Sebelum Merdeka Peranan masyarakat hukum adat pada masa pemerintahan Hindia Belanda • Pemerintahan Hindia Belanda dalam hal hukum adat, mereka tetap membiarkan saja berlakunya seperti apa adanya, baik dalam sistem pemerintahan maupun isi dari pemerintahan tersebut. Pemerintahan Hindia • Belanda tidak mengganggu masyarakat hukum adat berlaku, kecuali pada pusat-pusat pemerintahan ada aturan yang ditentukan untuk berlaku. • Ada 2 aturan yang mengatur masyarakat hukum adat yaitu; • I.G.O ( indishe gemente Ordomantie) yaitu aturan yang mengatur tentang pemerintahan • Desa untuk pulau Jawa dan Madura • I.G.O.B ( indishe gemente ordonantie buitengesttens) yaitu aturan yang mengatur tentang Pemerintahan Desa di luar Jawa dan Madura. • Kedua aturan tersebut membiarkan hukum adat sebagaimana adanya. Dengan demikian pada saat itu terdapat sistem pemerintahan • Yang berbeda-beda antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Pada masa Kemerdekaan Hal ini dapat dilihat dalam pasal 18 UUD 1945 yang berisikan tentang pembagian wilayah indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahan ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar musyawarah dalam sistem pemerintahan negara • Hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa. Pasal ini berarti mengakui eksistensi masyarakat hukum adat. Tetapi dalam undang- undang No.5 tahun1979 tentang pemerintahan Desa, menentukan adanya penyeragaman pemerintahan yang berada di bawah camat, tujuannya adalah supaya dapat menunjang pembangunan di segala bidang. • Asumsi dari undang-undang tersebut adalah bahwa sebelum undang-undang no 5 tahun 1979 masyarakat hukum adat ada yang bersifat lemah dan ada yang kuat. • Tetapi menurut uu no 5 tahun 1979 semua seragam yaitu dengan mengambil model Desa di Jawa. Jadi dengan demikian yang menjadi Desa adalah pemerintahan yang berada di • Bawah Camat unutk kabupaten dan kelurahan untuk pemerintahan yang bersifat Kotamadya. • Undang- undang no 5 tahun 1979 tersebut sampai tahun 1983 tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya karena masyarakat hukum adat binggung untuk menentukan mana yang dikatakan Desa. • Apabila bertitik tolak dari adat istiadat yang • Dikatakan Desa adalah Nagari atau Marga karena disanalah terdapat penguasa (pimpinan adat) tetapi apabila masyarakat atasan yang menjadi Desa atau kelurahan, penduduk jumlahnya sedikit dan apabila masyarakat bawahan yang menjadi Desa/ kelurahan, jumlah penduduknya sedikit sehingga adat istiadat akan hilang. • Pada tahun 1983 Mendagri menetapkan bahwa yang menjadi Desa adalah masyarakat bawahan, seperti Suku di Minang , Huta di Batak. • Jadi sistem pemerintahan sehari hari mereka masih terikat dengan masyarakat atasan ( sebagai penguasa). Maka kalau masyarakat atasan tidak berfungsi lama kelamaan adat istidat menjadi hilang. • Disamping itu yang menjadi masalah lagi adalah bagaimana menentukan wilayah Desa karena dalam masyarakat hukum adat ada wilayah tertentu/ sendiri, sedangkan batas antara lingkungan tanah yang satu dengan yang lain sudah ditentukan. • Seperti di Minangkabau, tanah bukan merupaka milki pribadi tetapi milik bersama. • Dengan demikian dalam satu wilayah ada kepala Nagari dan ada kepala Desa. Dengan pembagian wewenang adalah sebagai berikut • Kepala Desa menangani urusan pemerintahan di luar kecamatan, sedangkan kepala Nagari menangani urusan ke dalam; • Sistem pemerintahan yang berkuasa adalah Kepala Desa, sedangkan dalam adat istiadat yang berkuasa adalah Kepala Nagari