Anda di halaman 1dari 34

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

REFERAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
SEEPTEMBER 2017
UNIVERSITAS PATTIMURA
LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT (LLA)

Disusun oleh:
Sandra Lisya Loupatty (2010-83-039)

Pembimbing :
dr. Hj. Yulianty Mochtar, Sp.A, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSSITAS PATTIMURA
AMBON
2017
PENDAHULUAN
Leukemia Limfositik akut adalah bentuk akut dari leukemia
yang diklasifikasikan menurut cell yang lebih banyak dalam
sumsum tulang yaitu berupa limfoblas.

Leukemia akut cepat terjadi dan lambat penyembuhannya,


dapat diakhiri dengan kematian bila tidak segera diobati

LLA sering ditemukan pada anak-anak (82 %) daripada


umur dewasa dan lebih sering ditemukan pada anak laki-
laki daripada anak perempuan.
Setiap tahun di Amerika Serikat ada sekitar 14.382 kasus kanker

baru yang didiagnosis pada penduduk di bawah usia 20 tahun.

Sekitar 2.970 (21%) dari kasus-kasus ini merupakan Leukemia

Limfoblastik Akut (LLA).

Berdasarkan hasil penelitian di RS Kanker Dharmais (2000-2008),

LLA banyak ditemukan pada anak laki-laki dengan usia 1-5 tahun.

LLA L1 dengan risiko biasa adalah jenis LLA terbanyak.


DEFINISI

Leukemia Limfoblastik akut adalah bentuk akut

dari leukemia yang diklasifikasikan menurut cell yang lebih

banyak dalam sumsum tulang yaitu berupa limfoblas.

Pada LLA, terjadi proliferasi dari sel prekursor limfoid

dimana 80% kasus berasal dari sel limfosit B dan sisanya

dari sel limfosit T.


Pada kasus LLA anak, tingkat kesembuhan dengan

pengobatan kemoterapi sangat besar hampir mencapai

80% sedangkan pada orang dewasa lebih rendah

tingkat kesembuhannya karena banyaknya pengobatan

yang mengalami multi-drug resistance (MDR).


ETIOLOGI

Penyebab dari terjadinya LLA masih belum diketahui

Ada beberapa faktor-faktor yang membantu meningkatkan

angka kejadian LLA seperti faktor lingkungan, faktor genetik

dan faktor paparan terhadap radiasi pada saat sedang

dalam kandungan maupun pada saat kanak-kanak.


Faktor predisposisi:

Asosiasi dengan sindrom genetik. Peningkatan risiko dapat


dikaitkan dengan sindrom genetik.

Alel. Sebagai contoh, alel risiko ARID5B dikaitkan dengan


perkembangan hyperdiploid (51-65 kromosom) prekursor B-
sel ALL. ARID5B adalah gen yang mengkodekan faktor
transkripsi yang penting dalam perkembangan embrio,
ekspresi gen spesifik tipe sel, dan regulasi pertumbuhan sel.
Gen lainnya dengan polimorfisme yang terkait dengan
peningkatan risiko LLA meliputi GATA3, IKZF1, CDKN2A,
CDKN2B, CEBPE, PIP4K2A, dan TP63
KLASIFIKASI
menurut FAB (French-American-British) yang berdasarkan
atas karakteristik dari sel blas (ukuran sel, rasio
sitoplasma-inti, ukuran dari inti sel, dan warna sel).
PATOFISIOLOGI
GEJALA KLINIS
Gejala klinis yang dialami oleh pasien LLA biasanya bervariasi. Adanya
akumulasi dari sel limfoblas abnormal yang berlebihan pada sumsum
tulang menyebabkan supresi pada sel darah normal sehingga tanda-
tanda klinisnya akan menunjukkan kondisi dari sumsum tulang,
seperti anemia (pucat, lemah, takikardi, dispnoe, dan terkadang gagal
jantung kongestif), trombositopenia ( peteki, purpura, perdarahan
dari membran mukosa, mudah lebam), dan neutropenia (demam,
infeksi, ulserasi dari membran mukosa). Selain itu, anoreksia dan
nyeri punggung atau sendi juga merupakan salah satu tanda klinis
LLA.
Pada pemeriksaan fisik, didapati adanya pembesaran dari kelenjar
getah bening (limfadenopati), pembesaran limpa (splenomegali),
dan pembesaran hati (hepatomegali). Pada pasien dengan LLA
prekursor sel-T dapat ditemukan adanya dispnoe dan pembesaran
vena kava karena adanya supresi dari kelenjar getah bening di
mediastinum yang mengalami pembesaran. Sekitar 5% kasus akan
melibatkan sistem saraf pusat dan dapat ditemukan adanya
peningkatan tekanan intrakranial (sakit kepala, muntah, papil
edema) atau paralisis saraf kranialis (terutama VI dan VII).
DIAGNOSIS
Diagnosis LLA ditegakkan melakukan anamnesis yang
terarah dan pemeriksaan lab. Anamnesis biasanya
ditemukan gejala-gejala anemia, kelemahan tubuh, berat
badan menurun, anoreksia mudah sakit, sering demam,
perdarahan, nyeri tulang, nyeri sendi.
Pada pemeriksaan lab, hasil yang didapatkan adalah:

Darah tepi : Pemeriksaan hematologik memperlihatkan


adanya anemia normositik normokromik dengan
trombositopenia pada sebagian besar kasus. Jumlah
leukosit dapat menurun, normal, atau meningkat
hingga 200 X 109/l atau lebih. Pada umumnya akan
terjadi anaemia Hb,Ht, eritrosit menurun dan
trombositopenia (kurang dari 25,000/mm3). Proporsi sel
blas pada hitung leukosit dapat bervariasi dari 0 sampai
100%.
Aspirasi dan biopsi tulang: pada sediaan apus tulang ditemukan
hiperseluler dengan limfoblas yang sangat banyak 30%, dan
gambaran monoton. Eritropoesis, trombopoesis tertekan.

Sitokimia : Pada LLA, pewarnaan Sudan black dan


mieloperoksidase akan memberikan hasil yang negatif.
Mieloperoksidase adalah enzim sitoplasmik yang ditemukan
pada granula primer dari prekusor granulositik, yang dapat
dideteksi pada sel blas LMA. Sitokemia juga berguna untuk
membedakan precusor B dan B-ALL dari T-ALL. Pewarnaan
fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang ganas,
sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang positif pada
pewarnaan periodic acis Schiff (PAS).
Sitogenik: mungkin ditemukan kromosom Philadelphia.

Kromosom Philadelphia ialah kromosom yang mengalami

translokasi dimana terdapat serpihan kromosom 9 dan

serpihan kromosom 22 berganti tempat. Hal ini

menyebabkan terbentuknya gen BCR-ABL. Terdapat juga

kelaianan translokasi yang lain misalnya t(8;14), t(2;8), dan

t(8;22) yang dapat ditemukan pada LLA sel B.


Tes immunophenotyping: tergantung sel limfosit mana
yang mengalami keganasan. Tes ini sangat berguna
dalam mengklasifikasi LLA.

Biologi molekular: jika terdeteksi gen BCR-LBR maka


prognosis buruk.
DIAGNOSIS BANDING
1. Limfoma Non-Hodgkin
Limfoma adalah sekelompok penyakit heterogen disebabkan
oleh limfosit ganas yang biasanya berkumpul dalam kelenjar
getah bening dan menyebabkan timbulnya gambaran klinis
khas berupa limfadenopati.
2. ITP
Purpura trombositopenia idiopatik (ITP) adalah suatu
keadaan perdarahan berupa petekie atau ekimosis di kulit
atau selaput lendir dan berbagai jaringan dengan penurunan
jumlah trombosit karena sebab yang tidak diketahui.
3. Anemia Aplastik
Anemia aplastik definisikan sebagai kegagalan sumsum
tulang untuk memproduksi komponen sel-sel darah. Anemia
aplastik adalah Anemia yang disertai oleh pansitopenia pada
darah tepi yang disebabkan kelainan primer pada sumsum
tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia tanpa adanya
infiltrasi, supresi atau pendesakan sumsum tulang.
Pansitopenia sendiri adalah suatu keadaan yang ditandai
oleh adanya anemia, leukopenia, dan trombositopenia
dengan segala manifestasinya
FAKTOR PROGNOSTIK
Usia
Pasien anak yang berusia dibawah 18 bulan atau diatas 10
tahun mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan pasien
anak yang berusia diantara itu. Pasien bayi yang berusia
dibawah 6 bulan pada saat ditegakkan diagnosis, mempunyai
prognosis paling buruk.
Jumlah leukosit
Jumlah leukosit awal pada saat penengakan diagnosis LLA
sangat bermakna tinggi sebagai suatu faktor prognostik.
Ditemukan adanya hubungan antara hitung jumlah leukosit
dengan outcome pasien LLA pada anak, yaitu pada pasien
dengan jumlah leukosit > 50.000/mm3 akan mempunyai
prognosis yang buruk.
Jenis kelamin
Beberapa penelitian menyatakan bahwa anak perempuan
cenderung mempunyai prognosis yang lebih baik
dibandingkan anak laki-laki. Hal ini dikarenakan anak laki-laki
mempunyai kecenderungan untuk terjadi relaps testis,
insidensi leukemia sel-T yang tinggi, hiperleukositosis, dan
organomegali serta massa pada mediastinum.
Imunofenotipe
Imunofenotipe juga berperan dalam menentukan faktor
prognostik pasien LLA. Leukemia sel-B (L3) dengan antibodi
kappa dan lambda pada permukaannya diketahui
mempunyai prognosis buruk tetapi dengan pengobatan yang
spesifik, prognosisnya membaik. Sel-T leukemia juga
mempunyai prognosis yang buruk dan digolongkan sebagai
kelompok resiko tinggi.
Respon terhadap terapi
Respon pasien terhadap terapi dapat kita ukur dari jumlah
sel blas yang ditemukan pada pemeriksaan darah tepi
seminggu setelah dimulai terapi prednison. Prognosis
dikatakan buruk apabila pada fase induksi hari ke-7 atau 14
masih ditemukan adanya sel blas pada sumsum tulang.
Kelainan jumlah kromosom
LLA hiperdiploid (>50 kromosom/sel) mempunyai prognosis
yang baik, sedangkan LLA hipodiploid (< 45 kromosom/sel)
mempunyai prognosis yang buruk. Adanya translokasi t(9;22)
atau t(4;11) pada bayi berhubungan dengan prognosis buruk.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan dari leukemia terbagi atas kuratif
dan suportif. Penatalaksanaan suportif hanya berupa
terapi penyakit lain yang menyertai leukemia beserta
komplikasinya, seperti tranfusi darah, pemberian
antibiotik, pemberian nutrisi yang baik, dan aspek
psikososial.
Penatalaksaan kuratif, seperti kemoterapi, bertujuan untuk
menyembuhkan leukemia. Selain dengan kemoterapi,
terapi transplantasi sumsum tulang juga memberikan
kesempatan untuk sembuh terutama pada pasien yang
terdiagnosis leukemia sel-T.
Terapi Induksi.

Tujuan utama dari pengobatan kemoterapi adalah untuk


mencapai remisi komplit dan menggembalikan fungsi
hematopoesis yang normal. Terapi induksi meningkatkan angka
remisi hingga mencapai 98%. Terapi ini berlangsung sekitar 3-6
minggu dengan menggunakan 3-4 obat, yaitu glukokortikoid
(prednison/deksametason), vinkristin, L-asparaginase dan atau
antrasiklin.
Intensifikasi awal.
Target pengobatan adalah anak-anak yang sudah
mencapai remisi dan fungsi hematopoesis-nya kembali
normal. Tujuan dari tahapan intensifikasi adalah untuk
eradikasi sel leukemia yang tersisa dan meningkatkan angka
kesembuhan.
Konsolidasi/Terapi Profilaksis SSP.
Tujuan dari tahapan ini adalah untuk melanjutkan
peningkatan kualitas remisi di sumsum tulang dan sebagai
profilaksis susunan saraf pusat
Intensifikasi Akhir.
Penambahan dari tahap intensifikasi akhir ini setelah terapi
induksi ataupun konsolidasi ternyata meningkatkan prognosis pasien
anak dengan LLA. Tahap ini merupakan tahap pengulangan dari tahap
induksi dan intensifikasi awal dan untuk menghindari terjadinya
resistensi obat maka dilakukan pergantian obat
Terapi rumatan.
Setelah pengobatan dengan dosis tinggi dijalankan
selama 6 sampai 12 bulan, obat sitotoksis dosis rendah
digunakan untuk mencegah terjadinya kondisi relaps.
Tujuan dari tahap ini adalah untuk mengurangi sel
leukemia sisa yang tidak terdeteksi. Terapi rumatan
dilaksanakan selama 2 atau 3 tahun setelah diagnosis atau
setelah tercapainya kondisi remisi morfologik.
Keberhasilan ini dipantau dengan melihat hitung leukosit
(2.000-3.000/mm3).
Nutrisi
KOMPLIKASI
Metabolik pada anak dengan LLA dapat disebabkan oleh
lisis sel leukemik akibat kemoterapi atau secara sepontan dan
komplikasi ini dapat mengancam jiwa pasien yang memiliki beban
sel leukemia yang besar. Terlepasnya komponen intraselular dapat
menyebabkan hiperurisemia, hiperkalsemia, dan hiperfosfatemia
dengan hipokalsemia sekunder. Beberapa pasien dapat menderita
nefropati asam urat atau nefrokalsinosis. Karena efek mielosupresif
dan imunosupresif penyakit itu dan juga kemoterapi, anak yang
menderita leukemia lebih rentan thd infeksi. Infeksi yang paling
awal adalah bakteri.
PROGNOSIS
Prognosis LLA pada anak-anak baik lebih dari 95% terjadi
remisi sempurna. Kira-kira 70-80% dari pasien bebas
gejala selama 5 tahun.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai