Anda di halaman 1dari 102

ht

tp
s:
//w
w
w
.b
ps
.g
o.
id
ht
tp
s:
//w
w
w
.b
ps.
go
.id
ht
tp
s:
//w
w
w
.b
ps.
go
.id
. id
go
p s.
.b
w
w
//w
s:
tp
ht

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Fertilitas Remaja, Kematian Maternal, Kematian Bayi, dan Penyandang Disabilitas
ISBN: 978-602-438-522-4
Katalog: 2102050
No. Publikasi: 07300.2313
Ukuran Buku: 17,6 cm x 25 cm
Jumlah Halaman: viii+90 halaman
Naskah: Direktorat Analisis dan Pengembangan Statistik
Penyunting: Direktorat Analisis dan Pengembangan Statistik
Gambar Kulit: Direktorat Diseminasi Statistik
Sumber Ilustrasi: www.freepik.com dan www.shutterstock.com
Diterbitkan oleh: ©Badan Pusat Statistik

Dilarang mengumumkan, mendistribusikan, mengomunikasikan, dan/atau menggandakan sebagian atau seluruh isi
buku ini untuk tujuan komersial tanpa izin tertulis dari Badan Pusat Statistik
Tim Penyusun
Pengarah:
Moh Edy Mahmud

Penanggung Jawab:
Muchammad Romzi

Editor:
Wisnu Winardi

Kontributor:

id
Penulis:

.
go
Ema Tusianti
Fenny Afifatul Awwaliyah
s.
Dede Yoga Paramartha
p
Diah Ikawati
.b

Uray Naviandi
Sri Wahyuni
w

Dendi Handiyatmo
w

Dwi Trisnani
//w

Apriliani Nurida Dwi Aswarawati


Wida Siddhikara Perwitasari
s:

Putu Rima Ayu Padini


Karuniawati Dewi Ramadani
tp

Yeni Rachmawati
ht

Putricia Synthesa

Pengolah Data:
Ema Tusianti
Fenny Afifatul Awwaliyah
Dede Yoga Paramartha
Dimas Hari Santoso
Dewi Krismawati
Ranu Yulianto
Satria Bagus Panuntun

Pemeriksa Aksara:
Putri Larasaty

Desain Kover dan Templat:


Oki Heryanto
Riza Ghaniswati

Penata Letak:
Dede Yoga Paramartha
Bayu Dwi Kurniawan
ht
tp
s:
//w
w
w
.b
ps.
go
.id
Kata
Pengantar

A
nalisis Tematik Kependudukan Indonesia merupakan publikasi
yang menyajikan analisis hasil pendataan Long Form Sensus
Penduduk 2020 yang dilengkapi dengan data pendukung dan
hasil kajian ilmiah terkini.
Terdapat 3 (tiga) seri buku dalam Analisis Tematik Kependudukan
Indonesia. Buku I membahas fertilitas, mortalitas, dan disabilitas,
Buku II membahas migrasi dan ketenagakerjaan, Buku III membahas
keterkaitan pembangunan manusia dan pembangunan wilayah.

id
Dalam Buku I ini diuraikan 4 (empat) tema analisis, yaitu fertilitas

.
remaja; kematian maternal; kematian bayi; dan penyandang disabilitas.

go
Analisis keempat tema tersebut diharapkan dapat memberikan
informasi yang menjelaskan atau melengkapi pembahasan Tujuan
s.
Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals
p
(SDGs) yang terkait dengan tujuan menurunkan tingkat fertilitas
.b

remaja, kematian maternal, dan kematian bayi, serta meningkatkan


w

inklusivitas pembangunan bagi penyandang disabilitas.


w

Ketersediaan publikasi ini diharapkan dapat memberikan informasi


//w

yang bermanfaat bagi para pengguna data, utamanya dalam


s:

mendukung perumusan kebijakan bidang sosial demografi dan


pembangunan manusia, serta pengembangan ilmu pengetahuan.
tp

Apresiasi dan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang
ht

telah berkontribusi dalam penyusunan publikasi ini. Semoga Allah


SWT, Tuhan Yang Maha Esa meridai upaya kita dalam berkontribusi
membangun bangsa melalui penyediaan informasi dan analisis data.

Jakarta, September 2023


Plt. Kepala Badan Pusat Statistik

Amalia Adininggar Widyasanti




Analisis Tematik Kependudukan Indonesia v


v
ht
tp
s:
//w
w
w
.b
ps.
go
.id
Daftar Isi
Halaman
Tim Penyusun................................................................................................................................ iii
Kata.................................................................................................................................................. v
Pengantar....................................................................................................................................... v
Daftar Isi.......................................................................................................................................... vii
1. Tingkat Fertilitas Remaja Indonesia Mengalami Penurunan Signifikan.................. 3
A. Penurunan Tingkat Fertilitas Remaja dalam Agenda Pembangunan Global 3
B. Posisi Tingkat Fertilitas Remaja Indonesia di Tingkat Global........................... 4
C. Gambaran Fertilitas Remaja Antarwilayah........................................................... 6
D. Profil Remaja dan Rumah Tangga Remaja yang Pernah Melahirkan .............. 9

id
E. Usia Perkawinan Pertama dan Tingkat Fertilitas Remaja.................................. 14

.
go
F. Pembangunan Infrastruktur, Sarana Prasarana Pendidikan/Keterampilan
dan Ekonomi dan Keterkaitannya dengan Tingkat Fertilitas Remaja.............
s. 15
G. Kesimpulan.................................................................................................................. 19
p
H. Daftar Pustaka............................................................................................................ 20
.b
w

2. Analisis Faktor Risiko Kematian Ibu di Indonesia......................................................... 25


w

A. Gambaran Kematian Ibu di Indonesia................................................................... 25


B. Karakteristik Kematian Ibu di Indonesia............................................................... 28
//w

C. Profil Rumah Tangga dengan Kasus Kematian Ibu.............................................. 29


s:

D. Pembangunan Pelayanan Kesehatan Ibu di Indonesia...................................... 35


tp

E. Kesimpulan.................................................................................................................. 45
F. Daftar Pustaka............................................................................................................ 46
ht

3. Kematian Bayi dan Pembangunan Kesehatan Wilayah.............................................. 51


A. Angka Kematian Bayi Indonesia di antara Negara ASEAN............................... 51
B. Disparitas Angka Kematian Bayi di Indonesia..................................................... 53
C. Pembangunan Kesehatan dan Kematian Bayi .................................................... 54
D. Profil Rumah Tangga dengan Kasus Kematian Bayi .......................................... 56
E. Kondisi Lingkungan dan Kematian Bayi................................................................ 64
F. Kesimpulan.................................................................................................................. 65
G. Daftar Pustaka............................................................................................................ 66
4. Akses Penyandang Disabilitas Terhadap Pendidikan dan Ketenagakerjaan.......... 71
A. Penyandang Disabilitas Adalah Subjek dan Objek Pembangunan.................. 71
B. Tantangan Mewujudkan Pembangunan Inklusif Bagi Penyandang
Disabilitas ................................................................................................................... 71
C. Penyandang Disabilitas di Indonesia Dibandingkan Negara lain.................... 73
D. Karakteristik Penduduk Penyandang Disabilitas di Indonesia......................... 75
E. Capaian Pendidikan Penyandang Disabilitas....................................................... 79

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia vii


F. Peluang Disabilitas dalam Pasar Tenaga Kerja .................................................... 83
G. Kesimpulan ................................................................................................................. 85
H. Daftar Pustaka............................................................................................................ 85
I. Lampiran...................................................................................................................... 87

. id
go
p s.
.b
w
w
//w
s:
tp
ht

viii Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


. id
go
s.

1
p
.b
w
w
//w
s:
tp
ht

Tingkat Fertilitas Remaja


Indonesia Mengalami Penurunan
Signifikan
A. Penurunan Tingkat Fertilitas Remaja dalam Agenda Pembangunan
Global
B. Posisi Tingkat Fertilitas Remaja Indonesia di Tingkat Global
C. Gambaran Fertilitas Remaja Antarwilayah
D. Profil Remaja dan Rumah Tangga Remaja yang Pernah
Melahirkan
E. Usia Perkawinan Pertama dan Tingkat Fertilitas Remaja
F. Pembangunan Infrastruktur, Sarana Prasarana Pendidikan/
Keterampilan dan Ekonomi dan Keterkaitannya dengan Tingkat
Fertilitas Remaja
G. Kesimpulan
. id
go
p s.
.b
w
w
//w
s:
tp

Penurunan tingkat fertilitas


ht

remaja seiring dengan


peningkatan partisipasi
sekolah remaja perempuan
dan penyediaan fasilitas
keterampilan dan fasilitas
ekonomi.
Tingkat Fertilitas Remaja Indonesia Mengalami Penurunan Signifikan

Tingkat Fertilitas Remaja Indonesia


Mengalami Penurunan Signifikan
A. Penurunan Tingkat Fertilitas Remaja dalam Agenda Pembangunan
Global
Hingga saat ini, pembangunan kualitas remaja merupakan isu penting yang menjadi perhatian
pemerintah. Hal ini karena masa remaja merupakan tahapan kunci untuk menentukan
kehidupan ketika dewasa. Perkembangan pada masa remaja memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap kehidupan remaja itu sendiri, keluarga, komunitas, dan lingkungannya.
Remaja adalah penduduk laki-laki atau perempuan yang berusia 10–24 tahun dan
belum menikah (BKKBN, 2017), sedangkan menurut WHO dan UNICEF, remaja adalah
penduduk laki-laki atau perempuan yang berusia 10–19 tahun (UNICEF, 2021). Dalam

id
rentang usia tersebut, terjadi transisi dari masa anak-anak menjadi masa dewasa. Transisi yang
terjadi merupakan perubahan dalam hal pubertas dan kemandirian (Casey, Duhoux, & Cohen,

.
go
2010). Pubertas berkaitan dengan kematangan fungsi reproduksi (Graber & Brooks-Gunn,
1996), sedangkan kemandirian berkaitan dengan ketergantungan (dependency) terhadap
s.
orang tua. Pada fase ini akan terjadi berbagai perubahan dan pertumbuhan yang melibatkan
p
emosi, psikologi, sosial, mental, dan fisik (Schulz dkk., 2009). Pada usia remaja, idealnya
.b

seseorang dalam proses menjalani pendidikan. Dengan kondisi tersebut, remaja dinilai
w

belum siap untuk menikah, terlebih lagi memiliki anak. Oleh sebab itu, fertilitas pada remaja
w

penting untuk diulas karena berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan perkembangan
//w

sosial ekonomi di masa selanjutnya.


Tingkat fertilitas remaja yang tinggi dapat membawa pengaruh negatif pada aspek fisik, sosial,
s:

dan ekonomi. Kondisi tubuh dan organ reproduksi yang belum sempurna menyebabkan
tp

kehamilan dan persalinan pada usia di bawah 20 tahun berpotensi menimbulkan banyak
ht

risiko. Risiko tersebut tidak hanya terjadi pada ibu, baik pada saat kehamilan maupun
persalinan, akan tetapi juga dapat menghambat pertumbuhan janin, kelahiran prematur,
bahkan kematian janin. Sementara dari aspek sosial, remaja yang melahirkan terlalu dini juga
dapat menghambat perkembanganya di masa depan, baik dalam capaian pendidikan maupun
kesempatan dalam dunia kerja (UNDP, 2010). Secara psikologis, perempuan yang menikah
muda belum memiliki pengetahuan yang cukup dalam membesarkan anak, yaitu dalam hal
pengasuhan termasuk pemberian gizi. Hal ini dapat meningkatkan risiko stunting pada anak
yang dilahirkan.
Penurunan tingkat fertilitas remaja termasuk dalam agenda global pembangunan yang
tertuang dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, atau dikenal dengan Sustainable
Development Goals (SDGs). Untuk memantau angka kelahiran pada usia remaja, SDGs
mencantumkan indikator angka fertilitas remaja (ASFR) perempuan umur 10-14 tahun dan
15-19 tahun sebagai indikator evaluasi pembangunan (UN, 2023). Namun pada umumnya,
negara-negara di dunia menggunakan usia 15-19 tahun karena kualitas dan ketersediaan
data (Kisambira & Schmid, 2022).
Dalam analisis ini, rentang umur perempuan yang digunakan untuk indikator ASFR juga 15-
19 tahun. ASFR 15-19 tahun adalah banyaknya kelahiran hidup per 1.000 perempuan umur
15-19 tahun. ASFR 15-19 sangat bermanfaat sebagai indikator untuk memantau besarnya
masalah kelahiran pada remaja (WHO, 2023; UNSTAT, 2023).

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 3


Tingkat Fertilitas Remaja Indonesia Mengalami Penurunan Signifikan

Selanjutnya, analisis ini juga menggambarkan profil remaja usia 15-19 tahun yang pernah
melahirkan hidup untuk memberikan informasi yang lebih detail guna penajaman dalam
identifikasi dan perumusan kebijakan yang lebih spesifik.

B. Posisi Tingkat Fertilitas Remaja Indonesia di Tingkat Global


Berdasarkan data hasil Long Form SP2020, angka kelahiran remaja umur 15-19 tahun
sebesar 26,64 kelahiran per 1.000 perempuan (umur 15-19 tahun). Angka fertilitas remaja
telah mengalami penurunan yang signifikan dalam lima puluh tahun terakhir, dari 155 pada
tahun 1971 menjadi 26,64 pada tahun 2020 (Gambar 1). Namun demikian, untuk dapat
mencapai target angka kelahiran remaja dalam RPJMN 2020-2024 sebesar 18 kelahiran
per 1.000 perempuan berumur 15-19 tahun, masih diperlukan upaya yang sangat keras dan
berkesinambungan.

Gambar 1. Angka Kelahiran per 1.000 Perempuan Umur 15-19 Tahun di Indonesia,
1971-2020

.id
go
155,00

116,00
p s.
71,00
.b

44,00 41,30
w

26,64
w
//w

SP1971 SP1980 SP1990 SP2000 SP2010 SP2020



s:
tp

Sumber: BPS (2023)


ht

Jika dibandingkan dengan negara


ASEAN lainnya (Gambar 2), fertilitas

 Tingkat fertilitas remaja


Indonesia berada di
urutan ketujuh, hanya
remaja Indonesia masih tinggi, terutama
dibandingkan dengan Malaysia dan
Singapura. Berdasarkan hasil penghitungan
UNDP, tingkat fertilitas remaja Indonesia
lebih rendah atau lebih berada di urutan ketujuh, hanya lebih
baik dibandingkan rendah atau lebih baik dibandingkan
dengan Vietnam, Kamboja, Filipina dan
dengan Vietnam, Laos. Hal ini tidak jauh berbeda dengan
Kamboja, Filipina dan data World Bank (2023). Namun apabila
Laos. dilihat perkembangannya selama periode
1960-2020, penurunan angka kelahiran
remaja 15-19 tahun Indonesia paling tinggi
dari negara-negara tersebut (Gambar 3).

4 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Tingkat Fertilitas Remaja Indonesia Mengalami Penurunan Signifikan

Gambar 2. Angka Kelahiran per 1.000 Perempuan Umur 15-19 Tahun (Adolescence Birth
Rate) Negara Anggota ASEAN, 2021

73,20

48,20
45,50

32,70 33,00 33,90 34,60

15,70
9,30 10,00
2,60

. id
go
p s.

.b

Catatan: Hasil penghitungan UNDP berbeda dengan Hasil Long Form SP2020 karena perbedaan sumber
w

data dan teknik estimasi


w

Sumber: Human Development Report (UNDP, 2022)


//w

Gambar 3. Angka Kelahiran per 1.000 Perempuan Umur 15-19 Tahun (Adolescence Birth
Rate) Negara Anggota ASEAN, 1960-2020
s:
tp

160
ht

140

120

100

80

60

40

20

0
1960
1962
1964
1966
1968
1970
1972
1974
1976
1978
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
2010
2012
2014
2016
2018
2020

Indonesia Singapore Malaysia Vietnam


Sri Lanka Brunei Darussalam Thailand Myanmar
Cambodia Lao PDR Philippines


Sumber: UNDP dan (World Bank, 2023)

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 5


Tingkat Fertilitas Remaja Indonesia Mengalami Penurunan Signifikan

C. Gambaran Fertilitas Remaja Antarwilayah


Tingkat fertilitas remaja perkotaan dan perdesaan, antarprovinsi, maupun antarkabupaten/
kota di Indonesia cukup beragam yang menunjukkan ketimpangan antarwilayah. Ketimpangan
fertilitas remaja yang cukup signifikan terjadi antara perempuan yang tinggal di wilayah
perkotaan dan perdesaan.
Hasil Long Form SP2020 menunjukkan Gambar 4. Persentase Perempuan Umur
bahwa persentase penduduk perempuan 15-19 Tahun yang Pernah
usia 15-19 tahun yang pernah melahirkan Melahirkan menurut Daerah
dan tinggal di pedesaan ada sebanyak 3 Tempat Tinggal, 2022
dari 100 perempuan pada usia yang sama.
Angka tersebut dua kali lipat lebih tinggi 2,89
dibandingkan di perkotaan.
Hal ini sejalan dengan hasil berbagai

id
kajian. Hampir di seluruh negara sedang 1,24
berkembang, tingkat fertilitas remaja

.
go
wilayah perdesaan lebih tinggi dibandingkan
wilayah perkotaan (McDevitt et al., 2011). s.
Selanjutnya, penelitian Raharja (2014) Perkotaan Perdesaan
p

menggunakan Survei Demografi dan
.b

Kesehatan Indonesia menyimpulkan bahwa Sumber: BPS, SP2020-Long Form


w

remaja perempuan yang tinggal di perdesaan memiliki persentase pernah melahirkan dan
w

atau sedang hamil saat survei dua kali lebih tinggi (13 persen) dibandingkan dengan mereka
//w

yang tinggal di perkotaan (6 persen).


s:

Gambar 5. Persentase Perempuan Umur 15-19 yang Pernah Melahirkan menurut


tp

Daerah Tempat Tinggal dan Jenjang Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan,


2022
ht

47,64
45,42

33,56
28,44

19,40
14,25

3,81 4,86
0,60 1,85 0,12 0,06

Belum/Tidak Belum Tamat SD SD/Sederajat SMP/Sederajat SMA/Sederajat Perguruan Tinggi


Pernah Sekolah

Perkotaan Perdesaan

Sumber: BPS, SP2020-Long Form

6 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Tingkat Fertilitas Remaja Indonesia Mengalami Penurunan Signifikan

Kejadian fertilitas remaja di perkotaan yang lebih rendah dibandingkan perdesaan berkaitan
dengan karakteristik wilayah dan penduduk. Wilayah perkotaan umumnya memiliki
ketersediaan dan akses fasilitas pendidikan dan kesehatan yang lebih baik, lapangan kerja
yang lebih luas, akses informasi yang lebih mudah dan cepat, serta kemudahan dalam
memperoleh alat kontrasepsi yang aman. Kemudahan tersebut juga didukung dengan
ketersediaan infrastruktur dan sarana transportasi yang lebih baik.
Adanya perbedaan akses terhadap fasilitas tersebut menyebabkan perbedaan kesempatan
dalam pendidikan dan pekerjaan. Kondisi ini mendorong perempuan di perkotaan memilih
untuk melanjutkan pendidikan dan masuk dalam pasar kerja, sehingga cenderung tertunda
dalam memiliki anak (Khan dan Misra, 2008). Gambar 5 menunjukkan bahwa perempuan
umur 19-24 tahun yang pernah melahirkan dengan status pendidikan tidak/belum pernah
bersekolah, belum tamat SD, dan tamat SD/sederajat lebih banyak tinggal di perdesaan,
sementara perempuan dengan pendidikan yang lebih tinggi lebih banyak tinggal di perkotaan.

Gambar 6. Kelahiran per 1.000 Perempuan Umur 15-19 Tahun (Adolescence Birth Rate)
menurut Provinsi di Indonesia, 2020

id
70

.
63,13

go
60

50
p s.
40
.b

Nasional: 26,64
30
w
w

20
7,90
//w

10

0
s:
Banten

Maluku

Gorontalo
Papua Barat

Papua
DKI Jakarta

Kalimantan Timur

Lampung

Sulawesi Utara

Kalimantan Selatan

Kalimantan Tengah
DIi Yogyakarta

Aceh

Riau
Bali

Kalimantan Utara
Sumatera Utara

Sumatera Selatan
Kep. Bangka Belitung

Bengkulu

Kalimantan Barat
Kepulauan Riau

Jawa Barat

Sulawesi Selatan
Jawa Timur
Sumatera Barat

Nusa Tenggara Timur

Maluku Utara
Jawa Tengah

Sulawesi Tenggara

Sulawesi Tengah

Sulawesi Barat

Nusa Tenggara Barat


Jambi
tp
ht

Sumber : BPS (2023)

Tidak hanya perbedaan tingkat pembangunan yang dapat memengaruhi fertilitas remaja
di Indonesia secara tidak langsung. Sebagaimana Freedman (1979) menyatakan bahwa
faktor tidak langsung lainnya yang memengaruhi fertilitas adalah faktor demografi, sosial
dan ekonomi, norma, dan lingkungan. Hal-hal tersebut pulalah yang membedakan tingkat
fertilitas remaja antarwilayah di Indonesia. Kebiasaan menikah muda masih banyak ditemui
di sejumlah daerah di Indonesia. Berbagai kelompok suku juga memiliki budaya yang berbeda
yang berdampak pada perilaku untuk memiliki anak.
Dengan berbagai capaian tingkat pembangunan fisik dan pembangunan manusia di Indonesia,
disertai dengan faktor lainnya, disparitas fertilitas remaja antarprovinsi di Indonesia cukup
tinggi. ASFR 15-19 tahun tertinggi terjadi di Kalimantan Tengah (63,13), lebih dari delapan kali
lipat dibandingkan provinsi dengan capaian terendah, yaitu di DKI Jakarta (7,90). Semantara
itu, ASFR 15-19 tahun di tingkat nasional adalah sebesar 26,64.

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 7


Tingkat Fertilitas Remaja Indonesia Mengalami Penurunan Signifikan

Sebagian besar provinsi memiliki ASFR di atas nilai nasional, yaitu 21 provinsi (61,76 persen),
sedangkan 13 provinsi lainnya di bawah nilai nasional (Gambar 6). Dari 13 provinsi dengan
ASFR di bawah nilai nasional, 6 di antaranya adalah provinsi di Pulau Jawa-Bali, 5 provinsi di
Pulau Sumatera, dan 2 provinsi lainnya di Pulau Kalimantan dan Maluku (Kalimantan Timur
dan Maluku).

Gambar 7. Sebaran ASFR 15-19 Tahun di Kabupaten/Kota di Indonesia, 2020

.id
go
p s.
.b
w
w
//w

Sumber: BPS, SP2020-Long Form

Persebaran fertilitas remaja antar kabupaten/kota juga beragam (Gambar 7). Sebagian besar
s:

kabupaten/kota memiliki ASFR 15-19 tahun dalam rentang 4-29 dan 29-55 kelahiran per
tp

1.000 perempuan. Hal ini menunjukkan


bahwa ASFR sebagian besar kabupaten/kota
ht

di Indonesia cukup baik, mengingat semakin

 Fertilitas
perempuan
cenderung
kecil angka ASFR mengindikasikan capaian
yang lebih baik. Dari 245 kabupaten/kota
yang terdapat pada kategori I (4-29 kelahiran
per 1.000 perempuan berusia 15-19 tahun),
menurun ketika terdapat 203 kabupaten/kota yang memiliki
mencapai tingkat ASFR 15-19 tahun lebih rendah dibandingkan
kesejahteraan yang capaian nasional, sedangkan 42 kabupaten/
kota lainnya masih lebih tinggi dibandingkan
lebih tinggi. nasional yang sebesar 26,64.
Jumlah daerah dengan ASFR kategori III (55-
80 kelahiran per 1.000 perempuan berusia
15-19 tahun) adalah sebanyak 51 kabupaten/kota (9,9 persen), dimana sebagian besar berada
di wilayah Indonesia bagian timur (berwarna biru tua). Sementara itu, jumlah daerah dengan
ASFR kategori IV (80-106 kelahiran per 1.000 perempuan usia 15-19 tahun) adalah sebanyak
4 kabupaten/kota. Kabupaten/kota dalam kategori ini memiliki angka fertilitas remaja yang
sangat tinggi, bahkan ada yang mencapai 4 kali lipat dibandingkan angka nasional, seperti
Kabupaten Asmat (106) dan Kabupaten Barito Selatan (95).

8 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Tingkat Fertilitas Remaja Indonesia Mengalami Penurunan Signifikan

Angka fertilitas remaja di daerah kota secara umum lebih rendah dibandingkan kabupaten.
Sebagian besar angka kelahiran remaja yang rendah terjadi di daerah kota. Dari 15 daerah
yang memiliki angka fertilitas remaja terendah, 14 di antaranya merupakan daerah kota,
sedangkan satu lainnya adalah kabupaten, yaitu Sleman. Selain itu, selisih ASFR 15–19 tahun
antara kabupaten/kota tertinggi dan terendah cukup besar. Tingkat fertilitas remaja terendah
di Kota Padang, yaitu 4 kelahiran per 1.000 perempuan berusia 15-19 tahun, sangat jauh
dibandingkan Kabupaten Asmat yang masih memiliki ASFR 15-19 tahun sebesar 106.

D. Profil Remaja dan Rumah Tangga Remaja yang Pernah Melahirkan


Tingkat fertilitas remaja cenderung semakin rendah seiring dengan meningkatnya
pembangunan manusia. Individu yang menjalani hidup dengan sehat, berpengetahuan, dan
memiliki standar hidup yang layak akan memiliki pilihan yang lebih luas. Mereka tidak masuk
ke jenjang perkawinan dini karena memiliki pilihan lain seperti melanjutkan pendidikan yang
lebih tinggi, mengembangkan diri, bermasyarakat, atau memasuki dunia kerja. Mereka juga
menyadari bahwa sebaiknya memasuki perkawinan pada usia yang lebih matang dan siap,

id
baik dari sisi fisik, mental, pengetahuan, maupun finansial.

.
go
Gambar 8. Hubungan IPM dan ASFR 15-19 Tahun, 2020
s.
p
85
.b
w

80
w
//w

75
s:
IPM Perempuan

70
tp
ht

65

60 Korelasi pearson
(-0,724)
55

50
0 10 20 30 40 50 60 70
ASFR 15-19

Sumber : BPS (2020a) dan BPS (2023)

Tingkat fertilitas remaja juga secara umum akan turun seiring peningkatan kesejahteraan.
Tingkat sosial ekonomi rumah tangga dan tingkat kelahiran memiliki hubungan yang erat. Hal
ini ditunjukkan oleh penelitian Arsyad dan Nurhayati (2016) yang mengungkapkan bahwa
fertilitas perempuan cenderung menurun ketika mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih
tinggi. Secara makro, hal tersebut tercermin dari adanya pola hubungan yang positif antara
tingkat fertilitas remaja dan banyaknya penduduk miskin. Wilayah yang memiliki angka
kelahiran perempuan 15-19 tahun tinggi cenderung merupakan wilayah dengan tingkat
kemiskinan yang tinggi pula (Gambar 9).

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 9


Tingkat Fertilitas Remaja Indonesia Mengalami Penurunan Signifikan

Gambar 9. Hubungan Tingkat Kemiskinan dan ASFR 15-19 Tahun, 2020

30

25
Persentase Penduduk Miskin

20

15

10

0
0 10 20 30 40 50 60 70

id
ASFR 15-19 

.
go
Sumber : BPS (2021b) dan BPS (2023)
s.
Pada tingkat rumah tangga, remaja perempuan yang pernah melahirkan banyak terjadi di
p
rumah tangga yang dikepalai oleh seseorang yang berpendidikan rendah. Hasil Long Form
.b

SP2020 menunjukan bahwa sekitar 3 dari 5 kepala rumah tangga yang memiliki anggota
w

rumah tangga remaja perempuan pernah kawin berpendidikan SD ke bawah atau mencapai
w

60,27 persen (Gambar 10). Bahkan pada daerah perdesaan perbandingannya mencapai
//w

hampir 2 dari 3, yaitu 65,30 persen.


Kemiskinan dan pendidikan kepala rumah tangga adalah faktor yang saling terkait dan
s:

berpengaruh terhadap ASFR 15-19 tahun. Kemiskinan seringkali dialami rumah tangga
tp

yang dipimpin kepala rumah tangga dengan tingkat pendidikan yang rendah. Pada rumah
ht

tangga yang tergolong miskin dan dipimpin kepala rumah tangga dengan pendidikan rendah,
perempuan banyak yang dinikahkan pada usia yang lebih dini karena faktor ekonomi dan
pengetahuan yang rendah.

Gambar 10. Persentase Perempuan Umur 15-19 Tahun yang Pernah Melahirkan Hidup
Menurut Tempat Tinggal dan Pendidikan KRT, 2022

15,41 19,22
26,23
19,28
20,51
22,75

65,30 60,27
51,02

Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan

SD ke bawah SMP SMA ke atas



Sumber: BPS, Long Form SP2020

10 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Tingkat Fertilitas Remaja Indonesia Mengalami Penurunan Signifikan

Hasil Long Form SP2020 juga menunjukan bahwa sebagian besar rumah tangga dengan kepala
rumah tangga (KRT) berpendidikan rendah dan memiliki remaja yang melahirkan muda terdiri
dari dua generasi (Gambar 11). Remaja yang melahirkan muda sebagian besar tinggal dalam
rumah tangga yang dipimpin orang tuanya (37,30 persen), kemudian dalam rumah tangga
yang dipimpin suaminya (31,74 persen), dan dalam rumah tangga yang dipimpin mertuanya
(25,50 persen). Secara total tidak ada perbedaan yang nyata antara wilayah perkotaan dan
perdesaan mengenai hal ini. Namun apabila ditinjau lebih rinci, terlihat bahwa persentase
remaja yang melahirkan muda dan tinggal bersama orang tua di perkotaan (39,70 persen),
lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (36,28 persen). Sebaliknya, persentase remaja yang
melahirkan muda dan tinggal bersama mertua di perkotaan (22,33 persen) lebih rendah
dibandingkan di perdesaan (26,85 persen).

Gambar 11. Persentase Perempuan 15-19 Tahun yang Pernah Melahirkan Hidup dan
Tinggal dalam Rumah Tangga dengan KRT Berpendidikan SD ke Bawah
menurut Tempat Tinggal dan Hubungan dengan KRT, 2022

id
0,31 1,60 0,10 0,16
2,63 2,51

.
go
1,95 1,70
2,46
22,33 26,85 25,50
p s.
.b
w

39,70 37,30
36,28
w
//w
s:
tp

31,65 31,78 31,74


ht

1,44 0,94 1,09


Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan

KRT Istri Anak Menantu Cucu Famili lain Lainnya




Sumber: BPS, Long Form SP2020

Jika dilihat menurut umur KRT, sebagian


besar remaja yang melahirkan muda tinggal
dalam rumah tangga dengan KRT berusia 40
 Sebagian besar
remaja yang
melahirkan muda
tahun ke atas yang sebagian besar diantarnya
adalah orang tua atau mertuanya (Gambar tinggal dalam
12). Kemudian diikuti KRT dengan umur 20- rumah tangga
29 tahun, yang sebagian besar di antaranya dengan KRT
adalah pasangannya. Gambaran kondisi ini
relatif sama antara daerah perkotaan dan berusia 40 tahun ke
perdesaan. atas.

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 11


Gambar 12. Persentase Perempuan Umur 15-19 Tahun yang Pernah Melahirkan Hidup
menurut Tempat Tinggal dan Umur KRT, 2022

52,32 53,33 52,98

9,64 10,60 10,26

32,79 32,09 32,33

. id
5,26 3,97 4,43

go
Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan
KRT <= 19 Tahun KRT 20-29 Tahun
s.
KRT 30-39 Tahun
p
KRT >= 40 Tahun

Sumber: BPS, Long Form SP2020 


.b
w

Apabila dilihat lebih detail lagi, terlihat


w

bahwa sekitar 5 persen KRT berumur 40


tahun ke atas adalah suami dari remaja yang
 Terdapat sekitar 3
//w

melahirkan muda (Gambar 13). Artinya, persen remaja yang


melahirkan muda
s:

terdapat perbedaan rentang umur yang


cukup jauh antara remaja tersebut dengan berstatus sebagai
tp

pasangannya. Hal ini mengindikasikan bahwa


KRT. Padahal,
ht

kematangan umur pasangan menjadi salah


satu pertimbangan remaja yang melahirkan remaja tersebut
muda dalam memilih suami. Kejadian ini lebih masih sangat muda
banyak dijalani remaja yang melahirkan muda
dan tinggal di kota (5,34 persen) dibandingkan
dan memiliki anak
yang tinggal di desa (4,48 persen). balita.
Gambaran lain yang juga terungkap adalah
terdapat sekitar 3 persen remaja yang
melahirkan muda berstatus sebagai KRT. Hal ini menjadi informasi yang perlu didalami
dan ditindaklanjuti dengan kebijakan yang tepat, mengingat remaja tersebut masih sangat
muda dan memiliki anak balita, tapi sudah menjadi tumpuan utamanya bagi keluarganya.
Pada kondisi seperti ini rumah tangga mereka berpotensi menjalani hidup dengan berat, baik
dalam hal ekonomi ataupun pengasuhan anak.
Tingkat Fertilitas Remaja Indonesia Mengalami Penurunan Signifikan

Gambar 13. Persentase Perempuan Umur 15-19 Tahun yang Pernah Melahirkan Hidup
menurut Tempat Tinggal dan Hubungan dengan KRT Berumur 40 Tahun ke
Atas, 2022
0,23 0,10 0,15
2,92 3,14 3,06
1,67
1,71
1,79
32,81
38,97 36,83

56,70
51,59 53,37

. id
go
5,34 4,48 4,77
0,21 0,05 s. 0,11
Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan
p
.b

KRT Istri Anak Menantu Cucu Famili lain Lainnya



w
w

Sumber: BPS, Long Form SP2020


//w

Sementara itu, jika dilihat dari jenis kelamin KRT, sebagian besar remaja perempuan yang
melahirkan muda tinggal dalam rumah tangga dengan KRT laki-laki (Gambar 14). Gambaran
s:

ini seperti kebanyakan kondisi rumah tangga di Indonesia. Akan tetapi apabila dilihat lebih
tp

dalam, terlihat bahwa persentase remaja yang melahirkan muda dan tinggal bersama KRT
ht

perempuan lebih banyak di perkotaan (12,28 persen) dibandingkan di perdesaan (9,54


persen).

Gambar 14. Persentase Perempuan Umur 15-19 Tahun yang Pernah Melahirkan Hidup
menurut Tempat Tinggal dan Jenis Kelamin KRT, 2022

Perkotaan + Perdesaan 10,51


89,49

Perdesaan 9,54
90,46

Perkotaan 12,28
87,72

KRT Perempuan KRT Laki-laki



Sumber: BPS, Long Form SP2020

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 13


Tingkat Fertilitas Remaja Indonesia Mengalami Penurunan Signifikan

E. Usia Perkawinan Pertama dan Tingkat Fertilitas Remaja


Selama tujuh tahun terakhir, persentase perempuan yang kawin pertama pada usia kurang
dari atau sama dengan 16 tahun dan 17-18 tahun cenderung mengalami penurunan (Gambar
15). Hal yang sama juga ditunjukkan oleh proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang
berstatus kawin atau berstatus hidup bersama sebelum umur 18 tahun (Gambar 16).

Gambar 15. Persentase Perempuan yang Pernah Kawin Berumur 10 Tahun ke Atas
menurut Umur Perkawinan Pertama, 2016-2022

21,48 20,96 20,74


20,03 19,86 19,63 19,34

15,87 15,66 15,48


14,18 14,88 14,91 14,15

. id
go
p s.
2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
.b

Umur <= 16 Tahun Umur 17-18 Tahun


w


w

Sumber: BPS (2016a), BPS (2017a), BPS (2018a), BPS (2019a), BPS (2020b), BPS (2021d), BPS (2022b)
//w

Dari sisi regulasi, penurunan tersebut tidak terlepas dari peran pemerintah dalam menetapkan
s:

Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 yang mengatur batasan usia boleh menikah. Dalam
UU tersebut ditentukan bahwa batasan pernikahan bagi perempuan adalah 19 tahun. Secara
tp

perlahan penerapan undang-undang tersebut berdampak terhadap penurunan jumlah remaja


ht

perempuan yang menikah muda (sebelum mencapai 19 tahun).

Gambar 16. Proporsi Perempuan Umur 20-24 Tahun yang Berstatus Kawin atau Hidup
Bersama Sebelum Umur 18 Tahun (Persen), 2015-2021

12,14
11,54
11,11 11,21
10,82
10,35

9,23

2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021



Sumber: BPS (2022c)

14 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Tingkat Fertilitas Remaja Indonesia Mengalami Penurunan Signifikan

Usia kawin pertama adalah usia ketika seseorang memulai atau melangsungkan pernikahan
(perkawinan pertama). Umur pertama menikah dapat diartikan saat dimulainya masa
reproduksi. Usia kawin pertama yang akan memberikan sumbangan terhadap angka kelahiran
remaja dan sekaligus mengandung risiko yang lebih besar karena kondisi yang kurang siap
dari sisi fisik, mental, pengetahuan, dan ekonomi. Dengan demikian, langkah yang diambil
pemerintah dalam merevisi batasan usia diperbolehkan menikah melalui undang-undang
sangat tepat dalam menurunkan fertilitas remaja dan meningkatkan kesehatan reproduksi
di Indonesia.

F. Pembangunan Infrastruktur, Sarana Prasarana Pendidikan/Keterampilan


dan Ekonomi dan Keterkaitannya dengan Tingkat Fertilitas Remaja
Angka kelahiran oleh remaja dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti pengetahuan, perilaku, dan
akses terhadap kontrasepsi. Penggunaan alat kontrasepsi yang masih minim, pengetahuan
yang rendah, serta kurangnya fasilitas pemberdayaan (pendidikan dan pasar tenaga kerja)

id
berkontribusi pada tingkat fertilitas remaja. Perempuan yang tinggal di perdesaan lebih
menghadapi tantangan tersebut.

.
go
Terjadinya kelahiran oleh remaja tidak terlepas dari fenomena pernikahan usia dini. Pernikahan
dini terjadi karena terbatasnya kesempatan meraih pendidikan yang lebih tinggi, akibat
s.
faktor gender yang berkaitan dengan stereotipe, kondisi sosial dan ekonomi keluarga, atau
p
.b

keterbatasan penyediaan fasilitas pendidikan yang memadai. Salah satu contoh stereotipe
yang dimaksud adalah masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan
w

adalah melayani suami. Stereotipe ini berakibat pada capaian pendidikan kaum perempuan
w

yang rendah karena menganggap pendidikan nomor dua.


//w

Ketersediaan fasilitas pendidikan, dan keterampilan merupakan salah satu faktor yang dapat
s:

menahan remaja perempuan untuk menikah atau mempunyai anak. Dengan adanya fasilitas
pendidikan atau keterampilan, maka perempuan muda memiliki kesempatan yang lebih besar
tp

untuk melanjutkan sekolah. Hal ini akan menyebabkan perempuan muda menunda untuk
ht

menikah dan lebih memilih untuk sekolah atau bekerja. Hubungan fertilitas remaja dan
keberadaan fasilitas pendidikan dapat terlihat pada grafik berikut.

Gambar 17. Hubungan Ketersediaan Sarana Pendidikan dan ASFR 15-19 Tahun, 2020

3.5
Jumlah Sarana Pendidikan/Luas Wilayah

2.5

1.5

1
Nilai korelasi (-0,459)
0.5

0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70

ASFR 15-19

Sumber : BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 15


Tingkat Fertilitas Remaja Indonesia Mengalami Penurunan Signifikan

Terdapat korelasi yang negatif antara ketersediaan fasilitas pendidikan dan fertilitas remaja.
Peningkatan ketersediaan fasilitas pendidikan pada setiap wilayah dapat menurunkan
fertilitas remaja dan sebaliknya (Gambar 17). Ketersediaan fasilitas pendidikan pada setiap
wilayah berpengaruh terhadap kesempatan perempuan untuk menempuh pendidikan.
Semakin besar kesempatan perempuan menempuh pendidikan, akan semakin besar pula
kemungkinan untuk menunda perkawinan dan memilih untuk menempuh pendidikan yang
lebih tinggi dan kemudian memiliki kesempatan yang lebih besar untuk masuk ke pasar kerja.

Gambar 18. Persentase Penduduk Perempuan 15-19 Tahun yang Pernah Melahirkan
menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Pernah Ditamatkan dan Wilayah
Tempat Tinggal, 2022

3,31

2,36

. id
1,64

go
1,51 p s. 1,07
0,72
.b
w
w

Perkotaan Perdesaan Perkotaan+Perdesaan


//w

SMA ke atas SMP ke bawah


s:


tp

Sumber: BPS, Long Form SP2020


ht

Berdasarkan hasil Long Form SP2020, angka


perempuan 15-19 tahun yang pernah

 Apabila dibedakan
menurut tempat
tinggal, remaja
melahirkan dan memiliki ijazah SMA ke
atas lebih sedikit dibandingkan remaja yang
memiliki tingkat pendidikan SMP ke bawah.
Apabila dibedakan menurut tempat tinggal,
yang melahirkan remaja yang melahirkan dengan tingkat
dengan tingkat pendidikan SMP ke bawah lebih banyak
pendidikan SMP ke terjadi di perdesaan (Gambar 18). Dari 100
remaja umur 15-19 tahun di perdesaan yang
bawah lebih banyak
menamatkan pendidikan paling tinggi SMP,
terjadi di perdesaan. terdapat 3,31 orang pernah melahirkan,
sedangkan di perkotaan 1,51 orang.
Perempuan yang memiliki pendidikan
yang tinggi cenderung memiliki kematangan dalam bersikap dan memiliki pandangan
hidup yang lebih luas. Pendidikan mampu memberikan pengetahuan tentang manfaat dari
penggunaan alat kontrasepsi sehingga mampu meningkatkan pengendalian kelahiran pada
perempuan, khususnya usia remaja. Dengan demikian, pendidikan merupakan sarana yang
baik untuk menunda perkawinan usia dini, memperlambat laju pertumbuhan penduduk, dan
meningkatkan kualitas pembangunan.

16 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Tingkat Fertilitas Remaja Indonesia Mengalami Penurunan Signifikan

Gambar 19. Angka Partisipasi Sekolah Penduduk 16-18 Tahun, 2016-2022

74,75

73,78
73,41 73,36
73,04
73,09 73,15
72,11 72,00 72,72
72,36
71,99 72,44
71,42 72,1
70,83 71,37 71,63
70,86 70,98

69,62

2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022

Laki-laki Perempuan Laki-laki+Perempuan

id


.
go
Sumber : BPS (2016b), BPS (2017b), BPS (2018b), BPS (2019b), BPS (2020c), BPS (2021e), dan BPS (2022d)

Hal yang hampir sama juga ditunjukkan oleh keselarasan antara penurunan ASFR 15-19 tahun s.
dengan peningkatan tingkat partisipasi sekolah. Angka Partisipasi Sekolah (APS) penduduk
p
usia 16-18 tahun terus mengalami peningkatan yang signifikan, terutama perempuan. APS
.b

perempuan selalu meningkat setiap tahun dan selama sepuluh tahun ini capaiannya melebihi
w

APS laki-laki (Gambar 19).


w
//w

Gambar 20. Hubungan Ketersediaan Sarana Keterampilan dan ASFR 15-19 Tahun
s:

0.3
tp
Sarana Ketrampilan/Luas Wilayah

ht

0.25

0.2

0.15

0.1

Korelasi Pearson
0.05 (-0,45)

0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70

ASFR 15-19

Sumber : BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021

Selain ketersediaan sarana pendidikan, ketersediaan sarana keterampilan juga berperan


dalam penurunan fertilitas remaja. Sebaran data menunjukan bahwa ketersediaan sarana
keterampilan berkorelasi negatif dengan ASFR 15-19 tahun (Gambar 20). Ketersediaan sarana

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 17


Tingkat Fertilitas Remaja Indonesia Mengalami Penurunan Signifikan

keterampilan dapat menimbulkan dan memfasilitasi minat penduduk untuk mengembangkan


diri yang pada tahap selanjutnya dapat memperbesar peluang bagi perempuan untuk
memperoleh pekerjaan, meningkatkan kualitas pekerjaan menjadi lebih baik, atau bahkan
menciptakan lapangan kerja. Sarana keterampilan dapat berupa kursus yang mengajarkan
keterampilan hard skill dan soft skill untuk mempersiapkan pekerjaan dan atau memulai usaha,
seperti bahasa asing, komputer, menjahit/tata busana, kecantikan, montir mobil/motor,
elektronika, stir mobil, tataboga, akuntansi, maupun kursus lainnya (Susenas, 2022).

Gambar 21. Persentase Perempuan 15-19 Tahun yang Pernah Melahirkan menurut
Kegiatan dan Wilayah Tempat Tinggal, 2022

3,23

2,76

id
1,95 2,00

.
go
1,22 1,29 s.
p
.b
w
w
//w

Perkotaan Perdesaan Perkotaan+Perdesaan


s:

Tidak bekerja Bekerja


tp


Sumber: BPS, Long Form SP2020
ht

Berdasarkan hasil Long Form SP2020, persentase perempuan 15-19 tahun yang pernah
melahirkan justru lebih banyak yang bekerja dibandingkan dengan yang tidak bekerja.
Perempuan yang mengalami fertilitas dini kemungkinan akan bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya karena penghasilan rumah tangganya belum cukup untuk memenuhi
kebutuhan. Apabila dilihat menurut daerah tempat tinggal, perempuan yang melahirkan di
usia 15-19 tahun dan aktivitas sehari-harinya bekerja, persentasenya lebih banyak terjadi di
perdesaan dibandingkan di perkotaan. Hal ini dimungkinkan karena kondisi sosial ekonomi
penduduk perdesaan yang terbiasa melibatkan perempuan secara aktif untuk bekerja
membantu KRT atau suaminya menjalankan usaha sebagai pekerja keluarga atau membantu
memenuhi kebutuhan keluarga sebagai tenaga kerja dibayar di usaha milik orang lain.
Selain sarana pendidikan dan keterampilan, ketersediaan sarana perekonomian juga diyakini
turut andil dalam penurunan fertilitas remaja. Ketersediaan dan pengembangan sarana
ekonomi dapat memperlancar proses distribusi dan pemasaran barang dan jasa yang dapat
mendorong peningkatan konsumsi, investasi, dan produksi, sehingga akan berdampak
terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja, termasuk tenaga kerja perempuan.

18 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Tingkat Fertilitas Remaja Indonesia Mengalami Penurunan Signifikan

Gambar 22. Hubungan Ketersediaan Sarana Ekonomi dan ASFR 15-19 Tahun
30

25
Sarana Ekonomi/ Luas Wilayahi

20

15

10

Korelasi pearson
5 (-0,469)

id
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65

.
go
ASFR 15-19
Sumber : BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021 s. 
p
.b

Sarana ekonomi dapat berupa kelompok pertokoan, pasar, minimarket/swalayan/


w

supermarket, restoran/rumah makan, warung/kedai makan, hotel penginapan, dan toko/


warung kelontong (BPS, 2021b). Sarana ekonomi tersebut banyak digunakan perempuan
w

untuk mencari nafkah, sehingga menjadi salah satu pendorong perempuan untuk menunda
//w

menikah pada usia dini, memiliki anak, atau memiliki anak yang banyak. Wilayah yang banyak
s:

memiliki sarana ekonomi umumnya memiliki fertilitas remaja rendah dan sebaliknya (Gambar
22). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Raharja (2014), perempuan yang memiliki
tp

risiko tertinggi untuk mengalami fertilitas pada usia remaja adalah berpendidikan relatif
ht

rendah, berasal dari keluarga dengan status ekonomi terbawah dan tidak bekerja.

G. Kesimpulan
Tingkat fertilitas remaja di Indonesia secara umum semakin turun, tapi masih disertai dengan
disparitas antarwilayah. Fertilitas remaja di perdesaan lebih tinggi dibandingan perkotaan.
Hal ini berkaitan dengan ketersediaan fasilitas pendidikan, keterampilan, dan sarana ekonomi
di perkotaan yang lebih baik dibandingkan perdesaan. Penurunan tingkat fertilitas remaja
seiring dengan peningkatan partisipasi sekolah remaja perempuan dan penyediaan fasilitas
keterampilan dan fasilitas ekonomi.
Apabila perempuan muda diarahkan untuk melanjutkan sekolah maka mereka dapat
menguasai pengetahuan lebih baik, cenderung menunda menikah, dan memiliki peluang
yang lebih besar untuk bekerja. Dengan kondisi tersebut, fertilitas remaja akan turun secara
bertahap sesuai dengan target SDGs dan agenda pembangunan nasional. Hal ini juga akan
berdampak pada kondisi lainnya seperti peningkatan kualitas hidup perempuan, penurunan
kemiskinan, dan peningkatan kesehatan anak dan keluarga.

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 19


Tingkat Fertilitas Remaja Indonesia Mengalami Penurunan Signifikan

H. Daftar Pustaka
BKKBN. 2017. Profil Remaja Indonesia. Jakarta: BKKBN.
BPS. 2012. Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 2010. Jakarta: BPS.
BPS. 2016a. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2016. Jakarta: BPS.
BPS. 2016b. Potret Pendidikan Indonesia Statistik Pendidikan 2016. Jakarta: BPS.
BPS. 2017a. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2017. Jakarta: BPS.
BPS. 2017b. Potret Pendidikan Indonesia Statistik Pendidikan 2017. Jakarta: BPS.
BPS. 2018a. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2018. Jakarta: BPS.
BPS. 2018b. Statistik Pendidikan 2018. Jakarta: BPS.
BPS. 2019a. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2019. Jakarta: BPS.
BPS. 2019b. Potret Pendidikan Statistik Pendidikan Indonesia 2019. Jakarta: BPS.
BPS. 2020a. Publikasi Indeks Pembangunan Manusia IPM. Jakarta: BPS.
BPS. 2020b. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2020. Jakarta: BPS.
BPS. 2020c. Statistik Pendidikan 2020. Jakarta: BPS.
BPS. 2021a. Retrieved from bps.go.id:
https://www.bps.go.id/indicator/30/1397/1/angka-kelahiran-pada-perempuan-usia-15-19-

id
tahun-menurut-provinsi.html. diakses pada Rabu, 12 Juli 2023.

.
go
BPS. 2021b. Retrieved from bps.go.id:
https://www.bps.go.id/indicator/23/192/2/persentase-penduduk-miskin-p0-menurut-
s.
provinsi-dan-daerah.html. diakses pada Kamis, 20 Juli 2023
p
BPS. 2021c. Statistik Podes Indonesia 2021. Jakarta: BPS.
.b

BPS. 2021d. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2021. Jakarta: BPS.


w

BPS. 2021e. Statistik Pendidikan 2021. Jakarta: BPS.


w

BPS. 2022a. Retrieved from bps.go.id:


https://www.bps.go.id/statictable/2012/04/20/1610/persentase-penduduk-berumur-15-
//w

tahun-ke-atas-menurut-daerah-tempat-tinggal-jenis-kelamin-dan-jenjang-pendidikan-
s:

tertinggi-yang-ditamatkan-2009-2022.html. diakses pada Rabu, 12 Juli 2023.


BPS. 2022b. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2022. Jakarta: BPS.
tp

BPS. 2022c. Retrieved from bps.go.id:


ht

https://www.bps.go.id/indicator/40/1360/1/proporsi-perempuan-umur-20-24-tahun-
yang-berstatus-kawin-atau-berstatus-hidup-bersama-sebelum-umur-18-tahun-
menurut-provinsi.html
diakses pada Rabu, 12 Juli 2023.
BPS. 2022d. Statistik Pendidikan 2020. Jakarta: BPS.
BPS. 2023. Hasil Long Form Sensus Penduduk 2020 Publikasi. Jakarta: BPS.
Casey, B. J., Duhoux, S., & Malter Cohen, M. 2010. Adolescence: what do transmission,
transition, and translation have to do with it?. Neuron, 675, 749–760.
Freedman, 1979. Theories of fertility decline: a reappraisal.,” Soc. Forces, vol. 58, no. 1, pp.
1–17, 1979, doi: 10.1093/sf/58.1.1.6
Graber, J. A., & Brooks-Gunn, J. 1996. Expectations for and precursors to leaving home in
young women. New directions for child development, 71, 21–38.
Kisambira, S., & Schmid, K. 2022. Selecting adolescent birth rates 10-14 and 15-19 years for
monitoring and reporting on Sustainable Development Goals. indicator, 3, 2.
Khan S, Mishra V. Youth reproductive and sexual health. DHS Comparative Reports No. 19.
Calverton, Maryland, USA; Macro International Inc; 2008
McDevitt TM, Arjun A, Timothy BF, Bourne VH. Trends in adolescent fertility and
contraceptive use in the developing world. U.S. Bureau of the Census, Report IPC/95–1.
Washington DC[manuscript on internet]. 1996 [cited 2013 Dec 6]. Available from:
http://www.census gov.zuom.info/ipc/prod/ipc95-1.pdf

20 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Tingkat Fertilitas Remaja Indonesia Mengalami Penurunan Signifikan

Purbowati, A. 2019. Fertilitas Remaja Di Indonesia: Hubungan Antara Melahirkan Pada Usia
Remaja Dan Capaian Pendidikan Wanita. Jurnal Kependudukan Indonesia. Vol. 14 No. 2
Desember 2019 : 153-164
Raharja, M. B. 2014. Adolescent Fertility in Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional,
Vol. 9, No. 1, 6-13.
Schulz, K. M., Molenda-Figueira, H. A., & Sisk, C. L. 2009. Back to the future: The
organizational-activational hypothesis adapted to puberty and adolescence. Hormones
and behavior, 555, 597–604.
Sinaga, L., Hardiani, & Prihanto, P. H. 2017. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
fertilitas di perdesaan Studi pada Desa Pelayangan Kecamatan Muara Tembesi
Kabupaten Batanghari. Jurnal Paradigma Ekonomika, 41-48.
UN. 2023. Goals 3 Ensure healthy lives and promote well-being for all at all ages. Diperoleh
tanggal 28 Maret 2023, dari https://sdgs.un.org/goals/goal3.
UNICEF. 2021, Mei. PROFIL REMAJA 2021. Diperoleh tanggal 28 Maret 2023, dari https://
www.unicef.org/indonesia/media/9546/file/Profil%20Remaja.pdf
UNDP. 2010. The real wealth of nations: Pathways to human development Human

id
Development Report.New York: UNDP.
UNSTAT. 2023. SDG indicator metadata. Diperoleh tanggal 28 Maret 2023, dari https://

.
go
unstats.un.org/sdgs/metadata/files/Metadata-03-07-02.pdf.
WHO. 2023. Adolescent fertility rate per 1000 girls aged 15-19 years. Diperoleh tanggal 28
s.
Maret 2023, dari https://www.who.int/data/gho/indicator-metadata-registry/imr-
p
details/3.
.b

World Bank. 2023. Adolescent fertility rate births per 1,000 women ages 15-19. Diperoleh
w

tanggal 15 September 2023, dari https://data.worldbank.org/indicator/SP.ADO.


w

TFRT?locations=ID
//w
s:
tp
ht

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 21


Tingkat Fertilitas Remaja Indonesia Mengalami Penurunan Signifikan

.id
go
p s.
.b
w
w
//w
s:
tp
ht

22 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


. id
go
s.

2
p
.b
w
w
//w
s:
tp
ht

Analisis Faktor Risiko


Kematian Ibu di Indonesia
A. Gambaran Kematian Ibu di Indonesia
B. Karakteristik Kematian Ibu di Indonesia
C. Profil Rumah Tangga dengan Kasus Kematian Ibu
D. Pembangunan Pelayanan Kesehatan Ibu di Indonesia
E. Kesimpulan
.id
go
ps.
.b
w
w
//w
s:

Kematian ibu di Indonesia


tp

banyak terjadi pada


ht

rumah tangga dengan


kepala rumah tangga
berpendidikan rendah,
berusia muda, perumahan
tidak layak, dan minim
fasilitas kesehatan dan
infrastruktur dasar.
Analisis Faktor Risiko Kematian Ibu di Indonesia

Analisis Faktor Risiko


Kematian Ibu di Indonesia
A. Gambaran Kematian Ibu di Indonesia
Kematian maternal/ibu masih menjadi tantangan dalam pembangunan kesehatan di dunia.
Setiap hari, 800 perempuan di dunia meninggal saat hamil, melahirkan atau pasca melahirkan
pada tahun 2020 dan hal ini terjadi hampir dua menit sekali (WHO, 2023a). Padahal lebih
dari 80 persen kematian ibu dapat dicegah (CDC, 2022; NPR, 2022; PAHO, 2023). Hanya
15 persen kehamilan dan persalinan membutuhkan perawatan kebidanan darurat karena
komplikasi yang sulit diprediksi (UNICEF dalam OCHCR, 2010).
Setiap kematian ibu memberikan dampak jangka panjang kepada orang-orang terdekatnya
(WHO, 2023b), terutama kepada anak dari perempuan yang mengalami kematian ibu tersebut.

id
Dampak tersebut diantaranya malnutrisi, rendahnya capaian pendidikan anak, hingga depresi
(Ronsmans, et al, 2010; National Research Council, & Committee on Population, 2000).

.
go
Kematian ibu juga meningkatkan tugas dan tanggung jawab suami dan keluarga lainnya
s.
untuk pengasuhan bayi yang dilahirkan karena peran vital seorang ibu harus digantikan oleh
orang lain (Miller & Belizán, 2015; Family Care International, ICRW, & KEMRI/CDC Research
p
.b

and Public Health Collaboration, 2014). Pada beberapa kasus, anak pertama dalam keluarga
yang mengalami kematian ibu harus putus sekolah dikarenakan harus mengurus adik-adiknya
w

yang lebih muda. Mereka juga masuk ke dalam angkatan kerja lebih cepat daripada yang
w

seharusnya dengan skill yang masih terbatas (Molla, et al, 2015). Oleh sebab itu, menjadi
//w

tanggung jawab bersama untuk menurunkan kematian ibu dan juga meningkatkan derajat
kesehatan ibu. Bukan hanya di dunia tapi juga di Indonesia, karena pada dasarnya faktor
s:

risiko yang menyertainya bisa dicegah atau diminimalisir.


tp

Ukuran yang umum digunakan untuk


ht

melihat capaian penurunan kematian


ibu adalah Angka Kematian Ibu (AKI)
atau Maternal Mortality Ratio (MMR).
AKI merupakan indikator penting
yang merefleksikan berbagai aspek
 Perkembangan AKI
Indonesia menunjukkan
sebuah capaian yang
kesehatan. Dalam kaitannya dengan
upaya menurunkan kematian ibu, yang luar biasa, dimana AKI
penting diperhatikan bukan hanya turun cukup drastis
terkait penyebab kematian, tetapi juga selama satu dekade
keberhasilan upaya penurunan AKI
dan upaya mempersiapkan tindakan
terakhir
selanjutnya. Maka dari itu, nilai AKI ini
perlu disediakan secara periodik.
Perkembangan AKI Indonesia menunjukkan sebuah capaian yang luar biasa, dimana AKI
turun cukup drastis dari 346 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2010 (hasil SP2010),
turun menjadi 305 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 (hasil SUPAS 2015), dan
kembali turun menjadi 189 per 100.000 kelahiran hidup (hasil Long Form SP2020). Selama
sepuluh tahun terakhir, penurunan AKI Indonesia mencapai 45 persen.

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 25


Analisis Faktor Risiko Kematian Ibu di Indonesia

Gambar 1. Perkembangan Angka Kematian Ibu (AKI) Indonesia, 2010-2020


346
305

189

SP2010 SUPAS 2015 LF SP2020



Sumber: BPS, SP2010, SUPAS 2015, dan Long Form SP2020

id
Target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk AKI tahun 2020

.
adalah 230 per 100.000 kelahiran hidup (Lampiran Perpres No. 18 Tahun 2020). Dilihat dari

go
hasil Long Form SP2020 dengan AKI sebesar 189 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup,
target ini sudah tercapai. Selain itu, target AKI dalam RPJMN tahun 2024, yaitu sebesar 183
s.
kasus kematian per 100.000 kelahiran hidup, juga sangat mungkin dapat tercapai. Sementara
p
itu, untuk mencapai target Sustainable Development Goals (SDGs) masih diperlukan upaya
.b

yang lebih optimal. Target AKI dalam SDGs adalah kurang dari 70 kematian ibu per 100.000
w

kelahiran hidup pada tahun 2030 (WHO, 2023c).


w

Jika dibandingkan dengan negara tetangga, AKI Indonesia masih terbilang tinggi dan masih
//w

setara dengan beberapa negara Afrika. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN, posisi
s:

Indonesia lebih baik dari Kamboja dan Myanmar. Namun jika dipadankan dengan Thailand,
AKI Indonesia mencapai lebih dari 6 kali lipatnya, bahkan jika disandingkan dengan negara
tp

tetangga Malaysia, AKI di Indonesia mencapai lebih dari 8 kali lipatnya.


ht

Gambar 2. Peta Maternal Mortality Ratio (MMR)/AKI di Dunia, 2020

Sumber: UNICEF (2023)

26 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Analisis Faktor Risiko Kematian Ibu di Indonesia

Malaysia, Thailand, dan Singapura, merupakan negara ASEAN yang memiliki tingkat
pelayanan kesehatan yang lebih baik dari Indonesia. Berdasarkan Health Care Index 2021,
Indonesia berada pada peringkat 52 dalam ranking sistem kesehatan global dari 89 negara
yang disurvei. Negara tetangga di ASEAN, seperti Thailand, Singapura, atau Malaysia,
masing-masing menempati urutan ke 13, 24, dan 34. Health Care Index menggambarkan
sistem kualitas kesehatan di masing-masing negara berdasarkan infrastruktur kesehatan,
profesionalitas tenaga kerja, kompetensi, kesiapan pemerintah, ketersediaan obat-obatan,
dan biaya kesehatan per kapita (CEO World Magazine, 2021).

Gambar 3. Maternal Mortality Ratio (MMR)/AKI di Negara ASEAN, 2020

Kamboja 218
Myanmar 179
Indonesia 173
Laos 132

id
Vietnam 124

.
go
Filipina 78
Brunei Darussalam 44 s.
Thailand
p
29
.b

Malaysia 21
w

Singapura 7
w


//w

Sumber: UNICEF (2023)


s:
tp

AKI menggambarkan ketimpangan akses kesehatan dan pendapatan (WHO, 2023a). Oleh
ht

sebab itu, wilayah-wilayah yang memiliki akses kesehatan yang rendah, memiliki AKI yang
cenderung tinggi. Hasil Long Form
SP2020 menunjukkan bahwa provinsi
dengan AKI tertinggi mayoritas berada
di wilayah Timur Indonesia. AKI tertinggi
berada di Provinsi Papua, sebesar 565
kematian ibu per 100.000 kelahiran
 Jika dibandingkan
dengan negara ASEAN,
posisi Indonesia lebih
hidup. baik dari Kamboja dan
Provinsi DKI Jakarta dan DI Yogyakarta Myanmar.
merupakan provinsi dengan AKI
terendah di Indonesia. AKI DKI Jakarta
sebesar 48 kematian ibu per 100.000
kelahiran hidup dan DI Yogyakarta sebesar 58 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup.
Kedua provinsi tersebut sudah mencapai target SDGs.

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 27


Analisis Faktor Risiko Kematian Ibu di Indonesia

Gambar 4. Peta Maternal Mortality Ratio (MMR)/AKI di Indonesia, 2020

Sumber: BPS, Long Form SP2020

. id
B. Karakteristik Kematian Ibu di Indonesia

go
Kejadian kematian ibu dapat terjadi saat kehamilan, persalinan, keguguran/pengguguran, atau
s.
masa nifas (kurang lebih 42 hari setelah melahirkan atau 2 bulan pada Long Form SP2020)
p
setelah masa kehamilan/persalinan/keguguran/pengguguran. Studi Li XF, et al. (1996)
.b

menunjukkan tingkat kematian ibu tertinggi terjadi pada saat melahirkan dan 24 jam masa
w

nifas. Hasil Long Form SP2020 mengonfirmasi hal tersebut. Kasus kematian ibu paling banyak
w

terjadi saat persalinan, yaitu sebanyak hampir 40 persen dari seluruh kejadian kematian ibu.
//w

Kematian ibu juga banyak terjadi pada saat ibu berada pada masa nifas.
Hal ini penting untuk dipahami karena banyak yang menganggap bahwa permasalahan terkait
s:

kehamilan pada ibu selesai pada saat persalinan. Hasil Long Form SP2020 juga menunjukkan
tp

bahwa dari keseluruhan kejadian kematian ibu, sebesar 31,23 persennya terjadi di masa
ht

nifas. Penelitian serupa di Banten tahun 2018 menunjukkan bahwa frekuensi kematian yang
terjadi pada 8-42 hari pasca persalinan hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan satu
dekade sebelumnya (Center for Family Welfare, FKM UI & Jhpiego Indonesia, 2018). Ini berarti
bahwa masa nifas juga merupakan masa yang rentan atau berisiko tinggi terjadinya kematian
ibu.

Gambar 5. Kejadian Kematian Ibu menurut Masa Meninggal Ibu (Persen), 2020

Masa Kehamilan
27.00
31.23
Masa
Keguguran/Pengguguran

Saat Persalinan
2.83

Masa dua bulan setelah


persalinan/
keguguran/pengguguran
38.94

Sumber: BPS, Long Form SP2020

28 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Analisis Faktor Risiko Kematian Ibu di Indonesia

Menurut WHO (2023a), kejadian kematian ibu dapat disebabkan oleh komplikasi yang terjadi
saat hamil, persalinan, atau postpartum. Sebagian besar komplikasi mulai terjadi saat hamil.
Sebagian lainnya sudah muncul sebelum kehamilan dan semakin meningkat saat menjalani
kehamilan. Komplikasi terkait dengan kehamilan tidak dapat diprediksi mengenai pada siapa
dan kapan terjadinya. Pada umumnya, ibu hamil yang berisiko tinggi mengalami komplikasi
disebabkan oleh faktor 4T atau “4 Terlalu”, yaitu terlalu tua, terlalu muda untuk hamil, terlalu
banyak, dan terlalu dekat. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa ibu lainnya
juga dapat mengalami komplikasi.
Kajian sistematik terkait penyebab kematian ibu dalam lingkup global menyebutkan bahwa
sekitar 83 persen kejadian kematian ibu di Asia Tenggara disebabkan oleh direct obstetric
cause, sedangkan 17 persennya terjadi karena indirect cause, seperti kondisi kesehatan yang
dimiliki ibu sebelumnya (Cameron L, et al., 2019). Pada umumnya kematian ibu melahirkan
disebabkan oleh perdarahan, hipertensi, dan infeksi (Pusdatin Kemenkes, 2014).
Risiko kematian ibu semakin meningkat apabila terjadi keterlambatan penanganan akibat
akses fasilitas kesehatan yang jauh, ketiadaan penanganan oleh penolong persalinan atau

id
tenaga kesehatan yang terlatih, dan kurangnya persediaan alat yang memadai. Oleh karena
itu, mengingat masa nifas juga menjadi masa rentan terjadinya kematian ibu dan adanya

.
go
komplikasi kehamilan yang tidak dapat diprediksi, intervensi pengurangan kematian ibu
yang efektif dapat ditempuh dengan berbagai cara. Hal tersebut diantaranya adalah dengan
s.
memastikan pelayanan kedaruratan saat hamil, persalinan, dan setelahnya, mudah diakses,
p
baik itu berupa kedekatan jarak ke fasilitas kesehatan maupun ketersediaan tenaga kesehatan
.b

serta sarana prasarana yang berkualitas.


w

Ketika melihat kejadian kematian ibu di Indonesia menurut lokasi meninggal, data registrasi
w

yang bersumber dari Maternal Perinatal Death Notification (MPDN) Kementerian Kesehatan
//w

(Kemenkes) menunjukkan bahwa kejadian kematian ibu pada tahun 2020 sebagian besar
terjadi di fasilitas kesehatan (88,46 persen). Hal ini terjadi karena ibu dirujuk ke fasilitas
s:

kesehatan lebih banyak yang mengalami komplikasi dibandingkan ibu tanpa komplikasi (Pusat
tp

Penelitian Keluarga Sejahtera FKM UI and Vital Strategies, 2019).


ht

C. Profil Rumah Tangga dengan Kasus Kematian Ibu


Meski upaya menurunkan AKI terus menerus
dilakukan, masih terdapat banyak faktor
risiko lainnya yang berkontribusi terhadap
kematian ibu. Menurut WHO (2023a), masih
tingginya AKI disebabkan oleh kegagalan sistem
 Proporsi kejadian
kematian ibu
pada kelompok
kesehatan untuk memberikan pelayanan baik
dari sisi jumlah maupun kualitas, faktor sosial, rumah tangga di
ketimpangan gender, dan faktor lainnya yang perdesaan lebih
tidak bisa dikontrol. Kematian ibu umumnya besar daripada di
terjadi pada perempuan miskin dan yang tinggal
di daerah terpencil atau daerah yang memiliki
perkotaan.
kesulitan infrastruktur.
Pada bagian ini akan dibahas profil rumah
tangga yang mengalami kematian ibu berdasarkan berbagai kategori, yaitu karakteristik
wilayah tempat tinggal, pendidikan kepala rumah tangga (KRT), status bekerja KRT, umur KRT,
ukuran rumah tangga, serta kondisi perumahan tempat tinggal perempuan yang mengalami
kematian ibu.

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 29


Analisis Faktor Risiko Kematian Ibu di Indonesia

Dilihat dari wilayah tempat Gambar 6. Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami
tinggalnya, proporsi kejadian Kasus Kejadian Kematian Ibu menurut
kematian ibu pada kelompok Klasifikasi Wilayah Tinggal (per 100.000
rumah tangga yang ada di Rumah Tangga), 2022
perdesaan lebih besar daripada
proporsi kejadian kematian ibu 42
di perkotaan. Hasil Long Form
SP2020 menunjukkan kejadian
kematian ibu terjadi pada 42
rumah tangga dari 100.000 rumah 36
tangga yang ada di perdesaan,
sedangkan di perkotaan, kejadian
kematian ibu mencapai 36 per
100.000 rumah tangga. Hal ini
terjadi karena kelompok rumah
tangga di perdesaan lebih sedikit Perkotaan Perdesaan

id
yang dapat memanfaatkan 
layanan kesehatan, sementara

.
go
rumah tangga di perkotaan lebih Sumber: BPS, Long Form SP2020
banyak yang dapat memanfaatkan layanan kesehatan (Hamal et al., 2020). Kondisi ini
s.
diduga karena masih minimnya berbagai fasilitas di perdesaan, terutama fasilitas kesehatan,
p
dan adanya kesulitan mengakses fasilitas kesehatan karena infrastruktur jalan yang belum
.b

memadai. Penelitian Rukmini (2012) menyatakan bahwa sebagian besar puskesmas di wilayah
w

perkotaan lebih layak jika dibandingkan dengan puskesmas di wilayah perdesaan. Selain itu,
w

ibu-ibu yang tinggal di wilayah perdesaan juga memerlukan waktu khusus untuk pergi dan
//w

memanfaatkan sarana kesehatan di pelayanan kesehatan atau puskesmas (Wulansari, 2011).


Selanjutnya, ada kecenderungan memilih menggunakan jasa nontenaga kesehatan sebagai
s:

penolong persalinan yang dapat meningkatkan risiko terjadinya kematian ibu.


tp

Gambar 7. Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Kasus Kejadian Kematian Ibu
ht

menurut Lokasi Tempat Tinggal (per 100.000 Rumah Tangga)


75

45
37

Di dalam kawasan Di tepi/sekitar Di luar kawasan


hutan kawasan hutan hutan

Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Potensi Desa (PODES) 2021

30 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Analisis Faktor Risiko Kematian Ibu di Indonesia

Lebih lanjut terkait karakteristik wilayah tempat tinggal ibu, dengan mengaitkan data Long
Form SP2020 dan PODES 2021, terungkap bahwa kejadian kematian ibu yang paling besar
proporsinya terjadi pada kelompok rumah tangga di desa/kelurahan di dalam kawasan hutan
dan paling kecil proporsinya terjadi pada kelompok rumah tangga di desa/kelurahan di luar
kawasan hutan. Bahkan, proporsi kejadian kematian ibu di desa/kelurahan di dalam kawasan
hutan besarnya 2 kali lipat dari proporsi kejadian kematian ibu di desa/kelurahan di luar
kawasan hutan. Akses jalan dan ketersediaan fasilitas serta tenaga kesehatan yang terbatas
di wilayah-wilayah remote, seperti di dalam kawasan hutan, menjadi faktor utamanya. Jarak
ke fasilitas kesehatan atau khususnya obstretic care juga disorot dalam studi oleh Scott et al.
(2013) dalam Cameron & Cornwell (2015) di Bangladesh dan Indonesia. Jarak merupakan
faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap kematian ibu, selain lamanya mencari
dan mengakses perawatan ketika timbul komplikasi.
Topografi wilayah tempat tinggal juga berpengaruh terhadap disparitas AKI. Kejadian
kematian ibu di desa/kelurahan dengan topografi berupa puncak/tebing/lereng terjadi pada
42 rumah tangga dari 100.000 rumah tangga di wilayah tersebut. Sedangkan, di dataran/
lembah, kejadian kematian ibu tercatat di 37 rumah tangga dari setiap 100.000 rumah tangga.

id
Hal ini sejalan dengan pembangunan di wilayah dataran/lembah yang cenderung lebih maju.

.
go
Pembangunan di wilayah puncak/tebing/lereng yang lebih lambat disebabkan oleh geografis
yang sulit yang berimbas pada biaya yang mahal dalam melakukan pembangunan.
s.
p
Gambar 8. Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Lambatnya pembangunan
.b

Kasus Kejadian Kematian Ibu menurut di wilayah puncak/tebing/


Topografi Desa/Kelurahan Tempat Tinggal lereng berkaitan dengan belum
w

(per 100.000 Rumah Tangga) optimalnya pelayanan kesehatan


w

dalam rangka pengurangan


//w

42 kematian ibu di wilayah tersebut.


Mengacu pada framework
s:

determinan kematian ibu oleh


tp

Cameron L, et al. (2019), konteks


ht

pelayanan kesehatan dapat dilihat


dari segi supply dan demand. Belum
optimalnya pelayanan kesehatan
37 dari segi supply ditunjukkan oleh
terbatasnya ketersediaan layanan
kesehatan ibu yang mencakup
akses dan kualitasnya, sedangkan
segi demand direpresentasikan
oleh rendahnya pemanfaatan
Puncak/Tebing/Lereng Dataran/lembah
 layanan kesehatan oleh individu.
Sebagai contoh, keberadaan
Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Potensi Desa (PODES) 2021 fasilitas kesehatan di suatu
wilayah akan memengaruhi
keputusan perempuan untuk memeriksakan kehamilannya secara berkala. Kemudian, tingkat
pendidikan, akses informasi, dan faktor budaya di suatu wilayah akan memengaruhi keputusan
dan perilaku perempuan dalam pemanfaatan layanan-layanan kesehatan yang tersedia.
Di samping pelayanan kesehatan, suami memiliki peran yang cukup dominan dan sangat
berpengaruh dalam perawatan kehamilan (Gamelia, et.al., 2013). Sebagian besar masyarakat
di Indonesia menganut paham patrilineal dimana suami sangat berpengaruh dalam proses
pengambilan keputusan di keluarga termasuk pengambilan keputusan terkait pemenuhan

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 31


Analisis Faktor Risiko Kematian Ibu di Indonesia

kebutuhan kesehatan. Salah satu keterbatasan data pada Long Form SP2020 adalah minimnya
informasi terkait siapa saja di rumah tangga tersebut yang merupakan pasangan suami istri.
Informasi yang tersedia adalah siapa yang menjadi Kepala Rumah Tangga (KRT) di rumah
tangga tersebut. KRT memegang peranan penting dalam pengambilan berbagai keputusan
di rumah tangga, sehingga informasi terkait KRT ini selanjutnya dipergunakan sebagai proksi
atau pendekatan.

Gambar 9. Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Kasus Kejadian Kematian Ibu
menurut Pendidikan Kepala Rumah Tangga (per 100.000 Rumah Tangga),
2022
40 42
37

31

. id
go
p s.
.b

SD atau tidak sekolah SMP SMA PT



w

Sumber: BPS, Long Form SP2020


w

Pendidikan dan status bekerja KRT dapat menjadi sebuah proksi atau pendekatan dari
//w

pendapatan rumah tangga (Cameron L, et al., 2019). Secara umum, proporsi kejadian kematian
s:

ibu di Indonesia lebih besar pada kelompok rumah tangga dengan KRT berpendidikan SMP ke
bawah. Di sisi lain, proporsi kejadian kematian ibu terkecil ada pada kelompok rumah tangga
tp

dengan KRT yang menamatkan perguruan tinggi (PT). Hal ini sejalan dengan penelitian yang
ht

dilakukan di Banten tahun 2018, dimana risiko kematian ibu 2,2 kali lebih besar terjadi pada
perempuan yang suaminya hanya berpendidikan sekolah dasar (Center for Family Welfare,
FKM UI & Jhpiego Indonesia, 2018). Ini karena pada umumnya, di rumah tangga dengan KRT
berpendidikan tinggi, KRT memiliki pengetahuan dan finansial yang cukup untuk menjaga
kesehatan seluruh anggota keluarga, sehingga kematian ibu di rumah tangga tersebut dapat
dicegah seoptimal mungkin.

Gambar 10. Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Kasus Kejadian Kematian Ibu
menurut Status Bekerja KRT (per 100.000 Rumah Tangga), 2022
49
Jika dilihat dari status bekerja KRT, kelompok
rumah tangga dengan KRT yang bekerja
28
diketahui memiliki proporsi kejadian kematian
ibu yang lebih besar dibandingkan kelompok
rumah tangga dengan KRT tidak bekerja.
Hasil Long Form SP2020 menunjukkan bahwa
49 rumah tangga dari 100.000 rumah tangga
dengan KRT bekerja mengalami kejadian
Bekerja Tidak Bekerja kematian ibu, sedangkan kejadian kematian ibu

Sumber: BPS, Long Form SP2020

32 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Analisis Faktor Risiko Kematian Ibu di Indonesia

pada kelompok rumah tangga dengan KRT tidak bekerja hanya dialami 28 dari 100.000 rumah
tangga. Hal ini tidak sejalan dengan yang terjadi pada SP2010 dimana peluang terjadinya
kematian ibu ditemukan berasosiasi negatif dengan karakteristik KRT yang bekerja (Cameron
L, et al., 2019). Perbedaan pola ini diduga terjadi karena adanya pandemi COVID-19 yang
dapat meningkatkan risiko ibu hamil tertular COVID-19. Seperti dijelaskan oleh Hojo-
Souza S, Guidoni DL, Da Silva CM, et al (2022) dalam Mustofa (2023) bahwa COVID-19
juga berpotensi menyebabkan penyakit yang mempunyai risiko tinggi dan kematian jutaan
orang. Selanjutnya, menurut Chen Y, Bai J. (2020) dalam Mustofa (2023) menjelaskan bahwa
angka kesakitan dan kematian ini juga termasuk kematian ibu. Keterpaparan COVID-19
bisa terjadi pada siapa saja. Sebagaimana diketahui bahwa pendataan Long Form SP2020
dilaksanakan pada saat terjadi pandemi COVID-19, sehingga fenomena-fenomena tertentu
yang ditemukan sangat mungkin terkait dengan sedang mewabahnya COVID-19 pada saat
itu. KRT yang bekerja, terlebih lagi KRT yang bekerja di luar rumah, memiliki peluang terpapar
COVID-19 yang lebih besar. Hal ini, lebih lanjut dapat meningkatkan potensi KRT tersebut
untuk menularkannya pada anggota rumah tangga, termasuk jika terdapat ibu hamil di rumah
tangga tersebut.

id
Gambar 11. Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Kasus Kejadian Kematian Ibu

.
go
menurut Umur KRT (per 100.000 Rumah Tangga), 2022
s.
68
p
.b
w

49
w
//w

35
s:
tp
ht

<20 Tahun 20-39 Tahun 40+ Tahun



Sumber: BPS, Long Form SP2020

Selanjutnya, hasil Long Form SP2020 juga


menunjukkan proporsi kejadian kematian
ibu lebih besar bahwa pada kelompok
rumah tangga dengan umur KRT muda.
Pada kelompok rumah tangga dengan
KRT berumur di bawah 20 tahun, kejadian
 Proporsi kejadian
kematian ibu
lebih besar pada
kematian ibu dialami 68 dari 100.000 rumah
tangga. Proporsi ini besarnya hampir 2 kali kelompok rumah
lipat dari proporsi kejadian kematian ibu tangga dengan
pada kelompok rumah tangga dengan KRT umur KRT muda.
di atas 40 tahun. Hal ini dapat terjadi karena
pada umumnya, kelompok rumah tangga
dengan KRT muda memiliki pengetahuan

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 33


dan pengalaman yang kurang dalam merawat kesehatan ibu hamil. Selain itu kelompok
rumah tangga dengan KRT muda umumnya belum mapan secara finansial. Karenanya,
kondisi ini dapat menyebabkan terlambatnya pengambilan keputusan saat kondisi darurat
atau keterbatasan pilihan solusi ketika memerlukan penanganan yang segera dan berbiaya
besar.

Gambar 12. Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Kasus Kejadian Kematian Ibu
menurut Keberadaan Anak dan Jumlah Anggota Rumah Tangga (per 100.000
Rumah Tangga), 2022

53
46

37
30 30

. id
go
p s.
.b

ART 1-2 Orang ART 3-4 Orang ART lebih dari 4 Tidak ada anak Ada anak KRT
w

orang (umur <18 tahun)


w


//w

Sumber: BPS, Long Form SP2020


s:

Berdasarkan jumlah anggota rumah tangga, hasil Long Form SP2020 menunjukkan bahwa
tp

proporsi kejadian kematian ibu lebih besar pada kelompok rumah tangga dengan ukuran
ht

rumah tangga yang lebih besar (lebih dari 4 orang). Rumah tangga dengan jumlah ART lebih
banyak membuat sumber daya terbagi ke lebih
banyak orang. Hal ini dapat menyebabkan

 Proporsi kejadian
kematian ibu
lebih besar pada
kurangnya sumber daya yang dialokasikan
untuk ibu hamil, padahal sumber daya
atau biaya yang diperlukan untuk merawat
kesehatan ibu hamil cukup besar, diantaranya
kelompok rumah meliputi biaya antenatal care, biaya persalinan
tangga dengan di fasilitas kesehatan, dan biaya lainnya. Hal ini
juga didukung oleh temuan bahwa kelompok
ukuran rumah rumah tangga dengan KRT yang memiliki
tangga yang lebih anak memiliki proporsi kejadian kematian ibu
besar (lebih dari 4 lebih besar dibandingkan kelompok rumah
tangga dengan KRT yang tidak memiliki anak.
orang).
Analisis Faktor Risiko Kematian Ibu di Indonesia

Gambar 13. Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Kasus Kejadian Kematian Ibu
menurut Kondisi Bangunan Tempat Tinggal (per 100.000 Rumah Tangga),
2022

44

43

39 39 39
39

id
Lantai tanah Lantai bukan Atap tidak layak Atap layak Dinding tidak Dinding layak

.
go
tanah layak

Sumber: BPS, Long Form SP2020
p s.
.b

Kondisi perumahan dapat menjadi proksi atau pendekatan dari status ekonomi suatu rumah
tangga (Cameron L, et al., 2019). Rumah tangga dengan karakteristik perumahan (atap, lantai,
w

dan dinding) layak menggambarkan rumah tangga dengan status ekonomi yang lebih baik
w

dibandingkan rumah tangga dengan karakteristik perumahan tidak layak. Secara umum,
//w

proporsi kejadian kematian ibu lebih besar pada kelompok rumah tangga dengan karakteristik
perumahan tidak layak, kecuali pada kelompok rumah tangga dengan atap tidak layak dan
s:

layak yang memiliki proporsi kejadian kematian ibu yang sama besarnya.
tp
ht

D. Pembangunan Pelayanan Kesehatan Ibu di Indonesia


AKI merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan derajat
kesehatan masyarakat. Kasus kematian ibu sensitif terhadap perbaikan pelayanan kesehatan,
baik dari sisi aksesibilitas maupun kualitas (Kemenkes, 2022). Oleh sebab itu, upaya
pembangunan kesehatan untuk penurunan AKI terus menerus diupayakan oleh pemerintah,
baik dari sisi penguatan fasilitas kesehatan, manajemen program dan sistem rujukannya,
peningkatan peran serta masyarakat, serta kegiatan akselerasi dan inovasi yang terkoordinir
(Kemenkes, 2011).
Salah satu indikator yang dapat menggambarkan pembangunan kesehatan adalah Indeks
Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM). IPKM menggambarkan kondisi sistem
kesehatan yang mencakup pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan, sistem informasi
kesehatan, akses terhadap alat kesehatan/vaksin/teknologi, pembiayaan kesehatan, dan
sumber daya kesehatan (Kemenkes, 2019). Keterkaitan AKI dan IPKM sangat tinggi dengan
korelasi pearson sebesar -0,85. Semakin tinggi capaian IPKM, semakin rendah AKI.
Provinsi yang memiliki IPKM tinggi dan AKI rendah selain DKI Jakarta dan DI Yogyakarta
adalah Bali. Sebaliknya, provinsi yang memiliki IPKM rendah dan AKI tinggi diantaranya
Papua, Papua Barat, Maluku dan Sulawesi Tengah. Nusa Tenggara Timur memiliki AKI yang
tinggi, namun capaian IPKM-nya lebih baik dari Maluku dan Sulawesi Tengah.

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 35


Analisis Faktor Risiko Kematian Ibu di Indonesia

Gambar 14. Sebaran Provinsi Menurut Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat


(IPKM) dan Angka Kematian Ibu (AKI)
0,75
Indeks Pembangunan Kesehatan

DI Yogyakarta
0,70
Bali
Masyarakat (IPKM)

0,65

0,60 DKI Jakarta Nusa Tenggara Timur

0,55 Papua Barat


Maluku
0,50
Papua
0,45 Sulawesi Tengah

0,40

id
0 100 200 300 400 500 600
AKI

.
go
Sumber: Kemenkes (2019) dan BPS, Long Form SP2020

s.
Gambaran pembangunan kesehatan ibu di Indonesia juga terlihat dari bagaimana ibu dalam
p
.b

memanfaatkan layanan kesehatan. Hasil Long Form SP2020 dikaitkan dengan hasil Survei
Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) 2020 menunjukkan bahwa provinsi yang memiliki
w

AKI tinggi cenderung terjadi pada wilayah dengan persentase ibu yang melahirkan di fasilitas
w

kesehatan yang lebih sedikit. Hubungan antara AKI dengan persentase perempuan pernah
//w

kawin berumur 15-49 tahun yang melahirkan terakhirnya di fasilitas kesehatan menunjukkan
angka -0,522. Ini menunjukkan adanya hubungan yang cukup kuat dan negatif antara kasus
s:

kematian ibu dan pemanfaatan fasilitas kesehatan dalam proses persalinan. Semakin besar
tp

persentase perempuan melahirkan di fasilitas kesehatan, maka AKI semakin kecil.


ht

Gambar 15. Sebaran Provinsi Menurut AKI dan Persentase Wanita Pernah Kawin 15-49
Tahun yang Melahirkan Terakhirnya di Fasilitas Kesehatan, 2020

100
WPK 15-49 Melahirkan

90
Terakhir di Fasilitas
Kesehatan (%)

80
70
60
50
40
30
0 100 200 300 400 500 600
AKI
Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Susenas 2020


36 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Analisis Faktor Risiko Kematian Ibu di Indonesia

Selain fasilitas kesehatan, penolong persalinan juga merupakan faktor yang turut
memengaruhi kasus kematian ibu. Keterkaitan keduanya cukup tinggi dengan nilai korelasi
-0,744. Ini menunjukkan adanya hubungan yang kuat dan negatif antara AKI dan persentase
perempuan pernah kawin berumur 15-49 tahun yang melahirkan terakhirnya ditolong tenaga
kesehatan. Semakin besar persentase perempuan melahirkan ditolong tenaga kesehatan,
maka AKI semakin rendah.

Gambar 16. Sebaran Provinsi Menurut AKI dan Persentase Persalinan Ditolong Tenaga
Kesehatan, 2020
100
Persentase persalinan ditolong

95
90
tenaga kesehatan

85
80

id
75

.
go
70
65
p s.
60
.b

0 100 200 300 400 500 600


w

AKI
w


//w

Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Susenas 2020


s:

Dalam upaya mengurangi kematian ibu, faktor


penyebab kematian dapat dicegah apabila
tp

sarana dan prasarana kesehatan tersedia


 Semakin besar
ht

dan dapat diakses dengan mudah oleh persentase


ibu hamil (WHO, 2023a), khususnya pada
wilayah terdekat, seperti pada level desa.
perempuan
Selanjutnya dalam bagian ini dibahas gambaran melahirkan ditolong
pembangunan pelayanan kesehatan ibu di tenaga kesehatan,
wilayah-wilayah di Indonesia dan bagaimana maka AKI semakin
pembangunan kesehatan ini berkaitan dengan
kematian ibu berdasarkan data Long Form rendah.
SP2020 dan PODES 2021.

D.1. Gambaran Ketersediaan atau Akses Pelayanan Kesehatan Ibu di Indonesia


Pembangunan kesehatan tidak terlepas dari ketersediaan fasilitas dan pelayanan kesehatan.
Kematian ibu banyak terjadi di negara yang memiliki keterbatasan fasilitas kesehatan dan
tingkat ketimpangan antara golongan mampu dan miskin sangat tinggi (WHO, 2023a).

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 37


Analisis Faktor Risiko Kematian Ibu di Indonesia

Gambar 17. Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Kasus Kejadian Kematian Ibu
menurut Jarak ke Fasilitas Kesehatan (per 100.000 Rumah Tangga)
71

46
42
37 37 36

Ke RS (<=10 km) Ke RS (>10 km) Ke puskesmas Ke puskesmas Ke praktik bidan Ke praktik bidan
dengan rawat dengan rawat (<=10 km) (>10 km)
inap (<=10 km) inap(>10 km)


id
Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021

.
go
Jarak menuju fasilitas kesehatan berpengaruh pada kemudahan masyarakat dalam mengakses
fasilitas kesehatan. Secara umum, kelompok rumah tangga dengan jarak ke fasilitas kesehatan
s.
yang lebih dekat memiliki proporsi kejadian kematian ibu yang lebih kecil dibandingkan
p
dengan kelompok rumah tangga yang jauh dari fasilitas kesehatan. Paramita A, & Pranata S
.b

(2007) dalam Gamelia, et.al. (2013) menyatakan bahwa masyarakat yang lebih dekat dengan
fasilitas kesehatan akan memiliki kecenderungan lebih besar untuk memanfaatkan pelayanan
w

kesehatan yang disediakan di fasilitas kesehatan. Perbedaan signifikan proporsi kejadian


w

kematian ibu ditunjukkan pada kelompok rumah tangga yang dekat dan jauh dengan praktik
//w

bidan. Proporsi kejadian kematian ibu pada rumah tangga dengan jarak ke praktik bidan lebih
dari 10 kilometer hampir 2 kali lipat dari proporsi kejadian kematian ibu pada rumah tangga
s:

dengan jarak ke praktik bidan kurang dari 10 kilometer. Ini memberikan gambaran bahwa
tp

praktik bidan menjadi pilihan fasilitas kesehatan yang terjangkau dan sangat membantu
ht

masyarakat. Keberadaan bidan dan perawat konsisten ditemukan memiliki peran yang sangat
penting dalam upaya penurunan jumlah kematian ibu (Wulandari, 2015).

Gambar 18. Sebaran Provinsi menurut AKI dan Persentase Rumah Tangga dengan Jarak
ke Fasilitas Kesehatan Lebih dari 10 Kilometer
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0 100 200 300 400 500 600
AKI

% Ruta dengan Jarak ke Praktik Bidan (>10 km) % Ruta dengan Jarak ke Puskesmas (>10 km)
% Ruta dengan Jarak ke RS (>10 km)

Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021

38 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Analisis Faktor Risiko Kematian Ibu di Indonesia

Ketika dilihat menurut wilayah, berdasarkan uji korelasi yang dilakukan untuk melihat
hubungan antara AKI dengan persentase rumah tangga dengan jarak lebih dari 10 kilometer
ke rumah sakit, puskesmas, maupun praktik bidan, semuanya menunjukkan korelasi yang
positif dan signifikan, yaitu masing-masing sebesar 0,594; 0,517; dan 0,782. Artinya, semakin
besar persentase rumah tangga dengan jarak lebih dari 10 kilometer, baik ke rumah sakit,
puskesmas, maupun praktik bidan, maka AKI semakin tinggi. Angka korelasi yang disajikan
menunjukkan bahwa jarak rumah tangga ke praktik bidan memberikan korelasi paling besar,
artinya jarak ke praktik bidan memiiki hubungan yang lebih besar terhadap tinggi rendahnya
AKI. Pada beberapa kondisi, bidan sangat berperan sebagai penolong pertama pada kondisi
kegawatdaruratan. Pentingnya keberadaan bidan juga diungkap dalam penelitian sebelumnya
yang menunjukkan bahwa tingginya rasio paramedis (dalam hal ini adalah bidan dan perawat)
di suatu daerah terhadap jumlah penduduk, maka akan semakin menurun pula jumlah
kematian ibu di wilayah tersebut (Wulandari, 2015). Masih kurangnya ketersediaan bidan
dan perawat yang tinggal di desa atau daerah-daerah terpencil bisa memberikan dampak
negatif terhadap penanganan ibu hamil serta penanganan persalinan yang tepat waktu.
Gambar 19. Proporsi Rumah Tangga yang

id
Mengalami Kasus Kejadian Kematian Jika dilihat dari segi biaya, kelompok

.
go
Ibu menurut Biaya Menuju Fasilitas rumah tangga dengan biaya menuju
Kesehatan (per 100.000 Rumah s.fasilitas kesehatan yang lebih murah
Tangga) memiliki proporsi kejadian kematian
p
44 ibu yang lebih kecil dibandingkan
.b

kelompok rumah tangga dengan


w

biaya menuju fasilitas kesehatan


w

yang lebih mahal. Hal ini didukung


//w

pula oleh penelitian Ronsmans et al.


37
di tahun 2009 (Cameron & Cornwell,
s:

2015) yang menjelaskan bahwa biaya


dan akses ke fasilitas kesehatan
tp

merupakan penghalang terbesar untuk


ht

Biaya mahal menuju faskes Biaya murah menuju faskes mendapatkan perawatan profesional.
(lebih dari Rp 500.000)

Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021

Gambar 20. Sebaran Provinsi menurut AKI dan Persentase Rumah Tangga dengan Biaya
Menuju ke Fasilitas Kesehatan Lebih dari 500 Ribu Rupiah
90
Rumah Tangga dengan Biaya

80
menuju Faskes >500 Ribu

70
60
(Persen)

50
40
30
20
10
0
0 100 200 300 400 500 600
AKI

Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 39


Analisis Faktor Risiko Kematian Ibu di Indonesia

Terjangkaunya biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pemeriksaan kehamilan menjadi


salah satu faktor pendukung bagi masyarakat dalam melakukan pemeriksaan kehamilan di
fasilitas kesehatan (Hasanah & Fitriyah, 2018). Biaya ini bisa mencakup biaya perjalanan
menuju fasilitas kesehatan maupun biaya pemeriksaan saat di fasilitas kesehatan. Sejalan
dengan hasil penelitian tersebut, uji korelasi antara AKI dengan persentase rumah tangga
dengan biaya menuju fasilitas kesehatan lebih dari 500 ribu juga menunjukkan hubungan
yang positif dan signifikan dengan nilai korelasi sebesar 0,416. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin besar persentase rumah tangga yang mengeluarkan biaya lebih besar dari 500
ribu untuk menuju fasilitas kesehatan, maka semakin tinggi pula AKI di wilayah tersebut.
Tingginya biaya menuju fasilitas kesehatan memberikan pengaruh negatif terhadap upaya
penurunan AKI di suatu wilayah.

Gambar 21. Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Kasus Kejadian Kematian Ibu
menurut Kondisi Jalan di Desa/Kelurahan Tempat Tinggal (per 100.000
Rumah Tangga)

id
88 87

.
go
p s.
50
.b
w

37
w
//w
s:
tp

Aspal/beton Diperkeras (kerikil, Tanah Lainnya atau tidak


ht

batu, dll) ada transportasi darat




Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021

Hasil Long Form SP2020 menunjukkan proporsi


kejadian kematian ibu pada kelompok rumah

 Proporsi kejadian
kematian ibu pada
kelompok rumah
tangga dengan kondisi jalan yang lebih memadai
(aspal dan beton) lebih kecil daripada kelompok
rumah tangga dengan kondisi jalan yang
kurang memadai. Kondisi jalan seperti tanah
tangga dengan atau bahkan tidak adanya transportasi darat
kondisi jalan yang menyebabkan perjalanan ke fasilitas kesehatan
lebih memadai melewati medan perjalanan yang lebih sulit,
melelahkan, dan memakan waktu lebih lama,
lebih kecil daripada sehingga dapat menurunkan stamina dan
kondisi jalan yang menyebabkan keterlambatan penanganan
kurang memadai. ibu hamil. Selain itu, membengkaknya biaya
transportasi juga menjadi kendala finansial
pada rumah tangga dengan akses transportasi
sulit.

40 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Analisis Faktor Risiko Kematian Ibu di Indonesia

Gambar 22. Hubungan Tingkat Kematian Ibu Berdasarkan uji korelasi antara AKI
dengan Kondisi Jalan dengan persentase rumah tangga
dengan kondisi jalan di desa/kelurahan
50 tempat tinggal kurang memadai juga
menunjukkan hubungan yang positif
Rumah Tangga dengan Kondisi Jalan Kurang

45

40 dan signifikan dengan nilai korelasi


35 sebesar 0,78. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin besar persentase
Memadai (Persen)

30

25
rumah tangga dengan kondisi jalan di
desa/kelurahan tempat tinggal kurang
20
memadai, maka semakin tinggi pula
15
AKI di wilayah tersebut. Banyaknya
10
kondisi jalan yang kurang memadai
5 memberikan pengaruh negatif terhadap

id
0 upaya penurunan AKI di suatu wilayah.

.
0 100 200 300 400 500 600
Selain tingginya biaya, banyaknya

go
AKI
s.  jalan yang kurang memadai juga bisa
Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021 menunjukkan sulitnya akses menuju
p
ke pelayanan kesehatan terdekat di
.b

wilayah tersebut.
w

Selain fasilitas kesehatan, seperti rumah Gambar 23. Proporsi Rumah Tangga yang
w

sakit, puskesmas, atau praktik bidan, Mengalami Kasus Kejadian


//w

pelayanan kesehatan bagi ibu hamil juga Kematian Ibu menurut


tersedia melalui kegiatan posyandu, kelas Keberadaan Pelayanan Ibu
s:

ibu hamil, PMT ibu hamil Kurang Energi Hamil (per 100.000 Rumah
tp

Kronis (KEK)/Resiko Tinggi (RESTI), dan Tangga)


ht

jaminan kesehatan untuk ibu hamil dari 73


keluarga miskin. Proporsi rumah tangga
yang mengalami kejadian kematian ibu
lebih rendah pada kelompok rumah tangga
yang di desa/kelurahan tempat tinggalnya
38
tersedia pelayanan kesehatan ibu hamil
daripada kelompok rumah tangga yang
tinggal di desa/kelurahan yang tidak
menyediakan pelayanan kesehatan ibu
hamil. Hal ini menunjukkan bahwa adanya
pelayanan kesehatan bagi ibu hamil di
Tidak ada Ada
desa/kelurahan tempat tinggal, mampu 
memberikan pengaruh positif terhadap Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021
upaya penurunan jumlah kejadian kematian
ibu.

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 41


Analisis Faktor Risiko Kematian Ibu di Indonesia

Gambar 24. Hubungan Tingkat Kematian Ibu


dengan Keberadan Pelayanan Ibu Uji korelasi antara AKI dengan
Hamil persentase rumah tangga dengan
keberadaan pelayanan ibu hamil
100 di desa/kelurahan tempat tinggal
menunjukkan hubungan yang negatif
Kesehatan Ibu Hamil di Wilayah Tinggal

95
Rumah Tangga yang Ada Pelayanan

90
dan signifikan dengan nilai korelasi
sebesar -0,541. Hal ini menunjukkan
85
bahwa semakin besar persentase rumah
tangga dengan keberadaan pelayanan
(Persen)

80

75 ibu hamil di desa/kelurahan tempat


70 tinggal, maka AKI di wilayah tersebut
65
semakin rendah. Adanya pelayanan ibu
hamil, seperti posyandu dan kelas ibu
60
hamil, dapat meningkatkan awareness
55
ibu akan pentingnya menjaga kesehatan

id
0 100 200 300 400 500 600
AKI kehamilan dan dapat menjadi wadah

.
 diskusi terkait kesehatan kehamilan

go
Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021 bersama ibu hamil lainnya.
p s.
.b

D.2. Gambaran Kualitas Pelayanan Kesehatan Ibu di Indonesia


w

Selain ketersediaan pelayanan kesehatan, kualitas pelayanan kesehatan juga merupakan hal
w

yang penting terkait dengan pengurangan kematian ibu. Kualitas pelayanan kesehatan dari
//w

segi tenaga kesehatan dapat dilihat dari keberadaan bidan di desa dan bidan menetap di
desa. Pada bagian sebelumnya, keberadaan praktik bidan yang terjangkau atau dekat dari
s:

segi jarak (tidak lebih dari 10 kilometer) berkaitan dengan proporsi kejadian kematian ibu
tp

yang lebih kecil.


ht

Bidan desa adalah seorang petugas Gambar 25. Hubungan Kematian Ibu
paramedis yang bertugas sebagai bidan di dengan Keberadaan Bidan
desa/ kelurahan dengan SK (bidan di desa). Desa di Tempat Tinggal
Bidan yang dimaksud adalah seorang
petugas paramedis yang memperoleh 100
pendidikan formal mengenai kebidanan
Persentase Rumah Tangga yang terdapat
Bidan di Desa/Kelurahan tempat Tinggal

90
dan tidak termasuk seseorang yang 80
memperoleh pendidikan dan pelatihan 70
kebidanan dari instansi terkait, seperti 60
dinas kesehatan.
50
Berdasarkan uji korelasi antara AKI 40
dengan persentase rumah tangga yang 30
terdapat bidan di desa/kelurahan tempat 20
tinggalnya juga menunjukkan hubungan 10
yang negatif dan signifikan dengan nilai
0
korelasi sebesar -0,614. Artinya, semakin 0 100 200 300 400 500 600
besar persentase rumah tangga dengan AKI
adanya bidan di desa, maka nilai AKI 
akan semakin rendah. Sehingga semakin Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021

42 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Analisis Faktor Risiko Kematian Ibu di Indonesia

besar persentase rumah tangga yang terdapat bidan di desa/kelurahan tempat tinggalnya
memberikan pengaruh positif terhadap upaya penurunan AKI di suatu wilayah. Bidan sangat
berperan penting untuk memberikan pengetahuan seputar kesehatan, kehamilan dan juga
tumbuh kembang janin pada ibu yang sedang mengandung. Karena pada dasarnya, menurut
penelitian Makowieka et al., (2007) dalam Cameron & Cornwell (2015), tujuan inti dari
program bidan di desa adalah untuk menurunkan AKI khususnya bagi penduduk miskin
perdesaan.

Gambar 26. Sebaran Provinsi menurut AKI dan Persentase Fasilitas Kesehatan Siap
PONED dan PONEK

70

60

50

40

id
30

.
go
20

10
p s.
.b

0
0 100 200 300 400 500 600
w

AKI
w
//w

% Puskesmas Siap PONED % RS Siap PONEK



s:
tp

Sumber: Kementerian Kesehatan (2021)


ht

Dari segi fasilitas kesehatan, kualitasnya dapat dilihat secara komprehensif dari kesiapan
Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) untuk rumah sakit dan
Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) untuk puskesmas. Untuk melihat
keterkaitan antara AKI dengan ketersediaan fasilitas kesehatan di seluruh provinsi, dilakukan
uji korelasi antara AKI dengan persentase rumah sakit yang siap PONED dan persentase
puskesmas yang siap PONED.
Berdasarkan hasil uji korelasi antara AKI dan persentase rumah sakit siap PONEK
menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan. Demikian juga hubungan AKI dengan
persentase puskesmas yang siap PONED tidak menunjukkan korelasi yang signifikan. Hal ini
menunjukkan bahwa persentase fasilitas kesehatan yang siap PONED maupun siap PONEK
tidak memengaruhi AKI secara signifikan. Hal ini didukung pula oleh penelitian Ronsmans et
al. di tahun 2009 (Cameron & Cornwell, 2015) yang menjelaskan bahwa kualitas pelayanan
kesehatan yang dilihat dari Puskesmas siap PONED dan RS siap PONEK tidak menjamin
pencegahan risiko kematian ibu ketika akses masih sulit dan instrumen pendukung serta
obat-obatan tidak tersedia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan kesehatan
dapat mengurangi risiko ibu meninggal ketika akses tersedia.

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 43


Analisis Faktor Risiko Kematian Ibu di Indonesia

Gambar 27. Proporsi Rumah Tangga yang


Mengalami Kasus Kejadian Upaya penurunan AKI juga dilakukan
Kematian Ibu menurut Keberadaan pada tingkat desa, seperti dibentuknya
UKBM (per 100.000 Rumah DESA SIAGA. Program DESA SIAGA
Tangga) merupakan upaya pelayanan kesehatan
yang menekankan peran serta dan
pemberdayaan masyarakat di tingkat
172 desa, disertai dengan pengembangan
kesiagaan dan kesiapan masyarakat
untuk memelihara kesehatannya secara
mandiri (Direktorat Promosi Kesehatan
dan Pemberdayaan Masyarakat
Kemenkes, 2018). Selain itu, di desa juga
ada Upaya Kesehatan Bersumberdaya
38 Masyarakat (UKBM) yang merupakan
wahana pemberdayaan masyarakat di
bidang kesehatan yang dikelola oleh

id
masyarakat dan dimaksudkan untuk

.
go
Tidak ada UKBM aktif Ada UKBM aktif
 memfasilitasi pelayanan kesehatan.
Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021
UKBM terbentuk dalam beberapa
s.
kegiatan diantaranya adalah Posyandu
p
(Pos Pelayanan Terpadu), Poskesdes
.b

(Pos Kesehatan Desa), Polindes (Pondok Bersalin desa) dan Desa Siaga. Sebagian besar
w

UKBM didirikan di daerah pedesaan (Raharni dan Susyanti, 2010). UKBM lebih didekatkan
w

dengan masyarakat kelas ekonomi bawah dimana mereka banyak yang tinggal di daerah
//w

perdesaan.
Berdasarkan Gambar 27 di atas, proporsi
s:

kejadian kematian ibu pada kelompok


 Kejadian kematian
tp

rumah tangga yang tidak memiliki UKBM


ibu pada kelompok
ht

aktif di desa/kelurahan tempat tinggalnya


adalah sekitar 4,5 kali lebih besar daripada rumah tangga yang
kelompok rumah tangga yang memiliki tidak memiliki
UKBM aktif di desanya. Dengan adanya
UKBM, pelayanan kesehatan menjadi lebih
UKBM aktif di
dekat dan mudah dijangkau oleh masyarakat desa/kelurahan
khususnya masyarakat ekonomi lemah di tempat tinggalnya
daerah perdesaan. Polindes sebagai salah
adalah sekitar 4,5
satu bentuk UKBM bisa menjadi sarana
deteksi dini dan penanganan komplikasi kali lebih besar
kematian ibu. Selain itu, Polindes bisa daripada kelompok
menjadi bagian dari jaringan kerja untuk rumah tangga yang
mendukung mekanisme rujukan di
wilayah bersangkutan (Achadi, 2010). memiliki UKBM
Sistem rujukan yang efektif, akan sangat aktif di desanya.
membantu dalam penanganan komplikasi
yang terjadi pada ibu hamil atau melahirkan,
sehingga bisa ditangani secepatnya.

44 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Analisis Faktor Risiko Kematian Ibu di Indonesia

Gambar 28. Hubungan Tingkat Kematian UKBM dikelola oleh masyarakat


Ibu dengan Keberadaan Upaya khususnya di wilayah pedesaan. UKBM
Kesehatan Bersumberdaya mempermudah akses masyarakat
Masyarakat (UKBM) khususnya di pedesaan untuk bisa
memanfaatkan fasilitas kesehatan,
100 baik dari aspek jarak maupun biaya.
Persentase Tangga dengan UKBM di

95 Kemudahan ini tentunya akan


90 berdampak positif terhadap upaya
Wilayah Tempat Tinggal

85
deteksi dini maupun penanganan
komplikasi pada ibu hamil dan melahirkan.
80
Analisis korelasi menunjukkan hasil
75
yang serupa terkait hubungan antara
70 AKI dengan persentase rumah tangga
65 yang terdapat UKBM di wilayah tempat
60 tinggalnya yaitu negatif dan signifikan
55 sebesar –0,751. Hal ini menunjukkan

id
0 100 200 300 400 500 600 bahwa terdapat keterkaitan yang nyata

.
AKI antara keberadaan UKBM dengan

go

AKI dimana semakin tinggi persentase
s. rumah tangga yang bertempat tinggal
Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021
di desa/kelurahan dengan UKBM aktif,
p
maka semakin rendah AKI di wilayah
.b

tersebut.
w
w

E. Kesimpulan
//w

AKI Indonesia hasil Long Form SP2020 tercatat sebesar 189 kematian ibu per 100.000
s:

kelahiran hidup, mengalami penurunan yang signifikan sebesar 45 persen dibandingkan


dengan kematian ibu pada tahun 2010. Capaian AKI ini telah memenuhi target RPJMN di
tp

tahun 2020. Namun, di balik capaian AKI nasional tersebut, disparitas atau ketimpangan
ht

capaian AKI antarwilayah masih terjadi. Wilayah dengan AKI rendah didominasi oleh provinsi-
provinsi di Indonesia bagian barat, sedangkan provinsi-provinsi di Indonesia timur cenderung
memiliki AKI tinggi.
Jika dilihat menurut masa meninggal, tingkat kematian ibu tertinggi terjadi pada masa
persalinan. Namun, masa nifas juga merupakan masa rentan terjadinya kematian ibu.
Di samping itu, sebagian komplikasi pada ibu hamil tidak dapat diprediksi. Maka dari itu,
memastikan kemudahan akses pelayanan kedaruratan saat hamil, persalinan, dan setelahnya
menjadi strategi paling efektif untuk mengurangi kematian ibu.
Kematian ibu di Indonesia banyak terjadi pada rumah tangga dengan KRT berpendidikan
rendah (SMP ke bawah), KRT muda (berumur di bawah 20 tahun), dan dengan karakteristik
perumahan tidak layak. Rumah tangga dengan karakteristik ini menggambarkan rumah
tangga dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah. Ini menjadi indikasi agar perlindungan
sosial bagi ibu hamil pada rumah tangga yang kurang sejahtera perlu ditingkatkan secara
tepat dan berkesinambungan.
Perluasan perlindungan sosial bagi ibu hamil juga perlu mempertimbangkan beban
ketergantungan dalam rumah tangga. Hal ini terlihat dari lebih banyaknya kasus kematian ibu
pada rumah tangga dengan ukuran rumah tangga yang besar (big family) dan adanya anak usia
17 tahun ke bawah. Keberadaan anggota rumah tangga usia anak yang termasuk dalam usia

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 45


Analisis Faktor Risiko Kematian Ibu di Indonesia

non produktif menggambarkan tingginya porsi pengeluaran rumah tangga yang lebih besar
untuk investasi anak, baik dalam aspek pendidikan maupun kesehatan.
Disparitas AKI di Indonesia beriringan dengan adanya disparitas pembangunan pelayanan
kesehatan di Indonesia. Kematian ibu yang tinggi terjadi pada wilayah-wilayah dengan fasilitas
kesehatan yang jauh, kondisi jalan yang kurang memadai, biaya menuju fasilitas kesehatan
yang mahal, yang tidak terdapat bidan desa, dan yang tidak terdapat UKBM. Namun, dari
hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas pelayanan kesehatan dapat mengurangi risiko
ibu meninggal ketika akses, instrumen pendukung, dan obat-obatan tersedia.

F. Daftar Pustaka
Achadi, Anhari. 2010. Langkah Kedepan Mempercepat Penurunan Kematian Ibu di
Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 4, No. 4, Februari 2010: 147–
153.
Bell, J.A & Nuzzo, J.B. 2021 Global Health Security Index: Advancing Collective Action and

id
Accountability Amid Global Crisis, 2021. Diakses tanggal 4 April 2023 dari https://www.

.
ghsindex.org/wp-content/uploads/2021/12/2021_GHSindexFullReport_Final.pdf

go
Cameron L, Contreraz Suarez D, Cornwell K 2019 Understanding the determinants of
maternal mortality: An observational study using the Indonesian Population Census.
s.
PLoS ONE 146: e0217386. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0217386
p
CDC. 19 September, 2022. Four in 5 pregnancy-related deaths in the U.S. are preventable.
.b

Diakses tanggal 13 April 2023 dari https://www.cdc.gov/media/releases/2022/


w

p0919-pregnancy-related-deaths.html
w

CEOWORLD magazine. 27 April, 2021. Revealed: Countries With The Best Health Care
//w

Systems, 2021. Diakses tanggal 5 April 2023 dari https://ceoworld.biz/2021/04/27/


revealed-countries-with-the-best-health-care-systems-2021/ .
s:

Center for Family Welfare, FKM UI & Jhpiego Indonesia 2018. Summary Tables: Banten II
tp

Study Result. USAID


Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kemenkes 8 Juni, 2018.
ht

Pengertian, Tujuan, Indikator, dan Kegiatan Pokok Desa Siaga. Diakses tanggal 4 April
2023 dari https://promkes.kemkes.go.id/pengertian-tujuan-indikator-dan-kegiatan-
pokok-desa-siaga
Family Care International, ICRW, & KEMRI/CDC Research and Public Health Collaboration.
2014. A Price Too High to Bear: The Costs of Maternal Mortality to Families and
Communities. Family Care International.
Gamelia, E., Colti, S., Siti, M. 2013. Determinan Perilaku Perawatan Kehamilan. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional, [e-journal] 8 3: pp. 109–114.
Hasanah, I & Fitriyah, N. 2018. Peran Suami dalam Perawatan Kehamilan Istri di Kelurahan
Mulyorejo. Jurnal Biometrika dan Kependudukan, Vol. 7, No. 2 Desember 2018: 122–
130.
Hamal, M., Dieleman, M., De Brouwere, V. et al. 2020. Social determinants of maternal
health: a scoping review of factors influencing maternal mortality and maternal health
service use in India. Public Health Rev, 41(13). . https://doi.org/10.1186/s40985-020-
00125-6
Kemenkes. 2022. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2021. Jakarta: Kemenkes
Kemenkes 9 Februari, 2011. 5 Strategi Operasional Turunkan Angka Kematian Ibu.
Diakses tanggal 4 April 2023 dari https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-
media/20110209/47839/5-strategi-operasional-turunkan-angka-kematian-ibu/

46 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Analisis Faktor Risiko Kematian Ibu di Indonesia

Kemenkes. 2019. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat Tahun 2018. Diakses tanggal 4
April 2023 dari http://repository.bkpk.kemkes.go.id/3935/1/BUKU_IPKM_2018-SK.
pdf
Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2020 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Diakses tanggal 4 April 2023
dari https://jdih.bappenas.go.id/peraturan/detailperaturan/1037.
Li, XF, Fortney, JA, Kotelchuck, M, Glover, LH. 1996. The postpartum period: the key to
maternal mortality. International Journal of Gynecology & Obstetrics, 54(1):1–10.
Miller, S., & Belizán, J. M. 2015. The true cost of maternal death: individual tragedy impacts
family, community and nations. Reproductive health, 121, 1-4.
Molla, M., Mitiku, I., Worku, A., & Yamin, A. E. 2015. Impacts of maternal mortality on living
children and families: A qualitative study from Butajira, Ethiopia. Reproductive health,
12, 1-9.
Mustafa, VF et al. 2023. Factors Causing Maternal Death due to COVID-19 in Several
Countries: A Literature Review. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia, 18(2):100-108.
National Research Council, & Committee on Population. 2000. The Consequences

id
of Maternal Morbidity and Maternal Mortality: Report of a Workshop. National
Academies Press.

.
go
NPR. 21 Oktober, 2022. Health department medical detectives find 84% of U.S. maternal
deaths are preventable. Diakses tanggal 4 April 2023 dari https://www.npr.org/
s.
sections/health-shots/2022/10/21/1129115162/ibu-mortality-childbirth-deaths-
p
prevention .
.b

OCHCR. 2010. Preventable maternal mortality and morbidity and human rights. OCHCR:
w

Geneva
w

PAHO. 2023. Zero Ibu Deaths. Prevent the preventable. Diakses tanggal 13 April 2023 dari
//w

https://www.paho.org/en/campaigns/zero-ibu-deaths-prevent-preventable
Pusat Penelitian Keluarga Sejahtera FKM UI and Vital Strategies. 2019. Every Mother and
s:

Newborn Counts Study. USAID.


tp

Pusdatin Kemenkes. 2014. Situasi Kesehatan Ibu Mother’s Day. Jakarta: Infodatin Kemenkes
Raharni, Supardi, S., & Susyanti, A. L. 2010. Faktor-fakor yang berperan terhadap
ht

Pemanfaatan dan Pelayanan UKBM Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat pada


rumah tangga di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 13 No. 2 April
2010: 132–139.
Ronsmans, C., Chowdhury, M. E., Dasgupta, S. K., Ahmed, A., & Koblinsky, M. 2010. Effect
of parent’s death on child survival in rural Bangladesh: a cohort study. The Lancet,
3759730, 2024-2031.
Rukmini, Betty Rosihermiatie, Zainul Nantabah. 2012. Ketersediaan dan Kelayakan Ruangan
Pelayanan Puskesmas Berdasarkan Topografi, Demografi dan Geografi di Indonesia.
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 15 No. 4 Oktober 2012: 408–417.
UNICEF. 2023. Maternal mortality declined by 34 per cent between 2000 and 2020. Diakses
tanggal 4 April 2023 dari https://www.who.int/publications/i/item/9789240068759
WHO. 2023a. Maternal Mortality. Diakses tanggal 4 April 2023 dari https://www.who.int/
news-room/fact-sheets/detail/maternal-mortality
WHO. 2023b. Ending preventable maternal mortality EPMM. Diakses tanggal 13 April 2023
dari https://www.who.int/initiatives/ending-preventable-maternal-mortality.
WHO. 2023c. SDG Target 3.1 Ibu mortality: By 2030, reduce the global ibu mortality ratio to
less than 70 per 100 000 live births. Diakses tanggal 4 April 2023 dari https://www.
who.int/data/gho/data/themes/topics/indicator-groups/indicator-group-details/
GHO/ibu-mortality

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 47


Analisis Faktor Risiko Kematian Ibu di Indonesia

Wulandari, IR & Melaniani, S. 2015. Estimasi Parameter Model Generalized Poisson


Regression Jumlah Kematian Ibu di Jawa Timur yang Mengalami Overdispersi. Jurnal
Biometrika dan Kependudukan, Vol. 4, No. 2 Desember 2015: 143–151.
Wulansari & Apriliastuti, DA. 2011. Hubungan Antara Status Ekonomi dan Jarak Tempuh
pada Ibu Hamil dengan Pemilihan Penolong Persalinan di Desa Ngendrokilo Magelang.
Jurnal Kebidanan, Vol. III, No. 1, Juni 2011.

id
.
go
s.
p
.b
w
w
//w
s:
tp
ht

48 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


3. Kematian Bayi dan Pembangunan Kesehatan Wilayah

3. Kematian Bayi dan Pembangunan Kesehatan Wilayah

. id
go
p s.

3
.b
w
w
//w
s:
tp
ht

Kematian Bayi dan


Pembangunan Kesehatan
Wilayah
A. Angka Kematian Bayi Indonesia di antara Negara ASEAN
B. Disparitas Angka Kematian Bayi di Indonesia
C. Pembangunan Kesehatan dan Kematian Bayi
D. Profil Rumah Tangga dengan Kasus Kematian Bayi
E. Kondisi Lingkungan dan Kematian Bayi
F. Kesimpulan
.id
go
ps.
.b
w
w
//w
s:
tp
ht

Ketimpangan
pembangunan kesehatan
antarwilayah di Indonesia
berpengaruh terhadap
tingginya kematian bayi di
beberapa provinsi.
Kematian Bayi dan Pembangunan Kesehatan Wilayah

Kematian Bayi dan


Pembangunan Kesehatan
Wilayah
A. Angka Kematian Bayi Indonesia di antara Negara ASEAN
Sebaran kematian anak-anak di dunia paling banyak terjadi pada usia 0-4 tahun (Our World
in Data, 2023). Apabila dilihat lebih dalam, kejadian tertinggi terjadi pada penduduk baru lahir
karena bayi sangat sensitif terhadap keadaan sekitar tempat tinggal. Setiap hari, ada sekitar
6.400 bayi baru lahir (neonatal) yang meninggal dunia (UNICEF, 2023a).
Indonesia termasuk 10 negara dengan kematian neonatal tertinggi di dunia, dengan angka 56

id
ribu kematian pada tahun 2020 (WHO, 2022). Artinya, ada sebanyak 6 bayi baru lahir yang
meninggal setiap jam di Indonesia. Kematian bayi baru lahir mendominasi Angka Kematian

.
go
Bayi (AKB) (sekitar 55 persen), sedangkan AKB menyumbang 85 persen kematian balita
secara umum (diolah dari BPS, 2023). s.
AKB menggambarkan banyaknya kematian bayi usia dibawah satu tahun, per 1.000 kelahiran
p
.b

hidup pada satu tahun tertentu. AKB sangat erat kaitannya dengan status sosial orang tua,
kondisi lingkungan, dan upaya intervensi yang dilakukan oleh pemerintah khususnya di bidang
w

kesehatan. Rendahnya AKB menggambarkan kualitas kesehatan yang baik di suatu negara.
w
//w

Di antara negara di Asia Tenggara (Gambar 1), posisi Indonesia masih lebih baik dibandingkan
rata-rata negara Asia Tenggara. AKB rata-rata negara Asia Tenggara sebesar 19,8 pada
s:

tahun 2020 (UN Population Division, 2023a). Capaian AKB Indonesia hampir setara dengan
Vietnam (16,90 dan 16,50). Kesamaan Indonesia dengan Vietnam juga terlihat dari data
tp

persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih dan tingkat fertilitas remaja. Persalinan
ht

ditolong tenaga kesehatan di Vietnam mencapai 96,1 persen di tahun 2021 (UNICEF, 2023b).
Gambar 1 Angka Kematian Bayi Negara ASEAN, 2020

34,60 35,51
34,22

21,58 22,15
Asia Tenggara: 19,80 16,50 16,90

9,25
7,37 7,38

1,65
Indonesia

Timor Leste

Myanmar
Singapura

Laos
Malaysia

Thailand

Brunei Darussalam

Vietnam

Kamboja

Filipina


Sumber: UN Population Division (2023b)

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 51


Kematian Bayi dan Pembangunan Kesehatan Wilayah

Sedangkan, Indonesia pada tahun 2022


mencapai 95,8 persen (BPS, 2022).
Sementara itu, fertilitas remaja di Vietnam
tahun 2019 mencapai 35 kelahiran per
1.000 perempuan remaja, hampir sama
dengan data Indonesia berdasarkan data
 AKB Indonesia
menurun secara
cepat selama lima
UNICEF (UNICEF, 2023b). dekade terakhir
Apabila dilihat menurut kecepatan sejak tahun 1971.
penurunan AKB, Indonesia memiliki
performa yang lebih baik. Pada tahun
1950, AKB Indonesia diperkirakan sekitar
199, sedangkan Vietnam mencapai 116. Pada tahun 1980, AKB Indonesia masih tinggi dan
mencapai dua kali lipat AKB Vietnam. Selanjutnya, AKB kedua negara diprediksi akan sama
pada tahun 2030, yaitu mencapai 13 (Macrotrends, 2023).
Untuk menurunkan AKB sampai level yang rendah, perlu diupayakan solusi yang mengarah

id
ke kondisi tersebut, utamanya meningkatkan pelayanan kesehatan dasar bagi ibu hamil,
ibu melahirkan, bayi, dan balita. Berdasarkan data UNICEF, nilai indeks cakupan pelayanan

.
go
kesehatan dasar (Coverage of Essential Health Services Index) baru mencapai angka 59 pada
tahun 2019, sedangkan Vietnam berada pada skor 70 pada tahun yang sama (UNICEF,
s.
2023b).
p
.b

Meski tergolong tinggi, AKB di Indonesia terus menurun dari waktu ke waktu (Gambar 2).
Pada akhir tahun 60-an, AKB Indonesia berada pada angka 145 kematian bayi per 1000
w

kelahiran hidup. Selanjutnya menjadi 109 kematian bayi per 1000 kelahiran hidup pada tahun
w

1976. Pada dekade 1980an, Indonesia terus mengalami perbaikan saat AKB menembus
//w

dibawah 100.
s:

Gambar 2 Angka Kematian Bayi Indonesia, 1971-2020


tp
ht

145

109

71

47

26
16,85

SP 1971 SP 1980 SP 1990 SP 2000 SP 2010 LF SP2020




Sumber: BPS, Long Form SP2020

Pada tahun 1990, AKB diperkirakan 71 per 1000 kelahiran hidup dan akan memasuki fase
intermediate rock, yaitu AKB berada pada rentang 30-70 (Utomo dalam Afifah, et al. (2009);
D’Souza (1989)). Penurunan AKB terus mengalami percepatan di dekade berikutnya hingga
hasil Long Form SP2020 menjadi 16,85 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Dalam fase ini
penurunan kematian akan lebih sulit, karena penanggulangan kematian memerlukan ilmu

52 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Kematian Bayi dan Pembangunan Kesehatan Wilayah

dan teknologi kedokteran yang lebih maju (Anggraini & Lisyaningsih, 2013; Utomo dalam
Afifah, et al., 2009; D’Souza, 1989).
Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pada
tahun 2024 AKB ditargetkan mencapai angka 16,00 per 1.000 kelahiran hidup. Apabila tidak
ada kejadian luar biasa yang merugikan, target tersebut optimis dapat tercapai lebih cepat,
mengingat pada tahun 2020 AKB hasil Long Form SP2020 sudah mencapai 16,85 per 1.000
kelahiran hidup. Sementara itu, target Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan, AKB tahun 2030 diharapkan mencapai 12 per 1.000 kelahiran
hidup. Apabila pelayanan kesehatan terus ditingkatkan dan risiko penyebab kematian bayi
dapat dikurangi, maka target SDGs diyakini akan tercapai. Saat ini, penyebab kematian bayi
terbanyak di Indonesia adalah BBLR (Berat Badan Lahir Rendah), infeksi, kelainan bawaan,
dan asfiksia (Kemenkes, 2022). Semua faktor tersebut pada umumnya dapat dicegah sedini
mungkin.

B. Disparitas Angka Kematian Bayi di Indonesia


Peta tematik pada Gambar 3 menunjukkan adanya disparitas AKB antara Kawasan Timur dan

id
Kawasan Barat, provinsi, maupun kabupaten/kota di Indonesia. Berdasarkan hasil Long Form

.
go
SP2020, AKB tertinggi berada di Provinsi Papua yaitu sebesar 38,17 kematian per 1.000
kelahiran hidup, sedangkan AKB terendah berada di Provinsi DKI Jakarta sebesar 10,38
s.
kematian per 1.000 kelahiran hidup.
p
Gambar 3 AKB per Provinsi, 2020
.b
w
w
//w
s:
tp
ht

Sumber: BPS, Long Form SP2020


Apabila dilihat lebih detail menurut kabupaten/kota (Gambar 4), terlihat disparitas yang
semakin lebar. AKB tertinggi berada di Kabupaten Nduga (56,69) dan AKB terendah berada
di Kota Jakarta Pusat (9,18). Kabupaten Nduga masih berada pada fase intermediate rock.
Pada fase ini, penyebab kematian bayi lebih banyak disebabkan penyakit infeksi, malnutrisi,
prematur dan kecelakaan persalinan. Untuk mengurangi penyebab kematian tersebut, perlu
adanya perubahan tatanan sosial masyarakat, penyediaan makanan dan pelayanan kesehatan
yang memadai dengan prioritas kesehatan ibu dan anak termasuk pemeriksaan antenatal dan
postnatal (Afifah, et al., 2009).

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 53


Kematian Bayi dan Pembangunan Kesehatan Wilayah

Gambar 4 AKB per Kabupaten Kota, 2020

. id
Sumber: BPS, Long Form SP2020

go
Selain Kabupaten Nduga, masih terdapat 61 kabupaten lainnya yang masih berada di fase
s.
intermediate rock. Kabupaten tersebut sebagian besar berada di Provinsi Papua, Papua Barat,
p
Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo,
.b

dan Aceh.
w

Sementara itu, terdapat 452 kabupaten/


w

kota yang berada pada fase hard rock.


 AKB Indonesia
//w

Pada fase ini penurunan AKB akan


cukup lambat karena penyebab kematian
menurun
seiring dengan
s:

didominasi oleh kelainan bawaan yang


meningkatnya
tp

baru dapat diatasi dengan ilmu dan


teknologi kedokteran yang lebih canggih.
persalinan dibantu
ht

Namun demikian, tidak menutup


kemungkinan penyebab kematian masih tenaga kesehatan.
banyak disebabkan penyakit yang dapat
diatasi atau dicegah dengan imunisasi atau
teknologi kedokteran saat ini. Oleh karena itu, akses terhadap pelayanan kesehatan menjadi
faktor yang sangat penting agar masyarakat dapat memperoleh layanan dengan teknologi
yang ada tersebut.

C. Pembangunan Kesehatan dan Kematian Bayi


Kematian bayi paling banyak terjadi pada periode awal kelahiran. Oleh sebab itu, menurut
WHO (2023), pembangunan kesehatan untuk bayi baru lahir merupakan hal yang
diprioritaskan yaitu dengan meningkatkan pelayanan antenatal yang berkualitas, ketersediaan
tenaga kesehatan terlatih pada saat kelahiran, perawatan pasca kelahiran untuk ibu dan bayi,
dan perawatan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) atau bayi yang sakit.
Ketersediaan tenaga medis sebagai penolong persalinan sangat penting untuk menurunkan
AKB. Apabila dilihat dari perkembangannya, penurunan AKB Indonesia seiring dengan
peningkatan persentase penolong kelahiran dibantu tenaga kesehatan. Pada tahun 2000,
kelahiran bayi yang ditolong tenaga kesehatan hanya sekitar 63 persen, pada periode
tersebut, AKB mencapai 47 kematian per 1.000 kelahiran. Pada tahun 2010, AKB mencapai

54 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Kematian Bayi dan Pembangunan Kesehatan Wilayah

26 kematian per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan persentase penolong kelahiran oleh
tenaga kesehatan mencapai 80 persen. Hingga pada tahun 2020, persentase penolong
persalinan oleh tenaga kesehatan meningkat menjadi 95 persen dan AKB mencapai sekitar
16,85 kematian per 1.000 kelahiran hidup (Gambar 5).

Gambar 5 Persentase Persalinan oleh Tenaga Kesehatan dan Angka Kematian Bayi,
2000-2022

95,16

79,82

62,78

Persalinan oleh Tenaga Kesehatan


47,00 (%)
Angka Kematian Bayi (per 1.000

id
kelahiran)
26,00

.
go
16,85
p s.
.b

2000 2010 2020



w

Sumber: BPS (2022) dan BPS (2023)


w
//w

Penolong kelahiran berkontribusi besar


terhadap keselamatan ibu dan bayi nya.

 Semakin banyak
s:

Terdapat hubungan yang sangat erat antara


persalinan
tp

kematian bayi dengan persalinan ditolong


tenaga kesehatan. Nilai korelasi Pearson antara
ditolong tenaga
ht

kedua variabel tersebut sebesar -0,73. Semakin


banyak persalinan ditolong tenaga kesehatan, kesehatan
maka semakin rendah tingkat kematian bayi di semakin
Indonesia. Akses atau kedekatan lokasi tenaga rendah tingkat
kesehatan juga berhubungan dengan kematian
bayi. Hal ini terindikasi dari korelasi antara kematian bayi di
jumlah tenaga kesehatan per luas wilayah Indonesia.
dengan kasus kematian bayi. Nilai korelasi
kedua variabel tersebut -0,40.
Menurut WHO (2023), ketersediaan tenaga medis tidak hanya untuk penolong kelahiran, tapi
juga untuk proses perawatan selanjutnya secara berkesinambungan mengingat 75 persen
kematian bayi baru lahir terjadi pada minggu pertama kelahiran. Selanjutnya, tenaga medis
juga diperlukan untuk mengatasi berbagai penyebab kematian utama balita, yaitu infeksi
saluran pernafasan atas (ISPA), diare, dan penyakit lainnya.
Akses terhadap fasilitas kesehatan juga turut berkontribusi terhadap kematian bayi. Semakin
banyak persalinan di fasilitas kesehatan, semakin rendah AKB. Banyaknya fasilitas kesehatan
yang mudah diakses juga akan menurunkan AKB. Namun demikian hubungan antara fasilitas
kesehatan dan AKB lebih rendah dari nilai hubungan antara kemudahan akses tenaga
kesehatan dan AKB. Hal ini terlihat dari nilai korelasinya (lihat Gambar 6).

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 55


Kematian Bayi dan Pembangunan Kesehatan Wilayah

Gambar 6 Hubungan antara AKB dengan Akses Pelayanan Kesehatan

100 3

Jumlah Tenaga Kesehatan Per Luas Wilayah


Persentase Persalinan oleh Tenaga

95 Korelasi Pearson
2,5
-0,411
90
2
85
Kesehatan

80 1,5

75
1
70
Korelasi Pearson
0,5
65 -0,725

60 0
0 10 20 30 40 10 15 20 25 30 35 40
Angka Kematian Bayi Angka Kematian Bayi
 

Hubungan Kematian Bayi dan Persalinan oleh Hubungan Kematian Bayi dan Keterjangkauan
Tenaga Kesehatan Tenaga Kesehatan

id
100 0,4
Persentase Persalinan di Fasilitas Kesehatan

.
Jumlah Fasilitas Kesehatan Per Luas Wilayah Korelasi Pearson
0,35

go
90 -0,370

0,3
80

70
p s.
0,25

0,2
.b

60
0,15
w

50 0,1
w

40 Korelasi Pearson 0,05


-0,575
//w

0
30 10 15 20 25 30 35 40
10 15 20 25 30 35 40
Angka Kematian Bayi
Angka Kematian Bayi 
s:


Hubungan Kematian Bayi dan Persalinan di Hubungan Kematian Bayi dan Keterjangkauan
tp

Fasilitas Kesehatan Fasilitas Kesehatan


ht

Sumber: BPS, Long Form SP2020, Susenas 2021, dan Podes 2021

D. Profil Rumah Tangga dengan Kasus Kematian Bayi


Beberapa karakteristik sosial ekonomi yang mempengaruhi kematian bayi diantaranya adalah
pendidikan dan umur orang tua, kondisi lingkungan, dan pendapatan (Schell, et al, 2007;
Kim & Saada, 2013; Bugelli, et al, 2021).
Namun faktor tersebut tidak serta merta
memengaruhi kematian bayi karena melalui
transmisi intermediate variable (variabel
antara) atau proximate variable.
Pendidikan orang tua, terutama ibu
Tingkat
pengetahuan  orang tua dan
memengaruhi pengetahuan dalam perawatan usia perempuan
bayi, contohnya dalam hal pentingnya ketika melahirkan
pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif. Saat
ini bayi di Indonesia sudah lebih banyak
turut berkontribusi
yang mendapatkan ASI eksklusif. Pemberian terhadap
ASI secara eksklusif juga menjadi salah satu penurunan AKB.
pendorong bayi semakin mampu bertahan

56 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Kematian Bayi dan Pembangunan Kesehatan Wilayah

hidup. Hasil Susenas menunjukkan adanya peningkatan pemberian ASI eksklusif kepada
bayi umur kurang dari 6 bulan. Hal ini diduga turut berkontribusi pada penurunan AKB di
Indonesia.
Gambar 7 Persentase Bayi Umur Kurang dari 6 Bulan yang Mendapat ASI Eksklusif,
2016-2022

83,40

69,62 71,58
66,69
55,96
49,51
44,36

id
2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022

.


go
Sumber: BPS, Susenas, diolah s.
Tingkat pengetahuan orang tua juga turut berkontribusi terhadap penurunan AKB, yaitu
p
dalam keputusan yang terkait dengan melahirkan, seperti pemilihan penolong kelahiran
.b

dan pemilihan fasilitas kesehatan. Usia perempuan saat melahirkan juga turut memengaruhi
w

kematian bayi, utamanya di saat perempuan masih sangat muda untuk melahirkan. Perempuan
w

melahirkan terlalu muda (remaja) berisiko meningkatkan kematian neonatal karena belum
//w

cukupnya kesiapan dari aspek kesehatan reproduksi, mental emosional, pendidikan,


pengetahuan reproduksi, dan sosial ekonomi.
s:

Kondisi lingkungan juga


tp

Gambar 8 Proporsi Kejadian Kematian Bayi menurut


Daerah Tempat Tinggal (per 10.000 memberikan pengaruh
ht

Rumah Tangga), 2022 terhadap kejadian kematian


bayi seperti ketersediaan
sanitasi, air bersih, listrik,
termasuk akses terhadap
53,64
makanan sehat dan fasilitas
53,24
kesehatan. Hasil Long Form
52,73 Sensus Penduduk 2020
menunjukan bahwa kejadian
kematian bayi tidak jauh
berbeda antara rumah tangga
yang tinggal di wilayah
Perkotaan Pedesaan Perkotaan dan Pedesaan perkotaan dan pedesaan,

dimana masing-masing sekitar
52-54 kematian per 10.000
Sumber: BPS, Long Form SP2020
rumah tangga (Gambar 8). Ini
menunjukan bahwa perbedaan
karakteristik dan fasilitas yang ada di wilayah pedesaan dan perkotaan sudah tidak
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kejadian kematian bayi. Upaya pemerintah
dalam penyediaan dan pemerataan fasilitas kesehatan khususnya di wilayah perdesaan telah
memberikan pengaruh positif terhadap penurunan kematian bayi di Indonesia.

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 57


Kematian Bayi dan Pembangunan Kesehatan Wilayah

Namun, kondisi yang berbeda


jika dilihat berdasarkan Gambar 9 Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami
topografi tempat tinggal Kasus Kejadian Kematian Bayi menurut
rumah tangga, dimana kasus Lokasi terhadap Kawasan Hutan (per
kejadian kematian bayi lebih 10.000 Rumah Tangga)
banyak terjadi pada rumah
tangga yang tinggal di dalam
58

kawasan hutan maupun di


wilayah puncak/tebing. Hasil
Long Form SP2020 mencatat
kejadian kematian bayi pada 53 53
rumah tangga yang tinggal di
dalam kawasan hutan sebesar
58 kematian per 10.000
rumah tangga, lebih banyak Di dalam kawasan hutan Di tepi/sekitar Di luar kawasan hutan
dibandingkan kematian bayi kawasan hutan

id
pada rumah tangga yang Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021
tinggal di wilayah tepi dan luar

.
go
kawasan hutan (Gambar 9).
s. Sementara kejadian kematian
Gambar 10 Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami
p
bayi pada rumah tangga yang
Kasus Kejadian Kematian Bayi menurut
.b

tinggal di wilayah puncak/


Topografi Tempat Tinggal (per 10.000 tebing adalah sebesar
w

Rumah Tangga) 77 kematian per 10.000


w

rumah tangga, lebih banyak


//w

77 dibandingkan kematian bayi


pada rumah tangga yang
s:

tinggal di wilayah lereng dan


tp

54 53
lembah (Gambar 10). Hal
ht

ini mengindikasikan bahwa


penyebab kematian bayi lebih
dipengaruhi oleh kesulitan
geografis yang menyebabkan
Puncak/Tebing Lereng Dataran/lembah
akses rumah tangga ke fasilitas
kesehatan menjadi sulit,
Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021 karena sebagian besar fasilitas
kesehatan berada di pusat
pemerintahan baik kecamatan
maupun desa sehingga rumah tangga yang tinggal di pegunungan maupun kawasan hutan
memiliki akses dan kendala menuju fasilitas kesehatan tersebut.
Selain dapat dilihat dari kondisi geografis, profil rumah tangga yang mengalami kematian bayi
juga sangat penting jika dikaitkan dengan profil kepala rumah tangga (KRT). Dalam sebuah
rumah tangga, KRT biasanya menjadi gambaran karakteristik dari rumah tangga tersebut
secara umum. Hal ini dikarenakan, KRT merupakan orang yang bertanggung jawab terhadap
kebutuhan serta pengambil keputusan penting terkait rumah tangga sehingga perannya
sangat kuat, termasuk dalam kaitannya dengan perawatan dan pemenuhan kebutuhan pokok
bayi pada rumah tangga tersebut.

58 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Kematian Bayi dan Pembangunan Kesehatan Wilayah

Berdasarkan hasil Long Form SP2020, kasus kematian bayi cenderung terjadi pada rumah
tangga dengan tingkat pendidikan KRT bukan lulusan perguruan tinggi (universitas).
Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi pada umumnya memiliki pengetahuan
yang lebih luas dan lebih terbuka dalam menerima informasi, termasuk dalam hal perawatan
bayi, pemilihan fasilitas kesehatan, dan pola asuh yang lebih baik.
Gambar 11 Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Kasus Kejadian Kematian Bayi
menurut Pendidikan Kepala Rumah Tangga (per 10.000 Rumah Tangga),
2022

58 58
50 48

. id
go
SD atau tidak sekolah SMP/Sederajat
s.
SMA/Sederajat Universitas/Perguruan
Tinggi
p

.b

Sumber: BPS, Long Form SP2020


w

Selanjutnya, kecenderungan Gambar 12 Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami


w

kematian bayi juga terjadi Kasus Kejadian Kematian Bayi menurut


//w

pada rumah tangga dengan Umur KRT (per 10.000 Rumah Tangga),
umur KRT kurang dari 40 2022
s:

tahun dibandingkan rumah


tp

tangga dengan KRT umur 40 86

tahun lebih. KRT tersebut bisa


79
ht

merupakan orang tua bayi,


kakek/nenek atau anggota
rumah tangga lain dari bayi 42

tersebut. Namun apabila


melihat umur KRT kurang dari
25 tahun, maka ada peluang
bahwa KRT tersebut adalah
orang tua dari bayi tersebut. <25 25-39 40+


Pada rumah tangga dengan Sumber: BPS, Long Form SP2020


umur kurang dari 25 tahun,
kasus kematian bayi cukup
tinggi, hampir mencapai 80 per 10.000 rumah tangga pada kategori umur KRT yang sama
(lihat Gambar 12). Oleh sebab itu, pasangan muda perlu mendapatkan edukasi yang lebih
intens dalam hal perawatan dan pengasuhan bayi karena mereka umumnya masih belum
memiliki banyak pengalaman atau mendapatkan pendampingan dari orang tua atau saudara
yang lebih mengetahui dan berpengalaman.
Selanjutnya, kasus kematian bayi di dunia umumnya terjadi pada negara dengan penduduk
miskin yang banyak. Pada level rumah tangga, tingkat kemiskinan berkaitan dengan rata-
rata jumlah anggota rumah tangga. Semakin banyak jumlah anggota keluarga akan membuat

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 59


Kematian Bayi dan Pembangunan Kesehatan Wilayah

kebutuhan ekonomi rumah tangga menjadi lebih besar, sehingga apabila tidak memiliki
sumber pendapatan yang mencukupi akan menyebabkan kemungkinan rumah tangga
tersebut menjadi miskin semakin besar. Hasil Long Form SP2020 menunjukkan bahwa
semakin banyak jumlah anggota rumah tangga semakin besar potensi kasus kematian bayi
pada rumah tangga tersebut.
Gambar 13 Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Kasus Kejadian Kematian Bayi
menurut Keberadaan Anak dan Jumlah Anggota Rumah Tangga (per 10.000
Rumah Tangga), 2022
73
65

53

37 39

. id
go
ART 1-2 Orang ART 3-4 Orang ART 5+ orang Tidak ada anak Ada anak KRT
p s. (umur <18 tahun)


Sumber: BPS, Long Form SP2020


.b

Gambaran lain dari hasil Long Form SP2020


w

adalah kejadian kematian bayi pada rumah



Kematian bayi
w

tangga yang memiliki anak (usia kurang cenderung terjadi


//w

dari 18 tahun). Kejadian kematian bayi


pada rumah tangga tersebut cukup tinggi. pada rumah tangga
s:

Namun belum dapat dipastikan anak dengan beban


tp

tersebut adalah kakak kandung dari bayi ketergantungan


ht

yang meninggal atau bukan, sehingga


hubungan antara paritas (banyaknya
tinggi, yaitu memiliki
anak yang dilahirkan) atau jarak kelahiran jumlah anggota
dengan adanya kasus kematian bayi belum rumah tangga yang
dapat dilihat dari informasi tersebut. Meski banyak.
demikian, data tersebut dapat memberikan
informasi tambahan bahwa dalam rumah
tangga yang memiliki anggota rumah
tangga yang banyak dan beban ketergantungan besar (dilihat dari adanya penduduk usia
anak) memperbesar kecenderungan adanya kasus kematian bayi.
Pada kondisi normal, 97 persen bayi baru lahir dapat bertahan selama 5 (lima) tahun
kehidupan pertamanya (Mosley & Chen, 1984). Namun, seiring berjalannya waktu, berbagai
faktor sosial, ekonomi, biologis, dan lingkungan akan mempengaruhi peluang tersebut. Salah
satu kategori variabel proximate yang memengaruhi keberlangsungan hidup seorang anak
adalah kontaminasi lingkungan. Kontaminasi ini dapat disebabkan oleh ketidaksesuaian letak
tempat tinggal yang mengakibatkan sumber daya alamnya tercemar, hingga kelayakan dari
sebuah hunian/rumah. Rumah tangga diklasifikasikan memiliki akses terhadap hunian/rumah
yang layak huni apabila memenuhi 4 (empat) kriteria yaitu: 1) kecukupan luas tempat tinggal
minimal 7,2 m2 per kapita; 2) memiliki akses terhadap air minum yang layak; 3) memiliki akses
terhadap sanitasi yang layak; dan 4) ketahanan bangunan (BPS, 2020).

60 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Kematian Bayi dan Pembangunan Kesehatan Wilayah

Gambar 14 Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Kasus Kejadian Kematian Bayi
menurut Kondisi Bangunan (per 10.000 Rumah Tangga), 2022
64

53 55 53 53
49

Lantai tanah Lantai bukan Atap tidak Atap layak Dinding tidak Dinding layak
tanah layak layak


id
Catatan:

.
1. Lantai layak jika berbahan bukan tanah (marmer/granit, keramik, parket/vinil/karpet, ubin/tegel/teraso,

go
kayu/papan, semen/bata merah)
2. Atap layak jika berbahan beton, genteng, seng, kayu/sirap
s.
3. Dinding layak jika berbahan tembok, plesteran/anyaman bambu/kawat, kayu/papan, batang kayu
p
Sumber: BPS, Long Form SP2020
.b

Secara umum tidak ada perbedaan signifikan antara hunian yang memiliki kriteria ketahanan
w

bangunan dan yang tidak (Gambar 14). Pada rumah tangga yang memiliki atap terluas berupa
w

beton/ genteng/ seng/ kayu/ sirap atau atap layak memiliki rata-rata kematian bayi sebanyak
//w

53 per 10.000 rumah tangga, rumah tangga memiliki atap hunian terluas tidak layak sebanyak
55 per 10.000 rumah tangga.
s:

Rumah tangga yang memiliki hunian dengan dinding terluas berupa tembok/plesteran
tp

anyaman bambu/kawat, kayu/papan dan batang kayu rata-rata mengalami kejadian kematian
ht

bayi lebih sedikit dibanding dengan rumah tangga dengan hunian tidak sesuai dengan
kriteria ketahanan bangunan, yaitu 53 per 10.000 rumah tangga. Hasill Long Form SP2020
menunjukkan bahwa hunian berbahan selain tembok/plesteran anyaman bambu/kawat,
kayu/papan dan batang kayu memiliki rata-rata kematian bayi lebih banyak, yaitu 64 per
10.000 rumah tangga.
Berbeda pada dua kriteria sebelumnya, rumah tangga yang memiliki lantai terluas dalam
kategori ketahanan bangunan justru memiliki kejadian kematian bayi lebih tinggi yaitu 53
per 10.000 rumah tangga, sedangkan pada rumah tangga yang memiliki lantai terluas berupa
tanah sebanyak 49 per 10.000 rumah tangga. Terkait dengan hasil ini perlu adanya kajian
yang lebih dalam mengapa hal tersebut dapat terjadi karena tidak sesuai dengan penilaian
umum.
Gambar 6 pada bagian sebelumnya menjelaskan bahwa kejadian kematian bayi memiliki
korelasi negatif terhadap keterjangkauan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan. Tenaga
kesehatan yang dimaksud mencakup dokter, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga
gizi, perawat, dll, sedangkan fasilitas kesehatan yang dimaksud mencakup rumah sakit,
rumah sakit bersalin, puskesmas dengan rawat inap, puskesmas tanpa rawat inap, puskesmas
pembantu, poliklinik/balai pengobatan, tempat praktik dokter, rumah bersalin, dan tempat
praktik bidan.

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 61


Kematian Bayi dan Pembangunan Kesehatan Wilayah

Hal ini semakin dipertegas Gambar 15 Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami
lagi dengan Hasil Long Form Kasus Kejadian Kematian Bayi menurut
SP2020 yang menunjukan Akses Terhadap Fasilitas dan Tenaga
bahwa kejadian kematian Kesehatan (per 10.000 Rumah Tangga)
bayi cenderung lebih banyak
terjadi pada rumah tangga
61
yang mengalami kesulitan
mengakses fasilitas kesehatan
dan tenaga kesehatan (Gambar
15). Kejadian kematian bayi 54

pada rumah tangga yang 52


51
berada di desa yang tidak
ada fasilitas kesehatan adalah
sebanyak 61 per 10.000 rumah
tangga. Sebaliknya, pada rumah Ada faskes Tidak ada faskes Ada nakes Tidak ada nakes
tangga yang tinggal di desa Catatan:

id
dengan fasilitas kesehatan Faskes yang dimaksud mencakup rumah sakit, rumah sakit bersalin,
jumlahnya lebih kecil, yaitu 52 puskesmas dengan rawat

.
inap, puskesmas tanpa rawat inap,

go
kejadian kematian per 10.000 puskesmas pembantu, poliklinik/balai pengobatan, tempat praktik
rumah tangga. Demikian dokter, rumah bersalin, tempat praktik bidan.
s.
halnya dengan keberadaan Tenaga kesehatan yang dimaksud mencakup dokter, bidan, tenaga
p
tenaga kesehatan di desa kesehatan masyarakat, tenaga gizi, perawat, dll
.b

juga memberikan pengaruh Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021
w

terhadap kejadian kematian


w

bayi. Rumah tangga yang tinggal di daerah yang memiliki tenaga kesehatan mengalami
//w

kejadian kematian bayi yang lebih rendah dibandingkan dengan rumah tangga yang tinggal di
desa tanpa tenaga kesehatan.
s:

Gambar 16 Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Kasus Kejadian Kematian Bayi
tp

menurut Jarak Terhadap Rumah Sakit dan Bidan (per 10.000 Rumah
ht

Tangga)

69
61
53 53 53 51

Ada RS di desa Tidak ada RS di Ada puskesmas di Tidak ada Ada praktik bidan Tidak ada praktik
atau tidak ada RS desa dan jarak desa atau tidak puskesmas di di desa atau tidak bidan di desa dan
di desa tetapi terdekat >50 Km ada puskesmas di desa dan jarak ke ada praktik bidan jarak ke praktik
jarak terdekat desa tetapi jarak puskesmas di desa tetapi bidan terdekat >5
<=50 km terdekat <=10 km terdekat >10 Km jarak terdekat <=5 Km
km


Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021

Selain aspek ketersediaan, faktor jarak yang jauh dapat meningkatkan potensi kematian bayi.
Hal ini terlihat dari Gambar 16. Kasus kematian bayi lebih banyak terjadi pada rumah tangga
yang memiliki jarak yang jauh dari rumah sakit atau bidan. Oleh sebab itu, selain menjamin
ketersediaan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan, aspek jarak juga perlu diperhatikan.

62 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Kematian Bayi dan Pembangunan Kesehatan Wilayah

Sementara itu, jarak dengan puskesmas tampaknya tidak membedakan kasus kematian bayi
pada rumah tangga yang tinggal dekat dengan puskesmas atau tidak.

Gambar 17 Proporsi Rumah Tangga yang Selain keberadaan dan jarak


Mengalami Kasus Kejadian Kematian fasilitas kesehatan, kondisi jalan
Bayi menurut Kondisi Jalan (per 10.000 diduga memengaruhi rumah
Rumah Tangga) tangga dalam memanfaatkan
fasilitas kesehatan yang tersedia.
75 Berdasarkan integrasi data Long
Form SP2020 dan Potensi Desa
56 2021, terungkap bahwa kejadian
53
51 kematian bayi cenderung lebih
banyak terjadi pada rumah tangga
yang tinggal pada lingkungan yang
tidak ada transportasi darat atau
dengan akses jalan yang kurang
baik seperti berupa jalan tanah

id
atau yang diperkeras dengan

.
go
Aspal/beton Diperkeras Tanah Lainnya atau tidak ada kerikil, batu, dll (Gambar 17).
(kerikil, batu, dll) transportasi darat
s. Terdapat 75 rumah tangga dengan
kematian bayi per 10.000 rumah
Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021
p
tangga pada lingkungan yang tidak
.b

ada transportasi darat, sedangkan


pada kondisi jalan tanah, aspal/beton, diperkeras (kerikil, batu, dll) secara berturut-turut
w

terdapat kejadian kematian sebanyak 56, 53, dan 51 per 10.000 rumah tangga.
w
//w

Gambar 18 Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Kasus Kejadian Kematian Bayi
menurut Kualitas Sinyal Internet dan Kualitas Penerangan Jalan Utama (per
s:

10.000 Rumah Tangga)


tp
ht

63 62
54 56
53
51

Sinyal Sinyal lemah Tidak ada Penerangan Penerangan Tidak ada


kuat/sangat sinyal jalan utama jalan utama penerangan
kuat sebagian besar ada tetapi jalan utama
ada hanya sebagian
kecil


Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021

Integrasi data Long Form SP2020 dengan data Potensi Desa 2021 juga memungkinkan untuk
mendapatkan informasi kecenderungan kejadian kematian bayi berdasarkan keberadaan
sinyal internet. Gambar 18 menunjukan adanya kecenderungan kejadian kematian bayi yang
lebih tinggi pada daerah yang tidak ada sinyal yaitu 63 per 10.000 rumah tangga, sedangkan
pada daerah yang memiliki sinyal lemah dan sinyal kuat secara berurut cenderung terjadi 54
dan 53 per 10.000 rumah tangga. Demikian halnya dengan kondisi penerangan jalan utama.
Semakin baik kualitas penerangan jalan utama di desa, semakin kecil terjadinya kematian bayi

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 63


Kematian Bayi dan Pembangunan Kesehatan Wilayah

pada rumah tangga. Keberadaan sinyal internet yang baik dapat membantu menyebarkan
informasi dan pengetahuan kepada ibu terkait pencegahan kematian ibu dan bayi. Selain itu,
kualitas sinyal internet dan penerangan jalan yang baik dapat mempercepat pertolongan pada
kasus kedaruratan yang menimpa bayi, misalnya dalam hal mencari penolong, transportasi,
fasilitas, dan tenaga kesehatan yang dibutuhkan saat kondisi darurat tersebut.

E. Kondisi Lingkungan dan Kematian Bayi


Kondisi lingkungan dan geografi suatu wilayah memengaruhi kondisi kesehatan penduduknya.
Meskipun upaya penyediaan fasilitas dan tenaga kesehatan telah banyak dilakukan, tetapi
faktor geografi turut memengaruhi kedua sumberdaya kesehatan tersebut. Beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa jarak dan lokasi geografis menjadi faktor terjadinya
kematian bayi, seperti hasil kajian Almeida & Szwarcwald (2012); Ramalho et al., (2013).
Untuk konteks Indonesia, wilayah tempat tinggal dan kondisi geografis kepulauan juga turut
berkontribusi terhadap disparitas kematian bayi (Hodge, et al., 2014).
Kondisi lingkungan lainnya yang berpengaruh terhadap kematian bayi adalah sanitasi dan air
bersih. Penyakit akan timbul pada lingkungan yang tidak bersih atau sehat. Seperti diketahui,

id
penyebab kematian bayi yang paling banyak adalah penyakit ISPA dan diare (WHO, 2023),

.
go
kedua penyakit tersebut berkaitan erat dengan kondisi kesehatan lingkungan rumah. Balita
Gambar 19 Hubungan Kematian Bayi dan Kondisi Lingkungan
p s.
.b

105 100
Memiliki Fasilitas Buang Air Besar

w
Persentase Rumah Tangga Yang

90
Persentase Rumah Tangga dengan

100
w

80
Sumber Air Minum Bersih

95
70
//w

90
60
85
50
s:

80
40
75
tp

30
70 Korelasi Pearson
Korelasi Pearson 20 -0,405
ht

65 -0,710
10
60 0
10 15 20 25 30 35 40 10 15 20 25 30 35 40
Angka Kematian Bayi Angka Kematian Bayi

Hubungan Kematian Bayi dan Ketersediaan Hubungan Kematian Bayi dengan Ketersediaan
Fasilitas Buang Air Besar Sumber Air Minum Bersih
105
Persentase Rumah Tangga dengan

100
Luas Lantai Per Kapita >7,2 m2

95

90

85

80

75

70
Korelasi Pearson
-0,592
65

60
10 15 20 25 30 35 40
Angka Kematian Bayi

Hubungan Kematian Bayi dan Luas Hunian


per Kapita

Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Susenas 2021

64 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Kematian Bayi dan Pembangunan Kesehatan Wilayah

yang mengalami berbagai penyakit berisiko tersebut lebih banyak tinggal di lingkungan
dengan fasilitas buang air besar dan air bersih yang kurang memadai seperti hasil kajian
Kasnodihardjo & Elsi (2013).
Ketersediaan sumber air minum yang bersih sangat berkaitan erat dengan kasus kematian
bayi. Hal ini terlihat dari nilai hubungan yang cukup kuat (0,7). Semakin banyak rumah tangga
yang memiliki fasilitas buang air besar semakin rendah AKB. Demikian halnya dengan sumber
air minum bersih. Semakin banyak rumah tangga yang memiliki sumber air minum bersih,
semakin rendah AKB suatu wilayah (nilai korelasi 0,4).
Kepadatan hunian juga memengaruhi
kesehatan bayi dan balita yang dalam kondisi
tertentu dapat berujung pada kematian.
Rumah yang padat penghuni memerlukan
aliran udara yang lebih besar, sehingga
apabila ada kondisi ini tidak terpenuhi
 Sanitasi dan Air
Bersih memiliki
keterkaitan erat
dapat memudahkan penyebaran penyakit, dengan kesehatan

id
utamanya penyakit yang menular melalui bayi.
udara. Selain rumah yang padat penghuni

.
go
umumnya juga memiliki ruang gerak yang
kurang luas sehingga penularan penyakit s.
yang melalui persinggungan dapat mudah menyebar. Bayi relatif rentan terhadap penularan
p
penyakit, seperti telah diungkapkan dalam berbagai kajian seperti Medhyna (2019) dan Juni
.b

et al (2016). Keterkaitan AKB dengan banyaknya rumah tangga dengan kepadatan rumah
w

cukup tinggi (korelasi 0,6). Semakin banyak rumah tangga dengan luas hunian lantai per
w

kapita lebih dari 7,2 m2 semakin sedikit kasus kematian bayi.


//w

Kondisi lingkungan merupakan faktor antara (intermediate variable) dalam kasus kematian
bayi. Faktor tersebut memengaruhi morbiditas yang berpengaruh secara langsung terhadap
s:

kematian bayi. Dengan demikian, peningkatan kualitas lingkungan merupakan hal yang sangat
tp

berkaitan erat dengan penurunan angka kematian bayi di Indonesia dan perlu diupayakan
ht

perbaikannya secara terus menerus.

F. Kesimpulan
Bayi mulai terpapar terhadap lingkungannya sejak saat dilahirkan. Pada fase sebelumnya
(selama kehamilan kelangsungan hidup), calon bayi berada di bawah kontrol faktor-faktor
biologi yang terdapat pada orang tua dan faktor-faktor biologi lingkungan luar yang bekerja
melalui ibunya. Penyebab yang bertalian erat dengan pengaruh lingkungan luar akan sangat
menentukan tinggi rendahnya kematian bayi. Kondisi kualitas lingkungan yang bersih,
sanitasi yang baik, higienitas yang terjaga, dan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya sangat
menentukan dalam pencegahan kematian bayi.
Disamping itu aspek keterjangkauan fasilitas kesehatan masih menjadi tantangan yang
perlu diselesaikan guna menekan kasus kematian bayi di Indonesia. Hal ini terlihat dari
berbagai indikator yang sudah dibahas sebelumnya, seperti kondisi geografis tempat tinggal
dan infrastruktur yang mendukung dalam upaya pencegahan kematian bayi. Disparitas
pembangunan antarwilayah di Indonesia berpengaruh terhadap tingginya kematian bayi di
beberapa wilayah yang disebabkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan belum
dapat dijangkau terutama bagi penduduk yang kurang mendapat akses layanan kesehatan.
Kepadatan hunian berkaitan dengan jumlah anggota rumah tangga yang menghuni dan luas
rumah yang dihuni. Rumah tangga yang berukuran besar (big family) memiliki kecenderungan

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 65


Kematian Bayi dan Pembangunan Kesehatan Wilayah

yang lebih tinggi untuk mengalami kasus kematian bayi. Kepadatan hunian juga
menggambarkan beban pemenuhan kebutuhan rumah tangga (aspek ekonomi). Oleh sebab
itu, upaya penurunan kematian bayi juga bisa diarahkan pada peningkatan perlindungan
sosial bagi rumah tangga yang berukuran besar dan memiliki balita. Saat ini, perlindungan
sosial yang sudah berjalan masih menyasar rumah tangga miskin yang memiliki balita, belum
mempertimbangkan banyaknya anggota rumah tangga penerima manfaat.
Terdapat beberapa aspek yang berkaitan dengan kematian bayi, seperti pengetahuan
orang tua. Pengetahuan akan kesehatan yang didapat dari pendidikan orang tua, tenaga
kesehatan, dan masyarakat dan akses internet dapat mendukung upaya penurunan kematian
bayi. Keputusan untuk memiliki anak dan penolong persalinan juga terbukti berkontribusi
terhadap penurunan kematian bayi. Disamping itu pemberian ASI eksklusif yang lengkap
juga merupakan pencegahan terhadap kematian bayi dan mempu memberikan ketahanan
terhadap penyakit sepanjang hidupnya.
Penanganan terhadap masalah kematian bayi menuntut adanya penanganan yang
komprehensif, terdapat aspek ekonomi dan sosial pada masyarakat yang perlu menjadi

id
perhatian. Terdapat juga aspek pengetahuan, kepercayaan, fasilitas publik, fasilitas kesehatan,
serta nilai-nilai budaya positif dapat memberikan penurunan terhadap kematian bayi.

.
go
s.
G. Daftar Pustaka
p
.b

Afifah, T., Djaja, S., & Irianto, J. 2009. Tren dan Disparitas Angka Kematian Bayi AKB, Angka
w

Kematian Anak Balita AKA, Angka Kematian Balita AKBA Menurut Sosial Ekonomi di
Indonesia, SUSENAS 1998, 2001 dan 2003. Buletin Penelitian Kesehatan, 363.
w

Anggraini, E., & Lisyaningsih, U. 2013. Disparitas spasial angka harapan hidup di indonesia
//w

tahun 2010. Jurnal Bumi Indonesia, 23.


Almeida, W. D. S. D., & Szwarcwald, C. L. 2012. Infant mortality and geographic access to
s:

childbirth in Brazilian municipalities. Revista de Saúde Pública, 46, 68-76.


tp

BPS. 2020. Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan 2020. Jakarta: BPS.
ht

BPS. 29 Desember, 2022. Indikator Kesehatan 1995-2022. Diperoleh tanggal 18 April


2023, dari https://www.bps.go.id/statictable/2009/03/10/1559/indikator-
kesehatan-1995-2022.html
BPS. 2023. Hasil Long Form Sensus Penduduk 2020. Jakarta: BPS.
Bugelli, A., Borgès Da Silva, R., Dowbor, L., & Sicotte, C. 2021. The determinants of infant
mortality in Brazil, 2010–2020: a scoping review. International journal of environmental
research and public health, 1812, 6464.
D’Souza, S. 1989. The assessment of preventable infant and child deaths in developing
countries: some applications of a new index. World health statistics quarterly 1989; 42
1: 16-25.
Hodge, A., Firth, S., Marthias, T., & Jimenez-Soto, E. 2014. Location matters: trends in
inequalities in child mortality in Indonesia. Evidence from repeated cross-sectional
surveys. Plos one, 97, e103597.
Juni, M., Nurjazuli, N., & Suhartono, S. 2016. Hubungan Faktor Kualitas Lingkungan Rumah
Dengan Kejadian Pneumonia Pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Banjarmangu 1
Kabupaten Banjarnegara. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 151, 6-13.
Medhyna, V. 2019. Hubungan Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Ispa Pada Bayi.
Bayi Child Health Care, 12, 82-86.
Kasnodihardjo, K., & Elsi, E. 2013. Deskripsi sanitasi lingkungan, perilaku ibu, dan kesehatan
anak. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional National Public Health Journal, 79,
415-420.

66 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Kematian Bayi dan Pembangunan Kesehatan Wilayah

Kemenkes. 2022. Profil Kesehatan Indonesia 2021. Jakarta: Kemenkes


Kim, D., & Saada, A. 2013. The social determinants of infant mortality and birth outcomes
in Western developed nations: a cross-country systematic review. International
journal of environmental research and public health, 106, 2296-2335.
Macrotrends. 2023. Infant Mortality Rate 1950-2023. Diperoleh tanggal 18 April 2023,
dari https://www.macrotrends.net/countries/VNM/vietnam/infant-mortality-rate.
Mosley, W. H., & Chen, L. C. 1984. An Analytical Framework for the Study of Child
Survival in Developing Countries. Population and Development Review, Vol. 10,
Supplement: Child Survival: Strategies for Research, 25-45.
Our World in Data. 2023. Deaths by age, World, 2021. Diperoleh tanggal 31 Maret 2023,
dari https://ourworldindata.org/grapher/deaths-globally-by-age?country=~OWID_
WRL.
Ramalho, W. M., Sardinha, L. M. V., Rodrigues, I. P., & Duarte, E. C. 2013. Inequalities in
infant mortality among municipalities in Brazil according to the Family Development
Index, 2006-2008. Revista Panamericana de Salud Pública, 333, 205-212.
Schell, C. O., Reilly, M., Rosling, H., Peterson, S., & Mia Ekström, A. 2007. Socioeconomic

id
determinants of infant mortality: a worldwide study of 152 low-, middle-, and high-
income countries. Scandinavian journal of public health, 353, 288-297.

.
go
UN Population Division. 2023a. Infant mortality rate IMR. Diperoleh tanggal 31 Maret
2023, dari https://population.un.org/dataportal/data/indicators/22/locations/920/
s.
start/2021/end/2021/table/pivotbyindicator.
p
UN Population Division. 2023b. Infant mortality rate IMR. Diperoleh tanggal 31
.b

Maret 2023, dari https://population.un.org/dataportal/data/indicators/22/


w

locations/920,96,116,360,418,458,104,608,702,764,626,704/start/2021/
w

end/2021/bar/barvertical.
//w

UNICEF. 2023a. Neonatal mortality. Diperoleh tanggal 2 Mei 2023, dari https://data.
unicef.org/topic/child-survival/neonatal-mortality/#:~:text=The%20first%2028%20
s:

days%20of,1%2C000%20live%20births%20in%201990.
tp

UNICEF. 2023b. Child well-being. Diperoleh tanggal 18 April 2023, dari https://data.unicef.
org/sdgs/country/vnm/#cri
ht

WHO. 28 Januari, 2022. Newborn Mortality. Diperoleh tanggal 2 Mei 2023, dari https://
www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/levels-and-trends-in-child-mortality-
report-2021

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 67


ht
tp
s:
//w
w
w
.b
ps.
go
.id
.id
go
s.

4
p
.b
w
w
//w
s:
tp
ht

Akses Penyandang Disabilitas


Terhadap Pendidikan dan
Ketenagakerjaan
A. Penyandang Disabilitas Adalah Subjek dan Objek Pembangunan
B. Tantangan Mewujudkan Pembangunan Inklusif Bagi Penyandang
Disabilitas
C. Penyandang Disabilitas di Indonesia Dibandingkan Negara lain
D. Karakteristik Penduduk Penyandang Disabilitas di Indonesia
E. Capaian Pendidikan Penyandang Disabilitas
F. Peluang Disabilitas dalam Pasar Tenaga Kerja
G. Kesimpulan
.id
go
ps.
.b
w
w
//w
s:

Perwujudan pembangunan
tp

inklusif bagi penyandang


ht

disabilitas masih menjadi


tantangan di Indonesia.
Dalam hal pendidikan
kondisi tersebut terlihat
dari rendahnya tingkat
pendidikan yang
ditamatkan dan partisipasi
sekolah.
Akses Penyandang Disabilitas Terhadap Pendidikan dan Ketenagakerjaan

Akses Penyandang Disabilitas Terhadap


Pendidikan dan Ketenagakerjaan
A. Penyandang Disabilitas Adalah Subjek dan Objek Pembangunan
Disabilitas didefinisikan sebagai gangguan fisik atau mental yang membatasi kemampuan
seseorang untuk melakukan aktivitas dengan cara atau dalam kisaran yang dianggap normal
bagi manusia. Jenis disabilitas yang paling umum adalah gangguan penglihatan, gangguan
pendengaran, dan gangguan fisik. Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang
menyandang disabilitas, diantaranya genetik, penyakit, cedera, atau faktor lingkungan (WHO,
2001). Pada prinsipnya, penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dalam berbagai
hal. Sebagaimana individu pada umumnya, penyandang disabilitas tidak hanya berhak atas
pemenuhan hak-hak dasar, tetapi juga secara inklusif dapat berkontribusi memanfaatkan
potensinya dalam pertumbuhan dan kemajuan masyarakat, tanpa melihat kemampuan fisik,

id
sensorik, kognitif, atau emosionalnya. Dengan demikian, penyandang disabilitas memiliki

.
akses setara terhadap pendidikan, pekerjaan, layanan kesehatan, transportasi, informasi, dan

go
partisipasi sosial. s.
Perjalanan menuju pembangunan inklusif memerlukan upaya kolaboratif yang melibatkan
p
pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, dan individu. Dengan pembangunan yang inklusif
.b

bagi penyandang disabilitas, hal yang diharapkan adalah adanya kesetaraan kesempatan,
w

pemberdayaan, budaya saling menghormati, empati, dan inklusi, sehingga memastikan tidak
w

ada seorang pun yang dikucilkan atau dipinggirkan (UNICEF 2022).


//w

Hasil Long Form SP2020 dapat menyajikan profil penyandang disabilitas, sehingga dapat
memberikan gambaran apakah penyandang disabilitas telah secara inklusif berperan dalam
s:

pembangunan, terutama dalam aspek pendidikan dan ketenagakerjaan. Disabilitas yang


tp

dimaksud adalah kondisi dimana seseorang mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan
ht

sehari-hari akibat dari keterbatasan yang dimiliki seperti pengelihatan, pendengaran, hingga
mental dimana kesulitan ini tetap tidak bisa diatasi walaupun telah dibantu dengan alat
penunjang.

B. Tantangan Mewujudkan Pembangunan Inklusif Bagi Penyandang


Disabilitas
Tidak ada negara yang tidak memiliki penduduk dengan disabilitas, tanpa terkecuali
Indonesia. Dengan jumlah yang cenderung minor, penyandang disabilitas di Indonesia kerap
menghadapi berbagai tantangan dan peluang yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti
budaya, kebijakan pemerintah, dan sikap masyarakat.
Secara umum, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki perhatian terhadap
penyandang disabilitas. Indonesia meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang
Disabilitas (UNCRPD) pada tahun 2011, menunjukkan komitmen yang kuat untuk melindungi
dan memajukan hak-hak penyandang disabilitas. Indonesia juga telah mengeluarkan undang-
undang terkait hak-hak disabilitas, termasuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas. Dalam undang-undang tersebut, Indonesia berupaya menyejajarkan
kesempatan yang bisa didapatkan oleh penyandang disabilitas di mana pun.

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 71


Akses Penyandang Disabilitas Terhadap Pendidikan dan Ketenagakerjaan

Indonesia juga berusaha memonitor


kesetaraan penyandang disabilitas melalui

 Indonesia juga
berusaha memonitor
kesetaraan
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
atau dikenal Sustainable Development
Goals (SDGs). Salah satu indikator
yang menjadi fokus adalah pendidikan
penyandang berkualitas (Tujuan ke-4). Peningkatan
disabilitas melalui akses terhadap pendidikan berkualitas
Tujuan Pembangunan terutama bagi anak-anak penyandang
disabilitas merupakan salah satu fokusnya.
Berkelanjutan atau
Selain itu, Pemerintah Indonesia juga
dikenal Sustainable memiliki perhatian dalam memonitor
Development Goals tujuan ke-8 mengenai pekerjaan layak.
(SDGs). Hal ini dikarenakan penyandang disabilitas
sering kali menghadapi diskriminasi dan
hambatan dalam mengakses peluang kerja.

id
Dari hasil monitor yang dilakukan, terdapat tantangan yang dihadapi, termasuk kurangnya

.
go
sumber daya khusus yang menangani penyandang disabilitas, infrastruktur yang ramah
bagi penyandang disabilitas, terbatasnya akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan
s.
berkualitas, stigma sosial, dan kurangnya data komprehensif mengenai prevalensi dan
p
kebutuhan disabilitas (Rohwerder 2018).
.b

Penyandang disabilitas menghadapi hambatan sikap dari masyarakat termasuk prasangka,


w

stereotip, dan ekspektasi yang rendah (DSPD, 2016). Sikap negatif mengenai disabilitas ini
w

memunculkan stigma bahwa seseorang atau kelompok tertentu tidak dianggap atau mengalami
//w

diskriminasi (DSPD, 2016). Stigma muncul ketika unsur-unsur pelabelan, stereotip (evaluasi
negatif terhadap suatu label), dan prasangka (pengesahan stereotip negatif) menjadi satu dan
s:

menyebabkan diskriminasi bagi individu atau kelompok yang terstigmatisasi tersebut. Kondisi
tp

ini terjadi dalam situasi di mana individu atau kelompok tersebut tidak berdaya (Scior, 2016;
Mostert, 2016). Stigma menimbulkan respons negatif seperti rasa kasihan, penghindaran,
ht

kebencian dan kesan lain yang negatif (Scior, 2016). Hal ini mempunyai efek mendiskreditkan
individu atau kelompok tersebut (Goffman, 2005). Dengan berbagai stigma dan efek dari
stigma tersebut, penyandang disabilitas membutuhkan banyak dukungan agar mereka dapat
meningkatkan kualitas hidupnya (Persons, 2012).
Stigma dan keyakinan tentang sifat disabilitas juga dapat membatasi kemampuan penyandang
disabilitas untuk mengembangkan hubungan (Franklin dkk, 2018). Salah satu stigma yang
sering terjadi adalah masyarakat yang memiliki kepercayaan bahwa penyandang disabilitas
tidak memiliki kualitas yang diharapkan untuk menjadi pasangan pernikahan yang sukses.
Tantangan lainnya adalah adanya keyakinan bahwa keburukan atau kemalangan akan terjadi
apabila anggota keluarga ada yang menikah dengan penyandang disabilitas, termasuk
kemalangan pada keturunannya (Aley, 2016). Namun hal ini tergantung pada jenis dan tingkat
keparahan disabilitas yang dialami.
Dalam bidang pendidikan, terdapat juga stigma bahwa siswa dengan disabilitas
cenderung memiliki tingkat kelulusan yang lebih rendah dibandingkan dengan siswa
lainnya. Stigma tersebut menyebabkan siswa penyandang disabilitas justru memilih untuk
tidak mengungkapkan disabilitasnya, padahal status tersebut dapat membantu mereka
mendapatkan hak yang seharusnya mereka terima (Trunk dkk, 2020). Kondisi ini tentunya
akan menghambat upaya dalam mewujudkan kesetaraan pendidikan bagi seluruh penduduk.

72 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Akses Penyandang Disabilitas Terhadap Pendidikan dan Ketenagakerjaan

Hal yang lebih buruk lagi adalah penyandang disabilitas masih harus menghadapi stigmatisasi
yang kemudian menjadi penghalang lain bagi mereka untuk berpartisipasi dalam kehidupan
bermasyarakat (Lusli dkk., 2016; Ruth M.H. Peters dkk., 2015).
Keseluruhan stigma yang telah dibahas tersebut menjadi penghalang penyandang disabilitas
untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Oleh karena itu, mengurangi stigma negatif
tersebut merupakan kunci untuk menciptakan lingkungan yang inklusif agar penyandang
disabilitas dapat meningkatkan kualitas hidup mereka. Mengurangi stigma negatif terhadap
penyandang disabilitas masih menjadi tantangan utama di Indonesia (Septian, 2021).

C. Penyandang Disabilitas di Indonesia Dibandingkan Negara lain


Disabilitas juga merupakan isu yang cukup menjadi perhatian baik di level global maupun
nasional. Bahkan, di level global, terdapat Komite Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD)
yang merupakan badan ahli independen dengan mandat untuk memantau Komite Global
dalam melaksanakan pengadopsian pemahaman baru mengenai disabilitas. Semangat yang

id
sama terkait disabilitas juga tercurahkan ke level Asia-Pasifik. Komitmen negara-negara Asia

.
dan Pasifik terhadap agenda disabilitas pasca diadopsinya CRPD menjadi lebih nyata dengan

go
adanya Strategi Incheon untuk “Mewujudkan Hak” bagi penyandang disabilitas di ASEAN.
Perayaan satu dekade penyandang disabilitas Asia dan Pasifik yang ditandatangani pada
s.
tahun 2012 di Incheon, Republik Korea Selatan, mengubah arah sekaligus memetakan arah
p
penyetaraan bagi penyandang disabilitas dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini menjadi
.b

jalan dalam mencapai tujuan pembangunan inklusif disabilitas secara global.


w

Melalui CRPD dan Strategi Incheon, negara-negara anggota ASEAN telah berkomitmen
w

terhadap upaya global untuk menghilangkan hambatan yang menghalangi penyandang


//w

disabilitas untuk berpartisipasi penuh dalam komunitas mereka. Selanjutnya, berdasarkan


data Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik (UNESCAP), disebutkan bahwa
s:

pada tahun 2017 hanya 0,4 persen Anggota Parlemen di kawasan ini adalah penyandang
tp

disabilitas. Kemudian, persentase anak penyandang disabilitas yang terdaftar pada tingkat
ht

pendidikan menengah sangat rendah yaitu sebesar 52,7 persen. Data lain yang perlu menjadi
perhatian adalah penyandang disabilitas memiliki peluang dua hingga enam kali lebih kecil
untuk mendapatkan pekerjaan. Di Indonesia, 63 persen penyandang disabilitas adalah
wiraswasta karena kurangnya akses terhadap pasar tenaga kerja (UNESCAP, 2016). Selain
itu, perempuan dewasa penyandang disabilitas 1,5 kali lebih mungkin mengalami pelecehan
fisik dan seksual dibandingkan perempuan tanpa disabilitas (UNESCAP, 2017).
Tabel 1. Perbandingan Kondisi Disabilitas Indonesia dan Negara Lain, 2017

Persentase Belanja Persentase Belanja Persentase


Negara Perlindungan Sosial Perlindungan Sosial untuk Penyandang
Terhadap PDB Penyandang Disabilitas Disabilitas
Armenia 5,60 0,05 6,30
Azerbaijan 5,90 0,25 6,37
Bangladesh 1,30 0,03 1,53
Bhutan 1,20 0,00 2,10
Cambodia 1,00 0,02 4,00
Republic China 5,80 0,03 6,34
Georgia 4,70 0,25 3,00

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 73


Akses Penyandang Disabilitas Terhadap Pendidikan dan Ketenagakerjaan

Persentase Belanja Persentase Belanja Persentase


Negara Perlindungan Sosial Perlindungan Sosial untuk Penyandang
Terhadap PDB Penyandang Disabilitas Disabilitas
Indonesia 2,10 0,00 2,80
Japan 11,70 0,51 7,50
Kazakhstan 4,62 0,46 3,70
Korea Selatan 6,00 0,06 5,00
Kyrgyz Republic 5,00 0,57 3,00
Lao PDR 0,90 0,00 2,10
Malaysia 3,70 0,33 7,00
Maldives 4,00 0,19 2,00
Mongolia 4,78 0,43 4,00
Nepal 2,70 0,03 1,94

id
Pakistan 2,14 0,00 6,00

.
go
Philippines 3,00 s. 0,00 12,00
Singapore 5,70 0,00 6,20
p
Sri Lanka 3,15 0,01 7,22
.b

Tajikistan 4,10 0,05 1,63


w
w

Thailand 3,90 0,08 3,00


//w

Uzbekistan 6,30 1,04 2,20


Viet Nam 4,45 0,04 6,76
s:
tp
ht

Kondisi tersebut menjadikannya sebagai salah satu latar belakang dirancangnya SDGs. Seluruh
tujuan SDGs bertujuan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang memerlukan
upaya dan kemitraan dari semua sektor dan pemangku kepentingan untuk memastikan
tidak ada satupun yang tertinggal. Terkait SDGs, Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak
Asasi Manusia (OHCHR) telah menetapkan indikator hak asasi manusia agar selaras dengan
agenda global dan prinsip-prinsip hak asasi manusia, khususnya hak menikmati seluruh aspek
pembangunan (OHCHR, 2017).
Jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia memiliki tingkat prevalensi disabilitas relatif
rendah, yaitu 2,8 persen (UNESCAP, 2019), dengan jumlah lebih dari 21 juta penyandang
disabilitas (Laporan CRPD Indonesia, 2017). Namun, kurangnya data berkualitas seperti
keberagaman definisi dan metodologi mengenai disabilitas telah menjadi tantangan utama
dalam perumusan kebijakan tentang penyandang disabilitas. Meski demikian, gerakan pro
disabilitas di Indonesia menurut Dirjen HAM mengalami kemajuan bertahap, seperti terlihat
pada aspek-aspek berikut.
Pertama, gerakan sosial politik mendorong amandemen Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1997 tentang “Penyandang Disabilitas”. Hasilnya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2016 tentang Penyandang Disabilitas yang patuh pada CRPD. Kedua, studi ilmiah mengenai
berbagai isu disabilitas telah banyak dilakukan oleh akademisi universitas dan organisasi
non-pemerintah. Ketiga, upaya pengarusutamaan isu disabilitas terlihat jelas pada berbagai

74 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Akses Penyandang Disabilitas Terhadap Pendidikan dan Ketenagakerjaan

media arus utama dan media lain


yang dilakukan oleh OPD. Keempat,
bermunculan berbagai peraturan
mengenai penyandang disabilitas baik
di tingkat provinsi maupun kabupaten/
 Prevalensi penyandang
disabilitas terbesar
terdapat di Provinsi DI
kota. Kelima, adanya laporan yang Yogyakarta. Ini karena
ditulis oleh masyarakat sipil dan OPD
banyaknya lansia di
mengenai CRPD, VNR dan SDGs
(ESCAP 2017). provinsi tersebut.

D. Karakteristik Penduduk Penyandang Disabilitas di Indonesia


Berdasarkan hasil Long Form SP 2020 prevalensi penyandang disabilitas di Indonesia sekitar
1,43 persen, sedangkan prevalensi penyandang disabilitas ganda sekitar 0,71 persen. Dalam
hal sebaran menurut provinsi, prevalensi penyandang disabilitas terbesar terdapat di Provinsi
DI Yogyakarta (2,02 persen), diikuti Aceh (1,86 persen) dan NTT (1,86 persen), sedangkan

id
prevalensi penyandang disabilitas terkecil terdapat di Banten (0,97 persen), Kepulauan Riau

.
go
(1,06 persen), dan Bengkulu (1,22 persen) (Gambar 1).
Provinsi DI Yogyakarta menempati posisi teratas dengan persentase penyandang disabilitas s.
terbesar, berasosiasi dengan tingginya persentase lansia di provinsi tersebut, dimana provinsi
p
DI Yogyakarta memiliki persentase lansia terbesar (16,69 persen). Hal ini sesuai dengan
.b

penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa kondisi disabilitas sangat terkait dengan
w

penuaan (Qiao, 2022). Hal ini disebabkan oleh kerentanan fisik seseorang saat memasuki
w

usia lanjut. Selain itu, pola hidup yang makin bervariasi juga memungkinkan terjadinya
//w

peningkatan peluang menjadi disabilitas (Devi, 2018).


s:

Gambar 1. Prevalensi Penyandang Disabilitas menurut Provinsi, 2022


tp
ht

Banten
Gorontalo

Papua Barat
Papua

Maluku
Aceh

Kalimantan Selatan

Riau
DI Yogyakarta

Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur

Sumatera Utara
Bali
Kalimantan Utara
DKI Jakarta
Nusa Tenggara Timur

Maluku Utara
Sulawesi Selatan

Kalimantan Barat
Jawa Timur

INDONESIA
Kepulauan Bangka Belitung

Sumatera Selatan

Lampung

Bengkulu
Jawa Barat

Kepulauan Riau
Sulawesi Tengah
Jawa Tengah

Sumatera Barat
Sulawesi Tenggara

Sulawesi Utara

Jambi
Nusa Tenggara Barat

Sulawesi Barat

PD PD Ganda

Sumber: BPS, Long Form SP2020

Berdasarkan jenisnya, gangguan terbesar yang dialami penyandang disabilitas adalah


gangguan berjalan (0,68 persen), disusul dengan gangguan penglihatan (0,38 persen) (Gambar
2). Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa jenis kesulitan

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 75


Akses Penyandang Disabilitas Terhadap Pendidikan dan Ketenagakerjaan

yang umum terjadi di sebagian besar negara adalah kesulitan melihat dan berjalan (Mitra
dkk, 2021). Gangguan dalam berjalan dan melihat dapat mengurangi produktivitas atau
bahkan menghambat penyandang diabilitas melaksanakan aktifitasnya, sehingga meskipun
persentasenya kecil, tetap harus menjadi perhatian.

Gambar 2. Prevalensi Penyandang Disabilitas menurut Jenis Gangguan/Kesulitan, 2022

0,68

0,38 0,36 0,35 0,37 0,37


0,30 0,32
0,22
Gangguan penglihatan

Gangguan jari/tangan

Kesulitan mengurus diri


Gangguan pendengaran

berpikir/belajar

Gangguan emosional
Gangguan berjalan
komunikasi/bicara

Gangguan konsentrasi

idGangguan
Gangguan

.
go

sendiri
p s.
.b


w

Sumber: BPS, Long Form SP2020


w

Hasil Long Form SP 2020 menunjukkan bahwa prevalensi disabilitas perempuan sedikit
//w

lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Selanjutnya, prevalensi disabilitas di perdesaan


s:

sedikit lebih banyak dibandingkan dengan di


perkotaan (Gambar 3). Hal ini sejalan dengan
tp

 Gangguan terbesar penelitian sebelumnya yang menemukan


ht

bahwa kesulitan fungsional cenderung lebih


yang dialami umum terjadi pada perempuan daripada
penyandang laki-laki (Mitra dkk, 2021; Zheng, 2022;
disabilitas Qiao, 2022) dan tinggal di perdesaan (Torres
dkk, 2019; Mitra dkk, 2021; Qiao, 2022).
adalah gangguan Lebih tingginya prevalensi perempuan
berjalan, disusul adalah karena komposisi genetis dan siklus
dengan gangguan hidup perempuan yang lebih rentan akibat
kemungkinannya untuk melahirkan (Qiao,
penglihatan.
2022). Selain itu, disabilitas perempuan lebih
besar daripada laki-laki berasosiasi dengan
harapan hidup perempuan yang lebih tinggi
daripada laki-laki, yaitu 75,60 tahun berbanding 71,25 tahun (BPS, 2023). Hal ini diperkuat
lagi dengan persentase perempuan yang mengalami keluhan kesehatan lebih besar daripada
laki-laki, yaitu 31,44 persen berbanding 28,46 persen (BPS, 2022a). Sedangkan untuk faktor
sosial, lansia yang tinggal di perkotaan biasanya memiliki pendidikan formal lebih tinggi
sehingga mampu mempertahankan kesehatannya. Hal ini mungkin terjadi karena mereka
memiliki akses terhadap pengetahuan dan sumber daya kesehatan dari berbagai sumber
serta berbagai kegiatan sosial dan rekreasi, yang dapat membantu mereka menjaga kesehatan
mental yang baik (Zhang, 2017; Sun, 2020).

76 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Akses Penyandang Disabilitas Terhadap Pendidikan dan Ketenagakerjaan

Gambar 3. Prevalensi Penyandang Disabilitas menurut Jenis Kelamin, Klasifikasi Desa,


dan Kelompok Umur, 2022


Sumber: BPS, Long Form SP2020

Dilihat menurut kelompok umur, prevalensi penyandang disabilitas tertinggi terdapat pada
kelompok umur 60 tahun ke atas (lansia), sedangkan prevalensi penyandang disabilitas

id
terendah terdapat pada kelompok umur 5-15 tahun. Penelitian Qiao (2022) menemukan

.
go
bahwa semakin lanjut usia, maka semakin tinggi prevalensi disabilitas dan kecacatannya. Hal
ini disebabkan oleh kerentanan dan risiko yang dimiliki oleh usia lanjut. Jika diperhatikan lebih
s.
lanjut, terlihat bahwa prevalensi penyandang disabilitas laki-laki baik pada kelompok umur
p
5-15 tahun, 16-30 tahun (usia pemuda), dan 31-59 tahun lebih besar daripada perempuan
.b

(Gambar 3).
w

Lain halnya pada kelompok umur 60 tahun ke atas (lansia), dimana prevalensi penyandang
w

disabilitas perempuan lebih besar daripada laki-laki (Gambar 3). Kondisi ini sejalan dengan
//w

persentase lansia perempuan yang lebih besar daripada lansia laki-laki, yaitu 51,81 persen
berbanding 48,19 persen (BPS, 2022b). Selain itu, persentase lansia perempuan yang
s:

mengalami keluhan kesehatan lebih besar daripada lansia laki-laki, yaitu 42,82 persen
tp

berbanding 41,32 persen (BPS, 2022b).


ht

Gambar 4. Prevalensi Penyandang Disabilitas menurut Status Bekerja, 2022

52,65
78,35 21,65
47,35

Tidak bekerja Tidak berusaha Berusaha



Sumber: BPS, Long Form SP2020

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 77


Akses Penyandang Disabilitas Terhadap Pendidikan dan Ketenagakerjaan

Apabila dirinci menurut status bekerja, terungkap bahwa 21,65 persen penyandang
disabilitas usia 15 tahun ke atas berstatus bekerja (Gambar 4). Selanjutnya, lebih dari separuh
penyandang disabilitas yang bekerja berstatus berusaha (52,65 persen). Di satu sisi hal ini
menunjukkan adanya kemandirian penyandang disabilitas, tapi di sisi lain, hal ini juga perlu
mendapat perhatian karena penyandang disabilitas memiliki risiko lebih besar mengalami
masalah kesehatan serius terkait ketidakaktifan dibandingkan dengan masyarakat pada
umumnya (Ginis, 2021).

Gambar 5. Prevalensi Penyandang Disabilitas menurut Tingkat Pendidikan yang


Ditamatkan Kepala Rumah Tangga (KRT), 2022
1,70
1,49
1,40 1,35 1,36

. id
go
p s.
.b

Tidak/belum SD SMP SMA Perguruan Tinggi


w

sekolah & tidak


w

tamat SD
//w


Sumber: BPS, Long Form SP2020
s:

Prevalensi penyandang disabilitas secara umum semakin kecil pada rumah tangga dengan
tp

Kepala Rumah Tangga (KRT) yang berpendidikan tinggi (Gambar 5). Dengan kata lain,
ht

kejadian disabilitas lebih banyak terjadi pada rumah tangga dengan tingkat pendidikan KRT
yang rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi & Soebijarto (2019),
dimana tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh KRT memengaruhi partisipasi sekolah
penyandang disabilitas. Dengan adanya edukasi, akan memungkinkan rumah tangga untuk
memiliki wawasan kesehatan sehingga memiliki kesehatan lebih terjaga.

Gambar 6. Prevalensi Penyandang Disabilitas menurut Status Tinggal Bersama, 2022

0,13 41,18
99,73

0,14
58,82

Tinggal sendiri

Tinggal bersama keluarga inti Tinggal bersama famili lain


PD Tunggal PD Ganda

Sumber: BPS, Long Form SP2020

78 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Akses Penyandang Disabilitas Terhadap Pendidikan dan Ketenagakerjaan

Sebagian besar penyandang disabilitas tinggal bersama keluarga inti (Gambar 6). Hal ini
tentu memberikan gambaran positif mengingat dengan tinggal bersama keluarga inti mereka
dapat berinteraksi dan segera memperoleh bantuan apabila dibutuhkan. Namun, hasil Long
Form SP2020 juga mengungkapkan bahwa masih ada sekitar 0,14 persen lansia penyandang
disabilitas yang tinggal sendiri. Lebih lanjut, sekitar empat dari sepuluh penyandang disabilitas
yang tinggal sendiri merupakan penyandang disabilitas ganda. Padahal menurut Prahastiwi
dan Jatmiko (2023), lansia penyandang disabilitas yang tinggal sendiri lebih cenderung
bekerja daripada lansia penyandang disabilitas yang tidak tinggal sendiri. Di satu sisi hal ini
menunjukkan adanya kemandirian lansia, tapi di sisi lain juga mengungkapkan risiko yang
besar apabila lansia penyandang disabilitas tersebut mengalami gangguan kesehatan. Hasil
penelitian lain menambahkan bahwa status fungsional merupakan salah satu faktor yang
memengaruhi percepatan frailty (penurunan fungsi fungsi tubuh) pada lansia penyandang
disabilitas (Hikmah & Pradana, 2022).

E. Capaian Pendidikan Penyandang Disabilitas

id
Pendidikan adalah hak setiap bangsa, termasuk untuk mereka bagi penyandang disabilitas.

.
go
Aksesibilitas pendidikan disabilitas mengacu pada kemampuan penduduk sebagai individu
dengan disabilitas untuk memperoleh pendidikan yang setara dengan individu lainnya.
s.
Penduduk dengan disabilitas memiliki hak untuk memperoleh kesempatan belajar dan
p
menerima pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan mereka, sebagaimana
.b

hak penduduk yang tidak memiliki disabilitas. Sehingga penduduk dengan disabilitas
w

dapat secara aktif mengembangkan potensi pribadinya untuk memiliki kekuatan spiritual
w

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara, sebagaimana amanat Undang-undang
//w

Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.


s:

Pendidikan bagi disabilitas menjadi isu yang


tp

sangat penting untuk diperhatikan. Inklusi


tidak sebatas mengintegrasikan anak-anak
 Masih terdapat
ht

dengan disabilitas ke sekolah reguler, namun ketimpangan


penyediaan kurikulum dan pengajar yang
sesuai dengan kebutuhan para disabilitas. capaian pendidikan
Berdasarkan hasil Long Form SP2020, masih penduduk dengan
terdapat ketimpangan capaian pendidikan disabilitas dan
penduduk dengan disabilitas dan tanpa
disabilitas. Sebagian besar penduduk dengan
tanpa disabilitas.
disabilitas usia 15 tahun ke atas baru mampu
menyelesaikan pendidikan sampai dengan
tamat Sekolah Dasar (SD) (Gambar 7). Lebih lanjut, sekitar 40 persen dari mereka justru
belum/tidak pernah sekolah dan tidak tamat SD. Sementara itu baru 16,78 persen yang
mampu menamatkan pendidikan sampai dengan SMA ke atas. Kondisi tersebut terlihat
sangat timpang dibandingkan dengan capaian pendidikan penduduk tanpa disabilitas. Hal
ini menguatkan gambaran bahwa penyandang disabilitas lebih kecil kemungkinannya untuk
mengenyam pendidikan. Mereka cenderung memiliki angka rata-rata lama sekolah yang
rendah dibandingkan dengan penduduk yang tidak menyandang disabilitas.

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 79


Gambar 7. Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Penyandang Disabilitas dan Non-
Disabilitas Usia 15 Tahun ke Atas, 2022

WĞƌŐƵƌƵĂŶƚŝŶŐŐŝ ϯ͕ϵϬ
ϵ͕Ϯϱ

^DƐĞĚĞƌĂũĂƚ ϭϮ͕ϴϴ
ϯϮ͕Ϭϱ

^DWƐĞĚĞƌĂũĂƚ ϭϬ͕Ϯϱ
Ϯϭ͕ϳϮ

^ƐĞĚĞƌĂũĂƚ ϯϯ͕ϳϳ
Ϯϴ͕Ϭϱ

ĞůƵŵͬdŝĚĂŬƚĂŵĂƚ^ƐĞĚĞƌĂũĂƚ ϭϴ͕ϭϮ
ϱ͕ϵϱ

id
ĞůƵŵͬdŝĚĂŬWĞƌŶĂŚƐĞŬŽůĂŚ Ϯϭ͕Ϭϵ
Ϯ͕ϵϳ

.
go
s.
ŝƐĂďŝůŝƚĂƐ EŽŶŝƐĂďŝůŝƚĂƐ
p

.b

Sumber: BPS, Long Form SP2020


w
w

Kodisi di atas menunjukkan adanya tantangan besar dalam mewujudkan kesetaraan dalam
//w

pendidikan bagi penyandang disablitas agar mampu mandiri berdampingan memberikan


peran yang setara. Salah satu tujuan utama memprioritaskan pendidikan disabilitas adalah
s:

memungkinkan penduduk dengan disabilitas untuk meraih kemandirian yang bermartabat.


Pendidikan dapat membantu penduduk disabilitas untuk mengembangkan kemampuan dan
tp

keterampilan yang dibutuhkan untuk mencapai kemandirian dalam kehidupan sehari-hari,


ht

seperti kemampuan untuk berkomunikasi, membaca, menulis, dan menghitung sebagai


dasar pengetahuan. Selain itu, pendidikan juga dapat membantu penduduk disabilitas untuk
mengembangkan keterampilan sosial, seperti kemampuan untuk berinteraksi dengan orang
lain sehingga keberadaan mereka turut memberikan peran bagi lingkungan. Penguasaan
kemampuan tersebut dapat memperbesar peluang penyandang disablitas masuk ke pasar
kerja.

E.1. Fasilitas dan Akses Pendidikan Disabilitas


Menjadi kelompok kecil dari suatu bagian besar penduduk merupakan tantangan tersendiri
bagi kaum disabilitas untuk mendapatkan pendidikan yang setara. Salah satu tantangan utama
yang dihadapi adalah kurangnya fasilitas dan aksesibilitas. Keterbatasan fisik dan sensorik
dapat membuat individu dengan disabilitas kesulitan dalam mengakses fasilitas pendidikan
yang tersedia. Selain itu, kurangnya dukungan dari keluarga dan masyarakat, serta stigma
dapat menghambat kemampuan individu dengan disabilitas untuk mengakses pendidikan.
Dengan sarana pendidikan yang memadai, penduduk dengan disabilitas akan lebih mudah
mengakses pendidikan dan memenuhi kebutuhan belajar mereka. Merujuk data Potensi Desa,
BPS, dari total jumlah sekolah pada jenjang Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah,
terdapat sekitar 32 persen merupakan sekolah khusus untuk penduduk disabilitas/SLB.
Akses Penyandang Disabilitas Terhadap Pendidikan dan Ketenagakerjaan

Apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk penyandang disabilitas usia 7-18 tahun, dari
100 penyandang disabilitas usia sekolah 7-18 tahun, tersedia 1 sekolah SLB. Rasio tersebut
lebih besar dibanding rasio sekolah untuk penduduk non disabilitas. Namun demikian apabila
ditinjau sebaran keberadaan SLB per kecamatan, SLB belum tersedia di setiap kecamatan.

Gambar 8. Sebaran Rasio Ketersediaan Sekolah Luar Biasa dan Penduduk Usia Sekolah
7-18 Tahun, 2021-2022

. id
go
p s.
.b
w
w
//w
s:


tp

Sumber: Hasil Pendataan Podes 2021 dan Hasil Long Form SP2020 (diolah)
ht

Data tersebut menjawab salah satu kendala pendidikan bagi anak penyandang disabilitas atau
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), bahwa lembaga pendidikan yang khusus diperuntukkan
bagi (ABK) masih belum merata. Ketidaksetaraan akses pendidikan bagi penyandang disabilitas
masih menjadi persoalan yang penyelesaiannya perlu lebih diupayakan. Hal lain yang menjadi
tantangan dari sisi jumlah pendidik adalah belum tercukupinya kebutuhan tenaga pendidik
bagi ABK dan kendala pada kendali anak ABK yang belum tentu bisa mengikuti program
pendidikan khusus karena berbagai sebab.
Tentunya berbagai upaya perlu dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat sebagai
penyelenggara pendidikan. Beberapa upaya ini termasuk pengembangan program
pendidikan inklusif, pengadaan sarana dan prasarana pendidikan yang ramah disabilitas,
serta pengembangan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan individu dengan disabilitas.
Kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat diharapkan memberikan solusi bagi pendidikan
kaum disabilitas. Pemerintah hendaknya memperkuat regulasi untuk memastikan bahwa
institusi pendidikan menyediakan fasilitas dan program yang ramah disabilitas. Sementara
itu institusi pendidikan memperkuat program inklusif yang memastikan penduduk dengan
disabilitas diterima dan terlibat dalam kegiatan pendidikan yang sama dengan penduduk
lainnya. Selanjutnya, masyarakat dapat memberikan dukungan dengan menghilangkan
stigma sosial untuk lebih mendukung individu dengan disabilitas agar berdikari turut serta
membangun negeri (Rohwerder 2018).

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 81


Akses Penyandang Disabilitas Terhadap Pendidikan dan Ketenagakerjaan

E.2. Partisipasi Sekolah Penyandang Disabilitas


Menurut beberapa hasil penelitian terdapat berbagai variaebl yang signifikan memengaruhi
partisipasi sekolah penyandang disabilitas antara lain tingkat kesulitan disabilitas anak, jenis
disabilitas anak, tingkat pendidikan Kepala Rumah Tangga (KRT), serta daerah tempat tinggal.
Semakin banyak gangguan disabilitas yang dialami oleh seseorang, semakin tinggi risiko
untuk tidak mengenyam pendidikan (Gambar 9).

Gambar 9. Persentase Penyandang Disabilitas Usia 15 tahun ke atas Menurut Jumlah


Gangguan Disabilitas dan Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, 2022

>2
Jumlah Ragam Disabilitas

22,96 18,17 32,75 9,91 12,42 3,78

. id
go
p s.
1 15,66 17,98 36,71 11,22 14,21 4,23
.b
w
w
//w

Tidak Pernah sekolah Tidak tamat SD SD SMP SMA Perguruan Tinggi


s:


Sumber: BPS, Long Form SP2020
tp

Gambar 9 juga menunjukkan bahwa masih


ht

ada penyandang disabilitas yang nyatanya

 Meskipun dengan
jumlah yang
sangat kecil, masih
mampu menyelesaikan pendidikan sampai
perguruan tinggi dalam jumlah yang
relatif kecil dan pendidikan tinggi yang
ada penyandang dicapainya tidak semua diperoleh dalam
kondisi mengalami gangguan disabilitas.
disabilitas yang Sebagaimana disebutkan dalam pembahasan
nyatanya mampu sebelumnya, prevalensi penduduk disabilitas
menyelesaikan tertinggi adalah pada kelompok lanjut usia.
Bisa jadi mereka yang berhasil menyelesaikan
pendidikan sampai pendidikan sampai tingkat tinggi adalah
perguruan tinggi. penyandang disabilitas lansia dan kesulitan
dan gangguan disabilitas yang dialami adalah
karena faktor usia. Sehingga mereka adalah
bagian penduduk yang tidak memiliki kendala
dalam pendidikan ketika muda. Mereka adalah kelompok lain dari penyandang disabilitas
yang sejak muda telah mengalami gangguan disabilitas.

82 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Akses Penyandang Disabilitas Terhadap Pendidikan dan Ketenagakerjaan

F. Peluang Disabilitas dalam Pasar Tenaga Kerja


Membangun kondisi ketenagakerjaan yang inklusif bagi penyandang disabilitas merupakan
langkah penting menuju penciptaan angkatan kerja yang lebih adil dan beragam. Hal ini
merupakan cita Indonesia yang juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.
Dengan cita tersebut, penting melihat kondisi penyerapan tenaga kerja disabilitas di dalam
pasar tenaga kerja.
Berdasarkan hasil dari Long Form SP 2020, terungkap bahwa prevalensi disabilitas umur 15
tahun ke atas adalah sebesar 1,54 persen. Namun, prevalensi disabilitas pada penduduk
bekerja hanya sebesar 0,55 persen. Dengan nilai yang lebih rendah mengindikasikan bahwa
masih adanya hambatan dalam memasuki pasar kerja. Hal yang hampir sama juga terjadi di
Amerika Serikat dimana dengan jumlah individu penyandang disabilitas hampir seperlima
dari populasi Amerika, angka pengangguran mereka dua kali lipat dibandingkan orang yang
bukan penyandang disabilitas (Erickson dkk., 2014).
Ada beberapa faktor yang berpengaruh dan saling berinteraksi menimbulkan hambatan
besar bagi penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan dan sebagian besar faktor

id
tersebut terkait dengan stigma disabilitas dan mengakibatkan penerimaan yang berbeda di

.
go
pasar tenaga kerja. Pada aspek inilah strategi pemerintah perlu diarahkan pada pengurangan
hambatan dalam akses dan peluang bagi individu penyandang disabilitas.
s.
F.1. Pengangguran dan Penyandang Disabilitas
p
.b

Salah satu stigma bahwa penyandang disabilitas cenderung menganggur merupakan salah
w

satu penghambat dalam upaya pemberdayaan disabilitas di pasar tenaga kerja. Jika dilihat
dari hasil perhitungan pada Gambar 10, terlihat bahwa memang benar partisipasi penyandang
w

disabilitas lebih rendah. Terlebih lagi bagi penyandang disabilitas ganda, mereka memiliki
//w

partisipasi yang lebih rendah lagi dalam pasar tenaga kerja.


s:

Gambar 10. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) menurut Jumlah Gangguan
tp

Disabilitas, 2022
ht

80,00

70,00

60,00

50,00

40,00

30,00

20,00

10,00

0,00
TPAK Umum TPAK Penyandang TPAK Penyandang
Disabilitas Tunggal Disabilitas Ganda


Sumber: BPS, Long Form SP2020

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 83


Akses Penyandang Disabilitas Terhadap Pendidikan dan Ketenagakerjaan

Berdasarkan publikasi ILO (2017) mengenai tenaga kerja penyandang disabilitas, tingkat
pengangguran penyandang disabilitas, terutama penyandang disabilitas yang lebih berat,
jauh lebih tinggi dibandingkan mereka yang bukan penyandang disabilitas. Hal ini semakin
menunjukkan bahwa tidak mudah bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan
pekerjaan, mayoritas penyandang disabilitas yang masuk ke dunia kerja adalah pekerja yang
sudah memiliki pekerjaan dan juga memiliki kemampuan atau keterampilan yang relatif lebih
baik dibandingkan penyandang disabilitas yang tidak masuk pasar tenaga kerja. Kondisi
ini memerlukan upaya untuk menghilangkan hambatan partisipasi penyandang disabilitas
memasuki dunia kerja, baik dari pihak pemberi kerja maupun dari sisi pekerja penyandang
disabilitas.
F.2. Jenis Pekerjaan Penyandang Disabilitas
Penyandang disabilitas dalam pasar tenaga kerja sebagian besar mengisi posisi tenaga usaha,
pekerja pertanian, buruh kasar, dan pekerja pengolahan. Berdasarkan posisi tersebut, hanya
posisi tenaga usaha yang memerlukan tingkat pendidikan yang cukup tinggi di pasar tenaga
kerja. Hal ini menunjukkan bahwa pekerja disabilitas cenderung mengisi pekerjaan dengan

id
kebutuhan skill yang rendah.

.
go
Gambar 11. Gambaran Jenis Pekerjaan Penyandang Disabilitas, 2022
p s.
.b
w
w
//w
s:
tp
ht


Sumber: BPS, Long Form SP2020

Hal ini semakin menguatkan perlunya peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang
sesuai dengan kebutuhan dunia kerja bagi penyandang disabilitas untuk meningkatkan
kuaitas kerja dan sekaligus mendukung penciptaan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan
penyandang disabilitas. Selain itu bagi, penting juga untuk menyertakan pekerja dalam
program pengembangan karir dalam perusahaan atau tempat kerja lain bersama dengan

84 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Akses Penyandang Disabilitas Terhadap Pendidikan dan Ketenagakerjaan

pekerja bukan penyandang disabilitas agar meraka juga memiliki kesempatan untuk lebih
berkontribusi dan pengembangan karir.

Gambar 12. Kondisi Bekerja Penyandang Disabilitas berdasarkan Tingkat Pendidikan,


2022

WĞƌŐƵƌƵĂŶdŝŶŐŐŝ
^DW
^DW
^
dŝĚĂŬ^ĞŬŽůĂŚ

Ϭй ϭϬй ϮϬй ϯϬй ϰϬй ϱϬй ϲϬй ϳϬй ϴϬй ϵϬй ϭϬϬй

ĞŬĞƌũĂ dŝĚĂŬĞŬĞƌũĂ


id
Sumber: BPS, Long Form SP2020

.
go
Sebagai salah satu syarat memasuki pasar tenaga kerja, seseorang memerlukan pendidikan
dan keterampilan yang dibutuhkan agar bisa terserap sebagai tenaga kerja atau pelaku usaha.
s.
Hasil Long Form SP2020 menunjukkan bahwa penyandang disabilitas yang memiliki pendidikan
p
lebih tinggi lebih banyak yang terserap dalam pasar tenaga kerja (Gambar 12). Terkait
.b

dengan hal ini, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan terkait perlu memberikan
w

perhatian lebih terhadap masalah ini, melalui pemberian kesempatan, pemberdayaan, dan
w

pengembangan yang semakin luas dan berkelanjutan, karena pendidikan merupakan salah
satu faktor penyandang disabilitas dapat berperan serta dalam dunia kerja.
//w
s:

G. Kesimpulan
tp
ht

Perwujudan pembangunan inklusif bagi penyandang disabilitas masih menjadi tantangan di


Indonesia. Dalam hal pendidikan kondisi tersebut terlihat dari rendahnya tingkat pendidikan
yang ditamatkan dan partisipasi sekolah penyandang disabilitas. Pendidikan menjadi faktor
pengungkit dalam peningkatan status sosial dan ekonomi penduduk. Hal ini terlihat dari
kondisi mayoritas penyandang disabilitas yang masih terkategori low-skill-labour dan berusaha
merupakan status pekerjaan yang paling banyak dipilih atau dilakukan oleh penyandang
disabilitas. Di satu sisi hal ini positif karena menunjukkan kemandirian penyandang disabilitas,
tapi di di sisi lain juga menggambarkan keterbatasan pilihan mengingat sebagian besar usaha
yang dijalani merupakan lapangan kerja informal.
Upaya peningkatan layanan pendidikan bagi penyandang disabilitas dari sisi jumlah, sebaran,
kuantitas, dan kesesuaian dengan keahlian atau kapabilitas penyandang disabilitas dan
kebutuhan dunia kerja diharapkan dapat mengarah pada perwujudan pembangunan inklusif.
Penyandang disabilitas dapat menjadi subjek sekaligus objek dalam pembangunan yang
berkontribusi dan memperoleh hasil pembangunan.

H. Daftar Pustaka
Aron, Laudan, and Pamela Loprest. 2012. “Disability and the Education System.” Washington,
D.C. www.futureofchildren.org.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2022a. Profil Kesehatan Ibu dan Anak 2022. Jakarta: BPS.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2022b. Statistik Penduduk Lanjut Usia 2022. Jakarta: BPS.

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 85


Akses Penyandang Disabilitas Terhadap Pendidikan dan Ketenagakerjaan

Badan Pusat Statistik (BPS). 2023. Proyeksi Penduduk Indonesia 2020-2050: Hasil Sensus
Penduduk 2020. Jakarta: BPS
Dewi, Dilla Citra & Soebijarto, Ekaria. 2019. Determinan Partisipasi Sekolah Anak
Penyandang Disabilitas di Indonesia Tahun 2015. Jurnal Aplikasi Statistika dan
Komputasi Statistik V.11.2.2019. https://doi.org/10.34123/jurnalasks.v11i2.131
Ginis, Kathleen A Martin., Ploeg, Hidde P van der., Foster, Charlie., et al. 2021. Participation
of People Living with Disabilities in Physical Activity: A Global Perspective. The Lancet.
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(21)01164-8
Hikmah, Lutpatul., & Pradana, Anung Ahadi. 2022. Faktor yang Mempengaruhi Kondisi
Frailty pada Lanjut Usia. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes Vol 13 No 3. http://
dx.doi.org/10.33846/sf13310
Mitra, Sophie & Yap, Jaclyn. 2021. The Disability Data Report 2021. New York: Fordham
Research Consortium on Disability.
Mukrom, M. H., Yasin, H., & Hakim, A. R. PEMODELAN ANGKA HARAPAN HIDUP
PROVINSI JAWA TENGAH MENGGUNAKAN ROBUST SPATIAL DURBIN MODEL.
Jurnal Gaussian, 10(1), 44–54. https://doi.org/10.14710/J.GAUSS.V10I1.30935

id
Prahastiwi, Diane P., & Jatmiko, Yogo A. 2023. Partisipasi Kerja Lansia pada Rumah Tangga
Tunggal di Indonesia. Jurnal Litbang, Sukowati Vol 7 No 1. http://journal.sragenkab.

.
go
go.id; Permalink/DOI: 10.32630/sukowati.v7i1
Qiao, Runjuan., Jia, Shuli., Zhao, Wanyu., et al. 2022. Prevalence and Correlates of Disability
s.
among Urban-Rural Older Adults in Southwest China: A Large, Population-based
p
Study. BMC Geriatrics. https://doi.org/10.1186/s12877-022-03193-2
.b

Torres, Juan MC., Borrego, Maria AR., Aguilera, José, AL, et al. 2019. Disability for Basic
w

and Instrumental Activities of Daily Living in Older Individuals. Plos One. https://doi.
w

org/10.1371/journal. pone.0220157
//w

UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional


World Health Organization, International Classification of Functioning, Disability and Health
s:

(ICF)external icon. Geneva: 2001, WHO.


tp

Cushman, William C., and Karen C. Johnson. 2018. “The 2017 U.S. Hypertension
Guidelines: What Is Important for Older Adults?” Journal of the American Geriatrics
ht

Society 66 (6): 1062–67. https://doi.org/10.1111/jgs.15395.


Danso, A K, B T Atuahene, and K Agyekum. 2019. “ACCESSIBILITY OF BUILT
INFRASTRUCTURE FACILITIES FOR PERSONS WITH DISABILITIES.” ANNALS of
Faculty Engineering Hunedoara-International Journal of Engineering Tome. Hunedoara.
Devi, Josep. 2018. “The Scales of Functional Assessment of Activities of Daily Living in
Geriatrics.” Age and Ageing 47 (4): 500–502. https://doi.org/10.1093/ageing/afy050.
Division for Social Policy and Development (DSPD). 2016. “Toolkit on Disability for Africa –
Culture, Beliefs and Disability.” http://www.un.org/esa/socdev/documents/disability/
Toolkit/Cultures-Beliefs-Disability.pdf.
ESCAP. 2017. “Disability in Asia and the Pacific: The Facts.” https://www.unescap.org/sites/
default/files/Disability%20The%20Facts.pdf.
Liu, Hongpeng, Jing Jiao, Chen Zhu, Minglei Zhu, Xianxiu Wen, Jingfen Jin, Hui Wang,
et al. 2020. “Potential Associated Factors of Functional Disability in Chinese Older
Inpatients: A Multicenter Cross-Sectional Study.” BMC Geriatrics 20 (1). https://doi.
org/10.1186/s12877-020-01738-x.
Qiao, Runjuan, Shuli Jia, Wanyu Zhao, Xin Xia, Qiaoli Su, Lisha Hou, Daiping Li, Fengjuan
Hu, and Birong Dong. 2022. “Prevalence and Correlates of Disability among Urban–
Rural Older Adults in Southwest China: A Large, Population-Based Study.” BMC
Geriatrics 22 (1). https://doi.org/10.1186/s12877-022-03193-2.

86 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Akses Penyandang Disabilitas Terhadap Pendidikan dan Ketenagakerjaan

Rohwerder, Brigitte. 2018. “Disability Stigma in Developing Countries Question.”


Rumia, Melda, and Rosmery Simorangkir. 2021. “Inclusion School Education Facilities And
Infrastructure.” International Journal of Humanities and Social Science Invention (IJHSSI)
10 (5): 22–25. https://doi.org/10.35629/7722-1005032225.
UNICEF. 2022. “UNICEF Disability Inclusion Policy and Strategy: 2022-2030.” www.
greenink.co.uk.
Zheng, Pian-Pian., Guo, Zi-Le., Du, Xiao-Jing., et al. 2022. Prevalence of Disability among
the Chinese Older Population: A Systematic Review and Meta-Analysis. International
Journal of Enviromental Research and Public Health. https:// doi.org/10.3390/
ijerph19031656

I. Lampiran
Tabel 2. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Menurut
Status Disabilitas

id
Jenjang Penyandang Disabilitas (Persen) Non-Disabilitas (Persen)

.
go
Tidak Pernah sekolah 2,97 21,09
Tidak tamat SD
p s. 5,95 18,12
SD 28,05 33,77
.b

SMP 21,72 10,25


w
w

SMA 32,05 12,88


//w

Perguruan tinggi 9,25 3,90


D1-D3 2,32 1,14
s:

DIV/S1 6,46 2,46


tp

Profesi 0,06 0,04


ht

S2/S3 0,42 0,26


Total 100,00 100,00

Tabel 3. Persentase Penduduk Disabilitas Usia Sekolah 7-18 Tahun Menurut Provinsi

Persentase Penduduk Disabilitas Usia sekolah


Provinsi
7-12 13-15 16-18 Total
Aceh 0,51 0,54 0,62 0,55
Sumatera Utara 0,40 0,58 0,50 0,47
Sumatera Barat 0,63 0,59 0,69 0,63
Riau 0,54 0,57 0,53 0,54
Jambi 0,40 0,47 0,51 0,44
Sumatera Selatan 0,47 0,47 0,55 0,49
Bengkulu 0,40 0,50 0,49 0,45
Indonesia 0,50 0,55 0,56 0,53

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 87


Akses Penyandang Disabilitas Terhadap Pendidikan dan Ketenagakerjaan

Persentase Penduduk Disabilitas Usia sekolah


Provinsi
7-12 13-15 16-18 Total
Lampung 0,45 0,44 0,52 0,47
Kep.Bangka Belitung 0,52 0,53 0,58 0,54
Kepulauan Riau 0,49 0,50 0,60 0,52
DKI Jakarta 0,72 0,64 0,57 0,66
Jawa Barat 0,44 0,48 0,47 0,46
Jawa Tengah 0,53 0,65 0,65 0,59
DI Yogyakarta 0,73 0,68 0,80 0,73
Jawa Timur 0,46 0,51 0,46 0,47
Banten 0,37 0,48 0,54 0,44
Bali 0,55 0,36 0,49 0,49

id
Nusa Tenggara Barat 0,51 0,54 0,59 0,53

.
go
Nusa Tenggara Timur 0,52 0,60 0,61 0,56
Kalimantan Barat 0,56 s. 0,57 0,66 0,58
p
Kalimantan Tengah 0,46 0,42 0,62 0,49
.b

Kalimantan Selatan 0,42 0,48 0,69 0,49


w

Kalimantan Timur 0,59 0,66 0,50 0,59


w

Kalimantan Utara 0,60 0,48 0,53 0,55


//w

Sulawesi Utara 0,57 0,46 0,56 0,54


s:

Sulawesi Tengah 0,42 0,65 0,59 0,52


tp

Sulawesi Selatan 0,54 0,63 0,58 0,58


ht

Sulawesi Tenggara 0,46 0,57 0,44 0,48


Gorontalo 0,49 0,44 0,76 0,55
Sulawesi Barat 0,48 0,39 0,51 0,47
Maluku 0,47 0,46 0,40 0,45
Maluku Utara 0,69 0,70 0,92 0,75
Papua Barat 0,58 0,77 0,79 0,68
Papua 1,10 0,98 1,08 1,06
Indonesia 0,50 0,55 0,56 0,53

88 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


Akses Penyandang Disabilitas Terhadap Pendidikan dan Ketenagakerjaan

. id
go
p s.
.b
w
w
//w
s:
tp
ht

Analisis Tematik Kependudukan Indonesia 89


Akses Penyandang Disabilitas Terhadap Pendidikan dan Ketenagakerjaan

. id
go
p s.
.b
w
w
//w
s:
tp
ht

90 Analisis Tematik Kependudukan Indonesia


ht
tp
s:
//w
w
w
.b
ps.
go
.id
. id
go
p s.
.b
w
w
//w
s:
tp
ht

BADAN PUSAT STATISTIK


Jl. dr. Sutomo No. 6-8 Jakarta 10710
Telp : (021) 3841195, 3842508, 3810291-4 Fax : (021) 3857046
Homepage : http://www.bps.go.id E-mail : bpshq@bps.go.id

Anda mungkin juga menyukai