Anda di halaman 1dari 2

BELAJAR ALAMIAH

DI PINGGIRAN SUNGAI YOGYAKARTA Oleh: Wignya Cahyana Investigasi kependidikan hendaknya dimulai dari wawasan tentang komunitas belajar. Komunitas belajar adalah sekumpulan rakyat yang menyelenggarakan aktivitas pembelajaran hidup secara bersama-sama dan terorganisir. Komunitas rakyat pinggiran sungai, sekalipun tidak disebut sebagai komunitas sekolah atau kampus, pada dasarnya dan selalu, adalah sebuah komunitas belajar (dan dengan demikian ada agen yang mengajar). Sepanjang sejarah bangsa-bangsa, rakyat pinggiran sungai adalah rakyat perintis kebudayaan maka tak heran bila kebudayaan besar dunia didominasi oleh kebudayaan rakyat di pinggiran sungai besar dunia. Bayangkan suatu ketika, sebelum negara RI berdiri, pinggiran sungai terdiri atas kawasan lembah perkebunan liar, sehingga gelap (karena rimbunan daun), lembab (karena uap air sungai), dan pengap (karena sempitnya ventilasi udara struktur lembah). Konstruksi alamiah yang sedemikian itu menyebabkan kawasan pinggiran sungai memiliki fungsi awalnya sebagai: 1. tempat sumber air (sumber utama kehidupan rakyat) 2. tempat cocok tanam lahan sempit, yang diawali dengan pembersihan kebun 3. tempat drainase pengairan dan pembuangan air hujan 4. tempat persembunyian para pejuang kemerdekaan dan pelaku kriminal 5. tempat mendirikan gubug-gubug, yang terdiri atas: a. dangau bagi petani yang bercocok tanam b. rumah peristirahatan (semacam kost-kostan liar), yang dibangun oleh rakyat yang kalah dalam perang penguasaan tanah karena alasan terpaksa, mengingat pada saat itu bermalam di pinggiran sungai dianggap sangat nista, mirip gelandangan pengemis di masa sekarang. 6. tempat pembuangan sampah dari seluruh warga kota 7. tempat pemakaman atau kuburan bagi seluruh warga kota (di Sungai Code, umumnya di lereng sisi timur yang relatif curam), baik pemakaman umum maupun kuburan liar (misalnya tempat membuang janin)

Dari cara rakyat memanfaatan lahan pinggiran sungai di atas dapat disimpulkan bahwa rakyat pinggir sungailah yang pertama kali menghadirkan sentuhan manusia (baca: menghadirkan kebudayaan) ke pinggiran sungai. Jika warga negara pada umumnya mengggunakan kawasan itu hanya sebagai tempat pembuangan sampah dan mayat (baca: buangan kematian) maka rakyat pinggiran sungai sungguh hadir dan menata kawasan itu benar-benar sebagai sumber penghidupan (dimana material ekonomi digerakkan) dan lahan kehidupan (dimana sosiologi dan kasih sayang dibagikan). Kawasan pinggiran sungai dibentuk oleh rakyat dalam fungsi-fungsi kehidupan manusiawinya manusia yang lengkap. Pemanfaatan lahan guntai menjadi area komunitas manusia yang berlandaskan tertib sosialnya sama halnya dengan merintis suatu peradaban mulai dari titik nol dan sekalipun dalam tingkatan mikro, ia menguasai seluruh kompleksitas hidup manusia. Dari manakah rakyat pinggiran sungai, yang posisinya sungguh tertindas itu, telah mendapatkan segenap ilmu pengetahuan, teknologi, dan filosofi untuk membentuk peradaban baru di kawasan pinggiran sungai? Sulit dipungkiri bahwa komunitas pinggiran sungai adalah komunitas yang aktif belajar sejak awal mula kehadirannya sehingga peradaban pinggiran sungai menjadi mungkin untuk dibentuk. Tentu saja, aktivitas belajar tersebut bukan sebagaimana aktivitas di sekolah atau perguruan tinggi. Komunitas itu sendirilah yang menjadi kampus kehidupan yang nyata. Aktivitas belajar sedemikian ini kemudian semakin dimatangkan oleh pelbagai tantangan baru yang dihadirkan oleh perkembangan modern. Karena jumlah penduduk dan urbanisasi semakin meningkat, seiring juga suasana kebebasan yang dibawa oleh kemerdekaan RI, kawasan pinggiran sungai semakin menarik bagi rakyat. untuk dijadikan tempat tinggal, disertai mata pelajaran baru yang akan terus dipelajari. Investigator pendidikan ditantang untuk memperagakan kembali aktivitas belajar alamiah rakyat pinggiran sungai, yang telah terbukti mampu membentuk sebuah kebudayaan itu, menjadi konsepsi pendidikan yang khas untuk pinggiran sungai.

Anda mungkin juga menyukai