Anda di halaman 1dari 5

Dyson - Perjuangan Dyson Merangsek Pasar Outdoor Tuesday, 16 December 2008 10:15 Nama: Dyson Perusahaan: Consina

Artikel:

Perjuangan Dyson Merangsek Pasar Outdoor

Pecinta alam ini berhasil memproduksi sekaligus memasarkan aneka produk untuk kegiatan outdoor bermerek Consina, yang tergolong laris manis di Tanah Air. Inilah liku-liku perjuangan Dyson, lajang berusia 33 tahun. Yuyun Manopol Para pengunjung nyaris memenuhi sebuah toko perlengkapan outdoor di bilangan Senayan siang itu. Antusiasme pembeli tampak pada sejumlah jaket yang tergantung di tengah toko yang luasnya lebih dari 100 m2. Kehalusan bahan-bahannya, jahitan yang rapi dengan potongan dan warna yang atraktif tampaknya membuat banyak pengunjung tertarik. Padahal harganya cukup menantang, berkisar Rp 175850 ribu per potong. Sepintas lalu, produk berlabel Consina itu seperti produk impor, padahal ini produk lokal. Consina sendiri tak hanya memproduksi jaket, tapi juga aneka tas untuk berbagai keperluan (contohnya tas laptop, tas pinggang, ransel, tas kecil handpone dan dompet), baju kaus, celana pendek, topi, bandana, sandal, bahkan sleeping bag. Dyson, sang pemilik toko, mengungkapkan bahwa saat ini kinerja dan pasar Consina sedang bagusbagusnya. Untuk memasarkan produknya ia menjalin kerja sama dengan 30 toko di 50-an kota di seluruh Indonesia. Kami ada di seluruh provinsi dari Sabang hingga Merauke, ujar lajang kelahiran Toraja, Sulawesi Selatan 31 Oktober 1974 ini. Contohnya, Aceh, Medan, Palembang, Padang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, Bali, Lombok sampai Timika dan Nadire di Papua. Sistem kerja sama perusahaannya dengan toko-toko itu adalah jual tunai dan jual tempo. Adapun toko Consina di samping Senayan Trade Center hanyalah untuk showroom. Itu sebabnya ia hanya punya satu toko yang didirikan pada April 2007. Dituturkan Dyson, kapasitas produksi Consina saat ini sudah maksimum, alias mencapai 100%. Untuk kegiatan produksi ia memiliki dua tempat kerja, di Buaran (Jakarta Timur) dan Cakung (Bekasi) dengan luas masing-masing sekitar 500 m2. Total karyawan mencapai 100 orang. Tempat kerja di Cakung ditujukan untuk memenuhi produktivitas reguler, sedangkan di Buaran untuk memenuhi pesanan. Consina memang tak hanya memproduksi produk yang secara rutin (reguler) harus dibuat, tapi juga pesanan dari berbagai perusahaan seperti Freeport, Autocillin, Ford, Golden Spike dan Foto Media (anak perusahaan Kelompok Kompas Gramedia). Komposisinya: 85% produk reguler dan 15% produk pesanan.

Keberhasilan Consina tentu saja tak lepas dari sosok Dyson. Padahal bungsu dari 6 bersaudara buah pasangan Johan Balindang (65 tahun) dan Pattimang Batti (62 tahun) ini, mengaku sempat tak begitu fokus mengurusi bisnisnya di saat awal. Maklum, sebagai penggiat aktivitas outdoor, ia kerap naik-turun gunung. Sejumlah gunung pun sudah dirambahnya. Sebutlah, Gunung Rinjani di Lombok, Semeru di Jawa Timur, Gede di Cibodas, Pangrango di Jawa Barat, Ciremai di Kuningan Ja-Bar, dan Cartenz di Papua (gunung tertinggi di Indonesia). Namun Dewi Fortuna tampaknya berpihak padanya. Pasalnya, sebelum keberhasilan datang, berawal dari sesuatu yang sepele, memberi oleh-oleh. Dyson menceritakan, pada 1997 ia mengikuti pertemuan para pecinta alam di Yogyakarta. Ketika akan pulang ia tertarik untuk membawa sedikit oleh-oleh berupa barang kegiatan outdoor buat teman-temannya di Jakarta. Contohnya, tas pinggang. Kebetulan di Yogya saat itu banyak sekali ia temukan toko yang menjual produk semacam itu. Ternyata oleh-olehnya mendapat sambutan bagus dari teman-temannya. Akhirnya ia memutuskan untuk mengontak lagi ke Yogya dan order beberapa barang. Tapi barangnya lama sekali baru datang, dan tak sesuai dengan pesanan, ujarnya menceritakan kekecewaannya saat itu. Nah, masih di tahun yang sama, Dyson jalan-jalan ke Cakung, dan ia melihat limbah berupa bahan untuk membuat tas. Yang membuatnya heran, bahan limbah itu dalam kondisi yang bagus. Itu bahan untuk barang-barang ekspor, ujarnya. Dari sini ia memutuskan untuk mencoba membuat tas buat kegiatan outdoor. Seminggu lamanya ia mencari tukang jahit tas yang bagus. Sulitnya bukan main. Ternyata tak gampang cari tukang jahit tas berkualitas, kata Dyson. Setelah tanya sana-sini, akhirnya ia mendapatkan satu orang. Dan, hasil kerjanya bagus. Saya sangat puas, sambungnya lega. Tahun 1998, dengan modal Rp 1 juta pria yang kala itu tercatat sebagai mahasiswa semester 6 Fakultas Teknik Universitas Trisakti ini memutuskan untuk memproduksi tas. Dengan uang itu ia membeli satu unit mesin jahit merek Butterfly yang notabene sebenarnya untuk menjahit pakaian. Lokasi pekerjaan dipilih di Cakung, Bekasi, dengan cara mengontrak sebuah tempat seluas 3 x 4 meter. Saat itu ia memiliki seorang tukang jahit berikut bahan baku yang berasal dari limbah. Hampir setiap hari saya menyortir sendiri bahanbahan dari limbah, kata Dyson seraya menuturkan bahwa sampai tahun 2000 ia masih terlibat dalam kegiatan penyortiran ini. Waktu itu ia sulit mencari bahan baku bagus dengan kualitas ekspor. Hingga kini pun bahan baku dengan kualitas bagus masih menjadi kendala bagi Dyson. Karena, pemerintah mengeluarkan peraturan yang memberatkan masuknya sejumlah bahan baku impor sehingga harganya sangat mahal. Adapun produk awal saat itu adalah tas pingggang. Jumlahnya sekitar 30 potong. Pemasarannya hanya di sekitar teman-teman sesama pecinta alam dengan harga Rp 25 ribu per potong. Langsung ludes, kata Dyson mengungkapkan kegembiraannya saat itu. Sejak itu hampir setiap bulan selama 6 bulan pihaknya membeli satu unit mesin jahit Butterfly. Pada 1998 ia memutuskan untuk mengembangkan jenis produk dengan meluncurkan tas ransel (backpack). Pertama kali ia memproduksi 50 ransel. Hanya dalam tiga-empat hari langsung habis terjual, katanya. Dijelaskan Dyson, proses yang lama adalah produksinya yang memakan waktu dua minggu. Kendala utama semasa awal usahanya adalah mendapatkan tukang jahit yang bagus. Sebenarnya sampai sekarang pun ini menjadi kendala saya. Itulah sebabnya saat ini ia membuat kebijakan untuk melatih sendiri tukang jahitnya sehingga kualitas kerjanya bisa bagus. Untuk itu harus ada komitmen awal dari mereka, jika kemampuan mereka tak begitu bagus, mereka harus belajar dari rekannya yang pandai, ujar pria yang tak memiliki kemahiran menjahit ini. Kendala selanjutnya: kontrol. Sebab, pada 1998 Dyson masih sibuk kuliah. Selain itu, ia masih kerap beraktivitas outdoor. Dua kegiatan utama ini membuatnya kurang fokus mengawasi produksi. Bayangkan, dalam satu kali kegiatan outdoor ia bisa menghabiskan waktu tiga bulan, sehingga praktis selama tiga bulan ia tak mengurusi usahanya. Bahkan pemilik mobil Land Rover tahun 1978 dan 1981 ini, masih kerap keluar-masuk desa saban tiga bulan sekali hingga sekarang.

Tahun 1999, untuk memenuhi permintaan pasar, ia membeli dua unit mesin jahit khusus tas bekas seharga Rp 1,7 juta per unit. Waktu itu total karyawannya 12 orang dan lokasi kerja pindah ke tempat yang lebih luas dengan cara mengontrak sebuah ruko dua lantai seluas 6 x 8 meter di Cakung. Di tahun ini pula Dyson mencoba lebih serius menggarap pemasaran produknya dengan cara membuat jaringan ke toko-toko. Saat itu ada dua toko yang menjual Consina, yaitu Toko Adventure di Rawamangun, Jak-Tim, dan Toko Kawani di Bandung. Namun di tahun 2000 Dyson mendapat masalah, hampir semua tukang jahitnya diam-diam membuat tas sendiri di luar pengetahuannya. Untungnya ada satu orang yang buka mulut. Akhirnya saya harus memecat semua tukang jahit saya, ucapnya kesal. Akibatnya, produksi dan penjualannya turun hingga 50%. Dari kasus ini ia mencoba introspeksi, terutama tentang cara dirinya mengontrol usahanya. Selama 6 bulan ia berjuang untuk bangkit kembali. Saat itu ia mengangkat seorang kepala produksi dan sejumlah tukang jahit. Ia sempat beriklan di media cetak untuk mencari tukang jahit yang bagus. Bahkan, ia pun harus terjun dengan membuat pola-pola tas sendiri. Tahun 2001, produksi dan penjualannya kembali seperti semula. Jumlah tukang jahitnya mencapai 10 orang, satu tukang potong, satu kepala produksi, satu tukang pola dan supervisor. Di tahun itu Dyson mengontrol usahanya lebih ketat sehingga kinerjanya lebih besar dan lebih efisien. Ia juga memperluas jaringan pemasaran dengan menambah jaringan toko di Toko Tandike (Jakarta), dan Toko Boogie (Bogor). Namun pada 2002 Dyson mengalami masalah bahan baku, karena pabrik yang biasanya membuang limbah bahan baku pindah ke Vietnam. Solusinya, ia menghubungi sejumlah produsen bahan baku berkualitas bagus. Dan kendalanya, mereka tak mau menjual eceran. Ia pun berdiskusi dengan karyawannya perihal kesulitan bahan baku dan dana yang tak cukup. Akhirnya mereka sepakat, para tukang jahit akan mendapat bayaran jika barang sudah jadi, lalu uang yang dijadwalkan untuk gajian saat itu digunakan buat membeli bahan baku. Pada 2003 Dyson memperluas pemasaran dan jaringan toko Consina menjadi 10. Ia juga menambah dua item produknya yaitu celana pendek dan jaket. Dan ternyata responsnya sangat bagus, Malah bisa dikatakan booming, ucapnya. Pertama kali ia memproduksi 100 potong jaket dan ludes hanya dalam tempo tiga-empat hari. Begitu pula dengan celana pendek yang diluncurkan sebanyak 300 potong, habis terjual. Untuk merespons pasar, ia menambah mesin jahit khusus tas bekas empat unit. Karyawan pun bertambah hingga menjadi 14 tukang jahit. Malah pada 2004, Dyson mulai mendapat banyak pesanan dari berbagai perusahaan asing dan lokal. Produksinya pun makin beragam dengan keberadaan sandal dan sejumlah item jaket, contohnya jaket untuk mendaki gunung es yang harganya mencapai Rp 850 ribu per potong. Karena ledakan permintaan, pada 2004 rumah kontrakan di Buaran ia beli, dan diperluas dari luas bangunan 200 m2 menjadi 500 m2. Pada 2006, untuk menambah modal kerja ia pinjam uang ke Bank Danamon. Dengan keberadaan pinjaman ini, Dyson terus memperluas produksinya. Contohnya jaket. Jika sebelumnya ia hanya memproduksi ratusan potong per item, kini ia bisa memproduksi hingga 1.500 potong. Padahal ia memiliki 10 item jaket. Keberhasilan jaket dan celana ini memberi hikmah tersendiri bagi kinerja usahanya. Sebab, sekarang sumber penjualan terbesar (60%) Consina berasal dari celana pendek dan jaket. Ini termasuk kaus, topi dan bandana untuk kepala. Sisanya (40%) berasal dari tas seperti backpack, dompet, tas pinggang, dan tas laptop. Tiap tahun, Dyson menyebutkan, pertumbuhan usahanya mencapai 30%40%. Untuk memperluas pemasaran Consina, ia kerap bekerja sama dengan sejumlah teve seperti TransTV, SCTV, RCTI, Trans7 dan MetroTV dalam bentuk barter antara iklan dan pemakaian produk Consina. Dyson mengungkapkan, kunci keberhasilannya terletak pada tiga faktor, yaitu: kualitas, desain, dan menjaga citra merek. Menurutnya, ia sangat keras dalam mengontrol produksi. Jika saya lihat hasilnya tak seperti yang saya harapkan, barangnya akan saya bongkar, katanya. Pekerjaan membongkar produk yang

tak rapi, lanjutnya, lebih sulit ketimbang membuat yang baru. Alasannya, membongkar produk yang sudah jadi membutuhkan kehati-hatian supaya tak merusak bahan. Itu sebabnya, ia melihat para karyawannya (tukang jahit) lebih memilih bekerja ekstra hati-hati daripada membuat kesalahan. Saat ini Dyson secara rutin melakukan pengontrolan sekitar pukul 08.00 pagi, lalu pukul 11.00 menjelang siang hari, dan pukul 19.00 malam. Sebenarnya ia punya asisten sebagai kepala produksi yang melakukan pengontrolan. Toh, ia tetap terjun ke lapangan. Saya hanya ingin memastikan lagi, kata Dyson. Menurut dia, untuk membuat produk-produk dengan desain dan kualitas yang bagus tidaklah mudah. Sebab, perusahaannya belum memiliki perlengkapan yang canggih dan computerized. Padahal untuk membuat jaket tahan air, misalnya, dibutuhkan cara tertentu supaya jahitan antara satu potongan dengan potongan lain tak memungkinkan air masuk. Toh, hingga kini produk-produk Consina mampu bersaing dengan produk lokal sejenis yang sudah lebih dulu eksis bahkan produk impor. Kuncinya adalah kami ekstra hati-hati dan terampil, Dyson berujar. Alfi Hendy, pemilik Toko Tandike, mitra toko untuk penjualan Consina, mengatakan, meskipun Consina tak menggunakan teknologi tinggi dan computerized, Consina mampu mengatasi hal itu. Jahitannya bagus sehingga produknya bisa mengikuti tuntutan pasar, ujarnya. Saat ini, sambung Alfi, di jaringan tokonya Consina merupakan produk lokal yang paling tinggi penjualannya. Namun, di tingkat nasional, produk sejenis yang terbesar adalah produk bermerek Eager, dan di tempat kedua barulah Consina. Distributor sejumlah perlengkapan outdoor dari berbagai negara Eropa dan AS ini menyebutkan, ada sejumlah keunggulan Consina yaitu model yang bagus dan harga tak terlalu mahal. Ia mencontohkan, jaket tahan air harganya Rp 150-465 ribu per potong. Ini pula yang menjadi alasan Alfi menjual Consina di jaringan tokonya. Baginya, Consina layak disandingkan dengan produk-produk impor yang ia ageni. Kualitasnya bagus dan produksinya lancar, kata pria asal Padang, 32 tahun ini. Ia melihat kemampuan Dyson membuat produk-produk yang bagus karena Dyson sendiri adalah aktivis outdoor dan pemakai produk jenis ini. Jadi, ia tahu persis kebutuhan pasar di sini dan tahu trennya, ujar pria yang berencana membuat toko produk perlengkapan outdoor terbesar se-Asia Pasifik ini. Tak jauh berbeda dari Alfi, Siti Maemunah, pelanggan Consina, mengatakan bahwa ia sangat menyukai produk Consina, karena memiliki model yang beragam, kualitas bagus dan harganya terjangkau. Saat ini ia memiliki tas ransel dan tas laptop, baju kaus, dan celana pendek Consina. Karyawan Jaringan Advokasi Tambang LSM yang bermarkas di Mampang Prapatan, Jak-Sel ini rupanya sudah dua tahun terakhir menjadi pelanggan Consina. Saya suka dengan backpack-nya karena ukurannya tak terlalu besar, jadi enak di punggung saya, tuturnya sambil menjelaskan, ia punya sedikit masalah dengan punggungnya. Selain itu, ia juga sangat menyukai tas laptop ukuran 12 inci dari Consina. Tas laptop ukuran ini sulit sekali ditemukan di tempat lain, ujar wanita berusia 36 tahun ini. Untuk keberhasilan dari segi desain ini, Dyson buka rahasia. Dia menerangkan bahwa dirinya kerap mencermati perkembangan desain produk outdoor melalui katalog impor, di samping mencermati produk yang menurut penilaiannya bagus. Biasanya, dari sini ia bisa mempelajari desain untuk Consina ke depan. Menurutnya, menjadi pecinta alam punya kaitan erat dengan businessman. Keduanya menuntut watak yang pantang menyerah dalam segala situasi, terutama yang gambling, dan jujur supaya bisa dipercaya, Dyson bertutur. Toh, untuk tahun 2008 ia sedikit hendak menahan diri atau tak menambah produksi karena pemerintah bakal menaikkan harga BBM. Kami mau lihat dulu situasi pasar akibat kebijakan itu, ujarnya. Padahal mestinya, jika melihat permintaan pasar ia harus meningkatkan produksi sebanyak 50% lagi. Ia merencanakan pada 2009, perusahaannya baru akan menambah kapasitas produksi sesuai dengan yang dibutuhkan. Saat ini karyawan kami harus lembur terus setiap hari karena banyaknya pekerjaan, kata

Dyson yang siap meluncurkan produk sepatu tahun depan. Ke depan Dyson ingin memasarkan Consina tak hanya di Indonesia tapi juga di kawasan regional seperti Cina, Malaysia dan Thailand. Alasannya, ia meyakini kualitas dan desain Consina sudah mumpuni untuk bersaing dengan produk-produk dari negara lain. Sebenarnya Agustus tahun lalu ia pergi ke Cina untuk menjajaki kemungkinan produksi di sana. Tapi ternyata upah pekerja di Cina sekarang sudah lebih mahal ketimbang di sini, ujarnya. Akhirnya ia memutuskan tetap berproduksi di Tanah Air. Selain itu, keuntungan lain di Cina ada kebebasan untuk menggunakan bahan baku apa saja tanpa ada peraturan yang memberatkan. Dan, melihat potensi pasar Cina yang kian mengglobal, ia ingin memasukkan produk Consina ke Negeri Tirai Bambu itu. Ia menargetkan pada 2010 memasarkan Consina secara regional tak hanya di Cina, tapi juga Malaysia dan Thailand.

Last Updated on Tuesday, 30 December 2008 16:27

Anda mungkin juga menyukai