Anda di halaman 1dari 99

Determinan Langsung

Kematian Ibu dan Anak


Determinan Langsung
kematian ibu
Komplikasi kehamilan

KOMPLIKASI KEHAMILAN ADALAH KEGAWAT


DARURATAN OBSTETRIK YANG DAPAT
MENYEBABKAN KEHAMILAN PADA IBU DAN
BAYI.
A. Perdarahan

1. Perdarahan pada kehamilan muda


a. Abortus
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil
konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar
kandungan. WHO IMPAC menetapkan batas usia
kehamilan kurang dari 22 minggu, namun beberapa
acuan terbaru menetapkan batas usia kehamilan
kurang dari 20 mingguatau berat janin kurang dari
500 gram.
Klasifikasi Abortus

Abortus Spontan
Adalah abortus yang terjadi dengan tidak
didahului faktor-faktor mekanis ataupun
medisinalis, semata-mata disebabkan oleh faktor-
faktor alamiah. Abortus spontan dibagi menjadi:
1) Abortus imminens

 Merupakan peristiwa terjadinya perdarahan pervaginam


pada kehamilan 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih
dalam uterus dan tanpa adanya dilatasi serviks.

Diagnosis abortus imminens ditentukan dari:


 Terjadinya perdarahan melalui ostium eksternum dalam
jumlah sedikit.
 Disertai sedikit nyeri perut bawah atau tidak sama sekali.
 Uterus membesar, sebesar tuanya kehamilan.
 Serviks belum membuka, ostium uteri masih tertutup.
 Tes kehamilan (+)
Penatalaksanaan:
 Istirahat baring agar aliran darah ke uterus bertambah
dan rangsang mekanik berkurang.
 Progesteron 10 mg sehari untuk terapi substitusi dan
untuk mengurangi kerentanan otot-otot rahim.
 Tes kehamilan dapat dilakukan. Bila hasil negatif,
mungkin janin sudah mati.
 Pemeriksaan USG untuk menentukan apakah janin
masih hidup.
 Berikan obat penenang, biasanya fenobarbital 3 x 30 mg.
 Pasien tidak boleh berhubungan seksual dulu sampai
lebih kurang 2 minggu.
2) Abortus insipiens

 Merupakan peristiwa perdarahan uterus pada


kehamilan kurang dari 20 minggu dengan adanya
dilatasi serviks yang meningkat dan ostium uteri
telah membuka, tetapi hasil konsepsi masih dalam
uterus. Dalam hal ini rasa mules menjadi lebih
sering dan kuat, perdarahan bertambah.
 Ciri dari jenis abortus ini yaitu perdarahan
pervaginam dengan kontraksi makin lama makin
kuat dan sering, serviks terbuka, besar uterus masih
sesuai dengan umur kehamilan dan tes urin
kehamilan masih positif.
Penatalaksanaan:
 Bila ada tanda-tanda syok maka atasi dulu dengan pemberian
cairan dan transfusi darah.
 Pada kehamilan kurang dari 12 minggu, yang biasanya disertai
perdarahan, tangani dengan pengosongan uterus memakai kuret
vakum atau cunam abortus, disusul dengan kerokan memakai kuret
tajam. Suntikkan ergometrin 0,5 mg intramuskular.
 Pada kehamilan lebih dari 12 minggu, berikan infus oksitosin 10 IU
dalam dekstrose 5% 500 ml dimulai 8 tetes per menit dan naikkan
sesuai kontraksi uterus sampai terjadi abortus komplet.
 Bila janin sudah keluar, tetapi plasenta masih tertinggal, lakukan
pengeluaran plasenta secara digital yang dapat disusul dengan
kerokan.
 Memberi antibiotik sebagai profilaksis.
3) Missed abortion

 Missed abortion adalah tertahannya hasil konsepsi


yang telah mati didalam rahim selama ≥8 minggu.
Ditandai dengan tinggi fundus uteri yang menetap
bahkan mengecil, biasanya tidak diikuti tanda–tanda
abortus seperti perdarahan, pembukaan serviks, dan
kontraksi.
 Gejala : Dijumpai amenorea, perdarahan sedikit-
sedikit yang berulang pada permulaannya, serta
selama observasi fundus tidak bertambah tinggi,
malahan tambah rendah. Kalau tadinya ada tanda-
tanda kehamilan, belakangan menghilang, diiringi
dengan reaksi kehamilan yang menjadi negative
pada 2-3 minggu sesudah fetus mati. Pada
pemeriksaan dalam, servkis tertutup dan ada darah
sedikit. Sesekali pasien merasa perutnya dingin atau
kosong.
Penatalaksanaan:
 Bila terdapat hipofibrinogenemia siapkan darah segar atau
fibrinogen.
 Pada kehamilan kurang dari 12 minggu, lakukan pembukaan serviks
dengan gagang laminaria selama 12 jam lalu dilakukan dilatasi
serviks dengan dilatator Hegar. Kemudian hasil konsepsi diambil
dengan cunam ovum lalu dengan kuret tajam.
 Pada kehamilan lebih dari 12 minggu, Infus intravena oksitosin 10
IU dalam dekstrose 5% sebanyak 500 ml mulai dengan 20 tetes per
menit dan naikkan dosis sampai ada kontraksi uterus. Oksitosin
dapat diberikan sampai 10 IU dalam 8 jam. Bila tidak berhasil,
ulang infus oksitosin setelah pasien istirahat satu hari.
 Bila tinggi fundus uteri sampai 2 jari bawah pusat, keluarkan hasil
konsepsi dengan menyuntik larutan garam 20% dalam kavum uteri
melalui dinding perut.
4) Abortus habitualis

Merupakan abortus spontan yang terjadi 3x atau lebih secara


berturut-turut. Pada umumnya penderita tidak sulit untuk menjadi
hamil, tetapi kehamilan berakhir sebelum mencapai usia 28
minggu.
Etiologi abortus habitualis, yaitu:
 Kelainan dari ovum atau spermatozoa, dimana kalau terjadi
pembuahan hasilnya adalah pembuahan patologis.
 Kesalahan-kesalahan pada ibu seperti disfungsi tiroid, kesalahan
korpus luteum, kesalahan plasenta (tidak sanggupnya plasenta
menghasilkan progesteron sesudah korpus luteum atrofi). Hal
tersebut dapat dibuktikan dengan mengukur kadar pregnadiol
dalam urin. Selain itu juga bergantung pada gizi ibu (malnutrisi),
kelainan anatomis dalam rahim, hipertensi oleh karena kelainan
pembuluh darah sirkulasi pada plasenta/vili terganggu dan fetus
menjadi mati. Dapat juga gangguan psikis, serviks inkompeten, atau
rhesus antagonisme.
Penatalaksanaan:
 Memperbaiki keadaan umum, pemberian makanan
yang sehat, istirahat yang cukup, larangan koitus,
dan olah raga.
 Merokok dan minum alkohol sebaiknya dikurangi
atau dihentikan.
 Pada serviks inkompeten terapinya adalah operatif:
Shirodkar atau Mac Donald (cervical cerclage).
5) Abortus infeksiosa & Septik

Abortus infeksius adalah abortus yang disertai infeksi


pada genitalia. Abortus septik adalah abortus infeksius berat
disertai penyebaran kuman atau toksin ke dalam peredaran
darah atau peritonium. Infeksi dalam uterus/sekitarnya dapat
terjadi pada tiap abortus, tetapi biasanya ditemukan pada
abortus inkomplet dan lebih sering pada abortus buatan yang
dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis dan antisepsis.
Diagnosis
 Diagnosis abortus infeksius ditentukan dengan adanya
abortus yang disertai gejala dan tanda infeksi alat genital
seperti panas, takikardi, perdarahan pervaginam yang berbau,
uterus yang membesar lembek, serta nyeri tekan dan
leukositosis. Apabila terdapat sepsis, penderita tampak sakit
berat atau kadang menggigil, demam tinggi, dan penurunan
tekanan darah.
Penatalaksanaan:
 Tingkatkan asupan cairan.
 Bila perdarahan banyak, lakukan transfusi darah.
 Penanggulangan infeksi:
• Gentamycin 3 x 80 mg dan Penicillin 4 x 1,2 juta.
• Chloromycetin 4 x 500 mg.
• Cephalosporin 3 x 1.
• Sulbenicilin 3 x 1-2 gram.
 Kuretase dilakukan dalam waktu 6 jam karena
pengeluaran sisa-sisa abortus mencegah perdarahan
dan menghilangkan jaringan nekrosis yang
bertindak sebagai medium perkembangbiakan bagi
jasad renik.
 Pada abortus septik diberikan antibiotik dalam dosis
yang lebih tinggi misalnya Sulbenicillin 3 x 2 gram.
 Pada kasus tetanus perlu diberikan ATS, irigasi
dengan H2O2, dan histerektomi total secepatnya.
6) Abortus inkompletus

Merupakan pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada


kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada
sisa tertinggal dalam uterus. Perdarahan abortus ini
dapat banyak sekali dan tidak berhenti sebelum hasil
konsepsi dikeluarkan. Ciri dari jenis abortus ini yaitu
perdarahan yang banyak disertai kontraksi, kanalis
servikalis masih terbuka, dan sebagian jaringan
keluar.
Penatalaksanaan:
 Bila disertai syok karena perdarahan, berikan infus
cairan NaCl fisiologis atau ringer laktat yang disusul
dengan ditransfusi darah.
 Setelah syok diatasi, lakukan kerokan dengan kuret
lalu suntikkan ergometrin 0,2 mg intramuskular
untuk mempertahankan kontraksi otot uterus.
 Berikan antibiotik untuk rnencegah infeksi.
7) Abortus kompletus

Abortus kompletus terjadi dimana semua hasil


konsepsi sudah dikeluarkan. Pada penderita ditemukan
perdarahan sedikit, ostium uteri sebagian besar telah
menutup, dan uterus sudah banyak mengecil. Ciri dari
abortus ini yaitu perdarahan pervaginam, kontraksi
uterus, ostium serviks menutup, dan tidak ada sisa
konsepsi dalam uterus.
Penatalaksanaan:
 Bila pasien anemia, berikan hematinik seperti sulfas
ferosus atau transfusi darah.
 Berikan antibiotik untuk mencegah infeksi.
 Anjurkan pasien diet tinggi protein, vitamin. dan mineral
Abortus Provakatus
Adalah abortus yang disengaja, baik dengan
memakai obat-obatan maupun alat-alat. Abortus ini
terbagi lagi menjadi :
 Abortus Medisinalis (abortus therapeutica)
Adalah abortus karena tindakan medis, dengan
alasan bila kehamilan dilanjutkan, dapat
membahayakan jiwa Ibu (berdasarkan indikasi
meds). Biasanya perlu mendapatkan persetujuan 2
sampai 3 tim dokter ahli.
 Abortus Kriminalis
Abortus kriminalis adalah abortus yang terjadi
oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau
tidak berdasarkan indikasi medis.
2. Perdarahan pada kehamilan lanjut

Menurut Maharani et al. (2012), Perdarahan


antepartum merupakan perdarahan yang terjadi pada
kehamilan yang telah melewati trimester III atau
menjelang persalinan. “Terminologi lain menjelaskan
perdarahan antepartum sebagai perdarahan yang terjadi
pada traktus genital wanita hamil pada usia kehamilan
lebih dari 24 minggu dan sebelum kelahiran bayi”
(Maharani et al., 2012).
Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang
terjadi pada jalan lahir setelah kehamilan 22
minggu. Setiap perdarahan antepartum pertama-
tama harus dipikirkan bahwa hal itu bersumber
pada kelainan plasenta (Sumapraja dan
Rachimhadi, 2005 dalam Lestari (2009).
Penyebab umum perdarahan antepartum

Menurut Maharani et al. (2012) penyebab


umum terjadinya perdarahan antepartum adalah
sebagai berikut:
a. Plasenta Previa

 Definisi
Plasenta yang berimplantasi di atas atau
mendekati ostium serviks
 interna. Terdapat empat macam plasenta previa
berdasarkan lokasinya, yaitu:
 Plasenta previa totalis – ostium internal ditutupi
seluruhnya oleh plasenta
 Plasenta previa parsialis – ostium interal ditutupi
sebagian oleh plasenta
 Plasenta previa marginalis – tepi plasenta terletak di
tepi ostium internal
 Plasenta previa letak rendah – plasenta
berimplantasi di segmen bawah uterus sehingga tepi
plasenta terletak dekat dengan ostium
Etiologi
 Etiologi plasenta previa belum jelas, tetapi kej
adian plasenta previa sering
ditemukan pada multiparitas terutama jika jara
k kehamilan pendek, usia lanjut,
kehamilan ganda, kelainan bentuk rahim, mioma
uteri, kuretase berulang, bekas seksio
sesarea, perubahan inflamasi atau atrofi. (Raybur
n, 2001, Mose, 2004 dan Jones, 2002 dalam
(Lestari, 2009)).
Faktor Predisposisi
 Kehamilan dengan ibu berusia lanjut
 Multiparitas
 Riwayat seksio sesarea sebelumnya
Diagnosis
 Perdarahan tanpa nyeri, usia kehamilan >22 minggu
 Darah segar yang keluar sesuai dengan beratnya anemia
 Syok
 Tidak ada kontraksi uterus
 Bagian terendah janin tidak masuk pintu atas panggul
 Kondisi janin normal atau terjadi gawat janin
 Penegakkan diagnosis dibantu dengan pemeriksaan USG
Tatalaksana
 Tatalaksana Umum
 Tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan dalam
sebelum tersedia kesiapan untuk seksio sesarea.
Pemeriksaan inspekulo dilakukan secara hati-hati, untuk
menentukan sumber perdarahan.
 Perbaiki kekurangan cairan/darah dengan infus cairan
intravena (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat).
 Lakukan penilaian jumlah perdarahan.
 Jika perdarahan banyak dan berlangsung, persiapkan
seksio sesarea tanpa memperhitungkan usia kehamilan
 Jika perdarahan sedikit dan berhenti, dan janin hidup
tetapi prematur, pertimbangkan terapi ekspektatif
Prognosis
 Mortalitas perinatal kurang dari 50 per1000, kem
atian janin disebabkan karena
hipoksia. Setelah lahir dapat terjadi perdarahan postp
artum karena trofoblas menginvasi
segmen bawah uteri. Bila perdarahan tidak dapat
dihentikan maka dilakukan
histerektomi. Mortalitas ibu rendah dengan pelayan
an obstetri yang baik dan tidak
dilakukan pemeriksaan sebelum masuk rumah sakit (
Cunningham, 2006 dan Jones, 2002 dalam (Lestari,
2009).
b. Solusio Plasenta
Definisi dan Klasifikasi
 Solusio plasenta adalah pelepasan plasenta dari korpus uteri sebelu
m Pengeluaran
janin. Biasanya terjadi pada triwulan ketiga, apabila terjadi
sebelum kehamilan 20 minggu disebut abortus imminen.

Klasifikasi solusio plasenta berdasarkan derajat pemisah
an plasenta terdiri atas:
solusio plasenta totalis yaitu solusio plasenta dapat terlepas
seluruhnya dan solusio
plasenta partialis yaitu hanya sebagian sebagian plasenta yang terl
epas. Ruptur sinus
marginalis adalah sebagian kecil pinggir plasenta yang terlepas.
 Diagnosis
 Perdarahan dengan nyeri intermiten atau
menetap
 Warna darah kehitaman dan cair, tetapi mungkin
ada bekuan jika solusio relatif baru
 Syok tidak sesuai dengan jumlah darah keluar
(tersembunyi)
 Anemia berat
 Gawat janin atau hilangnya denyut jantung janin
 Uterus tegang terus menerus dan nyeri
Faktor Predisposisi
 • Hipertensi
 • Versi luar
 • Trauma abdomen
 • Hidramnion
 • Gemelli
 • Defisiensi besi
Etiologi
 Kausa primer solusio plasenta tidak diketahui. Namu
n terdapat beberapa kondisi
terkait yaitu bertambahnya usia dan paritas, pre-
eklamsia, hipertensi kronik, ketuban
pecah dini, tali pusat yang pendek, tekanan pada
vena kava inferior dan defisiensi asam
folat, merokok, trombofilia, pemakaian kokain, riw
ayat Seksio sesarea dan leiomioma uterus.
Tanda dan Gejala Solusio Plasenta
 Gejala klinis solusio plasenta meliputi perdarah
an yang disertai rasa sakit.
Bergantung pada jumlah darah retroplasenter,
dapat menimbulkan gangguan
kardiovaskuler ibu, ketegangan perut ringan samp
ai berat dan gangguan janin asfiksia.
Dapat juga gangguan pembekuan darah, gangguan
organ vital seperti jantung, ginjal dan hati (Lestari,
2009)
Komplikasi
Komplikasi pada ibu dan janin tergantung dari luasn
ya plasenta yang terlepas dan
lamanya solusio plasenta berlangsung. Komplikasi y
ang dapat tejadi adalah perdarahan,
kelainan pembekuan darah, oligouria dan gawat j
anin sampai kematian. Pada solusio
plasenta berat semua komplikasi ini dapat terjadi
dalam waktu singkat, sedangkan pada
solusio plasenta sedang apalagi yang ringan, terja
di satu persatu dan perlahanlahan
(Sumapraja dan Rachimhadi, 2005 (Lestari, 2009).
B. Kahamilan ektopik

Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi di


luar rahim (uterus). Hampir 95% kehamilan ektopik
terjadi di berbagai segmen tuba Falopii, dengan 5%
sisanya terdapat di ovarium, rongga peritoneum atau
di dalam serviks. Apabila terjadi ruptur di lokasi
implantasi kehamilan, maka akan terjadi keadaan
perdarahan masif dan nyeri abdomen akut yang
disebut kehamilan ektopik terganggu.
Epidemiologi

 Frekuensi dari kehamilan ektopik dan kehamilan


intrauteri dalam satu konsepsi yang spontan terjadi
dalam 1 dalam 30.000 atau kurang. Angka
kehamilan ektopik per 1000 diagnosis konsepsi,
kehamilan atau kelahiran hidup telah dilaporkan
berkisar antara 2,7 hingga 12,9. Angka kejadian
kehamilan ektopik dari tahun ke tahun cenderung
meningkat. Diantara faktor-faktor yang terlibat
adalah meningkatnya pemakaian alat kontrasepsi
dalam rahim, penyakit radang panggul, usia ibu yang
lanjut, pembedahan pada tuba, dan pengobatan
infertilitas dengan terapi induksi superovulasi.
Diagnosis
 Perdarahan pervaginam dari bercak hingga berjumlah
sedang
 Kesadaran menurun
 Pucat
 Hipotensi dan hipovolemia
 Nyeri abdomen dan pelvis
 Nyeri goyang porsio
 Serviks tertutup
 Penegakkan diagnosis dibantu dengan pemeriksaan
USG.
 Faktor Predisposisi
 Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya
 Riwayat operasi di daerah tuba dan/atau tubektomi
 Riwayat penggunaan AKDR
 Infertilitas
 Riwayat inseminasi buatan atau teknologi bantuan
reproduktif (assistedreproductive technology/ART)
 Riwayat infeksi saluran kemih dan pelvic inflammatory
disease/PID
 Merokok
 Riwayat abortus sebelumnya
 Riwayat promiskuitas
 Riwayat seksio sesarea sebelumnya
Tatalaksana

 Tatalaksana Umum
 Restorasi cairan tubuh dengan cairan kristaloid
NaCl 0,9% atau Ringer Laktat (500 mL dalam 15
menit pertama) atau 2 L dalam 2 jam pertama.
 Segera rujuk ibu ke rumah sakit.
 Tatalaksana Khusus
 Segera uji silang darah dan persiapan laparotomi
 Saat laparotomi, lakukan eksplorasi kedua ovarium dan tuba
fallopii:
 • Jika terjadi kerusakan berat pada tuba, lakukan
salpingektomi (eksisi bagian tuba yang mengandung hasil
konsepsi)
 • Jika terjadi kerusakan ringan pada tuba, usahakan
melakukan salpingostomi untuk mempertahankan tuba (hasil
konsepsi dikeluarkan, tuba dipertahankan)
 Sebelum memulangkan pasien, berikan konseling untuk
penggunaan kontrasepsi. Jadwalkan kunjungan ulang setelah
4 minggu. Atasi anemia dengan pemberian tablet besi sulfas
ferosus 60 mg/hari selama 6 bulan.
C. Mola hidatidosa

• Definisi

Mola berasal dari bahasa latin yang berarti massa dan


hidatidosa berasal dari kata Hydats yang berarti
tetesan air. Mola hidatidosa adalah kehamilan yang
berkembang tidak wajar (konsepsi yang patologis)
dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili
korialis mengalami perubahan hidropik menyerupai
buah anggur atau mata ikan.5 Dalam hal demikian
disebut Mola Hidatidosa atau Complete mole,
sedangkan bila disertai janin atau bagian janin disebut
sebagai Mola Parsialis atau Partial mole.
Epidemiologi

 Mola hidatidosa merupakan penyakit trofoblas


gestasional yang paling sering terjadi. Prevalensi
mola hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika, dan
Amerika Latin dibanding negara-negara Barat.
Angka kejadian tertinggi pada wanita usia kurang
dari 20 tahun dan lebih dari 45 tahun, sosio-
ekonomi rendah, dan kekurangan asupan protein,
asam folat dan karoten
Diagnosis

 Diagnosis dari mola hidatidosa dapat ditegakkan


berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik:
 Anamnesis
 Terlambat haid (amenorea)
 Adanya perdarahan pervaginam
 Perut terasa lebih besar
 Tidak terasa adanya pergerakan anak
 Serviks terbuka
 Keluar jaringan seperti anggur, tidak ada janin
 Takikardi, berdebar-debar (tanda-tanda tirotoksikosis)
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
 Muka dan kadang–kadang badan kelihatan pucat kekuning-
kuningan yang disebut sebagai mola face5
 Gelembung mola yang keluar
Palpasi
 Uterus lembek dan membesar tidak sesuai kehamilan
 Adanya fenomena harmonika: jika darah dan gelembung mola
keluar maka tinggi fundus uteri akan turun lalu naik lagi karena
terkumpulnya darah baru.5
 Tidak teraba bagian-bagian janin dan balotemen gerak janin.
Auskultasi
 Tidak terdengar bunyi denyut jantung janin (pada mola hidatidosa
parsial mungkin dapat didengar BJJ).2
 Terdengar bising dan bunyi khas.5
 Pemeriksaan dalam
 Pastikan besarnya rahim, rahim terasa lembek, tidak
ada bagian-bagian janin, terdapat perdarahan dan
jaringan dalam kanalis servikalis dan vagina, serta
evaluasi keadaan serviks.
D. Pre-eklampsia dan eklampsia

Pre eklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah


20 minggu kehamilan disertai dengan protein urine.
Pre eklampsia adalah penyakit dengan tanda-tanda
hipertensi, proteinuria dan edema yang timbul
karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi
trimester 3 kehamilan, tetapi dapat juga terjadi
sebelumnya misalnya pada mola hydatidosa.
 Pre-klampsia Ringan
 Preeklampsia ringan adalah timbulna hipertensi
disertai protein urine dan atau edema setelah umur
kehamilan 20 minggu atau segera setelah kehamilan.
Gejala ini dapat timbul sebelum umur kehamilan 20
minggu pada penyakit trofoblas. Penyakit ini
dianggap sebagai “maladaptation syndrome” akibat
vasospasme general dengan segala akibatnya.
Diagnosis
 Untuk menunjang keyakinan bidan atas
kemungkinan ibu mengalami Preeklampsia ringan
jika ditandai dengan :
 usia kehamilan lebih dari 20 minggu, kenaikan
tekananan darah 140/90 mmHg atau lebih dengan
pemeriksaan dua kali selang 6 jam dalam keadaan
istirahat, edema pada tungkai/pretibia, dinding
perut, wajah atau tangan, Protein urine 0,3
gr/liter/24 jam.
 Penanganan Preeklampsia Ringan
 Dapat dilakukan dengan dua cara, tergantung gejala
yang timbul yakni :
 Penatalaksanaan rawat jalan pasien preeclampsia ringan
dengan cara: ibu dianjurkan banyak istirahat (berbaring
tidur/miring), diet : cukup protein, rendah karbohidrat,
lemak dan garam, pemberan sedative ringan: tablet
Phenobarbital 3x30 mg atau diazepam 3x2 mg peroral
selama 7 hari (atas instruksi dokter), kunjungan ulang
setiap 1 minggu, pemeriksaan laboratorium, hemoglobin,
hematokrit, trombosit, urin lengkap, asam urat darah,
fungsi hati, fungsi ginjal.
 Penatalaksanaan rawat inap pasien preeclampsia
ringan berdasarkan kriteria: setelah 2 minggu
pengobatan rawat jalan tidak menunjukan adanya
perbaikan dari gejala-gejala preeclampsia; kenaikan
berat badan ibu 1 kg atau lebih perminggu selama 2
kali berturut-turut (2 minggu); timbul salah satu
atau lebih gejala atau tanda-tanda preeclampsia
berat.
Preeklampsia Berat
 Preeklampsia berat adalah suatu komplikasi
kehamilan yang ditandai dengan timbulnya
hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai
proteinurine dan/atau edea pada kehamilan 20
minggu atau lebih.
Eklampsia

 Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil,


dalam persalinan atau masa nifas yang ditandai
dengan timbulnya kejang (bukan timbul akibat
kelainan neurologic) dan/atau koma dimana
sebelumnya sudah menunjukan gejala-gejala pre
eklampsia.
 Diagnosis
 Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami
kesukaran. Dengan adanya tanda dan gejala
preeclampsia yang disusul dengan serangan kejang
seperti yang telah diuraikan, maka diagnosis
eklampsia sudah tidak diragkan.
Pencegahan Eklampsia
 Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah atau
frekuensinya dikurangi. Usaha-usaha untuk menurunkan
frekuensi eklampsia terdiri atas : meningkatkan jumlah
balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar
semua wanita hamil memeriksakan diri sejak hamil
muda, mencari pada tiap pemeriksaan tanda-tanda pre-
eklampsia dan mengobatinya segera apabila ditemukan,
mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada
kehamilan 37 minggu keatas apabila dirawat tanda-tanda
preeclampsia tidak juga dapat hilang.
Infeksi Kehamilan

Infeksi pada kehamilan adalah infeksi jalan lahir


pada masa kehamilan, baik pada kehamilan muda
maupun tua. Infeksi dapat terjadi oleh sebab
langsung yang berkaitan dengan kehamilan, atau
akibat infeksi lain di sekitar jalan lahir.
1) Infeksi pada kehamilan muda adalah infeksi jalan lahir
yang terjadi pada kehamilan kurang dari 20 – 22
minggu. Penyebab yang paling sering terjadi adalah
abortus yang terinfeksi.
Pada abortus yang tidak lengkap (abortus
inkomplitus), dimana sebagian hasil konsepsi masih
tertinggal dalam uterus, dan pada abortus buatan yang
dilakukan tanpa memperhatikan asepsis dan antisepsis,
sering mengakibatkan komplikasi berupa infeksi
(abortus infeksiosus). Jika infeksi tidak diatasi, dapat
terjadi infeksi yang menyeluruh (terjadi penyebaran
kuman atau toksin ke dalam peredaran darah atau
peritoneum) sehingga menimbulkan abortus septik.
Pada abortus septik, virulensi bakteri tinggi, dan
infeksi menyebar ke miometrium, tuba, parametrium,
dan peritoneum. Apabila infeksi menyebar lebih jauh,
dapat terjadi peritonitis umum atau sepsis, pasien dapat
mengalami syok septik. Kematian maternal akibat
abortus septik sangat tinggi di negara – negara
berkembang, dimana tidak terdapat akses terhadap
abortus yang diinduksi dan hal tersebut merupakan hal
yang ilegal. Risiko kematian maternal akibat abortus
septik meningkat pada wanita – wanita yang tidak
menikah, wanita usia muda, dan pada mereka yang
melakukan prosedur aborsi yang tidak secara langsung
mengeluarkan hasil konsepsi dari dalam uterus
2) Infeksi jalan lahir pada kehamilan tua adalah
infeksi yang terjadi pada kehamilan trimester II dan
III. Infeksi jalan lahir ini dapat terjadi akibat
ketuban pecah sebelum waktunya, infeksi saluran
kencing, misalnya sistitis, nefritis atau akibat
penyakit sistemik, seperti malaria, demam tifoid,
hepatitis, dan lain – lain.
Infeksi pada kehamilan trimester II dan III
dapat mengakibatkan korioamnionitis.
Korioamnionitis merupakan komplikasi serius yang
dapat mengancam jiwa ibu dan janinnya..
Mikroorganisme penyebab pada umumnya adalah
streptococcus B dan D dan bakteri anaerob. Tanda
dari infeksi ini adalah cairan amnion kotor dan
berbau busuk, demam, lekositosis, uterus melunak,
dan takikardi.
Syok

Syok adalah gangguan sirkulasi darah ke jaringan


sehingga keburuhan oksigen tidak terpenuhi. Gejala
klinisnya berupa:
 Tekanan darah menurun
 Nadi cepat dan lemah
 Pucat
 Keringat dingin
 Sianosis jari-jari
 Sesak napas
 Penglihatan kabur
 Gelisah
 Oliguria/anulia
Jenia-jenis syok berdasarkan etiologi:

 Syok hemoragik, yaitu syok karena pendarahan yang


banyak
- Penyebab pada kehamilan muda: abortus, kehamilan
ektopik, dan mola hidatidosa
- Penyebab pada kehamilan tua: plasenta previa,
solusia plasenta, ruptur uteri, pasca persalinan,
atonia uteri, dan laserasi jalan lahir
 Syok neurogenik, yaitu syok yang disebabkan karena rasa
sakit yang hebat.
-Penyebabnya berupa:
 kehamilan ektopik, solusio plasenta,
 persalinan dengan forsep atau persalinan letak sungsang
dimanapembukaan serviks belum lengkap
 versi dalam yang kasar
 ruptur uteri
 inversio uteri akut
 pecah ketuban pada polihidramnion
 splanchnic syok
 syok kardiogenik, yaitu syok karena kontraksi otot
jantung yang tidak efektif. Penyebab tersering adalah
bakteri gram negatif. Sering dijumpai pada abortus
septik, koriamnionitis dan infeksi pasca persalinan.
 Syok anafilaktik, yaitu karena alergi atau
hipersensitivitas terhadap obat-obatan.
Emboli air ketuban

 Emboli air ketuban adalah masuknya cairan ketuban


beserta komponennya ke dalam sirkulasi darah ibu.
Yang dimaksud komponen di sini ialah unsur-unsur
yang terdapat di air ketuban seperti lapisan kulit
janin yang terlepas, rambut janin, lapisan lemak
janin, dan musin/cairan kental.
Etiologi

Emboli air ketuban tidak dapat diketahui


penyebab pastinya. Sebanyak 41% pasien memiliki
riwayat alergi. Dilaporkan faktor resiko terjadinya
emboli air ketuban diantaranya multiparitas, hamil
usia tua, janin laki-laki, dan trauma. Dalam
beberapa studi emboli air ketuban dikaitkan dengan
multiparitas, seksio sesar atau melahirkan
pervaginam dengan tindakan, solusio plasenta,
plasenta previa, dan laserasi serviks atau ruptur
uteri.
Patofisiologi

 Patofisiologi emboli air ketuban sangat sedikit


dimengerti. Berdasarkan deskripsi dasar, cairan
ketuban dan sel janin memasuki sirkulasi ibu, yang
mungkin merangsang reaksi anafilaktik terhadap
antigen janin. Bagaimanapun, material janin tidak
selalu ditemukan pada sirkulasi ibu dengan emboli
air ketuban, dan material yang berasal dari janin
sering ditemukan pada pasien yang tidak menderita
emboli air ketuban.
Emboli air ketuban dapat terjadi pada tindakan aborsi.
Terutama jika dilakukan setelah usia kehamilan 12 minggu.
Bisa juga saat amniosentesis (tindakan diagnostik dengan
cara mengambil sampel air ketuban melalui dinding perut).
Ibu hamil yang mengalami trauma/benturan berat juga
berpeluang terancam emboli air ketuban. Emboli air ketuban
yang paling sering terjadi pada saat persalinan atau beberapa
saat setelah ibu melahirkan (postpartum). Baik persalinan
pervaginam maupun seksio sesar, tidak ada yang bisa aman
100 persen dari risiko emboli air ketuban. Hal ini disebabkan
sewaktu proses persalinan normal maupun seksio sesar,
banyak vena yang terbuka yang memungkinkan air ketuban
masuk ke dalam sirkulasi darah sekaligus menyumbat
pembuluh darah.
Secara sederhana, lanjutnya, emboli air ketuban bisa
dijelaskan sebagai berikut, saat persalinan, selaput
ketuban pecah dan pembuluh darah ibu (terutama vena)
terbuka. Akibat tekanan yang tinggi, antara lain karena
rasa mulas yang luar biasa, air ketuban beserta
komponennya berkemungkinan masuk ke dalam
sirkulasi darah. Faktor-faktor yang mempermudah
timbulnya peristiwa ini adalah his, yang kuat dan
terutama yang terus-menerus, misalnya pada pemberian
uterotonika yang berlebihan di mana ketuban sudah
pecah (atau dipecah pada amniotomi) biasanya pada
akhir kala I atau segera setelah anak lahir. Kedua, adanya
bakteri dalam air ketuban.
Sedangkan faktor ketiga adalah mekonium atau tinja
janin terdapat dalam air ketuban yang merupakan salah
satu pertanda kondisi gawat janin di mana janin dalam
keadaan kekurangan oksigen. Akibatnya, terjadi
peningkatan gerakan usus ibu yang membuat janin
terberak-berak. Air ketuban yang penuh dengan kotoran
bayi inilah yang acap kali menimbulkan kefatalan. Pada
giliran berikutnya, air ketuban tadi dapat menyumbat
pembuluh darah di paru-paru ibu dan lama kelamaan
bisa menyumbat aliran darah ke jantung. Akibatnya,
timbul dua gangguan sekaligus, yaitu pada jantung dan
paru-paru.
Diagnosis

USA and UK AFE registries menyarankan empat


kriteria untuk mendiagnosis emboli air ketuban,
yaitu:
 Hipotensi akut atau cardiac arrest
 Hipoksia akut
 Koagulopati atau perrdarahan hebat yang tidak
beralasan
 Semuanya terjadi selama persalinan, sectio sesaria,
atau selama 30 menit postpartum tanpa ada
penjelasan penyebabnya.
Penatalaksanaan

Pengobatan Suportif
 Pemberian O2 untuk memperbaiki saturasi oksigen, intubasi
bila perlu
 CPR jika pasien arrest
 Terapi hipotensi dengan kristaloid dan produk darah
 Pertimbangkan kateter arteri pulmonal pada pasien dengan
ketidakstabilan hemodinamik
 Awasi ketat janin
 Terapi koagulopati dengan FFP untuk aPTT yang memanjang,
kriopresipitat pada fibrinogen yang kurang dari 100 mg/dl,
dan transfusi trombosit jika trombosit kurang dari 20000/µl
 Hemodialisis dengan plasmafaresis pada pasien dengan
kolaps kardiovaskuler
Pencegahan

Emboli air ketuban merupakan kejadian yang tidak


dapat diperkirakan dan dicegah. Risiko emboli air
ketuban, tak bisa diantisipasi jauh-jauh hari karena
emboli paling sering terjadi saat persalinan. Dengan
kata lain, perjalanan kehamilan dari bulan ke bulan
yang lancar-lancar saja, bukan jaminan ibu aman
dari ancaman emboli air ketuban. Sementara bila di
persalinan sebelumnya ibu mengalami EAK, belum
tentu juga kehamilan selanjutnya akan mengalami
kasus serupa, begitu juga sebaliknya.
Komplikasi

 Edema paru sering terjadi pada pasien yang


bertahan. Perhatikan input dan output.
 Gagal jantung kiri mungkin terjadi. Beberapa
sumber menyarankan pemberian inotropik.
 Terapi DIC dengan komponen darah.
Pertimbangkan pemberian faktor VIIa untuk
perdarahan hebat.
Prognosis

 Mortalitas ibu 61% di USA, di Indonesia sekitar 86%


 Pada pasien yang bertahan terdapat defisit
neurologik
 Angka kelahiran hidup janin 70%. Status neurologi
janin secara langsung berhubungan dengan waktu
antara kelahiran dan cardiac arrest ibu
 Resiko rekuransi tidak diketahui. Rekomendasi
untuk seksio sesar elektif untuk kehamilan
berikutnya masih kontoversial.
Komplikasi Persalinan
Hidramnion

 Terdapatnya cairan amnion dalam jumlah


berlebihan. Hidramnion berhubungan dengan
peningkatan mortalitas dan morbiditas perinatal,
serta komplikasi maternal seperti abrupsio plasenta,
disfungsi uterus, dan perdarahan pascasalin.
 Diagnosis
 Diagnosis hidramnion ditegakkan bila jumlah cairan
amnion lebih dari 2000 ml.
 Temuan klinis yang utama pada hidramnion adalah
ukuran uterus yang besar dan tegang disertai dengan
kesulitan meraba bagian janin atau mendengarkan
denyut jantung janin. Pada keadaan berat, ibu dapat
mengalami kesulitan bernapas, pembengkakan
tungkai, dan oliguria.
 Diagnosis pasti dilakukan dengan pemeriksaan USG.
 Faktor Predisposisi
 • Ibu dengan diabetes mellitus
 • Riwayat hidramnion dalam keluarga
 Tatalaksana Umum
 Pasien dengan kecurigaan hidramnion dirujuk ke RS
untuk mendapatkan tatalaksana yang memadai.
 Tatalaksana dapat meliputi amnioreduksi, amniotomi,
atau pemberian indometasin (konsultasikan kepada
dokter spesialis obstetri dan ginekologi).
Ketuban pecah dini

Definisi Ketuban pecah dini adalah keadaan


pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan atau
dimulainya tanda inpartu
Diagnosis

Diagnosis ketuban pecah dini ditegakkan berdasarkan


anamnesis dan pemeriksaan inspekulo. Dari
anamnesis didapatkan penderita merasa keluar
cairan yang banyak secara tiba-tiba. Kemudian
lakukan satu kali pemeriksaan inspekulo dengan
spekulum steril untuk melihat adanya cairan yang
keluar dari serviks atau menggenang di forniks
posterior. Jika tidak ada, gerakkan sedikit bagian
terbawah janin, atau minta ibu untuk
mengedan/batuk.
 Faktor predisposisi
 • Riwayat ketuban pecah dini pada kehamilan
sebelumnya
 • Infeksi traktus genital
 • Perdarahan antepartum
 • Merokok Tatalaksana
 Tatalaksana Umum
 Berikan eritromisin 4x250 mg selama 10 hari.
 Rujuk ke fasilitas yang memadai.
Diagnosis
 • Usia kehamilan 37 minggu  Ketuban pecah dini
 • Terjadi kontraksi 4 kali  • Infeksi intrauterine
dalam 20 menit atau 8 kali  • Bakterial vaginosis
dalam 60 menit diikuti  • Serviks inkompetens
dengan perubahan serviks
yang progresif  • Kehamilan ganda
 • Pembukaan serviks ≥ 2 cm  • Penyakit periodontal
Faktor Predisposisi  • Riwayat persalinan preterm
 • Usia ibu 40 tahun sebelumnya
 • Hipertensi  • Kurang gizi
 Perkembangan janin  • Merokok
terhambat
 • Solusio plasenta
 • Plasenta previa
PERSALINAN PRETERM

 Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi


sebelum usia kehamilan 37 minggu.
 Tatalaksana Umum
 Tatalaksana utama mencakup pemberian tokolitik,
kortikosteroid, dan antibiotika profilaksis. Namun
beberapa kasus memerlukan penyesuaian.
Komplikasi Nifas
Perdarahan post partum

 Menurut Kenneth (dalam Wuryanti (2010),


“Perdarahan pasca persalinan didefinisikan sebagai
kehilangan 500 ml atau lebih darah setelah
persalinan pervaginam atau 1000 ml atau lebih
setelah seksio sesaria”.
Berdasarkan waktu terjadinya dibagi atas dua
bagian (Manuaba, 2001 dalam Wuryanti (2010):
 Perdarahan postpartum primer (early postpartum
hemorrhage)
Perdarahan postpartu m primer ialah perdarahan
>500 cc yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah bayi
lahir. Penyebab utama perdarahann postpartum primer
adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta dan
robekan jalan lahir.
 Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum
hemorrhage)
Perdarahan postpartum sekunder ialah perdarahan
>500 cc setelah 24 jam pasca persalinan. Penyebab
utama perdarahan postpartum sekunder adalah robekan
jalan lahir dan sisa plasenta.
Etiologi
Atonia Uteri

 Atonia uteri adalah Ketidakmampuan uterus untuk


berkontraksi sebagaimana mestinya setelah plasenta
lahir. Perdarahan postpartum secara fisiologis
dikontrol oleh kontraksi serat-serat myometrium
terutama yang berada disekitar pembuluh darah
yang mensuplai darah pada tempat perlengketan
plasenta. Atonia uteri terjadi ketika myometrium
tidak dapat berkontraksi (Wiknjosastro, 2002 dalam
Wuryanti (2010).
Faktor predisposisi yang mempengaruhi perdarahan
postpartum menurut JHPIEGO, POGI, JNKPR (2007) (dalam
(Wuryanti, 2010) antara lain:
 Pembesaran uterus lebih dari normal selama kehamilan yang
disebabkan karena jumlah air ketuban yang berlebihan
(polihidramnion), kehamilan kembar (gemelli), bayi besar
(makrosomia)
 Kala satu dan atau kala dua yang lama atau memanjang
 Persalinan cepat (presipitatus)
 Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin
 Infeksi intrapartum
 Pengaruh pemberian narkosa pada anestesi
 Magnesium sulfat digunakan untuk mengendalikan kejang
pada preeklamsia
Retensio plasenta

Menurut Wiknjosastro (2002) (dalam Wuryanti


(2010) Retensio plasenta adalah perdarahan yang
disebabkan karena plasenta belum lahir hingga atau
melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir. Hal itu
disebabkan karena plasenta belum lepas dari
dinding uterus atau plasenta sudah lepas, akan tetapi
belum dilahirkan. Pada beberapa kasus dapat terjadi
retensio plasenta berulang (habitual retensio
plasenta) (Manuaba, 2001 dalam (Wuryanti, 2010).
Terdapat beberapa jenis retensio plasenta antara lain:
 Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari
jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan
mekanisme separasi fisiologis.
 Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta
hingga memasuki sebagian lapisan miometrium.
 Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta
yang menembus lapisan serosa dinding uterus.
 Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion
plasenta yang menembus serosa dinding uterus.
 Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di
dalam kavum uteri, disebabkan oleh konstriksi ostium
uteri.
Laserasi jalan lahir

Perdarahan yang terjadi karena adanya robekan


pada jalan lahir (perineum, vulva, vagina, portio, atau
uterus). Robekan pada perineum, vulva, vagina dan
portio biasa terjadi pada persalinan pervaginam.
Perdarahan karena robekan jalan lahir banyak dijumpai
pada pertolongan persalinan oleh dukun karena tanpa
dijahit. Oleh sebab itu bidan diharapkan melaksanakan
pertolongan persalinan melalui polindes, sehingga peran
dukun berangsur-angsur berkurang. Dengan demikian
komplikasi robekan jalan lahir yang dapat menimbulkan
perdarahan pun akan dapat berkurang (Wuryanti, 2010).
Koagulopati

Perdarahan yang terjadi karena terdapat kelainan


pada pembekuan darah. Sebab tersering perdarahan
postpartum adalah atonia uteri, yang disusul dengan
tertinggalnya sebagian plasenta. Namun, gangguan
pembekuan darah dapat pula menyebabkan
perdarahan postpartum. Hal ini disebabkan karena
defisiensi faktor pembekuan dan atau penghancuran
fibrin yang berlebihan (Wiknjosastro, 2002 dalam
(Wuryanti, 2010).
Pencegahan
Pendarahan Postpartum

Bukti dan penelitian menunjukkan bahwa


penangannan aktif pada persalinan kala III dapat
menurunkan insidensi dan tingkat keparahan
perdarahan postpartum. Penanganan aktif
merupakan kombinasi dari hal-hal berikut:
 Pemberian uteotonik (dianjurkan oksitoksin) segera
setelah bayi dilahirkan
 Penjepitan dan pemotongan tali pusat dengan cepat
dan tepat
 Penarikan tali pusat yang lembut dengan transaksi
balik uterus ketika uterus berkontraksi dengan baik.
Infeksi Nifas

Infeksi nifas merupakan keadaan yang


mencakup semua peradangan yang disebabkan oleh
masuknya kuman - kuman ke dalam alat genital
pada waktu persalinan dan nifas. Kuman penyebab
infeksi dapat masuk ke dalam saluran genital
dengan berbagai cara, misal melalui tangan
penolong persalinan yang tidak bersih atau
penggunaan instrumen yang kotor.
Beberapa faktor predisposisi infeksi nifas adalah

 keadaan kurang gizi,


 anemia, higiene persalinan yang buruk,
 kelelahan ibu,
 sosial ekonomi rendah,
 proses persalinan yang bermasalah, seperti partus
lama / macet,
 korioamnionitis,
 persalinan traumatik,
 manipulasi yang berlebihan dan kurang baiknya
proses pencegahan infeksi.

Anda mungkin juga menyukai