Anda di halaman 1dari 67

Standar

Penataan
Ruang
(SPR)
Untuk
Penyusunan

DRAFT VI (18 SEPT 2014)

Peratura
n
Zonasi

KEMENTERIAN PEKERJAAN
UMUM

D I R E K T O R AT J E N D E R A L P E N ATA A N R UA N G
DIREKTORAT PEMBINAAN PENATAAN RUANG DAERAH

UNDANG-UNDANG NO. 26 TAHUN 2007


PERENCANAAN TATA RUANG :
Menghasilkan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang
RENCANA UMUM
TATA RUANG

WILAYAH

Ps. 14 ayat (2)

RENCANA RINCI TATA RUANG

disusun
apabila:

RTR PULAU / KEPULAUAN


RTR KWS STRA. NASIONAL

RTRW PROVINSI

RTR KWS STRA. PROVINSI

RTRW KABUPATEN

RDTR WIL KABUPATEN

RTR KWS PERKOTAAN DLM


WIL KABUPATEN
RTR BAGIAN WIL KOTA
RTRW KOTA

RTR KWS STRA KOTA


RDTR WIL KOTA

Ps. 14 ayat (4)

a.

rencana umum tata ruang


belum dapat dijadikan dasar
dalam pelaksanaan
pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan
ruang; dan/atau

b.

rencana umum tata ruang


mencakup wilayah
perencanaan yang luas dan
skala peta dalam rencana
umum tata ruang tersebut
memerlukan perincian
sebelum dioperasionalkan

RTR KWS STRA KABUPATEN

RTR KWS METROPOLITAN

PERKOTAAN

sebagai perangkat operasional


rencana umum tata ruang

Ps. 14 ayat (3)

RTRW NASIONAL

Ps. 14 ayat (1)

Ps. 14 ayat (5)

Sebagai dasar penyusunan


peraturan zonasi
Ps. 14 ayat (6)

KETENTUAN RENCANA RINCI DALAM PP 15/2010


Pasal 39
(1) Penyusunan dan penetapan rencana rinci tata ruang meliputi:
a. penyusunan dan penetapan rencana tata ruang pulau/kepulauan;
b. penyusunan dan penetapan rencana tata ruang kawasan strategis nasional;
c. penyusunan dan penetapan rencana tata ruang kawasan strategis provinsi;
d. penyusunan dan penetapan rencana tata ruang kawasan strategis
kabupaten/kota; dan
e. penyusunan dan penetapan rencana detail tata ruang untuk rencana tata ruang
wilayah kabupaten/kota.
(2) Jangka waktu penyusunan dan penetapan rencana rinci tata ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak
pelaksanaan penyusunan rencana rinci tata ruang.
(3) Jangka waktu penyusunan dan penetapan rencana rinci tata ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak melebihi masa berakhirnya rencana rinci tata ruang
yang sedang berlaku.
Pasal 41
Rencana rinci tata ruang kabupaten/kota merupakan dasar penyusunan rencana tata
bangunan dan lingkungan bagi zona-zona yang pada rencana rinci tata ruang
ditentukan sebagai zona yang penanganannya diprioritaskan.

RENCANA RINCI TATA RUANG KABUPATEN


RENCANA RINCI TATA RUANG
KABUPATEN
RENCANA TATA RUANG
KAWASAN STRATEGIS

PERTAHANANKEAMANAN
PERTUMBUHAN
EKONOMI
SOSIAL DAN
BUDAYA
SDA DAN/ATAU
TEKNOL. TINGGI
FUNGSI DAN DAYA
DUKUNG LH

RENCANA DETAIL
TATA RUANG (RDTR)
Batas Waktu :
36 Bulan setelah
Penetapan RTRW

TELAH DIARAHKAN
DALAM RTRW
KAW.PERKOTAAN/
STRATEGIS KAB
PRIORITAS PEMB.
BARU

Prosedur Penyusunan :
Proses Penyusunan
Pelibatan Peran Masyarakat
Pembahasan Rancangan
Proses Penyusunan :
Persiapan
Pengumpulan Data
Pengolahan Data & Analisis
Perumusan Konsepsi
Penyusunan Raperda
Prosedur Penetapan :
Pengajuan Raperda
Persetujuan Substansi
Persetujuan Bersama
Evaluasi Gubernur
Penetapan Raperda

KETENTUAN PERATURAN ZONASI DALAM PP 15/2010


Pasal 149
Pengaturan zonasi terdiri atas:
a. arahan peraturan zonasi sistem nasional;
b. arahan peraturan zonasi sistem provinsi; dan
c. peraturan zonasi pada wilayah kabupaten/kota.

Pasal 150
Pengaturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 memuat
ketentuan mengenai:
a. jenis kegiatan yang diperbolehkan, diperbolehkan dengan syarat, dan
tidak diperbolehkan;
b. intensitas pemanfaatan ruang;
c. prasarana dan sarana minimum; dan
d. ketentuan lain yang dibutuhkan.

KETENTUAN PERATURAN ZONASI DALAM PP 15/2010


Pasal 154
(1) Peraturan zonasi kabupaten/kota memuat zonasi pada setiap zona peruntukan.
(2) Zona peruntukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu bagian wilayah
atau kawasan yang ditetapkan dalam rencana tata ruang untuk mengemban suatu fungsi
tertentu sesuai dengan karakteristik zonanya.
(3) Ketentuan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. ketentuan kegiatan dan penggunaan ruang yang diperbolehkan, diperbolehkan dengan
syarat, dan yang tidak diperbolehkan;
b. ketentuan intensitas pemanfaatan ruang paling sedikit terdiri atas:
1. koefisien dasar bangunan maksimum;
2. koefisien lantai bangunan maksimum;
3. ketinggian bangunan maksimum; dan
4. koefisien dasar hijau minimum.
c. ketentuan prasarana dan sarana minimum sebagai kelengkapan dasar fisik lingkungan
yang mendukung berfungsinya zona secara optimal; dan
d. ketentuan lain yang dibutuhkan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang pada kawasan
cagar budaya, kawasan rawan bencana, kawasan keselamatan operasi penerbangan,
dan kawasan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Selain ketentuan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam wilayah kota memuat
ketentuan lain yang dibutuhkan untuk mengendalikan perkembangan penggunaan lahan
campuran, sektor informal, dan pertumbuhan gedung pencakar langit.

KEDUDUKAN RDTR/PZ
Rencana
Pembangunan

Rencana Umum
Tata Ruang

Rencana Rinci Tata


Ruang

RPJP Nasional

RTR Pulau
RTRW Nasional

RTR Kaw Strategis Nas

RPJM
Nasional
RPJP Provinsi
RTR Kaw Strategis

RTRW Provinsi

Provinsi

RPJM
Provinsi
RPJP
Kab/Kota

Permen PU
20/2011
RDTR/PZ
Kab
RTRW Kab
RTRW Kota

RPJM
Kab/Kota
UU 25/2004

RTR Kaw Strategis Kab

RDTR/PZ Kota
RTR Kaw Strategis Kota

UU 26/2007

RDTR DAN PZ

RTRW

1.
1 Tidak/belum bisa
dijadikan dasar
dalam
pelaksanaan
pemanfaatan
ruang dan
pengendalian
pemanfaatan
2. ruang
Telah

RDTR dan PZ
gabung

mengamanahkan
penyusunan
RDTR
3. Telah memiliki
kedalaman RDTR
(1:5000)

PZ saja

Permen PU
20/2011

RDTR DAN PZ

Peraturan Zonasi merupakan


bagian tidak terpisahkan dari
RDTR

Peta Pola Ruang Berfungsi sebagai


2
Peta Zonasi bagi Zoning Map
Wilayah Perencanaan dari RDTR
disebut sebagai Bagian Wilayah
Perkotaan (BWP)

Muatan RDTR
1. Tujuan Penataan Ruang
2. Rencana Pola Ruang
3. Rencana Jaringan Prasarana
4. Penetapan Sub BWP Yang
diprioritaskan Penangannnya
5. Ketentuan Pemanfaatan Ruang

6. Peraturan Zonasi

KEDUDUKAN RDTR/PZ
Rencana
Pembangunan

Rencana Umum
Tata Ruang

Rencana Rinci Tata


Ruang

RPJP Nasional

RTR Pulau
RTRW Nasional

RTR Kaw Strategis Nas

RPJM
Nasional
RPJP Provinsi
RTR Kaw Strategis

RTRW Provinsi

Provinsi

RPJM
Provinsi
RPJP
Kab/Kota

Permen PU
20/2011
RDTR/PZ
Kab
RTRW Kab
RTRW Kota

RPJM
Kab/Kota
UU 25/2004

RTR Kaw Strategis Kab

RDTR/PZ Kota
RTR Kaw Strategis Kota

UU 26/2007

KETENTUAN PERATURAN ZONASI DALAM PP 15/2010


Pasal 154
(1) Peraturan zonasi kabupaten/kota memuat zonasi pada setiap zona peruntukan.
(2) Zona peruntukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu bagian wilayah
atau kawasan yang ditetapkan dalam rencana tata ruang untuk mengemban suatu fungsi
tertentu sesuai dengan karakteristik zonanya.
(3) Ketentuan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. ketentuan kegiatan dan penggunaan ruang yang diperbolehkan, diperbolehkan dengan
syarat, dan yang tidak diperbolehkan;
b. ketentuan intensitas pemanfaatan ruang paling sedikit terdiri atas:
1. koefisien dasar bangunan maksimum;
2. koefisien lantai bangunan maksimum;
3. ketinggian bangunan maksimum; dan
4. koefisien dasar hijau minimum.
c. ketentuan prasarana dan sarana minimum sebagai kelengkapan dasar fisik lingkungan
yang mendukung berfungsinya zona secara optimal; dan
d. ketentuan lain yang dibutuhkan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang pada
kawasan
cagar budaya, kawasan rawan bencana, kawasan keselamatan operasi penerbangan,
dan kawasan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Selain ketentuan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam wilayah kota
memuat
16
ketentuan lain yang dibutuhkan untuk mengendalikan perkembangan penggunaan lahan
campuran, sektor informal, dan pertumbuhan gedung pencakar langit.
16

OUTLINE

17

1. PENDAHULUAN
Latar
Latar
Belakang
Belakang
Pedoman penyusunan Peraturan Zonasi (PZ) ditetapkan
dalam Permen PU No. 20/2011 tentang Pedoman
Penyusunan RDTR dan PZ Kab/Kota.
Ketentuan Permen PU belum mengatur secara spesifik
mengenai Peraturan Zonasi, termasuk beberapa acuan
standar dalam peraturan zonasi.
Beberapa penyempurnaan dalam pengaturan PZ diatur
lebih lanjut dalam Standar Penataan Ruang tentang
Peraturan Zonasi.

18

1. PENDAHULUAN
Maksud
Maksud
sebagai acuan bagi pemerintah daerah kab/kota dan
pemangku kepentingan lainnya dalam menyusun PZ,
maupun Pemerintah dan Pemerintah Provinsi dalam
melakukan penilaian kualitas melalui persetujuan
substansi Raperda PZ.

Tujuan
Tujuan
untuk mewujudkan peraturan zonasi sebagai perangkat
pengendalian pemanfaatan ruang yang berkualitas dan
sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku.

19

1. PENDAHULUAN
Ruang
Ruang
Lingkup
Lingkup

20

1. PENDAHULUAN
Keduduka
Keduduka
n
n

UU No. 26/2007
tentang Penataan
Ruang

PP No. 15/2010
tentang
Penyelenggaraan
Penataan Ruang

Permen PU
No.
15/2012
tentang
Pedoman
Penyusuna
n RTR KSN

NSPK Sektoral
yang berkaitan
dengan
Peraturan
Zonasi

Permen PU
No.
15/2009
tentang
Pedoman
Penyusuna
n RTRW
Provinsi

SPR
SPR
Peratur
Peratur
an
an
Zonasi
Zonasi

Permen PU
No. 16/2009
tentang
Pedoman
Penyusunan
RTRW
Kabupaten

Permen PU
No.
17/2009
tentang
Pedoman
Penyusuna
n RTRW
Kota

Permen PU No.
20/2011 tentang
RDTR dan PZ
Kabupaten/Kota

21

2. KETENTUAN UMUM
Standar Muatan Teks
Zonasi

Teks Zonasi (Zoning Text) terdiri atas:


1. definisi zona dan kualitas lokal minimum
2. ketentuan kegiatan dan pemanfaatan ruang pada zona
tertentu,
3. ketentuan intensitas pemanfaatan ruang,
4. ketentuan tata massa bangunan,
5. aturan tambahan,
6. ketentuan khusus,
7. ketentuan prasarana minimum,
8. ketentuan pelaksanaan,
9. standar teknis, dan
10.teknik pengaturan zonasi.

Standar Muatan Peta Zonasi


Meliputi:
1. Standar pewarnaan,
2. Skala,
3. Tampilan peta,
4. Sumber Peta
5. Layout Peta
22

3. Klasifikasi Zona, Kode,


dan Penyajiannya

3.1
3.1 Tata
Tata Cara
Cara
Penyusunan
Penyusunan
Delineasi
dan klasifikasi zona dirumuskan berdasarkan:
1) Pola ruang yang telah ditetapkan pada RTRW dan/atau RDTR
kabupaten/kota.
2) Kajian peraturan terkait, kajian teoretis, kajian perbandingan,
maupun kajian empirik/lapangan di daerah bersangkutan
3) Kesepakatan dengan pemangku kepentingan.
4) Kesamaan karakteristik pemanfaatan ruang (misalnya
perumahan, perdagangan dan jasa, industri, dan lain-lain);
5) Tingkat gangguan yang ditimbulkan terhadap kawasan
sekitarnya. Suatu jenis pemanfaatan ruang yang menimbulkan
gangguan yang besar terhadap suatu kawasan (misalnya
menyebabkan kemacetan lalu lintas, menimbulkan bangkitan dan
tarikan pergerakan yang lebih besar dibandingkan dengan kawasan
secara keseluruhan) dapat ditetapkan sebagai satu zona walaupun
ukurannya hanya seluas 1 (satu) persil;
6) Skala pelayanan kegiatan terkait. Kegiatan yang melayani
wilayah regional ditetapkan sebagai satu zona tersendiri,
sementara kegiatan yang melayani wilayah lingkungan tidak perlu
ditetapkan sebagai satu zona jika tingkat gangguan yang
ditimbulkannya rendah
23

3. Klasifikasi Zona, Kode,


dan Penyajiannya

Pemilihan hirarki klasifikasi zonasi sebagai dasar pengaturan,


didasarkan pada ketentuan sebagai berikut:
Peruntukan Zona Hirarki 1 RTRW Nasional
Peruntukan Zona Hirarki 2 RTRW Provinsi & RTRW
Kabupaten, Peruntukan Zona Hirarki 3 RTRW Kota & RTR
Kws Perkotaan
Peruntukan Zona Hirarki 4 pendetailan setiap peruntukan
hirarki 3, mencakup blok dan zona peruntukan dan tata
cara/aturan pemanfaatannya.
Kelas atau klasifikasi zona untuk PZ sekurang-kurangnya
mencakup klasifikasi pola ruang atau peruntukan zona
pada hirarki (4) yang lebih rinci dari klasifikasi dalam RTRW
kota, atau
merupakan penjabaran/turunan dari pola ruang dalam RTRW kota
atau
RTR
Kawasan
Perkotaan
yang
disusun
dengan
memperhatikan kondisi setempat.

24

Contoh
Klasifikasi & kode
Opsi Klasifikasi SUBZONA berdasarkan:
Zona (1)
Bentuk /
NO

ZONA
Jenis / Kekhususan

Perumahan (R)
Kluster (~k)
NonKluster (~n)

Intensitas /
Kepadatan

Kepadatan
Rendah (~1)
Kepadatan
Sedang (~2)
Kepadatan
Tinggi (~3)
Kepadatan
Sangat Tinggi
(~4)

Tampilan
Bangunan

Tunggal (~a)

Skala / Kapasitas /
Ekternalitas

Kecil (~A)

Kopel (~b)

Sedang (~B)

Deret (~c)

Besar (~C)
Sangat Besar /
Kawasan Terpadu
(~D)

Susun / Vertikal
(~d)

Komersial (K)
PKL/Informal (~1)

Tunggal (~a)

Skala BWP (~A)

Pasar Tradisional (~2)

Kopel (~b)

Skala Kota (~B)

Pasar Modern (~3)


Pusat Perbelanjaan
(~4)

Deret (~c)
Susun / Vertikal
(~d)

Skala Regional (~C)


Skala Internasional
(~D)

Jasa Perkotaan (~5)

Perkantoran
(P)

Pemerintah (~1)
Swasta (~2)

Skala Kota (~A)


Skala Regional (~B)

Gabungan / Kombinasi

Perumahan Kepadatan Rendah Berjenis Rumah


Tunggal (R1-a)
Perumahan Kepadatan Sedang Berjenis Rumah
Kopel (R2-b)
Perumahan Kepadatan Tinggi Berjenis Rumah Deret
(R3-c)
Perumahan Kepadatan Sangat Tinggi Berjenis Rumah
Susun (R4-d)

Perdagangan Informal berbentuk Deret dgn Skala


BWP (K1-c-A)
Pasar Tradisional berbentuk Deret dgn Skala BWP
(K2-c-A)
Pasar Modern berbentuk Deret dgn Skala Kota ( K3-cB)
Pasar Modern berbentuk Deret dgn Skala Regional
( K3-c-C)
Pusat Perbelanjaan berbentuk Vertikal dgn Skala
Regional (K4-d-C)
Pusat Perbelanjaan berbentuk Vertikal dgn Skala
Internasional (K4-d-D)

Perkantoran Pemerintah Kota (P1-A)


25
Perkantoran Pemerintah Provinsi (P1-B)

Contoh
Klasifikasi & kode
Opsi Klasifikasi SUBZONA berdasarkan:
Zona (2)

NO

ZONA
Jenis / Kekhususan

Industri (I)
Industri Kecil (~1)

Industri
Sedang/Menen
gah (~b)
Industri Besar
(~c)

Kluster Industri
/Industrial Estate Non-polutif & tidak
(~k)
berbahaya (~A)

Industri Ringan yg Non-polutif & tidak berbahaya


(I1-A)

Sangat Polutif & tidak


berbahaya (~G)
Sangat polutif & berbahaya
(~H)
Sangat polutif & sangat
berbahaya (~I)

Industri Berat yg Sangat Polutif & tidak


berbahaya (I3-G)
Industri Berat yg Sangat polutif & berbahaya (I3H)

Pendidikan (~1)

Skala Kota (~A)

Transportasi Skala Kota (U6-A)

Kesehatan (~2)
Sosial budaya (~3)
Peribadatan (~4)

Skala Regional (~B)


Skala Nasional (~C)
Skala Internasional (~D)

Transportasi Skala Regional (U6-B)


Transportasi Skala Nasional (U6-C)
Transportasi Skala Internasional (U6-D)

OR dan rekreasi (~5)

Industri
nonkluster (~n)

Gabungan / Kombinasi

Industri Ringan yg Non-polutif & berbahaya (I1B)


Industri Menengah yg Polutif & tidak berbahaya
(I2-C)
Industri Menengah yg Polutif & berbahaya (I2-D)
Industri Berat yg Non-polutif & sangat berbahaya
(I3-E)
Industri Berat yg Polutif & sangat berbahaya (I3F)

Industri Besar (~3)

Fasilitas
Pelayanan
Umum (U)

Industri
Kecil/Rumah
Tangga (~a)

Skala / Kapasitas /
Ekternalitas

Non-polutif & berbahaya


(~B)
Polutif & tidak berbahaya
(~C)
Polutif & berbahaya (~D)
Non-polutif & sangat
berbahaya (~E)
Polutif & sangat berbahaya
(~F)

Industri Menengah (~2)

Intensitas /
Kepadatan

Bentuk /
Tampilan
Bangunan

Sangat polutif & sangat berbahaya (I3-I)

26

Contoh
Klasifikasi & kode
Zona (3)

Opsi Klasifikasi SUBZONA berdasarkan:


NO

ZONA
Jenis / Kekhususan

Khusus (S)

Hankam / Kompleks Militer


(~1)
TPA (~2)
IPAL (~3)
Fasilitas Teknologi Tinggi (~4)

Intensitas /
Kepadatan

Bentuk / Tampilan
Bangunan

Skala / Kapasitas /
Ekternalitas
Skala Lokal/ Kota (~A)
Skala Regional (~B)

Gabungan / Kombinasi
TPA Lokal Kota (S2-A)
TPA Regional (S2-B)

Fasilitas Pembangkit Listrik


(~5)

Pertanian (T)
Pertanian Lahan Basah (~1)
Pertanian Lahan Kering (~2)
Hortikultura (~3)
Perikanan (~4)
Peternakan (~5)

Ruang Hijau
(RH)

Taman Lingkungan (~1)


Taman BWP (~2)
Taman Kota (~3)
Pemakaman (~4)
Sempadan/Penyangga (~5)

27

3.2
3.2 Tata
Tata Cara
Cara
Penyajian
Penyajian
Dalam
bentuk tabel : (a).

Nama zona, (b). Kode zona, (c) . Definisi


zona, (d). Tujuan penetapan zona, (e) . Kualitas lokal minimum
(kriteria kinerja/performa) setiap zona.
Ketentuan pengkodean zona adalah sebagai berikut:
1. Setiap zona diberi kode yang mencerminkan fungsi zonasi yang
dimaksud;
2. Penentuan kode zona didasarkan pada fungsi utama dan
turunannya;
3. Nama kode zonasi dapat disesuaikan dengan RTR yang berlaku di daerah
masing-masing;
4. Nama kode zona diupayakan bersifat universal;
5. Nama kode zona maksimal terdiri atas 3 (tiga) huruf dan 2 (dua)
angka. Penulisan huruf dalam kode zonasi menggunakan huruf
kapital. Penulisan angka dalam kode zonasi menggunakan angka arab.
Contoh: R1; RTH1;
6. Apabila diperlukan, kode zona dapat ditambahkan dengan huruf
kecil yang dipisahkan dengan menggunakan tanda sambung (-). Contoh
R1 adalah perumahan kepadatan rendah, dan R1-a merupakan
Perumahan Kepadatan Rendah Berjenis Rumah Tunggal.
7. Apabila suatu zona menerapkan TPZ , maka kode untuk TPZ
dicantumkan di bagian akhir kode zonasi. Kode zona dipisahkan
dari kode teknik pengaturan zonasi dengan menggunakan tanda
sambung (-). Contoh: R1-TDR (zona R1 yang menerapkan teknik
28

3.3
3.3 Perumusan
Perumusan Kualitas
Kualitas Lokal
Lokal
Minimum
Minimum
Kualitas lokal minimum adalah kinerja yang diharapkan di
suatu zona tertentu sebagai panduan bagi semua pihak yang
terlibat(pemerintah, swasta, dan masyarakat) dalam pelaksanaan
pengendalian pemanfaatan ruang di zona tersebut
Kualitas lokal minimum disusun berdasarkan
pertimbangan:
a) Dampak kegiatan terhadap lingkungan, sosial-budaya, lalu
lintas
b) Kelestarian lingkungan (perlindungan dan pengawasan
terhadap pemanfaatan air, udara dan ruang bawah tanah)
c) Toleransi terhadap tingkat gangguan dan dampak
terhadap peruntukkan yang ditetapkan
d) Rujukan terhadap ketentuan-ketentuan maupun standarstandar yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang, termasuk
untuk bangunan yang memiliki fungsi tertentu (misalnya
bandara, pelabuhan, dll);
e) Rujukan terhadap ketentuan dalam peraturan bangunan
setempat.
29

4. DAFTAR KEGIATAN

Daftar kegiatan adalah suatu daftar yang berisi


rincian kegiatan yang ada, mungkin ada, atau
prospektif dikembangkan pada suatu kawasan.
Seluruh kegiatan yang dicantumkan dalam Daftar
Kegiatan harus disertai dengan definisinya untuk
memudahkan dalam penetapan ketentuan teknis zonasi
dan menghindari kesalahan/perbedaan pemahaman
tentang suatu kegiatan

30

5.1
5.1 Delineasi
Delineasi

5. Delineasi dan
Penomoran
Blok Peruntukkan

Deliniasi blok peruntukan adalah pembagian blok berdasarkan


peruntukan yang dibatasi sekurang-kurangnya oleh batasan fisik yang
nyata maupun yang belum nyata.
Tujuan delineasi blok peruntukan adalah untuk memberikan alamat
kepada setiap zona sehingga memudahkan penerapan teknik
pengaturan zonasi.
Delineasi blok peruntukan ditetapkan berdasarkan pertimbangan:
1. Batasan fisik yang nyata seperti jalan, gang, sungai, selokan,
saluran irigasi, saluran udara tegangan (ektra) tinggi, pantai, gang,
danau/situ, jalur gas, jaringan kereta api, atau batas kapling yang
bersifat relatif permanen dan mudah dikenali;
2. Batasan fisik yang sesuai dengan rencana, antara lain rencana
jaringan jalan dan rencana jaringan prasarana lain yang sejenis sesuai
dengan rencana kota;
3. Batasan secara administrasi;
4. Orientasi bangunan;
5. Lapis bangunan;
6. Kepemilikan lahan;

31

32

R2

R2
T1
R2

R1
F1
R1

Keterangan:
: Sub Kawasan
: Blok
: Persil

Fisik
: Sub Kawasan, Blok, Persil
Fungsi : Zona, Sub Zona
33

5. Delineasi dan
Penomoran
Blok Peruntukkan

5.2
5.2
Penomoran
Setiap
blok peruntukan diberi nomor blok untuk kemudahan referensi.
Penomoran
(A) Kode pos (berdasarkan kelurahan/desa) diikuti dengan 3 digit nomor
blok. Nomor blok dapat ditambahkan huruf bila blok tersebut dipecah
menjadi beberapa subblok

(B) Nomor kecamatan diikuti nomor kelurahan dan nomor rukun warga.
Nomor blok dapat ditambahkan huruf bila blok tersebut dipecah menjadi beberapa
subblok .
34

6. Ketentuan Kegiatan
dalam Suatu Zona
Penentuan I, T, B, atau X untuk aturan kegiatan didasarkan pada
pertimbangan sebagai berikut:
1. Umum, berlaku untuk semua jenis pemanfaatan ruang pada suatu zona:
a.Dampak kegiatan terhadap lingkungan, sosial-budaya, lalu lintas
b.Peraturan perundang-undangan terkait dengan permanfaatan ruang
di sekitar jaringan jalan
c. Kesesuaian dengan arahan dalam rencana tata ruang
kabupaten/kota
d.Kelestarian lingkungan (perlindungan dan pengawasan terhadap
pemanfaatan air, udara dan ruang bawah tanah)
e.Toleransi terhadap tingkat gangguan dan dampak terhadap
peruntukkan yang ditetapkan
f. Tidak merugikan golongan masyarakat tertentu, terutama
golongan sosial-ekonomi lemah, dsb.
g.Kualitas Lokal Minimum yang ditetapkan dalam klasifikasi zona
2. Khusus, berlaku untuk masing-masing karakteristik guna lahan,
kegiatan, atau komponen yang akan dibangun, dapat disusun
berdasarkan:
h. Rujukan terhadap ketentuan-ketentuan maupun standar-standar yang
berkaitan dengan pemanfaatan ruang, termasuk untuk bangunan yang
memiliki fungsi tertentu (misalnya bandara, pelabuhan, dll);
i. Rujukan terhadap ketentuan dalam peraturan bangunan setempat.
35

6.1
6.1 Komponen
Komponen
Pengaturan
Pengaturan

6. Ketentuan Kegiatan
dalam Suatu Zona

Klasifikasi I = Pemanfaatan diperbolehkan/diizinkan.


Klasifikasi T= Pemanfaatan diperbolehkan secara
terbatas.
pemanfaatannya mengandung batasan-batasan, seperti
pembatasan pengoperasian (misal: waktu beroperasinya,
jangka waktu), dan pembatasan jumlah kegiatan.
Klasifikasi B = Pemanfaatan diperbolehkan secara
bersyarat.
Persyaratan ini diperlukan mengingat pemanfaatan ruang
tersebut memiliki dampak yang besar bagi lingkungan
sekitarnya. Persyaratan ini antara lain: AMDAL, ANDALIN,
Kelayakan sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Klasifikasi X = Pemanfaatan yang tidak diperbolehkan.
Karena sifatnya tidak sesuai dengan kualitas lokal minimum
suatu zona yang direncanakan dan dapat menimbulkan
dampak yang cukup besar bagi lingkungan di sekitarnya.

36

6.2
6.2 Spesifikasi
Spesifikasi
Penyajian
Penyajian

6. Ketentuan Kegiatan
dalam Suatu Zona

disajikan dalam bentuk Tabel yang memuat:


Klasifikasi Zona
Daftar kegiatan
Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan (ITBX)

37

6. Ketentuan Kegiatan
dalam Suatu Zona

6.3
6.3 Tata
Tata Cara
Cara
Penyusunan
Penyusunan

Cara menyusun:

1. Siapkan tabel yang terdiri atas Nomor Urut (kolom 1); Daftar
Kegiatan (kolom 2); zona dan subzona yang akan diatur
kegiatannya di dalam Peraturan Zonasi.
2. Zona dan subzona disusun secara berurutan. Urutan penempatan
dalam tabel diawali dengan zona lindung (dasar dan spesifik) kemudian
diakhiri dengan zona budidaya (dasar dan spesifik). Seluruh zona
spesifik dimulai dengan angka terkecil hingga terbesar secara
berurutan.
3. Zona dasar dan zona spesifik pada kolom A pada Gambar berikut,
dioperasionalkan terhadap daftar kegiatan pada kolom B dengan
menentukan klasifikasi pemanfaatannya.
4. Setiap kegiatan yang diberikan kode T dan/atau B harus disertai
dengan penjelasan mengenai kondisi yang menyebabkan kegiatan
tersebut dibatasi (T) dan/atau persyaratan yang harus dipenuhi (B).
5. Apabila terdapat perbedaan yang menyebabkan suatu kegiatan
terbatas (T) dan/atau perbedaan persyaratan yang harus dipenuhi (B),
maka syarat pembatasan dan persyaratan harus dijelaskan dan
diberi kode khusus (misalnya angka atau huruf) setelah huruf T atau
38
B.

6. Ketentuan Kegiatan
dalam Suatu Zona

Cara membaca:
misalnya pada Zona perumahan dengan fungsi R1 pada Gambar 4, kegiatan yang:
1. Diizinkan (I) adalah apartemen, rusunawa dan rumah tipe RSH;
2. Diizinkan terbatas (T1) adalah rumah menengah dengan pembatasan luas kapling maksimal 500
meter persegi;
3. Diizinkan terbatas (T2) adalah kegiatan kerajinan tangan skala rumahan, yaitu hanya boleh ada
satu setiap 100 rumah dan ada pembatasan jam operasional;
4. Diizinkan dengan memerlukan bersyarat (B2) adalah rumah tipe mewah. Rumah mewah wajib
menyertakan izin pengeboran air tanah dan izin pembangunan kolam renang pribadi;
5. Tidak diizinkan (X) pada zona perumahan dengan fungsi R1 adalah pergudangan.

7.1
7.1 Materi
Materi
Minimum
Minimum

7. Ketentuan
Intensitas
Pemanfaatan Ruang

Aturan intensitas pemanfaatan ruang sekurang-kurangnya terdiri atas:


1. KDB Maksimum;
2. KLB Maksimum;
3. KDH Minimum; dan
4. Koefisien Tapak Basemen (KTB) maksimum.
Aturan yang dapat ditambahkan dalam intensitas pemanfaatanruang
antara lain:
1. Kepadatan bangunan atau unit maksimum;
2. Kepadatan penduduk maksimum.

40

7. Ketentuan
Intensitas
Pemanfaatan Ruang

7.2
7.2 Dasar
Dasar
Pertimbangan
Pertimbangan

1. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) maksimum


Penetapan besar KDB maksimum didasarkan pada
pertimbangan:
a. Tingkat pengisian/peresapan air
b. Besar pengaliran air
c. Jenis penggunaan lahan

2. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) maksimum


KDB = 50%
KLB = 1
Jumlah lantai =
2
KDB = 100%
KLB = 1
Jumlah lantai =
1

KDB = 25%
KLB = 1
Jumlah lantai =
4

41

7. Ketentuan
Intensitas
Pemanfaatan Ruang
3. Koefisien Dasar Hijau (KDH) minimum
KDH adalah koefisien yang dapat digunakan untuk mewujudkan RTH.
Diberlakukan secara umum pada kawasan zonasi atau blok. Penetapan
besar KDH minimum didasarkan pada pertimbangan: tingkat
pengisian/peresapan air, besar pengaliran air (kapasitas drainase), dan
rencana tata ruang (RTH, tipe zonasi, dll).

4. Koefisien Tapak Basemen (KTB) maksimum


Penetapan besar KTB maksimum didasarkan pada batas KDH minimum
yang ditetapkan.

5. Kepadatan bangunan atau unit maksimum


Kepadatan bangunan ditetapkan berdasarkan pertimbangan:
1. Faktor kesehatan (ketersediaan air bersih, sanitasi dan sampah,
cahaya, sinar matahari, aliran udara, ruang antar bangunan).
2. Faktor sosial (ruang terbuka privat, privasi, perlindungan, jarak
tempuh terhadap fasilitas lingkungan)
3. Faktor teknis (risiko kebakaran dan keterbatasan lahan untuk
bangunan/rumah)
4. Faktor Ekonomi (biaya lahan, jarak dari rumah ke tempat kerja dan
ongkos transportasi, ketersediaan dan ongkos penyediaan
pelayanan dasar, dan ketersediaan dan ongkos tukang, material,
dan peralatan).

6. Kepadatan penduduk maksimum


Yaitu aturan mengenai jumlah penduduk maksimum yang tinggal
dalam 1 hektar lahan. Kepadatan penduduk maksimum ditetapkan
berdasarkan jenis kegiatan yang akan dialokasikan pada suatu zona. 42

8. KETENTUAN TATA
MASSA BANGUNAN

8.1
8.1 Materi
Materi
Minimum
Minimum
Ketentuan
tata massa bangunan adalah ketentuan yang mengatur bentuk,

besaran, peletakan, dan tampilan bangunan pada suatu zona.


Komponen ketentuan tata massa bangunan sekurang-kurangnya terdiri atas:
1. Garis sempadan minimum;
2. Tinggi bangunan maksimum atau minimum; dan
3. Jarak bebas antarbangunan minimum.

8.2
8.2 Penetapan
Penetapan Garis
Garis Sempadan
Sempadan Minimum
Minimum (Sempadan
(Sempadan
Jalan,
Jalan, Bangunan,
Bangunan, Sungai,
Sungai, Pantai,
Pantai, Situ,
Situ, Danau,
Danau, Waduk,
Waduk,
Mata
Air,
KA,
Air, Rel
Rel
KA, SUTET,
SUTET, Pipa
Pipa Gas)
Gas)
DasarMata
Pertimbangan
Penetapan
Keselamatan
terhadap Bahaya Kebakaran

Pencahayaan dan Pengawasan


Bangunan
Ruang Visual Lalu Lintas
43

8. KETENTUAN TATA
MASSA BANGUNAN
Garis Sempadan Jalan
Pada GSJ tidak boleh didirikan bangunan rumah, terkecuali jika GSJ
berimpit dengan garis sempadan bangunan (GSB). GSJ dimaksudkan
mengatur lingkungan hunian memiliki kualitas visual yang baik, selain
itu juga mengatur jarak pandang yang cukup antara lalu lintas di jalan
dan bangunan.

Rujukan:
Pemanfaatan bagian-bagian jalan
untuk kepentingan tertentu dapat
merujuk kepada Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum No.
20/PRT/M/2010 tentang Pedoman
Pemanfaatan Dan Penggunaan
Bagian-Bagian Jalan.
44

8. KETENTUAN TATA
MASSA BANGUNAN
Garis Sempadan Bangunan (GSB) minimum
Penetapan garis sempadan yang terkait dengan bangunan sekurangkurangnya mencakup:
1. Garis sempadan bangunan depan;
2. Garis sempadan bangunan samping;
3. Garis sempadan bangunan belakang

45

8. KETENTUAN TATA
MASSA BANGUNAN
8.3
8.3 Tinggi
Tinggi bangunan
bangunan
maksimum
maksimum atau
atau
minimum
minimum

Tinggi bangunan ditetapkan dengan mempertimbangkan :


1. Pertimbangan jalur pesawat terbang.
2. Pertimbangan terhadap bahaya kebakaran.
3. Pertimbangan terhadap Sky Exposure Plane (SEP) dan Angle of Light (ALO)
4. Pertimbangan terhadap angin
5. Pertimbangan terhadap gempa
Penetapan tinggi bangunan terkait pertimbangan terhadap gempa dapat
mengacu kepada SNI 03-1726-2002 tentang Standar Perencanaan
Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung.
46

8.4
8.4 Jarak
Jarak bebas
bebas antar
antar
bangunan
bangunan minimum
minimum

8. KETENTUAN TATA
MASSA BANGUNAN

Tinggi Bangunan (m)

Jarak Bangunan (m)

0 s/d 8

8 s/d 14

36

14 s/d 40

68

40

Tabel 2 Persyaratan Ukuran Tinggi dan Jarak Bangunan


Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1987

47

8.5
8.5 Amplop
Amplop Bangunan
Bangunan

8. KETENTUAN TATA
MASSA BANGUNAN

8.5
8.5 Tampilan
Tampilan bangunan
bangunan (opsional)
(opsional)
Tampilan bangunan ditetapkan dengan mempertimbangakan warna bangunan,
bahan bangunan, tekstur bangunan, muka bangunan, gaya bangunan,
keindahan, dan keserasian dengan lingkungan sekitar.

48

9. ATURAN
TAMBAHAN
Tujuan aturan tambahan adalah
1. melengkapi aturan dasar yang sudah disusun pada suatu
zona di blok tertentu yang membedakannya dari
pemanfaatan ruang di zona yang sama di blok yang lain;
2. mempermudah dalam penyusunan klasifikasi zona.
Penetapan aturan tambahan membuat pengklasifikasian
zona menjadi lebih sederhana dan menghindarkan terlalu
banyaknya zona dalam suatu kabupaten/kota.
Aturan tambahan dirumuskan berdasarkan:
1. Kegiatan spesifik yang sudah ada sejak dahulu di
kabupaten/kota yang bersangkutan dan tidak/belum
mempunyai ketentuan yang mengaturnya.
2. Ketentuan yang tidak/belum diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku
Aturan tambahan dirumuskan dengan kriteria:
1. Memperhatikan kondisi sosial-budaya-ekonomi
masyarakat;
2. Mempertimbangkan kepentingan masyarakat yang lebih
luas.
49

10. KETENTUAN KHUSUS

50

51

11. KETENTUAN PRASARANA


MINIMUM
Prasarana minimum adalah prasarana yang dibutuhkan
suatu kegiatan agar dapat berfungsi dengan tidak
mengurangi kualitas lokal minimum suatu zona yang
ditetapkan
Cakupan prasarana yang diatur dalam peraturan zonasi sekurangkurangnya adalah prasarana:
Parkir
Penyediaan parkir minimum untuk setiap zona dan setiap kegiatan
ditetapkan dangan standar yang berlaku umum untuk setiap kegiatan
atau bangunan di daerah. Misal kegiatan sekolah, perkantoran,
perbelanjaan dan kegiatan lain yang diprospektif memerlukan parkir.
Bongkar muat
Kegiatan-kegiatan yang melakukan bongkar muat diwajibkan
menyediakan ruang bongkar muat yang memadai. Kegiatan ini antara
lain kegiatan perdagangan, pergudangan, pelayanan lainnya.
Kelengkapan prasarana lainnya yang dianggap perlu.
Prasarana lainnya yang diperlukan dapat diwajibkan atau dianjurkan
sesuai kebutuhan, seperti penyediaan situ, fasilitas/instalasi pengolahan
limbah, ruang terbuka publik, fasilitas untuk difabel, dll.

52

Contoh Rujukan

53

12. KETENTUAN PELAKSANAAN


Materi Minimum
Ketentuan pelaksanaan Peraturan Zonasi sekurang-kurangnya
terdiri atas:
a) ketentuan variansi pemanfaatan ruang;
b) ketentuan untuk pemanfaatan ruang yang sudah ada dan tidak
sesuai dengan peraturan zonasi.

a) Variansi Pemanfaatan Ruang


Jenis Variansi
Minor variance

Definisi
Izin untuk bebas dari aturan standar sebagai upaya untuk menghilangkan kesulitan yang
tidak perlu akibat kondisi fisik lahan (luas, bentuk persil). Minor variance dapat diberikan
setelah mendapat persetujuan dari lembaga yang memberikan
pertimbangan/rekomendasi terkait dengan pemanfaatan ruang dengan
mempertimbangkan daya dukung lingkungan.
Non-conforming kelonggaran atau pengurangan ukuran dari yang ditetapkan dalam peraturan atau
dimension
standar. Contohnya adalah pengurangan besar GSB, penambahan tinggi atap, perubahan
KDB kurang dari 10%, dll.
Non-conforming izin yang diberikan untuk melanjutkan penggunaan lahan, bangunan atau struktur yang
use
telah ada pada waktu peraturan zonasi ditetapkan dan tidak sesuai dengan peraturan
zonasi sampai jangka waktu 3 tahun sebelum harus mengikuti peraturan zonasi yang
ditetapkan.
Dalam penerapan non-conformin use ini dilarang:
a. mengubah penggunaan dari satu non-conforming use ke non-conforming use lainnya
b. mengubah atau memperluas bangunan/struktur, kecuali diperintahkan pemda
c. ditelantarkan/tidak digunakan untuk jangka waktu tertentu
Interim
izin pembangunan yang diberikan untuk melaksanakan pembangunan antara sebagai
development
bagian/tahapan dari pembangunan secara keseluruhan, misalnya perataan lahan
(grading), pematangan lahan (konstruksi jalan, saluran drainase, dll).
Interim/tempor izin penggunaan lahan sementara yang diberikan untuk jangka waktu tertentu sebelum
ary use
pemanfaatan ruang final direalisasikan.
54

12. KETENTUAN PELAKSANAAN


(b) ketentuan untuk pemanfaatan ruang yang sudah ada dan
tidak sesuai dengan peraturan zonasi.

Ketentuan ini berlaku untuk pemanfaatan ruang yang izinnya diterbitkan


sebelum penetapan PZ, dan dapat dibuktikan bahwa izin tersebut diperoleh
sesuai dengan prosedur yang benar.

Dasar pertimbangan dalam menetapkan ketentuan untuk pemanfaatan ruang


yang sudah ada dan tidak sesuai dengan Peraturan Zonasi adalah sebagai
berikut :
a. Penetapan zonasi harus konsisten dengan Rencana Pola Ruang yang ditetapkan
dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah. Izin yang diberikan
harus mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan tidak menyebabkan
salah satu atau sekelompok individu dalam masyarakat mendapatkan hak khusus
yang berbeda dari anggota masyarakat lainnya.
b. Pemberian izin untuk kegiatan yang telah ada sebelum penetapan RDTR/peraturan
zonasi tidak menyebabkan terbentuknya spot zoning.
c. Apabila satu kegiatan yang telah ada sebelum penetapan RDTR/peraturan zonasi
diberikan izin untuk meneruskan kegiatannya di zona tertentu, maka kegiatan lain
yang serupa yang telah ada sebelum penetapan RDTR/peraturan zonasi harus
diberikan izin yang sama sesuai dengan prinsip keadilan.
d. Pengabulan izin kegiatan tidak menyebabkan preseden yang tidak diinginkan
terhadap properti lain di lingkungan sekitar.
e. Zoning harus menjamin penggunaan yang terbaik terhadap satu properti.
f. Pemberian izin untuk kegiatan yang telah ada sebelum penetapan RDTR/peraturan
zonasi harus menjamin kesinambungan dengan kegiatan lain yang berbatasan dan
berdekatan dan tidak menyebabkan penurunan karakter lingkungan.
g. Pemberian izin di kawasan yang memiliki nilai historis dan budaya harus menjamin
55

13. STANDAR TEKNIS


(SNI)

56

14. Teknik Pengaturan


Zonasi
Teknik pengaturan zonasi adalah varian dari zonasi konvensional yang
dikembangkan untuk memberikan fleksibilitas dalam penerapan
aturan zonasi dan ditujukan untuk mengatasi berbagai permasalahan
dalam penerapan peraturan zonasi dasar
Teknik Pengaturan Zonasi terutama
diterapkan pada:
1. Kawasan yang didorong pembangunannya
sesuai dengan arahan rencana tata ruang
sehingga perlu diberikan insentif secara
khusus;
2. Kawasan yang perlu dikendalikan
perkembangannya;
3. Kawasan rawan bencana maupun yang
mengalami kerusakan pasca bencana;
4. Kawasan warisan budaya;
5. Kawasan yang perlu diterapkan standar
internasional, seperti kawasan bandara,
pelabuhan, atau stadion olah raga
61

Pilihan TPZ (1)

Pilihan TPZ (2)

15. Standar Teknis Peta Zonasi

15.1
15.1 Spesifikasi
Spesifikasi Peta
Peta
Zonasi
Zonasi
Peta zonasi adalah peta yang berisi kode zonasi di
atas blok dan subblok yang telah didelineasikan
sebelumnya.
Ketentuan Peta zonasi :
1. rencana pola ruang dalam peraturan zonasi dengan skala
minimum 1:5.000;
2. cakupan rencana pola ruang meliputi ruang darat
dan/atau ruang laut dengan batasan 4 (empat) mil laut
yang diukur dari garis pantai wilayah kabupaten/kota atau
sampai batas negara yang disepakati secara internasional
apabila kabupaten/kota terkait berbatasan laut dengan
negara lain;
3. rencana pola ruang digambarkan ke dalam beberapa
lembar peta;
4. harus sudah menunjukkan batasan persil untuk wilayah
yang sudah terbangun.

64

15.2
15.2 Spesifikasi
Spesifikasi Penyajian
Penyajian Peta
Peta Zonasi
Zonasi (Penggunaan
(Penggunaan Simbol
Simbol
dan
dan Warna,
Warna, Penyajian
Penyajian Peta
Peta Zonasi,
Zonasi, Album
Album Peta
Peta Zonasi)
Zonasi)

Spesifikasi Penggunaan Simbol dan Warna


PP No. 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana
Tata Ruang.
Pewarnaan sub-zona mengikuti pewarnaan zonanya.
Contoh: warna zona perumahan di peta adalah kuning
tua, maka warna subzona perumahan kepadatan tinggi
adalah kuning tua mengikuti warna zonanya.
sungai
Setiap zona dan subzona diberi keterangan dengan
sistem kode. Kode zona dituliskan di atas gambar zona,
seperti contoh dalam Gambar 15.

65

Spesifikasi Penyajian Peta Zonasi


Spesifikasi
Penggunaan Simbol
dan Warna

Penggunaan simbol dan


warna dalam Peta Zonasi
disesuaikan dengan
ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 8
Tahun 2013 tentang
Ketelitian Peta Rencana
Tata Ruang.
Pewarnaan sub-zona
mengikuti pewarnaan
zonanya.
Setiap zona dan subzona
diberi keterangan dengan
sistem kode. Kode zona
dituliskan di atas gambar
zona
66

67

Masukan tertulis dapat disampaikan


ke email Subdit Pengaturan,
Direktorat Pembinaan Penataan Ruang Daerah Wilayah II :

pengaturan.binda2@gmail.co
m

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai