Anda di halaman 1dari 4

Katanya Aku Pemalas

Oleh: Akhmad Gunawan Wibisono

Namaku Silas. Pendeknya orang memanggilku “Las”. Aku terlahir dari keluarga yang tak
jelas. Kusebut tak jelas sebab sejak kecil, yang kupandangi bukanlah wajah kedua orangtuaku,
melainkan seseorang yang kupanggil nenek. Ia yang mengasuhku sejak kecil.

Entah, nenek tak pernah cerita perihal asal usulku sebenarnya. Nenek masih ambigu tiap
kali kutanya, “Nek, siapa ayah ibuku?” Ia seringkali membohongiku dengan narasi bahwa ayah
dan ibuku sedang merantau jauh. Yang pada kemudian hari aku baru memahami bahwa kalimat
itu hanyalah perhalusan dari kata minggat; istilah bahasa Jawa untuk menyebut seseorang yang
meninggalkan rumah tanpa pamit.

Di usia ke 28 tahun, kata orang-orang aku amat menyedihkan. Kau bisa bayangkan, aku
tak punya pekerjaan, tinggal di gubuk reyot dengan orang tua renta, kesibukanku hanya
nongkrong dari warung ke warung, dari selepas isya hingga dini hari kugunakan untuk bermain
gaple bersama warga komplek.

Tapi tunggu dulu, itu kan kata orang. Mereka tak paham bagaimana sudut pandang
seorang lelaki yang bernama Silas ini.

Pukul 9 pagi adalah waktu persisku bangun tidur, waktu tersebut menjadi patokan kala
diriku tergolek lemas di atas pembaringan. Dengan bekerjapan kulirik jam dinding yang
menempel di dinding kayu rumahku itu. “Jam berapa ini?” Benarlah pukul 9, kadang lebih
sedikit dan tak pernah kurang dari itu.

Aku bergegas ke kamar mandi untuk sekadar cuci muka lalu duduk-duduk di teras,
menyulut rokok sisa kondangan kemarin atau sambungan puntung yang kukumpulkan beberapa
waktu sebelumnya, nikmat sekali rasanya.

Merogoh kocek, “ah kosong melompong.”

Aku mendadak bengong sebab diriku tak pernah seperti orang-orang yang sibuk bekerja
untuk mendapatkan uang. Aku tak mau seperti itu, aku tak kuat diatur-atur seorang bos.

Di dekat rumahku, kira-kira 150 meter ke arah utara terdapat jalan raya. Di sana ada
minimarket yang cukup ramai. Akupun mengambil topi, peluit, sebuah rompi lusuh dan celana
kempol lalu pergi ke depan minimarket itu.

Di sanalah aku merapikan motor para pembeli, kadang juga merambu truck box yang
datang mengirim barang; kubantu juga kernetnya. Para pembeli di situ agaknya tak pernah
paham bagaimana etika menaruh kendaraan yang baik. Meski aku tak punya motor, aku pun tahu
bagaimana untuk merapikannya.
“Berserakan sekali.” Akhirnya kutata satu per satu. Dan kau tahu apa yang terjadi
bilamana para pembeli itu keluar dari minimarket? Mereka memberiku uang dua ribuan, kadang
lima ribu, bahkan sepuluh ribu.

Di situlah senyum sumringah kuberikan lalu kuarahkan motornya sembari bertanya, “Ke
arah mana?” Mereka dengan senang hati menunjukkan arah yang dimaksud, lalu kuarahkan ke
situ.

Biasanya aku duduk agak menjauh dari minimarket, di pojokkan kanan depan persisnya.
Kala kupandangi dari kejauhan, tak semua wajah-wajah yang kulihat keluar dari minimarket itu
sumringah. Ada juga yang memasang wajah sedikit kesal, ada yang sedikit muram, ada juga
yang datar.

“Ah, mungkin tak puas dengan pelayanan kasir,” pikirku seringkali.

Misalnya seorang wanita berkerudung merah marun satu ini. Sekeluarnya dari
minimarket ia langsung menaiki motor, tetiba aku muncul, berlari kecil dari tempat dudukku lalu
membantu untuk menarik bokong motornya.

Kudengar lenguhan kecil dan ia menunjukkanku baliho besar di tembok kiri bertuliskan
“parkir gratis!”. Aku pun hanya diam tak menggubris, aku bukan tukang parkir. Aku hanya ingin
membantu merapikan motor pembeli, itu saja. Begitu kalimat yang sering kuucapkan ke diri
sendiri.

Tak lama kemudian ia mengeluarkan uang dua ribuan dari dasbor motornya. Lalu
kulempar senyum kepadanya, dia membalasnya senyum kecut. Entahlah aku tak tahu maksud
orang-orang itu kenapa sinis melihat kebiasaanku merapikan motor.

“Semudah ini mendapatkan uang?” Ucapku kala menghitung lembaran rupiah di teras
depan. Sehari saja aku bisa mendapatkan hampir 300 ribu. Angka yang cukup fantastis bagi
lelaki seumuranku. Bayangkan, sehari 300 ribu, sebulan aku mampu mengumpulkan 9 juta.

Uang itu biasa kugunakan untuk beli rokok, menraktir orang-orang di warung, sebagian
kadang kuberikan pada nenek. Ah enak sekali punya banyak uang. Aku tak pernah lagi bingung
kala harus menaruh nomor togel. Uangku banyak, aku bisa pilih nomor seenaknya. Toh
seandainya kalah, itu tak mempengaruhi pendapatanku.

***

Beberapa waktu kemudian, kasak-kusuk diriku yang sering menertibkan motor di


minimarket itu membuat resah pembeli. Salah seorang pemuda mendatangiku dengan langkah
cepat, ia mendamprat dengan kalimat, “Mas, itu ada tandanya parkir gratis!” Tapi kujawab santai
bahwa aku cuma merapikan motor, bukan tukang parkir. Tapi mereka ngotot tak percaya.
Persetan, aku pun terus melakukan itu tiap hari.
Pernah juga kujawab, “jika aku tukang parkir, maka jelas sekali aku memaksa orang-
orang agar membayar jasa parkir, nyatanya mereka sukarela memberi tanpa dipaksa.” Dan orang-
orang itu lekas membuang muka dan pergi dariku.

Belakangan aku makin risau kala orang-orang memandangku sebagai pemuda yang
pemalas, mereka saling berbisik, berkata:

“Lihat, lelaki pemalas itu..”

“Iya, tak tahu malu..”

“Lihat saja dirinya, tak mau bekerja..”

Lalu aku memandangi diriku sendiri, apakah aku pemalas? Apakah seseorang bisa
disebut giat manakala dirinya bekerja di kantor atau menjadi pekerja proyek? Aku bukan lelaki
pemalas sebab hari-hariku juga kugunakan untuk menertibkan motor, catat baik-baik; hanya
menertibkan motor. Pun aku ikhlas seandainya tak diberi uang, kenapa orang-orang menjadi
sewot?

Pun orang-orang ramah kepadaku, biasanya Lik Karmin akan menyapaku kala aku
menyedot rokok sembari mencecap segelas kopi di meja. “Las, piye dino iki? Oleh akeh?” Aku
pun menjawab dengan isyarat jempol. Kata orang-orang itu adalah sindiran kepadaku. Hah?
Apanya yang sindiran? Lik Karmin hanya bertanya soal banyak atau tidaknya pembeli yang
mendatangi minimarket, bukan hal lain.

Beberapa waktu, sekitar dua bulan lebih aku menjalankan rutinitas itu. Aku tetiba
mendapatkan surat laporan dari Pak RT. Isinya adalah pelaporan perihal keresahan warga atas
tindakanku merapikan motor, mereka memintaku berhenti. Aku mengajukan banding pada Pak
RT, “Pak, pihak minimarket tak pernah berkeluh kesah atas ini, malahan mereka senang dengan
keberadaanku.”

Dan itulah fakta yang sebenarnya, pihak minimarket tak pernah sinis, apalagi mengusirku
dari sana. Karena mereka bermurah hati, terkadang beberapa karyawan juga kukasih uang-uang
kecil sebagai salam pertemanan. Aku memang suka berbagi dengan mereka, aku mengenal
karyawan itu dengan baik.

Malahan mereka sering mencariku kala aku tak enak badan, “kemarin kemana, Las?”
tanya seorang karyawan. Tapi berdasar surat laporan Pak RT itu, aku dikiranya menganggu
ketertiban umum. Ya Tuhan, kenapa orang-orang selalu menghalangi i’tikad orang berbuat baik?
Dari situ aku memberhentikan kebiasaan baikku untuk merapikan motor di minimarket. Mungkin
masih banyak kebaikan yang bisa kulakukan selain itu.
Semenjak tak merapikan motor lagi, aku pun sekarang menjadi sukarela di lampu merah
untuk membersihkan kaca-kaca mobil dengan sulak yang terbuat dari bulu ayam. Aku senang
berbuat seperti itu, semoga tak ada yang risau lagi dengan perbuatanku itu.

Syukurlah, kebiasaan baikku disambut baik orang-orang, aku sering dikasihnya uang
receh.[]

Bantul, 7 Januari 2024.

Dimuat di Kompasiana.com

Anda mungkin juga menyukai