Anda di halaman 1dari 9

Ruang Lingkup Berlakunya

Hukum Pidana Indonesia


Berdasarkan Waktu

Dr. Nafi’ Mubarok, SH., MH., MHI.


FSH UIN Sunan Ampel Surabaya
Hukum Pidana/Nafi' Mubarok/FSH-UIN Surabaya/Genap 2018-2019
Ruang Lingkup Berlakunya
Hukum Pidana Indonesia Berdasarkan Waktu
 Asas legalitas
=> Sumber hukum asas legalitas
=> Makna dan sejarah asas legalitas
=> Penafsiran Undang-undang
=> Analogi dan pengecualiannya

Hukum Pidana/Nafi' Mubarok/FSH-UIN Surabaya/Genap 2018-2019


Ruang Lingkup Berdasarkan Waktu
Disebut dengan “Asas Legalitas”
 Dasar hukum => Pasal 1 ayat (1) KUHP
"Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali
atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada, sebelum
perbuatan dilakukan".
Artinya:
 (1) perbuatan pidana adalah yang dicantumkan
dalam per-UU-an
 (2) ketentuan pidana harus lebih dulu ada
daripada perbuatan itu
Hukum Pidana/Nafi' Mubarok/FSH-UIN Surabaya/Genap 2018-2019
Tujuh Aspek dari Asas Legalitas
1. Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan
pidana menurut undang-undang;
2. Tidak ada penerapan undang-undang pidana
berdasarkan analogi;
3. Tidak dapat dipidana berdasarkan kebiasaan; tetapi
kebiasaan dapat dijadikan landasan.
4. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas;
5. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana;
6. Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-
undang;
7. Penuntutan pidana hanya menurut cara yang
ditentukan undang-undang.
Hukum Pidana/Nafi' Mubarok/FSH-UIN Surabaya/Genap 2018-2019
Sejarah Asas Legalitas
1. Rousseau (1762): Setiap orang mengemukakan pendapatnya dalam
UU; termasuk para penjahat.
2. Beccaria (1764): menghendaki perUUan pidana yang berdasarkan asas
rasional, memuja-muja kodifikasi, sehingga hakim tidak menafsirkan
semaunya.
3. Bacon (1561-1632): suatu pembenaran pidana, penjahat harus
diancam terlebih dahulu.
4. Jeremy Bentham (1748-1832): Hukum bertujuan menjamin
kebahagiaan, sehingga kepastian hukum adalah tujuan.
5. Von Feurbach, Jerman (1775-1833): Asas legalitas adalah:
• Nulla poena sine lege; tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana
menurut undang-undang.
• Nulla poena sine crimine; tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana.
• Nullum crimen sine poena legali; tidak ada perbutan pidana tanpa
pidana menurut undang-undang.

Hukum Pidana/Nafi' Mubarok/FSH-UIN Surabaya/Genap 2018-2019


Analogi dan Intepretasi Undang-undang
 Montesquieu (dalam De I'esprit des lois; 1978);
mempropagandakan asas legalitas => “hakim
hanya mulut/corong UU”.
 Masalahnya tidak satupun pembuat UU yang
mampu mengatur segala hal yang akan terjadi
dengan sejelas-jelasnya dan terperinci.
 Sehingga, diperlukan penafsiran (intepretasi)
ketentuan UU.
 Tujuan penafsiran (van Apeldoorn) => mencari dan
menemukan kehendak pembentuk UU yang telah
dinyatakan secara kurang jelas oleh pembuat UU.
Hukum Pidana/Nafi' Mubarok/FSH-UIN Surabaya/Genap 2018-2019
Metode Intepretasi Undang-undang
 Authentik: penafsiran resmi dari pembuat UU. Ex. Sehari berarti (97
KUHP): masa yang lamanya 24 jam
 Sistematis: menghubungkan satu pasal dengan lainnya, atau UU satu
dengan lainnya: ex. Dewasa (KUHP) dengan Pasal
 Gramatikal: penafsiran metnurut arti kata-kata. Ex: “menggelapkan”
(41 KUHP) => menghilangkan.
 Historis: menafsirkan dengan melihat sejarah terjadinya Undang-
undang. “pencatatan perkawinan”
 Teleologis Sosiologis: “makna” ditetapkan berdasarkan tujuan
kemasyarakatan
 Ekstentif: memperluas arti kata. Ex. Pasal 362 tentang pencurian
listrik (HR 23-5-1921)
 Restriktif: mempersempit maksud suatu pasal
 Argumentum a contrario: memberikan perlawanan pengertian. Ex.
Masa iddah (11 (2) UUP) tidak berlaku pada laki-laki
 Analogi: kiyas, contoh penjualan (1576 BW) “Penjualan barang yang
disewa tidak memutuskan sewa menyewa kecuali apabila
diperjanjikan”. Bagimana dengan hibah dan waris?

Hukum Pidana/Nafi' Mubarok/FSH-UIN Surabaya/Genap 2018-2019


Analogi dalam KUHP
Analogi => konstruksi hukum sering digunakan dalam perkara perdata,
tidak pada perkara pidana.
Analogi => mencari esensi yang lebih umum pada suatu perbuatan yang
diatur oleh undang-undang dengan pada perbuatan atau peristiwa
yang secara konkrit dihadapi hakim => penafsiran dengan kias.
Banyak sarjana hukum yang menyamakan/membedakan antara
interpretasi restriktif dengan analogi.
Beberapa negara melarang analogi, tetapi banyak yang menerapkan
termasuk Indonesia.
Menurt Pompe, analogi/interpretasi restriktif perlu digunakan; yaitu
dalam:
a. hal-hal yang dilupakan oleh pembuat UU
b. hal-hal baru; tidak diketahui pembuat UU sewaktu menyusunnya

Hukum Pidana/Nafi' Mubarok/FSH-UIN Surabaya/Genap 2018-2019


Pengecualian Asas Legalitas
 Asas Legalitas sangat dibutuhkan untuk menjamin terhadap
setiap tindakan pencegahan atas perbuatan sewenang-wenang
yang akan dilakukan oleh penguasa
 Oleh karena itu dilarang asas retroaktif (yaitu suatu asas yang
berlaku surut, yang mulanya demi menjangkau perbuatan lawan
politik dapat dikenakan pemidanaan)
 Namun, dalam Hukum Pidana dikenal hukum transitoir
(peralihan), sebagai perkecualian asas legalitas.
 Sebagaimana dalam pasal 1 ayat (2) KUHP.
 "Bilamana per-UU-an diubah setelah waktu terwujudnya
perbutan pidana, maka terhadap tersangka digunakan
ketentuan yang paling menguntungkan baginya".

Hukum Pidana/Nafi' Mubarok/FSH-UIN Surabaya/Genap 2018-2019

Anda mungkin juga menyukai