Anda di halaman 1dari 129

HIDUNG

OLEH:
ROBINSON CORNELES SALAWANE
WISYE L. WATORY
YUSHOLLIYA QURRATA AYUNI L.

1
ANATOMI HIDUNG

Tampak Ventral Tampak Inferior

2
ANATOMI HIDUNG

Hidung luar

HIDUNG

Hidung dalam

3
HIDUNG LUAR/NASUS Anatomi Hidung
EKSTERNA

• Berbentuk piramid
• Terdiri dari
• Pangkal (radix)
• Dorsum
• Puncak (apex)
• Ala nasi
• Lubang hidung (nares)
• Dibentuk oleh
• Kerangka tulang
• Tulang rawan (kartilago)
• Jaringan ikat
• Otot
• kulit

4
TULANG HIDUNG Anatomi Hidung

 Kerangka tulang
 Os nasalis

 Procesus frontalis os

maksila
 Procesus nasalis os

frontal
 Tulang rawan ( kartilago)
 Sepasang kartilago

nasalis lateralis superior


 Sepasang kartilago

nasalis lateralis inferior


 Beberapa kartilago alar

minor
 Tepi anterior kartilago

septum
5
HIDUNG DALAM Anatomi Hidung

SEPTUM NASAL

• TULANG

•KARTILAGO

6
CAVUM NASI Anatomi Hidung

• Berbentuk terowongan
• Dipisahkan oleh septum nasi  kanan dan
kiri
• Lubang depan ( nares anterior)
• Lubang belakang (nares posterior / koana)
penghubung kavum nasi dan oropharing
• Vestibulum nasi terdiri dari kulit yg banyak
kelenjar sebacea dan rambut-rambut panjang
 vibrisea

7
SEPTUM NASI Anatomi Hidung

Dibentuk oleh :
-bagian anterior : cartilago septum
(quadrilateral), premaxilla, columela
membranosa

-bagian posterior : lamina


perpendicularis os ethmoidalis

-bagian post inf : os vomer, crista


maxilla, crista palatina, crista
sphenoidalis.

- dilapisi oleh perikondrium dan


bagian tulang rawan

8
KONKA DAN MEATUS Anantomi Hidung

Terdapat 3 buah konka:


Konka nasalis inferior Konka nasalis media Konka nasalis superior9
KONKA DAN MEATUS Anantomi Hidung

Diantara konka terdapat meatus :


1. Superior
- Konka superior dan konka
Meatus
media nasal
- Muara etmoidalis Superior

2. Medius Meatus
nasal
- Konka media dan dinding Media

lateral Meatus
nasal
- Muara sinus maksilar Inferior

3. Inferior
- Konka inferior dan dasar
hidung
- Muara duktus nasolakrimalis

10
VASKULARISASI HIDUNG

• a. facialis cab a maxillaris eksterna


HIDUNG LUAR
• a. opthalmicus a. ethmoidalis ant dan post.

• a. ethmoidalis anterior
Dinding
• a. ethmoidalis posterior
Lateral • a. sphenopalatina, a. palatina decenden
Hidung

• a. ethmoidalis anterior – pleksus kieselbach


• a. ethmoidalis posterior
Septum Nasi • a. sphenopalatina

11
ANATOMI SINUS PARANASAL Anatomi Hidung

12
ANATOMI SINUS PARANASAL Anantomi Hidung

Sinus maksila
kanan dan kiri

Sinus frontal kanan


dan kiri,

Sinus ethmoid
kanan dan kiri

Sinus sfenoid
kanan dan kiri
13
FISIOLOGI HIDUNG

Pengatur Penyaring
jalan kondisi dan
napas udara pelindung

Proses Resonansi Indera


Bicara suara penghidu

Refleks
Nasal
14
FUNGSI SINUS PARANASAL

Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

Sebagai penahan suhu (termal insulators)

Membantu keseimbangan kepala

Membantu resonansi suara

Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Membantu produksi mukus


15
Fisiologi penciuman
Rangsang (bau) masuk ke dalam lubang hidung melalui udara kemudian
disaring oleh bulu-bulu hidung.

Udara yang mengandung rangsangan bau ini masuk ke dalam


epitelium olfaktori

Rangsangan bau menggetarkan mukosa olfaktori yang berbentuk


seperti cairan atau mukus, dan kemudian menggetarkan saraf olfaktori.

Rangsangan yang menggetarkan saraf olfaktori tadi disampaikan ke


Talamus menuju Hipotalamus yang berada di otak.

Otak daerah olfaktori Hipotalamus Talamus (korteks serebrum) akan menangkap


bau lalu menerjemahkannya berdasarkan memori atau menghadirkan memori
baru dalam otak untuk digunakan ketika suatu saat nanti mencium bau yang
sama.
PEMERIKSAAN HIDUNG

18
19
20
inspeksi

 Deviasi atau
depresi tulang
hidung
 Pembengkakan

daerah hidung
dan sinus para
nasal

21
hump nose saddle nose

22
Palpasi
 Palpasi menemukan nyeri tekan pada sinus. Tekan
pada daerah sinus frontalis dan sinus maksilaris.
 Krepitasi pada tulang hidung

23
Rinoskopi anterior
Alat yang digunakan:
 Spekulum hidung

 Lampu kepala

24
Rinoskopi anterior
Teknik pemeriksaan:
• Spekulum hidung dipegang dengan tangan kiri

• Spekulum dipegang dalam posisi horizontal,

tangkai lateral, mulut medial.

25
• Spekulum dimasukkan ke dalam kavum nasi dalam
keadaan tertutup, spekulum dibuka secara perlahan.
• Spekulum dikeluarkan dengan cara mulut spekulum
ditutup 90%, lalu dikeluarkan.

26
Yang diperhatikan:
 Mukosa hidung: pembengkakan, perdarahan
atau eksudat (jernih, mukopurulen, atau
purulen).
 Septum nasi: deviasi, inflamasi, atau perforasi

pada septum nasi.


 Abnormalitas: ulkus atau polip

27
28
Rinoskopi posterior
Alat-alat yang digunakan: spatel
lidah, kaca nasofaring, lampu
kepala, spritus, tetrakain.
Teknik pemeriksaan:
 Tangan kanan memegang kaca

nasofaring.
 Tangan kiri memegang spatel lidah

29
 Minta pasien membuka mulut lebar-lebar.
spatel lidah ditekan pada 2/3 daerah dorsum
lidah.
 Kaca nasofaring dimasukkan secara perlahan

sehingga terlihat bayangan hidung bagian


belakang.
 Perlahan putar ke kanan dan kiri untuk
mengamati struktur dalam hidung.
 Meminta pasien bernafas melalui hidung.

30
31
Yang diamati:
 Bagian belakang

septum
 Koana

 Adenoid

 Konka superior,

medial, dan inferior


 Meatus superior dan

medial
 Torus tubarius

(muara tuba
eustachius)
 Fossa Rossenmuler
32
Pemeriksaan Transiluminasi

33
Pemeriksaan nasoendoskopi
 Pemeriksaan teknologi canggih dengan
memasukkan alat ke dalam hidung yang
dapat mengidentifikasi seluruh rongga
hidung beserta seluruh struktur yang
terdapat di dalamnya dan daerah nasofaring.

34
35
Pemeriksaan X-Ray sinus: Waters

36
Waters

37
Pemeriksan Caldwell

38
Chadwell

39
Rhinitis Alergi
Pokok
pembahasan

Definisi

Klasifikasi

Patofisiologi

Manifestasi klinik

Diagnosa

Tatalaksana terapi

40
Rhinitis Alergi

41
Definisi

Rhinitis alergi merupakan inflamasi membran mukosa


hidung yang disebabkan oleh paparan terhadap
materi alergenik.

42
43
Klasifikasi rhinitis alergi

Berdasarkan alergen penyebabnya ada 2 :


1.Musiman (hay fever, di daerah bertemperatur) :
Waktu dapat diprediksi
Musim semi
 serbuk sari
Kecuali bunga yang tidak bergantung penyerbukan

44
2. Perennial (berselang-selang atau menetap) :
Penyebab dari alergen yang tidak musiman
kutu dan spora jamur, lipas
Jangan gunakan karpet

 Kombinasi hay fever & perennial

45
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:

• Alergen Inhalan,  udara pernafasan


misalnya
debu rumah
Tungau
serpihan epitel
bulu binatang
Jamur

• Alergen Ingestan ke saluran cerna


misalnya
ikan
Susu
telur, coklat
udang.
46
• Alergen Injektan suntikan atau tusukan
misalnya
penisilin
sengatan lebah.

• Alergen Kontaktan kontak dengan kulit atau


jaringan Mukosa
misalnya
bahan kosmetik
 perhiasan

47
48
Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu

1. Immediate phase allergic reaction (RAFC)


 kontak dengan alergen dari menit sampai 1
jam setelahnya

2. late phase allergic reaction (RAFL)


 berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8
jam (fase hiperreaktivitas)

49
 Reaksi Tipe Lambat

Neutrofil

Basofil
Monosit

CD4+ sel T

 menyebabkan pembengkakan , kongesti


dan sekret kental.
50
 Reaksi tipe Cepat

tryptase

sisteinil
leukotrien (LTC4, LTD4, LTE4)
D2 Prostaglandin (PGD2).

Histamin menyebabkan:
Gatal

 bersin
rinorea.

Leukotrien menyebabkan :

kongesti pada hidung.

51
Manifestasi klinik
 Rinorea

 Bersin

 kongesti hidung

 keluarnya ingus (postnasal drip)

 Bila tidak ditangani :

 Lemas

 lelah

 memburuknya efisiensi kerja

52
Diagnosis
skin test/skin prick test atau RAST (Radio
allergosorbent test)

Cara skin test


 Menyuntikkan ekstrak alergen (senyawa test) secara

subkutan → tunggu reaksinya

 Skin prick test : kulit digores dengan jarum steril,


ditetesi senyawa alergen → tunggu reaksinya

53
Diagnosis Pemeriksaan Fisik >>
lingkaran hitam di bawah
mata, lipatan hidung karena
menggosok berulang hidung,
edema.

Riwayat Penyakit
Alergi Keluarga
Diagnos
a
Nasal allergen
challenge &
sekretion.
Skin Test
• Skin prick test (SPT)
• RAST
(Radioallergosorbent
test)
54
Diagnosis
Skin prick test (SPT)

55
Diagnosis

56
Diagnosis

57
Tatalaksana Terapi
Tujuan terapi :
1.Mengurangi dan mencegah gejala
2.Perbaikan kualitas hidup penderita
3. Mengurangi efek samping pengobatan.
4.Edukasi penderita

58
Tatalaksana Terapi

 Tatalaksana Terapi Non-farmakologi:

 Tatalaksana Terapi farmakologi:

59
Tatalaksana Terapi Non-farmakologi:

 Hindari pencetus (alergen)

 Jaga kebersihan rumah, jendela ditutup.

60
Terapi Farmakologi
 gunakan obat-obat anti alergi
 imunoterapi.

61
Terapi Farmakologi
OBAT-OBAT RINITIS ALERGI
1. Antihistamin
2. Dekongestan
3. Kortikosteroid
4. Antikolinergik
5. imunoterapi

62
OBAT-OBAT RINITIS ALERGI
1. Antihistamin

 Antihistamin terbagi atas tiga golongan yaitu:


1. Antihistamin generasi pertama
2. Antihistamin generasi kedua
3. Antihistamin generasi ketiga

63
ANTIHISTAMIN GENERASI PERTAMA
 Bersifat lipofilik
 Difenhidramin
 Klorfeniramin
 hidroksisin
 klemastin
 prometasin
 Siproheptadin

Efekk samping:
 gangguan saraf pusat
 Efek anti kolinergik

64
ANTIHISTAMIN GENERASI KEDUA
Bersifat lipofobik
 bersifat selektif mengikat reseptor Hl

 Loratadin
 Astemisol
 Azelastin
 terfenadin
 cetirisin.

Efek samping:
 sedikit mengantuk

65
ANTIHISTAMIN GENERASI KETIGA

metabolit antihistamin generasi kedua.


 Feksofenadin
 Norastemizole
 deskarboetoksi loratadin (DCL)

66
2. Dekongestan

Tujuan :

 Vasokontriksi /menciutkan mukosa yang

membengkak

 memperbaiki ventilasi.

67
Efek samping nasal dekongestan :

-rasa terbakar

-bersin

-kekringan mukosa nasal.

Produk dekongestan seharusnya hanya


digunakan bila betul-betul
68
 Contoh obat dekongestan :
1. Fenilefrin HCl

2. Fenilpropanilamin

3. Pseudo efedrin

4. Nafazolin

5. Oksimetazolin

6. Xylometazolin

69
3. KORTIKOSTEROID

 Efek samping sistemik :


 Osteoporosis
 hipertensi
 memperberat diabetes

70
4. ANTIKOLINERGIK
 Antikolinergik menghambat aksi asetilkolin
pada reseptor muskarinik

 Contoh obat : Ipratropium bromida


 Obat semprot hidung ipratropium bromida berguna dalam
rinitis alergik perennial.

 Contoh obat NATRIUM KROMOLIN

 Merupakan suatu penstabil sel mast  mencegah degranulasi sel


mast dan pelepasan mediator, termasuk histamin

71
5. Imunoterapi

Parameter efektifitas ditunjukkan dengan :


 berkurangnya produksi IgE
 meningkatnya produksi IgG
 perubahan pada limfosit T
 berkurangnya pelepasan mediator dari sel yang
tersensitisasi
 berkurangnya sensitivitas jaringan terhadap alergen.

72
RHINITIS VASOMOTOR

73
DEFINISI
 Rinitis Vasomotor  Suatu keadaan idiopatik
yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi,
eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan,
hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi
oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin,
klorpomazin dan obat topical hidung
dekongestan).

74
PATOFISIOLOGI

1. Neurogenik (disfungsi sistem otonom)


 ketidak-seimbangan impuls saraf otonom di mukosa
hidung , berupa bertambahnya aktivitas system
parasimpatis
2. Neuropeptida
 pelepasan neuropeptide menyebabkan peningkatan
permeabilitas vascular dan sekresi kelenjar
3. Nitrit Oksida ↑
 menyebabkan kerusakan / nekrosis epitel sehingga
terjadi peningkatan reaktifitas serabut trigeminal dan
recruitment reflex vascular dan kelenjar mukosa hidung
4. Trauma

75
TANDA DAN GEJALA
• Gejala sering dicetuskan oleh berbagai rangsangan
non-spesifik, seperti:
• asap/ rokok, bau yang menyengat, parfum, minuman
beralkohol, makanan pedas, udara dingin, pendingin dan
pemanas ruangan, perubahan kelembaban, perubahan
suhu luar, kelelahan dan stres / emosi.
• Hidung tersumbat, bergantian kanan dan kiri,
tergantung posisi pasien
• Rinore bersifat mukoid atau serosa
• Jarang disertai gejala mata
• Gejala memburuk pada pagi hari waktu bangun
tidur

76
• Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini
dibedakan dalam 3 golongan, yaitu :
• Golongan bersin (sneezers)

 terapi antihistamin dan glukokortikosteroid topikal


• Golongan rinore (runners)

 antikolinergik topikal
• Golongan tersumbat (blockers)

 glukokortikosteroid topikal dan vasokonstriktor


oral

77
PEMERIKSAAN FISIK

Rinoskopi Anterior :
• Gambaran khas : edema mukosa hidung,
konka berwarna merah gelap atau merah
tua, tetapi dapat pula pucat.
• Permukaan konka dapat licin atau
berbenjol-benjol (hipertrofi).
• Sekret mukoid, biasanya sedikit (pada
golongan rinore sekret  serosa dan banyak
jumlahnya) 78
79
80
PEMERIKSAAN LABORATORIUM

◦ Test kulit (skintest) biasanya negatif,


◦ Ig E Spesifik tdk meningkat  
◦ Eosinofil pada sekret hidung dalam jumlah
yang sedikit.  

81
Rhinitis Alergi Rhinitis Vasomotor
1. Mulai Serangan Usia belasan tahun Dekade ke 3-4
2. Alergen Terpapar (+) Terpapar (-)
3. Etiologi Reaksi Ag-Ab terhadap Reaksi neovaskular
rangsangan spesifik terhadap beberapa
rangsangan mekanis/
kimia, juga faktos psikis
4. Gatal & Bersin Menonjol Tidak menonjol
5. Gatal di Mata Sering dijumpai Tidak dijumpai
6. Tes Kulit Positif Negatif
7. Sekret Hidung Eosinofil meningkat Eosinofil tidak
meningkat
8. Eosinofil Darah Meningkat Normal
9. IgE Darah Meningkat Tidak meningkat
10. Neurektomi N. Tidak membantu Membantu
Vidianus 82
TATALAKSANA
• Penatalaksanaan bervariasi, tergantung faktor
penyebab dan gejala yang menonjol.
1. Menghindari stimulus/ faktor pencetus
2. Pengobatan simtomatis
• Dekongestan oral, cuci hidung dengan larutan garam
fisiologis, kauterisasi konka hipertrofi dengan larutan AgNo3
25% atau triklor-asetat pekat.
• Kortikosteroid topikal 100-200 mikrogram. Dosis dapat
ditingkatkan sampai 400 mikrogram sehari.
• Kortikosteroid topikal dalam larutan aqua seperti flutikason
propionat dan mometason furoat  satu kali sehari dengan
dosis 20mcg.
• Rinore berat + antikolinergik topikal (ipatropium bromida).
83
3. Operasi
 bedah-beku, elektrokauter, atau
konkotomi parsial konka inferior
4. Neurektomi N. Vidianus
 pemotongan pada N. Vidianus
5. Blocking ganglion sfenopalatina.

84
Rhinitis atrofikans
(rhinitis ozaena)

85
ETIOLOGI
 Terdapat beberapa hal yang menjadin penyebab rhinitis ozaena antara lain :
 Infeksi oleh kuman spesifik ( klebsiella ozaea ) kuman lainnya yang juga
sering ditemukan ialah stafillokokus, streptokokus dan pseudomonas
aeruuuginosa )
 Defisiensi Fe
 Defisiensi vit A
 Sinusitis kronik
 Kelainan hormonal
 Pemyakit autoimun

86
KLASIFIKASI RINITIS OZAENA

Rinitis Ozaena Rinitis Ozaena


Primer Sekunder

Terjadi pada hidung tanpa


kelainan sebelumnya. Komplikasi karena bedah sinus,
Penyebabnya adalah radiasi, trauma serta infeksi lokal
mikroorganisme Klebsiella setempat
Ozaena

87
GEJALA KLINIS
 Napas berbau
 Sekretnya kental berwarna hijau
 Terdapat kerak ( krusta)
 Adanya gangguan penciuman
 Sakit kepala
 Hidung tersumbat

88
RINOSKOPI ANTERIOR
RHINITIS ATROFIKANS

 Pada pemeriksaan RINOSKOPI

ANTERIOR ditemui: rongga hidung

dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang

kuning atau hitam, jika krusta

diangkat, terlihat rongga hidung

sangat lapang, atrofi konka, sekret

purulen dan berwarna hijau, mukosa

hidung tipis dan kering. Bisa juga

ditemui ulat/telur larva (karena bau

busuk yang timbul).


89
Rhinitis Ozaena

Penatalaksanaan
Irigasi dan mebersihkan krusta . Diberikan terapi sistemik dan lokal
yang ditunjukan untuk menghilangkan gejalanya.
Pengobatan yang diberikan dapat bersifat

Konservatif Operatif

Pemberian antihistamin
.
seperti cetirizine 10 mg /hari Jika dengan pengobatan
selama 10 hari , antibiotik konservatif tidak ada
golongan sefalosporin perbaikan maka dilakukan
cefixime dosis 200-400 tindakan operasi
mg/hari selama 7-14 hari
90
SINUSITIS

91
DEFINISI
 Penyakit yang paling sering

 Sinusitis  inflamasi mukosa sinus paranasal.

 Umumnya disertai /dipicu oleh rhinitis rinosinusitis.

 Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan

infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.

 Sinus etmoid dan maksila: paling sering

 Sinus frontal lebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi

92
ETIOLOGI

• ISPA akibat virus,


• Rinitis
• Polip hidung,
• Kelainan anatomi
• Sumbatan KOM, • Dyskinesia silia

• Infeksi tonsil, • Penyakit fibrosis kistik.


• Pada anak  hipertrofi adenoid
• Infeksi gigi,
• Faktor lain: Lingkungan berpolusi, udara
• Kelainan imunologik, dingin dan kering, kebiasaan merokok

93
KLASIFIKASI

• Gejala berlangsung beberapa hari –


Sinusitis Akut
4 minggu

Sinusitis • Gejala berlangsung 4 minggu – 3

Subakut bulan

Sinusitis
• Gejala berlangsung > 3 bulan
Kronik
94
MANIFESTASI KLINIS
SINUSITIS AKUT

 Demam
 Sakit kepala
 Lesu
 Ingus kental & berbau & dirasakan mengalir ke daerah nasofaring

 Hidung tersumbat
 Rasa nyeri pada sinus yang terinfeksi
 Kadang didapatkan adanya nyeri alih

95
SINUS GEJALA KLINIS
• Nyeri pd daerah rahang atas, kadang
menyebar ke gigi & gusi. Nyeri dapat
dipicu oleh batuk atau mengunyah. Nyeri
juga dapat menjalar ke regio supraorbital
MAKSILA ipsilateral, dan dapat menstimulasi
terjadinya infeksi sinus frontalis
• Nyeri tekan regio maksilaris
• Bengkak & hiperemis di daerah pipi

• Sakit kepala regio frontal. Terlokalisasi


pada daerah sinus
FRONTALIS • Nyeri tekan pada dahi
• Bengkak pada kelopak mata atas
• Nyeri pada pangkal hidung & kantus medial
• Diperberat dengan gerakan bola mata
• Bengkak pd kelopak mata.
ETMOIDALIS • Sinusitis etmoidalis biasanya disertai
dengan infeksi pada sinus lain

• Sakit kepala, terutama di daerah verteks,


oksipital, belakang bola mata
SFENOIDALIS • Post nassal discharge
96
MANIFESTASI KLINIS

• Gejala klinisnya sama dengan gejala sinusitis akut,


SINUSITIS hanya saja pada sinusitis subakut, tanda-tanda
radangnya sudah reda (demam, sakit kepala & nyeri
SUBAKUT tekan)

• Sakit kepala terutama di pagi hari & berkurang


SINUSITIS
setelah siang hari, sekret di hidung, post nasal drips,

KRONIS batuk kronik

97
MANIFESTASI KLINIS
Keluhan Utama: Hidung tersumbat

Sinusitis dapat dicurigai bila ditemukan

2 kriteria mayor + 1 minor atau 1 mayor + 2 minor 98


DIAGNOSIS

Anamnesa

DIAGNOSI
S
Pemeriksaan Pemeriksaan
Penunjang Fisik

99
Pemeriksaan Fisik

RINOSKOPI RINOSKOPI
ANTERIOR POSTERIOR

Mukosa konka Pus pada nasofaring


hiperemis & edema (post nasal drip)

Sekret
mukopurulen pada
rongga hidung
10
0
Pemeriksaan Penunjang
TRANSILUMINASI

• Sinus yg terinfeksi akan nampak berwarna suram/gelap. Pemeriksaan ini


bermakna jika hanya 1 sisi sinus yang terinfeksi sehingga daerah tersebut
akan tampak lebih suram dibandingkan dengan daerah yang normal

X-RAY (Posisi Water’s, PA, Lateral)

• Tampak perselubungan pada sinus maksilaris

CT-Scan Sinus Paranasalis potongan coronal

• Tampak sekret pada daerah sinus maksilaris dan sinus ethmoidalis


sinistra (multisinus) 10
1
TATALAKSANA
Tujuan:
 Mempercepat penyembuhan
 Mencegah komplikasi
 Mencegah perubahan  kronik

Prinsip pengobatan:
 Membuka sumbatan di KOM --> drainase dan ventilasi sinus

10
2
TATALAKSANA MEDIKAMENTOSA

Antihistamin

Analgetik Dekongestan

Antibiotik Medikamentosa Steroid

10
3
Sinusitis Akut Sinusitis Subakut Sinusitis Kronis

• Antibiotik 10-14 • Pungsi & irigasi • Antibiotik selama 2


hari sinus minggu
• Dekongestan lokal • Tindakan pencucian • Tindakan operatif
(tetes hidung) Proetz • Pembedahan radikal.
• Analgesik untuk Sinus maksila →
menghilangkan Caldwell-Luc, Sinus
nyeri ethmoid →
ethmoidektomi
• Pembedahan tidak
radikal : BSEF

10
4
KOMPLIKASI
 Kelainan Orbita
 Kelainan Intrakranial
 Osteomielitis dan abses subperiosteal
 Kelainan paru

10
5
SINUSITIS DENTOGEN
 Merupakan salah satu penyebab penting
sinusitis kronik.
 Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal

akar gigi atau inflamasi jaringan periodental


mudah menyebar secara langsung ke sinus,
atau melalui pembuluh darah dan limfe
 Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada

sinusitis maksila kronik yang mengenai satu sisi


dengan ingus purulen dan nafas berbau busuk

10
6
Untuk mengobati sinusitisnya, gigi yang
terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan
pemberian antibiotik yang mencakup bakteri
anaerob, seringkali juga perlu dilakukan irigasi
sinus maksila.

10
7
Corpus alienum pada
hidung

10
8
DEFINISI
 Benda asing di Hidung adalah benda/masa
abnormal yang seharusnya tidak dijumpai di
hidung.
 Benda asing dalam hidung biasanya
ditemukan pada anak-anak.
Terbagi atas :
 Organik (benda asing hidup)  larva lalat,

lintah, cacing
 Anorganik (benda asing tak hidup)  barang

plastic, karet , manik-manik, baterai logam

10
9
Benda asing mati dapat
menimbulkan edema dan
inflamasi mukosa hidung,
dapat terjadi ulserasi,
epistaksis, jaringan granulasi,
dan dapat berlanjut menjadi
sinusitis.

Benda asing hidup dapat


menyebabkan reaksi
infalamasi dengan derajat
bervariasi dari infeksi local
sampai destruksi massif tulang
rawan dan tulang hidung.

11
0
Gambaran klinis
 Riwayat memasukan benda asing dalam hidung
 Gejala : hidung tersumbat, rhinorea unilateral
dengan cairan kental dan berbau, kdang-
kadang terdapat rasa nyeri, demam, epistaksis
dan bersin.
 Pemeriksaan rhinoskopi : tampak edema
dengan inflamasi mukosa hidung unilateral dan
dapat terjadi ulserasi. Benda asing biasanya
ditutup oleh mukopus. Dapat timbul rhinolit
pada sekitar benda asing.

11
1
TATA LAKSANA

 Fiksasi anak dalam posisi tegak, usahakan kepala anak


tidak bergerak
 Dengan speculum hidung identifikasi benda asing dan
kemudian lakukan extrasi secara hati-hati.
 Jika permukaan benda bulat misalnya manik-manik :
extrasi dilakukan dengan pengait tumpul. Pengait
dimasukan kedalam hidung di bagian atas, menyusuri
atap cavum sampai menyentuh nasofaring. Setelah itu
pengait diturunkan sedikit dan ditarik kedepan sehingga
benda asing ikut terbawa keluar. Dapat pula
menggunakan cunam Nortman atau wire loop.
 Jika bendanya lunak misalnya cotton bud extrasi
dilakukan dengan forsep
 Pada bayi kecil dan anak yang tidak koperatif
itu perlu digunakan anestesi umum sebelum
ekstrasi benda asing
 Dapat juga digunakan edoskopi nasal
 Pemberian antibiotic sistemik 5-7 hari bila
benda asing sudah menimbulkan infeksi
hidung maupun sinus.

11
3
CARSINOMA
NASOFARING
ANATOMI NASOFARING
EPIDEMIOLOGI
 Banyak di Asia, jarang di Eropa dan Amerika.
 Insiden tertinggi : provinsi Guang Dong (RRC)  40 – 50 /100
ribu penduduk /tahun.
 Indonesia  4,7/100 ribu penduduk/tahun.
 Laki-laki : Perempuan = 2 – 3 : 1
ETIOLO Virus
Epstein-
GI Barr Letak
Sosial
geografi
ekonomi
s

Kebiasa Karsinoma Ras


an hidup Nasofaring

Lingkun Jenis
gan kelamin
Genetik
ALA
E J IS
G LIN
K Gejala • Epistaksis
Nasofaring • Hidung tersumbat

• Tinitus
Gejala • Gangguan pendengaran
Telinga • Rasa tidak nyaman di telinga sampai
otalgia

Gejala • Diplopia
Mata dan • Neuralgia trigeminal
• Sindrom Jackson
Saraf
Metastasis
atau gejala • Benjolan di leher

di leher
DIAGNOSIS

Pemeriksaan Pemeriksaan
Anamnese
fisik penunjang

 CT-Scan
Gejala Rinoskopi  Tes Serologi
klinis posterior  Biopsi
STADIUM
(SISTEM TNM MENURUT UICC 2002)
 T = Tumor Primer.
 To= Tidak tampak tumor.
 T1= Tumor terbatas di nasofaring.
 T2= Tumor meluas ke jaringan lunak.
T2a : Perluasan tumor ke orofaring dan atau rongga hidung tanpa
perluasan ke parafaring*.
T2b : Disertai perluasan ke parafaring.
 T3= Tumor menginvasi struktur tulang dan/ atau sinus paranasal.
 T4= Tumor dengan perluasan intrakranial dan/ atau terdapat keterlibatan
saraf cranial, fossa infratemporal, hipofaring,orbita atau ruang masticator.

 Catatan : *Perluasan parafaring menunjukkan infiltrasi tumor ke arah


postero-lateral melebihi fasia faringo-basilar.
 N = Pembesaran kelenjar getah bening regional .
 Nx = Pembesaran Kelenjar Getah Bening tidak dapat dinilai.
 No = Tidak ada pembesaran.
 N1 = Metastase kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar
 kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula.
 N2 = Metastase kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar
 kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula.
 N3 = Metastase kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar
 dari 6 cm, atau terletak di dalam fossa supraklavikula.
 N3a = ukuran lebih dari 6 cm.
 N3b = di dalam fossa supraklavikula.

 M = Metastasis jauh
 Mx= Metastasis jauh tidak dapat dinilai
 Mo=Tidak ada metastasis jauh
 M1=Terdapat metastasis jauh
STADIUM

 Stadium 0 T1s N0 M0
 Stadium I T1 N0 M0
 Stadium II A T2a N0
M0
 Stadium IIB T1 N1 M0

T2a N1 M0
T2b N0,N1M0
 Stadium III T1 N2 M0

T2a,T2b N2 M0
T3 N2 M0
 Stadium IV a T4 N0,N1,N2 M0
 Stadium IV b semua T N3 M0
 Stadium IV c semua T semua N M1
pENATALAKSANAAN

1. Radioterapi
2. Kemoterapi
3. Operasi
PENATALAKSANAAN
 Stadium I  Radioterapi
 Stadium II  Kemoradiasi
 Stadium IV N< 6 cm  Kemoradiasi
 Stadium IV N> 6 cm  Kemoterapi dosis penuh

dilanjutkan kemoradiasi
Operasi
Reseksi Nasofari
leher ngektomi
PROGNOSIS
 Sangat mencolok perbedaan prognosis ( angka
bertahan hidup 5 tahun) dari stadium awal dengan
stadium lanjut, yaitu 76,9% untuk stadium I, 56,0%
untuk stadium II, 38,4% untuk stadium III, dan hanya
16,4% untuk stadium IV.
Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti :
• Stadium yang lebih lanjut.

• Usia lebih dari 40 tahun

• Laki-laki dari pada perempuan

• Ras Cina dari pada ras kulit putih

• Adanya pembesaran kelenjar leher

• Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang

tengkorak
• Adanya metastasis jauh
PENCEGAHAN
1. Vaksinasi
2. Mengubah kebiasaan hidup yang salah
3. Melakukan tes serologic IgA anti VCA dan IgA anti
EA secara massal
12
9

Anda mungkin juga menyukai