Anda di halaman 1dari 115

GAMBARAN PERAN SUAMI DALAM MENGATUR JARAK

KEHAMILAN DI PUSKESMAS SAMATA KAB. GOWA


TAHUN 2015

Karya Tulis Ilmiah


(KTI)

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar


Ahli Madya Kebidanan Jurusan Kebidanan
Pada Fakultas Ilmu Kesehatan
UIN Alauddin Makassar

OLEH :
RESKY BUDIANTY
NIM : 70400112014

JURUSAN KEBIDANAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2015
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS ILMIAH

Dengan penuh kesadaran, penyusun yang bertanda tangan dibawah ini

menyatakan bahwa Karya Tulis Ilmiah (KTI) ini benar adalah hasil karya

penyusun sendiri. Jika dikemudian hari terbukti bahwa ini merupakan duplikat,

tiruan, plagiat atau dibuat oleh orang lain sebagian atau seluruhnya maka Karya

Tulis Ilmiah (KTI) dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.

Samata, Oktober 2015

Penyusun

RESKY BUDIANTY
NIM : 70400112014

ii
LEMBAR PERSETUJUAN KARYA TULIS ILMIAH

Nama : Resky Budianty

Nim : 70400112014

Judul KTI : Gambaran Peran Suami Dalam Mengatur Jarak Kehamilan Di

Puskesmas Samata Kab. Gowa 2015

Karya Tulis Ilmiah (KTI) ini telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing untuk

diajukan pada Seminar Hasil tanggal 04 november 2015 Program Studi DIII

Kebidanan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri

Alauddin Makassar.

Pembimbing

FIRDAYANTY
Nip : 19850228 201101 2 001

iii
HALAMAN PENGESAHAN KARYA TULIS ILMIAH

Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Gambaran Peran Suami Dalam


Mengatur Jarak Kehamilan Di Puskesmas Samata Kab. Gowa 2015” yang
disusun oleh Resky Budianty, NIM: 70400112014 mahasiswi Prodi Kebidanan
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, telah diuji dan dipertahankan dalam
ujian Karya Tulis Ilmiah yang diselenggarakan pada hari Rabu tanggal 04
november 2015, dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Ahli Madya Kebidanan (dengan beberapa perbaikan).
Makassar, September 2015 M
Ramadhan 1436 H

DEWAN PENGUJI

Ketua : Dr. dr. H. Armyn Nurdin, M.Sc (……………………….)

Pembimbing: Firdayanti, S.Si.T.,M.Kes (……………………….)

Sekretaris : (……………………….)

Penguji I : dr. Dewi Setiawati,Sp.OG.,M.Kes (………………………..)

Penguji II : Dra. Syamsuez Salihima,M.Ag (……………………......)

Mengetahui :
Dekan Fakultas Kedokteran Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Dr.dr.H. Andi Armyn Nurdin,M.Sc


NIP. 19550203 198312 1 001

iv
KATA PENGANTAR
‫حم ِن ال هرِح ِيم‬ ِ‫بِس ِم ه‬
َٰ ْ ‫اَّلل ال هر‬ ْ

Demi nama Allah yang Maha Besar dan Maha Mengasihi, dan dengan segala

ni’mat serta keridhoan yang Allah berikan, penulis memanjatkan rasa syukur yang

sebesar-besarnya serta pujian yang tiada terhingga karena hanya dengan petunjuk,

rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah (KTI)

dengan baik meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana. Dan dengan

keteguhan dan kesabaran Rasulullah yang berusaha menyelamatkan umatnya dari

kesesatan, memberikan contoh yang baik untuk semua hamba Allah sehingga

semua hamba dapat bertaqarrub dengan-Nya, penulis haturkan shalawat dan salam

semoga senantiasa tercurahkan kepada nabi besar Muhammad SAW, keluarga dan

para sahabat-sahabat beliau. Amin Allahumma Amin.

Dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang berjudul “Gambaran Peran

Suami Dalam Mengatur Jarak Kehamilan Di Puskesmas Samata Kab. Gowa

2015” ini, penulis mendapatkan sejumlah tantangan, rintangan dan hambatan.

Namun, berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sejumlah tantangan

tersebut dapat teratasi. Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya, serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Kedua orangtua tercinta, Ayah H. Abd. Rahim dan Ibunda Hj. Hamsinah

yang telah bersusah payah membesarkan, mengasuh, mendidik,

menyekolahkan dan membina penulis dengan ikhlas, penuh pengorbanan

baik lahiriah maupun batiniah serta kekhusu’an do’a yang selalu terucap

v
dalam tiap sujud beliau untuk penulis. Semoga Allah SWT melimpahkan

rahmat dan hidayah-Nya kepada mereka semua. Amin Allahumma Amin.

2. Bapak Prof. Dr. Musafir Pababbari, MAg selaku rektor UIN Alauddin

Makassar yang telah memberikan kebijakan-kebijakan serta mengerahkan

segala kemampuan demi membangun kampus UIN Alauddin Makassar agar

menjadi perguruan tinggi yang terdepan dan lebih berkualitas.

3. Bapak Dr.dr.H.Andi Armyn Nurdin,M.Sc, selaku dekan Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Makassar beserta Pembantu Dekan I,

Pembantu Dekan II, Pembantu Dekan III dan seluruh staf administrasi yang

telah memberikan berbagai fasilitas kepada seluruh mahasiswa UIN Alauddin

Makassar selama masa pendidikan.

4. Ibu Hj. Sitti Saleha, S.SiT.,SKM.,M.Keb, selaku ketua prodi kebidanan yang

telah menuntun, mendidik dan mengajarkan kepada penulis berbagai disiplin

ilmu karya tulis ilmiah.

5. Ibu Firdayanti, S.SiT.,M.Keb, selaku pembimbing yang senangtiasa

meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya dalam membimbing, mengarahkan

dan memberikan petunjuk serta memberikan motivasi kepada penulis

sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

6. Ibu dr. Dewi Setiawati,Sp.OG.,M.Kes selaku penguji I yang telah menuntun,

mendidik dan mengajarkan kepada penulis berbagai disiplin ilmu.

7. Ibu Dra. Syamsuez Salihima,M.Ag, selaku penguji II yang telah banyak

memberikan saran dan petunjuk dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah

vi
khususnya dalam bidang keagamaan sehingga penulis dapat menyelesaikan

karya tulis ilmiah ini.

8. Para dosen dan seluruh staf UIN Alauddin terkhusus pada Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan yang telah berjasa mengajar dan mendidik

penulis serta memberikan wawasan, pengetahuan dan nasehat selama penulis

menuntut ilmu dalam Prodi Kebidanan UIN Alauddin Makassar.

9. Ibu bidan Margaretha S, S.ST selaku kepala ruangan ANC yang telah

memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian sehingga Karya

Tulis Ilmiah ini dapat diselesaikan.

10. Para bidan beserta kader Puskesmas Samata yang telah memberikan izin

kepada penulis dan telah membantu mempersiapkan segala kebutuhan

penulis dalam melakukan penelitian.

11. Serta seluruh rekan-rekan mahasiswa kebidanan UIN Alauddin Makassar

angkatan 2012 yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu, yang juga

telah memberikan dukungan dan kerjasamanya serta doa kepada penulis

selama menjalani pendidikan di UIN Alauddin Makassar.

vii
Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa masih banyak

kekurangan dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah (KTI) ini. Oleh karena itu

dengan rendah hati penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang

sifatnya membangun demi untuk perbaikan dan penyempurnaan Karya Tulis

Ilmiah ini.

Akhirnya penulis hanya bisa berdoa dan mengharapkan kiranya segala

bantuan yang telah diberikan kepada penulis mempunyai nilai ibadah disisi Allah

SWT. Dan semoga Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang sederhana ini dapat

bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan bagi pembaca, Amin.

Samata, September 2015


Penulis

RESKY BUDIANTY
NIM: 70400112014

viii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ………………………………………………… i

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN …………………………. ii

HALAMAN PERSETUJUAN KTI ………………………………….. iii

HALAMAN PENGESAHAN KTI …………………………………... iv

KATA PENGANTAR ………………………………………………... v

DAFTAR ISI ………………………………………………………….. ix

ABSTRAK ……………………………………………………………. xi

ABSTRACT ………………………………………………………….. xii

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………. 1

A. Latar Belakang ……………………………………………………. 1


B. Rumusan Masalah ………………………………………………… 8
C. Tujuan Penelitian …………………………………………………. 8
D. Manfaat Penelitian ………………………………………………… 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………… 10

A. Tinjauan Teori …………………………………………………….. 10


B. Kerangka Teori……………………...………………………………. 35
C. Kerangka Konsep ………………………………………………….. 36
D. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif…………………………. 37

BAB III METODE PENELITIAN ……………………………………. 39

A. Jenis Penelitian …………………………………………………….. 39


B. Lokasi dan waktu Penelitian ………………………………………. 39
C. Populasi dan Sampel………………………………………………… 39
D. Teknik Pengambilan Sampel ………………………………………... 40
E. Pengumpulan Data…………………………………………………… 41

ix
F. Alur penelitian……………………………………………………….. 43
G. Metode Pengumpulan Data ………………………………………… 44
H. Pengolaan Data Analisa data………………………………………... 45

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………. 47

A. Hasil Penelitian………………………………………………………… 47

B. Pembahasan…………………………………………………………… 53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………….. 84

A. Kesimpulan …………………………………………………………. 84
B. Saran ………………………………………………………………… 85

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………... 86

x
ABSTRAK
Nama Penyusun : Resky Budianty
NIM : 70400112014
Pembimbing : Firdayanti
Judul : GAMBARAN PERAN SUAMI DALAM
MENGATUR JARAK KEHAMILAN DI
PUSKESMAS GOWA TAHUN 2015

Kehamilan merupakan saat yang paling tepat untuk saling berbagi dan
merencanakan apa yang akan dilakukan sebagai calon orangtua. Upaya
perencanaan dalam keluarga yakni menentukan jumlah anak dan jarak
kehamilannya merupakan hal yang umum dilakukan. Kesadaran akan pentingnya
perencanaan keluarga ini biasanya dikaitkan dengan konsep perencanaan
keluarga, spiritual maupun finansial dalam menata masa depan anak-anak mereka.
Peran suami dalam memantapkan dan melaksanakan program KB sangat penting,
karena suami merupakan tolak ukur berhasil atau tidaknya program itu sendiri,
karena program KB bertujuan untuk keluarga.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran suami dalam
mengatur jarak kehamilan istri. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif.
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Samata Kabupaten Gowa pada bulan Maret
sampai Mei 2015. Jumlah sampel sebanyak 54 suami yang memiliki istri hamil
dengan GII yang melakukan pemeriksaan di Puskesmas Samata. Pengambilan
sampel yang digunakan yaitu dengan tekhnik purposive sampling. Pengambilan
data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Penelitian ini menggunakan
analisis deskriptif univariat..
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki
peranan yang mendukung dalam mengatur jarak kehamilan istri yaitu sebanyak 42
orang (77,8%), Berdasarkan pekerjaan, mayoritas responden yang bekerja sebagai
wiraswasta (57,4%) dan PNS (20,4%) mendukung dalam mengatur jarak
kehamilan istri. Berdasarkan pendidikan, mayoritas responden yang memiliki
pendidikan terakhir dalam kategori tinggi (75,9%) mendukung dalam mengatur
jarak kehamilan istri. Berdasarkan jumlah anak, mayoritas responden yang
memiliki jumlah anak ≤ 2 orang (51,9%) mendukung dalam mengatur jarak
kehamilan istri.
Dengan demikian diharapkan tenaga kesehatan khusunya bidan agar dapat
meningkatkan pendidikan kesehatan dan motivasi tentang pengaturan jarak
kehamilan yang aman agar pasangan suami istri dapat mengatur jarak kehamilan
yang ideal guna mencapai keluarga yang sejahtera.

Kata Kunci : Peran suami, jarak kehamilan

xi
ABSTRAC
Author : Resky Budianty
NIM : 70400112014
Supervisor : Firdayanti
Title : DESCRIPTION OF HUSBAND'S ROLE IN
MANAGING OF PREGNANCY SPACING IN
PUSKESMAS GOWA 2015

Pregnancy is the perfect time to share and plan what to do as prospective


parents. The family planning efforts in determining the number and spacing of
pregnancy is a common practice. Awareness of the importance of family planning
is usually associated with the concept of family planning, spiritually and
financially in the future for their children. Husband's role in establishing and
implementing the family planning program is very important, because the
husband is a benchmark of success or failure of the program itself, because the
family planning program aimed at families.
This research aimed to find out the description of husband's role in
managing wife’s pregnancy spacing. This research is a descriptive study. This
research was conducted in Puskesmas Samata Gowa in March until May 2015.
The samples size were 54 husband who has a pregnant wife with GII who check
up in the Puskesmas Samata The sampling technique using purposive sampling.
The data was collected using a questionnaire, data were analyzedusing descriptive
statistics(univariate).
The results showed that the majority of respondents had a supporting role
in regulating the wife's pregnancy spacing as many as 42 people (77.8%), Based
on the work, the majority of respondents who work as self-employed (57.4%) and
civil servants (20.4%) support the wife's pregnancy spacing. Based on education,
the majority of respondents who have education in high category (75.9%) support
the wife's pregnancy spacing. Based on the number of children, the majority of
respondents who have a number of children ≤ 2 people (51.9%) support the wife's
pregnancy spacing
Therefore health workers, especially midwives is expected to improve
health education and motivation about a secure pregnancy spacing so that couples
can set the ideal pregnancy spacing to achieve a prosperous family.

Keyword : Husband’s role, pregnancy spacing

xii
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Jarak kehamilan yang dianjurkan pada ibu hamil yang ideal dihitung

dari sejak persalinan ibu hingga akan memasuki masa hamil selanjutnya yaitu 2-

5 tahun. Hal ini didasarkan karena beberapa pertimbangan yang akan

berpengaruh pada ibu dan anak. Apalagi bagi anda yang mengalami operasi

Caesar pada persalinan sebelumnya, pemulihan pasca operasi sangat penting

untuk diperhatikan. Penelitian The Demographic and Health Survey,

menyebutkan bahwa anak-anak yang dilahirkan 2-5 tahun setelah kelahiran anak

sebelumnya, memiliki kemungkinan hidup sehat 2,5 kali lebih tinggi dari pada

yang berjarak kelahiran kurang dari 2 tahun, maka jarak kehamilan yang aman

adalah 2-5 tahun.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penundaan kelahiran anak

pertama yang rendah lebih dominan pada wanita berpendidikan rendah, wanita

berstatus ekonomi miskin, wanita dengan pemakaian alat/cara kontrasepsi yang

tidak efektif dan wanita yang tidak aktif dalam pasar kerja. Berdasarkan hasil

penelitian terhadap wanita di amerika serikat, yang dilakukan oleh

Rindfuss,Brewster,dan Kavee pada 1996, ditemukan bahwa semakin tinggi

tingkat pendidikan wanita akan mempertinggi statusnya dimasyarakat maupun

aktivitas dalam pasar kerja.


2

Peningkatan status wanita tersebut akan mengubah pandangan

terhadap kehadiran anak karena baginya anak cenderung akan mengganggu

waktu kerja dan menghambat peningkatan karier. Pada kondisi ini,wanita yang

berstatus tinggi lebih beranggapan bahwa kehadiran anak hanya akan

menjadikan waktu yang seharusnya untuk kerja harus dikombinasikan dengan

pegasuhan anak. Seorang istri yang aktif dalam pekerjaan akan kehilangan

leisure time apabila mempunyai anak, yakni kehilangan waktu yang bebas

sehabis kerja tanpa dipengaruhi urusan lain,termasuk urusan rumah tangga,

peran orang tua ataupun mendidik anak.

Peningkatan tingkat pendidikan dengan diikuti peningkatan status

sosial ekonomi tidak selamanya berkorelasi positif terhadap penundaan

kelahiran anak. Beberapa studi utamanya dinegara berkembang menemukan

bahwa peningkatan pendidikan dan status wanita justru mengubah tata nilai dan

struktur budaya dalam masyarakat sehingga generasi muda lebih cenderung

permisif terhadap hubungan seksual. Fenomena ini pada akhirnya akan

berakibat pada tingkat fertilitas dan semakin pendeknya antara pernikahan

dengan kelahiran anak pertama.

Karakteristik sosial selain pendidikan yang berpengaruh terhadap

penundaan kelahiran anak pertama adalah kebudayaan. Studi tentang penundaan

kelahiran anak dipengaruhi oleh kebudayaan dilakukan oleh malwade basu di

india tahun 1993. Menurutnya, perbedaan kebudayaan yang berkaitan dengan

penundaan kelahiran anak disebabkan oleh perbedaan terhadap kebutuhan anak

dan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat. (Masyhuri, 2007: 123)
3

World Health Organization (WHO) 1990 mencatat bahwa di seluruh

dunia terjadi lebih dari 100x sanggama setiap harinya dan terjadi 1 juta

kelahiran baru per hari dimana 50% diantaranya tidak direncanakan dan 25 %

tidak diharapkan. Dari 150.000 kasus abortus provokatus yang terjadi per hari,

50.000 di ataranya abortus illegal dan lebih dari 500 perempuan meninggal

akibat komplikasi abortus tiap harinya.(Sarwono, 2011: 437)

Kehamilan dan kelahiran yang terbaik, artinya resiko paling rendah

untuk ibu dan anak, adalah antara 20-30 tahun sedangkan persalinan pertama

dan kedua paling rendah resikonya bila jarak antara dua kelahiran adalah 2-4

tahun.

Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil sementara sensus

penduduk Indonesia tahun 2010 sebanyak 237,6 juta jiwa dan merupakan

jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia setelah China, india, dan

Amerika serikat. Ini berarti bahwa setiap tahun selama periode 2000-2010,

jumlah penduduk bertambah 3,25 juta jiwa. Jika dianalogika ke bulan, maka

setiap bulannya penduduk Indonesia bertambah sebanyak 270.833 jiwa atau

sebesar 270.000 juta jiwa.

Berdasarkan jumlah tersebut, maka setiap harinya penduduk

Indonesia bertambah sebesar 9.027 jiwa. Dan setiap jam terjadi pertambahan

penduduk sebanyak 377 jiwa. Bahkan setiap detik jumlah pertambahan

penduduk masih tergolong tinggi yaitu sebanyak 1,04

(1-2 jiwa). Pertambahan penduduk di Indonesia umumnya (bahkan bisa

dikatakan 99,9%) disebabkan oleh kelahiran, sisanya berupa migrasi masuk.


4

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam 1 detik di Indonesia, terjadi

kelahiran bayi sebanyak 1-2 jiwa.

Pengendalian penduduk adalah kegiatan membatasi pertumbuhan

penduduk yang pada umumnya dengan megurangi jumlah kelahiran.

Dokumen dari yunani kuno penduduk sejak zaman dulu kala. Salah satu

contoh rakyat cina yang terkenal dengan kebijakannya ‘ satu anak cukup’.

Kebijakan ini diduga banyak menyebabkan terjadinya aksi pembunuhan bayi,

pengguguran kandungan yang dipaksakan, serta sterilisasi wajib. (Miswani,

2011: 1)

Jumlah penduduk Indonesia merupakan jumlah penduduk dengan

jumlah peduduk yang sangat besar. Berdasarkan jumlah tersebut tampak

penumpukan jumlah penduduk .

Masalah-masalah yang dapat timbul akibat keadaan demikian adalah:

a). Aspek ekonomi dan pemenuhan kebutuhan hidup keluarga, banyaknya

beban dan tanggung jawab yang harus dipenuhi biaya hidupnya oleh sejumlah

manusia produktif yang lebih sedikit akan mengurangi pemenuhan kebutuhan

ekonomi dan hayat hidup. b). Aspek pemenuhan gizi, kemampuan ekonomi

yang kurang dapat pula berakibat pada pemenuhan makanan yang dibutuhkan

baik jumlah makanan (kuantatif) sehingga dampak lebih lanjut adalah adanya

rawan atau kurang gizi (malnutrition). Pada gilirannya nanti bila kekurangan

gizi terutama pada usia muda (0-5 tahun) akan mengganggu perkembangan

otak bahkan dapat terbelakang mental (mental retardation). Ini berarti akan

mengurangi mutu SDM di masa yang akan datang. c). Aspek pendidikan,
5

pendidikan memerlukan biaya yang tidak sedikit, sehingga diperlukan

dukungan kemampuan ekonomi semua termasuk orang tua. Apabila

kekampuan ekonomi kurang mendukung maka fasilitas pendidikan juga sukar

untuk dipenuhi yang mengakibatkan pada kualitas pendidikan tersebut kurang.

d). Lapangan pekerjaan, penumpukan jumlah penduduk usia muda atau

produktif memerlukan persiapan lapangan kerja masa mendatang yang lebih

luas. Hal ini merupakan bom waktu pencari kerja atau penyedia kerja. Apabila

tidak dipersiapkan SDMnya dan lapangan kerja akan berdampak lebih buruk

pada semua aspek kehidupan. Adapun alternatif pemecahan yang diperlukan

terhadap permasalahan tersebut diantaranya pengendalian angka kelahiran

melalui KB, peningkatan masa pendidikan, dan penundaan usia perkawinan.

(Miswani, 2011: 24)

Kesehatan suatu negara atau daerah diukur dengan skala a). Maternal

mortality rate atau angka kematian ibu akibat langsung dari kehamilan,

persalinan nifas sampai 42 hari setelah melahirkan tanpa memperhitungkan

tuanya kehamilan. b). Infant Mortality Rate atau angka kematian bayi dibawah

usia satu tahun. c). Umur harapan hidup adalah suatu perkiraan rata-rata

lamanya hidup sejak lahir yang dicapai oleh penduduk.

Semakin tinggi angka kematian ibu dan bayi maka kesejahteraan

akan semakin rendah derajat kesehatan suatu negara. Angka kematian ibu

disemua negara berkembang masih sangat tinggi demikian juga di Indonesia

berkisar antara 307 per 100.000 kelahiran hidup, yang tertinggi di NTB dan

yang terendah di daerah istimewah Jogjakarta. Angka-angka ini merupakan


6

problem dan keprihatinan semua negara karena dampak yang timbul akan

sangat berpengaruh terhadap ekonomi, politik dan kebijakan pembangunan.

Pada berbagai kesempatan pertemuan delegrasi dari setiap negara didunia

telah disepakati upaya untuk menekan angka kematian ibu dan bayi dengan

upaya “ safe mother hood “ yaitu program untuk menjaga dan menjamin

keselamatan serta kesehatan wanita selama hamil,bersalin,nifas dan wanita

usia produktif. Untuk mencegah kematian ibu dan menjaga kesehatan dan

keselamatan ibu dengan 4 pilar safe motherhood yaitu : a). Keluarga

berencana, dengan mengikuti keluarga berencana wanita akan terhindar dari

kehamilan yang tidak diinginkan dan kematian akibat hamil,bersalin dan nifas.

b). Antenatal care yaitu dengan pemeriksaan dan perawatan kehamilan yang

baik maka kelainan dan komplikasi kehamilan dapat dideteksi secara dini dan

dapat segera diatasi sehingga terhindar dari kematian ibu. c.) Persalinan bersih

dan aman, merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh penolong persalinan

untuk mencegah terjadinya infeksi intra partum maupun post partum yang

ternyata merupakan penyebab kematian kedua setelah perdarahan untuk

keamanan sangat dianjurkan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan. d.)

Pelayanan obstetri essensial, yaitu menyediakan pelayanan yang lengkap dan

berkualitas baik dari segi fasilitas, sumber daya manusia (SDM) dan jenis

pelayanan kesehatan sehingga mampu mengatasi dan melakukan pelayanan

kasus gawatdarurat di puskesmas dan rumah sakit. Safe motherhood pada pilar

satu yaitu keluarga berencana (KB) merupakan salah satu cara yang tepat dan

digunakan untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan keluarga


7

khususnya wanita. Program KB pada awalnya berorientasi pada tujuan

pemerintah untuk menekan angka kelahiran, menjarangkan dan menghentikan

kehamilan.

Jarak kehamilan telalu pendek akan sangat berbahaya, karena organ

reproduksi belum kembali ke kondisi semula. Selain kondisi energi ibu juga

belum memungkinkan untuk menerima kehamilan berikutnya. Keadaan gizi

yang belum prima ini membuat gizi janinnya juga sedikit, sehingga

pertumbuhan janinnya tak memadai yang dikenal dengan pertumbuhan janin

terhambat. Selain berat janin rendah, kemungkinan kelahiran prematur juga

bisa terjadi pada kehamilan jarak dekat, terutama bila kondisi ibu belum

begitu bagus.

Kehamilan dengan jarak diatas 24 bulan sangat baik buat ibu karena

kondisinya sudah normal kembali. Berbagai riset telah menunjukkan bahwa

jika jarak kehamilan terjadi di bawah dua tahun. Maka risiko kematian ibu dan

bayi mencapai 50 persen. (Suratum dkk, 2013: 2)

Di Kota Makassar, AKI maternal mengalami fluktuasi selama 3

tahun yaitu pada tahun 2013 meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar

16,27 per 100.000 kelahiran hidup (AKI : 16,27/100.000 KH) dibanding

tahun 2012 yaitu sebesar 8,32 per 100.000 kelahiran hidup (AKI :

8,32/100.000 KH). Tahun 2011 sebesar 11,48 per 100.000 kelahiran hidup,

(AKI = 11,48/100.000 KH) (Dinas Kesehatan Prov. Sul-Sel, 2014).

DI Kabupaten Gowa, didapatkan bahwa dari tahun 2010 sampai

tahun 2013 terdapat 44 kematian maternal dari 50400 kelahiran di Kabupaten


8

Gowa. Angka kematian ibu bersalin di Kabupaten Gowa pada tahun 2010

adalah 57 per 100.000 kelahiran hidup (57/100.000 KH), tahun 2011 sebesar

61 per 100.000 kelahiran hidup (61/100.000 KH), tahun 2012 sejumlah 149

per 100.000 kelahiran hidup (149/100.000 KH), dan pada tahun 2013

sejumlah 80 per 100.000 kelahiran hidup (80/100.000 KH) (Dinas Kesehatan

Prov. Sul-Sel, 2014).

Berdasarkan uraian di atas penulis sangat tertarik untuk mengkaji

lebih dalam lagi tentang permasalahan mengatur jarak kehamilan., maka hal

ini dikaji berdasarkan Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang upaya

mengatur kelahiran anak, mengatur jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur

kehamilan, melalui upaya aktif perlindungan dan bantuan sesuai hak

reproduksi agar terwujud keluarga yang berkualitas. Jumlah penduduk

sebanyak ini dapat menimbulkan berbagai persoalan baru seperti tingginya

angka pengangguran, kemiskinan bahkan yang lebih menghawatirkan adalah

tingginya angka kriminalitas, maka dari itu penulis melakukan penelitian dan

pembahasan terhadap pokok permasalahan yang diangkat, yang hasilnya

dituangkan dalam suatu tulisan ilmiah yang berjudul “Gambaran Peran Suami

Dalam Mengatur Jarak Kehamilan Di Puskesmas Samata Tahun 2015

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian

adalah bagaimana gambaran peran suami dalam mengatur jarak kehamilan?


9

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Peran Suami

Dalam Mengatur Jarak Kehamilan Di Puskesmas Samata Tahun 2015.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui peran suami dalam mengatur jarak kehamilan

b. Berdasarkan pendidikan

c. Berdasarkan pekerjaan

d. Berdasarkan jumlah anak

D. Manfaat Penelitian

1. Untuk Peneliti

Memberikan tambahan informasi dan data bagi peneliti untuk penelitian

selanjutnya dalam mengetahui peran suami dalam mengatur jarak

kehamilan

2. Untuk Pelayanan

Untuk meningkatkan motivasi dan kesadaran kepada suami dalam

mengatur jarak kehamilan.

3. Bagi Pendidikan

Sebagai sumber informasi atau mempromosikan tentang megatur jarak

kehamilan

4. Bagi Bidan

Memberikan masukan pada suami dan ibu untuk memotivasi dalam

mengatur jarak keham


10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan teori

1. Peran

a. Pengertian

Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang

sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun

informal. Peran didasarkan pada preskripsi (ketentuan) dan harapan peran

yang menerangkan apa yang individu-individu harus lakukan dalam suatu

situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan mereka sendiri atau

harapan orang lain menyangkut peran-peran tersebut.

Struktur peran dapat dibedakan mejadi dua yaitu:

1) Peran formal (peran yang nampak jelas)

Yaitu sejumlah perilaku yang bersifat homogen. Peran formal

yang standar terdapat dalam keluarga. Peran dasar yang membentuk posisi

sosial sebagai suami-ayah dan istri-ibu adalah peran sebagai provider

(peyedia), pengatur rumah tangga , memberi perawatan, sosialisasi anak,

rekreasi, persaudaraan (memelihara hubungan keluarga paternal dan

maternal).
11

2) Peran informal (peran tertutup)

Yaitu suatu peran yang bersifat implisit (emosional) biasanya

tidak tampak ke permukaan dan dimainkan hanya untuk memenuhi

kebutuhan emosional individu dan untuk menjaga keseimbangan dalam

keluarga, peran informal mempunyai tuntutan yang berbeda,tidak terlalu

didasarkan pada atribut-atribut dapat mempermudah pelaksanaan peran-

peran formal.

Teori peran adalah sebuah sudut pandang dalam sosiologi dan

psikologi sosial yang menganggap sebagian besar aktivitas harian

diperankan oleh kategori-kategori yang ditetapkan secara sosial (misalnya

ibu,manajer,guru). Setiap peran sosial adalah serangkaian hak,

kewajiban,harapan norma, dan perilaku seseorang yang harus dihadapi dan

dipenuhi.

Peran adalah aspek dinamis dari kedudukan (status). Apabila

seseorang melaksaakan hak dan kewajibannya sesuai dengan

kedudukannya, maka dia mejalankan peran. (Agus, 2009: 11)

2. Pendidikan

a. Pengertian

Pendidikan berasal dari kata didik yaitu memelihara dan memberi

latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.

Pendidikan juga proses membimbing dari kegelapan, kebodohan dan

pencerahan pengetahuan. Dalam arti luas pendidikan baik formal maupun


12

informal meliputi segala hal yang memperluas pengentahuan manusia tentang

dirinya sendiri maupun tentang dunia tempat mereka hidup.

3. Pekerjaan

a. Pengertian

Pekerjaan adalah sebuah kegiatan aktif yang dilakukan manusia.

Dalam arti sempit istilah pekerjaan digunakan untuk suatu tugas atau kerja

yang menghasilkan sebuah imbalan dalam bentuk uang yang berguna bagi

seseorang.

4. Suami

a. Pengertian

Suami adalah seseorang perilaku dalam pernikahan berjenis kelamin

pria yang berikrar, berucap janji untuk memperistri wanitanya. Seorang pria

biasanya menikah dengan seorang wanita dalam suatu upacara perikahan

sebelum diresmikan statusya sebagai seorang suami dan pasangannya sebagai

seorang istri. Dalam berbagai agama biasanya seorang pria hanya boleh

menikah denga satu wanita. Dalam budaya tertentu pernikahan seorang wanita

dengan banyak pria dikategorika sebagai poliandri.

Suami merupakan ketua keluarga dan pemimpi bagi istri dan anak-

anaknya. Firman allah dalam surah al-nisa’ ayat 34: maksudnya: “ kaum lelaki

itu adalah pemimpin dan pengawal yang bertanggung jawab terhadap kaum

perempuan. Adapun dalil yang berkaitan dengan pernikahan yaitu:

              
13

 

Terjemahannya:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)

sebagai pemberian dengan penuh kerelaan[267]. Kemudian jika mereka

menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,

Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi

baik akibatnya.

pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas

persetujuan kedua pihak, Karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.

b. Kewajiban suami

1) Memelihara, memimpin dan membimbing keluarga lahir dan batin, serta

menjaga dan bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraanya.

2) Memberi nafkah sesuai dengan kemampuan serta mengusuhakan

keperluan keluarga terutama sandang pangan dan papan. Seorang suami

wajib menafkahi istri dan anak-anaknya, menyediakan tempat tinggal serta

menggandakan pakaian untuk mereka sesuai kemampuannya. Adapun

dalil/aya al- qur’an tentang kewajiban memberi nafkah

            

           

        

          
14

34. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena

Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian

yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan

sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah

yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak

ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka)[290]. wanita-wanita

yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan

pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.

Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari

jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi

Maha besar.

[289] Maksudnya: tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan

harta suaminya.

[290] Maksudnya: Allah Telah mewajibkan kepada suami untuk

mempergauli isterinya dengan baik.

[291] Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari

pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.

[292] Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang

dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat,

bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur

mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka


15

dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama Telah

ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.

3) Membantu tugas-tugas istri terutama dalam hal memelihara dan mendidik

anak dengan penuh rasa tanggung jawab.

4) Memberi kebebasan berpikir dan bertindak kepada istri sesuai dengan

ajaran agama, tidak mempersulit apalagi membuat istri menderita lahir-

batin yang dapat mendorong istri berbuat salah.

5) Dapat mengatasi keadaan, mencari penyelesaian secara bijaksana dan tidak

berbuat sewenang-wenang.

c. Kewajiban istri

1) Hormat dan patuh kepada suami dalam batas-batas yang ditentukan oleh

norma agama dan susila.

2) Mengatur dan mengurus rumah tangga, menjaga keselamatan dan

mewujudkan kesejahteraan keluarga.

3) Memelihara dan mendidik anak sebagai amanah Allah.

4) Memelihara dan menjaga kehormatan serta melindungi harta benda

keluarga.

5) Menerima dan menghormati pemberian suami serta mencukupkan nafkah

yang diberikannya dengan baik, hemat, cermat dan bijaksana. (Hamdani,

2012: 91)
16

5. Kehamilan

b. Pengertian

Menurut Federasi Obstetri Internasional, kehamilan didefinisikan

sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum dan dilanjutkan

dengan nidasi atau implantasi. Bila dihitung dari saat fertilisasi hingga

lahirnya bayi, kehamilan normal normal akan berlangsung dalam waktu 40

minggu atau 10 bulan lunar atau 9 bulan menurut kalender internasional.

Kehamilan terbagi dalam 3 trimester, dimana trimester kesatu berlangsung

dalam 12 minggu, trimester kedua 15 minggu (minggu ke-13 hingga ke-27),

dan trimester ketiga 13 minggu (minggu ke-28 hingga ke-40). (Sarwono,

2009: 213)

6. Penentuan Jarak Kehamilan

a. Pengertian

Penundaan kehamilan adalah selang antara waktu perkawinan

dengan kelahiran anak pertama, antara anak pertama dengan anak kedua, dan

seterusya. Penundaan kehadiran anak saat ini telah menjadi fenomena lazim di

antara pasangan-pasangan usia subur. Kemajuan teknologi dibidang

kedokteran telah memberikan keleluasan kepada pasangan untuk segera

mempunyai anak atau tidak. Ada pasangan yang telah cukup dengan hanya

memiliki anak lebih dari dua dengan jarak kelahiran yang telah diatur masing-

masing. Kapan akan mempunyai anak adalah keinginan pribadi tiap-tiap

pasangan terkait dengan kondisi sosial,ekonomi, dan budaya yang

dianutnya.(Sukiran, dkk 2010: 129).


17

Pengaturan jarak kehamilan merupakan salah satu usaha agar

pasangan dapat lebih menerima dan siap untuk memiliki anak. Perencanaan

pasangan kapan untuk memiliki anak kembali, menjadi hal penting untuk

dikomunikasikan (Masyhuri, 2007: 120).

b. Mengukur penundaan kelahiran anak

Penundaan kelahiran anak diukur dari jarak absolut antara waktu

pernikahan dengan kelahiran anak pertama, antara kelahiran anak pertama

dengan anak kedua, antara anak kedua dengan anak ketiga, dan seterusnya.

Semakin lama jarak antar kelahiran berarti semakin lama pasangan melakukan

penundaan kelahiran anak. Analisis tentang penundaan kelahiran anak

dilakukan dengan mengkaji faktor-faktor yang berpengarus pada lama atau

tidaknya selang kelahiran antara anak akibat premarital intercourse terhadap

tren penundaan kelahiran anak pertama. Data utama yang digunakan adalah

data sekunder dan hasil survey demografi dan kesehatan (SDKI) tahun 2007

dengan responden wanita pernah kawin.cakupan data meliputi data

pendidikan,pekerjaan,akses informasi dan riwayat reproduksi yang

didalamnya memuat tentang usia saat menikah pertama kali dan waktu

pertama kali melakukan hubungan seksual.

Penetapan penundaan kelahiran anak pertama dilakukan dengan

meghitung selisih antara waktu lahir anak pertama dengan waktu pada saat ibu

menikah. Pada tahap ini juga akan ditinjau pengaruh adanya fenomena

premarital intercourse yang mulai banyak muncul di Indonesia. Kemudian

akan dilakukan analisis yang sama untuk selang kelahiran anak kedua dan
18

ketiga dengan mengikut sertakan variable-variabel independen yang sama

pada tahap pertama sebagai faktor prediktor. (Sukiran, dkk, 2010: 138)

c. Manfaat menjaga jarak kehamilan yang ideal bagi ibu dan anak yaitu :

1) Pemulihan persalian bagi kesehatan ibu

Dengan minimal waktu dua tahun memungkinkan ibu melakukan

persiapan kehamilan. Dalam mempersiapkan kehamilan selanjutnya ibu

harus mempersiapkan kesehatan yang sempat mengalami penurunan

setelah merawat bayi sebelumnya, selain itu ibu harus mengalami

beberapa pemulihan khusus seperti pada ibu hamil yang melakukan

operasi Caesar sebelumnya sebaiknya berkonsultasi pada dokter ketika

akan memasuki kehamilan selanjutnya. Tak kalah penting dalam

mengontrol kesehatan ibu hamil yang berisiko dikehamilan seperti

hipertensi, diabetes dll.

2) Menjaga kesehatan bayi

Menjaga jarak kehamilan ideal (2-5tahun) akan membuat potensi

yang baik untuk kehamilan selanjutnya salah satunya adalah menghindari

anak lahir dengan berat badan yang rendah dan juga menghindari kelainan

pada janin. Selain itu dua tahun memungkinkan untuk mempersiapkan air

susu ibu. Dengan persiapan Asi maka akan berpengaruh positif bagi

kesehatan dan kecerdasan, sedangkan bagi anda yang merencanakan

kehamilan terlalu dekat maka akan berdampak pada kurangnya nutrisi dari

Asi pada anak pertama atau anak selanjutnya.

3) Menghindari resiko Nutritional deficiencies


19

Dengan merencanakan kehamilan pada jarak yang ideal maka

akan megurangi resiko nutritional deficiencies atau kurang gizi terutama

kekuragan zat besi. Hal ini akan membantu anda dalam mengurangi resiko

anemia akut (severa anemia) yang akan terjadi pada kehamilan dan

meningkatkan resiko stress pada saat hamil, bahkan hal ini akan berisiko

terjadinya sistem kardiovaskular pada saat menjelang persalinan. Hal ini

dapat pula disebabkan karena kondisi ibu yang merencanakan kehamilan

terlalu cepat belum pulih dari kondisi sebelumnya sehingga belum dapat

maksimal dalam pembentukan cadangan makanan bagi janin dan

sendirinya.

4) Manfaat dalam menjaga hubungan antara Anak dan Ibu

Perhitungan yang tidak kalah penting dalam mempersiapkan

jarak kehamilan yang ideal adalah faktor psikologi anak dan orang tua.

Secara umum apabila merencanakan kehamilan pada usia yang ideal

adalah faktor psikologi anak dan orang tua. Secara umum apabila

merencanakan kehamilan pada usia yang ideal maka akan mudah

dimengerti dan juga mudah untuk menerima adik barunya dikarenakan

karena telah cukup mendapatkan perhatian dan kasih saying sebelumnya.

Dalam merencanakan dan mengatur kehamilan, perencanaan

pasangan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor baik dari segi kematangan

ekonomi, umur pasangan, pengaruh sosial budaya, lingkungan, pekerjaan

maupun status kesehatan pasangan (Susan, 2006: 124)


20

Faktor usia juga mempengaruhi salah satu faktor dalam menentukan

jarak kehamilan dimana pada saat merencanakan kehamilan yang harus

dihindari antara lain empat T yaitu

1) Terlalu muda untuk hamil (< 20 tahun)

2) Terlalu tua untuk hamil (> 35 tahun)

3) Terlalu sering hamil ( anak > 3 orang berisiko tinggi )

4) Terlalu dekat jarak kehamilannya (< 2 tahun)

Oleh karena itu faktor usia, di Indonesia wanita diatas usia 30 tahun

banyak yang memilih jarak pendek untuk melahirkan anak sebelum mereka

berumur 35 tahun ke atas

Faktor usia merupakan faktor penting dalam menentukan jarak

kehamilan, terutama bagi wanita bila berusia 38 tahun dan masih

menginginkan 2 orang aak maka tidak bisa hamil degan jaarak umur tiga

tahun atara yang satu dengan yang lain, bila usia dibawah 30 tahun dan tidak

mempunyai masalah kesehatan yang membahayakan kehamilan maka masih

mempunyai kesempata untuk megatur jarak kehamilan.

Aspek ekonomi juga faktor yang tak kalah penting, jika tidak

direncanakan terutama soal penyimpangan dananya, bisa juga berakibat fatal.

Salah satu keuntungan dalam mengatur penentuan jarak kehamilan adalah dari

segi ekonomi sosial yaitu meningkatkan derajat kualitas hidup perempuan

secara menyeluruh.

Study menunjukkan pada umumnya pasangan yang tidak mau

mempunyai anak beralasan bahwa mereka tidak cukup mampu menyediakan


21

dukungan yang layak untuk membesarkan anak sebagaimana mestinya.

Dengan persiapan mental maupun ekonomi dari pasangan akan mempermudah

pasangan untuk menentukan jarak kehamilan.

5) Resiko dalam Menentukan Jarak Kehamilan

Wanita yang melahirka dengan jarak yang sangat berdekatan (< 2

tahun) akan mengalami resiko antara lain:

a) Resiko perdarahan trimester III

b) Plasenta previa

c) Anemia

d) Ketuban pecah dini

e) Endometriosis masa nifas

f) Kematian saat melahirkan

g) Kehamilan dengan jarak yang terlalu jauh juga dapat meimbulkan resiko

tinggi antara lain persalinan lama.

Dengan adanya resiko dalam menentukan jarak kehamilan maka

diperlukan penelitian tentang hubungan umur, pendidikan maupun ekonomi

terhadap penentuan jarak kehamilan.

6) Fase-Fase dalam mengatur jarak kehamilan.

Dalam mengatur jarak kehamilan kita dapat menggunakan

kontrasepsi sesuai dengan fase-fase berikut ini yaitu (Susan,2006: 126)

a) Fase menunda kehamilan

Pada fase ini, pasangan dapat memilih metode kontrasepsi antara lain:
22

(1) Metode sederhana yaitu dengan menggunakan kondom, pantang berkala,

pemakaian, spermasid, dan senggama terputus

(2) Pil KB yaitu pil progestin atau pil kontrasepsi

(3) Suntikan KB yaitu suntikan progestin atau suntikan kombinasi

b) Fase menjarangkan kehamilan

(1) Metode sederhana yaitu dengan menggunakan kondom, pantang berkala,

pemakaian spermisid, senggama terputus

(2) Metode mekanis yaitu Alat Kontrasepsi dalam Rahim (AKDR)

(3) Metode MKE ( Metode Kontrasepsi Efektif ) kecuali kontrasepsi mantap.

c) Fase megakhiri kehamilan

(1) Metode MKE termasuk kontap

(2) Metode sederhana

7) Efek kehamilan terlalu dekat pada anak

Jarak kehamilan atau kelahiran yang berdekatan juga dapat

memicu pengabaian pada anak pertama secara fisik maupun psikis, yang

dapat menimbulkan rasa cemburu akibat ketidakpastian berbagai kasih

saying dari orang tuanya. Banyaknya kakak-beradik dengan jarak

kehamilan atau kelahiran si kecil, justru sering meganggapnya musuh

karea merampas jatah kasih saying orag tuanya

Persiapa secara mental untuk si kakak sangat penting dilakukan

oleh orang tuanya terutama si ibu agar nantinya tidak merasa tersisih, yaitu

dengan cara (Yanti, 2007: 36)


23

a) Mejelaskan padanya secara natural bahwa kehadiran adiknya nanti tidak akan

membuat perhatian orang tua padanya berkurang bahkan mungkin akan

semakin sayang.

b) Semakin besar usia anak maka akan semakin mudah bagi orang tua untuk

menjelaskannya. Ia mungkin tertarik dengan penjelasan mengenai apa yang

akan terjadi dengan tubuh ibu dan apa yang ada dalam perut ibu nantinya.

c) Berjanji pada si kakak bahwa kelak ia akan dilibatkan saat orang tua akan

memilih nama untuk si adik juga akan membelikan perlengkapan untuk si adik

serta saat mengasuhnya.

Menjaga jarak antar kehamilan memiliki beberapa tujuan, diantaranya

adalah:

a) Memberi waktu istirahat untuk mengembalikan otot-otot tubuhnya seperti

semula. Untuk memulihkan organ kewanitaan wanita setelah melahirkan.

Rahim wanita setalah melahirkan, beratnya menjadi 2 kali lipat dari sebelum

hamil. Untuk megembalikan ke berat semula membutuhkan waktu sedikitnya

3 bulan, itu pun dengan kelahiran normal. Untuk kelahiran degan cara caecar

membutuhkan waktu lebih lama lagi.

b) Menyiapkan kondisi psikologis ibu yang mengalami trauma pasca

melahirkankarena rasa sakit saat melahirkan atau saat dijahit. Ini

membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membuat wanita siap lagi untuk

hamil dan melahirkan.

c) Bagi wanita dengan riwayat melahirkan secara caecar, bayi lahir cacat,

preeklamsia, dianjurkan untuk memberi jarak antar kehamilan yang cukup.


24

Karena mereka memiliki resiko lebih besar dari pada wanita dengan riwayat

kelahiran normal.

d) supaya bayi yang sudah lahir mendapatkan ASI eksklusif dari ibunya.

8) Jarak kehamilan bisa diatur dengan memilih alat kontrasepsi.

Kesadaran penggunaan alat kontrasepsi dalam rangka menunda

kelahiran tidak terlepas dari penilaian orang tua terhadap anak. Kehadiran

anak dalam rumah tangga mempunyai dua penilaian: pertama, anak adalah

pendukung rumah tangga dan kedua, anak sebagai beban rumah tangga.

Penilaian anak sebagai biaya (cost) atau keuntungan (benefit) tersebut

memosisikan anak sebagai aspek produksi dan jaminan untuk hari tua.

Kajian empiris menunjukkan bahwa nilai ekonomi anak, dalam arti

sebagai pendukung ekonomi rumah tangga,lebih sering dijumpai pada

masyarakat pertanian dari pada masyarakat industri. (Sukiran,dkk,2010:

130)

a. Macam-macam alat kontrasepsi

(1) Kontrasepsi alamiah (untuk menentukan saat ovulasi) :

(a) Metode kalender (ogino-knaus)

Menentukan waktu ovulasi dari data haid yang dicatat selama 6-12 bulan

terakhir. a) Metode suhu badan basal = metode termal, peninggian suhu badan

basal 0.2-0.5ᵒC pada waktu ovulasi. b) Metode lendir serviks, perubahan siklis

dari lendir serviks yang terjadi karena perubahan kadar estrogen. c) Metode

symptom-termal, kombinasi antara bermacam metode KB Alamiah untuk

menentukan masa subur/ovulasi. (Hanafi, 2004: 45)


25

(b) MAL (Metode Amenorea Laktasi)

Metode amenorea laktasi adalah kontrasepsi yang mengandalkan pemberian

Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif, artinya hanya diberikan ASI tanpa

tambahan makanan atau minuman apa pun lainnya.

MAL dapat dipakai sebagai kontrasepsi bila: menyusui secara penuh, belum

haid, umur bayi kurang dari 6 bulan. Adapun ayat yang membahas tentang

pemberian ASI

             

              

              

            

             

  


Terjemahanny:
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan
kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara
ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang
ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu
kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan.
26

             

             

 

Terjemahannya:
Mereka Itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya;
sebagai balasan atas apa yang Telah mereka kerjakan.
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua
orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan
melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai
menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia Telah dewasa
dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku,
tunjukilah Aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang Telah Engkau
berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya Aku dapat berbuat
amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan
(memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya Aku bertaubat
kepada Engkau dan Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang
berserah diri".

(2) Kontrasepsi hormonal

(a) Pil KB

Suatu cara kontrasepsi untuk wanita yang berbentuk pil atau tablet yang berisi

gabungan hormone estrogen dan progesterone (pil kombinasi) atau hanya

terdiri dari hormone progesteron saja (mini pil).

(b) Suntik KB

Suntik KB ada dua jenis yaitu, suntik KB 1 bulan (cyclofem) dan suntik KB 3

bulan (DMPA).

(c) Implant

Implant adalah alat kontrasepsi yang disusupkan dibawah kulit, biasanya di

lengan atas.
27

(3) Alat kontrasepsi dalam Rahim (AKDR)/IUD.

AKDR adalah alat kontrasepsi yang dimasukkan kedalam Rahim

yang bentuknya macam- macam, terdiri dari plastic (polyethylene), ada

yang di lilit tembaga (Cu), dililit tembaga bercampur perak (Ag) da nada

pula yang batangnya hanya berisi hormone progesterone.

(4) Metode kontrasepsi mantap (kontap)

(a) Tubektomi

Suatu kontrasepsi permanen untuk mencegah keluarnya ovum dengan cara

mengikat atau memotong pada kedua saluran tuba fallopi (pembawa sel telur

ke Rahim)

(b) Vasektomi

Vasektomi merupakan operasi kecil yang dilakukan untuk menghalangi

keluarnya sperma dengan cara mengikat dan memotong saluran mani (vas

defferent) sehingga sel sperma tidak keluar pada saat seanggama. (Padila,

2014: 203)

b. Metode pria

Pilihan kontrasepsi yang tersedia bagi pria terbatas dibandingkan

yang tersedia bagi wanita. Sebagian besar penelitian telah ditujukan pada klien

wanita karena wanitalah yang akan hamil dan karena lebih mudah

menghentikan ovulasi bulanan dari pada proses sperma yang terus-menerus.

Namun, seiring peningkatan penyuluhan dan keterbukaan seksual, lebih

banyak pria sangat tertarik terhadap bidang ini, seperti terlihat dari jumlah pria

yang memilih sterilisasi. Badan penyuluhan kesehatan dan media telah


28

mencoba meningkatkan pemakaian kondom pria dalam mencegah penyakit

menular seksual (PMS) dan penyebaran human immunodeficiency virus

(HIV), namun pengaruhnya masih terbatas, masih ada kepercayaan bahwa “itu

tidak akan terjadi pada saya”, dan selama kepercayaan ini masih ada,

penyebarluasan pemakaian kondom akan terhambat.

(1) Koitus interuptus

Koitus interuptus adalah saat pria menarik penisnya dari vagina

sebelum ejakulasi selama koitus. Ini adalah metode kontrasepsi tertua.

Koitus interuptus diterima dan digunakan secara luas oleh komunitas

muslim dan kristiani sebagai sebuah metode kotrasepsi. Sebutan koitus

interuptus jarang digunakan oleh pria dan wanita. Istilah ini biasanya

disebut penarikan, meskipun ada kata lain yang lebih halus, seperti

“berhati-hati” atau “ia (laki-laki) berhati-hati melakukannya”. Sebutan ini

dapat menimbulkan kesalahpahaman selama konsultasi jika anda tidak

mengetahui kajian lain yang digunakan untuk koitus interuptus karena

sebutannya dapat bervariasi di tempat yang berbeda. Anda perlu

mengklarifikasi dengan klien apa yang mereka lakukan sebagai metode

kontrasepsi sehingga anda mampu membantu mereka selama konsultasi.

(2) Kondom

Kondom adalah bentuk kontrasepsi yang pertama kali ditemukan.

Kondom terbuat dari banyak bahan yang tidak lazim pada awalnya lebih

dianggap sebagai pelindung terhadap penyakit menular seksual dari pada


29

sebagai pencegahan kehamilan. Kondom adalah metode yang sangat

efektif dan merupakan satu diantara beberapa kontrasepesi yang tersedia

bagi pria. Kondom sering disebut dengan berbagai nama,seperti

selubung,johnny,karet dan French letter.

(3) Sterilisasi pria

Sterilisasi pria telah menjadi pilihan kontrasepsi permanen yang

populer untuk banyak pasangan proseddur bedah tersebut dikenal sebagai

vasektomi. Eksperime pertama dengan dengan melakukan sumbatan pada

vas deferens dilakukan pada awal tahun 1830 oleh Sir Astley Cooper, dan

kemudian pada abad ke-20 seiring kemajuan dibidang pembedahan dan

anastesia, vasektomi tersedia bagi pria. (Suzanne,2004: 70)

Macam-macam kontrasepsi

Yaitu pencegahan kehamilan dengan mengikat sel indung telur

pada wanita (tubektomi) atau testis pada pria (vasektomi). Proses

sterilisasi ini harus dilakukan oleh ginekologi (dokter kandungan).

Efektifitas bila anda memang ingin melakukan pencegahan kehamilan

secara permanen, misalnya karena faktor usia.

Kontrasepsi teknik

(a) Coitus interruptus (senggama terputus)

Ejakulasi dilakukan diluar vagina. Efektivitasnya 75-80%. Faktor

kegagalan biasanya terjadi karena ada sperma yang sudah keluar


30

sbelum ejakulasi, orgames berulang atau terlambat menarik penis

keluar.

(b) Sistem kalender (pantang berkala)

Tidak melakukan senggama pada masa subur, perlu kedisiplinan dan

pengertian antara suami istri karena sperma maupun sel telur (ovum)

mampu bertahan hidup s/d 48 jam setelah ejakulasi. Efektivitasnya 75-

80%. Faktor kegagalan karena salah menghitung masa subur (saat

ovulasi) atau siklus haid tidak teratur sehingga perhitungan tidak

akurat.

(c) Prolonged lactation

Adalah menyusui selama 3 bulan setelah melahirkan saat bayi hanya

minum ASI dan menstruasi belum terjadi,otomatis tidak akan hamil.

Tapi begitu ibu hanya meyusui < 6 jam/ hari, kemungkinan terjadi

kehamilan cukup besar.

Kontrasepsi mekanik

(a) Kondom

Efektif 75-80%. Terbuat dari lateks, ada kondom untuk pria maupun

wanita serta berfungsi sebagai pemblokir/barrier sperma. Kegagalan

pada umumnya karena kondom tidak dipasang sejak permulaan

senggama atau terlambat menarik penis setelah ejakulasi sehingga

kondom terlepas dan cairan sperma tumpah di dalam vagina.


31

(b) Spermatisida

Bahan kimia aktif untuk membunuh sperma,berbentuk cairan, krim

atau tisu vagina yang harus dimasukkan kedalam vagina 5 menit

sebelum senggama. Efektivitasnya 70%. Sayangnya bisa

menyebaabkan reaksi alergi. Kegagalan sering terjadi karena waktu

larut yang belum cukup, jumlah spermasida yang digunakan terlalu

sedikit atau vagina sudah dibilas dalam waktu < 6 jam setelah

senggama.

(c) Vaginal diafragma

Lingkaran cincin dilapisi karet flaksibel ini akan menutup mulut

Rahim bila dipasang dalam liang vagina 6 jam sebelum senggama.

Efektivitasnya sangat kecil, karena itu harus digunakan bersama

spermatisida untuk mencapai efektivitas 80%.

(d) IUD

Terbuat dari bahan polyethylene yang diberikan lilitan logam, umumya

tembaga (Cu) dan dipasang dimulut Rahim. Efektivitasnya 92-94%.

(Rahma, 2012 : 175)

Keluarga berencana (KB) berarti pasangan suami istri yang telah

mempunyai perencanaan yang kongkrit mengenai kapan anaknya

diharapkan lahir agar setiap anaknya lahir disambut dengan rasa gembira

dan syukur dan merencanakan berapa anak yang dicita-citakan, yang

disesuaikan dengan kamampuannya dan situasi kondisi masyarakat dan


32

negara-negaranya. Dalam Al-qur’an banyak sekali ayat yang memberikan

petunjuk yang perlu kita laksanakan dalam kaitannya dengan KB di

antaranya

        

     


Terjemahannya :

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang


seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (Qs. An-
Nisaa’ / 4 : 9)

Dampak program KB terhadap pencegahan:

(1) Untuk ibu, dengan jalan mengatur jumlah anak dan jarak kelahiran anak

maka manfaatnya:

(a) Perbaikan kesehatan badan karena tercegahnya kehamilan yang berulang kali

dalam jangka waktu yang terlalu pendek,

(b) Peningkatan kesehatan mental dan sosial yang dimungkinkan oleh adanya

waktu yang cukup untuk mangasuh anak, beristirahat dan menikmati waktu

luang serta melakukan kegiatan lainnya.

(2) Untuk anak-anak yang dilahirkan manfaatnya:

(a) Anak dapat tumbuh secara wajar karena ibu yang mengandungnya dalam

keadaan sehat.

(b) Sesudah lahir, anak mendapat perhatian,pemeliharaan dan makanan yang

cukup karena kehadiran anak tersebut memang diinginkan dan direncanakan.


33

(3) Untuk anak-anak yang lain, mafaatnya:

(a) Memberi kesempatan kepada anak agar perkembangan fisiknya lebih baik

karena setiap anak memperoleh makanan yang cukup dari sumber yang

tersedia dalam keluarga.

(b) Perkembangan mental dan sosialnya lebih sempurna karena pemeliharaan

yang lebih baik banyak waktu yang dapat diberikan oleh ibu untuk setiap

anak.

(c) Perencanaan kesempatan pendidikan yang lebih baik karena sumber-sumber

pendapatan keluarga tidak habis untuk mempertahankan hidup semata-mata.

(4) Untuk ayah, memberikan kesempatan kepadanya agar dapat:

(a) Memperbaiki kesehatan fisiknya

(b) Memperbaiki kesehatan mental dan sosial karena kecemasan berkurang serta

lebih banyak waktu untuk terluang untuk keluarganya.

(5) Untuk seluruh keluarga, manfaatnya:

Kesehatan fisik,mental dan sosial setiap anggota keluarga tergantung dari

kesehatan seluruh keluarga. Setiap anggota keluarga mempunyai

kesempatan yang lebih banyak untuk memperoleh pendidikan. (Erna &

zulfa, 2014: 180)

Menurut pandangan ulama tentang KB

1. Ulama yang memperbolehkan adalah imam al Ghazali, syaikh al- hariri,

syaikh syalthut. Ulama yang memperbolehkan ini berpendapat bahwa

diperbolehkan mengikuti program KB dengan ketentuan antara lain, untuk

menjaga kesehatan ibu, menghindari kesulitan ibu, untuk menjarangkan anak.


34

Mereka juga berpendapat bahwa perencanaan keluarga itu berlaku ketika janin

mencapai tahap ketujuh dari penciptaan. Mereka mendasarkan pendapatnya

pada surat al- mu’ minun ayat 12-14

               

         

           

terjemahanya
12. Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari
suatu saripati (berasal) dari tanah.
13. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
14. Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu
segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami
jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah
Allah, Pencipta yang paling baik.

2. Ulama yang melarang

Selain ulama yang memperbolehkan ada para ulama yang melarang di

antaranya prof. Dr. Madkour, abu a’la. Mereka melarang mengikuti KB

karena perbuatan itu termasuk membunuh keturunan.

B. Kerangka Teori

Disini saya akan membahas tentang peran suami dalam mengatur

jarak kehamilan karena suami adalah seorang yang mempunyai

peranan penting dalam keluarga termasuk mengatur jarak kehamilan.

Sebelum mengetahui tentang jarak kehamilan yang ideal bagi ibu dan
35

anak, manfaat, resiko, fase-fase maupun efek kehamilan yang terlalu

dekat, terlebih dahulu saya membahas sedikit tentang kehamilan dan

menjelaskan tentang peran suami dalam mengatur jarak kehamilan.

Kehamilan

Jarpengaturan jarak
Jarak kehamilan kehamilan

Peran suami

A. jarak kehamilan yang ideal bagi


ibu dan anak :
1. Pemulihan persalinan bagi
kesehatan ibu
2. Mejaga kesehatan bayi
3. Meghindari resiko nutritional
defisiensi
B. Manfaat dalam menjaga hubungan
antara ibu dan anak
C. Resiko dalam menentukan jarak
kehamilan
D. Fase-fase dalam mengatur jarak
kehamilan
E. Efek kehamilan terlalu dekat pada
anak
F. Jarak kehamilan bisa diatur dengan
memilih alat kontrasepsi
36

C. Kerangka konsep

Pengaturan jarak
Suami
kehamilan

Pekerjaan Peran suami

Pendidikan

Jarak kehamilan

Ket:

: Variabel indipenden

: Variabel dependen
37

D. Defenisi Operasional

1. Peran

Peran responden adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada

seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal

maupun informal.

Kriteria objektif

Dukungan : bila responden memberikan dukungan untuk mengatur jarak

kehamilan di beri skor ≥ 50% dari skor penilaian.

Tidak memberi dukungan: bila responden tidak memberikan dukungan

untuk mengatur jarak kehamilan di beri ≤ 50% dari skor dari skor

penilaian.

2. Pekerjaan

Pekerjaan responden adalah jenis pekerjaan yang dimiliki responden yang

dapat memberikan penghasilan.

Kriteria objektif

Bekerja : bila pekerjaan responden adalah PNS,wiraswasta dan sejenisnya

yang dapat memberikan penghasilan.

Tidak bekerja : bila pekerjaan responden hanya sebagai pegangguran.

3. Jarak kehamilan

Jarak kehamilan adalah peentuan jarak kehamilan dari kehamilan

sebelumnya dan kehamilan yang sekarang.


38

Kriteria objektif :

Mengatur jarak kehamilan: bila responden megatur jarak kehamilan, maka

jarak yang ideal adalah ≥ 2 tahun dari kehamilan sebelumnya.

Tidak mengatur jarak kehamilan : bila responden tidak mengatur jarak

kehamilan, maka jarak yang didapatkan < 2 tahun dari jarak kehamila

sebelumnya.

4. Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang pada orang lain

terhadap sesuatu hal agar mereka dapat memahami.

Kriteria objektif:

Pendidikan tinggi: bila responden memiliki pendidikan tinggi seperti S1

sampai S3, maka

Pendidikan sedang: bila responden memiliki pendidikan sedang seperti

SMA, dan SMP

Pendidikan rendah: bila responden memiliki pendidika rendah seperti SD


39

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis penelitian

Penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan untuk memperoleh

gambaran peran suami dalam mengatur jarak kehamilan di Puskesmas Samata.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian diadakan di Puskesmas Samata

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan pada minggu ke III maret

sampai bulan mei.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek

yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.

Populasi dalam penelitian ini adalah ibu hamil dengan GII berdasarka

jumlah populasi.
40

2. Sampel

Sampel adalah keseluruhan objek yang diteliti atau dianggap mewakili

seluruh populasi (Notoatmodjo,2005). Sampel dari penelitian ini adalah

suami yang mengantar istrinya untuk memeriksakan kehamilan.

c. Teknik pengambilan sampel

Sampel dalam penelitin adalah suami yang mengantar istrinya

untuk memeriksakan kehamilan di puskesmas samata , yang memenuhi

Kriteria inklusi dan eksklusi yaitu:

1) Kriteria Inklusi Adalah Karakteristik umum subyek penelitian dalam

populasi terjangkau (Notoatmodjo, 2012). Kriteria dalam penetian ini yaitu

suami yang mengantar istrinya untuk memeriksakan kehamilan di

puskesmas samata

2) Kriteria ekslusi adalah sebagian subjek yang memenuhi criteria inklusi

tetapi harus dikeluarkan berdasarkan suatu hal (Notoatmodjo, 2012).

Kriteria ekslusi dalam penelitian ini yaitu:

Suami yang mengantarkan istrinya memeriksakan kehamilan dengan

kehamilan GII.

Berdasarkan pengamatan dan catatan rekan medis dipuskesmas samata bulan

januari-februari 2015 tercatat 206 ibu hamil yang tercatat sebagai kehamilan ≥

GII sebanyak 146 ibu hamil, dan kehamilan GII sebanyak 62, n = 62. Dengan

jumlah popolasi sebanyak 62 yang di hitung dengan menggunakan rumus

Slovin sebagai berikut:

n= N
41

1+N(d²)

n= 62

1+62(0,0025)

n= 62

1+0,155

n= 62

1,155

n = 53,6796

Keterangan :

N : Besar sampel

d : Tingkat Kepercayaan

n : Besar Sampel

d : 0,05(d²= 0,0025)

Berdasarkan pengamatan dan catatan rekan medik maka dipuskesmas

samata didapatkan n= 54, ibu hamil dengan GII, maka diambil sampel

sebanyak 54 ibu hamil dengan GII. Tekhnik Pengambilan sampel adalah

purposive sampling.

D. Pengumpulan Data

1. Tahap persiapan

a. Melakukan survey pendahuluan untuk mengetahui karakteristik lokasi

penelitian

b. Melakukan pengambilan data awal


42

c. Mengidentifikasi populasi dan sampel

2. Tahap pelaksanaan

a. Mengajukan surat permohonan untuk melakukan pengambilan data awal

b. Mengambil data awal dari bagian rekan medik

c. Pengambilan sampel dari jumlah populasi sesuai dengan kriteria inklusi dan

ekslusi.

3. Tahap akhir

Data yang terkumpul selanjutnya dilakukan pengolaan dan

selanjutnya dilakukan analisa data kemudian dirumuskan kesimpulan.


43

E. Alur Penelitian

Penentuan sampel berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi

Suami yang mengantar istri untuk memeriksakan kehamilan


(Tetapkan kehamilan GII)

Ibu hamil dengan GII

(Tetapkan jarak kehamilan ≥ 2 tahun / < 2 tahun)

Analisis data
Persetujuan responden

Pengisian kuisioner

Analisis Data
44

F. Metode pegumpulan data

1. Jenis dan sumber data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekuder dan primer

a. Data sekunder adalah dari catatan rekan medik meliputi nama,jenis kelamin,

kehamilan, dan jarak kehamilan.

b. Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti sendiri yang diukur

secara langsung pada responden. Dalam penelitian ini digunakan data primer

dari hasil pengisian kuisioner yang berisi tentang peran suami dalam mengatur

jarak kehamilan.

2. Instrumen pengumpulan data

Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kuesioner untuk melihat peran suami dalam mengatur jarak kehamilan.

kuesioner adalah suatu pengumpulan data dengan memberikan atau

menyebarkan tanggapan atau jawaban atas pertanyaan tersebut

(Notoatmodjo, 2005)

Kuesioner yang digunakan meliputi:

1) Unsur identitas responden antara lain:

a) Nama responden

b) Umur responden

c) Pendidikan responden

d) Pekerjaan responden

e) Jumlah anak responden

f) Alamat responden
45

2) Unsur daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 pertanyaan tentang peran suami

dalam mengatur jarak kehamilan

G. Pengolaan Data Analisa data

1. Pengolahan data

a. Editing

Kegiatan ini meneliti apakah kuesioner sudah legkap. Editing

dilakukan ditempat pengumpulan data sehingga apabila ada kekurangan dapat

segera dilengkapi seperti mengecek nama dan kelengkapan identitas

responden, memelihara kembali isi instrumen, pengumpulan data dan

mengecek isi data.

b. Koding

Koding merupakan kegiatan pemberian kode angka terhadap data

yang terdiri atas menggunakan komputer.

c. Tabulasi

Data yang diperoleh kemudian dikelompokkan dan diproses dengan

menggunakan table tertentu menurut sifat dan kategorinya

d. Entering

Entering adalah kegiatan memasukkan data yang telah dilakukan ke

dalam komputer.
46

2. Analisa data

a. Analisa univariat

P= x 100%

Keterangan :

P : presentase

f : frekuensi hasil pencapaian

N : jumlah seluruh sampel


47

DAFTAR PUSTAKA

Al – Qur’an & Terjemahannya. Departemen Agama RI. Bandung : CV Penerbit J-


ART. 2005.

Agus, dkk. Promosi Kesehatan “Sebuah Pengantar Proses Belajar Mengajar


dalam Pendidikan”. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.

Agus, Priyanto. Komunikasi Dan Konseling. Jakarta, Salemba Medika, 2009

Alfarisi, Ihza. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penggunaan Tubektomi Di Desa


Noreh Kecamatan Sreseh Kabupaten Sampang. Skripsi. Jurusan Hukum
Islam Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, 2014

Anshor, Maria Ulfah & Ghalib, Abdullah. PARENTING WITH LOVE Panduan
Islam Mendidik Anak Penuh Cinta Dan Kasih Sayang. Bandung : Penerbit
Mizania, 2010

Baity, Nur. Berdasarkan Al-Qur’an Dan As-Sunnah Keajaiban Shalat Untuk


Kesehatan & Janin. Jakarta : Sealova Media, 2015

Bangun, Kristina. Peran Suami Istri Dalam Pengambilan Keputusan Berkeluarga


Berencana Terhadap Metode Kontrasepsi Yang Digunakan Di Desa
Perumnas Simalingkar Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang
Tahun 2013. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara, 2013.

BKKBN. Program Keluarga Berencana Nasional, 2000

BKKBN & UNFPA Indonesia. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012
: Modul Pria. Jakarta : BKKBN & UNFPA Indonesia. 2014.

Cholil, A. Kiat Menata Keluarga. Jakarta : PT. Elekmedia Komptindo

Ekarini, Sri. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Partisipasi Pria Dalam


Keluarga Berencana Di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali. Semarang :
Program Pascasarjana FKM UNDIP. 2008.

Everrett Suzanne. Kontrasepsi & Kesehatan Seksual Reproduktif. EGC,2004

U. Pedit brahm. Ragam Metode Kontrasepsi. EGC,2002


48

Hamdani Muhammad. Pendidikan Agama Islam “ Islam dan Kebidanan “


Jakarta: Trans Info Media, 2012

Handoko Riwidikdo. (2010). Statistik untuk Penelitian Kesehatan dengan Aplikasi


Program R dan SPSS. Yogyakarta: Pustaka Rihama

Hasian, Maretha. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepesertaan Pria Dalam


Program Keluarga Berencana Di Wilayah Kerja Puskemas Sei Jang
Tanjungpinang Tahun 2012. Skripsi. Depok : Fakultas Kesehatan
Masyarakat UI, 2012.

Hartanto, hanafi. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta, Pustaka oleh


Pustaka Sinar Harapan, Anggota Ikapi Jakarta, 2004

Hanafi. Fiqih Pengobatan Islam. Darul Wathon Lin Nasyr, 2006.

Ilyas, Yunahar. Kepemimpinan Dalam Keluarga : Pendekatan Tafsir. Jurnal


Kajian Islam Al-Insan No.3 Vol. 2, 2006.

Maharyani, Hesti Wahyu & Handayani, Sri. Hubungan Karakteristik Suami


Dengan Keikutsertaan Suami Menjadi Akseptor Keluarga Berencana Di
Wilayah Desa Karangduwur Kecamatan Petanahan Kabupaten Kebumen
Jawa Tengah. Jurnal Kesmas UAD Vol. 4 No.1 September 2010

Marpaung, Linda Friskawati. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan


Pengambilan Keputusan Untuk Ber-KB Pada Pasangan Usia Subur (PUS)
Di Kelu Rahan Harjo Sari. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara, 2005.

Notoatmodjo, Soekidjo. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka


Cipta, 2007.

Notoatmodjo. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2005

Padila. Keperawatan Maternitas. Yogyakarta Nuha Medika, 2014

Prawirohardjo Sarwono. Ilmu Kandungan. Jakarta, PT. Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo, 2011

Prawirohardjo Sarwono. Ilmu Kebidanan. Jakarta, PT. Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo, 2009

Rahma andi sitti. Fisiologi Laktasi. Alauddin University Press,2012


49

Setiyaningrum erna & Zulfa binti aziz. Pelayanan Keluarga Berencana &
Kesehatan Reproduksi. CV. Trans Info Media,2014.

Shahjahan., et al. Determinants Of Male Participation In Reproductive


Healthcare Services: A Cross-Sectional Study. Reproductive Health
10:27, 2013

Sidabutar, Rasmina Anggi Permata Sari. Peran Suami Menurut Istri dalam
Pemakaian Alat Kontrasepsi di Rumah Sakit Umum Sundari Medan Tahun
2010. Program DIV Bidak Pendidik Univesitas Sumater Utara, 2008.

Siregar, Yanti Rahmi. Faktor Yang Mendasari Penetuan Jarak Kehamilan Pada
Usia Subur (PUS) Di RB. Mahdarina, Padang Bulan Tahun 2008. Karya
Tulis Ilmiah (KTI). Program DIV Bidak Pendidik Univesitas Sumater
Utara, 2008.

Sukiran,dkk. Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi. Pustaka


Pelajar,2010

Sulastri, Sri & Nirmasari, Chichik. Hubungan Dukungan Suami Dengan Minat
Ibu Dalam Pemakaian Kontrasepsi IUD Di Bergas. Jurnal Unimus, 2014.

Sunaryo dan Zuriah, Pola Pengambilan Keputusan dalam Keluarga Wanita


Karier di kota Malang. Laporan Penelitian. Pusat Studi Wanita dan
Kemasyarakatan Lembaga Penelitian. Universitas Muhamadiyah Malang,
2004.

Suratum, dkk. Pelayanan Keluarga Berencana & Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta,


Trans Info Media, 2013

Susan. Pelayanan Keluarga Berencana. Jakarta, Pustaka Pelajar, 2006

Susuilowati, Pipit, dkk. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Suami Dalam


Memilih Alat Kontrasepsi. Skripsi. Depok : Fakultas Ilmu Keperawatan
UI, 2010

Syuaib, Miswani, Mukani. Pelayanan Keluarga Berencana. Makassar, Alauddin


Universitas Press, 2011

Umar,Nasaruddin.dkk. Akhlak Perempuan (Membangun Budaya Ramah


Perempuan). Jakarta : Restu Ilahi, 2006.

Wiludjeng, dkk. Dampak Pembakuan Peran Gender Terhadap Perempuan Kelas


Bawah di Jakarta. Jakarta : LBH-APIK, 2005.
50

Wulandari, Sri, dkk. Hubungan Faktor Sosialbudaya Dengan Keikutsertaan Kb


Iud Di Puskesmas Mergangsan Kota Yogyakarta Tahun 2013. Prodi Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana, Universitas Respati
Indonesia, 2013

Yanti. Kesehatan Reproduksi. Jakarta, CV. Trans Info Media, 2007.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Karakteristik Responden

Responden pada penelitian ini adalah 54 orang suami yang mengantar

istrinya untuk memeriksakan kehamilan di Puskesmas Samata. Karakteristik


responden dalam penelitian ini tersiri atas pendidikan, pekerjaan, jumlah

anak.
a. Pendidikan
Tabel 4.1
Distribusi responden berdasarkan pendidikan di Puskesmas Samata pada

Bulan April 2015

Tingkat jumlah
pendidikan (f) persentase (%)
Rendah 8 14.81
Tinggi 46 85.19
Total 54 100.00
n = 54

Sumber : Data Primer, 2015


Berdasatkan Table 4.1 diatas menunjukkan bahwa distribusi

responden berdasarkan pendidikan dikategorikan menjadi 2 yakni kategori

rendah dimulai dari SD sampai SMP dan kategori tinggi dimulai dari SMA

sampai S3. Mayoritas responden memiliki pendidikan terakhir dalam

kategori tinggi yaitu sebanyak 46 orang (85,19%) dan pendidikan terakhir

dalam kategori rendah yaitu sebanyak 8 orang (14,81%).

47
48

b. Pekerjaan
Tabel 4.2
Distribusi responden berdasarkan pekerjaan di Puskesmas samata pada

Bulan april 2015

jumlah
Jenis pendidikan (f) persentase(%)
Buruh 5 9.26
PNS 11 20.37
Wiraswasta 38 70.37
Total 54 100.00
n= 54

Sumber : Data Primer, 2015

Berdasatkan Table 4.2 diatas menunjukkan bahwa distribusi

responden berdasarkan pekerjaan dikategorikan menjadi 4 yakni kategori

buruh, PNS, Wiraswasta dan tidak bekerja. Mayoritas responden bekerja

sebagai wiraswasta yaitu sebanyak 38 orang (70,37%), PNS sebanyak 11

orang (20,37%), buruh sebanyak 5 orang (9,26%) dan tidak ada responden

yang tidak bekerja.

c. Jumlah Anak

Tabel 4.3
Distribusi responden berdasarkan jumlah anak di Puskesmas samata pada

Bulan april 2015

Jumlah anak Jumlah (f) persentase (%)


≤ 2 orang 34 62.96
≥ 2 orang 20 37.04
total 54 100.00

n=54

Sumber : Data Primer, 2015


49

Berdasatkan Table 4.3 diatas menunjukkan bahwa karakteristik

responden berdasarkan jumlah anak dikategorikan menjadi dua kategori

jumlah anak ≤ 2 orang dan > 2 orang. Mayoritas responden memiliki

jumlah anak ≤ 2 orang sebanyak 34 orang (62,96%) dan responden yang

memiliki < 2 orang anak sebanyak 20 orang (37,04%).

2. Analisi Univariat

a. Peran Suami
Jarak kehamilan dideskripsikan menggunakan nilai skoring dan

digolongkan menjadi 2 kategori mendukung dan tidak mendukung dalam


mengatur jarak kehamilan. Jarak kehamilan istri responden. Peran suami

disajikan dalam Tabel 4.4 berikut ini.

Tabel 4.4
Distribusi frekuensi peran suami dalam mengatur jarak kehamilan istri
berdasarkan pekerjaan di puskesmas samata pada
April 2015

Jumlah
Peran suami (f) persentase (%)
Mendukung 42 77.78
Tidak
mendukung 12 22.22
Total 54 100.00

(n=54)
Sumber : Data Primer, 2015

Berdasarkan Tabel 4.5 diatas menunjukkan bahwa mayoritas

responden mendukung dalam mengatur jarak kehamilan istri yaitu sebanyak

42 orang (77,78%) dan sebanyak 12 orang responden (22,22%) tidak


50

mendukung dalam mengatur jarak kehamilan istri. Berdasarkan tabel diatas

dapat ditarik kesimpulan bahwa peran suami dalam mengatur jarak kehamilan

memiliki dukungan lebih tinggi sebanyak 42 orang (77,78%) dari 54

responden.

b. Peran Suami Berdasarkan Pekerjaan

Tabel 4.5
Distribusi frekuensi peran suami dalam mengatur jarak kehamilan istri
berdasarkan pekerjaan di Puskesmas Samata pada
April 2015 (n=54)
Peran suami
Tidak
Mendukung mendukung Total
Jenis pekerjaan N % n % n %
Buruh 0 0 5 9.26 5 9.26
PNs 11 20.37 0 0 11 20.37
Wiraswasta 31 57.41 7 12.96 38 70.37
Total 42 77.78 12 22.22 54 100.00
(n=54)
Sumber : Data Primer, 2015

Berdasarkan Tabel 4.6 menunjukkan bahwa responden yang bekerja


sebagai buruh yang tidak mendukung dalam mengatur jarak kehamilan

istri sebanyak 5 orang (9,26%). Responden yang bekerja sebagai PNS

sebanyak 11 orang, seluruhnya memiliki peran yang mendukung dalam

mengatur jarak kehamilan istri (20,37%). Responden yang bekerja sebagai

wiraswasta sebanyak 38 orang, terdapat sebanyak 31 orang (70,37%) yang

memiliki peran dalam mendukung jarak kehamilan istri dan sebanyak 7

orang (13%) yang tidak mendukung dalam mengatur jarak kehamilan istri.

Berdasarkan data diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa mayoritas suami

yang memiliki pekerjaan sebagai wiraswasta lebih tinggi sebanyak 38


51

orang (70,37%) mempunyai peran dalam mendukung jarak kehamilan

istrinya.

c. Peran Suami Berdasarkan Pendidikan

Tabel 4.7
Distribusi frekuensi peran suami dalam mengatur jarak kehamilan
berdasarkan pendidikan di Puskesmas Samata pada
April 2015

Peran Suami
Tingkat Mendukung tidak mendukung
pendidikan N % n % n %
Rendah 1 1.85 7 12.96 8 9.26
Tinggi 41 75.93 5 9.26 46 20.37
Total 42 77.78 12 22.22 54 100.00
n= 54

Sumber : Data Primer, 2015

Berdasarkan Tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 8 responden yang

memiliki pendidikan terakhir dalam kategori rendah, terdapat sebanyak 1

orang (1,85%) yang memiliki peran yang mendukung dalam mengatur jarak
kehamilan istri dan sebanyak 7 orang (12,96%) yang tidak mendukung dalam

mengatur jarak kehamilan istri. Responden yang memiliki pendidikan terakhir

dalam kategori tinggi sebanyak 46 orang, terdapat sebanyak 41 orang

(75,93%) yang memiliki peran yang mendukung dalam mengatur jarak

kehamilan istri dan sebanyak 5 orang (9,26%) yang tidak mendukung dalam

mengatur jarak kehamilan istri. Berdasarkan tabel diatas dapat ditarik

kesimpulan bahwa mayoritas suami yang memiliki mayoritas pendidikan lebih


52

tinggi sebanyak 46 orang (20.37%) mempunyai peran dalam mendukung jarak

kehamilan istrinya.

d. Peran Suami Berdasarkan Jumlah Anak

Tabel 4.8
Distribusi frekuensi peran suami dalam mengatur jarak kehamilan
berdasarkan jumlah anak di Puskesmas Samata pada
April 2015
Peran suami
Tidak
Mendukung mendukung Total
Jumlah anak n % n % n %
≤ 2 orang 28 51.85 6 11.11 34 62.96
≥ 2 orang 14 7.56 6 11.11 20 37.04
Total 42 77.78 12 22.22 54 100
(n=54)
Sumber : Data Primer, 2015

Berdasarkan Tabel 4.8 menunjukkan bahwa dari 34 responden yang

memiliki jumlah anak ≤ 2 orang, terdapat sebanyak 28 responden (51,85%)

yang memiliki peran yang mendukung dalam mengatur jarak kehamilan istri

sedangkan yang tidak mendukung terdapat sebanyak 6 orang (11,11%).


Responden yang memiliki jumlah anak ≥ 2 orang terdapat sebanyak 20 orang,

dari 20 jumlah responden terdapat 14 orang (7,56%) yang memiliki peran

mendukung dalam mengatur jarak kehamilan istri dan terdapat 6 orang

(11,11%) yang tidak mendukung dalam mengatur jarak kehamilan istri.

Berdasarkan tabel diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dari 34 mayoritas

responden yang memiliki jumlah anak ≤ 2 orang, terdapat sebanyak 28 orang

(51,85%) yang memiliki peran dan mendukung dalam mengatur jarak

kehamilan istri.
53

B. Pembahasan

1. Peran Suami dalam Mengatur Jarak Kehamilan Istri

Berdasarkan hasil penelitian diketahui mayoritas responden

mendukung dalam mengatur jarak kehamilan istri. Jumlah tersebut 3 kali lebih

besar dibanding dengan jumlah responden yang tidak mendukung dalam

mengatur jarak kehamilan istri.

Hal yang sama diungkapakan dalam penelitian yang dilakukan


Mudrikatin (2015) di BPM Desa Jabon Kabupaten Jombang yang

menunjukkan bahwa mayotitas responden (67,5% dari 40 orang responden)


berperan dalam menyarankan untuk pemakaian alat kontrasepsi.

Hal yang berbeda diungkapkan dalam penelitian yang dilakukan oleh

Riasmoko (2011) di wilayah kerja Puskesmas Kartasura Kabupaten Sukoharjo

dimana sebanyak 55% dari total responden yang memiliki dukungan yang

rendah terhadap kepesertaan istri dalam Program KB.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Sulastri & Nirmasari dengan judul “Hubungan Dukungan Suami Dengan


Minat Ibu Dalam Pemakaian Kontrasepsi IUD di Bergas” menunjukkan

bahwa persentase jumlah suami yang mendukung dalam pemakaian

kontrasepsi lebih tinggi yaity 50,6% dibandingkan yang tidak memberikan

dukungan yaitu 49,4%.

Penelitian yang dilakukan oleh Fridalni & Kurniawan (2012) di

wilayah kerja Puskesmas Kuranji Padang menunjukkan bahwa sebanyak

60,6% dari 66 responden memiliki dukungan yang rendah tentang KB dimana

54,54% responden tidak mendukung istri untuk ber-KB.


54

Peranan laki-laki (suami) secara langsung maupun tidak langsung juga

sangat penting, karena biasanya suami yang paling lebih dominan dalam

pengambilan keputusan dalam keluarga, termasuk untuk menentukan apakah

istrinya boleh KB atau tidak. Tidak dilibatkannya pada suami sebagai salah

satu pihak berkepentingan dengan kesehatan reproduksi, justru membuat

mereka miskin informasi, yang pada gilirannya merintangi pemenuhan hak

reproduksi wanita.. Oleh karena itu peran suami dalam KB sangat dibutuhkan
(BKKBN, 2014 dalam Mudrikatun, 2015).

Umar (2006) menyatakan bahwa budaya patriakhi masih tetap


diadopsi masyarakat, dimana laki-laki dianggap sebagai figur utama dan

perempuan dianggap sebagai figur kedua. Sama halnya di Kecamatan Samata

yang masyarakatnya masih menganggap laki-laki sebagai yang bertanggung

jawab mengambil keputusan dalam keluarga. Dari satu segi, hak asasi

perempuan selalu jadi bahan pembicaraan di kalangan masyarakat tetapi pada

saat bersamaan akar patriakhi semakin kuat melekat pada masyarakat. Umar

(2006) juga menambahkan bahwa ada kecenderungan balik yang membuat


adanya pembatasan-pembatasan yang ditujukan kepada perempuan dengan

alasan agama, setelah sebelumnya kaum perempuan menikmati kemerdekaan.

Dalam hal ini masyarakat Kecamatan Samata yang didominasi agama Islam

baranggapan bahwa sebagai istri yang baik keputusan suami yang harus

dipatuhi dalam keluarga.

Di dalam perkawinan suami istri saling terlibat dalam persoalan yang

menyangkut rumah tangga mereka seperti penganbilan keputusan.

Pengambilan keputusan itu bisa berupa peraturan yang ada dalam rumah
55

tangga, pendidikan, pemanfaatan pendapatan, penyaluran aspirasi termasuk

keputusan dalam berkeluarga berencana. Dalam pengambilan keputusan

seharusnya dengan musyawarah suami dan istri secara setara untuk persoalan-

persoalan penting dan skala besar bagi ukuran sebuah keluarga (Sunaryo dan

Zuriah, 2004).

Pengambilan keputusan publik tetap di dominasi oleh laki-laki karena

mereka merasa mempunyai tugas sebagai kepala keluarga dan bertanggung


jawab memberi nafkah pada keluarga sehingga sesuatu hal yang berkaitan

dengan penggunaan pendapatan tetap diputuskan oleh laki-laki misalnya


kepemilikan rumah (Wiludjeng, 2005). Hal ini didukung oleh UU Perkawinan

pasal 31 (3) menetapkan bahwa peran suami adalah sebagai kepala keluarga

dan istri sebagai ibu rumah tangga. Suami wajib melindungi istrinya, dan

memberi segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan

kemampuannya (pasal 34(1)).Sedangkan kewajiban istri adalah mengatur

urusan rumah tangga sebaik-baiknya (pasal 34(2)). Dengan rumusan

pembagian peran demikian, peran perempuan yang resmi adalah peran


domestiknya dan mengakibatkan rendahnya pengambilan keputusan yang

sifatnya domestik dan reproduktif, sedangkan suami berperan pada

pengambilan keputusan dalam rumah tangga yang bersifat publik.

Meskipun demikian, istri tidak sepenuhnya memiliki keterlibatan pada

pengambilan keputusan terkait hal-hal reproduksi sebagaimana kasus, sering

terjadinya istri melakukan aborsi karena diminta oleh suami. Hal ini

menunjukkan bahwa hak-hak reproduksi perempuan masih dibawah kendali

suami (Muchlis, 2004 dalam Marpaung, 2015). Hal ini sesuai dengan yang
56

diungkapkan Palestin (2006 dalam Marpaung, 2015) suami memainkan

peranan yang sangat penting, terutama pada pengambilan keputusan

berkenaan dengan reproduksi pasangannya termasuk dalam keputusan ber-

KB.

Para ulama umumnya berpendapat bahwa suami yang bertindak

menjadi pemimpin. Dalil yang mereka kemukakan adalah Surat An-Nisa’ ayat

34 :

            
            

          

       

Terjemahnya :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah
yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak
ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-
cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar.”(QS. An-Nisa/4:34
Dalam ayat di atas dinyatakan secara eksplisit bahwa laki-laki adalah

pemimpin perempuan. Menurut penafsiran oleh Muhammad Abduh’ bahwa

tugas pemimpin hanyalah mengarahkan, bukan memaksa, sehingga yang

dipimpin tetap bertindak berdasarkan kehendak dan pilihannya sendiri, bukan

dalam keadaan terpaksa (Ilyas, 2006).


57

Suami adalah kepala rumah tangga. Karena itu, tuntutan kepada istri

agar mentaati suaminya merupakan suatu hal yang alami berdasarkan

kedudukan suami sebagai pemegang kendali rumah tangga, penanggung-

jawabnya, serta penopang tiang ekonomi keluarga. Kewajiban istri untuk

mentaati suami hanya berkisar pada masalah kebaikan, kemaslahatan, dan

perkara yang berada dalam batasan rel agama. Akan tetapi, jika suami

memerintahkan istri untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan


agama dan keluar dari batasan kebaikan, maka istri berhak untuk menolak

perintah suaminya (Ilyas, 2006).


Meskipun memiliki anak merupakan hak kedua orang tua baik ibu

maupun bapak, bukan berarti seorang ayah sebagai pemimpin dalam rumah

tangga boleh memaksakan kehendaknya dalam menentukan jumlah anak dan

mengatur jarak antar anak, karena Islam sangat menekankan pentingya

musyawarah dalam segala urusan, apalagi dalam hal yang sangat penting dan

beresiko bagi salah satu pihak (Baity, 2015). Dalam hal ini Allah SWT

berfirman:

   

Terjemahnya :
““...Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan
itu...(QS:Ali Imran/3:159)
Demikian pula dalam Surat At-Taubah ayat 71 :
58

         

         

       

Terjemahnya :
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.
Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma´ruf, mencegah dari yang
munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada
Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (QS. At-
Taubah/9:71).
Dalam ayat di atas jelasalah bahwa muyawarah bukan hanya menjadi

dasar hubungan antara seorang pemimpin dan rakyat yang dipimpin saja,

tetapi hal itu merupakan juga nilai dasar bagi setiap bagian masyarakat,

termasuk antara suami dan istrinya dalam pengelolaan rumah tangga mereka

(Bagir, 2008).

Allah berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 233 :

               
   

Terjemahnya :
“Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan
kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas
keduanya” (QS. Al-Baqarah/2: 233)

Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami-istri

saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan masalah rumah tangga dan

hal yang berkaitan dengan anak-anak. Al-Quran memberi petunjuk agar


59

persoalan itu dan juga persoalan-persoalan lainnya dimusyawarahkan dengan

baik antara suami-istri.

Oleh karena itu perlu adanya perubahan perilaku dan motivasi dari

suami, dimana awalnya hanya menyetujui atas keputusan istrinya untuk

memilih alat kontrasepsi menjadi menganjurkan, mendukung dan memberikan

kebebasan pasangannya (istri) untuk menggunakan kontrasepsi. Keadaan yang

paling ideal adalah bahwa istri dan suami harus bersama-sama memilih
metode kontrasepsi terbaik, saling kerja sama dalam pemakaian kontrasepsi,

membiayai pengeluaran untuk kontrasepsi, memperhatikan tanda-tanda


bahaya pemakaian kontrasepsi (Hartanto Hanafi, 2004). Sedangkan

pelaksanaan KB hendaknya menggunakan cara kontrasepsi yang tidak

dipaksakan, tidak bertentangan dengan hokum syariat Islam dan disepakati

oleh suami istri (Departemen Agama RI, 2002).

Penelitian yang dilaksanakan di Kelurahan Sekaran Kecamatan

Gunung Pati Kabupaten Semarang diungkapkan bahwa dari 95 suami hanya

ada 31,6% yang memberikan dukungan kepada istri dalam pemilihan alat
kontrasepsi (Isti, 2007). Dukungan dan perhatian suami terhadap istri yang

sedang mengikuti Program KB sangat besar pengaruhnya untuk membentuk

keluarga kecil yang berkualitas, karena dalam hal ini suami sebagai kepala

keluarga memegang peranan penting dalam pengambil keputusan di sebuah

keluarga termasuk keputusan memberikan izin dan memberikan perhatian

kepada istri dalam mengikuti program KB (Isti, 2007). Dampak negatif bila

suami tidak mendukung keluarga berencana dan kesehatan reproduksi wanita

yaitu bisa menyebabkan terjadinya ketimpangan antara peran wanita dan pria
60

dalam bidang keluarga berencana. Selain itu perempuan juga cenderung

dijadikan sasaran dalam masalah kesehatan reproduksi. Sikap peduli terhadap

masalah kesehatan reproduksi perempuan selama masa kehamilan, persalinan,

dan pasca persalinan tidak menjadi tanggung jawab perempuan saja,

melainkan menjadi tanggung jawab bersama antara pria dan wanita dalam

membina keluarga sejahtera (Aman, dkk, 2004).

Peran aktif pria dalam ber-KB bisa berupa peran aktif secara langsung
dan peran aktif secara tidak langsung. Peran aktif secara langsung yaitu

sebagai peserta KB dengan menggunakan alat kontrasepsi, dan peran aktif


secara tidak langsung, yaitu mencari dan meningkatkan pemahaman tentang

KB, mendukung istri dalam ber-KB, sebagai motivator/promotor bagi

keluarga atau masyarakat di sekitarnya dan turut serta dalam merencanakan

jumlah anak (Budisantoso, 2008). Peran suami dalam KB secara tidak

langsung dengan menyarankan, mendukung dan memberikan kebebasan

kepada istrinya untuk menggunakan kontrasepsi sebagai upaya merencanakan:

1) Jumlah anak yang dikehendaki bersama, 2) Waktu mulai


kehamilan/kelahiran anak terakhir, 3) Jarak kehamilan/kelahiran anak

terakhir, 4) Waktu mengakhiri kehamilan/kelahiran anak terakhir, 5)

Pengasuhan anak yang telah dimiliki bersama, 6) Peningkatan kesehatan

keluarganya (Mudrikatin, 2015).

Saat ini perlunya peran aktif pria/suami secara tidak langsung harus

lebih ditekankan lagi, yaitu dengan cara suami mendukung istri yang sedang

mengikuti Program KB, karena peran aktif dan perhatian suami kepada istri

yang sedang mengikuti Program KB sangat berpengaruh terhadap


61

keberhasilan Program KB (BKKBN, 2003). Adapun konsep peran suami

didasarkan dalam program KB yaitu peran suami sebagai motivator, fasiliator

dan edukator (Suhita, 2005 dalam Fauzan 2013).

Peran suami sebagai motivator merupakan hal yang sangat penting.

Dalam pelaksanaan program Keluarga Berencana, dukungan suami sangat

diperlukan. Seperti yang diketahui di Indonesia, keputusan suami dalam

mengizinkan istri adalah pedoman penting bagi si istri untuk menggunakan


alat kontrasepsi. Bila suami tidak mengizinkan atau mendukung, hanya sedikit

yang berani untuk mneggunakan alat kontrasepsi tersebut. Dukungan suami


yang sangat berpengaruh besar dalam pengambilan keputusan menggunakan

atau tidak dan metode apa yang dipakai (Cholil, 2007).

Penelitian oleh Mahmood (2000) mengenai knowledge, approval, and

communication about family planning as correlate of desired fertility among

Spouses in Pakistan dengan melakukan survei dari tahun 1990-1991 pada

pasangan suami istri di perkotaan lebih menyetujui dilakukannya program

berencana dan mereka mendapat dukungan dari pasangan mereka. Di


pedesaan, hanya sebgaian kecil para wanita mendapat dukungan dari pasangan

mereka untuk melaksanakan program keluarga berencana.

Motivator merupakan perangasang yang menyebabkan timbulnya

motivasi pada orang lain untuk melaksanakan program keluarga berencana

yang merupakan suatu program yang dicanangkan pemerintah dalam upaya

peningkatan kepedulian dan peran serta masayarakat melalui pendewasaan

usia.
62

Selain sebagai seseorang yang memberi dukungan kepada istri dalam

pengambilan keputusan, peran suami dalam memberikan informasi juga

sangat berpengaruh bagi istri. Peran suami sebagai edukator meliputi ikut

pada saat konsultasi pada tenaga kesehatan saat istri akan memakai alat

kontrasepsi, mengingatkan istri jadwal minum obat atau jadwal kontrol,

mengingatkan istri hal yang tidak boleh dilakukan saat memakai alat

kontrasepsi dan sebagainya akan sangat berperan bagi istri saat akan atau telah
memakai alat kontrasepsi. Besarnya peran suami akan sangat membantu istri

dan hal ini akan menyadarkan suami bahwa masalah kesehatan bukan hanya
urusan wanita (istri) saja (Cholil, 2007)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fauzan (2013) menyatakan

bahwa karena kurangnya pengatahuan para suami mengenai keluarga

berencana, fungsinya serta hal-hal yang harus dilakukan dalam melaksanakan

program tersebut menyebabkan suami tidak bisa berperan sebagai edukator

yang baik bagi istri alam program keluarga berencana. Selain itu, pemikiran

bahwa dalam pelaksanaan keluarga berencana terdapat proses-proses yang


terkadang sulit, sehingga para suami cenerung hanya iam dalam masalah ini.

Peran lain suami adalah memfasilitasi (sebagai orang yang

menyediakan fasilitas), memberi semua kebutuhan istri akan memeriksakan

masalah kesehatan reproduksinya. Hal ini dapat terlibat saat suami

menyediakan waktu untuk medampingi istri memasang alat kontrasepsi atau

melakukan kontrol, suami berseia memberikan biaya khusus memasang alat

kontrasepsi, an membantu istri tempat melakukan pelayanan atau tenaga

kesehatan yang sesuai (Cholil 2007).


63

Penelitian oleh Avila (2000) tentang when fate and huband prevail :

the dynamics of women’s reproductive dwcisions in the philipines yang

dilakukan paa 33 orang responden. Hasil peelitian menunjukkan bahwa

program keluarga berencana tidak hanya dilakukan oleh istri, namun suami

juga memberikan fasilitas serta membantu sang istri membuat keputusan alam

melakukan perencaaan terhadap jumlah anak.

KB sangat penting dalam peran serta program Keluarga Berencana.


Pelayanan keluarga berencana ditujukan kepada pasangan usia subur, yang

berarti harus melibatkan kedua belah pihak yakni istri maupun suami. Namun
kenyataannya saat ini hanya perempuan saja yang dituntut untuk

menggunakan alat kontrasepsi. Hal ini dapat dilihat dari data akseptor KB di

Indonesia yang menunjukkan bahwa lebih banyak wanita daripada pria

(Siswosudarmo, dkk, 2007). Hal yang mendasar dalam pelaksanaan

pengembangan program partisipasi pria untuk mewujudkan keadilan dan

kesetaraan gender adalah dalam bentuk perubahan kesadaran, sikap, dan

perilaku pria atau suami tentang keluarga berencana dan kesehatan reproduksi.
Salah satu cara meningkatkan peran pria untuk mendukung istri dalam

mengikuti program keluarga berencana, yaitu berupa pemberian pengetahuan

yang cukup tentang Program KB dan kesehatan reproduksi wanita kepada

para suami. Pengelola KB seyogyanya memahami pengetahuan, sikap dan

perilaku dalam berbagai isu kesetaraan gender yang terjadi saat ini mengenai

peran antara pria dan wanita dalam Program KB (BKKBN, 2003).

KB tidak sekedar menggunakan alat kontrasepsi, tetapi merencanakan

keluarga secara matang, baik mengenai jumlah anak yang diinginkan maupun
64

jarak antara anak yang satu dengan lainnya, sesuai dengan kondisi kita, baik

kesehatan, sosial, ekonomi, dan sebagainya, sehingga persiapan pun harus

dilakukan jauh sebelum kehamilan. Sebaliknya, jika belum siap memiliki

anak, jangan memaksakan diri, karena anak yang kelahirannya tidak

dikehendaki orang tuanya sering kali menjadi beban yang sangat berat, baik

secara fisik maupun psikis. Bahkan, tidak jarang mereka mendapat perlakuan

yang tidak sehat dan tidak manusiawi, baik saat kehamilan maupun setelah
kelahirannya (Anshor & Ghalib, 2010).

Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat yang memberikan petunjuk yang


perlu kita laksanakan dalam kaitannya dengan kontrasepsi diantarangya ialah

Surah An-Nisa’ ayat 9 :

         
     

Terjemahanya :
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar” (QS. An- Nisa’/3:9)
Ini artinya, kalau suami istri belum siap mempunyai anak dan

membiayai perawatan dan pendidikan anaknya, hendaknya mereka menunda

dulu kehamilannya. Sebab, biaya perawatan ibu hamil dan bayi tidaklah

sedikit. Apalagi jika suami istri sebagai orangtua dalam kondisi secara

ekonomi tidak mampu, dikhawatirkan akan mewariskan “kemiskinan”-nya

kepada anak-anaknya, yang mengakibatkan secara turun temurun menjadi


65

keluarga miskin. Kondisi ini sering disebut sebagai kemiskinan kultural

(Anshor & Ghalib, 2010).

Menurut BKKBN (2000) penggunaan kontrasepsi merupakan

tanggung jawab pria dan wanita sebagai pasangan, sehingga metode

kontrasepsi yang dipilih mencerminkan kebutuhan serta keinginan suami dan

istri. Suami dan istri harus saling mendukung dalam penggunaan metode

kontrasepsi karena keluarga berencana dan kesehatan reproduksi bukan hanya


urusan pria tau wanita saja.

BKKBN (2007) peran dan tanggung jawab pria dalam kesehatan


reproduksi khususnya pada Keluarga Berencana (KB) sangat berpengaruh

terhadap kesehatan. Selain karena faktor sosial budaya, peran suami sebagai

motivator, edukator, fasilitator, sangat berpengaruh seperti diketahui bahwa di

Indonesia, keputusan suami dalam mengizinkan istri adalah pedoman penting

bagi istri untuk menggunakan alat kontrasepsi. Bila suami tidak mengizinkan

atau mendukung, hanya sedikit istri yang berani untuk tetap memasang alat

kontrasepsi tersebut, atau suami yang menyediakan waktu mendampingi istri


saat memasang alat kontrasepsi atau kontrol sekalipun (Mudrikatin, 2015)

Di masyarakat masih berlaku kebiasaan dimana sebagian besar suami-

istri hanya berbincang tentang ukuran keluarga ketika ingin menambah jumlah

anak, tetapi tidak detail hingga menyentuh masalah kesiapan istri untuk

menerima kehamilan baru (Rahima, 2003 dalam Siregar, 2008).

Oleh karena itu perlu adanya perubahan perilaku dan motivasi dari

suami, dimana awalnya hanya menyetujui atas keputusan istrinya untuk

memilih alat kontrasepsi menjadi menganjurkan, mendukung dan memberikan


66

kebebasan pasangannya (istri) untuk menggunakan kontrasepsi. Keadaan yang

paling ideal adalah bahwa istri dan suami harus bersama-sama memilih

metode kontrasepsi terbaik, saling kerja sama dalam pemakaian kontrasepsi,

membiayai pengeluaran untuk kontrasepsi, memperhatikan tanda-tanda

bahaya pemakaian kontrasepsi (Hartanto Hanafi, 2004). Sedangkan

pelaksanaan KB hendaknya menggunakan cara kontrasepsi yang tidak

dipaksakan, tidak bertentangan dengan hokum syariat Islam dan disepakati


oleh suami istri (Departemen Agama RI, 2002).

Penelitian yang dilaksanakan di Kelurahan Sekaran Kecamatan


Gunung Pati Kabupaten Semarang diungkapkan bahwa dari 95 suami hanya

ada 31,6% yang memberikan dukungan kepada istri dalam pemilihan alat

kontrasepsi (Isti, 2007). Dukungan dan perhatian suami terhadap istri yang

sedang mengikuti Program KB sangat besar pengaruhnya untuk membentuk

keluarga kecil yang berkualitas, karena dalam hal ini suami sebagai kepala

keluarga memegang peranan penting dalam pengambil keputusan di sebuah

keluarga termasuk keputusan memberikan izin dan memberikan perhatian


kepada istri dalam mengikuti program KB (Isti, 2007). Dampak negatif bila

suami tidak mendukung keluarga berencana dan kesehatan reproduksi wanita

yaitu bisa menyebabkan terjadinya ketimpangan antara peran wanita dan pria

dalam bidang keluarga berencana. Selain itu perempuan juga cenderung

dijadikan sasaran dalam masalah kesehatan reproduksi. Sikap peduli terhadap

masalah kesehatan reproduksi perempuan selama masa kehamilan, persalinan,

dan pasca persalinan tidak menjadi tanggung jawab perempuan saja,


67

melainkan menjadi tanggung jawab bersama antara pria dan wanita dalam

membina keluarga sejahtera (Aman, dkk, 2004).

2. Peran Suami dalam Mengatur Jarak Kehamilan Istri Berdasarkan

Pekerjaan

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden

yang bekerja sebagai wiraswasta dan PNS yang memiliki peran yang

mendukung dalam mengatur jarak kehamilan istri.


Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Riasmoko

(2011) wilayah kerja Puskesmas Kartasura yang menunjukkan bahwa


responden yang memiliki dukungan baik terhadap kepesertaan istri dalam

program KB bekerja sebagai PNS (54%) dan wiraswasta (39,6%).

Hal yang sama diungkapkan dalam hasil penelitian yang dilakukan

oleh Sidabutar (2010) di Rumah Sakit Umum Sundari Medan yang

menunjukkan bahwa peran suami sebagai fasilitator yang baik dalam

pemakaian alat kontrasepsi sebesar 67,3%. Hal tersebut disebabkan karena

mayoritas suami bekerja sebagai wiraswasta/Pegawai swasta, dan tidak ada


responden yang menyatakan suaminya tidak bekerja. Hal ini berhubungan

dengan fungsi suami sebagai fasilitator yang baik untuk pemakaian alat

kontrasepsi bagi istri, dengan bekerja maka suami mampu membiayai istri

untuk menggunakan alat kontrasepsi sesuai dengan keinginannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Maharyani & Handayani (2010)

menyatakan bahwa sebagian besar responden yang pendapatannya di bawah

Rp. 650.000, cenderung untuk tidak mengikuti KB.


68

Mata pencaharian merupakan jenis pekerjaan yang akan dilaksanakan

oleh penduduk atau masyarakat. Dengan pekerjaan yang akan dilaksanakan

itu, maka akan mendapat penghasilan atau pendapatan sehingga akan dapat

mempertahankan kehidupannya. Hal ini dikarnakan penghasilan yang didapat

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang beraneka ragam misalnya makan,

pakaian, perumahan dan kebutuhan hidup yang lainnya sebagai anggota

masyarakat maupun sebagai pribadi.


Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh

pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun secara tidak


langsung (Mubarak, 2011). Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada

disekitar individu baik lingkungan fisik, biologis maupun sosial. Lingkungan

berpengaruh terhadap pengetahuan kedalam individu yang berada

dilingkungan tersebut karena interaksi timbal balik. Pekerjaan responden juga

mempengaruhi tingkat pengetahuannya. Suami yang bekerja dapat lebih

memanfaatkan lingkungan pekerjaan untuk digunakan sebagai sarana dalam

mendapatkan informasi.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mariana Desa Suruh

Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang (2014) menunjukkan dari 49

responden sebagian besar yaitu pekerjaan buruh yang memiliki tingkat

pengetahuan kurang tentang alat kontrasepsi vasektomi yaitu sebanyak 14

responden (63,3%). Dikarenakan seorang buruh kurang mendapatkan

informasi tentang kontrasepsi, hanya mendapatkan informasi dari bidan dan

lingkungan sekitar saja.


69

Selain itu pengetahuan responden juga dipengaruhi oleh pekerjaan

responden. Berdasarkan data di atas ada 5 responden yang tidak mendukung

pengaturan jarak kehamilan yang mempunyai pekerjaan sebagai buruh.

Adapun hal yang menyebabkan hal tersebut dikarenakan kurangnya interaksi

dan pengetahuan suami terhadap dampak dan manfaat dari pengaturan jarak

kehamilan. Hal tersebut berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan sebagian

responden. Dengan berkerja maka akan terjadi interaksi dengan teman sesama
teman pekerja sehingga memudahkan untuk saling bertukar informasi dari

teman maupun lingkungan pekerjaannya. Interaksi dan informasi yang


diperoleh dalam lingkungan pekerjaan akan menambah wawasan dan

pengetahuan responden khususnya tentang kontrasepsi (Mariana, 2014)

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mariana Desa Suruh

Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang (2014) menunjukkan dari 49

responden sebagian besar yaitu pekerjaan buruh yang memiliki tingkat

pengetahuan kurang tentang alat kontrasepsi vasektomi yaitu sebanyak 14

responden (63,3%). Dikarenakan seorang buruh kurang mendapatkan


informasi tentang kontrasepsi, hanya mendapatkan informasi dari bidan dan

lingkungan sekitar saja.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mariana Desa Suruh

Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang (2014) menunjukkan dari 49

responden sebagian besar yaitu pekerjaan buruh yang memiliki tingkat

pengetahuan kurang tentang alat kontrasepsi vasektomi yaitu sebanyak 14

responden (63,3%). Dikarenakan seorang buruh kurang mendapatkan


70

informasi tentang kontrasepsi, hanya mendapatkan informasi dari bidan dan

lingkungan sekitar saja.

Selain itu pengetahuan responden juga dipengaruhi oleh pekerjaan

responden. Berdasarkan data di atas ada 5 responden yang tidak mendukung

pengaturan jarak kehamilan yang mempunyai pekerjaan sebagai buruh.

Adapun hal yang menyebabkan hal tersebut dikarenakan kurangnya interaksi

dan pengetahuan suami terhadap dampak dan manfaat dari pengaturan jarak
kehamilan. Hal tersebut berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan sebagian

responden. Dengan berkerja maka akan terjadi interaksi dengan teman sesama
teman pekerja sehingga memudahkan untuk saling bertukar informasi dari

teman maupun lingkungan pekerjaannya. Interaksi dan informasi yang

diperoleh dalam lingkungan pekerjaan akan menambah wawasan dan

pengetahuan responden khususnya tentang kontrasepsi (Mariana, 2014)

Pekerjaan merupakan suatu keadaan atau aktivitas seseorang yang

dilakukan untuk memperoleh penghasialan baik sektor formal maupun

informal. Pekerjaan merupakan suatu keadaan atau aktivitas untuk


memperoleh penghasilan guna memenuhi hidup kebutuhan sehari-hari.

Pekerjaan sangat berpengaruh terhadap pengetahuan karena suami memiliki

pekerjaan diluar rumah lebih cepat dan mudah mendapat informasi kesehatan

(BKKBN, 2007).

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Notoadmodjo (2003), yang

menyatakan bahwa sebuah informasi dapat diperoleh melalui pergaulan dalam

lingkungan pekerjaan. Dengan informasi yang dimilikinya maka seseorang

akan mengetahui pengetahuan dan wawasan yang luas.


71

Jenis pekerjaan seseorang berpengaruh terhadap jumlah pendapatan

dalam suatu keluarga. Biasanya seseorang yang memiliki pekerjaan tetap,

akan lebih mudah mengatur antara pemasukan dengan biaya pengeluaran. Hal

ini juga nantinya berhubungan dengan biaya untuk pemilihan dan pemakaian

suatu alat kontrasepsi (Kusumaningrum, 2009).

Pendapatan berhubungan langsung dengan kebutuhan-kebutuhan

keluarga. Penghasilan tinggi nantinya akan membawa dampak positif bagi


keluarga, karena keseluruhan kebutuhan sandang, pangan, papan dan

transportasi serta kesehatan dapat terpenuhi. Namun tidak demikian dengan


keluarga yang pendapatannya rendah, karena akan mengakibatkan keluarga

mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya yang salah

satunya adalah kebutuhan untuk memenuhi kesehatan (Keraf, 2001).

Peneliti mengasumsikan dukungan suami dalam mengatur jarak

kehamilan istri berkaitan dengan jenis pekerjaan dimana semakin baik

pekerjaan responden maka akan semakin baik keadaan finansialnya sehingga

dapat berperan dalam mengatur jarak kehamilan istri baik mendukung istri
dalam penggunaan KB maupun menjadi akseptor kontrasepsi itu sendiri.

Pekerjaan yang baik mempunyai pengaruh cukup besar terhadap dukungan

suami mengatur jarak kehamilan istri ditandai jika suami memiliki pekerjaan

yang baik pasti keluarga tersebut memilih metode kontrasepsi yang

mempunyai kefektifitasan bagus tidak perduli dengan harga yang ditetapkan.

Begitu juga dengan sebaliknya jika berpenghasilan rendah pasti akseptor

tersebut lebih memilih metode kontrasepsi dengan harga yang murah bahkan

tak jarang tidak mendukung istri dalam menggunakan kontrasepsi.


72

Penentuan jarak kehamilan merupakan salah satu cara untuk

menentukan berapa jarak yang akan direncanakan diantara kehamilan satu

dengan yang lain (Dwijayanti, 2005). Pengaturan jarak kehamilan merupakan

salah satu usaha agar pasangan dapat lebih menerima dan siap untuk memiliki

anak. Perencanaan pasangan kapan untuk memiliki anak kembali, menjadi hal

penting untuk dikomunikasikan (Masyhuri, 2007 dalam Siregar, 2008).

Islam secara tersurat dan tersirat telah menjelaskan bahwa seorang


wanita boleh menjaga jarak dalam mengatur kehamilan.Menjaga jarak dengan

tujuan memberikan anak perhatian yang cukup demi kesehatan wanita itu
sendiri. Mengandung dan melahirkan merupakan sebuah perjuangan yang

beresiko tinggi, kelalaian dalam menjaga kesehatan dan keselamatan ibu

hamil bisa berakibat fatal bahkan bisa menyebabkan seorang wanita

meninggal dunia ketika hamil atau melahirkan (Baity, 2015).

Memperhatikan jarak kehamilan sangat penting untuk kesahatan ibu

dan bayi. Jarak maksimal yang baik antara masa kehamilan sebaikanya tidak

kurang dari 18 bulan hingga tiga tahun, sehingga risiko bayi prematur atau
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dapat dihindari (Baity, 2015). Dalam Al-

Qur’an dijelaskan bagaimana menjaga jarak kehamilan dengan cara

pemberian ASI hingga usia bayi dua tahun. Allah SWT berfirman :

             

   


73

Terjemahnya :
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua
tahun.Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu,
hanya kepada-Kulah kembalimu”(QS. Luqman/ 31:14)
Dalam Al-Quran ditegaskan bahwa seorang ibu harus menyusui

anaknya secara baik dan mencukupi dengan batas waktu hingga 2 tahun,

sebagaimana firman Allah SWT :

            

Terjemahnya :
“Dan Ibu-ibu hendaklah menyusui anaknya dua tahun penuh, bagi
yang ingin menyusui secara sempurna……….(QS. Al-Baqarah/2:233)
Menurut Syaltut, melalui ayat tersebut sebenarnya syariat Islam

hendak menginformasikan adanya masa menyusui yang mencapai dua tahun,

dimana masa itu memungkinkan bagi sang ibu menyusui anaknya secara

sempurna dan bersih (Syaltut, 1966 dalam Arifin, 2014).Jika seorang wanita

memberikan ASI secara sempurna hingga 2 tahun, artinya dia tidak hamil

selama dalam proses tersebut. Kehamilan itu sendiri membutuhkan sebuah


perjuangan yang akan merepotkan seorang ibu dalam menyapih bayinya.

Setelah 2 tahun barulah seorang ibu boleh hamil kembali dan proses

kehamilan itu sendiri membutuhkan waktu hingga 9 bulan, berarti jarak yang

ideal bagi seorang ibu untuk mempunyai anak (melahirkan) adalah 2 tahun 9

bulan (Baity, 2015).

Pencegahan kehamilan dalam masa tersebut, menurut Syaltut,

memberikan waktu bagi ibu untuk beristirahat, mengembalikan kekuatan dan

vitalitas perempuan yang disebabkan hamil dan kepayahan melahirkan, seta


74

memberikan waktu yang cukup luang untuk mendidik dan

mnumbuhkembangkan anak secara sungguh-sungguh dan giat dengan susu

yang murni. Masa inilah yang merupakan esensi dari pengaturan keturunan.

Perencanaan berkeluarga yang optimal melalui perencanaan kehamilan

yang aman, sehat dan diinginkan merupakan salah satu faktor penting dalam

upaya menurunkan angka kematian maternal. Menjaga jarak kehamilan tak

hanya menyelamatkan ibu dan bayi dari sisi kesehatan, namun juga
memperbaiki kualitas hubungan psikologis keluarga (Sugiri, 2007 dalam

Siregar, 2008).
Salah satu perencanaan kehamilan antara lain dengan mengikuti

program Keluarga Berencana (KB). KB memberi kepada pasangan pilihan

tentang kapan sebaiknya mempunyai anak, berapa jumlahnya, jarak antar anak

yang satu dengan yang lain, dan kapan sebaiknya berhenti mempunyai anak

(Yolan, 2007 dalam Siregar, 2008).

3. Peran Suami dalam Mengatur Jarak Kehamilan Istri Berdasarkan

Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar

responden yang memiliki pendidikan yang rendah, cenderung untuk tidak

mendukung dalam mengatur jarak kehamilan istri..

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maharyani &

Handayani (2010) di Desa Karangduwur Kecamatan Petanahan Kabupaten

Kebumen dimana menunjukkan bahwa dari 43 responden yang memiliki

pendidikan yang rendah, sebanyak 34 orang yang tidak mengikuti bersedia

menjadi akseptor KB. Hal senada diungkapkan dalam penelitian yang


75

dilakukan oleh Ekawati yang menyatakan pendidikan pria berpengaruh

positif terhadap persepsi pria untuk ber-KB (Kolibu, 2004).

Hal yang sama diungkapkan dalam penelitian yang dilakukan oleh

BKKBN dan UNFPA Indonesia tahun 2012 yang menunujukkan bahwa pria

berpendidikan tidak tamat SD atau lebih rendah, banyak yang memberikan

pernyataan bahwa “KB urusan wanita” dibandingkan dengan rekan-rekannya

yang berpendidikan lebih tinggi. Menurut data tersebut, secara umum, dapat
dikatakan bahwa sikap pria tentang KB sebagian besar pria beranggapan “KB

adalah urusan wanita” Hal ini mengindikasikan masih rendahnya partisipasi


pria dalam ber-KB. Dapat diartikan pula bahwa masih banyak pria yang

menganggap KB hanya menjadi persoalan wanita. Ada anggapan juga bahwa

program KB hanya dilakukan oleh para wanita, terlihat dari persentase wanita

yang seharusnya disterilisasi, yaitu sebesar 30 persen. Rendahnya partisipasi

pria ini menunjukkan kurangnya dukungan ataupun peran serta aktif pria

dalam upaya pengembangan program keluarga berencana.

Penelitian yang dilakukan Hasian (2012) menunjukkan bahwa


prevalensi peserta KB pada responden yang berpendidikan tinggi sebesar 29%

sedangkan responden yang berpendidikan rendah sebesar 11,6%. Responden

yang berpendidikan tinggi mempunyai peluang 3 kali untuk menjadi peserta

KB dibandingkan responden yang berpendidikan rendah. Hal ini sesuai

dengan teori yang diungkapakan Betrand (1980) bahwa penerimaan Keluarga

Berencana lebih banyak pada mereka yang mempunyai standar hidup yang

lebih tinggi, seperti pendidikan yang tinggi.


76

Penelitian yang dilakukan oleh Shahjahan, et al menyatakan bahwa

pria yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi (SMA dan Perguruan

Tinggi) lebih cenderung untuk terlibat dalam pelayanan kesehatan reproduksi

daripada laki-laki atau pria yang tidak memiliki atau tingkat pendidikan dasar.

Pendidikan yang dimiliki dapat menambah wawasan keilmuan sehingga akan

lebih mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan sosial secara

langsung maupun tidak langsung dalam hal keluarga berencana (KB).


Semakin tinggi tingkat pasangan yang ikut KB, makin besar pasangan suami

istri memandang anaknya sebagai alasan penting untuk melakukan KB.


Pendidikan adalah proses menumbuhkembangkan seluruh kemampuan

dan perilaku manusia melalui pengajaran. Tingkat pendidikan yang tinggi

menjadi dasar keberhasilan dalam bisnis atau bidang profesi, yang akan

membuka jalan bagi individu bersangkutan untuk menjalin hubungan dengan

orang yang statusnya lebih tinggi. Implikasinya, semakin tinggi pendidikan

hidup manusia akan semakin berkualitas (Hurlock, 1999).

Peningkatan partisipasi pasangan di bidang pendidikan akan


berdampak pada pembatasan jumlah dan jarak anak yang dilahirkan, terutama

disebabkan meningkatnya kesadaran dan tanggung jawab dalam hidup

berumah tangga (Bappenas, 2007). Menurut Lukman (2008 dalam Siregar,

2008) juga umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin

baik pula pengetahuannya.

Menurut Sarason (1983 dalam Fridalni & Kurniawan 2012). Dukungan

keluarga (Suami) adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang –

orang yang dapat diandalkan, menghargai dan menyanyangi kita. Rendahnya


77

dukungan pasangan usia subur (PUS) dalam program berencana di pengaruhi

juga oleh pengetahuan sikap PUS tentang penggunaan alat kontrasepsi karena

salah satu yang menentukan sikap seseorang pengetahuan yang ia miliki.

Seorang yang memiliki pengetahuan baik tentang sesuatu akan memiliki sikap

yang lebih positif terhadap hal tersebut (BKKBN, 2004).

Selain pengetahuan tentang KB yang dimiliki, sikap pria terhadap KB

juga ikut berperan dalam menentukan apakah seseorang pria bersedia menjadi
peserta KB atau mengijinkan pasangannya untuk menggunakan salah satu

alat/cara KB. Pada umumnya sikap yang positif terhadap program KB akan
lebih memudahkan mereka untuk dapat menerima program KB. Penerimaan

program KB dapat berdampak pada partisipasi mereka terhadap program yang

ditandai dengan kesertaan mereka menjadi peserta KB. Di lain pihak,

kurangnya pengetahuan dapat menimbulkan persepsi atau sikap yang keliru

terhadap program KB. Persepsi yang kurang benar akan menghambat

penerimaan mereka terhadap program KB, sehingga mereka cenderung

menolak untuk menjadi peserta KB (BKKBN & UNFPA, 2014).


Di dalam Sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)

tahun 2004-2009 dijelaskan bahwa partisipasi pria menjadi salah satu

indikator keberhasilan program KB dalam memberikan kontribusi yang nyata

untuk mewujudkan keluarga kecil berkualitas.Partisipasi pria/suami dalam KB

adalah tanggung jawab pria/suami dalam kesertaan ber-KB, serta berperilaku

seksual yang sehat dan aman bagi dirinya, pasangan dan keluarganya. Bentuk

partisipasi pria/suami dalam KB dapat dilakukan secara langsung dan tidak

langsung. Partisipasi pria/suami secara langsung (sebagai peserta KB) adalah


78

pria/suami menggunakan salah satu cara atau metode pencegahan kehamilan,

seperti kondom, vasektomi (kontap pria), serta KB alamiah yang melibatkan

pria/suami (metode sanggama terputus dan metode pantang

berkala).Sedangkan keterlibatan pria secara tidak langsung misalnya pria

memiliki sikap yang lebih positif dan membuat keputusan yag lebih baik

berdasarkan sikap dan persepsi, serta pengetahuan yang dimilikinya (Utarini,

2000).
Penggunaan kontrasepsi merupakan tanggung jawab bersama pria dan

wanita sebagai pasangan, sehingga metode kontrasepsi yang dipilih


mencerminkan kebutuhan serta keinginan suami dan istri. Dalam penggunaan

kontrasepsi pria, seperti kondom dan vasektomi, suami mempunyai

tanggungjawab utama sementara, bila istri sebagai pengguna konrasepsi,

suami dapat memainkan peranan penting dalam mendukung istri dan

menjamin efektifitas pemakaian kontrasepsi. Suami dan istri harus saling

mendukung dalam penggunaan metode kontrasepsi karena kelurga berencana

dan kesehatan reproduksi bukan hanya urusan pria atau wanita saja (BKKBN,
2000).

Ketika berbicara tentang KB secara langsung pikiran tertuju pada istri

yang harus menggunakan alat kontrasepsi, sedangkan suami tidak mempunyai

urusan dengan perencanaan kehamilan dan kelahiran, persepsi seperti ini

adalah salah jika KB hanya urusan perempuan (Wulandari, dkk, 2013).

Mengingat dalam penentuan pengambilan keputusan keluarga sebagian besar

masih didominasi suami, maka indikator partisipasi pria menurut BKKBN

tidak hanya sebagai peserta KB saja tetapi juga mendukung istri dalam
79

penggunaan kontrasepsi, pemberi pelayanan KB (motivator, promotor) dan

merencanakan jumlah anak bersama pasangan. (BKKBN, 2000)

Keterlibatan pria dalam ber-KB diwujudkan melalui perannya berupa

dukungan terhadap KB dan penggunaan alat kontrasepsi serta merencanakan

jumlah keluarga untuk meralisasikan tujuan terciptanya Norma Keluarga

Kecil Bahagia Sejahtera. Snehandu B. Kar (dalam Notoadmodjo, 2003) yang

mengungkapkan bahwa dukungan sosial dapat mempengaruhi perilaku


seseorang, dan dalam hal ini bentuk dukungan sosial yang diterima istri adalah

dukungan dari suaminya untuk menggunakan kontrasepsi.


Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa perbandingan suami

dengan pendidikan tinggi lebih yang mendukung dalam mengatur kehamilan

istri lebih banyak dibanding dengan suami dengan pendidikan rendah.

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang pada orang lain

terhadap sesuatu hal agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri

bahwa makin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka

menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang
dimilikinya, sebaliknya jika seseorang tingkat pendidikannya rendah, akan

menghambat perkembangan seseorang terhadap penerimaan, informasi, dan

nilai-nilai yang baru diperkenalkan (Mubarak, 2011).

Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh BKKBN dan

UNFPA (2014) yang menunjukkan bahwa Tingkat pendidikan berpengaruh

positif terhadap jumlah ideal anak, semakin tinggi pendidikan semakin rendah

rata-rata ideal anaknya, suami yang tidak sekolah dan tidak tamat SD rata-

ratanya idealnya anak 3,4 dan 3,2. Sedangkan yang pendidikannya tinggi kecil
80

nilai rata-ratanya 2,8 bagi yang tidak tamat SMTA dan 2,7 untuk jenjang

pendidikan SMA dan seterusnya (BKKBN & UNFPA, 2014).

Pendidikan adalah upaya untuk memberikan pengetahuan sehingga

terjadi perubahan perilaku positif yang meningkat. Tingkat pendidikan

menunjukkan korelasi dengan terjadinya perubahan perilaku positif yang

meningkat dan dengan demikian pengetahuan juga meningkat. Pendidikan

merupakan tingkat dasar pengetahuan yang dimilki seseorang (Notoatmodjo,


2007). Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat

menentukan pengetahuan dan persepsi seseorang terhadap pentingnya sesuatu


hal, termasuk pentingnya keikutsertaan dalam KB. Ini disebabkan seseorang

yang berpendidikan tinggi akan lebih luas pandangannya dan lebih mudah

menerima ide dan tata cara kehidupan baru (Wulandari, dkk, 2013).

Sebagian besar suami responden dalam penelitian ini yang masuk

dalam kategori mendukung memiliki pendidikan SMA dan S1, hal ini

menunjukkan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi suami dalam

memberikan dukungan kepada istri. Dengan pendidikan yang tinggi seseorang


akan cenderung lebih mudah mendapatkan informasi misalnya hal-hal yang

menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Semakin

tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin mudah untuk menerima

informasi, sebaliknya tingkat pendidikan yang kurang akan menghambat

perkembangan dan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru

diperkenalkan (Wawan, 2011).


81

Peneliti mengasumsikan tentang tingkat pendidikan yaitu ditakutkan

jika pendidikan akseptor rendah cenderung susah memahami informasi

khususnya tentang pentingnya kontasepsi dan mengatur jarak kehamilan.

Sehingga mempengaruhi peran suami dalam mengatur jarak kehamilan .

Tetapi tidak menutupi kemungkinan yang berpendidikan tinggi lebih mudah

menerima informasi.informasi tersebut bisa didapatkan dari pengalaman

ataupun sumber informasi.


4. Peran Suami Dalam Mengatur Jarak Kehamilan Berdasarkan Jumlah

Anak
Variabel jumlah anak yang dimiliki dalam penelitian ini adalah jumlah

anak kandung yang dimiliki oleh responden saat penelitian berlangsung.

Prevalensi peran suami yang mendukung dalam mengatur jarak kehamilan

yang memiliki anak ≤ 2 orang sebesar 51,9%, sedangkan prevalensi peran

suami yang mendukung dalam mengatur jarak kehamilan yang memiliki anak

> 2 orang sebesar 25,9%. Hal yang sama diungkapkan dalam penelitian yang

dilakukan oleh Hasian (2012) di wilayah kerja Puskesmas Sei Jang


Tanjungpinang dengan jumlah sampel 136 suami menunjukkan hasil yaitu

prevalensi peserta KB pada responden yang memiliki anak ≤ 2 orang sebesar

23,8% sedangkan prevalensi peserta KB yang memiliki anak > 2 anak sebesar

23,2%.

Hal ini tidak sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh Betrand

(1980 dalam Hasian, 2012) yang menyatakan bahwa jumlah anak

memengaruhi seseorang untuk menjadi peserta KB. Mereka yang memiliki


82

anak lebih banyak (>2 orang) akan lebih memutuskan untuk menjadi peserta

KB daripada mereka yang mempunyai anak sedikit (≤ 2 orang).

Hal ini diperkuat oleh Utami (2010) dalam penelitiannya bahwa tidak

terdapat pengaruh jumlah anak yang dimiliki terhadap keikutsertaan pria

sebagai akseptor KB. Salah satu bagian dari peran suami dalam mengatur

jarak kehamilan yaitu kerelaan suami untuk mengikuti program KB.

Hal yang berbeda diungkapkan dalam penelitian Susilowati (2010)


dimana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 40,62% responden memiliki

anak lebih dari dua, 31,25% memiliki dua orang anak dan 28,13% memiliki
anak kurang dari dua. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar

reponden yang menggunakan alat kontrasepsi pria telah memiliki jumlah anak

lebih dari dua.

Berdasarkan penelitian ini, responden yang sebagian besar memiliki

jumlah anak ≤ 2 orang yang tidak mendukung dalam mengatur jarak

kehamilan istri, masih merasa mampu memiliki anak lagi. Nilai dan keinginan

memilikinya biasanya dinyatakan dengan jumlah anak yang ideal yang


diputuskan oleh pasangan itusendiri. Hal ini sangat subjektif karena berkaitan

dengan masalah ekonomi, penambahan keuntungan bagi orang tua dan biaya

serta manfaat dari anak tersebut. Perkembangan tingkat sosial ekonomi,

urbanisasi, tuntutan untuk memperkerjakan anak, jaminan ekonomi di usia

tua, biaya membesarkan anak, tingkat kematian bayi, tingkat pendidikan,

status wanita, struktur keluarga, tanggung jawab orang tua dan agama yang

dianut merupakan contoh dari faktor penentu yang dapat mempengaruhi nilai
83

anak dan keinginan memiliki anak di tingkat masyarakat maupun di tingkat

keluarga (Ekarini, 2008)

Setiap anak merupakan cerminan harapan serta keinginan orang tua

yang menjadi pedoman dari pola pikir, sikap, maupun perilaku dari orang tua

tersebut. Dengan demikian setiap anak yang dimiliki oleh pasangan, suami

istri akan memberi pertimbangan tentang apakah mereka ingin memiliki anak

dan jika ingin, berapa jumlah yang diinginkan (Indira, 2009).


Keluarga Berencana (KB) adalah cara merencanakan keluarga: Kapan

ingin mendapatkan anak dan berapa jumlah anak. Bila memutuskan untuk
menunggu untuk mendapatkan keturunan, maka bisa memilih beberapa cara

untuk menunda kehamilan dengan kontrasepsi . Hubungan antara jumlah anak

dengan keikutsertaan suami dalam KB memiliki hubungan yang erat karena

dalam program KB itu sendiri jumlah anak merupakan salah satu tujuan dalam

program KB (Maharyani & Handayani, 2010).

Hal ini dikarenakan jumlah anak yang dimiliki keluarga sebagian besar

sudah direncanakan dan dibicarakan antara suami dan istri berdasarkan


berbagai pertimbangan seperti kondisi kesehatan suami dan istri, serta

kesiapan mental dan kemampuan ekonomi untuk menjamin kesehatan,

pendidikan dan masa depan anak – anaknya khususnya untuk jumlah anak 2

orang. Hasil penelitian ini didukung pernyataan Siswosudarmo bahwa sesuai

dengan Program Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS)

menganjurkan setiap pasangan keluarga hanya mempunyai dua anak saja

(catur warga) (Maharyani & Handayani, 2010).


84

Pandangan orang tua mengenai nilai anak dan jumlah anak dalam

keluarga dapat merupakan hambatan bagi keberhasilan program KB. Di

daerah pedesaan anak mempunyai nilai yang tinggi bagi keluarga. Anak dapat

memberikan kebahagiaan kepada orang tuanya selain itu akan merupakan

jaminan di hari tua dan dapat membantu ekonomi keluarga, banyak

masyarakat di desa di Indonesia yang berpandangan bahwa banyak anak

banyak rejeki. Dari penelitian Mohamad Koesnoe di daerah Tengger, petani


yang mempunyai tanah luas akan mencari anak angkat sebagai tambahan

tenaga kerja (Ekarini, 2008).


Studi lain yang dilakukan oleh proyek VOC (Value Of Children)

menemukan bahwa keluarga-keluarga yang tinggal di pedesaan Taiwan,

Philipina, Thailand mempunyai anak yang banyak dengan alasan bahwa anak

memberikan keuntungan ekonomi dan rasa aman bagi keluarganya. Secara

umum disimpulkan bahwa orang tua desa lebih menitikberatkan manfaat

ekonomi dan kegunaan praktis (termasuk tunjangan hari tua) dari anak-anak,

sedangkan orang tua dikota (terutama yang berpendidikan tinggi) menekankan


aspek emosional dan psikologisnya. Pada negara berkembang didaerah

pedesaan beban ekonomi biasanya jauh lebih rendah bila anak tidak sekolah.

Pada usia yang sangat dini anak mulai dapat menyokong penghasilan keluarga

dengan bekerja di sawah, mengembala ternak dan mengerjakan pekerjaan lain.

Dengan bertambahnya usia orang tua anak-anak dapat memberikan bantuan

ekonomi, mungkin dengan bekerja disawah milik orang tua (Siregar, 2003).

Cadwell (1979 dalam Siregar, 2003) mengatakan hal ini dengan cara

lain yaitu di negara maju, kekayaan mengalir dari orang tua ke anak,
85

sedangkan negara berkembang sebaliknya kekayaan mengalir dari anak ke

orang tua. Jika anak merupakan sumber utama jaminan ekonomi maka

masyarakat tersebut akan mengalami fertilitas yang tinggi. Masri Singmimbun

(1974 dalam Siregar, 2003) melakukan penelitian pada penduduk di sekitar

Yogyakarta menunjukkan bahwa jumlah anak yang dianggap ideal 4 dan 5

orang anak. Motivasi untuk mempunyai jumlah anak yang sedikit dan nilai-

nilai tentang anak merupakan aspek yang penting. Kadang-kadang jumlah


anak yang diinginkan lebih besar daripada jumlah anak yang mampu dirawat

dengan baik (Siregar, 2003).


Menurut Bertrand (1994), nilai dan keinginan anak biasanya

dinyatakan dengan jumlah anak ideal yang diputuskan oleh pasangan untuk

dimilikinya, hal ini sangat subjektif karena berkaitan dengan masalah

ekonomi, penambahan keuntungan orang tua dan biaya serta manfaat dari

anak tersebut. Perkembangan tingkat sosial ekonomi, urbanisasi, tuntutan

untuk memperkerjakan anak, jaminan ekonomi di usia tua, biaya

membesarkan anak, tingkat kematian bayi, tingkat pendidikan, status wanita,


struktur keluarga, tanggung jawab orang tua (Ekarini, 2008).

Peneliti mengasumsikan jumlah anak 2 atau lebih dari 2 sebaiknya

menggunakan KB hal iini disebabkan adanya resiko tinggi pada ibu yang

terlalu banyak anak (anak >2 orang).


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1. Mayoritas responden mendukung dalam mengatur jarak kehamilan istri

sebanyak 42 orang (77.78%) dan sebanyak 12 orang responden (22.22%)


tidak mendukung dalam mengatur jarak kehamilan istri.

2. Mayoritas responden yang bekerja sebagai wiraswasta (57.41%) dan PNS

(20.37%) mendukung dalam mengatur jarak kehamilan istri sedangkan

responden yang bekerja sebagai buruh tidak mendukung dalam mengatur

jarak kehamilan istri .

3. Mayoritas responden yang memiliki pendidikan terakhir dalam kategori tinggi

(75.93%) mendukung dalam mengatur jarak kehamilan istri sedangkan

responden responden yang memiliki pendidikan terakhir dalam kategori

rendah (1.85%) yang mendukung dalam mengatur jarak kehamilan istri .

4. Mayoritas responden yang memiliki jumlah anak ≤ 2 orang (51.85%) yang


mendukung dalam mengatur jarak kehamilan istri sedangkan responden

responden yang jumlah anak > 2 orang (7.56%) yang mendukung dalam

mengatur jarak kehamilan istri .

86
87

B. Saran

1. Peneliti selanjutnya

Peneliti selanjutnya diharapkan dapat menambah variabel penelitian yang

belum ada pada penelitian ini, sehingga gambaran peran suami dalam

mengatur jarak kehamilan istri dapat diketahui lebih dalam lagi.

2. Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan memberikan pelayanan yang lebih baik lagi kepada


pasangan suami istri yang ingin memakai alat kontrasepsi dan memberikan

konseling serta memberikan motivasi, informasi dan pengetahuan mengenai


pentingnya mengatur jarak kehamilan istri.

3. Pendidikan

Berdasarkan hasil penelitian peran suami dalam mengatur jarak kehamilan

istir masih ada yang rendah dan berbeda berdasarkan tiap karakteristik suami.

Oleh karena itu, instansi pendidikan diharapkan dapat memberikan

pengetahuan mengenai pengaturan jarak kehamilan istri agar dapt memberi


informasi untuk orang lain dan diri sendiri agar dapat menciptakan keluarga

yang sejahtera.
4. Bidan

Bidan diharapkan dapat memberikan masukan pada suami dan istri untuk

memotivasi dalam mengatur jarak kehamilan. Mengingat betapa pentingnya

pengaturan jarak kehamilan bagi kesehatan reproduksi, perkembangan anak

dan dalam rangka menciptakan keluarga yang sejahtera.


86

DAFTAR PUSTAKA

Al – Qur’an & Terjemahannya. Departemen Agama RI. Bandung : CV Penerbit J-


ART. 2005.

Abdul Bari, Syaifuddin. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta :


Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2006.

Agus, dkk. Promosi Kesehatan “Sebuah Pengantar Proses Belajar Mengajar dalam
Pendidikan”. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.

Alfarisi, Ihza. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penggunaan Tubektomi Di Desa


Noreh Kecamatan Sreseh Kabupaten Sampang. Skripsi. Jurusan Hukum Islam
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, 2014

Aman, dkk. Pengetahuan Dan Sikap Suami Istri Mengenai Masalah Kesehatan
Reproduksi Perempuan Hubungannya Dengan Partisipasi Pria Dalam
Keluarga Berencana. Yogyakarta : Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat Program Studi Sarjana UGM, 2004.

Anshor, Maria Ulfah & Ghalib, Abdullah. PARENTING WITH LOVE Panduan Islam
Mendidik Anak Penuh Cinta Dan Kasih Sayang. Bandung : Penerbit Mizania,
2010

Arifin, Syaiful. Analisis Hukum Islam Terhadap Kebolehan Vasektomi (Studi


Terhadap Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Se Indonesia IV Tahun
2012). Skripsi. Jurusan Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Ampel,
2014.

Baity, Nur. Berdasarkan Al-Qur’an Dan As-Sunnah Keajaiban Shalat Untuk


Kesehatan & Janin. Jakarta : Sealova Media, 2015

Bangun, Kristina. Peran Suami Istri Dalam Pengambilan Keputusan Berkeluarga


Berencana Terhadap Metode Kontrasepsi Yang Digunakan Di Desa
Perumnas Simalingkar Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang
Tahun 2013. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara, 2013.
86

BKKBN. Program Keluarga Berencana Nasional, 2000

BKKBN. Peningkatan Partisipasi Pria Dalam Keluarga Berencana dan Kesehatan


Reproduksi. Jakarta, 2003.

BKKBN & UNFPA Indonesia. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 :
Modul Pria. Jakarta : BKKBN & UNFPA Indonesia. 2014.

Budisantoso, Iman. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Partisipasi Pria


Dalam Keluarga Berencana Di Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul.
Semarang: program pasca sarjana promosi kesehatan FKM UNDIP, 2008.

Cholil, A. Kiat Menata Keluarga. Jakarta : PT. Elekmedia Komptindo

Departemen Agama RI. Kapita Selekta Pengetahuan Agama Islam. Jakarta :


Departemen Agama RI, 2002

Dwijayanti. Jarak Kehamilan yang Aman bagi Ibu. Jakarta. Pustaka Setia, 2005.

Ekarini, Sri. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Partisipasi Pria Dalam


Keluarga Berencana Di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali. Semarang :
Program Pascasarjana FKM UNDIP. 2008.

Everrett Suzanne. Kontrasepsi & Kesehatan Seksual Reproduktif. EGC,2004

U. Pedit Brahm. Ragam Metode Kontrasepsi. EGC,2002

Fridalni, Nova & Kurniawan, Arif. Hubungan Tingkat Pengetahuan, Sikap Dan
Dukungan Suami Tentang KB Dengan Keikutsertaan KB Oleh Pasangan Usia
Subur (PUS) Di RW III Kelurahan Korong Gadang Wilayah Kerja Puskesmas
Kuranji Padang Tahun 2012. STIKes MERCUBAKTIJAYA Padang, 2012.

Hamdani Muhammad. Pendidikan Agama Islam “ Islam dan Kebidanan “Jakarta:


Trans Info Media, 2012

Handoko Riwidikdo. (2010). Statistik untuk Penelitian Kesehatan dengan Aplikasi


Program R dan SPSS. Yogyakarta: Pustaka Rihama

Hasian, Maretha. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepesertaan Pria Dalam


Program Keluarga Berencana Di Wilayah Kerja Puskemas Sei Jang
Tanjungpinang Tahun 2012. Skripsi. Depok : Fakultas Kesehatan Masyarakat
UI, 2012.
86

Hartanto, hanafi. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta, Pustaka oleh


Pustaka Sinar Harapan, Anggota Ikapi Jakarta, 2004

Hanafi. Fiqih Pengobatan Islam. Darul Wathon Lin Nasyr, 2006.

Hurlock. Psikologi Perkembangan. Jakarta. EGC, 1999.

Ilyas, Yunahar. Kepemimpinan Dalam Keluarga : Pendekatan Tafsir. Jurnal Kajian


Islam Al-Insan No.3 Vol. 2, 2006.

Isti, H. Studi Deskriptif Faktor-Faktor Ynag Mempengaruhi Dukungan Suami Dalam


Pemilihan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang Di Kelurahan Sekaran
Kecamatana Gunung Pati Kota Semarang. Skripsi. Semarang : keperawatan
FKM UNDIP, 2007.

Keraf, AS & Dua M. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filoofis. Penerbit:


Kanisius. Yogyakarta, 2001

Kolibu, Ekawati. Bias Gender Dalam Pelayanan KB Di Kelurahan Anduonohu


Kecamatan Poasia Kota Kendari Sulawesi Tenggara. Yogyakarta : Fakultas
Kedokteran UGM

Kusumaningrum, R. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Jenis


Kontrasepsi Yang Digunakan Pada Pasangan Usia Subur. Karya Tulis
Ilmiah. Semarang : Fakultas Kedokteran UNDIP, 2009.

Madrikatun, Siti. Hubungan Peran Suami dengan Pemilihan Metode Kontrasepsi


bagi Ibu Nifas di BPM Desa Jabon Kabupaten Jombang. Jurnal Sain med
Volume 7, Nomor 1, Juni 2015.

Maharyani, Hesti Wahyu & Handayani, Sri. Hubungan Karakteristik Suami Dengan
Keikutsertaan Suami Menjadi Akseptor Keluarga Berencana Di Wilayah Desa
Karangduwur Kecamatan Petanahan Kabupaten Kebumen Jawa Tengah.
Jurnal Kesmas UAD Vol. 4 No.1 September 2010

Mubarak, Wahit Iqbal, dkk. Ilmu Keperawatan Komunitas; Konsep dan Aplikasi.
Jakarta : Salemba Medika, 2011

Notoatmodjo, Soekidjo. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta,
2007.
86

Notoatmodjo. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2005

Padila. Keperawatan Maternitas. Yogyakarta Nuha Medika, 2014

Prawirohardjo Sarwono. Ilmu Kandungan. Jakarta, PT. Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo, 2011

Prawirohardjo Sarwono. Ilmu Kebidanan. Jakarta, PT. Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo, 2009

Rahma andi sitti. Fisiologi Laktasi. Alauddin University Press,2012

Setiyaningrum Erna & Zulfa Binti Aziz. Pelayanan Keluarga Berencana & Kesehatan
Reproduksi, CV. Trans Info Media,2014.

Sidabutar, Rasmina Anggi Permata Sari. Peran Suami Menurut Istri dalam
Pemakaian Alat Kontrasepsi di Rumah Sakit Umum Sundari Medan Tahun
2010. Program DIV Bidak Pendidik Univesitas Sumater Utara, 2008.

Siregar, Fazidah A. Pengaruh Nilai Dan Jumlah Anak P Ada Keluarga Terhadap
Norma Keluarga Kecil Bahagia Dan Sejahtera (NKKBS). Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara, 2003.

Siregar, Rahmi Yanti. Faktor yang mendasari penentuan jarak kehamilan pada
Pasangan Usia Subur di RB. Mahdarina, Padang Bulan. Program DIV Bidan
Pendidik Universitas Sumatera Utara, 2008.

Siswosudarmo,dkk. Tekhnologi Kontrasepsi Di Indonesia. Togyakarta : Medika


Fakultas Kedokteran UGM, 2007.

Sukiran,dkk. Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi. Pustaka Pelajar,2010

Sulastri, Sri & Nirmasari, Chichik. Hubungan Dukungan Suami Dengan Minat Ibu
Dalam Pemakaian Kontrasepsi IUD Di Bergas. Jurnal Unimus, 2014.

Sunaryo dan Zuriah, Pola Pengambilan Keputusan dalam Keluarga Wanita Karier di
kota Malang. Laporan Penelitian. Pusat Studi Wanita dan Kemasyarakatan
Lembaga Penelitian. Universitas Muhamadiyah Malang, 2004.

Suratum, dkk. Pelayanan Keluarga Berencana & Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta,


Trans Info Media, 2013
86

Susan. Pelayanan Keluarga Berencana. Jakarta, Pustaka Pelajar, 2006

Susuilowati, Pipit, dkk. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Suami Dalam Memilih


Alat Kontrasepsi. Skripsi. Depok : Fakultas Ilmu Keperawatan UI, 2010

Syuaib, Miswani, Mukani. Pelayanan Keluarga Berencana. Makassar, Alauddin


Universitas Press, 2011

Utami, Dwicahyanti. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keikutsertaan Pria Sebagai


Akseptor KB (Kondom Dan Vasektomi) Di Kelurahan Pondok Ranggon
Kecamatan Cipayung Jakarta Timur Tahun 2010. Skripsi. Depok : Peminatan
Kesehatan Reproduksi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia,
2010.

Wawan, A. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia.


Yogyakarta: Nuha Medik, 2011.

Wiludjeng, dkk. Dampak Pembakuan Peran Gender Terhadap Perempuan Kelas


Bawah di Jakarta. Jakarta : LBH-APIK, 2005.

Wulandari, Sri, dkk. Hubungan Faktor Sosialbudaya Dengan Keikutsertaan Kb Iud


Di Puskesmas Mergangsan Kota Yogyakarta Tahun 2013. Prodi Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana, Universitas Respati Indonesia,
2013

Yanti. Kesehatan Reproduksi. Jakarta, CV. Trans Info Media, 2007.


LAMPIRAN 1

LEMBAR PENJELASAN KEPADA SUBJEK PENELITIAN

Dengan hormat,

Saya yang bernama Resky Budianty, Mahasiswi Kebidanan Semester VI Fakultas

Kesehatan UIN Alauddin Makassar sedang melakukan penelitian yang berjudul “ Gambaran

Peran Suami Dalam Mengatur Jarak Kehamilan Di Puskesmas Samata-Gowa Tahun 2015”.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran suami dalam mengatur jarak kehamilan.

Saya mengharapkan keikutsertaan dan kerja sama dari saudara untuk memberikan

jawaban yang sebenar-benarnya dalam penelitian ini. Jawaban yang saudara berikan hanya akan

digunakan untuk kepentingan penelitian ini dan informasi yang saudara berikan akan dijaga

kerahasiannya.

Partisipasi saudara dalam keikut sertaan dalam penelitian ini dan informasi yang saudara

berikan akan dijaga kerahasiannya.

Demikian penjelasan ini saya sampaikan atas partisipasinya dan perhatian saudara, saya

ucapkan terima kasih.

Samata, 2015

Resky Budianty

LAMPIRAN 2

LEMBAR PERSETUJUAN SUBJEK PENELITIAN


LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN

(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama :

Umur :

Alamat :

No. Hp :

Setelah membaca dan mendapat penjelasan serta memahami sepenuhnya tentang

penelitian,

Judul penelitian : Gambaran Peran Suami Dalam Mengatur Jarak Kehamilan di Puskesmas

Samata-Gowa

Nama peliti : Resky Budianty

Dengan ini menyatakan bersedia untuk menjadi subjek penelitian dengan sukarela dan

tanpa paksaan.

Samata, 2015

( )

Nama dan ttd


LAMPIRAN 3

LEMBARAN KUISIONER
GAMBARA PERAN SUAMI DALAM MENGATUR JARAK
KEHAMILAN DI PUSKESMAS SAMATA TAHUN

I. IDENTITAS RESPONDEN (Suami)


Tanggal wawancara :
No. responden :
Nama responden :
Pendidikan responden :
Pekerjaan responden :
Jumlah anak :
Alamat :

A. Persetujuan suami agar istri hamil lagi


No Pertanyaan Ya Tidak
1. Saya sangat setuju jika istri saya hamil kembali
2. Saya tidak terlalu memperhatikan jarak kehamilan istri saya
3. Saya tidak keberatan dengan keinginan istri saya untuk hamil
kembali
4. Saya tidak melarang istri saya hamil lagi karena saya dapat
memenuhi kebutuhannya
5. saya tidak melarang istri saya hamil lagi karena anak itu merupakan
sebuah titipan dari Allah swt.
6. Saya tidak melarang istri saya hamil lagi karena semakin banyak
anak itu merupakan hiburan bagi saya
7. Saya tidak melarang istri saya hamil lagi karena saya sanggup
menafkahi anak-anak saya
8. Saya tidak melarang istri saya hamil lagi karena saya dapat membagi
waktu saya
9. Saya tidak melarang jika istri saya hamil lagi karena kita tidak boleh
menolak rezeki yang diberikan Allah swt
10. Saya tidak melarang istri saya hamil lagi karena banyak anak banyak
rezeki
B. Penolakan suami atas rencana istri jika hamil
No Pertanyaan Ya Tidak
1. Saya melarang istri saya hamil lagi karena setelah melahirkan
perempuan butuh waktu untuk hamil lagi
2. Saya melarang istri saya hamil lagi jika anak saya berumur di < 5
tahun
3. Saya tidak suka jika istri saya hamil lagi karena kurang perhatian
terhadap anaknya
4. Saya merasa jika istri saya hamil dengan jarak yang dekat dapat
mempengaruhi kesehatan alat reproduksinya
5. Saya melarang istri saya hamil karena ingin mengatur jarak usia anak
saya
6. Saya melarang istri saya hamil karena bisa mempengaruhi
perkembangan anak saya
7. Saya melarang istri saya hamil lagi karena masalah ekonomi
8. Saya melarang istri saya hamil lagi karena dapat mengganggu
pemberian ASI ( jika ibu masih menyusui)
9. Saya melarang istri saya hamil lagi karena takut tidak dapat
menafkahi anak-anak saya
10. Saya melarang istri saya hamil lagi karena tidak dapat memenuhi
kebutuhannya dan dapat memicu timbulnya masalah baru dalam
keluarga

C. Dukungan terhadap KB
No Pertanyaan Ya Tidak
1. Saya sangat mendukung jika istri saya KB
2. Saya merasa sagat setuju jika jarak kahamilan istri saya teratur
3. Saya akan mengatar istri saya untuk pergi ke KB
4. Saya merasa sangat setuju karena jika istri saya KB memiliki banyak
waktu untuk anak-anaknya
5. Saya merasa sangat setuju jika istri saya KB Karena tidak khawatir
lagi akan jarak kehamilan yang terlalu dekat
6. Saya merasa bahwa memiliki 2 anak itu sudah cukup
7. Saya merasa merasa setuju dengan KB kerena perencanaan dapat
diatur dan kehamilan terjadi pada waktu yang diinginkan.
8. Saya setuju dengan KB kerena dapat mewujudkan keluarga kecil
bahagia dan sejahtera
9. Saya setuju dengan KB karena dapat mengatur jumlah anak sesuai
keinginan
10. Saya setuju dengan KB karena dapat memberi kesempatan untuk
kesehatan reproduksi
D. Kerelaan suami untuk KB
No Pertanyaan Ya Tidak
1. Saya setuju jika harus ikut serta dalam penggunaan KB
2. Saya setuju bahwa menggunakan KB alami tidak memerlukan biaya
yang banyak
3. Saya setuju ikut KB karena ingin megatur jumlah anak
4. Saya setuju ikut serta dalam KB karena agama tidak melarangnya
5. Saya bersedia melakukan hubungan seksual dengan cara seagama
terputus
6. Saya besedia melakukan hubungan seksual dengan cara sistem
kalender
7. Saya bersedia melakukan hubungan seksual dengan memakai
kondom
8. Saya setuju ikut serta dalam KB karena ingin mengatur jarak
kehamilan istri saya
9. Saya setuju jika saya ikut KB karena tidak membutuhkan waktu yang
lama
10. Saya setuju ikut serta dalam KB karena tidak mengganggu hubungan
seksual
MASTER TABEL
GAMBARAN PERAN SUAMI DALAM MENGATUR JARAK KEHAMILAN DI PUSKESMAS SAMATA GOWA TAHUN 2015

PENDIDIKAN PEKERJAAN JARAK KEHAMILAN GAMBARAN PERAN DUKUNGAN


NO. REGISTER NAMA (inisial) JUMLAH ANAK JUMLAH (50%)
SD SMP SMA D3 S1 S2 BURUH PNS WIRASWASTA TIDAK BEKERJA  2 tahun < 2 tahun A B C D YA TIDAK
1 Tn " A" P P 2 P 4 8 7 6 25 P
2 Tn" M" P P 3 P 4 7 6 6 23 P
3 Tn"S" P P 2 P 3 8 6 4 21 P
4 Tn" R" P P 3 P 2 4 5 4 15 P
5 Tn"K" P P 4 P 3 5 5 5 18 P
6 Tn"MA" P P 3 P 3 4 6 6 19 P
7 Tn"IA" P P 2 P 4 6 7 6 23 P
8 Tn"DJM" P P 2 P 5 7 6 6 24 P
9 Tn"SE" P P 2 P 6 7 7 7 27 P
10 Tn"MO" P P 2 P 5 8 5 5 23 P
11 Tn"AHB" P P 3 P 3 4 4 5 16 P
12 Tn"MFA" P P 3 P 4 5 5 5 19 P
13 Tn"SY" P P 1 P 5 8 7 8 28 P
14 Tn"SAF" P P 1 P 5 7 8 7 27 P
15 Tn"FA" P P 1 P 6 7 7 6 26 P
16 Tn"A" P P 4 P 4 5 5 5 19 P
17 Tn"AA" P P 2 P 5 5 6 7 23 P
18 Tn"MS" P P 3 P 3 5 8 6 22 P
19 Tn"II" P P 2 P 4 8 7 5 24 P
20 Tn"K" P P 2 P 4 5 6 8 23 P
21 Tn"MU" P P 3 P 2 4 5 3 14 P
22 Tn"MR" P P 2 P 4 6 6 6 22 P
23 Tn"R" P P 2 P 5 7 8 5 25 P
24 Tn"F" P P 3 P 3 4 4 4 15 P
25 Tn"MA" P P 2 P 5 7 7 6 25 P
26 Tn"AB" P P 3 P 3 5 5 5 18 P
27 Tn"MJ" P P 2 P 4 8 6 6 24 P
28 Tn"AT" P P 1 P 5 7 6 5 23 P
29 Tn"N" P P 3 P 3 5 5 4 17 P
30 Tn"D" P P 1 P 4 8 8 7 27 P
31 Tn"A" P P 1 P 5 8 9 7 29 P
32 Tn"DH" P P 2 P 4 6 6 5 21 P
33 Tn"J" P P 2 P 5 8 7 5 25 P
34 Tn"Z" P P 2 P 3 5 7 6 21 P
35 Tn"RT" P P 3 P 4 6 6 6 22 P
36 Tn"S" P P 3 P 4 7 7 5 23 P
37 Tn"A" P P 2 P 6 8 8 6 28 P
38 Tn"M" P P 4 P 2 4 6 5 17 P
39 Tn"NS" P P 3 P 3 5 5 4 17 P
40 Tn"K" P P 2 P 4 7 7 6 24 P
41 Tn"HJ" P P 1 P 5 8 7 5 25 P
42 Tn"SA" P P 2 P 4 5 6 6 21 P
43 Tn"T" P P 2 P 3 6 6 6 21 P
44 Tn"MY" P P 1 P 4 7 7 6 24 P
45 Tn"D" P P 1 P 5 8 7 7 27 P
46 Tn"ZN" P P 2 P 5 7 8 5 25 P
47 Tn"MQ" P P 1 P 4 5 7 5 21 P
48 Tn"AL" P P 1 P 5 7 7 5 24 P
49 Tn"P" P P 2 P 4 5 8 5 22 P

Anda mungkin juga menyukai