Buku I Analisis Tematik Kependudukan Indonesia (Fertilitas Remaja, Kematian Maternal, Kematian Bayi, Dan Penyandang Disabilitas)
Buku I Analisis Tematik Kependudukan Indonesia (Fertilitas Remaja, Kematian Maternal, Kematian Bayi, Dan Penyandang Disabilitas)
tp
s:
//w
w
w
.b
ps
.g
o.
id
ht
tp
s:
//w
w
w
.b
ps.
go
.id
ht
tp
s:
//w
w
w
.b
ps.
go
.id
. id
go
p s.
.b
w
w
//w
s:
tp
ht
Dilarang mengumumkan, mendistribusikan, mengomunikasikan, dan/atau menggandakan sebagian atau seluruh isi
buku ini untuk tujuan komersial tanpa izin tertulis dari Badan Pusat Statistik
Tim Penyusun
Pengarah:
Moh Edy Mahmud
Penanggung Jawab:
Muchammad Romzi
Editor:
Wisnu Winardi
Kontributor:
id
Penulis:
.
go
Ema Tusianti
Fenny Afifatul Awwaliyah
s.
Dede Yoga Paramartha
p
Diah Ikawati
.b
Uray Naviandi
Sri Wahyuni
w
Dendi Handiyatmo
w
Dwi Trisnani
//w
Yeni Rachmawati
ht
Putricia Synthesa
Pengolah Data:
Ema Tusianti
Fenny Afifatul Awwaliyah
Dede Yoga Paramartha
Dimas Hari Santoso
Dewi Krismawati
Ranu Yulianto
Satria Bagus Panuntun
Pemeriksa Aksara:
Putri Larasaty
Penata Letak:
Dede Yoga Paramartha
Bayu Dwi Kurniawan
ht
tp
s:
//w
w
w
.b
ps.
go
.id
Kata
Pengantar
A
nalisis Tematik Kependudukan Indonesia merupakan publikasi
yang menyajikan analisis hasil pendataan Long Form Sensus
Penduduk 2020 yang dilengkapi dengan data pendukung dan
hasil kajian ilmiah terkini.
Terdapat 3 (tiga) seri buku dalam Analisis Tematik Kependudukan
Indonesia. Buku I membahas fertilitas, mortalitas, dan disabilitas,
Buku II membahas migrasi dan ketenagakerjaan, Buku III membahas
keterkaitan pembangunan manusia dan pembangunan wilayah.
id
Dalam Buku I ini diuraikan 4 (empat) tema analisis, yaitu fertilitas
.
remaja; kematian maternal; kematian bayi; dan penyandang disabilitas.
go
Analisis keempat tema tersebut diharapkan dapat memberikan
informasi yang menjelaskan atau melengkapi pembahasan Tujuan
s.
Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals
p
(SDGs) yang terkait dengan tujuan menurunkan tingkat fertilitas
.b
Apresiasi dan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang
ht
id
E. Usia Perkawinan Pertama dan Tingkat Fertilitas Remaja.................................. 14
.
go
F. Pembangunan Infrastruktur, Sarana Prasarana Pendidikan/Keterampilan
dan Ekonomi dan Keterkaitannya dengan Tingkat Fertilitas Remaja.............
s. 15
G. Kesimpulan.................................................................................................................. 19
p
H. Daftar Pustaka............................................................................................................ 20
.b
w
E. Kesimpulan.................................................................................................................. 45
F. Daftar Pustaka............................................................................................................ 46
ht
. id
go
p s.
.b
w
w
//w
s:
tp
ht
1
p
.b
w
w
//w
s:
tp
ht
id
rentang usia tersebut, terjadi transisi dari masa anak-anak menjadi masa dewasa. Transisi yang
terjadi merupakan perubahan dalam hal pubertas dan kemandirian (Casey, Duhoux, & Cohen,
.
go
2010). Pubertas berkaitan dengan kematangan fungsi reproduksi (Graber & Brooks-Gunn,
1996), sedangkan kemandirian berkaitan dengan ketergantungan (dependency) terhadap
s.
orang tua. Pada fase ini akan terjadi berbagai perubahan dan pertumbuhan yang melibatkan
p
emosi, psikologi, sosial, mental, dan fisik (Schulz dkk., 2009). Pada usia remaja, idealnya
.b
seseorang dalam proses menjalani pendidikan. Dengan kondisi tersebut, remaja dinilai
w
belum siap untuk menikah, terlebih lagi memiliki anak. Oleh sebab itu, fertilitas pada remaja
w
penting untuk diulas karena berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan perkembangan
//w
dan ekonomi. Kondisi tubuh dan organ reproduksi yang belum sempurna menyebabkan
tp
kehamilan dan persalinan pada usia di bawah 20 tahun berpotensi menimbulkan banyak
ht
risiko. Risiko tersebut tidak hanya terjadi pada ibu, baik pada saat kehamilan maupun
persalinan, akan tetapi juga dapat menghambat pertumbuhan janin, kelahiran prematur,
bahkan kematian janin. Sementara dari aspek sosial, remaja yang melahirkan terlalu dini juga
dapat menghambat perkembanganya di masa depan, baik dalam capaian pendidikan maupun
kesempatan dalam dunia kerja (UNDP, 2010). Secara psikologis, perempuan yang menikah
muda belum memiliki pengetahuan yang cukup dalam membesarkan anak, yaitu dalam hal
pengasuhan termasuk pemberian gizi. Hal ini dapat meningkatkan risiko stunting pada anak
yang dilahirkan.
Penurunan tingkat fertilitas remaja termasuk dalam agenda global pembangunan yang
tertuang dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, atau dikenal dengan Sustainable
Development Goals (SDGs). Untuk memantau angka kelahiran pada usia remaja, SDGs
mencantumkan indikator angka fertilitas remaja (ASFR) perempuan umur 10-14 tahun dan
15-19 tahun sebagai indikator evaluasi pembangunan (UN, 2023). Namun pada umumnya,
negara-negara di dunia menggunakan usia 15-19 tahun karena kualitas dan ketersediaan
data (Kisambira & Schmid, 2022).
Dalam analisis ini, rentang umur perempuan yang digunakan untuk indikator ASFR juga 15-
19 tahun. ASFR 15-19 tahun adalah banyaknya kelahiran hidup per 1.000 perempuan umur
15-19 tahun. ASFR 15-19 sangat bermanfaat sebagai indikator untuk memantau besarnya
masalah kelahiran pada remaja (WHO, 2023; UNSTAT, 2023).
Selanjutnya, analisis ini juga menggambarkan profil remaja usia 15-19 tahun yang pernah
melahirkan hidup untuk memberikan informasi yang lebih detail guna penajaman dalam
identifikasi dan perumusan kebijakan yang lebih spesifik.
Gambar 1. Angka Kelahiran per 1.000 Perempuan Umur 15-19 Tahun di Indonesia,
1971-2020
.id
go
155,00
116,00
p s.
71,00
.b
44,00 41,30
w
26,64
w
//w
Gambar 2. Angka Kelahiran per 1.000 Perempuan Umur 15-19 Tahun (Adolescence Birth
Rate) Negara Anggota ASEAN, 2021
73,20
48,20
45,50
15,70
9,30 10,00
2,60
. id
go
p s.
.b
Catatan: Hasil penghitungan UNDP berbeda dengan Hasil Long Form SP2020 karena perbedaan sumber
w
Gambar 3. Angka Kelahiran per 1.000 Perempuan Umur 15-19 Tahun (Adolescence Birth
Rate) Negara Anggota ASEAN, 1960-2020
s:
tp
160
ht
140
120
100
80
60
40
20
0
1960
1962
1964
1966
1968
1970
1972
1974
1976
1978
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
2010
2012
2014
2016
2018
2020
id
kajian. Hampir di seluruh negara sedang 1,24
berkembang, tingkat fertilitas remaja
.
go
wilayah perdesaan lebih tinggi dibandingkan
wilayah perkotaan (McDevitt et al., 2011). s.
Selanjutnya, penelitian Raharja (2014) Perkotaan Perdesaan
p
menggunakan Survei Demografi dan
.b
remaja perempuan yang tinggal di perdesaan memiliki persentase pernah melahirkan dan
w
atau sedang hamil saat survei dua kali lebih tinggi (13 persen) dibandingkan dengan mereka
//w
47,64
45,42
33,56
28,44
19,40
14,25
3,81 4,86
0,60 1,85 0,12 0,06
Perkotaan Perdesaan
Sumber: BPS, SP2020-Long Form
Kejadian fertilitas remaja di perkotaan yang lebih rendah dibandingkan perdesaan berkaitan
dengan karakteristik wilayah dan penduduk. Wilayah perkotaan umumnya memiliki
ketersediaan dan akses fasilitas pendidikan dan kesehatan yang lebih baik, lapangan kerja
yang lebih luas, akses informasi yang lebih mudah dan cepat, serta kemudahan dalam
memperoleh alat kontrasepsi yang aman. Kemudahan tersebut juga didukung dengan
ketersediaan infrastruktur dan sarana transportasi yang lebih baik.
Adanya perbedaan akses terhadap fasilitas tersebut menyebabkan perbedaan kesempatan
dalam pendidikan dan pekerjaan. Kondisi ini mendorong perempuan di perkotaan memilih
untuk melanjutkan pendidikan dan masuk dalam pasar kerja, sehingga cenderung tertunda
dalam memiliki anak (Khan dan Misra, 2008). Gambar 5 menunjukkan bahwa perempuan
umur 19-24 tahun yang pernah melahirkan dengan status pendidikan tidak/belum pernah
bersekolah, belum tamat SD, dan tamat SD/sederajat lebih banyak tinggal di perdesaan,
sementara perempuan dengan pendidikan yang lebih tinggi lebih banyak tinggal di perkotaan.
Gambar 6. Kelahiran per 1.000 Perempuan Umur 15-19 Tahun (Adolescence Birth Rate)
menurut Provinsi di Indonesia, 2020
id
70
.
63,13
go
60
50
p s.
40
.b
Nasional: 26,64
30
w
w
20
7,90
//w
10
0
s:
Banten
Maluku
Gorontalo
Papua Barat
Papua
DKI Jakarta
Kalimantan Timur
Lampung
Sulawesi Utara
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
DIi Yogyakarta
Aceh
Riau
Bali
Kalimantan Utara
Sumatera Utara
Sumatera Selatan
Kep. Bangka Belitung
Bengkulu
Kalimantan Barat
Kepulauan Riau
Jawa Barat
Sulawesi Selatan
Jawa Timur
Sumatera Barat
Maluku Utara
Jawa Tengah
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Barat
Tidak hanya perbedaan tingkat pembangunan yang dapat memengaruhi fertilitas remaja
di Indonesia secara tidak langsung. Sebagaimana Freedman (1979) menyatakan bahwa
faktor tidak langsung lainnya yang memengaruhi fertilitas adalah faktor demografi, sosial
dan ekonomi, norma, dan lingkungan. Hal-hal tersebut pulalah yang membedakan tingkat
fertilitas remaja antarwilayah di Indonesia. Kebiasaan menikah muda masih banyak ditemui
di sejumlah daerah di Indonesia. Berbagai kelompok suku juga memiliki budaya yang berbeda
yang berdampak pada perilaku untuk memiliki anak.
Dengan berbagai capaian tingkat pembangunan fisik dan pembangunan manusia di Indonesia,
disertai dengan faktor lainnya, disparitas fertilitas remaja antarprovinsi di Indonesia cukup
tinggi. ASFR 15-19 tahun tertinggi terjadi di Kalimantan Tengah (63,13), lebih dari delapan kali
lipat dibandingkan provinsi dengan capaian terendah, yaitu di DKI Jakarta (7,90). Semantara
itu, ASFR 15-19 tahun di tingkat nasional adalah sebesar 26,64.
Sebagian besar provinsi memiliki ASFR di atas nilai nasional, yaitu 21 provinsi (61,76 persen),
sedangkan 13 provinsi lainnya di bawah nilai nasional (Gambar 6). Dari 13 provinsi dengan
ASFR di bawah nilai nasional, 6 di antaranya adalah provinsi di Pulau Jawa-Bali, 5 provinsi di
Pulau Sumatera, dan 2 provinsi lainnya di Pulau Kalimantan dan Maluku (Kalimantan Timur
dan Maluku).
.id
go
p s.
.b
w
w
//w
Persebaran fertilitas remaja antar kabupaten/kota juga beragam (Gambar 7). Sebagian besar
s:
kabupaten/kota memiliki ASFR 15-19 tahun dalam rentang 4-29 dan 29-55 kelahiran per
tp
Fertilitas
perempuan
cenderung
kecil angka ASFR mengindikasikan capaian
yang lebih baik. Dari 245 kabupaten/kota
yang terdapat pada kategori I (4-29 kelahiran
per 1.000 perempuan berusia 15-19 tahun),
menurun ketika terdapat 203 kabupaten/kota yang memiliki
mencapai tingkat ASFR 15-19 tahun lebih rendah dibandingkan
kesejahteraan yang capaian nasional, sedangkan 42 kabupaten/
kota lainnya masih lebih tinggi dibandingkan
lebih tinggi. nasional yang sebesar 26,64.
Jumlah daerah dengan ASFR kategori III (55-
80 kelahiran per 1.000 perempuan berusia
15-19 tahun) adalah sebanyak 51 kabupaten/kota (9,9 persen), dimana sebagian besar berada
di wilayah Indonesia bagian timur (berwarna biru tua). Sementara itu, jumlah daerah dengan
ASFR kategori IV (80-106 kelahiran per 1.000 perempuan usia 15-19 tahun) adalah sebanyak
4 kabupaten/kota. Kabupaten/kota dalam kategori ini memiliki angka fertilitas remaja yang
sangat tinggi, bahkan ada yang mencapai 4 kali lipat dibandingkan angka nasional, seperti
Kabupaten Asmat (106) dan Kabupaten Barito Selatan (95).
Angka fertilitas remaja di daerah kota secara umum lebih rendah dibandingkan kabupaten.
Sebagian besar angka kelahiran remaja yang rendah terjadi di daerah kota. Dari 15 daerah
yang memiliki angka fertilitas remaja terendah, 14 di antaranya merupakan daerah kota,
sedangkan satu lainnya adalah kabupaten, yaitu Sleman. Selain itu, selisih ASFR 15–19 tahun
antara kabupaten/kota tertinggi dan terendah cukup besar. Tingkat fertilitas remaja terendah
di Kota Padang, yaitu 4 kelahiran per 1.000 perempuan berusia 15-19 tahun, sangat jauh
dibandingkan Kabupaten Asmat yang masih memiliki ASFR 15-19 tahun sebesar 106.
id
baik dari sisi fisik, mental, pengetahuan, maupun finansial.
.
go
Gambar 8. Hubungan IPM dan ASFR 15-19 Tahun, 2020
s.
p
85
.b
w
80
w
//w
75
s:
IPM Perempuan
70
tp
ht
65
60 Korelasi pearson
(-0,724)
55
50
0 10 20 30 40 50 60 70
ASFR 15-19
Sumber : BPS (2020a) dan BPS (2023)
Tingkat fertilitas remaja juga secara umum akan turun seiring peningkatan kesejahteraan.
Tingkat sosial ekonomi rumah tangga dan tingkat kelahiran memiliki hubungan yang erat. Hal
ini ditunjukkan oleh penelitian Arsyad dan Nurhayati (2016) yang mengungkapkan bahwa
fertilitas perempuan cenderung menurun ketika mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih
tinggi. Secara makro, hal tersebut tercermin dari adanya pola hubungan yang positif antara
tingkat fertilitas remaja dan banyaknya penduduk miskin. Wilayah yang memiliki angka
kelahiran perempuan 15-19 tahun tinggi cenderung merupakan wilayah dengan tingkat
kemiskinan yang tinggi pula (Gambar 9).
30
25
Persentase Penduduk Miskin
20
15
10
0
0 10 20 30 40 50 60 70
id
ASFR 15-19
.
go
Sumber : BPS (2021b) dan BPS (2023)
s.
Pada tingkat rumah tangga, remaja perempuan yang pernah melahirkan banyak terjadi di
p
rumah tangga yang dikepalai oleh seseorang yang berpendidikan rendah. Hasil Long Form
.b
SP2020 menunjukan bahwa sekitar 3 dari 5 kepala rumah tangga yang memiliki anggota
w
rumah tangga remaja perempuan pernah kawin berpendidikan SD ke bawah atau mencapai
w
60,27 persen (Gambar 10). Bahkan pada daerah perdesaan perbandingannya mencapai
//w
berpengaruh terhadap ASFR 15-19 tahun. Kemiskinan seringkali dialami rumah tangga
tp
yang dipimpin kepala rumah tangga dengan tingkat pendidikan yang rendah. Pada rumah
ht
tangga yang tergolong miskin dan dipimpin kepala rumah tangga dengan pendidikan rendah,
perempuan banyak yang dinikahkan pada usia yang lebih dini karena faktor ekonomi dan
pengetahuan yang rendah.
Gambar 10. Persentase Perempuan Umur 15-19 Tahun yang Pernah Melahirkan Hidup
Menurut Tempat Tinggal dan Pendidikan KRT, 2022
15,41 19,22
26,23
19,28
20,51
22,75
65,30 60,27
51,02
Hasil Long Form SP2020 juga menunjukan bahwa sebagian besar rumah tangga dengan kepala
rumah tangga (KRT) berpendidikan rendah dan memiliki remaja yang melahirkan muda terdiri
dari dua generasi (Gambar 11). Remaja yang melahirkan muda sebagian besar tinggal dalam
rumah tangga yang dipimpin orang tuanya (37,30 persen), kemudian dalam rumah tangga
yang dipimpin suaminya (31,74 persen), dan dalam rumah tangga yang dipimpin mertuanya
(25,50 persen). Secara total tidak ada perbedaan yang nyata antara wilayah perkotaan dan
perdesaan mengenai hal ini. Namun apabila ditinjau lebih rinci, terlihat bahwa persentase
remaja yang melahirkan muda dan tinggal bersama orang tua di perkotaan (39,70 persen),
lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (36,28 persen). Sebaliknya, persentase remaja yang
melahirkan muda dan tinggal bersama mertua di perkotaan (22,33 persen) lebih rendah
dibandingkan di perdesaan (26,85 persen).
Gambar 11. Persentase Perempuan 15-19 Tahun yang Pernah Melahirkan Hidup dan
Tinggal dalam Rumah Tangga dengan KRT Berpendidikan SD ke Bawah
menurut Tempat Tinggal dan Hubungan dengan KRT, 2022
id
0,31 1,60 0,10 0,16
2,63 2,51
.
go
1,95 1,70
2,46
22,33 26,85 25,50
p s.
.b
w
39,70 37,30
36,28
w
//w
s:
tp
. id
5,26 3,97 4,43
go
Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan
KRT <= 19 Tahun KRT 20-29 Tahun
s.
KRT 30-39 Tahun
p
KRT >= 40 Tahun
Gambar 13. Persentase Perempuan Umur 15-19 Tahun yang Pernah Melahirkan Hidup
menurut Tempat Tinggal dan Hubungan dengan KRT Berumur 40 Tahun ke
Atas, 2022
0,23 0,10 0,15
2,92 3,14 3,06
1,67
1,71
1,79
32,81
38,97 36,83
56,70
51,59 53,37
. id
go
5,34 4,48 4,77
0,21 0,05 s. 0,11
Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan
p
.b
Sementara itu, jika dilihat dari jenis kelamin KRT, sebagian besar remaja perempuan yang
melahirkan muda tinggal dalam rumah tangga dengan KRT laki-laki (Gambar 14). Gambaran
s:
ini seperti kebanyakan kondisi rumah tangga di Indonesia. Akan tetapi apabila dilihat lebih
tp
dalam, terlihat bahwa persentase remaja yang melahirkan muda dan tinggal bersama KRT
ht
Gambar 14. Persentase Perempuan Umur 15-19 Tahun yang Pernah Melahirkan Hidup
menurut Tempat Tinggal dan Jenis Kelamin KRT, 2022
Perdesaan 9,54
90,46
Perkotaan 12,28
87,72
Gambar 15. Persentase Perempuan yang Pernah Kawin Berumur 10 Tahun ke Atas
menurut Umur Perkawinan Pertama, 2016-2022
. id
go
p s.
2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
.b
w
Sumber: BPS (2016a), BPS (2017a), BPS (2018a), BPS (2019a), BPS (2020b), BPS (2021d), BPS (2022b)
//w
Dari sisi regulasi, penurunan tersebut tidak terlepas dari peran pemerintah dalam menetapkan
s:
Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 yang mengatur batasan usia boleh menikah. Dalam
UU tersebut ditentukan bahwa batasan pernikahan bagi perempuan adalah 19 tahun. Secara
tp
Gambar 16. Proporsi Perempuan Umur 20-24 Tahun yang Berstatus Kawin atau Hidup
Bersama Sebelum Umur 18 Tahun (Persen), 2015-2021
12,14
11,54
11,11 11,21
10,82
10,35
9,23
Usia kawin pertama adalah usia ketika seseorang memulai atau melangsungkan pernikahan
(perkawinan pertama). Umur pertama menikah dapat diartikan saat dimulainya masa
reproduksi. Usia kawin pertama yang akan memberikan sumbangan terhadap angka kelahiran
remaja dan sekaligus mengandung risiko yang lebih besar karena kondisi yang kurang siap
dari sisi fisik, mental, pengetahuan, dan ekonomi. Dengan demikian, langkah yang diambil
pemerintah dalam merevisi batasan usia diperbolehkan menikah melalui undang-undang
sangat tepat dalam menurunkan fertilitas remaja dan meningkatkan kesehatan reproduksi
di Indonesia.
id
berkontribusi pada tingkat fertilitas remaja. Perempuan yang tinggal di perdesaan lebih
menghadapi tantangan tersebut.
.
go
Terjadinya kelahiran oleh remaja tidak terlepas dari fenomena pernikahan usia dini. Pernikahan
dini terjadi karena terbatasnya kesempatan meraih pendidikan yang lebih tinggi, akibat
s.
faktor gender yang berkaitan dengan stereotipe, kondisi sosial dan ekonomi keluarga, atau
p
.b
keterbatasan penyediaan fasilitas pendidikan yang memadai. Salah satu contoh stereotipe
yang dimaksud adalah masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan
w
adalah melayani suami. Stereotipe ini berakibat pada capaian pendidikan kaum perempuan
w
Ketersediaan fasilitas pendidikan, dan keterampilan merupakan salah satu faktor yang dapat
s:
menahan remaja perempuan untuk menikah atau mempunyai anak. Dengan adanya fasilitas
pendidikan atau keterampilan, maka perempuan muda memiliki kesempatan yang lebih besar
tp
untuk melanjutkan sekolah. Hal ini akan menyebabkan perempuan muda menunda untuk
ht
menikah dan lebih memilih untuk sekolah atau bekerja. Hubungan fertilitas remaja dan
keberadaan fasilitas pendidikan dapat terlihat pada grafik berikut.
Gambar 17. Hubungan Ketersediaan Sarana Pendidikan dan ASFR 15-19 Tahun, 2020
3.5
Jumlah Sarana Pendidikan/Luas Wilayah
2.5
1.5
1
Nilai korelasi (-0,459)
0.5
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70
ASFR 15-19
Sumber : BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021
Terdapat korelasi yang negatif antara ketersediaan fasilitas pendidikan dan fertilitas remaja.
Peningkatan ketersediaan fasilitas pendidikan pada setiap wilayah dapat menurunkan
fertilitas remaja dan sebaliknya (Gambar 17). Ketersediaan fasilitas pendidikan pada setiap
wilayah berpengaruh terhadap kesempatan perempuan untuk menempuh pendidikan.
Semakin besar kesempatan perempuan menempuh pendidikan, akan semakin besar pula
kemungkinan untuk menunda perkawinan dan memilih untuk menempuh pendidikan yang
lebih tinggi dan kemudian memiliki kesempatan yang lebih besar untuk masuk ke pasar kerja.
Gambar 18. Persentase Penduduk Perempuan 15-19 Tahun yang Pernah Melahirkan
menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Pernah Ditamatkan dan Wilayah
Tempat Tinggal, 2022
3,31
2,36
. id
1,64
go
1,51 p s. 1,07
0,72
.b
w
w
tp
Apabila dibedakan
menurut tempat
tinggal, remaja
melahirkan dan memiliki ijazah SMA ke
atas lebih sedikit dibandingkan remaja yang
memiliki tingkat pendidikan SMP ke bawah.
Apabila dibedakan menurut tempat tinggal,
yang melahirkan remaja yang melahirkan dengan tingkat
dengan tingkat pendidikan SMP ke bawah lebih banyak
pendidikan SMP ke terjadi di perdesaan (Gambar 18). Dari 100
remaja umur 15-19 tahun di perdesaan yang
bawah lebih banyak
menamatkan pendidikan paling tinggi SMP,
terjadi di perdesaan. terdapat 3,31 orang pernah melahirkan,
sedangkan di perkotaan 1,51 orang.
Perempuan yang memiliki pendidikan
yang tinggi cenderung memiliki kematangan dalam bersikap dan memiliki pandangan
hidup yang lebih luas. Pendidikan mampu memberikan pengetahuan tentang manfaat dari
penggunaan alat kontrasepsi sehingga mampu meningkatkan pengendalian kelahiran pada
perempuan, khususnya usia remaja. Dengan demikian, pendidikan merupakan sarana yang
baik untuk menunda perkawinan usia dini, memperlambat laju pertumbuhan penduduk, dan
meningkatkan kualitas pembangunan.
74,75
73,78
73,41 73,36
73,04
73,09 73,15
72,11 72,00 72,72
72,36
71,99 72,44
71,42 72,1
70,83 71,37 71,63
70,86 70,98
69,62
id
.
go
Sumber : BPS (2016b), BPS (2017b), BPS (2018b), BPS (2019b), BPS (2020c), BPS (2021e), dan BPS (2022d)
Hal yang hampir sama juga ditunjukkan oleh keselarasan antara penurunan ASFR 15-19 tahun s.
dengan peningkatan tingkat partisipasi sekolah. Angka Partisipasi Sekolah (APS) penduduk
p
usia 16-18 tahun terus mengalami peningkatan yang signifikan, terutama perempuan. APS
.b
perempuan selalu meningkat setiap tahun dan selama sepuluh tahun ini capaiannya melebihi
w
Gambar 20. Hubungan Ketersediaan Sarana Keterampilan dan ASFR 15-19 Tahun
s:
0.3
tp
Sarana Ketrampilan/Luas Wilayah
ht
0.25
0.2
0.15
0.1
Korelasi Pearson
0.05 (-0,45)
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70
ASFR 15-19
Sumber : BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021
Gambar 21. Persentase Perempuan 15-19 Tahun yang Pernah Melahirkan menurut
Kegiatan dan Wilayah Tempat Tinggal, 2022
3,23
2,76
id
1,95 2,00
.
go
1,22 1,29 s.
p
.b
w
w
//w
Sumber: BPS, Long Form SP2020
ht
Berdasarkan hasil Long Form SP2020, persentase perempuan 15-19 tahun yang pernah
melahirkan justru lebih banyak yang bekerja dibandingkan dengan yang tidak bekerja.
Perempuan yang mengalami fertilitas dini kemungkinan akan bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya karena penghasilan rumah tangganya belum cukup untuk memenuhi
kebutuhan. Apabila dilihat menurut daerah tempat tinggal, perempuan yang melahirkan di
usia 15-19 tahun dan aktivitas sehari-harinya bekerja, persentasenya lebih banyak terjadi di
perdesaan dibandingkan di perkotaan. Hal ini dimungkinkan karena kondisi sosial ekonomi
penduduk perdesaan yang terbiasa melibatkan perempuan secara aktif untuk bekerja
membantu KRT atau suaminya menjalankan usaha sebagai pekerja keluarga atau membantu
memenuhi kebutuhan keluarga sebagai tenaga kerja dibayar di usaha milik orang lain.
Selain sarana pendidikan dan keterampilan, ketersediaan sarana perekonomian juga diyakini
turut andil dalam penurunan fertilitas remaja. Ketersediaan dan pengembangan sarana
ekonomi dapat memperlancar proses distribusi dan pemasaran barang dan jasa yang dapat
mendorong peningkatan konsumsi, investasi, dan produksi, sehingga akan berdampak
terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja, termasuk tenaga kerja perempuan.
Gambar 22. Hubungan Ketersediaan Sarana Ekonomi dan ASFR 15-19 Tahun
30
25
Sarana Ekonomi/ Luas Wilayahi
20
15
10
Korelasi pearson
5 (-0,469)
id
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65
.
go
ASFR 15-19
Sumber : BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021 s.
p
.b
untuk mencari nafkah, sehingga menjadi salah satu pendorong perempuan untuk menunda
//w
menikah pada usia dini, memiliki anak, atau memiliki anak yang banyak. Wilayah yang banyak
s:
memiliki sarana ekonomi umumnya memiliki fertilitas remaja rendah dan sebaliknya (Gambar
22). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Raharja (2014), perempuan yang memiliki
tp
risiko tertinggi untuk mengalami fertilitas pada usia remaja adalah berpendidikan relatif
ht
rendah, berasal dari keluarga dengan status ekonomi terbawah dan tidak bekerja.
G. Kesimpulan
Tingkat fertilitas remaja di Indonesia secara umum semakin turun, tapi masih disertai dengan
disparitas antarwilayah. Fertilitas remaja di perdesaan lebih tinggi dibandingan perkotaan.
Hal ini berkaitan dengan ketersediaan fasilitas pendidikan, keterampilan, dan sarana ekonomi
di perkotaan yang lebih baik dibandingkan perdesaan. Penurunan tingkat fertilitas remaja
seiring dengan peningkatan partisipasi sekolah remaja perempuan dan penyediaan fasilitas
keterampilan dan fasilitas ekonomi.
Apabila perempuan muda diarahkan untuk melanjutkan sekolah maka mereka dapat
menguasai pengetahuan lebih baik, cenderung menunda menikah, dan memiliki peluang
yang lebih besar untuk bekerja. Dengan kondisi tersebut, fertilitas remaja akan turun secara
bertahap sesuai dengan target SDGs dan agenda pembangunan nasional. Hal ini juga akan
berdampak pada kondisi lainnya seperti peningkatan kualitas hidup perempuan, penurunan
kemiskinan, dan peningkatan kesehatan anak dan keluarga.
H. Daftar Pustaka
BKKBN. 2017. Profil Remaja Indonesia. Jakarta: BKKBN.
BPS. 2012. Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 2010. Jakarta: BPS.
BPS. 2016a. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2016. Jakarta: BPS.
BPS. 2016b. Potret Pendidikan Indonesia Statistik Pendidikan 2016. Jakarta: BPS.
BPS. 2017a. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2017. Jakarta: BPS.
BPS. 2017b. Potret Pendidikan Indonesia Statistik Pendidikan 2017. Jakarta: BPS.
BPS. 2018a. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2018. Jakarta: BPS.
BPS. 2018b. Statistik Pendidikan 2018. Jakarta: BPS.
BPS. 2019a. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2019. Jakarta: BPS.
BPS. 2019b. Potret Pendidikan Statistik Pendidikan Indonesia 2019. Jakarta: BPS.
BPS. 2020a. Publikasi Indeks Pembangunan Manusia IPM. Jakarta: BPS.
BPS. 2020b. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2020. Jakarta: BPS.
BPS. 2020c. Statistik Pendidikan 2020. Jakarta: BPS.
BPS. 2021a. Retrieved from bps.go.id:
https://www.bps.go.id/indicator/30/1397/1/angka-kelahiran-pada-perempuan-usia-15-19-
id
tahun-menurut-provinsi.html. diakses pada Rabu, 12 Juli 2023.
.
go
BPS. 2021b. Retrieved from bps.go.id:
https://www.bps.go.id/indicator/23/192/2/persentase-penduduk-miskin-p0-menurut-
s.
provinsi-dan-daerah.html. diakses pada Kamis, 20 Juli 2023
p
BPS. 2021c. Statistik Podes Indonesia 2021. Jakarta: BPS.
.b
tahun-ke-atas-menurut-daerah-tempat-tinggal-jenis-kelamin-dan-jenjang-pendidikan-
s:
https://www.bps.go.id/indicator/40/1360/1/proporsi-perempuan-umur-20-24-tahun-
yang-berstatus-kawin-atau-berstatus-hidup-bersama-sebelum-umur-18-tahun-
menurut-provinsi.html
diakses pada Rabu, 12 Juli 2023.
BPS. 2022d. Statistik Pendidikan 2020. Jakarta: BPS.
BPS. 2023. Hasil Long Form Sensus Penduduk 2020 Publikasi. Jakarta: BPS.
Casey, B. J., Duhoux, S., & Malter Cohen, M. 2010. Adolescence: what do transmission,
transition, and translation have to do with it?. Neuron, 675, 749–760.
Freedman, 1979. Theories of fertility decline: a reappraisal.,” Soc. Forces, vol. 58, no. 1, pp.
1–17, 1979, doi: 10.1093/sf/58.1.1.6
Graber, J. A., & Brooks-Gunn, J. 1996. Expectations for and precursors to leaving home in
young women. New directions for child development, 71, 21–38.
Kisambira, S., & Schmid, K. 2022. Selecting adolescent birth rates 10-14 and 15-19 years for
monitoring and reporting on Sustainable Development Goals. indicator, 3, 2.
Khan S, Mishra V. Youth reproductive and sexual health. DHS Comparative Reports No. 19.
Calverton, Maryland, USA; Macro International Inc; 2008
McDevitt TM, Arjun A, Timothy BF, Bourne VH. Trends in adolescent fertility and
contraceptive use in the developing world. U.S. Bureau of the Census, Report IPC/95–1.
Washington DC[manuscript on internet]. 1996 [cited 2013 Dec 6]. Available from:
http://www.census gov.zuom.info/ipc/prod/ipc95-1.pdf
Purbowati, A. 2019. Fertilitas Remaja Di Indonesia: Hubungan Antara Melahirkan Pada Usia
Remaja Dan Capaian Pendidikan Wanita. Jurnal Kependudukan Indonesia. Vol. 14 No. 2
Desember 2019 : 153-164
Raharja, M. B. 2014. Adolescent Fertility in Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional,
Vol. 9, No. 1, 6-13.
Schulz, K. M., Molenda-Figueira, H. A., & Sisk, C. L. 2009. Back to the future: The
organizational-activational hypothesis adapted to puberty and adolescence. Hormones
and behavior, 555, 597–604.
Sinaga, L., Hardiani, & Prihanto, P. H. 2017. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
fertilitas di perdesaan Studi pada Desa Pelayangan Kecamatan Muara Tembesi
Kabupaten Batanghari. Jurnal Paradigma Ekonomika, 41-48.
UN. 2023. Goals 3 Ensure healthy lives and promote well-being for all at all ages. Diperoleh
tanggal 28 Maret 2023, dari https://sdgs.un.org/goals/goal3.
UNICEF. 2021, Mei. PROFIL REMAJA 2021. Diperoleh tanggal 28 Maret 2023, dari https://
www.unicef.org/indonesia/media/9546/file/Profil%20Remaja.pdf
UNDP. 2010. The real wealth of nations: Pathways to human development Human
id
Development Report.New York: UNDP.
UNSTAT. 2023. SDG indicator metadata. Diperoleh tanggal 28 Maret 2023, dari https://
.
go
unstats.un.org/sdgs/metadata/files/Metadata-03-07-02.pdf.
WHO. 2023. Adolescent fertility rate per 1000 girls aged 15-19 years. Diperoleh tanggal 28
s.
Maret 2023, dari https://www.who.int/data/gho/indicator-metadata-registry/imr-
p
details/3.
.b
World Bank. 2023. Adolescent fertility rate births per 1,000 women ages 15-19. Diperoleh
w
TFRT?locations=ID
//w
s:
tp
ht
.id
go
p s.
.b
w
w
//w
s:
tp
ht
2
p
.b
w
w
//w
s:
tp
ht
id
Dampak tersebut diantaranya malnutrisi, rendahnya capaian pendidikan anak, hingga depresi
(Ronsmans, et al, 2010; National Research Council, & Committee on Population, 2000).
.
go
Kematian ibu juga meningkatkan tugas dan tanggung jawab suami dan keluarga lainnya
s.
untuk pengasuhan bayi yang dilahirkan karena peran vital seorang ibu harus digantikan oleh
orang lain (Miller & Belizán, 2015; Family Care International, ICRW, & KEMRI/CDC Research
p
.b
and Public Health Collaboration, 2014). Pada beberapa kasus, anak pertama dalam keluarga
yang mengalami kematian ibu harus putus sekolah dikarenakan harus mengurus adik-adiknya
w
yang lebih muda. Mereka juga masuk ke dalam angkatan kerja lebih cepat daripada yang
w
seharusnya dengan skill yang masih terbatas (Molla, et al, 2015). Oleh sebab itu, menjadi
//w
tanggung jawab bersama untuk menurunkan kematian ibu dan juga meningkatkan derajat
kesehatan ibu. Bukan hanya di dunia tapi juga di Indonesia, karena pada dasarnya faktor
s:
189
id
Target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk AKI tahun 2020
.
adalah 230 per 100.000 kelahiran hidup (Lampiran Perpres No. 18 Tahun 2020). Dilihat dari
go
hasil Long Form SP2020 dengan AKI sebesar 189 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup,
target ini sudah tercapai. Selain itu, target AKI dalam RPJMN tahun 2024, yaitu sebesar 183
s.
kasus kematian per 100.000 kelahiran hidup, juga sangat mungkin dapat tercapai. Sementara
p
itu, untuk mencapai target Sustainable Development Goals (SDGs) masih diperlukan upaya
.b
yang lebih optimal. Target AKI dalam SDGs adalah kurang dari 70 kematian ibu per 100.000
w
Jika dibandingkan dengan negara tetangga, AKI Indonesia masih terbilang tinggi dan masih
//w
setara dengan beberapa negara Afrika. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN, posisi
s:
Indonesia lebih baik dari Kamboja dan Myanmar. Namun jika dipadankan dengan Thailand,
AKI Indonesia mencapai lebih dari 6 kali lipatnya, bahkan jika disandingkan dengan negara
tp
Malaysia, Thailand, dan Singapura, merupakan negara ASEAN yang memiliki tingkat
pelayanan kesehatan yang lebih baik dari Indonesia. Berdasarkan Health Care Index 2021,
Indonesia berada pada peringkat 52 dalam ranking sistem kesehatan global dari 89 negara
yang disurvei. Negara tetangga di ASEAN, seperti Thailand, Singapura, atau Malaysia,
masing-masing menempati urutan ke 13, 24, dan 34. Health Care Index menggambarkan
sistem kualitas kesehatan di masing-masing negara berdasarkan infrastruktur kesehatan,
profesionalitas tenaga kerja, kompetensi, kesiapan pemerintah, ketersediaan obat-obatan,
dan biaya kesehatan per kapita (CEO World Magazine, 2021).
Kamboja 218
Myanmar 179
Indonesia 173
Laos 132
id
Vietnam 124
.
go
Filipina 78
Brunei Darussalam 44 s.
Thailand
p
29
.b
Malaysia 21
w
Singapura 7
w
//w
AKI menggambarkan ketimpangan akses kesehatan dan pendapatan (WHO, 2023a). Oleh
ht
sebab itu, wilayah-wilayah yang memiliki akses kesehatan yang rendah, memiliki AKI yang
cenderung tinggi. Hasil Long Form
SP2020 menunjukkan bahwa provinsi
dengan AKI tertinggi mayoritas berada
di wilayah Timur Indonesia. AKI tertinggi
berada di Provinsi Papua, sebesar 565
kematian ibu per 100.000 kelahiran
Jika dibandingkan
dengan negara ASEAN,
posisi Indonesia lebih
hidup. baik dari Kamboja dan
Provinsi DKI Jakarta dan DI Yogyakarta Myanmar.
merupakan provinsi dengan AKI
terendah di Indonesia. AKI DKI Jakarta
sebesar 48 kematian ibu per 100.000
kelahiran hidup dan DI Yogyakarta sebesar 58 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup.
Kedua provinsi tersebut sudah mencapai target SDGs.
. id
B. Karakteristik Kematian Ibu di Indonesia
go
Kejadian kematian ibu dapat terjadi saat kehamilan, persalinan, keguguran/pengguguran, atau
s.
masa nifas (kurang lebih 42 hari setelah melahirkan atau 2 bulan pada Long Form SP2020)
p
setelah masa kehamilan/persalinan/keguguran/pengguguran. Studi Li XF, et al. (1996)
.b
menunjukkan tingkat kematian ibu tertinggi terjadi pada saat melahirkan dan 24 jam masa
w
nifas. Hasil Long Form SP2020 mengonfirmasi hal tersebut. Kasus kematian ibu paling banyak
w
terjadi saat persalinan, yaitu sebanyak hampir 40 persen dari seluruh kejadian kematian ibu.
//w
Kematian ibu juga banyak terjadi pada saat ibu berada pada masa nifas.
Hal ini penting untuk dipahami karena banyak yang menganggap bahwa permasalahan terkait
s:
kehamilan pada ibu selesai pada saat persalinan. Hasil Long Form SP2020 juga menunjukkan
tp
bahwa dari keseluruhan kejadian kematian ibu, sebesar 31,23 persennya terjadi di masa
ht
nifas. Penelitian serupa di Banten tahun 2018 menunjukkan bahwa frekuensi kematian yang
terjadi pada 8-42 hari pasca persalinan hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan satu
dekade sebelumnya (Center for Family Welfare, FKM UI & Jhpiego Indonesia, 2018). Ini berarti
bahwa masa nifas juga merupakan masa yang rentan atau berisiko tinggi terjadinya kematian
ibu.
Gambar 5. Kejadian Kematian Ibu menurut Masa Meninggal Ibu (Persen), 2020
Masa Kehamilan
27.00
31.23
Masa
Keguguran/Pengguguran
Saat Persalinan
2.83
Menurut WHO (2023a), kejadian kematian ibu dapat disebabkan oleh komplikasi yang terjadi
saat hamil, persalinan, atau postpartum. Sebagian besar komplikasi mulai terjadi saat hamil.
Sebagian lainnya sudah muncul sebelum kehamilan dan semakin meningkat saat menjalani
kehamilan. Komplikasi terkait dengan kehamilan tidak dapat diprediksi mengenai pada siapa
dan kapan terjadinya. Pada umumnya, ibu hamil yang berisiko tinggi mengalami komplikasi
disebabkan oleh faktor 4T atau “4 Terlalu”, yaitu terlalu tua, terlalu muda untuk hamil, terlalu
banyak, dan terlalu dekat. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa ibu lainnya
juga dapat mengalami komplikasi.
Kajian sistematik terkait penyebab kematian ibu dalam lingkup global menyebutkan bahwa
sekitar 83 persen kejadian kematian ibu di Asia Tenggara disebabkan oleh direct obstetric
cause, sedangkan 17 persennya terjadi karena indirect cause, seperti kondisi kesehatan yang
dimiliki ibu sebelumnya (Cameron L, et al., 2019). Pada umumnya kematian ibu melahirkan
disebabkan oleh perdarahan, hipertensi, dan infeksi (Pusdatin Kemenkes, 2014).
Risiko kematian ibu semakin meningkat apabila terjadi keterlambatan penanganan akibat
akses fasilitas kesehatan yang jauh, ketiadaan penanganan oleh penolong persalinan atau
id
tenaga kesehatan yang terlatih, dan kurangnya persediaan alat yang memadai. Oleh karena
itu, mengingat masa nifas juga menjadi masa rentan terjadinya kematian ibu dan adanya
.
go
komplikasi kehamilan yang tidak dapat diprediksi, intervensi pengurangan kematian ibu
yang efektif dapat ditempuh dengan berbagai cara. Hal tersebut diantaranya adalah dengan
s.
memastikan pelayanan kedaruratan saat hamil, persalinan, dan setelahnya, mudah diakses,
p
baik itu berupa kedekatan jarak ke fasilitas kesehatan maupun ketersediaan tenaga kesehatan
.b
Ketika melihat kejadian kematian ibu di Indonesia menurut lokasi meninggal, data registrasi
w
yang bersumber dari Maternal Perinatal Death Notification (MPDN) Kementerian Kesehatan
//w
(Kemenkes) menunjukkan bahwa kejadian kematian ibu pada tahun 2020 sebagian besar
terjadi di fasilitas kesehatan (88,46 persen). Hal ini terjadi karena ibu dirujuk ke fasilitas
s:
kesehatan lebih banyak yang mengalami komplikasi dibandingkan ibu tanpa komplikasi (Pusat
tp
Dilihat dari wilayah tempat Gambar 6. Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami
tinggalnya, proporsi kejadian Kasus Kejadian Kematian Ibu menurut
kematian ibu pada kelompok Klasifikasi Wilayah Tinggal (per 100.000
rumah tangga yang ada di Rumah Tangga), 2022
perdesaan lebih besar daripada
proporsi kejadian kematian ibu 42
di perkotaan. Hasil Long Form
SP2020 menunjukkan kejadian
kematian ibu terjadi pada 42
rumah tangga dari 100.000 rumah 36
tangga yang ada di perdesaan,
sedangkan di perkotaan, kejadian
kematian ibu mencapai 36 per
100.000 rumah tangga. Hal ini
terjadi karena kelompok rumah
tangga di perdesaan lebih sedikit Perkotaan Perdesaan
id
yang dapat memanfaatkan
layanan kesehatan, sementara
.
go
rumah tangga di perkotaan lebih Sumber: BPS, Long Form SP2020
banyak yang dapat memanfaatkan layanan kesehatan (Hamal et al., 2020). Kondisi ini
s.
diduga karena masih minimnya berbagai fasilitas di perdesaan, terutama fasilitas kesehatan,
p
dan adanya kesulitan mengakses fasilitas kesehatan karena infrastruktur jalan yang belum
.b
memadai. Penelitian Rukmini (2012) menyatakan bahwa sebagian besar puskesmas di wilayah
w
perkotaan lebih layak jika dibandingkan dengan puskesmas di wilayah perdesaan. Selain itu,
w
ibu-ibu yang tinggal di wilayah perdesaan juga memerlukan waktu khusus untuk pergi dan
//w
Gambar 7. Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Kasus Kejadian Kematian Ibu
ht
45
37
Lebih lanjut terkait karakteristik wilayah tempat tinggal ibu, dengan mengaitkan data Long
Form SP2020 dan PODES 2021, terungkap bahwa kejadian kematian ibu yang paling besar
proporsinya terjadi pada kelompok rumah tangga di desa/kelurahan di dalam kawasan hutan
dan paling kecil proporsinya terjadi pada kelompok rumah tangga di desa/kelurahan di luar
kawasan hutan. Bahkan, proporsi kejadian kematian ibu di desa/kelurahan di dalam kawasan
hutan besarnya 2 kali lipat dari proporsi kejadian kematian ibu di desa/kelurahan di luar
kawasan hutan. Akses jalan dan ketersediaan fasilitas serta tenaga kesehatan yang terbatas
di wilayah-wilayah remote, seperti di dalam kawasan hutan, menjadi faktor utamanya. Jarak
ke fasilitas kesehatan atau khususnya obstretic care juga disorot dalam studi oleh Scott et al.
(2013) dalam Cameron & Cornwell (2015) di Bangladesh dan Indonesia. Jarak merupakan
faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap kematian ibu, selain lamanya mencari
dan mengakses perawatan ketika timbul komplikasi.
Topografi wilayah tempat tinggal juga berpengaruh terhadap disparitas AKI. Kejadian
kematian ibu di desa/kelurahan dengan topografi berupa puncak/tebing/lereng terjadi pada
42 rumah tangga dari 100.000 rumah tangga di wilayah tersebut. Sedangkan, di dataran/
lembah, kejadian kematian ibu tercatat di 37 rumah tangga dari setiap 100.000 rumah tangga.
id
Hal ini sejalan dengan pembangunan di wilayah dataran/lembah yang cenderung lebih maju.
.
go
Pembangunan di wilayah puncak/tebing/lereng yang lebih lambat disebabkan oleh geografis
yang sulit yang berimbas pada biaya yang mahal dalam melakukan pembangunan.
s.
p
Gambar 8. Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Lambatnya pembangunan
.b
kebutuhan kesehatan. Salah satu keterbatasan data pada Long Form SP2020 adalah minimnya
informasi terkait siapa saja di rumah tangga tersebut yang merupakan pasangan suami istri.
Informasi yang tersedia adalah siapa yang menjadi Kepala Rumah Tangga (KRT) di rumah
tangga tersebut. KRT memegang peranan penting dalam pengambilan berbagai keputusan
di rumah tangga, sehingga informasi terkait KRT ini selanjutnya dipergunakan sebagai proksi
atau pendekatan.
Gambar 9. Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Kasus Kejadian Kematian Ibu
menurut Pendidikan Kepala Rumah Tangga (per 100.000 Rumah Tangga),
2022
40 42
37
31
. id
go
p s.
.b
Pendidikan dan status bekerja KRT dapat menjadi sebuah proksi atau pendekatan dari
//w
pendapatan rumah tangga (Cameron L, et al., 2019). Secara umum, proporsi kejadian kematian
s:
ibu di Indonesia lebih besar pada kelompok rumah tangga dengan KRT berpendidikan SMP ke
bawah. Di sisi lain, proporsi kejadian kematian ibu terkecil ada pada kelompok rumah tangga
tp
dengan KRT yang menamatkan perguruan tinggi (PT). Hal ini sejalan dengan penelitian yang
ht
dilakukan di Banten tahun 2018, dimana risiko kematian ibu 2,2 kali lebih besar terjadi pada
perempuan yang suaminya hanya berpendidikan sekolah dasar (Center for Family Welfare,
FKM UI & Jhpiego Indonesia, 2018). Ini karena pada umumnya, di rumah tangga dengan KRT
berpendidikan tinggi, KRT memiliki pengetahuan dan finansial yang cukup untuk menjaga
kesehatan seluruh anggota keluarga, sehingga kematian ibu di rumah tangga tersebut dapat
dicegah seoptimal mungkin.
Gambar 10. Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Kasus Kejadian Kematian Ibu
menurut Status Bekerja KRT (per 100.000 Rumah Tangga), 2022
49
Jika dilihat dari status bekerja KRT, kelompok
rumah tangga dengan KRT yang bekerja
28
diketahui memiliki proporsi kejadian kematian
ibu yang lebih besar dibandingkan kelompok
rumah tangga dengan KRT tidak bekerja.
Hasil Long Form SP2020 menunjukkan bahwa
49 rumah tangga dari 100.000 rumah tangga
dengan KRT bekerja mengalami kejadian
Bekerja Tidak Bekerja kematian ibu, sedangkan kejadian kematian ibu
Sumber: BPS, Long Form SP2020
pada kelompok rumah tangga dengan KRT tidak bekerja hanya dialami 28 dari 100.000 rumah
tangga. Hal ini tidak sejalan dengan yang terjadi pada SP2010 dimana peluang terjadinya
kematian ibu ditemukan berasosiasi negatif dengan karakteristik KRT yang bekerja (Cameron
L, et al., 2019). Perbedaan pola ini diduga terjadi karena adanya pandemi COVID-19 yang
dapat meningkatkan risiko ibu hamil tertular COVID-19. Seperti dijelaskan oleh Hojo-
Souza S, Guidoni DL, Da Silva CM, et al (2022) dalam Mustofa (2023) bahwa COVID-19
juga berpotensi menyebabkan penyakit yang mempunyai risiko tinggi dan kematian jutaan
orang. Selanjutnya, menurut Chen Y, Bai J. (2020) dalam Mustofa (2023) menjelaskan bahwa
angka kesakitan dan kematian ini juga termasuk kematian ibu. Keterpaparan COVID-19
bisa terjadi pada siapa saja. Sebagaimana diketahui bahwa pendataan Long Form SP2020
dilaksanakan pada saat terjadi pandemi COVID-19, sehingga fenomena-fenomena tertentu
yang ditemukan sangat mungkin terkait dengan sedang mewabahnya COVID-19 pada saat
itu. KRT yang bekerja, terlebih lagi KRT yang bekerja di luar rumah, memiliki peluang terpapar
COVID-19 yang lebih besar. Hal ini, lebih lanjut dapat meningkatkan potensi KRT tersebut
untuk menularkannya pada anggota rumah tangga, termasuk jika terdapat ibu hamil di rumah
tangga tersebut.
id
Gambar 11. Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Kasus Kejadian Kematian Ibu
.
go
menurut Umur KRT (per 100.000 Rumah Tangga), 2022
s.
68
p
.b
w
49
w
//w
35
s:
tp
ht
Gambar 12. Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Kasus Kejadian Kematian Ibu
menurut Keberadaan Anak dan Jumlah Anggota Rumah Tangga (per 100.000
Rumah Tangga), 2022
53
46
37
30 30
. id
go
p s.
.b
ART 1-2 Orang ART 3-4 Orang ART lebih dari 4 Tidak ada anak Ada anak KRT
w
//w
Berdasarkan jumlah anggota rumah tangga, hasil Long Form SP2020 menunjukkan bahwa
tp
proporsi kejadian kematian ibu lebih besar pada kelompok rumah tangga dengan ukuran
ht
rumah tangga yang lebih besar (lebih dari 4 orang). Rumah tangga dengan jumlah ART lebih
banyak membuat sumber daya terbagi ke lebih
banyak orang. Hal ini dapat menyebabkan
Proporsi kejadian
kematian ibu
lebih besar pada
kurangnya sumber daya yang dialokasikan
untuk ibu hamil, padahal sumber daya
atau biaya yang diperlukan untuk merawat
kesehatan ibu hamil cukup besar, diantaranya
kelompok rumah meliputi biaya antenatal care, biaya persalinan
tangga dengan di fasilitas kesehatan, dan biaya lainnya. Hal ini
juga didukung oleh temuan bahwa kelompok
ukuran rumah rumah tangga dengan KRT yang memiliki
tangga yang lebih anak memiliki proporsi kejadian kematian ibu
besar (lebih dari 4 lebih besar dibandingkan kelompok rumah
tangga dengan KRT yang tidak memiliki anak.
orang).
Analisis Faktor Risiko Kematian Ibu di Indonesia
Gambar 13. Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Kasus Kejadian Kematian Ibu
menurut Kondisi Bangunan Tempat Tinggal (per 100.000 Rumah Tangga),
2022
44
43
39 39 39
39
id
Lantai tanah Lantai bukan Atap tidak layak Atap layak Dinding tidak Dinding layak
.
go
tanah layak
Sumber: BPS, Long Form SP2020
p s.
.b
Kondisi perumahan dapat menjadi proksi atau pendekatan dari status ekonomi suatu rumah
tangga (Cameron L, et al., 2019). Rumah tangga dengan karakteristik perumahan (atap, lantai,
w
dan dinding) layak menggambarkan rumah tangga dengan status ekonomi yang lebih baik
w
dibandingkan rumah tangga dengan karakteristik perumahan tidak layak. Secara umum,
//w
proporsi kejadian kematian ibu lebih besar pada kelompok rumah tangga dengan karakteristik
perumahan tidak layak, kecuali pada kelompok rumah tangga dengan atap tidak layak dan
s:
layak yang memiliki proporsi kejadian kematian ibu yang sama besarnya.
tp
ht
DI Yogyakarta
0,70
Bali
Masyarakat (IPKM)
0,65
0,40
id
0 100 200 300 400 500 600
AKI
.
go
Sumber: Kemenkes (2019) dan BPS, Long Form SP2020
s.
Gambaran pembangunan kesehatan ibu di Indonesia juga terlihat dari bagaimana ibu dalam
p
.b
memanfaatkan layanan kesehatan. Hasil Long Form SP2020 dikaitkan dengan hasil Survei
Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) 2020 menunjukkan bahwa provinsi yang memiliki
w
AKI tinggi cenderung terjadi pada wilayah dengan persentase ibu yang melahirkan di fasilitas
w
kesehatan yang lebih sedikit. Hubungan antara AKI dengan persentase perempuan pernah
//w
kawin berumur 15-49 tahun yang melahirkan terakhirnya di fasilitas kesehatan menunjukkan
angka -0,522. Ini menunjukkan adanya hubungan yang cukup kuat dan negatif antara kasus
s:
kematian ibu dan pemanfaatan fasilitas kesehatan dalam proses persalinan. Semakin besar
tp
Gambar 15. Sebaran Provinsi Menurut AKI dan Persentase Wanita Pernah Kawin 15-49
Tahun yang Melahirkan Terakhirnya di Fasilitas Kesehatan, 2020
100
WPK 15-49 Melahirkan
90
Terakhir di Fasilitas
Kesehatan (%)
80
70
60
50
40
30
0 100 200 300 400 500 600
AKI
Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Susenas 2020
Selain fasilitas kesehatan, penolong persalinan juga merupakan faktor yang turut
memengaruhi kasus kematian ibu. Keterkaitan keduanya cukup tinggi dengan nilai korelasi
-0,744. Ini menunjukkan adanya hubungan yang kuat dan negatif antara AKI dan persentase
perempuan pernah kawin berumur 15-49 tahun yang melahirkan terakhirnya ditolong tenaga
kesehatan. Semakin besar persentase perempuan melahirkan ditolong tenaga kesehatan,
maka AKI semakin rendah.
Gambar 16. Sebaran Provinsi Menurut AKI dan Persentase Persalinan Ditolong Tenaga
Kesehatan, 2020
100
Persentase persalinan ditolong
95
90
tenaga kesehatan
85
80
id
75
.
go
70
65
p s.
60
.b
AKI
w
//w
Gambar 17. Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Kasus Kejadian Kematian Ibu
menurut Jarak ke Fasilitas Kesehatan (per 100.000 Rumah Tangga)
71
46
42
37 37 36
Ke RS (<=10 km) Ke RS (>10 km) Ke puskesmas Ke puskesmas Ke praktik bidan Ke praktik bidan
dengan rawat dengan rawat (<=10 km) (>10 km)
inap (<=10 km) inap(>10 km)
id
Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021
.
go
Jarak menuju fasilitas kesehatan berpengaruh pada kemudahan masyarakat dalam mengakses
fasilitas kesehatan. Secara umum, kelompok rumah tangga dengan jarak ke fasilitas kesehatan
s.
yang lebih dekat memiliki proporsi kejadian kematian ibu yang lebih kecil dibandingkan
p
dengan kelompok rumah tangga yang jauh dari fasilitas kesehatan. Paramita A, & Pranata S
.b
(2007) dalam Gamelia, et.al. (2013) menyatakan bahwa masyarakat yang lebih dekat dengan
fasilitas kesehatan akan memiliki kecenderungan lebih besar untuk memanfaatkan pelayanan
w
kematian ibu ditunjukkan pada kelompok rumah tangga yang dekat dan jauh dengan praktik
//w
bidan. Proporsi kejadian kematian ibu pada rumah tangga dengan jarak ke praktik bidan lebih
dari 10 kilometer hampir 2 kali lipat dari proporsi kejadian kematian ibu pada rumah tangga
s:
dengan jarak ke praktik bidan kurang dari 10 kilometer. Ini memberikan gambaran bahwa
tp
praktik bidan menjadi pilihan fasilitas kesehatan yang terjangkau dan sangat membantu
ht
masyarakat. Keberadaan bidan dan perawat konsisten ditemukan memiliki peran yang sangat
penting dalam upaya penurunan jumlah kematian ibu (Wulandari, 2015).
Gambar 18. Sebaran Provinsi menurut AKI dan Persentase Rumah Tangga dengan Jarak
ke Fasilitas Kesehatan Lebih dari 10 Kilometer
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0 100 200 300 400 500 600
AKI
% Ruta dengan Jarak ke Praktik Bidan (>10 km) % Ruta dengan Jarak ke Puskesmas (>10 km)
% Ruta dengan Jarak ke RS (>10 km)
Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021
Ketika dilihat menurut wilayah, berdasarkan uji korelasi yang dilakukan untuk melihat
hubungan antara AKI dengan persentase rumah tangga dengan jarak lebih dari 10 kilometer
ke rumah sakit, puskesmas, maupun praktik bidan, semuanya menunjukkan korelasi yang
positif dan signifikan, yaitu masing-masing sebesar 0,594; 0,517; dan 0,782. Artinya, semakin
besar persentase rumah tangga dengan jarak lebih dari 10 kilometer, baik ke rumah sakit,
puskesmas, maupun praktik bidan, maka AKI semakin tinggi. Angka korelasi yang disajikan
menunjukkan bahwa jarak rumah tangga ke praktik bidan memberikan korelasi paling besar,
artinya jarak ke praktik bidan memiiki hubungan yang lebih besar terhadap tinggi rendahnya
AKI. Pada beberapa kondisi, bidan sangat berperan sebagai penolong pertama pada kondisi
kegawatdaruratan. Pentingnya keberadaan bidan juga diungkap dalam penelitian sebelumnya
yang menunjukkan bahwa tingginya rasio paramedis (dalam hal ini adalah bidan dan perawat)
di suatu daerah terhadap jumlah penduduk, maka akan semakin menurun pula jumlah
kematian ibu di wilayah tersebut (Wulandari, 2015). Masih kurangnya ketersediaan bidan
dan perawat yang tinggal di desa atau daerah-daerah terpencil bisa memberikan dampak
negatif terhadap penanganan ibu hamil serta penanganan persalinan yang tepat waktu.
Gambar 19. Proporsi Rumah Tangga yang
id
Mengalami Kasus Kejadian Kematian Jika dilihat dari segi biaya, kelompok
.
go
Ibu menurut Biaya Menuju Fasilitas rumah tangga dengan biaya menuju
Kesehatan (per 100.000 Rumah s.fasilitas kesehatan yang lebih murah
Tangga) memiliki proporsi kejadian kematian
p
44 ibu yang lebih kecil dibandingkan
.b
Biaya mahal menuju faskes Biaya murah menuju faskes mendapatkan perawatan profesional.
(lebih dari Rp 500.000)
Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021
Gambar 20. Sebaran Provinsi menurut AKI dan Persentase Rumah Tangga dengan Biaya
Menuju ke Fasilitas Kesehatan Lebih dari 500 Ribu Rupiah
90
Rumah Tangga dengan Biaya
80
menuju Faskes >500 Ribu
70
60
(Persen)
50
40
30
20
10
0
0 100 200 300 400 500 600
AKI
Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021
Gambar 21. Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Kasus Kejadian Kematian Ibu
menurut Kondisi Jalan di Desa/Kelurahan Tempat Tinggal (per 100.000
Rumah Tangga)
id
88 87
.
go
p s.
50
.b
w
37
w
//w
s:
tp
Proporsi kejadian
kematian ibu pada
kelompok rumah
tangga dengan kondisi jalan yang lebih memadai
(aspal dan beton) lebih kecil daripada kelompok
rumah tangga dengan kondisi jalan yang
kurang memadai. Kondisi jalan seperti tanah
tangga dengan atau bahkan tidak adanya transportasi darat
kondisi jalan yang menyebabkan perjalanan ke fasilitas kesehatan
lebih memadai melewati medan perjalanan yang lebih sulit,
melelahkan, dan memakan waktu lebih lama,
lebih kecil daripada sehingga dapat menurunkan stamina dan
kondisi jalan yang menyebabkan keterlambatan penanganan
kurang memadai. ibu hamil. Selain itu, membengkaknya biaya
transportasi juga menjadi kendala finansial
pada rumah tangga dengan akses transportasi
sulit.
Gambar 22. Hubungan Tingkat Kematian Ibu Berdasarkan uji korelasi antara AKI
dengan Kondisi Jalan dengan persentase rumah tangga
dengan kondisi jalan di desa/kelurahan
50 tempat tinggal kurang memadai juga
menunjukkan hubungan yang positif
Rumah Tangga dengan Kondisi Jalan Kurang
45
30
25
rumah tangga dengan kondisi jalan di
desa/kelurahan tempat tinggal kurang
20
memadai, maka semakin tinggi pula
15
AKI di wilayah tersebut. Banyaknya
10
kondisi jalan yang kurang memadai
5 memberikan pengaruh negatif terhadap
id
0 upaya penurunan AKI di suatu wilayah.
.
0 100 200 300 400 500 600
Selain tingginya biaya, banyaknya
go
AKI
s. jalan yang kurang memadai juga bisa
Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021 menunjukkan sulitnya akses menuju
p
ke pelayanan kesehatan terdekat di
.b
wilayah tersebut.
w
Selain fasilitas kesehatan, seperti rumah Gambar 23. Proporsi Rumah Tangga yang
w
ibu hamil, PMT ibu hamil Kurang Energi Hamil (per 100.000 Rumah
tp
95
Rumah Tangga yang Ada Pelayanan
90
dan signifikan dengan nilai korelasi
sebesar -0,541. Hal ini menunjukkan
85
bahwa semakin besar persentase rumah
tangga dengan keberadaan pelayanan
(Persen)
80
id
0 100 200 300 400 500 600
AKI kehamilan dan dapat menjadi wadah
.
diskusi terkait kesehatan kehamilan
go
Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021 bersama ibu hamil lainnya.
p s.
.b
Selain ketersediaan pelayanan kesehatan, kualitas pelayanan kesehatan juga merupakan hal
w
yang penting terkait dengan pengurangan kematian ibu. Kualitas pelayanan kesehatan dari
//w
segi tenaga kesehatan dapat dilihat dari keberadaan bidan di desa dan bidan menetap di
desa. Pada bagian sebelumnya, keberadaan praktik bidan yang terjangkau atau dekat dari
s:
segi jarak (tidak lebih dari 10 kilometer) berkaitan dengan proporsi kejadian kematian ibu
tp
Bidan desa adalah seorang petugas Gambar 25. Hubungan Kematian Ibu
paramedis yang bertugas sebagai bidan di dengan Keberadaan Bidan
desa/ kelurahan dengan SK (bidan di desa). Desa di Tempat Tinggal
Bidan yang dimaksud adalah seorang
petugas paramedis yang memperoleh 100
pendidikan formal mengenai kebidanan
Persentase Rumah Tangga yang terdapat
Bidan di Desa/Kelurahan tempat Tinggal
90
dan tidak termasuk seseorang yang 80
memperoleh pendidikan dan pelatihan 70
kebidanan dari instansi terkait, seperti 60
dinas kesehatan.
50
Berdasarkan uji korelasi antara AKI 40
dengan persentase rumah tangga yang 30
terdapat bidan di desa/kelurahan tempat 20
tinggalnya juga menunjukkan hubungan 10
yang negatif dan signifikan dengan nilai
0
korelasi sebesar -0,614. Artinya, semakin 0 100 200 300 400 500 600
besar persentase rumah tangga dengan AKI
adanya bidan di desa, maka nilai AKI
akan semakin rendah. Sehingga semakin Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021
besar persentase rumah tangga yang terdapat bidan di desa/kelurahan tempat tinggalnya
memberikan pengaruh positif terhadap upaya penurunan AKI di suatu wilayah. Bidan sangat
berperan penting untuk memberikan pengetahuan seputar kesehatan, kehamilan dan juga
tumbuh kembang janin pada ibu yang sedang mengandung. Karena pada dasarnya, menurut
penelitian Makowieka et al., (2007) dalam Cameron & Cornwell (2015), tujuan inti dari
program bidan di desa adalah untuk menurunkan AKI khususnya bagi penduduk miskin
perdesaan.
Gambar 26. Sebaran Provinsi menurut AKI dan Persentase Fasilitas Kesehatan Siap
PONED dan PONEK
70
60
50
40
id
30
.
go
20
10
p s.
.b
0
0 100 200 300 400 500 600
w
AKI
w
//w
Dari segi fasilitas kesehatan, kualitasnya dapat dilihat secara komprehensif dari kesiapan
Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) untuk rumah sakit dan
Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) untuk puskesmas. Untuk melihat
keterkaitan antara AKI dengan ketersediaan fasilitas kesehatan di seluruh provinsi, dilakukan
uji korelasi antara AKI dengan persentase rumah sakit yang siap PONED dan persentase
puskesmas yang siap PONED.
Berdasarkan hasil uji korelasi antara AKI dan persentase rumah sakit siap PONEK
menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan. Demikian juga hubungan AKI dengan
persentase puskesmas yang siap PONED tidak menunjukkan korelasi yang signifikan. Hal ini
menunjukkan bahwa persentase fasilitas kesehatan yang siap PONED maupun siap PONEK
tidak memengaruhi AKI secara signifikan. Hal ini didukung pula oleh penelitian Ronsmans et
al. di tahun 2009 (Cameron & Cornwell, 2015) yang menjelaskan bahwa kualitas pelayanan
kesehatan yang dilihat dari Puskesmas siap PONED dan RS siap PONEK tidak menjamin
pencegahan risiko kematian ibu ketika akses masih sulit dan instrumen pendukung serta
obat-obatan tidak tersedia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan kesehatan
dapat mengurangi risiko ibu meninggal ketika akses tersedia.
id
masyarakat dan dimaksudkan untuk
.
go
Tidak ada UKBM aktif Ada UKBM aktif
memfasilitasi pelayanan kesehatan.
Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021
UKBM terbentuk dalam beberapa
s.
kegiatan diantaranya adalah Posyandu
p
(Pos Pelayanan Terpadu), Poskesdes
.b
(Pos Kesehatan Desa), Polindes (Pondok Bersalin desa) dan Desa Siaga. Sebagian besar
w
UKBM didirikan di daerah pedesaan (Raharni dan Susyanti, 2010). UKBM lebih didekatkan
w
dengan masyarakat kelas ekonomi bawah dimana mereka banyak yang tinggal di daerah
//w
perdesaan.
Berdasarkan Gambar 27 di atas, proporsi
s:
85
deteksi dini maupun penanganan
komplikasi pada ibu hamil dan melahirkan.
80
Analisis korelasi menunjukkan hasil
75
yang serupa terkait hubungan antara
70 AKI dengan persentase rumah tangga
65 yang terdapat UKBM di wilayah tempat
60 tinggalnya yaitu negatif dan signifikan
55 sebesar –0,751. Hal ini menunjukkan
id
0 100 200 300 400 500 600 bahwa terdapat keterkaitan yang nyata
.
AKI antara keberadaan UKBM dengan
go
AKI dimana semakin tinggi persentase
s. rumah tangga yang bertempat tinggal
Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021
di desa/kelurahan dengan UKBM aktif,
p
maka semakin rendah AKI di wilayah
.b
tersebut.
w
w
E. Kesimpulan
//w
AKI Indonesia hasil Long Form SP2020 tercatat sebesar 189 kematian ibu per 100.000
s:
tahun 2020. Namun, di balik capaian AKI nasional tersebut, disparitas atau ketimpangan
ht
capaian AKI antarwilayah masih terjadi. Wilayah dengan AKI rendah didominasi oleh provinsi-
provinsi di Indonesia bagian barat, sedangkan provinsi-provinsi di Indonesia timur cenderung
memiliki AKI tinggi.
Jika dilihat menurut masa meninggal, tingkat kematian ibu tertinggi terjadi pada masa
persalinan. Namun, masa nifas juga merupakan masa rentan terjadinya kematian ibu.
Di samping itu, sebagian komplikasi pada ibu hamil tidak dapat diprediksi. Maka dari itu,
memastikan kemudahan akses pelayanan kedaruratan saat hamil, persalinan, dan setelahnya
menjadi strategi paling efektif untuk mengurangi kematian ibu.
Kematian ibu di Indonesia banyak terjadi pada rumah tangga dengan KRT berpendidikan
rendah (SMP ke bawah), KRT muda (berumur di bawah 20 tahun), dan dengan karakteristik
perumahan tidak layak. Rumah tangga dengan karakteristik ini menggambarkan rumah
tangga dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah. Ini menjadi indikasi agar perlindungan
sosial bagi ibu hamil pada rumah tangga yang kurang sejahtera perlu ditingkatkan secara
tepat dan berkesinambungan.
Perluasan perlindungan sosial bagi ibu hamil juga perlu mempertimbangkan beban
ketergantungan dalam rumah tangga. Hal ini terlihat dari lebih banyaknya kasus kematian ibu
pada rumah tangga dengan ukuran rumah tangga yang besar (big family) dan adanya anak usia
17 tahun ke bawah. Keberadaan anggota rumah tangga usia anak yang termasuk dalam usia
non produktif menggambarkan tingginya porsi pengeluaran rumah tangga yang lebih besar
untuk investasi anak, baik dalam aspek pendidikan maupun kesehatan.
Disparitas AKI di Indonesia beriringan dengan adanya disparitas pembangunan pelayanan
kesehatan di Indonesia. Kematian ibu yang tinggi terjadi pada wilayah-wilayah dengan fasilitas
kesehatan yang jauh, kondisi jalan yang kurang memadai, biaya menuju fasilitas kesehatan
yang mahal, yang tidak terdapat bidan desa, dan yang tidak terdapat UKBM. Namun, dari
hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas pelayanan kesehatan dapat mengurangi risiko
ibu meninggal ketika akses, instrumen pendukung, dan obat-obatan tersedia.
F. Daftar Pustaka
Achadi, Anhari. 2010. Langkah Kedepan Mempercepat Penurunan Kematian Ibu di
Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 4, No. 4, Februari 2010: 147–
153.
Bell, J.A & Nuzzo, J.B. 2021 Global Health Security Index: Advancing Collective Action and
id
Accountability Amid Global Crisis, 2021. Diakses tanggal 4 April 2023 dari https://www.
.
ghsindex.org/wp-content/uploads/2021/12/2021_GHSindexFullReport_Final.pdf
go
Cameron L, Contreraz Suarez D, Cornwell K 2019 Understanding the determinants of
maternal mortality: An observational study using the Indonesian Population Census.
s.
PLoS ONE 146: e0217386. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0217386
p
CDC. 19 September, 2022. Four in 5 pregnancy-related deaths in the U.S. are preventable.
.b
p0919-pregnancy-related-deaths.html
w
CEOWORLD magazine. 27 April, 2021. Revealed: Countries With The Best Health Care
//w
Center for Family Welfare, FKM UI & Jhpiego Indonesia 2018. Summary Tables: Banten II
tp
Pengertian, Tujuan, Indikator, dan Kegiatan Pokok Desa Siaga. Diakses tanggal 4 April
2023 dari https://promkes.kemkes.go.id/pengertian-tujuan-indikator-dan-kegiatan-
pokok-desa-siaga
Family Care International, ICRW, & KEMRI/CDC Research and Public Health Collaboration.
2014. A Price Too High to Bear: The Costs of Maternal Mortality to Families and
Communities. Family Care International.
Gamelia, E., Colti, S., Siti, M. 2013. Determinan Perilaku Perawatan Kehamilan. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional, [e-journal] 8 3: pp. 109–114.
Hasanah, I & Fitriyah, N. 2018. Peran Suami dalam Perawatan Kehamilan Istri di Kelurahan
Mulyorejo. Jurnal Biometrika dan Kependudukan, Vol. 7, No. 2 Desember 2018: 122–
130.
Hamal, M., Dieleman, M., De Brouwere, V. et al. 2020. Social determinants of maternal
health: a scoping review of factors influencing maternal mortality and maternal health
service use in India. Public Health Rev, 41(13). . https://doi.org/10.1186/s40985-020-
00125-6
Kemenkes. 2022. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2021. Jakarta: Kemenkes
Kemenkes 9 Februari, 2011. 5 Strategi Operasional Turunkan Angka Kematian Ibu.
Diakses tanggal 4 April 2023 dari https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-
media/20110209/47839/5-strategi-operasional-turunkan-angka-kematian-ibu/
Kemenkes. 2019. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat Tahun 2018. Diakses tanggal 4
April 2023 dari http://repository.bkpk.kemkes.go.id/3935/1/BUKU_IPKM_2018-SK.
pdf
Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2020 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Diakses tanggal 4 April 2023
dari https://jdih.bappenas.go.id/peraturan/detailperaturan/1037.
Li, XF, Fortney, JA, Kotelchuck, M, Glover, LH. 1996. The postpartum period: the key to
maternal mortality. International Journal of Gynecology & Obstetrics, 54(1):1–10.
Miller, S., & Belizán, J. M. 2015. The true cost of maternal death: individual tragedy impacts
family, community and nations. Reproductive health, 121, 1-4.
Molla, M., Mitiku, I., Worku, A., & Yamin, A. E. 2015. Impacts of maternal mortality on living
children and families: A qualitative study from Butajira, Ethiopia. Reproductive health,
12, 1-9.
Mustafa, VF et al. 2023. Factors Causing Maternal Death due to COVID-19 in Several
Countries: A Literature Review. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia, 18(2):100-108.
National Research Council, & Committee on Population. 2000. The Consequences
id
of Maternal Morbidity and Maternal Mortality: Report of a Workshop. National
Academies Press.
.
go
NPR. 21 Oktober, 2022. Health department medical detectives find 84% of U.S. maternal
deaths are preventable. Diakses tanggal 4 April 2023 dari https://www.npr.org/
s.
sections/health-shots/2022/10/21/1129115162/ibu-mortality-childbirth-deaths-
p
prevention .
.b
OCHCR. 2010. Preventable maternal mortality and morbidity and human rights. OCHCR:
w
Geneva
w
PAHO. 2023. Zero Ibu Deaths. Prevent the preventable. Diakses tanggal 13 April 2023 dari
//w
https://www.paho.org/en/campaigns/zero-ibu-deaths-prevent-preventable
Pusat Penelitian Keluarga Sejahtera FKM UI and Vital Strategies. 2019. Every Mother and
s:
Pusdatin Kemenkes. 2014. Situasi Kesehatan Ibu Mother’s Day. Jakarta: Infodatin Kemenkes
Raharni, Supardi, S., & Susyanti, A. L. 2010. Faktor-fakor yang berperan terhadap
ht
id
.
go
s.
p
.b
w
w
//w
s:
tp
ht
. id
go
p s.
3
.b
w
w
//w
s:
tp
ht
Ketimpangan
pembangunan kesehatan
antarwilayah di Indonesia
berpengaruh terhadap
tingginya kematian bayi di
beberapa provinsi.
Kematian Bayi dan Pembangunan Kesehatan Wilayah
id
ribu kematian pada tahun 2020 (WHO, 2022). Artinya, ada sebanyak 6 bayi baru lahir yang
meninggal setiap jam di Indonesia. Kematian bayi baru lahir mendominasi Angka Kematian
.
go
Bayi (AKB) (sekitar 55 persen), sedangkan AKB menyumbang 85 persen kematian balita
secara umum (diolah dari BPS, 2023). s.
AKB menggambarkan banyaknya kematian bayi usia dibawah satu tahun, per 1.000 kelahiran
p
.b
hidup pada satu tahun tertentu. AKB sangat erat kaitannya dengan status sosial orang tua,
kondisi lingkungan, dan upaya intervensi yang dilakukan oleh pemerintah khususnya di bidang
w
kesehatan. Rendahnya AKB menggambarkan kualitas kesehatan yang baik di suatu negara.
w
//w
Di antara negara di Asia Tenggara (Gambar 1), posisi Indonesia masih lebih baik dibandingkan
rata-rata negara Asia Tenggara. AKB rata-rata negara Asia Tenggara sebesar 19,8 pada
s:
tahun 2020 (UN Population Division, 2023a). Capaian AKB Indonesia hampir setara dengan
Vietnam (16,90 dan 16,50). Kesamaan Indonesia dengan Vietnam juga terlihat dari data
tp
persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih dan tingkat fertilitas remaja. Persalinan
ht
ditolong tenaga kesehatan di Vietnam mencapai 96,1 persen di tahun 2021 (UNICEF, 2023b).
Gambar 1 Angka Kematian Bayi Negara ASEAN, 2020
34,60 35,51
34,22
21,58 22,15
Asia Tenggara: 19,80 16,50 16,90
9,25
7,37 7,38
1,65
Indonesia
Timor Leste
Myanmar
Singapura
Laos
Malaysia
Thailand
Brunei Darussalam
Vietnam
Kamboja
Filipina
Sumber: UN Population Division (2023b)
id
ke kondisi tersebut, utamanya meningkatkan pelayanan kesehatan dasar bagi ibu hamil,
ibu melahirkan, bayi, dan balita. Berdasarkan data UNICEF, nilai indeks cakupan pelayanan
.
go
kesehatan dasar (Coverage of Essential Health Services Index) baru mencapai angka 59 pada
tahun 2019, sedangkan Vietnam berada pada skor 70 pada tahun yang sama (UNICEF,
s.
2023b).
p
.b
Meski tergolong tinggi, AKB di Indonesia terus menurun dari waktu ke waktu (Gambar 2).
Pada akhir tahun 60-an, AKB Indonesia berada pada angka 145 kematian bayi per 1000
w
kelahiran hidup. Selanjutnya menjadi 109 kematian bayi per 1000 kelahiran hidup pada tahun
w
1976. Pada dekade 1980an, Indonesia terus mengalami perbaikan saat AKB menembus
//w
dibawah 100.
s:
145
109
71
47
26
16,85
Pada tahun 1990, AKB diperkirakan 71 per 1000 kelahiran hidup dan akan memasuki fase
intermediate rock, yaitu AKB berada pada rentang 30-70 (Utomo dalam Afifah, et al. (2009);
D’Souza (1989)). Penurunan AKB terus mengalami percepatan di dekade berikutnya hingga
hasil Long Form SP2020 menjadi 16,85 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Dalam fase ini
penurunan kematian akan lebih sulit, karena penanggulangan kematian memerlukan ilmu
dan teknologi kedokteran yang lebih maju (Anggraini & Lisyaningsih, 2013; Utomo dalam
Afifah, et al., 2009; D’Souza, 1989).
Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pada
tahun 2024 AKB ditargetkan mencapai angka 16,00 per 1.000 kelahiran hidup. Apabila tidak
ada kejadian luar biasa yang merugikan, target tersebut optimis dapat tercapai lebih cepat,
mengingat pada tahun 2020 AKB hasil Long Form SP2020 sudah mencapai 16,85 per 1.000
kelahiran hidup. Sementara itu, target Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan, AKB tahun 2030 diharapkan mencapai 12 per 1.000 kelahiran
hidup. Apabila pelayanan kesehatan terus ditingkatkan dan risiko penyebab kematian bayi
dapat dikurangi, maka target SDGs diyakini akan tercapai. Saat ini, penyebab kematian bayi
terbanyak di Indonesia adalah BBLR (Berat Badan Lahir Rendah), infeksi, kelainan bawaan,
dan asfiksia (Kemenkes, 2022). Semua faktor tersebut pada umumnya dapat dicegah sedini
mungkin.
id
Kawasan Barat, provinsi, maupun kabupaten/kota di Indonesia. Berdasarkan hasil Long Form
.
go
SP2020, AKB tertinggi berada di Provinsi Papua yaitu sebesar 38,17 kematian per 1.000
kelahiran hidup, sedangkan AKB terendah berada di Provinsi DKI Jakarta sebesar 10,38
s.
kematian per 1.000 kelahiran hidup.
p
Gambar 3 AKB per Provinsi, 2020
.b
w
w
//w
s:
tp
ht
. id
Sumber: BPS, Long Form SP2020
go
Selain Kabupaten Nduga, masih terdapat 61 kabupaten lainnya yang masih berada di fase
s.
intermediate rock. Kabupaten tersebut sebagian besar berada di Provinsi Papua, Papua Barat,
p
Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo,
.b
dan Aceh.
w
26 kematian per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan persentase penolong kelahiran oleh
tenaga kesehatan mencapai 80 persen. Hingga pada tahun 2020, persentase penolong
persalinan oleh tenaga kesehatan meningkat menjadi 95 persen dan AKB mencapai sekitar
16,85 kematian per 1.000 kelahiran hidup (Gambar 5).
Gambar 5 Persentase Persalinan oleh Tenaga Kesehatan dan Angka Kematian Bayi,
2000-2022
95,16
79,82
62,78
id
kelahiran)
26,00
.
go
16,85
p s.
.b
Semakin banyak
s:
100 3
95 Korelasi Pearson
2,5
-0,411
90
2
85
Kesehatan
80 1,5
75
1
70
Korelasi Pearson
0,5
65 -0,725
60 0
0 10 20 30 40 10 15 20 25 30 35 40
Angka Kematian Bayi Angka Kematian Bayi
Hubungan Kematian Bayi dan Persalinan oleh Hubungan Kematian Bayi dan Keterjangkauan
Tenaga Kesehatan Tenaga Kesehatan
id
100 0,4
Persentase Persalinan di Fasilitas Kesehatan
.
Jumlah Fasilitas Kesehatan Per Luas Wilayah Korelasi Pearson
0,35
go
90 -0,370
0,3
80
70
p s.
0,25
0,2
.b
60
0,15
w
50 0,1
w
0
30 10 15 20 25 30 35 40
10 15 20 25 30 35 40
Angka Kematian Bayi
Angka Kematian Bayi
s:
Hubungan Kematian Bayi dan Persalinan di Hubungan Kematian Bayi dan Keterjangkauan
tp
Sumber: BPS, Long Form SP2020, Susenas 2021, dan Podes 2021
hidup. Hasil Susenas menunjukkan adanya peningkatan pemberian ASI eksklusif kepada
bayi umur kurang dari 6 bulan. Hal ini diduga turut berkontribusi pada penurunan AKB di
Indonesia.
Gambar 7 Persentase Bayi Umur Kurang dari 6 Bulan yang Mendapat ASI Eksklusif,
2016-2022
83,40
69,62 71,58
66,69
55,96
49,51
44,36
id
2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
.
go
Sumber: BPS, Susenas, diolah s.
Tingkat pengetahuan orang tua juga turut berkontribusi terhadap penurunan AKB, yaitu
p
dalam keputusan yang terkait dengan melahirkan, seperti pemilihan penolong kelahiran
.b
dan pemilihan fasilitas kesehatan. Usia perempuan saat melahirkan juga turut memengaruhi
w
kematian bayi, utamanya di saat perempuan masih sangat muda untuk melahirkan. Perempuan
w
melahirkan terlalu muda (remaja) berisiko meningkatkan kematian neonatal karena belum
//w
id
pada rumah tangga yang Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021
tinggal di wilayah tepi dan luar
.
go
kawasan hutan (Gambar 9).
s. Sementara kejadian kematian
Gambar 10 Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami
p
bayi pada rumah tangga yang
Kasus Kejadian Kematian Bayi menurut
.b
54 53
lembah (Gambar 10). Hal
ht
Berdasarkan hasil Long Form SP2020, kasus kematian bayi cenderung terjadi pada rumah
tangga dengan tingkat pendidikan KRT bukan lulusan perguruan tinggi (universitas).
Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi pada umumnya memiliki pengetahuan
yang lebih luas dan lebih terbuka dalam menerima informasi, termasuk dalam hal perawatan
bayi, pemilihan fasilitas kesehatan, dan pola asuh yang lebih baik.
Gambar 11 Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Kasus Kejadian Kematian Bayi
menurut Pendidikan Kepala Rumah Tangga (per 10.000 Rumah Tangga),
2022
58 58
50 48
. id
go
SD atau tidak sekolah SMP/Sederajat
s.
SMA/Sederajat Universitas/Perguruan
Tinggi
p
.b
pada rumah tangga dengan Umur KRT (per 10.000 Rumah Tangga),
umur KRT kurang dari 40 2022
s:
kebutuhan ekonomi rumah tangga menjadi lebih besar, sehingga apabila tidak memiliki
sumber pendapatan yang mencukupi akan menyebabkan kemungkinan rumah tangga
tersebut menjadi miskin semakin besar. Hasil Long Form SP2020 menunjukkan bahwa
semakin banyak jumlah anggota rumah tangga semakin besar potensi kasus kematian bayi
pada rumah tangga tersebut.
Gambar 13 Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Kasus Kejadian Kematian Bayi
menurut Keberadaan Anak dan Jumlah Anggota Rumah Tangga (per 10.000
Rumah Tangga), 2022
73
65
53
37 39
. id
go
ART 1-2 Orang ART 3-4 Orang ART 5+ orang Tidak ada anak Ada anak KRT
p s. (umur <18 tahun)
Gambar 14 Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Kasus Kejadian Kematian Bayi
menurut Kondisi Bangunan (per 10.000 Rumah Tangga), 2022
64
53 55 53 53
49
Lantai tanah Lantai bukan Atap tidak Atap layak Dinding tidak Dinding layak
tanah layak layak
id
Catatan:
.
1. Lantai layak jika berbahan bukan tanah (marmer/granit, keramik, parket/vinil/karpet, ubin/tegel/teraso,
go
kayu/papan, semen/bata merah)
2. Atap layak jika berbahan beton, genteng, seng, kayu/sirap
s.
3. Dinding layak jika berbahan tembok, plesteran/anyaman bambu/kawat, kayu/papan, batang kayu
p
Sumber: BPS, Long Form SP2020
.b
Secara umum tidak ada perbedaan signifikan antara hunian yang memiliki kriteria ketahanan
w
bangunan dan yang tidak (Gambar 14). Pada rumah tangga yang memiliki atap terluas berupa
w
beton/ genteng/ seng/ kayu/ sirap atau atap layak memiliki rata-rata kematian bayi sebanyak
//w
53 per 10.000 rumah tangga, rumah tangga memiliki atap hunian terluas tidak layak sebanyak
55 per 10.000 rumah tangga.
s:
Rumah tangga yang memiliki hunian dengan dinding terluas berupa tembok/plesteran
tp
anyaman bambu/kawat, kayu/papan dan batang kayu rata-rata mengalami kejadian kematian
ht
bayi lebih sedikit dibanding dengan rumah tangga dengan hunian tidak sesuai dengan
kriteria ketahanan bangunan, yaitu 53 per 10.000 rumah tangga. Hasill Long Form SP2020
menunjukkan bahwa hunian berbahan selain tembok/plesteran anyaman bambu/kawat,
kayu/papan dan batang kayu memiliki rata-rata kematian bayi lebih banyak, yaitu 64 per
10.000 rumah tangga.
Berbeda pada dua kriteria sebelumnya, rumah tangga yang memiliki lantai terluas dalam
kategori ketahanan bangunan justru memiliki kejadian kematian bayi lebih tinggi yaitu 53
per 10.000 rumah tangga, sedangkan pada rumah tangga yang memiliki lantai terluas berupa
tanah sebanyak 49 per 10.000 rumah tangga. Terkait dengan hasil ini perlu adanya kajian
yang lebih dalam mengapa hal tersebut dapat terjadi karena tidak sesuai dengan penilaian
umum.
Gambar 6 pada bagian sebelumnya menjelaskan bahwa kejadian kematian bayi memiliki
korelasi negatif terhadap keterjangkauan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan. Tenaga
kesehatan yang dimaksud mencakup dokter, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga
gizi, perawat, dll, sedangkan fasilitas kesehatan yang dimaksud mencakup rumah sakit,
rumah sakit bersalin, puskesmas dengan rawat inap, puskesmas tanpa rawat inap, puskesmas
pembantu, poliklinik/balai pengobatan, tempat praktik dokter, rumah bersalin, dan tempat
praktik bidan.
Hal ini semakin dipertegas Gambar 15 Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami
lagi dengan Hasil Long Form Kasus Kejadian Kematian Bayi menurut
SP2020 yang menunjukan Akses Terhadap Fasilitas dan Tenaga
bahwa kejadian kematian Kesehatan (per 10.000 Rumah Tangga)
bayi cenderung lebih banyak
terjadi pada rumah tangga
61
yang mengalami kesulitan
mengakses fasilitas kesehatan
dan tenaga kesehatan (Gambar
15). Kejadian kematian bayi 54
id
dengan fasilitas kesehatan Faskes yang dimaksud mencakup rumah sakit, rumah sakit bersalin,
jumlahnya lebih kecil, yaitu 52 puskesmas dengan rawat
.
inap, puskesmas tanpa rawat inap,
go
kejadian kematian per 10.000 puskesmas pembantu, poliklinik/balai pengobatan, tempat praktik
rumah tangga. Demikian dokter, rumah bersalin, tempat praktik bidan.
s.
halnya dengan keberadaan Tenaga kesehatan yang dimaksud mencakup dokter, bidan, tenaga
p
tenaga kesehatan di desa kesehatan masyarakat, tenaga gizi, perawat, dll
.b
juga memberikan pengaruh Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021
w
bayi. Rumah tangga yang tinggal di daerah yang memiliki tenaga kesehatan mengalami
//w
kejadian kematian bayi yang lebih rendah dibandingkan dengan rumah tangga yang tinggal di
desa tanpa tenaga kesehatan.
s:
Gambar 16 Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Kasus Kejadian Kematian Bayi
tp
menurut Jarak Terhadap Rumah Sakit dan Bidan (per 10.000 Rumah
ht
Tangga)
69
61
53 53 53 51
Ada RS di desa Tidak ada RS di Ada puskesmas di Tidak ada Ada praktik bidan Tidak ada praktik
atau tidak ada RS desa dan jarak desa atau tidak puskesmas di di desa atau tidak bidan di desa dan
di desa tetapi terdekat >50 Km ada puskesmas di desa dan jarak ke ada praktik bidan jarak ke praktik
jarak terdekat desa tetapi jarak puskesmas di desa tetapi bidan terdekat >5
<=50 km terdekat <=10 km terdekat >10 Km jarak terdekat <=5 Km
km
Selain aspek ketersediaan, faktor jarak yang jauh dapat meningkatkan potensi kematian bayi.
Hal ini terlihat dari Gambar 16. Kasus kematian bayi lebih banyak terjadi pada rumah tangga
yang memiliki jarak yang jauh dari rumah sakit atau bidan. Oleh sebab itu, selain menjamin
ketersediaan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan, aspek jarak juga perlu diperhatikan.
Sementara itu, jarak dengan puskesmas tampaknya tidak membedakan kasus kematian bayi
pada rumah tangga yang tinggal dekat dengan puskesmas atau tidak.
id
atau yang diperkeras dengan
.
go
Aspal/beton Diperkeras Tanah Lainnya atau tidak ada kerikil, batu, dll (Gambar 17).
(kerikil, batu, dll) transportasi darat
s. Terdapat 75 rumah tangga dengan
kematian bayi per 10.000 rumah
Sumber: BPS, Long Form SP2020 dan Podes 2021
p
tangga pada lingkungan yang tidak
.b
terdapat kejadian kematian sebanyak 56, 53, dan 51 per 10.000 rumah tangga.
w
//w
Gambar 18 Proporsi Rumah Tangga yang Mengalami Kasus Kejadian Kematian Bayi
menurut Kualitas Sinyal Internet dan Kualitas Penerangan Jalan Utama (per
s:
63 62
54 56
53
51
Integrasi data Long Form SP2020 dengan data Potensi Desa 2021 juga memungkinkan untuk
mendapatkan informasi kecenderungan kejadian kematian bayi berdasarkan keberadaan
sinyal internet. Gambar 18 menunjukan adanya kecenderungan kejadian kematian bayi yang
lebih tinggi pada daerah yang tidak ada sinyal yaitu 63 per 10.000 rumah tangga, sedangkan
pada daerah yang memiliki sinyal lemah dan sinyal kuat secara berurut cenderung terjadi 54
dan 53 per 10.000 rumah tangga. Demikian halnya dengan kondisi penerangan jalan utama.
Semakin baik kualitas penerangan jalan utama di desa, semakin kecil terjadinya kematian bayi
pada rumah tangga. Keberadaan sinyal internet yang baik dapat membantu menyebarkan
informasi dan pengetahuan kepada ibu terkait pencegahan kematian ibu dan bayi. Selain itu,
kualitas sinyal internet dan penerangan jalan yang baik dapat mempercepat pertolongan pada
kasus kedaruratan yang menimpa bayi, misalnya dalam hal mencari penolong, transportasi,
fasilitas, dan tenaga kesehatan yang dibutuhkan saat kondisi darurat tersebut.
id
penyebab kematian bayi yang paling banyak adalah penyakit ISPA dan diare (WHO, 2023),
.
go
kedua penyakit tersebut berkaitan erat dengan kondisi kesehatan lingkungan rumah. Balita
Gambar 19 Hubungan Kematian Bayi dan Kondisi Lingkungan
p s.
.b
105 100
Memiliki Fasilitas Buang Air Besar
w
Persentase Rumah Tangga Yang
90
Persentase Rumah Tangga dengan
100
w
80
Sumber Air Minum Bersih
95
70
//w
90
60
85
50
s:
80
40
75
tp
30
70 Korelasi Pearson
Korelasi Pearson 20 -0,405
ht
65 -0,710
10
60 0
10 15 20 25 30 35 40 10 15 20 25 30 35 40
Angka Kematian Bayi Angka Kematian Bayi
Hubungan Kematian Bayi dan Ketersediaan Hubungan Kematian Bayi dengan Ketersediaan
Fasilitas Buang Air Besar Sumber Air Minum Bersih
105
Persentase Rumah Tangga dengan
100
Luas Lantai Per Kapita >7,2 m2
95
90
85
80
75
70
Korelasi Pearson
-0,592
65
60
10 15 20 25 30 35 40
Angka Kematian Bayi
yang mengalami berbagai penyakit berisiko tersebut lebih banyak tinggal di lingkungan
dengan fasilitas buang air besar dan air bersih yang kurang memadai seperti hasil kajian
Kasnodihardjo & Elsi (2013).
Ketersediaan sumber air minum yang bersih sangat berkaitan erat dengan kasus kematian
bayi. Hal ini terlihat dari nilai hubungan yang cukup kuat (0,7). Semakin banyak rumah tangga
yang memiliki fasilitas buang air besar semakin rendah AKB. Demikian halnya dengan sumber
air minum bersih. Semakin banyak rumah tangga yang memiliki sumber air minum bersih,
semakin rendah AKB suatu wilayah (nilai korelasi 0,4).
Kepadatan hunian juga memengaruhi
kesehatan bayi dan balita yang dalam kondisi
tertentu dapat berujung pada kematian.
Rumah yang padat penghuni memerlukan
aliran udara yang lebih besar, sehingga
apabila ada kondisi ini tidak terpenuhi
Sanitasi dan Air
Bersih memiliki
keterkaitan erat
dapat memudahkan penyebaran penyakit, dengan kesehatan
id
utamanya penyakit yang menular melalui bayi.
udara. Selain rumah yang padat penghuni
.
go
umumnya juga memiliki ruang gerak yang
kurang luas sehingga penularan penyakit s.
yang melalui persinggungan dapat mudah menyebar. Bayi relatif rentan terhadap penularan
p
penyakit, seperti telah diungkapkan dalam berbagai kajian seperti Medhyna (2019) dan Juni
.b
et al (2016). Keterkaitan AKB dengan banyaknya rumah tangga dengan kepadatan rumah
w
cukup tinggi (korelasi 0,6). Semakin banyak rumah tangga dengan luas hunian lantai per
w
Kondisi lingkungan merupakan faktor antara (intermediate variable) dalam kasus kematian
bayi. Faktor tersebut memengaruhi morbiditas yang berpengaruh secara langsung terhadap
s:
kematian bayi. Dengan demikian, peningkatan kualitas lingkungan merupakan hal yang sangat
tp
berkaitan erat dengan penurunan angka kematian bayi di Indonesia dan perlu diupayakan
ht
F. Kesimpulan
Bayi mulai terpapar terhadap lingkungannya sejak saat dilahirkan. Pada fase sebelumnya
(selama kehamilan kelangsungan hidup), calon bayi berada di bawah kontrol faktor-faktor
biologi yang terdapat pada orang tua dan faktor-faktor biologi lingkungan luar yang bekerja
melalui ibunya. Penyebab yang bertalian erat dengan pengaruh lingkungan luar akan sangat
menentukan tinggi rendahnya kematian bayi. Kondisi kualitas lingkungan yang bersih,
sanitasi yang baik, higienitas yang terjaga, dan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya sangat
menentukan dalam pencegahan kematian bayi.
Disamping itu aspek keterjangkauan fasilitas kesehatan masih menjadi tantangan yang
perlu diselesaikan guna menekan kasus kematian bayi di Indonesia. Hal ini terlihat dari
berbagai indikator yang sudah dibahas sebelumnya, seperti kondisi geografis tempat tinggal
dan infrastruktur yang mendukung dalam upaya pencegahan kematian bayi. Disparitas
pembangunan antarwilayah di Indonesia berpengaruh terhadap tingginya kematian bayi di
beberapa wilayah yang disebabkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan belum
dapat dijangkau terutama bagi penduduk yang kurang mendapat akses layanan kesehatan.
Kepadatan hunian berkaitan dengan jumlah anggota rumah tangga yang menghuni dan luas
rumah yang dihuni. Rumah tangga yang berukuran besar (big family) memiliki kecenderungan
yang lebih tinggi untuk mengalami kasus kematian bayi. Kepadatan hunian juga
menggambarkan beban pemenuhan kebutuhan rumah tangga (aspek ekonomi). Oleh sebab
itu, upaya penurunan kematian bayi juga bisa diarahkan pada peningkatan perlindungan
sosial bagi rumah tangga yang berukuran besar dan memiliki balita. Saat ini, perlindungan
sosial yang sudah berjalan masih menyasar rumah tangga miskin yang memiliki balita, belum
mempertimbangkan banyaknya anggota rumah tangga penerima manfaat.
Terdapat beberapa aspek yang berkaitan dengan kematian bayi, seperti pengetahuan
orang tua. Pengetahuan akan kesehatan yang didapat dari pendidikan orang tua, tenaga
kesehatan, dan masyarakat dan akses internet dapat mendukung upaya penurunan kematian
bayi. Keputusan untuk memiliki anak dan penolong persalinan juga terbukti berkontribusi
terhadap penurunan kematian bayi. Disamping itu pemberian ASI eksklusif yang lengkap
juga merupakan pencegahan terhadap kematian bayi dan mempu memberikan ketahanan
terhadap penyakit sepanjang hidupnya.
Penanganan terhadap masalah kematian bayi menuntut adanya penanganan yang
komprehensif, terdapat aspek ekonomi dan sosial pada masyarakat yang perlu menjadi
id
perhatian. Terdapat juga aspek pengetahuan, kepercayaan, fasilitas publik, fasilitas kesehatan,
serta nilai-nilai budaya positif dapat memberikan penurunan terhadap kematian bayi.
.
go
s.
G. Daftar Pustaka
p
.b
Afifah, T., Djaja, S., & Irianto, J. 2009. Tren dan Disparitas Angka Kematian Bayi AKB, Angka
w
Kematian Anak Balita AKA, Angka Kematian Balita AKBA Menurut Sosial Ekonomi di
Indonesia, SUSENAS 1998, 2001 dan 2003. Buletin Penelitian Kesehatan, 363.
w
Anggraini, E., & Lisyaningsih, U. 2013. Disparitas spasial angka harapan hidup di indonesia
//w
BPS. 2020. Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan 2020. Jakarta: BPS.
ht
id
determinants of infant mortality: a worldwide study of 152 low-, middle-, and high-
income countries. Scandinavian journal of public health, 353, 288-297.
.
go
UN Population Division. 2023a. Infant mortality rate IMR. Diperoleh tanggal 31 Maret
2023, dari https://population.un.org/dataportal/data/indicators/22/locations/920/
s.
start/2021/end/2021/table/pivotbyindicator.
p
UN Population Division. 2023b. Infant mortality rate IMR. Diperoleh tanggal 31
.b
locations/920,96,116,360,418,458,104,608,702,764,626,704/start/2021/
w
end/2021/bar/barvertical.
//w
UNICEF. 2023a. Neonatal mortality. Diperoleh tanggal 2 Mei 2023, dari https://data.
unicef.org/topic/child-survival/neonatal-mortality/#:~:text=The%20first%2028%20
s:
days%20of,1%2C000%20live%20births%20in%201990.
tp
UNICEF. 2023b. Child well-being. Diperoleh tanggal 18 April 2023, dari https://data.unicef.
org/sdgs/country/vnm/#cri
ht
WHO. 28 Januari, 2022. Newborn Mortality. Diperoleh tanggal 2 Mei 2023, dari https://
www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/levels-and-trends-in-child-mortality-
report-2021
4
p
.b
w
w
//w
s:
tp
ht
Perwujudan pembangunan
tp
id
sensorik, kognitif, atau emosionalnya. Dengan demikian, penyandang disabilitas memiliki
.
akses setara terhadap pendidikan, pekerjaan, layanan kesehatan, transportasi, informasi, dan
go
partisipasi sosial. s.
Perjalanan menuju pembangunan inklusif memerlukan upaya kolaboratif yang melibatkan
p
pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, dan individu. Dengan pembangunan yang inklusif
.b
bagi penyandang disabilitas, hal yang diharapkan adalah adanya kesetaraan kesempatan,
w
pemberdayaan, budaya saling menghormati, empati, dan inklusi, sehingga memastikan tidak
w
Hasil Long Form SP2020 dapat menyajikan profil penyandang disabilitas, sehingga dapat
memberikan gambaran apakah penyandang disabilitas telah secara inklusif berperan dalam
s:
dimaksud adalah kondisi dimana seseorang mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan
ht
sehari-hari akibat dari keterbatasan yang dimiliki seperti pengelihatan, pendengaran, hingga
mental dimana kesulitan ini tetap tidak bisa diatasi walaupun telah dibantu dengan alat
penunjang.
Indonesia juga
berusaha memonitor
kesetaraan
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
atau dikenal Sustainable Development
Goals (SDGs). Salah satu indikator
yang menjadi fokus adalah pendidikan
penyandang berkualitas (Tujuan ke-4). Peningkatan
disabilitas melalui akses terhadap pendidikan berkualitas
Tujuan Pembangunan terutama bagi anak-anak penyandang
disabilitas merupakan salah satu fokusnya.
Berkelanjutan atau
Selain itu, Pemerintah Indonesia juga
dikenal Sustainable memiliki perhatian dalam memonitor
Development Goals tujuan ke-8 mengenai pekerjaan layak.
(SDGs). Hal ini dikarenakan penyandang disabilitas
sering kali menghadapi diskriminasi dan
hambatan dalam mengakses peluang kerja.
id
Dari hasil monitor yang dilakukan, terdapat tantangan yang dihadapi, termasuk kurangnya
.
go
sumber daya khusus yang menangani penyandang disabilitas, infrastruktur yang ramah
bagi penyandang disabilitas, terbatasnya akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan
s.
berkualitas, stigma sosial, dan kurangnya data komprehensif mengenai prevalensi dan
p
kebutuhan disabilitas (Rohwerder 2018).
.b
stereotip, dan ekspektasi yang rendah (DSPD, 2016). Sikap negatif mengenai disabilitas ini
w
memunculkan stigma bahwa seseorang atau kelompok tertentu tidak dianggap atau mengalami
//w
diskriminasi (DSPD, 2016). Stigma muncul ketika unsur-unsur pelabelan, stereotip (evaluasi
negatif terhadap suatu label), dan prasangka (pengesahan stereotip negatif) menjadi satu dan
s:
menyebabkan diskriminasi bagi individu atau kelompok yang terstigmatisasi tersebut. Kondisi
tp
ini terjadi dalam situasi di mana individu atau kelompok tersebut tidak berdaya (Scior, 2016;
Mostert, 2016). Stigma menimbulkan respons negatif seperti rasa kasihan, penghindaran,
ht
kebencian dan kesan lain yang negatif (Scior, 2016). Hal ini mempunyai efek mendiskreditkan
individu atau kelompok tersebut (Goffman, 2005). Dengan berbagai stigma dan efek dari
stigma tersebut, penyandang disabilitas membutuhkan banyak dukungan agar mereka dapat
meningkatkan kualitas hidupnya (Persons, 2012).
Stigma dan keyakinan tentang sifat disabilitas juga dapat membatasi kemampuan penyandang
disabilitas untuk mengembangkan hubungan (Franklin dkk, 2018). Salah satu stigma yang
sering terjadi adalah masyarakat yang memiliki kepercayaan bahwa penyandang disabilitas
tidak memiliki kualitas yang diharapkan untuk menjadi pasangan pernikahan yang sukses.
Tantangan lainnya adalah adanya keyakinan bahwa keburukan atau kemalangan akan terjadi
apabila anggota keluarga ada yang menikah dengan penyandang disabilitas, termasuk
kemalangan pada keturunannya (Aley, 2016). Namun hal ini tergantung pada jenis dan tingkat
keparahan disabilitas yang dialami.
Dalam bidang pendidikan, terdapat juga stigma bahwa siswa dengan disabilitas
cenderung memiliki tingkat kelulusan yang lebih rendah dibandingkan dengan siswa
lainnya. Stigma tersebut menyebabkan siswa penyandang disabilitas justru memilih untuk
tidak mengungkapkan disabilitasnya, padahal status tersebut dapat membantu mereka
mendapatkan hak yang seharusnya mereka terima (Trunk dkk, 2020). Kondisi ini tentunya
akan menghambat upaya dalam mewujudkan kesetaraan pendidikan bagi seluruh penduduk.
Hal yang lebih buruk lagi adalah penyandang disabilitas masih harus menghadapi stigmatisasi
yang kemudian menjadi penghalang lain bagi mereka untuk berpartisipasi dalam kehidupan
bermasyarakat (Lusli dkk., 2016; Ruth M.H. Peters dkk., 2015).
Keseluruhan stigma yang telah dibahas tersebut menjadi penghalang penyandang disabilitas
untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Oleh karena itu, mengurangi stigma negatif
tersebut merupakan kunci untuk menciptakan lingkungan yang inklusif agar penyandang
disabilitas dapat meningkatkan kualitas hidup mereka. Mengurangi stigma negatif terhadap
penyandang disabilitas masih menjadi tantangan utama di Indonesia (Septian, 2021).
id
sama terkait disabilitas juga tercurahkan ke level Asia-Pasifik. Komitmen negara-negara Asia
.
dan Pasifik terhadap agenda disabilitas pasca diadopsinya CRPD menjadi lebih nyata dengan
go
adanya Strategi Incheon untuk “Mewujudkan Hak” bagi penyandang disabilitas di ASEAN.
Perayaan satu dekade penyandang disabilitas Asia dan Pasifik yang ditandatangani pada
s.
tahun 2012 di Incheon, Republik Korea Selatan, mengubah arah sekaligus memetakan arah
p
penyetaraan bagi penyandang disabilitas dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini menjadi
.b
Melalui CRPD dan Strategi Incheon, negara-negara anggota ASEAN telah berkomitmen
w
pada tahun 2017 hanya 0,4 persen Anggota Parlemen di kawasan ini adalah penyandang
tp
disabilitas. Kemudian, persentase anak penyandang disabilitas yang terdaftar pada tingkat
ht
pendidikan menengah sangat rendah yaitu sebesar 52,7 persen. Data lain yang perlu menjadi
perhatian adalah penyandang disabilitas memiliki peluang dua hingga enam kali lebih kecil
untuk mendapatkan pekerjaan. Di Indonesia, 63 persen penyandang disabilitas adalah
wiraswasta karena kurangnya akses terhadap pasar tenaga kerja (UNESCAP, 2016). Selain
itu, perempuan dewasa penyandang disabilitas 1,5 kali lebih mungkin mengalami pelecehan
fisik dan seksual dibandingkan perempuan tanpa disabilitas (UNESCAP, 2017).
Tabel 1. Perbandingan Kondisi Disabilitas Indonesia dan Negara Lain, 2017
id
Pakistan 2,14 0,00 6,00
.
go
Philippines 3,00 s. 0,00 12,00
Singapore 5,70 0,00 6,20
p
Sri Lanka 3,15 0,01 7,22
.b
Kondisi tersebut menjadikannya sebagai salah satu latar belakang dirancangnya SDGs. Seluruh
tujuan SDGs bertujuan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang memerlukan
upaya dan kemitraan dari semua sektor dan pemangku kepentingan untuk memastikan
tidak ada satupun yang tertinggal. Terkait SDGs, Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak
Asasi Manusia (OHCHR) telah menetapkan indikator hak asasi manusia agar selaras dengan
agenda global dan prinsip-prinsip hak asasi manusia, khususnya hak menikmati seluruh aspek
pembangunan (OHCHR, 2017).
Jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia memiliki tingkat prevalensi disabilitas relatif
rendah, yaitu 2,8 persen (UNESCAP, 2019), dengan jumlah lebih dari 21 juta penyandang
disabilitas (Laporan CRPD Indonesia, 2017). Namun, kurangnya data berkualitas seperti
keberagaman definisi dan metodologi mengenai disabilitas telah menjadi tantangan utama
dalam perumusan kebijakan tentang penyandang disabilitas. Meski demikian, gerakan pro
disabilitas di Indonesia menurut Dirjen HAM mengalami kemajuan bertahap, seperti terlihat
pada aspek-aspek berikut.
Pertama, gerakan sosial politik mendorong amandemen Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1997 tentang “Penyandang Disabilitas”. Hasilnya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2016 tentang Penyandang Disabilitas yang patuh pada CRPD. Kedua, studi ilmiah mengenai
berbagai isu disabilitas telah banyak dilakukan oleh akademisi universitas dan organisasi
non-pemerintah. Ketiga, upaya pengarusutamaan isu disabilitas terlihat jelas pada berbagai
id
prevalensi penyandang disabilitas terkecil terdapat di Banten (0,97 persen), Kepulauan Riau
.
go
(1,06 persen), dan Bengkulu (1,22 persen) (Gambar 1).
Provinsi DI Yogyakarta menempati posisi teratas dengan persentase penyandang disabilitas s.
terbesar, berasosiasi dengan tingginya persentase lansia di provinsi tersebut, dimana provinsi
p
DI Yogyakarta memiliki persentase lansia terbesar (16,69 persen). Hal ini sesuai dengan
.b
penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa kondisi disabilitas sangat terkait dengan
w
penuaan (Qiao, 2022). Hal ini disebabkan oleh kerentanan fisik seseorang saat memasuki
w
usia lanjut. Selain itu, pola hidup yang makin bervariasi juga memungkinkan terjadinya
//w
Banten
Gorontalo
Papua Barat
Papua
Maluku
Aceh
Kalimantan Selatan
Riau
DI Yogyakarta
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Sumatera Utara
Bali
Kalimantan Utara
DKI Jakarta
Nusa Tenggara Timur
Maluku Utara
Sulawesi Selatan
Kalimantan Barat
Jawa Timur
INDONESIA
Kepulauan Bangka Belitung
Sumatera Selatan
Lampung
Bengkulu
Jawa Barat
Kepulauan Riau
Sulawesi Tengah
Jawa Tengah
Sumatera Barat
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Utara
Jambi
Nusa Tenggara Barat
Sulawesi Barat
PD PD Ganda
Sumber: BPS, Long Form SP2020
yang umum terjadi di sebagian besar negara adalah kesulitan melihat dan berjalan (Mitra
dkk, 2021). Gangguan dalam berjalan dan melihat dapat mengurangi produktivitas atau
bahkan menghambat penyandang diabilitas melaksanakan aktifitasnya, sehingga meskipun
persentasenya kecil, tetap harus menjadi perhatian.
0,68
Gangguan jari/tangan
berpikir/belajar
Gangguan emosional
Gangguan berjalan
komunikasi/bicara
Gangguan konsentrasi
idGangguan
Gangguan
.
go
sendiri
p s.
.b
w
Hasil Long Form SP 2020 menunjukkan bahwa prevalensi disabilitas perempuan sedikit
//w
Sumber: BPS, Long Form SP2020
Dilihat menurut kelompok umur, prevalensi penyandang disabilitas tertinggi terdapat pada
kelompok umur 60 tahun ke atas (lansia), sedangkan prevalensi penyandang disabilitas
id
terendah terdapat pada kelompok umur 5-15 tahun. Penelitian Qiao (2022) menemukan
.
go
bahwa semakin lanjut usia, maka semakin tinggi prevalensi disabilitas dan kecacatannya. Hal
ini disebabkan oleh kerentanan dan risiko yang dimiliki oleh usia lanjut. Jika diperhatikan lebih
s.
lanjut, terlihat bahwa prevalensi penyandang disabilitas laki-laki baik pada kelompok umur
p
5-15 tahun, 16-30 tahun (usia pemuda), dan 31-59 tahun lebih besar daripada perempuan
.b
(Gambar 3).
w
Lain halnya pada kelompok umur 60 tahun ke atas (lansia), dimana prevalensi penyandang
w
disabilitas perempuan lebih besar daripada laki-laki (Gambar 3). Kondisi ini sejalan dengan
//w
persentase lansia perempuan yang lebih besar daripada lansia laki-laki, yaitu 51,81 persen
berbanding 48,19 persen (BPS, 2022b). Selain itu, persentase lansia perempuan yang
s:
mengalami keluhan kesehatan lebih besar daripada lansia laki-laki, yaitu 42,82 persen
tp
52,65
78,35 21,65
47,35
Apabila dirinci menurut status bekerja, terungkap bahwa 21,65 persen penyandang
disabilitas usia 15 tahun ke atas berstatus bekerja (Gambar 4). Selanjutnya, lebih dari separuh
penyandang disabilitas yang bekerja berstatus berusaha (52,65 persen). Di satu sisi hal ini
menunjukkan adanya kemandirian penyandang disabilitas, tapi di sisi lain, hal ini juga perlu
mendapat perhatian karena penyandang disabilitas memiliki risiko lebih besar mengalami
masalah kesehatan serius terkait ketidakaktifan dibandingkan dengan masyarakat pada
umumnya (Ginis, 2021).
. id
go
p s.
.b
tamat SD
//w
Sumber: BPS, Long Form SP2020
s:
Prevalensi penyandang disabilitas secara umum semakin kecil pada rumah tangga dengan
tp
Kepala Rumah Tangga (KRT) yang berpendidikan tinggi (Gambar 5). Dengan kata lain,
ht
kejadian disabilitas lebih banyak terjadi pada rumah tangga dengan tingkat pendidikan KRT
yang rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi & Soebijarto (2019),
dimana tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh KRT memengaruhi partisipasi sekolah
penyandang disabilitas. Dengan adanya edukasi, akan memungkinkan rumah tangga untuk
memiliki wawasan kesehatan sehingga memiliki kesehatan lebih terjaga.
0,13 41,18
99,73
0,14
58,82
Tinggal sendiri
Sebagian besar penyandang disabilitas tinggal bersama keluarga inti (Gambar 6). Hal ini
tentu memberikan gambaran positif mengingat dengan tinggal bersama keluarga inti mereka
dapat berinteraksi dan segera memperoleh bantuan apabila dibutuhkan. Namun, hasil Long
Form SP2020 juga mengungkapkan bahwa masih ada sekitar 0,14 persen lansia penyandang
disabilitas yang tinggal sendiri. Lebih lanjut, sekitar empat dari sepuluh penyandang disabilitas
yang tinggal sendiri merupakan penyandang disabilitas ganda. Padahal menurut Prahastiwi
dan Jatmiko (2023), lansia penyandang disabilitas yang tinggal sendiri lebih cenderung
bekerja daripada lansia penyandang disabilitas yang tidak tinggal sendiri. Di satu sisi hal ini
menunjukkan adanya kemandirian lansia, tapi di sisi lain juga mengungkapkan risiko yang
besar apabila lansia penyandang disabilitas tersebut mengalami gangguan kesehatan. Hasil
penelitian lain menambahkan bahwa status fungsional merupakan salah satu faktor yang
memengaruhi percepatan frailty (penurunan fungsi fungsi tubuh) pada lansia penyandang
disabilitas (Hikmah & Pradana, 2022).
id
Pendidikan adalah hak setiap bangsa, termasuk untuk mereka bagi penyandang disabilitas.
.
go
Aksesibilitas pendidikan disabilitas mengacu pada kemampuan penduduk sebagai individu
dengan disabilitas untuk memperoleh pendidikan yang setara dengan individu lainnya.
s.
Penduduk dengan disabilitas memiliki hak untuk memperoleh kesempatan belajar dan
p
menerima pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan mereka, sebagaimana
.b
hak penduduk yang tidak memiliki disabilitas. Sehingga penduduk dengan disabilitas
w
dapat secara aktif mengembangkan potensi pribadinya untuk memiliki kekuatan spiritual
w
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara, sebagaimana amanat Undang-undang
//w
WĞƌŐƵƌƵĂŶƚŝŶŐŐŝ ϯ͕ϵϬ
ϵ͕Ϯϱ
^DƐĞĚĞƌĂũĂƚ ϭϮ͕ϴϴ
ϯϮ͕Ϭϱ
^DWƐĞĚĞƌĂũĂƚ ϭϬ͕Ϯϱ
Ϯϭ͕ϳϮ
^ƐĞĚĞƌĂũĂƚ ϯϯ͕ϳϳ
Ϯϴ͕Ϭϱ
ĞůƵŵͬdŝĚĂŬƚĂŵĂƚ^ƐĞĚĞƌĂũĂƚ ϭϴ͕ϭϮ
ϱ͕ϵϱ
id
ĞůƵŵͬdŝĚĂŬWĞƌŶĂŚƐĞŬŽůĂŚ Ϯϭ͕Ϭϵ
Ϯ͕ϵϳ
.
go
s.
ŝƐĂďŝůŝƚĂƐ EŽŶŝƐĂďŝůŝƚĂƐ
p
.b
Kodisi di atas menunjukkan adanya tantangan besar dalam mewujudkan kesetaraan dalam
//w
Apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk penyandang disabilitas usia 7-18 tahun, dari
100 penyandang disabilitas usia sekolah 7-18 tahun, tersedia 1 sekolah SLB. Rasio tersebut
lebih besar dibanding rasio sekolah untuk penduduk non disabilitas. Namun demikian apabila
ditinjau sebaran keberadaan SLB per kecamatan, SLB belum tersedia di setiap kecamatan.
Gambar 8. Sebaran Rasio Ketersediaan Sekolah Luar Biasa dan Penduduk Usia Sekolah
7-18 Tahun, 2021-2022
. id
go
p s.
.b
w
w
//w
s:
tp
Sumber: Hasil Pendataan Podes 2021 dan Hasil Long Form SP2020 (diolah)
ht
Data tersebut menjawab salah satu kendala pendidikan bagi anak penyandang disabilitas atau
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), bahwa lembaga pendidikan yang khusus diperuntukkan
bagi (ABK) masih belum merata. Ketidaksetaraan akses pendidikan bagi penyandang disabilitas
masih menjadi persoalan yang penyelesaiannya perlu lebih diupayakan. Hal lain yang menjadi
tantangan dari sisi jumlah pendidik adalah belum tercukupinya kebutuhan tenaga pendidik
bagi ABK dan kendala pada kendali anak ABK yang belum tentu bisa mengikuti program
pendidikan khusus karena berbagai sebab.
Tentunya berbagai upaya perlu dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat sebagai
penyelenggara pendidikan. Beberapa upaya ini termasuk pengembangan program
pendidikan inklusif, pengadaan sarana dan prasarana pendidikan yang ramah disabilitas,
serta pengembangan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan individu dengan disabilitas.
Kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat diharapkan memberikan solusi bagi pendidikan
kaum disabilitas. Pemerintah hendaknya memperkuat regulasi untuk memastikan bahwa
institusi pendidikan menyediakan fasilitas dan program yang ramah disabilitas. Sementara
itu institusi pendidikan memperkuat program inklusif yang memastikan penduduk dengan
disabilitas diterima dan terlibat dalam kegiatan pendidikan yang sama dengan penduduk
lainnya. Selanjutnya, masyarakat dapat memberikan dukungan dengan menghilangkan
stigma sosial untuk lebih mendukung individu dengan disabilitas agar berdikari turut serta
membangun negeri (Rohwerder 2018).
>2
Jumlah Ragam Disabilitas
. id
go
p s.
1 15,66 17,98 36,71 11,22 14,21 4,23
.b
w
w
//w
Sumber: BPS, Long Form SP2020
tp
Meskipun dengan
jumlah yang
sangat kecil, masih
mampu menyelesaikan pendidikan sampai
perguruan tinggi dalam jumlah yang
relatif kecil dan pendidikan tinggi yang
ada penyandang dicapainya tidak semua diperoleh dalam
kondisi mengalami gangguan disabilitas.
disabilitas yang Sebagaimana disebutkan dalam pembahasan
nyatanya mampu sebelumnya, prevalensi penduduk disabilitas
menyelesaikan tertinggi adalah pada kelompok lanjut usia.
Bisa jadi mereka yang berhasil menyelesaikan
pendidikan sampai pendidikan sampai tingkat tinggi adalah
perguruan tinggi. penyandang disabilitas lansia dan kesulitan
dan gangguan disabilitas yang dialami adalah
karena faktor usia. Sehingga mereka adalah
bagian penduduk yang tidak memiliki kendala
dalam pendidikan ketika muda. Mereka adalah kelompok lain dari penyandang disabilitas
yang sejak muda telah mengalami gangguan disabilitas.
id
tersebut terkait dengan stigma disabilitas dan mengakibatkan penerimaan yang berbeda di
.
go
pasar tenaga kerja. Pada aspek inilah strategi pemerintah perlu diarahkan pada pengurangan
hambatan dalam akses dan peluang bagi individu penyandang disabilitas.
s.
F.1. Pengangguran dan Penyandang Disabilitas
p
.b
Salah satu stigma bahwa penyandang disabilitas cenderung menganggur merupakan salah
w
satu penghambat dalam upaya pemberdayaan disabilitas di pasar tenaga kerja. Jika dilihat
dari hasil perhitungan pada Gambar 10, terlihat bahwa memang benar partisipasi penyandang
w
disabilitas lebih rendah. Terlebih lagi bagi penyandang disabilitas ganda, mereka memiliki
//w
Gambar 10. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) menurut Jumlah Gangguan
tp
Disabilitas, 2022
ht
80,00
70,00
60,00
50,00
40,00
30,00
20,00
10,00
0,00
TPAK Umum TPAK Penyandang TPAK Penyandang
Disabilitas Tunggal Disabilitas Ganda
Berdasarkan publikasi ILO (2017) mengenai tenaga kerja penyandang disabilitas, tingkat
pengangguran penyandang disabilitas, terutama penyandang disabilitas yang lebih berat,
jauh lebih tinggi dibandingkan mereka yang bukan penyandang disabilitas. Hal ini semakin
menunjukkan bahwa tidak mudah bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan
pekerjaan, mayoritas penyandang disabilitas yang masuk ke dunia kerja adalah pekerja yang
sudah memiliki pekerjaan dan juga memiliki kemampuan atau keterampilan yang relatif lebih
baik dibandingkan penyandang disabilitas yang tidak masuk pasar tenaga kerja. Kondisi
ini memerlukan upaya untuk menghilangkan hambatan partisipasi penyandang disabilitas
memasuki dunia kerja, baik dari pihak pemberi kerja maupun dari sisi pekerja penyandang
disabilitas.
F.2. Jenis Pekerjaan Penyandang Disabilitas
Penyandang disabilitas dalam pasar tenaga kerja sebagian besar mengisi posisi tenaga usaha,
pekerja pertanian, buruh kasar, dan pekerja pengolahan. Berdasarkan posisi tersebut, hanya
posisi tenaga usaha yang memerlukan tingkat pendidikan yang cukup tinggi di pasar tenaga
kerja. Hal ini menunjukkan bahwa pekerja disabilitas cenderung mengisi pekerjaan dengan
id
kebutuhan skill yang rendah.
.
go
Gambar 11. Gambaran Jenis Pekerjaan Penyandang Disabilitas, 2022
p s.
.b
w
w
//w
s:
tp
ht
Sumber: BPS, Long Form SP2020
Hal ini semakin menguatkan perlunya peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang
sesuai dengan kebutuhan dunia kerja bagi penyandang disabilitas untuk meningkatkan
kuaitas kerja dan sekaligus mendukung penciptaan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan
penyandang disabilitas. Selain itu bagi, penting juga untuk menyertakan pekerja dalam
program pengembangan karir dalam perusahaan atau tempat kerja lain bersama dengan
pekerja bukan penyandang disabilitas agar meraka juga memiliki kesempatan untuk lebih
berkontribusi dan pengembangan karir.
WĞƌŐƵƌƵĂŶdŝŶŐŐŝ
^DW
^DW
^
dŝĚĂŬ^ĞŬŽůĂŚ
Ϭй ϭϬй ϮϬй ϯϬй ϰϬй ϱϬй ϲϬй ϳϬй ϴϬй ϵϬй ϭϬϬй
ĞŬĞƌũĂ dŝĚĂŬĞŬĞƌũĂ
id
Sumber: BPS, Long Form SP2020
.
go
Sebagai salah satu syarat memasuki pasar tenaga kerja, seseorang memerlukan pendidikan
dan keterampilan yang dibutuhkan agar bisa terserap sebagai tenaga kerja atau pelaku usaha.
s.
Hasil Long Form SP2020 menunjukkan bahwa penyandang disabilitas yang memiliki pendidikan
p
lebih tinggi lebih banyak yang terserap dalam pasar tenaga kerja (Gambar 12). Terkait
.b
dengan hal ini, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan terkait perlu memberikan
w
perhatian lebih terhadap masalah ini, melalui pemberian kesempatan, pemberdayaan, dan
w
pengembangan yang semakin luas dan berkelanjutan, karena pendidikan merupakan salah
satu faktor penyandang disabilitas dapat berperan serta dalam dunia kerja.
//w
s:
G. Kesimpulan
tp
ht
H. Daftar Pustaka
Aron, Laudan, and Pamela Loprest. 2012. “Disability and the Education System.” Washington,
D.C. www.futureofchildren.org.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2022a. Profil Kesehatan Ibu dan Anak 2022. Jakarta: BPS.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2022b. Statistik Penduduk Lanjut Usia 2022. Jakarta: BPS.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2023. Proyeksi Penduduk Indonesia 2020-2050: Hasil Sensus
Penduduk 2020. Jakarta: BPS
Dewi, Dilla Citra & Soebijarto, Ekaria. 2019. Determinan Partisipasi Sekolah Anak
Penyandang Disabilitas di Indonesia Tahun 2015. Jurnal Aplikasi Statistika dan
Komputasi Statistik V.11.2.2019. https://doi.org/10.34123/jurnalasks.v11i2.131
Ginis, Kathleen A Martin., Ploeg, Hidde P van der., Foster, Charlie., et al. 2021. Participation
of People Living with Disabilities in Physical Activity: A Global Perspective. The Lancet.
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(21)01164-8
Hikmah, Lutpatul., & Pradana, Anung Ahadi. 2022. Faktor yang Mempengaruhi Kondisi
Frailty pada Lanjut Usia. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes Vol 13 No 3. http://
dx.doi.org/10.33846/sf13310
Mitra, Sophie & Yap, Jaclyn. 2021. The Disability Data Report 2021. New York: Fordham
Research Consortium on Disability.
Mukrom, M. H., Yasin, H., & Hakim, A. R. PEMODELAN ANGKA HARAPAN HIDUP
PROVINSI JAWA TENGAH MENGGUNAKAN ROBUST SPATIAL DURBIN MODEL.
Jurnal Gaussian, 10(1), 44–54. https://doi.org/10.14710/J.GAUSS.V10I1.30935
id
Prahastiwi, Diane P., & Jatmiko, Yogo A. 2023. Partisipasi Kerja Lansia pada Rumah Tangga
Tunggal di Indonesia. Jurnal Litbang, Sukowati Vol 7 No 1. http://journal.sragenkab.
.
go
go.id; Permalink/DOI: 10.32630/sukowati.v7i1
Qiao, Runjuan., Jia, Shuli., Zhao, Wanyu., et al. 2022. Prevalence and Correlates of Disability
s.
among Urban-Rural Older Adults in Southwest China: A Large, Population-based
p
Study. BMC Geriatrics. https://doi.org/10.1186/s12877-022-03193-2
.b
Torres, Juan MC., Borrego, Maria AR., Aguilera, José, AL, et al. 2019. Disability for Basic
w
and Instrumental Activities of Daily Living in Older Individuals. Plos One. https://doi.
w
org/10.1371/journal. pone.0220157
//w
Cushman, William C., and Karen C. Johnson. 2018. “The 2017 U.S. Hypertension
Guidelines: What Is Important for Older Adults?” Journal of the American Geriatrics
ht
I. Lampiran
Tabel 2. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Menurut
Status Disabilitas
id
Jenjang Penyandang Disabilitas (Persen) Non-Disabilitas (Persen)
.
go
Tidak Pernah sekolah 2,97 21,09
Tidak tamat SD
p s. 5,95 18,12
SD 28,05 33,77
.b
Tabel 3. Persentase Penduduk Disabilitas Usia Sekolah 7-18 Tahun Menurut Provinsi
id
Nusa Tenggara Barat 0,51 0,54 0,59 0,53
.
go
Nusa Tenggara Timur 0,52 0,60 0,61 0,56
Kalimantan Barat 0,56 s. 0,57 0,66 0,58
p
Kalimantan Tengah 0,46 0,42 0,62 0,49
.b
. id
go
p s.
.b
w
w
//w
s:
tp
ht
. id
go
p s.
.b
w
w
//w
s:
tp
ht