Anda di halaman 1dari 27

Indri Ramadanti

Hikmah Pujiarti
Wilda Mariska Putri
Ajeng Rindani Putri
Pegi Dwi Yantiro
Vadila Zulfa
Asep Sumantri
Bell’s Palsy
Bell’s Palsy pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang
anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell (Lowis & Gaharu 2012).
Bell’s palsy adalah kelemahan atau kelumpuhan saraf perifer wajah secara
akut (acute onset) pada sisi sebelah wajah (de Almeida et al., 2014).

Juga dikatakan Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis


tipe lower motor neuron (LMN) akibat paralisis nervus fasial perifer yang
terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar
sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya
(Aminoff, 1993; Djamil, 2003,Davis,2005).
Data yang dikumpulkan di 4 buah rumah sakit di Indonesia
diperoleh frekuensi BP sebesar 19,55% dari seluruh kasus
neuropati, dan terbanyak terjadi pada usia 21-30 tahun.
Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding
non-diabetes. BP mengenai laki-laki dan wanita dengan
perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang
berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki
pada kelompok umur yang sama. (Djamil, 2003).
Etiologi
Lima kemungkinan (hipotesis) penyebab Bell’s palsy, yaitu iskemik
vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Diperkirakan,
penyebab Bell’s palsy adalah virus. Akan tetapi, baru beberapa tahun
terakhir ini dapat dibuktikan etiologi ini secara logis karena pada
umumnya kasus BP sekian lama dianggap idiopatik. Telah
diidentifikasi gen Herpes Simpleks Virus (HSV) dalam ganglion
genikulatum penderita Bell’s palsy (Aminoff, 1993; Ropper, 2003).
1. Infeksi virus lain

2. Neoplasma: setelah pengangkatan tumor otak ( neuroma akustik ) atau tumor lain

3. truma : fraktur basal tengkorak, luka di telinga tengah, dan menyelam

4. neurologis : sindrom guillain-barre

5. metabolic : kehamilan diabetes miletus hipertiroidisme,dan hipertensi

6. toksin : alcohol, talidomid, tetanus dan karbon monoksida


Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada BP terjadi proses inflamasi akut
pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen
stilomastoideus. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori
menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang
menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi
kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal
(Mardjono,2003, Davis,2005).
Nervus fasialis terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis
LMN (lower motor neuron) . Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os
petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus
fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis
medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus
lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul
bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3
bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah
reaktivasi virus herpes
(HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster
karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion
genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN
(Mardjono,2003).
Pathway
Infeksi telinga tengah Virus Herpes (HSV 1 dan Tumor intracranial pd Udara dingin (angin
(OMK) oleh bakteri Herpes zoster) saraf kranialis(terutama kencang, AC, mengemudi
streptococcus mucosus nerfous fasialis) dg kaca terbuka)
Reaktivasi pd ganglion
genikulatum ke N.Fasialis Lapisan endothelium P.D
Inflamasi dan percepatan Penekanan pada saraf rusak
perusakan tulang-tulang kranial (terutama
di kavum timpani Penekanan pd selubung N.fasialis)
N.fasialis Proses transudasi

Sekret tertimbun di Pembengkakan N.Fasialis Foramen stilomastoideus


kavum timpani bengkak
Pasokan darah ke
N.fasialis terganggu Nerfous Fasialis sembab
Inflamasi pada kavum
dan terjepit
timpani
Kematian sel pd N.Fasialis

Penekanan pada dinding Fungsi penghantaran


Dx : Gangguan Rasa
kanalis fasialis impuls/rangsangan
Nyaman
terganggu

Perintah otak untuk Kelumpuhan otot-


menggerakan otot wajah otot wajah
tdk dapat diteruskan
Bell’s Palsy
Wajah terkulai pada Mati rasa di wajah,
Gangguan pengecapan
bagian yang terkena telinga, dan lidah

Kelemahan otot-otot Perubahan bentuk


mengunyah Dx : Ansietas / Cemas
wajah

Sulit untuk mengunyah Dx : Gg Citra Tubuh

Dx : Nutrisi Kurang dari


Penurunan nafsu makan
kebutuhan tubuh
Bell’s Palsy
Manifestsi Klinis
Manifestasi klinis Bell’s palsy dapat berbeda tergantung lesi pada perjalanan saraf fasialis. Bila lesi
di foramen stylomastoideus, dapat terjadi gangguan komplit yang menyebabkan paralisis semua
ototekspresi wajah. Saat menutup kelopak mata, kedua matamelakukan rotasi ke atas (Bell’s
phenomenon). Selain itu,mata dapat terasa berair karena aliran air mata ke sakuslakrimalis
yang dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu. Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan
dengan makanan yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat gangguan gerakan wajah dan air
liur keluar dari sudut mulut(Lowis & Gaharu, 2012).
Tanda gejala lain yang
mungkin muncul :
- Kelumpuhan sebagian
wajah –tidak dapat
menutup mata,
mengerutkan dahi,
menggembungkan pipi,
atau tersenyum
- Rasa sakit didekat telinga
dan rahang
- Pengecap berubah
Prognosis
Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy, 85% memperlihatkan
tandatanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15%
kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian (Ropper, 2003). Pada literatur
lain penderita BP bisa sembuh sempurna dalam waktu 2 bulan dan sembuh
sempurna antara 1-3 bulan 80% (Davis,2005).
Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah (Ropper, 2003):
1. Usia di atas 60 tahun
2. Paralisis komplit
3. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,
4. Nyeri pada bagian belakang telinga dan Berkurangnya air mata.
Komplikasi
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsymengalami sekuele berat yang tidak
dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s palsy, adalah
sebagai berikut:
• Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimalyan menyebabkan paresis
seluruh atau beberapa muskulus fasialis.
• Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkandisgeusia (gangguan pengecapan),
ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasiyang tidak
sama dengan stimuli normal)
• Reinervasi yang salah dari saraf fasialis
(Lowis & Gaharu, 2012).
Pemeriksaan Diagnostik

1. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos


2. Pemeriksaan MRI
3. Pemeriksaan neurofisiologi
4. Pemeriksaan elektromiografi (EMG)
5. Pemeriksaan blink reflexdidapatkan
Penatalaksanaan Medis
Terapi Non-farmakologis
1. Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing.
2. Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah ke atas
dan membuat gerakan melingkar.
3. Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah onset
terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis.

Terapi Farmakologis
1. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan
untuk optimalisasi hasil pengobatan.
2. Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg/kg/hari melalui oral dibagi dalam
empat kali pemberian selama 10 hari.
Pendidikan Klien

Mata harus dilindungi karena paralisis lanjut dapat menyerang mata. Iritasi
kornea dan luka adalah komplikasi potensial pada klien ini. Kadang-kadang
keadaan ini mengakibatkan keluarnya air mata yang berlebihan (epifora) karena
keratitis akibat kornea kering dan tidak adanya refleks berkedip.

Klien diajarkan untuk menutup kelopak mata yang mengalami paralisis


secara manual sebelum tidur. Gunakan penutup mata dengan kacamata hitam untuk
menurunkan penguapan normal dari mata. Jika saraf tidak terlalu sensitif, wajah
dapat dimasase beberapa kali sehari untuk mempertahankan tonus otot.

Teknik untuk memasase wajah adalah dengan gerakan lembut ke atas.


Latihan waja seperti mengerutkan dahi, mengembungkan pipi ke luar dan bersiul,
dapat dilakukan dengan menggunakan cermin dan dilakukan teratur untuk
mencegah atrofi otot. Hindari wajah terhadap udara dingin.
PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
Data diri klien berupa nama, umur berkaitan dengan berdasarkan penelitian bahwa seseorang yang rentan
terhadap penyakit bell’s palsy adalah remaja usia 20 tahunan dan lanjut usia setelah 60 tahun

2. Keluhan Utama
Keluhan utama yang biasanya dirasakan klien yaitu Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis,
kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos). Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila
berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh

3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Riwayat kesehatan klien yang dirasakan akhir – akhir ini salah satunya yaitu wajah seperti
terjatuh dan tertarik ke sisi lainnya saat tersenyum. Kelopak mata tidak dapat menutup sempurna
b. Riwayat Kesehatan Dahulu
Riwayat penyakit atau kejadian dahulu yang pernah dialami klien misalnya
kejadian trauma tengkorak, riwayat terpapar virus Herpes zoster, otitis media. Hal tersebut
dikaitkan dengan etiologi dari bell’s palsy
c. Riwayat Penyakit Keluarga
Karena penyebab bell’s palsy salah satunya adalah idiopatik, maka perlu dikaji
adanya riwayat keluarga yang menderita penyakit yang sama
4. Pengkajian Psiko – Sosio – Spiritual
Pengkajian psikologis klien Bell’s Palsy meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan
perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
Apapun ada dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa
cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan citra tubuh)
PEMERIKSAAN FISIK
1. B1 ( Breathing ) pada umumnya tidak ada Gangguan
2. B2 (Blood) : TTV dalam batas normal dan tidak terdengar bunyi jantung tambahan
3. B3 (Brain) fokus pada pemeriksaan saraf kranial
a. Saraf I : fungsi penciuman tidak ada kelainan.
b. Saraf II : tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
c. Saraf III, IV, VI : penurunan gerakan kelopak mata pada sisi yang sakit (lagoftalmos).
d. Saraf V : kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan
mendatar, adanya gerakan sinkinetik
e. Saraf VII : berkurangnya ketajaman pengecapan,
f. Saraf VIII : tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf
g. Saraf IX & X : paralisis otot orofaring, kesukaran berbicara, menguyah dan menelan. Kemampuan menelan
kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
h. Saraf XI : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Kemampuan mobilisasi leher baik.
i. Saraf XII : lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan
mengalami kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan kurang tajam
j. Sistem motorik, disfungsi neurologis ( – ), kekuatan otot normal, kontrol keseimbangan dan koordinasi tidak
ada kelainan
k. Pemeriksaan refleks dalam batas normal
l. Gerakan involunter , sering ditemukan Tic fasialis
m. Sistem sensorik, kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri dan suhu tidak ada kelainan. Gangguan sensasi
terjadi pd wajah
4. B4 (Blader) kadang terjadi penurunan haluara urine, akibat kesulitan menelan
5. B5 (bowel) : gangguan mengunyah dan menelan
6. B6 (Bone) : tidak menunjukan kelainan yang berarti
Nursing Care Planning
Daftar Pustaka
• Mary Digiulio dkk. Keperawatan Medikal Bedah. 2014. Jakarta : Publishing
• Arif Muttaqin. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. 2008. Jakarta :
Salemba Medika
• Arif Muttaqin. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. 2010. Jakarta :
Salemba Medika
• Inmar, raden, 1996, Paralisis Facial Bell’s Palsy akibat gangguan lower motor neuron nervus facialis pada
kanalis facialis, Majalah Ilmiah vol 13: 130
• Lumbantobing SM, 2004, Saraf Otak. Neurologi klinik, pemeriksaan Fisik dan Mental; Jakarta: FK-UI.2004 :55-
57.
• Mardjono M, Sidharta P, 2003, Patofisiologi nervus fasialis, Neurologi klinis dasar; Jakarta: PT. Dian Rakyat:
161-162
• Ropper AH, Brown RH, 2003, Adams and Victor’s Principles of Neurology. 8th ed. New York: MacGraw-Hill;
1180-1182.
• Saharso, 2005, pendekatan diagnosis dan penatalaksanaan bell’s palsy, Media IDI cabang Surabay volume 30
No I: 70
• Sukardi, Nara P, 2004, Bell’s Palsy, cermin dunia kedokteran edisi IV: 72-76

Anda mungkin juga menyukai