Ferryal Basbeth
• Menurut WHO (2000) 50 juta dari 75 juta perempuan
didunia, yang tidak menginginkan kehamilan atau akan
mengakhiri dengan aborsi disengaja dan 20 juta
perempuan melakukan dengan tidak aman sehingga
13% akan beresiko terjadi kematian karena komplikasi
aborsi yang tidak aman.
• Indonesia merupakan satu-satunya Negara dengan
angka kematian ibu yang tertinggi di Asia tenggara ( 373
per 100.000 kelahiran hidup 1997) walaupun kontribusi
aborsi sering tidak dilihat sebagai salah satu faktor
tingginya angka tersebut.
• Tingginya Anemia atau kurang darah dimana 1 jam ada
2 perempuan meninggal karena kehamilan atau
keguguran bahkan ½ jam ada 1 perempuan yang
meninggal (Yayasan Kesehatan Perempuan)
• YKP tahun 2002 atas dukungan sejumlah institusi pemerintah bersama
beberapa LSM, Mahkamah Agung, Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, Komisi
VII DPR-RI, POGI (Perkumpulan Obstetrik dan Ginekolog Indonesia
melakukan Penelitian Penghentian Kehamilan Tak Diinginkan yang Aman
berbasis Konseling di 9 Kota besar termasuk Manado.
• Dan hasilnya digunakan sebagai data pendukung amandemen pasal 15 UU
No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan
• Penelitian yang melibatkan 1446 perempuan (klien)di 9 Kota Besar di
Indonesia ini menghasilkan :
– Klien kebanyakan (58%) berusia diatas 30 tahun, hanya 3%berusia
dibawah 20 tahun
– Sekitar 87% klien berstatus menikah, hampir separuhnya telah memeliki
sekurangnya 2 orang anak
– Pendidikan klien setingkat SMU (54%), 21 % tamat akademi/universitas
– Klien sudah melakukan tindakan aborsi sendiri berupa : Minum
jamu, pergi ke dukun, minum gynecosid atau cytotec merupakan
upaya-upaya yang dilakukan sebelum klien datang keklinik atau
Rumah Sakit
– Hampir separuhnya (47%) adalah ibu Rumah Tangga. Dari yang bekerja
(619 klien), 47% adalah karyawan swasta dan 23% pegawai negeri
termasuk anggota TNI/Polri
– Sekitar 21% klien telah melakukan aborsi berulang dengan jumlah
maksimal 4 kali
• penyebab utama kematian ibu hamil dan melahirkan adalah
perdarahan, infeksi dan eklampsia.
• Akan tetapi, kematian ibu yang disebabkan komplikasi aborsi sering
tidak muncul dalam laporan kematian, tetapi dilaporkan sebagai
perdarahan atau sepsis. Hal itu terjadi karena hingga saat ini aborsi
masih merupakan masalah kontroversial di masyarakat.
• Di negara-negara yang tidak mengizinkan aborsi seperti Indonesia,
banyak perempuan terpaksa mencari pelayanan aborsi tidak aman
karena tidak tersedianya pelayanan aborsi aman atau biaya yang
ditawarkan terlalu mahal.
• Dari 46 juta aborsi/tahun, 20 juta dilakukan dengan tidak aman, 800
wanita diantaranya meninggal karena komplikasi aborsi tidak aman
dan sekurangnya 13 persen kontribusi Angka Kematian Ibu Global
(AGI, 1997; WHO 1998a; AGI, 1999)
• Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menyebutkan
aborsi berkontribusi 11,1% terhadap kematian ibu di Indonesia,
angka sebenarnya mungkin lebih besar lagi mengingat belum
dilakukannya pencatatan data mengenai tindakan aborsi
• Bahkan secara informal, Direktora Jendral Bina Kesehatan
Masyarakat Departemen Kesehatan Indonesia berani menyatakan
aborsi tidak aman berkontribusi hingga 50% dari kematian ibu di
Indonesia.
• WHO memperkirakan ada 4,2 juta aborsi dilakukan per
tahun, 750.000 – 1,5 juta dilakukan di Indonesia, 2.500
orang diantaranya berakhir dengan kematian (Wijono,
2000). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
1995 : Aborsi berkontribusi 11,1 % terhadap Angka
kematian Ibu (AKI) , sedangkan menurut Rosenfield dan
Fathalla (1990) sebesar 10 % (Wijono, 2000)
• sebuah studi di Bali menemukan bahwa 71 %
perempuan yang melakukan aborsi adalah perempuan
menikah (Dewi, 1997), juga studi yang dilakukan oleh
Population Council, 98,8 % perempuan yang melakukan
aborsi di sebuah klinik swasta di Jakarta, telah menikah
dan rata-rata sudah memiliki anak (Herdayati, 1998),
alasan yang umum adalah karena sudah tidak ingin
memiliki anak lagi, seperti hasil survey yang dilakukan
Biro Pusat Statistik (BPS), 75 % wanita usia reproduksi
berstatus kawin tidak menginginkan tambahan anak
(BPS, Dep.Kes 1988)
• Aborsi mungkin sudah menjadi kebutuhan karena alasan
di atas, namun karena adanya larangan baik hukum
maupun atas nama agama, menimbulkan praktek aborsi
tidak aman meluas
• Penelitian pada 10 kota besar dan 6 kabupaten
memperlihatkan 53 % Jumlah aborsi terjadi di kota,
padahal penduduk kota 1,36 kali lebih kecil dari
pedesaan, dan pelayan aborsi dilakukan oleh tenaga
yang tidak terlatih terdapat di 16 % titik pelayanan aborsi
di kota oleh dukun bayi dan 57 % di Kabupaten.
• Kasus aborsi yang ditangani dukun bayi sebesar 11 % di
kota dan 70 % di Kabupaten dan dari semua titik
pelayanan 54 % di kota dan 85 % di Kabupaten
dilakukan oleh swasta/ pribadi (PPKLP-UI, 2001).
• Hukum yang ada di Indonesia seharusnya mampu
menyelamatkan ibu dari kematian akibat tindak aborsi
tak aman oleh tenaga tak terlatih (dukun). Ada 3 aturan
aborsi di Indonesia yang berlaku hingga saat ini yaitu,
– Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) yang menjelaskan dengan
alasan apapun, aborsi adalah tindakan melanggar
hukum. Sampai saat ini masih diterapkan.
– Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan.
– Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan
yang menuliskan dalam kondisi tertentu, bisa dilakukan tindakan
medis tertentu (aborsi).
• Namun keberadaan peraturan di atas justru dianggap
menimbulkan kerugian, karena aborsi masih dianggap
sebagai tindakan kriminal, padahal aborsi bisa dilakukan
secara aman (safe abortion).
• UU Kesehatan dibuat untuk memperbaiki KUHP, tapi
memuat definisi aborsi yang salah sehingga pemberi
pelayanan (dokter) merupakan satu-satunya yang
dihukum.
• Pada KUHP, baik pemberi pelayanan (dokter), pencari
pelayanan (ibu), dan yang membantu mendapatkan
pelayanan, dinyatakan bersalah. dan akibat aborsi
dilarang, angka kematian dan kesakitan ibu di Indonesia
menjadi tinggi karena ibu akan mencari pelayanan pada
tenaga tak terlatih
• Padahal kita seharusnya lebih merasa “tidak bermoral,
tidak berbudaya dan tidak beragama” bila membiarkan
saja begitu banyak perempuan mati dan kesakitan
karena aborsi tidak aman.
Sebaiknya jika aborsi bisa dilakukan, ada persayaratan
yang mungkin dapat dibuat peraturannya oleh
pemerintah, seperti
• Aborsi sebaiknya dilakukan di RS atau klinik yang
memenuhi persyaratan dan mendapatkan izin
• Batas umur kehamilan trismester pertama sampai
kehamilan 23 minggu
• Perempuan yang berniat melakukan aborsi perlu
mendapatkan konseling agar dapat memutuskan
sendiri untuk diaborsi atau tidak dan konseling pasca
aborsi guna menghindari aborsi berulang
• Perempuan di bawah usia kawin harus didampingi
orangtuanya dalam membuat keputusan aborsi
• Undang-undang sebaiknya mengizinkan aborsi atas
indikasi kesehatan, yang diputuskan oleh Menteri
Kesehatan, dengan batas waktu dua tahun sekali
• Pelayanan aborsi oleh klinik yang ditunjuk pemerintah,
dan dikenakan biaya relatif murah
[ Introduction
[ Moral stances on Abortion
[ Konsep Kehidupan
[ Statistik
[ Pengertian
[ Metode aborsi
[ Komplikasi
[ Autopsi Pada kasus aborsi
[ Pembuktian delik aborsi
[ Miscarriage or aborticide?
[ Permasalahan dlm Pembuktian
delik aborsi
[ Delik Aborsi Menurut UU kes no 15
pasal 23
Introduction