Anda di halaman 1dari 2

June 5, 2011 at 21:14 Oleh: Wignya Cahyana 05 Juni 2011 Waktu itu tanah masih lembab.

Bila pagi aku mengencingi batuan cadas yang bermandi embun yang tetesannya meluncur bening dari ujung daun suflir. Lalu sepasang mata bersih mengintipku. Kusambut dengan senyum kelinci piaraanku yang merajuk manja di kakiku. Aku jongkok dan kusapukan pipiku ke bulu-bulunya hangat. Demikian aku menyapa sekaligus berpamit kepada pagi di pinggiran sungai sebelum berangkat sekolah. Aku selalu rindu kepada sungai. Sejak kecil, aku sudah dikutuk untuk bisa mencintai pinggiran sungai dan, sialnya, aku berhasil. Temanku air, batu, pasir, dan ikan. Mandi di sungai tentu saja, karena sungai bukanlah parit. Bila kamu berdiri di lantai sungai, terasalah mata-air menggelitik telapak kakimu. Menyelam... dan kusaksikan dari kaca air karpet bebatuan dalam mozaik rupa dan warna. Batu umumnya tidak bulat dan tidak hitam, kawan! Itu mitologi saja, entah dari siapa mulanya. Nah, kali ini benar kata pepatah, udang memang selalu ada di balik batu. Tetapi juga kepiting ada di sana. Jika beruntung kutemukan juga ikan sidat, kutuk, dan lele. Jenis ikan lain tak perlu menyelam bisa kusaksikan. Seperti alam selalu mau, mereka genit berwarna-warni. Di sana aku juga bermain pasir. Oh tidak, Anda salah, bu guru! Pasir tak hanya bahan permainanku. Lihat, aku hidup di sana. Paham bukan? Pasir sungai adalah identitas diri. Kelekatanku pada alam sungai melebur-kaburkan antara mana subyek dan mana obyek, mana pemain dan mana mainan. Jadi, bila ingin ramah kepada anak sungai bersedialah mempermainkan sekaligus dipermainkan. Ada juga kawan-kawan musiman. Bila kemarau tiba, capung-capung beterbangan di antara bunga kangkung dalam kolam kami. Kau pasti tak percaya, capung pinggiran sungai teramat manisnya. Ia langsing bagai jarum bersayap. Ada yang berwarna merah, kuning, biru, hijau, ungu, dan, yang paling jarang, berwarna putih. Semua sampel keringnya aku koleksi dalam kotak pensil; jadilah museum kecil yang selalu mengagumkan mataku. Bila senja mengintip, burung-burung sriti menukik ke wajah sungai, sekedar untuk bersolek dan minum sebelum kembali ke sarang. Ini artinya aku harus sudah mandi. Selang waktu kemudian serangga juga berdatangan. Bila tak datang maka kupanggil mereka dengan bau cabe, "Thethe boleyo, lombok abang lombok ijo..." Temanku juga si Rendhet dan si Galah penghuni kolong jembatan. Rendhet anak pemulung. Tiap hari ia memberi aku karton bungkus rokok untuk kubuat wayang atau boneka angkrek. Kadang karton juga kami lipat-lipat menjadi mainan kapal, gelas pasir, mahkota kepala, dan bahkan tas sekolah. Galah anak copet. Bersamanya aku bermain layang-layang dan lomba lari lompat batu di sungai. Ia juga jago berenang. Gara-gara dia tubuhku terlatih lincah di medan sungai.

Akhirnya, pada siang hari sepulang sekolah, aku tidak menemukan di mana si Rendhet dan si Galah berada. Kupanjat tebing jembatan. Kutengok, hanya ada arang hitam dan kepulan asap di sana. Rumahnya dibakar polisi beberapa jam lalu. Mataku basah. Ini sudah yang kesekian kalinya. Kelak aku akan mengerti, anak-anak pinggir sungai itu akan selalu kehilangan. Sungai adalah saeculum playgroup terindah yang kelak akan dicuri jaman dan tak pernah dikembalikan. Lagi kukatakan, subyek sudah menikahi obyek. Bagi anak-anak ini, jaman bisa meng-aborsi eksistensi mereka sehingga sebenar-benarnya punah. Dan ini adalah kisah nyata.

Anda mungkin juga menyukai