.
Ketika habibie tampil, perekonomian Indonesia
sudah di ambang kebangkrutan. Produksi macet,
tingkat suku bunga meroket, perbankan dan
lembaga lembaga lainnya semaput. Cadangan
devisa menipis karena ekspor tersendat,
sedangkan kebutuhan impor tidak mungkin
ditekan terus; investasi asing langsung maupun
tidak langsung hampir berhenti total; dan
penairan pinjaman luar negeri yang telah
disepakati mengalami penundaan. Sementara
itu, inflasi merayap ke tiga digit, jumlah
pengangguran meledak mencapai belasan juta,
dan sekitar 100 juta orang atau separuh
penduduk Indonesia berada di tepi jurang
kemiskinan harapan rupiah akan menguat masih
sebatas impian
Keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa
pemerintahan transisi memiliki karakteristik sebagai
berikut:
Kegoncangan terhadap rupiah terjadi pada
pertengahan 1997, pada saat itu dari Rp 2500 menjadi
Rp 2650 per dollar AS. Sejak masa itu keadaan rupiah
menjadi tidak stabil.
Krisis rupiah akhirnya menjadi semakin parah dan
menjadi krisis ekonomi yang kemudian memuncuilkan
krisis politik terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
Pada awal pemerintahan yang dipimpin oleh Habibie
disebut pemerintahan reformasi. Namun, ternyata
pemerintahan baru ini tidak jauh berbeda dengan
sebelumnya, sehingga kalangan masyarakat lebih suka
menyebutnya sebagai masa transisi karena KKN
semakin menjadi, banyak kerusuhan.
2. RAPBN 1999/2000
Pada pemerintahan habibie ada sedikit perubahan dalam tampilan
maupun substansi RAPBN 1999/2000. Dari segi tampilan, misalnya
utang luar negeri yang dulu tercantum sebagai penerimaan
pembangunan telah berubah menjadi pinjaman program dan pinjaman
proyek, sehingga lebih mencerminkan keadaan yang sebenarnya.
Sementara itu dari segi substansi, terdapat pergeseran kebijakan atau
titik berat, misalnya terjadi peningkatan alokasi anggaran daerah.
Perekonomian Indonesia di era Habibie mulai menunjukkan tanda
tanda baik. Bahkan pemerintah, Bank Dunia, dan IMFmemandang
masa paling sulit telah terlampaui. Serangkaian bukti telah dipaparkan:
1. Nilai tukar rupiah menguat sekalipun demonstrasi mahasiswa
dan kerusuhan terus berlangsung
2. Inflasi mereda
3. Tingkat suku bunga mulai turun,
4. surplus neraca perdagangan membesar
5. Transaksi berjalan mengalami surplus setelah belasan tahun
selalu defisit
Perekonomian secara alamiah telah hampir
mencapai titik rendahnya, dan secara alamiah
sudah menggeliat. Indikator indikator ekonomi
jangka pendek telah menunjukkan perbaikan berarti
hingga triwulan ketiga tahun 1999. Laju inflasi
selama semester pertama tahun ini hanya 2,7
persen, bahkan dalam 7 bulan berturut turut (
maret september ) terus menerus mengalami
deflasi, sehingga inflasi kumulatif Januari Oktober
Cuma 0, 08 persen saja. Tingkat suku bunga juga
merosot ke tingkat di bawah 20 persen. Sementara
itu, nilai tukar rupiah pernah mendekati Rp. 6000
per dolar AS, sekalipun sempat melemah kembali
hingga mencapai Rp 9000 per dolar AS akibat
kekacauan Di Timor timur pasca referendum dan
menghangatnya scandal Bank Bali.
3. situasi pasca pemilu 1999
UUD 1945 sebelum perubahan menganut sistem MPR dalam pemilu
Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 ayat
(2). Pada saat itu kedudukan MPR-RI
merupakan lembaga negara tertinggi yang menguasai dan mengatur
lembaga-lembaga negara
lainnya, termasuk Presiden dan Wakil Presiden.Sesuai UUD 1945,MPR-RI
disebut sebagai pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat (pasal 1 ayat
(2)).
Pada sidang umum MPR-RI tersebut, muncul dua calon Presiden yang
bersaing, yakni Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri.
Abdurrahman Wahid didukung oleh Poros Tengah, suatu koalisi partai-
partai politik Islam dan Nasionalis, sementara Megawati Soekarnoputri
didukung oleh PDI Perjuangan.
Setelah melalui pemungutan suara secara tertutup yang dramatis dan
disiarkan langsung oleh berbagai
stasiun TV, akhirnya Abdurrahman Wahid memenangkan pemilihan.
Abdurrahman Wahid memperoleh suara sebanyak 373, sedangkan
Megawati Soekarnoputri mendapat dukungan
313 suara.
5. pemerintahan gus-dur
Perekonomian Masa K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun
sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi
perekonomian Indonesia mulai menunjukkan
adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai
positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun
2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia
jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan
hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB,
laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga
rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter
di dalam negeri sudah mulai stabil.
Akan tetapi, ketenangan masyarakat setelah terpilihnya
Presiden Indonesia keempat tidak berlangsung lama. Presiden
mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan
kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis.
Presiden cenderung bersikap diktator dan praktek KKN di
lingkungannya semakin intensif, bukannya semakin berkurang
yang merupakan salah satu tujuan dari gerakan reformasi. Ini
berarti bahwa walaupun namanya pemerintahan reformasi,
tetapi tetap tidak berbeda denga rezim orde baru. Sikap
presiden tersebut juga menimbulkan perseteruan dengan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang klimaksnya adalah
dikelurakannya peringatan resmi kepada Presiden lewat
Memorandum I dan II. Dengan dikeluarkannya Memorandum
II, Presiden terancam akan diturunkan dari jabatannya jika
usulan percepatan Sidang Istomewa MPR jadi dilaksanakan
pada bulan Agustus 2001.
Ketidakstabilan politik dan social yang tidak
semakin surut selama pemerintahan Abdurrahman
Wahid menaikkan tingkat country risk Indonesia.
Ditambah lagi dengan memburuknya hubungan
antara pemerintah Indonesia dan IMF. Hal ini
membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor
asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis
atau menanamkan modalnya di Indonesia.
Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada
masa pemerintahan reformasi cenderung lebih buruk
daripada saat pemerintahan transisi. Bahkan,
lembaga pemeringkat internasional Moodys Investor
Service mengkonfirmasikan bertambah buruknya
country risk Indonesia. Meskipun beberapa indikator
ekonomi makro mengalami perbaikan, namun karena
kekhawatiran kondisi politik dan sosial, lembaga
rating lainnya (seperti Standard & Poors)
menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari
stabil ke negatif.
Rangkuman keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa
pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid memiliki
karakteristik sebagai berikut:
Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia
mulai mengarah pada perbaikan, di antaranya pertumbuhan PDB yang
mulai positif, laju inflasi dan tingkat suku bunga yang rendah, sehingga
kondisi moneter dalam negeri juga sudah mulai stabil.
Hubungan pemerintah dibawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF
juga kurang baik, yang dikarenakan masalah, seperti Amandemen UU
No.23 tahun 1999 mengenai bank Indonesia, penerapan otonomi daerah
(kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri) dan revisi APBN
2001 yang terus tertunda.
Politik dan sosial yang tidak stabil semakin parah yang membuat investor
asing menjadi enggan untuk menanamkan modal di Indonesia.
Makin rumitnya persoalan ekonomi ditandai lagi dengan pergerakan Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung negatif, bahkan merosot
hingga 300 poin, dikarenakan lebih banyaknya kegiatan penjualan daripada
kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri.
Pada masa kepemimpinan presiden
Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan
yang cukup berarti untuk menyelamatkan
negara dari keterpurukan. Padahal, ada
berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan
orde baru harus dihadapi, antara lain masalah
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme),
pemulihan ekonomi, kinerja BUMN,
pengendalian inflasi, dan mempertahankan
kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal
Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di
mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya
digantikan oleh presiden Megawati.
TERIMA KASIH