Anda di halaman 1dari 31

II.

HUKUM ADAT
(LANJUTAN)
4. BEBERAPA BAGIAN HUKUM ADAT INDONESIA
A. HUKUM PERORANGAN

Dalam hukum adat yang termasuk dalam subyek hukum adalah manusia dan badan hukum.
1. Manusia Sebagai Subjek Hukum (Subjektum Yuris)
Menurut hukurn adat yang cakap melakukan perbuatan hukum adalah seseorang (baik pria
maupun wanita) yang sudah dewasa. Adapun kriteria dewasa dalam hukum adat menurut
Prof. Soeporno adalah:
a. Kuwat gawe yaitu dapat atau mampu bekerja sendiri.
b. Cakap mengurus harta bendanya serta lain keperluan sendiri.
Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi) Jakarta dalam putusannya tanggal 16 Oktober 1908
menetapkan khusus bagi kaum wanita untuk dianggap cakap menyatakan kehendaknya sendiri
atau mondigheid ialah sebagai berikut:
c. umur 15 tahun;
d. masak untuk hidup sebagai istri;
e. cakap untuk melakukan perbuatan-perbuatan sendiri.
2. Badan Hukum Sebagai Subyek Hukum (Subyektum Yuris)
a. Wakaf, Yaitu suatu lembaga/badan yang bertugas untuk mengurus harta kekayaan yang oleh
pemiliknya diserahkan kepada masyarakat untuk digunakan bagi kepentingan umum
masyarakat, yang biasanya digunakan untuk keperluan yang ada hubungannya dengan bidang
keagamaan.
Dalam adat yang sering terlihat adalah dua macam wakaf, yaitu:
1). mencadangkan suatu pekarangan atau sebidang tanah untuk mesjid atau langgar.
 2). menentukan sebagian dari harta benda yang dimiliki sebagai benda yang tidak dapat
dijual demi kepentingan keturunannya yang berhak memungut penghasilannya.
b. Yayasan, Yaitu badan hukum orang melakukan kegiatan dalam bidang sosial. Yayasan yang
demikian dapat dibentuk dengan akta pembentukan
c. Koperasi, Yaitu badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi
dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan
ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan (UU No. 25/1992).
B. HUKUM KEKELUARGAAN
1. Keturunan
 Keturunan ini mempunyai akibat-akibat kemasyarakatan, pada umumnya kita
melihat adanya hubungan hukum yang didasarkan kepada hubungan
kekeluargaan antara orang tua dengan anak-anaknya
 Dalam hubungan kekeluargaan ini faktor yang sangat penting adalah:
a. masalah perkawinan, yaitu untuk meyakinkan apakah ada hubungan
kekeluargaan yang merupakan larangan untuk menjadi suami-istri;
b. masalah waris, hubungan keluargaan merupakan dasar pembagian harta
peninggalan
 Hubungan Anak Dan Orang Tuanya
a. Anak lahir di luar perkawinan
b. Anak lahir karena perbuatan zinah
c. Anak lahir setelah perceraian
2. Hubungan Anak dan Orang Tuanya
 Anak kandung memiliki kedudukan yang terpenting dalam tiap somah masyarakat adat. Oleh karena itu,
sejak anak berada dalam kandungan hingga ia dilahirkan, bahkan kemudian dalam pertumbuhannya,
dalam masyarakat adat terdapat upacara-upacara acara adat yang sifatnya religious.
 Kita melihat dalam masyarakat adat adanya kejadian-kejadian yang abnormal, yaitu berikut ini.
a. Anak lahir di luar perkawinan
• Di Mentawai, Timor, Minahasa dan Ambon misalnya wanita yang melahirkan anak itu dianggap sebagai
ibu anak yang bersangkutan, jadi seperti kejadian biasa seorang wanita melahirkan anak dalam
perkawinan yang sah
b. Anak lahir karena perbuatan zinah
• Apabila seorang istri melahirkan seorang anak karena melakukan hubungan gelap dengan seorang pria
lain yang bukan suaminya, maka menurut hukum adat suaminya menjadi ayah dari anak yang dilahirkan
kecuali bila suami menolak dengan alasan-alasan tertentu.
c. Anak lahir setelah perceraian
• Anak yang dilahirkan setelai bercerai, menurut hukum adat mempunyai bapak bekas suami si ibu yang
melahirkan tersebut, apabila terjadi masih dalam batas-batas mengandung.
3. Hubungan Anak dengan Keluarga

• Pada umumnya hubungan anak dengan keluarga ini sangat dipengaruhi oleh keadaan sosial
dalam masyarakat yang bersangkutan. Persekutuan- persekutuan yang susunannya
berlandaskan tiga macam garis keturunan; adanya garis keturunan bapak, garis keturunan
ibu, dan garis keturunan bapak- ibu.
• Dalam garis keturunan bapak-ibu, maka hubungan keluarga dari pihak bapak ataupun dengan
keluarga ibu sama eratnya atau derajatnya. Lain halnya dengan persekutujuan yang sifat
susunan kekeluargaannya adalah unilateral, yaitu patrilineal dan matrilineal maka hubungan-
hubungan kekeluargaannya antara anak dan keluarga dari kedua belah pihak tidak sama
eratnya dan derajatnya.
• Perlu ditegaskan bahwa hubungan kekeluargaan unilateral ini, yaitu bahwa hubungan
kekeluargaan keluarga kedua belah pihak diakui adanya, hanya karena sifat susunan
masyarakatnya yang unilateral itu menyebabkan hubungan keluarga dengan salah satu pihak
menjadi 1ebih erat dan lebih penting.
C. HUKUM PERKAWINAN

1. Arti Perkawinan
Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan
masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut pria dan wanita
bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-
saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.
A van Genep seorang ahli sosiologi Perancis menamakan semua upacara itu “rites de
passage” (upacara--upacara peralihan). Upacara-upacara peralihan itu
melambangkan peralihan atau perubahan status dari mempelai berdua, yang
tadinya hidup terpisah, setelah melalui upacara-upacara yang dimaksud menjadi
hidup bersatu dalam suatu kehidupan bersama sebagai suami-istri. "Rites de
passage" ini menurut A van Genep terdiri atas tiga stadia yaitu:
a. Rites de separation upacara perpisahan dari status semula.
b. Rites de marge, upacara perjalanan ke status yang baru.
c. Rites de agregation, upacara penerimaan dalam status yang baru.
2. Dasar Perkawinan

a.  Tujuan perkawinan
Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan
ialah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis
kebapakan dan keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah
tangga keluarga/kerabat untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan
kedamaian dan untuk memperoleh kewarisan.
 b. Sahnya perkawinan
Sahnya perkawinan menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat di
Indonesia, pada umumnya bagi penganut agama tergantung pada a gama
yang dianut masyarakat adat yang bersangkutan. Maksudnya jika telah
dilaksanakan menurut tata tertib hukum agamanya, maka perkawinan itu
sudah sah menurut hukum adat.
3. Batas Umur Perkawinan

Hukum adat pada umumnya tidak mengatur tentang batas umur untuk
melangsungkan perkawinan. Hal ini berarti hukum adat membolehkan
perkawinan semua umur. Dalam rangka memenuhi maksud dari Undang-
Undang No. 1 tahun 1974 mengenai perizinan orang tua terhadap perkawinan
di bawah umur yang memungkinkan timbulnya perbedaan pendapat adalah
dikarenakan struktur ke-kerabatan dalam masyarakat adat yang satu dan yang
lain berbeda-beda yaitu yang menganut adat patrilineal, matrilineal dan
parental yang satu sama lain dipengaruhi pula oleh bentuk perkawinan yang
berlaku
4. Perjanjian Perkawinan
Perjanjian yang dilakukan sebelum atau pada waktu perkawinan berlaku dalam
hukum adat, bukan saja antara kedua calon mempelai tetapi juga termasuk
keluarga/kerabat mereka.
5. Sistem Perkawinan
Di Indonesia dikenal 3 macam sistem perkawinan.
a. Sistem Endogani: hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku keluarga sendiri.
b. Sistem Exogami: diharuskan menikah dengan orang di luar suku keluarganya.
c. Sistem Eleutherogami: tidak mengenal larangan/keharusan seperti sistem endogami dan
eksogami
6. Pertunangan
Pertunangan adalah suatu stadium (keadaan) yang bersifat khusus yang di Indonesia ini
biasanya mendahului dilangsungkannya perkawinan.
Dasar alasan pertunangan ini adalah tidak sama di semua daerah, lazimnya adalah:
d. karena ingin perkawinan yang dikehendaki itu dapat dilangsungkan dalam waktu dekat;
e. sekedar untuk membatasi pergaulan kedua belah pihak yang telah diikat oleh pertunangan;
f. memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk lebih saling mengenal.
 
7. Perkawinan dalam Perbagai Sifat Kekeluargaan

a. Dalam sifat susunan kekeluargaan patrilineal


Corak utama dari perkawinan dalam persekutuan yang sifat susunan keluarganya patrilineal adalah
perkawinan yang jujur. Demberian jujur oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan ini adalah sebagai
lambang diputuskannya hubungan kekeluargaan si isteri dengan keluarganya.
b. Dalam sifat susunan keluarga matrilineal
Setelah kawin suami tetap masuk pada keluarga sendiri, akan tetapi dapat bergaul dengan keluarga
isterinya sebagai “Urano somando” dan anak-anak keturunannya masuk keluarga isterinya, masuk warga
kerabat isterinya masuk pada clan isterinya dan si ayah tidak mempunyai keuasaan terhadap anak-
anaknya. 
c. Dalan sifat susunan kekeluargaan parental
Setelah perkawinan, si suami menjadi keluarga isterinya juga sebaliknya, sehingga dalam susunan
kekeluargaan parental ini, sebagai akibat perkawinan bahwa suami dan isteri masing-masing menjadi
mempunyai dua kekeluargaan yaitu kerabat suami dan kerabat isteri.
8. Perkawinan Anak-anak
Alasan dilakukannya perkawinan anak-anak adalah untuk merealisir ikatan hubungan
kekeluargaan antara kerabat mempelai laki-laki dan perempuan yang memang telah lama
mereka inginkan bersama.
Lazimnya kawin gantung ini ada kebiasaan mempelai laki-laki setelah menikah tinggal di mertua
serta rnerupakan bantuan tenaga kerja mertuanya. Hanya berberkumpul dengan mempelai
perenpuan sebagai suami istri baru dilakukan setelah si isteri menjadi dewasa.
9. Putusnya Perkawinan
Sebab-sebab yang oleh hukum adat dibenarkan untuk melakukan perceraian adalah sebagai
berikut:
a. isteri berzinah;
b. kemandulan isteri;
c. impotensi suami;
d. suami meninggalkan isteri sangat lama atau isteri berkelakuan tidak sopan;
e. adanya keinginan bersama kedua belah pihak untuk bercerai.
D. HUKUM HARTA PERKAWINAN
Pemisahan Harta Perkawinan
Harta perkawinan dapat dipisahkan dalam 4 golongan sebagai berikut:
1. barang-barang yang diperoleh suami atau isteri secara warisan atau
penghibahan dari kerabat / famili masing-masing dan dibawa ke da1am
perkawinan;
2. barang-barang yang diperoleh suami atau isteri untuk dirinya sendiri serta
atas jasa sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan;
3. barang-barang yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan isteri
sebagai milik bersama;
4. barang-barang yang dihadiahkan kepada suami-isteri bersama pada waktu
pernikahan.
E. HUKUM ADAT WARIS
 Sistem Kewarisan Adat
Di Indonesia ini kita menjumpai 3 sistem kewarisan dalam hukum adat di Indonesia, yaitu
sebagai berikut: 1. sistem kewarisan individual,
2. sistem kewarisan kolektif,
3. sistem kewarisan mayorat
  Harta Peninggalan yang Tidak Dapat Dibagi-bagi
berdasarkan atas alasan tidak dapat dibagi-bagi dapat dibedakan sebagai berikut:
1. karena sifatnya memang tidak mungkin untuk dibagi-bagi;
2. karena kedudukan hukumnya memang terikat kepada suatu tempat/ jabatan
tertentu;
3. karena belum bebas dari kekuasaan persekutuan hukum yang bersangkutan;
4. karena pembagiannya untuk sementara ditunda;
5. karena hanya diwaris oleh seorang saja.
 
 Para Ahli Waris

Anak yang lahir di luar perkawinan


Menurut hukum adat waris di Jawa, anak yang lahir di luar perkawinan hanya menjadi waris dalam harta
peninggalan ibunya saja dan harta peninggalan kerabat ataupun famili dari pihak ibu.
Anak angkat
Prof. Bertling menulis tentang kedudukan anak angkat yaitu sebagai berikut, bahwa anak angkat adalah
bukan waris terhadap barang-barang asal orang tua ankatnya melainkan ia mendapat keuntungan sebagai
anggota rumah tangga, juga setelah orang tua angkatnya meninggal dunia. Kemudian jika barang gono-gini
tidak mencukupi, pada peninggalan harta untuk dibagikan, dari barang asal orang tua angkatnya yang tidak
mempunyai anak kandung.
 Anak tiri
Anak tiri yang hidup dalam satu rumah dengan ibu kandungnya dan bapak tirinya atau sebaliknya, adalah
warga serumahtangga pula. Terhadap ibunya atau bapak kandungnya, anak tiri itu adalah ahli waris tetapi
terhadap ibu atau bapak tirinya anak itu hanya warga serumahtangga.
 
Para Ahli Waris Lanjutan

Kedudukan janda
Raad Justisi tanggal 26 Mei 1939 memutuskan bahwa janda tidak dapat dianggap sebagai ahli waris
almarhum suaminya akan tetapi ia berhak menerima penghasilan dari peninggalan harta suaminya, jika
ternyata bahwa harta gono gini tidak mencukupi. Janda behak untuk terus hidup sedapat- dapatnya seperti
keadaannya pada waktu perkawinan.
Kedudukan janda laki-laki atau duda
Apabila seorang janda laki-laki itu nyata-nyata memerlukan nafkah dari harta peninggalan istrinya, misalnya
karena ia tidak kuat bekerja lagi atau dalam keadaan kekurangan, maka ia dapat menuntut supaya harta itu
disediakan bagi kehidupan (putusan Landraad Purworejo tanggal 22 September 1937 dalam Indisch van
het recht).
 Ahli-ahli waris lainnya
Ahli waris-ahli waris lain baru berhak atas harta peninggalan apabila yang meninggal itu tidak mempunyai
anak.
 
F. HUKUM TANAH ADAT
1. Kedudukan Tanah dalam Hukum Adat Sangat Penting
a. Karena sifatnya
Yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meski mengalami keadaan yang bagaimanapun juga,
masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang malah menjadi lebih menguntungkan.
 b. Karena fakta
Yaitu suatu kenyataan bahwa tanah itu:
1) merupakan tempat tinggal persekutuan;
2) memberikan penghidupan kepada persekutuan;
3) merupakan tempat tinggal kepada dayang-dayang pelindung persekutuan kepada roh para leluhur
persekutuan;
4) merupakan tempat di mana para warga persekutuan yang meninggal dunia
2. Hak Persekutuan atas Tanah
Hubungan yang erat dan bersifat religio-magis menyebabkan persekutuan
memperoleh hak untuk menguasai tanah dimaksud, memanfaatkan tanah itu,
memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas tanah itu, juga
berburu terhadap binatang-binatang yang hidup di situ.
Yang menjadi hak ulayat/objek ulayat adalah:
a. tanah,
b. air,
c. tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar,
d. binatang yang hidup liar.
G. HUKUM HUTANG PIUTANG
Dalam suasana hukum adat, hukum hutang pihutang atau hukum perutangan merupakan
kaidah-kaidah atau norma yang mengatur hak-hak anggota-anggota persekutuan atas benda-
benda yang bukan tanah. Hak-hak tersebut ditandaskan dalam hukun perseorangan sebagai hak
milik. Pada unumnya persekutuan tidak dapat melakukan hal-hal yang dapat menghalangi hak-
hak perseorangan sepanjang hak-hak tersebut mengenai benda-benda yang bukan tanah.
Dalam adat hukum hutang piutang tidak hanya meliputi atau mengatur perbuatan-perbuatan
hukum yang menyangkutkan masalah perkreditan perseorangan saja, tetapi juga masalah yang
menyangkut tentang:
1. hak atas perumahan, tunbuh-tumbuhan, ternak dan barang;
2. sumbang-menyumbang, sambat-sinambat, tolong menolong;
3. panjer;
4. kredit perseorangan.
 
H. HUKUM ADAT DELIK

Pengertian Hukum Adat Delik


Menurut Teer Haar, suatu delik itu sebagai tiap-tiap gangguan dari
keseimbangan, tiap-tiap gangguan pada barang-barang materiil dan imateril
milik hidup seorang atau kesatuan orang-orang yang menyebabkan timbulnya
suatu reaksi adat, yang dengan reaksi ini keseimbangan akan dan harus dapat
dipulihkan kembali.
Pada dasarnya suatu adat delik itu merupakan suatu tindakan yang melanggar
perasaan keadilan dan kepatuhannya yang hidup dalam masyarakat, sehingga
menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat yang
bersangkutan, guna memulihkan keadaan ini maka terjadilah reaksi-reaksi adat
Beberapa Jenis Delik dalam Lapangan Hukum Adat
1. Delik yang paling berat adalah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara
dunia lahir dan dunia gaib serta segala pelanggaran yang memperkosa susunan masyarakat
2. Delik terhadap diri sendiri, kepala adat juga masyarakat seluruhnya, karena kepala adat
merupakan penjelmaan masyarakat.
3. Delik yang menyangkut perbuatan sihir atau tenung
4. Segala perbuatan dan kekuatan yang mengganggu batin masyarakat, dan mencemarkan
suasana batin masyarakat
5. Delik yang merusak dasar susunan masyarakat misalnya incest
6. Delik yang menentang kepentinaan umum masyarakat dan menentang kepentingan hukum
suatu golongan famili
7. Delik yang melanggar kehormatan famili serta melanggar kepentingan hukum seorang
sebagai suami
8. Delik mengenai badan seseorang misalnya melukai
 
Reaksi-reaksi Adat
sebagai koreksi terhadap pelanggaran hukum adat di Indonesia yaitu :
1. penggantian kerugian "immateriil” dalam berbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis yang telah
dicemarkan
2. bayaran “uang adat” kepada orang-orang yang terkena berupa benda yang sakti sebagai pengganti
kerugian rohani
3. penutup malu, permintaan maaf
  Petugas Hukum untuk Perkara Adat
Menurut Undang-undang Darurat No. 1/1951 yang mempertahankan ketentuan-ketentuan dalam
Ordonansi tanggal 9 Maret 1935 Staatblad No. 102 tahun 1935, Staatblad No. 102 / 1945 maka hakim
perdamaian desa diakui berwenang memeriksa segala perkara adat, termasuk juga perkara delik adat.
Delik-delik yang juga merupakan delik menurut KUH Pidana, rakyat desa lambat laun telah menerima dan
menganggap sebagai suatu yang wajar bila yang bersalah itu diadili serta dijatuhi hukuman oleh hakim
pengadilan Negeri dengan Pidana yang ditentukan oleh KUH Pidana.
LATIHAN 4

1. Jelaskan bagaimana agar seseorang dapat dikatakan cakap dalam


melakukan perbuatan hukum!
2. Jelaskan apa saja yang anda ketahui tentang hukum perkawinan !
3. Berdasarkan hukum adat, bagaimana penggolongan ahli waris? Jelaskan!
4. Jelaskan reaksi adat yang dijalankan apabila terjadi delik didalam
masyarakat hukum adat!
 
5. HUKUM ADAT DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

A. Peranan Hukum Adat


Pada masa sekarang ini hukum adat sudah tercakup dalam sistem hukum nasional diantaranya
dapat dilihat pada beberapa peraturan perundang-undangan, seperti :
1. UU Darurat No. 1 Tahun 1955 tentang Penyamaan Peradilan di Indonesia, menjadikan
peradilan adat dihapuskan dan proses peradilan diserahkan kepada pengadilan negeri.
2. Hukum adat juga diakui dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang UU Pokok Agraria, Pasal 5
yang menyatakan bahwa hukum agraria nasional itu didasarkan pada hukum adat.
Salah satu contoh putusan pengadilan yang mengakui validitas dari hukum adat meskipun
sangat sumir menurut Titon Slamet Kurnia adalah Putusan No. 391 K/Si[/1969. Isu hukum dari
putusan ini adalah keabsahan dari hibah yang dilakukan pewaris kepada ahli waris yang
merugikan ahli waris yang lain.
Sebagaimana hukum tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, hukum adat
pun turut berperan dalam kehidupan masyarakat adat untuk menyatukan
keberagaman adat yang berlaku. Dalam masyarakat, dikenal asas keturunan dan
daerah yang bersifat patrilineal, matrilineal, dan parental.
1. Patrilineal: asas di mana garis keturunan ayah lebih diutamakan daripada
garis keturunan ibu. Sistem ini banyak dianut di Sumatera Utara.
2. Matrilineal: asas di mana garis keturunan ibu lebih diutamakan daripada
garis keturunan ayah. Sistem ini banyak dianut di Sumatra Barat.
3. Parental: asas di mana garis keturunan ayah dan ibu sama kuatnya.
Sistem ini dianut di Jawa Barat.
 
Perbedaan asas keturunan yang dianut dalam suatu daerah akan menentukan
kedudukan seseorang dalam keluarga, misalnya berkaitan dengan sistem
pembagian harta warisan atau dalam hal kedudukan janda dan duda. Hukum
adat berperan untuk menyatukan perbedaan di antara asas-asas keturunan dan
kedaerahan itu sehingga muncullah yurisprudensi tentang kedudukan janda dan
duda, di mana janda dan duda mendapat setengah dari harta gono gini (harta
bersama).
Dalam hukum adat terdapat empat harta, yaitu:
1. Harta asal, dari orang tua berupa warisan;
2. Harta hasil bekerja si suami atau si istri sebelum menikah;
3. Harta pemberian saat menikah;
4. Harta gono gini, yang didapatkan selama perkawinan
Konsep hukum adat ada yang digunakan secara internasional, antara lain:
1. Konsep bagi hasil (production sharing) atau kontrak karya: Adalah hukum asli
bangsa Indonesia yang diambil dari hukum adat yang disebut dengan maro,
yaitu suatu konsep di mana jika seorang pemilik tanah tidak bisa
mengerjakan tanahnya kemudian menyerahkan tanahnya untuk dikelola
oleh orang lain, maka digunakan sistem bagi hasil dengan membagi dua
keuntungan dari hasil pengelolaan tanah tersebut.
2. Asas pemisahan horizontal: Adalah asas di mana bagian atas dan bawah
tanah terpisah kepemilikannya. Asas pemisahan horizontal ini merupakan
kebalikan dari asas perlekatan vertikal, yaitu asas di mana bagian atas dan
bawah tanah merupakan hak mutlak.
B. PENUNDUKAN HUKUM SUKARELA ORANG BUMI PUTERA
TERHADAP HUKUM PERDATA EROPA
 
Apabila orang Indonesia ingin menggunakan hukum perdata Eropa, baik yang
dimuat dalam KUHS maupun yang dimuat dalam KUHD, maka ia boleh
menggunakannya atas dasar ketentuan Stb 1917 No. 12 yang mengatur tentang
penundukan secara sukarela kepada hukum Eropa. Dengan adanya penundukan
ini tentu saja berpengaruh terhadap perkembangan hukum adat yang
berakulturasi dengan hukum barat sehingga menurut penulis akibat akulturasi
ini memperkaya sistem hukum Indonesia. Hal ini banyak ditemukan dalam
yurisprudensi-yurisprudensi Mahkamah Agung yang berdasarkan pilihan hukum
masyarakat sendiri mengakomodasi hukum perdata eropa untuk menyelesaikan
sengketa yang menyangkut hukum adat.
 
C. DARI HUKUM ADAT MENUJU HUKUM NASIONAL
 

• Menurut Sunaryati Hartono, keanekaraman hukum dan pengadilan mengakibatkan perlunya


pengaturan yang membantu hakim dan pejabat administrasi pemerintahan (birokrasi)
eksekutif untuk menentukan hukum mana yang berlaku, apabila dua orang Hindia belanda
yang termasuk golongan penduduk yang berbeda melakukan suatu transaksi jual beli atau
dagang, atau pinjam-meminjam atau bahkan menikah, dan lain sebagainya. Hukum itu oleh
Prof. Kollewijn disebut Intergentieerecht atau Hukum Antarsuku Bangsa, yang oleh Prof. Gouw
Giok Siong (Sidharta Gautama) diterjemahkan menjadi Hukum Antargolongan (penduduk).
• Pada saat itulah Sunaryati Hartono menuangkan pemikirannya kedalam bukunya yang berjudul
Dari Hukum Antargolongan ke Hukum Anta Adat.
• Ternyata, perkiraan Sunaryati Hartono meleset karena tahun 1968 itu terjadi perubahan besar
dalam politik ekonomi Indonesia, dari ekonomi yang tertutup bagi penanaman modal asing
dan valuta asing, menjadi sistem ekonomi pasar yang terbuka dan liberal
• Dengan demikian jelas pula mengapa pengertian hukum nasional diartikan sebagai
“keseluruhan sistem hukum yang berdasarkan Undang- Undang Dasar 1945 dan bertujuan
mewujudkan cita-cita bangsa, sebagaimana sudah diikrarkan oleh para pendiri bangsa dan
negara ini dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu”.
• Dengan perkataan lain, hukum nasional itu bukan hukum adat; bukan pula hukum Islam,
ataupun sistem hukum modern, atau yang baru sama sekali, yang tidak ada baik hubungan
batin maupun hubungan hukum dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
Grundnorm dan Batang Tubuh Undang- Undang Dasar 1945 sebagaimana ia (akan)
berkembang dari waktu ke waktu.
• Jika demikian, hukum adat, hukum Islam, bahkan hukum asing (Belanda, Amerika, Prancis,
Cina, dan sebagainya) dan hukum internasional merupakan bahan dan atau unsur-unsur
(sumber hukum materiil) yang dapat digunakan dalam dan bagi pembangunan nasional dan
pengembangan hukum nasional, sepanjang unsur-unsur itu sesuai dengan falsafah bangsa
dan negara.
LATIHAN 5

1. Jelaskan bagaimana perkembangan dari penggunaan hukum adat dalam


hukum positif di Indonesia!
2. Jelaskan pengaruh adanya asas genealogis pada sistem kewarisan adat!
3. Jelaskan dua konsep hukum adat yang berlaku secara internasional!
4. Jelaskan yang dimaksud dari hukum adat menuju hukum nasional! 

Anda mungkin juga menyukai