Anda di halaman 1dari 23

Pertemuan Pertama

A. Awal Krisis Ekonomi Lebih


Besar Pasak Daripada Tiang
1. Gejolak Kurs Mengungkap Persoalan
Gejolak nilai tukar rupiah sejak bulan juli
1997 sepatutnya kian membuka mata hati
terhadap berbagai persoalan mendasar
yang menghadang ekonomi Indonesia
sejak sekian tahun sebelumnya.

Presiden Soeharto dalam pidatonya


didepan DPR 16 Agustus 1997
mengatakan : guncangan-guncangan yang
melanda mata uang berbagai negara
dikawasan Asia Tenggara akhir-akhir ini
adalah wujud nyata dari pengaruh negatif
perekonomian dunia yang terbuka
Kebanyakan negara berkembang
termasuk Indonesia, tampaknya masih
menganggap remeh kondisi kesenjangan
ini. Alasannya, kesenjangan atau defisit
transaksi berjalan bisa ditutup dengan arus
modal masuk dalam bentuk pinjaman luar
negeri dan penanaman modal asing
2. Mengungkap Pokok Persoalan
Sektor moneter tidak pernah dan tidak akan
pernah lepas kaitan dengan sektor real.
Karena bagaimanapun keadaan sektor
moneter dengan segala perangkat kebijakan
dan berbagai lembaga keuangan yang
menopangnya tidak bisa berdiri sendiri
sehebat dan secanggih apapun, sektor ini
merupakan fasilitator sektor real. Jika
kenyataannya kedua sektor tersebut lepas
kaitan, maka kita tinggal menunggu
kehancuran peradaban atau paling tidak
terjebak hidup dalam gemerlapan artifisial
dengan segala konsekuensinya.
B. PENDALAMAN KRISIS ,KEGAGALAN
PEMERINTAH MEMAHAMI SINYAL
1. Keterlibatan IMF
Keberadaan IMF yang disertai oleh tim bank dunia dan bank
pembangunan Asia semakin memperkuat konstalasi ini. IMF
akan mengevaluasi usulan pemerintah. Boleh jadi, IMF
memandang usulan pemerintah belum memadai, lalu
menyarankan langkah-langkah tambahan agar pemulihan
ekonomi bisa lebih terjamin, khususnya pemulihan
kepercayaan investor asing.

Pemerintah Indonesia sepatutnya memanfaatkan momentum


yang terbuka luas ini untuk melakukan pembenahan
mendasar, tidak setengah hati lagi seperti dimasa-masa lalu.
Harga yang harus dibayar memang sangat mahal. Juga
sekaligus bisa dijadikan momentum bagi terjadinya seleksi
alamiah untuk menghasilkan pengusaha-pengusaha yang
tangguh dan teruji yang mampu keluar dari kemelut.
Ditengah tersendatnya perundingan
pemberian bantuan program yang bersifat
perundingan pemberian bantuan program
yang bersifat formal (program and formal
assistance) dari IMF, Indonesia dibanjiri
oleh komitmen bantuan dana dari negara-
negara tetangga. Keterlibatan negara
sahabat bukan substitusi dari paket
bantuan IMF. Antusiasme negara-negara
tetangga membantu Indonesia patut
disambut tanpa prasangka negatif.
2.Rezim Sentralistik Menumpulkan
Upaya Penyelesaian
Pelajaran yang bisa ditarik dari krisis ekonomi dewasa ini sangatlah jelas
sebagai berikut:
perlu pembenahan manejemen pembangunan dan pemerintahan.
Misalnya, kerapuan stuktur pembayaran Indonesia hanya difokuskan
pada satu sisi permasalahan sebagaimana tercermin dari dibentuknya
Tim Peningkatan Ekspor (TPE).
yang tidak kalah berharganya adalah reformasi adalah system
pengambilan keputusan. Persoalan ini, tentu saja berkaitan erat dengan
menejemen pembangunan dan pemerintahan. Penanganan krisis nilai
tukar rupiah menjadi salah satu indikasi betapa mendesatnya
pembenahan proses pengambilan keputusan.
diperlukan pengembangan kelembagaan yang menopang peningkatan
dinamika perekonomian yang semakin sehat sehinnga bisa menekan
transaksi (transaction cost). Keberhasilan menekan biaya transaksi akan
memperkokoh keunggulan komparatif bangsa, yang paling gilirannya
mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat.
3. Krisis Moneter Menjadi Krisis
Multidimensional
Keselurahan aspek diatas bertemu pada saat yang
bersamaan tatkala sistem politik pun sudah hampir menuju
kebangkrutan. Hampir semua pihak sepakat bahwa persoalan
bukan semata-mata krisis ekonomi, tetapi sudah bercampur
dengan krisis politik. Agenda perubahan harus dibentang
dengan kendali harus pada rakyak itu sendiri. Maka, reformasi
harus diawali dengan penghapusan segala praktik yang
membelenggu rakyak sehingga mereka tidak bisa
menguatkan potensi yang ada pada genggaman mereka.
Penanganan krisis yang serba tidak jelas dan keengganan
mengakui dari sumber persoalan sebagai akibat semakin
koroposnya rezim otoriter birokratis orde baru yang
menghasilkan Soeharto Style State Assited Capitalism
membuat momentum bagi pemulihan ekonomin nyaris sirna.
Sebagai suatu bangsa seharusnya kita malu dengan
penegasan IMF yang terus memperketat pengawasan atas
pelaksanaan reformasi yang telah disepakati bersama.
C. Pemulihan yang Tidak Kunjung
Datang
1. Kemiskinan Merajalela
Keberhasilan mengurangi jumlah penduduk miskin
selama 30 tahun terakhir kini bagai tak berbekas.
Krisi ekonomi selama 10 bulan sudah memaksa
puluhan juta penduduk Indonesia kembali terpuruk
hidup dibawah garis kemiskinan. Pemicu
utamanya adalah meroketnya harga-harga
kebutuhan pokok, terutama pangan, yaitu lebih
dari 80 persen.
2. Kebangkrutan Massal Dunia
Usaha
Memburuknya indikator-indikator makro ekonomi telah
merambah ke sendi-sendi dunia usaha, sehingga membuat
denyut nadi sektor usaha kian melemah. Ketergantungan
yang cukup tinggi pada bahan baku impor membuat biaya
produksi membengkak. Selain itu, pengusaha kesulitan
membuat kalkulasi biaya produksi dan menentukan harga
jual produk karena pergerakan kurs yang sangat
berfluktuasi. Belum lagi persoalan ditolaknya letter of
credit yang dikeluarkan oleh bank-bank nasional indonesia,
yang sangat menyulitkan ekspor. Muncul pula masalah
keterbatasan sarana transportasi dan kelangkaan peti
kemas. Persoalan belum berhenti, karena kalaupun telah
berhasil menjual produknya, mereka bingung dalam
menempatkan dananya di tengah kemelut perbankan yang
justru semakin memburuk
Suku bunga nominal yang sudah sangat tinggi, sekitar 70
persen, yang tidak mungkin dapat dipikul pelaku bisnis
mana pun, secara teoritis sulit diturunkan, apalagi secara
drastis. Alasannya, pada waktu yang bersamaan tingkat
inflasi telah meroket ke tingkatan yang mendekati tingkat
suku bunga nominal. Dengan demikian, di tengah realita
politik yang penuh dengan ketidakpastian, sebetulnya
tingkat suku bungan real (Tingkat suku bunga nominal
dikurangi dengan tingkat inflasi ) dewasa ini tidaklah terlalu
tinggi. Seandainya pemerintah berketetapan menurunkan
tingkat suku bunga sebagai reaksi terhadap tekanan dari
kalangan dunia usaha, maka tidak sulit untuk
membayangkan terjadinya pelarian modal (capital flight) ke
luar negeri, apalagi mengharapkan kembalinya dana-dana
yang telah diparkir di luar negeri oleh penduduk indonesia.
Penurunan yang marjinal tidak akan banyak berarti bagi
dunia usaha karena tingkat bungan yang berlaku dewasa ini
sudah jauh melampaui tingkat keuntungan wajar (normal)
sehingga praktis tingkat bunga tersebut telah berada pada
daerah perangkap (liquidity trap).
D. AWAL REFORMASI DARI HABIBIE
HINGGA GUSDUR
1. Pemerintahan Transisi yang
Penuh Masalah

Era reformasi disebut-sebut hadir sejak


mundurnya Presiden Soeharto, meskipun
periode pemerintahan B.J Habibie yang
jelas-jelas merupakan kelanjutan dari Orde
Baru belum merupakan suatu bentuk
reformasi yang hakiki, dan bahkan tidak
bisa dikatakan sebagai pemerintahan yang
absah karena proses naiknya Presiden
habibie sendiri mengandung masalah
konstitusional.

.
Ketika habibie tampil, perekonomian Indonesia
sudah di ambang kebangkrutan. Produksi macet,
tingkat suku bunga meroket, perbankan dan
lembaga lembaga lainnya semaput. Cadangan
devisa menipis karena ekspor tersendat,
sedangkan kebutuhan impor tidak mungkin
ditekan terus; investasi asing langsung maupun
tidak langsung hampir berhenti total; dan
penairan pinjaman luar negeri yang telah
disepakati mengalami penundaan. Sementara
itu, inflasi merayap ke tiga digit, jumlah
pengangguran meledak mencapai belasan juta,
dan sekitar 100 juta orang atau separuh
penduduk Indonesia berada di tepi jurang
kemiskinan harapan rupiah akan menguat masih
sebatas impian
Keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa
pemerintahan transisi memiliki karakteristik sebagai
berikut:
Kegoncangan terhadap rupiah terjadi pada
pertengahan 1997, pada saat itu dari Rp 2500 menjadi
Rp 2650 per dollar AS. Sejak masa itu keadaan rupiah
menjadi tidak stabil.
Krisis rupiah akhirnya menjadi semakin parah dan
menjadi krisis ekonomi yang kemudian memuncuilkan
krisis politik terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
Pada awal pemerintahan yang dipimpin oleh Habibie
disebut pemerintahan reformasi. Namun, ternyata
pemerintahan baru ini tidak jauh berbeda dengan
sebelumnya, sehingga kalangan masyarakat lebih suka
menyebutnya sebagai masa transisi karena KKN
semakin menjadi, banyak kerusuhan.
2. RAPBN 1999/2000
Pada pemerintahan habibie ada sedikit perubahan dalam tampilan
maupun substansi RAPBN 1999/2000. Dari segi tampilan, misalnya
utang luar negeri yang dulu tercantum sebagai penerimaan
pembangunan telah berubah menjadi pinjaman program dan pinjaman
proyek, sehingga lebih mencerminkan keadaan yang sebenarnya.
Sementara itu dari segi substansi, terdapat pergeseran kebijakan atau
titik berat, misalnya terjadi peningkatan alokasi anggaran daerah.
Perekonomian Indonesia di era Habibie mulai menunjukkan tanda
tanda baik. Bahkan pemerintah, Bank Dunia, dan IMFmemandang
masa paling sulit telah terlampaui. Serangkaian bukti telah dipaparkan:
1. Nilai tukar rupiah menguat sekalipun demonstrasi mahasiswa
dan kerusuhan terus berlangsung
2. Inflasi mereda
3. Tingkat suku bunga mulai turun,
4. surplus neraca perdagangan membesar
5. Transaksi berjalan mengalami surplus setelah belasan tahun
selalu defisit
Perekonomian secara alamiah telah hampir
mencapai titik rendahnya, dan secara alamiah
sudah menggeliat. Indikator indikator ekonomi
jangka pendek telah menunjukkan perbaikan berarti
hingga triwulan ketiga tahun 1999. Laju inflasi
selama semester pertama tahun ini hanya 2,7
persen, bahkan dalam 7 bulan berturut turut (
maret september ) terus menerus mengalami
deflasi, sehingga inflasi kumulatif Januari Oktober
Cuma 0, 08 persen saja. Tingkat suku bunga juga
merosot ke tingkat di bawah 20 persen. Sementara
itu, nilai tukar rupiah pernah mendekati Rp. 6000
per dolar AS, sekalipun sempat melemah kembali
hingga mencapai Rp 9000 per dolar AS akibat
kekacauan Di Timor timur pasca referendum dan
menghangatnya scandal Bank Bali.
3. situasi pasca pemilu 1999
UUD 1945 sebelum perubahan menganut sistem MPR dalam pemilu
Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 ayat
(2). Pada saat itu kedudukan MPR-RI
merupakan lembaga negara tertinggi yang menguasai dan mengatur
lembaga-lembaga negara
lainnya, termasuk Presiden dan Wakil Presiden.Sesuai UUD 1945,MPR-RI
disebut sebagai pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat (pasal 1 ayat
(2)).
Pada sidang umum MPR-RI tersebut, muncul dua calon Presiden yang
bersaing, yakni Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri.
Abdurrahman Wahid didukung oleh Poros Tengah, suatu koalisi partai-
partai politik Islam dan Nasionalis, sementara Megawati Soekarnoputri
didukung oleh PDI Perjuangan.
Setelah melalui pemungutan suara secara tertutup yang dramatis dan
disiarkan langsung oleh berbagai
stasiun TV, akhirnya Abdurrahman Wahid memenangkan pemilihan.
Abdurrahman Wahid memperoleh suara sebanyak 373, sedangkan
Megawati Soekarnoputri mendapat dukungan
313 suara.
5. pemerintahan gus-dur
Perekonomian Masa K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun
sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi
perekonomian Indonesia mulai menunjukkan
adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai
positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun
2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia
jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan
hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB,
laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga
rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter
di dalam negeri sudah mulai stabil.
Akan tetapi, ketenangan masyarakat setelah terpilihnya
Presiden Indonesia keempat tidak berlangsung lama. Presiden
mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan
kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis.
Presiden cenderung bersikap diktator dan praktek KKN di
lingkungannya semakin intensif, bukannya semakin berkurang
yang merupakan salah satu tujuan dari gerakan reformasi. Ini
berarti bahwa walaupun namanya pemerintahan reformasi,
tetapi tetap tidak berbeda denga rezim orde baru. Sikap
presiden tersebut juga menimbulkan perseteruan dengan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang klimaksnya adalah
dikelurakannya peringatan resmi kepada Presiden lewat
Memorandum I dan II. Dengan dikeluarkannya Memorandum
II, Presiden terancam akan diturunkan dari jabatannya jika
usulan percepatan Sidang Istomewa MPR jadi dilaksanakan
pada bulan Agustus 2001.
Ketidakstabilan politik dan social yang tidak
semakin surut selama pemerintahan Abdurrahman
Wahid menaikkan tingkat country risk Indonesia.
Ditambah lagi dengan memburuknya hubungan
antara pemerintah Indonesia dan IMF. Hal ini
membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor
asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis
atau menanamkan modalnya di Indonesia.
Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada
masa pemerintahan reformasi cenderung lebih buruk
daripada saat pemerintahan transisi. Bahkan,
lembaga pemeringkat internasional Moodys Investor
Service mengkonfirmasikan bertambah buruknya
country risk Indonesia. Meskipun beberapa indikator
ekonomi makro mengalami perbaikan, namun karena
kekhawatiran kondisi politik dan sosial, lembaga
rating lainnya (seperti Standard & Poors)
menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari
stabil ke negatif.
Rangkuman keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa
pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid memiliki
karakteristik sebagai berikut:
Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia
mulai mengarah pada perbaikan, di antaranya pertumbuhan PDB yang
mulai positif, laju inflasi dan tingkat suku bunga yang rendah, sehingga
kondisi moneter dalam negeri juga sudah mulai stabil.
Hubungan pemerintah dibawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF
juga kurang baik, yang dikarenakan masalah, seperti Amandemen UU
No.23 tahun 1999 mengenai bank Indonesia, penerapan otonomi daerah
(kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri) dan revisi APBN
2001 yang terus tertunda.
Politik dan sosial yang tidak stabil semakin parah yang membuat investor
asing menjadi enggan untuk menanamkan modal di Indonesia.
Makin rumitnya persoalan ekonomi ditandai lagi dengan pergerakan Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung negatif, bahkan merosot
hingga 300 poin, dikarenakan lebih banyaknya kegiatan penjualan daripada
kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri.
Pada masa kepemimpinan presiden
Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan
yang cukup berarti untuk menyelamatkan
negara dari keterpurukan. Padahal, ada
berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan
orde baru harus dihadapi, antara lain masalah
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme),
pemulihan ekonomi, kinerja BUMN,
pengendalian inflasi, dan mempertahankan
kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal
Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di
mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya
digantikan oleh presiden Megawati.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai