Anda di halaman 1dari 29

ACUTE BACTERIAL RHINOSINUSITIS

Farmakoterapi Penyakit Infeksi


Kelompok 1
1. Diah Siti Fatimah 260110160041
2. Shella Widiyastuti 260110160042
3. Dede Jihan Oktaviani 260110160044
4. Quinzheilla P. A. 260110160045
5. Shinta Lestari` 260110160046
6. Saqila Alifa R. 260110160047
7. Alia Resti Azura 260110160048
8. Indah Pertiwi 260110160049

Fakultas Farmasi
Universitas Padjadjaran
Anatomi Sinus
Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh
manusia yang sulit dideskripsikan karena bentuknya
sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus paranasal
merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,
sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.
Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat
buah pada masing-masing sisi hidung ; sinus frontalis
kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri (anterior dan
posterior), sinus maksila yang terbesar, kanan dan kiri
disebut Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis kanan dan
kiri (Autio, 2017).
Sinus Maksilaris
Sinus maksilaris berhubungan dengan rongga hidung
melalui ostium dan infundibulum, yang berhubungan
lebih lanjut dengan meatus tengah rongga hidung. Ostium
sinus maksilaris terletak di tengah medial di bagian
superior sinus. Ostium berdiameter 2-5 mm.
Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan
dasarnya menghadap ke fosa nasalis dan puncaknya ke
arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Dinding
anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang
disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya
ialah dinding lateral rongga hidung. Ostium sinus maksila
berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum
etmoid (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007).
Sinus Etmoid
Sinus etmoid berongga rongga terdiri dari sel-sel yang
menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa
bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka
media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya,
sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang
bermuara di meatus medius, dan sinus etmoid posterior
yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan
sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal.
Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah
etmoid anterior terdapat suatu penyempitan
infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila.
Akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat
merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya
(Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007).
Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan
sebagai pasangan evaginasi mukosa di bagian posterior
superior kavum nasi. Perkembangannya berjalan lambat,
sampai pada waktu lahir evaginasi mukosa ini belum
tampak berhubungan dengan kartilago nasalis posterior
maupun os sfenoid. Letaknya di dalam korpus os etmoid
dan ukuran serta bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini
dipisahkan satu sama lain oleh septum tulang yang tipis,
yang letakya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu
sinus akan lebih besar daripada sisi lainnya
Letak ostium sfenoid adalah di dalam ostium sfenoid di
belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua
oleh sekat yang disebut septum intersfenoid (Ballenger,
2002).
Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai
terbentuk sejak bulan ke empat fetus, berasal dari sel-
sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang
pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran
maksimal sebelum usia 20 tahun.
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi ,
dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan
ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang
juga ada sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal
kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar
dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang
terletak di garis tengah (Mangunkusumo dan Soetjipto,
2007).
Fisiologi Sinus

Peran sinus paranasal masih belum jelas. Beberapa fungsi


sinus paranasal diantaranya:
Resonansi fonetik dan proteksi suara dalam transmisi
ucapan seseorang ke telinga
Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Membantu produksi mukus
Reservoir udara sebagai referensi untuk stimulasi
penciuman baru.
Membantu keseimbangan kepala
Sebagai peredam perubahan tekanan udara (Autio,
2017).
8 Pendahuluan
Acute Bacterial Rhinosinusitis adalah penyakit infeksi
bakteri, dan seringkali melibatkan kondisi predisposisi
yang memulai proses peradangan pada mukosa dan
sinus hidung. Sinus yang paling umum terinfeksi
adalah sinus maksila dan ethmoid.
Proses inflamasi menyebabkan penyempitan saluran
hidung, drainase lendir yang buruk dari sinus, dan
oksigenasi jaringan yang buruk, yang mempengaruhi
daerah tersebut terhadap pertumbuhan mikroba.
Durasi ARS maksimal 4-12 minggu. Setelah 12
minggu, rinosinusitis dengan gejala-gejala yang tidak
lengkap dianggap kronis (Kaplan, 2014).
Patofisiologi
Rinosinusitis disebabkan oleh peradangan mukosa dan
kerusakan lokal mekanisme pembersihan mukosiliar
biasanya sebagai hasil dari infeksi virus atau alergi.
Peningkatan produksi lendir dan mengurangi sekresi
clearance dapat menyebabkan penyumbatan sinus ostia,
atau pembukaan sinus ke saluran napas bagian atas.
Lingkungan ini sangat ideal untuk pertumbuhan bakteri
dan memperkenalkan siklus respon inflamasi lokal dan
cedera mukosa ditandai dengan meningkatnya
konsentrasi interleukin, histamin, dan tumor necrosis
factor.
Proyeksi air (tegak lurus, kepala miring
ke belakang). Cairan udara dan
penebalan mukosa di kedua sinus
maksila.
Patofisiologi (Cont.)

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap invasi bakteri


termasuk bertiup hidung, mengurangi imunitas lokal, virus
virulensi, dan kolonisasi nasofaring dengan bakteri.
Kerusakan sistem pertahanan tubuh memperkuat
pertumbuhan bakteri dan terjadinya infeksi. Meskipun
penyakit disebabkan oleh bakteri, ada tingkat
resolusispontan 50% sampai 70% untuk ABRs.

Proyeksi air (tegak lurus, kepala miring


ke belakang). Cairan udara dan
penebalan mukosa di kedua sinus
maksila.
Gejala Klinik
11 Rhinosinusitis Bakteri Akut

(MaHTAS, 2016).
Gejala Klinik
12 Rhinosinusitis Bakteri Akut (Cont.)

1. Nasal discharge
2. Sakit wajah
3. Hidung gatal
4. Bersin
5. Penyumbatan Hidung
6. Bau nafas yang tidak sedap
7. Demam
(MaHTAS, 2016).
Gejala Klinik
13 Rhinosinusitis Bakteri Akut (Cont.)

1. Pilek terus-menerus
2. Batuk
3. Demam
4. Halitosis (Bau yang tidak sedap)

(Baren, 2008).
14
Uji Biokimia
Sinusitis
Maxillary Sinus Taps (MST) untuk
15 TES LABORATORIUM tusukan sinus dan aspirasi adalah
Metode standar tujuan dalam
Uji kultur laboratorium dan menentukan etiologi ABRS namun
kerentanan antibiotik (C & S) jarang dilakukan karena sifatnya
bertujuan untuk yang invasif. Endoscopically-
mendokumentasikan infeksi directed middle meatal culture
bakteri dan pola resistensi (EDMMC) kurang invasif dalam
pada bakteri RS. Hal ini mendapatkan spesimen
penting untuk memastikan dibandingkan dengan MST. Dalam
bahwa tes ini memiliki dua meta analisis, EDMMC sama
indikasi dan metode akurat dengan MST (MaHTAS,
pengambilan sampel yang 2017).
tepat.
Akurasi gabungan dihitung per budaya dan per isolat
16 sebanding dengan 73%, (95% CI 50 sampai 88) dan 82%
(95% CI 65 sampai 92) masing-masing pada RS.24 akut
dan kronis, tingkat III.

Keakuratan 87,0% (95% CI 81,3 sampai 92,8) diperoleh


pada saat mendeteksi bakteri patogen utama
(Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan
Moraxella catarrhalis) pada ABRS.

EDMMC memiliki kinerja yang sebanding dengan CT scan


sinus.

(MaHTAS, 2017).
PENGGAMBARAN SINUSITIS
17
CT scan, dan MRI

CT scan MRI
Standar emas dalam evaluasi Digunakan untuk diagnostik
radiografi dari pranasal sinus atau ketika dicurigai adanya
dan banyak digunakan untuk komplikasi intrakranial .
mendiagnosa bakteri (MaHTAS, 2017).
rhinosinusitis.
Indikasi untuk CT Scan
adalah:
- Terapi medikal yang gagal
- Operasi terencana
Anterior Rhinoscopy
18
Untuk pengawasan klinik dari ARS yang dicurigai dalam
perawatan primer meski perannya agak terbatas.

Anterior Rhinoscopy dapat melihat radang edema, radang


hidung, dan polip. (MaHTAS, 2017).
Terapi Farmakologis RSBA

19
20 Terapi untuk Anak

Antibiotika lini RSBA berulang / Untuk penderita


pertama untuk adanya riwayat hipersensitif
RSBA adalah antibiotika terhadap penisilin
AMOKSISILIN memerlukan dapat digunakan
antibiotika lini katrimoksazol,
Digunakan untuk kedua makrolid atau
serangan RSBA Kombinasi doksisiklin, namun
yang pertama dan amoksisilin dan obat yang terakhir
belum pernah asam klavulanat ini tidak dianjurkan
diterapi dengan dapat digunakan pada anak-anak.
antibiotika
21 Terapi untuk Dewasa
Orang dewasa Orang dewasa Orang dewasa
dengan penyakit dengan penyakit dengan penyakit
ringan dan belum ringan/sedang dan sedang yang telah
mendapat antibiotik: telah mendapat menerima antibiotik
Amoksisilin dan antibiotik pada 4-6 dalam 4-6 minggu
klavulanat, minggu sebelumnya sebelumnya:
amoksisilin (1,5-3,5 : Amoxicillin/ Amoksisilin/
g/ hari), cefpodoxime clavulanate, klavulanat,
proxetil, atau amoxicillin (3-3.5 g), levofloksasin,
cefuroxime cefpodoxime moksifloksasin, atau
direkomendasikan proxetil, atau doksisiklin
sebagai terapi awal. sefiksim dianjurkan. direkomendasikan.
22 Terapi untuk Dewasa (Cont.)

Pasien yang tetap bergejala meskipun telah mendapat terapi


antibiotik yang tepat, dapat dievaluasi dengan endoskopi sinus,
pemindaian CT.

Pengobatan lain selain antibiotika :


Saline semprot hidung (Ayr, Ocean Nasal Spray, Pelembab
hidung).
Ekspektoran
Antikolinergik
Kortikosteroid
Terapi Non
Farmakologis RSBA
Terapi Non Farmakologis
24 RSBA
Langkah pertama dalam menangani pasien dengan rinitis alergi adalah dengan
memodififikasi gaya hidup pasien dan dilakukannya penyesuaian lingkungan.

Contoh kasus :
TUNGAU DEBU
menggunakan penutup kedap untuk bantal dan kasur
mencuci seprai di tempat yang panas (lebih tinggi dari 130 F)
meminimalkan penggunaan karpet (gunakan lantai ubin atau
kayu).
(Burns et al., 2008).
Terapi Non Farmakologis
25 RSBA

BULU HEWAN
Tidak memelihara hewan peliharaan di rumah

SERBUK SARI TUMBUHAN DAN JAMUR


menjaga jendela dan pintu tertutup
menggunakan air conditioner.
menimalkan waktu di luar rumah, terutama selama masa jumlah
serbuk sari tinggi (11 siang hingga 3 sore)
(Burns et al., 2008).
Evaluasi dan Monitoring.

26

27 EVALUASI

Perbaikan klinis harus jelas dengan terapi dari 72 jam APY, seperti
yang ditunjukkan dengan perbaikan,mengurangi hidung tersumbat,
dan mengurangi dalam nyeri pada wajah atau tekanan dan gejala
lainnya. Pasien harus dipantau mengenai efek samping umum dan
dirujuk ke dokter spesialis jika respon klinis tidak diperoleh pada
pertama atau terapi klinik kedua. Rujukan juga penting untuk
berulang atau sinusitis kronis ataupenyakit akut pada pasien
immunocompromised. Pembedahan dapat di indikasikan dalam
kasus-kasus yang rumit.

(Marie and Burns, 2010)


28 MONITORING

Dipastikan jalur udara yang lancer dan jumlah oksigen


gan ventilasi yang memadai
Tidak adanya indikasi klinis mengenai kesulitan untuk
bernapas
Tidak adanya indikasi klinis mengenai infeksi sepsis
Hilang nya rasa sakit dan tidak nyaman

(Dennison dan Johnson, 2011)


29 Daftar Pustaka
Ballenger, J.J. 2002. Infeksi Sinus Paranasal. Dalam: Saputra, L., ed. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
Leher. Edisi 1. Jakarta: Binarupa Aksara.
Dennison, R. dan Johnson, J. 2011. Pass Cen. United States of America: Elsevier
Kaplan, Alan. 2014. Canadian guidelines for acute bacterial rhinosinusitis. Can Fam Physician. Vol 60(3): 227-234.
Autio, Timo. 2017. Development And Diagnostics of Bacterial Acute Rhinosinusitis in Young Adults. Oulu: University of
Oulu.
Mangunkusumo, E. dan Soetjipto, D. 2007. Sinusitis. Dalam: Soepardi, E.A., Iskandar, N., (eds). 2007. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorak Kepala Leher. Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: 473-479
Marie A and Chisholm-Burns. 2010. Pharmacotherapy principles & practice. McGraw-Hill Medical

Anda mungkin juga menyukai