kurang lebih 68 ha (enam puluh
delapan hektar) di Kabupaten Jembrana);
c. Hutan Produksi Terbatas Gunung Batur Bukit Payang seluas kurang
lebih 416 ha (empat ratus enam belas hektar) di Kabupaten Bangli;
d. Hutan Produksi Terbatas Gunung Abang Agung seluas kurang lebih
178 ha (seratus tujuh puluh delapan hektar) di Kabupaten Bangli dan
Kabupaten Karangasem;
e. Hutan Produksi Terbatas Bali Barat seluas kurang lebih 5.876 ha
(lima ribu delapan ratus tujuh puluh enam hektar) di Kabupaten
Jembrana dan Kabupaten Buleleng;
f. Hutan Produksi Terbatas Penulisan Kintamani seluas kurang lebih
199 ha (seratus sembilan puluh sembilan hektar) di Kabupaten Bangli
dan Kabupaten Buleleng; dan
g. Hutan Produksi Terbatas Tanjung Bakung seluas kurang lebih 235 ha
(dua ratus tiga puluh lima hektar) di Kabupaten Klungkung.
(3) Hutan produksi yang dapat dikonversi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, meliputi hutan produski konversi Prapat Benoa seluas kurang
lebih 117 ha (seratus tujuh puluh hektar) di Kabupaten Badung.

Pasal 38
(1) Kawasan Pertanian (P) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf b,
seluas kurang lebih 293.723 ha (dua ratus sembilan puluh tiga ribu tujuh
ratus dua puluh tiga hektar) tersebar di seluruh Kabupaten/Kota
(2) Kawasan Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mencakup:
a. kawasan tanaman pangan;
b. kawasan hortikultura;
c. kawasan perkebunan;
d. kawasan peternakan; dan
e. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B).
(3) Kawasan tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
seluas kurang lebih 57.024 ha (lima puluh tujuh ribu dua puluh empat
hektar) tersebar di seluruh Wilayah Kabupaten/Kota.
(4) Kawasan hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
diperuntukkan bagi tanaman hortikultura seluas kurang lebih 10.643 ha
(sepuluh ribu enam ratus empat puluh tiga hektar) tersebar di seluruh 8
(delapan) wilayah Kabupaten.
(5) Kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
diperuntukkan bagi tanaman perkebunan yang menghasilkan bahan baku
industri dalam negeri maupun untuk memenuhi ekspor, seluas kurang
lebih 226.055 ha (dua ratus dua puluh enam ribu lima puluh lima hektar)
tersebar di seluruh 8 (delapan) wilayah Kabupaten.
(6) Kawasan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
diperuntukkan bagi kegiatan peternakan hewan besar, hewan kecil dan
tidak dikembangkan dalam bentuk padang penggembalaan ternak
sehingga batasan lokasinya tidak dapat dipetakan secara tegas dan

46
diarahkan secara terpadu dan terintegrasi bercampur dengan Kawasan
Pertanian.
(7) Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf e, dikembangkan dalam rangka menjaga ketahanan
pangan seluas kurang lebih 67.668 ha (enam puluh tujuh ribu enam ratus
enam puluh delapan hektar) tersebar di seluruh Wilayah Kabupaten/Kota.
(8) Peta Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) sebagaimana
dimaksud pada ayat (6), digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian
skala 1:250.000 (satu berbanding dua ratus lima puluh ribu) sebagaimana
tercantum dalam Lampiran XIV.C, yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Pasal 40
(1) Kawasan Perikanan (IK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf c,
seluas kurang lebih 661.514 ha (enam ratus enam puluh satu ribu lima
ratus empat belas hektar) mencakup :
a. kawasan perikanan tangkap; dan
b. Kawasan perikanan budidaya
(2) Kawasan perikanan tangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, meliputi :
a. perikanan tangkap pelagis seluas kurang lebih 653.634 ha (enam
ratus lima puluh tiga ribu enam ratus tiga puluh empat hektar) pada
perairan Selat Bali, perairan Samudera Hindia, perairan Selat Badung,
perairan Selat Lombok dan perairan Laut Bali
b. perikanan tangkap demersal seluas kurang lebih 3.479 ha (tiga ribu
empat ratus tujuh puluh sembilan hektar) pada perairan Kabupaten
Tabanan, Kabupaten Badung dan Kabupaten Karangasem;
c. perikanan tangkap pelagis dan demersal seluas kurang lebih 76.361
ha (tujuh puluh enam ribu tiga ratus enam puluh satu hektar) pada
perairan Selat Bali, perairan Selat Badung dan perairan Laut Bali
d. perikanan tangkap di danau dan waduk, kegiatannya diintegrasikan
secara harmonis dengan kawasan peruntukan lainnya
(3) Kawasan perikanan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, meliputi :
a. perikanan budidaya laut seluas kurang lebih 7.880 ha (tujuh ribu
delapan ratus delapan puluh hektar) pada perairan Kabupaten
Jembrana, Kabupaten Karangasem, dan Kabupaten Buleleng
b. perikanan budidaya di darat seluas kurang lebih ha di Kabupaten
Jembrana dan Kabupaten Buleleng
c. perikanan budidaya di danau dan waduk kegiatannya diintegrasikan
secara harmonis dengan kawasan peruntukan lainnya
(4) Perikanan tangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap melindungi
aktivitas nelayan tradisional melalui penetapan lokasi pemangkalan
nelayan di sisi pantai Kabupaten Jembrana, Kabupaten Tabanan,
Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, Kabupaten Klungkung,
Kabupaten Karangasem, Kabupaten Buleleng dan Kota Denpasar,
meliputi :
a. kegiatan pemangkalan nelayan di wilayah darat dintegrasikan secara
harmonis dengan fungsi kawasan yang ada; dan
b. penetapan pemangkalan nelayan seluas kurang lebih 1.993 ha (seribu
sembilan ratus sembilan puluh tiga hektar) di sepanjang sisi perairan
di Kabupaten Jembrana, Kabupaten Tabanan, Kabupaten Badung,
Kabupaten Gianyar, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Karangasem,

47
Kabupaten Buleleng dan Kota Denpasar yang akan diatur lebih lanjut
pada bagian pemanfaatan ruang laut.

Pasal 40
(1) Kawasan Pergaraman (KEG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
huruf d, seluas kurang lebih 59 ha (lima puluh sembilan hektar)
mencakup :
a. kawasan pergaraman di laut; dan
b. kegiatan pergaraman di darat
(2) Kawasan pergaraman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
merupakan kegiatan pergaraman rakyat seluas kurang lebih 59 ha (lima
puluh sembilan hektar) di perairan pesisir Kabupaten Jembrana.
(3) Kegiatan pergaraman di darat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, merupakan kegiatan pergaraman yang overlay di Kawasan Budidaya
lainnya yang diatur lebih lanjut dalam indikasi arahan zonasi sistem
provinsi

Pasal 41
(1) Kawasan pertambangan dan energi (TE) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 huruf e, seluas kurang lebih 6.648 ha (enam ribu enam ratus
empat puluh delapan hektar), mencakup :
a. Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) mineral bukan logam dan
batuan;
b. kawasan pembangkitan tenaga listrik.
(2) Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, meliputi :
a. wilayah dengan luas kurang lebih 5.291 ha (lima ribu dua ratus
sembilan puluh satu hektar), berupa sebaran pertambangan skala
kecil di Kabupaten Buleleng pada wilayah Kecamatan Seririt, Grokgak
dan Kabupaten Karangasem pada Wilayah Kecamatan Kubu, Abang,
Bebandem dan Selat di luar kawasan peruntukan permukiman,
tanaman pangan dan pariwisata;
b. seluruh wilayah Pulau Bali yang dapat dikembangkan secara overlay
di atas Kawasan Lainnya diatur dalam indikasi arahan zonasi sistem
provinsi, dan
c. wilayah perairan pesisir, seluas kurang lebih 1.288 ha (seribu dua
ratus delapan puluh delapan hektar) pada perairan pesisir Selat Bali
dan Samudera Hindia.
(3) Kawasan pembangkitan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, terdapat di Kabupaten Jembrana, Kabupaten Buleleng dan
Kota Denpasar

Pasal 42
(1) Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
huruf f, seluas kurang lebih 1.925 ha (seribu sembilan ratus dua puluh
lima hektar), mencakup:
a. kawasan peruntukan industri;
b. kawasan industri; dan
c. pengembangan sentra industri kecil dan industri menengah.

48
(2) Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, dengan luas kurang lebih 1.924 ha (seribu sembilan ratus dua puluh
empat hektar), mencakup:
a. Kawasan Pengambengan dan sekitarnya, di Kecamatan Negara,
Kabupaten Jembrana;
b. Kawasan Celukan Bawang dan sekitarnya di Kecamatan Gerokgak,
Kabupaten Buleleng; dan
c. Kawasan Candikusuma dan sekitarnya, di Kecamatan Melaya,
Kabupaten Jembrana.
(3) Kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
dilaksanakan di kawasan peruntukan industri, mencakup:
a. kawasan peruntukan industri Celukan Bawang, di Kabupaten
Buleleng;
b. kawasan peruntukan industri Pengambengan, di Kabupaten
Jembrana;
c. kawasan peruntukan industri Candikusuma, di Kabupaten Jembrana;
dan
d. kawasan industri bagi industri kecil dan industri menengah minimal 5
ha (lima hektar) di seluruh Kabupaten/Kota.
(4) Pengembangan sentra industri kecil dan industri menengah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, lokasinya di arahkan bercampur dengan
Kawasan Permukiman di Kabupaten/Kota.

Pasal 43
(1) Kawasan Pariwisata (W) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf g,
merupakan kawasan yang memiliki potensi daya tarik wisata yang
menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan dan memiliki atau
berpotensi untuk pengembangan fasilitas pariwisata tersebar di seluruh
Kabupaten/Kota, baik di wilayah darat, pulau-pulau kecil maupun
wilayah laut seluas kurang lebih 45.622 ha (empat puluh lima ribu enam
ratus dua puluh dua hektar) meliputi:
a. wilayah perairan dan daratan pesisir di Kabupaten Jembrana;
b. wilayah perairan dan daratan pesisir dan Kawasan Bedugul dan
sekitarnya di Kabupaten Tabanan;
c. wilayah perairan dan daratan pesisir di Kabupaten Badung;
d. wilayah perairan dan daratan pesisir dan Kawasan Ubud dan
sekitarnya di Kabupaten Gianyar;
e. wilayah perairan dan daratan pesisir Klungkung Daratan, Nusa
Lembongan, Nusa Ceningan, sebagian Nusa Penida di Kabupaten
Klungkung;
f. Kawasan Kintamani dan sekitarnya di Kabupaten Bangli;
g. wilayah perairan dan daratan pesisir di Kabupaten Karangasem;
h. wilayah perairan dan daratan pesisir dan Kawasan Pancasari dan
sekitarnya di Kabupaten Buleleng; dan
i. wilayah perairan dan daratan pesisir kota dan sekitarnya, di Kota
Denpasar.
(2) Kawasan Pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1, mendukung
konsep perwilayahan pembangunan kepariwisataan Bali yang diwujudkan
dalam bentuk Destinasi Pariwisata Daerah (DPD), mencakup:
a. DPD Bali Selatan;
b. DPD Bali Timur;
c. DPD Bali Utara;
d. DPD Bali Barat;
e. DPD Bali Tengah; dan
f. DPD Bali Kepulauan

49
(3) Kawasan Pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diintegrasikan dengan kawasan peruntukan lainnya secara terpadu
untuk mendukung DPD melalui penetapan Kawasan Strategis Provinsi
(KSP) dalam bentuk Kawasan Strategis Pariwisata Daerah (KSPD),
Kawasan Strategis Terpadu Daerah (KPTD) dan sebaran Daya Tarik
Wisata (DTW) yang dioverlay dan diharmoniskan dengan Kawasan
Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) di wilayah Provinsi.
(4) Kawasan Pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
dikembangkan untuk fasilitas dan kegiatan pariwisata sesuai karakter
tiap kawasan ditetapkan lebih lanjut dalam RTRW Kabupaten/Kota dan
RDTR Kabupaten/Kota.
(5) DTW sebagaimana dimaksud pada ayat (3), meliputi DTW Alam, DTW
Budaya dan DTW Buatan yang dapat berupa kawasan, hamparan,
koridor, wilayah desa atau kelurahan, massa bangunan, bangun-
bangunan dan lingkungan sekitarnya, jalur wisata atau zona di perairan
pesisir yang lokasinya berada di dalam atau di luar KSPD dan KPTD
maupun bercampur dengan kawasan peruntukan lainnya tersebar di
wilayah darat Kabupaten/Kota dan wilayah perairan pesisir provinsi.
(6) DTW Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (5), yang terdapat di
perairan pesisir meliputi :
a. DTW pantai/pesisir dan pulau-pulau kecil tersebar di perairan pesisir
Kabupaten Jembrana, Kabupaten Tabanan, Kabupaten Badung,
Kabupaten Gianyar, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Karangasem,
Kabupaten Buleleng dan Kota Denpasar;
b. DTW alam bawah laut tersebar di perairan pesisir Kabupaten
Jembrana, Kabupaten Karangasem, dan Kabupaten Buleleng; dan
c. DTW olah raga air tersebar di perairan pesisir Kabupaten Jembrana,
Kabupaten Tabanan, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, dan
Kota Denpasar.
(7) Deliniasi DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), digambarkan dalam
peta dengan tingkat ketelitian skala 1:250.000 (satu berbanding dua
ratus lima puluh ribu) sebagaimana tercantum dalam Lampiran XV.A
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(8) Sebaran DTW sebagaimana dmaksud pada ayat (5) tercantum dalam
Lampiran XV.B dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.

Pasal 44
(1) Kawasan Permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf h,
seluas kurang lebih 81.000 ha (delapan puluh satu ribu hektar)
merupakan kawasan yang diperuntukkan bagi kegiatan permukiman
atau didominasi oleh lingkungan hunian, di seluruh Kabupaten/Kota
mencakup:
a. kawasan permukiman perkotaan; dan
b. kawasan permukiman perdesaan.
(2) Kawasan Permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mencakup
fungsi-fungsi kawasan untuk lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan
penghidupan, terdiri atas kawasan perumahan, kawasan perdagangan
dan jasa, fasilitas pemerintahan, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan,
fasilitas peribadatan, fasilitas rekreasi dan olah raga, Ruang terbuka hijau
dan fungsi pemanfaatan ruang lainnya sesuai karakter tiap kawasan

50
permukiman, lebih lanjut diatur dalam RTRW dan RDTR
Kabupaten/Kota.

Pasal 46
Kawasan transportasi (TR), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf i,
merupakan kawasan yang dikembangkan untuk menampung fungsi
transportasi skala regional, baik di wilayah darat, wilayah perairan pesisir
atau kombinasinya, seluas kurang lebih 9.421 ha (sembilan ribu empat ratus
dua puluh satu hektar), meliputi :
a. bandar udara Ngurah Rai di Kabupaten Badung, lapangan terbang Letkol
Wisnu di Kabupaten Buleleng dan rencana bandar udara Bali Utara di
Kabupaten Buleleng;
b. Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan
(DLKp) di Kabupaten Jembrana, Kabupaten Badung, Kabupaten
Klungkung, Kabupaten Karangasem, Kabupaten Buleleng dan Kota
Denpasar;
c. Wilayah Kerja Operasional Pelabuhan Perikanan (WKOPP) di Kabupaten
Jembrana, Kabupaten Badung, Kabupaten Klungkung dan Kabupaten
Karangasem;
d. pendaratan pesawat, mencakup lokasi pendaratan pesawat terbang
terapung (seaplane) pada perairan Kabupaten Buleleng; dan
e. jaringan jalan dan jembatan di atas perairan pesisir di Kabupaten
Badung, Kota Denpasar dan Kabupaten Klungkung yang diatur lebih
lanjut pada pemanfaatan ruang wilayah perairan pesisir.

Pasal 46
Kawasan pertahanan dan keamanan (HK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 huruf j, mencakup:
a. Komando Daerah Militer (Kodam) IX/Udayana di Kota Denpasar;
b. Komando Resort Militer (Korem) 163 di Kota Denpasar;
c. Komando Daerah Militer (Kodim) tersebar di Kabupaten/Kota;
d. Batalyon Infanteri (Yonif) 900 di Kabupaten Buleleng;
e. Detasemen Zeni Tempur (Denzipur) 9 di Kabupaten Gianyar;
f. Pangkalan TNI AL (Lanal) Denpasar di Kota Denpasar;
g. Pos Angkatan Laut (Posal) di Kabupaten Jembrana, Kabupaten Badung,
Kota Denpasar, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Karangasem dan
Kabupaten Buleleng.
h. Lapangan Udara (Lanud) Ngurah Rai di Kota Denpasar;
i. Kepolisian Daerah (Polda) Provinsi Bali di Kota Denpasar ;
j. Kepolisian Resort (Polres) tersebar di Kabupaten/Kota;
k. Daerah Latihan (Rahlat) Resimen Induk Daerah Militer IX Udayana,
Gerokgak di Kabupaten Buleleng; dan
l. Daerah Latihan Militer di perairan pesisir Laut Bali seluas 101.685,42 ha
m. Daerah Larangan atau daerah terbatas di perairan pesisir Selat Bali
seluas 2.773,82 ; dan
n. kawasan pertahanan dan keamanan lainnya ditetapkan dengan peraturan
perundang- undangan.

BAB VI

51
KAWASAN STRATEGIS PROVINSI

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 47
(1) Kawasan strategis yang terdapat di wilayah Provinsi terdiri atas:
a. kawasan strategis nasional;
b. kawasan strategis sesuai ratifikasi internasional;
c. kawasan strategis sektor skala nasional;
d. Kawasan Strategis Provinsi;dan
e. kawasan strategis Kabupaten/Kota.
(2) Kawasan strategis nasional yang terdapat di wilayah Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan pertumbuhan
ekonomi, meliputi Kawasan Perkotaan Denpasar – Badung – Gianyar –
Tabanan (Sarbagita);
b. kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan sosial dan budaya
meliputi Kawasan Subak-Bali Lansekap; dan
c. Kawasan strategis nasional tertentu (KSNT) dari sudut kepentingan
pengendalian lingkungan hidup berupa daerah cadangan karbon biru
meliputi Nusa Penida – Bali.
(3) Kawasan strategis sesuai ratifikasi internasional di wilayah provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kawasan
strategis yang ditetapkan Unesco, terdiri atas:
a. kawasan warisan dunia subak lansekap budaya Bali; dan
b. kawasan Geopark Kaldera Batur sebagai bagian dari Global Geopark
Network (GNN).
(4) Kawasan strategis sektor skala nasional yang terdapat di wilayah provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas:
a. kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN) meliputi:
1. KSPN Kuta -Sanur-Nusa Dua dan sekitarnya;
2. KSPN Bali Utara-Singaraja dan Sekitarnya;
3. KSPN Menjangan-Pemuteran dan Sekitarnya;
4. KSPN Taman Nasional Bali Barat dan sekitarnya;
5. KSPN Nusa Penida dan sekitarnya;
6. KSPN Bedugul dan sekitarnya;
7. KSPN Ubud dan sekitarnya;
8. KSPN Kintamani-Danau Batur dan sekitarnya;
9. KSPN Besakih Gunung Agung dan sekitarnya;
10. KSPN Tulamben-Amed dan sekitarnya; dan
11. KSPN Karangasem-Amuk dan sekitarnya.
b. Wilayah Sungai Bali-Penida;
(5) Kawasan Strategis Provinsi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
ditetapkan berdasarkan sudut kepentingan:
a. pertumbuhan ekonomi;
b. sosial dan budaya Bali; dan
c. fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.
(6) Kawasan strategis kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf e, ditetapkan dalam RTRW Kabupaten/Kota.
(7) Sebaran kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian skala 1:250.000 (satu
berbanding dua ratus lima puluh ribu) sebagaimana tercantum dalam

52
Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.
(8) Sebaran kawasan strategis sesuai ratifikasi internasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) digambarkan dalam peta dengan tingkat
ketelitian skala 1:250.000 (satu berbanding dua ratus lima puluh ribu)
sebagaimana tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(9) Sebaran kawasan strategis sektor nasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian skala
1:250.000 (satu berbanding dua ratus lima puluh ribu) sebagaimana
tercantum dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(10) Kawasan Strategis Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian skala 1:250.000 (satu
berbanding dua ratus lima puluh ribu) sebagaimana tercantum dalam
Lampiran XIV.A yang Tabel Lampiran XIV.B merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(11) Kawasan Strategis Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
dilengkapi dengan arah pengembangan untuk setiap KSP sebagai dasar
perencanaan dan pengaturan pada RTRW dan RDTR Kabupaten/Kota

Bagian Kedua
Kawasan Strategis Provinsi

Pasal 48
Kawasan Strategis Provinsi dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (5) huruf a, mencakup:
a. Kawasan Strategis Pariwisata Daerah (KSPD), mencakup:
1) KSPD Candikusuma di Kabupaten Jembrana;
2) KSPD Perancak di Kabupaten Jembrana;
3) KSPD Soka di Kabupaten Tabanan;
4) KSPD Tanah Lot di Kabupaten Tabanan;
5) KSPD Canggu di Kabupaten Badung;
6) KSPD Kuta di Kabupaten Badung
7) KSPD Nusa Dua di Kabupaten Badung;
8) KSPD Sanur di Kota Denpasar;
9) KSPD Lebih di Kabupaten Gianyar;
10) KSPD Ubud di Kabupaten Gianyar;
11) KSPD Tegal Besar-Goa Lawah di Kabupaten Klungkung;
12) KSPD Nusa Penida di Kabupaten Klungkung;
13) KSPD Candidasa di Kabupaten Karangasem;
14) KSPD Ujung di Kabupaten Karangasem;
15) KSPD Tulamben di Kabupaten Karangasem;
16) KSPD Air Sanih di Kabupaten Buleleng;
17) KSPD Kalibukbuk di Kabupaten Buleleng;
18) KSPD Batuampar di Kabupaten Buleleng.
19) KSPD Khusus Bedugul-Pancasari di Kabupaten Tabanan dan
Kabupaten Buleleng; dan
20) KSPD Khusus Kintamani di Kabupaten Bangli.
b. Kawasan Pengembangan Terpadu Daerah (KPTD), mencakup:
1) Kawasan Pengambengan dan sekitarnya di Kabupaten Jembrana;

53
2) Kawasan Pekutatan dan sekitarnya di Kabupaten Jembrana;
3) Kawasan Mengwi dan sekitarnya di Kabupaten Badung;
4) Kawasan Pusat Kebudayaan Bali dan sekitarnya di Kabupaten
Klungkung;
5) Kawasan Kubutambahan dan sekitarnya di Kabupaten Buleleng; dan
6) Kawasan Celukan Bawang dan sekitarnya di Kabupaten Buleleng.

Pasal 49
Kawasan Strategis Provinsi dari sudut kepentingan sosial dan budaya Bali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (5) huruf b, mencakup:
a. Kawasan Tempat Suci Pura Sad Kahyangan, terdiri atas :
1) Kawasan Tempat Suci Pura Batur di Kabupaten Bangli;
2) Kawasan Tempat Suci Pura Agung Besakih di Kabupaten Karangasem;
3) Kawasan Tempat Suci Pura Lempuyang Luhur di Kabupaten
Karangasem;
4) Kawasan Tempat Suci Pura Goa Lawah di Kabupaten Klungkung;
5) Kawasan Tempat Suci Pura Andakasa di Kabupaten Karangasem;
6) Kawasan Tempat Suci Pura Luhur Uluwatu di Kabupaten Badung;
7) Kawasan Tempat Suci Pura Batukaru di Kabupaten Tabanan;
8) Kawasan Tempat Suci Pura Pucak Mangu di Kabupaten Badung;
9) Kawasan Tempat Suci Pura Pusering Jagat di Kabupaten Gianyar;dan
10) Kawasan Tempat Suci Pura Kentel Gumi di Kabupaten Klungkung.
b. Kawasan warisan budaya, terdiri atas :
1) kawasan warisan budaya Jatiluwih;
2) kawasan warisan budaya Taman Ayun; dan
3) kawasan warisan budaya daerah aliran sungai (DAS) Tukad Pakerisan.

Pasal 50
Kawasan Strategis Provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (5) huruf c,
mencakup:
a. Kawasan Danau Batur dan sekitarnya di Kabupaten Bangli;
b. Kawasan Danau Beratan, Danau Buyan dan Danau Tamblingan dan
sekitarnya di Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Buleleng; dan
c. Kawasan Teluk Benoa dan sekitarnya di Kota Denpasar dan Kabupaten
Badung;
d. Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida di Kabupaten Klungkung

Bagian Ketiga
Arah Pengembangan Kawasan Strategis Provinsi

Pasal 51
Arah pengembangan KSPD Tanah Lot, KSPD Canggu, KSPD Kuta, KSPD Nusa
Dua, dan KSPD Sanur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf a, angka
4, angka 5, angka 6 angka 7, dan angka 8 sebagai berikut:
a. merupakan kawasan strategis pariwisata yang telah berkembang dan perlu
ditata dan dikendalikan pemanfaatan ruangnya;

54
b. deliniasi KSPD seluruhnya bertumpang tindih dengan deliniasi KSN
Kawasan Perkotaan Sarbagita dan KSPN Kuta-Sanur-Nusa Dua dan
sekitarnya
c. peningkatan konektivitas KSPD dengan pusat-pusat pelayanan lainnya
secara terpadu dalam sistem metropolitan Sarbagita
d. penanganan kemacetan lalu lintas dari dan menuju KSP;
e. kebutuhan pelayanan jaringan transportasi publik massal baik berbasis rel
maupun bus didukung pengembangan Kawasan Berbasis TOD;
f. Koefisien Wilayah Terbangun untuk kawasan efektif pariwisata disesuaikan
dengan variasi luasan dan tingkat perkembangan KSPD;
g. perlindungan LP2B diintegrasikan dengan ekowisata terutama di KSPD
Tanah Lot dan KSPD Canggu;
h. pemanfaatan potensi alam dan budaya setempat sesuai daya dukung, daya
tampung lingkungan, perlindungan situs warisan budaya setempat;
i. pengintegrasian perairan pesisir sebagai daya tarik dan aktivitas
pariwisata;
j. pengembangan berkelanjutan program pelindungan dan pengamanan
pantai; dan
k. menerapkan prinsip bangunan ramah lingkungan dan rendah karbon
termasuk penerapan mitigasi rawan bencana tsunami;

Pasal 52
Arah pengembangan KSPD Ubud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49
huruf a, angka 10 sebagai berikut:
a. merupakan kawasan strategis pariwisata yang telah berkembang, berada di
hamparan Bali Tengah yang perlu ditata dan dikendalikan pemanfaatan
ruangnya;
b. Deliniasi KSPD Ubud sebagian atau seluruhnya bertumpang tindih dengan
indikasi deliniasi KSN Kawasan Perkotaan Sarbagita, KSN Subak Bali
Landscape dan KSPN Ubud dan Sekitarnya;
c. peningkatan konektivitas KSPD dengan pusat-pusat pelayanan lainnya
secara terpadu dalam system metropolitan Kawasan Perkotaan Sarbagita;
d. penanganan kemacetan lalu lintas dari dan menuju KSP;
e. kebutuhan pelayanan jaringan transportasi publik massal baik berbasis rel
maupun bus didukung pengembangan Kawasan Berbasis TOD;
f. Fasilitas pariwisata diintegrasikan secara harmonis dengan Kawasan
pertanian dan fungsi peruntukan lainnya;
g. Koefisien Wilayah Terbangun minimum 30% di Kawasan inti dan minimum
20% di kawasan penyangga;
h. perlindungan LP2B diintegrasikan dengan ekowisata;
i. pemanfaatan potensi alam dan budaya setempat sesuai daya dukung, daya
tampung lingkungan, perlindungan situs warisan budaya setempat;
j. peletakan bangunan pada kelerengan di atas 45% ( empat puluh lima
persen), memiliki kajian kestabilan lereng dan jurang; dan
k. menerapkan prinsip bangunan ramah lingkungan dan rendah karbon
termasuk penerapan mitigasi rawan bencana yang ada

Pasal 53
Arah pengembangan KSPD Lebih, KSPD Tegal Besar-Goa Lawah, KSPD Ujung,
KSPD Tulamben, KSPD Air Sanih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49
huruf a, angka 4, angka 9, angka 11, angka 14, angka 15, dan angka 16
sebagai berikut:
a. merupakan kawasan strategis pariwisata yang sedang berkembang dan
perlu dikendalikan pemanfaatan ruangnya;

55
b. Deliniasi KSPD sebagian atau seluruhnya bertumpang tindih dengan
indikasi deliniasi KSN Kawasan Perkotaan Sarbagita, KSPN Karangasem
Amuk dan sekitarnya, KSPN Tulamben-Amed dan sekitarnya dan KSPN
Bali Utara – Singaraja dan Sekitarnya
c. mempunyai fungsi sebagai pembangkit perekonomian Kawasan pesisir Bali
Timur dan Sebagian Bali Utara;
d. peningkatan konektivitas KSPD dengan pusat-pusat pelayanan wilayah;
e. fasilitas pariwisata diintegrasikan secara harmonis dengan Kawasan
pertanian, kelautan dan fungsi peruntukan lainnya;
f. perlindungan LP2B diintegrasikan dengan ekowisata;
g. pemanfaatan potensi alam dan budaya setempat sesuai daya dukung, daya
tampung lingkungan, perlindungan situs warisan budaya setempat;
h. pengintegrasian secara harmonis potensi daya tarik wisata di darat, desa
wisata, dengan potensi wisata alam perairan pesisir dan Kawasan
Konservasi Perairan (KKP)
i. peningkatan kualitas jalan akses utama dan jalan pendukung ke KSPD;
j. pengembangan Pelabuhan atau dermaga pariwisata untuk mendukung
wisata bahari keliling Bali;
k. perlindungan dan pengamanan pantai berkelanjutan; dan
l. menerapkan prinsip bangunan ramah lingkungan dan rendah karbon
termasuk penerapan mitigasi rawan bencana tsunami.

Pasal 54
Arah pengembangan KSPD Candidasa, KSPD Kalibukbuk, KSPD Batuampar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf a, angka 13, angka 17 dan
angka 18 sebagai berikut:
a. merupakan kawasan strategis pariwisata yang telah berkembang namun
perlu direvitalisasi dan dikendalikan pemanfaatan ruangnya;
b. deliniasi KSPD sebagian atau seluruhnya bertumpang tindih dengan
indikasi deliniasi PKW Kawasan Perkotaan Singaraja, KSPN Karangasem
Amuk dan sekitarnya, KSPN Bali Utara – Singaraja dan Sekitarnya, KSPN
Menjangan-Pemuteran dan Sekitarnya dan KSPN Taman Nasional Bali
Barat dan sekitarnya;
c. mempunyai fungsi sebagai pembangkit perekonomian Kawasan pesisir Bali
Timur dan Bali Utara;
d. peningkatan konektivitas KSPD dengan pusat-pusat pelayanan wilayah;
e. Pengembangan fasilitas pariwisata diintegrasikan secara harmonis dengan
Kawasan pertanian, kelautan dan fungsi peruntukan lainnya;
f. pengintegrasian secara harmonis potensi daya tarik wisata di darat, desa
wisata, dengan potensi wisata alam perairan pesisir dan Kawasan
Konservasi Perairan (KKP)
g. Khusus KSPD Batuampar sekaligus merupakan kawasan penyangga
rencana Bandar Udara Bali Utara
h. pemanfaatan potensi alam dan budaya setempat sesuai daya dukung, daya
tampung lingkungan, perlindungan situs warisan budaya setempat;
i. kebutuhan pelayanan jaringan transportasi publik massal baik berbasis rel
maupun bus;
j. pengembangan pelabuhan atau dermaga pariwisata untuk mendukung
wisata bahari keliling Bali;
k. menerapkan prinsip bangunan ramah lingkungan dan rendah karbon
termasuk penerapan mitigasi rawan bencana tsunami; dan
l. perlindungan dan pengamanan pantai berkelanjutan.

56
Pasal 55
Arah pengembangan KSPD Candikusuma, KSPD Perancak, KSPD Soka,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf a, angka 1, angka 2, angka 3,
sebagai berikut:
a. merupakan kawasan strategis pariwisata yang belum berkembang dan
perlu didorong perkembangan pemanfaatan ruangnya;
b. deliniasi KSPD berdampingan dengan indikasi deliniasi PKW Kawasan
Perkotaan Negara, KPTD Pengambengan dan sekitarnya, KPTD Pekutatan
dan sekitarnya;
m. mempunyai fungsi sebagai pembangkit perekonomian Kawasan pesisir Bali
bagian barat;
n. peningkatan konektivitas KSPD dengan pusat-pusat pelayanan wilayah
didukung rencana pengembangan jalan Tol Gilimanuk - Mengwi;
o. Pengembangan fasilitas pariwisata diintegrasikan secara harmonis dengan
Kawasan pertanian, kelautan dan fungsi peruntukan lainnya;
p. pengintegrasian secara harmonis potensi daya tarik wisata di darat, desa
wisata, dengan potensi wisata alam perairan pesisir dan pencadangan
Kawasan Konservasi Daerah (KKD)
q. pemanfaatan potensi alam dan budaya setempat sesuai daya dukung, daya
tampung lingkungan, perlindungan situs warisan budaya setempat;
r. kebutuhan pelayanan jaringan transportasi publik massal baik berbasis rel
maupun bus;
s. pengembangan pelabuhan atau dermaga pariwisata untuk mendukung
wisata bahari keliling Bali;
t. menerapkan prinsip bangunan ramah lingkungan dan rendah karbon
termasuk penerapan mitigasi rawan bencana tsunami; dan
u. perlindungan dan pengamanan pantai berkelanjutan.

Pasal 56
Arah pengembangan KSPD Nusa Penida sebagaimana dimaksud dalam Pasal
49 huruf a, angka 12 dan Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida dan
sekitarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf d, sebagai berikut:
a. merupakan kawasan strategis pariwisata yang sedang berkembang pada
wilayah kepulauan sehingga perlu di arahkan dan dikendalikan
pengembangannya .
b. deliniasi kawasan sebagian atau seluruhnya bertumpang tindih dengan
deliniasi KSPN Nusa Penida dan sekitarnya dan KSNT daerah cadangan
karbon biru Nusa Penida – Bali.
c. pengembangan kawasan sebagai destinasi ekowisata pulau-pulau kecil
yang berkualitas, berdaya saing dan berkelanjutan
d. pengintegrasian sektor pertanian, budidaya laut, jasa pesisir dan kelautan,
industri kreatif serta kawasan konservasi dengan pariwisata;
e. harmonisasi kebijakan dan pengelolaan perairan pesisir dengan
kepentingan daerah dan lokal;
f. pemantapan dan perlindungan zona inti, zona pemanfaatan terbatas;
dan/atau zona lain sesuai peruntukan kawasan yang terintegrasi dengan
daratan
g. peningkatan aksesibilitas dan konektivitas laut Nusa Penida –
Lembongan/Ceningan dengan daratan Bali maupun luar Bali;
h. peningkatan aksesibilitas dan konektivitas darat internal Nusa Penida dan
antar Nusa Lembongan – Nusa Ceningan;
i. pengembangan infrastruktur pembangkit energi terbarukan, transportasi
rendah karbon, digital, penyediaan air baku, dan air minum,
opengelolkaan sampah baik di darat dan perairan;
j. pengembangan mitigasi bencana dalam pemanfaatan ruang Kawasan; dan
k. perlindungan dan pengamanan pantai berkelanjutan.

57
Pasal 57
Arah pengembangan KSPD Khusus Bedugul Pancasari dan KSPD Kintamani
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf a, angka 19 dan angka 20,
sebagai berikut:
a. merupakan kawasan strategis pariwisata yang sedang berkembang pada
hamparan perbukitan, kawasan hulu dan konservasi penyedia dan
tangkapan air wilayah Bali sehingga dikendalikan pengembangannya .
b. deliniasi kawasan sebagian atau seluruhnya bertumpang tindih dengan
deliniasi KSN Bali Subak Lanscape, KSPN Bedugul dan sekitarnya, dan
KSPN Kintamani-Danau Batur dan sekitarnya dan Kawasan Geopark
Gunung Batur;
c. KSP dikembangkan sebagai pusat pelayanan pariwisata berbasis ekowisata
dan edukasi geologi yang berdaya saing dan berkelanjutan;
d. pengembangan pola ruang permukiman dan blok-blok fasilitas pariwisata
yang lestari dan tersebar terintegrasinya pertanian dengan koefisian
wilayah terbangun (KWT) kawasan sangat rendah;
e. peningkatan aksesibilitas eksternal dan internal kawasan;
f. penanganan kemacetan sekitar Pura Ulundanu Beratan, kawasan sekitar
Penelokan dan sekitar Pura Batur;
g. reboisasi Kawasan hutan dan penghijauan Kawasan non hutan;
h. peningkatan fungsi kawasan hutan produksi dan kawasan perkebunan
sebagai kawasan budidaya berfungsi lindung dengan komoditas
agroporestry berdaya saing;
i. pengendalian dan konversi kawasan hortikultura pada pada lahan
kemiringan diatas 40% menjadi Kawasan hutan prodiksi atau Kawasan
perkebunan;
j. pengendalian pemanfaatan ruang perairan danau, sempadan danau dan
daerah tangkapan air;
k. pendayagunaan daya tarik wisata alam dan budaya dilengkapi fasilitas
penunjang pariwisata secara terbatas berbasis agrowisata dan pertanian
organik;
l. pemanfaatan potensi alam dan budaya setempat sesuai daya dukung, daya
tampung lingkungan, perlindungan situs warisan budaya setempat; dan
m. menerapkan prinsip bangunan ramah lingkungan dan rendah karbon
termasuk penerapan mitigasi rawan bencana longsor.

Pasal 58
Arah pengembangan KSP KPTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf
b, sebagai berikut:
a. merupakan kawasan strategis provinsi yang didorong perkembangannya
untuk pengembangan berbagai tema campuran sebagai pembangkit
pertumbuhan ekonomi wilayah;
b. pengembangan KPTD Pengambengan dan sekitarnya di Kabupaten
Jembrana diarahkan sebagai kawasan terpadu untuk kegiatan fish estate
meliputi aktivitas perikanan tangkap, perikanan budidaya, peruntukan
industri pengolahan hasil perikanan, pengembangan kawasan industri,
kegiatan pariwisata, kegiatan lainnya secara harmonis dan menjadi
hinterland PKW Kawasan Perkotaan Negara;
c. pengembangan KPTD Pekutatan dan sekitarnya di Kabupaten Jembrana
diarahkan sebagai kawasan terpadu untuk kegiatan pariwisata terintegrasi
harmonis dengan kegiatan budidaya hortikultura, perkebunan,
peternakan, beserta agroindustri didukung pusat penelitian pertanian
d. pengembangan KPTD Mengwi dan sekitarnya di Kabupaten Badung
diarahkan sebagai kawasan terpadu pelayanan simpul transportasi melalui
pengembangan Kawasan TOD yang dilengkapi rencana akses transportasi

58
massal berbasis rel, yang terintegrasi terpadu dengan kawasan
permukiman, kawasan koemersial dan ruang terbuka;
e. pengembangan KPTD Kawasan Pusat Kebudayaan Bali dan sekitarnya di
Kabupaten Klungkung diarahkan sebagai etalese pusat pemuliaan
kebudayaan Bali yang inklusif dan berdaya saing dilengkapi akses
transportasi massal, pelabuhan penyeberangan/umum/marina, fasilitas
pariwisata, infrastruktur mitigasi bencana dan waduk dan hutan wisata
yang terintegrasi harmonis dalam PKW Kawasan Perkotaan Semarapura;
f. pengembangan KPTD Kubutambahan dan sekitarnya di Kabupaten
Buleleng diarahkan sebagai kawasan terpadu untuk kegiatan fish estate,
industri pengolahan sumber daya alam branding bali, kegiatan pelabuhan
termasuk Pelabuhan pariwisata, pelabuhan umum dan Pelabuhan
perikanan, kegiatan pariwisata, dan menjadi hinterland PKW Kawasan
Perkotaan Singaraja; dan
g. pengembangan KPTD Celukan Bawang dan sekitarnya di Kabupaten
Buleleng diarahkan sebagai kawasan terpadu untuk kegiatan industri
pengolahan sumber daya alam branding bali, pengembangan kawasan
industri, pembangkitan sumber energi, kegiatan pelabuhan termasuk
pintu gerbang pariwisata dari laut, kegiatan pariwisata, kegiatan lainnya
secara harmonis; dan
h. seluruh KPTD terkoneksi dengan akses jalan nasional, dilengkapi
penyedaan infrastruktur dasar meliputi energi, telekomunikasi, air baku,
air minum.

Pasal 59
Arah pengembangan KSP Kawasan Tempat Suci Pura Sad Kahyangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a, sebagai berikut:
a. merupakan kawasan strategis provinsi yang berfungsi sebagai pusat
pelayanan spiritual yang harus dilindungi dan dikendalikan pemanfaatan
ruangnya;
b. mengembangkan kawasan sesuai arahan bhisama kesucian pura
disesuaikan dengan karakter lokasi KSP pada wilayah belum terbangun,
pada wilayah semi terbangun maupun pada kawasan terbangun dengan
membagi kawasan menjadi zona inti, zona penunjang dan zona penyangga;
c. menata kawasan tempat suci yang suci, agung, nyaman, lestari dan
berkelanjutan;
d. meningkatkan aksesibilitas, konektivitas dan layanan infrastruktur dasar
Kawasan;
e. penanganan kemacetan pada KSP Tempat Suci Pura Besakih dan Kawaan
temat Suci Pura Batur.
f. penataan KSP pada lokasi belum terbangun diarahkan pada upaya
mempertahankan pelestarian lingkungan alam dari gangguan perluasan
kawasan terbangun
g. penataan KSP pada lokasi semi terbangun diarahkan pada keseimbangan
dan keharmonisan kawasan lindung dan kawasan budidaya dengan
penambahan alokai kawasan terbangun secara minimal;
h. penataan KSP pada lokasi sudah terbangun diarahkan pada perlindungan
zona inti KSP dari gangguan tekanan aktivitas kawasan terbangun; dan
i. KSP Kawasan tempat suci yang juga merupakan daya tarik wisata,
dikendalikan pengembangan pertumbuhan fasilitas fisik kepariwisataan;
dan

Pasal 60
Arah pengembangan KSP Kawasan Warisan Budaya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 huruf a, sebagai berikut:

59
a. merupakan kawasan strategis provinsi yang dikendalikan
perkembangannya;
b. deliniasi Kawasan seluruhnya bertumpang tindih dengan Kawasan Inti dari
deliniasi KSN Kawasan Subak Bali Landscape dan sebagian dengan KSPN
Ubud dan sekitarnya, KSPN Kintamani – Batur dan sekitarnya dan KSPN
Bedugul dan sekitarnya.
c. perlindungan dan pelestarian sumber air sebagai penopang utama sistem
pertanian subak dari dampak pemanfaatan ruang yang dapat mengganggu
fungsi kawasan sebagai warisan budaya dunia;
d. perlindungan dan pelestarian tinggalan budaya dari dampak pemanfaatan
ruang yang dapat mengganggu fungsi dan kelestarian tinggalan cagar
budaya sebagai warisan dunia;
e. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan budi daya non-pertanian yang
dapat mengganggu fungsi dan kelestarian kawasan sebagai warisan
budaya dunia;
f. pengembangan kawasan budi daya pertanian, perkebunan, dan
hortikultura berbasis masyarakat yang berdaya saing dan ramah
lingkungan, serta berbasis pada adat budaya dan kearifan lokal
masyarakat sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan;
g. pengembangan kawasan pariwisata berdaya tarik internasional, nasional,
dan regional yang ramah lingkungan dan berbasis pada adat budaya dan
kearifan lokal masyarakat; dan
h. peningkatan koordinasi, sinkronisasi dan keterpaduan antar pemangku
kepentingan dalam pelestarian Kawasan Subak - Bali Landscape; dan
i. Perlindungan Situs Pura Ulun Danu Batur dan Danau Batur serta Geopark
Batur di Kabupaten Bangli Situs Catur Angga Batukaru di Kabupaten
Buleleng dan Kabupaten Tabanan, Situs DAS Pakerisan di Kabupaten
Gianyar dan Situs Pura Taman Ayun di Kabupaten Badung;

Pasal 61
Arah pengembangan KSP Kawasan Danau dan sekitarnya meliputi Danau
Batur, Danau Beratan, Danau Buyan, dan Danau Tamblingan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 huruf a dan huruf b, sebagai berikut:
a. merupakan kawasan strategis provinsi berfungsi konservasi sebagai
penyedia dan tangkapan air wilayah dan kawasan suci sehingga perlu
dlindungi dari potensi kerusakan;
b. deliniasi kawasan sebagian atau seluruhnya bertumpang tindih dengan
deliniasi KSN Bali Subak Lanscape, KSPN Bedugul dan sekitarnya, KSPN
Kintamani-Danau Batur dan sekitarnya, Kawasan Geopark Batur, KSPD
Bedugul-Pancasari, KSPD Kintamani, TWA Buyan Tamblingan, TWA Batur
Bukit Payang;
c. pengendalian kerusakan danau meliputi pencegahan kerusakan,
penanggulangan kerusakan dan pemulihan fungsi;
d. penertiban kegiatan-kegiatan di sempadan, riparian dan perairan danau
yang mencemari dan/atau merusak ekosistem danau antara lain:
pertanian yang menggunakan pupuk kimia dan pestisida, penambangan,
peternakan, budidaya perikanan dengan keramba jaring apung dan
keramba jaring tancap, okupasi lahan di badan air, perikanan tangkap
yang menurunkan populasi spesies asli dan/atau endemik, transportasi air
yang mengganggu kehidupan perairan, dan penebaran jenis ikan asing
dan/atau invasif;
e. pelarangan kegiatan yang berpotensi merusak ekosistem danau antara lain
: okupasi lahan di badan air, penebaran jenis spesies asing, budidaya
perikanan dengan keramba jaring apung dan keramba jaring tancap pada
danau tertutup, pembuangan sampah dan limbah;

60
f. restorasi danau untuk pengembalian fungsi lingkungan melalui : reboisasi
penanaman di daerah tangkapan air, sempadan, dan riparian danau;
penertiban bangunan di sempadan danau; penebaran spesies asli dan
endemik di perairan dan/atau riparian; pembersihan sampah;
pembersihan dan/atau pemanfaatan gulma air; pengerukan dan
pemanfaatan sedimen di badan air danau secara ramah lingkungan;
g. pengembangan pertanian organic, penerapan pola perikanan tangkap
perikanan budidaya darat yang ramah lingkungan;
h. pengaturan pemanfaatan air berdasarkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup
i. penerapan prinsip konservasi tanah dan air dalam pengolahan lahan
pertanian dan perkebunan;
j. penyediaan sarana dan prasarana pengelolaan sampah dan limbah
k. pengembangan infrastruktur drainase daerah tangkapan air dan sempadan
danau,
l. pengembangan ekowisata berbasis danau; dan
m. penguatan kelembagaan forum/komunitas peduli danau;

Pasal 62
Arah pengembangan KSP Kawasan Teluk Benoa dan sekitarnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 huruf c, sebagai berikut:
a. merupakan kawasan strategis provinsi yang berfungsi sebagai kawasan
konservasi yang dilindungi dan dikendalikan perkembangannya sebagai
Kawasan Tahura dan Kawasan Konservasi Maritim;
b. perlindungan kawasan Tahura dan perluasan hutan mangrove;
c. berdasarkan kearifan lokal kawasan juga ditetapkan sebagai campuhan
agung yang merupakan muara dari tujuh sungai disertai beberapa titik-
titik suci;
d. deliniasi kawasan seluruhnya bertumpang tindih dengan deliniasi KSN
Perkotaan Sarbagita dan KSPN Kuta – Sanur-Nusa Dua dan sekitarnya,
Kawasan Tahura Ngurah Rai dan Kawasan Konservasi Maritim Teluk
Benoa;
e. pengintegrasian fungsi layanan prasarana wilayah secara terpadu dalam
kawasan meliputi :
1) pintu gerbang Bali dari laut melalui Pelabuhan Benoa;
2) pintu gerbang Bali dari udara melalui Bandar Udara Ngurah Rai;
3) jaringan jalan tol penghubung antar wilayah di Bali;
4) pusat layanan energi wilayah pada beberapa PLT, rencana PLT, dan
rencana terminal energi;
5) pusat penyediaan prasarana sumber daya air pada Waduk Muara Nusa
Dua, embung Sanur, prasarana pengendalian banjir, dan IPA Muara;
6) pusat layanaan pengelolaan sampah residu pada TPA Suwung;
7) pusat layanan pengelolaan air limbah pada IPAL Suwung dan IPAL
Nusa Dua;
8) pusat edukasi mangrove nasional;
f. mengintegrasikan secara terpadu pusat-pusat kegiatan pembangkit
perekonomian wilayah dalam kawasan meliputi Kawasan Serangan,
Kawasan Pelabuhan Benoa, Kawasan Bandara Ngurah Rai, Kawasan Nusa
Dua dan Kawasan Tanjung Benoa;
g. merupakan bagian dari KSN yang penataan ruangnya membutuhkan
harmonisasi berbagai lintas kepentingan baik kepentingan pusat-daerah,
ekonomi-konservasi, …
h. pemanfaatan potensi Kawasan sesuai daya dukung, daya tampung
lingkungan, daya dukung sosial termasuk perlindungan situs warisan
budaya setempat; dan

61
i. perlindungan dan pengamanan sedimentasi teluk secara berkelanjutan;

BAB VII
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 63
Arahan pemanfaatan ruang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e,
mencakup:
a. KKPR;
b. indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan
c. sinkronisasi program pemanfaatan ruang (SPPR).

Bagian Kedua
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang

Pasal 64
KKPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf a, terdiri dari :
a. KKPR Darat; dan
b. KKPR Laut

Pasal 65
(1) KKPR Darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf a,
dilaksanakan untuk :
a. kegiatan berusaha;
b. kegiatan non berusaha; dan
c. kegiatan yang bersifat strategis nasional
(2) KKPR Darat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui :
a. konfirmasi KKPR;
b. konfirmasi KKPR; dan
c. rekomendasi KKPR.
(3) Pelaksanaan KKKPR Darat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
(4) KKPR Darat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi pertimbangan
dalam pelaksanaan revisi RTRWP.

Pasal 66
(1) KKPR Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf b, dilaksanakan
menjadi persyaratan dasar Perizinan Berusaha dan/atau penerbitan
perizinan nonberusaha.
(2) KKPR Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. Persetujuan untuk kegiatan berusaha; atau …
b. Persetujuan atau Konfirmasi untuk kegiatan nonberusaha.
(3) Pelaksanaan KKPR Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

62
(4) Peta KKPR Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam
Lampiran XVI.A tentang Peta zonasi wilayah perairan pesisir skala
1:250.000.
(5) Peta KKPR Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan kedalaman
skala 1:50.000 tercantum pada Lampiran XVI.B yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(6) Rencana alokasi ruang pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (WP-3-
K) tercantum dalam Lampiran XVI.C yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(7) KKPR Laut juga mempertimbangkan ketentuan pemanfaatan ruang dalam
Kawasan/Zona/subzone meliputi:
a. aktivitas yang dibolehkan;
b. aktivitas yang tidak dibolehkan; dan
c. aktivitas yang dibolehkan setelah memperoleh izin
(8) Ketentuan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
tercantum dalam Lampiran XVI.D dan Lampiran XVI.E yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Ketiga
Indikasi Program Utama Jangka Menengah Lima Tahunan

Pasal 67
(1) Indikasi program utama jangka menengah 5 (lima) tahunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 63 huruf b, mencakup :
a. perwujudan rencana struktur ruang;
b. perwujudan rencana pola ruang; dan
c. perwujudan KSP.
(2) Indikasi program utama perwujudan rencana struktur ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri dari :
a. perwujudan sistem pusat permukiman;
b. perwujudan sistem jaringan transportasi;
c. perwujudan sistem jaringan energi;
d. perwujudan sistem jaringan telekomunikasi;
e. perwujudan sistem jaringan sumber daya air; dan
f. perwujudan sistem jaringan prasarana lainnya.
(3) Indikasi program utama perwujudan rencana pola ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri dari :
a. perwujudan kawasan lindung; dan
b. perwujudan kawasan budi daya.

Pasal 68
(1) Indikasi program utama jangka menengah 5 (lima) tahunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 67 meliputi :
a. Program Utama;
b. Lokasi;
c. Sumber Pendanaan;
d. Instansi Pelaksana; dan
e. Waktu Pelaksanaan.
(2) Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10 huruf a berisikan tempat
dimana usulan program utama akan dilaksanakan

63
(3) Sumber pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, berasal
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Provinsi, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota, swasta, masyarakat dan/atau sumber lain sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Instansi pelaksana kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
d, meliputi Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota, swasta dan/atau masyarakat.
(5) Waktu pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e,
meliputi 4 (empat) tahapan, yaitu:
a. tahap kesatu, yaitu tahun 2022-2023;
b. tahap kedua, yaitu tahun 2024-2028;
c. tahap ketiga, yaitu tahun 2029-2033;
d. tahap keempat, yaitu tahun 2034-2038; dan
e. tahap kelima, yaitu tahun 2039-2042.
(4) Indikasi program utama jangka menengah lima tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1 tercantum dalam Lampiran XVII yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Keempat
Pelaksanaan Sinkronisasi Program Pemanfaatan Ruang (SPPR)

Pasal 69
(1) SPPR, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf c, dilakukan melalui
penyelarasan indikasi program utama jangka menengah 5 (lima) tahunan,
dengan program sektoral dan kewilayahan serta dokumen rencana
pembangunan secara terpadu.
(2) Pelaksanaan SPPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menghasilkan
dokumen:
a. SPPR jangka menengah 5 (lima) tahunan; dan
b. SPPR jangka pendek 1 (satu) tahunan.
(3) SPPR Jangka Menengah 5 (lima) Tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) huruf a disusun untuk mewujudkan keterpaduan program
Pemanfaatan Ruang.
(4) SPPR Jangka Pendek 1 (satu) Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf b disusun untuk menentukan prioritas program Pemanfaatan
Ruang.
(5) SPPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi masukan untuk
penyusunan rencana pembangunan dan pelaksanaan peninjauan kembali
dalam rangka revisi RTR.

BAB VIII
ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG

Bagian Kesatu
Umum

64
Pasal 70
Arahan pengendalian pemanfaatan ruang, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf f, mencakup:
a. indikasi arahan zonasi sistem provinsi;
b. penilaian pelaksanaan pemanfaatan ruang;
c. arahan pemberian insentif dan disinsentif; dan
d. arahan sanksi

Bagian Kedua
Indikasi Arahan Zonasi Sistem Provinsi

Paragraf 1
Umum

Pasal 71
Indikasi arahan zonasi sistem provinsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
70 huruf a, memuat:
a. indikasi arahan zonasi Struktur Ruang;
b. indikasi arahan zonasi Pola Ruang; dan
c. ketentuan khusus.

Paragraf 2
Indikasi Arahan Zonasi Struktur Ruang

Pasal 72
Indikasi arahan zonasi struktur ruang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
huruf a, memuat :
a. indikasi arahan zonasi sistem pusat permukiman;
b. indikasi arahan zonasi sistem jaringan transportasi;
c. indikasi arahan zonasi sistem jaringan energi;
d. indikasi arahan zonasi sistem jaringan telekomunikasi;
e. indikasi arahan zonasi sistem jaringan sumber daya air; dan
f. indikasi arahan zonasi sistem jaringan prasarana lainnya.

Pasal 73
(1) Indikasi arahan zonasi sistem pusat permukiman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 72 huruf a meliputi:
a. indikasi arahan zonasi PKN;
b. indikasi arahan zonasi PKW;
c. indikasi arahan zonasi PKL; dan
d. indikasi arahan zonasi sistem permukiman lainnya
(2) Indikasi arahan zonasi PKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
disusun dengan memperhatikan:
a. PKN di wilayah provinsi meliputi Kawasan Perkotaan Denpasar –
Badung – Gianyar - Tabanan (Sarbagita) yang merupakan kota
metropolitan sekaligus KSN;
b. penetapan deliniasi PKN disesuaikan dengan deliniasi KSN Perkotaan
Sarbagita ditetapkan dalam RTR KSN;
c. arahan pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi berskala nasional
dan internasional; sebagai pusat pemerintahan, permukiman,

65
perdagangan dan jasa nasional, pariwisata internasional, dengan
intensitas Pemanfaatan Ruang tingkat menengah hingga tinggi,
melalui pengembangan hunian vertikal terbatas dan pembatasan ke
arah horizontal dengan tetap memperhatikan daya dukung dan daya
tampung lingkungan;
d. pusat pelayanan perkotaan meliputi kota inti dan kawasan perkotaan
sekitar kota inti dikombinasikan dengan pusat-pusat kegiatan
pariwisata, pertumbuhan kelautan dan pelayanan tematik lainnya
e. didukung pengembangan prasarana dan sarana, yang memiliki
kualitas daya dukung lingkungan tinggi, dan kualitas pelayanan
prasarana dan sarana tinggi sesuai standar pelayanan minimal kota
metropolitan;
f. orientasi ruang, lansekap dan tata bangunan berjatidiri Budaya Bali,
ramah lingkungan, rendah karbon, didukung terjaminnya aktivitas
kearifan lokal yang inklusif terintegrasi dalam ruang kota;
g. tersedia pelayanan transportasi umum massal didukung
pengembangan Kawasan Berbasis TOD;
h. terdapat kawasan tertentu yang didorong pengembagannya dan
kawasan tertentu yang dikendalikan perkembangannya;
i. lahan pertanian pengan berkelanjutan (LP2B) …..
j. tingkat intensitas pemanfaatan ruang, dimanfaatkan untuk bangunan
gedung dengan intensitas sedang hingga tinggi, dengan ketinggian
bangunan paling tinggi 15m (lima belas meter) dari permukaan tanah,
dan dikecualikan pada kawasan tertentu yang didorong
perkembangannya setelah melalui kajian; dan
k. RTHK ditetapkan minimal 30% dengan komposisi RTHK Publik
minimal 20% dari luas Kawasan terbangun kawasan perkotaan.
(3) Indikasi arahan zonasi PKW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, disusun dengan memperhatikan:
a. PKW di wilayah provinsi meliputi Kawasan Perkotaan Singaraja,
Kawasan Perkotaan Semarapura dan Kawasan Perkotaan Negara;
b. deliniasi PKW diarahkan dalam RTRWP meliputi area kawasan
perkotaan yang telah berkembang beserta cadangan perluasannya
ditetapkan lebih lanjut dalam RTRW Kabupaten;
c. arahan pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi berskala
regional/antar provinsi dan nasional, sebagai pusat pemerintahan,
permukiman, perdagangan dan jasa nasional, pariwisata
internasional, dengan intensitas Pemanfaatan Ruang tingkat
menengah hingga tinggi, melalui pengembangan hunian vertikal
terbatas dan pembatasan ke arah horizontal dengan tetap
memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan;
d. PKW menjadi pusat pelayanan pengembangan wilayah Bali bagian
barat, timur dan utara yang terekoneksi dengan PKN dan PKL
e. dukungan pengembangan prasarana dan sarana, diarahkan sebagai
kawasan perkotaan yang memiliki kualitas daya dukung lingkungan
menengah sampai tinggi, dan kualitas pelayanan prasarana dan
sarana menengah sampai tinggi;
f. penerapan orientasi ruang, lansekap dan tata bangunan berjatidiri
Budaya Bali, ramah lingkungan dan rendah karbon, didukung
terjaminnya aktivitas kearifan lokal yang inklusif terintegrasi dalam
ruang kota;
g. tersedia pelayanan transportasi umum massal didukung
pengembangan Kawasan Berbasis TOD sesuai kajian;
h. terdapat kawasan tertentu yang didorong pengembangannya dan
Kawasan tertentu yang dikendalikan perkembangannya;
i. tingkat intensitas pemanfaatan ruang, dimanfaatkan untuk bangunan
gedung dengan intensitas sedang hingga tinggi, dengan ketinggian

66
bangunan paling tinggi 15m (lima belas meter) dari permukaan tanah,
dan dikecualikan pada kawasan tertentu yang didorong
perkembangannya setelah melalui kajian; dan
j. RTHK ditetapkan minimal 30% dengan komposisi RTHK Publik
minimal 20% dari luas Kawasan terbangun kawasan perkotaan.
(4) Indikasi arahan zonasi PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
disusun dengan memperhatikan:
a. PKL di wilayah provinsi meliputi Kawasan Perkotaan Bangli, Kawasan
Perkotaan Amlapura, Kawasan Perkotaan Seririt, Kawasan Perkotaan
Gilimanuk, Kawasan Perkotaan Kintamani dan Kawasan Perkotaan
Sampalan
b. deliniasi PKL ditetapkan dalam RTRW Kabupaten;
c. arahan pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi skala kabupaten,
sebagai pusat pemerintahan, perdagangan dan jasa skala kabupaten,
pendidikan menengah hingga tinggi, pertanian, pariwisata, industri
pendukung pariwisata, sosial-budaya dan kesenian, dan olahraga;
d. dukungan pengembangan prasarana dan sarana, diarahkan sebagai
kawasan perkotaan yang memiliki kualitas daya dukung lingkungan
menengah, dan kualitas pelayanan prasarana dan sarana menengah;
e. penerapan orientasi ruang, lansekap dan tata bangunan berjatidiri
Budaya Bali, ramah lingkungan dan rendah karbon, didukung
terjaminnya aktivitas kearifan lokal yang inklusif terintegrasi dalam
ruang kota;
f. terdapat kawasan tertentu yang didorong pengembangannya dan
Kawasan tertentu yang dikendalikan perkembangannya;
g. tingkat intensitas pemanfaatan ruang, dimanfaatkan untuk bangunan
gedung dengan intensitas sedang hingga tinggi, dengan ketinggian
bangunan paling tinggi 15m (lima belas meter) dari permukaan tanah;
dan
h. RTHK ditetapkan minimal 30% dengan komposisi RTHK Publik
minimal 20% dari luas Kawasan terbangun kawasan perkotaan.
(5) Indikasi arahan zonasi system permukiman lainnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d, mencakup sistem permukiman di
wilayah kabupaten dan kawasan perdesaan, meliputi :
a. pusat pelayanan Kawasan (PPK) ditetapkan dalam RTRW Kabupaten
berfungsi sebagai tempat kegiatan ekonomi semi perkotaan berskala
kecamatan atau beberapa desa yang didukung dengan fasilitas dan
infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang
dilayaninya;
b. pusat pelayanan lingkungan (PPL) ditetapkan dalam RTRW Kabupaten
sebagai tempat kegiatan ekonomi desa atau antar beberapa desa yang
didukung dengan fasilitas dan infrastruktur yang sesuai dengan
kegiatan ekonomi yang dilayaninya;
c. Kawasan perdesaan memiliki susunan fungsi sebagai kawasan
permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan desa,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi perdesaan terutama
pertanian untuk mempertahankan dan melestarikan kawasan
perdesaan yang berjatidiri budaya Bali
d. Kawasan perdesaan diintegrasikan dengan pengembangan kawasan
Agropolitan dan Minapolitan yang mendorong tumbuhnya pusat
pelayanan pendukung kegiatan pertanian dan perikanan melalui
berjalannya sistem dan usaha agribisnis untuk melayani, mendorong,
menarik, menghela kegiatan pembangunan usaha Agribisnis
pertanian dan perikanan di wilayah sekitarnya;

67
e. pengembangan kawasan perdesaan sebagai pelestarian warisan
budaya lokal; vkonservasi sumberdaya alam; pemberdayaan
masyarakat perdesaan; pengembangan LP2B
f. Ketentuan lebih lanjut tentang PPK, PPL dan Kawasan perdesaan
diatur dalam RTRW Kabupaten

Pasal 74
(1) Indikasi arahan zonasi sistem sistem jaringan transportasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 72 huruf b meliputi:
a. indikasi arahan zonasi sistem jaringan jalan
b. indikasi arahan zonasi sistem jaringan kereta api;
c. indikasi arahan zonasi sistem jaringan sungai, danau, dan
penyeberangan;
d. indikasi arahan zonasi sistem jaringan pelayanan angkutan
penumpang dan barang;
e. indikasi arahan zonasi sistem jaringan transportasi laut;
f. indikasi arahan zonasi bandar udara umum dan bandar udara
khusus;
g. indikasi arahan zonasi jalur pendaratan dan penerbangan di Laut;
(2) Indikasi arahan zonasi sistem jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, meliputi:
a. jaringan jalan arteri primer, meliputi :
1. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri atas :
a) pemanfaatan lahan di sepanjang jalan arteri primer untuk
kegiatan skala nasional, provinsi dan kabupaten/kota dengan
tingkat intensitas menengah hingga tinggi;
b) pendirian bangunan dengan fungsi penunjang yang berkaitan
dengan pemanfaatan ruas jalan; dan
c) pergerakan lokal dengan tidak mengurangi fungsi pergerakan;
2. kegiatan yang diperbolehkan bersyarat, yaitu:
a) pendirian bangunan dengan penetapan garis sempadan
bangunan yang terletak di tepi jalan arteri primer; dan
b) alih fungsi lahan berfungsi budidaya di sepanjang jalan arteri
primer;
3. kegiatan yang dilarang, yaitu:
a) pembangunan reklame dan sejenisnya di median dan trotoar
jalan; dan
b) alih fungsi lahan yang bersifat lindung di sepanjang sisi jalan.
b. Jaringan jalan kolektor primer, meliputi:
1. kegiatan yang diperbolehkan, yaitu:
a) pemanfaatan lahan di sepanjang kordior jalan kolektor primer
untuk kegiatan skala provinsi dan kabupaten/kota dan
beberapa kecamatan;
b) prasarana pergerakan yang menghubungkan pusat-pusat
kegiatan; dan
c) pendirian bangunan dengan fungsi penunjang yang berkaitan
dengan pemanfaatan ruang jalan;
2. kegiatan yang diperbolehkan bersyarat, yaitu:
a) pendirian bangunan dengan penetapan garis sempadan
bangunan yang terletak di tepi jalan kolektor primer; dan
b) alih fungsi lahan berfungsi budidaya di sepanjang jalan
kolektor primer;
3. kegiatan yang dilarang, yaitu:
a) pembangunan reklame dan sejenisnya di media dan trotoar
jalan; dan

68
b) alih fungsi lahan yang bersifat lindung di sepanjang sisi jalan.
c. pengendalian Pemanfaatan Ruang dengan intensitas pergerakan tinggi
serta kegiatan yang menyebabkan hambatan samping di sepanjang
sisi jalan arteri dan kolektor agar tidak menganggu kinerja fungsi
jaringan jalan;
d. penetapan lebar rumaja, rumija dan ruwasja dan garis sempadan
bangunan;
e. pengaturan jalan tol meliputi:
1. kegiatan yang diperbolehkan, yaitu pendirian bangunan dengan
fungsi penunjang yang berkaitan dengan jalan tol;
2. kegiatan yang diperbolehkan bersyarat, yaitu pemanfaatan lahan
di sepanjang jalan tol dengan pembatasan intensitas bangunan
dan penetapan garis sempadan jalan;
3. kegiatan yang dilarang, yaitu alih fungsi lahan yang bersifat
lindung di sepanjang sisi jalan;
4. pengendalian jalan masuk tol secara penuh dan tidak ada
persimpangan sebidang;
5. penyediaan akses penghubung kawasan yang terpisahkan oleh
pembangunan jalan tol;
6. pengendalian jalan penghubung dari pintu keluar tol ke jalan non
tol yang tidak menimbulkan kemacetan; dan
7. ketentuan akses keluar jalan tol yang harus memperhatikan
fungsi jalan.
8. setiap perencanaan dan pembangunan jalan tol wajib
memperhatikan harmonisasi dengan : kawasan lindung dan
kawasan konservasi, LP2B, permukiman padat penduduk, batas-
batas wewidangan dan pelemahan desa adat, jaringan irigasi dan
kearifan lokal lainnya.
f. pengaturan jalan khusus meliputi:
1. kegiatan yang diperbolehkan, yaitu:
a) pemanfaatan lahan di sepanjang kordor jalan khusus untuk
kegiatan sesuai tema pengembangan Kawasan;
b) prasarana pergerakan yang menghubungkan pusat-pusat
kegiatan; dan
c) pendirian bangunan dengan fungsi penunjang yang berkaitan
dengan pemanfaatan ruang jalan;
2. kegiatan yang diperbolehkan bersyarat, yaitu pendirian bangunan
dengan penetapan garis sempadan bangunan yang terletak di tepi
jalan khusus; dan
3. kegiatan yang tidak diperbolehkan, yaitu alih fungsi lahan yang
bersifat lindung di sepanjang sisi jalan.
g. pembangunan jalan sesuai standar spesifikasi prasarana jalan;
h. pemanfaatan jalan sesuai dimensi dan muatan sumbu terberat;
i. pengembangan prasarana pelengkap dan pendukung jalan dengan
syarat sesuai dengan kondisi dan kelas jalan;
j. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan yang memenuhi
ketentuan ruang pengawasan jalan;
k. pembatasan kegiatan pada ruang milik jalan di luar kepentingan jalan
yang mengganggu keamanan, keselamatan, dan kelancaran lalu lintas
serta angkutan jalan;
l. setiap perencanaan dan pembangunan jaringan jalan (jalan arteri,
jalan kolektor, jalan tol) wajib memperhatikan Kawasan Lindung dan
kawasan konservasi;
m. perlindungan terhadap KP2B di sepanjang sisi jalan nasional dan
provinsi;
n. perencanaan pembangunan jalan dan jalan tol memperhatikan
kawasan rawan bencana;

69
o. penerapan rekayasa teknis dalam pembangunan jalan di sekitar
kawasan rawan bencana;
p. pengaturan terminal meliputi:
1. kegiatan yang diperbolehkan, yaitu pendirian bangunan dengan
fungsi penunjang terminal bagi pergerakan orang, barang dan
kendaraan;
2. kegiatan yang diperbolehkan bersyarat, yaitu kegiatan pendukung
aktivitas terminal sesuai dengan skala pelayanan terminal (kantor,
perdagangan jasa, fasilitas terminal), pemanfaatan ruang disekitar
terminal dengan intensitas sedang dan tinggi;
3. kegiatan yang tidak diperbolehkan, yaitu pemanfaatan ruang di
dalam lingkungan kerja terminal, dan alih fungsi lahan yang
bersifat lindung di sepanjang sisi terminal; dan
4. pengembangan RTH di luar bangunan fisik yang memperhatikan
fungsi dan estetika bangunan dan Kawasan
5. memiliki masterplan pengembangan terminal;
6. terintegrasi dengan pengembangan sistem transit serta
pengembangan angkutan massal lainnya;dan

q. pengaturan jembatan timbang meliputi:


1. kegiatan yang diperbolehkan yaitu pendirian bangunan dengan
fungsi penunjang kegiatan pada jembatan timbang, tempat parkir
kendaraan, fasilitas penunjang (tempat ibadah, toilet umum,
kantin, tempat istirahat pengemudi);
2. kegiatan yang diperebolehkan bersyarat, yaitu rumah dinas/mess
petugas, kegiatan pendukung aktivitas di area jembatan timbang;
dan
3. kegiatan yang tidak diperbolehkan, yaitu Pemanfaatan Ruang di
dalam lingkungan kerja terminal yang tidak sesuai dengan fungsi
jembatan timbang, alih fungsi lahan yang bersifat lindung di
sepanjang sisi jembatan timbang.
(3) Indikasi arahan zonasi untuk sistem jaringan kereta api sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan dengan memperhatikan:
a. kegiatan yang diperbolehkan, yaitu pendirian bangunan dengan
fungsi penunjang pelayanan sarana dan prasarana stasiun kereta
api
b. kegiatan yang diperbolehkan bersyarat, yaitu:
1. penggunaan ruang milik jalur kereta api untuk keperluan lain
atas izin pemilik prasarana perkeretaapian dengan ketentuan
tidak membahayakan konstruksi jalan rel, fasilitas operasi kereta
api, dan perjalanan kereta api;
2. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jaringan jalur kereta api
dengan intensitas menengah hingga tinggi dengan pengembangan
ruangnya dibatasi; dan
3. penggunaan ruang manfaat jalur kereta api sebagai ruang bebas
yang harus bebas dari segala rintangan dan benda penghalang di
kiri, kanan, atas, dan bawah jalan rel;
c. kegiatan yang dilarang, yaitu
1. pemanfaatan ruang pengawasan jalur kereta api yang dapat
mengganggu kepentingan operasi dan keselamatan transportasi
perkeretaapian; dan
2. pemanfaatan ruang yang peka terhadap dampak lingkungan
akibat lalu lintas kereta api di sepanjang jalur kereta api;
d. pembatasan jumlah perlintasan sebidang antara jaringan jalur
kereta api dan jalan;

70
e. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jaringan jalur kereta api
dengan memperhatikan dampak lingkungan dan kebutuhan
pengembangan jaringan jalur kereta api;
f. setiap perencanaan dan pembangunan jaringan kereta api wajib
memperhatikan harmonisasi dengan : kawasan lindung dan kawasan
konservasi, LP2B, permukiman padat penduduk, batas-batas
wewidangan dan pelemahan desa adat, jaringan irigasi dan kearifan
lokal lainnya.
g. penerapan rekayasa teknis dalam pembangunan sarana dan
prasarana kereta api di sekitar kawasan rawan bencana; dan
h. pengembangan jalur hijau atau RTH sepanjang jalur kereta api.
(4) Indikasi arahan zonasi untuk sistem jaringan sungai, danau dan
penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan
dengan memperhatikan:
a. kegiatan yang diperbolehkan, yaitu sarana dan prasarana penunjang
operasional alur pelayaran di sungai, danau dan penyeberangan,
dermaga;
b. kegiatan yang diperbolehkan bersyarat, yaitu pelabuhan sesuai skala
pelayanan, pemanfaatan perairan yang berdampak pada keberadaan
alur pelayaran sungai, danau dan penyeberangan, termasuk
pemanfaatan ruang di pelabuhan sungai, danau dan penyeberangan.
c. kegiatan yang dilarang, yaitu kegiatan yang dapat mengganggu
keselamatan dan keamanan pelayaran, kegiatan yang menyebabkan
penurunan kualitas ekosistem perairan hingga melampaui baku mutu
dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, kegiatan di
ruang udara bebas di atas perairan yang berdampak pada keberadaan
alur pelayaran sungai, danau dan penyeberangan, kegiatan di bawah
perairan yang berdampak pada keberadaan alur pelayaran sungai,
danau dan penyeberangan.
d. memiliki rencana induk pelabuhan;
e. sarana dan prasarana minimal, khusus untuk pelabuhan
penyeberangan yang harus disediakan meliputi : fasilitas pokok
pelabuhan di daratan, fasilitas penunjang pelabuhan di daratan,
fasilitas pokok pelabuhan di perairan dan fasilitas penunjang
pelabuhan di perairan
(5) Indikasi arahan zonasi untuk jaringan transportasi laut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d ditetapkan dengan memperhatikan:
a. kegiatan yang diperbolehkan, yaitu pelabuhan, pengerukan alur
pelabuhan, pengembangan pelabuhan jangka panjang, fasilitas
pembangunan dan pemeliharaan kapal, pembangunan TUKS/tersus,
kegiatan lalu lintas kapal yang masuk dan keluar TUKS/tersus,
tempat uji coba kapal (percobaan berlayar), pendaratan hasil
tangkapan perikanan, pelaksanaan operasional kapal perikanan,
tambat labuh kapal perikanan dan kapal pengawas perikanan,
perbekalan dan perbaikan kapal perikanan, bongkar muat, penelitian,
uji coba kapal, penempatan kapal mati, pemasaran dan distribusi
ikan dan RTH;
b. kegiatan yang diperbolehkan bersyarat, yaitu wisata sejarah, wisata
budaya, permukiman, wilayah kerja dan wilayah pengoperasian
pelabuhan perikanan, salvage dan/atau pekerjaan bawah air,
pengerukan, perikanan tangkap dengan alat penangkapan ikan
dinamis/bergerak yang tidak mengganggu kegiatan kepelabuhanan,
industri pengolahan hasil perikanan (pengalengan, penggaraman,
pengeringan, pengasapan, pembekuan, pemindangan, dan pengolahan
dan pengawetan lainnya), industri maritim, fasilitas umum, dumping
area, perdagangan dan jasa, perkantoran, pipetack pom pelabuhan,

71
loading dock, wisata alam bentang laut, wisata alam pantai/pesisir,
bangunan pelindung pantai dan bangunana infrastruktur;
c. kegiatan yang dilarang, yaitu pertambangan panas bumi, perikanan
tangkap dengan alat penangkapan ikan statis dan/atau bergerak yang
mengganggu kegiatan kepelabuhanan, pemasangan rumah ikan dan
alat bantu penangkapan ikan seperti rumpon serta terumbu karang
buatan, perikanan budidaya laut, pertambangan minyak bumi,
pertambangan gas bumi, wisata olahraga air, wisata bawah laut,
pertambangan pasir laut dan pelarangan kegiatan di ruang udara
bebas di atas badan air yang berdampak pada keberadaan jalur
transportasi laut;
d. memiliki Rencana Induk Pelabuhan, DLKr dan DLKP;
e. pelabuhan utama mempunyai akses dari dan ke jaringan jalan arteri
primer dan alur pelayaran internasional,
f. pelabuhan pengumpul mempunyai akses dari dan ke jaringan jalan
kolektor dan alur pelayaran nasional
g. pelabuhan pengumpan regional harus terhubungkan olah jaringan
jalan Provinsi dan Pelabuhan pengumpan lokal harus terhubungkan
olah jaringan jalan kabupaten;
h. perlindungan terhadap kualitas perairan, fungsi kawasan lindung,
dan lahan KP2B di sekitar kawasan pelabuhan laut
i. pengembangan pelabuhan laut berpedoman pada Rencana Induk
Pelabuhan, standar teknis, serta peraturan perundangan terkait
lainnya yang berlaku;
j. pengendalian pemanfaatan ruang pada badan air di sepanjang alur
pelayaran;
k. pemanfaatan ruang pada kawasan pesisir dan pulau kecil di sekitar
badan air di sepanjang alur pelayaran yang dilakukan dengan tidak
mengganggu aktivitas pelayaran; dan
l. arahan pengendalian pada Alur pelayaran– perlintasan dilaksanakan
sebagai berikut:
1. Zona terlarang pada area 500 (lima ratus) meter dihitung dari sisi
terluar instalasi atau bangunan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran;
2. pengaturan perlindungan lingkungan maritim;
3. penetapan sistem rute (skema pemisah lalu lintas di laut. rute dua
arah, garis haluan yang dianjurkan, rute air dalam, daerah yang
harus dihindari, daerah lalu lintas pedalaman, dan daerah
kewaspadaan);
4. pembatasan kecepatan kapal dan/atau penetapan ship routing
sistem sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang perhubungan;
5. setiap kapal-kapal yang melintas transit dilarang membuang
benda-benda sisa beracun atau benda berbahaya seperti sampah
di perairan Indonesia;
m. alur pelayaran yang melintasi Kawasan konservasi, harus
memperhatikan :
1. zona inti kawasan konservasi
2. pengaturan teknis lokasi
(6) Indikasi arahan zonasi untuk untuk bandar udara dan bandar udara
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e ditetapkan dengan
memperhatikan:
a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi kegiatan operasional
kebandarudaraan, kegiatan penunjang pelayanan jasa
kebandarudaraan, penunjang pelayanan keselamatan operasi
penerbangan, dan kegiatan pertahanan dan keamanan negara;
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi kegiatan
pelayanan jasa terkait bandar udara meliputi kegiatan :

72
1) kegiatan pelayanan operasi pesawat udara di bandar udara,
meliputi : penyediaan hanggar pesawat udara, perbengkelan
pesawat udara, pergudangan, katering pesawat udara, pelayanan
teknis penanganan pesawat udara di darat (ground handling),
pelayanan penumpang dan bagasi; serta, penanganan kargo dan
pos.
2) kegiatan pelayanan penumpang dan barang, meliputi : penyediaan
penginapan/hotel dan transit hotel, penyediaan toko dan restoran,
penyimpanan kendaraan bermotor, pelayanan kesehatan,
perbankan dan/atau penukaran uang dan transportasi darat.
3) jasa terkait untuk memberikan nilai tambah bagi pengusahaan
bandar udara, meliputi: penyediaan tempat bermain dan rekreasi,
penyediaan fasilitas perkantoran, penyediaan fasilitas olah raga,
penyediaan fasiltas pendidikan dan pelatihan, pengisian bahan
bakar kendaraan bermotor; dan periklanan.
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi kegiatan yang
membahayakan keamanan dan keselamatan operasional
penerbangan, membuat halangan (obstacle), dan/atau kegiatan lain
yang mengganggu fungsi bandar udara
d. sarana dan prasarana minimal, meliputi:
1) memiliki Rencana Induk Bandar Udara
2) terhubungkan oleh sistem jaringan jalan nasional;dan
3) memiliki pelayanan jasa kebandarudaraan meliputi pelayanan jasa
pesawat udara, penumpang, barang, dan pos
b. perencanaan pembangunan bandara memperhatikan kawasan rawan
bencana;
c. perlindungan terhadap fungsi Kawasan Lindung;
d. perlindungan terhadap lahan sawah beririgasi teknis/KP2B;
e. penyediaan sarana dan prasarana pengelolaan sampah dan limbah;
f. RTH;
g. penetapan batas-batas Kawasan keselamatan operasi penerbangan
dan Kawasan kebisingan; dan
h. penerapan mitigasi bencana.
(7) Dalam pengembangan sistem jaringan transportasi, dapat dikembangkan
sistem transit dan pengembangan kawasan berorientasi transit (Transit
Oriented Development/TOD) sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 75
Indikasi arahan zonasi sistem sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 72 huruf c, ditetapkan dengan memperhatikan:
a. pengembangan sistem jaringan energi berada pada lokasi yang aman
terhadap kegiatan lain dengan memperhatikan jarak bebas minimum
vertikal dan jarak bebas minimum horisontal.
b. kegiatan yang diperbolehkan, yaitu pemanfaatan ruang sisi kanan, kiri dan
ruang bawah saluran udara tegangan tinggi dan saluran udara tegangan
ekstra tinggi secara teknis aman dan dapat dimanfaatakan untuk
keperluan lain termasuk rumah tinggal selama tidak masuk dalam ruang
bebas, jalur hijau, RTH;
c. kegiatan yang diperbolehkan bersyarat, yaitu:
1. pemanfaatan ruang di sekitar jaringan pipa minyak dan gas bumi yang
memperhitungkan aspek keamanan dan keselamatan kawasan di
sekitarnya; dan
2. pemanfaatan ruang di sekitar pembangkit listrik yang
memperhitungkan jarak aman dengan kegiatan lain;

73
d. kegiatan yang dilarang, yaitu
1. pemanfaatan ruang bebas di sepanjang jalur transmisi, pendirian
disekitar SUTT dan SUTET untuk bangunan dengan resiko kebakaran
tinggi seperti pom bensin dan tempat penimbunan bahan bakar; dan
2. pemanfaatan ruang di sekitar pembangkit listrik yang tidak
memperhitungkan jarak aman;
e. ketentuan pembangunan jaringan gas mengikuti peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
f. ketentuan ruang bebas dan jarak minimum mengikuti peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
g. prasarana minimal yang perlu disediakan adalah penyediaan RTH,
penyediaan pengolahan limbah dan pengelolaan emisi dan pembangunan
prasarana pertambangan dan energi sesuai standar teknis perencanaan;
h. setiap perencanaan dan pembangunan jaringan energi dan kelistrikan
wajib memperhatikan kawasan lindung dan kawasan konservasi;
i. pengembangan pembangkit listrik ramah lingkungan; dan
j. pembangunan jaringan distribusi tenaga listrik pada pusat-pusat kegiatan
diarahkan terintegrasi melalui penyediaan sistem duktilitas terpadu
dengan jaringan prasarana lainnya;

Pasal 76
Indikasi arahan zonasi sistem sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana
dalam dimaksud Pasal 72 huruf d, ditetapkan dengan memperhatikan:
a. kegiatan yang diperbolehkan, yaitu:
1) bangunan atau jaringan pendukung kegiatan telekomunikasi; dan
2) infrastruktur lainnya yang tidak mengganggu jaringan telekomunikasi
baik di dalam tanah maupun di bawah tanah;
b. kegiatan yang diperbolehkan bersyarat, yaitu:
1) penempatan stasiun bumi dan menara pemancar telekomunikasi
secara terpadu yang memperhitungkan aspek keamanan dan
keselamatan aktivitas kawasan di sekitarnya;
2) kegiatan pembangunan yang tidak mengganggu jaringan
telekomunikasi baik di dalam tanah maupun di bawah tanah; dan
3) bangunan lainnya dengan mengikuti persyaratan pengaturan jaringan
telekomunikasi;
c. kegiatan yang dilarang, yaitu pendirian bangunan di sekitar menara
telekomunikasi dalam radius bahaya keamanan dan keselamatan;
d. pemasangan kabel yang dibangun mengikuti jaringan jalan arteri, kolektor
dan lokal dengan koordinasi antar level pemerintahan;
e. setiap perencanaan dan pembangunan jaringan telekomunikasi wajib
memperhatikan kawasan lindung dan kawasan konservasi; dan
f. penerapan rekayasa teknis dalam pembangunan jaringan prasarana
telekomunikasi di sekitar kawasan rawan bencana.
g. pembangunan jaringan kabel telekomunikasi pada pusat-pusat kegiatan
diarahkan terintegrasi melalui penyediaan sistem duktilitas terpadu
dengan jaringan prasarana lainnya;

Pasal 77
(1) Indikasi arahan zonasi sistem sistem jaringan sumber daya air
sebagaimana dimaksud Pasal 72 huruf e, ditetapkan dengan
memperhatikan:
a. pengaturan jaringan irigasi meliputi:

74
1) kegiatan yang diperbolehkan, yaitu, pembangunan bangunan
pemeliharaan jaringan irigasi;
2) kegiatan yang diperbolehkan bersyarat, yaitu:
a) pembangunan bangunan di atas saluran irigasi;
b) kegiatan pertanian sepanjang tidak merusak tatanan
lingkungan dan bentang alam; dan
c) kegiatan perikanan sepanjang tidak merusak tatanan
lingkungan dan fungsi irigasi;
3) kegiatan yang dilarang, yaitu pemanfaatan ruang yang dapat
merusak jaringan irigasi;
b. pengaturan sistem pengendalian banjir dan bangunan sumber daya
air meliputi:
1) kegiatan yang diperbolehkan, yaitu:
a) pemanfaatan ruang untuk kegiatan pendukung sistem jaringan
sumber daya air;
b) pembangunan bangunan pemelihara jaringan irigasi; dan
c) bangunan pengendali banjir,
2) kegiatan yang diperbolehkan bersyarat, yaitu:
a) pendirian bangunan di atas jaringan irigasi;
b) kegiatan pertanian sepanjang tidak merusak tatanan
lingkungan dan bentang alam;
c) kegiatan wisata alam dengan tidak menganggu bentang alam
dan fungsi kawasan;
3) kegiatan yang dilarang, yaitu:
a) kegiatan yang dapat mengganggu fungsi pengendalian banjir;
b) kegiatan yang dapat merusak fungsi jaringan irigasi; dan
c) kegiatan yang dapat merusak ekosistem dan fungsi lindung
sungai, waduk dan embung;
c. perlindungan terhadap infrastruktur sumber daya air (SDA);
d. memperhatikan ketentuan mengenai alih fungsi lahan KP2B dan/
atau lahan sawah beririgasi teknis yang sudah ditetapkan dalam RTR;
e. pembangunan infrastruktur sumber daya air sesuai standar dan
kriteria perencanaan;
f. perlindungan bangunan prasarana sumber daya air;
g. Pemanfaatan Ruang di sekitar sumber daya air di Kawasan
perbatasan harus selaras dengan pemanfaatan ruang di sekitar
sumber daya air di kabupaten/kota yang berbatasan;
h. Pemanfaatan Ruang di sekitar wilayah sungai, danau, embung, dan
waduk memperhatikan pedoman instrumen pengendalian terkait
sungai, danau, sembung dan waduk;
i. setiap perencanaan dan pembangunan prasarana sumber daya air
wajib memperhatikan Kawasan Lindung dan Kawasan konservasi;
j. penerapan rekayasa teknis dalam pembangunan prasarana sumber
daya air di sekitar Kawasan rawan bencana;
k. pendayagunaan jaringan irigasi air tanah dan air baku untuk air
minum dengan sumur bor harus memperhatikan daya dukung air;
dan
l. penyiapan ruang evakuasi dan prasarana mitigasi bencana di sekitar
bangunan prasarana sumber daya air.
(2) Pelaksanaan pengaturan sistem pengendalian banjir dan bangunan
sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan
dengan syarat tetap menjaga kelestarian lingkungan dan fungsi lindung
kawasan.

Pasal 78

75
Indikasi arahan zonasi sistem sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 72 huruf f, ditetapkan dengan memperhatikan:
a. indikasi arahan zonasi untuk sistem penyediaan air minum (SPAM)
regional memperhatikan:
1) kegiatan yang diperbolehkan, yaitu kegiatan pembangunan prasarana
SPAM dan kegiatan pembangungan prasarana penunjang SPAM;
2) kegiatan yang diperbolehkan bersyarat, yaitu kegiatan wisata terbatas
yang tidak mengganggu keberlangsungan penyediaan air minum serta
mengakibatkan kerusakan prasarana dan sarana air minum;
3) kegiatan yang tidak diperbolehkan, yaitu kegiatan yang mengganggu
keberlangsungan fungsi penyediaan air minum, mengakibatkan
kerusakan prasarana dan sarana penyedia air minum;
4) persyaratan teknis pembangunan SPAM mengikuti peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
5) persyaratan pembangunan SPAM dilengkapi dengan pengolahan
limbah;
6) pembuatan sumur resapan air (artificial water catchment) di sekitar
bangunan SPAM;
7) pengembangan SPAM diperbolehkan pada setiap peruntukan budi
daya;
8) setiap perencanaan dan pembangunan SPAM wajib memperhatikan
kawasan lindung serta daya dukung dan daya tampung lingkungan;
9) penerapan rekayasa teknis pada pembangunan SPAM di kawasan
rawan bencana dan zona resapan air; dan
10) pembangunan jaringan pipa distribusi air minum pada pusat-pusat
kegiatan diarahkan terintegrasi melalui penyediaan sistem duktilitas
terpadu dengan jaringan prasarana lainnya;
b. Indikasi arahan zonasi untuk SPAL. memperhatikan:
1) kegiatan yang diperbolehkan, yaitu pembangunan prasarana dan
sarana air limbah dalam rangka mengurangi, memanfaatkan kembali,
dan mengolah air limbah dan RTH;
2) kegiatan yang diperbolehkan bersyarat, yaitu kegiatan selain
sebagaimana dimaksud pada angka 1 yang tidak mengganggu fungsi
sistem pengelolaan air limbah;
3) kegiatan yang tidak diperbolehkan, yaitu pembuangan sampah,
pembuangan bahan berbahaya dan beracun, pembuangan limbah
bahan berbahaya dan beracun, dan kegiatan lain yang dapat
mengganggu fungsi sistem pengelolaan air limbah;
4) pemanfaatan ruang untuk jaringan pengelolaan air limbah domestik
diprioritaskan pada Kawasan permukiman padat penduduk;
5) pembuangan efluen air limbah ke media lingkungan hidup tidak
melampaui standar baku mutu air limbah;
6) sistem jaringan pengelolaan limbah disesuaikan dengan ketinggian
muka air tanah di lokasi jaringan pengelolaan limbah;
7) kegiatan yang tidak diperbolehkan, yaitu kegiatan yang mengganggu
fungsi sistem jaringan air limbah;
8) pembuatan sumur resapan air (artificial water catchment) di sekitar
bangunan SPAL;
9) pengembangan SPAL diperbolehkan pada setiap peruntukan budi daya;
10) pengembangan SPAL diperbolehkan secara terbatas dan bersyarat pada
semua kawasan peruntukan lindung;
11) setiap perencanaan dan pembangunan SPAL wajib memperhatikan
kawasan lindung dan kawasan konservasi; dan
12) penerapan rekayasa teknis pada pembangunan SPAL di kawasan
rawan bencana dan zona resapan air.

76
c. Indikasi arahan zonasi untuk sistem jaringan persampahan
memperhatikan:
1) kegiatan yang diperbolehkan, yaitu kegiatan pengoperasian TPA
sampah berupa pemrosesan akhir sampah, pengurugan berlapis bersih
(sanitary landfill), pemeliharaan dan industri terkait pengolahan
sampah;
2) kegiatan yang diperbolehkan bersyarat kegiatan penunjang operasional
TPA regional dan pengelolaan 3R;
3) kegiatan yang tidak diperbolehkan, yaitu kegiatan permukiman dan
sosial ekonomi yang mengganggu fungsi kawasan TPA sampah;
4) lokasi TPA Regional harus didukung oleh studi lingkungan yang telah
disepakati oleh instansi yang berwenang;
5) pengelolaan sampah dalam TPA Regional dilakukan dengan sistem
yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;
6) persyaratan pembangunan TPPAS yang dilengkapi dengan pengolahan
limbah;
7) pengaturan RTH dan KDB untuk pembuatan sumur resapan air
(artificial water catchment) di sekitar bangunan TPPAS;
8) setiap perencanaan dan pembangunan TPPAS wajib memperhatikan
kawasan lindung dan kawasan konservasi; dan
9) penerapan rekayasa teknis pada pembangunan TPPAS di kawasan
rawan bencana dan zona resapan air.

Paragraf 3
Indikasi Arahan Zonasi Pola Ruang

Pasal 79
(1) Indikasi arahan zonasi pola ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
71 huruf b, memuat :
a. indikasi arahan zonasi Kawasan Lindung; dan
b. indikasi arahan zonasi Kawasan Budidaya
(2) Indikasi arahan zonasi Kawasan Lindung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, mencakup:
a. indikasi arahan zonasi kawasan yang memberikan perlindungan
terhadap kawasan bawahannya (PTB);
b. indikasi arahan zonasi kawasan perlindungan setempat (PS);
c. indikasi arahan zonasi kawasan konservasi (KS);
d. indikasi arahan zonasi kawasan pencadangan konservasi di Laut
(KPL); dan
e. indikasi arahan zonasi kawasan ekosistem mangrove (EM)
(3) Indikasi arahan zonasi Kawasan Budidaya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b, mencakup:
a. indikasi arahan zonasi kawasan hutan produksi (KHP);
b. indikasi arahan zonasi kawasan pertanian (P);
c. indikasi arahan zonasi kawasan perikanan (IK);
d. indikasi arahan zonasi kawasan pergaraman (KEG);
e. indikasi arahan zonasi kawasan pertambangan dan energi (TE);
f. indikasi arahan zonasi kawasan peruntukan industri (KPI);
g. indikasi arahan zonasi kawasan pariwisata (W);
h. indikasi arahan zonasi kawasan permukiman (PM);
i. indikasi arahan zonasi kawasan transportasi (TR); dan
j. indikasi arahan zonasi kawasan pertahanan dan keamanan (HK).

77
Pasal 80
Indikasi arahan zonasi kawasan yang memberikan perlindungan terhadap
Kawasan di bawahnya sebagaimana dimaksud pada Pasal 79 ayat (2) huruf a,
berupa indikasi arahan zonasi untuk hutan lindung sebagai berikut:
a. kegiatan yang diperbolehkan, yaitu penyelenggaraan pengelolaan hutan
lindung dan preservasi sumber daya alam;
b. kegiatan yang diperbolehkan bersyarat, yaitu:
1) wisata alam, kegiatan pendidikan dan penelitian tanpa merubah
bentang alam dan tidak merusak fungsi lindung;
2) kegiatan yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan
air hujan dan sesuai dengan daya dukung lingkungan;
3) pembangunan ketahanan pangan (food estate) yang mengacu pada
peraturan perundang-undangan; dan
4) kegiatan lain di luar kegiatan kehutanan yang mempunyai tujuan
strategis yang tidak dapat dielakkan mengacu pada peraturan
perundangan melalui pemberiaan persetujuan penggunaan kawasan
hutan;
c. pengembangan jaringan, bangunan utilitas dan prasarana transportasi
(jalan dan jalan KA) hanya diperkenankan dengan persyaratan:
1) memberikan manfaat yang lebih besar terhadap perekonomian
provinsi/kabupaten/kota;
2) tidak menyebabkan berkurangnya fungsi ekologis, yang berkaitan
dengan tata air, keanekaragaman hayati, terganggunya pola hidup
satwa; dan
3) Mendapat persetujuan dari instansi yang berwenang berkaitan dengan
status lahan.
d. kegiatan yang dilarang, yaitu:
1) seluruh kegiatan yang berpotensi mengurangi luas kawasan hutan,
tutupan vegetasi dan mengganggu fungsi resapan air, dan
2) seluruh kegiatan pertambangan yang mengakibatkan turunnya
permukaan tanah, berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara
permanen; dan/atau terjadinya kerusakan akuifer air tanah.
e. pengendalian Pemanfaatan Ruang untuk jasa lingkungan pada zona
pemanfaatan;
f. kapasitas wisata diatur berdasarkan luas kawasan dan jumlah satwa yang
dilindungi, sehingga jumlah pengunjung yang datang tidak mengganggu
habitat satwa dan siklus hidupnya;
g. kawasan pariwisata di kawasan hutan lindung yang telah dikelola oleh
pengusaha tertentu, tidak dapat diagunkan atau dipindahtangankan pada
pengusaha lain tanpa seizin Menteri; dan
h. ketentuan pemanfaatan ruang pada Kawasan hutan lindung dilaksanakan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 81
Indikasi arahan zonasi Kawasan Perlindungan Setempat (PS) sebagaimana
dimaksud pada Pasal 79 ayat (2) huruf b, sebagai berikut:
a. Kawasan suci, meliputi:
1) kawasan suci sebagai kawasan konservasi; dan
2) pelarangan semua jenis kegiatan dan/atau usaha yang dapat
menurunkan kualitas lingkungan hidup dan nilai-nilai kesucian.
b. Kawasan Tempat Suci, meliputi:
1) karakteristik Kawasan Tempat Suci pura kahyangan jagat dapat
dibedakan atas:

78
a) Kawasan Tempat Suci yang berada pada kawasan yang dominan
belum terbangun atau belum berkembang, selanjutnya disebut
Kawasan Tempat Suci tipe I;
b) Kawasan Tempat Suci yang berada pada kawasan semi terbangun
atau sedang berkembang, selanjutnya disebut Kawasan Tempat
Suci tipe II;dan
c) Kawasan Tempat Suci yang berada pada kawasan telah terbangun,
sudah berkembang atau berada ditengah Kawasan Permukiman,
selanjutnya disebut Kawasan Tempat Suci tipe III.
2) pengaturan secara umum Pemanfaatan Ruang Kawasan Tempat
Suci/pura kahyangan jagat atau daerah kekeran, dibagi menjadi 3
(tiga) zona, meliputi:
a) zona inti, sebagai zona utama daerah kekeran sesuai dengan
konsep maha wana;
b) zona penyangga, sebagai zona madya daerah kekeran sesuai dengan
konsep tapa wana;dan
c) zona pemanfaatan, sebagai zona nista daerah kekeran sesuai
dengan konsep sri wana.
3) penentuan batas terluar tiap zona Kawasan Tempat Suci didasarkan
atas batas fisik yang tegas berupa batas alami atau batas buatan,
disesuaikan dengan kondisi geografis masing-masing kawasan, dengan
tetap menghormati hak-hak tradisional Masyarakat hukum adat, dan
kearifan lokal yang lebih lanjut diatur dalam Rencana Rinci Tata
Ruang;
4) arahan Pemanfaatan Ruang dan jenis kegiatan yang diperbolehkan di
Kawasan Tempat Suci meliputi:
a) pada zona inti dapat dimanfaatkan untuk: hutan lindung, hutan
rakyat, Kawasan Pertanian, Ruang terbuka hijau, kegiatan
keagamaan, fasilitas penunjang kegiatan keagamaan, rumah
jabatan pemangku atau penjaga pura bersangkutan, dharma
pasraman, dan cagar budaya yang telah ada;
b) pada zona penyangga dapat dimanfaatkan untuk: hutan lindung,
hutan rakyat, Kawasan Pertanian, Ruang terbuka hijau, fasilitas
dharmasala, pasraman, dan permukiman penduduk setempat yang
telah ada, fasilitas penunjang kegiatan sosial ekonomi Masyarakat
setempat skala lingkungan;dan
c) pada zona pemanfaatan dapat dimanfaatkan untuk: hutan rakyat,
Kawasan Pertanian, Ruang terbuka hijau, permukiman penduduk,
bangunan-bangunan yang memiliki nilai sejarah, ilmu
pengetahuan, dan budaya, wisata spiritual, pementasan kesenian,
dan fasilitas penunjang kegiatan sosial ekonomi Masyarakat
setempat skala kawasan;
5) arahan Pemanfaatan Ruang dan jenis kegiatan yang diperbolehkan
dengan syarat di Kawasan Tempat Suci meliputi:
a) pada zona inti diperbolehkan dengan syarat untuk: wisata spiritual,
pementasan kesenian, parkir terbatas, permukiman penduduk
setempat yang telah ada;
b) pada zona penyangga diperbolehkan dengan syarat untuk: wisata
spiritual dan wisata budaya, pementasan kesenian, parkir pemedek
dan wisatawan, permukiman penduduk setempat yang telah ada,
serta usaha penyediaan akomodasi kerakyatan;dan
c) pada zona pemanfaatan diperbolehkan dengan syarat untuk:
permukiman penduduk setempat, industri kecil kerajinan rumah
tangga, bangunan fasilitas penunjang kegiatan sosial ekonomi
pelayanan skala kawasan dan usaha penyediaan akomodasi
kerakyatan;

79
6) arahan Pemanfaatan Ruang dan jenis kegiatan yang tidak
diperbolehkan di Kawasan Tempat Suci meliputi: kegiatan yang tidak
memenuhi ketentuan kegiatan dan Pemanfaatan Ruang yang
diperbolehkan dan yang diperbolehkan dengan syarat atau kegiatan
yang berpotensi dapat menurunkan nilai kesucian kawasan.
c. Sempadan Pantai, meliputi :
1) arahan pengaturan jarak Sempadan Pantai merupakan daratan
sepanjang tepian laut dengan jarak paling sedikit 100 m (seratus meter)
dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat;
2) kegiatan yang diperbolehkan yaitu:
a) pembangunan prasarana lalu lintas air;
b) pembangunan bangunan pengambilan dan pembuangan air;
c) pembangunan bangunan penunjang kegiatan di laut/pantai;
d) kegiatan pengamanan laut;
e) pemanfaatan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah
abrasi, akresi, intrusi air laut dan kerusakan lingkungan lainnya
dan RTH;
3) kegiatan yang diperbolehkan bersyarat, yaitu:
a) kegiatan yang memberikan nilai tambah Kawasan menjadi Kawasan
wisata dengan tidak mengganggu fungsi sempadan pantai, kegiatan
pertanian, perikanan, permukiman eksisting, pertahanan
keamanan, transportasi, wisata, ilmu pengetahuan dan teknologi;
dan
b) pengembangan ruang/bangunan evakuasi, serta pengembangan
jaringan dan sarana prasarana kota dengan mengikuti ketentuan
teknis yang berlaku;
4) kegiatan yang dilarang, yaitu kegiatan yang dapat menurunkan fungsi
ekologis dan estetika Kawasan yang mengubah dan/atau merusak
bentang alam, kelestarian fungsi pantai dan akses terhadap kawasan
sempadan pantai;
5) penetapan lebar sempadan pantai dihitung berdasarkan tingkat Risiko
Bencana yang terdiri atas Indeks Ancaman dan Indeks Kerentanan
terhadap bencana, serta memperhatikan aspek mitigasi bencana;
6) ketentuan pelarangan membuang secara langsung sampah dan limbah;
7) pemanfaatan ruang Kawasan sempadan pantai yang berada pada
Kawasan rawan abrasi dan/atau rawan gelombang pasang dengan
memperhatikan:
a) pengendalian ketat untuk kegiatan kegiatan untuk hunian,
bangunan, infrastruktur penting, vital, dan strategis;
b) pemanfaatan ruang wajib melakukan kajian pengurangan tingkat
abrasi dan analisa risiko bencana;
c) pemasangan pemecah gelombang dan/atau penahan gelombang;
d) pengembangan hutan bakau/sabuk hijau sebagai pelindung
alami; dan
e) pemasangan sistem peringatan dini, papan informasi, rambu
bahaya, serta jalur evakuasi.
8) pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah
abrasi;
9) pengamanan Sempadan Pantai sebagai Ruang publik;
10) pengamanan dan perlindungan lokasi tertentu di kawasan Sempadan
Pantai yang berfungsi sebagai tempat melasti;
11) pantai berbentuk jurang mengikuti ketentuan aturan zonasi sempadan
jurang dan pantai berhutan bakau mengikuti ketentuan aturan zonasi
kawasan pantai berhutan bakau;
12) pemerintah kabupaten/kota yang mempunyai Sempadan Pantai wajib
menetapkan batas Sempadan Pantai dalam Peraturan Daerah tentang
RTRW Kabupaten/Kota setelah dilakukan kajian teknis yang dibahas

80
melalui forum konsultasi publik dan mendapatkan rekomendasi
Gubernur dan menteri yang melaksanakan bidang tata Ruang;
13) kajian teknis batas Sempadan Pantai oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota, harus disesuaikan dengan karakteristik topografi,
biofisik, hidro- oceanografi pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya
setempat, potensi bencana alam, kedudukan pantai, keberadaan
bangunan pengaman pantai dan kondisi eksisting Pemanfaatan Ruang;
dan
14) Pemerintah Kabupaten/Kota dapat mengembangkan peraturan
bangunan pada lokasi yang memiliki potensi bencana gelombang
pasang dan tsunami.
d. Sempadan Sungai, meliputi :
1. kegiatan yang diperbolehkan, yaitu:
a) pembangunan prasarana lalu lintas air;
b) pembangunan bangunan pengambilan dan pembuangan air;
c) pembangunan bangunan penunjang sistem prasarana kota; dan
d) pemanfaatan untuk pemasangan bentangan kabel listrik, kabel
telepon, dan pipa air minum;
e) pemanfaatan untuk pemancangan tiang atau pondasi prasarana
jalan dan jembatan;
f) kegiatan pengamanan sungai, RTH, dan kegiatan transportasi
untuk jalan inspeksi;
2. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, yaitu:
a) kegiatan yang memberikan nilai tambah Kawasan menjadi Kawasan
wisata dengan tidak mengganggu fungsi sempadan sungai,
pendayagunaan sumber daya air, pengendalian daya rusak air,
fungsi sistem jaringan sumber daya air dan nilai visual bentang
alam; dan
b) pengembangan jaringan sarana prasarana dengan mengikuti
ketentuan teknis yang berlaku, dan budidaya perikanan air tawar
sesuai daya dukung dan daya tampung sungai, kegiatan pertanian,
3. kegiatan yang tidak diperbolehkan, yaitu:
a) bangunan dan gedung selain yang diperbolehkan pada huruf a; dan
b) kegiatan yang mengganggu dan merusak bentang alam, kesuburan
dan keawetan tanah; kegiatan yang mengganggu dan merusak
fungsi hidrologi, kelestarian, flora dan fauna serta kelestarian
fungsi lingkungan hidup, dan kegiatan yang merusak kualitas dan
kuantitas air sungai;
4. penetapan lebar sempadan sungai, waduk/situ sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan, terdiri atas :
a) pada sungai bertanggul di Kawasan Perkotaan minimal 3 m (tiga
meter);
b) pada sungai bertanggul di Kawasan Perdesaan minimal 5 m (lima
meter);
c) pada sungai tidak bertanggul di Kawasan Perkotaan minimal : 10 m
(sepuluh meter) untuk sungai berkedalaman sampai 3 m (tiga
meter), 15 m (lima belas meter) untuk sungai berkedalaman 3 m
(tiga meter) sampai 20 m (dua puluh meter), dan 30 m (tiga puluh
meter) untuk sungai berkedalaman diatas 20 m (dua puluh meter) ;
d) pada sungai tidak bertanggul di luar Kawasan Perdesaan, minimal
30 m (tiga puluh meter) untuk sungai kecil dan 50 m (lima puluh
meter) untuk sungai sedang;
5. penetapan lebar sempadan sungai, waduk/situ yang bertampalan
dengan Kawasan Rawan Bencana harus memperhatikan aspek mitigasi
bencana; dan
6. ketentuan pelarangan membuang secara langsung limbah padat,
limbah cair, limbah gas dan limbah B3.

81
e. Sempadan Jurang, meliputi :
1) jurang ditetapkan dengan kriteria kawasan yang memiliki lereng
dengan kemiringan minimum 45% (empat puluh lima persen) terhadap
bidang datar, dengan ketinggian minimum 5 m (lima meter) dan di
bagian atas memiliki daerah datar minimum 11 m (sebelas meter);
2) sempadan jurang berlaku di daerah datar bagian atas dan di daerah
datar bagian bawah jurang;
3) sempadan jurang dapat ditetapkan lain oleh pemerintah
Kabupaten/Kota setelah dilakukan kajian teknis di wilayahnya secara
menyeluruh, terutama hanya untuk jurang yang dinyatakan stabil
setelah mendapat rekomendasi Gubernur;
4) pelarangan pendirian bangunan pada jurang dan kawasan sempadan
jurang minimum 2 (dua) kali tinggi jurang, dihitung dari tepi jurang di
bagian atas maupun di bagian bawah jurang;dan
5) arahan Pemanfaatan Ruang di kawasan sempadan jurang meliputi :
a) kegiatan yang diperbolehkan: Ruang terbuka hijau, kehutanan,
perkebunan, konservasi, dan pembangunan konstruksi pencegah
longsor;
b) kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, mencakup: jaringan
jalan, bangunan tempat suci, daya tarik wisata alam, olah raga
petualangan;dan
c) kegiatan yang tidak diperbolehkan, mencakup: bangunan
permanen, kegiatan pengambilan bahan mineral bukan logam dan
batuan.
f. Sempadan danau/waduk, meliputi :
1) sempadan danau dengan jarak paling sedikit 50 m (lima puluh meter)
dari tepi danau yang dibatasi tanggul pengaman;
2) sempadan danau dengan jarak paling sedikit 50 m (lima puluh
meter) dari tepi muka air tertinggi yang pernah terjadi pada danau yang
tidak dibatasi tanggul pengaman;
3) Pemanfaatan Ruang untuk Ruang terbuka hijau;
4) arahan Pemanfaatan Ruang di kawasan sempadan danau/waduk
meliputi:
a) kegiatan yang diperbolehkan, mencakup: hutan lindung, taman
wisata alam, cagar alam, konservasi, Ruang terbuka hijau, rekreasi
terbuka, bangunan pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan
air, penambatan perahu, dan tempat suci;
b) kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, mencakup: jaringan
jalan, perikanan, pertanian, permukiman, wisata alam, dermaga,
normalisasi danau/waduk;dan
c) kegiatan dan pembangunan yang tidak diperbolehkan: akomodasi,
reklamasi perairan danau di luar kepentingan sosial dan
pengamanan lingkungan; dan pembuangan limbah langsung ke
danau;
5) ketentuan lain yang dibutuhkan, mencakup: penanganan erosi dan
sedimentasi, pengembangan pertanian organik, pengamanan kawasan
hulu, pengendalian budidaya perikanan dengan keramba jaring apung
dan pemulihan kualitas perairan danau.
g. Ruang Terbuka Hijau Kota, meliputi :
a. Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan rekreasi terbuka, olahraga,
pertanian, aktivitas sosial dan budaya;dan
b. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk bangunan penunjang
kegiatan sebagaimana dimaksud huruf a.
h. Kebun Raya, meliputi :
a. diperbolehkan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu
pengetahuan, pendidikan, penyadartahuan konservasi, penyimpanan

82
karbon, penyimpanan sumber plasma nutfah dan kegiatan lainnya
secara terbatas sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan;
b. diperbolehkan melakukan pelestarian keanekaragaman tumbuhan
dan satwa beserta ekosistemnya di dalam kawasan kebun raya;
c. diizinkan bersyarat pengembangan pariwisata;dan
d. dilarang melakukan kegiatan budidaya yang dapat merusak fungsi
kebun raya.

Pasal 82
Indikasi arahan zonasi Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud pada
Pasal 79 ayat (2) huruf c, sebagai berikut:
a. Cagar Alam, mencakup:
1) penataan kawasan cagar alam, melalui penetapan blok pengelolaan
meliputi: blok perlindungan, blok pemanfaatan dan blok lain oleh unit
pengelola dengan memperhatikan hasil konsultasi publik dengan
Masyarakat di sekitar kawasan cagar alam serta Pemerintah Provinsi
dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota;
2) jenis kegiatan yang diperbolehkan pada semua blok pengelolaan
meliputi: penelitian dan pengembangan terkait konservasi alam,
pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya serta
kegiatan spiritual dan keagamaan;
3) jenis kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat pada blok
pemanfaatan meliputi: perlindungan nilai-nilai
budaya/sejarah/arkeologi, sarana telekomunikasi, listrik, fasilitas
transportasi, panas bumi dan lain-lain yang bersifat strategis;dan
4) jenis kegiatan yang tidak diperbolehkan pada semua blok meliputi:
kegiatan yang dapat mengubah bentang alam dan ekosistem, kegiatan
perburuan satwa, serta kegiatan pendirian bangunan selain bangunan
penunjang kegiatan penelitian, pendidikan, keagamaan, dan kegiatan
selain sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang
mengganggu fungsi cagar alam.
b. Taman Nasional, meliputi :
1) penataan Kawasan Taman Nasional melalui penetapan zonasi
pengelolaan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
meliputi: zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan/atau zona lain
oleh unit pengelola dengan memperhatikan hasil konsultasi publik
dengan Masyarakat di sekitar Kawasan Taman Nasional serta
Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota;
2) jenis kegiatan yang diperbolehkan:
a) zona inti meliputi: kegiatan perlindungan ekosistem, pengawetan
flora dan fauna khas, beserta sarana dan prasarana tidak
permanen dan terbatas untuk kegiatan penelitian dan pengelolaan;
b) zona rimba meliputi: pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya
alam dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan
konservasi, wisata terbatas (mengunjungi, melihat, menikmati
keindahan alam, keanekaragaman tumbuhan dan satwa),
pembangunan sarana dan prasarana sepanjang untuk kepentingan
penelitian, pendidikan dan wisata alam terbatas;
c) zona pemanfaatan meliputi: pariwisata alam dan rekreasi, jasa
lingkungan, pendidikan, penelitian, pembangunan sarana dan
prasarana untuk kepentingan penelitian, pendidikan dan wisata
alam terbatas;

83
d) zona tradisional meliputi: pemanfaatan potensi tertentu oleh
Masyarakat setempat secara lestari;
e) zona rehabilitasi meliputi kegiatan pengembalian ekosistem
kawasan yang rusak menjadi ekosistem alamiahnya;
f) zona religi, budaya dan sejarah meliputi: kegiatan untuk
melindungi nilai-nilai budaya, sejarah, arkeologi maupun
keagamaan, pendidikan, penelitian, wisata alam sejarah, arkeologi
dan religious;dan
g) zona khusus meliputi: kegiatan kelompok Masyarakat yang telah
ada sebelum penetapan taman nasional dan sarana penunjang
kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat dihindari berupa
sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik;
3) jenis kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi kegiatan
pengusahaan pariwisata alam pada zona pemanfaatan, meliputi:
a) usaha pengusahaan jasa wisata alam meliputi: informasi
pariwisata, pramuwisata, transportasi, perjalanan wisata,
cinderamata dan makanan dan minuman;dan
b) usaha sarana wisata alam meliputi: wisata tirta, usaha penyediaan
akomodasi, transportasi, dan wisata petualangan;
c) jenis kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi: kegiatan
pendirian bangunan selain bangunan penunjang kegiatan
penelitian, pendidikan, keagamaan, dan kegiatan selain
sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang mengganggu
fungsi taman nasional sebagai kawasan pelestarian alam.
4) keterpaduan pengelolaan Taman Nasional Bali Barat dengan kawasan
hutan lindung, hutan produksi dan desa desa di sekitarnya yang
berbatasan langsung dengan TNBB
c. Taman Hutan Raya, meliputi:
1) penataan taman hutan raya melalui penetapan zonasi pengelolaan
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan meliputi :
zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan/atau zona lain oleh unit
pengelola dengan memperhatikan hasil konsultasi publik dengan
Masyarakat di sekitar Kawasan Taman Hutan Raya serta Pemerintah
Kabupaten/Kota;
2) jenis kegiatan yang diperbolehkan pada semua blok meliputi:
penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan peningkatan
kesadartahuan konservasi alam, pemanfaatan sumber plasma nutfah
untuk penunjang budidaya, kegiatan spriritual dan keagamaan,
pembinaan populasi dalam rangka penetasan telur dan/atau
pembesaran anakan dari alam, dan pemanfaatan tradisional oleh
Masyarakat setempat;
3) jenis kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi: kegiatan
pengusahaan pariwisata alam hanya pada blok pemanfaatan dengan
kegiatan mengunjungi, melihat, menikmati keindahan alam,
keanekaragaman tumbuhan dan satwa, serta dapat dilakukan kegiatan
membangun sarana kepariwisataan, meliputi usaha pengusahaan jasa
wisata alam dan usaha penyediaan sarana wisata alam;dan
4) jenis kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi kegiatan pendirian
bangunan selain bangunan penunjang kegiatan penelitian, pendidikan,
keagamaan, dan kegiatan selain sebagaimana dimaksud pada huruf b
dan huruf c yang mengganggu fungsi taman hutan raya sebagai
kawasan pelestarian alam.
d. Taman Wisata Alam, meliputi :
1) penataan taman wisata alam melalui penetapan blok pengelolaan
dalam kawasan meliputi: blok perlindungan, blok pemanfaatan dan

84
blok lain oleh unit pengelola dengan memperhatikan hasil konsultasi
publik dengan Masyarakat di sekitar Kawasan Taman Hutan Raya serta
Pemerintah Kabupaten/Kota;
2) jenis kegiatan yang diperbolehkan pada semua blok pengelolaan
meliputi penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air
serta energi air, panas, dan angin, penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan, pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi
alam, pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya,
kegiatan spriritual dan keagamaan, penetasan telur dan/atau
pembesaran anakan dari alam; dan pemanfaatan tradisional oleh
Masyarakat setempat yang tidak mengganggu fungsi taman wisata
alam;
3) jenis kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi: kegiatan
pengusahaan pariwisata alam hanya pada blok pemanfaatan meliputi:
usaha pengusahaan jasa wisata alam dan usaha sarana wisata alam
sesuai ketentuan;
4) pemanfaatan bangunan fasilitas wisata alam tanpa mengubah bentang
alam;
5) blok lain digunakan sesuai kepentingan tertentu;dan
6) jenis kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi: kegiatan pendirian
bangunan selain bangunan penunjang kegiatan penelitian, pendidikan,
keagamaan, dan kegiatan selain sebagaimana dimaksud pada huruf b
dan huruf c yang mengganggu fungsi taman wisata alam.
e. Kawasan Konservasi Perairan, meliputi :
1) Kawasan Konservasi Perairan meliputi KKP Nusa Penida di Kabupaten
Kungkung yang dikelola sebagai Taman Wisata Perairan.
2) KKP Nusa Penida dibagi dalam 4 (empat) Zona meliputi : Zona Inti,
Zona Perikanan Berkelanjutan, zona pemanfatan dan Zona Lainnya
3) Zona Inti diperuntukkan bagi perlindungan mutlak habitat dan
populasi ikan, penelitian, dan pendidikan.
4) Zona Perikanan Berkelanjutan diperuntukkan bagi perlindungan
habitat dan populasi ikan, penangkapan ikan dengan alat dan cara
yang ramah lingkungan, budidaya ramah lingkungan, pariwisata dan
rekreasi, penelitian dan pengembangan, danpendidikan.
5) Zona Pemanfaatan diperuntukkan bagiperlindungan habitat dan
populasi ikan, pariwisata dan rekreasi, penelitian dan pengembangan,
dan pendidikan.
6) Zona Lainnya ditetapkan sebagai zona tertentu, dapat berupa antara
lain zona perlindungan dan zona rehabilitasi
7) kegiatan yang diperbolehkan, yaitu perlindungan habitat dan populasi
ikan serta alur migrasi biota laut, perlindungan ekosistem pesisir dan
laut yang unik dan/atau rentan terhadap perubahan, perlindungan
situs budaya/adat tradisional, pembangunan infrastruktur/sarana
prasarana.
8) kegiatan yang diperbolehkan bersyarat, yaitu penelitian,
pengembangan dan/atau pendidikan, wisata alam bentang laut, wisata
alam pantai/pesisir dan pulau-pulau kecil, wisata alam bawah laut,
wisata budaya, penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, energi,
dan/atau fasilitas umum.
9) kegiatan yang tidak diperbolehkan, yaitu:
a) kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan potensi
Kawasan dan perubahan fungsi Kawasan;
b) kegiatan yang dapat mengganggu pengelolaan jenis sumber daya
ikan beserta habitatnya untuk menghasilkan keseimbangan antara
populasi dan habitatnya;
c) kegiatan yang dapat mengganggu alur migrasi biota laut dan
pemulihan ekosistemnya;

85
d) kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi kawasan;
e) penangkapan ikan yang menggunakan alat tangkap yang bersifat
merusak Ekosistem di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
f) semua jenis kegiatan penambangan;
g) kegiatan menambang terumbu karang yang dapat menyebabkan
abrasi;
h) mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi, menggunakan
bahan peledak dan bahan beracun dan/atau cara lain yang
mengakibatkan rusaknya Ekosistem terumbu karang, kegiatan
membuang jangkar/berlabuh, dan pembuangan sampah dan
limbah; dan
i) kegiatan yang menyebabkan penurunan kualitas ekosistem
perairan hingga melampaui baku mutu dan/atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup
f. Kawasan Konservasi Maritim, meliputi :
1) meliputi Kawasan Konservasi Maritim (KKM) Teluk Benoa yang dikelola
sebagai Daerah Perlindungan Budaya Maritim Teluk Benoa di perairan
Kota Denpasar dan Kabupaten Badung;
2) merupakan perairan yang di dalamnya terdapat titik-titik suci atau
situs suci kemaritiman yang mempunyai nilai penting bagi agama, adat
dan budaya, serta tempat ritual keagamaan dan/atau adat yang pelu
dilindungi dan dilestarikan
3) dibagi menjadi Zona inti sebanyak 15 (lima belas) titik lokasi masing-
masing dengan radius kurang lebih 50 (lima puluh) sentimeter (Sikut
Bali/telung tampak ngandang) dan Zona pemanfaatan terbatas.
4) ……
5) ……
6) ……
7) …….

Pasal 83
Indikasi arahan zonasi Kawasan Pencadangan Konservasi di Laut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf d, sebagai berikut:
a. pencadangan konservasi dilaut meliputi Kawasan Konservasi Daerah (KKD)
mencakup :
1) KKD Melaya dan KKP Perancak di perairan Kabupaten Jembrana
2) KKD Kuta dan KKP Kuta Selatan di perairan Kabupaten Badung
3) KKD Serangan dan KKP Semawang di perairan Kota Denpasar
4) KKD Padangbai, KKP Candidasa, KKP Seraya – Amed dan KKP
Tulamben di perairan Kabupaten Karangasem;
5) KKD Tejakula, KKP Buleleng – Banjar dan KKP Pemuteran di perairan
Kabupaten Buleleng.
b. KKD dibagi dalam 4 (empat) Zona meliputi : Zona Inti, Zona Perikanan
Berkelanjutan, zona pemanfaatan dan Zona Lainnya
c. kegiatan yang diperbolehkan, yaitu perlindungan habitat dan populasi ikan
serta alur migrasi biota laut, perlindungan ekosistem pesisir dan laut yang
unik dan/atau rentan terhadap perubahan, perlindungan situs
budaya/adat tradisional, pembangunan infrastruktur/sarana prasarana.
d. kegiatan yang diperbolehkan bersyarat, yaitu penelitian, pengembangan
dan/atau pendidikan, wisata alam bentang laut, wisata alam
pantai/pesisir dan pulau-pulau kecil, wisata alam bawah laut, wisata
budaya, penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, energi, dan/atau
fasilitas umum.
e. kegiatan yang tidak diperbolehkan, yaitu:

86
1) kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan potensi
kawasan dan perubahan fungsi Kawasan;
2) kegiatan yang dapat mengganggu pengelolaan jenis sumber daya ikan
beserta habitatnya untuk menghasilkan keseimbangan antara populasi
dan habitatnya;
3) kegiatan yang dapat mengganggu alur migrasi biota laut dan
pemulihan ekosistemnya;
4) kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi kawasan;
5) penangkapan ikan yang menggunakan alat tangkap yang bersifat
merusak Ekosistem di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
6) semua jenis kegiatan penambangan;
7) kegiatan menambang terumbu karang yang dapat menyebabkan
abrasi;
8) mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi, menggunakan
bahan peledak dan bahan beracun dan/atau cara lain yang
mengakibatkan rusaknya Ekosistem terumbu karang, kegiatan
membuang jangkar/berlabuh, dan pembuangan sampah dan limbah;
dan
9) kegiatan yang menyebabkan penurunan kualitas ekosistem perairan
hingga melampaui baku mutu dan/atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup

Pasal 84
Indikasi arahan zonasi kawasan ekosistem mangrove (EM) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf ee, sebagai berikut:
a. kegiatan yang diperbolehkan, yaitu penyelenggaraan perlindungan hutan
mangrove dan preservasi sumber daya alam;
b. kegiatan yang diperbolehkan secara terbatas, yaitu:
1) kegiatan pendidikan;
2) penelitian;
3) wisata alam;
4) Kawasan pertanian pangan berkelanjutan mengacu pada peraturan
perundangan melalui mekanisme pinjam pakai tanpa merusak fungsi
lindung; dan
5) kegiatan lain di luar kegiatan kehutanan yang mempunyai tujuan
strategis yang tidak dapat dielakkan mengacu pada peraturan
perundangan melalui pemberiaan persetujuan penggunaan kawasan
hutan;
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan, yaitu:
1) pemanfaatan kayu mangrove dan vegetasi pantai;
2) pelarangan kegiatan yang dapat merusak;
3) mengurangi luas dan/atau mencemari Ekosistem mangrove dan
vegetasi pantai;
4) pelarangan kegiatan yang dapat mengurangi luas dan/atau mencemari
ekosistem bakau; dan
5) pelarangan kegiatan mendirikan bangunan, kecuali bangunan khusus
untuk mendukung kegiatan pendidikan, penelitian dan wisata alam
dengan persyaratan khusus.
d. Kawasan di sekitar Ekosistem mangrove dapat ditetapkan menjadi
Kawasan Ekosistem esensial untuk mendukung terjaminnya proses
ekologis yang menunjang kelangsungan hidup dari flora, fauna, dan
ekosistemnya; dan

87
e. pelaksanaan perlindungan Kawasan Ekosistem esensial sebagaimana
dimaksud pada angka 4 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
f. pembatasan alih fungsi vegetasi hutan pantai dan mangrove.

Pasal 85
Indikasi arahan zonasi kawasan hutan produksi sebagaimana dalam Pasal 79
ayat (3) huruf a, meliputi:
a. kawasan peruntukan hutan produksi yang dapat dikonversi, memiliki
faktor geografis kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan sesuai
standar teknis yang berlaku, dan/atau kawasan yang apabila dikonversi
mampu mempertahankan daya dukung dan daya tampung lingkungan;
b. kegiatan yang diperbolehkan, meliputi kegiatan pemanfaatan hasil hutan
secara terbatas untuk menjaga kestabilan neraca sumber daya hutan,
pendirian bangunan penunjang kegiatan pengamanan kawasan dan
pemanfaatan hasil hutan secara terbatas, pengembangan fungsi hutan
produksi menjadi hutan berfungsi lindung;
c. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, meliputi kegiatan selain
sebagaimana dimaksud pada huruf a yang memenuhi persyaratan teknis
dan tidak mengganggu fungsi kawasan peruntukan hutan produksi,
meliputi:
1) kegiatan religi;
2) budidaya tanaman hias, budidaya jamur;
3) budidaya lebah dan penangkaran satwa;
4) kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan, kegiatan pemanfaatan
hasil hutan kayu restorasi Ekosistem dalam hutan alam dan hutan
tanaman;
5) kegiatan pertanian, kegiatan perkebunan, kegiatan penggunaan
Kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan
kehutanan (untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan) sesuai
peraturan perundangan;
6) kegiatan pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kestabilan neraca
sumber daya kehutanan;
7) wisata alam yang tidak mangganggu fungsi kawasan; dan
8) bangunan penunjang kegiatan pemanfaatan hasil hutan dan
pencegahan serta penanggulangan bencana;
9) pembangunan instalasi pembangkit, transmisi, distribusi, dan
teknologi energi/listrik baru dan terbarukan;
10) pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan
stasiun relay televisi;
11) pembangunan jalan umum;
12) pembangunan sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai
sarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil
produksi;
13) pembangunan sarana dan prasarana sumber daya air, jaringan
instalasi air, saluran air minum, saluran air limbah;
14) pembangunan fasilitas umum;
15) pertahanan dan keamanan;
16) prasarana penunjang keselamatan umum; dan
17) penampungan sementara korban bencana alam.
d. kegiatan yang tidak diperbolehkan, meliputi: kegiatan pertambangan,
kegiatan industri, kegiatan berburu binatang, penebangan pohon dan
pengambilan hasil hutan tanpa izin dari pihak yang berwenang, dan
kegiatan lainnya yang tidak sesuai dengan ketentuan kawasan peruntukan
hutan produksi.

88
e. mempertahankan kawasan hutan produksi untuk mendukung pencapaian
tutupan vegetasi hutan minimum 30% (tiga puluh persen) dari luas
wilayah Pulau Bali;
f. integrasi hasil produksi tanaman kayu dan industri kreatif dengan
memperhatikan kearifan lokal;
g. reboisasi dan rehabilitasi lahan pada kawasan lahan kritis dan bekas
terbakar;dan
h. Ketentuan lainnya yang dibutuhkan, meliputi: pengaturan dan pengelolaan
kawasan hutan produksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 86
Indikasi arahan zonasi kawasan pertanian sebagaimana dalam Pasal 79 ayat
(3) huruf b, meliputi:
a. kawasan pertanian secara umum meliputi :
1) Pemanfaatan Ruang untuk perluasan permukiman tradisional
Masyarakat setempat secara terbatas dan dengan kepadatan rendah;
2) pencegahan dan pelarangan alih fungsi lahan budidaya pertanian
menjadi lahan non pertanian, kecuali untuk pembangunan sistem
jaringan prasarana penunjang Kawasan Pertanian, jaringan jalan,
jaringan energi listrik, jaringan telekomunikasi dan jaringan air minum;
3) pengembangan pertanian berdaya saing berbasis komoditas unggulan
yang dikelola dengan konsep agribisnis terintegrasi dengan agrowisata
4) pengembangan pertanian organik Provinsi untuk mewujudkan Bali
sebagai Pulau Organik;
5) pengembangan pertanian pada sektor hulu – hilir untuk mendikung
transformasi perekonomian Bali
6) penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan; dan
7) pada Kawasan Pertanian dapat dikembangkan kegiatan industri yang
mengolah bahan baku hasil pertanian secara terbatas dan bersyarat
sesuai kapasitas bahan baku setempat.
b. kawasan tanaman pangan, meliputi :
1) mempertahankan luas lahan pertanian pangan berkelanjutan sebagai
ketahanan jati diri budaya agraris Bali sekurang-kurangnya 90%
(sembilan puluh persen) dari luas lahan yang ada
2) jenis kegiatan yang diperbolehkan meliputi: kegiatan pertanian
tanaman pangan, jaringan dan bangunan irigasi, jalan subak dan jalan
produksi, permukiman perdesaan, hortikultura, peternakan, budidaya
perikanan, hutan rakyat, kegiatan adat, budaya dan keagamaan;
3) jenis kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi:
infrastruktur pendukung agrowisata, ekowisata dan desa wisata, dan
jaringan prasarana untuk kepentingan umum;
4) jenis kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi: alih fungsi LP2B,
serta kegiatan dan pendirian bangunan yang mengganggu fungsi
kawasan tanaman pangan;
5) tersedia secara berjkelanjutan jaringan irigasi;
6) tersedia aksesibilitas yang memadai ke kantong-kantong produksi;
7) pengendalian alih fungsi pertanian tanaman pangan pada lahan sawah
beririgasi
8) penetapan kawasan KP2B dan LP2B dalam wilayah Provinsi sesuai
penetepan di kabupaten/kota;
9) pengembangan insentif dan disinsentif Kawasan tanaman pangan
10) pelestarian dan pemberdayaan subak sebagai warisan budaya dunia.
11) pengembangan tata Kelola integrasi tanaman pangan dengan industri
dan pariwisata;

89
12) pengembangan secara bertahap tanaman pangan organik untuk
mewujudkan Bali sebagai Pulau Organik;
13) mendorong pengembangan kawasan agropolitan dan jejaring kawasab
agropolitan yang berdaya saing; dan
14) pertanian tanaman pangan di kawasan perkotaan diintegrasikan
sebagai RTHK pertanian murni atau pertanian ekowisata.
c. Kawasan hortikultura, meliputi :
1) jenis kegiatan yang diperbolehkan meliputi kegiatan pertanian
hortikultura, tanaman pangan dan perkebunan, peternakan, jaringan
irigasi, permukiman perdesaan peternakan, budidaya perikanan dan
hutan rakyat, kegiatan adat, budaya dan keagamaan;
2) jenis kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, meliputi:
infrastruktur pendukung agribisnis dan agroindustri hortikultura,
agrowisata dan ekowisata disertai usaha penyediaan akomodasi
terbatas disekitarnya, pengembangan jaringan prasarana untuk
kepentingan umum;
3) tersedia sistem pengairan yang mencukupi;
4) tersedia aksesibilitas jaringan jalan yang memadai ke kantong-
kantong produksi, pusat-pusat pengolahan dan pemasaran;
5) tersedia sarana dan prasarana penunjang agribisnis dan agroindustri
hortikultura.
6) pengembangan komoditas unggulan hortikultura berdaya saing
7) pengembangan aktvitias hortikultura hulu – hilir didukung tata Kelola
integrasi hortikultura dengan industry, pariwisata dan ekspor;
8) pengembangan secara bertahap hortikultura organik untuk
mewujudkan Bali sebagai Pulau Organik;
9) mendorong pengembangan kawasan agropolitan dan jejaring kawasan
agropolitan berbasis hortikultura yang berdaya saing; dan
10) hortikultura di kawasan perkotaan diintegrasikan sebagai RTHK dan
ekowisata.
d. Kawasan perkebunan, meliputi :
1) jenis kegiatan yang diperbolehkan meliputi kegiatan tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan, peternakan, jaringan irigasi, permukiman
perdesaan peternakan, budidaya perikanan dan hutan rakyat,
kegiatan adat, budaya dan keagamaan;
2) jenis kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, meliputi:
infrastruktur pendukung agribisnis dan agroindustri hortikultura,
agrowisata dan ekowisata disertai usaha penyediaan akomodasi
terbatas disekitarnya, pengembangan jaringan prasarana untuk
kepentingan umum;
3) tersedia aksesibilitas jaringan jalan yang memadai ke kantong-
kantong produksi, pusat-pusat pengolahan dan pemasaran;
4) tersedia sarana dan prasarana penunjang agribisnis dan agroindustri
hortikultura.
5) pengembangan komoditas unggulan perkebunan berdaya saing
6) pengembangan aktvitas perkebunan hulu – hilir didukung tata Kelola
integrasi perkebunan dengan industri, pariwisata dan ekspor;
7) pengembangan secara bertahap perkebunan organik untuk
mewujudkan Bali sebagai Pulau Organik; dan
8) mendorong pengembangan kawasan agropolitan dan jejaring kawasan
agropolitan berbasis hortikultura yang berdaya saing

Pasal 87
Indikasi arahan zonasi kawasan perikanan sebagaimana dimaksud Pasal 79
ayat (3) huruf c, sebagai berikut:

90
a. Untuk perikanan tangkap dengan ketentuan:
1. kegiatan yang diperbolehkan : pemanfaatan yang tidak melebihi potensi
lestarinya atau jumlah tangkapan yang diperbolehkan, perikanan
tangkap dengan ukuran armada dibawah 30 Gross Tone (GT),
Perlindungan habitat dan populasi ikan, alur migrasi biota, Ritual
budaya dan keagamaa, penangkapan ikan demersal, ikan karang dan
lobster oleh nelayan tradisional/nelayan kecil, wisata perahu, wisata
pancing, pembuatan foto, video dan film, p emulihan dan rehabilitasi
habitat dan populasi ikan
2. kegiatan yang diperbolehkan bersyarat : penelitian dan Pendidikan,
penempatan alat bantu penangkap ikan, bioteknologi dan
biofarmakologi, pariwisata, perikanan budidaya lepas pantai, tarsus,
energi, pemasangan rumpon dasar, pembangunan dermaga perikanan,
pembangunan struktur pengamanan pantai (pemecah gelombang,
turap, krib), pertambangan/ pengambilan air laut, Instalasi
pembangkit energi listrik terbaruka, Instalasi pipa dan kabel bawah
laut, Penempatan/ pembangunan sarana mitigasi bencana,
Penempatan/ pembangunan sarana bantu navigasi, Penempatan
pontoon, Pembuangan/ pengaliran limbah, Pembuangan/ pengaliran
air panas dari pembangkit listrik
3. kegiatan yang tidak diperbolehkan, yaitu: pemanfaatan air laut selain
energi, kegiatan pertambangan, membuang sampah dan limbah;
penangkapan ikan oleh bukan nelayan tradisional/nelayan kecil,
Pemasangan rumpon permukaan, Budidaya laut, Wisata alam bawah
laut, Olahraga air (jetski, banana boat, parasailing, underwater scutter),
Wisata berselancar (papan selancar, selancar angin), Pembangunan
fasilitas pariwisata, Pembangunan Pelabuhan, Alur pelayaran, Tambat
dan labuh kapal, Pengerukan dan penimbunan laut, Latihan militer,
segala kegiatan pemanfaatan yang merusak baik dengan atau tanpa
alat dan/atau bahan
b. untuk perikanan budidaya dengan ketentuan:
1) kegiatan yang diperbolehkan : Perlindungan habitat dan populasi ikan,
Penelitian, pengembangan dan pendidikan,Alur migrasi biota, Ritual
budaya dan keagamaan, Budidaya laut oleh pembudidaya ikan kecil,
nWisata perahu, Pembuatan foto, video dan film, Pemulihan dan
rehabilitasi habitat dan populasi ikan
2) kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi: Pemasangan
rumpon dasar, Pembangunan dermaga perikanan, Pembangunan
struktur pengamanan pantai (pemecah gelombang, turap, krib),
Pertambangan/ pengambilan air laut, Instalasi pembangkit energi
listrik terbarukan, Instalasi pipa dan kabel bawah laut, Penempatan/
pembangunan sarana mitigasi bencana, Penempatan/ pembangunan
sarana bantu navigasi, Penempatan pontoon, Pembuangan/ pengaliran
limbah, Pembuangan/ pengaliran air panas dari pembangkit listrik
3) kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi: penangkapan ikan,
Pemasangan rumpon dasar dan rumpon permukaan, Wisata alam
bawah laut, Olahraga air (jetski, banana boat, parasailing, underwater
scutter), Wisata berselancar (papan selancar, selancar angin),
Pembangunan fasilitas pariwisata (akomodasi pariwisata, restoran),
Pembangunan pelabuhan dan semua aktivitas kepelabuhanan, Tambat
dan labuh kapal, Pengerukan dan penimbunan laut, Pembangunan
bandar udara dan semua jenis aktivitas kebandaraan, Pendaratan
pesawat terbang kecuali pendaratan pesawat darurat, Pertambangan
mineral dan migas, Latihan militer, Pembuangan/ pengaliran limbah,
Pembuangan/ pengaliran air panas dari pembangkit listrik, Segala
kegiatan pemanfaatan yang merusak baik dengan atau tanpa alat
dan/atau bahan

91
c. kegiatan budidaya perikanan juga dapat dilakukan di darat pada perairan
umum (danau, sungai, waduk), kolam, tambak, saluran irigasi, sawah,
secara harmoni dengan fungsi kawasan yang ada;
d. intensitas pemanfaatan ruang pemanfaatan perikanan budidaya pada
perairan danau berdasarkan kajian pihak yang berwenang setalah
memenuhi syarat kajian daya dukung;
e. perikanan budidaya di danau sebagaimana dimaksud pada huruf c
dilakukan terutama pada danau yang memiliki outlet
f. perikanan budidaya pada danau yang tidak miliki outlet dilarang
melakukan perluasan dan pengelolaan harus dilengkapi program
konservasi badan air dan perlindungan ekosistem di sekitar badan air
dengan baku mutu air kelas satu

Pasal 88
Indikasi arahan zonasi kawasan pergaraman sebagaimana dimaksud Pasal 79
ayat (3) huruf d, sebagai berikut:
a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi kegiatan pergaraman, sarana
prasarana yang mendukung kegiatan pergaraman, Perlindungan habitat
dan populasi ikan, Penelitian, pengembangan dan Pendidikan, Ritual
budaya dan keagamaan, Pergaraman tradisional, Pemulihan dan
rehabilitasi habitat dan populasi ikan, Pembuatan foto, video dan film,
Wisata dan rekreasi pantai dan Penangkapan ikan oleh nelayan tradisional
atau nelayan kecil
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat yaitu: fasilitas pendukung
pergaraman; kegiatan penelitian pergaraman dan perikanan; kegiatan
usaha mikro, kecil, dan menengah pendukung pengaraman; dan
Permukiman; Pembangunan struktur pengamanan pantai (pemecah
gelombang, turap, krib)
c. Pengambilan air laut selain untuk pergaraman tradisional, Penempatan/
pembangunan sarana mitigasi bencana, Penempatan fasilitas keselamatan
wisata bahari, Penempatan/ pembangunan sarana bantu navigasi,
Instalasi pipa dan kabel bawah laut
d. kegiatan yang tidak diperbolehkan, yaitu kegiatan yang menganggu fungsi
Kawasan sebagai Kawasan pergaraman; Pemangkalan perahu nelayan,
Pembangunan dermaga perikanan, Pemangkalan tetap boat/kapal,
Budidaya laut, Semua jenis wisata bahari kecuali wisata dan rekreasi
pantai, Pembangunan semua jenis fasilitas pariwisata, Pembangunan
dermaga wisata, Penempatan fasilitas wisata bahari, Tambat kapal/boat,
Pembangunan pelabuhan dan semua aktivitas kepelabuhanan,
Pengerukan dan penimbunan laut, Pembangunan bandar udara dan
semua jenis aktivitas kebandaraan, Pendaratan pesawat terbang kecuali
pendaratan pesawat darurat, Pertambangan mineral dan migas, Latihan
militer, Instalasi pembangkit energi listrik terbarukan, Pembuangan/
pengaliran limbah, Pembuangan/ pengaliran air panas dari pembangkit
listrik, Segala kegiatan pemanfaatan yang merusak baik dengan atau tanpa
alat dan/atau bahan
e. aktivitas pergarama dilakukan di wilayah daratan, pada kawasa
perlindungan setempat di sempadan pantai;

Pasal 89
Indikasi arahan zonasi kawasan pertambangan dan energi (TE) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79 ayat (3) huruf e, mencakup:

92
a. penyusunan masterplan pertambangan pada kawasan pertambangan;
b. pembatasan kegiatan pertambangan untuk mencegah dampak lingkungan;
c. pengharusan penjaminan segi-segi keselamatan pekerja dan keamanan
lingkungan dalam penyediaan peralatan dan pelaksanaan kegiatan
penambangan; dan
d. pewajiban pemulihan rona bentang alam pasca penambangan.

Pasal 90
(1) Indikasi arahan zonasi kawasan peruntukan industri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79 ayat (3) huruf f, mencakup:
a. pemanfaatan kawasan peruntukan industri diprioritaskan untuk
mengolah bahan baku lokal menggunakan potensi sumber daya alam
dan sumber daya manusia setempat;
b. pemanfaatan kawasan peruntukan industri untuk menampung
kegiatan aneka industri sesuai dengan karakteristik kawasan;
c. setiap kawasan peruntukan industri wajib mengembangan jalan antar
kawasan dan penyediaan sarana dan prasarana kawasan industri siap
bangun;
d. pemanfaatan kawasan peruntukan industri untuk mengakomodir
kegiatan industri berbasis budaya branding Bali;dan
e. pemanfaatan ruang kegiatan industri wajib menyediakan zona
penyangga dengan lingkungan sekitar;
f. penyediaan RTH pada kawasan industri paling sedikit 20% dari luas
kawasan;
g. penyediaan instalasi pengelolaan air limbah yang dapat diintegrasikan
dengan SPAL (Sistem Pengelolaan Air Limbah);
h. arahan zonasi kawasan peruntukan industri lainnya yang mengacu
pada standar teknis kawasan industri berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Indikasi arahan zonasi untuk Kawasan industri, ditetapkan dengan
memperhatikan:
a. kegiatan yang diperbolehkan, yaitu: kegiatan Kawasan industri
berserta infrastruktur dasar; pengembangan sentra industri; dan
infrastruktur penunjang industri, sarana penunjang kegiatan industri
lainnya, dan RTH;
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, yaitu: perumahan;
perdagangan jasa; fasilitas sosial dan umum; perkantoran;
pemerintahan; transportasi; pertanian; pelabuhan ikan;
pertambangan; dan pengembangan bangunan prasarana dengan
mengikuti ketentuan teknis yang berlaku;
c. kegiatan yang dilarang, yaitu kegiatan yang menyebabkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hingga melampaui baku
mutu dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
d. pembangunan lokasi kawasan industri ditetapkan dengan ketentuan
sebagai berikut:
1) kewajiban perusahaan industri berlokasi di kawasan industri
kecuali untuk industri yang memerlukan lokasi khusus serta
usaha mikro, kecil dan menengah sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan;
2) memenuhi ketentuan teknis untuk kegiatan industri;
3) tidak mengganggu kelestarian fungsi lingkungan hidup dan
menjamin pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan;
4) tidak mengubah KP2B dan beririgasi teknis; dan
5) menyediakan lahan bagi kegiatan usaha mikro, kecil dan
menengah.
6) penyediaan instalasi pengelolaan air limbah khusus kawasan;

93
(3) Indikasi arahan zonasi industri di luar kawasan industri, ditetapkan
dengan memperhatikan:
a. penetapan lokasi sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan;
b. ketentuan persyaratan melakukan produksi bersih, penerapan
manajemen quality control, hemat air dan ramah lingkungan;
c. kemampuan penggunaan teknologi, potensi sumber daya alam dan
sumber daya manusia di sekitarnya;
d. penetapan persyaratan AMDAL/dokumen lingkungan;
e. penyediaan instalasi pengelolaan air limbah yang dapat diintegrasikan
dengan SPAL (Sistem Pengelolaan Air Limbah);
f. penyediaan RTH pada zona industri paling sedikit 20% dari luas
kawasan;
g. ketentuan pembatasan pembangunan perumahan baru di sekitar
lokasi industri kecuali perumahan bagi pekerja industri;
h. ketentuan pelarangan pengembangan zona industri yang
menyebabkan kerusakan kawasan resapan air;
i. ketentuan pelarangan pengambilan air tanah di zona pemanfaatan air
tanah kritis dan rusak; dan
j. pengembangan kawasan industri yang tidak mengakibatkan
kerusakan atau alih fungsi Kawasan Lindung serta KP2B.

Pasal 91
(1) Indikasi arahan zonasi kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 79 ayat (3) huruf g, mencakup:
a. indikasi arahan zonasi kawasan pariwisata pada KSPD;
b. indikasi arahan zonasi kawasan pariwisata pada KSPD Khusus; dan
c. indikasi arahan zonasi daya tarik wisata.
(2) Indikasi arahan zonasi kawasan pariwisata pada KSPD, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, mencakup:
a. Indikasi arahan zonasi DTW sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, mencakup:
a. DTW meliputi DTW alam, DTW budaya dan DTW buatan yang
merupakan segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan
nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil
buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan
wisatawan;
b. bentuk DTW dapat meliputi: dan/atau berupa kawasan/hamparan,
wilayah desa/kelurahan, masa bangunan, bangun-bangunan dan
lingkungan sekitarnya, jalur wisata yang lokasinya tersebar di wilayah
kabupaten/kota dan dan desa wisata baik yang berada di dalam
maupun di luar KSPD dan/atau KSPDK;
c. kegiatan yang diperbolehkan, meliputi: bangunan dan lansekap
penunjang tema DTW bersangkutan, Kawasan Permukiman setempat
yang telah ada, kawasan peruntukan lainnya baik budidaya dan
lindung yang telah berkembang secara harmonis di kawasan
setempat, dan pengembangan pariwisata kerakyatan berbasis kearifan
lokal dan Masyarakat setempat;
d. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, meliputi: pengembangan
fasilitas penunjang pariwisata, agrowisata, ekowisata dan desa
wisata, pengembangan usaha penyediaan akomodasi wisata
kerakyatan atau usaha penyediaan akomodasi wisata berkualitas
lainnya dengan pelibatan Masyarakat setempat, pengembangan usaha
penyediaan akomodasi wisata kerakyatan secara campuran dalam
Kawasan Permukiman perdesaan, fasilitas penunjang pariwisata,

94
industri kecil rumah tangga, dan fasilitas penunjang permukiman
lainnya;
e. kegiatan yang tidak diperbolehkan, meliputi: kegiatan pertambangan
dan industri yang menimbulkan polusi, dan kegiatan lainnya yang
tidak sesuai dengan peruntukan kawasan;
f. terintegrasi harmonis dengan kawasan permukiman yang telah ada;
g. KDB maksimal 40% (empat puluh persen) bila berada di luar Kawasan
Permukiman ;
h. tinggi bangunan setinggi-tingginya dua lantai atau setinggi-tingginya 8
m (delapan meter) dari permukaan tanah tempat bangunan berdiri;
i. pengharusan penyediaan fasilitas parkir yang cukup;dan
j. pengharusan penyediaan sarana dan prasarana lingkungan sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(3) Indikasi arahan Peraturan Zonasi kawasan pariwisata pada KSPD
Khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, mencakup:
a. Koefisien Wilayah Terbangun (KWT) untuk kawasan efektif pariwisata
(KEP) ditetapkan maksimal 5% dari luas KSPDK yang ditetapkan
dengan satuan Wilayah administrasi dan sebarannya lebih lanjut
ditetapkan dalam Rencana Rinci Tata Ruang KSPDK;
b. kegiatan yang diperbolehkan dalam zona efektif pariwisata, meliputi:
usaha penyediaan akomodasi, resort, hotel bintang dan hotel non
bintang yang berkualitas, pengembangan fasilitas pariwisata,
pembangunan fasilitas meetings, incentives, converences, and
exhibitions, dan pembangunan fasilitas rekreasi;
c. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, meliputi: usaha
akomodasi dilengkapi fasilitas wisata spiritual bila berada pada
Kawasan Tempat Suci, Kawasan Permukiman, Kawasan Pertanian,
Kawasan Perikanan, kawasan hutan, Ruang terbuka hijau, daya tarik
wisata, fasilitas pariwisata, sarana dan prasarana penunjang
transportasi, fasilitas hiburan malam, kegiatan industri kecil
penunjang pariwisata, dan kawasan atau kegiatan lain yang telah ada
dan terintegrasi secara harmonis dengan zona efektif pariwisata;
d. kegiatan yang tidak diperbolehkan pada kawasan pariwisata, meliputi:
kegiatan selain sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang
berpotensi menganggu atau menurunkan kualitas KSPD;
e. pemanfaatan potensi alam dan budaya setempat sesuai daya dukung,
daya tampung lingkungan dan perlindungan situs warisan budaya
setempat;
f. pembatasan KDB untuk setiap usaha penyediaan akomodasi dan
fasilitas penunjangnya, setinggi- tingginya 40% (empat puluh persen)
dari persil yang dikuasai;
g. tinggi bangunan setinggi-tingginya dua lantai atau setinggi-tingginya 8
m (delapan meter) dari permukaan tanah tempat bangunan berdiri;
h. penerapan ciri khas arsitektur Bali pada setiap bangunan akomodasi
dan fasilitas penunjang pariwisata;
i. penyediaan fasilitas parkir yang cukup bagi setiap bangunan
akomodasi dan fasilitas penunjang pariwisata; dan
j. penyediaan sarana dan prasarana lingkungan sesuai ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
(4) Indikasi arahan Peraturan Zonasi DTW sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c, mencakup:
a. DTW meliputi DTW alam, DTW budaya dan DTW buatan yang
merupakan segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan
nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil
buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan
wisatawan;

95
b. bentuk DTW dapat meliputi: dan/atau berupa kawasan/hamparan,
Wilayah desa/kelurahan, masa bangunan, bangun-bangunan dan
lingkungan sekitarnya, jalur wisata yang lokasinya tersebar di Wilayah
Kabupaten/Kota dan dan desa wisata baik yang berada di dalam
maupun di luar KSPD dan/atau KSPDK;
c. kegiatan yang diperbolehkan, meliputi: bangunan dan lansekap
penunjang tema DTW bersangkutan, Kawasan Permukiman setempat
yang telah ada, kawasan peruntukan lainnya baik budidaya dan
lindung yang telah berkembang secara harmonis di kawasan
setempat, dan pengembangan pariwisata kerakyatan berbasis kearifan
lokal dan Masyarakat setempat;
d. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, meliputi: pengembangan
fasilitas penunjang pariwisata, agrowisata, ekowisata dan desa wisata,
pengembangan usaha penyediaan akomodasi wisata kerakyatan atau
usaha penyediaan akomodasi wisata berkualitas lainnya dengan
pelibatan Masyarakat setempat, pengembangan usaha penyediaan
akomodasi wisata kerakyatan secara campuran dalam Kawasan
Permukiman perdesaan, fasilitas penunjang pariwisata, industri kecil
rumah tangga, dan fasilitas penunjang permukiman lainnya;
e. kegiatan yang tidak diperbolehkan, meliputi: kegiatan pertambangan
dan industri yang menimbulkan polusi, dan kegiatan lainnya yang
tidak sesuai dengan peruntukan kawasan;
f. terintegrasi harmonis dengan kawasan permukiman yang telah ada;
g. KDB maksimal 40% (empat puluh persen) bila berada di luar Kawasan
Permukiman ;
h. tinggi bangunan setinggi-tingginya dua lantai atau setinggi-tingginya 8
m (delapan meter) dari permukaan tanah tempat bangunan berdiri;
i. pengharusan penyediaan fasilitas parkir yang cukup; dan
j. pengharusan penyediaan sarana dan prasarana lingkungan sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 92
Indikasi arahan zonasi untuk Kawasan Permukiman sebagaimana dimaksud
Pasal 79 ayat (3) huruf h, sebagai berikut:
a. kegiatan yang diperbolehkan, yaitu: permukiman; perumahan,
perdagangan jasa; perkantoran; pemerintahan; sarana pelayanan umum,
industry, pertanian, perkebunan, sarana transportasi, RTH, kegiatan
pengembangan jaringan sarana prasarana kota dan kegiatan penunjang
permukiman lainnya;
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, yaitu industri berisiko tinggi
dan pertambangan,
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan, yaitu kegiatan yang mengakibatkan
terganggunya kenyamanan, keamanan dan ketertiban kegiatan
permukiman;
d. ketentuan penggunaan lahan permukiman baru disesuaikan dengan
karakteristik serta daya dukung lingkungan untuk Kawasan Perkotaan
dan pembangunan kawasan terintegrasi fungsi campuran serta blok
terpadu;
e. ketentuan pemanfaatan ruang di Kawasan Permukiman perdesaan yang
sehat dan aman dari bencana alam, serta kelestarian lingkungan hidup;
1) penyediaan sarana, prasarana dan utilitas pendukung kegiatan dan
pengelolaan lingkungan yang terpadu dalam Kawasan Permukiman;

96
2) penyediaan sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana peribadatan,
sarana ruang terbuka, taman dan lapangan olahraga sesuai ketentuan
dan kriteria yang berlaku;
f. penyediaan kebutuhan sarana distribusi perdagangan dengan
mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, keberadaan pasar
tradisional, pusat perbelanjaan, dan toko modern serta fasilitas yang
bersih, sehat, aman, tertib dan nyaman;
g. pengembangan sistem transit dan pengembangan Kawasan berorientasi
transit pada Kawasan Permukiman diperbolehkan, dengan persyaratan
berdasarkan peraturan perundang-undangan;
h. persyaratan bangunan sesuai ketentuan intensitas bangunan dan standar
bangunan gedung;
i. memperhatikan persyaratan konservasi air tanah, lingkungan hidup dan
pembangunan prasarana pengendalian banjir dalam pengembangan
permukiman;
j. penyediaan jalur dan ruang evakuasi bencana;
k. permukiman yang ditetapkan sebagai bagian dari kawasan cagar budaya
atau sebagai bangunan cagar budaya perlu memperhatikan ketentuan
khusus terkait kawasan bersejarah atau cagar budaya dalam
pengembangannya.
l. pengembangan Kawasan Permukiman Perkotaan, ditetapkan dengan
ketentuan sebagai berikut:
1) pengembangan permukiman perkotaan di kawasan rawan bencana
alam dan bencana alam geologi, dilaksanakan dengan persyaratan
teknis;
2) berada di luar kawasan yang ditetapkan sebagai Kawasan rawan
bencana gunung api;
3) memiliki akses menuju pusat kegiatan masyarakat di luar kawasan;
4) memiliki kelengkapan prasarana, sarana, dan utilitas pendukung;
5) sesuai kriteria teknis Kawasan peruntukan permukiman yang
ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
6) mengembangkan Kawasan Permukiman vertikal pada Kawasan
Perkotaan dengan intensitas pemanfaatan ruang menengah hingga
tinggi;
7) Kawasan Perkotaan yang memiliki karakteristik intensitas pemanfaatan
ruang menengah hingga tinggi, mencakup kawasan perkotaan yang
menjadi kota inti PKN;
8) mengendalikan Kawasan Permukiman horizontal pada Kawasan
Perkotaan dengan intensitas Pemanfaatan Ruang menengah, termasuk
kota mandiri dan kota satelit; dan
9) Kawasan Perkotaan yang memiliki karakteristik intensitas Pemanfaatan
Ruang menengah, mencakup Kawasan Perkotaan selain yang berfungsi
sebagai kota inti PKN; dan
10) pengembangan jalur atau ruang terbuka hijau (RTH) di kawasan
perkotaan dengan memanfaatkan lahan kosong di kawasan
permukiman;
m. pengembangan Kawasan Permukiman perdesaan diarahkan pada
pengembangan ruang permukiman horisontal dengan mempertimbangkan
kegiatan dalam Kawasan Perdesaan, mencakup kegiatan pertanian,
perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, pengelolaan sumberdaya,
orientasi Ruang mengacu pada konsep Catus Patha dan Tri Mandala,
melindungi pola tata bangunan dan lingkungan perumahan tradisional
Bali, terintegrasi secara serasi sesuai konsep tata pawidangan Desa Adat
setempat;

97
n. mengacu pola lansekap dan bangunan permukiman perdesaan
menerapkan konsep barjatidiri arsitektur dan budaya Bali
o. Ketentuan lebih lanjut tentang pengaturan zonasi Kawasan Permukiman
diatur RTRW Kabupaten/Kota dan RDTR Kabupaten/Kota.

Pasal 93
Indikasi arahan zonasi kawasan transportasi (TR), sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 79 ayat (3) huruf i, mencakup:
a. kegiatan yang diperbolehkan, yaitu sarana transportasi, fasilitas
penunjang kawasan transportasi, perdagangan dan jasa skala, RTH dan
RTNH;
b. kegiatan yang diperbolehkan bersyarat, yaitu: bangunan prasarana dengan
mengikuti ketentuan teknis yang berlaku, fasilitas perdagangan dan jasa,
kegiatan campuran, permukiman, kegiatan perkantoran dan pergudangan
terkait, kegiatan usaha sektor informal, industri penunjang kegiatan
transportasi, industri pengolahan hasil perikanan, pendidikan penelitian,
wisata alam, wisata budaya, wisata sejarah, wilayah kerja dan wilayah
pengoperasian pelabuhan perikanan, pekerjaan bawah air, bangunan
pelindung pantai; dan kegiatan energi;
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan, yaitu semua kegiatan yang
menimbulkan gangguan terhadap fungsi Kawasan transportasi, perikanan
tangkap statis dan/atau bergerak yang mengganggu kegiatan pelabuhan,
wisata bawah laut, perikanan budidaya laut, pertambangan mineral;
d. pengembangan sistem transit dan pengembangan Kawasan berorientasi
transit pada Kawasan transportasi diperbolehkan, dengan persyaratan
berdasarkan peraturan perundang-undangan;
e. kawasan transportasi yang berada pada daerah rawan bencana dalam
pemanfaatan ruangnya perlu mempertimbangkan mitigasi bencana;
f. pembangunan pelabuhan hanya dapat dilakukan oleh otoritas pelabuhan
untuk pelabuhan yang diusahakan secara komersial dan unit
penyelenggara pelabuhan untuk pelabuhan yang belum diusahakan secara
komersial, namun badan usaha pelabuhan dapat juga melakukan kegiatan
pembangunan pelabuhan dengan syarat harus berdasarkan konsesi
dengan otoritas pelabuhan, yang bertanggung jawab terhadap dampak
yang timbul selama pelaksanaan pembangunan dan operasional
pelabuhan yang bersangkutan;
g. arahan pengendalian pada zona pelabuhan perikanan sebagai berikut:
1) persyaratan pembangunan pelabuhan, meliputi teknis, kelestarian
lingkungan, dan rencana induk kepelabuhanan;
2) kegiatan kepelabuhanan perikanan harus menjamin kelestarian
lingkungan; dan
3) kegiatan kepelabuhanan perikanan harus mempertimbangkan
pengendalian pencemaran dan mitigasi bencana;
h. penggelaran pipa migas yang melintasi zona pelabuhan laut dilakukan
setelah memperoleh izin dari pengelola pelabuhan dan dengan
memperhatikan keselamatan alur pelayaran/perlintasan.
i. aktivitas terminal khusus yang berada pada Pelabuhan Perikanan yang
telah memiliki WKOPP dilakukan setelah memperoleh kesepakatan
pengelola pelabuhan perikanan.

98
Pasal 94
Indikasi arahan zonasi untuk kawasan pertahanan dan keamanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (3) huruf j, sebagai berikut:
a. kegiatan yang diperbolehkan, yaitu:
1) pembangunan prasarana dan sarana penunjang pertahanan dan
keamanan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
2) serta rumah dinas, rumah susun umum, negara atau khusus, fasilitas
pendidikan, kesehatan, peribadatan, olahraga, sosial sesuai dengan
skala pelayanannya; dan
3) pengembangkan Kawasan Lindung dan/atau Kawasan Budidaya tidak
terbangun disekitar pertahanan dan keamanan sebagai zona
penyangga yang memisahkan kawasan pertahanan keamanan dengan
Kawasan Budidaya terbangun dan pertanian;
b. kegiatan yang dilarang, yaitu semua kegiatan yang menimbulkan
gangguan terhadap aktivitas Kawasan pertahanan dan keamanan;
c. memiliki kelengkapan prasarana, sarana, dan utilitas pendukung; dan
d. sesuai kriteria teknis kawasan pertahanan dan keamanan yang ditetapkan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 4
Ketentuan Khusus

Pasal 95

(1) Ketentuan khusus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c,


merupakan arahan ketentuan yang mengatur arahan pemanfaatan ruang
kawasan khusus yang memiliki fungsi khusus yang bertampalan (overlay)
dengan fungsi kawasan lainnya.

(2) Ketentuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :


a. KKOP;
b. KP2B;
c. kawasan rawan bencana;
d. kawasan cagar budaya;
e. kawasan resapan air;
f. kawasan danau dan sekitarnya;
g. kawasan kearifan lokal;
h. kawasan sempadan;
i. kawasan karst;
j. alur migrasi biota Laut;
k. ketinggian bangunan;
l. ruang dalam bumi;
m. Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan (DLKp); dan
n. Bagan Pemisah Alur (TSS/Traffic Separation Scheme) Selat Lombok;

Pasal 96
(1) KKOP, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2) huruf a, dengan
ketentuan pembatasan tinggi bangunan dan jenis kegiatan sesuai
ketentuan peraturan perundangan- undangan.
(2) KKOP yang terdapat di wilayah Provinsi meliputi :
a. KKOP Bandar Udara Ngurah Rai di Kabupaten Badung; dan

99
b. KKOP Rencana Bandar Udara Bali Utara di Kabupaten Buleleng;
(3) dalam hal mendirikan, mengubah, atau melestarikan bangunan, serta
menanam atau memelihara pepohonan di dalam kawasan keselamatan
operasi penerbangan tidak boleh melebihi batas ketinggian kawasan
keselamatan operasi penerbangan, kecuali untuk fasilitas operasi
penerbangan; dan
(4) pelarangan kegiatan permainan atau lomba layang-layang dan
penerbangan balon udara di sekitar KKOP.
(5) Peta ketentuan khusus KKOP tercantum dalam Lampiran XVIII, yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Pasal 97
(1) KP2B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2) huruf b, dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. pemanfaatan ruang diarahkan untuk kegiatan tanaman pangan
berkelanjutan berupa lahan sawah yang dilindungi;
b. perlindungan terhadap Kawasan Pertanian dari alih fungsi lahan
c. penetapan LSD, LP2B dan LCP2B;
d. lahan KP2B yang telah ditetapkan sebagai LP2B dapat beralih fungsi
untuk kepentingan umum yang pelaksanaannya sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan;
e. penggantian lahan KP2B yang telah ditetapkan sebagai LP2B
dilakukan dengan ketentuan:
1. pembukaan lahan baru di luar lahan KP2B; atau
2. pengalihafungsian lahan dari lahan nonpertanian ke pertanian,
terutama dari tanah terlantar dan/atau tanah bekas kawasan
hutan;
3. penyediaan pengganti lahan yang sudah ditetapkan sebagai LP2B
dilakukan paling lambat 2 (dua) tahun setelah alih fungsi
dilakukan;
f. pengembangan KP2B dilakukan melalui intensifikasi lahan pertanian;
dan
g. pengembangan infrastruktur pendukung pertanian dan ekowisata.
(2) KP2B seluas lebih kurang 67.668.000 ha (enam puluh tujuh ribu enam
ratus enam puluh delapan ribu hektar)
(3) Peta ketentuan khusus KP2B tercantum dalam Lampiran XIX, yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Pasal 98
(1) Kawasan rawan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2)
huruf c, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. ketentuan khusus kawasan rawan gerakan tanah;
b. kawasan rawan gunung berapi;
c. kawasan rawan bencana tsunami;
d. kawasan rawan gempa bumi;
e. kawasan rawan banjir;
(2) Ketentuan khusus pembangunan untuk Kawasan rawan gerakan tanah
menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, sebagai berikut:
a. pemanfaatan ruang diarahkan untuk Kawasan Lindung, hutan,
perkebunan, ruang terbuka hijau, wisata alam dan olah raga terbuka;
b. pemanfaatan ruang yang diperbolehkan secara bersyarat dan terbatas
adalah pembangunan jaringan infrastruktur;

100
c. pembatasan pemanfaatan ruang untuk bangunan atau hunian
dengan pengaturan intensitas bangunan rendah;
d. pembangunan atau pengembangan pusat hunian beserta sarana dan
prasarana pendukung kegiatan sosial ekonomi pada kawasan rawan
gerakan tanah tinggi dihindarkan;
e. pengendalian pembangunan secara ketat, memperhatikan teknis
stabilitas lereng, sistem drainase, tidak mengganggu kestabilan
lereng, menjaga vegetasi berakar kuat dan dalam, tidak berada di
bantaran sungai, dan melakukan pemetaan detil gerakan tanah,
kajian geologi teknik, dan analisis risiko bencana;
f. disarankan untuk relokasi bangunan, tidak melakukan perluasan
atau penambahan bangunan, melakukan kajian geologi teknik,
membangun dinding penahan longsor pada daerah rawan longsor
tinggi atau sering mengalami kejadian longsor; dan
g. penyediaan sistem peringatan dini, pemasangan papan informasi
bahaya, rambu bahaya, dan jalur evakuasi.
h. melakukan kajian geologi teknik, membangun dinding penahan
longsor pada daerah yang sering mengalami kejadian longsor.
(3) Ketentuan khusus pembangunan untuk Kawasan rawan bencana gunung
api tingkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, sebagai berikut:
a. Pemanfaatan Ruang pada Kawasan rawan bencana I (KRB I) masih
dapat dimanfaatkan untuk permukiman dengan ketentuan mengikuti
aturan mitigasi bencana erupsi gunung api;
b. Pemanfaatan Ruang pada Kawasan rawan bencana II (KRB II)
diarahkan untuk pertanian dan perkebunan;
c. Pemanfaatan Ruang pada Kawasan rawan bencana III (KRB III) tidak
boleh dilakukan pembangunan atau pengembangan pembangunan,
diarahkan untuk pemanfaatan ruang diarahkan untuk kawasan
lindung, hutan, perkebunan, dan ruang terbuka hijau;
d. Pemanfaatan Ruang di KRB I dan KRB II wajib melakukan analisa
risiko bencana bencana gunung api;
e. penyediaan sistem peringatan dini, pemasangan papan info bahaya,
rambu dan jalur evakuasi;
f. penetapan tempat evakuasi yang aman dan mudah diakses;
g. diperbolehkan kegiatan yang bersifat pengamatan, bangunan
pengendali bencana, dan sarana prasarana penangulangan bencana
atau infrastruktur jaringan listrik, energi, air bersih, jalan, jembatan,
dan untuk kepentingan umum sesuai hasil kajian risiko bencana; dan
h. sungai-sungai yang menjadi lintasan lahar dilengkapi bangunan
infrastruktur penahan dan pengarah aliran banjir dari hulu sampai
hilir.
(4) Ketentuan khusus pembangunan untuk kawasan rawan bencana
tsunami tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, sebagai
berikut:
p. pemanfaatan ruang pada rawan bencana tsunami wajib melakukan
analisis risiko bencana tsunami;
q. pembuatan infrastruktur proteksi bencana yang memadai, seperti
pemecah ombak atau tanggul penahan;
r. penyediaan sistem peringatan dini, rambu dan papan info peringatan
bencana tsunami, jalur evakuasi, shelter atau bangunan perlindungan
terhadap tsunami, tempat evakuasi sementara dan tempat evakuasi
akhir baik vertikal dan horisontal;
s. perlindungan vegetasi pantai, bakau, gumuk, dan bukit pasir dan
penetapan sempadan pantai;
t. pembatasan kegiatan hunian, wisata dan pendukung wisata pantai;
dan

101
u. penguatan struktur bangunan sesuai ketentuan persyaratan mitigasi
bencana tsunami.
(5) Ketentuan khusus pembangunan untuk kawasan rawan gempa tinggi,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, sebagai berikut:
a. pengendalian pembangunan di Kawasan rawan gempa harus
mengikuti ketentuan standar bangunan tahan gempa sesuai dengan
analisis risiko bencana;
b. pengendalian pembangunan pada daerah yang pernah terdampak
gempa wajib melakukan penguatan bangunan menjadi bangunan
tahan gempa;
c. penyediaan sistem peringatan dini, pemasangan papan info bahaya,
rambu dan jalur evakuasi; dan
d. penetapan tempat evakuasi yang aman dan mudah diakses.
(6) Ketentuan khusus pembangunan untuk Kawasan rawan banjir
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, sebagai berikut:
a. penetapan batas dataran banjir;
b. pemanfaatan dataran banjir bagi RTH dan pengendalian
pembangunan fasilitas umum dengan kepadatan rendah;
c. ketentuan mengenai pelarangan kegiatan untuk fasilitas umum;
d. pengendalian permukiman di kawasan rawan banjir;
e. pemasangan sistem peringatan dini, papan info dan rambu
peringatan, jalur evakuasi, dan tempat evakuasi sementara;
f. pengembangan infrastruktur pengendali banjir; dan
g. ketentuan huruf a sampai huruf e diatur lebih lanjut dalam RTRW
Kabupaten/Kota dan RDTR Kabupaten/Kota.
(7) Pelarangan pembangunan kembali dan pembangunan baru pada
kawasan rawan bencana resiko tinggi;
(8) Peta ketentuan khusus kawasan rawan bencana tercantum pada
Lampiran XX yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah.

Pasal 99
(1) Ketentuan khusus untuk kawasan cagar budaya sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2) huruf d, merupakan pengaturan
terhadap bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar
budaya dan kawasan cagar budaya sesuai dengan penetapannya
berdasarkan kriteria yang berlaku.dengan ketentuan sebagai berikut:
(2) Ketentuan khusus untuk kawasan cagar budaya sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (1), mengatur pemanfaatan ruang pada:
1) kawasan warisan budaya Pura Ulun Danu Batur dan Danau Batur
dan sekitarnya di Kabupaten Bangli;
2) kawasan warisan budaya lansekap budaya subak dan pura di
sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan di Kabupaten
Gianyar;
3) kawasan warisan budaya lansekap budaya subak dan Pura Catur
Angga Batukaru dan sekitarnya, termasuk di dalamnya Taman
Wisata Alam (TWA) Buyan-Tamblingan dan Kawasan Cagar Alam
Gunung Batukau di Kabupaten Buleleng dan Kabupaten Tabanan;
4) kawasan warisan budaya Pura Taman Ayun dan subak sekitarnya di
Kabupaten Badung;
5) Kawasan cagar Budaya Pusat Kota Denpasar di Kota Denpasar;
6) Kawasan cagar budaya Bedulu – Pejeng di Kabupaten Gianyar
7) Kawasan cagar Budaya Pusat Kota Semarapura di Kabulaten
Klungkung Denpasar;

102
8) Kawasan Pura Agung Besakih di Kabupaten Karangasem,
9) Kawasan cagar Budaya Amlapura di Kabupaten Karangasem;
10) Kawasan Perairan Laut Desa Pemuteran di Kabupaten Buleleng;
11) cagar budaya lainnya yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan khusus untuk Cagar Budaya diarahkan dengan ketentuan
sebagai berikut:
1) pengendalian Pemanfaatan Ruang untuk pendidikan, penelitian dan
pariwisata;
2) ketentuan pelarangan kegiatan dan pendirian bangunan yang tidak
sesuai dengan fungsi kawasan;
3) ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat merusak cagar budaya;
4) ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat mengubah bentukan
geologi tertentu yang mempunyai menfaat untuk pengembangan
ilmu pengetahuan;
5) ketentuan pelarangan Pemanfaatan Ruang yang menggangu
kelestarian lingkungan di sekitar cagar budaya; dan
(4) Kegiatan pelestarian Cagar Budaya harus dilaksanakan atau
dikordinasikan oleh Tenaga Ahli Pelestarian dengan memperhatikan etika
pelestarian.
(5) Peta ketentuan khusus Cagar Budaya tercantum dalam Lampiran XXI
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah.

Pasal 100
(1) Ketentuan khusus kawasan resapan air sebagaimana yang dimaksud
pasal 95 ayat (2) huruf e, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pengendalian pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan
budidaya, yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan
air hujan harus sesuai dengan daya dukung lingkungan;
e. pemanfaatan ruang wajib memelihara fungsi resapan air;
b. kegiatan penghijauan dan penyediaan sumur resapan dan/atau
waduk pada lahan terbangun yang sudah ada;
c. menjaga fungsi hidrogeologis kawasan resapan air, dengan
memperhatikan pelarangan kegiatan penambangan di kawasan
tersebut;
d. penerapan prinsip kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air
hujan (zero delta Q policy) terhadap setiap kegiatan budidaya
terbangun yang diajukan izinnya;
e. ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat mengurangi daya serap
tanah terhadap air;
f. arahan pengendalian/pembatasan pemanfaatan hasil tegakan
selanjutnya diatur dalam peraturan perundang- undangan;
g. ketentuan pelarangan kegiatan pemanfaatan ruang yang dapat
mengganggu bentang alam, kesuburan dan keawetan tanah, fungsi
hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta fungsi lingkungan hidup;
h. ketentuan pelarangan kegiatan yang merusak kualitas dan kuantitas
air, kondisi fisik kawasan, dan daerah tangkapan air;
i. melarang pengambilan air tanah baru melalui sumur bor;
j. mewajibkan membangun sumur imbuhan air tanah sejumlah 2 (dua)
titik terhadap 1 (satu) titik sumur produksi air tanah;
k. mengubah fungsi seluruh sumur produksi air tanah menjadi sumur
ASR (aquifer storage and recovery), yaitu sumur bor air tanah dengan
fungsi ganda yang mampu produksi dan imbuhan air tanah;

103
l. pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan dan imbuhan air tanah,
dengan menjaga efektifitas sumur resapan air tanah dan sumur
imbuhan air tanah;
m. pelaksanaan penanganan air tanah diterapkan secara ketat pada zona
aman, zona rawan, zona kritis dan zona rusak; dan
n. pengendalian penggunaan air tanah diterapkan secara ketat melalui
pengurangan dan penyesuaian pengambilan air tanah terhadap
kondisi sumur.
(2) Peta ketentuan khusus kawasan resapan air tercantum dalam Lampiran
XXII, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah
ini.

Pasal 101

(1) Ketentuan khusus kawasan danau dan sekitarnya sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2) huruf f, merupakan ketentuan pada
peruntukan kawasan tertentu yang overlay dengan kawasan danau dan
sekitarnya dalam rangka meningkatkan upaya pengendalian kerusakan
danau meliputi pencegahan kerusakan, penanggulangan kerusakan dan
pemulihan fungsi danau.
(2) Kawasan danau di Provinsi Bali meliputi :
a. Kawasan Danau Batur dan sekitarnya di Kabupaten Bangli;
b. Kawasan Danau Beratan dan sekitarnya di Kabupaten Tabanan;
c. Kawasan Danau Buyan dan sekitarnya di Kabupaten Buleleng;
d. Kawasan Danau Tamblingan dan sekitarnya di Kabupaten Buleleng;
(3) Ketentuan khusus pencegahan kerusakan danau, dilaksanakan dengan
cara:
a. pengintegrasian perlindungan daerah tangkapan air, sempadan,
riparian dan badan air danau;
b. penerapan kriteria baku kerusakan danau;
c. pelarangan kegiatan yang berpotensi merusak ekosistem danau
antara lain : okupasi lahan di badan air, penebaran jenis spesies
asing, budidaya, pembuangan sampah dan limbah;
d. pembatasan kegiatan yang berpotensi merusak ekosistem danau
antara lain : pertanian yang menggunakan pupuk kimia dan
pestisida, penambangan, budidaya perikanan dengan keramba jaring
apung dan keramba jaring tancap pada danau tertutup, transportasi
air yang mengganggu kehidupan perairan;
e. pengaturan pemanfaatan air berdasarkan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup
f. pemeliharaan dan pengayaan tanaman di daerah tangkapan air;
g. penerapan prinsip konservasi tanah dan air dalam pengolahan lahan
pertanian dan perkebunan;
h. penyediaan sarana dan prasarana pengelolaan sampah dan limbah
i. perlindungan zona konservasi spesies asli dan/atau endemik;
j. penerapan pola perikanan tangkap yang ramah lingkungan;
k. pengembangan ekowisata berbasis danau;
l. sosialisasi dan edukasi fungsi, manfaat, kondisi danau, dan kegiatan
pencegahan kerusakan danau kepada masyarakat;
m. penguatan kelembagaan melalui pembentukan forum/komunitas
peduli danau;
n. cara lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
(4) Penanggulangan kerusakan danau dilakukan dengan cara:

104
a. penertiban kegiatan-kegiatan di sempadan, riparian dan perairan
danau yang mencemari dan/atau merusak ekosistem danau antara
lain: pertanian yang menggunakan pupuk kimia dan pestisida,
penambangan, peternakan, budidaya perikanan dengan keramba
jaring apung dan keramba jaring tancap, okupasi lahan di badan air,
perikanan tangkap yang menurunkan populasi spesies asli dan/atau
endemik, transportasi air yang mengganggu kehidupan perairan, dan
penebaran jenis ikan asing dan/atau invasif;
b. penerapan prinsip konservasi tanah dan air dalam pengolahan lahan
pertanian dan perkebunan;
c. pembuatan bangunan konservasi tanah dan air di daerah tangkapan
air;
d. penguatan tebing danau secara ekohidrolika dengan tanaman dan
batuan;
e. pembuatan instalasi pengolahan air limbah;
f. pembersihan dan/atau pemanfaatan gulma air;
g. pembuatan parit atau lahan basah penangkap bahan pencemar;
h. pembuatan pembatas dan jalur migrasi untuk perlindungan habitat
spesies asli dan/atau endemik;
i. pemberian informasi peringatan kerusakan danau kepada
masyarakat;
j. sosialisasi dan aksi penanggulangan kerusakan danau bersama
masyarakat; dan/atau
k. cara lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
(5) Pemulihan fungsi danau dilakukan dengan cara:
a. pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan;
b. remediasi atau pemulihan kualitas air secara fisika, kimia dan/atau
biologi;
c. restorasi danau untuk pengembalian fungsi lingkungan antara lain
dilakukan dengan cara: penanaman di daerah tangkapan air,
sempadan, dan riparian danau; penertiban bangunan di sempadan
danau; penebaran spesies asli dan endemik di perairan dan/atau
riparian; pembersihan sampah; pembersihan dan/atau pemanfaatan
gulma air; pengerukan dan pemanfaatan sedimen di badan air danau
secara ramah lingkungan;
d. pengembangan pertanian organic dan perikanan budidaya darat
e. sosialisasi dan aksi pemulihan fungsi danau;
f. cara lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Pasal 102
(1) Ketentuan khusus kawasan kearifan lokal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 95 ayat (2) huruf g, meliputi :
a. ketentuan khusus kawasan suci;
b. ketentuan khusus kawasan tempat suci; dan
c. ketentuan khusus sempadan jurang;

(6) Ketentuan khusus kawasan suci sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, meliputi :
a. kawasan suci sebagai kawasan konservasi;dan
b. pelarangan semua jenis kegiatan dan/atau usaha yang dapat
menurunkan kualitas lingkungan hidup dan nilai-nilai kesucian.

105
(7) Ketentuan khusus kawasan tempat suci sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, meliputi :
g. karakteristik Kawasan Tempat Suci pura kahyangan jagat dapat
dibedakan atas:
1) Kawasan Tempat Suci yang berada pada kawasan yang dominan
belum terbangun atau belum berkembang, selanjutnya disebut
Kawasan Tempat Suci tipe I;
2) Kawasan Tempat Suci yang berada pada kawasan semi terbangun
atau sedang berkembang, selanjutnya disebut Kawasan Tempat
Suci tipe II;dan
3) Kawasan Tempat Suci yang berada pada kawasan telah terbangun,
sudah berkembang atau berada ditengah Kawasan Permukiman,
selanjutnya disebut Kawasan Tempat Suci tipe III.
h. pengaturan secara umum Pemanfaatan Ruang Kawasan Tempat
Suci/pura kahyangan jagat atau daerah kekeran, dibagi menjadi 3
(tiga) zona, meliputi:
1) zona inti, sebagai zona utama daerah kekeran sesuai dengan
konsep maha wana;
2) zona penyangga, sebagai zona madya daerah kekeran sesuai
dengan konsep tapa wana;dan
3) zona pemanfaatan, sebagai zona nista daerah kekeran sesuai
dengan konsep sri wana.
c. penentuan batas terluar tiap zona Kawasan Tempat Suci didasarkan
atas batas fisik yang tegas berupa batas alami atau batas buatan,
disesuaikan dengan kondisi geografis masing-masing kawasan,
dengan tetap menghormati hak-hak tradisional Masyarakat hukum
adat, dan kearifan lokal yang lebih lanjut diatur dalam Rencana Rinci
Tata Ruang;
d. arahan Pemanfaatan Ruang dan jenis kegiatan yang diperbolehkan di
Kawasan Tempat Suci meliputi:
1) pada zona inti dapat dimanfaatkan untuk: hutan lindung, hutan
rakyat, Kawasan Pertanian, Ruang terbuka hijau, kegiatan
keagamaan, fasilitas penunjang kegiatan keagamaan, rumah
jabatan pemangku atau penjaga pura bersangkutan, dharma
pasraman, dan cagar budaya yang telah ada;
2) pada zona penyangga dapat dimanfaatkan untuk: hutan lindung,
hutan rakyat, Kawasan Pertanian, Ruang terbuka hijau, fasilitas
dharmasala, pasraman, dan permukiman penduduk setempat
yang telah ada, fasilitas penunjang kegiatan sosial ekonomi
Masyarakat setempat skala lingkungan;dan
3) pada zona pemanfaatan dapat dimanfaatkan untuk: hutan rakyat,
Kawasan Pertanian, Ruang terbuka hijau, permukiman penduduk,
bangunan-bangunan yang memiliki nilai sejarah, ilmu
pengetahuan, dan budaya, wisata spiritual, pementasan kesenian,
dan fasilitas penunjang kegiatan sosial ekonomi Masyarakat
setempat skala kawasan;
e. arahan Pemanfaatan Ruang dan jenis kegiatan yang diperbolehkan
dengan syarat di Kawasan Tempat Suci meliputi:
1) pada zona inti diperbolehkan dengan syarat untuk: wisata
spiritual, pementasan kesenian, parkir terbatas, permukiman
penduduk setempat yang telah ada;
2) pada zona penyangga diperbolehkan dengan syarat untuk: wisata
spiritual dan wisata budaya, pementasan kesenian, parkir
pemedek dan wisatawan, permukiman penduduk setempat yang
telah ada, serta usaha penyediaan akomodasi kerakyatan;dan
3) pada zona pemanfaatan diperbolehkan dengan syarat untuk:
permukiman penduduk setempat, industri kecil kerajinan rumah

106
tangga, bangunan fasilitas penunjang kegiatan sosial ekonomi
pelayanan skala kawasan dan usaha penyediaan akomodasi
kerakyatan;
f. arahan Pemanfaatan Ruang dan jenis kegiatan yang tidak
diperbolehkan di Kawasan Tempat Suci meliputi: kegiatan yang tidak
memenuhi ketentuan kegiatan dan Pemanfaatan Ruang yang
diperbolehkan dan yang diperbolehkan dengan syarat atau kegiatan
yang berpotensi dapat menurunkan nilai kesucian kawasan.

(8) Ketentuan khusus sempadan jurang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d, meliputi:
a. jurang ditetapkan dengan kriteria kawasan yang memiliki lereng
dengan kemiringan minimum 45% (empat puluh lima persen)
terhadap bidang datar, dengan ketinggian minimum 5 m (lima meter)
dan di bagian atas memiliki daerah datar minimum 11 m (sebelas
meter);
b. sempadan jurang berlaku di daerah datar bagian atas dan di daerah
datar bagian bawah jurang;
c. sempadan jurang dapat ditetapkan lain oleh pemerintah
Kabupaten/Kota setelah dilakukan kajian teknis di wilayahnya secara
menyeluruh, terutama hanya untuk jurang yang dinyatakan stabil
setelah mendapat rekomendasi Gubernur;
d. indikasi arahan pemanfaatan ruang di kawasan sempadan jurang
meliputi :
1) kegiatan yang diperbolehkan: hutan rakyat, perkebunan,
konservasi, dan pembangunan konstruksi pencegah longsor;
2) kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, mencakup: jaringan
jalan, bangunan tempat suci, daya tarik wisata alam, olah raga
petualangan; permukiman penduduk setempat yang telah ada
tanpa perluasan lebih lanjut; dan fasilitas penunjang pariwisata
dan akomodasi intensitas rendah dapat diizinkan setelah
mendapat izin atau rekomendasi teknis dari instansi yang
berwenang;
3) kegiatan yang tidak diperbolehkan, mencakup: bangunan
permanen, kegiatan pengambilan bahan mineral bukan logam dan
batuan.
e. ketentuan intensitas pemanfaatan ruang sangat rendah diutamakan
dengan tiap pancang
f. pengendalian dengan ketat pendirian bangunan pada jurang dan
kawasan sempadan jurang
g. kegiatan pemanfatan sempadan jurang melalui cut and fill harus
dilengkapi dokumen lingkungan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; dan
h. kegiatan pemanfaatan sempadan jurang sebagai obyek wisata tanpa
bangunan berupa wisata alam dan olahraga petualangan harus
dilengkapi kajian keamanan dan keselamatan bagi wisatawan serta
mendapat izin dari instansi yang berwenang.

Pasal 103
(1) Ketentuan khusus Kawasan Sempadan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 95 ayat (2) huruf h, meliputi :
a. ketentuan khusus sempadan pantai;
b. ketentuan khusus sempadan sungai;
c. ketentuan khusus sempadan danau/waduk;
d. ketentuan khusus pada jalur transmisi tenaga listrik;
e. ketentuan khusus pada jalur pipa migas; dan

107
f. ketentuan khusus pada jalur telekomunikasi;
(2) Ketentuan khusus sempadan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, didasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pada
kondisi batas sempadan pantai mencakup dan/atau melewati kawasan
pemukiman, industri, pusat ekonomi dan infrastruktur publik lainnya
maka penetapan batas sempadan pantai wajib menerapkan pedoman
bangunan (building code) bencana;
(3) Ketentuan khusus sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, meliputi
b. hanya dapat dimanfaatkan secara terbatas untuk:
1) bangunan prasarana sumber daya air, fasilitas jembatan dan
dermaga, jalur pipa gas dan air minum, rentangan kabel listrik
dan telekomunikasi;
2) kegiatan lain sepanjang tidak mengganggu fungsi sungai, antara
lain kegiatan menanam tanaman sayur-mayur; dan
3) bangunan ketenagalistrikan;
c. dalam hal di dalam sempadan sungai terdapat tanggul untuk
kepentingan pengendali banjir, perlindungan badan tanggul dilakukan
dengan larangan menanam tanaman selain rumput, mendirikan
bangunan dan mengurangi dimensi tanggul;
d. pemanfaatan sempadan sungai dilakukan berdasarkan izin sesuai
ketentuan peraturan perundang- undangan, dengan
mempertimbangkan rekomendasi teknis dari pengelola sumber daya
air pada Wilayah sungai yang bersangkutan; dan
e. dalam hal pada Kawasan sempadan terdapat bangunan dalam
sempadan sungai, maka bangunan tersebut dinyatakan dalam status
quo dan secara bertahap harus ditertibkan untuk mengembalikan
fungsi sempadan, namun ketentuan tidak berlaku bagi bangunan
yang terdapat dalam sempadan sungai untuk fasilitas kepentingan
tertentu yang meliputi bangunan prasarana sumber daya air, fasilitas
jembatan dan dermaga, jalur pipa gas dan air minum, rentangan
kabel listrik dan telekomunikasi dan bangunan ketenagalistrikan
dengan memperhatikan aturan bangunan tersebut sesuai peraturan
perundangan.
(4) Ketentuan khusus sempadan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, meliputi:
a. sempadan danau hanya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan tertentu
dan bangunan tertentu seperti penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan, pariwisata, olah raga dan/atau aktivitas budaya dan
keagamaan, bangunan prasarana sumber daya air, jalan akses,
jembatan, dan dermaga, jalur pipa gas dan air minum, prasarana
pariwisata, olahraga, dan keagamaan prasarana dan sarana sanitas
dan bangunan ketenagalistrikan;
b. selain pembatasan pemanfaatan sempadan danau pada sempadan
danau dilarang untuk mengubah letak tepi danau, membuang limbah,
menggembala ternak dan mengubah aliran air masuk atau ke luar
danau; dan
c. pemanfaatan sempadan danau dilakukan berdasarkan izin dari
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya dalam pengelolaan sumber daya air serta dilakukan
dengan mempertimbangkan rekomendasi teknis dari pengelola
sumber daya air wilayah;
(5) Ketentuan khusus pada jalur transmisi tenaga listrik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi:

108
a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi ruang terbuka hijau, kegiatan
pembangunan, pengoperasian, dan pemeliharaan prasarana dan
sarana penunjang jaringan transmisi tenaga listrik;
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi kegiatan
pertanian, kehutanan, permukiman, dan kegiatan sejenis lainnya
dengan batasan ketinggian bangunan dan tumbuh-tumbuhan tidak
masuk atau tidak akan masuk ruang bebas SUTT/SUTET;
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi kegiatan selain
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b yang menimbulkan
bahaya kebakaran dan mengganggu fungsi jaringan transmisi tenaga
listrik;
d. prasarana dan sarana minimal yang diperlukan, meliputi :
e. penyediaan ruang bebas meliputi jarak bebas horisontal dan jarak
bebas vertikal pada ruang sekeliling penghantar atau kawat listrik
SUTT/SUTET yang harus dibebaskan dari kegiatan manusia sesuai
ketentuan.
f. tanah dan bangunan untuk kegiatan Saluran Udara Tegangan Tinggi
atau Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi diberikan kompensasi
atau insentif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(6) Ketentuan khusus pada alur pipa migas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e, meliputi:
a. pemeriksaan secara periodik dan berkala pada jaringan pipa
transmisi, jalur pipa yang melewati lokasi tempat labuh kapal, jalur
pipa yang melewati lokasi penangkapan ikan di sekitar daerah
terumbu karang dan jalur pipa yang melewati lokasi- lokasi di alur
pelayaran;
b. pemeriksaan dilakukan secara periodik dan berkala pada jaringan
pipa untuk mendeteksi adanya korosi, kebocoran pipa, pipa retak dan
marine growth; dan
c. menjaga kestabilan pipa di dasar laut dan mencegah terjadinya
kegagalan struktur pada sistem perpipaan.
(7) Ketentuan khusus pada alur kabel telekomunikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf f, meliputi:
a. penempatan, pemendaman, dan penandaan;
b. pemendaman kabel bawah laut pada alur pelayaran mengikuti
peraturan perundangan yang berlaku;
c. kegiatan pemasangan kabel bawal laut dengan jarak 50 m (lima puluh
meter);
d. tidak menimbulkan kerusakan terhadap bangunan atau instalasi
Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dan fasilitas Telekomunikasi-
Pelayaran;
e. memperhatikan ruang bebas dalam pembangunan jembatan;
f. memperhatikan koridor pemasangan kabel laut dan pipa bawah laut
g. pemutusan/kerusakan oleh pemilik kabel/pipa bawah laut terhadap
kabel/pipa bawah laut lainnya;
h. pemutusan/kerusakan pada kabel/pipa laut lain, harus menanggung
biaya perbaikannya; dan
i. ganti rugi untuk mencegah kerusakan pada kabel atau pipa bawah
laut.
(8) Peta ketentuan khusus sempadan tercantum dalam Lampiran XXIV, yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Pasal 104

109
(1) Ketentuan khusus kawasan karst sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95
ayat (2) huruf i, merupakan pengaturan pada kawasan yang overlay
dengan kawasan bentang alam karst yang ditandai sumber air yang
mengalir sebagai sungai bawah tanah dan adanya goa bawah tanah;
(2) Kawasan bentang alam karst sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
meliputi :
a. kawasan Semenanjung Bukit di Kabupayten Badung; dan
b. Kawasan Nusa Penida di Kabupaten Klungkung.
(3) Ketentuan khusus untuk kawasan karst, sebagai berikut :
a. mengendalikan kegiatan penambangan kawasan batu gamping dan
bentang alam karst;
b. pelarangan kegiatan penambangan pada kawasan yang memiliki
potensi bentang alam goa bawah tanah untuk dapat melestarikan
jejak atau sisa kehidupan di masa lalu atau fosil,
c. pelarangan kegiatan penambangan pada kawasan yang memiliki
formasi geologi sungai bawah tanah; dan
d. penggalian hanya untuk penelitian geologi maupun arkeologi.
e. inventarisasi, penyelidikan, pemanfaatan, dan perlindungan
sumberdaya pada kawasan karst
f. pengembangan zonasi kawasan karst meliputi kawasan karst kelas I,
kelas II dan kelas III
g. Kawasan karst kelas I memiliki kriteria :
1) penyimpan air secara tetap dalam bentuk akuifer, sungai bawah
tanah, telaga, atau danau bawah tanah;
2) memiliki gua-gua dan sungai-sungai bawah tanah yang aktif yang
membentuk jaringan baik secara horisontal ataupun vertikal;
3) memiliki gua-gua dengan speleothem (ornamen- ornamen gua)
yang aktif atau peninggalan sejarah sehingga berpotensi
dikembangkan sebagai objek wisata; atau
4) memiliki flora dan fauna khas yang memenuhi arti dan fungsi
sosial, ekonomi, budaya serta pengembangan ilmu pengetahuan.
h. Kawasan karst kelas II, tidak memiliki kriteria Kawasan karst I
namun memiliki kriteria atau berfungsi :
1) pengimbuh air bawah tanah berupa daerah tangkapan air hujan
yang mempengaruhi naik turunnya permukaan air bawah tanah
kawasan karst sehingga secara umum masih mendukung fungsi
hidrologi kawasan karst; atau
2) sebagai jaringan lorong-lorong bawah tanh hasil bentukan sungai
dan gua yang sudah kering, serta menjadi tempat tinggal yang
tetap fauna yang semuanya dapat memberi nilai dan manfaat
ekonomi.
i. Kawasan karst kelas III merupakan kawasan yang tidak memiliki
kriteria kawasan karst kelas I dan II.

Pasal 105
(1) Alur migrasi biota laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2)
huruf j, merupakan suatu area yang dimanfaatkan untuk migrasi atau
berpindahnya jenis dan spesies satwa tertentu secara berkelanjutan.
(2) Alur migrasi biota laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Alur migrasi penyu meliputi:
1. alur migrasi penyu dari selatan Pulau Jawa menuju pantai Kuta
Kabupaten Badung melewati Selat Bali
2. alur migrasi penyu dari selatan Pulau Jawa menuju Australia
melalui Selat Bali dan Samudera Hindia

110
3. alur migrasi penyu dari selatan Pulau Jawa menuju Laut Flores
melalui Selat Bali, Samudera Hindia, dan Selat Lombok dan
4. alur migrasi penyu dari selatan Pulau Jawa menuju Kepulauan
Sumenep Provinsi Jawa Timur melalui Selat Bali, Samudera
Hindia, Selat Lombok, dan Laut Bali
b. alur migrasi mamalia laut meliputi:
1. alur migrasi mamalia laut (paus) dari Laut Flores menuju perairan
selatan Pulau Bali (Samudera Hindia) melalui Selat Lombok; dan
2. alur migrasi mamalia laut (lumba-lumba) di perairan sekitar
Lovina Kabupaten Buleleng
(3) Ketentuan khusus untuk alur migrasi biota laut sebagai berikut:
a. alur migrasi biota laut diperuntukan bagi keberlangsungan biota yang
dilindungi dan terancam punah, dan/atau biota yang memiliki nilai
ekonomis tinggi;
b. kegiatan yang bersinggungan atau berdekatan dengan alur migrasi
biota laut mengutamakan kehidupan dan kelestarian biota tersebut;
c. pada alur migrasi biota laut tidak diperbolehkan adanya kegiatan
yang menghambat, mengganggu, mengalihfungsikan, dan/atau
memindahkan alur migrasi biota laut.
(3) Peta ketentuan khusus alur migrasi biota laut tercantum dalam Lampiran
XXV, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah
ini.

Pasal 106
(1) Ketentuan khusus ketinggian bangunan sebagaimana dimaksud dalap
Pasal 95 ayat (2) huruf k, merupakan ketentuan untuk menjaga
harmonisasi ruang udara wilayah, keselamatan dan keamanan
penerbangan, menjaga kesakralan tempat suci, menjaga kenyamanan
Masyarakat, serta menjaga daya saing keunikan lansekap alam Bali,
mencakup:
(2) Arahan ketinggian bangunan secara umum di wlayah provinsi dibatasi
maksimum 15 m (lima belas meter) diatas permukaan tanah tempat
bangunan didirikan;
(3) Dalam rangka memberikan kelonggaran pengembangan kreativitas
bentuk atap arsitektur tradisional Bali dan modifikasinya, ketinggian
bangunan dihitung dari permukaan tanah sampai dengan perpotongan
bidang tegak struktur bangunan dan bidang miring atap bangunan;
(4) Bangunan-bangunan yang ketinggiannya dapat melebihi 15 m (lima belas
meter) berupa:
a. bangunan terkait navigasi bandar udara dan penerbangan;
b. bangunan terkait peribadatan;
c. bangunan terkait pertahanan kemananan;
d. bangunan Mitigasi bencana dan penyelamatan;
e. bangunan khusus terkait pertelekomunikasian;
f. bangunan khusus pemantau bencana alam;
g. bangunan khusus menara pemantau operasional dan keselamatan
pelayaran; dan
h. bangunan khusus pembangkit dan transmisi tenaga listrik;
i. bangunan rumah sakit untuk mengakomodasi penyediaan ruang
untuk jaringan infrastruktur terkait rumah sakit dengan ketentuan
jumlah lantai setinggi- tingginya 5 (lima) lantai.
j. bangunan khusus lainnya pada Kawasan khusus yang ditetapkan
lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur

111
(5) Bangunan khusus yang ketinggiannya boleh melebihi 15 m (lima belas)
meter diprioritaskan pengembangannya di luar kawasan lindung, di luar
Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B), di luar Kawasan
Permukiman, kecuali untuk jaringan infrastruktur sesuai ketentuan.

Pasal 107
(1) Ketentuan khusus ruang dalam bumi sebagaimana dimaksud dalap Pasal
95 ayat (2) huruf l, merupakan pemanfaatan ruang dalam bumi dalam
yang berada pada kedalaman lebih dari 30 m (tiga puluh meter) di bawah
permukaan tanah yang digunakan untuk berbagai kegiatan manusia
terutama
(2) Pemanfaatan Ruang di dalam bumi diperuntukan untuk mengakomodir
kebutuhan Ruang terkait kegiatan di atasnya dan pengembangan
jaringan prasarana, terdiri atas:
a. pemanfaatan ruang dalam bumi dangkal yang berada pada kedalaman
0 (nol) sampai dengan 30 m (tiga puluh meter) di bawah permukaan
tanah; dan
b. pemanfaatan ruang dalam bumi dalam yang berada pada kedalaman
lebih dari 30 m (tiga puluh meter) di bawah permukaan tanah
(3) Pengaturan Ruang Dalam Bumi diarahkan untuk:
a. Kegiatan yang diperbolehkan pada ruang bawah tanah dangkal yaitu
akses stasiun MRT, sistem jaringan prasarana jalan, sistem jaringan
utilitas, kawasan perkantoran, fasilitas parkir, perdagangan dan jasa,
pendukung kegiatan gedung di atasnya dan pondasi bangunan
gedung di atasnya.
b. Kegiatan yang diperbolehkan pada ruang bawah tanah dalam yaitu
sistem angkutan massal berbasis rel (MRT), sistem jaringan prasarana
jalan, sistem jaringan utilitas dan pondasi bangunan gedung di
atasnya.
c. Pelaksanaan pemanfaatan ruang dalam bumi sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf b mengacu kepada peraturan perundang-
undangan.
d. Pemanfaatan ruang bawah bumi diatur lebih lanjut dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan Rencana Detail Tata Ruang
Kabupaten/Kota.

Pasal 108
(1) Ketentuan khusus Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan (DLKp)
sebagaimana dimaksud dalap Pasal 95 ayat (2) huruf m, merupakan
perairan disekeliling daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan yang
dipergunakan untuk menjamin keselamatan pelayaran.
(2) Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan digunakan untuk:
a. alur-pelayaran dari dan ke pelabuhan;
b. keperluan keadaan darurat;
c. penempatan kapal mati;
d. percobaan berlayar;
e. kegiatan pemanduan kapal;
f. fasilitas perbaikan, pembangunan, dan pemeliharaan kapal; dan
g. pengembangan pelabuhan jangka panjang.
(3) Alur pelayaran dari dan ke pelabuhan yang overlay dengan fungsi
peruntukan lain, ……….
(4) DLkp pada Pelabuhan yang berada pada Kawasan Konservasi
memperhatikan :

112
a. …..
b. ……
(5) Dalam hal pelabuhan yang bersangkutan belum mempunyai Rencana
Induk Pelabuhan, maka penetapan luas perairan sebagai DLKp
Pelabuhan didasarkan pada RZWP3K

Pasal 109
(1) Ketentuan khusus Bagan Pemisah Alur (TSS/Traffic Separation Scheme)
Selat Lombok sebagaimana dimaksud dalap Pasal 95 ayat (2) huruf n,
merupakan sebuah sistem manajemen lalu lintas maritim yang diatur
oleh International Maritime Organization (IMO) yang memuat lajur lalu
lintas yang harus digunakan oleh tiap kapal yang melintasi Seat Lombok.
(2) Semua kapal yang melintas harus dapat bernavigasi dengan aman, kapal
yang datang dari laut Bali ke Samudra Hindia dan sebaliknya wajib untuk
menggunakan bagan bagan pemisah lalu lintas (traffic separation scheme)
di Selat Lombok;
(3) Kapal yang sedang menggunakan bagan pemisah lalu lintas (traffic
separation scheme) harus berlayar di dalam jalur lalu-lintas yang sesuai
dengan arah lalu- lintas umum untuk jalur itu;
(4) Sedapat mungkin, kapal harus menghindarkan dirinya berlabuh jangkar
di dalam bagan pemisah lalu lintas (traffic separation scheme) atau di
daerah dekat ujung-ujungnya;
(5) Kapal yang sedang menangkap ikan tidak boleh merintangi jalan setiap
kapal lain yang sedang mengikuti jalur lalu lintas;
(6) Zona-zona lalu lintas dekat pantai tidak boleh digunakan oleh lalu- lintas
umum kecuali bagi kapal-kapal yang panjangnya kurang dari 20 m (dua
puluh meter) dan kapal-kapal layar dalam segala keadaan;
(7) Sangat padatnya lalu lintas kapal cepat yang menyeberangi Selat Lombok,
sangat disarankan bagi nakhoda kapal untuk :
a. berlayar dengan kecepatan aman;
b. mempersiapkan mesin induk untuk siap ber olah gerak setiap saat di
bagan pemisah lalu lintas (traffic separation scheme); dan
c. kapal direkomendasikan untuk tidak mendahului kapal lain apabila
lalu lintas dan kondisi navigasi tidak mempunyai ruang dan jarak
aman yang cukup.

Bagian Ketiga
Penilaian Pelaksanaan Pemanfaatan Ruang

Pasal 110
(1) Penilaian pelaksanaan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 70 huruf b, terdiri atas :
a. penilaian pelaksanaan KKPR; dan
b. penilaian perwujudan RTR.
(2) Penilaian pelaksanaan KKPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, dilaksanakan untuk memastikan :
a. kepatuhan pelaksanaan ketentuan KKPR; dan
b. pemenuhan prosedur perolehan KKPR.

113
(3) Penilaian Perwujudan RTR, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
dilakukan terhadap perwujudan rencana struktur dan rencana pola
ruang dilakukan terhadap:
a. kesesuaian program;
b. kesesuaian lokasi; dan
c. kesesuaian waktu pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ruang.
(4) Tata cara penilaian perwujutan RTR dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 111
(1) Penilaian pelaksanaan KKPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110
ayat (1) huruf a dilaksanakan untuk memastikan:
b. kepatuhan pelaksanaan ketentuan KKPR; dan
c. pemenuhan prosedur perolehan KKPR.
(2) Penilaian kepatuhan pelaksanaan ketentuan KKPR sebagaimana dimaksd
pada ayat (1) huruf a, dilakukan pada periode:
k. selama pembangunan; dan
l. pasca pembangunan.
(3) Penilaian pada periode selama pembangunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dilakukan untuk memastikan kepatuhan
pelaksanaan dalam memenuhi ketentuan KKPR, dilakukan paling lambat
2 (dua) tahun sejak diterbitkannya KKPR.
(4) Penilaian pada periode pasca pembangunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b dilakukan untuk memastikan kepatuhan hasil
pembangunan dengan ketentuan dokumen KKPR.
(5) Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditemukan ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang tertuang dalam
dokumen KKPR, pelaku kegiatan Pemanfaatan Ruang diharuskan
melakukan penyesuaian.
(6) Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
ditemukan ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang tertuang dalam
dokumen KKPR, dilakukan pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(7) Pemenuhan prosedur perolehan KKPR sebagaimana dimaksd pada ayat
(1) huruf b, dilakukan untuk memastikan kepatuhan pelaku
pembangunan/pemohon terhadap tahapan dan persyaratan perolehan
KKPR, dengan ketentuan:
a. apabila KKPR diterbitkan tidak melalui prosedur yang benar, maka
KKPR batal demi hukum.
b. apabila KKPR tidak sesuai akibat perubahan RTR, maka KKPR
dibatalkan dan dapat dimintakan ganti kerugian yang layak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Pasal 112
(1) Penilaian perwujudan RTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat
(1) huruf b dilakukan dengan penilaian rencana Struktur Ruang dan
rencana Pola Ruang
(2) Penilaian perwujudan rencana Struktur Ruang dan rencana Pola Ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan :
a. penilaian tingkat perwujudan rencana Struktur Ruang; dan
b. penilaian tingkat perwujudan rencana Pola Ruang.

114
(3) Penilaian tingkat perwujudan rencana Struktur Ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dilakukan dengan dengan
penyandingan pelaksanaan program pembangunan pusat-pusat
permukiman dan sistem jaringan prasarana terhadap rencana Struktur
Ruang.
(4) Penilaian perwujudan rencana Pola Ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b dilakukan dengan penyandingan pelaksanaan program
pengelolaan lingkungan, pembangunan berdasarkan perizinan berusaha,
dan hak atas tanah terhadap rencana pola ruang.
(5) Hasil penilaian perwujudan rencana tata ruang berupa:
a. muatan rencana struktur ruang/pola ruang terwujud;
b. muatan rencana struktur ruang/pola ruang belum terwujud; dan
c. pelaksanaan program pembangunan tidak sesuai dengan muatan
rencana struktur ruang/pola ruang.
(6) Penilaian Perwujudan rencana Tata Ruang dilakuakan secara periodik
dan terus menerus yaitu 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun dan
dilaksanakan 1 (satu) tahun sebelum Peninjauan Kembali RTR.
(7) Pelaksanaan penilaian perwujudan RTR dapat dilakukan lebih dari 1
(satu) kali dalam 5 (lima) tahun dalam hal terdapat perubahan kebijakan
yang bersifat strategis nasional yang ditetapkan dengan peraturan
perundang- undangan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian pelaksanaan RTR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1 mengacu pada peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat
Arahan Pemberian Insentif dan Disinsentif

Pasal 113
(1) Arahan pemberian Insentif dan Disinsentif, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 70 huruf c, merupakan arahan ketentuan yang diterapkan untuk
mendorong pelaksanaan pemanfaatan ruang sesuai RTR dan untuk
mencegah pemanfaatan ruang yang tidak sesuai RTR.
(2) Arahan ketentuan Insentif dan Disinsentif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berfungsi untuk:
a. meningkatkan upaya pengendalian pemanfaatan ruang dalam rangka
mewujudkan tata ruang sesuai dengan RTR;
b. memfasilitasi kegiatan pemanfaatan ruang agar sejalan dengan RTR;
dan
c. meningkatkan kemitraan semua masyarakat dalam rangka
pemanfaatan ruang yang sejalan dengan RTR;

Pasal 114
(1) Arahan insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 merupakan
perangkat untuk memotivasi, mendorong, memberikan daya tarik,
dan/atau memberikan percepatan terhadap kegiatan pemanfaatan ruang
yang memiliki nilai tambah pada zona yang perlu didorong
pengembangannya
(2) Ketentuan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disusun
berdasarkan:
a. rencana struktur ruang wilayah, rencana pola ruang wilayah,
penetapan kawasan strategis provinsi;
b. indikasi arahan zonasi sistem provinsi; dan

115
c. peraturan perundang-undangan sektor terkait lainnya.
(3) Arahan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :
a. insentif fiskal; dan
b. insentif non fiskal
(4) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3), huruf a dapat
berupa:
f. pemberian keringanan pajak,
g. retribusi dan/atau
h. penerimaan negara bukan pajak
(5) Insentif non fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3), huruf b dapat
berupa:
a. pemberian kompensasi;
b. subsidi;
c. imbalan;
d. sewa ruang;
e. urun saham;
f. fasilitasi persetujuan KKPR;
g. penyediaan prasarana dan sarana;
h. penghargaan; dan/atau
i. publikasi atau promosi.

Pasal 115
(1) Pemerintah Provinsi dapat memberikan insentif kepada :
a. pemerintah provinsi lain, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan
pemerintah kabupaten/kota lainnya; dan
b. Masyarakat
(2) Insentif kepada pemerintah provinsi lain, Pemerintah Kabupaten/Kota,
dan pemerintah kabupaten/kota lainnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dapat berupa:
a. pemberian kompensasi;
b. pemberian penyediaan prasarana dan sarana;
c. penghargaan; dan/atau
d. publikasi atau promosi daerah.
(3) Insentif kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dapat berupa:
a. pemberian keringanan pajak dan/atau retribusi;
b. subsidi;
c. pemberian kompensasi;
d. imbalan;
e. sewa ruang;
f. urun saham;
g. fasilitasi persetujuan KKPR
h. penyediaan prasarana dan sarana;
i. penghargaan; dan/atau
j. publikasi/promosi.

Pasal 116
(1) Untuk mewujudkan Kawasan Lindung, Pemerintah Provinsi dapat
memberikan bantuan keuangan dan/atau jasa lingkungan kepada
Pemerintah Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan proporsi luas

116
Kawasan Lindung dan apresiasi terhadap upaya perwujudan program
pencapaian luas Kawasan Lindung di wilayahnya.
(2) Dalam rangka pengelolaan Kawasan Lindung berbasis DAS dan
pemanfaatan sumber daya air, Pemerintah Provinsi memfasilitasi
pengaturan Insentif dan pembagian peran dalam pembiayaan antar
kabupaten/kota yang secara geografis terletak di daerah hulu dan hilir
DAS, yang ditetapkan melalui pola kerja sama antar daerah.

Pasal 117
(1) Untuk mewujudkan KP2B, pelestarian lansekap dan transformasi
ekonomi Bali, Pemerintah Provinsi dapat memberikan Insentif kepada
masyarakat petani dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
(2) Pemberian Insentif kepada petani sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dalam bentuk:
a. keringanan retribusi Daerah;
b. kompensasi biaya sosial petani;
c. pengembangan infrastruktur pertanian;
d. pembiayaan penelitian serta pengembangan benih dan varietas
unggul;
e. kemudahan dalam mengakses informasi dan teknologi;
f. fasilitasi dalam pemasaran;
g. penyediaan sarana dan prasarana produksi pertanian;
h. penghargaan bagi petani berprestasi;
i. penyediaan sarana dan prasarana pengolahan hasil pertanian dan
peningkatan nilai tambah;
j. pemberian beasiswa pertanian; dan
k. pemberian program pelatihan dan magang.
(3) Pemberian Insentif kepada masyarakat dan/atau Pemerintah
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam
bentuk:
a. penambahan luas lahan;
b. penghargaan;
c. penyediaan sarana prasarana; dan
d. bantuan keuangan untuk sektor pertanian.

Pasal 118
(1) Disinsentif merupakan perangkat untuk mencegah dan/atau memberikan
batasan terhadap kegiatan Pemanfaatan Ruang yang sejalan dengan RTR
dalam hal berpotensi melampaui daya dukung dan daya tampung
lingkungan.
(2) Ketentuan disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
berdasarkan:
c. rencana struktur ruang wilayah, rencana pola ruang wilayah,
penetapan kawasan strategis provinsi;
g. indikasi arahan zonasi sistem provinsi; dan
h. peraturan perundang-undangan sektor terkait lainnya.
(3) Arahan Disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :
a. Disinsentif fiskal; dan
b. Disinsentif non fiskal

Pasal 119

117
(1) Disinsentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (3) huruf a
dapat berupa :
a. pengenaan pajak dan/atau
b. retribusi yang tinggi.
(2) Disinsentif nonfiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (3)
huruf b dapat berupa:
a. kewajiban memberi kompensasi atau imbalan;
b. pembatasan penyediaan prasarana dan sarana; dan/atau
b. pemberian status tertentu.
(3) Pemberian Disinsentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Disinsentif nonfiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 120
(1) Disinsentif dapat diberikan oleh Pemerintah Provinsi kepada:
a. Pemerintah provinsi lain, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan
pemerintah kabupaten/kota lainnya; dan
b. Masyarakat.
(2) Disinsentif kepada provinsi lain, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan
pemerintah kabupaten/kota lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dapat berupa pembatasan penyediaan prasarana dan sarana.
(3) Disinsentif kepada Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, dapat berupa:
a. pengenaan pajak dan/atau retribusi yang tinggi;
b. kewajiban memberi kompensasi atau imbalan; dan/atau
c. pembatasan penyediaan prasarana dan sarana.

Bagian Kelima
Arahan Sanksi

Pasal 121
(1) Arahan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf d, berupa
sanksi administratif bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran
ketentuan kewajiban pemanfaatan ruang sesuai dengan RTR yang
berlaku yang diberikan kepada pelanggar pemanfaatan ruang.
(2) Arahan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
perangkat atau upaya pengenaan sanksi yang diberikan kepada pelanggar
pemanfaatan ruang.
(3) Arahan sanksi admistratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berfungsi:
a. untuk mewujudkan tertib tata ruang dan tegaknya peraturan
perundang-undangan bidang penataan ruang; dan
b. sebagai acuan dalam pengenaan sanksi administratif terhadap:
1) pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRW Provinsi;
2) pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan
ruang yang diberikan oleh pejabat yang berwenang;
3) pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan persyaratan izin
yang diberikan oleh pejabat yang berwenang; dan/atau

118
4) pemanfaatan ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan
yang dinyatakan oleh peraturan perundang- undangan sebagai
milik umum.
5) penggunaan dokumen persetujuan KKPRL atau konfirmasi
kesesuaian ruang laut yang tidak sah;
6) tindakan tidak melaporkan pendirian dan/atau penempatan
bangunan dan instalasi di laut kepada menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan;
7) tindakan tidak menyampaikan laporan tertulis pelaksanaan
KKPRL secara berkala tiap 1 (satu) tahun sekali kepada menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan;
8) pelaksanaan persetujuan KKPRL yang tidak sesuai dengan RTR,
Rencana Zonasi Antar Wilayah (RZ KAW), dan/atau (Rencana
Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu) RZ KSNT; dan/atau
9) pelaksanaan persetujuan KKPR Laut yang mengganggu ruang
penghidupan dan akses nelayan kecil, nelayan tradisional, dan
pembudidaya ikan kecil.
(4) Arahan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan berdasarkan :
a. besar atau kecilnya dampak yang ditimbulkan akibat pelanggaran
Pemanfaatan Ruang;
b. nilai manfaat pengenaan sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran
Pemanfaatan Ruang; dan/atau
c. kerugian publik yang ditimbulkan akibat pelanggaran Pemanfaatan
Ruang.
(5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan tertulis
b. penghentian sementara kegiatan
c. penghentian sementara pelayanan umum
d. penutupan lokasi
e. pencabutan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
f. pembatalan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
g. pembongkaran bangunan
h. pemulihan fungsi ruang
i. denda administratif dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama-
sama dengan pengenaan sanksi administratif lainnya
(6) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VIII

PARTISIPASI MASYARAKAT DAN KELEMBAGAAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 122
Partisipasi masyarakat dan kelembagaan terdiri atas:
a. hak dan kewajiban masyarakat;
b. peran masyarakat; dan
c. kelembagaan.

119
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Masyarakat

Pasal 123
Dalam Pemanfatan Ruang, setiap orang wajib :
a. mengetahui dan memperoleh informasi RTR;
b. memperoleh akses terhadap bagian perairan pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
yang sudah diberi persetujuan/ konfirmasi KKPRL dan izin usaha berbasis
resiko;
c. menikmati pertambahan nilai ruang dan manfaat sebagai akibat penataan
ruang;
d. mengajukan usulan Pemanfaatan Ruang;
e. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat
pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan RTR;
f. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan
yang tidak sesuai dengan RTR di wilayahnya;
g. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan
yang tidak sesuai dengan RTR kepada pejabat berwenang;
h. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah
Pemanfaatan Ruang;
i. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau
pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan
RTR menimbulkan kerugian; dan
j. mendapatkan pendampingan dan bantuan hukum terhadap permasaahan
yang dihadapi dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang.

Pasal 124
Dalam Pemanfaatan Ruang, setiap orang wajib:
a. menaati RTR yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan RTR;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan KKPR;
d. memberikan akses terhadap Kawasan yang oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum;
e. menyampaikan laporan terjadinya permasalahan pelaksanaan
Pemanfaatan Ruang; dan
f. menjaga, melindungi, dan memelihara kelestarian Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.

Bagian Ketiga
Bagian Ketiga Partisipasi Masyarakat

Pasal 125
(1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah Daerah
dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha.
(2) Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan, antara lain, melalui partisipasi dalam:
a. penyusunan RTR;
b. pemanfaatan ruang;
c. pengendalian pemanfaatan ruang;
d. pengelolaan resiko bencana; dan
e. rehabilitasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

120
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan bentuk peran masyarakat
dalam penataan ruang mengacu pada peraturan perundangan.

Pasal 126
(1) Pemerintah Daerah Provinsi menyelenggarakan pemberdayaan
masyarakat dalam pelaksanaan Pemanfaatan Ruang.
(2) Pemberdayaan masyarakat sebagaiamana dimaksud pada ayat (1),
meliputi :
a. melakukan fasilitasi peningkatan kapasitas, pemberian akses
teknologi dan informasi, permodalan, dan ases ekonomi produktif
lainnya; dan
b. mendorong kemitraan antara masyarakat, dunia usaha, dan
Pemerintah/Pemerintah Daerah Provinsi.

Bagian Keempat
Kelembagaan

Pasal 127
(1) Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang secara partisipatif,
Gubernur dapat membentuk Forum Penataan Ruang.
(2) Anggota Forum Penataan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas instansi vertikal bidang pertanahan, perangkat daerah,
asosiasi profesi, asosiasi akademisi, dan tokoh masyarakat.
(3) Forum Penataan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas
untuk memberikan masukan dan pertimbangan dalam penyelenggaraan
penataan ruang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Forum Penataan Ruang mengacu pada
peraturan perundang-undangan.

BAB IX
PENYELIDIKAN

Pasal 128
(1) Penegakan Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Satpol PP dan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan kewenangannya, berkoordinasi
dengan Satpol PP Kabupaten/Kota dan Kepolisian, berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal terdapat pelanggaran yang dikenakan sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 124, Satpol PP melaporkan tahapan pelaksanaan
penindakan perkara kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil untuk
mendapat penanganan lebih lanjut.
(3) Selain Pejabat Penyidik POLRI yang bertugas menyidik tindak pidana,
penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Daerah ini, dapat dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) di lingkungan Pemerintah Daerah yang pengangkatannya
ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam pelaksanaan tugas penyidikan, Pejabat Penyidik sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) berwenang:

121
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana;
b. menindak pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan
pemeriksaan;
c. menghentikan seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal
diri tersangka;
d. menyita benda dan/atau surat;
e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f. memanggil seseorang untuk dijadikan tersangka atau saksi;
g. mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
h. menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik
umum bahwa tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut
bukan merupakan tindak pidana, dan selanjutnya melalui penyidik
umum memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut Umum,
tersangka dan keluarganya; dan/atau
i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan.

BAB X
KETENTUAN PIDANA

Pasal 129
Setiap orang yang melanggar ketentuan Pemanfaatan Ruang dapat dipidana
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 130
(1) Pada saat Peraturan Daerah ini ditetapkan, semua Pemanfaatan Ruang
yang tidak sesuai dengan RTR harus disesuaikan dengan RTR melalui
kegiatan penyesuaian Pemanfaatan Ruang.
(2) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka:
a. izin Pemanfaatan Ruang dan kesesuaian kegiatan Pemanfaatan Ruang
yang telah dikeluarkan tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya;
b. Pemanfaatan Ruang di Provinsi Bali yang diselenggarakan tanpa izin
Pemanfaatan Ruang atau KKPR dan bertentangan dengan ketentuan
peraturan daerah ini, akan ditertibkan dan disesuaikan dengan
peraturan daerah ini; dan
c. izin pemanfaatan ruang yang telah habis masa berlakunya dan akan
diperpanjang, ditindaklanjuti melalui mekanisme penerbitan KKPR.

BAB XII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 131

122
(1) Jangka waktu RTRWP adalah 20 (dua puluh) tahun.
(2) RTRWP ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam setiap periode 5 (lima)
tahunan.
(3) Peninjauan kembali RTRWP dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam
5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa:
a. bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan;
b. perubahan batas territorial negara yang ditetapkan dengan undang-
undang;
c. perubahan batas daerah yang ditetapkan dengan undang-undang;
dan
d. perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis.

Pasal 132
(1) Sengketa pemanfaatan ruang dapat diselesaikan melalui pengadilan
dan/atau di luar pengadilan.
(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan secara musyawarah mufakat dan/atau
menggunakan jasa pihak ketiga, baik yang memiliki kewenangan dalam
mengambil keputusan maupun yang tidak memiliki kewenangan
mengambil keputusan.
(3) Hasil kesepakatan penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dinyatakan secara tertulis dan bersifat mengikat
para pihak.
(4) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan para pihak sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 133
(1) Tanah timbul merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
(2) Tanah timbul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tanah yang
timbul pada pesisir laut, tepian sungai, tepian danau dan pulau.
(3) Tanah timbul dengan luasan paling luas 100 m2 (seratus meter persegi)
merupakan milik dari pemilik tanah yang berbatasan langsung dengan
tanah timbul dimaksud.
(4) Terhadap tanah timbul yang luasnya lebih dari 100 m2 (seratus meter
persegi) dapat diberikan hak atas tanah dengan ketentuan sesuai
peraturan perundang-undangan.

Pasal 134
(1) Tanah yang berasal dari hasil reklamasi di Wilayah perairan pantai,
pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oleh
Negara.
(2) Tanah reklamasi dapat diberikan hak atas tanah dengan ketentuan
sesuai peraturan perundang-undangan.
(3) Reklamasi hanya dapat dilakukan dalam rangka kepentingan umum.
(4) Pelaksanaan reklamasi wajib menjaga dan memperhatikan:
a. keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat;
b. keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan
pelestarian fungsi lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil; dan

123
c. persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan/
pengurugan material.
d. Gubernur berwenang menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi pada
perairan laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis
pantai ke arah laut bebas dan/atau ke arah perairan kepulauan
dengan ketentuan sesuai peraturan perundang-undangan

Pasal 135
(1) Dalam hal Kawasan Pencadangan Konservasi di Laut yang belum
ditetapkan oleh Menteri pada saat Peraturan Daerah ini ditetapkan,
Kawasan Konservasi tersebut dan Alokasi Ruangnya disesuaikan dengan
hasil penetapan oleh Menteri.
(2) Dalam hal subzona DLKr dan DLKp yang belum ditetapkan oleh Menteri
yang membidangi urusan pemerintahan di bidang perhubungan laut pada
saat Peraturan Daerah ini ditetapkan, subzona DLKr dan DLKp tersebut
dan Alokasi Ruangnya disesuaikan dengan Alokasi Ruang pada RTRWP
ini ini.
(3) Dalam hal subzona WKOPP yang belum ditetapkan oleh Menteri pada
saat Peraturan Daerah ini ditetapkan, subzona WKOPP tersebut dan
Alokasi Ruangnya disesuaikan dengan Alokasi Ruang pada RTRWP ini ini.
(4) Dalam hal penetapan KSN oleh Menteri yang membidangi urusan
pemerintahan di bidang penataan Ruang yang belum disepakati pada
saat Peraturan Daerah ini ditetapkan, KSN tersebut dan Alokasi
Ruangnya disesuaikan dengan hasil penetapan KSN oleh Menteri yang
membidangi penataan Ruang.
(5) Dalam hal alur pelayaran regional dan alur pelayaran lokal yang belum
ditetapkan pada RTRWP ini akan ditetapkan oleh pejabat yang
membidangi urusan pemerintahan di bidang perhubungan laut.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 136
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan
yang berkaitan dengan penataan ruang daerah, dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.

Pasal 137
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
a. Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Bali (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2009 Nomor
16, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 15) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2020 tentang
Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 (Lembaran Daerah
Provinsi Bali Tahun 2020 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi
Bali Nomor 3);
b. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2015 tentang Indikasi Arahan Peraturan
Zonasi Sistem Provinsi (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2015 Nomor
8, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 6)

124
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 138
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Bali.

Ditetapkan di Bali
pada tanggal ……..Juni 2022

GUBERNUR BALI,

WAYAN KOSTER

Diundangkan di Bali
pada tanggal ……Juni 2022

SEKRETARIS DAERAH PROVINSI BALI,

DEWA MADE INDRA

LEMBARAN PROVINSI BALI TAHUN 2022 NOMOR …

125

Anda mungkin juga menyukai