Anda di halaman 1dari 4

PERTENTANGAN KAUM TANI WONOGORO dengan PERHUTANI PERHUTANI KPH Malang menguasai tanah seluas 117.

056,6 Ha yang dibagi dalam struktur administrasi kekuasaan monopoli tanah BKPH setingkat kecamatan yang dikepalai seorang Sinder. Ada 8 BKPH: Dampit, Sumbermanjing, Sengguruh, Kepanjen, Pujon, Ngantang, Tumpang, Singosari. BKPH Sumbermanjing menguasai tanah di hutan Wonogoro yang membentang di pantai selatan Jawa dari Balekambang sampai Sendangbiru seluas lk. 2.700 Ha yang termasuk dalam wilayah kecamatan Bantur, Gedangan, Sumbermanjing Wetan dibeberapa desa sekitar hutan. 1995 Warga sekitar hutan Wonogoro dari desa-desa di kecamatan Gedangan dan Bantur dimobilisasi oleh PERHUTANI menjadi buruh tebang kayu hingga hutan menjadi kosong. 1997 Menjelang krisis 1997, warga mulai masuk ke hutan untuk mencari penghidupan baru dengan mengolah lahan menjadi lahan pertanian hingga tahun 1998. 1999 Terjadi pembabatan hutan secara luas dan pembukaan lahan yang sangat masif hingga warga menduduki lahan hutan (disebut: tetelan) dan mengolah tanah menjadi lahan pertanian dengan tanaman pisang, jagung, padi, dll, serta bermukim di area hutan hingga bertahun-tahun. Mayoritas warga dari desa-desa sekitar hutan menggantungkan diri dari pertanian di lahan tetelan sebagai sumber penghidupan. Seperti desa Tumpakrejo, Sindurejo, Gedangan, Bantur, Gajahrejo, dan desa lain dari kecamatan yang lebih jauh. 2000 PERHUTANI mulai memproduktifkan lahan tetelan yang sudah digarap kaum tani dari area tetelan Wonogoro, Ngantep, Blumbang, Bululawang, Sadikromo, Pondokwaluh, Tumpakpucung, Plotro, Klangsir, Buncaran, Ngempos, Bajulmati. PERHUTANI menjadikan area garapan kaum tani sebagai hutan produksi dengan melakukan pemaksaan terhadap kaum tani untuk menanam kayu dengan jenis kayu jati, saman, sengon, dll. Usaha mengusir kaum tani penggarap yang dilancarkan pihak PERHUTANI berlangsung tiap tahun dengan program penanaman kayu jati di lahan-lahan tetelan. PERHUTANI melakukan tindak represif terhadap kaum tani penggarap dari mulai ancaman, penangkapan, menarik denda, pemukulan, perusakan pondok tani, perusakan tanaman tani, sampai penembakan.

2004 Terjadi perampasan tanah untuk proyek jalan Jalur Lintas Selatan Pulas Jawa. Terjadi pengusaan tempat wisata Pantai Ngantep oleh PERHUTANI dan memberlakukan sewa tanah kepada kaum tani, dan menarik kontribusi masuk wilayah wisata. 2008 Terjadi penguasaan lahan yang memiliki kandungan pasir besi yang dilakukan oleh PERHUTANI dan Investor untuk dieksploitasi. 2010 PERHUTANI memberlakukan wajib tanam kayu di lahan tetelan kaum tani. PERHUTANI memberlakukan pungutan terhadap kaum tani atas hasil produksi kaum tani yang berupa padi dengan bagi hasil 9:1 dari 10 hasil panen (9 untuk tani, 1 untuk PERHUTANI). Sementara hasil produksi tanaman kayu tidak ada bagi hasil, sepenuhnya dinikmati PERHUTANI, tetapi kaum tani dipaksa menanam kayu jati tanpa dibayar. Untuk melakukan pembibitan kayu, PERHUTANI juga memberlakukan secara paksa terhadap kaum tani membuat bedengan pembibitan kayu di lahan tetelan tanpa dibayar, dengan ancaman kalau tidak membuat bedengan didenda 50.000,- tiap petak bedengan. Beberapa perwakilan kaum tani terlibat dalam aksi Hari Buruh yang diselenggarakan aliansi ki Kabupaten-Kota Malang. Sekitar 150 petani wonogoro berpartisipasi dalam aksi perayaan Hari Tani Nasional yang di selenggarakan di lapangan Bantur kabupaten Malang. PERHUTANI melakukan pematokan lahan tetelan dengan jarak 25 x 25m per patok, usaha ini dalam rangka program reboisasi dengan penanaman kayu yang sudah dibibit sebelumnya. 15 mandor, sinder, mantri PERHUTANI bersama 3 Polisi sektor Gedangan mendatangi kaum tani dengan mengancam akan melakukan pengusiran dengan dalih telah terjadi pengrusakan bedengan. Juga terjadi aksi penganiayaan pihak PERHUTANI yang bernama Sofyan terhadap kaum tani yang bernama Pak Indah (anak Pak Parimun) dengan membenturkan kepalanya ke mobil dengan tuduhan yang tidak jelas dan tanpa alasan. Dan melarang kaum tani mendirikan pondok dan PERHUTANI memerintahkan pembongkaran pondok-pondok di wilayah tetelan Ngantep. Pihak PERHUTANI (25 orang) bersama 15 Polhutmob dan 5 Polisi sektor Gedangan kembali mendatangi kaum tani dengan mengancam kembali bahwa mulai besok tanggal 9 Desember 2010 kaum tani dilarang memotong pisang, mengangkut pisang, menjual

Mei 2010 September 2010

November 2010

5 Desember 2010

8 Desember 2010

pisang, dan juga hasil produksi kaum tani yang lain seperti padi, rumput, dll. Dengan intimidasi akan menangkap kaum tani jika ada kaum tani yang masih berproduksi. PERHUTANI akan melakukan pengusiran untuk mengosongkan lahan dari kaum tani 10 Desember 2010 Kaum tani melakukan aksi mempertahankan tanah dari ancaman pengusiran yang melibatkan lebih dari 250 orang petani. Aksi penghadangan aparatus Perhutani dan polisi ini berakhir dengan diurungkannya aksi pengusiran oleh pihak Perhutani. Diwaktu yang sama beberapa perwakilan petani hutan juga terlibat aksi aliansi Hari Tani Nasional di kabupaten Malang. Dua pekan kemudian DPRD Kabupaten Malang memanggil pihak Perhutani yang diwakili Wakil Kepala KPH Malang, Romanus, yang menghasilkan kesepakatan: 1. Penghentian tindak kekerasan dan intimidasi terhadap kaum tani. 2. Penyelesaian damai konflik yang melibatkan kaum tani dengan Perhutani. 30 Desember 2010 Diselenggarakan Rapat Umum Anggota pembentukan ranting AGRA dihadiri lebih dari 300 petani kawasan hutan. Dalam RUA ini terbentuk susuanan pengurus dan program perjuangan, meliputi: 1. Penyelenggaraan bagi hasil dan jarak tanam yang adil. 2. Penghentian intimidasi dan tindak kekerasan aparatus Perhutani dan kepolisian. 3. Pemberian upah tanam layak untuk penanaman tanaman Perhutani. 4. Pengehntian pungutan yang tidak adil bagi kaum tani. 5. Penyelenggaraan perniagaan hasil-hasil pertanian yang lebih adil. Febuari 2011 Perhutani mulai menjalankan masa tanam tahunan berbagai jenis pohon di kawasan hutan. Penanaman ini juga menyasar lahanlahan yang sebelumnya sudah ditanami atau diolah oleh kaum tani. Beberapa insiden ketegangan antara kaum tani dan Perhutani mulai terjadi lagi. Ketegangan antara kaum Tani dengan Perhutani mulai meningkat. Beberapa insiden intimidasi dan ancaman penangkapan mulai terjadi. Sebagian diantaranya dilawan oleh kaum tani dengan menolak tuduhan merusak tanaman Perhutani dan menolak dibawa ke kantor Perhutani atau kepolisian. Terjadi tindak penganiayaan terhadap seorang petani bernama Supat oleh enam orang mandor Perhutani. Tindak penganiayaan ini

Maret 2011

Mei 2011

disebabkan oleh Supat yang menolak dituduh merusak tanaman Perhutani di tanah yang berlokasi di Buncaran. Insiden ini direspon oleh beberapa petani dengan ancaman akan melakukan tindak kekerasan balasan kepada seluruh mandor yang ada di kawasan hutan. Petang harinya, sekitar enam orang petani dengan menggunakan senjata tajam menyisir kawasan hutan dan mendatangi pos jaga Perhutani untuk melakukan aksi balasan. Namun sasaran yang dicari nihil keberadaannya. Dua hari berikutnya, sekitar40 personel gabungan polisi hutan, mandor dan Polsek Gedangan serta Polres Kabupaten Malang datang ke lokasi dengan dalih memeriksa TKP. Pada hari itu juga Supat diputuskan untuk dievakuasi sementara dari kawasan hutan. Juni-Juli 2011 Upaya hukum coba dilakukan atas kasus Supat. Dalam penjelasannya, pimpinan AGRA (pimpinan diatas ranting) menyatakan tidak ada pelaporan yang masuk ke Polres Malang terkait kasus Supat. Bulan puasa. Situasi tidak jelasnya kasus Supat, penyelesaian perundingan bagi hasil yang berlarut-larut menyebabkan konsolidasi organisasi melemah, juga ditandai dengan mundurnya beberapa pimpinan ranting AGRA.

Agustus-September 2011

Oktober 2011

Dimulai lagi upaya konsolidasi kaum tani dengan menyelenggarakan forum oto kritik. Forum otokritik sempat berjalan dua kali dengan patisipasi yang mulai meningkat. Dalam perkembangan berikutnya pimpinan AGRA (diatas ranting Wonogoro) mengajukan ajakan untuk segera melanjutkan perundingan terkait bagi hasil dan jarak tanam dengan pihak Perhutani. Persiapan perundingan praktis hanya 2 hari dan kaum tani mengirim sepuluh orang perwakilannya yang ditemui oleh Wakil Kepala KPH Malang. Hasil dari pertemuan ini adlah penegasan pihak perhutani untuk mengajak kaum tani bergabung dalam LKDH dan mengatur soal bagi hasil dan jarak tanam dalam kelembagaan tersebut. Diselenggarakan rapat massa untuk membahsa hasil perundingan tersebut. Respon massa terbelah antara yang bersedia bergabung dengan LKDBH dan yang tidak bersedia.

Anda mungkin juga menyukai