ISI - Pendidikan Pancasila Di Perguruan Tinggi
ISI - Pendidikan Pancasila Di Perguruan Tinggi
DI PERGURUAN TINGGI
MATERI/BAHAN KULIAH
Oleh:
MANOKWARI
2023
Penulis
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................ 1
A. Landasan Pendidikan Pancasila................................. 1
1. Landasan Historis.............................................................. 1
2. Landasan Kultural............................................................. 2
3. Landasan Yuridis................................................................ 3
4. Landasan Filsofis................................................................. 4
B. Tujuan Mempelajari Pancasila..................................... 5
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................174
1. Landasan Historis
Suatu bangsa memiliki ideologi dan pandangan hidup
yang diambil dari nilai-nilai bangsa itu sendiri. Nilai-nilai
luhur yang terkristalisasi dalam Pancasila tersebut digali
dari bangsa Indonesia yang telah tumbuh dan berkembang
semenjak bangsa Indonesia ada, yakni nilai-nilai ketuhanan,
seperti kepercayaan kepada Tuhan telah berkembang dan
sikap toleransi dan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab
dan sila-sila yang lain. Setelah melalui proses sejarah yang
cukup panjang, nilai-nilai Pancasila itu dijadikan sebagai
dasar Negara.
Tercatat dalam sejarah bahwa, perjalanan ketatanegaraan
Indonesia telah terjadi perubahan dan pergantian undang-
undang dasar, seperti UUD 1945 digantikan dengan Konstitusi
RIS, kemudian berubah menjadi UUD Sementara, dan
kembali lagi menjadi UUD 1945. Dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar itu tetap tercantum nilai-nilai Pancasila. Hal
ini menunjukkan bahwa Pancasila telah disepakati sebagai
nilai yang dianggap paling tinggi kebenarannya. Oleh sebab
itu, secara historis kehidupan bangsa Indonesia tidak dapat
dilepaskan dengan nilai-nilai Pancasila.
Keyakinan bangsa Indonesia telah begitu tinggi terhadap
kebenaran nilai-nilai Pancasila dalam sejarah kenegaraan
Negara Indonesia. Pancasila mendapat tempat yang berbeda-
beda dalam pandangan rezim Pemerintahan yang berkuasa.
Penafsiran Pancasila didominasi oleh pemikiran-pemikiran
2. Landasan Kultural
Pandangan hidup suatu bangsa tidak dapat dipisahkan
dengan kehidupan bangsa itu sendiri. Bangsa yang tidak
memiliki pandangan hidup adalah bangsa yang tidak
memiliki kepribadian dan jati diri sehingga bangsa itu mudah
terombang-ambing dari pengaruh yang berkembang dari luar
negerinya. Kepribadian yang lahir dari dalam dirinya sendiri
akan lebih mudah menyaring masuknya nilai-nilai yang
datang dari luar sehingga dapat memperkokoh nilai-nilai yang
sudah tertanam dalam diri bangsa itu sendiri. Sebaliknya,
apabila bangsa itu menerima nilai-nilai kepribadian dari
bangsa luar, tentu akan mudah terpengaruh karena nilai-
nilai tersebut belum teruji kebenarannya sehingga dapat
melunturkan bahkan menghilangkan jati diri bangsa
Indonesia.
Pancasila sebagai kepribadian dan jati diri bangsa
Indonesia merupakan pencerminan nilai-nilai yang telah
lama tumbuh dalam kehidupan bangsa Indonesia. Nilai-nilai
yang dirumuskan dalam pancasila bukanlah pemikiran satu
orang, seperti halnya pemikiran komunis yang merupakan
pemikiran dari Karl Marx, melainkan pemikiran konseptual
4. Landasan Filsofis
Secara filsofis dan obyektif, nilai-nilai yang tertuang
dala sila-sila Pancasila merupakan filsofi bangsa Indonesia
sebelum mendirikan Negara RI. Sebelum berdirinya
Negara Indonesia, bangsa Indonesia adalah bangsa yang
berketuhanan, bangsa yang berkemanusiaan yang adil dan
beradab, dan bangsa yang selalu berusaha mempertahankan
persatuan bagi seluruh rakayat untuk mewujudkan keadilan.
Oleh karena itu, sudah merupakan kewajiban moral untuk
merealisasikan nilai-nilai tersebut dalam segala bidang
kehidupan berbangsa dan bernegara.
1. Konstitusi
Konstitusi berasal berasal dari bahasa Inggris Contitution,
atau bahasa Belanda Contitute, yang artinya undang-undang
dasar. Orang Jerman dan Belanda dalam percakapan sehari-
hari menggunakan kata Grondwet yang berasal dari suku
kata grond = dasar dan wet = undang-undang, yang kedua-
duanya menunjuk pada naskah tertulis.
Pengertian konstitusi dalam praktek ketatanegaran
umumnya dapat berarti pertama lebih luas dari undang-
undang dasar karena pengertian undang-undang dasar
hanya meliputi konstitusi tertulis saja pada hal masih
terdapat konstitusi tidak tertulis yang tidak tercakup dalam
undang-undang dasar. Keduanya sama pengertiannya
dengan undang-undang dasar karena hanya berisi aturan
tertulis.
Dalam praktek ketatanegaraan Republik Indonesia
konstitusi sama dengan pengertian undang-undang dasar.
Hal ini terbukti dengan disebutkannya istilah konstitusi
Republik Indonesia Serikat bagi undang-undang dasar
Republik Serikat ( Kaelan, 2000:99).
Di Indonesia Undang-Undang Dasar pada dasarnya
adalah suatu hukum dasar tertulis (konstitusi negara).
Pengertian hukum dasar adalah aturan-aturan dasar yang
dipakai sebagai landasan dasar dan sumber bagi berlakunya
seluruh hukum/peraturan/perundang-udangan dan pe
3. Alinea Ketiga
Pada alinea ketiga Pembukaan UUD 1945, pernyataan
kemerdekaan oleh rakyat Indonesia mengingatkan kembali
pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sehari
sebelum Pembukaan ditetapkan. Alinea ketiga Pembukaan
tidak lepas dari ikatan dengan alinea 1 dan alinea 2, bahwa
perjuangan bangsa Indonesia dalam membela tegaknya
dan hak kodrat serta hak moral sebagai satu bangsa atas
kemerdekaan. Alinea ketiga memberi penjelasan proses
perjuangan bangsa Indonesia sampai terwujudnya negara
indonesia merdeka. Jadi ada penjelasan kenapa kita merdeka
tetapi juga menegaskan bahwa kemerdekaan itu adalah hak
kodrat dan hak moral bangsa Indonesia sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Kuasa.
Atas berkat rahmat Allah, mewujudkan suatu pengikraran
dasar keyakinan hidup religius yang mendalam bangsa
Indonesia. Tercapainya kemerdekaan bukan semata-mata
hasil usaha manusia, melainkan karunia Tuhan Ynag Maha
Esa.
Dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, mempunyai makna
untuk mewujudkan keyakinan terhadap azas moral yang
tinggi dan cita-cita mencapai kemakmuran berdasar norma-
norma keadilan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
danbernegara jelas merupakan suatu keinginan luhur.
Yang menyatakan kemerdekaan adalah rakyat Indonesia,
secara implisit melenyapkan segala kesangsian dukungan
rakyat terhadap kemerdekaan. Segala sesuatu yang ber
kenaan dengan pernyataan kemerdekaan oleh rakyat, untuk
4. Alinea keempat
Isi pengertian alinea keempat Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Istilah “kemudian daripada itu….” Berarti setelah
berdirinya negara Republik Indonesia dengan pernyataan
Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
2. Setelah berdirinya negara dibentuklah suatu Pemerintah
an negara guna melaksanakantujuan negara yaitu:
a. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia;
b. Memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial;
c. Untuk membentuk pemerintahan negara supaya
melaksanakan tujuannya yang sedemikian itu,
disusunlah undang-undang dasar;
d. UUD yang dimaksudkan itu terbentuk dalam suatu
susunan negara republik yang berkedaulan rakyat;
e. Negara republik yang berkedaulatan rakyat ini
berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradap, Persatuan
Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawatan/perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Tegasnya negara yang berdasar Pancasila.
6. Masa Reformasi
Masa Reformasi adalah masa yang berisikan perbaikan,
pembaharuan atau pemulihan kembali bidang-bidang
tertentu dalam ketatanegaraan Indonesia yang dimulai
tanggal 21 Mei 1998 sampai sekarang. Masa ini UUD 1945
14 Anshari, Endang Saifuddin, 1981, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus
Nasional antara Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekular” tentang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945-1959, Pustaka-Perpustakaan Salman ITB, Bandung, Hlm. 99
15 Ibid. Hlm. 99-100
20 Setiardja, A. Gunawan, 1994, Filsafat Pancasila Bagian II: Moral Pancasila, Universitas
Diponegoro, Semarang. Soekarno, 1989, Pancasila dan Perdamaian Dunia, CV Haji. Hlm. 5
21 Pranoto dalam Dodo dan Endah opcit. Hlm. 42
28 Hidayat, Arief, 2012, “Negara Hukum Pancasila (Suatu Model Ideal Penyelenggaraan
Negara Hukum”, Makalah pada Kongres Pancasila IV di UGM Yogyakarta tanggal 31 Mei- 1
Juni 2012.
A. Pendahuluan
Dasar negara Indonesia, dalam pengertian historisnya
merupakan hasil pergumulan pemikiran para pendiri
negara (The Founding Fathers) untuk menemukan landasan
atau pijakan yang kokoh untuk di atasnya didirikan negara
Indonesia merdeka. Walaupun rumusan dasar negara itu
baru mengemuka pada masa persidangan Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI),
namun bahan-bahannya telah dipersiapkan sejak awal
pergerakan kebangsaan Indonesia32. menyebutkan bahwa
setidaknya sejak dekade 1920-an pelbagai kreativitas intelek
tual mulai digagas sebagai usaha mensintesiskan aneka
ideologi dan gugus pergerakan dalam rangka membentuk
“blok historis” (blok nasional) bersama demi mencapai
kemerdekaan.
BPUPKI yang selanjutnya disebut dalam bahasa Jepang
sebagai Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Persiapan
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) dibentuk pada 29
April 1945 sebagai realisasi janji kemerdekaan Indonesia
pada 24 Agustus 1945 dari pemerintah Jepang. Anggota
BPUPKI berjumlah 63 orang, termasuk Dr. KRT. Radjiman
Wedyodiningrat sebagai ketua, Itibangase Yosio (anggota luar
biasa yang berkebangsaan Jepang) dan R. Pandji Soeroso
(merangkap Tata Usaha) masing-masing sebagai wakil ketua
Pembicaraan mengenai rumusan dasar negara Indonesia
melalui sidang-sidang BPUPKI berlangsung dalam dua
32 Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hlm. 5
33 Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (peny.), 1995: 63, 69,
81, dan RM. A.B. Kusuma, 2004: 117, 121, 128-129.
34 Bakry Bakry, Noor Ms., 2010, Pendidikan Pancasila, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Hlm. 31
A. Pendahuluan
Ideologi di negara-negara yang baru merdeka dan sedang
berkembang, menurut Prof. W. Howard Wriggins, berfungsi
sebagai sesuatu yang “confirm and deepen the identity of
their people” (sesuatu yang memperkuat dan memperdalam
identitas rakyatnya). Namun, ideologi di negara-negara
tersebut, menurutnya, sekadar alat bagi rezim-rezim yang
baru berkuasa untuk melanggengkan kekuasaannya.
Ideologi ialah alat untuk mendefinisikan aktivitas politik yang
berkuasa, atau untuk menjalankan suatu politik “cultural
management”, suatu muslihat manajemen budaya47 Oleh
sebab itu, kita akan menemukan beberapa penyimpangan
para pelaksana ideologi di dalam kehidupan di setiap negara.
Implikasinya ideologi memiliki fungsi penting untuk penegas
identitas bangsa atau untuk menciptakan rasa kebersamaan
sebagai satu bangsa. Namun di sisi lain, ideologi rentan
disalahgunakan oleh elit penguasa untuk melanggengkan
kekuasaan.
Ideologi itu, menurut Oesman dan Alfian48 berintikan
serangkaian nilai atau sistem nilai dasar yang bersifat
menyeluruh dan mendalam yang dimiliki dan dipegang
oleh suatu masyarakat atau bangsa sebagai wawasan atau
pandangan hidup bangsa mereka. Ideologi merupakan
kerangka penyelenggaraan negara untuk mewujudkan cita-
cita bangsa. Ideologi bangsa adalah cara pandang suatu
bangsa dalam menyelenggarakan negaranya. Ideologi adalah
51 Oesman, Oetojo dan Alfian (Ed.), 1990, Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, BP-7 Pusat, Jakarta.Hlm. 48
52 Latif. Opcit. 6
E. Penutup
Rodee dkk (1995: 54) menyatakan bahwa homogenitas
kebudayaan adalah suatu kekuatan luar biasa yang bekerja
atas nama identitas nasional. Pada paparan selanjutnya,
secara implisit Rodee menyatakan bahwa identitas nasional
akan berpengaruh terhadap kestabilan negara. Realitas
negara dan bangsa Indonesia teramat heterogen secara
budaya, bahkan paling heterogen di dunia, lebih dari itu
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Kondisi
tersebut mensyaratkan hadirnya ideologi negara yang
dihayati dan diamalkan oleh seluruh komponen bangsa.
Implikasinya, fungsi ideologi negara bagi bangsa
Indonesia amat penting dibandingkan dengan pentingnya
ideologi bagi negara-negara lain terutama yang bangsanya
homogen. Bagi bangsa Indonesia, ideologi sebagai identitas
nasional merupakan prasyarat kestabilan negara, karena
bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen.
Hadirnya ideologi Pancasila tersebut, paling tidak akan
berfungsi untuk: 1) menggambarkan cita-cita bangsa, ke
arah mana bangsa ini akan bergerak; 2) menciptakan rasa
kebersamaan dalam keluarga besar bangsa Indonesia sesuai
dengan sesanti Bhinneka Tunggal Ika; dan 3) menggairahkan
seluruh komponen bangsa dalam mewujudkan cita-cita
bangsa dan negara Republik Indonesia.
A. Pendahuluan
B. Pengertian Filsafat
Istilah ‘filsafat’ berasal dari bahasa Yunani, (philosophia),
tersusun dari kata philos yang berarti cinta atau philia yang
berarti persahabatan, tertarik kepada dan kata sophos
yang berarti kebijaksanaan, pengetahuan, ketrampilan,
pengalaman praktis, inteligensi (Bagus, 1996: 242). Dengan
demikian philosophia secara harfiah berarti mencintai
kebijaksanaan. Kata kebijaksanaan juga dikenal dalam
bahasa Inggris, wisdom. Berdasarkan makna kata tersebut
maka mempelajari filsafat berarti merupakan upaya manusia
untuk mencari kebijaksanaan hidup yang nantinya bisa
menjadi konsep yang bermanfaat bagi peradaban manusia.
Suatu pengetahuan bijaksana akan mengantarkan
seseorang mencapai kebenaran. Orang yang mencintai
pengetahuan bijaksana adalah orang yang mencintai
kebenaran. Cinta kebenaran adalah karakteristik dari setiap
filsuf dari dahulu sampai sekarang. Filsuf dalam mencari
kebijaksanaan, mempergunakan cara dengan berpikir
sedalam-dalamnya. Filsafat sebagai hasil berpikir sedalam-
dalamnya diharapkan merupakan pengetahuan yang paling
bijaksana atau setidak-tidaknya mendekati kesempurnaan.
C. Filsafat Pancasila
Filsafat Pancasila dapat didefinisikan sebagai refleksi
kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar negara
dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk
mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang mendasar
dan menyeluruh. Pancasila dikatakan sebagai filsafat,
karena Pancasila merupakan hasil permenungan jiwa
yang mendalam yang dilakukan oleh the founding fathers
Indonesia, yang dituangkan dalam suatu sistem (Abdul
Gani, 1998).
Pengertian filsafat Pancasila secara umum adalah hasil
berpikir atau pemikiran yang sedalam-dalamnya dari
bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini
sebagai kenyataan, norma-norma dan nilai-nilai yang benar,
adil, bijaksana, dan paling sesuai dengan kehidupan dan
kepribadian bangsa Indonesia.
Filsafat Pancasila kemudian dikembangkan oleh Soekarno
sejak 1955 sampai kekuasaannya berakhir pada 1965.
A. Pendahulun
Pancasila memiliki bermacam-macam fungsi dan
kedudukan, antara lain sebagai dasar negara, pandangan
hidup bangsa, ideologi negara, jiwa dan kepribadian bangsa.
Pancasila juga sangat sarat akan nilai, yaitu nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Oleh
karena itu, Pancasila secara normatif dapat dijadikan
sebagai suatu acuan atas tindakan baik, dan secara filosofis
dapat dijadikan perspektif kajian atas nilai dan norma
yang berkembang dalam masyarakat. Sebagai suatu nilai
yang terpisah satu sama lain, nilai-nilai tersebut bersifat
universal, dapat ditemukan di manapun dan kapanpun.
Namun, sebagai suatu kesatuan nilai yang utuh, nilai-
nilai tersebut memberikan ciri khusus pada ke-Indonesia-
an karena merupakan komponen utuh yang terkristalisasi
dalam Pancasila. Meskipun para founding fathers mendapat
pendidikan dari Barat, namun causa materialis Pancasila
digali dan bersumber dari agama, adat dan kebudayaan
yang hidup di Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila yang
pada awalnya merupakan konsensus politik yang memberi
dasar bagi berdirinya negara Indonesia, berkembang menjadi
konsensus moral yang digunakan sebagai sistem etika yang
digunakan untuk mengkaji moralitas bangsa dalam konteks
hubungan berbangsa dan bernegara.
1. Etika Deontologi
Etika deontologi memandang bahwa tindakan dinilai
baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai
atau tidak dengan kewajiban. Etika deontologi tidak
3. Etika Keutamaan
Etika ini tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan,
tidak juga mendasarkan pada penilaian moral pada kewajiban
terhadap hukum moral universal, tetapi pada pengembangan
karakter moral pada diri setiap orang. Orang tidak hanya
melakukan tindakan yang baik, melainkan menjadi orang
yang baik. Karakter moral ini dibangun dengan cara
meneladani perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh
para tokoh besar. Internalisasi ini dapat dibangun melalui
cerita, sejarah yang didalamnya mengandung nilai-nilai
keutamaan agar dihayati dan ditiru oleh masyarakatnya.
Kelemahan etika ini adalah ketika terjadi dalam masyarakat
yang majemuk, maka tokoh-tokoh yang dijadikan panutan
juga beragam sehingga konsep keutamaan menjadi sangat
beragam pula, dan keadaan ini dikhawatirkan akan
menimbulkan benturan sosial.
Kelemahan etika keutamaan dapat diatasi dengan cara
mengarahkan keteladanan tidak pada figur tokoh, tetapi
pada perbuatan baik yang dilakukan oleh tokoh itu sendiri,
sehingga akan ditemukan prinsip-prinsip umum tentang
karakter yang bermoral itu seperti apa.
Selanjutnya akan dibahas tentang etika Pancasila
sebagai suatu aliran etika alternatif, baik dalam konteks
keindonesiaan maupun keilmuan secara lebih luas.
D. Etika Pancasila
Etika Pancasila tidak memposisikan secara berbeda
atau bertentangan dengan aliran-aliran besar etika yang
mendasarkan pada kewajiban, tujuan tindakan dan
pengembangan karakter moral, namun justru merangkum
dari aliran-aliran besar tersebut. Etika Pancasila adalah etika
yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nilai-nilai
A. Pendahuluan
A. Pendahuluan
Bangsa Indonesia melalui lembaga negara tertinggi, MPR
sebagai penjelmaan rakyat, menetapkan kehendaknya yakni
ketetapan hati untuk mewariskan dan melestarikan negara
kesatuan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kehendak
rakyat ini tertuang dalam Ketetapan MPR No. I/MPR/1979
jo. Tap MPR No. I/MPR/1993 dan Tap MPR No. I/MPR/1988.
Tekad bangsa ini mencerminkan kemantapan bangsa kita
atas keyakinan benar dan baiknya bangsa dan filsafat
negara Pancasila dan sistem kenegaraan kita berdasarkan
UUD 1945.
Untuk mewujudkan tujuan mewariskan dan melestarikan
Pancasila dan UUD 1945 ini merupakan kewajiban dan
tanggung jawab semua warga negara.
Rangkuman
1. Pewarisan dalam arti penerusan nilai-nilai Pancasila
sebagai pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia,
dari generasi ke generasi, harus dilakukan secara sadar
dan bertanggung jawab, demi mempertaruhkan eksistensi
bangsa dan negara Indonesia.
2. Nilai-nilai Pancasila harus kita hayati sungguh-sungguh
dan kita amalkan dalam kehidupan kita sebagai bangsa,
jika kita tidak ingin tenggelam dalam arus dunia yang
makin mengelora dengan pesatnya kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, jika kita ingin terseret dan
terombang ambing oleh gelombang dunia moderen yang
makin melanda tiap bangsa.
3. kelangsungan hidup negara dan bangsa Indonesia di
tengah-tengah ideologi yang dianut oleh negara-negara
lain (liberalisme ataupun komunisme), mengharuskan
kita untuk mengupayakan secara berencana pelestarian